Anda di halaman 1dari 26

EKONOMI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

EKI 314 (CP)

Konsep Kegagalan Pasar, Barang Publik, dan Eksternalitas Lingkungan

Dosen Pengampu:

Dr. I Made Kartika Yudha, S.E.,M.Sc.

Made Sinthya Aryasthini M.,S.E.,M.E.

Disusun Oleh :

Kelompok 2

Reina Marciela Silaban (2007511005)

Herdina Selviani Tamba (2007511006)

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YangMaha Esa,karena atas rahmat-Nya, tugas
makalah dengan judul” Konsep Kegagalan Pasar, Barang Publik, dan Eksternalitas Lingkungan” dapat
selesai tepat waktu. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari bapak
Dr. I Made Kartika Yudha, S.E.,M.Sc. dan ibu Made Sinthya Aryasthini M.,S.E.,M.E. pada mata kuliah
Ekonomi Pembangunan Berkelanjutan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang Kegagalan Pasar, Barang Publik, dan Eksternalitas Lingkungan.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. I Made Kartika Yudha, S.E.,M.Sc. dan ibu
Made Sinthya Aryasthini M.,S.E.,M.E selaku dosen pada mata kuliah Ekonomi Pembangunan
Berkelanjutan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
kami terhadap materi Kegagalan Pasar, Barang Publik, dan Eksternalitas Lingkungan. Kami juga
mengucapkanterima kasih kepada teman, saudara dan orang tua yang telah membantu kami
menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Jimbaran, 01 September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................iii
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1
1. Latar Belakang.................................................................................................................................1
2. Rumusan Masalah............................................................................................................................1
3. Tujuan..............................................................................................................................................1
BAB II.........................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................2
2.1 Kegagalan Pasar................................................................................................................................2
2.2. Indikator Barang Privat dan Barang Publik......................................................................................3
2.2.1 Barang Privat..............................................................................................................................3
2.2.2 Barang Publik.............................................................................................................................4
2.3. Eksternalitas Lingkungan.................................................................................................................7
2.3.1. Teori Eksternalitas.....................................................................................................................8
2.3.2 Memodel Kerusakan Lingkungan Sebagai Eksternalitas Negatif..............................................10
2.4 Teori Coase......................................................................................................................................15
2.5 Intervensi Pemerintah dalam hal Adanya Eksternalitas...................................................................19
BAB III......................................................................................................................................................20
KESIMPULAN.........................................................................................................................................20
BAB IV.....................................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................21

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pembangunan yang dilakukan selama ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat yang ditunjukkan oleh tingginya pertumbuhan ekonomi. Dalam kenyataannya peningkatan
pertumbuhan ekonomi tidak saja membawa dampak posistif bagi sebuah perekonomian namun juga
memberikan dampak negative bagi lingkungan. Proses produksi dan konsumsi telah menimbulkan adanya
limbah yang kemudian akhirnya dikembalikan ke lingkungan.

Kalau kita sadar akan implikasi dari pasar persaingan terhadap efisiensi dan kesejahteraan
masyarakat, kita akan dapat mengetahui apa yang harus dikerjakan apabila sesuatu yang menghalangi
berlakunya sistem pasar telah terjadi, atau dengan kata lain, telah dilanggarnya satu atau lebih dari asumsi
yang mendasari berfungsinya pasar secara penuh. Dalam bab ini dibahas adanya pelanggaran terhadap
asumsi berlakunya sistem pasar atau dalam istilah yang keren adanya kegagalan pasar.

Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan pelanggaran terhadap asumsi bahwa salah satu peserta
pasar dapat mempengaruhi harga. Pembicaraan ini mengarahkan kepada kita untuk mebahas pasar
monopoli, yang kemudian diikuti oleh kegagalan pasar dengan fokus perhatian pada eksternalitas. Bab ini
ditutup dengan pembahasan mengenai akibat pemberian hak milik kepada pembeli atau penjual dalam hal
pasar untuk bukan barang privat, melainkan untuk barang yang kepemilikannya kurang jelas.

2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kegagalan pasar?
2. Apa saja indicator barang privat dan barang public?
3. Apa yang dimaksud dengan teori eksternalitas?
4. Apa yang dimaksud dengan teori coase?
5. Bagaimana intervensi pemerintah dalam eksternalitas?

3. Tujuan
1. Untuk mengetahui kegagalan pasar
2. Untuk mengetahui indicator barang privat dan barang public
3. Untuk mengetahui teori eksternalitas?
4. Untuk mengetahui teori coase?
5. Untuk mengetahui intervensi pemerintah dalam eksternalitas?

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kegagalan Pasar


Model suatu pasar terdiri dari model untuk permintaan dan model untuk penawaran satu jenis
barang tertentu. Untuk membuat suatu pasar diperlukan beberapa asumsi. Pertama, bahwa barang yang
diperdagangkan adalah barang privat. Kedua, adanya pasar persaingan baik untuk faktor produksi
maupun untuk satu barang tertentu. Apabila salah satu dari asumsi tidak dipenuhi, maka hasilnya akan
berupa satu keadaan pasar yang tidak efisien, yang secara keseluruhan disebut kegagalan pasar. Frances
M. Bator dalam artikelnya berjudul the Anatomy of Market Failure pada the Quarterly Journal of
Economics, Volume 72, No.3 (Agustus 19958), 351-379 membicarakan kegagalan pasar ini secara rinci,
yang pada dasarnya kalau terjadi persaingan yang tidak sempurna baik pada pasar barang/jasa maupun
pada pasar faktor, informasi pasar tidak sempurna, barang yang diperdagangkan berupa barang publik,
dan kalau terjadi eksternalitas negatif atau positif. Dasgupta dan Pearce (dalam Nehen 1978:28) dalam
bukunya yang terbit pada tahun 1972 merinci bahwa pasar disebut gagal kalau terjadi:

1. Persaingan tidak sempurna pada pasar faktor


2. Pengangguran pada sumber daya alam dan manusia
3. Skala usaha yang makin meningkat pada industri yang sedang dibahas
4. Sistem perpajakan yang diterapkan oleh pemerintah 6. efek ganda pada masalah yang sedang
dibicarakan
5. Efek eksternal, dan
6. Barang yang dibicarakan adalah barang publik (public goods).

Kalau kita telaah satu per satu dari delapan butir ini, maka dalam ekonomi praktis akan selalu
terjadi kegagalan pasar, termasuk dan lebih-lebih pada ekonomi sumber daya alam dan lingkungan.
Misalnya dalam masalah sumber daya alam, asumsi yang dilanggarnya antara lain adalah:

 Barang yang diperdagangkan bukan barang privat, karena hampir semua sumber daya alam
seperti minyak bumi, kehutanan, air dan yang lainnya di Indonesia dikuasai oleh pemerintah atau
dimiliki bersama oleh masyarakat atau pemerintah dan sangat jarang kalau tidak dapat dikatakan
tidak ada sumber daya alam yang merupakan barang privat.

2
 Kalau sumber daya alam dikatakan sebagai faktor produksi, sudah pasti tidak terjadi mobilitas
pada pasar faktor. Atau dengan kata lain pasar faktor tidak bersifat persaingan.
 Sumber daya alam belum digunakan secara penuh, sehingga masih terjadi pengangguran dalam
sumber daya alam.
 Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, biasanya pemerintah memberikan hak pengelolaan
hanya kepada beberapa pengusaha saja. Dalam hal ini bentuk pasar produknya hanya terdiri dari
beberapa perusahaan dan banyak perusahaan kecil-kecil. Beberapa perusahaan besar itu bisa
dipimpin oleh satu perusahaan saja, yakni paling efisien, atau bergabung sedangkan perusahaan
lainnya yang mengikuti kebijakan harga perusahaan besar tersebut. Dalam hal ini pasar
produknya dapat dikatakan bersifat monopoli.

