1. SEJARAH PROTEKSI
Prof. Paul Kennedy dalam bukunya The Rise and Fall of The Great Powers
(1987) mengemukakan bahwa hingga abad XV dunia hany mengenal kekuatan regional
yang tumbuh secara alami diberbagai penjuru bumi sejak zaman kuno.
Kennedy menguraikan bahwa setelah Columbus mendarat di benua Arnerika dan
Spanyol menjarah harta karun peninggalan imperium India, Inca, Maya dan Aztec,
maka Spanyol menjadi negara terkaya secara finansial. Masuknya barangbarang dan
Amerika Selatan itu, menjadikan aktivitas produksi dalam negeri lamban dan tidak
produktif, bahkan menjadikan innasi dan kemalasan serta kemanjaan rakyat Spanyol.
Dalam kasus Indonesia, hadirnya Belanda yang berhasil memaksa traktat-traktat
perjanjian dagang sepihak dengan penguasa lokal Nusantara. Secara populer dikatakan
Belanda menjajah Indonesia dan dan penguasaan itu, kemudian Belanda menjadi negara
paling kaya secara ekonomi finansial. Pada tahun 1700 GDP per kapita Belanda
mencapai 440 dolar AS atau 50% lebih tinggi dan Inggris 288 dolar AS. Belanda
menduduki rangking puncak negara terkaya karena memegang oktroi monopoli
perdagangan luar negeri Indonesia melalui BUMN VOC. Pada kurun waktu ini mashab
merkantiisme amat mendominasi pemikiran dan sistem ekonomi Eropa.
Pada perempat terakhir abad XVIII, Inggris mulai memasuki era Revolusi
Industri yang akan mengorbitkan negara ini menjadi satu di dunia mengalahkan Belanda
yang masih mengandalkan berdagang komoditi gaya lama. Istilah produktivitas lahir di
Prancis tahun 1776 walaupun di Inggris di temukan mesin pintal oleh Hargreave (1746)
dan Arkwrigt (1768). Mesin uap ditemukan oleh James Watt ketika George Washington
memimpin Revolusi Kemerdekaan AS dan Adam Smith (1723-1790) menulis buku
klasiknya The Wealth of Nations. Dengan industrialisasi, Inggris melesat meninggalkan
pesaing Eropa dan pada tahun 1785. Belanda digusur dan ranking puncak juara
pnoduktivitas dunia.
Lahirlah teori infant industry protection dengan subsidi, proteksi tarif dan tata
niaga yang melindungi industri muda di negara pendatang baru. Mereka perlu
melakukan proteksi terhadap yang sudah memiliki industri yang lebih maju. Aliran
historisme ini sangat populer dan dianut oleh semua negara yang menyusul
industrialisasi setelah Inggris, termasuk Prancis, AS, dan Jepang.
Proteksionisme dan konnik dagang antara pelbagai negara Eropa Barat, AS dan
Jepang itu akan memicu dua perang dunia pada paruh pertama abad XX. Setelah perang
dunia pertama, posisi Inggris sudah mulai terkejar oleh AS dan akan dikukuhkan setelah
perang dunia kedua sebagai super power politik, ekonomi, dan iniliter.
Sejarah proteksi sejak Perang Dunia II dapat diartikan sebagai berikut.
1. Terus merosotnya tarif bea masuk melalui negosiasi GATT yang berkelanjutan
(successive GATT negotiations).
2. Hambatan pada perdagangan secara konvensional yang makin menurun (licences,
kuota impor).
3. Mencuatnya non-tariff barriers.
Secara kronologis proteksi dalam perdagangan dapat dikemukakan sebagai
berikut.
1. 1920-1930 : krisis keuangan internasional dalam tahun 1929.
2. 1930-an : beggar-thy-neigh-bour protection policies yang disertai depresi besar;
anjloknya perdagangan dengan mencuatnya hambatan-hambatan.
3. 1947 : pembentukan GATT untuk melandasi aturan perdagangan
multilateral dan sebagai forum untuk negosiasi liberalisasi-
perdagangan global.
4. 1950-an : vested interests tetap berkecamuk setelah perang dunia kedua.
