MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
PENGANTAR EKONOMI PEMBANGUNAN
Yang dibina oleh Ibu Primasa Minerva Nagari, M.Pd
Oleh
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga kami kelompok VI
offering MM dapat menyelesaikan makalah Pengantar Ekonomi Pembangunan
dengan judul “ Pembangunan Pertanian dan Perdesaan ” ini dengan baik.
Makalah ini berisi tentang teori peran sektor pertanian dalam
pembangunan, diikuti oleh teori keterkaitan antara sektor pertanian dan industri,
studi empiris mengenai struktur, perilaku, dan kinerja agroindustri Indonesia, serta
revitalisasi sektor pertanian.
Kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Primasa Minerva Nagari, M.Pd.
selaku Dosen Matakuliah Pengantar Ekonomi Pembangunan dan seluruh rekan
offering MM , serta seluruh pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penyusunan
makalah ini. Oleh karena itu kami menerima segala kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat
memberikan manfaat dan inspirasi.
Penyusun,
Kelompok VI
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah.............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 2
1.3 Tujuan......................................................................................................... 2
BAB 3 PENUTUP
3.1 Daftar Rujukan.......................................................................................... 37
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Jika dibiarkan akan menimbulkan dampak yang tidak diharapkan yaitu
perbedaan jenjang yang mencolok antara pelaku ekonomi dengan kemampuan
tinggi dan pelaku ekonomi berproduktivitas rendah yang akan menghasilkan
perbedaan manfaat yang diperoleh dari keikutsertaan proses pembangunan ini.
Berkaitan dengan hal ini, solusi tersebut mengubah arah pandang pelaku
ekonomi dengan memberikan bagiobot lebih besar terhadap peran sektor
pertanian dalam pembangunan dengan mengutamakan peningkatan produksi
melalui industri dan umumnya pengembangan sektor industri di kota akan
berjalan baik dengan mampu menjalin hubungan dengan sektor pertanian
yaitu memberikan kesempatan kerja bagi rakyat di perdesaan, serta
memberikan penghasilan yang memadai sehingga rakyat mempunyai
sumbangan yang cukup untuk proses pertumbuhan ekonomi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Kelebihan arah pengembangan ini adalah pertama, sektor industri dapat
merangsang sektor pertanian untuk berkembang cepat dalam upaya memenuhi
kebutuhan input bagi sektor industri yang bersangkutan. Kedua, dengan
industrialisasi, produksi per unit dapat ditingkatkan dengan waktu singkat,
kualitas yang seragam, dan biaya per unit yang lebih murah. Di samping
kelebihan ini, ada beberapa kelemahan yang muncul sebagai akibat proses
pembangunan yang tidak ada seimbang. Pertama, pembangunan industri yang
tidak dibiayai dengan surplus yang diciptakan oleh sektor asli daerah (pertanian)
berarti memerlukan dana pembangunan yang berasal dari luar sektor pertanian
atau diperlukan injeksi modal dari luar negeri. Kedua, perkembangan sektor
pertanian yang diharapkan dapat menjadi pendukung bagi sektor industri baru
tergantung dari kesiapan sektor pertanian. Kesiapan ini berkaitan dengan
kemampuan teknik produksi yang disesuaikan dengan kapasitas serktor yang
terkait dan kemampuan rakyat untuk menyesuaikan teknik produksi tinggi
tersebut. Jika kesiapan sektor pertanian tidak seimbang dengan sektor industri
yang sudah dibangun, ketergantungan akan terjadi. Di samping itu, akan
tergantung juga pada dana pembangunan yang berasal dari luar sektor maupun
luar negeri. Ketiga, jika sektor hulunya tidak segera mampu menopang dan
menciptakan surplus produksi, ketergantungan terhadap input dari luar negeri
menjadi semakin meningkat.
4
Strategi pembangunan yang mengutamakan peningkatan produksi melalui
industri dan umumnya di kota hanya berjalan baik jika pengembangan sektor
industri mampu menjalin hubungan dengan sektor pertanian, memberikan
kesempatan kerja bagi rakyat di pedesaan, serta memberikan penghasilan
memadai sehingga mereka mempunyai sumbangan cukup bagi proses
pertumbuhan ekonomi.
5
Strategi pembangunan yang mengutamakan peningkatan taraf hidup sebagian
besar masyarakat sebaiknya tidak hanya didasarkan pada ukuran ekonomi, tetapi
harus dilengkapi dengan ukuran lain sesuai dengan keadaan dan kemampuan
masyarakat setempat.
6
Tabel 11.1 Berbagai Bentuk Alternatif dalam Interaksi Pertanian (Hulu) dan
Agroindustri (Hilir)
1. Perkebunan besar : x x
agroindustri besar yang
terintegrasi vertikal ke depan.
2. Agroindustri besar yang x x
sebagian terintegrasi vertikal
ke belakang sebagian berdasar
contract garming (=PIR)
3. Agroindustri besar dengan x x x
system pengadaan contract
farming (=intisatelit)
4. Usaha pemasaran (agribisnis) x ?
dengan sistem pengadaan
contract farming (tanpa
pengolahan lokal domestik).
5. Agroindustri yang membeli x x ?
bahan bakunya di pasar bebas.
6. Petani kecil yang terintegrasi x x x
vertikal ke depan (=pemikiran
agroindustri bersama oleh
petani).
Catatan : x = bentuk yang kira-kira terdapat di Indonesia.
