Anda di halaman 1dari 40

PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
PENGANTAR EKONOMI PEMBANGUNAN
Yang dibina oleh Ibu Primasa Minerva Nagari, M.Pd

Oleh

Elizabeth Pratisca Subari


160422608280
Muchamat Choirul Rozikin
160422608311
Muhammad Rifqi Zakaria
160422600650
Myranda Aprillia Nursanti
160422608343
Nabila Naura Firdaus
160422608275

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN AKUNTANSI
FEBRUARI 2017
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga kami kelompok VI
offering MM dapat menyelesaikan makalah Pengantar Ekonomi Pembangunan
dengan judul “ Pembangunan Pertanian dan Perdesaan ” ini dengan baik.
Makalah ini berisi tentang teori peran sektor pertanian dalam
pembangunan, diikuti oleh teori keterkaitan antara sektor pertanian dan industri,
studi empiris mengenai struktur, perilaku, dan kinerja agroindustri Indonesia, serta
revitalisasi sektor pertanian.
Kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Primasa Minerva Nagari, M.Pd.
selaku Dosen Matakuliah Pengantar Ekonomi Pembangunan dan seluruh rekan
offering MM , serta seluruh pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penyusunan
makalah ini. Oleh karena itu kami menerima segala kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat
memberikan manfaat dan inspirasi.

Malang, Februari 2017

Penyusun,
Kelompok VI

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah.............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 2
1.3 Tujuan......................................................................................................... 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pertanian Dalam Pembangunan.................................................................. 3
2.2 Keterkaitan Antara Sektor Pertanian dan Industri...................................... 6
2.2.1 Agricultural Demand-Led Industrialization................................... 6
2.2.2 Sistem agribisnis........................................................................... 8
2.2.3 Studi Agroindustri Indonesia........................................................ 9
2.3 Strategi Pembangunan Pertanian di Indonesia.......................................... 13
2.4 Permasalahan sektor PPK......................................................................... 16
2.4.1 Masalah Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan............................ 17
2.4.2 Kemiskinan dan Ketidaktahanan Pangan...................................... 17
2.4.3 Kemiskinan dan Kerawanan Pangan............................................. 20
2.4.4 Kegureman Usaha PPK................................................................. 22
2.4.5 Nilai Tukar Petani......................................................................... 22
2.4.6 Keterbatasan Kesempatan Kerja dan Berusaha............................ 24
2.4.7 Degradasi Kualitas Sumber Daya Alam....................................... 25
2.4.8 Masalah Daya Saing dan Persaingan Yang Tidak Adil................ 25
2.5 Revitalisasi PPK versi Pemerintah SBY-JK............................................. 27
2.5.1 Makna Revitalisasi........................................................................ 27
2.5.2 Arah Masa Depan......................................................................... 28
2.5.3 Strategi Revitalisasi...................................................................... 29
2.6 Kendala Revitalisasi Pertanian................................................................. 33

BAB 3 PENUTUP
3.1 Daftar Rujukan.......................................................................................... 37
ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor pertanian merupakan sektor yang mendapatkan perhatian cukup


besar dari pemerintah dikarenakan peranannya yang sangat penting dalam
rangka pembangunan ekonomi jangka panjang maupun dalam rangka
pemulihan ekonomi bangsa. Peranan sektor pertanian adalah sebagai sumber
penghasil bahan kebutuhan pokok, sandang dan papan, menyediakan lapangan
kerja bagi sebagian besar penduduk, memberikan sumbangan terhadap
pendapatan nasional yang tinggi, memberikan devisa bagi negara dan
mempunyai efek pengganda ekonomi yang tinggi dengan rendahnya
ketergantungan terhadap impor (multiplier effect), yaitu keterkaitan input-
output antar industri, konsumsi dan investasi. Dampak pengganda tersebut
sangat bermanfaat, sehingga sektor pertanian layak dijadikan sebagai sektor
andalan dalam pembangunan ekonomi nasional. Sektor pertanian juga dapat
menjadi basis dalam mengembangkan kegiatan ekonomi perdesaan melalui
pengembangan usaha berbasis pertanian yaitu agribisnis dan agroindustri.
Dengan pertumbuhan yang terus positif secara konsisten, sektor pertanian
berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional.

Persoalannya adalah hambatan sektor pertanian yang mencul akibat proses


pembangunan yang tidak seimbang. Pertama, pembangunan industri yang
memerlukan dana pembangunan yang berasal dari luar sektor pertanian.
Kedua, kesiapan sektor pertanian yang berkaitan dengan kemampuan teknik
produksi dan kemampuan rakyat untuk menyesuaikan teknik produksi
tersebut. Ketiga, jika sektor hulunya tidak mampu menopang dan menciptakan
surplus produksi, ketergantungan terhadap input dari luar negeri menjadi
semakin meningkat.

1
Jika dibiarkan akan menimbulkan dampak yang tidak diharapkan yaitu
perbedaan jenjang yang mencolok antara pelaku ekonomi dengan kemampuan
tinggi dan pelaku ekonomi berproduktivitas rendah yang akan menghasilkan
perbedaan manfaat yang diperoleh dari keikutsertaan proses pembangunan ini.

Berkaitan dengan hal ini, solusi tersebut mengubah arah pandang pelaku
ekonomi dengan memberikan bagiobot lebih besar terhadap peran sektor
pertanian dalam pembangunan dengan mengutamakan peningkatan produksi
melalui industri dan umumnya pengembangan sektor industri di kota akan
berjalan baik dengan mampu menjalin hubungan dengan sektor pertanian
yaitu memberikan kesempatan kerja bagi rakyat di perdesaan, serta
memberikan penghasilan yang memadai sehingga rakyat mempunyai
sumbangan yang cukup untuk proses pertumbuhan ekonomi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan pada uraian latar belakang diatas, maka rumusan dari
makalah ini adalah:
1. Bagaimana keadaan sektor pertanian di Indonesia ?
2. Apa saja hambatan yang di hadapi oleh sektor pertanian dalam
pembangunan ?
3. Kebijakan atau strategi apa yang harus dilakukan oleh pemerintah
dalam pembangunan pertanian dan perdesaan ?
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui keadaan sektor pertanian di Indonesia
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang di hadapi oleh sektor
pertanian dalam pembangunan
3. Untuk mengetahui kebijakan atau strategi yang dilakukan oleh
pemerintah dalam pembangunan pertanian dan perdesaan

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertanian dalam pembangunan

Karakteristik Indonesia sebagai negara agraris menyiratkan bahwa sektor


pertanian memainkan peranan penting di negeri ini. Indonesia yang merupakan
negara kepulauan dihuni oleh penduduk yang mayoritas tinggal di perdesaan dan
menggantungkan hidupnya pada sektor primer khususnya pertanian. Peran sektor
pertanian dalam perekonomian Indonesia secara umum adalah :

1. Pembentuk Produk Domestik Bruto


2. Salah satu sumber penghasil devisa
3. Penyedia pangan penduduk dan bahan baku bagi industri
4. Salah satu sektor yang dapat mengentaskan masalah kemiskinan
5. Penyedia lapangan kerja
6. Salah satu sumber peningkatan pendapatan masyarakat
7. Salah satu sumber pemantapan ketahanan pangan nasional

Dalam setiap pemberitaan kenegaraan selalu diingatkan bahwa sektor


pertanian merupakan sektor prioritas dalam pembangunan. Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) tahun 1983 menetapkan bahwa prioritas pembangunan
diletakkan pada pembangunan bidang ekonomi dengan titik berat pada sektor
pertanian. Pembangunan pertanian diarahkan untuk meningkatkan produksi
pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan industri dalam negeri
serta meningkatkan ekspo, meningkatkan pendapatan petani, memperluas
kesempatan kerja, mendorong pemerataan kesempatan berusaha.

Industrialiasasi dinilai sebagai suatu strategi yang mampu meningkatkan


produktivitas dan efisiensi penggunaan faktor produksi. Hal ini berdasarkan
pengalaman dari negara-negara maju yang menunjukkan bahwa strategi
industrialisasi merupakan langkah yang tepat dan selalu diikuti oleh negara yang
membangun. Kendati demikian, strategi ini mempunyai beberapa kelebihan dan
kekurangan.

3
Kelebihan arah pengembangan ini adalah pertama, sektor industri dapat
merangsang sektor pertanian untuk berkembang cepat dalam upaya memenuhi
kebutuhan input bagi sektor industri yang bersangkutan. Kedua, dengan
industrialisasi, produksi per unit dapat ditingkatkan dengan waktu singkat,
kualitas yang seragam, dan biaya per unit yang lebih murah. Di samping
kelebihan ini, ada beberapa kelemahan yang muncul sebagai akibat proses
pembangunan yang tidak ada seimbang. Pertama, pembangunan industri yang
tidak dibiayai dengan surplus yang diciptakan oleh sektor asli daerah (pertanian)
berarti memerlukan dana pembangunan yang berasal dari luar sektor pertanian
atau diperlukan injeksi modal dari luar negeri. Kedua, perkembangan sektor
pertanian yang diharapkan dapat menjadi pendukung bagi sektor industri baru
tergantung dari kesiapan sektor pertanian. Kesiapan ini berkaitan dengan
kemampuan teknik produksi yang disesuaikan dengan kapasitas serktor yang
terkait dan kemampuan rakyat untuk menyesuaikan teknik produksi tinggi
tersebut. Jika kesiapan sektor pertanian tidak seimbang dengan sektor industri
yang sudah dibangun, ketergantungan akan terjadi. Di samping itu, akan
tergantung juga pada dana pembangunan yang berasal dari luar sektor maupun
luar negeri. Ketiga, jika sektor hulunya tidak segera mampu menopang dan
menciptakan surplus produksi, ketergantungan terhadap input dari luar negeri
menjadi semakin meningkat.

