Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

“Pembangunan Ekonomi dan Pinjaman Luar Negeri”

Disusun Oleh:

Estika Yuni Hapsari (B300170085)

Syaiful Bahri (B300170176)

Ricky Alfandi (B300270203)

Rian Widianto (B300170204)

Singgih Adie Wilaga (B300170238)

Dosen Pembimbing:

Dosen: Prof. Dr. Bambang Setiaji, M.S.

ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
TAHUN 2020
Kami mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya kami dapat menyelesaikan
tugas makalah yang berjudul “Pembangunan Ekonomi dan pinjaman luar negeri”
ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada 


mata kuliah Analisis Keuangan Negara Selain itu, makalah ini juga
diharapkana juga dapat menambah wawasan mengenai “Pembangunan Ekonomi
dan pinjaman luar negeri” bagi para pembaca atau khususnya mahasiswa dan juga
bagi penulis.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Sama seperti kata pepatah yang mengatakan tidak ada gading yang
tidak retak. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Surakarta, 20 April 2020

Penyusun

ii
Daftar isi
BAB I............................................................................................................................4

PENDAHULUAN.........................................................................................................4

1.1 Latar Belakang...................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................5

1.3 Tujuan................................................................................................................6

BAB II...........................................................................................................................7

PEMBAHASAN...........................................................................................................7

A. Rendahnya Elastisitas Permintaan......................................................................7

B. Ketidakstabilan Harga........................................................................................7

C. Memburuknya Nilai Tukar (Terms of Trade).....................................................8

D. Penggunaan Barang-barang Sintetis dan Barng-barang Substitusi.....................8

E. Tarif dan Kuota..................................................................................................9

2.2 Pemilihan Antara Pinjaman Dalam Negeri (Internal Debt) Dan Pinjaman Luar
Negeri (External Debt)...................................................................................................9

A. Pada Masa Penerimaan Pinjaman.....................................................................10

B. Pada Masa Pembayaran Kembali Pinjaman.....................................................10

C. Kapasitas Meningkatnya Pendapatan Nasional................................................11

D. Terjadinya dana pinjaman dalam negeri...........................................................12

2.3 Pinjaman Luar Negeri Dan Inflasi.........................................................................12

2.4 Kapasitas Untuk Membiayai Pinjaman Luar Negeri Indonesia..........................13

2.5 Meringankan Beban Pinjaman..........................................................................15

2.7 Pembayarn Cicilan ULN Dan Bunganya Dalam Hubunganya Dengan APBN.......18

BAB III.......................................................................................................................24

PENUTUP..................................................................................................................24

3.1 Kesimpulan............................................................................................................24

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kembali kepada masalah pembangunan ekonomi beserta dengan
pembiayaannya. pinjaman luar negeri biasanya timbul karena suatu negara
mengalami kekurangan kapital karena sumber-sumber dana di dalam negeri
memang cuma sedikit. Bagi negara-negara sedang berkembang yang ingin
mempercepat laju pertumbuhan ekonominya yang kemudian dapat menyamai
tingkat hidup di negara-negara yang sudah maju, investasi dalam jumlah yang
besar perlu dijalankan, sehingga hasilnya tidak akan hanya diserap oleh
pertambahan penduduk saja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya
tingkat investasi adalah rendah (4-5% pertahun dari pendapatan nasional),
sehingga negara-negara tersebut seringkali berada pada perangkap pendapatan
seimbang yang rendah (low level equilibrium trap).

Apabila suatu negara mempunyai pinjaman, maka pengelolaan dari


pinjaman negara itu sangat penting demi kestabilan dan pertumbuhan dari
pendapatan nasional. Adapun peranan pinjaman negara dalam pembangunan
ekonomi semakin meningkat apabila penerimaan negara yang berasal dari
sumber-sumber lain terlalu kecil untuk menutup pengeluaran-pengeluaran atau
karena terlalu kecilnya dana tabungan yang tersedia untuk investasi. Tabungan di
negara-negara yang sedang berkembang rendah karena adanya lingkaran setan
yang tidak berujung pangkal (vicious circle) di negara-negara tersebut. Karena
adanya “low level equilibrium trap” di negara-negara sedang berkembang, juga
karena adanya “vicious circle” maka baik tabungan maupun dasar pajak (tax base)
juga rendah, sehingga penerimaan pemerintah rendah pula.

Dengan rendahnya dana tabungan yang ada dalam masyarakat maka


pembangunan tak dapat dipercayakan kepada kemampuan swasta sehingga
pemerintah terpaksa lebih aktif dalam mengusahakan berhasilnya pembangunan
ekonomi di negara-negara tersebut. Pemerintah di negara sedang berkembang

5
sangat aktif dalam usaha mengejar ketertinggalannya terhadap negara-negara
maju. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan pemerintah semakin meningkat dengan
berbagai program dan proyek pembangunan sehingga jelas bahwa pengeluaran-
pengeluarannya juga meningkat. Pemerintah pada negara-negara yang sedang
berkembang paling sering mendatangkan sumber daya ekonomi berupa sumber
daya modal yang pada umumnya dari negara-negara insudtri maju untuk
mendukung pembangunan nasionalnya. Hal ini terjadi karena adanya keterbatasan
sumber daya modal dalam negeri. Sumber daya modal yang didatangkan dari luar
negeri ini wujudnya bisa beragam, seperti penanaman modal asing (direct
invesment), berbagai bentuk investasi portofolio (portofolio invesment) dan
pinjaman luar negeri.

Pinjaman luar negeri memang pada satu sisi dapat mendukung program
pembangunan nasional pemerintah, sehingga target pertumbuhan ekonomi
nasional dan peningkatan pendapatan per kapita masyarakat meningkat. Tetapi
pada sisi lain, diterimanya pinjaman luar negeri dapat menimbulkan masalah
dalam jangka panjang, yang akan menjadi beban yang seolah-olah tak terlepaskan
sehingga justru menyebabkan berkurangnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Pada masa krisis ekonomi, pinjaman luar negeri atau utang luar negeri Indonesia
termasuk uatang luar negeri pemerintah, telah meningkat drastis dalam hitungan
rupiah. Sehingga menyebabkan pemerintah Indonesia harus menambah utang luar
negeri yang baru untuk membayar utang luar negeri yang lama yang telah jatuh
tempo. Akumulasi utang luar negeri dan bunganya tersebut akan dibayar melalui
APBN RI dengan cara mencicilnya pada tiap tahun anggaran. Hal ini
menyebabkan berkurangnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat pada masa
mendatang, sehingga jelas akan membebani masyarakat, khususnya para wajib
pajak di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana peranan pinjaman luar negeri sebagai sumber capital ?
b. Bagaimana cara pemilihan pinjaman dalam negeri (internal debt) dan
pinjaman luar negeri (external debt) ?
c. Bagaimana hubungan pinjaman luar negeri dengan inflasi ?