5. 1960-an : putaran-putaran GATT secara liberalisasi restriksi intra-Eropa yang
mengurangi proteksi, kecuali dalam sektor pertanian; tarif bea masuk
dikurangi dan mengikat; kebanyakan kuota impor ditiadakan, kecuali
untuk pertanian dan tekstil.
6. 1970-an : munculnya pressure groups kareia kelemahan kemampuan bersaing
terhadap eksportir negara-negara berkembang dan tekanan struktural
sebagai akibat ‘krisis ininyak’ mendorong mencuatnya
proteksionisme gaya barn dalam sektor manufaktur negara-negara
industri; subsidi domestik Putaran Tokyo membahas penurunan tarif
bea masuk lebih lanjut.
7. 1980-an : mencuatnya tekanan fiskal dan neraca pembayaran, khususnya di
Amerika. Adanya suatu pengalihan (switch) dan subsidi ke tindakan-
tindakan perdagangan yang tidak adil (unfair); peningkatan
pemakaian voluntary restrains; mulainya Putaran Uruguay.
8. 1990-an : diskriminasi dan pengaburan (obfuscation) merupakan senjata barn
proteksionisme.
Terdapat tiga bentuk proteksionisme gaya barn, yaitu sebagai berikut.
1. VER (voluntary export restrains) yang merupakan suatu sarana yang berada di luar
jangkauan aturan GATT. GATT mencatat sejumlah 250 VER (di luar MFA= multi
fibre agreement), yang kebanyakan ditujukan pada Asia.
2. Super 301 US Trade Act tahun 1988 yang merupakan senjata baru Amerika untuk
membalas (retaliate) terhadap berbagai negara dagang yang berlaku tak adil (againts
selected unfair trading countries) yang dijadikan sasaran Jepang, India dan Brazil.
3. Anti-dumping, suatu bentuk yang sah dan proteksi diskriminatorik, yang lebih
restrictive dalam perundangan EC. Sangat mencuat dalam tahun 1980- an: 300
kasus di ME 700 kasus di Amenika Serikat.
2. BENTUK PROTEKSI
Proteksi secara umum ditujukan sebagai tindakan untuk melindungi produksi
dalam negeri terhadap persaingan barang impor di pasaran dalam negeri. Secara luas
perlindungan ini juga mencakup untuk promosi ekspor. Sedangkan metode proteksi
yang dilakukan menyangkut sistem pungutan tarif (pajak) terhadap barang impor yang
masuk ke dalam negeri. Tarif merupakan pajak yang dikenakan atas barang impor. Pajak
atas barang impor itu biasanya tertulis dalam bentuk pernyataan Surat Keputusan (SK)
atau undang-undang. Oleh karena itu, setiap impotir dapat mempelajarinya sebelum
mengimpor suatu barang.
Umumnya pengenaan tarif atau bea masuk dikenakan secara khusus berdasarkan
prosentase dan nilai barang impor.
Beberapa bentuk proteksi yang secara garis besarnya adalah sebagai benikut.
1. Kuota
Kuota adalah hambatan kuantitatif, yang membatasi impor barang secara khusus
dehgan spesifikasi jumlah unit atau nilai total tertentu per periode waktu. Dalam
pelaksanaannya ada beberapa pengecualiaan bagi pemegang lisensi impor atau yang
mempunyai hak-hak istimewa (privileges) yang diberikan oleh pemerintah untuk
diizinkan memasukkan barang ke dalam negeri.
2. Perdagangan oleh Pemerintah (State Trading Practices)
Secara khusus, perdagangan atau kegiatan impor yang dilakukan oleh pemerintah
atau monopoli impor oleh Badan Usaha inilik Negara. Hakikatnya pemerintah
merupakan pelaku utama, hal ini merupakan pola yang sering dilakukan oleh
negara-negara komunis atau sosialis, dengan kata lain merupakan tindakan
monopoli impor. Importir mendapat kebebasan administratif untuk memasukkan
barang impor. Posisi pemerintah di sini bisa sebagai pemegang perusahaan negara
yang melakukan impor untuk memenuhi keinginan dan kepentingan nasional,
3. Kontrol Devisa (Exchange Control).
Kontrol devisa merupakan hambatan administrasi atau transaksi yang melibatkan
mata uang asing. Kontrol devisa dikenakan pada pembayaran impor di mana semua
transaksi impor harus dengan izin bank sentral terutama untuk membeli mata uang
asing untuk pembayaran impor barang-barang oleh perusahaan. Transaksi impor-
ekspor tersebut dapat dihambat melalui ketidakleluasaan izin administrasi atau
transaksi yang diberikan.