Proses pembangunan yang mengutamakan pada penggunaan faktor produksi


dengan marginal produk tinggi akan menimbulkan dampak yang tidak diharapkan,
terutama terjadinya perbedaan jenjang yang mencolok antara pelaku ekonomi
dengan kemampuan tinggi dan pelaku ekonomi berproduktivitas rendah.
Perbedaan dalam pemilikan aset ini, baik jumlah maupun mutu, akan
mengakibatkan perbedaan manfaat yang di peroleh dari keikutsertaannya dalam
proses pembangunan ini. Berkaitan dengan hal ini, para pemikir ekonomi mulai
mengubah arah pandangnya dengan memberikan bobot lebih besar terhadap peran
sektor pertanian dalam pembangunan.

4
Strategi pembangunan yang mengutamakan peningkatan produksi melalui
industri dan umumnya di kota hanya berjalan baik jika pengembangan sektor
industri mampu menjalin hubungan dengan sektor pertanian, memberikan
kesempatan kerja bagi rakyat di pedesaan, serta memberikan penghasilan
memadai sehingga mereka mempunyai sumbangan cukup bagi proses
pertumbuhan ekonomi.

Pada umumnya, pengembangan sektor produktif dengan alokasi sumber daya


dan efisiensi produksi dapat dicapai berkat kematangan sektor pertanian yang
mempunyai kaitan erat dengan sektor lain. Sektor pertanian berkembang dan
mampu menciptakan surplus yang kemudian ditingkatkan menjadi investasi pada
sektor yang mampu mengolah produk pertanian. Antara industri pengolah hasil
pertanian dan sektor pertanian yang mempunyai surplus ini terdapat hubungan
yang saling terkait dan saling menguntungkan. Keterkaitan ini dikenal dengan
kaitan ke depan dari sektor pertanian atau forward linkage sektor pertanian. Di
sisi lain, peran sektor pertanian maupun sektor lain yang mampu menciptakan
surplus nasional diarahkan pada perkembangan sektor industri yang terkait dan
saling mendukung dengan sektor pertanian. Dari sisi industri, industri yang
mendukung berkembangnya sektor pertanian dikatakan mempunyai kaitan ke
belakang atau backward linkage sektor industri. Adanya kaitan dalam arti luas
antara sektor pertanian dengan sektor lain, khususnya industri yang mengolah
hasil pertanian dan meningkatkan nilai tambah pertanian, merupakan prakondisi
proses pembangunan yang berkembang tumbuh. Kaitan sektor ini hanya dapat
terjalin dengan baik jika pengembangan sektor industri muncul sebagai akibat
kuatnya sektor pertanian. Dengan demikian, ketergantungan antara sektor
pertanian dengan industri merupakan ketergantungan yang saling menguntungkan.
Sektor pertanian perlu mendapat perhatian yang lebih karena strategi
pembangunan yang diupayakan dengan mengejar pertumbuhan industri di kota
yang cepat sering kali tidak dibarengi dengan pengembangan sektor pertanian dan
pembangunan perdesaan (Todaro, 1978).

5
Strategi pembangunan yang mengutamakan peningkatan taraf hidup sebagian
besar masyarakat sebaiknya tidak hanya didasarkan pada ukuran ekonomi, tetapi
harus dilengkapi dengan ukuran lain sesuai dengan keadaan dan kemampuan
masyarakat setempat.

2.2 Keterkaitan antara sektor pertanian dan industri

2.2.1 Agicultural Demand-Led Industrialization

Adelman (1984) membuktikan pentingnya agricultural demand-led


ndustrialization melalui sejumlah analisis bahwa strategi ADLI lebih superior
dibandingkan dengan strategi expert-led growth, khususnya apabila diterapkan di
NSB dimana peranan sektor pertanian masih substansial. Strategi ini menghendaki
pergeseran strategi pertaian dari surplus extraction menjadi surplus creation, dan
ditumbuhkannya.

Salah satu syarat perlu untuk tercapainya transformasi struktural dari


pertanian (industri primer) ke industri manufaktur (industri sekunder) adalah
adanya keterkaitan sektor pertanian dan sektor industri yang tangguh. Kaitan yang
paling sesuai adalah pengolahan produk-produk pertanian ke dalam
pengembangan agroindustri. Konsep agroindustri yang digunakan adalah
agroindustri dalam arti luas, yaitu selain mencangkup industri pengolah hasil
pertanian dan industri penyedia input bagi pertanian, juga termasuk seluruh
subsektor dalam pertanian, yang meliputi tanaman pangan, tanaman perkebunan,
peternakan, kehutanan, dan perikanan. Dipilihnya agroindustri tersebut
berdasarkan adanya banyak bentuk interaksi pertanian-agroindustri seperti pada
tabel berikut.

6
Tabel 11.1 Berbagai Bentuk Alternatif dalam Interaksi Pertanian (Hulu) dan
Agroindustri (Hilir)

Bentuk Pemilikan Agroindustri

Bentuk Interaksi Swasta Swasta Usaha


Negara Koperasi
Besar Kecil Bersama

1. Perkebunan besar : x x
agroindustri besar yang
terintegrasi vertikal ke depan.
2. Agroindustri besar yang x x
sebagian terintegrasi vertikal
ke belakang sebagian berdasar
contract garming (=PIR)
3. Agroindustri besar dengan x x x
system pengadaan contract
farming (=intisatelit)
4. Usaha pemasaran (agribisnis) x ?
dengan sistem pengadaan
contract farming (tanpa
pengolahan lokal domestik).
5. Agroindustri yang membeli x x ?
bahan bakunya di pasar bebas.
6. Petani kecil yang terintegrasi x x x
vertikal ke depan (=pemikiran
agroindustri bersama oleh
petani).
Catatan : x = bentuk yang kira-kira terdapat di Indonesia.

Sumber : White (1990)

7
2.2.2 Sistem Agribisnis

Agribisnis mencangkup subsistem sarana produksi atau bahan baku di


hulu, proses produksi biologis ditengah dan perdagangan di hilir, serta subsistem
pendukung seperti jasa permodalan dan lain lain. Sistem agribisnis
mengedepankan suatu sistem budaya, organisasi dan manajemen yang rasional
untuk memperoleh nilai tambah. Lihat gambar berikut.

Gambar 11.1. Keterkaitan Antarsubsistem dalam Sistem Agribisnis

Pemasaran

Perbankan Pengolaan
Pelayanan
Penyimpanan (Agroindustri)
Penelitian
Asuransi
Penyuluhan
Angkutan
Pengaturan
Produksi
Dan lain-lain
Komiditas Kebijakan

Pertanian

Pengadaan dan
Penyaluran Sarana
Produksi Alat-alat
dan Mesin Pertanian

Sikap resmi pemerintah Indonesia terhadap strategi pertanian berwawasan


agribisnis adalah: (1) menarik dan mendorong sektor pertanian; (2) menciptakan
struktur pertanian yang tangguh; (3) menciptakan nilai tambah; (4) penerimaan
devisa dan peluang kerja; (5) pembagian pendapatan.

8
Dari sini muncul strategi bahwa pengembangan ketahanan perlu
diupayakan melalui sistem dan usaha agribisnis di bidang pangan yang berdaya
saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi (Arifin 2004: 155).

Maksud dari berdaya saing adalah bahan pangan harus memenuhi kaidah-
kaidah efisiensi. Berkerakyatan yang dimaksud adalah unit rumah tangga,
mayoritas petani, serta kaum miskin menjadi sasaran pengembangan ketahanan
pangan melalui proses pengambilan keputusan yang demokratis. Berkelanjutan
merujuk pada keberlanjutan dan kemampuan agribisnis untuk meningkatkan
kapasitas sumber daya pangan, pendapatan masyarakat, dan rasa keadilan
antarruang/tempat dan antarwaktu/generasi. Terdesentralisasi berbasis
kompensi/keunggulan lokal, dengan mengedepankan pemanfaatan sumber daya,
kelembagaan dan budaya lokal (Arifin, 2004: 153-155).

2.2.3 Studi Agroindustri Indonesia

Penelitian Kuncoro (1996) menggunakan 3 pendekatan dan 9 alat analisis


(lihat gambar 11.2). analisis keterkaitan, baik kaitan ke depan maupun ke
belakang, dan konsentrasi industri (CR4) digunakan untuk mengetahui struktur
dalam subsektor agroindustri. Sementara itu, analisis multiplier, yang mencakup
angkat pengganda output, pendapatan, dan tenaga kerja, digunakan untuk
mengetahui perilaku yang ada di sektor tersebut. Untuk menganalisis sejauh mana
kinerja agroindustri, dipergunakan indikator multiplier ekspor dan derajat
ketergantuangan ekspor.

Penemuan utama studi ini adalah sebagai berikut.

