Anda di halaman 1dari 6

Liberalisasi perdagangan sudah merupakan fenomena dunia yang nyaris tidak dapat

dihindari oleh semua negara sebagai anggota masyarakat internasional. Fenomena


ini ditengarai oleh terbentuknya blok-blok perdagangan bebas, yang menurut Organisasi
Perdagangan Dunia (World Trade Organization/ WTO)
sudah hampir mencapai angka 250. Blok perdagangan bebas atau Free Trade Agreement
(FTA) dapat di-bentuk secara bilateral, misalnya antara Amerika Serikat dengan
Singapura, Amerika Serikat dengan Chile; Jepang dengan Singapura; maupun regional
seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA), North America Free Trade Area (NAFTA) dan Uni
Eropa.
Maraknya pembentukan FTA diantaranya disebabkan oleh kurang berhasilnya Pertemuan
Tingkat Menteri WTO di Seattle tahun 1999 dan buntunya perkembangan perundingan
WTO sampai saat ini, terutama oleh mandeknya proses kesepakatan dalam pengaturan
produk pertanian. Sejumlah negara seolah berlomba untuk melakukan free trade
agreement karena khawatir akan dampak hilangnya pasar yang sebelumnya mereka
kuasai, yang kemudian beralih diantara mitra yang melakukan FTA (trade diversion).
Misalnya, apabila terbentuk FTA antara Jepang dengan Thailand, maka pangsa pasar
milik Indonesia yang sebelumnya dinikati di pasar Jepang, akan terdorong untuk beralih
dan dinikmati oleh Thailand. Hal ini terjadi karena dengan FTA, arus barang dagangan
dua arah akan bebas hambatan dan bebas tarif dibandingkan tanpa FTA yang
mungkin terkena tarif yang lebih tinggi.
Insentif tarif ini akan dinikmati oleh eksportir, karena meningkatnya daya saing,
oleh importir karena membuat margin keuntungan lebih besar, dan oleh konsumen
karena harga menjadi lebih murah. Insentif tarif merupakan pendorong utama terjadinya
peningkatan arus barang dari satu negara ke negara lainnya.
Dalam perundingan FTA dengan negara mitra dagang, kepentingan domestik merupakan
salah satu faktor yang menjadi prioritas perhatian, sehingga dalam proses pembentukan
FTA harus diperhatikan dampak langsung maupun tidak langsung yang akan dialami
dengan memperhatikan antara lain daya saing perusahaan didalam negeri, kesempatan
kerja, pertumbuhan ekonomi, dan pendapatan pemerintah dari bea masuk impor
meskipun nilainya tidak terlalu signifikan.
Blok Perdagangan, FTA, atau disebut juga Regional Trade Agreement (RTA) didefinisikan
dan diatur dalam Artikel XXIV GATT 1994/ WTO yang memberikan rambu-rambu
pembentukan wilayah pabean bersama atau pabean tunggal (customs union) dan FTA.
FTA atau blok perdagangan memberikan kontribusi penting terhadap kemajuan
liberalisasi perdagangan multilateral dalam forum WTO sebagai "the first best choice".
FTA regionnal sebagai "the second best" dan FTA bilateral sebagai "the third best" bagi
negara anggota merupakan langkah awal (playing field) sebelum memantapkan
posisinya pada FTA multilateral. Pada umumnya, negara anggota mendapatkan
kepercayaan diri dalam negosiasi FTA regional yang kemudian berkembang dalam FTA
bilateral dan akhirnya percaya diri dalam membawa FTA multilateral pada forum WTO.
Perundingan diantara anggota FTA regional, misalnya AFTA dengan 10 pendapat negara
anggota yang berbeda, jauh lebih mudah menghasilkan keputusan dibandingkan forum
WTO dengan hampir 150 negara anggota yang memiliki posisi masing-masing.
FTA membawa dampak ekspansi perdagangan dunia, menghilangkan hambatan
perdagangan dan bertujuan meningkatkan perdagangan antar anggota. Kesepakatan
paling utama dalam perdagangan bebas adalah penghilangan hambatan tarif dan nontarif diantara anggota, meskipun seperti diatur dalam artikel XXIV GATT/ WTO, negara
anggota tidak boleh meningkatkan hambatan perdagangan kepada negara non-anggota.
Sebagai contoh, tarif bea masuk Indonesia untuk produk 'A' misalnya 20 persen. Dengan
AFTA, Indonesia menurunkan tarif tersebut menjadi 0 persen untuk sesama anggota,
namun dengan negara non-anggota, tarif produk 'A' tersebut tidak boleh lebih tinggi
dari 20 persen.
B.

