Anda di halaman 1dari 120

SKPRIPSI

PERSISTENSI DAN RESISTENSI MASYARAKAT TERHADAP


EKSISTENSI PERTAMBANGAN EMAS DI DESA BONTO KATUTE
KABUPATEN SINJAI

A. HAMZAH KURNIAWAN
E51109256

Skripsi ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
HALAMAN PENGESAHAN

JUDUL : PERSISTENSI DAN RESISTENSI MASYARAKAT


TERHADAP EKSISTENSI PENAMBANGAN EMAS
DESA BONTO KATUTE KABUPATEN SINJAI
NAMA : A. HAMZAH KURNIAWAN
NIM : E 511 09 256

Telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing I danPembimbing II


Untuk diajukan pada Tim Penguji Skripsi Jurusan Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. H. HamkaNaping_MA__ Dr. TasrifinTaharaM.Si___


NIP. 19611104 198702 1 001 NIP. 19750823 200212 1 002

Mengetahui,
Ketua Jurusan Antropologi
FISIP UNHAS

Dr. Munsi Lampe, MA____


NIP. 19561227 198612 1 001
HALAMAN PENGESAHAN

JUDUL : PERSISTENSI DAN RESISTENSI MASYARAKAT


TERHADAP EKSISTENSI PENAMBANGAN EMAS
DESA BONTO KATUTE KABUPATEN SINJAI

NAMA : A. HAMZAH KURNIAWAN

NIM : E 511 09 256

JURUSAN : ANTROPOLOGI

PROGRAM STUDI : ANTROPOLOGI SOSIAL

Menyetujui:

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. H. HamkaNaping_MA__ Dr. TasrifinTaharaM.Si___

NIP. 19611104 198702 1 001 NIP. 19750823 200212 1 002

Mengetahui:
Ketua Jurusan Antropologi
Fisip Unhas

Dr. Munsi Lampe, MA


NIP. 195612271986121001
HALAMAN PENERIMAAN

Telah diterima oleh panitia ujian skripsi Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar, pada hari Jumat, tanggal 17

bulan oktober tahun 2013 dan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

(S1).

Makassar, 17 Oktober 2013

Panitia Ujian

Ketua : Prof. Dr. H. HamkaNaping_MA (………………………..)

Sekretaris : Dr. Tasrifin Tahara M.Si (………………………..)

Anggota : 1. Prof. Dr. H. Pawennari Hijjang, MA (………………………..)

2. Drs. Yahya MA (………………………..)

3. Safriadi, S.IP, M.Si (………………………..)


ABSTRACK

Department of nthropology
Faculty of Social and PoliticalSciences
UniversitasHasanuddin
Thesis, Juny 2013

A. HamzahKurniawan
"Persistence and Resistance Community to existence Gold Mining in
BontoKatute, Sinjai"

The result of research indicated that after established exploration permits of


mining, commonly the Bonto Katute villagers and the existence of gold mining
which entered the stage of exploration.
This research uses descriptive qualitative method to gather material
information or data systematically about the way of life, reason and various forms
of activity (response) relating to the existence of gold mining in Bonto Katute.
These results indicate that once established mining exploration permits in
general society divided Bonto Katute community groups that support the
(persistence) and the people who resist (resistance) against mining. Those who
support mining is the entire apparatus of the village along with his immediate
family. With a variety of reasons like, because this activity is still limited to
exploration, and because it was an order from the local government. While those
who refuse divided into two citizens and actively involved (discussions,
campaigns and actions), and who reject the passive position (declined to comment
for fear).the reason they refused mining fricative, ranging from economic, social,
and cultural values that will eventually be degraded.

Keywords: Persistence, Resistance, and Mining.


ABSTRAK

JurusanAntropologi
FakultasIlmuSosialdanIlmuPolitik
UniversitasHasanuddin
Skripsi, Mei 2013

A. Hamzah Kurniawan
“Persistensi dan Resistensi Masyarakat terhadap Eksistensi Pertambangan
Emas di Desa Bonto Katute, Kabupaten Sinjai”

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa faktor dan bentuk dari
persistensi dan resistensi masyarakat desa Bonto Katute terhadap eksistensi
penambangan emas yang sudah memasuki tahap eksplorasi
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan
mengumpulkan bahan keterangan atau data secara sistematik mengenai cara
hidup, alasan serta berbagai bentuk aktivitas (respon) masyarakat yang berkaitan
dengan eksistensi penambangan emas di Desa Bonto Katute.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setelah ditetapkan izin eksplorasi
penambangan secara umum masyarakat Desa Bonto Katute terbagi manjadi dua
kelompok yakni masyarakat yang menerima kemudian mendukung (persistensi)
dan masyarakat yang menolak (resistensi) terhadap eksplorasi penambangan
emas. Mereka yang mendukung penambangan adalah seluruh aparatur Desa
beserta keluarga dekatnya. Dengan berbagai alasan seperti, karena kegitan ini
masih sebatas eksplorasi, dan karna ini sudah merupakan perintah dari pemerintah
daerah. Sementara mereka yang menolak terbagi menjadi dua yakni warga dan
terlibat secara aktif (diskusi, kampanye dan aksi), dan yang menolak dalam posisi
passif (menolak berkomentar karena takut). alasan mereka menolak
penambangnpun berfaritif, mulai dari faktor ekonomi, sosial, dan nilai-nilai
budaya yang kelak akan mengalami degradasi.

Kata Kunci : Persistensi,Resistensi,dan.Penambangan,


KATA PENGANTAR

Segala puji senantiasa penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang

tiada hentinya menganugerahkan rahmat serta hidayah kepada hamba-Nya. Salam

salawat dan taslim tidak lupa penulis kirimkan kepada junjungan nabi besar

Mmuhammad SAW, beserta para keluarga, sahabat dan pengikutnya. Merupakan

nikmat yang tiada ternilai manakala penulisan skripsi yang berjudul “Persistensi

dan Resistensi Masyarakat terhadap Eksistensi Pertambangan Emas di Desa

Bonto Katute Kabupaten Sinjai” ini dapat terselesaikan dengan baik yang

sekaligus menjadi salahsatusyarat untuk menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar. Banyak kendala yang

dihadapi dalam penyelesaian skripsi ini, namun berkat bantuan baik itu tenaga,

moril dan materi dari berbagai pihak sehingga Syukur Alhamdulillah skripsi ini

dapat terselesaikan.

Sujud hormat dan sayang yang sebesar-besarnya kupersembahkan skripsi

ini terkhusus kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda Drs. H Abdul Karim,

dan Ibunda saya Dra, Hj. Siti Ramlah Kantao. Terima kasih atas segala kasih

sayang, pengorbanan, kesabaran, dukungan, semangat, dan do’a restu disetiap

langkah ini, yang tak ternilai hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, kiranya amanah yang

diberikan kepada penulis tidak tersia-siakan.

Dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis

menyampaikan penghargaan dengan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya

kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Hamka Naping MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin yang juga sebagai Penasehat

Akedemik penulis selama penulis mengikuti pendidikan di Universitas

hasanuddin serta sebagai Pembimbing I dalam penyelesaian skripsi ini.

2. Bapak Dr, Munsi Lampe MA sebagai Ketua jurusan Antropologi, Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin.

3. Bapak Dr. TasrifinTahara M.Si, sebagai pembimbing II penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini, atas segalaketulusan dan semangat serta kesabaran

yang rela meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan

hingga selesainya penulisan skripsi ini penulis ucapkan banyak terima kasih.

4. Jajaran Dosen FISIP UNHAS dan terutama Dosen Jurusan Antropologi

Universitas Hasanuddin yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang

sangat berharga selama penulis mengikuti pendidikan di FISIP UNHAS.

5. Kepada saudara-saudarasayakakak dr. A. Muh. Akram Kastiran dan adik-

adik saya A. Ayudiah Mutmainnah dan A. Ainun Mahatma Karim,

terimakasih atas bantuan dan dukungannya selama penyelesaian studi di

FISIP UNHAS

6. Kepala Desa Bonto Katute beserta warga Desa Bonto Katute yang telah

memberikan bantuan selama masa penelitian,.

7. Kepada Saudara-Saudara Seangkatan di Jurusan Antropologi UNHAS

2009, yang telah banyak memberikan cerita dan semangat dalam penyelesaian

study di FISIP UNHAS


8. Kawan-kawan SRM (Sanggar Rakyat Merdeka), yang telah memberikan

bantuan dan dukungannya.

9. Kepada sahabat penulis Radinal Saputra SP yang telah meluangkan waktu

dan tenaganya untuk menemani penulis selamaberada di lokasi penelitian

10. Tidak terlupakan buat semua orang yang tidak sempat penulis sampaikan yang

telah mendukung, membantu serta memberikan motivasi selama ini.

Semoga segala bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis

mendapat balasan dari Allah SWT. Akhirnya menyadari sepenuhnya bahwa

skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga saran dan kritik penulis

sangat harapkan demi penyempurnaan penulisan ini.

Makassar, Juni 2013

Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PENGESAHAN ii
ABSTRACT iii
ABSTRAK iv
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI viii
DAFTAR GAMBAR x
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 . Latar Belakang 1
1.2 . Rumusan Masalah 5
1.3 . Tujuan Penelitian 5
1.4 . Manfaat Penelitian 5
1.5 . Metode Penelitian
1.5.1. Tipe Penelitian 6
1.5.2. Penentuan Lokasi Penelitian 7
1.5.3. Teknik Pemilihan Informan 8
1.5.4. Teknik Pengumpulan Data 11
1.6. Analisis Data 14
1.7. Defenisi dan Batasan Operasional 15
1.8.1. Sistematika Penulisan 16
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Persistensi Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Alam 17
2.2. Resistensi Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Alam 19
2.3. Eksistensi Penambangan Emas 23
2.3.1. Definisi Tambang 24
2.3.2. Tahapan Tambang 25
2.3.3. Penggolongan Hasil Tambang 26
2.4. Masyarakat Sekitar Pengelolaan Sumber dayaAlam 28
2.5. Penelitian Terdahulu 31
2.6. Kerangka Konseptual 34
BAB III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1. Letak dan Kondisi Geografis Desa Bonto Katute 36
3.2. Kondisi Demografi Desa Bonto Katute 37
3.2.1. Kondisi Pendidikan Masyarakat 38
3.2.2. Kondisi Perkonomian Masyarakat 43
3.2.3. Kesehatan Masyarakat 44
3.2.4. Pranata Sosial 45
3.3. Rencana Penambangan Emas Desa Bonto Katute 48
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Sejarah Masuknya Penmbangan Emas 54
4.2. Persistensi Terhadap Penambangan 75
4.2.1. Faktor-faktor Persistensi 78
4.2.2. Bentuk-bentuk Persistensi 80
4.3. Persistensi Terhadap Penambangan 82
4.3.1. Faktor-faktor Resistensi 83
4.3.2. Bentuk-bentuk Resistensi 88
BAB V. DAFTAR PUSTAKA
5.1. Kesimpulan 105
5.2. Saran 107
DAFTAR PUSTAKA xi
LAMPIRAN xii

\
DAFTAR GAMBAR

No. Uraian Halaman

Gambar 1. : Kerangka Konsep 35

Gambar 2. : PAUD dan TPK Buah Katute Sinjai Borong 39

Gambar 3. : SD Negeri 250 Maroanging Sinjai Borong 40

Gambar 4. : Pustu Bonto Katute. 45

Gambar 5. : Lokasi TMMD ke 90 Desa Bonto Katute 52

Gambar 6. : Kegiatan Kerja bakti 61

Gambar 7. : Galian Eksplorasi Pertambangan 68

Gambar 8. : Posko Penolakan Tambang 87

Gambar 9. : Perkampungan Desa Bonto Katute 88

Gambar 10. : Acara Silahturahmi Antar Warga 90

Gambar 11. : Aksi Demonstrasi Penolakan Tambang 91

Gambar 12. : Aksi Demonstrasi Front Gertak 93

Gambar 13 : Dialog Terbuka di Kantor DPRD KabupatenSinjai 94

Gambar. 14. : Aksi Demonstrasi oleh Mahasiswa Sinjai 95

Gambar 15 : Aksi Demonstrasi di Pusat Kota Kabupaten Sinjai 96

Gambar 16 : Aksi Demonstrasi di Jalan A.P.Petta Rani Makassar 97


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lingkungan hidup beserta sumber daya alam yang terkandung didalamnya

seyogyanya merupakan faktor utama yang memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap proses dinamika bermasyarakat, Sebab hubungan manusia dengan alam

sekitar sangatlah erat kaitannya, bagaimana keadaan alam berpengaruh terhadap

berbagai hal dalam kehidupan manusia seperti misalnya tingkah laku manusia

dalam bermasyarakat, pola makan, kesehatan, laju kematian, tingkat fertilitas dan

lain-lain. Keadaan alam dan tanah juga berhubungan erat dengan sistem mata

pencaharian penduduk (Koentjaraningrat, 1990). Oleh karenanya itu pemanfaatan

sumeber daya alam haruslah dilakukan dengan penuh pertimbangan kemanusiaan

yang adil dan beradab, guna untuk mensejahterakan masyarakat.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam. Sumber

daya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup

manusia. Hilangnya atau berkurangnya ketersediaan sumberdaya tersebut akan

berdampak sangat besar bagi kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi

(Fauzi, 2004). Kekayaan sumberdaya alam Indonesia ini pula yang menyebabkan

negara kita dijajah selama berabad-abad oleh Negara Belanda dan juga selama

tiga setengah tahun oleh Negara Jepang.

Salah satu sumberdaya alam yang kita miliki adalah mineral emas dan

perak, yang termasuk dalam golongan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui
(non renewable). Sektor pertambangan merupakan salah satu andalan untuk

mendapatkan devisa dalam rangka kelangsungan pembangunan negara.

Kegiatan pertambangan pada dasarnya merupakan proses pengalihan

sumberdaya alam menjadi modal nyata ekonomi bagi negara dan selanjutnya

menjadi modal sosial. Modal yang dihasilkan diharapkan mampu meningkatkan

nilai kualitas insan bangsa untuk menghadapi hari depannya secara mandiri.

Dalam proses pengalihan tersebut perlu memperhatikan interaksi antara faktor

sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup sehingga dampak yang terjadi dapat

diketahui sedini mungkin (Soelistijo, 2005).

Dampak dari kegiatan pertambangan menurut Muhammad dalam Sulto

(2011) dapat bersifat positif bagi daerah pengusaha pertambangan, sedangkan

Noor dalam Sulto (2011) mengatakan bahwa kegiatan pertambangan bersifat

negatif terhadap ekosistem daerah setempat. Munculnya dampak positif maupun

negatif dari usaha pertambangan, terjadi pada tahap eksplorasi, eksploitasi hingga

apa yang akan terjadi setelah penambangan selesai tidak akan bisa terpisahkan

dari kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar dan oleh karenanya itu dalam

proses pengelolaannya haruslah memperhitungkan berbagai macam dampak yang

akan ditimbulkan dari proses penambangan tersebut, maka dari itu diperlukan

kontrol yang kuat dari seluruh steakeholder (perusahaan, pemerintah dan seluruh

masyarakat), untuk mencegah kemerosotan lingkungan dan sumber daya alam

dengan maksud agar lingkungan dan sumber daya alam tersebut tetap terpelihara

keberadaan dan kemampuan dalam mendukung berlanjutnya pembangunan kelak,

seperti yang telah dipesankan oleh Ir. Soekarno, Mantan Presiden Republik
Indonesia dalam pidato Tri Sakti 1963 yang menganjurkan agar kekayaan alam

Negara ini tetap tersimpan di perut bumi, hingga Saat putra-putri bangsa

indonesia sudah mampu untuk mengelolahnya sendiri.

Selain itu sejak era reformasi dengan adanya otonomi daerah, pemberian

wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan

ekonomi kebijakan dalam sumberdaya alam di wilayahnya (Soelistijo, 2008).

Melalui otonomi tersebut juga diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam

menentukan setiap kegiatannya tanpa ada intervensi dari pemerintah pusat dan

dengan jelas telah memberikan pengaruh yang sangat berbeda dibandingkan di era

soekarno hingga era sentralisasi ordebaru sebelumnya. Pemerintah daerah yang

kini memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan segala potensi sumberdaya alam di

daerahnya, dengan pertimbangan bahwa pemerintah daerah akan jauh lebih tahu

bagaimana cara memperlakukan wilayahnya, dengan hak otonomi tersebut

pemerintah setempat kiranya berhak dengan kebijakan menerima atau menolak

semua pihak swasta atau industri yang ingin berinfestasi didaerahnya, dan dalam

proses pengelolaan dan pemanfaatkan sumberdaya alam wilayahnya pun dapat

sekaligus mengontrol jalannya proses pertambangan tersebut.

Seperti yang ada disebagian wilayah di Kecamatan Sinjai Borong,

Kabupaten Sinjai yang sejak tahun 2008 lalu. Izin eksplorasi terhadap wilayah ini

sebagai area penelitian kandungan mineral bumi (tembaga mulia/emas) yang

dikuasakan kepada PT. Galena Sumber Energi sudah dikeluarkan. kemudian

diperpanjang pada November 2010 berlaku sampai November 2013 (SK Bupati

Sinjai No: 402 Tahun 2010), yang sejak awal kegitan eksplorasi ini sudah
menuai protes dari warga setempat yg tidak setuju kalau lahan garapannya

dijadikan sebagai tempat penelitian eksploitasi, sebab lokasi yang kelak dijadikan

tempat pertambangan tersebut dianggap oleh warga sekitar sebagai hutan adat,

tanah nenek moyang yang diberikan secara turun temurun dan dimanfaatkan

sebagai sumber mata pencaharian warga sekitar, yang oleh pemerintah setempat

sudah ditetapkan sebagai hutan lindung sejak bulan agustus 1995 silam, tanpa

sepengetahuan masyarakat sekitar ini telah memberikan beberapa pengaruh yang

cukup signifikan terhadap polah tingkahlaku interaksi antar masyarakat di

kecamatan Sinjai borong seperti sikap persistensi dan resistensi terhdap sesuatu

yang baru.

Proses eksplorasi penambangan emas di Kecamatan Sinjai Borong yang

telah dilakukan sejak bulan november 2008 ini telah memberikan beberapa

dampak atau pengaruh padah polah tingkah laku masyarakat dalam kehidupan

sosialnya yang disebabkan oleh pemahaman dan kepentingan yang berbeda dan

teremplementasikan pada sikap presistensi dan risestensi terhadap eksistensi

sesuatu yang baru dalam lingkungannya. inilah yang menjadi alasan penulis

tertarik untuk dijadikan sebagai bahan penelitian dalam penyusunan tugas akhir

(skripsi) sebagai syarat gelar S1 (Strata Satu) pada Jurusan Antropologi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Dengan mengangkat judul “Persistensi dan

Resistensi Masyarakat terhadap Eksistensi Pertambangan Emas di Desa

Bonto Katute, Kabupaten Sinjai”


1.2. Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam

penelitian ini adalah:

1. Mengapa masyarakat menerima keberadaan tambang di Desa Bonto

Katute Kabupaten Sinjai?

2. Mengapa masyarakat menolak keberadaan tambang di Desa Bonto

Katute Kabupaten Sinjai?

3. Apa bentuk-bentuk persistensi dan risestensi masyarakat tehadap

eksistensi penambangan emas?

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah

untuk:

1. Mengetahui mengapa masyarakat menerima keberadaan tambang di

Desa Bonto Katute KabupatenSinjai

2. Mengetahui mengapa masyarakat menolak keberadaan tambang di

Desa Bonto Katute Kabupaten Sinjai

3. Mengetahui bentuk-bentuk persistensi dan risestensi masyarakat

tehadap eksistensi penambangan emas

1.4. Manfaat Penelitian

Dengan penelitian yang dilakukan ini, mampu memberikan manfaat yang

antara lain adalah :


1. Menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya mengenai faktor dan

bentuk persistensi dan resistensi masyarakat di Desa Bonto Katute,

Kabupaten Sinjaiterhadap eksistensi pertambangan emas.

2. Sebagaibahan penelitian dalam penyusunan tugas akhir (skripsi) sebagai

syarat gelar S1 (Strata Satu) pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.

3. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Sinjai dalam

meningkatkan taraf sosial ekonomi masyarakat di daerah pedesaan.

4. Sebagai referensi bagi peneliti lainnya yang berminat untuk mengkaji

dalam bidang yang sama dengan pendekatan dan ruang lingkup yang

berbeda.

1.5. Metode Penelitian

1.5.1. Tipe Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, Suparlan (dalam Suwardi,

2003) menyatakan bahwa penelitian kualitatif sama dengan penelitan

etnografi yang pengumpulan bahan keterangan atau data yang

dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai

aktivitas sosial yang berkaitan dengan itu dan berbagai benda

kebudayaan dari sesuatu masyarakat, yang berdasarkan bahan-bahan

keterangan tersebut dibuat deskripsi mengenai kebudayaan tersebut.

Dalam deskripsi mengenai kebudayaan tersebut tercakup deskripsi

mengenai makna dari benda-benda, tindakan-tindakan dan peristiwa


yang ada dalam kehidupan sosial mereka, menurut kaca mata mereka

yang menjadi pelaku-pelakunya.

Bungin (2008) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah

penelitian studi kasus yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkas

berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas

sosial yang ada dalam masyarakat menjadi objek penelitian yang

berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter,

sifat, model, tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun

fenomena tertentu. Selain untuk mendiskripsikan dampak eksplorasi

penambangan emas terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat

1.5.2. Penentuan Lokasi Penelitian,

Lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan

asumsi bahwa Desa Bonto Katute merupakan salah satu desa di

Kabupaten Sinjai yang memiliki jumlah penduduk yang paling banyak

di KecamatanSinjai Borong ini dan karakter penduduk yang sesuai

dengan kebutuhan data yang diinginkan dalam penulisan, sebab seluruh

wilayah di desa ini sudah ditetapkan sebagai daerah eksplorasi

penambangan. Dengan pertimbangan tersebut dan juga karena penulis

adalah warga asli Kabupaten Sinjai sehingga memudahkan bagi penulis

untuk meneliti dan lebih mudah mengakses tempat yang potensial

karena penulis sendiri sudah banyak mengenal daerah tersebut. Dan dari

masalah pembiayaan, peneliti juga tidak perlu mengeluarkan banyak

anggaran, dengan kemudahan ini, diharapkan peneliti dapat melakukan


penelitian dengan penuh kemudahan dan punya semangat serta motivasi

untuk menyelesaikannya.