Dilihat dari kaitan ke belakangnya untuk tahun 1980, 1985, dan 1990, ternyata
ada empat industri pengolah hasil pertanian yang selalu menempati sepuluh
besar dalam subsektor yang kaitan ke belakangnya paling tinggi, yaitu :
industri penyedia input pertanian yang selalu memasuki jajaran sepuluh besar,
yaitu industri barang dari logam. Ini membuktikan bahwa agroindustri,
terutama industri pengolah hasil pertanian, memiliki kaitan yang erat degan
subsektor penyedia inputnya, khususnya dengan sektor pertanian.
9
a. Agroindustri yang mempunyai kaitan ke belakang yang tinggi sekaligus juga
memiliki kaitan ke depan yang tinggi adalah karet, industri pemeintalan,
barang dari kertas, pupuk dan pestisida, barang dari karet & plastik, dan
barang dari logam. Ini diperkuat oleh analisis perilaku, yang membuktikan
bahwa subsektor tersebut juga memiliki angka pengganda output yang tinggi.
Apabila dinginkan keterkaitan antarsektor yang semakin menguat,
penembangan subsektor di atas merupakan pilihan yang tepat.
b. Agroindustri yang mempunyai kaitan ke depan dan belakang yang rendah
adalah subsektor jagung, tanaman umbi-umbian dan pati, tanaman perkebunan
lainnya, unggas dan hasil-hasilnya, dan perikanan. Ini konsisten dengan angka
pengganda output untuk subsektor tersebut yang berada pada peringkat yang
rendah. Subsektor-subsektor ini bukan hanya tidak peka terhadap perubahans
ubsektor lainnya, namun juga tidak dapat diandalkan untuk menumbuhkan
subsektor lainnya bila kita meningkatkan investasi di subsektor ini.
GAMBAR 11.2 Kerangka Pendekatan dan Alat Analisis

Kerangka Analisis

Struktur Perilaku Kinerja

Kaitan Ke Belakang Output Multiplier Derajat Ketergantuan


Ekspor

Kaitan Ke Depan Income Multiplier Multiplier Ekspor

Terhadap Output

Derajat Konsentrasi Employment Multiplier Ekspor


Multiplier terhadap Tenaga Kerja

10
c. Analisis konsentrasi industri dengan indikator CR4 (rasio konsentrasi putput
empat perusahaan terbesar dalam total output industri tersebut) menunjukkan
angka konsentrasi industri untuk sektor agroindustri cukup bervariasi dengan
kecenderungan menurun. Angka konsentrasi untuk agroindustri ini ternyata
lebih rendah dibanding angka konsentrasi untuk seluruh industri dalam
perekonomian. Pada tahun 1975, rata-rata CR4 untuk seluruh agroindustri
adalah 53,1%, dan turun menjadi 37,2% pada tahun 1991. Sementara itu,
angka konsentrasi untuk seluruh industri dalam perekonomian adalah 53,1%
pada tahun 1975, dan turun menjadi 37,2% pada tahun 1991. Meskipun
demikian, terdapat empat subsektor agroindustri yang konsentrasi industrinya
cenderung meningkat, yaitu : industri makan (ISIC 311), industri rokok (ISIC
314), industri tekstil (ISIC 321), dan industri kulit (ISIC 323). Bila angka
konsentrasi meningkat, dapat ditafsirkan bahwa tingkat persaingan dalam
industri tersebut menurut. Dilihat dari rasio konsentrasinya, yang paling tinggi
rasio konsentrasi industrinya di antara subsektor agroindustri adalah industri
rokok, sedangkan yang paling rendah konsentrasi industrinya adalah industri
kayu.
d. Analisis kinerja membuktikan bahwa derajat ketergantungan ekspor bagi
agroindustri menunjukkan perubahan yang amat substansial. Pada tahun 1980,
peringkat top ten dalam derajat ketergantungan ekspor didominasi oleh produk
sektor pertanian primer. Sepuluh tahun kemudian, selain produk sektor
pertanian primer, dua subsektor industri pengolah hasil pertaian mulai masuk
dalam jajaran sepuluh besar, yaitu industri kayu-bambu-rotan dan industri
tekstil. Perubahan ini ternyata konsisten dengan angka pengganda ekspor
terhadap output dan tenaga kerja. Industri rotan-kayu-bumbu dan industri
tekstil selalu menempati jajaran top ten dari sisi angka pengganda ekspor
terhadap output maupun terhadap tenaga kerja.
e. Pertanyaan menarik yang sering diajukan adalah apakah terjadi perubahan
struktural dalam agroindustri yang bersifat mendasar selama 1980-1990?

11
Uji korelasi spearman rank menunjukkan bahwa dari sembilan alat analisis
yang digunakan dalam studi ini ternyata hanya untuk derajat ketergantungan
ekspor terjadi perubahan struktural yang cukup berarti, baik antara periode
1980-1985, maupun 1985-1990. Kendati demikian, koefisien spearman rank
terbukti tidak signifikan antara 1980-1990 baik untuk derajat ketergantungan
ekspor ataupun untuk semua alat analisis.
Dari hasil-hasil penemuan utama studi ini, agaknya dapat ditarik suatu
implikasi kebijakan sebagai berikut.

a. Kendati proses transformasi struktural telah terjadi di indonesia, dimana


kontribusi sektor pertanian telah digantikan oleh sektor industri sebagian besar
penduduk Indonesia masih menggantungkan hidupnya dengan bekerja di
sekitor pertanian. Oleh karena itu, pengembangan industri di masa mendatang
tampaknya masih perlu memprioritaskan pada strategi pengembangan
keterkaitan antara sektor, terutama keterkaitan antara sektor industri dan
pertanian. Pengembangan agroindustri merupakan langkah strategis dalam
memperkokoh struktur perekonomian indonesia. Agroindustri yang dimaksud
dalam penelitian ini mencakup seluruh subsekttor pertanian ditambah
subsektor industri pengolah hasil pertanian dan industri penyedia input bagi
sektor pertanian.
b. Agroindustri terbukti secara konsisten memiliki bobot yang tinggi dilihat dari
angka kaitan sktoralnya, dampak penggandanya dan peranannya dalam
aktivitas ekspor. Kendati demikian, analisis speraman rank menunjukkan
indikasi tidak terjadinya perubahan struktural dalam perekonomian indonesia
selama 1980-1990. Oleh karena itu, bila komitmen penggalakan ekspor
nonmigas tetap dipegang, upaya diversifikasi produk unggulan ekspor perlu
mendapatkan porsi yang lebih tinggi. Ini perlu diikuti dengan identifikasi
penentuan prioritas daerah dan komoditas agroindustri yang hendak
dikembangkan lebih lanjut.

12
2.3 Strategi pembangunan pertanian di Indonesia
Pembangunan pertanian dalam lima tahun ke depan berlandaskan pada
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ke-tiga (2015-
2019), dimana RPJMN tersebut sebagai penjabaran dari Visi, Program Aksi
Presiden/Wakil Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla serta berpedoman pada Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Visi pembangunan dalam
RPJM 2015-2019 adalah “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan
Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”. Visi tersebut dijabarkan menjadi
Tujuh Misi serta Sembilan Agenda Prioritas (NAWA CITA). Dalam aspek
ideologi, PANCASILA 1 JUNI 1945 dan TRISAKTI menjadi ideologi bangsa
sebagai penggerak, pemersatu perjuangan, dan sebagai bintang pengarah.
Kesembilan Agenda Prioritas (NAWA CITA) lima tahun ke depan adalah
: (1) Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan
memberikan rasa aman pada seluruh warga Negara, (2) Membangun tata kelola
pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya, (3) Membangun
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
kerangka negara kesatuan, (4) Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan
reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan
terpercaya, (5) Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, (6)
Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, (7)
Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis
ekonomi domestik, (8) Melakukan revolusi karakter bangsa, dan (9)
Memperteguh ke-bhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.
Berdasarkan rincian dari Sembilan Agenda Prioritas (Nawa Cita) tersebut,
maka agenda prioritas di bidang pertanian terdiri dari dua hal, yaitu (1)
Peningkatan Agroindustri, dan (2) Peningkatan Kedaulatan Pangan.
(1) Peningkatan Agroindustri, sebagai bagian dari agenda 6 Nawa Cita
(Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional).
Sasaran dari peningkatan agroindustri adalah:

13
a. meningkatnya PDB Industri Pengolahan Makanan dan Minuman serta
produksi komoditas andalan ekspor dan komoditas prospektif,
b. meningkatnya jumlah sertifikasi untuk produk pertanian yang diekspor,
dan
c. berkembangnya agroindustri terutama di perdesaan.Komoditi yang
menjadi fokus dalam peningkatan agroindustri diantaranya kelapa
sawit, karet, kakao, teh, kopi, kelapa, mangga, nenas, manggis, salak,
kentang.
Untuk mencapai sasaran pokok peningkatan nilai tambah dan daya saing
komoditi pertanian yang telah ditetapkan tersebut, maka arah kebijakan
difokuskan pada: (1) peningkatan produktivitas dan mutu hasil pertanian komoditi
andalan ekspor, potensial untuk ekspor dan substitusi impor; dan (2) mendorong
pengembangan industri pengolahan terutama di perdesaan serta peningkatan
ekspor hasil pertanian. Untuk itu strategi yang akan dilakukan meliputi:
a. Revitalisasi perkebunan dan hortikultura rakyat,
b. Peningkatan mutu, pengembangan standardisasi mutu hasil pertanian
dan peningkatan kualitas pelayanan karantina dan pengawasan keamanan hayati,
c. Pengembangan agroindustri perdesaan,
d. Penguatan kemitraan antara petani dengan pelaku/ pengusaha
pengolahan dan pemasaran,
e. Peningkatan aksesibilitas petani terhadap teknologi, sumbersumber
pembiayaan serta informasi pasar dan akses pasar
f. Akselerasi ekspor untuk komoditas-komoditas unggulan serta komoditas
prospektif.

(2) Peningkatan Kedaulatan Pangan adalah bagian dari agenda 7 Nawa


Cita (Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor
strategis ekonomi domestik).