PERKEMBANGAN BLOK PER-DAGANGAN BEBAS

Secara umum FTA disebut juga Regional Trade Agreement (RTA) apabila merupakan
kesepakatan lebih dari dua negara sehingga dapat disebut sebagai kelompok negara
yang secara geografis bersebelahan. Dalam RTA negara-negara tersebut bersepakat
untuk saling mempertukarkan preferensi dagang. Kesepakatan ini secara lengkap harus

dilaporkan kepada sekretariat WTO di Jenewa, dianta-ranya untuk diinvestigasi agar tidak
berlawanan dengan artikel XXIV WTO. Perkembangan terbentuknya FTA/RTA dapat
disimak dari Tabel 1 dibawah ini. Dari saat GATT terbentuk pada tahun 1947, sampai
hampir 30 tahun kemudian pada tahun 1975, kesepakatan FTA baru mencapai kurang
dari 50 dan perkembangan pada periode tersebut berlangsung secara perlahan. Namun
terhitung sejak pergantian GATT menjadi WTO pada tahun 1994 sampai tahun 2002,
jumlah FTA meningkat tajam. Pada tahun 2002, FTA yang telah dinotifikasi kepada
sekretariat WTO telah mencapai 250.
Tabel 1.

Terbentuknya WTO
Regional Trade Agreement yang telah dinotifikasi kepada GATT/WTO (angka kumulatif)
Sumber: WTO
Proses perkembangan pembentukan FTA juga dapat disimak dari Tabel 2 yang
mengklasifikasi FTA berdasarkan jenis kesepakatan diantara negara yang bersangkutan.
Terhitung sejak bulan Maret 2002, dari 243 Regional Trade Agreement (RTA) yang
dilaporkan kepada sekretariat WTO, terdapat 175 (72 persen) diantaranya mengambil
bentuk liberalisasi untuk barang dan jasa sekaligus. Dalam bentuk FTA ini seluruh jenis
barang dan jasa tanpa kecuali diliberalisasi dari segala hambatan. Sedangkan 46 RTA (18
persen) mengambil bentuk partial scope (China dengan Thailand). Bentuk lainnya, yaitu
customs union yang meliputi 22 RTA (10 persen), adalah kesepakatan sejumlah negara
untuk memberlakukan tarif eksternal yang seragam dengan prosedur pabean yang
sama dan tarif internal 0 persen diantara para anggota, misalnya Uni Eropa. RTA yang
sudah diberlakukan, berdasarkan bentuk agreement.
Dalam perkembangannya, dari 250 blok perdagangan yang sudah dinotifikasi kepada
sekretariat WTO, sejumlah 168 (68 persen) sudah pada tahap implementasi.
Tabel 2.
Sumber: WTO
Dari jumlah tersebut, 125 RTA (50 persen) dibentuk sebelum 1994. Pada saat periode
peralihan dari GATT menjadi WTO, RTA yang masih efektif hidup sampai saat ini
berjumlah 51 (20 persen). Menurut data, periode tahun 1995-2002 terjadi pembentukan
RTA sebanyak 141 dan dari jumlah tersebut 125 RTA sudah dinotifikasi kepada sekretariat
WTO. Dari perkembangan itu berarti rata-rata terbentuk 15 RTA setiap tahunnya. Sampai
tahun 2007 pembentukan RTA diperkirakan akan bertambah 87.
Manfaat FTA
FTA dibentuk karena memberikan manfaat kepada anggotanya, antara lain terjadinya
trade creation dan trade diversion. Trade creation adalah terciptanya transaksi dagang
antar anggota FTA yang sebelumnya tidak pernah terjadi, akibat adanya insentif-insentif
karena terbentuknya FTA. Misalnya dalam konteks AFTA, sebelumnya Cambodia tidak
pernah mengimpor obat-obatan, namun setelah menjadi anggota ASEAN, dengan
berjalannya waktu, tercipta daya beli yang menyebabkan Cambodia memiliki devisa
cukup untuk mengimpor obat dari Indonesia demi peningkatan kesehatan rakyatnya.
Trade diversion terjadi akibat adanya insentif penurunan tarif, misalnya Indonesia yang
sebelumnya selalu mengimpor gula hanya dari China beralih menjadi mengimpor gula
dari Thailand karena menjadi lebih murah dan berhenti mengimpor gula dari China.
Manfaat trade creation jauh lebih besar dibandingkan trade diversion. Selain itu juga
terjadi pemanfaatan bersama sumber daya regional dan peningkatan efisiensi akibat
terbentuknya spesialisasi diantara para pelaku industri dan perdagangan yang terpacu
oleh adanya insentif liberalisasi tarif dan non-tarif. Dalam kerangka FTA, posisi tawar
ekonomi regional menjadi lebih kuat dalam menarik mitra dagang dan investor asing