7
2.2.2 Sistem Agribisnis
Pemasaran
Perbankan Pengolaan
Pelayanan
Penyimpanan (Agroindustri)
Penelitian
Asuransi
Penyuluhan
Angkutan
Pengaturan
Produksi
Dan lain-lain
Komiditas Kebijakan
Pertanian
Pengadaan dan
Penyaluran Sarana
Produksi Alat-alat
dan Mesin Pertanian
8
Dari sini muncul strategi bahwa pengembangan ketahanan perlu
diupayakan melalui sistem dan usaha agribisnis di bidang pangan yang berdaya
saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi (Arifin 2004: 155).
Maksud dari berdaya saing adalah bahan pangan harus memenuhi kaidah-
kaidah efisiensi. Berkerakyatan yang dimaksud adalah unit rumah tangga,
mayoritas petani, serta kaum miskin menjadi sasaran pengembangan ketahanan
pangan melalui proses pengambilan keputusan yang demokratis. Berkelanjutan
merujuk pada keberlanjutan dan kemampuan agribisnis untuk meningkatkan
kapasitas sumber daya pangan, pendapatan masyarakat, dan rasa keadilan
antarruang/tempat dan antarwaktu/generasi. Terdesentralisasi berbasis
kompensi/keunggulan lokal, dengan mengedepankan pemanfaatan sumber daya,
kelembagaan dan budaya lokal (Arifin, 2004: 153-155).
Dilihat dari kaitan ke belakangnya untuk tahun 1980, 1985, dan 1990, ternyata
ada empat industri pengolah hasil pertanian yang selalu menempati sepuluh
besar dalam subsektor yang kaitan ke belakangnya paling tinggi, yaitu :
industri penyedia input pertanian yang selalu memasuki jajaran sepuluh besar,
yaitu industri barang dari logam. Ini membuktikan bahwa agroindustri,
terutama industri pengolah hasil pertanian, memiliki kaitan yang erat degan
subsektor penyedia inputnya, khususnya dengan sektor pertanian.
9
a. Agroindustri yang mempunyai kaitan ke belakang yang tinggi sekaligus juga
memiliki kaitan ke depan yang tinggi adalah karet, industri pemeintalan,
barang dari kertas, pupuk dan pestisida, barang dari karet & plastik, dan
barang dari logam. Ini diperkuat oleh analisis perilaku, yang membuktikan
bahwa subsektor tersebut juga memiliki angka pengganda output yang tinggi.
Apabila dinginkan keterkaitan antarsektor yang semakin menguat,
penembangan subsektor di atas merupakan pilihan yang tepat.
b. Agroindustri yang mempunyai kaitan ke depan dan belakang yang rendah
adalah subsektor jagung, tanaman umbi-umbian dan pati, tanaman perkebunan
lainnya, unggas dan hasil-hasilnya, dan perikanan. Ini konsisten dengan angka
pengganda output untuk subsektor tersebut yang berada pada peringkat yang
rendah. Subsektor-subsektor ini bukan hanya tidak peka terhadap perubahans
ubsektor lainnya, namun juga tidak dapat diandalkan untuk menumbuhkan
subsektor lainnya bila kita meningkatkan investasi di subsektor ini.
GAMBAR 11.2 Kerangka Pendekatan dan Alat Analisis
Kerangka Analisis
Terhadap Output
10
c. Analisis konsentrasi industri dengan indikator CR4 (rasio konsentrasi putput
empat perusahaan terbesar dalam total output industri tersebut) menunjukkan
angka konsentrasi industri untuk sektor agroindustri cukup bervariasi dengan
kecenderungan menurun. Angka konsentrasi untuk agroindustri ini ternyata
lebih rendah dibanding angka konsentrasi untuk seluruh industri dalam
perekonomian. Pada tahun 1975, rata-rata CR4 untuk seluruh agroindustri
adalah 53,1%, dan turun menjadi 37,2% pada tahun 1991. Sementara itu,
angka konsentrasi untuk seluruh industri dalam perekonomian adalah 53,1%
pada tahun 1975, dan turun menjadi 37,2% pada tahun 1991. Meskipun
demikian, terdapat empat subsektor agroindustri yang konsentrasi industrinya
cenderung meningkat, yaitu : industri makan (ISIC 311), industri rokok (ISIC
314), industri tekstil (ISIC 321), dan industri kulit (ISIC 323). Bila angka
konsentrasi meningkat, dapat ditafsirkan bahwa tingkat persaingan dalam
industri tersebut menurut. Dilihat dari rasio konsentrasinya, yang paling tinggi
rasio konsentrasi industrinya di antara subsektor agroindustri adalah industri
rokok, sedangkan yang paling rendah konsentrasi industrinya adalah industri
kayu.
d. Analisis kinerja membuktikan bahwa derajat ketergantungan ekspor bagi
agroindustri menunjukkan perubahan yang amat substansial. Pada tahun 1980,
peringkat top ten dalam derajat ketergantungan ekspor didominasi oleh produk
sektor pertanian primer. Sepuluh tahun kemudian, selain produk sektor
pertanian primer, dua subsektor industri pengolah hasil pertaian mulai masuk
dalam jajaran sepuluh besar, yaitu industri kayu-bambu-rotan dan industri
tekstil. Perubahan ini ternyata konsisten dengan angka pengganda ekspor
terhadap output dan tenaga kerja. Industri rotan-kayu-bumbu dan industri
tekstil selalu menempati jajaran top ten dari sisi angka pengganda ekspor
terhadap output maupun terhadap tenaga kerja.
e. Pertanyaan menarik yang sering diajukan adalah apakah terjadi perubahan
struktural dalam agroindustri yang bersifat mendasar selama 1980-1990?