14
Kedaulatan pangan dicerminkan pada kekuatan untuk mengatur masalah
pangan secara mandiri, yang perlu didukung dengan: (i) ketahanan pangan,
terutama kemampuan mencukupi pangan dari produksi dalam negeri; (ii)
pengaturan kebijakan pangan yang dirumuskan dan ditentukan oleh bangsa
sendiri; dan (iii) mampu melindungi dan mensejahterakan pelaku utama pangan,
terutama petani dan nelayan. Selanjutnya, dalam rangka kedaulatan pangan,
ketersediaan air merupakan faktor utama terutama untuk meningkatkan dan
memperkuat kapasitas produksi. Untuk tetap meningkatkan dan memperkuat
kedaulatan pangan, sasaran utama prioritas nasional bidang pangan pertanian
periode 2015-2019 adalah:
A. Tercapainya peningkatan ketersediaan pangan yang bersumber dari
produksi dalam negeri. Produksi padi diutamakan ditingkatkan dalam
rangka swasembada agar kemandirian dapat dijaga. Produksi kedelai
diutamakan untuk mengamankan pasokan pengrajin dan kebutuhan
konsumsi tahu dan tempe. Produksi jagung ditargetkan untuk memenuhi
kebutuhan keragaman pangan dan pakan lokal. Produksi daging sapi untuk
mengamankan konsumsi daging sapi di tingkat rumah tangga, demikian
pula produksi gula dalam negeri ditargetkan untuk memenuhi konsumsi
gula rumah tangga.
B. Terwujudnya peningkatan distribusi dan aksesibilitas pangan yang
didukung dengan pengawasan distribusi pangan untuk mencegah
spekulasi, serta didukung peningkatan cadangan beras pemerintah dalam
rangka memperkuat stabilitas harga.
C. Tercapainya peningkatan kualitas konsumsi pangan sehingga mencapai
skor Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 92,5 (2019).
D. Terbangunnya dan meningkatnya layanan jaringan irigasi 600 ribu Ha
untuk menggantikan alih fungsi lahan.
E. Terlaksananya rehabilitasi 1,75 juta Ha jaringan irigasi sebagai bentuk
rehabilitasi prasarana irigasi sesuai dengan laju deteriorasi.
F. Beroperasinya dan terpeliharanya jaringan irigasi 2,95 juta Ha.
15
G. Terbangunnya 132 ribu Ha layanan jaringan irigasi rawa untuk
pembangunan lahan rawa yang adaptif dengan menyeimbangkan
pertimbangan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Arah kebijakan umum kedaulatan pangan dalam RPJMN 2015-2019
adalah: pemantapan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan dengan
peningkatan produksi pangan pokok, stabilisasi harga bahan pangan, terjaminnya
bahan pangan yang aman dan berkualitas dengan nilai gizi yang meningkat serta
meningkatnya kesejahteraan pelaku usaha pangan. Arah kebijakan Pemantapan
Kedaulatan Pangan tersebut dilakukan dengan 5 strategi utama, meliputi:
a. Peningkatan ketersediaan pangan melalui penguatan kapasitas produksi
dalam negeri, yang meliputi komoditas padi, jagung, kedelai, daging,
gula, cabai dan bawang merah.
b. Peningkatan kualitas Distribusi Pangan dan Aksesibilitas Masyarakat
terhadap Pangan.
c. Perbaikan kualitas Konsumsi Pangan dan Gizi Masyarakat
d. Mitigasi gangguan terhadap ketahanan pangan dilakukan terutama
mengantisipasi bencana alam dan dampak perubahan iklim dan
serangan organisme tanaman dan penyakit hewan.
e. Peningkatan kesejahteraan pelaku utama penghasil bahan pangan.

2.4 Permasalahan Sektor PPK

Kendati sektor pertanian memiliki multifungsi, kenyataannya ada beberapa


masalah fundamental yang dihadapi oleh sektor pertanian, perikanan, dan
kehutanan (PPK), yaitu : (1) masalah kesempatan kerja dan dan kesejahteraan; (2)
kemiskinan dan ketidaktahanan pangan; (3) kegureman usaha PPK; (4) nilai tukar
petani; (5) keterbatasan kesempatan kerja dan berusaha; (6) degradasi kualitas
sumber daya alam; dan (7) masalah daya saing dan persaingan yang tidak adil.
Subbahasan berikut akan menjelaskan permasalahan tersebut lebih lengkap.

16
2.4.1 Masalah Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan

Tingkat pendapatan per tenaga kerja sektor PPK relatif sangat rendah. Tabel
11.5 menunjukkan bahwa nilai produksi per tenaga kerja untuk sektor PPK
cenderung turun dari 0,34 pada tahun 2000 menjadi 0,31 pada tahun 2004. Pada
saat yang sama, nilai produksi per tenaga kerja sektor industri jauh lebih
tinggi,yang berkisar antara 2,36 hingga 2,8 selama periode 2000 – 2004.

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa tingkat pendapatan per tenaga kerja
PPK rendah? Penyebabnya adalah : pertama, petani memiliki produktivitas yang
rendah akibat keterbatasan berbagai faktor produksi terutama lahan. Kedua,
produktivitas yang rendah kerena jumlah petani yang terlalu banyak. Ketiga,
gabungan kedua hal tersebut (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,
2005: 15).

Masalah kesejateraan ini juga tercermin dari jumlah penduduk miskin di


PPK mencapai lebih dari 60 persen dari total penduduk miskin, tingakat
pengangguran di PPK sekitar 50 persen dari total pengangguran terbuka.

TABEL 11.5 Indeks Nilai Produksi per Tenaga Kerja

2000 2001 2002 2003 2004

PPK 0,34 0,36 0,35 0,32 0,31


Industri (Total) 2,36 2,49 2,53 2,80 2,78
Industri terkait PPK 2,40 2,42 2,47 2,61 2,64

2.4.2 Kemiskinan dan Ketidaktahanan Pangan

Kondisi kemiskinan yang terjadi di sektor PPK erat kaitannya dengan ketahan
pangan (food security). Walaupun pada tingkat nasional jumlah produksi pangan
(diukur dari kalori) mengalami surplus, masalah ketidaktahanan pangan (food
security), gizi buruk, busung lapar, dan kelaparan masih terjadi di daerah-daerah.

17
Masalah pangan juga memiliki dimensi tersendiri dilihat dari kualitas pangan,
keamanan pangan, keanekaragaman pangan, seperti daging, susu, jagung, kedelai,
gula, bahkan garam juga menimnulkan ketidaktahanan pangan yang memiliki
dampak luas. Ketidaktahanan pangan juga terkait dengan goncangan (shock)
seperti kekeringan, bencana, atau fluktuasi pasar internasional.

Banyakanya orang Indonesia yang mengalami ketidaktahanan pangan dapat


dilihat dari besarnya jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Artinya
jika seseorang itu tidak punya sumber daya yang cukup untuk mengonsumsi 2.100
kalori per hari dan juga untuk membeli barang-barang penting nonmakanan
seperti makanan dan rumah. Menurut MDG Indonesia, dua pertiga penduduk
mengonsumsi kurang dari 2.100 kalori per hari. Di Indonesia, ketidaktahanan
pangan bukan disebabkan oleh kurangnya persediaan beras, tetakemampuan orang
untuk membeli beras, di mana kebutuhan diimpor rata-rata 10% untuk kebutuhan
nasional.

Cara untuk meningkatkan ketahanan pangan dalam jangka panjang ada dua
cara : pertama, seperti yang disinggung dalam Dokumen Strategi Pengurangan
Kemiskinan, yaitu dengan memajukan pembangunan perdesaan dan memperluas
sistem kredit mikro. Kedua, cara langsung dengan memberi dana secara memadai
yang besarnya diperkirakan dengan ‘jurang kemiskinan’. Jurang kemiskinan
menceriminkan seberapa jauh rata-rata orang miskin berada dibawah garis
kemiskinan. Jurang kemiskinan pada tahun 2002 diperkirakan kira-kira Rp.
220.850 per orang miskin per tahun, selanjutnya dikalikan jumlah orang miskian
sebanyak 38 juta, dihasilkan transfer tahunan yang dibutuhkan sejumlah Rp. 8,4
triliun. Perkiraan jumlah biaya tahunan unutk pangan adalah Rp. 1,09 triliun (lihat
tabel 11.6) (BPS, Bappenas, UNDP, 2004). Namun, dalam pelaksanaannya perlu
menambah biaya administrasi, plus tunjangan untuk kebocoran akibat salah
sasaran. Kebocoran tidak hanya terjadi karena korupsi, tetapi terutama kerena
kesulitan mengidentifikasi atau menetapkan target orang yang miskin.

18
TABEL 11.6 Indeks Ketidaktahanan Pangan dan Biaya Ketahanan Pangan Tingkat
Provinsi, 2002.

Provinsi Penduduk Indeks Indeks Indeks Perkiraan


Hitungan Hitungan Ketidakt Biaya
Kepala Kepala ahanan untuk
Total untuk Pangan Ketahanan
Pangan Pangan per tahun
(RP)
Sumatra Utara 11,891,742 15,84 4,48 0,59 66.570.184.800
Sumatra Barat 4.289.647 11,57 2,99 0,31 14.154.688.140
Riau 5.307.863 13,61 2,94 0,33 19.710.608.232
Jambi 2.479.469 13,18 5,11 0,82 21.462.109.944
Sumatra Selatan 7.170.327 22,32 4,61 0,72 51.056.292.048
Bengkulu 1.6480597 22,70 4,77 0,62 9.873.598.248
Lampung 8.862.338 24,05 5,55 0,74 43.087.858.752
Bangka Belitung 913.868 11,62 3,12 0,29 3.240.000.204
DKI Jakarta 8.379.069 3,42 0,07 0,00 438.595.440
Jawa Barat 36.914.883 13,38 2,44 0,25 89.487.132.696
Jawa Tengah 31.691.866 23,06 5,88 0,71 217.321.705.992
DI Yogyakarta 3.156.229 20,14 5,19 0,77 24.451.374.240
Jawa Timur 35.148.579 21,19 5,73 0,72 248.791.269.144
Banten 8.529.799 9,22 1,14 0,13 11.761.240.068
Bali 3.216.881 6,89 0,64 0,05 1.555.227.144
Nusa Tenggara 4.127.519 27,76 9,01 1,06 42.757.703.952
Barat
Nusa Tenggara 3.924.871 30,74 11,60 1,66 50.788.055.748
Timur
Kalimantan Barat 4.167.293 15,46 3,75 0,46 20.532.588.372
Kalimantan Tengah 1.947.263 11,88 4,26 0,67 13.696.244.700
Kalimantan Selatan 3.054.129 8,51 1,66 0,18 4.736.222.100
Kalimantan Timur 2.566.125 12,20 3,34 0,44 14.378.619.024
Sulwesi Utara 2.043.742 11,22 2,44 0,27 5.667.630.120
Sulawesi Tengah 2.268.046 24,89 5,37 0,86 17.939.100.600
Sulawesi Selatan 8.244.890 15,88 5,07 0,67 45.559.263.912
Sulawesi Tenggara 1.915.326 24,22 8,78 1,40 24.224.656.128
Gorontalo 855.057 32,12 13,16 1,96 14.740.606.380
Indonesia 202.707.418 18,20 4,39 0,56 1.091.672.721.744
19
2.4.3 Kemiskinan dan Kerawanan Pangan

Isu tentang ketahanan pangan masih merupakan masalah sensitif dalam pembangunan
di Indonesia sehingga beberapa isu tentang kerawanan pangan dnegan cepat diekspos
menjadi isu nasional. Secara umum, wilayah yang termasuk memiliki resiko rawan
pangan tinggi dicirikan oleh : (a) daya dukung lahan pertanian untuk kebutuhan produksi
pertanian relatif terbatas; (b) sumber daya manusia umumnya berkualitas rendah; dan (c)
sarana dan prasarana relatif terbatas.

