Disusun Oleh:
Dosen Pembimbing:
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Sama seperti kata pepatah yang mengatakan tidak ada gading yang
tidak retak. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
ii
Daftar isi
BAB I............................................................................................................................4
PENDAHULUAN.........................................................................................................4
1.3 Tujuan................................................................................................................6
BAB II...........................................................................................................................7
PEMBAHASAN...........................................................................................................7
B. Ketidakstabilan Harga........................................................................................7
2.2 Pemilihan Antara Pinjaman Dalam Negeri (Internal Debt) Dan Pinjaman Luar
Negeri (External Debt)...................................................................................................9
2.7 Pembayarn Cicilan ULN Dan Bunganya Dalam Hubunganya Dengan APBN.......18
BAB III.......................................................................................................................24
PENUTUP..................................................................................................................24
3.1 Kesimpulan............................................................................................................24
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
5
sangat aktif dalam usaha mengejar ketertinggalannya terhadap negara-negara
maju. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan pemerintah semakin meningkat dengan
berbagai program dan proyek pembangunan sehingga jelas bahwa pengeluaran-
pengeluarannya juga meningkat. Pemerintah pada negara-negara yang sedang
berkembang paling sering mendatangkan sumber daya ekonomi berupa sumber
daya modal yang pada umumnya dari negara-negara insudtri maju untuk
mendukung pembangunan nasionalnya. Hal ini terjadi karena adanya keterbatasan
sumber daya modal dalam negeri. Sumber daya modal yang didatangkan dari luar
negeri ini wujudnya bisa beragam, seperti penanaman modal asing (direct
invesment), berbagai bentuk investasi portofolio (portofolio invesment) dan
pinjaman luar negeri.
Pinjaman luar negeri memang pada satu sisi dapat mendukung program
pembangunan nasional pemerintah, sehingga target pertumbuhan ekonomi
nasional dan peningkatan pendapatan per kapita masyarakat meningkat. Tetapi
pada sisi lain, diterimanya pinjaman luar negeri dapat menimbulkan masalah
dalam jangka panjang, yang akan menjadi beban yang seolah-olah tak terlepaskan
sehingga justru menyebabkan berkurangnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Pada masa krisis ekonomi, pinjaman luar negeri atau utang luar negeri Indonesia
termasuk uatang luar negeri pemerintah, telah meningkat drastis dalam hitungan
rupiah. Sehingga menyebabkan pemerintah Indonesia harus menambah utang luar
negeri yang baru untuk membayar utang luar negeri yang lama yang telah jatuh
tempo. Akumulasi utang luar negeri dan bunganya tersebut akan dibayar melalui
APBN RI dengan cara mencicilnya pada tiap tahun anggaran. Hal ini
menyebabkan berkurangnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat pada masa
mendatang, sehingga jelas akan membebani masyarakat, khususnya para wajib
pajak di Indonesia.
6
d. Bagaimana kapasitas untuk membiayai pinjaman luar negeri di Indonesia ?
e. Bagaiamana cara meringankan beban pinjaman ?
f. Bagaimana posisi pinjaman luar negeri Indonesia diantara negara-negara
Asean ?
g. Bagaimana system pembayaran cicilan utang luar negeri dan bunganya
dalam hubunganya dengan APBN ?
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui bagaimana peranan pinjaman luar negeri sebagai
sumber capital
b. Untuk mengetahui bagaimana cara pemilihan pinjaman dalam negeri
(internal debt) dan pinjaman luar negeri (external debt)
c. Untuk mengetahui bagaimana hubungan pinjaman luar negeri dengan
inflasi
d. Untuk mengetahui bagaimana kapasitas untuk membiayai pinjaman luar
negeri di Indonesia
e. Untuk mengetahui bagaiamana cara meringankan beban pinjaman
f. Untuk mengetahui bagaiaman posisi pinjaman luar negeri Indonesia
diantara negara-negara Asean
g. Untuk mengetahui bagaimana system pembayaran cicilan utang luar negeri
dan bunganya dalam hubunganya dengan APBN
7
BAB II
PEMBAHASAN
8
dan pendapatan nasional negara-negara tersebut meningkat dan akan
mendorong naiknya produksi barang-barang tersebut walaupun tidak dalam
waktu yang begitu pendek sehingga harga-harga akan turun kembali yang
selanjutnya negara-negara tersebut akan kembali mengalami penurunan baik
dalam hasil ekspor maupun pendapatan nasionalnya. Dengan demikian,
penerimaan devisa tidak dapat diharapkan tetap tinggi.