1.5.3. Teknik Pemilihan Informan

Informan yang merupakan sumber data dari informasi yang

diinginkan untuk kebutuhan penulisan. Untuk mendapatkan informan,

peneliti memilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan

bahwasanya informan yang terpilih nantinya kelak bisa memberikan

informasi yang dapat mewakili sebagian aspirasi, perasaan dan

pertimbangan masyarakat secara objektif. Informan yang di wawancarai

juga nantinya, tidak terbatas sesuai dengan kebutuhan data yang

dinginkan, jika data yang didapat sudah dianggap cukup, dengan

pertanyaan dan jawaban yang relevan dengan masalah, wawancara pada

saat itu dihentikan. Tetapi jika data yang didapatkan tidak cukup

relevan dengan masalah, peneliti akan mencari informasi yang relevan

dari informan lain, sesuai dengan kebutuhan dari penelitian ini.

Informan yang penulis butuhkan akan dikelompokkan dengan beberapa

kategori yakni:

a. Informan dari sebagian masyarakat Desa Bonto Katute yang

memberikan informasi dan alasan mendukung adanya eksplorasi

penambangan emas:

1. Warga Desa Bonto Katute atas nama Salim (43 tahun), sebagai

Kepala Dusun Bolalangiri di Desa Bonto Katute, pernah


menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat yang setara dengan

SD (sekolah dasar).

2. Mare (43 tahun), pernah menempuh pendidikan di Sekolah

Rakyat, yang saat ini bekerja sebagi ibu rumah tangga dan

berkebun, lokasi rumahnya tebat berseblahan dengan rumah

Kepala Desa Bonto Katute.

3. Masri (36 tahun) , terakhir menempuh pendidikan di SMK

Negeri 1 Bulukumba dan lulusan pada tahun 1997 , beliau

adalah Mantan Kepala Desa Bonto Katute sejak 2001-2011 yang

tidak lain adalah suami dari kepala desa yang menjabat

sekarang.

4. Aco (40 tahun) adalah seorang pamong desa, atau yang paling

disegani di Desa Bonto katute, selain berkebun, beliau juga

memilikih banyak lahan pertanian, tidak pernah menempuh

pendidikan, dan merupakan keluarga dekat kepala Desa Bonto

Katute

5. Iwan (25 tahun) adalah mahasiwa STIP Muhammadiayah

Sinjai, iwaan merupakan warga, asli Desa Bonto Katute yang

saat ini berdomisili di ibu kota Kabupaten Sinjai

6. Darmawati (33 tahun), Pendidikan Akhir pernah menempuh

pendidikan di SMA Neg 1 Sinjai Selatan, yang saat ini

menjabat sebagai kepala Desa Bonto katute sejak 2011-

sekarang
b. Informan dari sebagian masyarakatDesa Bonto Katute yang

memberikan informasi terkait dengan penolakan adanya eksplorasi

penambangan emas.

1. Warga Desa Bonto Katute atas nama Rudi (40 tahun), pernah

dan lulus di SMEA Neg 1 Sinjai Utara, beliau adalah mantan

kepala dusun Bolalangiri, selain aktif bersosialisasi dengan

warga yang menolak tambang, dia juga merupakan salah satu

pengurus Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) AMAN Sulawesi

Selatan

2. Yusuf (39 tahun), pendidkan akhir adalah Sekolah Dasar

pekerjaan sehari-hari adalah petani

3. Rahma (38 tahun), adalah sebuah ibu rumahtangga yang juga

adalah ipar dari pak Rudi (Mantan Kepala Dusun Bolalangiri)

4. Samiati (32 tahun), pendidikan akhir adalah Sekolah Dasar

sekarang bekerja sebagai ibu rumah tangga dan berkebun

5. Hamzah (27 tahun), lulus di Sekolah Dasar Maroanging,

sekarang bekerja sebagai seorang petani. Dan selain itu saat ini

dia aktif di Komomonitas Masyarakat Penolakan Tambang

Katute.

6. Saleh (24 tahun), adalah warga asli Desa Bonto Katute yang

saat ini menjalai pendidika di STISIP Muhammadiah Sinjai

dan Sekarang berdomisili di Ibu Kota Kabupaten Sinjai.


7. Rusdi (27 tahun), warga asli Desa Bonto Katute yang

berprofesi sebagai betani dan pernah bersekolah di PAUD

Desa Bonto Katute selama 3 (tiga) tahun, dan saat ini menjadi

Ketua Komonitas Masyarakat Desa Penolak Tambang di Desa

Bonto Katute.

1.5.4. Teknik Pengumpulan Data

A. Studi Kepustakaan

Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara menelaah dan

mengkaji berbagai literature-literatur yang berkenaan dengan judul

penelitian dan masalah penelitian dengan fokus “strategi adaptif”.

Studi mencakup buku-buku dan hasil penelitian yang relevan dengan

masalah penelitian, serta pencarian situs-situs internet yang berkaitan

dengan masalah ini, seperti:

a. Harian Fajar

Tanggapan-tanggapan Pemerintah Daerah Kabupaten Sinjai

terkait masalah penambangan dengan mengakses melalui

internet situs www.fajar.co.id

b. Tribun Timur

Tanggapan Masyarakat dan dokumentasi aksi demonstrasi

penolakan tambang yang dilakukan oleh masyarakat bersama

dengan mahasiswa Kabupaten Sinjai yang di akses melalui situs

www. makassar.tribunnews.com
c. AMAN Sulawesi Selatan

Artikel mengenai dampak penambangan dan reklamasi hutan

adat yang diakses melalui www.aman_sulsel.or.id

d. WALHI Sulawesi Selatan

Artikel mengenai pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA)

Hutan, yang diakses melalui situs www.walhi-

sulsel.blogspot.com/

e. BPS Kabupaten Sinjai 2012

Data-data mengenai kondisi kependudukan Desa Bonto Katute

yang diperoleh diKantor Statistik Kabupaten Sinjai, dalam

sebuah buku statistik (Sinjai Dalam Angkah 2012).

f. Front GERTAK (Gerakan Tolak Tambang Katute)

Artkel dan dokumentasi aksi penolakan penambangan selain

mengakses melalui internet di situs www.facebook.com/gerta.k

juga diperoleh dari kunjungan sekretariat Frot GERTAK

Kabupaten Sinjai di Jalan Teratai lorong II, nomor 14,

Kabupaten Sinjai.

B. Pengamatan (observation)

Pengamatan ini dilakukan untuk melihat atau mengamati

peristiwa-peristiwa dan terlibat langsung dengan kondisi-kondisi

yang terjadi pada saat melakukan penelitian, seperti

mengidentifikasieksistensi pertambangan emas yang sudah

direncanakan oleh pemerintah setempat yang saat ini telah memasuki


tahap eksplorasi. aktifitas eksplorasi pertambangan yang dikuasakan

kepada PT. Galena Sumber Energi dikeluarkan pada Bulan

November 2008, kemudian diperpanjang pada November 2010

berlaku sampai November 2013 berdasarkan SK Bupati Sinjai No:

402 Tahun 2010, kini sudah mulai melakukan perbaikan

infrastruktur, seperti pelebaran jalan untuk mempermudah akses

menuju perkampungan dan atau lokasi eksplorasi penambangan ini.

Selain itu agar peneliti dapat memahami situasi-situasi yang

berkenaan dengan penelitian ini, pengamatan juga dilakukan pada

prilaku sosial, dan untuk lebih meyakinkan lagi peneliti turut serta

perpartisipasi aktif dalam kegitan-kegiatan masyarakat, sehingga

peneliti dapat memahami masyarakat yang di teliti dengan baik.

Seperti pada kegiatan kerja bakti yang rutin dilakukan tiapa minggu

selama penelitian berlangsung peneliti turut ikut serta dalam kegiatan

ini.

C. Wawancara Mendalam (depth interview)

Wawancara ini dimaksudkan untuk dapat menggali informasi

dari informan dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan

kebutuhan dari penelitian ini, wawancara dalam penelitian kali ini

dimulai dari menjelaskan apa alasan seorang informan menerima

atau menolak keberadaan penambangan, lalu kemudian dari jawaban

informan inilah pertanyaan-pertanyaan perikutnya muncul. Dalam

penelitian ini peneliti sengaja tidak menggunakan pedoman


wawancara (depth interview) dengan maksud untuk menciptakan

suasana yang santai dan nyaman menghindari ketegangan informan

pada saat melakukan wawancara atau dalam memberikan informasi-

informasi berkenaan data-data yang diperluka dalam penelitian.

1.6. Analisis Data

Analisis data pada penelitian kualitatif dimulai dari pengumpulan data

sampai kepada penarikan kesimpulan penelitian. Oleh karena itu peneliti

merupakan instrument utama dalam penelitian. Data yang telah dikumpulkan

setiap hari selama penelitian akan dibuatkan laporan lapangan, untuk

mengungkapkan data apa yang masih perlu dicari, pertanyaan apa yang belum

dijawab, metode apa yang harus digunakan untuk mendapatkan informasi

baru, dan kesalahan apa yang perlu diperbaiki, serta data yang mana yang

tidak diperlukan.

1.6.1 Reduksi Data

Data yang diperoleh dilapangan langsung diketik dengan rapi, terinci

secara sistematis setiap selesai mengumpulkan data.Laporan lapangan

direduksi, yaitu dengan memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan

masalah penelitian, selanjutnya dirangkum sesuai dengan kebutuhan

informsi yang spesifik termasuk (1) proses pemilihan data atas dasar

tingkat relevansi dan kaitannya dengan setiap kelompok data, (2)

menyusun data dalam satuan-satuan sejenis. Pengelompokkan data

dalam satuan yang sejenis ini juga dapat diekuivalenkan sebagai


kegiatan kategorisasi/variabel, (3) membuat koding data sesuai dengan

kisi-kisi kerja penelitian

1.6.2. Pengambilan Kesimpulan

Sejak dimulainya penelitian, peneliti berusaha mencari makna dari

data yang diperolehnya, sesuai dengan tujuan penelitian kualitatif yang

dikatakan oleh Bungin (2008) yakni untuk mencari ciri, karakter, sifat,

model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, dan hal-hal yang

sering muncul maka ditarik kesimpulan, kemudian dilakukan verifikasi

secara terus-menerus setiap kali memperoleh data baru, hingga

kesimpulan yang diambil menjadi semakin jelas.

1.7. Definisi dan Batasan Operasional

1. Persistensi(persistency) adalah suatu sikap tidak mudah mengalah

terhadap sebarang halangan, dugaan, cabaran dan masalah dalam

merealisasikan sesuatu matlamat atau dalam kata lain mendukung.

2. Resistensi adalahResistensi sendiri merupakan sebuah fenomena yang

merujuk kepada situasi sosial dimana pihak-pihak yang dirugikan

dalam struktur sosial masyarakat kemudian melakukan perlawanan

terhadap pihak-pihak yang merugikannya.

3. Eksistensi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Purwo Darminto

(2002) adalah keberadaan, kehadiran yang mengandung unsur

bertahan.
4. Masyarakat desa didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang hidup

dan bertempat tinggal di wilyah pedesaan (Soedjatmoko dalam Sulto

2011)

5. Pertambangan adalah industri dimana bahan mineral yang ada dalam

perut bumi diproses dan dipisahkan dari material yng tidak diperlukan.

1.8. Sistematika Penulisan

Tulisan ini disusun secara sistematis ke dalam beberapa bab, dan

setiap, bab terdiri sub-sub bab, dan disusun sebagai berikut

Bab I : Memuat bab pendahuluan yang didalamnya diuraikan mengenai

latar belakang masalah, rumusan masalah, kerangka konseptual,

tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

Bab II : Berisi kajian pustaka yang memaparkan studi-studi atau tulisan-

tulisan yang memiliki hubungan dengan permasalahan penelitian

yang akan dikaji

Bab III: Memuat tentang gambaran umum lokasi penelitian yang

mencakup lokasi penelitian, keadaan geografi dan alam, keadaan

deografi, keadaan sosial budaya dan ekonomi, dan sistem

kepercayaan

Bab IV: Memuat pembahasan dan hasil penelitian berisikan hasil-hasil

penelitan yang didapatkan di lokasi penelitian serta penjelasan dan

data-data yang didapatkan.

Bab V :Berisi kesimpulan dan saran


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Persistensi Terhadap pengelolaan Sumber Daya Alam

Persistensi (persistency) adalah suatu sikap tidak mudah mengalah

terhadap sebarang halangan, dugaan, cabaran dan masalah dalam merealisasikan

sesuatu matlamat. Persistensi hamper sama dengan dengan konsistensi, yaitu

melakukan sesuatu dengan cara terus menerus, namun dalam persistensi ini

mengupayakan bagai mana cara untuk mempertahankan konsistensi tersebut,

Melakukan pertahan atau bertahan dengan segala macam halangan dan

penolakan merupakan tujuan utama dari sikap persistensi, hal ini banyak dan

sering digunakan untuk mereka yang sedang mempertahankan kekuasaan,

menggapai suatu ambisi, dan tujuan yang ingin dicapai. Kegiatan pemanfaatan

dan pengaturan sumberdaya alam tidak dapat terlepaskan dari konsep siapa berhak

atas sumber daya tersebut (Purwanto, 2007), dalam hal ini berdasarkan

kewenangan yang tadinya didominasi oleh pemerintah pusat, sebagian besar telah

dideligasikan kepada pemerntah daerah, oleh kerenanya itupemerintah setempat

harus memiliki sumber keuangan yang cukup, yang oleh pemerinta setempat

sering dipersepsikan kecukupan sumber-sumber penerimaan bagi mereka atau

Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan porsi yang lebih besar dibandingkan Dana

Alokasi Umum (DAU).

Orientasi PAD sering menjadi alasan pemerintah setempat untuk

mengelolah sumber daya alamnya oleh pemerintah yang terkadang “menutup

mata” pemerintah terhadap sumberdaya alam yang dimilikinya misalnya


implementasi kebijakan yang dilaksanakan dilapangan tidak sesuai dengan

komitmen yang dikemukakansaat perencanaan , contohnya pada Juni 2006 lalu

telah terjadi banjir bandang dan tanah longsor yang menelan korban jiwa 214

orang dan korban hilang mencapai 45 orang dikabupaten sinjai. Sedangkan jumlah

pengungsi Tertanggal 26 Juni 2006 mencapai 6.400 orang (BNPB Sulawesi

Selatan), ini adalah salah satu akibat dari ketidak sigapan pemerintah dalam

mengantisipasi peluang bencana sejak dini.

Dalam pembangunan dewasa ini, pemerintah dihadapkan kepada dua tugas

berat, yang kedua-duanya memerlukan penanganan yang arif dan bijaksana.

Kedua tugas berat itu adalah penegakan dan pelaksanaan pembangunan. Kedua

tugas berat itu, haruslah diletakkan pada titik keseimbangan dan keserasian yang

saling menunjang Sejauh ini pemerintah Indonesia sendiri berusaha untuk

menjalankan kewajibannya sehubungan dengan isi ayat pasal tersebut. Sehingga

dibentuklah lembaga-lembaga yang ditugasi untuk mengurusi dan mengelola

elemen-elemen alam milik bumi Indonesia. Contohnya saja negara kita memiliki

beberapa BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang mengurusi hal-hal tersebut

seperti, PAM (Perusahaan Air Minum), Lemigas (Lembaga Minyak dan Gas),

Pertamina, PLN (Perusahaan Listrik Negara), dan lain sebagainya. Ini semua

menunjukan negara sudah menjalankan kewajibannya sesuai amanah ayat pasal di

atas untuk tahap pertama.

Bila mendasarkan aspek kekuasaan oleh pemerintah agar tetap persisten

terhadap pemanfaatan dan pengaturan sumberdaya alam yang berlandaskan dan

bersumber dariinstrumen hukum yang kuat dan jelas dapat pula telihat pada UUD
1945 pasal 33ayat 3 yakni kuasaan negara yang luas terhadap bumi, air, udara dan

segala yang terkandung didalamnya sesuai dengan asas konstitusional, tentu pula

merefleksikan adanya tanggung jawab yang sangat besar pula. Kekuasaan negara

harus pula diikuti dengan pengaturan perlindungan dan pengelolaan lingkungan

berisi kepentingan rakyat banyak, pemeliharaan alam dan lingkungan, pencegahan

pencemaran, perlindungan terhadap segala ancaman yag merusak dan berpotensi

merugikan alam dan lingkungan, serta bertanggung jawab atas hal-hal yang

merugikan masyarakat dari kerusakan alam dan lingkungan termasuk bencana

alam.

2.2. Resistensi Terhadap pengelolaan Sumber Daya Alam

Dalam sejarah peradaban manusia, bentuk-bentuk perlawanan merupakan

hal yang umum dan dapat ditemukan dalam setiap babak sejarah.Resistensi sendiri

merupakan sebuah fenomena yang merujuk kepada situasi sosial dimana pihak-

pihak yang dirugikan dalam struktur sosial masyarakat kemudian melakukan

perlawanan terhadap pihak-pihak yang merugikannya. Globalisasi sendiri dinilai

sebagai sebuah proses yang telah banyak mengubah berbagai aspek dalam

kehidupan masyarakat. Dalam kaitannya antara globalisasi dan resistensi adalah

apabila globalisasi mentransformasikan aspek-aspek kehidupan masyarakat, maka

resistensi sebagai sebuah fenomena yang kemunculannya terikat dengan situasi

dalam masyarakat terpengaruh oleh globalisasi pula.

Michael Hardt dan A. Negri (2004) dalam bukunya yang berjudul War

and Democracy in the Age of Empire, menyebutkan bahwa resistensi memiliki

bentuk yang berbeda-beda sepanjang sejarah dan hal ini terjadi secara garis besar
karena adanya perubahan didalam masyarakat. Secara spesifik, perubahan bentuk

resistensi ini konvergen dengan perubahan dalam struktur buruh dan bentuk

organisasi produksi masyarakat, karena pada dasarnya struktur buruh dan bentuk

organisasi produksi akan membentuk komposisi masyarakat dan resistensi muncul

dari masyarakat sendiri. Bagaimana struktur buruh dan bentuk organisasi produksi

membentuk komposisi masyarakat dapat dipahami secara sederhana melalui

kelas-kelas sosial didalam masyarakat yang sering kali dikategorikan dengan kelas

atas, kelas menengah dan kelas bawah berdasarkan tingkat perekonomiannya,

secara implisit menjelaskan posisinya dalam struktur organisasi produksi

masyarakat.

Resistensi juga memimiliki konsep yang sangat luas, walaupun demikian

pada dasarnya ingin menjelaskan terjadinya perlawanan yang dilakukan sub

baltern atau mereka yang tertindas, karena ketidakadilan dan sebagainya.

Resistensi juga dapat dilihat sebagai materialisasi atau perwujudan yang paling

aktual dari hasrat untuk menolak dominasi pengetahuan atau kekuasaan. Menurut

Scott definisi resistensi adalah setiap semua tindakan para anggota kelas

masyarakat yang rendah dengan maksud melunakkan atau menolak tuntutan-

tuntutan (misalnya sewa, pajak) yang dikenakan pada kelas itu oleh kelas-kelas

yang lebih atas (misalnya tuan tanah, negara, pemilik mesin, pemberi pinjaman

uang) atau untuk mengajukan tuntutan-tuntutannya sendiri (misalnya pekerjaan,

lahan, kemurahan hati, penghargaan) terhadap kelas-kelas atasan ini.

Bentuk resistensi sangat beragam dan dapat dilihat adalah suatu bentuk

ketidakpatuhan, penolakan terhadap kondisi yang mereka tidak sukai. Berbagai


upaya mereka lakukan untuk tetap bertahan dan mencari penghidupan yang layak.

Resistensi yang mereka lakukan bermacammacam, resistensi secara terbuka atau

terang-terangan; resistensi secara terselubung atau secara diam-diam dan

tersembunyi; dan secara negosiasi. Bentuk resistensi secara diam-diam atau

terselubung dari eksploitasi adalah lebih umum daripada melawan secara terang-

terangan (Alisjahbana:2005). Resistensi rakyat menurut Scott dapat dibedakan

menjadi dua kategori yaitu resistensi yang disebabkan oleh penyebab secara

langsung dan penyebab tidak langsung. Resistensi rakyat karena penyebab secara

langsung seperti penindasan, ancaman, tekanan, paksaan yang dilakukan oleh tuan

tanah, pemerintah, pemilik modal atau pihak lain. Resistensi yang secara tidak

langsung dilakukan melalui perlawanan secara sembunyi-sembunyi.resistensi

secara sembunyi-sembunyi mamapu mencapai hasil yang lebih besar

dibandingkan resistensi yang dilakuakn secara terang-terangan.

Dari segala bentuk resistensi di sepanjang sejarah, perlu digaris bawahi

bahwa pada dasarnya resistensi muncul sebagai usaha untuk mencapai demokrasi

yang secara nyata memberikan kebebasan dan equality (Hardt & Negri: 2004).

Keberagaman yang ada dalam pihak-pihak yang turut serta dalam protes WTO di

Seatte, Amerika Serikat tahun 1990 menjelaskan bahwa seluruh kelompok ini

mmemiliki tujuan yang sama yaitu demokrasi beserta freedom dan equality. Hal

ini mengindikasikan bahwa perjuangan ideologi didalam globalisasi masih relevan

karena keseluruhan kelompok resistensi ini memperjuangkan ideologi liberalisme

yang mempromosikan demokrasi, kebebasan dan equality.Globalisasi dengan

fitur networks-nya, menyediakan jaringan resistensi yang luas dan tak terbatas dan
dengan demikian tidak membuat usang kesempatan untuk melakukan revolusi

bagi kaum resistensi namun justru semakin memberikan kesempatan baru bagi

kelompok-kelompok resistensi untuk melakukan revolusi untuk mewujukan

demokrasi secara murni seperti yang pernah dikemukakan oleh Hardt &

Negri(2004) “The distributed network structure provides the model for an

absolute democratic organizations and is also the most powerful weapon against

the ruling power structure”, bahwa struktur jaringan terdistribusi menyediakan

model untuk organisasi demokratis mutlak dan juga senjata yang paling ampuh

melawan struktur kekuasaan yang berkuasa.