Kejadian rawan pangan dan gizi buruk mempunyai arti politis yang negatif bagi
penguasa. Sejarah membuktikan bahwa beberapa NSB, krisis pangan dapat menjatuhkan
pemerintah yang sedang berkuasa (Hardiansyah, et all, 1999). Data dari BPS
menunjukkan bahwa masih terdapat banyak penduduk miskin yang rentan terhadap rawan
pangan. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2006 berjumlah 39,30 juta (17,75%),
sementara pada tahun 2007 berjumlah 37,17 juta (16,58%), sedikit mengalami penurunan
jika dibandingkan dengan tahun 2006 (BPS, 2007). Pada saat bersamaan, jumlah
penduduk yang mengalami kondisi sangat rawan pangan pada tahun 2006 mencapai
sekitar 10,04 juta jiwa (4,52%), sedangkan pada tahun 2007 mencapai sekitar 5,71 juta
jiwa (2,55%). Daerah-daerah di Indonesia yang mengalami kondisi rawan pangan
dapat dilihat pada Gambar 11.3. Gambar ini menunjukkan bahwa daerah – daerah
di Indonesia yang mengalami kondisi sangat rawan pangan adalah provinsi Papua,
Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Bangka Belitung.

GAMBAR 11.3 Daerah – Daerah Rawan Pangan di Indonesia

20
Tabel Kerawanan Pangan Indonesia Tahun 2014

Provinsi < 70% AKG 70%-89,9% AKG >= 90% AKG Total
Jumlah % Jumlah % Jumlah % jumlah %
Aceh 1,107,210 22.67 1,701,959 34.85 2,074,448 42.48 4,883,617 100.00
Sumatera Utara 2,431,510 17.72 4,509,561 32.86 6,782,036 49.42 13,723,108 100.00
Sumatera Barat 788,367 15.41 1,711,323 33.45 2,615,776 51.13 5,115,466 100.00
Riau 1,122,862 18.25 1,951,096 31.71 3,079,681 50.05 6,153,639 100.00
Kepulauan Riau 501,782 26.31 444,937 23.33 960,779 50.37 1,907,498 100.00
Jambi 779,638 23.40 1,199,859 36.01 1,352,981 40.60 3,332,478 100.00
SumSEL 1,268,802 16.03 2,615,737 33.05 4,030,935 50.92 7,915,474 100.00
Bangka 239,967 17.95 495,348 37.05 601,738 45.00 1,337,053 100.00
Belitung
Bengkulu 292,878 15.94 625,864 34.07 918,454 49.99 1,837,196 100.00
Lampung 1,711,062 21.38 3,053,763 38.16 3,237,982 40.46 8,002,806 100.00
DKI Jakarta 1,428,344 14.21 3,032,309 30.17 5,588,761 55.61 10,049,414 100.00
Jawa Barat 7,919,360 17.27 15,554,636 33.92 22,385,480 48.81 45,859,476 100.00
Banten 1,809,155 15.54 3,620,510 31.09 6,215,614 53.37 11,645,278 100.00
Jawa Tengah 5,811,706 17.37 11,527,619 34.45 16,118,660 48.18 33,457,986 100.00
DIY 219,668 6.05 1,158,481 31.89 2,254,834 62.07 3,632,983 100.00
Jawa Timur 5,228,100 13.56 13,848,645 35.93 19,471,661 50.51 38,548,407 100.00
Bali 283,602 6.93 1,017,041 24.85 2,792,067 68.22 4,092,710 100.00
NTB 529,021 11.11 1,503,674 31.59 2,727,672 57.30 4,760,367 100.00
NTT 1,607,237 32.01 1,728,148 34.42 1,685,127 33.56 5,020,512 100.00
Kalbar 932,582 19.84 1,649,916 35.10 2,117,996 45.06 4,700,494 100.00
Kalteng 405,205 16.69 791,447 32.60 1,231,149 50.71 2,427,801 100.00
Kalsel 597,318 15.29 1,076,856 27.57 2,231,712 57.14 3,905,887 100.00
Kaltim 1,455,228 36.82 1,376,593 34.83 1,120,342 28.35 3,952,162 100.00
Sulawesi Utara 380,378 15.98 779,086 32.72 1,221,417 51.30 2,380,881 100.00
Gorontalo 197,587 17.74 388,720 34.90 527,610 47.37 1,113,917 100.00
Sulteng 484,504 17.18 1,094,272 38.81 1,240,996 44.01 2,819,772 100.00
Sulawesi 1,271,460 15.12 2,941,342 34.97 4,197,720 49.91 8,410,522 100.00
Selatan
Sulawesi Barat 172,244 13.73 430,906 34.34 651,704 51.93 1,254,854 100.00
Sulawesi 451,816 18.54 818,346 33.58 1,166,953 47.88 2,437,115 100.00
Tenggara
Maluku 500,252 30.26 516,863 31.27 635,802 38.47 1,652,916 100.00
Maluku Utara 397,621 35.10 380,427 33.59 354,659 31.31 1,132,707 100.00
Papua 1,109,699 36.06 972,542 31.60 994,965 32.33 3,077,207 100.00
Papua Barat 303,177 35.83 305,362 36.09 237,608 28.08 846,147 100.00
Indonesia 43,739,341 17.40 84,823,188 33.74 122,825,321 48.86 251,387,851 100.00

21
Sumber : BPS diolah oleh Pusat Ketersedian dan Kerawanan Pangan , BKP
Keterangan : Kategori Konsumsi < 70% AKG (Sangat Rawan)
Kategori Konsumsi < 71 - 89.9 % AKG (Rawan Pangan)
Kategori Konsumsi > 90% AKG (Tahan Pangan)

2.4.4 Kegureman Usaha PPK

Bagi petani, kegureman bisa dilihat dari kecilnya penguasaan lahan.


Sementara itu, nelayan tercermin pada kecilnya perahu dan terbatasnya alat
tangkap.

Tabel 11.7 menunjukkan bahwa jumlah petani gurem terutama di Jawa terus
meningkat. Kegureman tidak hanya berakibat pada kemiskinan dan rendahnya
daya tangkal PPK terhadap kejutan luar (external shock) seperti turunnya harga
atau naiknya baiya produksi, tetapi juga berakibat pada keterbatasan adaptasi
teknologi dan rendahnya produktivitas, efisiensi, dan daya saing.

TABEL 11.7 Perubahan Jumlah Rumah Tangga Petani

Uraian 1993 2003 Catatan


Jumlah Rumah Tangga Pertanian 20,8 Juta RTP 25,4 juta RTP + 2,2%/ tahun
Jumlah Petani Gurem (Lahan Usaha <0.5 10,8 juta RTP 13,7 juta RTP + 2,6%/ tahun
Ha/KK)
% RT Petani Gurem/ RT Petani Pengguna 52,7% 56,5%
Lahan

2.4.5 Nilai Tukar Petani

Hal lain yang dapat diamati pada nilai tukar petani adalah tingkat kesejahteraan
petani. Meskipun harus dibaca dan diinterprestasikan secara hati-hati, angka nilai
tukar ini memberikan gambaran bahwa kesejahteraan petani belum sepenuhnya
membaik. Jika diamati nilai tukar yang diterima memang meningkat dari tahun
1983 dengan indeks 100 menjadi sekitra 113 pada tahun 1989.

22
Nilai tukar sebanding dengan angka inflasi atau angka indeks harga
perdagangan besar yang meningkat menjadi 172 pada Februari 1989 (BPS, 1989).
Dengan membandingkan kedua angka ini sebenarnya dapat diambil kesimpulan
bahwa pertama, perbandingan antara kenaikan nilai tukar dengan perkembangan
inflasi tidak memadai. Namun demikian, hal yang perlu mendapatkan perhatian
adalah pemahaman arti pembangunan pertanian dan perdesaan. Di satu pihak,
perbedaan pemahaman tentang ari ti nilai tukar di antara pengamat ataupun pihak
terkait manunjukkan kurangnya perhatian terhadap arti pembangunan pertanian di
Indonesia. Kedua, penggunaan indikator nilai tukar, dengan dalih yang tidak
benar, untuk menarik kesimpulan tentan gberkurangnya kesejahteraan petani
dapat juga diartikan kurangnya pemahaman tentang arti peran sektor pertanian
dalam pembangunan. Ketiga, perlu di sadari bahwa membaca data dan informasi
bukan bermaksud melihat siapa yang salah, tetapi lebih baik dipandang yang
mana yang tidak dapat dan bagaiman memperbaiki kelemahan-kelemahan yang
ada. Inilah yang diharapkan sebagai pengetahuan dan peran ekonomi pertanian
dalam pembangunan.