C. Memburuknya Nilai Tukar (Terms of Trade)
Seperti dketahui barang-barang ekspor negara-negara sedang berkembang
itu terdiri dari barang-barang primer, dimana harga-harganya cenderung
untuk tetap, kalau tidak turun, dan sebaliknya impor negara tersebut berupa
barang-barang hasil industri pabrik yang harganya tidak cenderung turun
tetapi justru sebaliknya karena kualitas-kualitasnya senantiasa meningkat
sehingga nilai tukar (terms of trade) barang-barang primer terhadap barang-
barang pabrik itu semakin memburuk.
Bila dilihat dari sudut produksi sektoral, meningkatnya hasil produksi dari
sektor pertanian akan dicerminkan oleh menurunnnya harga-harga barang-
barang tersebut, sedangkan untuk sektor industri, diharapkan bahwa dengan
meningkatnya produksi barang-barang hasil pabrik akan diikuti oleh
meingkatnya upah buruh, karena buruh menuntut kenaikan upah dan biasanya
diikuti pula oleh naiknya harga barang-barang pabrik tersebut. Permintaan
terhadap barang-barang prosduksi primer menurun karena adanya
penggunaan barang-barang hasil pabrik selalu meningkat karena adanya
proses pembangunan ekonomi dan kenaikan pendapatan nasional.
D. Penggunaan Barang-barang Sintetis dan Barng-barang Substitusi
Tidaklah lengkap bila menganalisa kesulitan-kesulitan dalam ekspor
barang-barang primer tanpa membicarakan mengenai kemajuan teknologi.
Salah satu dari bahaya yang mengancam penerimaan devisa dari ekspor
negara-negara sedang berkembang adalah adanya persaingan dari barang-
barang sintetis sehingga membatasi permintaan ekspor akan barang-barang
primer tersebut.
9
E. Tarif dan Kuota
Rintangan-rintangan yang lain bagi ekspor produksi primer adalah karena
adanya peraturan-peraturan tarif dan kuota bagi barang-barang yang identik
atau sejenis dengan barang-barang yang dihasilkan di negara-negara yang
telah maju.
2.2 Pemilihan Antara Pinjaman Dalam Negeri (Internal Debt) Dan Pinjaman
Luar Negeri (External Debt)
Kegagalan dari tabungan dalam negeri guna menghadapi kebutuhan investasi,
serta kegagalan penerimaan Negara dari sumber di dalam negeri dalam melayani
pengekuaran Negara, menyebabkan peranan pinjaman menjadi meningkat.
Pinjaman Negara ini seperti telah dikatakan dapat berupa pinjaman dalam negeri
dan pinjaman luar negeri.
Apabila perbedaanya hanya karena perbedaan sumber atau asal bantuan,maka
tidak akan sulit untuk melakukan pemilihan diantara mereka. Bagi Negara-negara
yang kaya tingkat tabungan di negara itu biasanya sudah tinggi, tetapi mungkin
penerimaan pemerintah relatif rendah dan tidak cukup untuk menutup
pengeluaranya. Hal ini menunjukan bahwa masih ada masalahan pemilihan mana
yang lebih baik untuk ditempuh untuk mebiayai pengeluaranya apakah pinjam
dari luar negeri ataukah pinjam dari dalam negeri. Pemilihan tersebut memerlukan
beberapa pertimbangan berhubung dengan sifat-sifat pinjaman itu seperti yang
pernah disebutkan didepan.