11
Uji korelasi spearman rank menunjukkan bahwa dari sembilan alat analisis
yang digunakan dalam studi ini ternyata hanya untuk derajat ketergantungan
ekspor terjadi perubahan struktural yang cukup berarti, baik antara periode
1980-1985, maupun 1985-1990. Kendati demikian, koefisien spearman rank
terbukti tidak signifikan antara 1980-1990 baik untuk derajat ketergantungan
ekspor ataupun untuk semua alat analisis.
Dari hasil-hasil penemuan utama studi ini, agaknya dapat ditarik suatu
implikasi kebijakan sebagai berikut.
12
2.3 Strategi pembangunan pertanian di Indonesia
Pembangunan pertanian dalam lima tahun ke depan berlandaskan pada
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ke-tiga (2015-
2019), dimana RPJMN tersebut sebagai penjabaran dari Visi, Program Aksi
Presiden/Wakil Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla serta berpedoman pada Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Visi pembangunan dalam
RPJM 2015-2019 adalah “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan
Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”. Visi tersebut dijabarkan menjadi
Tujuh Misi serta Sembilan Agenda Prioritas (NAWA CITA). Dalam aspek
ideologi, PANCASILA 1 JUNI 1945 dan TRISAKTI menjadi ideologi bangsa
sebagai penggerak, pemersatu perjuangan, dan sebagai bintang pengarah.
Kesembilan Agenda Prioritas (NAWA CITA) lima tahun ke depan adalah
: (1) Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan
memberikan rasa aman pada seluruh warga Negara, (2) Membangun tata kelola
pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya, (3) Membangun
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
kerangka negara kesatuan, (4) Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan
reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan
terpercaya, (5) Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, (6)
Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, (7)
Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis
ekonomi domestik, (8) Melakukan revolusi karakter bangsa, dan (9)
Memperteguh ke-bhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.
Berdasarkan rincian dari Sembilan Agenda Prioritas (Nawa Cita) tersebut,
maka agenda prioritas di bidang pertanian terdiri dari dua hal, yaitu (1)
Peningkatan Agroindustri, dan (2) Peningkatan Kedaulatan Pangan.
(1) Peningkatan Agroindustri, sebagai bagian dari agenda 6 Nawa Cita
(Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional).
Sasaran dari peningkatan agroindustri adalah:
13
a. meningkatnya PDB Industri Pengolahan Makanan dan Minuman serta
produksi komoditas andalan ekspor dan komoditas prospektif,
b. meningkatnya jumlah sertifikasi untuk produk pertanian yang diekspor,
dan
c. berkembangnya agroindustri terutama di perdesaan.Komoditi yang
menjadi fokus dalam peningkatan agroindustri diantaranya kelapa
sawit, karet, kakao, teh, kopi, kelapa, mangga, nenas, manggis, salak,
kentang.
Untuk mencapai sasaran pokok peningkatan nilai tambah dan daya saing
komoditi pertanian yang telah ditetapkan tersebut, maka arah kebijakan
difokuskan pada: (1) peningkatan produktivitas dan mutu hasil pertanian komoditi
andalan ekspor, potensial untuk ekspor dan substitusi impor; dan (2) mendorong
pengembangan industri pengolahan terutama di perdesaan serta peningkatan
ekspor hasil pertanian. Untuk itu strategi yang akan dilakukan meliputi:
a. Revitalisasi perkebunan dan hortikultura rakyat,
b. Peningkatan mutu, pengembangan standardisasi mutu hasil pertanian
dan peningkatan kualitas pelayanan karantina dan pengawasan keamanan hayati,
c. Pengembangan agroindustri perdesaan,
d. Penguatan kemitraan antara petani dengan pelaku/ pengusaha
pengolahan dan pemasaran,
e. Peningkatan aksesibilitas petani terhadap teknologi, sumbersumber
pembiayaan serta informasi pasar dan akses pasar
f. Akselerasi ekspor untuk komoditas-komoditas unggulan serta komoditas
prospektif.
14
Kedaulatan pangan dicerminkan pada kekuatan untuk mengatur masalah
pangan secara mandiri, yang perlu didukung dengan: (i) ketahanan pangan,
terutama kemampuan mencukupi pangan dari produksi dalam negeri; (ii)
pengaturan kebijakan pangan yang dirumuskan dan ditentukan oleh bangsa
sendiri; dan (iii) mampu melindungi dan mensejahterakan pelaku utama pangan,
terutama petani dan nelayan. Selanjutnya, dalam rangka kedaulatan pangan,
ketersediaan air merupakan faktor utama terutama untuk meningkatkan dan
memperkuat kapasitas produksi. Untuk tetap meningkatkan dan memperkuat
kedaulatan pangan, sasaran utama prioritas nasional bidang pangan pertanian
periode 2015-2019 adalah:
A. Tercapainya peningkatan ketersediaan pangan yang bersumber dari
produksi dalam negeri. Produksi padi diutamakan ditingkatkan dalam
rangka swasembada agar kemandirian dapat dijaga. Produksi kedelai
diutamakan untuk mengamankan pasokan pengrajin dan kebutuhan
konsumsi tahu dan tempe. Produksi jagung ditargetkan untuk memenuhi
kebutuhan keragaman pangan dan pakan lokal. Produksi daging sapi untuk
mengamankan konsumsi daging sapi di tingkat rumah tangga, demikian
pula produksi gula dalam negeri ditargetkan untuk memenuhi konsumsi
gula rumah tangga.
B. Terwujudnya peningkatan distribusi dan aksesibilitas pangan yang
didukung dengan pengawasan distribusi pangan untuk mencegah
spekulasi, serta didukung peningkatan cadangan beras pemerintah dalam
rangka memperkuat stabilitas harga.