Selama periode Januari sampai Oktober tahun 2008, Nilai Tukar Petani (NTP)
di empat belas provinsi di Indonesia relatif tidak mengalami perubahan yang
signifikan dibandingkan dengan keadaan tahun dasar 2007 (lihat Tabel 11.8).
Artinyatingkat kesejahteraan petani atau daya beli masyarakat petani relatif tidak
mengalami perubahan. NTP yang terendah selama periode tersebut terjadi pada
bulan April, terutama NTP Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng), Bali,
Kalimantan Selatan (Kalsel), dan Jawa Timur (Jatim) yang hanya mencapai angka
92,9%; 96,7%; 97,6%; dan 98,8% secara berturut-turut (BPS, 2010). Dengan kata
lain, kesejahteraan petani pada bulan April ternyata memburuk jika dibandingkan
dengan bulan Januari dan yang paling menderita adalah para petani di Jabar,
Jateng, Bali, Kalsel, dan Jatim.

23
Pada bulan Oktober, angka NTP tertinggi terjadi di Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), Lampung, dan Jateng dengan nilai mencapai 110,2%, 104,9%
dan 102,4% secara berturut-turut, sementara yang terendah di Nagroe Aceh
Darusalam (NAD), Jabar dan Kalimantan Selatan (Kalsesl). Kesejahteraan petani
terlihat memiliki tren yang menurun di provinsi Jabar, Jatim, NAD, Sumatra Utara
(Sumut), Suamtra Barata (Sumbar), Sumatra

TABEL 11.8 Nilai Tukar Petani Bulan di Empat Belas Provinsi di Indonesia
Tahun 2008 (2007=100)

Provinsi Tahun 2008


Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt
Jabar 99,1 97,9 94,5 92,9 94,2 95,8 96,5 97,0 96,8 95,9

Jateng 98,7 97,8 95,5 96,7 98,3 99,8 100,3 101,1 102,3 102,4

DI.Yogyakarta 103,2 103,8 102,0 102,7 103,7 103,8 105,8 107,1 109,1 110,2

Jatim 103,2 102,0 98,3 98,8 100,2 101,1 102,7 103,6 102,7 99,3

Aceh (NAD) 100,4 100,6 101,7 100,3 99,7 99,7 99,0 98,8 97,4 94,5

Sumut 103,6 104,1 102,5 103,3 104,6 104,5 104,3 103,0 101,2 97,4

Sumbar 104,0 106,3 108,5 107,1 105,8 106,1 108,0 106,8 105,7 101,1

Sumsel 104,2 106,9 105,2 101,0 102,4 102,6 104,0 103,5 102,2 93,5

Lampung 100,9 100,5 100,4 102,3 104,2 104,8 107,0 108,0 109,3 104,9

Bali 101,6 101,6 99,2 96,7 98,8 99,7 102,3 101,9 102,1 101,7

NTB 99,3 100,1 98,7 100,0 100,7 99,1 99,3 100,4 99,9 97,3

Kalsel 99,9 99,8 97,7 97,6 97,3 97,0 97,1 98,4 98,0 96,3

Sulut 104,0 103,5 105,0 101,8 99,3 100,1 102,1 102,1 100,7 100,2

Sulsel 99,2 98,7 98,7 101,8 100,9 100,1 102,2 102,5 101,4 100,3

2.4.6 Keterbatasan Kesempatan Kerja dan Berusaha

Adanya jumlah tenaga kerja yang berlebihan di sektor PKK dan masalah
ketimpangan distribusi yang serius menyebabkan kemampuan PPK dalam
menciptakan kesempatan kerja secara cepat untuk menampung limpahan sektor
lain hanya berhasil secara jangka pendek. Di sisi lain, kesempatan kerja dan
berusaha di luar PPK bagi petani, nelayan, atua petani hutan sangat terbatas.

24
Terhambatnya pergeseran struktur tenaga kerja tersebut, disebabkan oleh
faktor-faktor internal petani/nelayan; ataupun faktor eksternal pada sektor lain
yang memang kurang dirancang untuk menerima limpahan tenaga kerja PPK.
Namun, potensi untuk mengatasi hal tersebut cukup besar mengingat dalam
struktur pendapatan rumah tangga petani, pangsa pendapatan dari luar usaha tani
(buruh, industri kerajinan, dan lain-lain) semakin besar dan berkisar antara 10
hingga 75%.

2.4.7 Degradasi Kualitas Sumber Daya Alam

Degradasi ini terkait dengan degradasi kawasan hutan, jenis tumbuhan, dan
jenis satwa. Degradasi sumber daya alam tersebut kemudian semakin diperberat
dengan praktik kejahatan (illegal logging, illegal fishing), kerusakan, dan
degradasi infrastruktur, konflik penguasaan lahan, inkonsistensi tata ruang, dan
berbagai keputusan yang kurang memperhatikan aspek kelestarian sumber daya
alam.

Pengalihfungsian lahan pertanian merupakan bagian dari penyimpangan dalam


pemanfaatan tata ruang. Selama ini tata ruang yang ada jarang dikendalikan dan
dimanfaatkan secara optimal. Akibatnya terjadi kerusakan lingkungan yang
semakin parah. Jika hujan, langsung terjadi banjir. Sebaliknya, pada musim
kemarau menimbulkan kekeringan yang luar biasa. Mengapa banjir? Karena
banyak lokasi yang di dalam tata ruang ditetapkan menjadi daerah resapan air,
misalnya, disulap menjadi kawasan industri atau kompleks perumahan. Kawasan
hutan di pegunungan juga mengalami kerusakan yang makin parah.

2.4.8 Masalah Daya Saing dan Persaingan Yang Tidak Adil

Hal ini terkait dengan daya saing usaha dan produk PPK Indonesia di pasar
internasional dan pasar domestik, di samping perlindungan terhadap praktik
perdagangan tidak adil (unfair trade). Banyak masalah dalam kegiatan on farm,
tetapi terutama masalah yang terdapat pada off farm, yang menentukan daya
saing.

25
Infrastruktur, layanan keuangan, layanan transportasi, teknologi, perpajakan,
kebijakan yang kurang tepat, dan ekonomi biaya tinggi telah menekan daya saing
usaha dan produk PPK.

Permasalahan yang paling krusial adalah pasar dan politik sama-sama


meminggirkan (undervalue) sektor pertanian dan sektor-sektor lain dengan basis
sumber daya alam (resource-based). Sektor ekonomi yang sangat strategis, yang
merupakan basis ekonomi rakyat di pedesaan, yang menguasai hajat hidup
sebagian besar penduduk Indonesia, dan menyerap lebih separuh total tenaga kerja
dan menjadi katup pengaman pada krisis ekonomi itu, ternyata masih
terpinggirkan. Ada yang berargumen bahwa diskriminasi pasar terhadap agribisnis
dan sektor pertanian secara umum merupakan bagian dari rangkaian sejarah Orde
Lama dan Orde Baru atau masa lalu yang buruk. Namun, ketika pemerintah baru
yang konon paling legitimate ini tidak menunjukkan pemiihakan yang serius
terhadap agribisnis, kehutanan, dan basis sumber daya alam lainnya, hipotesis
yang berkembang adalah terdapat kesalahkaprahan) struktural akut – minimal di
tingkat persepsi dan pemahaman yang menghinggapi kaum elite, terutama
ekonomi dan politisi.

Dengan makin tingginya tingkat integrasi global, harga-harga komoditas


pertanian dan agribisnis cenderung menurun sejak tahun 1970-an, sebagaimana
telah disebutkan di atas. Hal ini tentu saja dapat berakibat sangat buruk bagi
negara-negara produsen, yang sebagian berada di NSB, terdapat disinsentif serius
bagi individual petani produsen untuk meningkatkan produksi dan
produktivitasnya, dan sebagainya. Namun demikian, harga di tingkat konsumen di
negara-negara industri cenderung meningkat. Dalam istilah ekonomi, elastisitas
transmisi harga komoditas pertanian dan agribisnis ini sangat kecil sehingga
kenaikan harga di tingkat konsumen tidak dapat dinikmati oleh petani produsen.
Kenaikan harga di pasar dunia biasanya dapat tertransmisi kepada harga domestik,
tetapi penurunan harga dunia itu biasanya tidak atau lambat sekali mampu
mempengaruhi penurunan harga tingkat konsumen di pasar domestik.

26
2.5 Revitalisasi Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Versi Pemerintah
SBY-JK

2.5.1 Makna Revitalisasi

Setidaknya ada dua yang menarik untuk dicermati ketika Presiden SBY
mencanangkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan di Waduk
Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, tanggal 11 Juni 2005 (Pikiran Rakyat, 2005).
Pertama, pencanangan RPPK didasari oleh sebuah tujuan mulia pemerintah
mengembalikan tiga sektor tadi ke “jalur yang benar,” yakni mampe mengemban
sebagai sektor andalan dan motor penggerak bagi majunya perekonomian makro
nasional. Kedua, pencanangan RPPK oleh Presiden dilakukan dalam suasana
penuh keprihatinan, menyusul munculnya berbagai temuan adanya balita
penderita beragam penyakit dikantung-kantung kemiskinan dan daerah terpencil.
Kemudian pada saat kita masih tertegun dan terkaget-kaget oleh temuan yang tak
terkirakan sebelumnya itu, kita kian tertohok oleh sebuah kenyataan bahwa masih
banyak anak negeri yang menderita busung lapar dan kurang gizi.