10
A. Pada Masa Penerimaan Pinjaman
Apabila pinjaman itu diterima dari luar negerimaka berarti bahwa
pengeluaran-pengeluaran Negara itu dibelanjai dengan tabungan Negara lain
dan ini merupakan tambahan dana capital yang tersedia.Aliran dana ini jelas
tidak akan mengurangi jumlah dana yang ada ditangan swasta.Sebaliknya
justru aliran dana itu akan memperbesar jumlah dana capital yang tersedia
bagi Negara debitur tersebut.Dengan demikian maka pendapatan sektor
swasta pada masa-masa berikutnya akan menjadi lebih rendah karena
semakin rendahnya tingkat investasi ereka yang mungkin tidak akan terlalu
cepat apabila “rate of return” dari investasi swasta itu masiih tetap tinggi
atau justru meningkat.
B. Pada Masa Pembayaran Kembali Pinjaman
Pinjaman yang berasal dari luar negeri disertai beban yang ditunjukkan
oleh pembayaran bunga dan pembayaran cicilan utang yang dipukul oleh
generasi kita dimasa yang akan datang.Generasi yang aka datang akan
dipungut pajak untuk membayar utang yang kita buat pad masa kini.Dengan
kata lain kita harus memindahkan dana yang dimiliki anak cucu kita pada
masa yang akan datang itu keluar negeri sebagai pengembalian pinjaman.
Sedangkan tingkat bunga dan ciclan utang untuk pinjaman dari dalam
negeri sendiri hanya berupa pemindahan dana dari dalam negeri sendiri
hanya berupa pemindahan dana dari satu kelompok orang kepada kelompok
orang lain dinegara yang sama,sehingga generasi pada masa yang akan
datang tidak akan seluruhnya memikul beban utang itu.Sebagian dari
generasi tersebut yang harus dibebani pajak untuk melakukan pembayaran
itu.Jadi apabila pinjaman itu berupa pinjaman dalam negeri maka secara
keseluruhanakan berarti bahwa pembayaran pinjaman itu tiak akan
menurunkan kesejahteraan masyarakat keseluruhnya karena hanya
merupakan suaru transfer dana saja dari satu kelompok orang kepada
kelompok orang lain.Dari pertimbangan-pertimbangan diatas maka
timbullah masalah pemilihan antara pinjaman dalam negeri dan pinjaman
luar negeri.Pada masa pinjaman itu diterima,pinjam luar negeri lebih baik
11
dari pinjaman dalam pinjaman dengan pertimbangan bahwa pinjaman itu
secara nasioal (makro) akan dapat memberikan hasilyang paling tidak sama
dengan pinjaman dalam negeri tetapi hal ini berupa tambahan dana sehingga
lebih baik daripada pinjaman luar negeri karena pinjamn luar negeri disertai
aliran dana keluar negeri kembali dan kalau pada pinjaman dalam negeri
dana itu hanya berputar saja didalam negeri yang sama.
Kemudian hal yang penting lagi ialah bahwa pinjaman luar negeri harus
mampu menaikkan pendapatan nasional dimasa yang akan datang karena
memang ada tambahan dana yang dapat diinvestasikan mungkin dalam
bentuk meningkatnya pengeluaran pemerintah dan atau investasi swasta.
Dengan demikian maka dalam melakukan pemilihan diantara alternatif
itu,masyarakat atau pemerintah suatu Negara harus membandingkan antara
bentuk pinjaman yang memungkinkan adanya pendapatan nasional yang
semakin tinggi pada masa-masa yang akan datang tetapi disertai dengan
adanya aliran dana keluar negeri yang harus diambilkan dari pendapatan
yang meningkat itu,dan bentuk pinjaman yang lain yang mungkin
meningkatkan pendapatan pada masa-mas ayang akan datang tetapi tidak
disetai dengn tagihan dari luar negeri atau mengalirnya dana ke luar negeri.