6
d. Bagaimana kapasitas untuk membiayai pinjaman luar negeri di Indonesia ?
e. Bagaiamana cara meringankan beban pinjaman ?
f. Bagaimana posisi pinjaman luar negeri Indonesia diantara negara-negara
Asean ?
g. Bagaimana system pembayaran cicilan utang luar negeri dan bunganya
dalam hubunganya dengan APBN ?
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui bagaimana peranan pinjaman luar negeri sebagai
sumber capital
b. Untuk mengetahui bagaimana cara pemilihan pinjaman dalam negeri
(internal debt) dan pinjaman luar negeri (external debt)
c. Untuk mengetahui bagaimana hubungan pinjaman luar negeri dengan
inflasi
d. Untuk mengetahui bagaimana kapasitas untuk membiayai pinjaman luar
negeri di Indonesia
e. Untuk mengetahui bagaiamana cara meringankan beban pinjaman
f. Untuk mengetahui bagaiaman posisi pinjaman luar negeri Indonesia
diantara negara-negara Asean
g. Untuk mengetahui bagaimana system pembayaran cicilan utang luar negeri
dan bunganya dalam hubunganya dengan APBN

7
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pinjaman Luar Negeri Sebagai Sumber Kapital


Di sebagian besar negara-negara sedang berkembang, kemungkinan bagi
akumulasi kapital terbatas karena di samping rendahnya produktivitas juga karena
tingginya tingkat konsumsi baik untuk sektor swasta maupun sektor pemerintah
yang disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk dan adanya efek pamer
(international demonstration effects). Untuk dapat melaksanakan pembanguna
ekonomi dengan baik dan karena kurang tersedianya barang-barang dan jasa di
dalam negeri, maka diperlukan impor baik yang berupa impor bahan dasar
maupun barang-barang kapital termasuk pengetahuan teknik dan ahli-ahlinya.
Agar dapat mengimpor barang-barang tersebut, negara-negara sedang
berkembang harus memiliki devisa yang cukup banyak dan untuk mendapatkan
devisa itu, langkah pertama yang harus ditempuh adalah meningkatkan
kemampuan ekspor, dan cara yang lain yaitu mendapatkan bantuan luar negeri.
Akan tetapi ekspor negara-negara sedang berkembang sebagian besar berupa
produksi primer, sehingga penerimaan devisa dari hasil ekspor terlalu rendah
dibanding dengan kebutuhan-kebutuhan impornya. Alasan mengapa barang-
barang primer memberikan penerimaan devisa yang rendah adalah karena:
A. Rendahnya Elastisitas Permintaan
Untuk hampir semua barang primer yang diekspor oleh negara-negara
sedang berkembang, baik elastisitas permintaan dalam hubungannya dengan
harga (price elasticity of demand) maupun elastisitas permintaan dalam
hubungannya dengan pendapatan (incomne elasticity of demand) terhadap
barang-barang tersebut adalah rendah. Sehingga baik perubahan dalam harga
maupun perubahan dalam pendapatan tidak akan mempengaruhi permintaan
yang terlalu besar terhadap barang-barang tersebut.
B. Ketidakstabilan Harga
Banyak dari barang-barang primer itu yang benar-benar hanya dihasilkan
oleh negara-negara sedang berkembang, sehingga bila ada kenaikan harga
dari barang-barang tersebut di pasaran luar negeri, maka penerimaan devisa

8
dan pendapatan nasional negara-negara tersebut meningkat dan akan
mendorong naiknya produksi barang-barang tersebut walaupun tidak dalam
waktu yang begitu pendek sehingga harga-harga akan turun kembali yang
selanjutnya negara-negara tersebut akan kembali mengalami penurunan baik
dalam hasil ekspor maupun pendapatan nasionalnya. Dengan demikian,
penerimaan devisa tidak dapat diharapkan tetap tinggi.
C. Memburuknya Nilai Tukar (Terms of Trade)
Seperti dketahui barang-barang ekspor negara-negara sedang berkembang
itu terdiri dari barang-barang primer, dimana harga-harganya cenderung
untuk tetap, kalau tidak turun, dan sebaliknya impor negara tersebut berupa
barang-barang hasil industri pabrik yang harganya tidak cenderung turun
tetapi justru sebaliknya karena kualitas-kualitasnya senantiasa meningkat
sehingga nilai tukar (terms of trade) barang-barang primer terhadap barang-
barang pabrik itu semakin memburuk.
Bila dilihat dari sudut produksi sektoral, meningkatnya hasil produksi dari
sektor pertanian akan dicerminkan oleh menurunnnya harga-harga barang-
barang tersebut, sedangkan untuk sektor industri, diharapkan bahwa dengan
meningkatnya produksi barang-barang hasil pabrik akan diikuti oleh
meingkatnya upah buruh, karena buruh menuntut kenaikan upah dan biasanya
diikuti pula oleh naiknya harga barang-barang pabrik tersebut. Permintaan
terhadap barang-barang prosduksi primer menurun karena adanya
penggunaan barang-barang hasil pabrik selalu meningkat karena adanya
proses pembangunan ekonomi dan kenaikan pendapatan nasional.
D. Penggunaan Barang-barang Sintetis dan Barng-barang Substitusi
Tidaklah lengkap bila menganalisa kesulitan-kesulitan dalam ekspor
barang-barang primer tanpa membicarakan mengenai kemajuan teknologi.
Salah satu dari bahaya yang mengancam penerimaan devisa dari ekspor
negara-negara sedang berkembang adalah adanya persaingan dari barang-
barang sintetis sehingga membatasi permintaan ekspor akan barang-barang
primer tersebut.