Dalam hal masalah lingkungan, asumsi pasar persaingan yang dilanggarnya antara lain adalah:

 Asumsi mengenai barang privat. Limbah buangan dari produksi dan dari konsumsi, kalau pasar
limbah tersebut diadakan, bentuk pasarnya seperti pada perdagangan karbon pada konferensi
mengenai perubahan iklim beberapa tahun yang lalu di Nusa Dua. Dalam hal ini karbon bukanlah
barang privat.
 Limbah industri biasanya dianggap mempunyai efek eksternal yang tidak terdapat pada asumsi
pasar persaingan.
 Pajak (lingkungan) merupakan salah satu alat untuk memaksakan pengusaha agar bersedia
menanamkan modalnya untuk menangani masalah limbah yang ditimbulkannya.

Dari asumsi-asumsi yang dilanggar dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, hanya
beberapa saja yang akan dibahas lebih lanjut. Sisa dari bab ini akan membahas pasar monopoli dan
barang publik, eksternalitas lingkungan, serta pemberian hak milik pada barang yang sedang dibahas dan
akibatnya pada keseimbangan pasar. Kesemuanya ini merupakan masalah penting dalam ESDA&L.

2.2. Indikator Barang Privat dan Barang Publik

2.2.1 Barang Privat


Barang privat adalah barang-barang yang memiliki sifat berkebalikan dengan barang publik.
Barang privat secara tipikal adalah barang yang diperoleh melalui mekanisme pasar, dimana titik temu

3
antara produsen dan konsumen adalah mekanisme harga. Oleh karena itu, kepemilikan barang privat
biasanya dapat teridentifikasi dengan baik.

           Sebagian besar barang yang kita konsumsi adalah barang privat, yaitu barang yang hanya dapat
digunakan oleh satu konsumen pada satu waktu. Misalnya, ketika seseorang sedang memakan kue
miliknya, orang lain tidak dapat melakukan hal serupa. Eksklusivitas kepemilikan menjadi faktor
pembeda utama barang privat dengan barang publik.

           Karakteristik utama barang privat tentunya berkebalikan sama sekali dengan barang publik. Sifat-
sifat barang privat tersebut adalah :

1)      Rivalrous consumption, dimana konsumsi oleh satu konsumen akan mengurangi atau
menghilangkan kesempatan pihak lain untuk melakukan hal serupa. Terjadi rivalitas antar calon
konsumen dalam mengkonsumsi barang ini.

2)      Excludable consumption, dimana konsumsi suatu barang dapat dibatasi hanya pada mereka yang
memenuhi persyaratan tertentu (biasanya harga), dan mereka yang tidak membayar atau tidak memenuhi
syarat dapat dikecualikan dari akses untuk mendapatkan barang tersebut (excludable). Contohnya,
pakaian di toko hanya dapat dinikmati oleh mereka yang membeli atau membayar, sementara mereka
yang tidak membayar tidak dapat menikmati pakaian tersebut.

3)      Scarcity/depletability/finite, yaitu kelangkaan atau keterbatasan dalam jumlah. Kelangkaan dan


ketersediaan dalam jumlah yang diskrit atau terbatas inilah yang menimbulkan kedua sifat sebelumnya.

            Barang privat biasanya memang diadakan untuk mencari profit atau laba. Karena sifat-sifatnya
tadi, barang privat dapat menjaga efisiensi pasar dalam pengadaannya. Efisiensi inilah yang menarik
minat sektor swasta dan menimbulkan pemahaman bahwa barang privat adalah barang yang diproduksi
oleh sektor swasta. Meskipun begitu, pemerintah pun sebenarnya dapat berlaku sebagai sektor swasta dan
menjadi bagian dari pasar dalam penyediaan barang privat untuk tujuan-tujuan tertentu.

2.2.2 Barang Publik


 Barang Publik Kualitas Lingkungan

Dari model Keseimbangan Materiil yang disajikan pada Peraga 1.2 pada Bab 1 di muka kita
mengetahui bahwa dari sektor produksi akan muncul residu produksi dan dari sektor rumah tangga
muncul limbah konsumsi, kedua sumber ini akan mengotori alam. Katakanlah, sebagai contoh, sekitar

4
tahun 1960an dan 1970an keadaan kota Denpasar jauh lebih kotor dibandingkan sekarang ini, karena
masyarakat belum begitu sadar akan kesehatan lingkungan dan membuang sampah begitu saja. Jalan-
jalan kotor demikian juga sungai. Contoh lain, misalnya, sekitar tahun 1970an, pada saat mana Indonesia
baru mulai membangun Bali sebagai destinasi wisatawan dunia. Ketika itu tidak sedikit hotel yang
terletak di pinggir pantai membuang limbah cairannya ke pantai, sehingga mengotori air laut. Akibat
lanjutannya adalah banyak orang yang mandi di pantai merasakan gatal-gatal sebagai akibat air laut yang
tercemar. Kedua contoh ini menggambarkan timbulnya masalah lingkungan.

Salah satu cara bagi para ahli ekonomi memandang masalah lingkungan sebagai kualitas lingkungan.
Dalam contoh di atas: kota Denpasar yang bersih, dan air laut di pantai di Bali yang bersih, atau udara
yang bersih, dan sebagainya. Perumusan masalah. lingkungan seperti ini sejalan dengan salah satu tujuan
mempelajari ESDA&L, seperti dibahas pada Bab 1, yakni kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan ini
termasuk salah satu barang publik dan oleh karenanya melanggar salah satu asumsi dari pasar persaingan,
yakni asumsi mengenai barang yang diperdagangkan adalah barang privat. Jadi salah satu cara pandang
ekonom terhadap masalah lingkungan adalah bahwa lingkungan tersebut dipandang sebagai kualitas
lingkungan dan ia merupakan barang publik.

 Arti Barang Publik

Para ahli ekonomi membedakan barang publik dengan barang privat menurut cirinya, bukan karena
barang tersebut disediakan oleh sektor publik atau sektor swasta. Satu barang publik, atau istilah
teknisnya barang publik murni, adalah setiap barang yang mempunyai dua ciri berikut:

(i) Nonrivalness (tidak bersaing dalam konsumsi), dan


(ii) Nonexcludability (tidak menolak orang lain untuk ikut menikmati manfaat dari
mengonsumsinya.

Pada ujung ekstrem lainnya adalah barang privat mumi, yang didefinisikan sebagai semua barang
yang mempunyai sifat bersaing dan menolak kesempatan orang lain untuk ikut menikmat manfaat dari
mengonsumsinya. Ingat salah satu asumsi dari pasar persaingan yang kita bicarakan pada Bab 2 adalah
bahwa barang yang diperdagangkan adalah barang privat. Jadi yang disebut barang publik dalam buku ini
adalah setiap barang yang tidak bersaing dalam konsumsi dan memberikan manfaat yang tidak menolak
orang lain untuk ikut menikmatinya.

5
 Ciri Barang Publik

Sebagaimana dapat disimak dari pembicaraan di atas, satu barang publik mempunyai sifat, yakni:

(1) Nonrivalness. Ini adalah satu sifat bahwa manfaat mengonsumsi barang tersebut tidak dapat dibagi.
Artinya, apabila satu barang dikonsumsi oleh seorang, maka orang lain tidak mungkin mengonsumsi
barang tersebut dalam waktu yang sama. Sebagai contoh, penyiaran televisi final sepak bola piala dunia.
Manfaat yang diterima oleh pemina televisi tidak dipengaruhi oleh pemirsa lain yang menyetel siaran
pertandingan tersebut. Hasilnya sangat berlawanan dengan apa yang terjadi apabila mengonsumsi barang
privat seperti misalnya PC (komputer). Ketika seseorang memakai komputer, pemakaian tersebut tidak
memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memakai komputer tersebut dalam waktu yang sama.