4. Larangan Impor (Import Prohibition)
Adalah bentuk hambatan langsung di mana larangan ini merupakan bentuk yang
paling ketat dan segala hambatan impor dengan melakukan larangan impor untuk
katagori barang tertentu, inisalnya untuk barang mewah atau barang terlarang
lainnya seperti obat terlarang, senjata api dan lain-lain yang membahayakan
keamanan negara.
5. PERHITUNGAN TARIF
Misalnya tingkat tarif adalah T, dan dikenakan trhadap barang impor M. Hal ini
akan meningkatkan harga barang impor menjadi Pm. Dalam proporsi di atas di mana
harga internasional adalah Pm*, di mana diasumsikan bahwa barang M di pasar
domestik adalah kompetitif dan impor M tetap berlangsung secara lancar:
Dimana apabila tanpa dikenakan tarif, maka harga domestik sama dengan harga
internasional Pm*. Produk domestik adalah QI (ditentukan oleh kurva supply domestik)
sementara konsumsi domestik (ditentukan oleh kurva demand) adalah Q2 yang
memotong konsumsi pada Q3. Tingkat impor jatuh dan (Q4 - Qi) ke (Q3 - Q2). Tujuan
analisis ekuilibrium parsial ini seperti ditunjukkan dalam Gambar 4.la yang merupakan
alat untuk melihat adanya perubahan tarif terhadap barang tertentu, walaupun dalam
suatu keadaaan dengan asumsi ceteris paribus yang menggarisbawahi pelanggaran
analisi ekuilibrium parsial. Dalam kasus ini, di mana kebijakan pemerintah secara
umum ditekankan pada substitusi impor seperti penerapan proteksi dibandingkan
dengan penerapan kebijakan perdagangan bebas atau kebijakan promosi ekspor.
Gambar 4.la menunjukkan pengaruh kenaikan harga barang M di negara A
dalam diagram supply and demand.
Gambar 4.lb menujukkan pengaruh tarif dalam general equilibrium. di mana PA
adalah titik produksi dan konsumsi dalam autarky. Diketahui bahwa kurva indiferen
sosial yang menyentuh kurva kemungkinan produksi (KKP).
Berikutnya, kita dapat melihat pengaruh pengenaan tarif yang tidak membebani
barang impor. Mempunyai pengaruh pada harga domestik yang paralel dengan analisis
ekuilibrium.
Harga domestik negara A ditunjukkan oleh garis harga yang lebih rata daripada
TOT, tetapi lebih curam daripada harga autarki (pemerintah) seperti ditunjukkan oleh
garis harga dengan tanda panah ganda dalam Gambar 4.lb.
Harga tersebut dapat merangsang konsumsi dan pendapatan dengan slope seperti
ditunjukkan oleh Z, (P untuk proteksi, F untuk perdagangan bebas, dan A untuk autarki).
6. PENGARUH TARIF
A. Pengaruh terhadap Produksi
Seperti dapat dilihat dari dua kurva dalam Gambar 4.1, tarif meningkatkan
output barang M yang menerima proteksi. Sedangkan dalam Gambar 4.lb menunjukkan
peningkatan output barang yang diproteksi dan meningkatkan biaya yang seharusnya
dipotong dalam output barang X yang tidak diproteksi. Hal itu dapat dibenarkan
sepanjang kita membandingkan ekuiibrium dan kombinasi faktor produksi pada tingkat
full employment yang dibedakan sepanjang KKP.