C. Tercapainya peningkatan kualitas konsumsi pangan sehingga mencapai
skor Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 92,5 (2019).
D. Terbangunnya dan meningkatnya layanan jaringan irigasi 600 ribu Ha
untuk menggantikan alih fungsi lahan.
E. Terlaksananya rehabilitasi 1,75 juta Ha jaringan irigasi sebagai bentuk
rehabilitasi prasarana irigasi sesuai dengan laju deteriorasi.
F. Beroperasinya dan terpeliharanya jaringan irigasi 2,95 juta Ha.
15
G. Terbangunnya 132 ribu Ha layanan jaringan irigasi rawa untuk
pembangunan lahan rawa yang adaptif dengan menyeimbangkan
pertimbangan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Arah kebijakan umum kedaulatan pangan dalam RPJMN 2015-2019
adalah: pemantapan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan dengan
peningkatan produksi pangan pokok, stabilisasi harga bahan pangan, terjaminnya
bahan pangan yang aman dan berkualitas dengan nilai gizi yang meningkat serta
meningkatnya kesejahteraan pelaku usaha pangan. Arah kebijakan Pemantapan
Kedaulatan Pangan tersebut dilakukan dengan 5 strategi utama, meliputi:
a. Peningkatan ketersediaan pangan melalui penguatan kapasitas produksi
dalam negeri, yang meliputi komoditas padi, jagung, kedelai, daging,
gula, cabai dan bawang merah.
b. Peningkatan kualitas Distribusi Pangan dan Aksesibilitas Masyarakat
terhadap Pangan.
c. Perbaikan kualitas Konsumsi Pangan dan Gizi Masyarakat
d. Mitigasi gangguan terhadap ketahanan pangan dilakukan terutama
mengantisipasi bencana alam dan dampak perubahan iklim dan
serangan organisme tanaman dan penyakit hewan.
e. Peningkatan kesejahteraan pelaku utama penghasil bahan pangan.
16
2.4.1 Masalah Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan
Tingkat pendapatan per tenaga kerja sektor PPK relatif sangat rendah. Tabel
11.5 menunjukkan bahwa nilai produksi per tenaga kerja untuk sektor PPK
cenderung turun dari 0,34 pada tahun 2000 menjadi 0,31 pada tahun 2004. Pada
saat yang sama, nilai produksi per tenaga kerja sektor industri jauh lebih
tinggi,yang berkisar antara 2,36 hingga 2,8 selama periode 2000 – 2004.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa tingkat pendapatan per tenaga kerja
PPK rendah? Penyebabnya adalah : pertama, petani memiliki produktivitas yang
rendah akibat keterbatasan berbagai faktor produksi terutama lahan. Kedua,
produktivitas yang rendah kerena jumlah petani yang terlalu banyak. Ketiga,
gabungan kedua hal tersebut (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,
2005: 15).
Kondisi kemiskinan yang terjadi di sektor PPK erat kaitannya dengan ketahan
pangan (food security). Walaupun pada tingkat nasional jumlah produksi pangan
(diukur dari kalori) mengalami surplus, masalah ketidaktahanan pangan (food
security), gizi buruk, busung lapar, dan kelaparan masih terjadi di daerah-daerah.
17
Masalah pangan juga memiliki dimensi tersendiri dilihat dari kualitas pangan,
keamanan pangan, keanekaragaman pangan, seperti daging, susu, jagung, kedelai,
gula, bahkan garam juga menimnulkan ketidaktahanan pangan yang memiliki
dampak luas. Ketidaktahanan pangan juga terkait dengan goncangan (shock)
seperti kekeringan, bencana, atau fluktuasi pasar internasional.
Cara untuk meningkatkan ketahanan pangan dalam jangka panjang ada dua
cara : pertama, seperti yang disinggung dalam Dokumen Strategi Pengurangan
Kemiskinan, yaitu dengan memajukan pembangunan perdesaan dan memperluas
sistem kredit mikro. Kedua, cara langsung dengan memberi dana secara memadai
yang besarnya diperkirakan dengan ‘jurang kemiskinan’. Jurang kemiskinan
menceriminkan seberapa jauh rata-rata orang miskin berada dibawah garis
kemiskinan. Jurang kemiskinan pada tahun 2002 diperkirakan kira-kira Rp.
220.850 per orang miskin per tahun, selanjutnya dikalikan jumlah orang miskian
sebanyak 38 juta, dihasilkan transfer tahunan yang dibutuhkan sejumlah Rp. 8,4
triliun. Perkiraan jumlah biaya tahunan unutk pangan adalah Rp. 1,09 triliun (lihat
tabel 11.6) (BPS, Bappenas, UNDP, 2004). Namun, dalam pelaksanaannya perlu
menambah biaya administrasi, plus tunjangan untuk kebocoran akibat salah
sasaran. Kebocoran tidak hanya terjadi karena korupsi, tetapi terutama kerena
kesulitan mengidentifikasi atau menetapkan target orang yang miskin.
18
TABEL 11.6 Indeks Ketidaktahanan Pangan dan Biaya Ketahanan Pangan Tingkat
Provinsi, 2002.
Isu tentang ketahanan pangan masih merupakan masalah sensitif dalam pembangunan
di Indonesia sehingga beberapa isu tentang kerawanan pangan dnegan cepat diekspos
menjadi isu nasional. Secara umum, wilayah yang termasuk memiliki resiko rawan
pangan tinggi dicirikan oleh : (a) daya dukung lahan pertanian untuk kebutuhan produksi
pertanian relatif terbatas; (b) sumber daya manusia umumnya berkualitas rendah; dan (c)
sarana dan prasarana relatif terbatas.