(2) Nonexcludability. Ini berarti menolak orang lain untuk ikut menikmati manfaat dari mengonsumsi
barang tersebut. Hal tersebut tidak mungkin atau biayanya sangat tinggi (tidak layak). Sebagai contoh
untuk barang dengan ciri seperti ini adalah lintas jogging di alun-alun Renon, Denpasar. Hampir tidak
mungkin untuk membagi pemakaian lintas jogging tersebut bagi kelompok tertentu. Sebaliknya,
perhatikan sifat menolak kesempatan orang lain dari barang privat seperti hotel. Hak pemakaian kamar
dengan mudah diberikan kepada konsumen yang membayarnya, dan manfaatnya hanya dinikmati oleh
konsumen tersebut.

Meskipun sifat tidak bersaing (nonrivalness) dan tidak menolak (nonexcludability) tampaknya
sangat mirip, namun keduanya tidak persis sama. Cara membedakannya adalah sebagai berikut. Tidak
bersaing (nonrivalness) berarti pembagian barang tersebut tidak dikehendaki, sedangkan tidak menolak
(nonexcludability) berarti pembagian barang tersebut tidak layak. Satu barang mungkin saja memiliki satu
sifat dan tidak memiliki sifat lainnya. Perhatikan dengan baik masing-masing sifat dari contoh yang
diberikan di atas. Sementara penyiaran Piala Dunia Sepak Bola merupakan barang yang bersifat tidak
bersaing (nonrival), namun dapat dibuat bersifat menolak (nonexcludable) melalui siaran kabel hanya
untuk mereka yang telah membayar langganan dan meniadakan kemungkinan untuk orang lain. Demikian
juga halnya untuk lintasan jogging, sementara dia bersifat tidak menolak (nonexcludable), ia tidak
mempunyai sifat tidak bersaing (nonrivalry). Pemakaian lintasan oleh makin banyak pejalan kaki akan
menimbulkan kemacetan yang akan mempengaruhi setiap pemakai lintasan jogging tersebut. Ada dua
barang publik yang selalu dirujuk dalam literatur, yakni mercu suar (light house) dan keamanan nasional.
Layanan yang diberikan oleh kedua barang tersebut memberi manfaat yang tidak bersaing dan tidak
menolak. Contoh yang lebih baru dan relevan untuk masalah kita dalam buku ini mengenai barang publik
adalah kualitas lingkungan.

6
Seperti pada mercu suar, kota Denpasar yang lebih bersih, pantai di Bali yang lebih bersih, atau udara
yang lebih bersih mempunyai sifat tidak menolak (nonexcludable) maupun tidak dapat dibagi
(indivisible). Bayangkan ketidakmungkinan untuk membatasi manfaat dari udara yang lebih bersih untuk
satu orang saja. Sama sekali tidak terbayangkan bahwa orang lain dapat dilarang untuk menghirup udara
yang lebih bersih hanya karena seseorang telah membayarnya. Lagi pula, sekali udara dibuat lebih bersih
untuk seseorang, setiap orang lainnya dapat dalam waktu yang sama menikmati manfaat menghirup udara
yang lebih bersih tersebut. Dengan telah menerima konsep kualitas lingkungan sebagai barang publik,
kita perlu menjelaskan mengapa setiap barang publik merupakan kegagalan pasar. Untuk maksud ini kita
harus membicarakan model pasar (permintaan dan penawaran) barang publik terlebih dahulu.

 Campur Tangan Pemerintah dalam hal Barang Publik

Kekuatan pasar saja tidak dapat mencapai tingkat efisiens alokatif atau tidak mampu mencapai
kesejahteraan maksimum dalam hal barang publik. Ini merupakan alasan penting untuk membenarkan
masuknya pihak ketiga, terutama campur tangan pemerintah. Namun sampai sejauh mana pemerintah
campur tangan dalam proses pasar dan tugas apa yang diemban pemerintah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat supaya mencapai maksimum, bukanlah hal yang mudah. Teori yang mendasari
campur tangan pemerintah ini adalah dengan mengetahui masalah barang publik akan memberi petunjuk
mengenai pemecahannya. Dalam praktek, kebijakan umum yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi
dilema penumpang bebas dan preferensi yang nonrevelation, antara lain, adalah:

- Menyediakan sendiri barang publik secara langsung. Barang publik yang umum disediakan oleh
pemerintah misalnya pemadam (proteksi terhadap) kebakaran, taman nasional, jalan raya, keamanan,
penerangan di jalan, mercu suar, dan lain-lain.

- Melaksanakan dan menjaga kualitas lingkungan, misalnya dengan menyediakan pasukan baju kuning
untuk membersihkan kota.

- Mengundangkan peraturan yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan, misalnya membuat aturan
mengenai pedoman advertensi ekolabeling (yang berkaitan dengan masalah lingkungan) sehingga
advertensi dari perusahaan tidak menipu masyarakat. Secara umum dikatakan mengeluarkan petunjuk
mengenai pemasaran hijau (green marketing)-lihat Green marketing di Indonesia di internet.

- Melancarkan pendidikan dan penerangan kepada masyarakat mengenai pelestarian lingkungan,misalnya


memisahkan sampah organik dengan nonorganik,menyarankan dan memelopori penanaman sejuta
pohon,dan lain-lainnya.

7
2.3. Eksternalitas Lingkungan
Pada contoh di atas mengenai barang publik dikatakan bahwa banyak sampah dibuang secara
sembarang di pinggir jalan, di pantai dan di sungai atau secara ringkas di mana-mana, atau, singkatnya
telah terjadi masalah lingkungan di Denpasar dan di pantai di Bali. Kita tidak mempermasalahkan siapa
yang membuat kotor, dan merekalah seharusnya menanggung biaya pemulihan kelestarian kota dan
pantai. Dalam masalah eksternalitas lingkungan kita mempertanyakan siapa yang mengotorinya.

Agar lebih jelas permasalahannya, perhatikanlah contoh berikut ini. Beberapa tahun yang lalu, di
sebelah selatan kota Denpasar, yakni di desa Kepaon berdiri banyak perusahaan garmen. Perusahaan
tersebut dengan sadar membuang limbah garmennya begitu saja di sungai. Akibat dari limbah garmen
tersebut adalah bahwa sungai menjadi tercemar. Masyarakat Kepaon yang memakai sungai tersebut untuk
aktivitas mandi, cuci dan lain lainmya mengajukan keberatan. Mereka mengatakan bahwa mandi di
sungai yang telah dicemari oleh zat pewarna untuk garmen itu telah menyebabkan mereka gatal-gatal dan
kalau hal ini berlaku untuk jangka waktu yang lama, maka tidak mustahil kalau mereka akan menderita
penyakit tertentu. Demikian juga halnya dengan kesehatan ikan di sungai tersebut. Secara singkat
kelestarian sungai harus dijaga oleh kita semua termasuk pemilik perusahaan garmen.

Limbah yang dikeluarkan oleh perusahaan garmen tersebut adalah akibat eksternal dari produksi
garmen. Masyarakat menanggung beban biaya dari akibat eksternal tersebut dan perusahaan garmen tidak
memasukkannya ke dalam perhitungan biaya memproduksi garmen yang pada akhirnya diperhitungkan
dalam menentukan harga garmen. Istilah ekonominya adalah perusahaan tidak menginternalisasi biaya
eksternal yanh ditimbulkan oleh produksi garmennya. Atau telah terjadi eksternalitas,yang merupakan
bahan bahasan kita pada sisa dari bab ini.