Revitalisasi PPK mengandung arti sebagai kesadaran untuk menempatkan


kembali arti penting sektor pertanian dalam arti luas secara proposional dan
kontekstual; dalam arti menyegarkan kembali vitalitas; memberadayakan
kemampuan dan meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan nasional
dengan tidak mengabaikan sektor lain (Kementerian Bidang Perekonomian, 2005:
11). Revitalisasi bukan dimaksudkan membangun pertanian at all cost dengan
cara-cara yang top-down sentralistik; bukan pula orientasi proyek untuk
menggalang dana, tetapi revitalisasi adalah menggalang komitmen dan kerja sama
stakeholder dan mengubah paradigma pola pikir masyarakat untuk melihat
pertanian tidak hanya urusan bercocok tanam yang sekedar hanya menghasilkan
komoditas untuk dikonsumsi (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,
2005: 12).

27
2.5.2 Arah Masa Depan

Dalam program pemerintahan SBY, telah ditetapkan arah masa depan


sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan (PPK). Arah masa depan PPK akan
mencakup pandangan masa depan terhadap posisi PPK di Indonesia dalam
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Tabel 2.1 merangkum arah masa depan
sektor PPK tersebut

Tabel 2.5.1 Arah Masa Depan Sektor PPK

Masalah Arah Masa Depan

Petani 1. Dalam tahun 1993-2003 jumlah petani gurem Peningkatan produktivitas dan kesejahteraan petani
(dengan luas garapan kurang dari 0,5 ha) meningkat dapat dilakukan melalui: (a) peningkatan skala usaha
dari 10,8 juta KK menjadi 13,7 juta KK (meningkat sesuai dengan sifat komoditasnya. Misalnya untuk
2,6% pertahun). Hal ini menunjukkan terjadinya petani pangan luas lahan minimal 1 hektar per petani
marginalisasi pertanian sebagai akibat langsung dari di Jawa-Bali dan 2,5 hektar per petani di luar Jawa-
kepadatan penduduk. Sementara itu, luas lahan Bali; (b) pengusahaan komoditas sesuai dengan
semakin berkurang dan perkembangan kesempatan permintaan pasar; (c) diversifikasi usaha rumah
kerja di luar pertanian terbatas. tangga melalui pengembangan agroindustri pedesaan
dengan kegiatan nonpertanian; (d) pengembangan
2. Kualitas SDM pertanian juga rendah. Menurut data kelembagaan penguasaan saham petani untuk sektor
BPS tahun 2002, tingkat pendidikan tenaga kerja hulu maupun hilir; (e) kebijakan perlindungan bagi
pertanian yang tidak sekolah dan tidak tamat SD petani dan usahanya.
sebesar 35%, tamat SD 46%, dan tamat SLTP 14%

Sumber daya Akses sektor pertanian terhadap sumber daya tersebut Pengembangan lahan pertanian dapat ditempuh
Pertanian dihadapkan kepada berbagai masalah, seperti: (a) melalui: (a) reformasi keagrariaan untuk
terbatasnya sumber daya alam dan air yang digunakan; meningkatkan akses petani terhadap lahan dan air
(b) sempitnya luas lahan pertanian per kapita penduduk serta meningkatkan rasio luas lahan perkapita; (b)
indonesia (900m²/kapita); (c) banyaknya petani gurem pengendalian konversi lahan pertanian dan
dengan luas lahan garapan perkeluarga petani kurang pencadangan lahan abadi untuk pertanian sekitar 15
dari 0,5 ha; (d) tingginya angka konversi lahan juta ha; (c) fasilitasi terhadap pemanfaatan lahan
pertanian menjadi lahan non pertanian dan tidak (pembukaan lahan pertanian baru); serta (d)
terjaminnya status penguasaan lahan (land tenure) penciptaan suasana yang kondusif untuk agroindustri
pedesaan sebagai penyedia lapangan kerja dan
peluang peningkatan pendapatan serta kesejahteraan
keluarga petani.

Produk & Bisnis Dalam kurun waktu yang panjang pembangunan Pembangunan pertanian dilakukan melalui
Pertanian pertanian selalu diidentikkan dengan kegiatan produksi pendekatan agribisnis, yang pada hakikatnya
usaha tani semata (proses budidaya atau agronomi) menekankan kepada tiga hal, yaitu: (1) pendekatan
sehingga hasil pertanian identik dengan komoditas pembangunan pertanian ditingkatkan dari pendekatan
primer. Kegiatan pertanian masa lalu lebih berorientasi produksi ke pendekatan bisnis sehingga aspek usaha
kepada peningkatan produksi komoditas primer dan dan pendapatan menjadi dasar pertimbangan utama;
kurang memberi kesempatan untuk memikirkan (2) pembangunan pertanian bukan semata
perkembangan produk hilir. Selama ini kontribusi pembangunan sektoral, namun juga terkait dengan
sektor pertanian terhadap penerimaan devisa lebih sektor lain (lintas/inter-sektoral); (3) pembangunan
banyak diperoleh dari produk segar (primer) yang pertanian bukan pengembangan komoditas secara
relatif memberi nilai tambah kecil dan belum parsial, melainkan sangat terkait dengan
mengandalkan produk olahan (hilir) yang dapat pembangunan wilayah, khususnya pedesaan yang
memberikan nilai tambah lebih besar. berkaitan erat dengan upaya peningkatan pendekatan
petani.

Sumber: disarikan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2005)

28
2.5.3 Strategi Revitalisasi

a. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ketahanan Pangan

UU No. 7 tahun 1996 tentang pangan mendefinisikan ketahanan pangan


sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin
dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata,
dan terjangkau. Hal lain yang terkait dengan masalah ketahanan pangan adalah
kemandirian pangan. Dalam dokumen RPJPN 2005-2025, kemandirian pangan
didefinisikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh
penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman, dan halal,
yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman
sumber daya lokal (Menteri Pertanian Republik Indonesia, 2008). Ketahanan
pangan mempunyai peranan strategis dalam pembangunan nasional karena hal-hal
berikut:

1. Akses terhadap pangan dan gizi yang cukup merupakan hak yang paling
asasi bagi manusia.

2. Pangan memiliki peranan penting dalam pembentukan sumber daya


manusia yang berkualitas.

3. Ketahanan pangan merupakan salah satu pilar utama dalam menopang


ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan.

Ketahanan pangan dihasilkan oleh suatu sistem pangan yang terdiri dari
atas tiga subsistem, yaitu (1) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang
cukup untuk seluruh penduduk; (2) distribusi pangan lancar dan merata; dan (3)
konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi dan kaidah
kesehatan. Kebijakan ketahanan pangan di Indonesia dikelompokkan menjadi tiga
menurut jangka waktu implementasinya, yaitu kebijakan jangka pendek,
kebijakan jangka menengah, dan kebijakan jangka panjang. Kebijakan yang
ditempuh dalam jangka pendek adalah memberlakukan kebijakan stabilisasi harga
bahan pokok.

29
Sementara itu, kebijakan yang dilakukan dalam jangka menengah dan
jangka panjang secara berturut-turut adalah mempercepat pencapaian swasembada
komoditas pangan strategis dan percepatan diversifikasi pangan.

Selama jangka menengah, pemerintah mentargetkan tercapainya


swasembada pangan pada lima komoditas strategis, yakni padi, jagung, kedelai,
gula, sapi potong. Pokok-pokok kebijakan ketahanan pangan yaang harus
mendapat prioritas dalam pembangunan jangka panjang, yaitu:

1. Mengembangkan sistem pengaturan perdagangan pangan yang adil

2. Melakukan pengendalian koversi lahan

3. Meningkatkan produktivitas usaha pangan

4. Peningkatan pengelolaan konsumsi pangan yang beragam, bergizi, dan


berimbang

5. Meningkatkan mutu dan keamanan pangan

6. Melakukan antisipasi terhadap dinamika perubahan iklim dan sumber


daya air

7. Meningkatkan pengelolaan pertumbuhan penduduk dan

8. Mengembangkan aliansi solidaritas masyarakat mengatasi kerawanan


pangan

b. Strategi dan Kebijakan Pembiayaan Pertanian

permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan pembiayaan pertanian adalah


sebagia berikut:

1. Sistem dan prosedur penyaluran kredit masih rumit, birokratis, dan kurang
memperhatikan kondisi lingkungan sosio budaya pedesaan.

2. Kemampuan petani dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan sangat


terbatas

30
3. Usaha di sektor pertanian masih dianggap beresiko tinggi oleh pihak
investor

4. Skim kredit pada umumnya masih membiayai usaha produksi

5. Belum berkembangnya lembaga peminjaman usaha di bidang pertanian


(Asuransi Pertanian)

6. Belum adanya lembaga keuangan yang khusus membiayai sektor pertanian

7. Belum berkembangnya lembaga keuangan pedesaan/lembaga kredit mikro


di pedesaan.

Strategi yang ditempuh dalam rangka mengembangakan pembiayaan pertanian


adalah:

a) Menyempurnakan kebijakan pembiayaan yang ada sehingga dapat


meningkatkan aksesbilitas petani dan pelaku agribisnis terhadap sumber
pembiayaan

b) Mengembangkan pola subsidi bunga kredit agar kredit perbankan


terjangkau oleh petani kecil di pedesaan

c) Mengembangkan pola penjaminan kredit dan pola pendampingan bagi


UMKM agribisnis

d) Mengembangkan pembiayaan pola bagi hasil/syariah untuk pembiayaan


sektor pertanian

e) Mengembangkan lembaga keuangan khusus pertanian dan lembaga


keuangan mikro (LKM) pedesaan untuk pembiayaam UMKM agribisnis

f) Mengembangkan skim kredit yang tersedia menjadi skim kredit agribsinis


yang mudah diakses oleh petani

g) Mensosialisasikan sumber-sumber pembiayaan yang telah ada

31
h) Meningkatkan kerja sama dengan lembaga keuangan dan negara donor di
luar negeri untuk pengembangan pembiayaan agribisnis dan

i) Meningkatkan partisipasi/memobilisasi dana masyarakat untuk


pengembangan agribisnis

c. Strategi dan Kebijakan Pengembangan Ekspor Produk Pertanian

target ekspor komoditas pangan, perkebunan, dan peternakan tahun 2005


diharapkan dapat mencapai 7,8 miliar dollar AS. Nilai ekspor diharapkan tumbuh
minimal 5% pertahun sehingga pada tahun 2009 total ekspor mencapai 12 miliar
dollar AS. Strategi pengembangan ekspor yang perlu ditempuh terlihat pada tabel.