Langkah berikutnya adalah mempertimbangkan apakah faktor-faktor yang tidak
nampak sebagai tanda kualifikasi yang lain dianggap sama. Pada prinsipnya, harus
ditekànkan pada semua kondisi di mana pareto optimum dapat dipegang. Sejak teori
second best yang mengatakan bahwa tingkat kepuasan dalam kondisi marjinal tidaklah
dapat memperbaiki tingkat kesejahteraan, kecuali semua kond is marjinal tersebut telah
terpenuhi dan kemudian tidak pernah terjadi adanya distorsj ekonomi. Beberapa pemikir
teori ekonorni murni, berkesimpulan bahwa setiap perubahan kebijakan, tidak akan
pernah menyelesaikan masalah, seperti keinginan dalam penerapan kebijakan
liberalisasi perdagangan. Sebagai akibatnya, beberapa ekonom terpaksa menyesuaikan
dengan perubahan keadaan yang ada sebagai akibat dan interaksi kekuatan kebijakan,
terutama dengan semakin merebaknya proses liberalisasi ekonomi.
Sebagaimana pertimbangan Teori second best, dengan alasan khusus untuk
mempercayai adanya perbedaan antara privat cost dan social cost atau keuntungan
dalam suatu kasus yang terbaik.untuk menghitung penyimpangan dan mengevaluasi
penerapan kebijakan. Kita dapat melihat dan latar belakang perkembangan
pembangunan suatu negara yang mendorong adanya penerapan proteksi, yang pada
umumnya didasarkan pada dua alasan berikut.
1) Alasan infant industri (industri yang baru tumbuh/pemula)
Dalam keadaan yang khusus, proteksi dapat memberikan keuntungan.
masyarakat secara uixtum yang diperoleh dan pengembangan produksi domestik pada
tingkat tertentu dapat melebihi keuntungan yang bersifat individu. Walaupun sering
terjadi kekeliruan interpretasi bahwa, proteksi dianggap sebagai alasan untuk
pengembangan industri yang baru berkembang atau pemula terutama dalam analisis
standar dengan memperlakukan KKP sebagai faktor eksogen. Dengan alasan bahwa
sangat sulit mengembangkan industri pemula bagi negara yang sedang berkembang,
karena dihadapkan tingginya tingkat persaingan pasar, terutama masuknya produk dari
negara industri maju yang mempersempit ruang gerak produk domestik, sehingga perlu
adanya perlindungan (proteksi) dan pemerintah dalam jangka pendek.
Bagi yang menerima kontra argumentaSi tersebut, biasanya menerima pula
alasan argumentasi industri pemula dengan beberapa penekanan sebagai berikut:
Proteksi bukan merupakan bantuan dan perlindungan secara cuma - cuma untuk
industri-industri pemula tersebut, melainkan suatu perlindungan awal bahwa jndustri
pemula diharapkan akan dapat berkembang menjadi dewasa, sehat, kompetitif dan
dalam waktu tertentu sandaran proteksi secara perlahan dan bertahap akan dihilangkan
sesuai dengan keadaan pasar.
2) Alasan strategis
Dalam beberapa hal, ada jenis-jenis industri yang diperlukan untuk kepentingan
dan keamanan nasional. Oleh karena itu, dipertimbangkan agar keuntungan sosial
(social benefit) harus lebih besar daripada keuntungan individu (individual benefit).
inisalnya, industri alat-alat pertahanan dan keamanan merupakan contoh yang jelas
(menurut konsep keuntungan sosial yang bisanya diambil sebagai jaminan oleh
pemerintah). Akan tetapi, ekonom - ekonom masih lebih melihat pada bentuk dan fungsi
sosial dibañding dengan ketakutan terhadap beban biaya yang dianggap sebagai
program pembenaran keamanan nasional. Tentunya beberapa keraguan tentang alasan
untuk industi strategis dapat dijadikan penyelidikan yang menarik untuk mengukur
tingkat efektivitas penggunaan biaya produksi terhadap suatu industri yang
menghasilakan output yang dikatagonikan sebagai strategis.
Gambar 4.2
Penyimpangan konsumsi
Nilai guna konsumsi ditunjukkan oleh area di bawah kurva pemintaan, di juana
penurunan nilai guna konsumsi ditunjukkan dalam area segi empat. Segi empat GH,
Q4,Q3, menunjukkan nilai sosial dan sumber sumber daya yang dibebankan oleh
penurunan konsumsi, sementara segitiga JGH menunjukkan menghambat pemborosan
sosial dan tingkat konsumsi sangat tinggi karena biaya semua konsumsi tidak hanya
terbatas pada konsumsi barang - barang impor.