2.3.1. Teori Eksternalitas


Eksternalitas diartikan sebagai setiap pengaruh samping dar produksiatau konsumsiyang
dirasakan oleh pihak ketiga diluar pasar. Menurut teori ekonomi mikro harga merupakan mekanisme
sinyal penting dalam proses pasar. Harga keseimbangan menunjukkan nilai marjinal yang diberikan oleh
konsumen dari pemakaian barang dan biaya marjinal yang harus ditanggung oleh perusahaan dalam
memproduksikan barang dimaksud. Dalam keadaan biasa, teori ini dapat memprediksi realitas pasar
dengan baik. Namun terdapat banyak keadaan di mana harga gagal merefleksikan semua manfaat dan
biaya yang terkait dengan transaksi pasar. Kegagalan pasar ini muncul ketika pihak ketiga dipengaruhi
oleh produksi atau konsumsi satu barang. Apabila pengaruh kepada pihak ketiga ini mengakibatkan
timbulnya biaya, maka pengaruh ini disebut eksternalitas negatif. Sedangkan pengaruh kepada pihak
ketiga yang bermanfaat disebut eksternalitas positif.

8
Eksternalitas positif dan eksternalitas negatif. Walaupun kata eksternalitas tampaknya tidak
begitu jelas maknanya, namun istilah ini sudah sangat biasa secara konseptual. Misalnya apabila seorang
membeli piringan satelit yang tidak terlihat dan memasangnya di halaman rumahnya, perbuatan tersebut
menimbulkan biaya bagi tetangganya berupa penurunan nilai rumah dan tanahnya, satu eksternalitas
negatif yang tidak dimasukkan pada harga piringan satelit. Contoh kita di atas mengenai perusahaan
garmen yang membuang limbah pewarna produksi garmennya adalah contoh lain dari satu eksternalitas
negatif. Sebaliknya apabila satu perusahaan melaksanakan penelitian yang meningkatkan proses produksi,
akan timbul manfaat bagi seluruh perusahaan pada industri terkait. Ini merupakan eksternalitas negatif
yang tidak dimasukkan pada biaya penelitian keputusan investasi. Satu perusahaan peternakan tawon
mempunyai eksternalitas positif kepada semua perkebunan tetangganya, karena tawonnya mengakibatkan
perusahaan perkebunan tetangganya mendapat hasil panen lebih. Aktivitas tawon ke perusahaan
perkebunan tetangganya tidak dimasukkan (dikurangkan) dalam harga produksi madunya.

Pada semua contoh di atas (anda dapat menambahkannya dengan mencari contoh sendiri), bahwa
pengaruh samping yang terjadi di luar transaksi pasar tidak direfleksikan pada harga barang yang
diperdagangkan. Apabila harga tidak merefleksikan semua manfaat dan biaya yang berkaitan dengan
produksi dan konsumsi, maka harga tersebut tidak dapat dipercaya sebagai mekanisme yang memberi
sinyal, dan oleh karenanya pasar dikatakan gagal. Akibat terpenting adalah terjadi alokasi sumber daya
yang salah (misallocation of resources). Apabila konsumsi menimbulkan eksternalitas positif, harga pasar
menilai barang terlalu rendah, dan terlalu sedikit barang yang diproduksi. Apabila terjadi eksternalitas
negatif, harga pasar tidak merefleksikan baya eksternal, dan terlalu banyak barang yang diproduksi. Satu
contoh khas mengenai eksternalitas negatif yang timbul di hampir semua kota besar (termasuk Denpasar)
di mana makin banyak perusahaan mempraktekkan jasa antaran sehingga mengakibatkan kemacetan
terjadi di mana-mana, dan biaya tambahan yang diakibatkannya tidak dimasukkan pada harga barang
antarannya. Hal ini dikenal dengan efek samping dari pemakaian prinsip manajemen just in time (JIT).

Eksternalitas Lingkungan. Eksternalitas yang terjadi pada produksi garmen di desa Kepaon
(Selatan Denpasar) adalah eksternalitas yang merusak sumber daya air (sungai) persediaan air dan
kualitas hidup. Ini adalah kasus klasik yang berkaitan dengan proses produksi. Contoh lain adalah
transportasi udara yang menimbulkan polusi udara, merusak kualitas udara, dan menurunkan nilai
kekayaan penduduk di sekitarnya. Ia merupakan biaya riil dan tidak tercakup dalam biaya perusahaan
garmen atau perusahaan penerbangan untuk kasus yang kedua. Oleh karena biaya ini ditanggung oleh
pihak yang berada di luar transaksi pasar, maka ia tidak dimasukkan dalam perhitungan biaya garmen dan
harga tiket pesawat.

9
Di samping eksternalitas lingkungan yang berkaitan dengan produksi ada juga eksternalitas
lingkungan yang berkaitan dengan konsumsi. Misalnya, perusahaan sabun Lux menjual hasil produksinya
yang berupa sabun mandi yang, sebagaimana anda ketahui, dibungkus. Pembungkus sabun Lux itu
dibuang oleh konsumen dan mengotori lingkungan. Ia adalah eksternalitas lingkungan yang berkaitan
dengan konsumsi.

Contoh mengenai pesawat udara, perusahaan garmen dan perusahaan sabun Lux di atas adalah
eksternalitas negatif. Perlu diketahui bahwa ada juga eksternalitas positif yang membantu menjelaskan
mengapa masalah lingkungan tetap ada. Satu contoh adalah pasar peralatan untuk mengurangi polusi
udara, namanya scrubber. Scrubber adalah sistem yang canggih untuk membersihkan udara dari cerobong
asap produsen. Bila seorang produsen, misalnya, membeli dan memasang scrubber, manfaat dari udara
lebih bersih dinikmati oleh seluruh penduduk sekitarnya. Oleh karena mereka bukanlah yang ikut serta
dalam transaksi pasar, maka manfaat eksternal tidak diperhitungkan dalam sistem penentuan harga
scrubber. Sumber daya dialokasikan dengan salah dan terlalu sedikit scrubber yang diperjualbelikan di
pasar.

Eksternalitas lingkungan adalah sesuatu yang mempengaruhi semua media lingkungan-udara, air,
dan tanah-yang kesemuanya mempunyai sifat sebagai barang publik. Artinya adalah bahwa walaupun
barang publik seperti yang dibicarakan sebelumnya dan eksternalitas lingkungan bukan merupakan
konsep yang sama, keduanya sangat terkait satu sama lainnya. Kenyataannya, apabila eksternalitas
mempengaruhi sebagian besar masyarakat dan apabila pengaruhnya bersifat nonrival dan nonexcludable,
maka eksternalitas itu adalah barang publik. Contoh yang dipakai sebelumnya adalah kota Denpasar yang
penuh dengan sampah hasil produksi dan konsumsi, dan pantai di Bali yang kotor. Namun, apabila
pengaruh eksternal dirasakan hanya oleh sebagian kecil kelompok individu atau perusahaan, maka
pengaruh tersebut lebih tepat disebut sebagai satu eksternalitas. Contoh perusahaan garmen yang
membuang limbah pewarnanya di sungai. Jadi, sebagai ganti dari perumusan pasar kualitas lingkungan
atau pengurangan polusi (SO2) sebagaimana dibicarakan sebelumnya, sekarang ini pendekatan kita
memakai pasar barang yang relevan, yakni garmen, di mana produksinya menyebabkan kerusakan
lingkungan di luar transaksi pasar.

