Anda di halaman 1dari 24

BAB 4

PROTEKSI-TARIF-GENERALOZED SYSTEM OF PREFERENCE-COUNTER


TRADE DAN BARTER

Proteksi adalah upaya pemerintah mengadakan perlindungan pada


industriindustri domestik terhadap masuknya barang impor dalam jangka waktu
tertentu. Proteksi bertujuan melindungi, membesarkan atau mengecilkan kelangsungan
industri dalam negeri yang berlaku dalam perdagangan umum. Tindakan tersebut
merupakan aktivitas yang dapat dibenarkan, bahwa tidak masuk akal untuk mengimpor
barang yang dapat dibuat di dalam negeri. Apakah hal itu merupakan penolakan secara
halus atau ada kualifikasi khusus untuk perdagangan bebas, seperti yang disarankan
dalam model yang dikupas pada bab sebelumnya. Bab ini dimaksudkan untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Di samping itu, dibahas pula mengenai generalized system of preferences (GSP)
dan pola perdagangan dengan counter trade dan barter.

1. SEJARAH PROTEKSI
Prof. Paul Kennedy dalam bukunya The Rise and Fall of The Great Powers
(1987) mengemukakan bahwa hingga abad XV dunia hany mengenal kekuatan regional
yang tumbuh secara alami diberbagai penjuru bumi sejak zaman kuno.
Kennedy menguraikan bahwa setelah Columbus mendarat di benua Arnerika dan
Spanyol menjarah harta karun peninggalan imperium India, Inca, Maya dan Aztec,
maka Spanyol menjadi negara terkaya secara finansial. Masuknya barangbarang dan
Amerika Selatan itu, menjadikan aktivitas produksi dalam negeri lamban dan tidak
produktif, bahkan menjadikan innasi dan kemalasan serta kemanjaan rakyat Spanyol.
Dalam kasus Indonesia, hadirnya Belanda yang berhasil memaksa traktat-traktat
perjanjian dagang sepihak dengan penguasa lokal Nusantara. Secara populer dikatakan
Belanda menjajah Indonesia dan dan penguasaan itu, kemudian Belanda menjadi negara
paling kaya secara ekonomi finansial. Pada tahun 1700 GDP per kapita Belanda
mencapai 440 dolar AS atau 50% lebih tinggi dan Inggris 288 dolar AS. Belanda
menduduki rangking puncak negara terkaya karena memegang oktroi monopoli
perdagangan luar negeri Indonesia melalui BUMN VOC. Pada kurun waktu ini mashab
merkantiisme amat mendominasi pemikiran dan sistem ekonomi Eropa.
Pada perempat terakhir abad XVIII, Inggris mulai memasuki era Revolusi
Industri yang akan mengorbitkan negara ini menjadi satu di dunia mengalahkan Belanda
yang masih mengandalkan berdagang komoditi gaya lama. Istilah produktivitas lahir di
Prancis tahun 1776 walaupun di Inggris di temukan mesin pintal oleh Hargreave (1746)
dan Arkwrigt (1768). Mesin uap ditemukan oleh James Watt ketika George Washington
memimpin Revolusi Kemerdekaan AS dan Adam Smith (1723-1790) menulis buku
klasiknya The Wealth of Nations. Dengan industrialisasi, Inggris melesat meninggalkan
pesaing Eropa dan pada tahun 1785. Belanda digusur dan ranking puncak juara
pnoduktivitas dunia.
Lahirlah teori infant industry protection dengan subsidi, proteksi tarif dan tata
niaga yang melindungi industri muda di negara pendatang baru. Mereka perlu
melakukan proteksi terhadap yang sudah memiliki industri yang lebih maju. Aliran
historisme ini sangat populer dan dianut oleh semua negara yang menyusul
industrialisasi setelah Inggris, termasuk Prancis, AS, dan Jepang.
Proteksionisme dan konnik dagang antara pelbagai negara Eropa Barat, AS dan
Jepang itu akan memicu dua perang dunia pada paruh pertama abad XX. Setelah perang
dunia pertama, posisi Inggris sudah mulai terkejar oleh AS dan akan dikukuhkan setelah
perang dunia kedua sebagai super power politik, ekonomi, dan iniliter.
Sejarah proteksi sejak Perang Dunia II dapat diartikan sebagai berikut.
1. Terus merosotnya tarif bea masuk melalui negosiasi GATT yang berkelanjutan
(successive GATT negotiations).
2. Hambatan pada perdagangan secara konvensional yang makin menurun (licences,
kuota impor).
3. Mencuatnya non-tariff barriers.
Secara kronologis proteksi dalam perdagangan dapat dikemukakan sebagai
berikut.
1. 1920-1930 : krisis keuangan internasional dalam tahun 1929.
2. 1930-an : beggar-thy-neigh-bour protection policies yang disertai depresi besar;
anjloknya perdagangan dengan mencuatnya hambatan-hambatan.
3. 1947 : pembentukan GATT untuk melandasi aturan perdagangan
multilateral dan sebagai forum untuk negosiasi liberalisasi-
perdagangan global.
4. 1950-an : vested interests tetap berkecamuk setelah perang dunia kedua.
5. 1960-an : putaran-putaran GATT secara liberalisasi restriksi intra-Eropa yang
mengurangi proteksi, kecuali dalam sektor pertanian; tarif bea masuk
dikurangi dan mengikat; kebanyakan kuota impor ditiadakan, kecuali
untuk pertanian dan tekstil.
6. 1970-an : munculnya pressure groups kareia kelemahan kemampuan bersaing
terhadap eksportir negara-negara berkembang dan tekanan struktural
sebagai akibat ‘krisis ininyak’ mendorong mencuatnya
proteksionisme gaya barn dalam sektor manufaktur negara-negara
industri; subsidi domestik Putaran Tokyo membahas penurunan tarif
bea masuk lebih lanjut.
7. 1980-an : mencuatnya tekanan fiskal dan neraca pembayaran, khususnya di
Amerika. Adanya suatu pengalihan (switch) dan subsidi ke tindakan-
tindakan perdagangan yang tidak adil (unfair); peningkatan
pemakaian voluntary restrains; mulainya Putaran Uruguay.
8. 1990-an : diskriminasi dan pengaburan (obfuscation) merupakan senjata barn
proteksionisme.
Terdapat tiga bentuk proteksionisme gaya barn, yaitu sebagai berikut.
1. VER (voluntary export restrains) yang merupakan suatu sarana yang berada di luar
jangkauan aturan GATT. GATT mencatat sejumlah 250 VER (di luar MFA= multi
fibre agreement), yang kebanyakan ditujukan pada Asia.
2. Super 301 US Trade Act tahun 1988 yang merupakan senjata baru Amerika untuk
membalas (retaliate) terhadap berbagai negara dagang yang berlaku tak adil (againts
selected unfair trading countries) yang dijadikan sasaran Jepang, India dan Brazil.
3. Anti-dumping, suatu bentuk yang sah dan proteksi diskriminatorik, yang lebih
restrictive dalam perundangan EC. Sangat mencuat dalam tahun 1980- an: 300
kasus di ME 700 kasus di Amenika Serikat.

2. BENTUK PROTEKSI
Proteksi secara umum ditujukan sebagai tindakan untuk melindungi produksi
dalam negeri terhadap persaingan barang impor di pasaran dalam negeri. Secara luas
perlindungan ini juga mencakup untuk promosi ekspor. Sedangkan metode proteksi
yang dilakukan menyangkut sistem pungutan tarif (pajak) terhadap barang impor yang
masuk ke dalam negeri. Tarif merupakan pajak yang dikenakan atas barang impor. Pajak
atas barang impor itu biasanya tertulis dalam bentuk pernyataan Surat Keputusan (SK)
atau undang-undang. Oleh karena itu, setiap impotir dapat mempelajarinya sebelum
mengimpor suatu barang.
Umumnya pengenaan tarif atau bea masuk dikenakan secara khusus berdasarkan
prosentase dan nilai barang impor.
Beberapa bentuk proteksi yang secara garis besarnya adalah sebagai benikut.
1. Kuota
Kuota adalah hambatan kuantitatif, yang membatasi impor barang secara khusus
dehgan spesifikasi jumlah unit atau nilai total tertentu per periode waktu. Dalam
pelaksanaannya ada beberapa pengecualiaan bagi pemegang lisensi impor atau yang
mempunyai hak-hak istimewa (privileges) yang diberikan oleh pemerintah untuk
diizinkan memasukkan barang ke dalam negeri.
2. Perdagangan oleh Pemerintah (State Trading Practices)
Secara khusus, perdagangan atau kegiatan impor yang dilakukan oleh pemerintah
atau monopoli impor oleh Badan Usaha inilik Negara. Hakikatnya pemerintah
merupakan pelaku utama, hal ini merupakan pola yang sering dilakukan oleh
negara-negara komunis atau sosialis, dengan kata lain merupakan tindakan
monopoli impor. Importir mendapat kebebasan administratif untuk memasukkan
barang impor. Posisi pemerintah di sini bisa sebagai pemegang perusahaan negara
yang melakukan impor untuk memenuhi keinginan dan kepentingan nasional,
3. Kontrol Devisa (Exchange Control).
Kontrol devisa merupakan hambatan administrasi atau transaksi yang melibatkan
mata uang asing. Kontrol devisa dikenakan pada pembayaran impor di mana semua
transaksi impor harus dengan izin bank sentral terutama untuk membeli mata uang
asing untuk pembayaran impor barang-barang oleh perusahaan. Transaksi impor-
ekspor tersebut dapat dihambat melalui ketidakleluasaan izin administrasi atau
transaksi yang diberikan.
4. Larangan Impor (Import Prohibition)
Adalah bentuk hambatan langsung di mana larangan ini merupakan bentuk yang
paling ketat dan segala hambatan impor dengan melakukan larangan impor untuk
katagori barang tertentu, inisalnya untuk barang mewah atau barang terlarang
lainnya seperti obat terlarang, senjata api dan lain-lain yang membahayakan
keamanan negara.