Tabel 2.2 Strategi Pengembangan Ekspor

Strategi Melalui

Meningkatkan daya a. Pemberdayaan petani dan pelaku usaha pertanian agar mampu mengakses
saing produksi teknologi pengolahan hasil dan informasi pasar
dalam negeri
b. Menumbuhkembangkan industri pengolahan hasil pertanian di pedesaan
untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah hasil pertanian, menciptakan
lapangan kerja baru, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat

c. Meningkatkan volume, nilai, dan keragaman produk ekspor baik segar


maupun olahan

d. Penumbuhan kawasan agroindustri melalui pelayanan pengolahan dan


pemasaran hasil pertanian (P3HP)

e. Pengembangan sarana dan prasarana pasar termasuk cold stirage dan packing
house

f. Harmonisasi tarif, pajak/pungutan ekspor, dan standardisasi mutu

Peningkatan a. Pengembangan informasi pasar dan market intelligenci


pangsa pasar
ekspor b. Penguatan diplomasi, negosiasi dalam membuka pasar

c. Perluasan akses pasar melalui promosi dan pengembangan Free Trade Area
(FTA)

d. Peningkatan kerjasama internasional

e. Peningkatan kemampuan negosiasi dan diplomasi (sekretariat WTO, training,


magang)

f. Sosialisasi hasil-hasil negosiasi dan diplomasi

32
d. Strategi dan Kebijakan Pendayagunaan Sumber Daya Lahan Pertanian

Sektor pertanian dihadapkan kepada berbagai masalah, antara lain


sempitnya lahan pertanian per kapita penduduk Indonesua (900 m²/kapita), makin
banyaknya petani gurem dengan luas lahan garapan <0,5 ha/keluarga, cepatnya
konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian dan tidak amannya status
penguasaan lahan (land tenure). Oleh karena itu, revitalisasi pertanian perlu
dipercepat melalui: (i) kompensasi konversi lahan sawah (ii) pembukaan lahan
pertanian baru (iii) penciptaan suasana yang kondusif untuk agroindustri pedesaan
sebagai penyedia lapangan kerja dan peluang peningkatan pendapatan serta
kesejahteraan keluarga tani.

e. Strategi dan Kebijakan Pengembangan Produk Pertanian Baru

Untuk mempercepat peningkatan nilai tambah yang pada gilirannya akan


berdampak pada peningkatan kesejahteraan pelakunya, strategi pengembangan
komoditas pertanian harus difokuskan kepada produk hilir agroindustri.
Mengingat besarnya investasi untuk mengembangkan produk hilir, komoditas
yang akan dikembangkan produk hilirnya harus dipilih yang mempunyai nilai
tambah besar, investasinya tidak terlalu besar, pasar produknya cukup luas,
penguasaan sumber daya manusia mencukupi dan tersedianya berbagai prasyarat
normatif lain yang mampu dipenuhi. Untuk itu, pengembangan komoditas akan
diprioritaskan kepada komoditas antara lain: padi, jagung, kedelai, pisang, jeruk,
bawang merah, anggrek, kelapa sawit, karet, kakao, kelapa, tebu, sawi, dan ayam.

2.6 Kendala Revitalasi Pertanian

Melonjaknya harga beras dan gula akhir-akhir ini hendakanya


menyadarkan kita akan adanya kelemahan dalam manajemen pembangunan
pertanian, padahal sector pertanian telah terbukti menjadi salah satu tumpuan
usaha dan telah dapat membantu menyelamatkan persoalan ketenagakerjaan di
Indonesia karena kemampuan sektor ini dalam menyerap tenaga kerja.

33
Namun, melonjaknya harga beras dan gula akhirnya membuka mata kita
aka adanya persoalan dalam manajemen pembangunan pertainan Indonesia,
terutama dalam pemerintah SBY-JK.

Program RPPK yang dicanangkan Presiden SBY-JK, meski membawa


angina segar, dalam pelaksanaanya masih mengalami beberapa kendala
(Feriyanto, 2006; Arifin, 2005). Pertama, masalah pupuk menjadi kendala yang
banyak dihadapi petani. Di samping jumlah produksi yang sangat terbatas,
jeleknya sistem manajemen distribusi pupuk telah menyulitkan petani dalam
memperoleh pupuk sehingga mengganggu petani dalam mengatur masa
tananmnya, serta tingginya harag beli pupuk telah menjadikan naiknya biaya
operasi . buruknya kondisi infrastruktur pertanian juga menyebabkan hasil
pertanian tidak maksimal.

Kedua, masih lemahnya akses petani terhadap sumber daya produktif dan
permodalan; peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup petani dan rumah
tangga petani dan peningkatan diversifikasi ekonomi perdesaan; dan peningkatan
infrastruktur pedesaan dan pertahanan, padahal revitalasi pertanian pada dasarnya
adalah upaya strategis pemerintah untuk menjadikan sektor pertanian sebagai
dasar pembangunan ekonomi nasional. Arah kebijakan pembangunan pertanian
nasional adalah peningkatan produktivitas dan kualitas petani dan pertanian.

Ketiga, masih banyaknya sisi lemah implementasi strategi revitalisasi


pertanian. Menyadari arti penting sector pertanian dalam pembangunan ekonomi
nasional, maka pemerintah perlu terus memperbaiki pelaksanaan Program RPPK
agar efektifitasnya terus dapat ditingkatkan dari waktu ke waktu. Kebijakan sektor
pertanian secara komprehensif perlu dilakukan mengingat eratnya keterkaitan
pertanian dengan sektor-sektor ekonomi lainnya. Kesadaran tinggi yang muncul
dari birokrat pusat dan daerah untuk menyusekskan Program RPPK, khususnya
revitalisasi pertanian dapat menjadi stimulus positif bagi kesuksesan program
tersebut.

34
Hal ini dapat dilihat dari perhatian birokrat pada potensi ekonomi daerah;
hasil pertanian unggulan pertanian daerah; produk olahan hasil pertanian daerah
serta jenis usahanya yang terus diupayakan untuk dikembangkan.

Keempat, kendala di tingkat strategis, yaitu dokumen revitalisasi pertanian


tidak diperkuat dengan perangkat perundang-undangan yang agak mengikat, baik
dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) maupun peraturan persiden (perpres).
Bahkan, secara hakikat, beberapa subtansi dalam dokumen revitalisasi pertanian
tidak dicantumkan secara eksplisit dalam Dokumen Politik tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009 yang telah tertuang dalam
Perpres Nomor 7 Tahun 2005.

Kelima, kendala yang bersifat fungsional, yaitu pendekatan strategis


reviatalisasi pertanian ini terkesan sektoral, apalagi subsektoral pertanian,
perikanan,n dan kehutanan yang hanya berbasis administrasi pemerintahan.
Apalagi tujuan utama (ends) revitalisasi ini adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan petani, peningkatan produksi dan produktivitas komoditas
pertanian, perkebunan, dan perikanan haruslah dilihat sebagi instrument saja
(means).

Keenam, kendala yang bersifat oiperasional, yang terlalu banyak untuk


disebutkan satu per satu. Contoh yang paling mudah dipahami adalah sasaran
terjadinya lahan pertanian abadi, termasuk 15 juta hektar lahan beririgrasi dan 15
juta hektar lahan kering. Saat ini diperlukan tambahan juta hektar lagi untuk
mencapai sasaran tersebut berhubung lahan sawah beririgrasi yang tersedia saat
ini baru sekitar delapan juta hektar karena selama lima tahun terakhir praktis tidak
terdapat pembangunan jaringan irigrasi baru.

Memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi haruslah menjadi


paradigma baru dalam program pembangunan ekonomi Indonesia secara
keseluruhan. Perubahan kondisi internal dan ekternal yang terjadi menuntut
kebijakan yang tepat dan matang dari para pembuat kebijakan dalam upaya
pengembangan potensi wilayah.

35
Pengembangan agroindustri sebagai pilihan model modernisasi pedesaan
haruslah dapat meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani. Untuk itu
perumusan perencanaan pembangunan pertanian, perlu disesuaikan dengan
karakteristik wilayah dan ketersediaan teknologi tepat guna. Sehingga alokasi
sumberdaya dan dana yang terbatas, dapat menghasilkan output yang optimal,
yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat.
Agar model pembangunan pedesaan yang berkelanjutan dapat terwujud
diperlukan pedoman pengelolaan sumberdaya melalui pemahaman wawasan
agroekosistem secara bijak, yaitu pemanfaatan aset-aset untuk kegiatan ekonomi
tanpa mengesampingkan aspek-aspek pelestarian lingkungan.

Bahwa perkembangan perekonomian Indonesia dalam sektor pertanian


maupun sector industri mengalami peningkatan maupun penurunan. Kedua sektor
tersebut saling berkaitan dalam perkembangan perekonomian Indonesia, karena
sector pertanian menunjang sektor industri dan sebaliknya.

36
BAB 3
BAGIAN AKHIR
3.1 Daftar Rujukan
Kuncoro, Mudrajad. 2010. Ekonomika Pembangunan: Teori, Masalah dan
Kebijakan. Jakarta: Erlangga.
Dahuri, Rokhmin. 2005. “Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Kehutanan”
(online), (http://www.freelists.org/, diakses tanggal 27 Desember 2005).
http://bkp.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/data_statistik_kp_2014_
new.pdf

37

Anda mungkin juga menyukai