9
E. Tarif dan Kuota
Rintangan-rintangan yang lain bagi ekspor produksi primer adalah karena
adanya peraturan-peraturan tarif dan kuota bagi barang-barang yang identik
atau sejenis dengan barang-barang yang dihasilkan di negara-negara yang
telah maju.

Dengan penjelasan di atas jelas bahwa negara-negara sedang berkembang


mengalami banyak kesulitan untuk memupuk dana kapital untuk
mempercepat pembangunan ekonominya, karena rendahnya tingkat tabungan
dan rendahnya penerimaan devisa dari ekspor. Tetapi karena pembangunan
ekonomi di negara-negara tersebut harus tetap diusahakan dan tidak harus
ditunda-tunda lagi, maka kebutuhan akan kapital harus dipenuhi. Satu-
satunya jalan untuk memecah kesulitan-kesulitan itu adalah mencari dan
mendapatkan dana dari luar negeri dalam bentuk bantuan atau dana luar
negeri baik dalam bentuk investasi asing langsung (foreign direct invesment)
maupun bentuk pinjaman lainnya.

2.2 Pemilihan Antara Pinjaman Dalam Negeri (Internal Debt) Dan Pinjaman
Luar Negeri (External Debt)
Kegagalan dari tabungan dalam negeri guna menghadapi kebutuhan investasi,
serta kegagalan penerimaan Negara dari sumber di dalam negeri dalam melayani
pengekuaran Negara, menyebabkan peranan pinjaman menjadi meningkat.
Pinjaman Negara ini seperti telah dikatakan dapat berupa pinjaman dalam negeri
dan pinjaman luar negeri.
Apabila perbedaanya hanya karena perbedaan sumber atau asal bantuan,maka
tidak akan sulit untuk melakukan pemilihan diantara mereka. Bagi Negara-negara
yang kaya tingkat tabungan di negara itu biasanya sudah tinggi, tetapi mungkin
penerimaan pemerintah relatif rendah dan tidak cukup untuk menutup
pengeluaranya. Hal ini menunjukan bahwa masih ada masalahan pemilihan mana
yang lebih baik untuk ditempuh untuk mebiayai pengeluaranya apakah pinjam
dari luar negeri ataukah pinjam dari dalam negeri. Pemilihan tersebut memerlukan
beberapa pertimbangan berhubung dengan sifat-sifat pinjaman itu seperti yang
pernah disebutkan didepan.

10
A. Pada Masa Penerimaan Pinjaman
Apabila pinjaman itu diterima dari luar negerimaka berarti bahwa
pengeluaran-pengeluaran Negara itu dibelanjai dengan tabungan Negara lain
dan ini merupakan tambahan dana capital yang tersedia.Aliran dana ini jelas
tidak akan mengurangi jumlah dana yang ada ditangan swasta.Sebaliknya
justru aliran dana itu akan memperbesar jumlah dana capital yang tersedia
bagi Negara debitur tersebut.Dengan demikian maka pendapatan sektor
swasta pada masa-masa berikutnya akan menjadi lebih rendah karena
semakin rendahnya tingkat investasi ereka yang mungkin tidak akan terlalu
cepat apabila “rate of return” dari investasi swasta itu masiih tetap tinggi
atau justru meningkat.
B. Pada Masa Pembayaran Kembali Pinjaman
Pinjaman yang berasal dari luar negeri disertai beban yang ditunjukkan
oleh pembayaran bunga dan pembayaran cicilan utang yang dipukul oleh
generasi kita dimasa yang akan datang.Generasi yang aka datang akan
dipungut pajak untuk membayar utang yang kita buat pad masa kini.Dengan
kata lain kita harus memindahkan dana yang dimiliki anak cucu kita pada
masa yang akan datang itu keluar negeri sebagai pengembalian pinjaman.
Sedangkan tingkat bunga dan ciclan utang untuk pinjaman dari dalam
negeri sendiri hanya berupa pemindahan dana dari dalam negeri sendiri
hanya berupa pemindahan dana dari satu kelompok orang kepada kelompok
orang lain dinegara yang sama,sehingga generasi pada masa yang akan
datang tidak akan seluruhnya memikul beban utang itu.Sebagian dari
generasi tersebut yang harus dibebani pajak untuk melakukan pembayaran
itu.Jadi apabila pinjaman itu berupa pinjaman dalam negeri maka secara
keseluruhanakan berarti bahwa pembayaran pinjaman itu tiak akan
menurunkan kesejahteraan masyarakat keseluruhnya karena hanya
merupakan suaru transfer dana saja dari satu kelompok orang kepada
kelompok orang lain.Dari pertimbangan-pertimbangan diatas maka
timbullah masalah pemilihan antara pinjaman dalam negeri dan pinjaman
luar negeri.Pada masa pinjaman itu diterima,pinjam luar negeri lebih baik

11
dari pinjaman dalam pinjaman dengan pertimbangan bahwa pinjaman itu
secara nasioal (makro) akan dapat memberikan hasilyang paling tidak sama
dengan pinjaman dalam negeri tetapi hal ini berupa tambahan dana sehingga
lebih baik daripada pinjaman luar negeri karena pinjamn luar negeri disertai
aliran dana keluar negeri kembali dan kalau pada pinjaman dalam negeri
dana itu hanya berputar saja didalam negeri yang sama.
Kemudian hal yang penting lagi ialah bahwa pinjaman luar negeri harus
mampu menaikkan pendapatan nasional dimasa yang akan datang karena
memang ada tambahan dana yang dapat diinvestasikan mungkin dalam
bentuk meningkatnya pengeluaran pemerintah dan atau investasi swasta.
Dengan demikian maka dalam melakukan pemilihan diantara alternatif
itu,masyarakat atau pemerintah suatu Negara harus membandingkan antara
bentuk pinjaman yang memungkinkan adanya pendapatan nasional yang
semakin tinggi pada masa-masa yang akan datang tetapi disertai dengan
adanya aliran dana keluar negeri yang harus diambilkan dari pendapatan
yang meningkat itu,dan bentuk pinjaman yang lain yang mungkin
meningkatkan pendapatan pada masa-mas ayang akan datang tetapi tidak
disetai dengn tagihan dari luar negeri atau mengalirnya dana ke luar negeri.
C. Kapasitas Meningkatnya Pendapatan Nasional
Selanjutnya pemilihan antar pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar
negeri tergantung pada bagaimana kapasitas Negara itu untuk meningkatkan
pendapatan nasionalnya.Pengeluaran Negara hendaknya dapat menghasilkan
barang dan ajsa yang maksimum tanpa memperhatian asal dari pinjaman
itu.Tetapi apabila kapasitas sektor pemeritah untuk menghasilkan barang
dan jasa itu lebih tinggi daripada kapasitas sektor swasta,maka lebih baik
untuk menggunakan pinjaman dalam negeri karena bagaimanapun juga
pendapatan nasional akan meningkat pada saat setelah terjadinya pinjama
dan hanya ada sedikit penurunan pendapatan pada saat terjadinya
pembanyaran kembali pinjaman.tetapi dengan pinjaman luar negeri yang
akan terjadi adalah memang benar pendapata national akan meningkat pada
saat pinjaman itu diinvestasikan tetapi pada saat pembayaran kembali
pinjaman,akan terliahat adanya suatu pemindahan pendapatan dari Negara