3. HAMBATAN NONTARIF (NONTARIFFS BARRIER)


Bentuk hambatan lain yang berbeda dengan pengenaan tarif adalah hambatan
nontarif yang berarti hambatan masuk sebuah produk yang bukan disebabkan karena
adanya pengenaan tarif impor, tetapi akibat adanya pelarangan; penunjukan pada
perusahaan tertentu saja sebagai pihak yang menangani pemasaran dan pembuatan atas
satu jenis barang. Praktek nontarif merupakan tindakan kebijakan dan praktik yang
menghambat volume, komposisi, dan arah perdagangan barang atau upaya menghambat
sampainya barang ke konsumen di suatu negara. Hambatannontarif ada yang tertulis ada
yang tidak. Baik hambatan tarif maupun nontarif, keduanya dianggap sebagai hambatan
buatan atau yang dibuat sebagai imbangan hambatan alamiah yang berupa jarak, sumber
alam, dan lain-lain.
Hambatan nontarif ini merupakan hambatan birokrasi, yang merupakan bagian
dan fungsi peraturan khusus yang diumumkan secara resmi untuk barang impor disaat
pemermntah mengenakan “tarif bayangan” (Shadow tariff) pada pembelian sektor
publik. Yakni memutuskan barang yang akan di impor hanya apabila harga barang yang
akan di impor tersebut (X) lebih murah 4aripada barang yang menjadi alternatif pilihan.
Dalam kasus lain, proteksi identikdengan operasi normal yang dilakukan oleh lembaga
birokrasi.
Yang termasuk hambatan nontarif adalah sebagai berikut.
1. Customs Clearance
Merupakan bentuk clearence yang harus disetujui oleh pegawai pabean dan isian
formulir yang ada dengan barang yang di impor. Pihak pabean dapat menghambat
masuknya barang dengan mempersulit proses persetujuan dan dengan tidak
menunjukkan sikap keinginan bekerjasama. Pengisian formulir yang terlalu banyak
dan tidak berbelit-belit merupakan salah satu bentuk cara menghambat lancarnya
arus impor.
2. Customs Valuation
Penilaian atas barang yang di impor, di mana aparat bea dan cukai tidak selalu
mempercayai harga yang tercantum pada invoice. Kalau check price lebih tinggi
daripada harga pada invoice, maka aparat mempergunakan check price, sehingga
beban pajak menjadi lebih besar. Akan tetapi, kalau harga pada invoice lebih tinggi
daripada check price, harga pada invoice yang dipakai, sehingga pajak akan lebih
tinggi pula.
3. Customs Classification
Merupakan rincian kiasifikasi untuk beberapa jenis barang yang di impor. Jenis
hambatan nontarif ini sering menimbulkan peluang untuk interpretasi kiasifikasi
yang berbeda-beda dan menempatkan barang pada kiasifikasi yang lebih tinggi
daripada yang seharusnya. Sebagai akibatnya pajak yang dibayarkan akan lebih
tinggi. Praktik itu menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian.
4. Import licensing
Izin istimewa yang diberikan pada importir tertentu, meskipun jumlah kasusnya
tidak banyak, import licensing tidak memungkinkan adanya persaingan yang wajar
dan sistem kerja yang efisien.
5. Packaging and Labelling Regulations
Merupakan bentuk hambatan dalam bentuk kesempurnaan pengemasan dan
pemenuhan peraturan pengenaan tanda (label) bahwa barang yang di impor atau
yang di ekspor telah sesuai dengan standar negara pengimpor atau standar
internasional.
6. Foreign Exchange Control
Foreign exchange control adalah salah satu bentuk kontrol lalu lintas devisa bagi
setiap transaksi impor ekspor (ke dalam dan ke luar negeri).
7. Consular Formalities
Consular formalities adalah hambatan yang mengharuskan importir menunjukkan
adanya surat dan konsuler dan negara di mana barang tersebut di impor.
4. PENGARUH HAMBATAN NONTARIF
Hambatan nontarif memang tidak nampak secara jelas, namun pengaruhnya
cukup besar. Pengaruh hambatan nontarif antara lain sebagai berikut:
1. Ketibaan barang menjadi terlambat, baik di gudang maupun di terminal
penampungan lain. Keterlambatan arus barang mengakibatkan tambahan biaya yang
akan menjadi beban konsumen karena terjadi kenaikan harga barang. Kenaikan
harga tersebut juga dapat mengakibatkan kenaikan harga barang yang tidak di
impor. Sebagai contoh mobil impor yang dalam bentuk CBU (Completely Built Up)
tidak boleh di impor (sebelum adanya kebijaksanaan deregulasi industri otomotif
yang membebaskan impor mobii dalam bentuk CBU) telah mempengaruhi harga
mobil rakitan dalam negeri.
2. Keterlambatan arus barang juga memperburuk hubungan eksportir dan importir.
3. Hambatan nontarif memperburuk citra di kalangan eksportir sebagai suatu negara
yang aparatnya tidak efisien.
4. Hambatan nontarif dapat menimbulkan balas dendam negara lain. Kalau suatu
negara menghendaki ekspornya ke negara lain lancar, maka eksportir harus berbuat
yang sama agar negara lain menghilangkan kuota maupun kebijakan yang bersifat
proteksionistik, dengan mengurangi pajak impor atau membuka pasar selebar-
lebarnya, sehingga kedua negara atau negara lain berbuat sama dan saling
menguntungkan.

5. PERHITUNGAN TARIF
Misalnya tingkat tarif adalah T, dan dikenakan trhadap barang impor M. Hal ini
akan meningkatkan harga barang impor menjadi Pm. Dalam proporsi di atas di mana
harga internasional adalah Pm*, di mana diasumsikan bahwa barang M di pasar
domestik adalah kompetitif dan impor M tetap berlangsung secara lancar:

Dimana apabila tanpa dikenakan tarif, maka harga domestik sama dengan harga
internasional Pm*. Produk domestik adalah QI (ditentukan oleh kurva supply domestik)
sementara konsumsi domestik (ditentukan oleh kurva demand) adalah Q2 yang
memotong konsumsi pada Q3. Tingkat impor jatuh dan (Q4 - Qi) ke (Q3 - Q2). Tujuan
analisis ekuilibrium parsial ini seperti ditunjukkan dalam Gambar 4.la yang merupakan
alat untuk melihat adanya perubahan tarif terhadap barang tertentu, walaupun dalam
suatu keadaaan dengan asumsi ceteris paribus yang menggarisbawahi pelanggaran
analisi ekuilibrium parsial. Dalam kasus ini, di mana kebijakan pemerintah secara
umum ditekankan pada substitusi impor seperti penerapan proteksi dibandingkan
dengan penerapan kebijakan perdagangan bebas atau kebijakan promosi ekspor.
Gambar 4.la menunjukkan pengaruh kenaikan harga barang M di negara A
dalam diagram supply and demand.
Gambar 4.lb menujukkan pengaruh tarif dalam general equilibrium. di mana PA
adalah titik produksi dan konsumsi dalam autarky. Diketahui bahwa kurva indiferen
sosial yang menyentuh kurva kemungkinan produksi (KKP).
Berikutnya, kita dapat melihat pengaruh pengenaan tarif yang tidak membebani
barang impor. Mempunyai pengaruh pada harga domestik yang paralel dengan analisis
ekuilibrium.

Harga domestik negara A ditunjukkan oleh garis harga yang lebih rata daripada
TOT, tetapi lebih curam daripada harga autarki (pemerintah) seperti ditunjukkan oleh
garis harga dengan tanda panah ganda dalam Gambar 4.lb.
Harga tersebut dapat merangsang konsumsi dan pendapatan dengan slope seperti
ditunjukkan oleh Z, (P untuk proteksi, F untuk perdagangan bebas, dan A untuk autarki).