C. Kapasitas Meningkatnya Pendapatan Nasional
Selanjutnya pemilihan antar pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar
negeri tergantung pada bagaimana kapasitas Negara itu untuk meningkatkan
pendapatan nasionalnya.Pengeluaran Negara hendaknya dapat menghasilkan
barang dan ajsa yang maksimum tanpa memperhatian asal dari pinjaman
itu.Tetapi apabila kapasitas sektor pemeritah untuk menghasilkan barang
dan jasa itu lebih tinggi daripada kapasitas sektor swasta,maka lebih baik
untuk menggunakan pinjaman dalam negeri karena bagaimanapun juga
pendapatan nasional akan meningkat pada saat setelah terjadinya pinjama
dan hanya ada sedikit penurunan pendapatan pada saat terjadinya
pembanyaran kembali pinjaman.tetapi dengan pinjaman luar negeri yang
akan terjadi adalah memang benar pendapata national akan meningkat pada
saat pinjaman itu diinvestasikan tetapi pada saat pembayaran kembali
pinjaman,akan terliahat adanya suatu pemindahan pendapatan dari Negara
12
tersebut keluar negeri (Negara kreditur)sehingga disamping terdapat
perpindahan dana,pendapatan nasional juga akan menurun karena adanya
pajak.
D. Terjadinya dana pinjaman dalam negeri
Sebagian besar dari Negara-negara sedang brkembang tetap memnjam
dari luar negeri Karena memang di Negara-negara tersebut dna capital tidak
ada dan kalau ada hanya sedikit jumlahnya.disamping itu memang pinjaman
luar negeri selalu lebih menguntungkan dari pada pinjaman dalam negeri
atau memang hanay sedikit bukti-bukti yng menyarankan bahwa pinjaman
luar negeri kurang menguntungkan dari pada pinjaman dalam negeri.
13
adalah adanya kebanjiran tenaga beli sebagai akibat dari besarnya pengeluaran
pemerintah yang dicerminkan dalam deficit anggaran belanja dan dilain pihak
adanya kekurangan barang-barang dan jasa-jasa.
Pada pertengahan tahun 1960-an pinjaman luar negeri dipergunakan untuk
menghambat inflasi melalui impor barang-barang konsumsi diantaranya beras
yang ada pada saat itu berperan sebagai “Price Leader”, tetapi setelah dana
pinjaman itu habis, inflasi itu mulai lagi. Dalam hal tersebut, pinjaman luar negeri
yang seharusnya digunakan untuk mengimpor barang-barang modal digunakan
untuk mengimpor barang-barang konsumsi.
Memang kalau sebagaian dari pinjaman luar negeri itu dipergunakan untuk
mengimpor barang-barang modal, ini akan meningkatkan pendapatan nasional,
melalui akibat penggandaan (multiplier effect) dari pengeluaran pemerintah
maupun investasi nasional. Tetapi sayangnya peningkatan dalam pendapatan
nasional itu tidak bersifat permanen dan segera akan berakhir, sedangkan
pinjaman beserta dengan akibat-akibatnya akan tetap ada untuk jangka yang lama.
14
untuk mengimpor barang barang yang perlu bagi pembangunan ekonominya dan
hanya jumlah tertentu yang dipakai untuk membayar kembali pinjaman dan
bunganya.
Apabila karena alasan untuk membayar jasa-jasa pinjaman luar negeri
sebagai sumber capital itu, suatu Negara harus membatasi impor capital atau
barang-barang setengah jadi yang sebenarnya sangat diperlukan untuk
pembangunan, ini berarti batas pinjaman yang tepat sudah dilampaui. Batas yang
tepat itu ditentukan tidak hanya oleh prospek ekspor barang-barang dan jasa-jasa
tetapi juga oleh berhasilnya program pembangunan ekonomi melalui,
meningkatnya produksi barang-barang substitusi impor.