12
tersebut keluar negeri (Negara kreditur)sehingga disamping terdapat
perpindahan dana,pendapatan nasional juga akan menurun karena adanya
pajak.
D. Terjadinya dana pinjaman dalam negeri
Sebagian besar dari Negara-negara sedang brkembang tetap memnjam
dari luar negeri Karena memang di Negara-negara tersebut dna capital tidak
ada dan kalau ada hanya sedikit jumlahnya.disamping itu memang pinjaman
luar negeri selalu lebih menguntungkan dari pada pinjaman dalam negeri
atau memang hanay sedikit bukti-bukti yng menyarankan bahwa pinjaman
luar negeri kurang menguntungkan dari pada pinjaman dalam negeri.

2.3 Pinjaman Luar Negeri Dan Inflasi


Indonesia jelas termasuk dalam Negara-negara yag sedang berkembang
dan rencana pembangunan ekonomi Indonesia selalu dideking oleh pinjaman-
pinjaman luar negeri oleh karena kurangnya dana kapital dinegeri tersebut.
Aspek utama pinjaman luar negeri di setiap Negara adalah sama, tetapi
ciri-ciri dari perekonomian Indonesia pada masa-masa sebelum tahun 1968 adalah
inflasi yang cepat yaitu “hyper inflation” dan bahkan “sky rocketing”, sehingga
akibat dari pinjaman-pinjaman luar negeri itu berbeda dengan di Negara-negara
lain.
Menurut beberapa teori, pinjaman dalam negeri merupakan salah satu alat
untuk menanggulangi inflasi karena menyerap uang yang beredar dalam
masyarakat. Jadi pinjaman adalah salah satu alat anti inflasi yang dapat
mengurangi tenaga beli baik swasta maupun pemerintah.
Dalam masa inflasi, tenaga beli uang selalu menurun dan kepercayaan
masyarakat terhadap uang menurun. Oleh karena itu pemerintah tidak akan
berhasil di dalam menjual obligasi Negara karena nilai nominal dan tingkat bunga
obligasi itu konstan; orang tidak akan tertarik untuk membeli surat obligasi
tersebut.
Pinjaman luar negeri berdasarkan pengalaman Indonesia dapat digunakan
untuk membendung inflasi melalui penggunanya untuk mengimpor barang-barang
baik barang konsumsi maupun alat-alat kapital, sehingga harga-harga akan tetap
kalau tidak bahkan menurun. Hal ini disebabkan karena sifat inflasi di satu pihak

13
adalah adanya kebanjiran tenaga beli sebagai akibat dari besarnya pengeluaran
pemerintah yang dicerminkan dalam deficit anggaran belanja dan dilain pihak
adanya kekurangan barang-barang dan jasa-jasa.
Pada pertengahan tahun 1960-an pinjaman luar negeri dipergunakan untuk
menghambat inflasi melalui impor barang-barang konsumsi diantaranya beras
yang ada pada saat itu berperan sebagai “Price Leader”, tetapi setelah dana
pinjaman itu habis, inflasi itu mulai lagi. Dalam hal tersebut, pinjaman luar negeri
yang seharusnya digunakan untuk mengimpor barang-barang modal digunakan
untuk mengimpor barang-barang konsumsi.
Memang kalau sebagaian dari pinjaman luar negeri itu dipergunakan untuk
mengimpor barang-barang modal, ini akan meningkatkan pendapatan nasional,
melalui akibat penggandaan (multiplier effect) dari pengeluaran pemerintah
maupun investasi nasional. Tetapi sayangnya peningkatan dalam pendapatan
nasional itu tidak bersifat permanen dan segera akan berakhir, sedangkan
pinjaman beserta dengan akibat-akibatnya akan tetap ada untuk jangka yang lama.

Hal itulah yang merupakan sumber dari timbulnya masalah pinjaman.


Terutama dalam masa inflasi, meskipun terdapat keuntunga yang besar dalam
masa inflasi itu, tetapi aka nada suatu perbedaan harga antara harga barang-barang
dalam negeri dan barang-barang impor dan biasanya barang-barang impor
memiliki kualitas yang lebih baik dan harga-harga yang relative lebih murah
daripada barang-barang hasil produksi dalam negeri. Akibatnya ialah kenaikan-
kenaikan dalam pendapatan nasional akan digunakan untuk mengimpor barang-
barang tersebut (terutama barang-barang konsumsi) dan tidak aka nada yang
ditabung, karena nilai mata uang itu selalu menurun. Dengan demikina pinjaman
luar negeri hanya sekedar menciptakan beban baru, bagi Negara yang mengalami
inflasi tersebut, setelah menolong untuk sementara.