6. PENGARUH TARIF
A. Pengaruh terhadap Produksi
Seperti dapat dilihat dari dua kurva dalam Gambar 4.1, tarif meningkatkan
output barang M yang menerima proteksi. Sedangkan dalam Gambar 4.lb menunjukkan
peningkatan output barang yang diproteksi dan meningkatkan biaya yang seharusnya
dipotong dalam output barang X yang tidak diproteksi. Hal itu dapat dibenarkan
sepanjang kita membandingkan ekuiibrium dan kombinasi faktor produksi pada tingkat
full employment yang dibedakan sepanjang KKP.
Langkah berikutnya adalah mempertimbangkan apakah faktor-faktor yang tidak
nampak sebagai tanda kualifikasi yang lain dianggap sama. Pada prinsipnya, harus
ditekànkan pada semua kondisi di mana pareto optimum dapat dipegang. Sejak teori
second best yang mengatakan bahwa tingkat kepuasan dalam kondisi marjinal tidaklah
dapat memperbaiki tingkat kesejahteraan, kecuali semua kond is marjinal tersebut telah
terpenuhi dan kemudian tidak pernah terjadi adanya distorsj ekonomi. Beberapa pemikir
teori ekonorni murni, berkesimpulan bahwa setiap perubahan kebijakan, tidak akan
pernah menyelesaikan masalah, seperti keinginan dalam penerapan kebijakan
liberalisasi perdagangan. Sebagai akibatnya, beberapa ekonom terpaksa menyesuaikan
dengan perubahan keadaan yang ada sebagai akibat dan interaksi kekuatan kebijakan,
terutama dengan semakin merebaknya proses liberalisasi ekonomi.
Sebagaimana pertimbangan Teori second best, dengan alasan khusus untuk
mempercayai adanya perbedaan antara privat cost dan social cost atau keuntungan
dalam suatu kasus yang terbaik.untuk menghitung penyimpangan dan mengevaluasi
penerapan kebijakan. Kita dapat melihat dan latar belakang perkembangan
pembangunan suatu negara yang mendorong adanya penerapan proteksi, yang pada
umumnya didasarkan pada dua alasan berikut.
1) Alasan infant industri (industri yang baru tumbuh/pemula)
Dalam keadaan yang khusus, proteksi dapat memberikan keuntungan.
masyarakat secara uixtum yang diperoleh dan pengembangan produksi domestik pada
tingkat tertentu dapat melebihi keuntungan yang bersifat individu. Walaupun sering
terjadi kekeliruan interpretasi bahwa, proteksi dianggap sebagai alasan untuk
pengembangan industri yang baru berkembang atau pemula terutama dalam analisis
standar dengan memperlakukan KKP sebagai faktor eksogen. Dengan alasan bahwa
sangat sulit mengembangkan industri pemula bagi negara yang sedang berkembang,
karena dihadapkan tingginya tingkat persaingan pasar, terutama masuknya produk dari
negara industri maju yang mempersempit ruang gerak produk domestik, sehingga perlu
adanya perlindungan (proteksi) dan pemerintah dalam jangka pendek.
Bagi yang menerima kontra argumentaSi tersebut, biasanya menerima pula
alasan argumentasi industri pemula dengan beberapa penekanan sebagai berikut:
Proteksi bukan merupakan bantuan dan perlindungan secara cuma - cuma untuk
industri-industri pemula tersebut, melainkan suatu perlindungan awal bahwa jndustri
pemula diharapkan akan dapat berkembang menjadi dewasa, sehat, kompetitif dan
dalam waktu tertentu sandaran proteksi secara perlahan dan bertahap akan dihilangkan
sesuai dengan keadaan pasar.
2) Alasan strategis
Dalam beberapa hal, ada jenis-jenis industri yang diperlukan untuk kepentingan
dan keamanan nasional. Oleh karena itu, dipertimbangkan agar keuntungan sosial
(social benefit) harus lebih besar daripada keuntungan individu (individual benefit).
inisalnya, industri alat-alat pertahanan dan keamanan merupakan contoh yang jelas
(menurut konsep keuntungan sosial yang bisanya diambil sebagai jaminan oleh
pemerintah). Akan tetapi, ekonom - ekonom masih lebih melihat pada bentuk dan fungsi
sosial dibañding dengan ketakutan terhadap beban biaya yang dianggap sebagai
program pembenaran keamanan nasional. Tentunya beberapa keraguan tentang alasan
untuk industi strategis dapat dijadikan penyelidikan yang menarik untuk mengukur
tingkat efektivitas penggunaan biaya produksi terhadap suatu industri yang
menghasilakan output yang dikatagonikan sebagai strategis.

B. Pengaruh terhadap Konsumsi


Gambar 4.la (atau 4.2a) menunjukkan bahwa tarif akan menurunkan konsumsi
barang yang diproteksi, dan Q4 ke Q 3 Gambar 4.lb juga menunjukkan bahwa konsumsi
M turun karena dua pengaruh seperti dijelaskan dibawah ini.
Pertama, pengaruh terhadap pendapatan. (Asumsi bahwa M bukan barang
inferior; pendapatan nil menurun dan tingkat yang ditunjukkan oleh Pf,Cf terhadap yang
ditunjukkan oleh PpCp).
Kedua, pengaruh substitusi M tenhadap X, sehinga X menjadi relatif lebih
mahal. Sebaliknya konsumsi X menjadi mendua. Dalam model, yang menjelaskan
pengaruh barang M terhadap pendapatan menjadi tidak terlalu penting, tetapi
kemenduaan pengaruh tarif masih terasa terhadap konsumsi dan ketergantungan barang-
barang substitusi maupun barang yang bersifat komplemen.
Gambar 4.2b, merupakan pandangan kritik dan Gambar 4.lb. Yang menunjukkan
garis kemungkinan konsumsi PpCp (dengan slope yang di tentukan oleh TOT) dan titik
produksi Pp. Dijelaskan bahwa konsumen akan memilih titik Cp, dalam Gambar
dimana, konsumsi - pendapatan Zp tenjadi ketika konsumen dihadapkan pada harga-
harga internal seperti yang ditunjukkan oleh garis dua panah, akan tetapi, konsumen
akan dihadapkan pada harga internasional yang diwakili oleh biaya oportunitas sosial
dan pendapatan Zf ( dalam perdagangan bebas). Kemudian mereka akan memilih titik
Cj yang dapat dilihat bahwa Cj terletak pada IC yang lebih tinggi daripada Cp sejak IC
pada Cj menyentuh PpCj). Sementara itu, Cp memotong CpCj (yang menyentuh garis
harga internal). Perbedaan antara IC pada Cj dan Cp menunjukkan distorsi biaya
konsumsi yang dapat diukur dalam diagram partial (lihat Gambar 4.2a)

Gambar 4.2
Penyimpangan konsumsi
Nilai guna konsumsi ditunjukkan oleh area di bawah kurva pemintaan, di juana
penurunan nilai guna konsumsi ditunjukkan dalam area segi empat. Segi empat GH,
Q4,Q3, menunjukkan nilai sosial dan sumber sumber daya yang dibebankan oleh
penurunan konsumsi, sementara segitiga JGH menunjukkan menghambat pemborosan
sosial dan tingkat konsumsi sangat tinggi karena biaya semua konsumsi tidak hanya
terbatas pada konsumsi barang - barang impor.
Contoh umum dari teori campur tangan pemerintah yang optimal dalam upaya
menekan penyimpangan konsumsi adalah dengan pengenaan pajak. Prinsipnya sama
seperti argumen yang mendukung pajak konsumsi rokok, dalam upaya menekan
konsumsi rokok, walaupun pengenaan pajak rokok yang cukup tinggi terasa kurang
efektif dalam mengurangi tingkat konsumsi rokok.

C. Pengaruh terhadap Penerimaan


Tarif dapat menghasilkan tambahan bagi penerimaan pemerintah. Jumlah
penerimaan dapat dilihat dengan mudah dalam partial ekuilibrium yaitu besarnya nilai
tarif yang dikalikan dengan volume barang yang di impor (Tpm*) (Q3-Q2) dalam
Gambar 4.la ( diagram general ekuilibnium dalam Gambar 4.lb). Pengaruh tarif akan
menghambat konsumen pada budget line yang sama dengan garis harga internal
(internal price line) yang menyentuh KKP pada Pp. Dan tambahan penerimaan
pemenintah tersebut distribusikan kembali pada masyarakat dengan cana penetapan
skala pnionitas sehingga budget line PpCp merupakan analisis general ekuilibnium
abstrak dan pengaruh tarif terhadap penerimaan.

D. Pengaruh terhadap Distribusi Pendapatan


Teori Stolper- Samuelson menunjukkan bahwa tarif dapat mempengaruhi
distnibusi pendapatan. Secara khusus, teori itu mengatakan bahwa dengan mobilitas
faktor produksi yang sempurna digambarkan dalam model H-O, yaitu tarif akan
menguntungkan negara yang mempunyai faktor produksi yang jarang. Sebaliknya, tarif
akan merugikan negara yang mempunyai faktor produksi yang melimpah. Selanjutnya,
ekspor akan meningkatkan permintaan untuk faktor produksi yang melimpah.
Sebaliknya, impor akan mengurangi faktor produksi yang jarang, sedangkan pengenaan
tarif akan menghambat aktivitas perdagangan.

E. Pengaruh terhadap Persaingan


Penetapan tarif memberikan beberapa pengaruh, seperti dalam model H-O yang
diterapkan dalam beberapa dasawarsa yang lalu (walaupun bukan merupakan spesifikasi
dan model tersebut), karena tidak mungkin model tersebut diterapkan dalam kasus-
kasus sekarang, semenjak model H-O mengasumsikan bahwa persaingan sempurna
dengan memasukkan tarif atau tanpa tarif. Dalam kenyataannya persaingan secara bebas
tanpa pengenaan tarif adalah sangat baik, terutama untuk pasar tradeble goods maupun
jasa keuangan. Sebaliknya, penetapan tarif tepat dikenakan pada produk industri dan
jasa lain yang bentuk pasarnya cenderung mengarah pada pasar yang lebih bersifat
oligopolistik, bahkan monopolistik.
Dalam pasar yang tingkat persaingannya ketat dan dapat mematikan industri
dalam negeri maka dapat diambil tindakan dengan mengeluarkan tarif impor dan bentuk
proteksi lain yang cukup kondusif untuk menghadang membanjirnya barang barang
impor dalam pasar domestik. Tindakan ini sangat penting terutama bagi negara yang
sedang berkembang, sehingga pasar domestik cukup berpeluang untuk mendorong
produsen dalam negeri pada skala operasi yang lebih efisien dalam jangka menengah.
Pemenintah harus tepat dalam memperhitungkan kapan proteksi tersebut sudah harus
dihilangkan. Sebab apabila persangan impor yang dihadang dengan tarif tinggi (atau
dengan bentuk proteksi lain), apabila meleset, maka kebijakan proteksi tersebut justru
akan menjadi bumerang bagi pengembangan industri dalam negeri. Yang terjadi adalah
pemanjaan dan inefisiensi produksi serta memperlemah gairah produksi domestik untuk
meningkatkan daya saing internasional, yang pada gilirannya akan membuat
terpuruknya daya tahan industri nasional dalam jangka panjang.