Kejadian rawan pangan dan gizi buruk mempunyai arti politis yang negatif bagi
penguasa. Sejarah membuktikan bahwa beberapa NSB, krisis pangan dapat menjatuhkan
pemerintah yang sedang berkuasa (Hardiansyah, et all, 1999). Data dari BPS
menunjukkan bahwa masih terdapat banyak penduduk miskin yang rentan terhadap rawan
pangan. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2006 berjumlah 39,30 juta (17,75%),
sementara pada tahun 2007 berjumlah 37,17 juta (16,58%), sedikit mengalami penurunan
jika dibandingkan dengan tahun 2006 (BPS, 2007). Pada saat bersamaan, jumlah
penduduk yang mengalami kondisi sangat rawan pangan pada tahun 2006 mencapai
sekitar 10,04 juta jiwa (4,52%), sedangkan pada tahun 2007 mencapai sekitar 5,71 juta
jiwa (2,55%). Daerah-daerah di Indonesia yang mengalami kondisi rawan pangan
dapat dilihat pada Gambar 11.3. Gambar ini menunjukkan bahwa daerah – daerah
di Indonesia yang mengalami kondisi sangat rawan pangan adalah provinsi Papua,
Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Bangka Belitung.
20
Tabel Kerawanan Pangan Indonesia Tahun 2014
Provinsi < 70% AKG 70%-89,9% AKG >= 90% AKG Total
Jumlah % Jumlah % Jumlah % jumlah %
Aceh 1,107,210 22.67 1,701,959 34.85 2,074,448 42.48 4,883,617 100.00
Sumatera Utara 2,431,510 17.72 4,509,561 32.86 6,782,036 49.42 13,723,108 100.00
Sumatera Barat 788,367 15.41 1,711,323 33.45 2,615,776 51.13 5,115,466 100.00
Riau 1,122,862 18.25 1,951,096 31.71 3,079,681 50.05 6,153,639 100.00
Kepulauan Riau 501,782 26.31 444,937 23.33 960,779 50.37 1,907,498 100.00
Jambi 779,638 23.40 1,199,859 36.01 1,352,981 40.60 3,332,478 100.00
SumSEL 1,268,802 16.03 2,615,737 33.05 4,030,935 50.92 7,915,474 100.00
Bangka 239,967 17.95 495,348 37.05 601,738 45.00 1,337,053 100.00
Belitung
Bengkulu 292,878 15.94 625,864 34.07 918,454 49.99 1,837,196 100.00
Lampung 1,711,062 21.38 3,053,763 38.16 3,237,982 40.46 8,002,806 100.00
DKI Jakarta 1,428,344 14.21 3,032,309 30.17 5,588,761 55.61 10,049,414 100.00
Jawa Barat 7,919,360 17.27 15,554,636 33.92 22,385,480 48.81 45,859,476 100.00
Banten 1,809,155 15.54 3,620,510 31.09 6,215,614 53.37 11,645,278 100.00
Jawa Tengah 5,811,706 17.37 11,527,619 34.45 16,118,660 48.18 33,457,986 100.00
DIY 219,668 6.05 1,158,481 31.89 2,254,834 62.07 3,632,983 100.00
Jawa Timur 5,228,100 13.56 13,848,645 35.93 19,471,661 50.51 38,548,407 100.00
Bali 283,602 6.93 1,017,041 24.85 2,792,067 68.22 4,092,710 100.00
NTB 529,021 11.11 1,503,674 31.59 2,727,672 57.30 4,760,367 100.00
NTT 1,607,237 32.01 1,728,148 34.42 1,685,127 33.56 5,020,512 100.00
Kalbar 932,582 19.84 1,649,916 35.10 2,117,996 45.06 4,700,494 100.00
Kalteng 405,205 16.69 791,447 32.60 1,231,149 50.71 2,427,801 100.00
Kalsel 597,318 15.29 1,076,856 27.57 2,231,712 57.14 3,905,887 100.00
Kaltim 1,455,228 36.82 1,376,593 34.83 1,120,342 28.35 3,952,162 100.00
Sulawesi Utara 380,378 15.98 779,086 32.72 1,221,417 51.30 2,380,881 100.00
Gorontalo 197,587 17.74 388,720 34.90 527,610 47.37 1,113,917 100.00
Sulteng 484,504 17.18 1,094,272 38.81 1,240,996 44.01 2,819,772 100.00
Sulawesi 1,271,460 15.12 2,941,342 34.97 4,197,720 49.91 8,410,522 100.00
Selatan
Sulawesi Barat 172,244 13.73 430,906 34.34 651,704 51.93 1,254,854 100.00
Sulawesi 451,816 18.54 818,346 33.58 1,166,953 47.88 2,437,115 100.00
Tenggara
Maluku 500,252 30.26 516,863 31.27 635,802 38.47 1,652,916 100.00
Maluku Utara 397,621 35.10 380,427 33.59 354,659 31.31 1,132,707 100.00
Papua 1,109,699 36.06 972,542 31.60 994,965 32.33 3,077,207 100.00
Papua Barat 303,177 35.83 305,362 36.09 237,608 28.08 846,147 100.00
Indonesia 43,739,341 17.40 84,823,188 33.74 122,825,321 48.86 251,387,851 100.00
21
Sumber : BPS diolah oleh Pusat Ketersedian dan Kerawanan Pangan , BKP
Keterangan : Kategori Konsumsi < 70% AKG (Sangat Rawan)
Kategori Konsumsi < 71 - 89.9 % AKG (Rawan Pangan)
Kategori Konsumsi > 90% AKG (Tahan Pangan)
Tabel 11.7 menunjukkan bahwa jumlah petani gurem terutama di Jawa terus
meningkat. Kegureman tidak hanya berakibat pada kemiskinan dan rendahnya
daya tangkal PPK terhadap kejutan luar (external shock) seperti turunnya harga
atau naiknya baiya produksi, tetapi juga berakibat pada keterbatasan adaptasi
teknologi dan rendahnya produktivitas, efisiensi, dan daya saing.