2.3.2 Memodel Kerusakan Lingkungan Sebagai Eksternalitas Negatif


Dengan telah dibahasnya konsep dasar eksternalitas, marilah kita sekarang membuat model
formal untuk eksternalitas lingkungan yang bersifat negatif. Kita akan memakai contoh kasus desa
Kepaon di mana banyak perusahaan garmen berdiri dan membuang limbah produksinya ke sungai.

10
Eksternalitas ini berkaitan dengan produksi dan eksternalitas semacam ini membahas sumber dari
kebanyakan polusi lingkungan.

Langkah awal dari setiap model ekonomi adalah menentukan pasar yang relevan. Dalam hal ini
kita memilih pasar produk garmen. Usaha garmen sangat maju di Bali dan ia merupakan salah satu
sumber industri yang mencemari sumber persediaan air (sungai) melalui pembuangan langsung bahan
kimia (beracun) ke sungai. Biaya eksternal yang ditimbulkan limbah ini antara lain risiko kesehatan bagi
ikan dan juga bagi pemakai sungai.

Selanjutnya kita mengikuti prosedur pembicaraan pada Bab 2 dengan mengumpamakan bahwa
pasar privat untuk garmen adalah pasar persaingan. Persamaan penawaran dan permintaan pasar hipotetis
untuk garmen adalah:

Penawaran Pasar: P-10,0 0,075 Q

Permintaan Pasar: P-42,0 0,0125 Q

di mana Q dinyatakan dalam ton per hari dan P adalah harga per ton garmen dalam jutaan rupiah. Perlu
diingat bahwa penawaran menunjukkan biaya marjinal produksi dan permintaan menunjukkan manfaat
marjinal konsumsi. Keduanya merupakan masalah pengambilan keputusan privat atau internal. Di pasar
seperti ini di mana timbul juga biaya eksternal produksi (limbah zat pewarna kain garmen), makaa sangt
perlu untuk membedakan dengan tegas biaya internal atau privat dari biaya eksternal. Jadi secara tegas
menyatakan fungsi penawaran seperti tertulis di atas sebagai fungsi produksi marjinal privat (MPC =
marginal private cost). Untuk konsistensi, kita juga menyebut fungsi permintaan di atas sebagai fungsi
manfaat marjinal privat ( MPB = marginal private benefit). Kita mengumpamakan tidak ada manfaat
eksternal yang disebabkan oleh produksi ataupun konsumsi garmen. Dengan demikian kedua fungsi di
atas dapat ditulis kembali sebagai:

MPC: P =10,0+0,075Q

MPB: P= 42 + 0 ,125Q

11
Keseimbangan Kompetitif Tidak Efisien. Dengan mengingat asumsi umum yang melandasi
motivasi penawaran dan permintaan adalah MPB = MPC, atau M*pi atau (MPB - MPC) = 0 Dengan
menyelesaikan dua persamaan di atas secara simultan maka diperoleh harga keseimbangan pasar
persaingan, Pc, Rp22 per ton dan jumlah Qc = 160.000 ton. Penyajian secara grafis diberikan pada Peraga
3.4, di mana keseimbangan terjadi pada perpotongan antara kurva MPB dan MPC.

Tingkat keseimbangan ini tidak mempertimbangkan biaya eksternal yang ditanggung oleh
masyarakat karena produksi garmen mengakibatkan air sungai tercemar. Ingat bahwa kekuatan pasar
yang alami memotivasi perusahaan untuk memenuhi keinginannya, bukan untuk memenuhi keinginan
masyarakat. Biaya pencemaran air sungai berada di luar pasar dan oleh karenanya tidak dipertimbangkan
dalam pengambilan keputusan pasar. Ini berimplikasi serius karena efisiensi alokatif mensyaratkan
manfaat marjinal sama dengan semua biaya produksi marjinal. Selama biaya eksternal tidak dimasukkan
dalam pengambilan keputusan privat, maka MPC lebih rendah dari biaya oportunitas produksi, dan
jumlah output yang diproduksikan menjadi terlalu banyak.

Dari perspektif praktis, para ekonom ingin menentukan dan menghargai biaya eksternal ini dalam
ukuran moneter. Namun menentukan nilai moneter dari eksternalitas negatif tidaklah mudah.
Bayangkanlah usaha untuk memberi harga dalam bentuk uang terhadap kerusakan kehidupan ikan dalam
air sungai yang tercemar atau meningkatnya risiko kesehatan dari mandi/berenang di sungai yang
tercemar. Walaupun ada metode untuk menaksir biaya ini, cara tersebut tidaklah mudah. Untuk keperluan
kita sekarang ini, kita cukup mengatakan bahwa biaya itu muncul dan diumpamakan dapat di kuantifikasi.

Memodel Biaya eksternal. Untuk melengkapi pembicaraan kita mengenai pasar garmen di Bali,
kita akan membuat model untuk fungsi biaya eksternal marjinal (MEC marginal external cost) yang
diumpamakan seperti berikut:

MEC= 0,05 Q.

12
Arti ekonomis dari persamaan ini adalah bahwa MEC yang disebabkan oleh pencemaran air
sungai meningkat dengan kecepatan tetap sebesar 0,05 dari produksi garmen. Oleh karena Q diukur
dalam ribuan ton, ini berarti bahwa setiap ada tambahan seribu fon produksi garmen, biaya eksternal
marjinal dari pencemaran meningkat dengan Rp0,5 juta per ton produksi garmen.

Biaya Sosial Marjinal dan Manfaat Sosial marjinal. Untuk mencapai efisiensi alokatif, biaya
eksternal harus diperhitungkan dalam penentuan harga dan jumlah keseimbangan. Caranya adalah dengan
jalan menjumlahkan MEC pada MPC untuk memperoleh biaya sosial marjinal (MSC= marginal social
cost), atau ditulis dalam persamaan berikut:

MSC = MPC+ MEC

= 10,0 +0,075 Q +0,05 Q

= 10,0 +0,125 Q.

MSC ini relevan dengan keputusan produksi, karena ia meliputi seluruh biaya dalam
memproduksi garmen, yakni meliputi biaya produksi privat dan biaya eksternal karena kerusakan
lingkungan yang ditanggung oleh masyarakat. Hal yang serupa pada sisi permintaan adalah manfaat
sosial marjinal (MSB = marginal social benefit), yang merupakan penjumlahan dari MPB dan manfaat
eksternal marjinal (MEB = marginal external benefit). Namun kita telah mengumpamakan bahwa tidak
ada eksternalitas positif yang dihasilkan oleh perusahaan garmen, sehingga MEB = 0 dan MSB =MPB.

Keseimbangan sosial. Langkah selanjutnya adalah menyamakan fungsi MSB dengan MSC,
sehingga diperoleh harga dan jumlah keseimbangan sosial. Keseimbangan sosial ini adalah keseimbangan
yang efisien. Dengan memecahkan kedua fungsi itu secara simultan maka kita akan memperoleh tingkat
produksi garmen yang efisien sebesar 128 000 ton per hari (ditulis Q e, 128 000 ton) yang dijual pada
harga pasar Rp26 juta per ton (ditulis P e= Rp26). Jadi sekarang kita mempunyai keseimbangan
persaingan, yakni Pc = Rp22 dan Qc = 160.000 ton, dan keseimbangan sosial (efisien), yakni P e = Rp26
dan Qe=128.000 ton. Kedua keseimbangan ini disajikan dalam satu diagram pada Peraga 3.5.