Contoh umum dari teori campur tangan pemerintah yang optimal dalam upaya
menekan penyimpangan konsumsi adalah dengan pengenaan pajak. Prinsipnya sama
seperti argumen yang mendukung pajak konsumsi rokok, dalam upaya menekan
konsumsi rokok, walaupun pengenaan pajak rokok yang cukup tinggi terasa kurang
efektif dalam mengurangi tingkat konsumsi rokok.
7. PROTEKSI EFEKTIF
Konsep dan proteksi efektif dikembangkan oleh ekonom Australia, Max Corden
(lahir 1927), dan ekonom Kanada, Harry Johnson (lahir 1923). Di mana tingkat proteksi
efektif didefinisikan sebagai peningkatan proporsional dalam nilai tambah suatu industri
yang merupakan hasil keseluruhan struktur proteksi pada kedua output dan input
industri.
Formula dasar untuk mengukur tingkat proteksi efektif (Te) adalah sebagai
berikut.
Peranan Pemerintah
Kelemahan industri nasional adalah adanya keterkaitan antara produsen akhir
dengan bahan baku atau komponen yang dihasilkan industri hulu, sementara pasokan
bahan baku impor masih dikenakan tarif yang relatif tinggi. Akibatnya akan
melemahkan daya saing industri dalam negeri di pasar internasional.
Pemerintah tetap mempertahankan kebijakan proteksi terhadap industri hulu,
walau dianggap berbagai kalangan akan menghancurkan daya saing industri hilir.
Pelepasan proteksi dikhawatirkan akan merusak industri hulu itu sendiri karena adanya
serangan kuat industri hulu sejenis dan luar négeri yang relatif sudah kuat dan mapan.
Pemerintah harus secermat mungkin mengamati berbagai dampak yang muncul
sebelum memutuskan mencabut proteksi itu, terutama dampaknya bagi industri hilir
pemakai produk industri hulu maupun industri nasional lainnya. Jadi harus dihitung
pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Dengan demikian, garis harga internal lebih curam daripada garis TOT seperti
ditunjukkan dalam Gambar 4.3b. Catatan, pengenaan tarif = T pada barang impor dan
subsidi ekspor = u pada barang ekspor dipastikan tidak memberikan pengaruh pada
harga relatif, juga pada ekuilibrium (kesimpulan itu berhubungan dengan ekuilibrium
bahwa, ada pengaruh makro ekonomi di luar ekuilibrium, yaitu kedua perubahan
tersebut cenderung akan mendorong pendapatan dan menciptakan surplus pembayaran).
Pengaruh subsidi ekspor terhadap produksi sama dengan tarif impor, yang
menunjukkan kenaikan out put pada barang ekspor, Q3 ke Q4 dalam Gambar 4.3a dan
titik yang ditunjukkan oleh Pf ke Pp yang memotong output M, seperti dalam Gambar
4.3b. Argumen yang sama mengatakan bahwa pengaruhnya terhadap produksi harus
diperhitungkan sebagai distrosi, khususnya mengenai kemungkinan konsumsi yang
dapat dipertahankan sepanjang garis TOT pada Pp yang didominasi oleh keadaan
sepanjang garis TOT yang menyentuh KKP pada Pp.
Dalam Gambar 4.4 kurva permintaan dan penawaran untuk beberapa barang
ditunjukkan oleh kurva D dan S. sedangkan kuota impor digambarkan pada garis
horizontal Q. Diasumsikan bahwa Q adalah bagian dan jumlah barang yang di impor
dan perdagangan bebas. Oleh karena itu, penetapan kuota dimasukkan dalam kebijakan
proteksi, di mana hasil ekuilibrium-nya adalah jarak horizontal antara kunva permintaan
dan penawaran adalah sama, yaitu pada Q. Karena kenaikan naik diatas tingkat
perdagangan bebas dan titik P ke F, maka kesamaan pengaruh dan peningkatan
penawaran dan penurunan permintaan adalah memotong garis impor pada Q (atau Q4
-Q2) sebaliknya, perdagangan bebas untuk impor bergerak dari(Q6-Q1).