Selama masa inflasi tahun 1960-an penerimaan devisa dari hasil ekspor
Indonesia selalu menurun karena adanya disparitas harga dan impor justru
semakin meningkat dan lebih besar dari ekspor, sehingga utang luar negeri selalu
meningkat. Untuk tahun 1968 pinjaman sebesar US$500 juta, sedangkan tahun
1972 mencapai US$670 juta.
Usaha-usaha untuk meningkatkan ekspor, menghasilkan kenaikan
penerimaan devisa sebesar 14,9% pada akhir tahun 1968 dibanding dengan tahun
1967. Pelunasan pinjaman luar negeri itu dapat dicapai melalui penarikan pajak,
tetapi karena rendahnya tingkat pendapatan dinegara berkembang termasuknya
Indonesia, maka untuk membayar pinjaman dalam bentuk bunga dan cicilan
pokok pinjaman dengan penerimaan dari pajak saja sangat tidak cukup karena
untuk menutup pengeluaran-pengeluaran rutin Negara saja kadang tidak cukup.
Pada tahun 1966 penerimaan Indonesia dari hasil ekspor adalah US$450
juta dan Indonesia harus membayar utang sebesar US$470 juta. Pada tahun itu
hasil ekspor tersebut masih belum cukup untuk membayar impor barang-barang
esensial untuk rehabilitasi ekonomi Indonesia, sehingga akibatnya utang luar
negeri tak dapat dibayar.
15
membayar utang. Jika itu dijalankan maka Indonesia tentu tidak akan dapat
mengadakan rehabilitasi ekonomi, sedangkan debt service ratio sudah mencapai
sekitar 40%, padahal batas ambang pinjaman luar negeri itu seharusnya debt
service ratio sekitar 20 – 25%.
16
2.6 Posisi Pinjaman Luar Negeri Indonesia Diantara Negara-Negara Asean
Tabel 11.1
PINJAMAN LUAR NEGERI YANG BELUM ADA SUDAH
DIBAYARKAN
PERSENTASE PERSENTASE DARI
NEGARA JUTAAN DOLAR PERUBAHAN GNP
1970-1979
1970 1979 1970 1979
17
Tabel 11.2
PEMBAYARAN PEMBAYARAN DEBT SERVICE SEBAGAI
POKOK BUNGA PERSENTASE DIRI
PINJAMAN PINJAMAN
EKSPOR
NEGARA LUAR NEGERI LUAR NEGERI
GNP BARANG
(JUTAAN US (JUTAAN US
DAN JASA
DOLAR) DOLAR)
1970 1979 1970 1979 1970 1979 1970 1979
INDONESIA 59 1.335 24 772 0,9 4,5 6,9 13,4
MALAYSIA 45 386 21 189 1,7 2,9 3,6 4,7
PHILIPINA 73 506 25 298 1,4 2,7 7,5 12,6
SINGAPOR
6 133 6 86 0,0 2,5 0,6 1,3
E
THAILAND 23 132 16 146 0,6 1,0 3,3 4,2
18
pembayarn utang yang jauh lebih berat pada tahun 1979 dibandingkan pada tahun
1970, demikian pula dengan negara-negar Asean lainya.
Apabila pembayaran cicilan dan biaya pinjaman (debt Service) itu
dibandigkan dengan besarnya pendapatn nasional (GNP) dan hasil penerimaan
ekspor barang dan jasa. Tampak pula bahwa pada tahun 1979 Indonesia
menduduki tmpat terberat, kemudian diikuti oleh Philipina. Besarnya proporsi
debt service terhadap GNP untuk Indonesia pada tahun 1979 adalah 4,5% dan
untuk Philipina 2,7% sedangkan bila dihitung dari hasil ekspor, untuk Indonesia
13,4% dan untuk Philipina 12,6%. Keadaan pada tahun 1979 itu berubah bila
dibandingkan dengan keadaan tahun 19790, dimana pada tahun 1970 proporsi
bebt service terhadap GNP hany 0,9% untuk In donesia, 1,4% untuk Philipina.