F. Pengaruh Terhadap Pendapatan Pemerintah dan Neraca Pembayaran


Yang terakhir kita sampai pada dua pengaruh yang menonjol pada saat kita
rnelonggarkan asumsi yang didasari pada pengembangan model sebelumnya.
Pertama, pengaruh terhadap tingkat pendapatan dan ketenagakerjaan dengan
asumsi bahwa ekonomi selalu berada pada KKR Walaupun tidak selalu benar bahwa
pengangguran yang terjadi seperti yang ditunjukkan dalam model produksi pada tingkat
KKR Sebagai akibatnya bahwa tarif merupakan salah satu dan sekian banyak cara untuk
meningkatkañ pendapatan dan output.
Kedua, pengaruh terhadap neraca pembayaran. dengan asumsi bahwa
perdagangan selalu seimbang (ditunjukkan pada diagram general equilibrium, di mana
negara selalu melakukan ekspor untuk memenuhi keperluan impor sepanjang garis
TOT). Analisis makroekonomi dalam bab selanjutnya menunjukkan kelonggaran asumsi
yang mengarah kepada penghargaan bahwa pengenaan tarif akan memperbaiki neraca
pembayanan, khususnya transaksi benjalan, setidaknya untuk jangka pendek. Pada saat
terjadi perbaikan pendapatan dan perbaikan neraca pembayaran dalam kondisi full-
employment, yang secara umum adalah benar, sehingga pertimbangan makro ekonomi
memperlihatkan keampuhan dan kasus kasus proteksi. Walaupun pandangan tersebut
tidak sepenuhnya diyakini oleh ekonom-ekonom lainnya. Alasannya adalah bahwa ada
kebijakan lain yang dapat digunakan untuk memulihkan tingkat ekuilibnium
makroekonomi, seperti kebijakan perpajakan, kebijaksanaan moneter, dan
kebijaksanaan nilai tukar. Alternatif kebijakan tersebut melibatkan penggunaan
instrumen inikroekonomi yang juga ampuh.
Kemudian untuk masuk bagian pokok instrumen makno ekonomi, maka dapat
dijelaskaii dalam 3 hal dibawah INi.
Pertama, instrumen makro ekonomi tidak mengkaitkan penyimpangan
instrumen inikro ekonomi mengenai produksi dan konsumsi (analisis dua pengaruh
pertama). Dalam instrumen makro ekonomi, secara umum menyatakan bahwa devaluasi
merupakan alternatif yang dapat menununkan nilai mata uang domestik terhadap
beberapa mata uang intennasional, sehingga dapat merangsang kenaikan ekspor dan
menurunkan impor. Sedangakan kebijakan tarif hanya terdapat pada sisi impor (tetapi
dapat pula menurunkan ekspor dengan meningkatkan bea masuk impor).
Kedua, instrumen makro ekonomi secara umum mengkaitkan penggeseran yang
kecil dalam struktur produksi pada saat kebijakan pemerintah harus disesuaikan agar
dapat mengimbangi konjungtur dan krisis ekonomi (dapat dibayangkan bahwa biaya
penyesuaian yang dikaitkan pada setiap perputaran atau penurunan yang terjadi secara
bersamaan dengan peningkatan atau penurunan produksi yang kemudian kembali dalam
satu tahun atau dua tahun berikutnya pada saat ekonomi mulai bangkit.
Ketiga, instrumen makro ekonomi yang kurang menyukai adanya konnik
kebijakan antarnegara. inisalnya, suatu kebijakan pemerintah diluncurkan dalam bentuk
proteksi untuk menghadang resesi. Hal itu ternyata justru akan memperburuk resesi
negara lain, sehingga perlu mendapatkan perhatian internasional dengan melakukan
kerja sama yang harmoni.

Evaluasi Kasus Tarif


Adam Smith menunjukkan sikap yang berseberangan dengan pentingnya arti
dan proteksi. Sedangkan beberapa ekonom lainnya beralasan bahwa ada beberapa
metode ampuh yang dapat diajukan untuk menjawab objektivitas makro ekonomi
terutama mengenai masalah proteksi dalam bentuk penetapan tarif. Sedangkan
keterkaitan terakhir mengenai penyimpangan instrumen inikro ekonomi yang terletak
pada produksi dan konsumsi serta pembatasan dalam kompetisi yang mempunyai
pengaruh yang sama, yaitu turunnya tingkat kesejahteraan.

7. PROTEKSI EFEKTIF
Konsep dan proteksi efektif dikembangkan oleh ekonom Australia, Max Corden
(lahir 1927), dan ekonom Kanada, Harry Johnson (lahir 1923). Di mana tingkat proteksi
efektif didefinisikan sebagai peningkatan proporsional dalam nilai tambah suatu industri
yang merupakan hasil keseluruhan struktur proteksi pada kedua output dan input
industri.
Formula dasar untuk mengukur tingkat proteksi efektif (Te) adalah sebagai
berikut.

Formula tersebut di atas nampaknya cukup sederhana, tetapi dalarn


penerapannya di mana pengukuran proteksi efektif ini cukup sulit. Hal ini terjadi karena
adanya beberapa kesulitan sebagai berikut.
Kesulitan pertama, bahwa perusahaan atau industri selalu dihadapkan pada
berbagai macam tingkat tarif untuk output dan input yang dibeli, maka Ti dan T2 harus
diukur sebagai rata-rata tertimbang yang kelihatannya sangat sederhana seperti dalam
formula di atas.
Kesulitan kedua, adalah input produksi banyak yang dipasok dan sumber lokal
atau domestik. Sehingga harganya tidak harus otomatis naik secara proporsional sama
dengan nilai tanif apabila persediaan domestik meningkat pada titik yang menunjukkan
bahwa impor ditiadakan. Akan tetapi, hal tersebut akan salah apabila ditetapkan w yang
mencerminkan biaya komponen impor, sejak input dipasok oleh pasar domestik dengan
harga yang lebih mahal sebagai hasil dan pembebasan tarif. Maka yang perlu
diperhatikan disini adalah suatu pemikiran mengenai biaya input yang naik, sebagai
akibat dan pengenaan tarif.
Kesulitan ketiga, perhitungan yang masuk dalam proteksi, tetapi dikenakan pula
dalam bentuk kuota, pajak, dan subsidi. Sebagai akibatnya, dijumpai kesulitan serius
lainnya dalam pengukuran proteksi efektif.
Namun, tiga kesimpulan penting yang dapat dikemukakan disini adalah sebagai
berikut.
Pertama, perbedaan antara tingkat nominal dengan proteksi efektif adalah sangat
kompleks. Maka, akan keliru jika ukurn proteksi dikenakan pada suatu industri.
Kedua, proteksi efektif secara umum sangat tidak merata. Pengukuran proteksi
terhadap alokasi sumber daya ditentukan oleh tingkat relatif proteksi efektif yang
mengarah pada penemuan proses berikutnya.
Ketiga, adanya kecenderungan umum bagi negara-negara industri untuk
memberikan proteksi lebih besar pada produksi tahap akhir. Dengan kata lain, tarif
bahan baku (X) lebih kecil daripada barang (X). Secara tidak langsung, industri barang
(X) domestik, menerima lebih besar proteksi efektif daripada tarif nominal.

Peranan Pemerintah
Kelemahan industri nasional adalah adanya keterkaitan antara produsen akhir
dengan bahan baku atau komponen yang dihasilkan industri hulu, sementara pasokan
bahan baku impor masih dikenakan tarif yang relatif tinggi. Akibatnya akan
melemahkan daya saing industri dalam negeri di pasar internasional.
Pemerintah tetap mempertahankan kebijakan proteksi terhadap industri hulu,
walau dianggap berbagai kalangan akan menghancurkan daya saing industri hilir.
Pelepasan proteksi dikhawatirkan akan merusak industri hulu itu sendiri karena adanya
serangan kuat industri hulu sejenis dan luar négeri yang relatif sudah kuat dan mapan.
Pemerintah harus secermat mungkin mengamati berbagai dampak yang muncul
sebelum memutuskan mencabut proteksi itu, terutama dampaknya bagi industri hilir
pemakai produk industri hulu maupun industri nasional lainnya. Jadi harus dihitung
pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

8. SUBSIDI EKSPOR DAN PAJAK


Sebelum kita kembali pada analisis mengenai proteksi, khususnya yang
berbentuk kuota, ada beberapa catatan berharga mengenai persamaan dan perbedaan
antara tarif impor dan subsidi ekspor. Subsidi ekspor adalah suatu bentuk pembayaran
yang dibenikan pada eksportir. Polanya dalam bentuk pembayaran proteksi tertentu
(katakan u) dan nilai barang yang diekspor (proporsinya didasarkan pada pungutan rata-
rata yang dikenakan dalam produksi barang yang terkait). Pembayaran subsidi dapat
menaikkan harga internal X ke (1+u) p’x, sedangkan px adalah harga pasar internasional
yang mempunyai pengaruh terhadap pasar internal, maka X tampak seperti dalam
bentuk parsial ekuilibrium pada Gambar 4.3a. Untuk mendapatkan gambaran
pengaruhnya dalam ekuilibnium (dengan catatan bahwa rasio harga relatif internal)
adalah sebagai berikut.

Dengan demikian, garis harga internal lebih curam daripada garis TOT seperti
ditunjukkan dalam Gambar 4.3b. Catatan, pengenaan tarif = T pada barang impor dan
subsidi ekspor = u pada barang ekspor dipastikan tidak memberikan pengaruh pada
harga relatif, juga pada ekuilibrium (kesimpulan itu berhubungan dengan ekuilibrium
bahwa, ada pengaruh makro ekonomi di luar ekuilibrium, yaitu kedua perubahan
tersebut cenderung akan mendorong pendapatan dan menciptakan surplus pembayaran).
Pengaruh subsidi ekspor terhadap produksi sama dengan tarif impor, yang
menunjukkan kenaikan out put pada barang ekspor, Q3 ke Q4 dalam Gambar 4.3a dan
titik yang ditunjukkan oleh Pf ke Pp yang memotong output M, seperti dalam Gambar
4.3b. Argumen yang sama mengatakan bahwa pengaruhnya terhadap produksi harus
diperhitungkan sebagai distrosi, khususnya mengenai kemungkinan konsumsi yang
dapat dipertahankan sepanjang garis TOT pada Pp yang didominasi oleh keadaan
sepanjang garis TOT yang menyentuh KKP pada Pp.