Dengan demikian, tarif T sama dengan kuota Q (ceteris paribus) yang
mempunyai pengaruh sama terhadap harga dan kuantitas, dengan asumsi persaingan
sempurna yang disebabkan oleh faktor kesamaan tersebut. Sehingga, tidak terlalu
penting untuk melakukan pengujian pengaruh general ekuilibnium dan kouta.
Gambaran seperti ini menjelaskan bahwa kuota adalah identik dengan tarif.
Namun dengan demikian ada tiga perbedaan yang mendasar antara pengaruh
tarif dan kuota.
1. Perbedaan pengaruh tarif terhadap penerimaan pemerintah
Area bayangan pada Gambar 4.4 di mana tarif secara umum dapat meningkatkan
penerimaan pemerintah. Dalam keadaan normal, apabila pemerintah memberikan izin
impor ( dengan jumlah yang sama dengan kuota) pada importir, maka importir
mendapatkan keuntungan seperti pada area bayangan, dengan harga pembelian sesuai
dengan harga pasar global sebesar P’, kemudian menjualnya pada harga pasar domestik
P. Hal ini dapat terjadi hanya apabila pemerintah memberikan lisensi impor untuk
membanjiri pasar domestik yang sudah pasti (jelas), yang apabila dalam kondisi
persaingan bebas akan sama dengan pengenaan tanif. Keuntungan yang diperoleh
melalui kuota impor tersebut dapat ditarik kembali oleh pemerintah dengan
menghilangkan adanya penlakuan khusus. Pemerintah juga sering melakukan
pembenian atau penunjukkan khusus untuk lisensi impor kepada badan usaha inilik
negara (BUMN ), atau bahkan juga diberikan kepada badan swasta tertentu baik atas
dasar pertimbangan obyektif maupun pertimbangan khusus lainnya.
Perbedaan reaksi terhadap pergeseran permintaan dan penawaran atau pengaruh
dan komparatif statik, seperti dalam kasus pergeseran permintaan dan D ke D’ (Gambar
4.4) di mana tarif konsumsi akan meningkat ke Q, yang juga meningkatkan impor (Q7 -
Q4). Sebaliknya, kuota dapat menahan meningkatnya impon dan kemudian harga naik
ke P’ agar suplai tetap tersedia (yang hanya dapat terpenuhi melalui peningkatan output
domestik) sehubungan dengan terjadinya peningkatan penmintaan. Pergeseran
permintaan akibat pengenaan tarif tersebut menyebabkan perubahan jumlah impor,
sedangkan penetapan kuota akan menyebabkan penubahan harga internal. Pemerintahan
dengan perencanaan pusat di mana perbedaan pengaruh tersebut menupakan
keuntungan bagi penetapan sistem kuota. Diyakini bahwa perubahan volume impor
bukan menupakan suatu penyimpangan yang dilakukan oleh kebijakan perencanaan
pemenintah pusat, tetapi lebih disebabkan oleh melesetnya perkiraan permintaan dan
penawaran. Perbedaan-perbedaan tersebut lebih bersifat sekunder.
Kesimpulannya bahwa apabila pemerintah akan memberikan perlindungan atau
proteksi maka diperlukan kalkulasi yang ekstra ketat. Namun mempertanyakan apakah
subsidi akan lebih balk daripada kuota. Juga pemberian fasilitas khusus terhadap
perusahaan tertentu selayaknya dikaji lebih dalam lagi dan aspek keuntungan dan
kerugian secara nasional.
Teori intervensi optimal pemerintah mengatakan bahwa subsidi lebih baik
daripada kuota apabila pertimbangan mengenai berkurangnya penerimaan pemerintah
diabaikan. Perdagangan bebas secara prinsip dapat menurunkan dan meningkatkan
kesejahteraan ekonomi yang sangat tergantung pada kreasi pengalihan perdagangan.