Bentuk resistensi dalam globalisasi yang sangat terdistribusi dan

berbasiskan pada networks dan tidak memiliki suatu center menjadikan

kelompok-kelompok resistensi dengan mudah terhubung antara satu sama lain.

Prospek solidaritas dalam globalisasi dengan demikian menjadi sangat tinggi

antara satu sama lain selama setiap kelompok masih berada dalam basis yang

sama yaitu untuk demokrasi, kebebasan danequality sehingga tidak

menghancurkan otonomi kelompok tertentu dan melarang perbedaan yang ada.

Kesimpulannya adalah bahwa bentuk resistensi selalu berubah dari waktu

ke waktu dan perubahan ini sejalan dengan perubahan yang ada dalam struktur

buruh dan bentuk organisasi produksi masyarakat. dalam globalisasi, kontur

resistensi menjadi sangat menyebar, terdistribusi dan berbasis pada networksserta

tidak memiliki center. Perjuangan ideologi masih relevan dalam globalisasi

karena resistensi-resistensi yang muncul selama ini pada dasarnya sama yaitu

untuk mewujudkan demokrasi yang murni dan nyata dengan kebebasan dan
kesetaraan yang dimana nilai-nilai ini dipromosikan oleh ideologi liberalisme.

Kemungkinan untuk revolusi justru menjadi sangat besar karena

basis networks yang digunakan oleh kelompok-kelompok resistensi memberi

jangkauan yang sangat luas dan tidak terbatas untuk memobilisasi masyarakat.

Tentu saja hal ini mengindikasikan prospek solidaritas yang sangat tinggi, namun

hal ini akan tetap terjaga apabila seluruh kelompok resistensi disini memiliki

tujuan yang sama untuk demokrasi, kebebasan dan kesetaraan dimana dengan

demikian, tidak adanya keinginan untuk menguasai satu sama lain. Sejauh ini,

fakta bahwa globalisasi memiliki prospek solidaritas yang tinggi dapat dilihat

melalui protes WTO di Seattle, Amerika Serikat pada tahun 1999 dimana seluruh

kelompok masyarakat bergabung untuk sama-sama menentang kebijakan yang

diambil.

2.3. EksistensiPertambangan Emas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Purwo Darminto (2002: 357)

eksistensi adalah keberadaan, kehadiran yang mengandung unsur bertahan.

Abidin (2007) sebagai mana yang dikutip yusuf (2011) mengemukakan bahwa

eksistensi adalah proses yang dinamis, suatu menjadi atau mengada, ini sesuai

dengan asal kata eksistensi itu sendiri, yakni existere yang artinya keluar dari,

melampaui atau mengatasi. Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti,

melainkan lentur atau kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya

kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan potensi-

potensinya.
Lebih jelas Graham dalam yusuf (2011) mengemukakan bahwa eksistensi

merupakan istilah yang diturunkan dari kosakata latin existere yang berarti lebih

menonjol daripada (stand out), muncul, atau menjadi. Eksistensi dengan

demikian berarti kemunculan, sebuah proses menjadi ada, atau menjadi, daripada

berarti kondisi mengada (state of being). Berdasarkan beberapa definisi di atas

maka dapat disimpulkan bahwa eksistensi adalah proses atau gerak untuk menjadi

ada kemudian melakukan suatu hal untuk tetap menjadi ada.

2.3.1. Definisi Pertambangan

Pertambangan adalah suatu industri dimana bahan galian mineral

diproses dan dipisahkan dari material pengikut yang tidak diperlukan. Dalam

industri mineral, proses untuk mendapatkan mineral-mineral yang ekonomis

biasanya menggunakan metode ekstraksi, yaitu proses pemisahan mineral-

mineral dari batuan terhadap mineral pengikut yang tidak diperlukan.

Mineral-mineral yang tidak diperlukan akan menjadi limbah industri

pertambangan dan mempunyai kontribusi yang cukup signifikan pada

pencemaran dan degradasi lingkungan. Industri pertambangan sebagai

industri hulu yang menghasilkan sumberdaya mineral dan merupakan sumber

bahan baku bagi industri hilir yang diperlukan oleh umat manusia diseluruh

dunia (Noor dalam Sulto 2011).

Sementara sumber daya mineral itu sendiri dapat diartikan sebgai

sumberdaya yang diperoleh dari hasil ekstraksi batuan-batuan yang ada di

bumi. Adapun jenis dan manfaat sumberdaya mineral bagi kehidupan

manusia modern semakin tinggi dan semakin meningkat sesuai dengan


tingkat kemakmuran dan kesejahteraan suatu negara (Noor dalam Sulto

2011).

2.3.2. Tahapan Penambangan

Salim (dalam Sulto 2011) menyatakan bahwa dalam usaha

pertambangan ada beberapa tahap yang harus dilaluli terlebih dahaulu

sebelum menuai hasil ekonomis dari kegiatan penambangan yaitu,

1. Penyelidikan umum merupakan usaha untuk menyelidiki secara

geologi umum atau fisika, di daratan perairan dan dari udara, segala

sesuatu dengan maksud untuk membuat peta geologi umum atau

untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian pada umumnya.

2. Usaha eksplorasi adalah segala penyelidikan geologi pertambangan

untuk menetapkan lebih teliti/seksama adanya sifat letakan bahan

galian.

3. Usaha eksploitasi adalah usaha pertambangan dengan maksud untuk

menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya.

4. Usaha pengolahan dan pemurnian adalah pengerjaan untuk

mempertinggi mutu bahan galian serta untuk memanfaatkan dan

memperoleh unsur-unsur yang terdapat pada bahan galian.

5. Usaha pengangkutan adalah segala usaha pemindahan bahan galian

dan hasil pengolahan serta pemurnian bahan galian dari daerah

eksplorasi atau tempat pengolahan/pemurnian.

6. Usaha penjualan adalah segala sesuatu usaha penjualan bahan galian

dan hasil pengolahan/pemurnian bahan galian.


2.3.3. Penggolongan Hasil Tambang

Dalam penggolongan hasil tambang, Ngadiran dalam Sulto (2011)

menjelaskan bahwa izin usaha pertambangan meliputi izin untuk

memanfaatkan bahan galian tambang yang bersifat ekstraktif seperti bahan

galian tambang golongan A, golongan B, maupun golongan C. Ada banyak

jenis sumberdaya alam bahan tambang yang terdapat di bumi indonesia. Dari

sekian jenis bahan tambang yang ada itu di bagi menjadi tiga golongan, yaitu:

(1) bahan galian strategis golongan A, terdiri atas: minyak bumi, aspal,

antrasit, batu bara, batu bara muda, batu bara tua, bitumen, bitumen cair,

bitumen padat, gas alam, lilin bumi, radium, thorium, uranium, dan bahan-

bahan galian radio aktif lainnya (antara lain kobalt, nikel dan timah); (2)

bahan galian vital golongan B, terdiri atas: air raksa, antimon, aklor, arsin,

bauksit, besi, bismut, cerium, emas, intan, khrom, mangan, perak, plastik,

rhutenium, seng, tembaga, timbal, titan/titanium, vanadium, wolfram, dan

bahan-bahan logam langka lainnya (antara lain barit, belerang, berrilium,

fluorspar, brom, koundum, kriolit, kreolin, kristal, kwarsa, yodium, dan

zirkom); dan (3) bahan galian golongan C, terdiri atas; pasir, tanah uruk, dan

batu kerikil. Bahan ini merupakan bahan tambang yang tersebar di berbagai

daerah yang ada di Indonesia.

Berdasarkan jenis pengelolaannya, kegiatan penambangan terdiri atas

dua macam yaitu kegiatan penambangan yang dilakukan oleh badan usaha

yang ditunjuk secara langsung oleh negara melalui Kuasa Pertambangan (KP)

maupun Kontrak Karya (KK), dan penambangan yang dilakukan oleh rakyat
secara manual. Kegiatan penambangan oleh badan usaha biasanya dilakukan

dengan menggunakan teknologi yang lebih canggih sehingga hasil yang

diharapkan lebih banyak dengan alokasi waktu yang lebih efisien, sedangkan

penambangan rakyat merupakan aktivitas penambangan dengan

menggunakan alat-alat sederhana.

Emas sebagai salah satu sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui

(non renewable resources) seperti mineral disebut juga sumberdaya

terhabiskan (depletable) adalah sumberdaya alam yang tidak memiliki

kemampuan regenerasi secara biologis maka suatu saat akan habis. Selain itu

sumberdaya mineral memerlukan waktu yang lama untuk siap ditambang.

Sebagai basis dari teori ekstraksi sumberdaya alam tidak pulih secara optimal

adalah model Hotteling yang telah dikembangkan oleh Harold Hotteling

(1931). Prinsip model Hotteling adalah bagaimana mengekstrak sumberdaya

mineral secara optimal dengan kendala stok dan waktu. Aplikasi dari teori ini

adalah bagi pihak perusahaan pertambangan, untuk mendapatkan produksi

sumberdaya mineral secara optimal harus mampu menentukan berbagai

faktor produksi yang tepat dengan kendala waktu dan stok (deposit).

Sedangkan bagi pihak pemilik sumberdaya dalam hal ini negara harus

bersikap mengabaikan (indifferent) terhadap sumberdaya mineral, apakah

akan mengekstrak sekarang atau pada masa yang akan datang. Jadi sebagai

pengambil kebijakan peran negara sangat menentukan terhadap eksploitasi

sumberdaya mineral yang tidak semata-mata berorientasi ekonomi (economic

oriented) tetapi juga harus mempertimbangkan secara cermat dampak


lingkungan, social, kesiapan kelembagaan baik pemerintah maupun

masyarakat.

2.4. Masyarakat Sekitar Pengelolaan Sumberdaya Alam

Masyarakat desa didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang hidup dan

bertempat tinggal di wilyah pedesaan. Masyarakat desa menurut Soedjatmoko

sebagaimana dikutip dalam Sulto (2011), yang dicirikan sebagai masyarakat yang

memiliki ikatan yang relatif kuat karena adanya rasa memiliki satu sama lain.

Pada umumnya masyarakat desa memiliki karakteristik sebagai masyarakat yang

homogen dari segi pekerjaan, agama, adat istiadat dan hubungan yang terjalin

menganut sistem kekeluargaan sehingga cenderung tanpa pamrih.

Didalam suatu kehidupan bermasyarakat terdapat berbagai macam aspek

yang dapat mempengaruhi pola kehidupan sehingga membentuk kondisi social

yang berbeda dari desa satu dan desa yang lainnya. Untuk memahami memahami

mengenai kondisi social, terlebih dahulu kita harus tahu apa pengertian sosial itu

sendiri, dimulai dari pengertian sosial dalam ilmu sosial menunjuk pada objeknya

yaitu masyarakat. Sedangkan pada departemen sosial menunjukkan pada kegiatan

yang ditunjukkan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi oleh masyarakat

dalam bidang kesejahteraan yang ruang lingkup pekerjaan dan kesejahteraan

sosial. Selain itu untuk dapat mengetahui atau memahami tentang kondisi social

yang tidak dapat dipisahkan dengan masalah- masalah social, pertama kita harus

mengetahui keadaan dari msalah social dalam berinteraksi. Berdasarkan pendapat

menurut soekanto (1982), interaksi sosial dikategorikan ke dalam dua bentuk,


yaitu asosiatif dan disosiatif dimana Interaksi asosiatif, akan diuraikan sebagai

berikut:

1. Interaksi sosial yang bersifat asosiatif, merupakan bentuk interaksi sosial

yang menguatkan ikatan sosial, jadi bersifat mendekatkan atau positif

yang mengarah kepada bentuk-bentuk asosiasi (hubungan atau gabungan)

seperti :

a. Kerja sama adalah suatu usaha bersama antara orang perorangan atau

kelompok untuk mencapai tujuan bersama.

b. Akomodasi adalah suatu proses penyesuaian sosial dalam interaksi

antara pribadi dan kelompok - kelompok manusia untuk meredakan

pertentangan.

c. Asimilasi adalah proses sosial yang timbul bila ada kelompok

masyarakat dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, saling

bergaul secara intensif dalam jangka waktu lama, sehingga lambat laun

kebudayaan asli mereka akan berubah sifat dan wujudnya membentuk

kebudayaan baru sebagai kebudayaan campuran.

d. Akulturasi adalah proses sosial yang timbul, apabila suatu kelompok

masyarakat manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan

dengan unsur- unsur dari suatu kebudayaan asing sedemikian rupa

sehingga lambat laun unsur- unsur kebudayaan asing itu diterima dan

diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya

kepribadian dari kebudayaan itu sendiri.


2. Interaksi sosial yang bersifat disosiatif, merupakan bentuk interaksi

yang merusak ikatan sosial, bersifat menjauhkan atau negatif dan

yang mengarah kepada bentuk - bentuk pertentangan atau konflik,

seperti :

a. Persaingan adalah suatu perjuangan yang dilakukan perorangan atau

kelompok sosial tertentu, agar memperoleh kemenangan atau hasil

secara kompetitif, tanpa menimbulkan ancaman atau benturan fisik di

pihak lawannya.

b. Kontravensi adalah bentuk proses sosial yang berada di antara

persaingan dan pertentangan atau konflik. Wujud kontravensi antara

lain sikap tidak senang, baik secara tersembunyi maupun secara

terang-terangan yang ditujukan terhadap perorangan atau kelompok

atau terhadap unsur - unsur kebudayaan golongan tertentu. Sikap

tersebut dapat berubah menjadi kebencian akan tetapi tidak sampai

menjadi pertentangan atau konflik.

c. Konflik adalah proses sosial antar perorangan atau kelompok

masyarakat tertentu, akibat adanya perbedaan paham dan kepentingan

yang sangat mendasar, sehingga menimbulkan adanya semacam gap

atau jurang pemisah yang mengganjal interaksi sosial di antara mereka

yang bertikai tersebut.


2.5. Penelitian Pendukung Sebelumnya

Hadi (2004) melakukan penelitian dengan judul Persepsi Komunitas

Setempat Terhadap Perusahaan Pertambangan di Kawasan Batu Hijau Kabupaten

Sumbawa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif,

dan teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan diskusi kelompok

terarah.Populasi penelitian adalah anggota komunitas di sekitar lokasi

pertambangan Batu Hijau yang meliputi Kecamatan Jereweh dan Kecamatan

Taliwang, dengan jumlah responden seluruhnya 150 orang.Persepsi tentang

perusahaan diukur dari pengamatan dan pengalaman responden menyangkut

keberadaan perusahaan. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif

berbasiskan tabulasi, dan setelah diolah kemudian disajikan dalam bentuk

tabel.Hasil penelitian menunjukkan bahwa anggota komunitas yang memiliki

persepsi negatif terhadap perusahaan lebih banyak dari yang bersikap positif,

sehingga dari keragaan persepsi komunitas tersebut dapat disimpulkan bahwa

program pengembangan komunitas yang dilaksanakan perusahaan belum mampu

menciptakan persepsi positif komunitas terhadap perusahaan.Hal ini disebabkan

karena dalam program pengembangan komunitas perusahaan lebih berorientasi

pada kegiatan fisik daripada mengupayakan perubahan perilaku komunitas

melalui pendekatan budaya dan psikologis.

Siregar (2007) melakukan penelitian dengan judul Persepsi Masyarakat

Terhadap Pembukaan Pertambangan Emas di Hutan Batang Toru (Studi Kasus di

Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan). Penelitian dilaksanakan

dengan metode deskriptif, pada tingkat persepsi menggunakan skala likert dan
untuk melihat hubungan sosio-ekonomi terhadap persepsi masyarakat setempat

tentang pembukaan pertambangan emas di Kawasan Hutan Batang Toru dengan

menggunakan korelasi Spearman Rank. Jumlah sampel sebanyak 80 KK.

Pengumpulan data dengan menggunakan kuisioner, wawancara, observasi dan

studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Desa Aek Pining

dan Desa Napa belum memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang

pertambangan dan hutan. Masyarakat juga memandang positif keberadaan

pertambangan di Kecamatan Batang Toru karena mampu meningkatkan

pendapatan masyarakat, mengurangi pengangguran meskipun hal tersebut baru

dirasakan sebagian masyarakat.

Suriansyah (2009), melakukan penelitian dengan judul: Dampak

Pertambangan Terhadap Fungsi Ekonomi Lingkungan dan Pendapatan

Masyarakat (Studi Kasus Pertambangan Bijih Besi PT Juya Aceh Mining di

Kabupaten Aceh Barat Daya Propinsi). Penelitian ini dilakukan dengan metode

survey yang merupakan kombinasi dari “descriptive research” dan “problem

solving research”. Jumlah responden sebanyak 91 orang yaitu (20% dari

populasi). Analisis data dilakukan secara kuantitatif, dan deskriptif dengan

menggunakan teknik triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

pertambangan yang telah mengubah manfaat sumberdaya bersifat common pool

goods yaitu sumberdaya yang dikuasai bersama yang mampu menghasilkan

tambahan pendapatan yang cukup nyata, menjadi sumberdaya alam bersifat

private goods yaitu sumberdaya apabila dimanfaatkan oleh individu-individu

secara sendiri akan mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain. Dengan
berubahnya pemanfaatan sumberdaya alam tersebut sangat berpengaruh terhadap

pendapatan masyarakat, hal ini terbukti sebelum adanya pertambangan

pendapatan rata-rata masyarakat Rp1.253.571/KK/bulan setelah adanya

pertambangan menjadi Rp1.193.565/KK/bulan, penurunan pendapatan

masyarakat dikarenakan oleh hilangnya lahan perkebunan dan pertanian serta

akses pemanfaatan hutan.Kenyataan menunjukkan bahwa konversi lahan

perkebunan dan hutan untuk KP (Kuasa Pertambangan) oleh PT Juya Aceh

Mining bagi masyarakat yang berdomisili di sekitar pertambangan tidak

menguntungkan.

Demikian juga dapat dilihat dari segi persepsi terhadap kehadiran

pertambangan, sebesar 56,1% masyarakat menunjukkan sikap setuju dan 35,2%

masyarakat tidak setuju. Persepsi yang dikemukakan oleh masyarakat sangat

tergantung pada dampak yang dirasakan dari hadirnya pertambangan. Masyarakat

yang setuju karena merasakan dampak positif, atau tidak merasa dirugikan dengan

kehadiran pertambangan.Sedangkan yang tidak setuju karena besarnya dampak

negatif yang mereka rasakan seperti hilangnya lahan perkebunan dan pertanian,

lapangan kerja serta akses ke hutan akibat dari kegiatan pertambangan.

Tahara (2010), Reproduksi Stereotype dan Resistensi Orang

Katobengkedalam Struktur Masyarakat Buton, didalam Penelitian ini membahas

tentang bagai mana sikap resisten suatu masyarakat (Katobengke) terhadap

stereotipe yang melekat dalam kehidupan masyarakat umum (Buton) yang

kemudian berlanjut pada sikap persistensi masyarakat secara umum (Buton).

Selain itu didalam penelitian ini juga membahas beberapa jalur atau langkah yang
ditempuh masyarakat katobengke dalam melakukan resistensiterhadap stereotype

yang telah melekat pada masyarakat buton selama bertahun-tahunlamanyasejak

masa kesultanan yang terus menerus diproduksi hingga era 1980, seperti melalui

jalur pendidikan dengan kesadran masyarakat untuk menempuh pendidikan agar

dapat menyamaratakan stratifikasi sosial masyarakat buton yang ada, selain itu

mereka beberapa langkah menarik seperti resistensi dengan menggunakan simbol

negara/militer, dan resistensi lewat jalurpolitik sebagai ruang negosiasi status

orang Katobengke dalam struktur masyarakat Buton.

2.6. Kerangka Konseptual

Sumber daya alam merupakan salah satu faktor yang jika dikembangkan

akan mnunjang pembangunan disuatu daerah, dan oleh karenanya itu diperlukan

kontrol yang kuat dari seluruh steakeholder (perusahaan, pemerintah dan seluruh

masyarakat) untuk mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Alam yang

merekamiliki, Gambar 1 di bawah ini menjelaskan tentang bagaimana dalam

pemanfaatan sumberdaya alam tambang ada pihak-pihak berkepentingan seperti

pemerintah pusat dan pemerintah daerah, masyarakat lokal, dan swasta atau pihak

perusahaan. Pemerintah sebagai institusi yang berperan sebagai pemberi kebijakan

dalam pengelolaan sumberdaya alam tambang, swasta sebagai pengelola dan

pemanfaat langsung dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, serta

masyarakat lokal sebagai sekumpulan orang yang berada di sekitar lokasi

penambangan dan sebagai pihak penerima pengaruh langsung dari adanya

aktivitas pertambangan seperti perubahan polah tingkahlaku yang disebabkan oleh

adanya pemahaman dan kepentingan yang berbeda mengakibatkan terjadinya


pengelompokan berdasarkan sikap persistensi dan risestensi terhadap sesuatu yang

baru.

Masyarakat Lokal Pemerintah

Sumberdaya Alam

Perusahaan Pertambangan

_________AKTIFITAS PERTMBANGAN________

SIKAP MASYARAKAT

PERSISTENSI RESISTENSI

Gambar 1.
Kerangkap Konsep
BAB III

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1. Letak dan Kondisi Geografis

Desa Bonto Katute adalah sebuah desa tua di Kecamatan Sinjai

borong, Kabupaten Sinjai, dengan jarak sekitar 60 km dari pusat kota Sinjai

dan kiranya dapat ditempuh dalam waktu ±4 jam oleh karna akses medan

yang terjal dan jalan yang masih dalam tahap pengerasan. dan dari segi

betang alam, Desa Bonto Katute ini berada pada ketinggian 1000 M dari

permukaan laut, dengan kemiringan ± 20% (45˚) (BPS Kabupaten Sinjai

2012).