Sedagkan bila dilihat proporsinya tertinggi 6,9% dan untuk Philipina judtru lebih
tinggi 7,5%.
Jadi sebagai kesimpulan mengenai posisi pinjaman luar negeri dinegara-
negara Asean, Indonesia merupakan negara peminjam terbesar dan harus pula
memilkul beban cicilan dan bunga pinjaman yang terbesar pula. Sebaliknya
Singapura merupakan negara yang pinjaman luar negerinya paling kecil dan harus
memilkul cicilan dan bunga pinjaman yang terkecil pula.
19
Sedangkan jumlah keseluruhan cicilan utang termasuk bunga uang, yang
pelaksanaanya telah dimulai sejak awal pelta III, baru mencapai Rp4,58 triliun
(termasuk proyek cicilan utang bersama bunga uang pada tahun 1983/1984).
Rillnya cicilan itu dilaksanakan pada tahun pertama pelita III senilai
Rp647,6 miliar, tahunkedua Rp754 miliar, tahun ketiga Rp933,7 miliar, tahun
keekmpat Rp976,2 miliar dan untuk tahun kelima (tahun anggaran 1983/1984
cicilan utang luar negeri senilai Rp1,39 triliun. Untuk tahun anggaran 1984/1985
diperkiraan Dalam Negeri.
Dengan demikian jumlah utang luar negeri yang menjadi beban APBN
untuk tahun mendatang (sejak memasuki Pelita IV), berkisar pada Rp9,2 miliar.
Angka ini tentu semakin besar oleh angka pinjaman luar negeri pada tahun-tahun
mendatang. Dengan kemampuan membayar cicilan utang luar negeri dalam Pelita
III itu, terlihat angka debt service ratio14% untuk tahun 1979/1980, 10% tahun
1980/1981, 8,3% tahun 1981/1982, 11,6% tahun 1982/1983, sedangkan untuk
tahun terakhir, angka ini mengembang menjjadi sekitar 16%.
Hingga sekrang belum ada kemungkinan menghentikan pinjaman luar
negeri dalam pemeliharaan momentum (daya gerak) pembangunan. Bahkan
bantuan luar negeri masih berperan dominan dalam beberapa hal dan sepanjang
tahun Neraca Pembayaran Indonesia masih tetap deficit bila tanpa adanya bantuan
luar negeri. Pada awal Pelita I, Neraca Pembayaran Indonesia mengalami defisit
99 juta dolar AS, kendati pinjaman luar negeri telah diperoleh sebesar 371 juta
dolar AS. Pada awal tahun Pelita II, neraca pembayaran Indonesia juga
mengalami defisit senilai 302 juta dolar AS dibalik pinjaman luar negeri 660 juta
dolar AS.
Selama Pelita III gambaran neraca pembayaran untuk tahun pertama
mengalami surplus 770 juta dolar AS di atas pinjaman luar negeri 2,1 miliar dolar
AS, tahun kedua surplus 2,2 miliar di atas pinjaman luar negeri 2,7 miliar dolar
AS, tahun ketiga surplus 862 juta di atas pinjaman luar negeri 2,8 miliar dolar AS
tahun kempat defisit 2,3 miliar dolar AS di atas pinjaman luar negerui 3,2 miliar
dolar AS.
Untuk tahun terakhir Pelita III diperkirakan neraca pembayaran defist
sekitar menimal sama dengan defist tahunanggaran1982/1983. Data statistic
20
menggambarakn bahwa laju pertumbuhan ekonomi pada tahun terakhir (1981)
belum ditentukan secara dominan oleh perkembangan ekonomi pertaninan.