2.4 Kapasitas Untuk Membiayai Pinjaman Luar Negeri Indonesia


Pinjaman luar negeri memiliki atau menghadapi beberapa rintangan dan
pembatasan. Batasan umum adalah mengenai kapasitas Negara peminjam tersebut
untuk membayar kembali pinjaman dan bunganya dimasa yang akan datang. Di
negara-negara sedang berkembang, oleh karena lambannya pertumbuhan ekspor
hasil-hasil produksi primer, penerimaan devisa dari hasil ekspor itu dipergunakan

14
untuk mengimpor barang barang yang perlu bagi pembangunan ekonominya dan
hanya jumlah tertentu yang dipakai untuk membayar kembali pinjaman dan
bunganya.
Apabila karena alasan untuk membayar jasa-jasa pinjaman luar negeri
sebagai sumber capital itu, suatu Negara harus membatasi impor capital atau
barang-barang setengah jadi yang sebenarnya sangat diperlukan untuk
pembangunan, ini berarti batas pinjaman yang tepat sudah dilampaui. Batas yang
tepat itu ditentukan tidak hanya oleh prospek ekspor barang-barang dan jasa-jasa
tetapi juga oleh berhasilnya program pembangunan ekonomi melalui,
meningkatnya produksi barang-barang substitusi impor.
Selama masa inflasi tahun 1960-an penerimaan devisa dari hasil ekspor
Indonesia selalu menurun karena adanya disparitas harga dan impor justru
semakin meningkat dan lebih besar dari ekspor, sehingga utang luar negeri selalu
meningkat. Untuk tahun 1968 pinjaman sebesar US$500 juta, sedangkan tahun
1972 mencapai US$670 juta.
Usaha-usaha untuk meningkatkan ekspor, menghasilkan kenaikan
penerimaan devisa sebesar 14,9% pada akhir tahun 1968 dibanding dengan tahun
1967. Pelunasan pinjaman luar negeri itu dapat dicapai melalui penarikan pajak,
tetapi karena rendahnya tingkat pendapatan dinegara berkembang termasuknya
Indonesia, maka untuk membayar pinjaman dalam bentuk bunga dan cicilan
pokok pinjaman dengan penerimaan dari pajak saja sangat tidak cukup karena
untuk menutup pengeluaran-pengeluaran rutin Negara saja kadang tidak cukup.
Pada tahun 1966 penerimaan Indonesia dari hasil ekspor adalah US$450
juta dan Indonesia harus membayar utang sebesar US$470 juta. Pada tahun itu
hasil ekspor tersebut masih belum cukup untuk membayar impor barang-barang
esensial untuk rehabilitasi ekonomi Indonesia, sehingga akibatnya utang luar
negeri tak dapat dibayar.

Oleh sebab itu Indonesia mengundur pembayaran utangnya. Pertemuan


Tokyo, Paris, dan Amsterdam pada tahun 1968 menghasilkan persetujuan bahwa
Indonesia harus membayar utang sebesar US$200/tahun. Ekspor Indonesia tidak
akan lebih US$500/tahun, yang berarti 40% dari padanya harus disisihkan untuk

15
membayar utang. Jika itu dijalankan maka Indonesia tentu tidak akan dapat
mengadakan rehabilitasi ekonomi, sedangkan debt service ratio sudah mencapai
sekitar 40%, padahal batas ambang pinjaman luar negeri itu seharusnya debt
service ratio sekitar 20 – 25%.

2.5 Meringankan Beban Pinjaman


Beberapa Negara pada tahun 1970-an memerlukan bantuan untuk
meringnankan beban pinjaman masing-masing, beberapa Negara terpaksa
merundingkan kembali mengenai pinjaman mereka sebab Negara-negara ini
umumnya mengalami neraca pembayaran internasional yang sangat jelek karena
terlalu banyaknya kebijakan fiskal dan moneter yang bersifat ekspansi selama
beberapa tahun ditambah dengan masalah masalah khusus seperti kekacauan
dalam negeri, penurunan ekspor dan lain sebagainya.
Beberapa tindakan telah diambil untuk meringankan beban pinjaman
diantaranya melalui konsorsim bantuan (aid consortia). Sebagai missal pinjaman
Pakistan sebesar US$990 juta ditentukan kembali saat pengembaliannya
(reschedule), India menerima US$1,25 miliar peringanan pinjaman antara tahun
1968 dan 1976 dari konsorsium bantuan terutama untuk memperbaiki kualitas
bantuan pada saat pembayaran “debt service” yang membatasi india untuk
mencapai sumber-sumber devisa luar negeri. Dan masih banyak lagi Negara yang
mendapatkan pertolongan sejenis itu.
Biasanya peringanan beban pinjaman ini diperpanjang untuk periode 12
sampai 18 bulan dengan syarat Negara debitur harus menterapkan program
stabilisasi yang disetujui oleh dana moneter internasional IMF (International
Monetary Fund). Pembayaran kembali pinjaman yang ditentukan kembali
periodenya biasanya antara 7 sampai 10 tahun termasuk periode teggang 3 sampai
4 tahun. Peringanan beban pinjaman bagi pinjaman yang berbunga rendah dan
jangka pengembalian yang lama telah diberikan kepada India, Indonesia (1970),
Ghana (1974) dan Pakistan (1974 dan 1978).

16
2.6 Posisi Pinjaman Luar Negeri Indonesia Diantara Negara-Negara Asean
Tabel 11.1
PINJAMAN LUAR NEGERI YANG BELUM ADA SUDAH
DIBAYARKAN
PERSENTASE PERSENTASE DARI
NEGARA JUTAAN DOLAR PERUBAHAN GNP
1970-1979
1970 1979 1970 1979

INDONESIA 2.443 13.326 445% 27,1% 28,3%


MALAYSIA 390 3.004 670% 10,0% 15,4%
PHILIPINA 633 5.15 718% 9,2% 17,3%
SINGAPORE 152 1.323 770% 7,9% 14,8%
THAILAND 322 2.699 738% 4,9% 9,9%

Tabel 11.1. Menunjukan besarnya pinjaman luar negeri di Negara-negara


Asean pada tahun 1970-1979. Diantara Negara-negara Asean Indonesia
merupakan Negara yang mempunyai pinjaman terbesar baik pada 1970 maupun
1979 masing-masing sebesar US$2.443 juta dan US$13.326 juta. Sedangkan
Negara yang mempunyai pinjaman luar negeri terkecil adalah singapura masing-
masing sebesar US$ 150 juta pada tahun 1970 dan US$1.323 juta pada tahun
1979. Tetapi apabila besarnya pinjaman itu dinyatakan dalam bentuk peresntase
dari besarnya pendapatan nasional. (GNP), Indonesia tetap menduduki pertama
yaitu 27,1% pada tahun 1970 dan kemudian meningkat menjadi 28,3% pada tahun
1979. Sedangkan tempat terakhir diduduki oleh Thailand yaitu 4,9% pada tahun
1970 dan 9,9% padsa tahun 1979. Singapura menempati urutan kedua dari bawah
masing-masing setinggi 7,9% pad tahun 1970 dan 14,8% pad tahun 1979.
Dari angka-angka dimasing-masing negara anggota Asean tersebut
tampak bahwa secara absolut jumlah pinjamn luar negeri dimasing-masing negara
itu meningkat secar tajam antar tahun 1970 dan 1979 yaitu antar 445% sampai
770%. Demikian pula dalam arti peresntase terhadap GNP, masing-masing negara
mengalami kenaikan dalam pinjamn luar negeri mereka antar 1970-1979. Selam 9
tahun itu untuk Indonesia peresntase tersebut naik dengan 1,2% , Malysia naik
dengan 5,4%, Philipina naik 8,1%, Singapura naik dengan 6,9% dan Thailand
naik dengan 5%.