Walaupun dalam kenyataannya menunjukkan bahwa telah terjadi kerja sama antara
sesama negara maju, seperti Pasar Tunggal Eropa (European Single Market). Dalam
pasar tersebut terjadi pengaturan perdagangan yang melibatkan dua belas negara maju
di Eropa yang berlaku efektif mulai tahun 1993, demikian pula dengan hadirnya mata
uang Eropa yang bernama Euro yang mulai diterapkan pada tangga 1 Januari 1999, dan
akai berlaku efektif mulai tahun 2001. Penjelasan mengenai mata uang tunggal Eroa ini
akan dijelaskan secara terperinci pada Bab 5.
Konsep umum ekonomi negara industri dalam ekonomi internasional dijelaskan
adalah bahwa negara industri dapat mempengaruhi TOT melalui pasar yang paling
kompetitif sekalipun. Negara tersebut dapat melakukan transaksi dan semua yang
mereka inginkan pada tingkat harga tertentu. Kita ketahui bahwa tarif empunyai
beberapa pengaruh seperti yang dibahas dalam bab ini, di mana diantaranYa bahwa tarif
dapat memperbaiki TOT dan merupakan upaya penurunan icuantitas impor negara yang
bersangkutan.
TOT didefinisikan sebagai rasio harga ekspor terhadap harga impor. Sehingga
peningkatan TOT merupakan perbaikan dalam kuantitas ekspor yang nilai jualnya lebth
besar daripada nilai impor ( dalam kondisi ceteris paribus ). Pengaruh indogen TOT
pada analisis general ekuilibrium dan bab yang dijelaskan pada Gambar 4.5
inemperlihatkan bahwa titik produksi adalah Pf, dan titik konsumsi adalah Cf dapat
dicapai melalui perdagangan bebas, TOT di sini ditunjukkan oleh satu panah. Dengan
pengenaan tarif, maka harga internal M naik seperti yang ditunjukkan oleh garis-garis
dengan dua panah. Titik ekuilibrium produksi Pp tidak berubah. Bagi suatu negara
adalah baik untuk tidak memperdagangkan barang dan titik Pp, yaitu titik asal TOT
dalam perdagangan bebas. Pada saat TOT membaik, harga relatif, garis TOT-nya lebih
curam danipada garis TOT dalam perdagangan bebas, seperti ditunjukkan oleh ganis
dengan tiga panah, dalam gambat 4.5. Dalam keadaan nil, garis TOT Pp, Cp memotong
garis TOT dalam perdagangan bebas Pf,Cf dan kemudian naik ke atas. Ekuilibrium
konsumsi Cp (pada titik PpCp kurva indifferen menyentuh garis harga internal) yang
terletak pada kurva indifferen sosial lebih tinggi daripada ekuilibrium perdagangan
bebas Cp. Sebagai akibatnya negara dapat memperbaiki tingkat kesejahteraan
masyarakat dengan diberlakukannya pengenaan tarif.
Kasus Indonesia
Menurut daftar yang didasarkan atas kriteria graduation tersebut, Indonesia
terkena graduation untuk produk kayu (bersama Mlaysia) dan sepatu (bersama Brazil,
Cina, Korea Selatan dan Thailand). Karena Indonesia termasuk dalam daftar GNP per
kapita di bawah 6000 dolar Amerika, maka pencabutan fasilitas GSP atau penibayaran
penuh tarif normal untuk ekspor kayu dan sepatu indonesia dilakukan erhitU1g I Januari
1998.
Meski yang terkena graduation termasuk dua kelompok mata dagangan utama
Indonesia, namun dengan semakin terkikisnya tingkat arif normal pada 1998 dan tahun-
tahun berikutnya sebagai hasil Putaran Uruguay, dampak negatif yang ditimbulkan tak
terlalu signifikan. Terutama untuk mata dagangan sepatu yang berada dalam daftar
sensitif kalaupun masih dapat GSP, potongan tarifnya hanya 20% dan tarif normal,
kecuali negara LDC seperti Bangladesh, dengan 0% bea masuk ke UE akan punya
potensi besar untuk memanfaatkan status baru mata dagangan sepatu. Sedangkan untuk
kayu, walaupun tergolong nonsensitif, hanya negara pemasok besar kelompok mata
dagangan kayu lainnya, bila ada yang berpotenSi memanfaatkan peluang graduation
kayu dan Indonesia dan Malaysia.