Hal lain yang dapat diamati pada nilai tukar petani adalah tingkat kesejahteraan
petani. Meskipun harus dibaca dan diinterprestasikan secara hati-hati, angka nilai
tukar ini memberikan gambaran bahwa kesejahteraan petani belum sepenuhnya
membaik. Jika diamati nilai tukar yang diterima memang meningkat dari tahun
1983 dengan indeks 100 menjadi sekitra 113 pada tahun 1989.
22
Nilai tukar sebanding dengan angka inflasi atau angka indeks harga
perdagangan besar yang meningkat menjadi 172 pada Februari 1989 (BPS, 1989).
Dengan membandingkan kedua angka ini sebenarnya dapat diambil kesimpulan
bahwa pertama, perbandingan antara kenaikan nilai tukar dengan perkembangan
inflasi tidak memadai. Namun demikian, hal yang perlu mendapatkan perhatian
adalah pemahaman arti pembangunan pertanian dan perdesaan. Di satu pihak,
perbedaan pemahaman tentang ari ti nilai tukar di antara pengamat ataupun pihak
terkait manunjukkan kurangnya perhatian terhadap arti pembangunan pertanian di
Indonesia. Kedua, penggunaan indikator nilai tukar, dengan dalih yang tidak
benar, untuk menarik kesimpulan tentan gberkurangnya kesejahteraan petani
dapat juga diartikan kurangnya pemahaman tentang arti peran sektor pertanian
dalam pembangunan. Ketiga, perlu di sadari bahwa membaca data dan informasi
bukan bermaksud melihat siapa yang salah, tetapi lebih baik dipandang yang
mana yang tidak dapat dan bagaiman memperbaiki kelemahan-kelemahan yang
ada. Inilah yang diharapkan sebagai pengetahuan dan peran ekonomi pertanian
dalam pembangunan.
Selama periode Januari sampai Oktober tahun 2008, Nilai Tukar Petani (NTP)
di empat belas provinsi di Indonesia relatif tidak mengalami perubahan yang
signifikan dibandingkan dengan keadaan tahun dasar 2007 (lihat Tabel 11.8).
Artinyatingkat kesejahteraan petani atau daya beli masyarakat petani relatif tidak
mengalami perubahan. NTP yang terendah selama periode tersebut terjadi pada
bulan April, terutama NTP Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng), Bali,
Kalimantan Selatan (Kalsel), dan Jawa Timur (Jatim) yang hanya mencapai angka
92,9%; 96,7%; 97,6%; dan 98,8% secara berturut-turut (BPS, 2010). Dengan kata
lain, kesejahteraan petani pada bulan April ternyata memburuk jika dibandingkan
dengan bulan Januari dan yang paling menderita adalah para petani di Jabar,
Jateng, Bali, Kalsel, dan Jatim.
23
Pada bulan Oktober, angka NTP tertinggi terjadi di Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), Lampung, dan Jateng dengan nilai mencapai 110,2%, 104,9%
dan 102,4% secara berturut-turut, sementara yang terendah di Nagroe Aceh
Darusalam (NAD), Jabar dan Kalimantan Selatan (Kalsesl). Kesejahteraan petani
terlihat memiliki tren yang menurun di provinsi Jabar, Jatim, NAD, Sumatra Utara
(Sumut), Suamtra Barata (Sumbar), Sumatra
TABEL 11.8 Nilai Tukar Petani Bulan di Empat Belas Provinsi di Indonesia
Tahun 2008 (2007=100)
Jateng 98,7 97,8 95,5 96,7 98,3 99,8 100,3 101,1 102,3 102,4
DI.Yogyakarta 103,2 103,8 102,0 102,7 103,7 103,8 105,8 107,1 109,1 110,2
Jatim 103,2 102,0 98,3 98,8 100,2 101,1 102,7 103,6 102,7 99,3
Aceh (NAD) 100,4 100,6 101,7 100,3 99,7 99,7 99,0 98,8 97,4 94,5
Sumut 103,6 104,1 102,5 103,3 104,6 104,5 104,3 103,0 101,2 97,4
Sumbar 104,0 106,3 108,5 107,1 105,8 106,1 108,0 106,8 105,7 101,1
Sumsel 104,2 106,9 105,2 101,0 102,4 102,6 104,0 103,5 102,2 93,5
Lampung 100,9 100,5 100,4 102,3 104,2 104,8 107,0 108,0 109,3 104,9
Bali 101,6 101,6 99,2 96,7 98,8 99,7 102,3 101,9 102,1 101,7
NTB 99,3 100,1 98,7 100,0 100,7 99,1 99,3 100,4 99,9 97,3
Kalsel 99,9 99,8 97,7 97,6 97,3 97,0 97,1 98,4 98,0 96,3
Sulut 104,0 103,5 105,0 101,8 99,3 100,1 102,1 102,1 100,7 100,2
Sulsel 99,2 98,7 98,7 101,8 100,9 100,1 102,2 102,5 101,4 100,3
Adanya jumlah tenaga kerja yang berlebihan di sektor PKK dan masalah
ketimpangan distribusi yang serius menyebabkan kemampuan PPK dalam
menciptakan kesempatan kerja secara cepat untuk menampung limpahan sektor
lain hanya berhasil secara jangka pendek. Di sisi lain, kesempatan kerja dan
berusaha di luar PPK bagi petani, nelayan, atua petani hutan sangat terbatas.