17
Tabel 11.2
PEMBAYARAN PEMBAYARAN DEBT SERVICE SEBAGAI
POKOK BUNGA PERSENTASE DIRI
PINJAMAN PINJAMAN
EKSPOR
NEGARA LUAR NEGERI LUAR NEGERI
GNP BARANG
(JUTAAN US (JUTAAN US
DAN JASA
DOLAR) DOLAR)
1970 1979 1970 1979 1970 1979 1970 1979
INDONESIA 59 1.335 24 772 0,9 4,5 6,9 13,4
MALAYSIA 45 386 21 189 1,7 2,9 3,6 4,7
PHILIPINA 73 506 25 298 1,4 2,7 7,5 12,6
SINGAPOR
6 133 6 86 0,0 2,5 0,6 1,3
E
THAILAND 23 132 16 146 0,6 1,0 3,3 4,2

Selanjutnya table 11.2. menunjukan besarnya pembayaran cicilan pokok


pinjaman dan bunga pinjaman dinegera-negera Asean. Besarnya cicilan utang ke
lima negara Asean itu meningkat jauh lebih besar pada tahun 1979 dibandingkan
dengan cicilan utang pada tahun 1970. Cicilan utang Indonesia meningkat
bmenjadi 22 kali lipat pada tahun 1979 dibanding dfengan cicilan utang pada
tahun 1970, sedangkan Malaysia menjadi 8 kali lipat, Philipina 7 kali lipat,
Singapura 22 kali lipat dan Thailand 6 kali lipat. Cicilan utang yang terbesar pad
tahun 1979 harus diderita oleh Indonesia dan yang terkecil dipikul oleh Thailand,
masing-masing sebesar US$1.335 juta dan US$132 juta.
Dari segi pembiayaan bunga pinjaman, tampak bahwa pada tahu 1970
Philipina harus membayar bunga tertinggi US$25 juta diantara negara-negara
Asean lainya dan Singapura hanya membayar bunga US$6 juta. Indonesia
membayar bunga US$24 juta. Untuk tahun 1979 keadaanya berubah yaitu
Indonesia harus membayar bunga terbesar diantara negara-negara Asean US$772
juta, sedangkan Singapura tetap harus membayar bunga terkecil disbanding
negara-negara lain US$86 juta,tetapi kalau diperhatikan jumlah pembayaran
bunga ini jauh lebih besar pada tahun 1979 dibanding dengan tahun 1970.
Pembayarn bunga ini untuk Indonesia naik menjadi 32 kali lipat pada tahun 1979
dibandigkan pad tahun 1970. Malaysia naik menjadi 9 kali lipat, Philipina naik
menjadi 12 kali lipat, Singapura naikmenjadi 14 kali lipat dan Thailands naik
menjadi 9 kali lipat. Dengan demikian berarti bahwa Indonesia memiliki beban

18
pembayarn utang yang jauh lebih berat pada tahun 1979 dibandingkan pada tahun
1970, demikian pula dengan negara-negar Asean lainya.
Apabila pembayaran cicilan dan biaya pinjaman (debt Service) itu
dibandigkan dengan besarnya pendapatn nasional (GNP) dan hasil penerimaan
ekspor barang dan jasa. Tampak pula bahwa pada tahun 1979 Indonesia
menduduki tmpat terberat, kemudian diikuti oleh Philipina. Besarnya proporsi
debt service terhadap GNP untuk Indonesia pada tahun 1979 adalah 4,5% dan
untuk Philipina 2,7% sedangkan bila dihitung dari hasil ekspor, untuk Indonesia
13,4% dan untuk Philipina 12,6%. Keadaan pada tahun 1979 itu berubah bila
dibandingkan dengan keadaan tahun 19790, dimana pada tahun 1970 proporsi
bebt service terhadap GNP hany 0,9% untuk In donesia, 1,4% untuk Philipina.
Sedagkan bila dilihat proporsinya tertinggi 6,9% dan untuk Philipina judtru lebih
tinggi 7,5%.
Jadi sebagai kesimpulan mengenai posisi pinjaman luar negeri dinegara-
negara Asean, Indonesia merupakan negara peminjam terbesar dan harus pula
memilkul beban cicilan dan bunga pinjaman yang terbesar pula. Sebaliknya
Singapura merupakan negara yang pinjaman luar negerinya paling kecil dan harus
memilkul cicilan dan bunga pinjaman yang terkecil pula.

2.7 Pembayaran Cicilan Utang Luar Negeri Dan Bunganya Dalam


Hubunganya Dengan APBN
Pembayarn cilcilan utang beserta bunga atas pinjaman luar negeri
merupakn beban APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang
memberatkan pada tahun-tahun fiskal mendatang, karena semakin banyaknya
pinjam luar negeri setiap tahunya pada tahunnya dan makin berakumulasi. Jumlah
bantuan luar negeri selam pelita I sampai pelita III, telah mencapai angaka Rp13,8
triliun yang terdiri atas bantuan proyek Rp13,1 triliun dan bantuan Rp749,7
miliar.
Secara komulatif pinjamn luar negeri cukup besar, karena serlama Pelita I
Indonesia mempergunakan bantuan luar negeri Rp708,6 miliar, selam pelita II
Rp3,32 triliun dan selama pelita III melonjak menjadi Rp9,79 triliun.