Secara lengkap tahun 1981, laju pertumbuhan ekonomi yang tercatat 7,6%
itu, diperoleh karena sector perdagangan dan industry naik 15,4%, lembaga
keuangan (perbankan) melaju 12% jasa lainya naik 10,1%, bangunan 9,6%,
pengangkutan 7,1% pertambangan 3,3% sedang sector pertanina hanya berhasil
naik 3,5%. Hingga sekarang perekonomian/pembangunan nasional Indonesia
sangat lemah tanpa bantuan penerimaan dari sector minyak. Keadaan itu akan
memaksa Indonesia terus memaligkan pandangan kepada negara-negara sahabat
yang berbaik hati dan mau memberi pinjaman. Pembayaran/cicilan utang luar
negeri yang sudah dilaksanakan oleh Indonesia sejak awal pelita III ini, adalah
utang-utang yang diterima oleh pemeintah Orde Baru.
21
STUDI KASUS:
22
405,1 triliun. Sebagian besar, atau nyaris 40% dari itu, dialokasikan untuk
pemulihan ekonomi nasional dengan alokasi Rp 150 triliun.
Dana tersebut nantinya akan masuk dalam postur APBN-P 2020. Tambahan
anggaran tersebut akan dialokasikan ke berbagai sektor, yakni:
1. Bidang Kesehatan Rp 75 triliun, meliputi perlindungan tenaga kesehatan,
pembelian alat kesehatan, perbaikan fasilitas kesehatan, dan insentif dokter
2. Jaring pengaman sosial atau Social Safety net Rp 110 triliun, yang akan
mencakup penambahan anggaran kartu sembako, kartu pra kerja, dan
subsidi listrik
3. Insentif perpajakan dan KUR Rp 70,1 triliun
4. Pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional Rp 150 triliun
Kebijakan ini akan tertera dalam Peraturan Presiden (Perpres) mengenai rincian
dari stimulus jilid III yang telah ditetapkan. Perpres ini merupakan turunan dari
Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) nomor 1 tahun 2020 yang telah
ditetapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) 31 Maret lalu.
23
Lalu dari mana sumber dananya?
Pemerintah menargetkan penerbitan SBN [Surat Berharga Negara] yang lebih
tinggi tahun ini. Atau naik Rp 160,2 triliun dari target APBN. Sehingga total
penerbitan SBN mencapai Rp 549,6 triliun.
Adapun pemerintah juga menarik pinjaman luar negeri sebesar Rp 5,7 triliun
dan pinjaman dalam negeri Rp 1,3 triliun. Serta, tidak lupa menerbitkan bond
atau surat utang baru atau Pandemic Bond. Nilainya mencapai Rp 449,9
triliiun.
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Didalam mencari pinjaman luar negeri, suatu negara hendaknya bersikap
hati-hati yaitu memcari pinjaman dengan syarat-syarat yang termurah secara
relative dalam perbandinganya dengan hasil produksi yang dapat dici[takan dari
pinjaman tersebut.
Dalam jangka pendek kapasitas memilkul beban utang itu sangat penting
dipengaruhi oleh fluktuasi dalam perdagangan internasional dan dalam jangka
panjang adalah sulit untuk menentukan karena tergantung pada berhasilnya
pembangunan ekonomi.
Pinjmanan yang diterima hendaknya dipergunakan seefisien mungkin dan
bersifat dapat membiayai sendiri (self financing), sehingga dalam jangka waktu
tertentu dapat menghasilkan devisa karena meningkatkan produksi ekspor dan
atau menghambat penggunaan devisa kaena adnya kegiatan impor substitusi.
Suatu pertimbangan yang sangat penting ialah pada masa mendapat
pinjaman yaitu dibayarkan. Semakinlama pokkok pinjaman itu dapat dibayar
dimasa yang akan dating dan semakin rendahnya tingkat bunga akan semakin
besarlah faedah atau manffat yang fiterima dan kesempatan untuk membangun
ekonomi negara debitur itu. Akhirnya semakin kuatlah kapasitas untuk memikul
beban pinjaman tadi.