Bonto Katute adalah hulu dari 3 Sungai besar (Sungai Aparang, Sungai

Barehangang, dan Sungai Bihulo), dan beberapa sungai kecil lain-nya

(berdasarkan interpretasi peta topografi yang dilakukan oleh Front GERTAK,

terdapat ± 28 anakan sungai, sungai besar yang dikategori sebagai benrikut:

1. Sungai Aparang yang mengaliri daerah persawahan dan perkebunan

warga di Kecamatan Sinjai Borong sampai di Kecamatan Sinjai

Selatan. Sungai Aparang merupakan sungai yang juga melewati

beberapa objek wisata, misalnya Air Terjun Kembar Barambang,

Baruttung, dan lain-lain. Biji Nangka, Desa Palangka, Kelurahan

Sangiasseri, Desa Alenangka.

2. Sungai Barehangang yang mengaliri daerah persawahan di Desa

Batu Belerang, Desa Puncak dan Desa Songing.


3. Sungai Bihulo yang mengaliri daerah lumbung padi mulai dari Desa

Gantarang (Sinjai Barat), sepanjang Kecamatan Sinjai Tengah

(DesaPattongko, Desa Saotengnga, Kel. Lappadata,Desa Saotanre,

dan Desa Baru) kemudian masuk ke Bendungan Kalamisu yang

merupakan akses utama pengairan di Beberapa Desa di Kecamatan

Sinjai Timur diantaranya Desa Kampala dan Desa Kaloling

Dalam satu kesatuan ruang/wilayah, 30% diantaranya adalah ruang

terbuka hijau (Undang-undang Penataan Ruang). Kabupaten Sinjai sendiri

baru memiliki 24% ruang terbuka hijau (Disbunhut Kabupaten Sinjai),

sedangkan lokasi eksplorasi pertambangan saat ini akan mencaplok hutan

lindung di Desa Bonto Katute, Desa Barambang, Desa Polewali, dan Desa

Palangka. Jika di eksploitasi, maka luas lahan hijau Sinjai akan merosot

menjadi ± 19% (AMAN Sulawesi Selatan 2012)

Di Kecamatan Sinjai Borong, Sinjai Selatan, Sinjai Barat, dan Sinjai

Tengah, terdapat 14 retakan pada daerah dataran tinggi. 4 daerah tersebut

adalah daerah rawan bencana, pada 21 Juni 2006 telah terjadi banjir bandang

dan tanah longsor yang menelan korban jiwa 214 orang dan korban hilang

mencapai 45 orang. Sedangkan jumlah pengungsi per tanggal 26 Juni 2006

mencapai 6.400 orang (BNPB Sulawesi Selatan). Jika eksploitasi tambang

tersebut tetap dipaksakan maka tidak menutup kemungkinan akan memicu

kejadian serupa dengan eskalasi yang lebih besar.


3.2. Kondisi Demografi

Seperti halnya masyarakat diperkampungan tua lainnya, masyarakat Desa

Bonto Katute ini hidup dengan rukun dan damai dalam bingkai kekeluargaan

yang kuat dan dengan budaya gotong royongnya yang tinggi, dengan sektor

pertanian dan perkebunan aren yang menjadi sumber mata pencaharian yang

dominan digeluti oleh warga masyarakatnya dan dari sisi demografi Desa

Bonto Katute adalah Desa dengan penduduk terbanyak di Kecamatan Sinjai

Borong dengan jumlah penduduk 2.746 jiwa (laki-laki 1447 dan perempuan

1299), dimana terdiri dari 576 Rumah Tangga, Luas (km) : 15,63 km, jarak

desa dari ibu kota kabupaten : 63,5 km, dengan Ketinggian ±1000dari air laut

(BPS Kabupaten Sinjai 2012).

Saat ini Desa Bonto Katute dipimpin oleh kepala desa yaitu ibu

Darmawati (33 Tahun), beliau melanjutkan kepemimpinan suaminya Masri

(36 Tahun) sejak 2011 lalu untuk bersama kembali melanjutkan pembangunan

desa berdasarkan tiga pilar pembangunan yang dicanangkan oleh Bupati

Kabupaten Sinjai, Andi Rudianto Asapa, yakni Pendidikan, Kesehatan dan

Agama.

3.2.1. Kondisi Pendidikan Masyarakat

Pendidikan merupakan hal pokok yang sangat perlu diperhatikan

dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui pendidikan inilah yang

menjadikan masyarakat siap dalam menghadapi perubahan-perubahan

dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, seperti membaca dan berhitung

yang merupakan kemampuan dasar yang mutlak diperlukan untuk semua


warga Negara Indonesia tanpa terkecuali. Khusus di Desa Bonto Katute

Pendidikan untuk masyarakat dapat diperoleh sejak usia dini, dibawah

naungan Departemen Pendidikan Nasional sekolah PAUD (Pendidikan

Anak Usia Dini) telah berdiri di desa ini untuk membiasakan anak didik

yang masih berusia dini untuk belanjar, desiplin sambil bermain.

selanjutnya untuk tingkat sekolah dasar di Desa Bonto Katute ini pun

tedapat SD Negeri 250 Maroanging, sama halnya dengan program

pendidikan dasar yang umumnya diterapkan pada siswa SD lainnya yakni

menciptakan dan meningkatkan kemampuan membaca dan berhitung

selain itu masih banyak ilmu pengetahuan lainnya yang diwajibkan kepada

semua siswa yang bersekolah, guna untuk menambah wawasan dan

kreatifitas siswa.

Gambar 2.
PAUD dan TPK Buah Katute Sinjai Borong.
Anak usia Sekolah Dasar (kurang lebih 6-12 tahun) merupakan masa

pembentukan sikap, watak, dan cara berpikir. Anak pada masa ini

mempunyai motivasi yang tinggi dalam mencari pengalaman dan ilmu


pengetahuan. Anak pada usia ini diupayakan dapat mandiri dalam

menghadapi kendala dalam proses belajarnya (Sudjoko, 1983).

Gambar 3.
SD Negeri 250 Maroanging Sinjai Borong.
Peran seorang guru dalam proses belajar mengajar pun sangatlah

penting. Kedudukan guru dijadikan sebagai pembimbing dalam

mengarahkan kegiatan belajar siswa. Selain itu, guru juga dijadikan

sebagai fasilitator sehingga siswa menjadi kritis, kreatif, dan mampu

mengeksplorasi alam sesuai dengan kemampuannya. Guru harus

mempunyai metode pengajaran yang menarik agar siswa termotivasi

dalam belajarnya. Guru pun turut membantu siswa dalam mengembangkan

pola pikirnya . Karena itu, guru harus selalu memperhatikan sikap dan

perilaku siswa agar berkembang ke arah yang positif. Tercatat ada 17

(tujuh belas) orang PNS (Pegawai Negri Sipil) yang 15 ( lima belas)

diantaranya berprofesi sebagai guru di SD Negeri 250 maroanging,sama

halnya dengan tenaga pengajar lainnya, Mereka masing-masing dituntut

untuk mempunyai kemampuan yang mencakup pengetahuan dan


ketrampilan dalam mendidik, yang bukan hanya sekedar mengajar tapi

juga mendidik siswa-siswanya. Berkaitan dengan hal tersebut seorang guru

harus mempunyai komponen-komponen dalam proses belajar mengajarnya

yang meliputi bahan pengajaran, alat dan bahan, metode dan evaluasi

(Sudjoko, 1983).

3.2.2. Kondisi Perkonomian Masyarakat

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan

pembangunan di daerah. Ada berbagai indikator untuk mengukur

keberhasilan pembangunan ekonomi di suatu daerah diantaranya adalah

pertumbuhan ekonomi, perubahan struktur ekonomi, tingkat pendapatan

perkapita (PDRB), dan lain sebagainya. Pertumbuhan ekonomi tersebut

merupakan kontribusi dari pertumbuhan berbagai macam sektor ekonomi

yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat perubahan ekonomi

yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

keberhasilan pembangunan yang telah dicapai dan berguna untuk

menentukan arah pembangunan dimasa yang akan datang.

Pertumbuhan ekonomi dapat digunakan untuk mengukur kinerja dari

pelaksanaan suatu proses pembangunan, sehingga pembangunan yang

berhasil salah satunya ditentukan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang

stabil. Melalui pertumbuhan ekonomi, dapat diketahui adanya peningkatan

skala produksi barang dan jasa. Dalam aktivitas ekonomi masyarakat Desa

Bonto Katute sangat erat kaitannya dengan system mata pencaharian

masyarakatnya.
Mata pencaharian meliputi segala upaya yang bernilai ekonomi, yang

dilakukan manusi secara terus menerus untuk memperoleh penghasilan

tetap dan untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Seperti yang

diungkapkan oleh Sadono Sukirno (1994) yang didefinisikan bahwa

ekonomi adalah kegiatan seseorang, suatu perusahaan atau suatu

masyarakat untuk memproduksi barang dan jasa maupun mengkonsumsi

atau menggunakan barang dan jasa tersebut. Dalam melakukan kegiatan

ekonomi seorang individu atau masyarakat secara keseluruhan akan

memiliki beberapa pilihan atau alternatif untuk melakukannya. Berdasarka

dari alternatif-alternatif yang tersedia tersebut, mereka perlu mengambil

keputusan untuk memilih alternatif yang terbaik untuk dilaksanakan.

Kebutuhan manusia yang utama adalah kebutuhan akan makanan,

kebutuhan ini juga dikenal sebahai kebutuhan primer yang bersifat

mendesak dan harus segera dipenui dan berlangsung secara terus menerus

selama manusia tersebut masih hidup. Dari aktifitas ini munculah aktifitas

yang dinamakan mata pencaharian. Hal ini pulalah yang dikemukan oleh

Mutakin dalam Fauzi (2004) yakni untuk mendapatkan makanan maka

manusia akan berusaha untuk mendapatkannya, hanya cara untuk

mendapatkan makanan ini tidak dilakukan satu kali saja.tetapi secara terus

menerus, selama manusia itu masih hidup, akibat dari kebutuhan hidup

tersebut maka manusia berusaha untuk memperolehnya secara terus-

menerus, sehingga muncullah aktifitas yang berhubungan dengan

mendapatkan bahan makanan sebagai kebutuhan dasar yaitu mata


pencaharian. Pada masyarakat Desa Bonto Katute, kondisi objektif

masyarakat Desa Bonto Katute berdasarkan BPS Kabupaten Sinjai 2012

terdapat sekitar 975 orang yang bekerja pada sektor perkebunan, 561

orang adalah petani (sawah), 212 orang beternak, 100 orang buruh kasar

(kuli bangunan), dan 7 orang pedagang.

Sekilas deskripsi dari kondisi masyarakat di desa berdasarkan

sumber mata pencahariannya ini tergolong cukup, namun kenyataan yang

ada dilapangan memberikan gambaran bahwa kodisi ekonomi masyarakat

di Desa Bonto Katute sangatlah memprihatinkan, sebab hasil bumi seperti

dari perkebunan, pertanian dan peternakan masih sangat sulit untuk

dipasarkan sebab akses menuju pasar tempat jual beli atau sekedar

melakukan Barter/tukar menukar barang sangat jauh di desa sebelah

(Desa-Bihulo) dan harus melalui medan yang sulit (terjal dan bebatuan),

hal ini terjadi karena khusus untuk Desa Bonto Katute belum terdapat

pasar.

3.2.3. Kesehatan Masyarakat

Kesehatan merupakan investasi untuk mendukung pembangunan

ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan

kemiskinan. Pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai suatu

investasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam

pengukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM), kesehatan adalah salah

satu komponen utama selain pendidikan dan pendapatan dalam Undang-

undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan ditetapkan bahwa


kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang

memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi.

Kondisi pembangunan kesehatan secara umum dapat dilihat dari status

kesehatan dan gizi masyarakat, yaitu angka kematian bayi, kematian ibu

melahirkan, prevalensi gizi kurang dan umur angka harapan hidup. Angka

kematian bayi menurun dari 46 (1997) menjadi 35 per 1.000 kelahiran

hidup (2002–2003) dan angka kematian ibu melahirkan menurun dari 334

(1997) menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (2002-2003). Umur

harapan hidup meningkat dari 65,8 tahun (1999) menjadi 66,2 tahun

(2003). Umur harapan hidup meningkat dari 65,8 tahun (Susenas 1999)

menjadi 66,2 tahun (2003).Prevalensi gizi kurang (underweight) pada anak

balita, telah menurun dari 34,4 persen (1999) menjadi 27,5 persen (2004).

Kondisi umum kesehatan seperti dijelaskan di atas dipengaruhi oleh

berbagai faktor yaitu lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan.

Sementara itu pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara

lain ketersediaan dan mutu fasilitas pelayanan kesehatan, obat dan

perbekalan kesehatan, tenaga kesehatan, pembiayaan dan manajemen

kesehatan. Dikecamatan dikecamatan Sinjai Borong terdapat sebuah

Puskesmas dan 4 (empat) Pustu yang satu diantaranya terdapat di Desa

Bonto Katute.
Gambar 4.
Pustu Bonto Katute.
Fasilitas pelayanan kesehatan dasar, yaitu Puskesmas yang terdapat

dikecamatan Sinjai Borong ini diperkuat dengan adanya Puskesmas

Pembantu, telah didirikan di Desa Bonto Katute. Meskipun fasilitas

pelayanan kesehatan dasar tersebut sudah ada, namun pemerataan dan

keterjangkauan pelayanan kesehatan masih menjadi kendala. Fasilitas ini

belum sepenuhnya dapat dijangkau oleh masyarakat oleh karna akses

medan yang sulit, selain itu kesadaran masyarakat akan pengobatan secara

medis oleh tenaga ahli dan berpendidikan (dokter, perawat dan bidan),

tidak sedikit dari mereka yang masih bergantung pada metode pengobatan

secara tradisional. Fasilitas pelayanan kesehatan lainnya adalah Rumah

Sakit yang terdapat di hampir semua kabupaten/kota, namun sistem

rujukan pelayanan kesehatan perorangan belum dapat berjalan dengan

optimal terutama terkait dengan biaya dan jarak transportasi.


3.2.4. Pranata Sosial

Koentjaraningrat (1990) mengatakan bahwa pranata sosial adalah

suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktifitas-

aktivitas untuk memenuhi komplek-komplek kebutuhan khusus dalam

kehidupan masyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami

bahwa dalam sebuah pranata sosial terdapat 2 (dua) hal yang utama, yakni

aktivitas untuk memenuhi kebutuhan dan norma yang mengatur aktifitas

tersebut, di dalam pranata sosial terdapat seperangkat aturan yang

berpedoman pada kebudayaan. Oleh karena itu pranata sosial bersifat

abstrak karena merupakan seperangkat aturan. Adapun wujud dari pranata

sosial adalah berupa lembaga (institute)

Sebagai suatu system norma, pranata sosial mempunyai ciri-ciri

tertentu yang membedakan suatu system norma , seperti bagaiman

hubungan masusia dengan manusia, manusia dengan penciptanya, dan

manusia dengan alamnya. Ciri-cirihubungan manusia dengan alamnya

adalah sebagai berikut :

1. Pranata sosial merupakan pola pemikiran dan pola perilaku yang

tersusun berstruktur yang terwujud melalui kegiatan-kegiatan

kemasyarakatan dan hasil-hasilnya. Masyarakat Desa Bonto

Katute yang telah mengelola aset leluhurnya secara turun-temurun

membagi wilayah adat mereka menjadi dua bagian yaitu wilayah

yang bisa dikelola dan wilayah larangan untuk dikelola.


Masyarakat Adat Bonto Katute menetapkan hutan larangan

sebagai hutan ada t(AMAN Sulawesi Selatan2011)

.2. Pranata sosial terdiri dari adat istiadat, tata kelakuan, kebiasaan,

serta unsur-unsur kebudayaan lainnya. Di dalam wilayah yang

ditetapkan sebagai hutan adat atau hutan larangan ini yang

diperbolehkan hanya untuk mengambil tali pengikat atau

rotan.Sekitar tahun 50an wilayah larangan diperjelas dengan

adanya perjanjian antara pihak masyarakat yang diwakili oleh

kepala Sikki, Pahamalang dan Jappa sedangkan dari pihak

kehutanan diwakili oleh Karaeng Daming.Mereka sepakat untuk

membagi dua wilayah dengan menanam bambu sebagai

batas.Kesepakatan ini sampai sekarang masih dijaga dan

dihormati oleh masyarakat setempat.

3. Pranata sosial mempunyai satu atau lebih tujuan tertentu.

Sebuah aturan dibuat dengan berbagai macam pertimbangan

seperti untuk menjaga kearifan local daerahnya dan

mempertahankan kesuburan tanah dan perairannya, oleh karenya

itu mereka membagi wilayahnya menjadi dua bagian yaitu tanah

siap dikelolah dan tanah larangan

4. Pranata sosial mempunyai suatu pola bertindak yang

meningkat.Penggunaan alat yang masih sangat tradisional dan

beberapa tindakan yang dilakukan saat tanah adatnya ditetapkan

sebagai hutan lindung oleh pemerintah setempat yang tanpa


sepengetahuan warga sekitar, seperti aksi protes dan musyawarah

warga.

5. Pranata sosial mencakup kebutuhan dasar (basicneed) warga

masyarakat. Wilayah adat mereka di bagi menjadi dua bagian

yaitu wilayah yang bisa dikelola dan wilayah larangan untuk

dikelola. Masyarakat Adat Bonto Katute menetapkan hutan

larangan sebagai hutan adat di dalam wilayah larangan ini yang

diperbolehkan hanya untuk mengambil tali pengikat atau rotan,

dan untuk daerah yang dapat dikelolah mereka mengelolahnya

dan cara dan alat yang masih tradisional yang diperolehnya secara

turun temurun.

6. Pranata sosial mempunyai alat perlengkapan yang digunakan

untuk mencapaitujuan. Berbagai macam alat yang digunakan ini

masih sanyat bersifat tradisional, seperti cangkul, sabit, dan sapi

untuk menggarap sawah

7. Usia pranata sosial lebih panjang daripada usia orang-orang yang

membentuknya dan atau mengubahnya. Masyarakat Desa

Bontokatute juga telah mengelola aset leluhurnya secara turun-

temurun dengan konsep pengetahuan asli yang mengedepankan

keseimbangan dan keberlanjutan sumber daya alam antar generasi.

8. Setiap pranata sosial memiliki adat istiadat, tata kelakuan, nilai-

nilai dan unsur-unsur kebudayaan. Tanda bukti kepemilikan lahan

masyarakat Barambang katute yaitu kuburan Barambang Pertama,


rumah adat “Balla Lompoa ri Katute” dan kampung tua di

Bontolasuna.Dengan adanya bukti-bukti ini menandakan

masyarakat adat Barambang Katute sudah menempati wilayah ini

sejak ratusan tahun lalu. Namun pada tahun 1994-1995, wilayah

Bonto Katute oleh pemerintah setempat ditetapkan sebagai hutan

lindung meski proses penetapan hutan lindung ini tidak diketahui

oleh masyarakat. Setelah ada pengumuman baru masyarakat

mengetahui dan sempat diprotes oleh warga namun tidak ada

tanggapan dari pihak pemerintah Kabupaten Sinjai (AMAN

Sulawesi Selatan 2011).

3.3 Rancangan Penambangan Emas Desa Bonto Katute

Perencanaan adalah penentuan persyaratan dalan mencapai

sasaran,kegiatan serta urutan teknik pelaksanaan berbagai macam kegiatan

untuk mencapai suatu tujuan dan sasaran yang diinginkan. Pada dasarnya

menurut William Hustrulid and Mark Kuchta (1995), perencanaan dibagi

atas dua bagian utama, yaitu:

1. Perencanaan strategis yang mengacu kepada sasaran secara

menyeluruh, strategi pencapaiannya serta penentuan cara, waktu, dan

biaya.

2. Perencanaan operasional, menyangkut teknik pengerjaan dan

penggunaan sumber daya untuk mencapai sasaran.

Dari dasar perencanaan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa suatu

perencanaan akan berjalan dengan menggunakan dua pertimbangan yaitu


pertimbangan ekonomis dan pertimbangan teknis. Untuk merealisasikan

perencanaan tersebut dibutuhkan suatu program-program kegiatan yang

sistematis berupa rancangan kegiatan yang dalam perencanaan penambangan

disebut rancangan teknis penambanganRancangan teknis ini sangat

dibutuhkan karena merupakan landasan dasar atau konsep dasar dalam

pembukaan suatu tambang khususnya tambang bijih emas.

1. Pertimbangan Ekonomis

Pertimbangan ekonomis ini menyangkut anggaran. Data untuk

pertimbangan ekonomis dalam melakukan perencanaan tambang batubara

berdasarkan teori dan wawancarayaitu:

a. Nilai (value) dari endapan per ton, hasil survey penelitian dari

Kanada menemukan bahwa kandungan emas di Desa Bonto Katute

ini masih sangat sedikit. Didalam satu ton material, terdapat sekitar

0,2 gram kandungan emas.

b. Ongkos produksi, yaitu ongkos yang diperlukan sampai

mendapatkan produkberupa bijih emas diluar ongkos stripping.Hal

ini belum dapat ditentukan mengingat proses penambangan emas di

Desa Bonto Katute ini masih dalam tahap eksplorasi.

c. Keuntungan yang diharapkan dengan mengetahui Economic

Stripping Ratio berdasarkan kondi pasar, Hal ini belum dapat

ditentukan sebab pertambangan emas di Desa Bonto Katute ini

belum memasuki tahap pengelolaan hasil.


2. Pertimbangan Teknis

Yang termasuk dalam data untuk pertimbangan teknis adalah:

a. Menentukan “Ultimate Pit Slope (UPS)”

Ultimate pit slope adalah kemiringan umum pada akhir operasi

penambangan yang tidak menyebabkan kelongsoran atau jenjang masih

dalam keadaan stabil. Untuk menentukan UPS ada beberapa hal yang

harus diperhatikan yaitu:

- Stripping ratio yang diperbolehkan.

- Sifat fisik dan mekanik batuan

- Struktur Geologi

- Jumlah air dalam di dalam batuan

b. Ukuran dan batas maksimum dari kedalaman tambang pada akhir

operasi, Dalam satu kesatuan ruang/wilayah, 30% diantaranya adalah

ruang terbuka hijau (Undang-undang Pantaan Ruang). Kabupaten

Sinjai sendiri baru memiliki 24% ruang terbuka hijau (Disbunhut Kab.