19
Sedangkan jumlah keseluruhan cicilan utang termasuk bunga uang, yang
pelaksanaanya telah dimulai sejak awal pelta III, baru mencapai Rp4,58 triliun
(termasuk proyek cicilan utang bersama bunga uang pada tahun 1983/1984).
Rillnya cicilan itu dilaksanakan pada tahun pertama pelita III senilai
Rp647,6 miliar, tahunkedua Rp754 miliar, tahun ketiga Rp933,7 miliar, tahun
keekmpat Rp976,2 miliar dan untuk tahun kelima (tahun anggaran 1983/1984
cicilan utang luar negeri senilai Rp1,39 triliun. Untuk tahun anggaran 1984/1985
diperkiraan Dalam Negeri.
Dengan demikian jumlah utang luar negeri yang menjadi beban APBN
untuk tahun mendatang (sejak memasuki Pelita IV), berkisar pada Rp9,2 miliar.
Angka ini tentu semakin besar oleh angka pinjaman luar negeri pada tahun-tahun
mendatang. Dengan kemampuan membayar cicilan utang luar negeri dalam Pelita
III itu, terlihat angka debt service ratio14% untuk tahun 1979/1980, 10% tahun
1980/1981, 8,3% tahun 1981/1982, 11,6% tahun 1982/1983, sedangkan untuk
tahun terakhir, angka ini mengembang menjjadi sekitar 16%.
Hingga sekrang belum ada kemungkinan menghentikan pinjaman luar
negeri dalam pemeliharaan momentum (daya gerak) pembangunan. Bahkan
bantuan luar negeri masih berperan dominan dalam beberapa hal dan sepanjang
tahun Neraca Pembayaran Indonesia masih tetap deficit bila tanpa adanya bantuan
luar negeri. Pada awal Pelita I, Neraca Pembayaran Indonesia mengalami defisit
99 juta dolar AS, kendati pinjaman luar negeri telah diperoleh sebesar 371 juta
dolar AS. Pada awal tahun Pelita II, neraca pembayaran Indonesia juga
mengalami defisit senilai 302 juta dolar AS dibalik pinjaman luar negeri 660 juta
dolar AS.
Selama Pelita III gambaran neraca pembayaran untuk tahun pertama
mengalami surplus 770 juta dolar AS di atas pinjaman luar negeri 2,1 miliar dolar
AS, tahun kedua surplus 2,2 miliar di atas pinjaman luar negeri 2,7 miliar dolar
AS, tahun ketiga surplus 862 juta di atas pinjaman luar negeri 2,8 miliar dolar AS
tahun kempat defisit 2,3 miliar dolar AS di atas pinjaman luar negerui 3,2 miliar
dolar AS.
Untuk tahun terakhir Pelita III diperkirakan neraca pembayaran defist
sekitar menimal sama dengan defist tahunanggaran1982/1983. Data statistic

20
menggambarakn bahwa laju pertumbuhan ekonomi pada tahun terakhir (1981)
belum ditentukan secara dominan oleh perkembangan ekonomi pertaninan.
Secara lengkap tahun 1981, laju pertumbuhan ekonomi yang tercatat 7,6%
itu, diperoleh karena sector perdagangan dan industry naik 15,4%, lembaga
keuangan (perbankan) melaju 12% jasa lainya naik 10,1%, bangunan 9,6%,
pengangkutan 7,1% pertambangan 3,3% sedang sector pertanina hanya berhasil
naik 3,5%. Hingga sekarang perekonomian/pembangunan nasional Indonesia
sangat lemah tanpa bantuan penerimaan dari sector minyak. Keadaan itu akan
memaksa Indonesia terus memaligkan pandangan kepada negara-negara sahabat
yang berbaik hati dan mau memberi pinjaman. Pembayaran/cicilan utang luar
negeri yang sudah dilaksanakan oleh Indonesia sejak awal pelita III ini, adalah
utang-utang yang diterima oleh pemeintah Orde Baru.

21
STUDI KASUS:

Stimulus RI Rp 405 T untuk Perang Lawan Corona

Di tengah wabah pandemi COVID-19, para pelaku usaha dan industri


tahun ini bakal melihat helikopter demikian dari pemerintah, yang bakal
melemparkan bergepok-gepok uang untuk disalurkan ke mereka guna memastikan
semuanya bisa bertahan hingga situasi yang terburuk usai.
Tepat sehari setelah mengumumkan status Pembatasan Sosial Berskala
Besar untuk mengatasi wabah corona, pemerintah bergerak cepat dengan
mengeluarkan-atau tepatnya menganulir-beberapa kebijakan guna memuluskan
rencana-tindak menjaga ekonomi tetap bergulir.
Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020
resmi diteken. Namanya sangat panjang untuk produk setingkat UU, yakni
'Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan
Pandemi Corona Virus Desease 2019' dan/atau Dalam Rangka Menghadapi
Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas
Sistem Keuangan."
Perppu inilah yang menjadi landasan kebijakan helikopter uang di
Indonesia. Ini menjadi yang pertama diterapkan dalam sejarah Republik
Indonesia, karena untuk pertama kali juga defisit Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) bakal melewati angka 3% dari Produk Domestik Bruto
(PDB), menganulir ketentuan UU tentang Keuangan Negara Nomor 17 Tahun
2003.
Kebijakan ini sudah banyak diterapkan oleh negara maju. Hanya saja,
mereka memakai bahasa yang lebih keren, yakni pelonggaran kuantitatif
(quantitative easing/QE). Tidak ada helikopter betulan di sini, hanya saja otoritas
moneter bertindak seperti itu: membawa dana segar untuk memborong surat
berharga milik pemerintah maupun swasta. Tak hanya di pasar sekunder (lewat
transaksi pasar), melainkan juga di pasar primer (membeli langsung dari pihak
penerbit).
Untuk mengatasi dampak virus corona terhadap kelangsungan hidup
bangsa, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelontorkan dana stimulus Rp

22
405,1 triliun. Sebagian besar, atau nyaris 40% dari itu, dialokasikan untuk
pemulihan ekonomi nasional dengan alokasi Rp 150 triliun.
Dana tersebut nantinya akan masuk dalam postur APBN-P 2020. Tambahan
anggaran tersebut akan dialokasikan ke berbagai sektor, yakni:
1. Bidang Kesehatan Rp 75 triliun, meliputi perlindungan tenaga kesehatan,
pembelian alat kesehatan, perbaikan fasilitas kesehatan, dan insentif dokter
2. Jaring pengaman sosial atau Social Safety net Rp 110 triliun, yang akan
mencakup penambahan anggaran kartu sembako, kartu pra kerja, dan
subsidi listrik
3. Insentif perpajakan dan KUR Rp 70,1 triliun
4. Pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional Rp 150 triliun

Kebijakan ini akan tertera dalam Peraturan Presiden (Perpres) mengenai rincian
dari stimulus jilid III yang telah ditetapkan. Perpres ini merupakan turunan dari
Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) nomor 1 tahun 2020 yang telah
ditetapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) 31 Maret lalu.