Pengaruh subsidi terhadap konsumsi juga sama, yaitu terkaitnya dengan


kemenduaan seperti pada konsumsi X dan Q2 ke QI (dalam Gambar 4.3 a) dengan
junilah yang diperoleh di mana tidak tampak dalam Gambar 4.3a. Yang berarti
pengaruhnya bertentangan, karena pengaruhnya terhadap pendapatan adalah negatif,
sedangkan pengaruh subtitusi adalah positif.
Pengaruh subsidi terhadap konsumsi akan menghasilkan penyimpangan.
sedangkan penetapan tarif dapat memberikan tambahan penerimaan bagi pemerintah,
sedangkan subsidi ekspor dapat meningkatkan pengeluaran pemerintah.
Pengaruh subsidi ekspor pada distribusi pendapatan adalah sama, yaitu mobilitas
faktor produksi yang melimpah akan memperoleh keuntungan, sedangkan faktor
produksi yang langka akan mengalami kerugian. Perbedaan utama antara tanif dan
subsidi ekspor adalah pengaruhnya terhadap konsumsi. Pengaruh penetapan tarif dan
pemberian subsidi ekspor secara makro ekonomi adalah sama. Keduanya memberikan
rangsangan terhadap penerimaan negara dan memperbaiki posisi neraca pembayaran.
9. KUOTA
Cara lain dari bentuk proteksi atau perlindungan industri domestik terhadap
persaingan barang impor adalah melalui penetapan Kuota impor. Kuota impor adaiah
hambatan atau pembatasan kuantiatif dan sejumlah barang yang di impor.

Dalam Gambar 4.4 kurva permintaan dan penawaran untuk beberapa barang
ditunjukkan oleh kurva D dan S. sedangkan kuota impor digambarkan pada garis
horizontal Q. Diasumsikan bahwa Q adalah bagian dan jumlah barang yang di impor
dan perdagangan bebas. Oleh karena itu, penetapan kuota dimasukkan dalam kebijakan
proteksi, di mana hasil ekuilibrium-nya adalah jarak horizontal antara kunva permintaan
dan penawaran adalah sama, yaitu pada Q. Karena kenaikan naik diatas tingkat
perdagangan bebas dan titik P ke F, maka kesamaan pengaruh dan peningkatan
penawaran dan penurunan permintaan adalah memotong garis impor pada Q (atau Q4
-Q2) sebaliknya, perdagangan bebas untuk impor bergerak dari(Q6-Q1).
Dengan demikian, tarif T sama dengan kuota Q (ceteris paribus) yang
mempunyai pengaruh sama terhadap harga dan kuantitas, dengan asumsi persaingan
sempurna yang disebabkan oleh faktor kesamaan tersebut. Sehingga, tidak terlalu
penting untuk melakukan pengujian pengaruh general ekuilibnium dan kouta.
Gambaran seperti ini menjelaskan bahwa kuota adalah identik dengan tarif.
Namun dengan demikian ada tiga perbedaan yang mendasar antara pengaruh
tarif dan kuota.
1. Perbedaan pengaruh tarif terhadap penerimaan pemerintah
Area bayangan pada Gambar 4.4 di mana tarif secara umum dapat meningkatkan
penerimaan pemerintah. Dalam keadaan normal, apabila pemerintah memberikan izin
impor ( dengan jumlah yang sama dengan kuota) pada importir, maka importir
mendapatkan keuntungan seperti pada area bayangan, dengan harga pembelian sesuai
dengan harga pasar global sebesar P’, kemudian menjualnya pada harga pasar domestik
P. Hal ini dapat terjadi hanya apabila pemerintah memberikan lisensi impor untuk
membanjiri pasar domestik yang sudah pasti (jelas), yang apabila dalam kondisi
persaingan bebas akan sama dengan pengenaan tanif. Keuntungan yang diperoleh
melalui kuota impor tersebut dapat ditarik kembali oleh pemerintah dengan
menghilangkan adanya penlakuan khusus. Pemerintah juga sering melakukan
pembenian atau penunjukkan khusus untuk lisensi impor kepada badan usaha inilik
negara (BUMN ), atau bahkan juga diberikan kepada badan swasta tertentu baik atas
dasar pertimbangan obyektif maupun pertimbangan khusus lainnya.
Perbedaan reaksi terhadap pergeseran permintaan dan penawaran atau pengaruh
dan komparatif statik, seperti dalam kasus pergeseran permintaan dan D ke D’ (Gambar
4.4) di mana tarif konsumsi akan meningkat ke Q, yang juga meningkatkan impor (Q7 -
Q4). Sebaliknya, kuota dapat menahan meningkatnya impon dan kemudian harga naik
ke P’ agar suplai tetap tersedia (yang hanya dapat terpenuhi melalui peningkatan output
domestik) sehubungan dengan terjadinya peningkatan penmintaan. Pergeseran
permintaan akibat pengenaan tarif tersebut menyebabkan perubahan jumlah impor,
sedangkan penetapan kuota akan menyebabkan penubahan harga internal. Pemerintahan
dengan perencanaan pusat di mana perbedaan pengaruh tersebut menupakan
keuntungan bagi penetapan sistem kuota. Diyakini bahwa perubahan volume impor
bukan menupakan suatu penyimpangan yang dilakukan oleh kebijakan perencanaan
pemenintah pusat, tetapi lebih disebabkan oleh melesetnya perkiraan permintaan dan
penawaran. Perbedaan-perbedaan tersebut lebih bersifat sekunder.
Kesimpulannya bahwa apabila pemerintah akan memberikan perlindungan atau
proteksi maka diperlukan kalkulasi yang ekstra ketat. Namun mempertanyakan apakah
subsidi akan lebih balk daripada kuota. Juga pemberian fasilitas khusus terhadap
perusahaan tertentu selayaknya dikaji lebih dalam lagi dan aspek keuntungan dan
kerugian secara nasional.
Teori intervensi optimal pemerintah mengatakan bahwa subsidi lebih baik
daripada kuota apabila pertimbangan mengenai berkurangnya penerimaan pemerintah
diabaikan. Perdagangan bebas secara prinsip dapat menurunkan dan meningkatkan
kesejahteraan ekonomi yang sangat tergantung pada kreasi pengalihan perdagangan.
Walaupun dalam kenyataannya menunjukkan bahwa telah terjadi kerja sama antara
sesama negara maju, seperti Pasar Tunggal Eropa (European Single Market). Dalam
pasar tersebut terjadi pengaturan perdagangan yang melibatkan dua belas negara maju
di Eropa yang berlaku efektif mulai tahun 1993, demikian pula dengan hadirnya mata
uang Eropa yang bernama Euro yang mulai diterapkan pada tangga 1 Januari 1999, dan
akai berlaku efektif mulai tahun 2001. Penjelasan mengenai mata uang tunggal Eroa ini
akan dijelaskan secara terperinci pada Bab 5.
Konsep umum ekonomi negara industri dalam ekonomi internasional dijelaskan
adalah bahwa negara industri dapat mempengaruhi TOT melalui pasar yang paling
kompetitif sekalipun. Negara tersebut dapat melakukan transaksi dan semua yang
mereka inginkan pada tingkat harga tertentu. Kita ketahui bahwa tarif empunyai
beberapa pengaruh seperti yang dibahas dalam bab ini, di mana diantaranYa bahwa tarif
dapat memperbaiki TOT dan merupakan upaya penurunan icuantitas impor negara yang
bersangkutan.
TOT didefinisikan sebagai rasio harga ekspor terhadap harga impor. Sehingga
peningkatan TOT merupakan perbaikan dalam kuantitas ekspor yang nilai jualnya lebth
besar daripada nilai impor ( dalam kondisi ceteris paribus ). Pengaruh indogen TOT
pada analisis general ekuilibrium dan bab yang dijelaskan pada Gambar 4.5
inemperlihatkan bahwa titik produksi adalah Pf, dan titik konsumsi adalah Cf dapat
dicapai melalui perdagangan bebas, TOT di sini ditunjukkan oleh satu panah. Dengan
pengenaan tarif, maka harga internal M naik seperti yang ditunjukkan oleh garis-garis
dengan dua panah. Titik ekuilibrium produksi Pp tidak berubah. Bagi suatu negara
adalah baik untuk tidak memperdagangkan barang dan titik Pp, yaitu titik asal TOT
dalam perdagangan bebas. Pada saat TOT membaik, harga relatif, garis TOT-nya lebih
curam danipada garis TOT dalam perdagangan bebas, seperti ditunjukkan oleh ganis
dengan tiga panah, dalam gambat 4.5. Dalam keadaan nil, garis TOT Pp, Cp memotong
garis TOT dalam perdagangan bebas Pf,Cf dan kemudian naik ke atas. Ekuilibrium
konsumsi Cp (pada titik PpCp kurva indifferen menyentuh garis harga internal) yang
terletak pada kurva indifferen sosial lebih tinggi daripada ekuilibrium perdagangan
bebas Cp. Sebagai akibatnya negara dapat memperbaiki tingkat kesejahteraan
masyarakat dengan diberlakukannya pengenaan tarif.

Sebenarnya pengenaan tarif harus selalu memperbaiki tingkat kesejahteraam


masyarakat terutama dalam situasi ceteris paribus apabila negara tersebut dapat
mempengaruhi TOT-nya. Pada bagian lain, larangan pengenaan tarif dan penghapusan
blok perdagangan dapat menggerakkan pemerintah kembali pada titik autarki PA yang
memperlihatkan bahwa konsumsi sama dengan produksj. Oleh karena itu, tarif
ditingkatkan dan nol pada titik yang tanpa adanya perdagangan. Pada awalnya
kesejahteraan akan naik, kemudian akan turun. Titjk. titik yang mencapai tingkat
maksimum disebut tarif optimum proteksi ( optimum tariff argument for protection )
yang dapat diterima sebagai alasan untuk industri pemula, industri strategis dan
penerimaan fiskal sebagi proteksi.
Alasan pengenaan tarif optimum tersebut manjadi sangat penting untuk menjaga
kelanggengan kerja sama antarnegara. Sehingga negara tersebut dapat melakukan
kegiatan secara bersama - sama walaupun pada dasarnya tiap-tiap negara melakukan
kegiatan sendiri yang untuk mematuhi maupun menolak kesepakatan yang telah
ditentukan bersama.