Pinjaman ekonomi membantu mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan
menigkatkan investasi. Tetapi tingkat investasi mana yang dapat dikatan paling
baik adalah sulit ditentukan. Hamper disemua negara ada batasan investasi yaitu
bahwa setelah melewati batas waktu tertentu (KATAKANLAH 5 TAHUN),
kegiatan investasi pada proyek-proyek yang berguna tidak dapat meningkatkan
lebih lanjut tanpa menghasilkan pemborsan-peborosan pada setiap investasi
karena adanaya penurunan yang cepat dari produksi batas (marginal physicial
product).
25
Impor capital neto (setelah dikurangi bunga, keuntungan dan cicilan pokok
pinjaman) harus cukup untuk menaikan pendapatan. Untuk itu maka suatu negara
harus memperoleh pinjamn hanya sebesar tingkat yang layak sesuai dengan
kemampuanya menyerap capital (absortive capacity-nya) dan harus berlangsung
terus samap negara itu dapat benar-benar meningkatkan pendapatanya dan dapat
menciptakan tabungan yang kemudian disalurkan untuk investasi. Kemudian
untuk mengurangi atau mempersempit ksenjangan (gap) antara tabugan domestik
dan ivestasi harus ditempuh melalui system perpajakan dan penciptaan pasar
modal.
Pengalam Indonesia menunjukan bahwa Indonesia secara berangsur-
angsur harus membayar utang yang telah diatur sedemikian jauh. Pinjaman-
pinjaman baru hendaknya dalam jangka cukup pendek dapat memberikan hasil
yang dapat menunjang pembayaran utang-utang yang telah ditunda itu.
Syarat-syarat seperti itu merupakan batasan yang kaku untuk
menggunakan pinjaman pada luar negeri. Ini berarti bahwa cara yang peling
menguntungkan pada saat itu untuk memperbaiki ekonomi Indonesia adalah
melalui penarikan modal asaing untuk ditanam di Indonesia. Sebenarnya juga
banyak negara asing yang ingin menarik modal asing, tidak hanya Indonesia.
Hanya kelebihan yang dimilki Indonesia ialah masih banyak sumber-sumber alam
yang belum dimanfaatkan, tapi sayingnya hak usaha yang diberikan sering terlalu
pendek sehingga hal ini masih kurang menarik bagi investor-investor asing, dan
cendrung menguras habis sumberdaya alam yang ada. Sekarang masalahnya
bagaimana membuat biaya-biaya eksplotasi itu serndah mungkin sehingga dapat
menarik masuknya modal asing ke I ndonesia. Ini berarti bahwa “external
economies” harus mampu membuat biaya-biaya itu menjadi rendah.
Modal atau investasi asaing tidak hanya berguna untuk mengolah dan
memanfaatkan sumber-sumber alam tetapi juga untuk mengenalkan teknik-teknik
baru dan cara-cara serta pengolahan yang lebih baik. Melalui efek pamer
(demonstration effects) diharapkan ide-ide baru tersebut dapat cepat ditiru
dinegara-negara debitur. Dengan mengambil pertimbangan itu semua, jelasla
pemerintah hendaknya mengikuti strategi penggunaan dana yang terbatas
26
jumlahnya itu untuk menciptakan suatu “external economies” yang luas untuk
mendorong investasi-investasi swasta yang lebih besar baik nasional maupun
asing. Akhirnya pinjaman luar negeri hendaknya digunkan hanya pada bidang-
bidang kegiatan yang jelas-jelas tidak menarik bagi investor swasta asing.
27
Daftar Pustaka
Gian Asmara, Chandra & Cantika Adinda Putri. 2020. Stimulus RI Rp 405 T
untuk Perang Lawan Corona. CNBC Indonesia, 31 Maret 2020. Jakarta.
Suparmoko. 200. Keuangan Negara dalam Teori dan Pratik Edisi 5. Yogyakarta:
BPFE-Yogyakarta
28