23
Lalu dari mana sumber dananya? 
 Pemerintah menargetkan penerbitan SBN [Surat Berharga Negara] yang lebih
tinggi tahun ini. Atau naik Rp 160,2 triliun dari target APBN. Sehingga total
penerbitan SBN mencapai Rp 549,6 triliun.
 Adapun pemerintah juga menarik pinjaman luar negeri sebesar Rp 5,7 triliun
dan pinjaman dalam negeri Rp 1,3 triliun. Serta, tidak lupa menerbitkan bond
atau surat utang baru atau Pandemic Bond. Nilainya mencapai Rp 449,9
triliiun.

24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Didalam mencari pinjaman luar negeri, suatu negara hendaknya bersikap
hati-hati yaitu memcari pinjaman dengan syarat-syarat yang termurah secara
relative dalam perbandinganya dengan hasil produksi yang dapat dici[takan dari
pinjaman tersebut.
Dalam jangka pendek kapasitas memilkul beban utang itu sangat penting
dipengaruhi oleh fluktuasi dalam perdagangan internasional dan dalam jangka
panjang adalah sulit untuk menentukan karena tergantung pada berhasilnya
pembangunan ekonomi.
Pinjmanan yang diterima hendaknya dipergunakan seefisien mungkin dan
bersifat dapat membiayai sendiri (self financing), sehingga dalam jangka waktu
tertentu dapat menghasilkan devisa karena meningkatkan produksi ekspor dan
atau menghambat penggunaan devisa kaena adnya kegiatan impor substitusi.
Suatu pertimbangan yang sangat penting ialah pada masa mendapat
pinjaman yaitu dibayarkan. Semakinlama pokkok pinjaman itu dapat dibayar
dimasa yang akan dating dan semakin rendahnya tingkat bunga akan semakin
besarlah faedah atau manffat yang fiterima dan kesempatan untuk membangun
ekonomi negara debitur itu. Akhirnya semakin kuatlah kapasitas untuk memikul
beban pinjaman tadi.
Pinjaman ekonomi membantu mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan
menigkatkan investasi. Tetapi tingkat investasi mana yang dapat dikatan paling
baik adalah sulit ditentukan. Hamper disemua negara ada batasan investasi yaitu
bahwa setelah melewati batas waktu tertentu (KATAKANLAH 5 TAHUN),
kegiatan investasi pada proyek-proyek yang berguna tidak dapat meningkatkan
lebih lanjut tanpa menghasilkan pemborsan-peborosan pada setiap investasi
karena adanaya penurunan yang cepat dari produksi batas (marginal physicial
product).

25
Impor capital neto (setelah dikurangi bunga, keuntungan dan cicilan pokok
pinjaman) harus cukup untuk menaikan pendapatan. Untuk itu maka suatu negara
harus memperoleh pinjamn hanya sebesar tingkat yang layak sesuai dengan
kemampuanya menyerap capital (absortive capacity-nya) dan harus berlangsung
terus samap negara itu dapat benar-benar meningkatkan pendapatanya dan dapat
menciptakan tabungan yang kemudian disalurkan untuk investasi. Kemudian
untuk mengurangi atau mempersempit ksenjangan (gap) antara tabugan domestik
dan ivestasi harus ditempuh melalui system perpajakan dan penciptaan pasar
modal.
Pengalam Indonesia menunjukan bahwa Indonesia secara berangsur-
angsur harus membayar utang yang telah diatur sedemikian jauh. Pinjaman-
pinjaman baru hendaknya dalam jangka cukup pendek dapat memberikan hasil
yang dapat menunjang pembayaran utang-utang yang telah ditunda itu.
Syarat-syarat seperti itu merupakan batasan yang kaku untuk
menggunakan pinjaman pada luar negeri. Ini berarti bahwa cara yang peling
menguntungkan pada saat itu untuk memperbaiki ekonomi Indonesia adalah
melalui penarikan modal asaing untuk ditanam di Indonesia. Sebenarnya juga
banyak negara asing yang ingin menarik modal asing, tidak hanya Indonesia.
Hanya kelebihan yang dimilki Indonesia ialah masih banyak sumber-sumber alam
yang belum dimanfaatkan, tapi sayingnya hak usaha yang diberikan sering terlalu
pendek sehingga hal ini masih kurang menarik bagi investor-investor asing, dan
cendrung menguras habis sumberdaya alam yang ada. Sekarang masalahnya
bagaimana membuat biaya-biaya eksplotasi itu serndah mungkin sehingga dapat
menarik masuknya modal asing ke I ndonesia. Ini berarti bahwa “external
economies” harus mampu membuat biaya-biaya itu menjadi rendah.
Modal atau investasi asaing tidak hanya berguna untuk mengolah dan
memanfaatkan sumber-sumber alam tetapi juga untuk mengenalkan teknik-teknik
baru dan cara-cara serta pengolahan yang lebih baik. Melalui efek pamer
(demonstration effects) diharapkan ide-ide baru tersebut dapat cepat ditiru
dinegara-negara debitur. Dengan mengambil pertimbangan itu semua, jelasla
pemerintah hendaknya mengikuti strategi penggunaan dana yang terbatas

26
jumlahnya itu untuk menciptakan suatu “external economies” yang luas untuk
mendorong investasi-investasi swasta yang lebih besar baik nasional maupun
asing. Akhirnya pinjaman luar negeri hendaknya digunkan hanya pada bidang-
bidang kegiatan yang jelas-jelas tidak menarik bagi investor swasta asing.

27
Daftar Pustaka

Gian Asmara, Chandra & Cantika Adinda Putri. 2020. Stimulus RI Rp 405 T
untuk Perang Lawan Corona. CNBC Indonesia, 31 Maret 2020. Jakarta.

Suparmoko. 200. Keuangan Negara dalam Teori dan Pratik Edisi 5. Yogyakarta:
BPFE-Yogyakarta

28

Anda mungkin juga menyukai