maupun domestik yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan penduduk negara


anggota. FTA dapat pula menciptakan sinergi baik antar anggota maupun secara
kelompok regionnalnya dengan regional lainnya sebagai manfaat berganda (multiplier
efect) yang menguntungkan perekonomian dunia.
Sisi Negatif
FTA memungkinkan terbentuknya ekonomi biaya tinggi bila berlangsung secara tidak
efektif akibat implementasi penurunan tarif, yang kemudian segera digantikan oleh
kenaikan hambatan non-tarif sehingga tidak terjadi preferensi dagang yang
sesungguhnya dan mengakibatkan gagalnya peningkatan perdagangan antar anggota
yang seharusnya menjadi pokok tujuan kesepakatan ini.
Duplikasi pos tarif dimungkinkan terjadi karena pada satu negara anggota, paling tidak
terdapat tarif Most Favored Nation (MFN), preferensi tarif antar anggota FTA, dan
mungkin masih ditambah tarif-tarif lain yang berbeda dengan jadwal waktu yang
berbeda pula sehingga menimbulkan kesulitan di lapangan (spaghetti ball phenomena).
Terdapat pula masalah dalam mempertahankan anggota bila terjadi overlapping, yaitu
suatu negara menjadi anggota lebih dari satu kesepakatan FTA, misalnya Singapura
selain menjadi anggota AFTA, juga menjalin FTA dengan Jepang dan dengan Amerika
Serikat, atau Thailand selain menjadi anggota AFTA juga membentuk FTA lain dengan
negara-negara Asia Selatan. FTA regional maupun bilateral juga dikhawatirkan memberi
kontribusi dalam mengganggu negosiasi perdagangan bebas pada tingkat multilateral.
Blok perdagangan sebenarnya sangat erat kaitannya dengan WTO karena merupakan
upaya yang paralel dengan upaya WTO dalam membebaskan perdagangan dunia dari
hambatan tarif maupun non-tarif, seperti diatur pada artikel XXIV. Blok perdagangan
memberikan kontribusi positip terhadap akselerasi liberalisasi perdagangan dunia,
sebagai pilihan terbaik kedua setelah liberalisasi multilateral, sehingga pihak yang
mengkhawatirkan bahwa FTA mengganggu proses pencapaian perdagangan dunia yang
bebas hambatan sebenarnya merupakan opini yang masih bisa diperdebatkan.
C.
PERKEMBANGAN PERUN-DINGAN FREE TRADE AREA (FTA) YANG MENYANGKUT
INDONESIA
Indonesia bukan pemain utama dalam kancah FTA. Sejauh ini Indonesia belum pernah
merumuskan suatu diplomasi ekonomi internasional dan memberikan tempat atau arti
pada FTA dalam kerangka itu. Secara individu Indonesia belum pernah menyepakati FTA
dengan negara manapun kecuali dalam regional ASEAN. Kerjasama regional APEC dapat
dikatakan bukan FTA karena liberalisasi yang disepakatinya terbuka untuk anggota
maupun non-anggota. Namun secara bersama-sama dalam payung ASEAN telah dimulai
sejumlah negosiasi FTA dengan mitra dialog secara saling menguntungkan.
Negosiasi FTA yang menyangkut Indonesia sebagai bagian dari ASEAN diantaranya sudah
dilakukan dengan Amerika Serikat, Jepang, China, CER, Korea Selatan dan India. Antara
ASEAN dan negara mitra dagang sudah terdapat saling pengertian bahwa kesepakatan
FTA antara ASEAN dengan negara mitra dagang, akan ditindaklanjuti dengan
kesepakatan FTA antara negara anggota ASEAN secara individu dengan negara mitra
dagang secara individu. Berangkat dari pengertian ini Indonesia telah memiliki rencana
untuk melakukan penjajagan FTA bilateral dengan Amerika Serikat, Jepang, Australia,
Pakistan, Bangladesh dan India. Perundingan lebih dulu akan dilakukan adalah antara
Indonesia dengan Jepang, karena kedua kepala pemerintahan sudah menyatakan secara
resmi bersama mengenai pentingnya EPA bagi pengembangan ekonomi kedua negara
pada saat pertemuan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Perdana
Menteri Jepang Junichiro Koizumi di APEC Summit Meeting, Chile bulan November 2004.
Beberapa FTA bilateral yang dipertimbangkan oleh Indonesia tersebut adalah sebagai
reaksi dari ajakan pihak lain untuk itu. Dapat dikatakan bahwa bagi Indonesia terdapat
dua kelompok negara dengan mana Indonesia mempertimbangkan suatu FTA bilateral.
Kelompok pertama adalah negara yang bukan mitra dagang utama seperti Iran, Pakistan,
dan Bangladesh. Kelompok kedua adalah negara mitra dagang utama seperti Jepang dan
AS. Apabila disiapkan dengan baik Indonesia akan mendapat banyak manfaat dari FTA
dengan negara-negara ini, meskipun besarnya dan jenis manfaat itu tergantung pada