Sinjai), sedangkan lokasi eksplorasi pertambangan saat ini akan

mencaplok hutan lindung di Desa Bonto Katute, Desa Barambang, Desa

Polewali, dan Desa Palangka. Jika di eksploitasi, maka luas lahan hijau

Sinjai akan merosot menjadi ± 19%. (GERTAK 2012).

c. Pemilihan sistem penirisan yang tergantung kondisi air tanah dan curah

hujandaerah penambangan.Bonto Katute adalah hulu dari 3 Sungai

besar (Sungai Aparang, Sungai Barehangang, dan Sungai Bihulo), dan


beberapa sungai kecil lain-nya (berdasarkan interpretasi peta topografi,

± 28 Anakan Sungai) (GERTAK, 2012).

d. Kondisi geometrik jalan yang terdiri dari beberapa parameter antara lain

lebar jalan, kemiringan jalan, jumlah lajur, jari-jari belokan,

superelevasi, cross slope, dan jarak terdekat yang dapat dilalui oleh alat

angkut.

Saat ini, melalui kegiatan TMMD 90 KODIM 1424 yang bekerja

sama dengan masyarakat Kabupaten Sinjai, kondisi jalan poros

penghubung Kecamatan Sinjai Borong ke Kecamatan Sinjai Barat yang

melintasi Desa Bonto Katute ini, telah mengalami perbaikan dan

pelebaran jalan, sejak 13 maret 2013 sampai dengan 3 juni 2013.

Gambar 5
Lokasi TMMD ke 90 Desa Bonto Katute.
Kegiatan TMMD ini kembali dilaksanakan di Kabupaten Sinjai

ini yang sebelumnya juga telah dilakukan tiga tahun lalu di di Desa

Lappa Cendrana, Kecamatan \Bulupoddo, Kabupaten Sinjai.

e. Pemilihan peralatan mekanis yang meliputi:


- Pemilihan alat dengan jumlah dan type yang sesuai.

- Koordinasi kerja alat-alat yang digunakan.

f. Kondisi geografi dan geologi

- Topografi

Topografi suatu daerah sangat berpengaruh terhadap sistem

penambanganyang digunakan. Dari faktor topografi ini,dapat

ditentukan cara penggalian, tempat penimbunan overburden,

penentuan jenis alat, jalur-jalur jalan yang dipergunakan,dan

sistem penirisan tambang.

- Struktur geologi

Struktur geologi ini terdiri atas lipatan, patahan, rekahan,

perlapisan dan gerakan-gerakan tektonis.

- Penyebaran batuan

Bagaimna letak bebatuan yang terdapat pada permukaan dan

kondisi didalam tanah

- Kondisi air tanah terutama bila disertai oleh stratifikasi dan

rekahan. Adanya airdalam massa ini akan menimbulkan tegangan

air pori.

Dalam rencana penambangan ada satu hal yang sangat penting yakni

bagaimana melibatkan masyarakat setempat mulai dari awal perencanaan kegiatan

pertambangan di suatu daerah (sebelum kegiatan pertambangan itu berjalan),

bukan setelah diterbitkannya Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan telah

beroperasi. Jika ada perencanaan suatu proyek pertambangan atau kegiatan usaha
lainnya eksplorasi penambangan yang diperkirakan akan memberikan pengaruh

terhadap lingkungan hidup disekitarnya, seperti penggalian, maka pertama yang

wajib dan harus dilakukan adalah mengkaji AMDAL (Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan), atau oleh karena proses penambangan di Desa Bonto Katute ini

masih dalam tahap eksplorasi maka seharusnya telah mengantongi rancangan

AMDAL yang akan disepakati bersama masyarakat dan pihak pemerintah

nantinya, seperti Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang AMDAL,

dikatakan bahwa salah satu pihak yang terlibat dalam penyusunan AMDAL

adalah masyarakat yang berkepentingan dan yang terpengaruh atas segala bentuk

keputusan dalam proses AMDAL, dimana AMDAL berfungsi sebagai alat bantu

dalam proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari

rencana usaha dan/atau kegiatan pengelolaan, dan memberi masukan untuk

penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup, memberi

informasi bagi masyarakat atas dampak yang akan ditimbulkan dari suatu rencana

usaha dan atau kegiatan industry pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Sejarah Masuknya Penambangan Emas

Kegiatan usaha pertambangan adalah suatu kegiatan besar yang berada

ditengah masyarakat, dimana nantinya kegiatan ini akan berinteraksi dengan

masyarakat setempat dimana lokasi pertambangan itu berada. Keterlibatan

masyarakat sangat penting oleh karena banyak aspek yang perlu dipertimbangkan

dalam kegiatan pertambangan, mulai dari pemerataan ekonomi hingga

mempertimbangan kelestarian lingkungan serta dampak yang mungkin akan

dirasakan oleh masyarakat, seperti tragedi di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB)

pada 24 Desember 2011 lalu, karena masyarakat menolak izin eksplorasi tambang

emas yang dikhawatirkan akan merusak lingkungan, sebab masyarakat itu sendiri

adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dengan suatu kegiatan usaha yang

akan beroperasi di daerahnya.

Seperti yang ada dalam artikel VOA (Voice of America) 2012, dijelaskan

bahwa banyak cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah

untuk mengadakan pendekatan persuasif kepada masyarkat, misalnya merekrut

masyarakat menjadi pegawai tambang, atau dilibatkan sebagai sub kontraktor dan

investor pada penambangan, sehingga masyarakat juga dengan sendirinya akan

menjaga kelestarian lingkungannya. Seperti suatukebijakan yang telah ditetpkan

oleh PT. SEMEN TONASA di PangkepSulawesi Selatan sebagai bentuk

Corporate Social Responsibility (CSR) selain membagun fasilitas sosial

dilingkungan pertambangan, perusahaan juga menetapkan bahwa 30 % dari


pegawai PT. SEMEN TONASA adalah penduduk lokal, hal yang sama juga akan

terjadi di Desa Bonto Katute kabupaten Sinjai, berdasarkan ulasan Bupati Sinjai

kepada Fajar, 29 Oktober 2012 lalu, bahwaAda Tiga syarat yang harus dipenuhi

investor jika ingin melanjutkan dari tahap Eksplorasi ketahap Eksploitasi. Tiga

syarat tersebut adalah jaminan warga berhak dalam kepemilikan saham, ganti rugi

lahan yang rasional, dan didahului dengan negosiasi, serta memprioritaskan warga

menjadi tenaga kerja.

Selain itu dalam Surat Keputusan (SK) Bupati Sinjai No. 402 (Poin: 32,

Huruf g) tahun 2010 tentang perpanjangan izin eksplorasi juga dikatakan bahwa

kebutuhan tenaga kerja tetap di sandarkan pada tenaga kerja non-

lokal/asing.Perbedaannya adalah diDesa Bontokatute belum ada kejelasan

mengenai persentase pembagian atau perbandingan peluang kerja yang diberikan

pada tenaga kerja lokal tehdap tenaga kerja asing.

Tahapan penambangan emas di Desa Bonto Katuteyang saat ini telah

memasuki tahap eksplorasi, yakni penelitian atau survey mengenai adanya

kandungan mineral bumi. izin eksplorasi pertambangan inipun dikuasakan kepada

PT. Galena Sumber Energi dikeluarkan pada Bulan November 2008, kemudian

diperpanjang pada November 2010 berlaku sampai November 2013 berdasarkan

Surat Keputusan (SK) Bupati Sinjai No: 402 Tahun 2010, yang sejak awal

ditetapkannya sudah menuai protes beberapa kalangan seperti dari Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM), mahasiswa, sebagian masyarakat di Kabupaten

Sinjai dan beberapa pihak pemerintah dan legislatif daerah di Kabupaten Sinjai,

namun tidak sedikit pula sebagian dari masyrakat dan pihak birokrasi daerah yang
menerima dan mendukung aktifitas penambangan emas yang kini sudah

memasuki tahap eksplorasi.

Informasi bahwa di Desa Bonto Katute ini memiliki kandungan mineral

bumi (emas) sebenarnya sudah ada sejak lama, pada masa gerilia sekitar 1960,

pada pemerintahan sukarno, seperti yang pernah diungkapkan oleh salim (43

tahun) bahwa:

“kabar bahwa disini ada kandungan emasnya sudah ada sejak masa
gerombolan, waktu itu orang tuaku yang jadi kepala Desa disini, tapi
sampai sekarang tidak adapi hasilnya” (wawancara 12 april 2013)

Kegiatan penelitian terhadap kandungan mineral alam atau eksplorasi

penambangan sebenarnya Sudah beberapa kali dilakukan, seperti yang

diungkapkan oleh Masri (36 tahun) sebagai mantan kepala desa dua periode sejak

2001 silam yang kemudian dilanjutkan oleh ibu Darmawati (33 tahun) yang tidak

lain adalah istri dari pak Masri itu sendiri, beliau menginformasikan bahwa:

“telah banyak peneliti yang sudah berdatangan, mulai dari dalam


negri, seperti Bandung Jawa Barat, Palu Sulawesi Tengah, dan dari
Bombana Sulawesi Tenggara,dan ada juga yang dri luar negri seperti
kanada, Australia dan yang terakhir dari korea,”

Selanjutnya Masri (36 tahun) juga menambahkan bahwa:

“para peneliti yang datang juga nda terlalu lama disini, hanya ambil
batu-batuji baru pulang karna diusir sama masyarakat, nanti yang dari
korea ini yang lama, tiga bulanki disini baru pulang minggu lalu, nanti
bulan enam inipi baru datang gare lagi”
Beranjak dari keterangan pak Masri diatas dapat terlihat jelas ada

perbedaan dari respon masyarakat terhadap kehadiran tim peneliti dari korea bila

dibandingkan dengan peneliti-penelitian yang dilakukan sebelumnya. Dengan

berasumsi bahwa ada cara atau metode yang mungkin digunakan oleh peneliti dari
korea sehingga masyarakat bisa “menerima” kehadirannya para peneliti yang

berasal dari korea ini.

seperti yang juga diungkapkan oleh salim (43 tahun),

“banyakmi yang datang disini untuk meneliti, selain tidak lamaji jg


disini karna diusirki sama warga, nda adaji hsilnya, semua bilang tima
hitamji yang banyak, padahal kalau diliatki batunya, lebih mengkilatki
yang disini gare”(wawancara 12 april 2013)

Kemudian salim melanjutkan

“adajuga peneliti yang dari kanada, dan dari hasil penelitiannya


mereka menemukan emas, tapi sangat sedikit. Didalam satu ton
material, terdapat sekitar 0,2 gram kandungan emas.”(wawancara 12
april 2013)
Perosesi masuknya penambangan di Desa Bonto Katute ini,yang sudah

merupakan bagian dari rentetan peristiwa atau tahapan dari sejarah penambangan

di Desa Bonto Katute, yang pada awal masuknya kedaerah ini dengan melalui

jalur independen yakni tanpa didampingi oleh pemerintah setempatdalam hal ini

yang dimaksudkan adalah aparatur desa, yangkemudian ditolakdengan tegasoleh

seluruh masyarakat yang mengatasnamakan masyarakat adat barambang katute,

seperti yang diungkapkan oleh salah satu masyarakat Desa Bonto Katute Haseng

(40 tahun) pada AMAN Sulawesi Selatan bahwa mereka masyarakat adat

barambang katute dengan tegas menolak semua bentuk intimidatif terhadapkami,

mulai dari pengkalaiman tanah adat kami menjadi menjadi hutan lindung

dansegala bentuk penambangan yang ada didaerah mereka (AMAN Sulawesi

Selatan 2012).

Namun sejak dikeluarkannya izin eksplorasi oleh pemerintah setempat,

mengenain izin eksplorasi pertambangan yang dikuasakan kepada PT. Galena

Sumber Energi dikeluarkan pada Bulan November 2008, kemudian diperpanjang


pada November 2010 berlaku sampai November 2013 (SK Bupati Sinjai No: 402

Tahun 2010), yang dalam perencanaannya sama sekali tidak melibatkan

masyarakat lokal, bahkan kebijakan itu sama sekali tak tersosialisasi pada seluruh

masyarakat desa. sehingga sebagian besar masyarakat Bonto Katute baru

mengetahui kegiatan eksplorasi pertambangan didaerahna pada bulan Februari

2011, rentang waktu yang sangat jauh tentunya. (AMAN Sulawesi Selatan 2012).

Hal ini pulalah yang mengakibatkan perubahan kondisi sosial dalam masyarakat

Desa Bonto Katute seperti hubungan antar masyarakat, kehadiran tambang

terhadap nilai-nilai budaya yang ada terhadap perkembangan wilayah sosial yang

merupakan akibat dari dampak ekplorasi penambangan emas.

Kondisi sosial masyarakat yang bersifat dinamis terus berkembang, maju

kearah yang lebih kompleks baik dalam waktu yang singkat (revolusi) atau

dengan memakan waktu yang cukup lama (evolusi) ini dapat terjadi malalui

beberapa faktor baik dari dalam derah (internal) maupun dari luar masyarakat

(eksternal) itu sendiri, perubahan kondisi ini dapat jelas terlihat dilihat pada

Perkembangan wilayah, interaksi masyarakat dan eksistensi budaya suatu

masyarakat itu sendiri. Untuk mendiskripsikan mengenai kondisi, keadaan atau

fenomena sosial yang ada dalam Masyarakat Desa Bonto Katute pasca ditetapkan

nya izin eksplorasi penambangan dapat terlihat pada pola interaksi masyarakat itu

sendiri, mulai dari hubungan antara sesame masyarakat, kehadiran penambangan

dan nilai-nilai budaya yang telah ada sebelumnya, hingga menuju pada

perkambangan wilayah selanjutnya yang tidak terlepas dari dampak atau pengaruh

dari kehadiran penambangan dewasa ini.


4.1.1. Hubungan Antar Masyarakat.

Seperti halnya kondisi masyarakat diperkampungan tua lainnya,

masyarakat Desa Bonto Katute ini hidup dengan rukun dan damai dalam

bingkai kekeluargaan yang kuat dan dengan budaya gotong royongnya

yang sangat tinggi, seperti yang dikatakan oleh Rusdi (27 tahun):

“ almarhuma nenekku sering bilang kalau di Desa Bonto Katute,


ambi, sama biholo itu semua bersaudara, pendatangji itu yang
bukan keluarga” (wawancara, 28 maret 2013)

Rasa kekeluargaan itu terus melekat yang diwariskan dari generasi ke

generasi, hal yang serupa juga sempat diungkapkan oleh Ramah (38

tahun) :

“ dari ujung jalan sini sampai ujung jalan sana keluargajeka semua,
bahkan sama ibu desa juga keluargaja”(wawancara, 29 maret 2013)

Kondisi masyarakat desa yangterikat dalam hubungan dan rasa

kekeluargaan ini memupuk kebersamaan dan kedekatan masing-masing

individu masyarakat, dan hal inipun dapat jelas terlihat diberbagai

kegiatan yang sering atau rutin mereka lakasanakan.Hal ini juga terbukti

dengan pengakuan ibu desa yang menjabat sebagai kepala Desa Bonto

Katute saat ini:

“Disini kita melakukan kerja bakti bersama setiap satu minggu


sekali, dihari selasa, dan mengatur jadwal giliran kerja bukti tiap
dusun” (wawancara 12 april 2013)

Kegiatan kerja bakti bersama yang rutin dilakukan masyarakat Desa

Bonto Katute merupakan salah satu contoh betapa harmonisnya

hubungan masyarakat dengan masyarakat, saat bekerja bersama,


bergotong royong dalam berbagai hal, seperti merenovasi mas’jid dan

memperbaiki jalanan.

Gambar 6.
kegiatan kerjabakti
Gambar diatas mejelaskan bagai mana antosias masyarakat saat

merapikan jalanan dan bergotong royong dalam mengangkat batu, saling

opor dan saling bercanda satu sama lain, tua muda ikut bersama

walaupun sebenarnya sebagian dari mereka saat itu dalam kondisi yang

was-was, hal ini dikarna oleh adanya sebuah rencana pemerintah yang

ingin melakukan eksplorasi kandungan mineral alam didaerahnya yang

mengakibatkan kontrafersi antara masyarakat Desa Bonto Katute dan

melahirkan dua kubuh yakni masyarakat yang pro atau menerima adanya

eksplorasi penambangan dan masyarakat yang menolak eksplorasi

penambangan. Mantan kepala Desa Bonto Katute priode 2001-2011 ini

mengungkapkan bahwa:

“meski sudah berapa kali diberi pengertian tentang survey yang


dilakukan slama ini, mereka semua tidak mau mendengar, hanya
ada sebagian yang mau untuk di survey lahannya”(wawancara, 12
april 2013)
Perbedaan pemahaman dan kepentingan antar masyarakat ini adalah

sebuah lanjutan dari rentetan masalah yang bermula dari kasus sengketa

lahan agraris yang menimpa masyarakat adat di Desa Bonto Katute yang

telah berates-ratus tahun dikelolah secara turun-temurun untuk

pemenuhan kebutuhannya, hal ini dibuktian dengan peninggalan-

peninggalan masa lalu, seperti kuburan tua, batas hutan larangan (hutan

adat), perkampungan tua, situs perjanjian adat (lempangang) dan bukti-

bukti lainnya, yang tiba-tiba pada tahun 1994/1995 melalui program

GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan) dengan

jumlah dana 167 juta rupiah yang diambil dari anggaran APBN 2005.

Untuk menanami lahan sekitar 84 ha dengan jenis tanaman yang ditanam

adalah pohon Pinus, Mahoni, Gamelina, Kayu manis. Wilayah adat,

lokasi perkebunan dan rumah mereka diklaim secara sepihak oleh dinas

perkebunan dan kehutanan kabupaten Sinjai sebagai kawasan hutan

lindung. Keputusan tersebut sama sekali tidak diketahui oleh masyarakat,

baik rencana, penetapan, dokumen-dokumen, tujuan apa dan semua hal

terkait pengklaiman tersebut. masyarakat baru mengetahuinya pada saat

ada pengumuman dan kegiatan kehutanan (pengukuran dan penghijauan)

(GERTAK 2012). Hal ini menimbulkan keresahan karena ketidak-

jelasan nasib tanah mereka dan efek traumatik dari program GNRHLini

yang terus menerus menjadikan masyarakat sebagai korban. Oleh Rudi

(42 tahun) mantan kepala dusun yang pada saat itu masih menjabat
sebagai kepala dusun didusun batulempangang memberikan tanggapan

mengenai sengketa agrarian yang selama ini masih dipersengkatakan:

“dulunya, masyarakat hanya dibagikan bibit pohon secara cuma-


Cuma, maka dari itu dengan senang hati masyarakat menanam
dikebunnya masing-masing, dan setelah itu pemerintah
menetapkanmi itu lahan yang ada pohonnya seperti hutan
lindung”(wawancara 13 april 2013)

Kemudian Rudi juga menambahkan bahwa:

“dan saya harap semoga masyarakat tidak dibodoh-bodohi lagi,


karna saya melihat cara seperti ini kembali mau dipake lagi sama
perusahaan tambang,”(wawancara 13 april 2013)

Saat itu Rudi dan sebagian masyarakat beranggapan bahwa strategi

yang digunakan pemerintah pada saat mengklaim wilayah perkebunan

masyarakat menjadi hutan adat kembali dipraktekkan tetapi dengan

modus yang sedikit berbeda, yakni dengan pendekatan kepada aparatur

desa khususnya kepala desa untuk memberikan himbauan dan tawaran

bagi yang mau pekarangannya untuk disurvey agar segera mendaftarkan

namanya, dan pihak perusahaan memberikan sejumlah uang pembeli

rokok sebagai bentuk ucapan terimahkasih mereka sebab lahannya

bersedi untuk dilakukan suvey penambangan.

4.1.2 Pertambangan dan Nilai-nilai Budaya

Bonto Katute salah satu perkampungan tertua yang ada

dikabupaten sinjai dan diliputi oleh beberapa tanda bukti kepemilikan

lahan masyarakat Barambang katute yaitu Kuburan Barambang Pertama,

rumah adat “Balla Lompoa ri Katute” dan kampung tua di Bontolasuna.

Dengan adanya bukti-bukti ini menandakan Masyarakat Adat Barambang


Katute sudah menempati wilayah ini sejak ratusan tahun lalu, jauh

sebelum Indonesia merdeka.

Kegiatan usaha pertambangan adalah suatu kegiatan besar yang

berada ditengah masyarakat, dimana tentunya kegiatan ini akan

berinteraksi dengan masyarakat setempat dimana lokasi pertambangan itu

berada. Keterlibatan masyarakat sangat penting oleh karena banyak aspek

yang perlu dipertimbangkan dalam kegiatan pertambangan, mulai dari

pemerataan ekonomi hingga mempertimbangan kelestarian lingkungan

serta dampak yang mungkin akan dirasakan oleh masyarakat. Pada bulan

Februari 2011 izin ekplorasi diserahkan kepad PT. Galena Sumber

Energy oleh Kapedalatam dan didampingi oleh disbunhut dalam

memperlancar eksplorasi di Bonto Katute dan penyerahan izin tersebut

tidak di ketahui oleh masyaraka Bonto Katute lagi hal ini membuat

masyarakat geram.

Berdaulat atas wilayah dan sumberdaya sendiri adalah salah satu

visi/misi AMAN yang tercantum dalam Pasal 5 visi AMAN adalah

terwujudnya kehidupan masyarakat adat yang adil dan sejahtera.

Kemudian Pasal 6 Misi AMAN adalah mewujudkan masyarakat adat

yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat

secara budaya. Kedaulatan, kemandirian dan martabat merupakan hak

dasar bagi komunitas adat untuk menentukan nasibnya sendiri. Hak

untuk mengelola sumber daya alam yang ada di wilayah adat adalah hak

asasi yang di bawa sejak lahir oleh Masyarakat Adat. Atas dasar inilah
Lembaga Suadaya Masyarakat menganggap seluruh Masyarakat Adat

berhak atas berbagai sumber daya alam yang ada di wilayahnya yang

sudah merupakan keyakinan dan kebenaran yang tidak dapat diukur

yang dapat disetarakan dengan sertifikat tanah atau sejenisnya yang

dikeluarkan belakangan setelah sistem hukum negara berlaku. Hak itu

merupakan hak bawaan yang di jamin oleh UUD 1945 sejak masyarakat

adat lahir dan menjadi anggota dari komunitas adatnya.