24
Terhambatnya pergeseran struktur tenaga kerja tersebut, disebabkan oleh
faktor-faktor internal petani/nelayan; ataupun faktor eksternal pada sektor lain
yang memang kurang dirancang untuk menerima limpahan tenaga kerja PPK.
Namun, potensi untuk mengatasi hal tersebut cukup besar mengingat dalam
struktur pendapatan rumah tangga petani, pangsa pendapatan dari luar usaha tani
(buruh, industri kerajinan, dan lain-lain) semakin besar dan berkisar antara 10
hingga 75%.
Degradasi ini terkait dengan degradasi kawasan hutan, jenis tumbuhan, dan
jenis satwa. Degradasi sumber daya alam tersebut kemudian semakin diperberat
dengan praktik kejahatan (illegal logging, illegal fishing), kerusakan, dan
degradasi infrastruktur, konflik penguasaan lahan, inkonsistensi tata ruang, dan
berbagai keputusan yang kurang memperhatikan aspek kelestarian sumber daya
alam.
Hal ini terkait dengan daya saing usaha dan produk PPK Indonesia di pasar
internasional dan pasar domestik, di samping perlindungan terhadap praktik
perdagangan tidak adil (unfair trade). Banyak masalah dalam kegiatan on farm,
tetapi terutama masalah yang terdapat pada off farm, yang menentukan daya
saing.
25
Infrastruktur, layanan keuangan, layanan transportasi, teknologi, perpajakan,
kebijakan yang kurang tepat, dan ekonomi biaya tinggi telah menekan daya saing
usaha dan produk PPK.
26
2.5 Revitalisasi Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Versi Pemerintah
SBY-JK
Setidaknya ada dua yang menarik untuk dicermati ketika Presiden SBY
mencanangkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan di Waduk
Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, tanggal 11 Juni 2005 (Pikiran Rakyat, 2005).
Pertama, pencanangan RPPK didasari oleh sebuah tujuan mulia pemerintah
mengembalikan tiga sektor tadi ke “jalur yang benar,” yakni mampe mengemban
sebagai sektor andalan dan motor penggerak bagi majunya perekonomian makro
nasional. Kedua, pencanangan RPPK oleh Presiden dilakukan dalam suasana
penuh keprihatinan, menyusul munculnya berbagai temuan adanya balita
penderita beragam penyakit dikantung-kantung kemiskinan dan daerah terpencil.
Kemudian pada saat kita masih tertegun dan terkaget-kaget oleh temuan yang tak
terkirakan sebelumnya itu, kita kian tertohok oleh sebuah kenyataan bahwa masih
banyak anak negeri yang menderita busung lapar dan kurang gizi.
27
2.5.2 Arah Masa Depan
Petani 1. Dalam tahun 1993-2003 jumlah petani gurem Peningkatan produktivitas dan kesejahteraan petani
(dengan luas garapan kurang dari 0,5 ha) meningkat dapat dilakukan melalui: (a) peningkatan skala usaha
dari 10,8 juta KK menjadi 13,7 juta KK (meningkat sesuai dengan sifat komoditasnya. Misalnya untuk
2,6% pertahun). Hal ini menunjukkan terjadinya petani pangan luas lahan minimal 1 hektar per petani
marginalisasi pertanian sebagai akibat langsung dari di Jawa-Bali dan 2,5 hektar per petani di luar Jawa-
kepadatan penduduk. Sementara itu, luas lahan Bali; (b) pengusahaan komoditas sesuai dengan
semakin berkurang dan perkembangan kesempatan permintaan pasar; (c) diversifikasi usaha rumah
kerja di luar pertanian terbatas. tangga melalui pengembangan agroindustri pedesaan
dengan kegiatan nonpertanian; (d) pengembangan
2. Kualitas SDM pertanian juga rendah. Menurut data kelembagaan penguasaan saham petani untuk sektor
BPS tahun 2002, tingkat pendidikan tenaga kerja hulu maupun hilir; (e) kebijakan perlindungan bagi
pertanian yang tidak sekolah dan tidak tamat SD petani dan usahanya.
sebesar 35%, tamat SD 46%, dan tamat SLTP 14%
Sumber daya Akses sektor pertanian terhadap sumber daya tersebut Pengembangan lahan pertanian dapat ditempuh
Pertanian dihadapkan kepada berbagai masalah, seperti: (a) melalui: (a) reformasi keagrariaan untuk
terbatasnya sumber daya alam dan air yang digunakan; meningkatkan akses petani terhadap lahan dan air
(b) sempitnya luas lahan pertanian per kapita penduduk serta meningkatkan rasio luas lahan perkapita; (b)
indonesia (900m²/kapita); (c) banyaknya petani gurem pengendalian konversi lahan pertanian dan
dengan luas lahan garapan perkeluarga petani kurang pencadangan lahan abadi untuk pertanian sekitar 15
dari 0,5 ha; (d) tingginya angka konversi lahan juta ha; (c) fasilitasi terhadap pemanfaatan lahan
pertanian menjadi lahan non pertanian dan tidak (pembukaan lahan pertanian baru); serta (d)
terjaminnya status penguasaan lahan (land tenure) penciptaan suasana yang kondusif untuk agroindustri
pedesaan sebagai penyedia lapangan kerja dan
peluang peningkatan pendapatan serta kesejahteraan
keluarga petani.