sudut pandang. Apabila reformasi ekonomi dalam negeri dianggap penting untuk terus
di-laksanakan, maka FTA bilateral merupa-kan satu instrumen yang efektif untuk
membangun kapasitas yang menjadi bagian pokok dari strategi ini.
Perkembangan perundingan Free Trade Area (FTA) ASEAN - China
Persetujuan untuk menghapuskan tarif dimulai pada awal tahun 2003. Perdagangan
antara China dan ASEAN mencapai US$ 41,6 miliar pada tahun 2002, menjadikan China
sebagai mitra dagang keenam terbesar bagi ASEAN. Sementara ASEAN adalah
merupakan mitra dagang kelima terbesar bagi China. Pada kuartal pertama tahun 2003,
perdagangan antara China dan ASEAN meningkat sebanyak 27,1 persen atau mencapai
US$ 38,55 miliar. Ekspor ASEAN ke China juga meningkat 27 persen, sedangkan ke
negara-negara lain senilai hampir 50%.
Negara-negara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand
merupakan enam anggota ASEAN yang akan merealisasikan per-janjian di bawah
kerangka kerja Kawasan Perdagangan Bebas (FTA) dalam waktu delapan tahun
mendatang, sampai men-jelang tahun 2010.
Hubungan China-ASEAN telah sampai ke tahap yang tidak pernah dicapai sebelum ini
dalam sejarah. Pemerintah China menjanjikan bantuan yang berkesinambungan kepada
ASEAN untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. FTA ini akan diperluas ke negaranegara anggota ASEAN lainnya menjelang 2015 yaitu Myanmar, Viet Nam, Laos dan
Kemboja.
Dalam ASEAN-China, nego-siasi untuk goods dan dispute mechanism sudah selesai
dilakukan sedangkan bidang service dan investasi belum dimulai. Trade in Goods
Agreement dan Dispute Settlement Mechanism telah ditandatangani oleh para Menteri
Ekonomi ASEAN dan China pada tanggal 29 November 2004. Sedangkan implementasi
penurunan/penghapusan tarif dilakukan melalui tiga cara, yaitu :
Early Harvest Program (EHP) yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari
2004 secara bertahap dalam kurun waktu 3 tahun, sehingga pada 1 Januari 2006 tarif
bea masuk produk-produk EHP menjadi 0%.
Normal Track, yang mulai diberlakukan penurunan/penghapusan tarif mulai
tahun 2005 dan tahun 2010 menjadi 0% bagi Normal Track I, dan tahun 2012 menjadi 0%
bagi Normal Track II untuk 400 pos tarif.
Sensitive Track/Highly Sensitive diberlakukan untuk 399 pos tarif atau 16,01%
dari total impor yang terdiri dari 349 pos tarif produk sensitive dan 50 pos tarif highly
sensitive.
Perkembangan perundingan Free Trade Area (FTA) ASEAN - Jepang
FTA antara ASEAN-Jepang yang mengambil nama kerjasama Comprehensive Economic
Partnership (CEP) atau disebut juga Economic Partnership Arrangement (EPA),
diperkirakan akan meningkatkan perdagangan antara ASEAN-Jepang. Dalam tahun 2020,
ekspor ASEAN ke Jepang diperkirakan akan meningkat sebesar US$ 20,6 miliar.
Sementara ekspor Jepang ke ASEAN akan meningkat dengan US$ 20,02 miliar. Pada
tahun 2002 ekspor ASEAN ke Jepang US$ 54 milyar, sedangkan impornya US$ 62 milyar.
Sebagai tahap awal telah dibentuk ASEAN-Japan Closer Economic Cooperation (CEP)
Expert Group yang antara lain menyusun studi tentang kemungkinan pem-bentukan
Closer Economic Partnership (CEP) yang mengarah pada Free Trade Area. Hasil studi
tersebut menyebutkan bahwa dengan ASEAN-Japan Closer Economic Partnership (AJCEP)
akan meningkatkan ekspor ke Jepang 44,2%, sebaliknya ekspor Jepang ke ASEAN akan
meningkat 27,5%. Selain itu PDB ASEAN juga akan dapat meningkat dengan 1,99 persen,
sedangkan PDB Jepang akan meningkat dengan 0,07%.
Perkembangan perundingan Free Trade Area (FTA) ASEAN - Korea Selatan (ROK)