Didalam perkembangannya, negara pun memberikan hak bawaan

itu, sehingga hal-hal pokok yang merupakan kepentingan bersama dalam

komunitas adat harus diatur secara bersama-sama oleh warga adat dan

pemerintah setempat. Meski keputusan kelak untuk tujuan bersama,

namun untuk menetapkannya harus berdasarkan nilai-nilai yang tidak

terpisahkan dalam kehidupan warga adat itu sendiri.

Dalam UU Dasar 1945 pasal 18B ayat 2: Negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),

yang diatur dalam undang-undang. Pasal 28I ayat 3: Identitas budaya dan

hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan

zaman dan peradaban. Ini menunjukan pengakuan konstitusi negara

terhadap sistem adat yang didalamnya termasuk Hak komunitas adat

untuk mengatur dirinya sendiri, menentukan masa depannya dan hak


untuk menjaga keberlangsungan sistem kehidupannya sendiri

berdasarkan nilai-nilai yang di anut oleh komunitas adat tersebut.

Kemudian pasal 33Ayat (1) menyebutkan bahwa: Perekonomian

disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan Ayat

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat. Hal ini menunjukan bahwa tujuan utama dari pengelolaan SDA

adalah untuk kesejahteraan rakyat, oleh karena itu hak untuk Berdaulat

secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara

budaya dalam bingkai kekeluargaan, merupakan hak dasar yang harus

dipenuhi oleh Negara dan dijamin oleh konstitusi sebagai hak untuk

mengelola SDA yang dimiliki oleh masyarakat adat dengan kata lain

apapun SDA yang ada di wilayah adat, merupakan hak bagi komunitas

masyarakat adat untuk: menjaga, mengelola, memelihara dan

memanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan bersama seluruh

warga masyarakat adat.

4.1.3. Dampak Eksplorasi Penambangan

Menurut Kristanto (2004) dampak diartikan sebagai adanya suatu

benturan antara dua kepentingan yang berbeda, yaitu kepentingan

pembangunan dengan kepentingan usaha melestarikan kualitas

lingkungan yang baik. Dampak yang diartikan dari benturan antara dua

kepentingan itupun masih dianggap kurang tepat karena yang tercermin

dari benturan tersebut hanyalah kegiatan yang menimbulkan dampak


negatif.Pengertian ini pula yang dahulunya banyak di tentang oleh para

pemilik atau pengusul proyek.

Perkembangan selanjutnya, yang dianalisis bukan hanya dampak

negatifnya saja melainkan juga dampak positifnya dan dengan bobot

analisis yang sama. Apabila didefinisikan lebih lanjut, maka dampak

adalah setiap perubahan yang terjadi dalam lingkungan akibat adanya

aktivitas manusia. Disini tidak disebutkan karena adanya proyek, karena

proyek sering diartikan sebagai bangunan fisik saja, sedangkan banyak

proyek yang bangunan fisiknya relatif kecil atau tidak ada, tetapi

dampaknya besar.Jadi yang menjadi objek pembahasan bukan saja

dampak proyek terhadap lingkungan, melainkan juga dampak lingkungan

terhadap proyek (Kristanto, 2004).

Mengenai rencana penambangan yang terlebih dahulu harus

melalui berbagai macam tahap sebelum menuai hasil ekonomis dari

kegiatan penambangan dimulai dari usaha penyelidikan secara umum,

eksplorasi, eksploitasi, pengolahan hingga pada penjualan hasil galian ini

dapat terlihat bahwa dari semua tahap yang mesti dilalui dalam proses

penambangan itu, tahap eksplorasilah yang sangat menentukan

kelangsungan kegiatan pertambangan, karna pada tahap inilah

penyelidikan atau penelitian menganai kelayakan eksploiatasi dan letak

hingga luas daerah yang memiliki kandungan mineral bumi yang akan

siap untuk dikelola. Menurut Noor (dalam Sulto 2011) permasalahan

yang sering muncul dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya


mineral adalah terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup seperti

pencemaran pada tanah, udara, dan hidrologi air. Di Indonesia dapat kita

jumpai beberapa contoh lokasi tambang yang telah mengalami penurunan

kualitas lingkungan, antara lain tambang timah di Pulau Bangka, tambang

batu bara di Kalimantan Timur dan tambang tembaga di Papua.

Di Desa bonto Katute yang notabene tahapan penambangannya

sudah memasuki tahap eksplorasi kandungan mineral bumi oleh PT.

Galena Sumber Energi sejak Bulan November 2008 yang kemudian

diperpanjang pada Bulan November 2010 berdasarkan SK Bupati Sinjai

No: 402 Tahun 2010 ini juga dapat terlihat pada bentuk fisik lainnya,

seperti galian dibeberapa titik lokasi pengambilan sampel tanah untuk

keperluan penelitian, dan disekita galian-galian tersebut diberikan kode-

kode Khusus.

Gambar 7.
Galian Eksplorasi Pertambangan
Galian dengan kode TO1201 ini terletak di tengah hutan yang

menurut pengakuan Yusuf (39 tahun) yang bertempat tinggal sekitar 40

meter dari galian tersebut mengatakan bahwa:

“Galian disitu sudah lamami, waktu bulan puasa ada orang korea

yang membuat tenda disitu, ditemani sama puang aco”

(Wawancara tanggal 14 apil 2013)

Bekas galian untk eksplorasi masih tetap ada, para peneliti yang

melakukan galian untuk keperluan eksplorasi telah kembali kenegara

asalnya untuk melakukan penelitian lebih lanjut tanpa melakukan

perbaikan terlebih dahulu seperti penimbunan kembali bekas galian.

Meningkatnya kebutuhan sumberdaya mineral di dunia telah

memacu kegiatan eksplorasi hingga eksploitasi sumberdaya mineral serta

untuk mendapatkan lokasi-lokasi sumberdaya mineral yang

baru.Konsekuensi dari meningkatnya eksp lorasi hingga eksploitasi

sumberdaya mineral harus diikuti dengan usaha-usaha dalam pencegahan

terhadap dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari eksplorasi dan

eksploitasi sumberdaya mineral tersebut (Noor, 2006). oleh karenanya itu

dalam proses pengelolaannya haruslah memperhitungkan berbagai

macam dampak yang akan ditimbulkan dari proses penambangan

tersebut, maka dari itu diperlukan kontrol yang kuat dari seluruh

steakeholder (perusahaan, pemerintah dan seluruh masyarakat), untuk

mencegah kemerosotan lingkungan dan sumber daya alam dengan

maksud agar lingkungan dan sumber daya alam tersebut tetap terpelihara
keberadaan dan kemampuan dalam mendukung berlanjutnya

pembangunan, melalui pembuatan AMDAL (anlis mengenai dampak

lingkungan)

Praktek Industri tambang yang ada saat ini telah menimbulkan

banyak masalah dan konflik, akibat tumpang tindihnya peraturan dan

surat keputusan Menteri terkait. Ini bisa kita lihat dengan banyaknya

jumlah pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak bawaan masyarakat

adat yang sebenarnya telah melenceng dari konstitusi Negara Kesatuan

Repoblik Indonesia (NKRI) itu sendiri. Praktek-praktek pengelolaan

pertambangan oleh perusahaan besar maupun kecil tak membawa dampak

kesejahteraan, kesehatan dan kebaikan bagi masyarakat adat seperti apa

yang selama ini digembar-gemborkan pihak perusahaan dan pemerintah.

Terutama menyangkut nasib pewaris wilayah adat yang telah turun-

temurun bermukim di wilayah tersebut. Praktek pertambangan hingga

saat ini telah membuktikan dengan jelas bahwa hasilnya bagi masyarakat

adat adalah: menjadi penonton di atas tanah sendiri, tidak mendapatkan

keuntungan dari hasil tambang itu. Sementara sifat serakah pertambangan

yang melakukan ekploitasi mineral tambang secara besar-besaran,

menghasilkan kerusakan Lingkungan, kerusakan hutan, pencemaran air,

tanah dan udara, perubahan sosial budaya, rusaknya tatanan adat, dan

dampak-dampak negatif lainnya. Sementara itu , komunitas masyarakat

adat semakin terdesak oleh kebijakan-kebijakan baik itu tingkat lokal

maupun nasional yang justru melindungi praktek-praktek buruk yang


dilakukan oleh pihak perusahaan tambang. Contoh yang paling nyata dari

praktek pertambangan emas oleh perusahaan besar ada di Papua,

Sumbawa, Halmahera, dan masih banyak lagi lokasi-lokasi dimana

perusahaan pertambangan emas mendapat izin ekploitasi.Perlu diketahui

bahwa praktek dan pelanggaran seperti ini bukan hanya terjadi di

Indonesia, tetapi juga terjadi di banyak negara di seluruh belahan bumi

ini.

Selain praktek industri pertambangan emas skala besar, praktek

pertambangan yang buruk juga dapat ditemukan dalam pertambangan

emas illegal yang dilakukan oleh masyarakat sendiri, dimana orang sudah

tidak menerapkan prinsip-prinsip kerja pertambangan emas yang baik dan

bermanfaat bagi generasi yang akan datang. Pertambangan Ilegal atau

sering disitilahkan PETI telah memberikan dampak buruk juga bagi

Lingkungan, kesehatan, dan keselamatan manusia sebagai pelaku itu

sendiri. Meskipun kerusakan lingkungan dan dampak negatif dari

pertambangan ilegal ini jauh lebih kecil ketimbang dampak yang

ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan skala besar.

Hal yang sama mengenai dampak dari eksplorasi penambangan

juga sudah terlihat di Desa Bonto Katute kecamatan sinjai borong

kabupaten sinjai seperti yang diungkapkan oleh ismail kepada tribun 26

september 2012 lalu sebagai salah satu tokoh masyarakat Barambang

Katute, menurutnya telah muncul berbagai masalah yang mendera warga

sejak adanya eksplorasi tambang mulai dari konflik antarwarga yang pro
dan kontra atas eksplorasi dan pengklaiman lahan mereka menjadi Hutan

Lindung oleh Pemerintah Kabupaten Sinjai. intimidasi terhadap warga

yang menolak, pemecatan sepihak Kepala Dusun Bolalangiri, hingga

merusak tiga hulu sungai besar yakni Bihulo, Barihangeng, dan Aparang.

4.2. Persistensi Terhadap Penambangan

Sumber daya alam merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan

nasional, oleh karena itu harus dimanfaatkan sebesar besarnya untuk kepentingan

rakyat dengan memperhatikan kelestarian hidup sekitar. Salah satu kegiatan dalam

memanfaatkan sumber daya alam adalah kegiatan penambangan bahan galian,

tetapi kegiatan-kegiatan penambangan selain menimbulkan dampak negatif

terhadap lingkungan hidup terutama berubahnya estetika lingkungan, habitat flora

dan fauna menjadi rusak, penurunan kualitas tanah, penurunan kualitas air atau

penurunan permukaan air tanah, timbulnya debu dan kebisingan. Jaga dapat

memberikan dampak positif jika dikelola dengan baik, seperti dapat

peninggkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), menciptakan lapangan kerja, dan

memanfaatkan lahan semi produktif menjadi lebih produktif, hal ini jugalah yang

menjadi perhatian pemerintah setempt agar dapat mengembangkan daerahnya,

sekaligus menjadi alasan mengapa harus mengetahui kanduangan alam daerahnya

dengan observasi dan eksplorasi, A. Rudianto Asapa selaku Bupati Kabupaten

Sinjai yang mengesahkan surat izin eksplorasi penambangan di Daerah Bonto

Katute, menyatakan dalam harian Fajar 12 September 2012 bahwa permintaan

sejumlah kalangan untuk menghentikan eksplorasi menurutnya lebih disebabkan

karena belum memahami lebih dalam manfaat eksplorasi penambangan, Andi


Rudianto juga menjelaskan bahwa jika eksplorasi dihentikan, maka kandungan

tambang di areal tersebut tidak akan diketahui.

Disini dijelaskan bahwa alasan utama pemerintah memberikan izin eksplosi

diDesa Bonto Katute ini adalah untuk mengetahu kandungan alam yang ada

didaerahnya, meski ada beberapa kalangan masyarakat sinjai yang tidak menerima

eksplorasi penambangan tersebut, karna berbagai macam alasan kekhawatiran dan

Warga menilai, rencana pertambangan tidak demokratis dan cenderung

dipaksakan. Didalam harian Fajar.20 Oktober 2012, A. Rudianto Asapa bahkan

berani menggaransijika penambangan tersebut mencapai tahap eksploitasi maka

harus bisa memberi manfaat yang besar bagi masyarakat Sinjai. Investor

bebernya, telah menjamin ekploitasi kelak tidak menimbulkan dampak lingkungan

maupun sosial. Bahkan Andi Rudiyanto, Pemerintah Kabupaten Sinjai

mengatakan bahwa akan mensyaratkan kepada pihak investor untuk memberikan

prioritas kepada masyarakat setempat untuk menjadi tenaga kerja. Lahan yang

diambil untuk diekploitasi pun katanya, tidak akan diserobot begitu saja akan ada

ganti rugi itu selain itu warga akan dipekerjakan pada perusahaan tambang

nantinya.

Sejalan dengan stegmen bupati diatas Sekretaris Kabupaten Sinjai, Taiyeb

A Mappasere juga pernah mengemukan pada wartawan fajar bahwa,eksplorasi

tambang Bonto Katute sudah dalam tahap analisa. Adapun terkait permintaan

warga agar izin dicabut juga sedang dipelajari, dan jika memang dianggap

merugikan akan dihentikan. Lagi pula baru ekplorasi sekadar mencari

potensinya.Nanti kalau memang ada, maka harus ada amdalnya.


Meski telah beberapa kali mendapat desakan untuk mencabut izin

eksplorasi, pemerintah terus menerus memberikan ruang dan kesempatan bagi

para investor yang ingin melakukan eksplorasi. Menurut Arman (25 tahun) salah

satu anggota Mapala kepada harian tribuntimur 03 september 2012, pemerintah

daerah dianggap tetap ngotot memberikan peluang bagi investor untuk melakukan

eksplorasi di Daerah Bonto Katute tanpa mempertimbangkan kondisi real yang

terjadi sampai saat ini, dalam tahap eksplorasi telah mengundang berbagai

masalah dan intimidasi terhadap Masyarakat Bonto Katute.

Pemerintah Kabupaten Sinjai pun memberikan jaminan pada masyarakat

tentang dampak yang sering dikhawatirkan oleh kelompok masyarakat yang

menolak tambang bahkan jika tahap eksplorasi terus berlanjut ketahap eksploitasi

masyarakat akan menjadi prioritas utama untuk disejahtarahkan. Didalam Fajar 12

Oktober 2012 Bupati Sinjai menyatakan bahwa jika penambangan tersebut

mencapai tahap eksploitasi, maka harus bisa memberi manfaat yang besar bagi

masyarakat Sinjai. Investor bebernya, telah menjamin ekploitasi kelak tidak

menimbulkan dampak lingkungan maupun sosial. Bupati Sinjai juga

menambahkan bahwa ada tiga syarat yang harus dipenuhi investor jika ingin

melanjutkan dari tahap Eksplorasi ketahap Eksploitasi. Tiga syarat tersebut adalah

jaminan warga berhak dalam kepemilikan saham, ganti rugi lahan yang rasional,

dan didahului dengan negosiasi, serta memprioritaskan warga menjadi tenaga

kerja.

Terkait penambangan ini pada Harian Fajar, 29 Oktober 2012 Beliau

(Bupati Sinjai) juga menyayangkan jika munculnya penolakan warga karena ada
oknum tertentu yang melakukan provokasi. Pasalnya, kata dia, sejak awal

pemberian izin eksplorasi sudah ada perhitungan matang dari pemerintah daerah

yang dipastikan tidak merugikan masyarakat.

4.2.1. Faktor-faktor Persitensi Terhadap Penambangan

Penambangan sumber daya alam mineral di Indonesia memang

bukan hal yang baru lagi, sebut saja Freeport di Timika, penambangan

emas yang ada di Bombana, dan lain sebagainya yang tersebar diseluruh

seantero Negara Indonesia, seluruh penambangan ini sepatutnya sudah

mampu untuk mensejahterahkan seluruh warga Negara Indonesa, namun

seperti yang kita liat sekarang, setiap penambangan yang ada disetiap daerah

sama sekali belum bisa mensejahterahkan warga sekitarnya, malahan

penambangan inilah yang membuat masyarakat local menjadi pihak yang

termarjinalkan dan memperoleh dampak negative dari limbah yang

dihasilkan oleh perusahaan tambang ini, namun meski begitu menurut

kepala Desa Bonto Katute ,

“kita tidak boleh melihat yang buruk2nya saja, kita hanya jalankan
perintah, dan kalau seumpanya hasil surveynya orang korea ini
bilang ada emasnya, disitu lagi orang baru tawar menawar”
(wawancara 12 april 2013)
Suatu cara pandang atau pikiran yang positif dengan

memperhitungkan untung rugi juga disertai oleh sikap loyalitas, patuh

terhadap perintah atasannya, memberikan gambaran bahwa sikap kepala

Desa Bonto Katute ini sangatlah patuh dan cenderung tidak ingin

mengambil resiko.
Mengenai respon atau tangapan dari masyarakat lokal terhadap

eksplorasi penambangan emas didaaerahnya yang dikategorikan sebagai

masyarakat yang persisten, mendukung, atau dalam kata lain tidak menolak

eksistensi penambangan tersebut ternyata memiliki respon yang sedikit

berbeda dengan aparatur pemerintah desa hingga jajaran pemerintah

Kabupaten Sinjai, seperti tanggapan salah satu warga desa saat dimintai

alansan mengapa mendukung penambangan, mare (43 Tahun) berpendapat

bahwa:

“saya ini nda mendukung, hanya menerimaji, kalau memang ada


saya terimaji, nda mauja pusing saya loh de”

Dari pengakuan ibu Mare diatas dapat dilihat bahwa peran ibu mare

ini hanya menerima penambangan, bukan sebagai pendukung ekplorasi

penambangan. Sejalan dengan itu pengakuan Rudi (42 Tahun) mantan

kepala dusun pun menguatkan pernyataan ibu Mare diatas:

“kondisi di Desa Bonto Katute tidak serunyam yang kita


bayangkan. ada pihak yang sengaja memprovokasi masyarakat
diluar Desa, ini, dengan menciptakan isu akan adanya dua kubuh
antara yang pro dan kontra terhadap penambangan.”

Kemudian Rudi kembali melanjutkan bahwa:

“sebenarnya masyarakat, hanya menerima bukan berarti


mendukung, kecuali kepala Desa , kalau itu iyya, jelas-jelas
mendukung.”

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi pernyataan Rudi diatas

memang ada benarnya bahwa kondisi yang ada dilapangan memang sedikit

berbeda dengan isu yang telah beredar dalam masyarakat pada umumnya.
4.2.2. Bentuk-bentuk Persistensi Terhadap Penambangan

Jika merujuk ke Eksistensitas pertambangan yang ada di Indonesia,

seperti PT.Freeport McMoran IndonesiadiTimika Papua, PT. Newmont

Nusa Tenggara (NNT), PT. Newmont Minahasa Raya diMinahasa

Sulawesi Utara, PT Lapindo Brantas Inc yangBerlokasi di Blok Brantas,

Jawa Timur, PT Kaltim Prima Coal (KPC) dikalimantan timur, PT.

Inco di soroako Sulawesi Selatan, masih belum bisa mensejahterahkan

seluruh rakyat diIndonesia, belum lagi yang ada pertambangan yang

diMorowali Sulawesi Tengah dan Bombana Sulawesi Tenggara yang

telah jelas memberikan pengaruh negative terhadap kehidupan

masyarakat, baik pada sector social, ekonomi dan ekologis daerahnya.

Sejalan dengan itumantan Kepala Desa Bonto Katute priode 2001-2011,

Masri (36 tahun) bahwa:

“kita tidak boleh melihat yang buruk-buruknya saja, kita hanya


jalankan perintah, dan kalau seumpanya hasil surveynya orang
korea ini bilang ada emasnya, disitu lagi orang baru tawar
menawar” (wawancara 12 april 2013)
Selain itu untuk bertahan dari pengaruh pihak – pihak yang tidak

mendukung akan adanya penambangan tersebut, pemerintah daerah beserta

aparatur desa menugaskan kepada, beberapa warga (utamanya yang algojo-

algojo kampung) yuang kemudian dipekerjakan sebagai Security (lebih

tepatnya tameng) bagi pihak birokrasi dan korporasi penambangan dengan

tujuan meredam aksi protes warga, meredam segala upaya-upaya perlawan

rakyat, dan tentunya dengan sokongan aparatur negara seperti Polisi dan
TNI. Seperti pengakuan warga desa, saat dimintai tanggapan mengenai alas

an mengapa dia menolak penambangan, saniati (32 tahun):

“nda adami baenya ini penambangan disini, belum apa-apa


nasessamki, sudah habismi lahan diambil, dimarahi lagi orang
masuk dikawasan” (wawancara 13 april 2013)
Selanjutnya Saniati menambahkan, bahwa:

“orang-orangnya ibu desa, keluarganya puang Aco juga, banyak


pokoknya yang penting yang diakkitai (dihormati) disini, jadi
biasa orang takut kalau mau bicara” (wawancara 12 april 2013)
Penggunaan jasa para algojo-algojo kampung sebagai tameng untuk

mempertahankan apa yang menjadi harapan atau untuk menggapai capaian

yang ingin dicapai oleh mereka yang mendukung akan aktifitas eksplorasi

penambangan adalah salah satu langkah yang ditempuh agar dapat

bertahan, selain power dari para masyrakat yang memiliki pengaruh dalam

kehidupan social syrakat, kepala Desa Bonto Katute juga melakukan

diskriminasi, seperti uangkapan Darmawati (33 tahun) Kepala Desa Bonto

Katute, bahwa:

“yang tidak mau tanda tangan untuk menerima eksplorasi


penambangan, belum saya kasi beras raskin, sampainya setuju”
Sejalan dengan ungkapan kepala Desa diatas saniati (32 tahun), juga

mengungkapkan perasaan yang kecewa dan menderita oleh karna intimidasi

dan diskriminasi yang dirasakannya :

“nda ada sekalimi yang bisa kita harapkan disini de’ kalau bukan
usahata sendiri nda makanmi orang, tidak adami beraspembagian,
habismi juga lokasi yang mau na kerja suamiku”
Campur tangan aparatur negara seperti TNI (Tentara Negara

Indonesia) juga terlihat dalam kegiatan perbaikan jalan. kegiatan TMMD

(Tentara Masuk Desa) yang dilakukan oleh kodam 1424 menyebabkan

sebagian masyarakat yang menolak penambangan merasa was-was.