10. GENERALIZED SYSTEM OF PREFERENCE (GSP)


Generalized system of preferences (GSP) dibentuk dalam rangka UNCTAD
(United Nations Coference on Trade and Develompent) yang merupakan lembaga
dibawah bendera PBB yang membidangi perdagangan dan pembangunan). Raul
Prebisch, (1964) yang merupakan Sekjen pertama UNCTAD, menjelaskan bahwa tarif
preferensial bagi pasar negara maju dapat merangsang pengembangan industri di negara
berkembang. Selanjutnya pada sidang ke -2 UNCTAD, pada tahun yang sama
mengeluarkan Resolusi No. 21 (II) yang menyepakati membentukan suatu sistem
preferensi umum yang diberikan oleh negara - negara maju kepada negara yang sedang
berkembang secara sukarela dan tanpa diskriminasi.
Pada hakekatnya, GSP diberikan sepihak (non reciprocal) oleh negara pemberi
preferensi. Negara maju sebagai pemberi preferensi tersebut tidak menuntut imbalan
atas konsesi tarif yang diberikannya kepada negara berkembang serta tidak bisa
dinegosiasikan.
Indonesia, merupakan salah satu negara yang berstatus beneficiary atau
menerima manfaat GSP dan negara - negara maju yang memberi preferensi tersebut.
Beberapa syarat yang harus dienuhi bagi negara yang hendak menikmati fasilitas
GSP adalah negara tersebut harus menghargai hak - hak pekerja sesuai dengan standar
internasional (ILO) di negara masing - masing. Seperti hak untuk mengadakan asosiasi,
hak untuk melakukan organisasi dan melakukan tawar menawar dengan pihak pemberi
kerja, pelarangan atas munculnya tekanan pada para pekerja, perhatian tentang upah
ininimum bagi pekerja anak - anak dan pekerja wanita, perhatian pada kondisi pekerja
yang layak dan soal upah ininimum, peraturan tentang jam kerja dan pemberian fasilitas
itu, merupakan hasil dan sidang ILO (Organisasi Buruh Internasional) yang selalu
disempurnakan.
Ternyata negara - negara penerima GSP yang thampu masuk pasaran di AS ialah
Hong Kong, Korea Selatan, Smgapura dan Taiwan. Produk dari negara – negara
tersebut ternyata mampu bersaing di AS. Seperti Taiwan, rata - rata 58,9 % ekspornya
setiap tahun ke AS. Korea Selatan sebesar 36,8%. Hong Kong sebesar 41,1% dan
Singapura sebesar 35,4%. Sedangkan Indonesia masih jauh tertinggal dibelakang.
Sebagai contoh produk Indonesia yang masuk ke AS pada tahun 1992 ternyata sangat
kecil. Dengan demikian Indonesia menempati urutan kesembilan setelah Meksiko,
Malaysia, Muangthai, Brasil, Israel, Filipina dan beberapa negara lainnya.
Pangsa dan produk dan Indonesia hanya 2,97% dan total nilai produk GSP AS
dalam tahun 1992 sebesar US$ 210,944 iniliar atau 0,51% dan total nilai produk GSP
dan seluruh negara penerima GSP.
Suatu produk GSP dan suatu negara beneficiary dapat dikeluarkan dan program
GSP apabila negara tersebut sudah dianggap mempunyai daya saing atau apabila nilai
impor negara AS untuk suatu produk tersebut dan beneficiary yang bersangkutan telah
mencapai batas ketentuan tingkat kompetitif atau yang dikenal sebagai “competitive
need limitation (CNL)“.
Batas itu ialah telah mencapai 50 % atau lebih dan total nilai AS untuk produk
tersebut (presentase pasar). Perhitungan CNL didasan]an pada nilai impor AS dalam
satu tahun kalender (Januari-Desember). Produk-prôduk GSP yang terkena CNL tidak
mendapatkan fasilitas bebas bea masuk (competitive need dutiable) terhitung mulai 1
Juli tahun berikutnya dan dibebankan bea masuk MFN (Most Favored Nations-MNF)
sebagaimana produk non-GSP lainnya, kecuali produk tersebut mendapat “ waiver “.
Terdapat 4 tipe untuk mendapatkan waiver, yaitu sebagai berikut.
1. Dengan mengajukan petisi (petitioned waiver). Produk yang terkena CNL
berdasarkan ketentuan nilai kompetitif dan atau persentase pangsa, dapat meminta
waiver dengan mengajukan petisi dalam masa annual atau general review. Pnesiden
AS akan mempertimbangkannya berdasarkan: besarnya beban (great weight)
keseimbangan dan kebutuhan pemasukan produk tersebut dalam pasanan AS;
efektifitas penlindungan Intellectual Property Right yang akan diberikan negara
pengekspor, total nilai semua produk yang (akan) diberikan “waiver” tidak melebihi
30% dan total nilai duty free yang telah diberikan program GSP dalam tahun
kalender (yang menjadi perhitungan CNL) tersebut. Waiver tidak dibenikan apabila
nilai produkproduk yang dimintakan waiver oleh suatu negara mencapai atau lebih
15% dari total nilai duty free GSP, yang selama ini per kapita negara tersebut lebih
dari US$ 5000-nilai produk GSP-nya 10% atau lebih.
2. Waiver yang otomatis diberikan (seksi 504 d). Produk GSP yang terkena ketentuan
CNL karena persentase pangsa, otomatis akan mendapatkan waiver apabila produk
tersebut tidak diproduksi di AS berdasarkan data tahun 1985.
3. Waiver untuk negara-negara belum berkembang (least develop waivers). Produk
GSP dan “least develop country” yang terkena CNL, secara otomatis akan
mendapatkan waiver.
4. Waiver karena nilainya dianggap masih rendah (de ininimize waiver). Produk yang
terkena CNL karena persentase pangsa, otomatis akan dipertimbangkan untuk
mendapatkan waiver apabila total nilai impor AS untuk produk tersebut masih
rendah (de ininimize) - disetujui oleh presiden AS.
Indonesia masih membutuhkan GSP dan AS. Tujuannya untuk mendapatkan
devisa yang cukup banyak dan ekspor nonmigas ke AS. Demikian juga untuk
memperkuat industri di dalam negeri. Hasil industri ini diharapkan mampu bersaing di
pasaran internasional khususnya di negana-negana yang memberikan GSP, termasuk
AS.

11. GSP MASYARAKAT EROPA


Untuk fasilitas GSP untuk negara ME diberikan sejak 1971, adalah yang
pertama diantara skema GSP negara-negara maju laimiya. Menurut ketentuan:
pembaharuan GSP ME diadakan setiap tahun dengan peninjauan menyeluruh setiap 10
tahun. Namun, pada tahun 1980, ME memutuskan untuk memperpanjang skema GSP-
nya sampai tahun 1990, dengan beberapa modifikasi khususnya yang berkaitan dengan
produk industri.
Kemudian ME menjadwalkan 1 Januari 1991 sebagai awal dan GSP generasi
barn (1991-2000), dengan perbaikan substansial. Antara lain, menyesuaikan dengan
hasil perundingan Putaran ‘Uruguay serta memperhatikan masukan dari negara-negara
berkembang. Sehingga, menurut komisi ME, GSP generasi baru akan lebih atraktif dan
efektif bagi negara-negara berkembang. Dalam arti, lebih dirasakan manfaatnya, lebih
sederhana prosedurnya, lebih transparan, dan lebih memberikan kepastian. Namun,
mengingat belum menentunya Putaran Uruguay tersebut, maka, ME memutuskan untuk
memperpanjang saja pemberlakuan GSP lama setiap tahunnya.
Skema GSP ME memberlakukan pembatasan kuantitatif (kuota), yang dalam
pelaksanaannya dalam tiga mekanisme.
Pertama, tarif kuota, diberlakukan bagi produk-produk yang dianggap sensitif
bagi industri ME (beberapa katagori tekstil) dan dittapkan dalam sejumlah nilai dan
volume. Apabila kuota sudah tercapai, maka scara otomatis diberlakukan tarif normal
(MFN rate).
Kedua, ceiling bagi produk-produk yang kurang sensitif (bumbu masak, kayu
lapis, sepatu, sebagian kategori tekstil). Apabila ceiling sudah tercapai, maka tarif
normal tidak otomatis diberlakukan, sepanjang tidak ada përmintaan dan negara anggota
ME untuk mengenakan tarif normal.
Ketiga, reference base, bagi produk-produk dinilai tidak sensitif (sepeda, dan
lain-lain). Apabila reference base sudah tercapai, maka kesempatan konsultasi antara
negara-negara anggota ME dan komisi ME dapat diselenggarakan, guna memutuskan
perlü tidaknya memberlakukan tarif normal.