Negosiasi dalam kerangka ASEAN-Korea Free Trade Agreement (AKFTA) telah dilakukan
sebagai tindak lanjut dari Joint Study antara Experties Group dari kedua pihak. AKFTA
telah mengadakan pertemuan negosiasi sebanyak 2 kali, baik dalam Trade Negotiating
Group maupun Trade Negotiating Committee. Pembahasan dalam AKFTA mencakup
AKFTA Framework Agreement on Comprehensive Economic Coope-ration, Trade in Goods
Agreement, Working Group on ROO dan Working Group on Dispute Settlement
Mechanism.
Perkembangan perundingan Free Trade Area (FTA) ASEAN - India
Hubungan yang panjang dan ekstensif antara India dengan ASEAN telah menggoreskan
jejak histories dan budaya yang tetap mesra hingga saat ini. Masyarakat ASEAN telah
terinspirasi dan terpengaruh oleh sosiokultural dari India.
Kini India merupakan satu-satunya di Asia Selatan yang ingin meningkatkan kaitan
historiesnya dengan mitranya di ASEAN. Hal ini terungkap dalam Acara Pembukaan
ASEAN-India Summit bulan November 2002, Perdana Menteri Vajpayee mengumumkan
usulannya untuk membentuk ASEAN-India Free Trade Agreement dalam jangka waktu 10
tahun. Pernyataan itu merupakan usulan yang nyata bahwa India berkehendak untuk
meningkatkan hubungannya dengan ASEAN babak baru. ASEAN berpendapat bahwa
India merupakan mitra penting dalam perdagangan, pembangunan ekonomi, kestabilan
dan kemajuan di kawasan ASEAN. Hingga saat ini pembahasan penjajakan pembentukan
FTA ASEAN-India sedang berlangsung dengan efektif, dan sudah menca-kup pembahasan
mengenai komoditi.
D.
PERKEMBANGAN PERUNDINGAN
SERIKAT

FREE TRADE AREA (FTA)