Seperti yang diungkapkan wawan (25 tahun) warga sinjai.

“dulu saya sering kesana tapi setelah banyak tentara yang masuk
menjaga disana, nda pernahma kesana lagi. Bahaya karna nakira
irang profokator belah, padahal mauji orang jalan”
Setelah aparat pemerintah dari kodim 1424 meramaikan Desa Bonto Katute

dengan program TMMD yang ke 90 ini, masyarakat umum merasa Desa

Bonto Katute menjadi terisolir.

4.3. Resistensi Terhadap Penambangan

Konflik agrarian dan sumber daya yang menjadikan masyarakat sebagai

korban terus menerus terjadi dinegeri ini, kuatnya penetrasi modal untuk

mengekspansi telah menjadikan pereangkat-perangkat negara berpaling dari

rakyat dan berbalik menindasnya dengan proses-proses formal, dengan berbagai

regulasi yang tak sedikitpun memikirkan kelangngsungan hidup rakyat.

Hal serupa-pun menimpa Masyarakat Adat Barambang-Katute yang telah

berpuluh tahun di gilas berbagai kasus untuk memaksa mereka mengakui

keperkasaan Negara, untuk mengakui bahwa mereka bersalah, untuk mengakui

bahwa mereka tak punya apa-pun dikampungnya selain tenaga dan pikirannya

(AMAN 2012). Selain itu jika melihat sejarah yang pernah ada pada 21 Juni

2006, saat itu telah terjadi banjir bandang dan tanah longsor yang menelan korban

jiwa 214 orang dan korban hilang mencapai 45 orang. Sedangkan jumlah
pengungsi per Tanggal 26 Juni 2006 mencapai 6.400 orang (BNPB Sulawesi

Selatan). Jika eksploitasi tambang tersebut tetap dipaksakan maka tidak menutup

kemungkinan akan memicu kejadian serupa dengan eskalasi yang lebih besar. Hal

ini juga lah yang dilihat oleh warga yang menolak proses penambangan itu terus

dilanjutkan.

Ditengah hingar-bingar perlawanan rakyat bersama LSM yang menolak

tambang terhadap rencana eksploitasi pertambangan oleh PT. GALENA

SUMBER ENERGY di kampung mereka, masyarakat kembali dikejutkan dengan

tiba-tiba munculnya surat panggilan dari kejaksaan Negeri Sinjai untuk 11 orang

warga dalam rangka menjalankan eksekusi badan terkait keputusan mahkamah

agung Nomor : 1452 K/Pid.Sus/2011. Tanggal 01 Mei 2012.

4.3.1. Faktor–faktor Adanya Resistensi Terhadap Penambangan

Menarik untuk meninjau kembali kronolgi kasus yang dilalui

masyarakat adat Barambang-Katute:

1. Lahan masyarakat yang telah didiami selama beratus-ratus tahun dan

dikelola secara turun-temurun untuk pemenuhan kebutuhannya,

dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan masa lalu, seperti kuburan

tua, batas hutan larangan (Hutan Adat), perkampungan tua, situs

perjanjian adat (Lempangang) dan bukti lainnya tiba-tiba di tahun

1994/1995 dikalim secara sepihak oleh Dinas Perkebunan dan

Kehutanan Kabupaten Sinjai sebagai kawasan Hutan Lindung.

Keputusan tersebut tidak diketahui oleh masyarakat, baik penetapan,


dokumen-dokumen, tujuannya apa dan semua hal terkait pengklaiman

tersebut. Masyarakat baru mengetahuinya pada saat ada pengumuman

dan kegiatan kehutanan (pengukuran lahan dan penghijauan).

Masyarakat-pun langsung bereaksi dan menyatakan penolakan, selain

karena tidak adanya transparansi juga karena masyarakat secara adat

telah mendiami lahan tersebut jauh sebelum Indonesia merdeka dan

merasa bahwa mereka adalah pemilik sah lahan tersebut.Namun reaksi

masyarakat tersebut tidak ditanggapi oleh pemerintah daerah Sinjai,

mereka sedikit-pun tak bergeming dengan reaksi masyarakat tersebut

bahkan salah seorang warga bernama Muhammad Rustam Hamka

sempat dipenjara selama dua bulan karena dituduh memfitnah

pemerintah dengan memprotes penetapan kawasan hutan lindung

tersebut. Masyarakat juga telah mengajukan surat keberatan kepada

Bupati Sinjai dengan perihal: Keberatan Masyarakat terhadap Tim

Tata Batas Hutan dari Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan

Provensi Sulawesi Selatan, namun lagi-lagi suara masyarakat tak

ditanggapi.

2. Pemerintah Daerah Sinjai melaui Dinas Perkebunan dan Kehutaanan

pada tahun 2005 mencanangkan lagi lahan masyarakatsebagai lokasi

pelaksanaan program GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan

dan Lahan) dengan jumlah dana 167 juta rupiah yang diambil dari

anggaran APBN 2005. Untuk menanami lahan sekitar 84 ha dengan

jenis tanaman yang ditanam adalah pohon Pinus, Mahoni, Gamelina,


Kayu manis. Penanaman pohon tersebut kembali ditentang oleh

masyarakat dan melarang menanam dilahan mereka, sebab pelaksanaan

penanaman dilakukan oleh orang dari luar kampung mereka dan tanpa

melalui sosialisasi terlebih dahulu. Sebagian masyarakat yang diiming-

imingi upahpun terlibat dalam penanaman pohon tersebut, menanam

bibit yang telah disediakan pemerintah daerah dilahan mereka senidiri

namun Setelah pohonnya besar dan dapat dimanfaatkan kayunya,

mereka tidak hanya dilarang menebang kayu yang mereka tanam

sendiri namun juga sudah dilarang masuk ke kebun mereka sendiri.

Program GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan)

inilah yang menjadi titik balik perlawan warga secara frontal, sebagai

akibat dari keputus-asaan sebab sumber-sumber penghidupan mereka

dirampas satu demi satu. Mereka semakin terjepit.Inilah awal dari

konflik berkepanjangan antara masyarakat dengan Pemda Sinjai

bersama Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai.

3. Perlawanan masyarakat sebagai bentuk perjuangan mempertahankan

hidup ini justru dianggap sebagai dosa besar oleh pemerintah daerah

Sinjai dan melakukan segala cara untuk membungkam perjuangan

tersebut.Hal ini kemudian terbukti ditahun 2009 ketika 11 warga yang

mengerjakan lahannya (sebagai syarat utama pemenuhan kebutuhan

untuk bertahan hidup) yang telah dikalim sebagai kawasan hutan

lindung di nyatakan sebagai tersangka dengan tuduhan merambah hutan


lindung, mencabut pohon pinus sebanyak 44.000 pohon di lahan seluas

40 Ha.

4. Belum lagi selesai kasus hutan lindung tersebut, masyarakat kembali di

gegerkan dengan rencana pertambangan Emas dan Timah hitam yang

telah mencapai proses/tahap IUP Eksplorasi. Hal ini lagi-lagi tak

diketahui masyarakat, mereka semakin dihimpit dengan

penetapan/kebijakan sepihak dan tidak demokratis.izin eksplorasi

pertambangan yang dikuasakan kepada PT. Galena Sumber Energi

dikeluarkan pada bulan November 2008, kemudian diperpanjang pada

November 2010 berlaku sampai dengan November 2013 (SK Bupati

Sinjai No: 402 Tahun 2010).Masyarakat semakin dilemahkan dengan

upaya-upaya formal yang ditopang oleh regulasi ala borjuis, tindakan

intimidasi yang dirasakan warga tak terhitung, dimulai dengan

pemecatan Kepala Dusun mereka, diskriminasi dalam pelayan publik,

ancaman pembubaran aksi, penghadangan dan upaya kriminalisasi

semakin massif di rasakan oleh warga.

5. Ditengah pergolakan warga menolak rencana pertambangan, tiba-tiba

muncul surat perintah eksekusi badan dari Mahkamah Agung terhadap

11 warga yang dituduh telah merambah dan merusak hutan lindung

bertanggal 28 Februari 2013.

Resistensi juga terlihat dengan tetap dilakukannya aktivitas masyarakat

dalam memanfaatkan hasil alam daerahnya secara diam-diam. Hal ini

kemudian terbukti ditahun 2009 ketika 11 warga yang mengerjakan lahannya


(sebagai syarat utama pemenuhan kebutuhan untuk bertahan hidup) yang

telah dikalim sebagai kawasan hutan lindung di nyatakan sebagai tersangka

dengan tuduhan merambah hutan lindung, dan mendapat surat panggilan dari

kejaksaan Negeri Sinjai untuk menjalankan eksekusi badan terkait Dengan

keputusan mahkamah agung Nomor : 1452 K/Pid.Sus/2011. Tanggal 01 Mei

2012.

Faktor pemicu tindakan resistensi itu salah satunya disebabkan oleh

beberapa intimidasi oleh aparatur desa yang dianggap oleh sebagian

masyarakat sebagai suatu ancaman yang sangat besar, seperti yang

diungkapkan oleh Rudi (42 tahun) bahwa:

“Masyarakat kontra tambang tidak akan di bagikan Raskin kecuali


bersedia bertanda tangan mendukung keputusan aparat Desa itu
Statement Kepala Desa, waktu tanggal 16 Juli 2012 saya ingat
sekali itu” (wawancara,14 april 2012)

Selain itu Larangan mengelola hutan yang telah diklaim sebagai hutan

lindung sejak 1995, yang baru diketahui warga beberapa tahun setelah

penetapan, terbukti dengan ketidak tahuan warga sekitar kalau lahan, bahkan

rumah yang mereka tinggali bersama keluarga sejak lamapun masuk dalam

daerah kawasan hutan lindung, seperti yang diungkapkan saleh (24 tahun)

bahwa:

“itupi baru kutau kalaw dikasi jadiki lahanku ini dalam kawasan,
termasukmi juga rumahku, masuk tommi disitu, dikawasang”
(wawancara,14 april 2012)

Berikut tuduhan sebagai profokator bagi mereka yang dengan sepenuh

hati iklas mengakomodir gerakan rakyat yang menolak tambang sering

dijadikan topik pembicaraan di kantor desa. Mengenai kebijakan pemerintah


yang dianggap cenderung dari atas ke bawah (Top – Down) tanpa adanya

partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan, sehingga

dianggap tidak transparan dan melahirkan resistensi komunitas terhadap suatu

kebijakan. Selain itu Kegiatanberburuh dan meramu, berkebun dan bertani

telah dilakukan Masyarakat Desa Bonto Katute selama berates-ratus tahun

lamanya, seperti yang diungakpkan oleh, hamzah (27 tahun) bahwa:

“saya masih bisa hidup dengan bertani, dengan menanam,


massaring tua, membuat gula mera, nda usahmi ditambang, biarmi
hidup damai seperti sebelum kalian datang. Lagian iniji yang bisa
sa kerja memang.” (wawancara 14 april 2013)

Selain itu hamzah juga menambahkan bahawa:

“Telah Banyakmi juga kelurga yang meningggalkan kampung ini


untuk mencari nafkah untuk bertahan hidup di daerah lain dengan
menjadi buruh tani, buruh bangunan, bahkan menjadi TKI di
Malaysia.(wawancara 14 april 2013)

Bertani membuat gula merah dari air aren secara tradisional dengan

alat tradisional pula merupakan suatu keaklian dengan kearifan khusus yang

diperoleh secara turun temurun dari nenek moyangnya, Hamzah juga

mengakui bahwa setelah adanya informasi mengenai eksplorasi

pertambangan, kehidupannya mulai terusik, dan berharap semoga semuanya

dihentikan.

4.3.2. Bentuk-Bentuk Resistensi Terhadap Penambangan

Dalam sejarah peradaban manusia, bentuk-bentuk perlawanan

merupakan hal yang umum dan dapat ditemukan dalam setiap babak sejarah.

Resistensi sendiri merupakan sebuah fenomena yang merujuk kepada situasi

sosial dimana pihak-pihak yang dirugikan dalam struktur sosial masyarakat


kemudian melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang merugikannya.Di

Desa Bonto Katute khususnya setelah izin eksplorasi diterbitkan telah

memberikan dampak pada system social masyarakat daerah ini, seperti yang

diungkapkan oleh Rudi (40 tahun) warga Bonto Katute, yang juga merupakan

mantan kepala dusun didesa itu, bahwa:

“Izin Eksplorasi penambangan emas yang dikeluarkan oleh


pemerintah ini sangat jelas merugikan masyarakat, karna sebelum
izin eksplorasi ini dikeluarkan, sama sekali tidak ada sosialisasi
dari pemerintah dan perusahaan, izin itu langsung saja disahkan
secara sepihak padahal seharusnya, rencana itu harus disepakti juga
sama masyarakat setempat.” (wawancara 13april 2013)
Selanjutnya Rudi menambahkan:

“dan lokasi yang dijadikan sebagai kawasan itu adalah lahan yang
sebenarnya adalah tanah milik rakyat, tempat mereka
tinggal”(wawancara 13 april 2013)

Baberapa alasan inilah yang membuat sebagian masyarakat merasa

dirugikan, dan dengan tegas menolah segala bentuk aktifitas penambangan

yang dilakukan oleh PT. Galena Energy. Selain itu Rudi (42 tahun) juga

mengemukan bahwa :

“ada bermacam usaha yang telah dilakukan masyarakat bersama


LSM dan organisasi mahasiswa untuk membuktikan dirinya kalau
mereka menolak dengan tegas segala bentuk aktifitas
penambangan, seperti, membentuk komonitas, malakukan aksi
demontrasi, dan melalui jalur diplomasi, tapi sampai saat ini izin
eksplorasi belum dicabut”(wawancara 13 april 2013)
Beberapa langkah yang telah dilakukan masyarakat seperti membentuk

suatu komonitas penolakan tambang Bonto Katute, melakukan aksi

demonstrasi dan melalu jalur diplomasi sampai saat ini belum membuahkan

hasil.
4.3.2.1. Membentu Komonitas Penolak Tambang

Komunitas sebagai sebuah kelompok sosial dari beberapa

organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan

yang sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya

dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi,

kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa. Komunitas

berasal dari bahasa Latin communitas yang berarti kesamaan, kemudian

dapat diturunkan dari communis yang berarti sama, (Forsdale

:1981)Terbentuknya sebuah kelompok merupakan sesuatu yang murni

dari diri sendiri atau juga secara kebetulan.Misalnya, seseorang terlahir

dalam keluarga tertentu.Seperti yang diungkapkan oleh Rusdi (27 tahun):

“ almarhum nenekku sering bilang kalau di Desa Bonto Katute,


ambi, sama biholo itu semua bersaudara, pendatangji itu yang
bukan keluarga” (wawancara 13 april 2013)

Menurut pengakuan Rusdi ini yang mengatakan semua masyarakat

yang bermukim di desa ini sebenarnya adalah sutu rumpun kelurga,

kekeluarga itu juga jelas terlihat disetiap acara seperti hajatan

perkawinan, kerja bakti, aqikah, dan pada saat ada anggota masyarakat

yang meninggal.

Gambar 7.
Posko Penolakan Tambang
Secara umum ada dua faktor utama yang tampaknya mengarahkan

pilihan Masyarakat Desa Bonto Katute tersebut untuk membentuk suatu

perkumpulan atau komoditas yaitu faktor kedekatan geografis dan faktor

kesamaan idiologi, Dan untuk menyatukan aspirasi tersebut didirikanlah

sebuah posko sebagai wadah fisik untuk menfasilitasi seluruh warga yang

menolak penambangan.

a. Kondisi Geografis

Pengaruh kondisi dan letak geografis terhadap keterlibatan

seseorang dalam sebuah kelompok tidak bisa diukur. Kita membentuk

kelompok, bergabung dengan kelompok kegiatan sosial yang ada di

sekitar kita. Kelompok tersusun atas individu-individu yang saling

berinteraksi. Semakin dekat jarak geografis antara dua orang, semakin

mungkin mereka saling melihat, berbicara, dan bersosialisasi.

Singkatnya, kedekatan fisik meningkatkan peluang interaksi dan

bentuk kegiatan bersama yang memungkinkan terbentuknya kelompok

sosial.

Gambar 8.
Perkampungan Desa Bonto Katut
Keberadaan Desa terpencil dan sangat sulit terjangkau oleh karna

jarak, dan kondisi medan jalan yang masih sangat jauh dari kelayakan

yang bisa ditempuh dengan jalan kaki, kuda dan kendaraan roda dua

ini, mengakibatkan seluruh masyarakat disana hidup dengan madiri

bersama dalam suatu ikatan kekeluargaan dan resiprositas (timbal

balik atau pertukaran) yang tinggi.

b. Kesamaan Ideologi

Pembentukan kelompok sosial tidak hanya tergantung pada

kedekatan fisik, tetapi juga kesamaan di antara anggota-

anggotanya.Sudah menjadi kebiasaan atau hal yang lumlah terjadi jika

orang lebih suka berhubungan dengan orang lain yang memiliki

kesamaan dengan dirinya. Kesamaan yang dimaksud adalah kesamaan

minat, kepercayaan, nilai, usia, tingkat intelejensi, atau karakter-

karakter personal lain. Kesamaan inijuga yang merupakan faktor utama

dalam memilih calon pasangan untuk membentuk kelompok sosial

yang disebut komonitas.

Kesamaan ideologi atau pemahaman inilah yang menjadi indikator

utama sehingga terbentuknya komonitas penolak tambang Desa Bonto

Katute, yang seluruh pengurus didalamnya ini melibatkan seluruh

warga Desa Bonto Katute yang menolak tambang. Komonitas ini

terbentuk sejak dikeluarkan izin perpanjangan eksplorasi oleh

pemerintah kabupaten sinjai, dan sampai saat ini mereka masih rutin

melakukan diskusi terkait masalah yang mereka hadapi didaerahnya


atau sekedar pertemuan silahturahmi di posko yang telah mereka

bangun bersama. Selain itu poskoini juga difungsikan sebagai serambi

atau teras rumah bagi para pendatang yang ingin sekedar melihat

kondisi Desa, atau dengan sengaja diundang oleh warga Desa ini.

Gambar 9
Acara Silahturahmi Antar Warga

4.4.2.2.Aksi Demonstrasi

Merupakan suatu rentetan peristiwa dari kesemerautan kebijakan

pemerintah kabupaten sinjai saat itu yang dianggap oleh sebagian

masyarakat sinjai, mahasiswa dan lembaga-lembaga social masyarakat

yang tergabung dalam forum GERTAK untuk melakukan aksi

demonstrasi guna untuk menolak eksplorasi penambangan di

Kabupaten Sinjai itu.

Kebijakan pemerintah setempat yang dianggap bertolak belakang

dengan cita-cita untuk mensejahterakan rakyat sinjai seperti yang

diungkapkan oleh Arman (25 tahun) salah satu pengunjuk rasa kepada

Tribun bahwa Pemerintah daerah dianggap tetap ngotot memberikan


peluang bagi investor untuk melakukan eksplorasi di daerah Bonto

Katute tanpa mempertimbangkan kondisi real yang terjadi sampai saat

ini, dalam tahap eksplorasi telah mengundang berbagai masalah dan

intimidasi terhadap Masyarakat Bonto Katute, " ( Harian Tribun 03

September 2012)

Gambar 10.
Aksi Demonstrasi Penolakan Tambang

Masyarakat, Mahasiswa dan Lembaga social Masyarakat (LSM)

yang kerap kali menggelar aksi demonstrasi terkait berbagai macam

masah yang dianggpnya menyimpang dari cita-cita untuk

mensejahterahkan warga sinjai ini, mualai dari pengklaiman hutan

adat yang dilakukan tanpa melalui sosialisasi terhadap masyarakat

yang bermukim didaerah itu, kemudian penetapan surat izin eksplorasi

penambangan emas yang sekali lagi dengan tanpa melibatkan warga

masyarakat daerah itu dalam pengukuran lahan dan penetapan lokasi.

Sampai pada penangkapan warga yang dituduh merambah hutan

bahkan tuduhan sebagai sorang profokator bagi mereka yang dengan


sepenuh hati iklas mengakomodir gerakan rakyat yang menolak

tambah, tidak hanya itu, beberapa intimidasi oleh aparatur desa

dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai suatu ancaman yang

sangat besar, seperti yang diungkapkan oleh Rudi (42 tahun) bahwa:

“Masyarakat kontra tambang tidak akan di bagikan Raskin


kecuali bersedia bertanda tangan mendukung keputusan aparat
Desa itu Statement Kepala Desa, waktu tanggal 16 Juli 2012 saya
ingat sekali itu” (wawancara,14 april 2012)

Selainitu Larangan mengelola hutan yang telah diklaim sebagai

hutan lindung sejak 1995, yang baru diketahui warga beberapa tahun

setelah penetapan, terbukti dengan ketidak tahuan warga sekitar kalau

lahan, bahkan rumah yang mereka tinggali bersama keluarga sejak

lamapun masuk dalam daerah kawasan hutan lindung, seperti yang

diungkapkan Yusuf (39 tahun):

“itupi baru kutau kalaw dikasi jadiki lahanku ini dalam kawasan,
termasukmi juga rumahku, masuk tommi disitu, dikawasang”
(wawancara,14 april 2012)

Kepedihan yang dirasakan waarga Desa Bonto Katute, membuat

masyarak sinjai, khususnya mahasiswa dan LSM (lembafa Suadaya

Masyarakat) melakukan berbagai macam aksi terkait dengan

eksistensi penambangan di Desa Bonto Katute. Diantaranya

1. 12 januari 2012, kembali organisasi mahasiswa dan LSM (lembaga

social masyarakat)yang tergabung dalam front GERTAK (Gerakan

Rakyat Tolak Tambang Bonto Katute) yg terdiri dari beberapa


Organisasi antara lain:MAPALA PTM SINJAI, HIMARA, HIPMIL,

BEM STAIM, HIMASDAP, DHK PPRM SINJAI, PEMBEBASAN

KOL-KOT SINJAI, MAHARDIKA SINJAI, SRM, BUMI.Turun

kejalan mengkampanyekan penolakan tambang Bonto Katute Aksi

tersebut di dukung oleh beberapa organisasi dari daerah yang akan

terkena dampak dari kegiatan pertambangan. Diantaranya STAPAL

INDONESIA yg merupaka organisasi pencinta alam di Kecamatan

Sinjai Tengah. Selain itu, dukungan-pun datang dari para pemuda

Sinjai Selatan yaitu KONAK (Komunitas Anak Kreatif) yg juga

bersawah dengan mengandalkan air dari sungai yg berhulu di Bonto

Katute tersebut.