GSP Baru Uni Eropa (UE)


Seusai merumuskan guidelines bagi skema GSP (generalised system of
preference) untuk periode 1995-2004, Komisi Eropa menyelesaikan rancangan SK
Dewan Menteri untuk pelaksanaan GSP selama tiga tahun dan 1995-1997. Rancangan
GSP baru disahkan oleh Dewan Menteri dalam bulan Oktober dan mulai berlaku 1
Januari 1995.
1. Produk Sensitif
Peraturan operasional GSP baru yang berlaku untuk tiga tahun (GSP lama setiap
satu tahun) serta penghapusan sistem pembatasan kuantitatif berupa tariff quotas, tariff
ceilings dan reference base dalam GSP lama menjadikan GSP baru lebih memberikan
kepastian dan lebih sederhana prosedurnya. Skema GSP baru tarif GSP akan bervariasi,
tergantung dan penilaian atas dampak yang ditimbulkan oleh produk impor
bersangkutan kepada industri di dalam UE. Sejalan dengan ini, produk-produk impor
UE dibedakan dalam tiga katagoni, yaitu produk sensitif, produk semisensitif, dan
produk nonsensitif.
Semua impor dan penerima GSP yang termasuk dalam daftar sensitif akan
membayar 80% dan tarif normal (MFN), produk semisensitif 40% dan produk
nonsensitif akan tetap memperoleh pembebasan tarif penuh atau nol persen.
Pengecualian tarif 0%, bagi semua produk, diberikan kepada LDC (least development
countries).
2. Graduation
Penerapan sistem graduation (pencabutan fasilitas GSP per sektor atau negara)
bertujuan untuk mengalihkan marjin preferensi dan negara-negara berkembang yang
kurang maju. Penetapan kriteria graduation bagi sektor atau negara didasarkan atas
bobot pembangunan dan spesialisasi relatif dan suatu produk.
Bobot pembangunan dan suatu negara penerima GSP ditentukan oleh indeks
pembangunan, yang diperoleh dan kombinasi GNP perkapita dan daya ekspor
manufaktur negara tersebut dibanding dengan kombinasi GNP per kapita dan daya
ekspor manufaktur UE. Spesialisasi relatif ditentukan oleh indeks spesialisasi, yang
didasarkan pada rasio antara pangsa pasar suatu sektor dan suatu negara di UE dan
keseluruhan pangsa pasar negara tersebut di UE. Semakin besar proporsi sektoral
dibanding dengan proporsi keseluruhan, semakin tinggi tingkat spesialisasj negara
tersebut. Yang berarti sektor tadi mempunyai kecenderungan tinggi untuk dicabut
fasilitas GSP-nya.
3. Penangguhan dan Insentif
Kebijakan dari peristiwa tertentu di negara penerima GSP dapat mengakibatk.
penangguhan/pencabutan fasilitas GSP, secara keseluruhan atau sebagian, tergantung
pada ke dalam masalah. Keputusan penangguhan diambil berdasarkan hasil hearing,
yang dapat terjadi karena masalah-masalah seperti : pemalsuan atau penolakan
mengadakan kerja sama administratif dengan UE; praktek-praktek dagang yang tidak
adil termasuk diskriminasi terhadap UE sebagai perwujudan dari sikap tanggap yang
tinggi terhadap masalah-masalah lingkungan hidup dalam konteks pembangunan yang
berkesinambungan, UE menawarkan intensif khusus, berupa ekstra marjin GSP atau
tambahan potongan tarif. Tujuannya, untuk merangsang penerima GSP agar dalam
kebijakan pembangunannya memberikan prioritas tinggi pada kemajuan sosial dan
perlindungan lingkungan hidup.

Kasus Indonesia
Menurut daftar yang didasarkan atas kriteria graduation tersebut, Indonesia
terkena graduation untuk produk kayu (bersama Mlaysia) dan sepatu (bersama Brazil,
Cina, Korea Selatan dan Thailand). Karena Indonesia termasuk dalam daftar GNP per
kapita di bawah 6000 dolar Amerika, maka pencabutan fasilitas GSP atau penibayaran
penuh tarif normal untuk ekspor kayu dan sepatu indonesia dilakukan erhitU1g I Januari
1998.
Meski yang terkena graduation termasuk dua kelompok mata dagangan utama
Indonesia, namun dengan semakin terkikisnya tingkat arif normal pada 1998 dan tahun-
tahun berikutnya sebagai hasil Putaran Uruguay, dampak negatif yang ditimbulkan tak
terlalu signifikan. Terutama untuk mata dagangan sepatu yang berada dalam daftar
sensitif kalaupun masih dapat GSP, potongan tarifnya hanya 20% dan tarif normal,
kecuali negara LDC seperti Bangladesh, dengan 0% bea masuk ke UE akan punya
potensi besar untuk memanfaatkan status baru mata dagangan sepatu. Sedangkan untuk
kayu, walaupun tergolong nonsensitif, hanya negara pemasok besar kelompok mata
dagangan kayu lainnya, bila ada yang berpotenSi memanfaatkan peluang graduation
kayu dan Indonesia dan Malaysia.
Yang justru perlu mendapat perhatian Indonesia secara lebih seksama adalah
masalah cukup banyaknya mata dagangan Indonesia yang selama ini menikmati tarif
GSP 0% (walaupun volumenya dibatasi), seperti beberapa katagori tekstil/ pakaian jadi,
sepeda dan elektronik, di bawah GSP banu akan berada dalam daftar sensitif. Artinya,
sejak 1995 (tanpa ada pembatasan volume impor) pengurangan tarif yang diperoleh
hanya 20%, bukan lagi 100% dan tarif normal.