Yang justru perlu mendapat perhatian Indonesia secara lebih seksama adalah
masalah cukup banyaknya mata dagangan Indonesia yang selama ini menikmati tarif
GSP 0% (walaupun volumenya dibatasi), seperti beberapa katagori tekstil/ pakaian jadi,
sepeda dan elektronik, di bawah GSP banu akan berada dalam daftar sensitif. Artinya,
sejak 1995 (tanpa ada pembatasan volume impor) pengurangan tarif yang diperoleh
hanya 20%, bukan lagi 100% dan tarif normal.
13. BARTER
Banyak pihak di Indonesia menganggap bahwa barter sama dengan counter
purchace karena barter adalah suatu ekspor yang harus diikuti dengan impor. Hal mi
memang benar tetapi antara barter dengan counter purchace terdapat beberapa.
perbedaan pokok sebagai berikut.
1. Dalam barter tidak ada perjanjian jual beli, yang ada saling mengapalkan barang.
Oleh karena itu, jika suatu pengapalan barang dan suatu negara terganggu maka
negara lain tidak dapat melakukan pengapalan. Pengapalan harus menunggu
kesepakatan selanjutnya; apakah barter diteruskan atau tidak, apakah ketentuan
pembayaran yang akan dipergunakan jika pengapalan dilakukan padahal di negara
partner tidak mampu melakukan pengapalan, dan sebagainya.
2. Dalam barter barang tidak dinilai dengan uang/mata uang apapun, sedangkan dalam
counter purchace jelas-jelas harga barang disebutkan dalam sales contract.
Dalam counter purchace terdapat dua perjanjian jual beli (sales contract), pertama;
principal contract dan kedua counter purchace contract. Dalam sales contract
tersebut ditetapkan secara terpisah kewajiban-kewajiban untuk membayar.
Sedangkan kewajiban untuk membeli didudukan dalam protocol atau bilateral
agreement atau counter trade agreement.
3. Barter tidak melibatkan adanya suatu letter of credit; dalam barter jika dikehendaki
hanya ada performance bond atau stand by letter of credit yang sifatnya adalah
pemberian sanksi bagi pihak lain jika kewajiban mengapalkan barang tidak
terpenuhi. Dengan adanya performance bond tersebut pihak yang menerima
pengapalan dapat me.mperoleh kompensasi pembayaran dalam pembayaran valuta
asing yang konvertible atau hard currency.
4. Karena barter tidak mempunyai harga, maka barter juga sulit untuk dikenai dengan
bea masük atau bea keluar, pajak ekspor ataupun pungutanpungutan yang lazim
dilakukan bagi kedua negara. Jika barang yang dibarter mernpunyai harga patokan
maka hal-hal sebagaimana tersebut di atas akan dikenakan pada harga patokan,
tetapi yang menjadi masalah bagaimana jika tidak ada harga patokan.
5. Karena barang yang di ekspor dan di impor tidak ada penilaiannya dalam mata uang,
maka pencatatan dalam neraca perdagangan maupun dalam neraca pembayaran juga
sulit, yang berarti tidak dapat dicatat.
Karena tidak ada harga yang ditetapkan atas harga barang, barter lebih banyak
memiliki konotasi negatif yang berkaitan dengan penyeludupan, penyalahgunaan
wewenang, dan sebagainya. Yang lazimnya tidak resmi atau ilegal. Sekalipun demikian
contoh di mana Barter dilakukan dengan resmi, yaitu dengan United States Commodity
Credit Corporation.
US Commodity Credit Corporation mempunyai progam pelaksanan barter dan
tahun 1950 - 1973. Terakhir melaksanakan barter dengan pihak Jamaika di mana pihak
Jamaika mengapalkan bauxite sebanyak 400.000 ton ditukar dengan dairy product
sebanyak 9.115 metrik pon. Pada era modern sekarang mi kiranya barter adalah sistem
transaksi yang tidak layak dipakai dalam perdagangan internasional.