ASEAN - AMERIKA

Dalam melakukan FTA dengan ASEAN, Amerika Serikat melakukan pendekatan The
Enterprise for ASEAN Initiative (EAI) yang dicetuskan Presiden Bush bulan November
2002. EAI road map meliputi tahapan untuk menuju FTA dengan Amerika Serikat dengan
persyaratan umum: sudah menjadi anggota WTO dan telah menandatangani Trade and
Investment Frame work Agreement (TIFA) dengan Amerika Serikat. EAI merupakan
sarana acuan bagi negara anggota untuk mengem-bangkan perjanjian perdagangan
bebas (FTA) dengan Amerika Serikat. ASEAN memiliki arti penting baik secara ekonomis
maupun politis bagi Amerika Serikat. Berdasarkan kepentingan Amerika Serikat, ASEAN
dibagi menjadi 4 subblok, yaitu Singapura, Brunei, ASEAN-4 (Indonesia, Malaysia,
Philipina, Thailand) dan CLMV (Cambodia, Laos, Myanmar, Viet Nam). Perundingan FTA
antara Amerika Serikat dan ASEAN diperkirakan akan menyentuh wilayah sensitif baik
bagi ASEAN maupun Amerika Serikat, diantaranya produk pertanian, makanan olahan,
tekstil, otomotif, jasa-jasa, HKI, hak pekerja, lingkungan, reformasi dan terorisme.
Hubungan Amerika Serikat-ASEAN masih belum banyak berkembang. Total nilai
perdagangan sekitar 2% dari total perdagangan dunia. Ekspor AS ke ASEAN memberikan
kontribusi hanya 6% dari total ekspor AS ke dunia dan 14% dari total impor dari dunia.
Ekspor ASEAN ke AS sebesar 21% dari total ekspor ASEAN ke dunia dan 7% dari total
impor ASEAN dari seluruh dunia. Dari data ini dapat dikatakan ASEAN lebih
membutuhkan AS daripada sebaliknya karena ASEAN selalu menerima surplus
perdagangan setiap tahunnya.
Kebijakan dasar perdagangan AS dalam melakukan pembentukan FTA dengan negara
mitranya adalah: (i) FTA merupakan instrumen politik luar negeri untuk mewujudkan
kepentingan politik, ekonomi, dan keamanan AS, (ii) Dengan FTA, AS mendorong
liberalisasi yang kompetitif di negara mitra yang akan mendorong integrasi regional, dan
(iii) FTA merupakan pelengkap sekaligus alternatif bagi liberalisasi melalui WTO.
F.

PENUTUP

Dalam melakukan bilateral FTA, Indonesia perlu memilih negara mitra secara selektif dan
tidak perlu membuat FTA bilateral dengan banyak negara. Sebagaimana telah diuraikan
di halaman sebelumnya, bahwa sebelum melakukan FTA Indonesia perlu menyiapkannya
langkah-langkah strategis dengan memperhatikan dampak yang jauh lebih luas dari
sekedar akses pasar, misalnya dalam penanaman modal, kerjasama dan pengembangan

industri yang kesemuanya bertujuan untuk pengembangan ekonomi Indonesia secara


makro serta peningkatan hubungan ekonomi/perdagangan antara Indonesia dan
mitranya.
Berdasarkan hasil analisa, maka mitra yang paling prospektif setelah Jepang adalah AS.
Tetapi untuk memulai perundingan dengan AS diperlukan persiapan yang ma-tang.
Dewasa ini upaya ini sedang dilakukan dengan mengintensifkan pertemuan Indonesia-AS
dalam rangka TIFA (Trade and Investment Facilitation Agreement). Sedangkan dengan
sejumlah negara lainnya seperti Cina, Korea, India dan Autralia serta Selandia Baru,
maka FTA antara ASEAN dengan negara-negara tersebut sudah cukup memadai.
Perkecualian bila ternyata hasil regional FTA tersebut tidak maksimal, maka Indonesia
bisa mempertimbangkan suatu FTA bilateral. (Tulus Budhianto, Kasubdit pada Direktorat
Kerjasama Bilateral I)

Anda mungkin juga menyukai