Sebagaimana dikatakan bahwa keseimbangan persaingan dalam keadaan adanya eksternalitas


negatif akan selalu mengakibatkan alokasi sumber yang berlebihan pada produksi. Lagi pula, harga pasar
persaingan adalah terlalu rendah, oleh karena MEC tidak dimasukkan dalam transaksi pasar. Oleh karena
pada Peraga 3.5 biaya digambarkan pada sumbu vertikal, secara geometri, kurva MSC diperoleh melalui
penjumlahan vertikal kurva MEC dan kurva MPC. Perpotongan kurva MSC dengan MSB menghasilkan
keseimbangan yang efisien pada Pe= Rp26 dan Qe= 128.000 ton produksi garmen.

13
Grafik pada Peraga 3.4 juga menunjukkan keseimbangan persaingan pada P c = Rp22 dan Qc =160.000 ton
produksi garmen, yang merupakan titik potong antara kurva MPC dan kurva MPB. Perhatikan bahwa
pada Qc kurva MSB berada di bawah kurva MSC. Ini berarti bahwa masyarakat mengorbankan terlalu
banyak sumber daya untuk memproduksi produk garmen dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh
dari konsumsi produk garmen tersebut. Untuk memulihkan agar MSB = MSC, yang berarti dicapai
efisiensi alokatif, produksi harus diturunkan menjadi 128.000 ton.

Cara lain untuk memperoleh kedua keseimbangan tersebut adalah dengan melalui laba marjinal
(Mл). Pada keseimbangan persaingan, kita tahu bahwa Mл= 0, karena tingkat ini ditentukan pada MPB =
MPC, sedangkan tingkat keseimbangan yang efisien ditetapkan pada MSB = MSC, yang dapat juga
ditulis sebagai MSB = MSC = 0, atau ekuivalen dengan MPB =MPC = MEC. Jadi dapat disimpulkan
bahwa pada tingkat keseimbangan efisien, Mл = MEC. Cara mencarinya adalah sebagai berikut:

Keseimbangan persaingan terjadi MPB = MPC

MPB-MPC-0 Mπ=0

Keseimbangan efisien terjadi MSB = MSC

MPB+MEB = MPC + MEC

MPB-MPC = MEC

(karena MEB = 0)

Mπ = MEC.

14
Interpretasi dari temuan bahwa Mπ= MEC adalah sebagai berikut. Dalam keadaan di mana
terdapat eksternalitas negatif, efisiensi mensyaratkan bahwa perusahaan menentukan tingkat produksinya
sedemikian rupa sehingga harga dapat menutupi tidak hanya tambahan biaya privat tetapi juga tambahan
biaya eksternal. Dalam kasus kita mengenai pabrik garmen, biaya eksternal adalah kerusakan lingkungan
(pencemaran air sungai), dan biaya ini harus diperhitungkan oleh produsen garmen dalam keputusannya.

Satu hal penting dari penjelasan di atas adalah bahwa efisiensi di pasar produksi garmen dapat
ditingkatkan apabila tingkat produksi dikurangi dengan 32.000 ton per hari (yakni dari 160.000 ton
garmen per hari menjadi 128.000 ton). Penyesuaian tingkat produksi seperti ini akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Untuk menggambarkan hal ini dengan lebih jelas, kurva MPC, MSC, dan MPB
disajikan lagi pada Peraga 3.6 dengan beberapa tambahan keterangan.

Peraga 3.6 menunjukkan pengaruh kesejahteraan secara terpisah terhadap perusahaan garmen dan
terhadap masyarakat dengan adanya pengurangan tingkat produksi menjadi 128.000 ton dari 160.000 ton
per hari. Dari sudut perusahaan garmen telah terjadi penurunan keuntungan, mereka kehilangan
keuntungan sebesar kelebihan MPB di atas MPC per unit produksi dari 160.000 ton menjadi hanya
128.000 ton, atau ditunjukkan oleh luas segi tiga wyz. Namun dari sudut masyarakat luas, telah terjadi
keuntungan yang disebabkan oleh penurunan MEC karena berkurangnya tingkat produksi. Penurunan
biaya eksternal ini disebabkan oleh karena kerusakan yang lebih kecil pada kesehatan dan ekologi sungai
Secara geometri keuntungan bagi masyarakat luas ini ditunjukkan oleh luas daerah wxyz. Jadi masih
terjadi keuntungan neto bagi masyarakat sebesar luas daerah wxy sebagai akibat dari pemulihan efisiensi.

15
Sebagai kesimpulan, apabila produksi satu barang menimbulkan eksternalitas negatif, pasar akan
memberikan solusi yang tidak efisien dengan terlalu banyak sumber daya yang dikorbankan untuk
berproduksi. Apabila eksternalitas itu dapat diperhitungkan ke dalam pasar, masyarakat masih untung.
Masalah operasionalnya adalah bagaimana memperhitungkan eksternalitas tersebut sehingga efisiensi
dapat dipulihkan.

Analisis Kegagalan Pasar. Sangat penting memahami mengapa perusahaan tidak mau
memperhitungkan biaya eksternal pada proses pasar. Perusahaan garmen mempunyai motivasi untuk
mengejar keuntungan privat, bukan keuntungan sosial. Walaupun perusahaan garmen sadar akan akibat
pencemaran sungai dari produksinya, tidak ada dorongan (keinginan) untuk menanggulangi biaya ini.
Karena kalau biayanya mereka tanggung, keuntungannya menurun. Ini seolah-olah perusahaan
menanggung biaya tadi untuk kepentingan masyarakat. Sama sekali tidak ada insentif pasar bagi
perusahaan yang rasional untuk menanggung biaya yang lebih tinggi dari yang seharusnya, meskipun
untuk kepentingan masyarakat. Kalau kita mengharapkan agar perusahaan garmen berlaku sebaliknya, ini
berarti kita menyalahi sendi dasar proses pasar dan sistem persaingan bebas.

Kenyataan yang demikian ini seharusnya tidak menghalangi usaha masyarakat untuk
memecahkan maslah kerusakan lingkungan. Model kegagalan pasar malah memberikan pengertian yang
lebih baik mengapa kita selalu menjumpai kerusakan lingkungan yang semakin parah sementara produksi
barang industri makin intensif di seluruh dunia. Teori juga memberikan penjelasan munculnya masalah
lingkungan yang terus menerus dan perlunya pengaturan pemerintah ketika timbul masalah lingkungan.
Memilih solusi kebijakan yang tepat tidaklah mudah, namun prosesnya didukung oleh pengertian
bagaimana dan mengapa terjadi kegagalan pasar. Kalau kita cermati masalah sumber daya alam, barang
publik maupun model eksternalitas negatif yang telah kita bahas di depan, satu elemen bersama yang
penting akan membawa kita kepada sumber dari segala sumber permasalahan ESDA&L, adalah ketiadaan
hak milik yang tegar (the absense of property rights).

2.4 Teori Coase


Pemberian hak milik yang disampaikan oleh Coase dan relevansinya pada masalah eksternalitas
begitu menonjol sampai akhirnya dikenal sebagai Teori Coase. Teori ini menyatakan bahwa pemberian
hak milik yang tepat terhadap satu barang, meskipun ada eksternalitas, akan menimbulkan tawar menawar
antara pihak pihak yang terkait sedemikian rupa sehingga dapat dicapai solusi yang efisien, tanpa
memandang kepada pihak mana hak tersebut diberikan, kepada produsen atau konsumen.

16
Untuk memberikan ilustrasi mengenai Teori Coase, marilah kita kembali pada model pasar produksi
garmen di Kepaon untuk melihat bagaimana pemberian hak milik dan tawar menawar dapat memulihkan
efisiensi. Untuk menerapkan teori ini kita mengumpamakan (untuk lebih sederhananya) bahwa hanya ada
satu produsen garmen dan pencemaran air sungai bisa di kuantifikasi Dengan asumsi tersebut kita
menguji hasil yang dicapai dengan mempelajari hasil dari dua kasus pemberian hak milik terhadap satu
sungai tertentu. Kasus pertama yang akan dipelajari adalah hak milik atas sungai diberikan kepada
perusahaan garmen untuk mencemar limbah kimia pewarna kain ke sungai dan kasus ke dua hak milik
diberikan kepada individu/ masyarakat Kepaon untuk keperluan mandi, mengail ikan dan rekreasi.