12. COUNTER TRADE/COUNTER PURCHASE


Counter purchase adalah kesediaan membeli barang yang dijual pihak lain dan
pihak lain juga bersedia membeli barang yang ingin dijual. Sedangkan barang yang
ingin dijual akan disampaikan dalam bentuk daftar barang yang salah satu diantaranya
harus dipilih. Kesediaan membeli dengan demikian menjadi suatu kewajiban yang jika
tidak dilaksanakan bisa terkena sanksi dalam bentuk denda. Counter trade tenjadi proses
jual beli dan satu pihak kepada pihak lain kemudian disusul dengan proses pembelian
dan pihak yang telah menjual kepada pihak yang lain.
Terjadinya counter trade adalah sebagai berikut.
1. Ada dua (atau lebih) yang semuanya menghendaki suatu counter trade agreements
diantara mereka untuk meningkatkan perdagangan antara mereka. Negara-negara ini
memang saling membutuhkan dan saling menghendaki terjadinya counter trade.
Perjanjian counter trade tersebut berlaku dalam periode tertentu. Satu negara kurang
mampu, negara lain cukup mampu.
2. Ada satu negara yang menghendaki dan memaksakan terjadinya pembelian sebagai
pasangan yang terkait dengan penjualan karena negara tersebut, tidak atau kurarig
mampu. Satu negara kurang mampu dengan satu ekspotir negara niaju; untuk
membeli plant atau heavy capital goods.
3. Transaksi antara negara sedang berkembang sebagai pihak yang tidak mampu
membayar impor dan oleh karenanya menghendaki terjadinya suatu counter
purchase. Eksportir berasal dan negara maju dan menganut perdagangan bebas
negaranya tidak bersedia terlibat. Prosedur yang ditempuh, eksportir yang telah
melakukan ikatan untuk menjual (mengekspor) akan menandatangani pernyataan
(undertaking) bahwa pihaknya akan melaksanakan kewajiban membeli sebagaimana
yang dipersyaratkan. Alternatif ketiga ini lazimnya terjadi jika barang yang akan di
impor adalah barang yang bernilai tinggi (heavy capital goods) di mana terdapat
beberapa suplier yang memberikan penawaran. Mekanisme pemilihan dilaksanakan
secara tender dikaitkan dengan counter purchase.
4. Alternatif yang terakhir adalah 2 (dua) perusahaan di negara yang menganut bebas
(negara barat) salah satu pihak berniat membeli peralatan yang sangat canggih dan
mahal. Karena nilainya terlalu mahal maka pemerintah negara pengimpor
menyarankan agar hal tersebut ditempuh melalui counter purchase satu dan lain
adalah untuk menjaga keseimbangan neraca perdagangan mereka. Prosedur yang
ditempuh adalah melakukan pengikatan dan negosiasi perjanjian impor dan ekspor
secara bersamaan sebagai kesatuan
Banyak risiko yang harus dihadapi dalam counter trade purchase. Untuk
mengetahui jenis risiko yang terkandung dalam transaksi yang berkaitan dengan counter
trade agreement antara dua negara bilateral (Bilateral Agreement on Trade and
Payment) di mana eksportir adalah dan salah satu negara. Atau eksportir negara yang
menganut perdagangan bebas menjadi suplier dan negara yang memaksakan counter
purchase.
Risiko-risiko yang harus dihadapi eksportir adalah sebagai berikut.
1. Contract Frustration Contarct frustarion adalah terjadinya berbagai kejadian yang
menyebabkan situasi yang diharapkan untuk melaksanakan sales contract menjadi
sangat berbeda dengan situasi sewaktu menuangkan kehendak tersebut. inisalnya,
terjadinya perubahan politik atau force mayeur atau kejadian lain yang berbeda di
luar kemampuan untuk mencegah baik oleh eksportir maupun negara pemaksa
counter trade atau importir. inisalnya, perang antarnegara, perang saudara,
kekacauan sosial, pergolakan politik, pengalihan kekuasaan, perubahan peraturan.
Terjadinya pencairan jaminan yang tidak jujur (unfair calling of bonds), sehingga
proyek terpaksa dihentikan.
2. Import Restiction
Berlakunya suatu peraturan di negara pemaksa counter purchase yang melaráng atau
mencegah atau mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya ‘ekspor barang yang
sudah disepakati ke negara tersebut.
Berdasarkan pengalaman sering terjadi bahwa pihak yang menetapkan atau menjadi
arsitek dan counter purchase merupakan sekelompok tim yang berasal dan berbagai
departemen. Karena hasil yang terjadi merupakan kesepakatan, ada kemungkinan
salah satu departemen tetap dapat menelurkan suatu peraturan yang kontradiktif.
Dalam keadaan demikian eksportir yang telah terlanjur mempersiapkan barang akan
terjebak, sekalipun praktek juga menunjukan bahwa akhirnya hal ini dapat
diselesaikan.
3. Export Restriction
Berlakunya suatu peraturan di negara eksportir yang melarang atau mencegah atau
mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya ekspor barang tersebut, atau dicabutnya
izin ekspor eksportir untuk mengekspon barang yang bersangkutan.
4. Exchange Restriction
Berlakunya suatu peraturan baru di negara pemaksa counter purchase yang
melarang atau mencegah atau jika dapat diatasi menimbulkan biaya yang henlebihan
atas transfer dana dalam valuta asing (hard currency) yang menjadi hak eksportir.
5. Contract Termination
Contract termination adalah penghentian yang dilakukan oleh pihak pengimpon
(pemerintah negara counter trade) yang disertai dengan ketidaksediaan atau
ketidakmampuan untuk membayan bagian proyek yang telah dilaksanakan inisalnya
local cost).
6. Contract Repudiation
Pembatalan dan suatu proyek yang timbul kareha adanya pernyataan pembatalan
dari pihak negara counter purchase atau adanya ketidaksediaan atau negara tensebut
untuk melasanakan kewajiban-kewajibannya yang merupakan prasyarat pelaksanaan
pnoyek tersebut.
7. Importir atau negara importir yaitu negara pemaksa counter purchase tidak tersedia
atau tidak mampu membayar valuta asing (hard currency) yang menjadi hak
eksportir.
8. Ketidakpatuhan importir atau negara importir atas kepttusan Dewan Arbitrase
ataupun pengadilan (sesuai dasar hukum) yang ditunjuk guna menyelesaikan
perselisihan tersebut.
9. Proyek terpaksa dihentikan karena terjadinva unfair calling of bonds. Adalah hal
yang lazim, bahwa eksportir dan suatu proyek hesar (pendirian pabrik, turnkey
projects) diminta untuk menyediakan suatu performance bond yang dapat diuangkan
oleh importir, jika ternyata proyek tidak selesai dengan yang diharapkan.
10. Perubahan dalam daftar barang counter purchase yang mengakibatkan tidak
tersedianya barang yang dikehendaki dalam counter purchase contract. Berikut ini
diuraikan risiko yang dihadapi eksportir dalam melaksanakan counter purchase
contract.
Berikut ini diuraikan risiko yang dihadapi eksportir dalam melaksanakan counter
purchase contract.
1. Perubahan daftar barang counter purchase dan/atau perubahan harga barang yang
bersangkutan, jika counter purchase contract belum ditandatangani (uraian
sebagairnana tersebut di atas).
2. Berlakunya suatu peraturan di negara counter purchase yang melarang ekspor dan
barang yang akan di ekspor berdasarkan counter purchase contract atau yang
rnencegah atau berakibat tidak dapat dilaksanakannya ekspor barang tersebut dan
negara counter purchase.
3. Pelaksanaan principal contract yang lebih dahalu rnendahului counter purchase
contract pada dasarriya adalah pemberian advance palpnent. Jika karena terjadinya
sesuatu hal pelaksanaan principal contract ini tidak melahirkan adanya suatu
kewajiban membayar di pihak Importir maka hal ini juga berarti hilangnya suatu
advance payment (pembayaran dirnuka) akihatnya counter purchase contract juga
tidak dapat direalisir.
4. Frustration of the contract.
Terjadinya berbagai perubahan sehingga menimbulkan situasi yang sangat berbeda
dibandingkan dengan situasi pada saat penandatanganan sale contract. inisalnya
perang, pergolakan sosial, peralihan kekuasaan dan lain sebagainya, yang
mengakibatkan counter purchase contract tersebut tidak dapat dilaksanakan
sehingga eksportir terkena penalti/denda.
5. Berlakunya suatu peraturan di bidang impor yang baik secara umurn maupun khusus
menyangkut barang yang diimpor berdasarkan counter purchase contract yang
mencegah, melarang atau mengenakan biaya/pungutan yang tinggi atas impor yang
bersangkutan. H1 ini inisalnya menyangkut pajak impor, bea masuk, rnasalah
pungutan yang tinggi atas impor yang bersangkutan, masalah perizinan, dan lain-
lain.
6. Risiko-risiko lain yang timbul karena keterkaitan antara principal contract dengan
counter purchase contract. Risiko sernacam mi jelas terlihat jika barang yang
diekspor oleh eksportir berdasarkan principal contract adalah capital goods atau
suatu proyek; di mana counter purchase contract yang menjadi pasangannya adalah
menyangkut barang-barang dapat dikatagorikan sebagai raw material; consuniption
goods, dan lain-lain barang yang biasa dijual dalam jangka pendek.
Faktor yang perlu diperhatikan eksportir atau negara eksportir dengan negara
yang memaksakan counter purchase adalah sebagai berikut.
1. Adanya pemisahan antara principal contract dengan counter purchase contract,
sehingga untuk mengekspor ada satu export contract dan untuk mengimpor sebagai
pelaksanaan counter purchase terdapat import contract. Dengan demikian, dalam
counter trade terdapat tiga perjanjian yaitu Principal contract, counter purchase
contract dan principal atau bilateral agreement on trade and payment atau suatu
letter of undertaking yang mengikat dan mengakibatkan principal contract dengan
counter purchase contract.
2. Adanya suatu model draft contract yang sama untuk setiap principal contract dan
dengan sedikit perubahan dan tambahan sebagaimana diuraikan dasar hukum yang
sama yang dipakai sebagai landasan dan sales contract tersebut serta sistim arbitrase
yang sama untuk penyelesaian perselisihan.
3. Kewajiban untuk melaksanakan counter purchase seyogianya diberikan dalam
tenggang waktu yang cukup bagi eksportir agar eksportir dapat mencari dan
menetapkan salah satu barang yang paling sesuai dan daftar barang dengan pembeli
yang dapat ditunjuk untuk melaksanakan kewajiban counter purchase tersebut.
4. Harus dihindarkan adanya suatu ikatan untuk membeli (melaksanakan counter
purchase agreement) banang tertentu dengan harga tertentu. Masingmasing pihak
yang berniat melakukan counter trade harus menyediakan daftar barang dan harga
yang setiap saat berubah sesuai dengan harga pasar.
5. Besarnya nilai counter purcltase contract terhadap nilai principal contract harus
dipertimbangkan dengan memperhatikan jenis-jenis barang yang diwajibkan untuk
membeli dan kemampuan yang mengenakan kewajiban counter purchase untuk
menyediakan valuta asing (hard currency) untuk membayar selisih antara principal
dan counter purchase contract. Selisih yang jumlah akurnulasinya terlalu besar dapat
menimbulkan keterlambatan pelaksanaan transfer hard currency.
6. Ketentuan pembayaran akan selalu menggunakan letter of credit yang perlu
diperhatikan adalah jangka waktu pembayaran dan setiap kontrak. Seyogyanya
setiap kontrak (principal dan counter purchase) akan mempergunakan jangka waktu
pembayaran yang sama.
7. Barang yang disebut dalam daftar barang harus menggunakan standar kualitas
internasional sehingga mudah dipasarkan di international market (diekspor)
bilamana diperbolehkan.
8. Monitoring dan transaksi timbal balik akan dilakukan oleh kedua belah pihak
dengan menetapkan saat rekonsiliasi. Jika dipergunakan suatu clearing account
harus disebutkan dengan jelas dokumentasi, penilaian dan pengawasan atas
transaksi timbal balik yang terjadi.
9. Pengunaan dan peran switch dealer harus diuraikan dengan jelas dan diketahui dan
disepakati bersama antára negara-negara yang terlibat dalam counter trade
agreement serta dimasukkan dalam bilateral agreement.

13. BARTER
Banyak pihak di Indonesia menganggap bahwa barter sama dengan counter
purchace karena barter adalah suatu ekspor yang harus diikuti dengan impor. Hal mi
memang benar tetapi antara barter dengan counter purchace terdapat beberapa.
perbedaan pokok sebagai berikut.
1. Dalam barter tidak ada perjanjian jual beli, yang ada saling mengapalkan barang.
Oleh karena itu, jika suatu pengapalan barang dan suatu negara terganggu maka
negara lain tidak dapat melakukan pengapalan. Pengapalan harus menunggu
kesepakatan selanjutnya; apakah barter diteruskan atau tidak, apakah ketentuan
pembayaran yang akan dipergunakan jika pengapalan dilakukan padahal di negara
partner tidak mampu melakukan pengapalan, dan sebagainya.
2. Dalam barter barang tidak dinilai dengan uang/mata uang apapun, sedangkan dalam
counter purchace jelas-jelas harga barang disebutkan dalam sales contract.
Dalam counter purchace terdapat dua perjanjian jual beli (sales contract), pertama;
principal contract dan kedua counter purchace contract. Dalam sales contract
tersebut ditetapkan secara terpisah kewajiban-kewajiban untuk membayar.
Sedangkan kewajiban untuk membeli didudukan dalam protocol atau bilateral
agreement atau counter trade agreement.
3. Barter tidak melibatkan adanya suatu letter of credit; dalam barter jika dikehendaki
hanya ada performance bond atau stand by letter of credit yang sifatnya adalah
pemberian sanksi bagi pihak lain jika kewajiban mengapalkan barang tidak
terpenuhi. Dengan adanya performance bond tersebut pihak yang menerima
pengapalan dapat me.mperoleh kompensasi pembayaran dalam pembayaran valuta
asing yang konvertible atau hard currency.
4. Karena barter tidak mempunyai harga, maka barter juga sulit untuk dikenai dengan
bea masük atau bea keluar, pajak ekspor ataupun pungutanpungutan yang lazim
dilakukan bagi kedua negara. Jika barang yang dibarter mernpunyai harga patokan
maka hal-hal sebagaimana tersebut di atas akan dikenakan pada harga patokan,
tetapi yang menjadi masalah bagaimana jika tidak ada harga patokan.
5. Karena barang yang di ekspor dan di impor tidak ada penilaiannya dalam mata uang,
maka pencatatan dalam neraca perdagangan maupun dalam neraca pembayaran juga
sulit, yang berarti tidak dapat dicatat.
Karena tidak ada harga yang ditetapkan atas harga barang, barter lebih banyak
memiliki konotasi negatif yang berkaitan dengan penyeludupan, penyalahgunaan
wewenang, dan sebagainya. Yang lazimnya tidak resmi atau ilegal. Sekalipun demikian
contoh di mana Barter dilakukan dengan resmi, yaitu dengan United States Commodity
Credit Corporation.
US Commodity Credit Corporation mempunyai progam pelaksanan barter dan
tahun 1950 - 1973. Terakhir melaksanakan barter dengan pihak Jamaika di mana pihak
Jamaika mengapalkan bauxite sebanyak 400.000 ton ditukar dengan dairy product
sebanyak 9.115 metrik pon. Pada era modern sekarang mi kiranya barter adalah sistem
transaksi yang tidak layak dipakai dalam perdagangan internasional.

Anda mungkin juga menyukai