Produk & Bisnis Dalam kurun waktu yang panjang pembangunan Pembangunan pertanian dilakukan melalui
Pertanian pertanian selalu diidentikkan dengan kegiatan produksi pendekatan agribisnis, yang pada hakikatnya
usaha tani semata (proses budidaya atau agronomi) menekankan kepada tiga hal, yaitu: (1) pendekatan
sehingga hasil pertanian identik dengan komoditas pembangunan pertanian ditingkatkan dari pendekatan
primer. Kegiatan pertanian masa lalu lebih berorientasi produksi ke pendekatan bisnis sehingga aspek usaha
kepada peningkatan produksi komoditas primer dan dan pendapatan menjadi dasar pertimbangan utama;
kurang memberi kesempatan untuk memikirkan (2) pembangunan pertanian bukan semata
perkembangan produk hilir. Selama ini kontribusi pembangunan sektoral, namun juga terkait dengan
sektor pertanian terhadap penerimaan devisa lebih sektor lain (lintas/inter-sektoral); (3) pembangunan
banyak diperoleh dari produk segar (primer) yang pertanian bukan pengembangan komoditas secara
relatif memberi nilai tambah kecil dan belum parsial, melainkan sangat terkait dengan
mengandalkan produk olahan (hilir) yang dapat pembangunan wilayah, khususnya pedesaan yang
memberikan nilai tambah lebih besar. berkaitan erat dengan upaya peningkatan pendekatan
petani.
28
2.5.3 Strategi Revitalisasi
1. Akses terhadap pangan dan gizi yang cukup merupakan hak yang paling
asasi bagi manusia.
Ketahanan pangan dihasilkan oleh suatu sistem pangan yang terdiri dari
atas tiga subsistem, yaitu (1) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang
cukup untuk seluruh penduduk; (2) distribusi pangan lancar dan merata; dan (3)
konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi dan kaidah
kesehatan. Kebijakan ketahanan pangan di Indonesia dikelompokkan menjadi tiga
menurut jangka waktu implementasinya, yaitu kebijakan jangka pendek,
kebijakan jangka menengah, dan kebijakan jangka panjang. Kebijakan yang
ditempuh dalam jangka pendek adalah memberlakukan kebijakan stabilisasi harga
bahan pokok.
29
Sementara itu, kebijakan yang dilakukan dalam jangka menengah dan
jangka panjang secara berturut-turut adalah mempercepat pencapaian swasembada
komoditas pangan strategis dan percepatan diversifikasi pangan.
1. Sistem dan prosedur penyaluran kredit masih rumit, birokratis, dan kurang
memperhatikan kondisi lingkungan sosio budaya pedesaan.
30
3. Usaha di sektor pertanian masih dianggap beresiko tinggi oleh pihak
investor
31
h) Meningkatkan kerja sama dengan lembaga keuangan dan negara donor di
luar negeri untuk pengembangan pembiayaan agribisnis dan
Strategi Melalui
Meningkatkan daya a. Pemberdayaan petani dan pelaku usaha pertanian agar mampu mengakses
saing produksi teknologi pengolahan hasil dan informasi pasar
dalam negeri
b. Menumbuhkembangkan industri pengolahan hasil pertanian di pedesaan
untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah hasil pertanian, menciptakan
lapangan kerja baru, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
e. Pengembangan sarana dan prasarana pasar termasuk cold stirage dan packing
house
c. Perluasan akses pasar melalui promosi dan pengembangan Free Trade Area
(FTA)
32
d. Strategi dan Kebijakan Pendayagunaan Sumber Daya Lahan Pertanian
33
Namun, melonjaknya harga beras dan gula akhirnya membuka mata kita
aka adanya persoalan dalam manajemen pembangunan pertainan Indonesia,
terutama dalam pemerintah SBY-JK.
Kedua, masih lemahnya akses petani terhadap sumber daya produktif dan
permodalan; peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup petani dan rumah
tangga petani dan peningkatan diversifikasi ekonomi perdesaan; dan peningkatan
infrastruktur pedesaan dan pertahanan, padahal revitalasi pertanian pada dasarnya
adalah upaya strategis pemerintah untuk menjadikan sektor pertanian sebagai
dasar pembangunan ekonomi nasional. Arah kebijakan pembangunan pertanian
nasional adalah peningkatan produktivitas dan kualitas petani dan pertanian.
34
Hal ini dapat dilihat dari perhatian birokrat pada potensi ekonomi daerah;
hasil pertanian unggulan pertanian daerah; produk olahan hasil pertanian daerah
serta jenis usahanya yang terus diupayakan untuk dikembangkan.
35
Pengembangan agroindustri sebagai pilihan model modernisasi pedesaan
haruslah dapat meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani. Untuk itu
perumusan perencanaan pembangunan pertanian, perlu disesuaikan dengan
karakteristik wilayah dan ketersediaan teknologi tepat guna. Sehingga alokasi
sumberdaya dan dana yang terbatas, dapat menghasilkan output yang optimal,
yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat.
Agar model pembangunan pedesaan yang berkelanjutan dapat terwujud
diperlukan pedoman pengelolaan sumberdaya melalui pemahaman wawasan
agroekosistem secara bijak, yaitu pemanfaatan aset-aset untuk kegiatan ekonomi
tanpa mengesampingkan aspek-aspek pelestarian lingkungan.
36
BAB 3
BAGIAN AKHIR
3.1 Daftar Rujukan
Kuncoro, Mudrajad. 2010. Ekonomika Pembangunan: Teori, Masalah dan
Kebijakan. Jakarta: Erlangga.
Dahuri, Rokhmin. 2005. “Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Kehutanan”
(online), (http://www.freelists.org/, diakses tanggal 27 Desember 2005).
http://bkp.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/data_statistik_kp_2014_
new.pdf
37