Hak Milik diberikan kepada Perusahaan Garmen. Pembicaraan dimulai dengan


mengumpamakan bahwa hak milik diberikan kepada perusahaan garmen. Ini berarti bahwa perusahaan
garmen mempunyai "hak mencemar" sungai sebagai bagian dari proses produksinya. Walaupun
pemberian hak ini tampaknya tidak wajar, namun berdasarkan teori Coase hal ini sama sekali tidak
mempengaruhi hasil yang dicapai. Lagi pula, percobaan semacam ini hanya untuk melihat kebenaran teori
itu.

Ingat bahwa perusahaan garmen ingin berproduksi sampai pada tingkat yang memaksimumkan
laba. Tujuan itu sendiri bukanlah tujuan yang tidak bisa diterima dalam sistem pasar persaingan.
Pencemaran terhadap air sungai yang dilakukannya merupakan hasil samping yang mereka sendiri tidak
menghendakinya. Walaupun demikian masyarakat Kepaon merasa dirugikan oleh pencemaran sungai
tersebut, atau lebih formalnya, nilai utilitas (nilai guna) pemakai sungai dipengaruhi secara negatif.
Dengan mengetahui bahwa perusahaan garmen mempunyai hak mencemar sungai dan tujuan masyarakat
Kepaon yang memakai sungai ingin memaksimumkan utilitasnya, maka mereka mempunyai insentif
untuk mengadakan negosiasi. Setiap satu unit pengurangan jumlah garmen yang dihasilkan, mereka
bersedia membayar kepada perusahaan garmen untuk mengurangi pencemarannya sampai sebesar yang
sama dengan nilai penurunan utilitasnya. Perusahaan garmen, di lain pihak, akan bersedia menerima
pembayaran untuk mengurangi pencemarannya dari masyarakat Kepaon asalkan pembayaran tersebut
lebih besar dari berkurangnya keuntungan karena mengurangi produksi.

Kondisi negosiasi lebih mudah dimengerti melalui Peraga 3.7, yang merupakan replikasi dari
model eksternalitas negatif pada Peraga 3.6. Seperti sebelumnya, Q, adalah tingkat keseimbangan
persaingan yang memaksimumkan laba (MPC MPB), dan Q = adalah keseimbangan yang efisien (MSC =
MSB). Tawar menawar mulai dari keadaan Q, karena titik ini yang akan dipilih oleh pemegang hak milik
(perusahaan garmen). Posisi tawar menawar masing-masing pihak diberikan di bawah ini dalam konteks
kurva biaya dan manfaat yang disajikan dalam diagram.

17
Perhatikan bahwa nilai (MSC-MPC) yang diukur secara vertikal tidak lain dari MEC, yakni nilai
dari kerusakan marjinal yang ditanggung oleh masyarakat Kepaon untuk setiap tambahan produksi yang
dilakukan oleh pabrik garmen. Jarak vertikal sebesar (MPB-MPC) adalah Mл yang diterima perusahaan
garmen untuk setiap unit tambahan produksi. Secara teoritis, tawar menawar antara kedua pihak akan
berlanjut selama pembayaran lebih besar dari pengorbanan keuntungan perusahaan garmen, namun lebih
kecil dari kerusakan yang menimpa masyarakat Kepaon yang memakai sungai. Dalam kasus ini,
pembayaran sebesar p, akan dapat diterima oleh kedua pihak selama memenuhi kondisi berikut:

(MSC-MPC)>p> (MPB-MPC) atau MEC > p > Mл

Carilah jarak vertikal tersebut pada Peraga 3.6. Ingat bahwa pada keseimbangan persaingan, Q c,
besar keuntungan Mn adalah nol, atau (MPB-MPC)=0. Di lain pihak, nilai MEC pada Q c, adalah positif,
atau (MSB-MPC)>0, yang ditunjukkan oleh jarak xy. Jadi tawar menawar di antara kedua pihak masih
mungkin pada tingkat keseimbangan persaingan, oleh karena MEC > Mл pada Q c. Lagi pula, oleh karena
kondisi ini masih berlaku untuk setiap perubahan tingkat produksi dari Qc, sampai Q é, maka tawar
menawar terus berlangsung sampai mencapai titik Q é. Alasannya? Karena pada titik Qé (MSC-MPC)
persis sama dengan (MPB - MPC) atau MEC= Mn, yang diukur dengan jarak wz.

18
Pengurangan produksi garmen setelah titik itu akan mengurangi keuntungan perusahaan garmen dengan
jumlah yang lebih besar dari jumlah kesanggupan membayar masyarakat Kepaon, atau Mπ > MEC,
sehingga tidak terjadi tawar menawar lebih lanjut. Ini adalah hasil yang mengagumkan. Dengan asumsi
yang dipergunakan dalam Model Coase, pemberian hak milik pada perusahaan garmen memberikan hasil
yang efisien tanpa campur tangan pihak lain (pemerintah).

Hak Milik Diberikan kepada Masyarakat Kepaon. Sekarang perhatikan model di mana hak
milik diberikan kepada masyarakat Kepaon, pemakai sungai. Berdasarkan teori Coase, penyelesaian yang
efisien akan tercapai tanpa memandang kepada siapa hak miik itu diberikan. Jadi kita berharap
mendapatkan penyelesaian yang sama seperti sebelumnya. Tetapi titik awal tawar menawar berbeda.
Apabila masyarakat Kepaon yang memegang hak atas sungai, secara teknis perusahaan garmen sama
sekali tidak dapat berproduksi kecuali dia membayar (membeli) hak mencemar. Jadi tawar menawar
mulai pada titik Q=0.

Pemakai sungai (masyarakat Kepaon) mempunyai hak atas sungai bersih, bukan hak untuk
melarang perusahaan garmen untuk berproduksi, dengan tujuan untuk memaksimumkan utilitasnya.
Namun demikian, tujuan mencapai keuntungan maksimum dari perusahaan garmen terhalangi. Mereka
akan mempunyai motivasi berbasis pasar untuk mulai memberikan penawaran kepada masyarakat
Kepaon agar mereka mau menerima pembayaran atas haknya terhadap sungai. Kondisi tawar menawar
sama seperti kasus sebelumnya, kecuali bahwa sekarang ini perusahaan garmen yang mengajukan
penawaran dan masyarakat Kepaon dalam posisi "penerima" tawaran.

Kembali ke Peraga 3.6 dan pikirkan posisi relatif kedua belah pihak pada Q=0. Setiap perubahan
satu unit produksi, perusahaan garmen bersedia membayar hak polusi (yang berarti hak untuk
berproduksi) sampai sejumlah yang sama dengan Mn akibat berproduksi, yang diukur dari jarak vertikal
antara MPB dan MPC. Masyarakat Kepaon akan bersedia mengurangi hak mereka akan air bersih hanya
kalau mereka dibayar lebih tinggi dari kerusakan yang ditanggung sebagai akibat pencemaran sungai.
Kerusakan ini adalah sebesar MEC, yang diukur dengan jarak antara MSC dan MPC. Jadi posisi tawar
menawar masing-masing pihak adalah:

19
Perusahaan Garmen: Mengusulkan pembayaran, p,

asalkan p < (MPB-MPC)

Masyarakat Kepaon: Bersedia menerima pembayaran, p,

asal p> (MSB - MPC)

Jadi tawar menawar mungkin berlangsung asalkan syarat berikut terpenuhi:

(MPB-MPC) > p > (MSC - MPC), atau

Mπ > р > MEС.

Model pada Peraga 3.6 menunjukkan bahwa syarat ini terpenuhi pada Q = 0 dan terus terpenuhi
untuk setiap tingkat produksi sampai Qe. Pada Qe tawar menawar terhenti, karena pada tingkat produksi
tersebut (MPB - MPC) persis sama dengan (MSC - MPC), atau Mл= MEC, yang ditunjukkan oleh jarak
wz. Di atas Qe kerusakan marjinal karena peningkatan produksi garmen lebih besar dari keuntungan
marjinal yang diterima perusahaan garmen, atau MEC> Mл, dan tawar menawar berhenti. Jadi pemberian
hak milik, yang kali ini kepada masyarakat Kepaon, memberikan solusi yang efisien tanpa campur tangan
pihak ketiga (pemerintah).

Keterbatasan Teori Coase. Sebagaimana dibicarakan di atas, teori Coase menawarkan


penyelesaian yang sangat manjur dan menekankan arti penting hak milik pada proses pasar, tanpa
memandang kepada siapa hak tersebut diberikan. Apabila hak milik diberikan kepada perusahaan garmen,
tawar menawar mulai pada Qc berlanjut sampai ke Qe. Hal ini disebabkan oleh karena pada semua
tingkat produksi di antara dua titik tersebut, pembayaran p memenuhi syarat MEC>p> 0, yang dapat
diterima oleh dua belah pihak. Apabila masyarakat Kepaon yang diberi hak milik, maka tawar menawar
akan mulai pada tingkat Q = 0 dan berlanjut sampai ke Qe. Ini disebabkan oleh karena pada semua tingkat
produksi di antara dua titik tersebut pembayaran p memenuhi syarat Mл>p> MEC, yang dapat diterima
oleh kedua pihak.

Namun seperti telah dibicarakan di atas, solusi yang efisien yang ditawarkan oleh model ini
tergantung dari terpenuhinya dua asumsi, yakni tidak ada biaya transaksi dan kerusakan dapat diketahui
dan terukur. Jadi agar teori ini dapat diterapkan dalam praktek, kasusnya haruslah hanya menyangkut
sedikit individu pada salah satu sisi pasar.

20
Kenyataan pada pasar garmen, kalau tidak dapat dikatakan pada sebagian besar pasar, selalu
terdapat banyak pihak pada kedua sisi pasar. Dalam keadaan ini akan selalu terjadi biaya yang tidak
sedikit berkaitan dengan usaha untuk mencapai kesepakatan di masing-masing pihak mengenai kondisi
tawar menawar bahkan sebelum negosiasi dimulai. Pasti diperlukan penasihat hukum yang sekali lagi
akan meningkatkan biaya transaksi. Akhirnya terdapatmasalah yang sangat sulit dalam mengidentifikasi
sumber kerusakan dan penilaian kerusakan tersebut. Makin banyak pihak yang terkait, masalahnya akan
menjadi jauh lebih sulit.

2.5 Intervensi Pemerintah dalam hal Adanya Eksternalitas


Dari perspektif ekonomi, solusi umum terhadap eksternalitas, termasuk yang mempengaruhi
lingkungan, adalah menginternalisasi eksternalitas - memaksa peserta pasar untuk menanggung beban
biaya eksternal atau menikmati manfaat eksternal. Salah satu cara melaksanakannya adalah melalui
pemberian hak milik. Dalam contoh kita, ketika perusahaan garmen diberikan hak mencemar, masyarakat
Kepaon melakukan internalisasi eksternalitas dengan cara menawarkan satu pembayaran. Sebaliknya,
ketika masyarakat Kepaon yang diberi hak atas air sungai yang bersih, maka perusahaan garmen
menginternalisasi biaya eksternal dengan cara menawarkan pembayaran atas hak mencemar. Namun,
sangat susah membayangkan bagaimana hak ini dapat diberikan. Dalam praktek, pemerintah yang
menentukannya dan menerapkan berbagai aturan atas hak milik tersebut untuk kepentingan masyarakat
luas.

Pendekatan lain untuk menginternalisasikan eksternalitas lingkungan adalah dengan kebijakan


mengubah harga efektif dari produksi sebesar nilai yang sama dengan biaya atau manfaat eksternal yang
diakibatkannya. Pada contoh kita, harga garmen per ton dapat dipaksa naik dengan nilai MEC, mungkin
dengan mengenakan pajak. Kebijakan yang lebih baru mengenai internalisasi eksternalitas lingkungan
adalah dengan menciptakan pasar dan harga pencemar. Pendekatan ini semuanya berakar dari teori
kegagalan pasar.

21
BAB III

KESIMPULAN

Dari perspektif ekonomi praktis, masalah sumber daya alam dan lingkungan dijelaskan karena
adanya kegagalan pasar. Penguasaan akan sumber daya alam oleh pemerintah dan masalah polusi yang
ditimbulkannya akan menciptakan keadaan yang menghalangi bekerjanya sistem pasar secara alami.
Akibatnya adalah alokasi sumber daya alam yang salah dan menurunnya kesejahteraan masyarakat.
Campur tangan pihak pemerintah diperlukan untuk mengoreksi kegagalan pasar dan mencapai
keseimbangan yang efisien. Dalam hal sumber daya alam yang mana di Indonesia dikuasai oleh negara,
pemerintah bisa mengontrakkan pengelolaannya kepada swasta dan menerapkan kebijakan ongkos rata-
rata (average cost) produksi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah dapat
mempengaruhi pasar dalam hal masalah lingkungan dianggap sebagai barang publik. Campur tangan
pemerintah dapat berbagai bentuk dari menyediakan langsung barang publik, mengatur pengelolaannya
sampai memberikan pendidikan secara berkelanjutan mengenai masalah pelestarian lingkungan.

Apabila kualitas lingkungan dianggap sebagai eksternalitas negatif maka juga timbul keadaan
yang menghalangi bekerjanya sistem pasar secara alami. Sumber dari masalah ini adalah tidak adanya hak
milik. Oleh karena tidak ada orang yang memiliki udara lepas, air tanah, dll tidak akan ada dorongan
pasar untuk membayar hak melindungi sumber daya ini atau hak untuk mencemarnya. Campur tangan
pemerintah diperlukan untuk mengoreksi kegagalan pasar dan mencapai keseimbangan yang efisien.

Namun seberapa kuat seharusnya pemerintah mempengaruhi pasar? Dan bagaimana seharusnya
pemerintah menangani tugas berat dalam mengembangkan kebijakan untuk mendapatkan solusi yang
efektif? Walaupun model kegagalan pasar memberikan petunjuk mengenai pendekatan yang harus
dijalankan, masih banyak masalah praktis yang belum terpecahkan. Dalam teori, kita dapat mengetahui
bahwa nilai satu eksternalitas lingkungan harus diinternalisasikan sedemikian rupa untuk mencapai solusi
yang efisien. Namun bagaimana hal ini dikerjakan dalam praktek dan apakah ini merupakan solusi yang
praktis masih merupakan masalah yang belum mendapatkan pemecahan yang memuaskan.

22
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

I Ketut Nehen. (2017). Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Denpasar-Bali: Udayana
University Press.

Yuniarti, Dini. (2019). Eksternalitas Lingkungan. Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, 1 (15),
1-2. https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=teori+eksternalitas&oq=#d=gs_qabs&t=1662269136599&u=%23p
%3DOdvj4Jfr5JcJ

23

Anda mungkin juga menyukai