Gambar 11.
Aksi Demonstrasi Front Gertak

Aksi unjuk rasa ini dimulai di depan kampus STAIM Sinjai,

dilanjutkan long march ke perempatan lampu merah bakominfo sinjai


untuk bagi-bagi selebaran. Selanjutnya, massa aksi bergeser ke kantor

DPRD Kabupaten Sinjai untuk menyampaikan aspirasi dan menDesak

segera diadakannya dialog terbuka yg melibatkan semua pihak yg

terkait dengan rencana tambang tersebut diantaranya: Kapedaltam,

Disbunhut, Camat Sinjai Borong, Kepala Desa Bonto Katute dan

tentunya dihadiri oleh GERTAK.dan akhirnya Akhirnya dicapai

sebuah kesepakatan bahwa DPRD Kabupaten Sinjai akan segera

menindak lanjuti hal ini dan menerima desakan dari para demonstran.

2. 13 Februari 2012 Melakukan konsuldasi yang merupakan tindaklanjut

untuk menghadiri dialog secara terbuka di kantor DPRD dengan

mengundang masyarakat Barambang Katute dan pihak istansi yang

terkait bersama Gertak maka pada tanggal, dengan Mengangkat Tiga

isu sentral yg dibawa fron GERTAK yaitu: 1. Tolak tambang Bonto

Katute, 2. Hentikan tindakan intimidasi dan kriminalisasi terhadap

warga dusun Bola Langiri yang kontra tambang, 3. Mendesak segera

diakuinya eksistensi masyarakat adat Barambang-Katute

Gambar 12.
Dialog Terbuka Di Kantor DPRD Kabupaten Sinjai
3. 14 Februari 2012 sebuah aksi demonstrasi bersama masyarakat Desa

Bonto Katute untuk menolakan perencanaan tambang di Bonto

Katute, masyarakat yang bergabung bersama Front GERTAK

(Gerakan Rakyat Tolak Tambang Bonto Katute) berama-sama

menuju kantor DPRD. Namun perencanan dialog itu gagal karna

DPRD rapat secara tertutup dan hanya perwakilan yang di

perbolehkan masuk, sedangkan dari hasil kesepakatan pada tanggal

12 Februari 2012 mereka janji akan melakukan dialog secara

terbuka“hal ini membuat kawan bentrok karna tidak sesuai dengan

hasil kesepakatan DPRD untuk berdialog secara terbuka, dan DPRD

kembali memungkiri kalau mereka tidak tau dengan adanya tambang

di Bonto Katute dan membuat kesepakatan kalau mereka akan secara

langsung ke lapangan melihat kondisi yang terjadi dan mengadakan

dialog bersama masyarakat.

Gambar 13.
Aksi Demonstrasi oleh Mahasiswa Sinjai
Aksi ini merupakan klimaks dari dari tindakan yang provokatif

oleh pemerintah Desa Bonto Katute dan Camat Sinjai Borong yang

semakin intens mengintimidasi masyarakat secara psikologis.

4. 26 juni 2012 front gertak kembali melakukan unjuk rasa terkait

dengan intimidasi dan pencabutan izin eksplorasi penambangan

Bonto Katute

Dengan masih mengangkat tema yang sama saat aksi13 Februari

2012 lalu yaitu:

a. Tolak tambang Bonto Katute.

b. Mengecam tindakan Camat Sinjai Borong yang melakukan

pemecatan terhadap Kepala Dusun Bola Langiri dan intimidasi

serta kriminalisasi terhadap warga Dusun Bola Langiri.

c. MenDesak segera dibentuknya Masyarakat Adat Barambang-

Katute.

Gambar 14.
Aksi Demonstrasi Di Pusat Kota Kabupaten Sinjai
5. Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Tolak

Tambang Bonto Katute (GERTAK-Makassar), Kamis (13 September

2012) melakukan aksi unjuk rasa menolak adanya pertambangan di

Desa Bonto Katute, (wilayah Adat Barambang Katute), Kecamatan

Sinjai Borong, Kabupaten Sinjai.Aksi yang berlangsung di pertigaan

jalan AP. Pettarani – Sultan Alauddin Makassar ini diwarnai dengan

pembakaran ban bekas. Aksi tersebut bertepatan dengan pendaftaran

Bupati Sinjai, Andi Rudiyanto Asapa menjadi calon Gubernur dalam

Pimilihan Gubernur Sulawesi Selatan priode 2013-2018

Gambar 15.
Aksi Demonstrasi Di jalan A.P Petta Rani Makassar

6. Ratusan warga Desa Bonto Katute yang tergabung dalam Gerakan

Rakyat Tolak Tambang Bonto Katute (GERTAK) Sinjai

kembali berunjukrasa, Selasa, 26 September 2012. Mereka menolak

adanya aktivitas tambang di Desa Bonto Katute, Kecamatan Sinjai

Borong, Kabupaten Sinjai. Ratusan mahasiswa dari Sekolah Tinggi


Ilmu Sosial Politik dan Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah

Sinjai, ambil bagian dalam aksi tersebut. Massa mengepung Kantor

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sinjai.

Pengunjukrasa menDesak Pemkab Sinjai untuk mencabut delapan

izin eksplorasi tambang yang dikeluarkan Bupati Sinjai Andi

Rudiyanto Asapa, khususnya izin eksplorasi di Desa Bonto Katute.

Warga menilai, rencana pertambangan tidak demokratis dan

cenderung dipaksakan. Menurut Ismail, salah satu tokoh masyarakat

Barambang Katute menjelaskan mengenai berbagai masalah yang

telah mendera warga sejak adanya eksplorasi tambang, mulai dari

konflik antar warga yang pro dan kontra penambangan, intimidasi

terhadap warga yang menolak, pemecatan sepihak Kepala Dusun

Bolalangiri, hingga merusak tiga hulu sungai besar yakni Bihulo,

Barihangeng, dan Aparang, (Harian Fajar, 03 Oktober 2012)

Setelah berorasi, para pengunjukrasa diarahkan masuk ke Ruang

Pola Kantor Bupati Sinjai untuk melakukan dialog dengan

pemerintah kabupaten dialog tersebut dipimpin Sekretaris Kabupaten

Sinjai, Anwar Tayyeb lantaran Andi Rudiyanto Asapa tak berada di

tempat.

4.4.2.3. Jalur Diplomasi

Protes warga Desa Bonto Katute Kecamatan Sinjai Borong soal

aktivitas eksplorasi tambang di daerah tersebut mendapat respons

dewan.Fraksi Kebangkitan Hati Nurani Rakyat (FKNR) mendorong


dibentuknya panitia khusus (pansus) di DPRD untuk mencari solusi

masalah itu. Ketua Fraksi Kebangkitan Hati Nurani Rakyat (FKNR)

DPRD Sinjai, Andi Takdir Hasyim mengatakan, persoalan

penambangan yang di Desa Bonto Katute tidak bisa dipandang remeh.

Pasalnya, tidak menutup kemungkinan masalah itu akan menimbulkan

dampak sosial yang tidak diharapkan. Bahkan, kata dia, potensi

konflik horizontal mulai terlihat meskipun baru tahap eksplorasi,

dengan indikator bahwa telah terjadinya pengelompokkan yang pro

dan kontra di kalangan masyarakat. Takdir juga menyarankan untuk

membentuk PANSUS (Panitia Khusus) karena selama ini DPRD juga

sama sekali buta dengan konsep pengembangan tambang di daerah

tersebut, selain itu menurut dia ekplorasi yang dilakukan ini

sebenarnya tanpa diketahui model dan bentuk izinnya, termasuk

progres ekplorasi dan luasan wilayahnya oleh DPRD Kabupaten

Sinjai.

Hal senada disampaikan anggota DPRD lainnya, Muhammad

Arifin. Ketua Komisi III DPRD ini mengatakan Pansus akan menjadi

langkah tepat untuk memberikan titik terang terkait polemik tambang

tersebut. Hanya saja, dalam kesempatan itu Arifin menyarankan perlu

dilakukan pertemuan internal guna memastikan apakah harus pansus

atau cukup PENJA (Panitia Kerja) saja yang dibentuk. Legislator dari

Partai Bintang Reformasi (PBR), Ahmad Sidin ikut memberi

dukungan. Pansus menurutnya penting, namun katanya, pansus


nantinya harus bekerja dan membuahkan hasil konkret, selain itu

Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Sinjai, Taiyeb A Mappasere

mengatakan kepada harian fajar 03 0ktober 2012 bahwa eksplorasi

tambang Bonto Katute sudah dalam tahap analisa.Adapun terkait

permintaan warga agar izin dicabut juga sedang dipelajari. Belia Jika

memang dianggap merugikan akan dihentikan. Lagi pula baru

ekplorasi sekadar mencari potensinya nanti kalau memang ada, maka

harus ada amdalnya.

Selain itu pada Tanggal 21 Januari 2012, berlangsung

Musrembang di Desa Bonto Katute yg dihadiri oleh beberapa unsur

antara lain seperti Kepala Desa Bonto Katute, BPD Bonto Katute,

Kepala Dusun, Disbunhut Kabupaten Sinjai, Kapedaltam Kabupaten

Sinjai, Babinsa, Kepolisian, PT. Galena dan sebagian Masyarakat

Desa Bonto Katute, untuk membicarakan masalah penambangan

tersebut. Setelah acara musrembang selesai, dilanjutkan dengan acara

diskusi tentang rencana tambang Bonto Katute dan keinginan

masyarakat untuk membentuk struktur Masyarakat Adat. Dalam acara

ini, terjadi perdebatan antara aparatur desa bersama unsur lain

melawan kepala dusun bola langiri dan warganya yang konsisten

menolak tambang dalam acara ini pula, kepala dusun bolalangiri di

adili dan di intimidasi bahkan samapi disuruh untuk berhenti menjadi

kepal dusun hanya karena mempertahankan aspirasi masyarakat

dusunnya untuk menolak tambang ditanah leluhur mereka sekaligus


sebagai lahan pertaniannya untuk bertahanhidup. Akhirnya disepakati

bahwa setiap tindakan PT. Galena Sumber Energi dalam hal

eksplorasi ini harus sepengetahuan kepala dusun mereka dan

melibatkan masyarakat secara langsung dalam pelaksanaannya serta

ganti rugi jika ada kerugian masyarakat akibat eksplorasi dilahannya

dan setelah pertemuan itu pada Tanggal 24 Januari 2012, PT. Galena

dengan Pengawalan Babinsa menuju lokasi warga dengan maksud

melanjutkan kegiatan eksplorasi dengan agenda pengambilan sampel.


BAB V

PENUTUP

1. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang di lakukan di Desa Bonto Katute Kecamatan Sinjai

Borong Kabupaten Sinjai. Berdasarkan pembahasan hasil penelitian dan

disesuaikan dengan tujuan penelitian, maka kesimpulan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Kehadiran tambang di Desa Bonto Katute Kecamatan Sinjai Borong

Kabupaten Sinjai telah menimbulkan dampak atau pengaruh terhadap

kehidupan sosial masyarakat di Desa Bonto Katute. Terbentuknya dua

kelompok antara peristen dan resisten terhadap penambangan emas yang

merupakan sebuah kelanjutan dari pengklaiman Hutan Adat mereka

menjadi Hutan Lindung oleh pemerintah setempat. Berdasarkan teori dan

penelitian kondisi objektif dilapangan memang terdapat perlawanan/

penolakan (resistensi) warga terhadap penambangan dan terlibat secara

aktif (diskusi, kampanye dan aksi), sebagian pula menolak (resistensi)

namun dalam posisi passif dengan diam (menolak berkomentar karena

takut) dan selebihnya (aparat Desa dan keluarga dekatnya) yang

mendukung (persistensi) perencanaan pertambangan emas di Desa Bonto

Katute.

2. Bagi mereka yang mendukung adanya penambangan emas di Desa Bonto

Katute ini disebabkan karna rancangan penambangan emas yang masih

pada tahap eksplorasi (SK Bupati Sinjai No: 402 Tahun 2010), dan
mengetahui kanduangan alam yang ada didaerah melalui ekplorasi tidaklah

merugikan masyarakat sama sekali, dan oleh karena eksplorasi ini adalah

perintah langsung dari pemerintah daerah Kabupaten Sinjai maka haruslah

dipatuhi.

3. Setelah pemerintah menetapkan kawasan hutan adat barambang katute

menjadi hutan lindung, mereka,para masyarakat Desa Bonto Katute tak

lagi di izinkan untuk masuk dalam kawasan hutan lindung tersebut yang

kini juga telah menjadi kawasan eksplorasi penambangan, beberapa warga

(utamanya yang algojo-algojo kampung) kemudian dipekerjakan sebagai

Security (lebih tepatnya tameng) dengan tujuan meredam aksi protes

warga, menghentikan upaya-upaya perlawan rakyat, dan dengan sokongan

aparatur negara (Polisi dan TNI).

4. Resistensi terhadap kebijakan pemerintah yang mengesplorasi daerah di

Desa Bonto Katute ini yang berawal dari pengklaiman wilayah adat

barambang katute menjadi hutang lindung oleh pemerintah setempat,

menimbulkan implikasi upaya penolakan dari masyarakat adat. Seperti

membentuk komonitas Penolakan Tambang, dan melakukan protes

melalui jalur diplomasi dan aksi demonstrasi, bersama mahasiswa dan

beberapa LSM.

5. Meski telah ditetapkan sebagai hutan lindung, dan sebelas temannya telah

ditetapkan sebagai tersangka perambah hutan lindung berdasarka surat

keputusan Mahkama Agung Nomor : 1452 K/Pid.Sus/201, Masyarakat


yang menolak penambangan masih memasuki hutan secara diam-diam

untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.

2. SARAN

Setelah melakukan penelitian tentang respoan masyarakat terhadap

eksistensi penambangan di Desa Bonto Katute Kabupaten sinjai, maka dapat

dikemukakan beberapa saran sebagai berikut :

1. Kepada pemerintah agar kiranya mengadakan sosialisasi terlebih dahulu

dsebelum menetapkan kebijakan, dengan melibatkan masyarakat lokal

dalam konsulidasi. Khususnya pada kasus pertambangan.

2. Kepada masyarakat agar tidak terpancing dengan kondisi dan upaya-upaya

provokasi yang mungkin dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak

bertanggung jawab .

3. Kepda steakeholder (perusahaan, pemerintah dan seluruh masyarakat) agar

kiranya harus memperhatikan kondisi ekologis dan sosial dalam suatu

daerah sebelum melakukan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya

alam yang ada di dalam suatu daerah.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku, Jurnal dan Dokument

Agus Purbathin. 2004. Persepsi Komunitas Setempat Terhadap Perusahaan


Pertambangan di Kawasan Batu Hijau Kabupaten Sumbawa. Skripsi.
Universitas Dipanegara 2004

Amri Marzali, 2006, Ilmu Antropologi Terapan bagi Indonesia yang sedang
Membangun. Jurnal antropologi, UI. Jakarta.

BPS Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Sinjai Dalam Angka, 2009.

BPS kabupatenSinjai, 2012.Kab.SinjaidalamAngka.Sinjai: Kantor Statistik


kabupaten Sinjai.

Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Kencana Prenada Media Group.


Jakarta.

Dr. Alisjahbana, MA, Sisi Gelap Perkembangan Kota Yogyakarta: LaksBang


PRESSindo, 2005.

Elbert Bandau 2012 Peranan Masyarakat dalam Suatu Usaha Pertambangan


yang diakses pada situs http://elbertbandau.wordpress.com/2012/01/06/
peranan-masyarakat-dalam-suatu-usaha-pertambangan/
Fauzi Akhmad. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Harold hotelling the journal of political economy, volume 39, issue 2 (april, 1931)
137-175

Haviland A. William. 1984. Antropologi, Edisi Keempat, jilid 1 dan 2. Erlangga.


Jakarta.

Hidayat, Herman. 2007. Persepsi stakeholder dalam pengelolaan tamannasional


kerinci ciseblat diera otonomi daerah, jurnaltengahtahunantropologi UI.
Jakarta

Jalaludin Rakhamat, 1994, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Kaplan, David dan Albert A. Manners. 1999. Teori Budaya. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.

Keesing, Roger M. 1999. Antropologi Budaya, Suatu Perspektif Kontemporer.


Erlangga. Jakarta.
Koentjaraningrat 1981, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta. 1990.

Koentjaraningrat. 1991. Sejarah Teori Antropologi I. Universitas Indonesia Press.


Jakarta.

Maleong, Lexy. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Remaja


Rusda Karya. Bandung.

Michael Hardt and Antonio Negri War and Democracy in the Age of
Empire, Penguin Press, 2004)

Munandar,Utami. 2002. Kreatifitas dan Keberbakatan Strategi Mewujudkan


Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Pujileksono, Sugeng. 2006. Petualangan Antropologi. Universitas


Muhammadiyah. Malang.

Purwanto Aji Sumiarto. 2007. Taman nasional, hak-hak Masyarakat setempat


dan pembangunan regional, jurnal antropologi UI, jakarta
Sadono Sukirno. (1994). Pengantar Teori Makroekonomi: Edisi Kedua. Jakarta :
Rajawali Press

Scott, James, 1985. Weapons of the Weak, Everyday Forms of Peasant


Resistance; Yale University Press.

Siregar , Fachruddin Fahmy, 2009Persepsi Masyarakat Terhadap Pembukaan


Pertambangan Emas Di Hutan Batang Toru, skripsi. USU Repository Â

Soekanto Soerjono 1982, sosiologi suatu pengantarJakarta, raja gafindo persada


2006

Soelistijo, U.W., (2008). “Beberapa Aspek Penerapan Manajemen Moderen


Dalam Rangka Menunjang engembangan Sumberdaya Alam Berkelanjutan
Di Indonesia”, Seminar Intern Fakultas Teknik Bandung: Unisba.

Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafmdo Persada.


2002

Suawardi. Endaswara 2003 metode penelitian sastra, Jakarta pt buku seru

Suharto, Edi. 2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung :


PT. Refika Aditama.

Sulto, Ali, Dampak Aktivitas Pertambangan Bahan Galian Golongan C Terhadap


Kondisi Kehidupan Masyarakat Desa, skrpsi 2011, Institut pertanian bogor
Suriansyah, Erlan Aan 2009 Dampak Pertambangan Terhadap Fungsi Ekonomi
Lingkungan dan Pendapatan Masyarakat, institut pertanian bogor

Syaefudin yusuf, eksistensi pancasila dalam konteks modern dan global pasca
reformasi makalah 2011 stmik amikom yogyakarta

Syam, Nur. 2007. Madzhab-Madzhab Antropologi LKiS, Yogyakarta


Tahara, Tasrifin 2010, Reproduksistereotype dan Resistensi Orang Katobengke
dalam Strukturm Masyarakat Buton. Disertasi. uiversitas Indonesia, Depok
Tangdilintin, Paulus, 1999. Pembangunan Sosial: Respon Dinamis dan
Komprehensif Terhadap Situasi Krisis Suatu Catatan Bagi Sistem Ekonomi
Kerakyatan. Pidato Pengukuhan Guru Besar FISIP UI, Jakarta
W.J.S. PurwoDarminto.2002, Kamus Umum Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai
Pustaka
Wahab, Solichin Abdul, dkk., 2002. Masa Depan Otonomi Daerah. Malang:
Percetakan SIC.

William Hustrulid and Mark Kuchta, “Open Pit Mine Planning & Design”, Vol I
, A.A. Balkema/ Rotterdam/Brockfield, 1995.Design”, Vol I, A.A. Balkema/
Rotterdam/Brockfield, 1995

B. Situs Internet

http://adat.fwi.or.id/id/database.html?idkom=161

http://anthropology.fisip.ui.ac.id/httpdocs/authors.htm

http://anthropology.ui.ac.id/jurnal.html

http://geospasial.bnpb.go.id/2010/03/20/peta-indeks-rawan-bencana-provinsi-
sulawesi-selatan/

http://journal.ui.ac.id/jai

http://jurnal-celebes.blogspot.com/

http://makassar.tribunnews.com/2012/09/03/tokoh-masyarakat-sinjai-tolak-ada-
pertambangan-di-bonto-katute

http://pembebasan-pusat.blogspot.com/2012/11/tanggapan-terhadap-pernyataan-
bupati.html

http://prasetijo.wordpress.com/2008/01/28/adaptasi-dalam-anthropologi/
http://prasetijo.wordpress.com/2008/09/03/perubahan-bentuk-produksi-orang-
rimba-strategi-adaptasi/

http://regional.kompas.com/read/2012/09/26/15393448/Warga.Sinjai.Demo.Tuntu
t.Tambang.Besi.Ditutup
http://varianwisatabudayasundakecil.blogspot.com/p/varian-tenun-
ikat.html?zx=f075efcd21f3a4f

http://www.bimkes.org/masalahkesehatan/001

http://www.mongabay.co.id/2012/04/23/walhi-penambangan-rusak-kawasan-
hutan/
http://www.sinjaikab.go.id/v1/berita-277-bidang-pertambangan.html
http://www.sinjaikab.go.id/v1/berita-368-kabupaten-sinjai-dalam-angka-
2012.html

http://www.unila.ac.id/articles/sains--teknologi/penelitian-strategis-adaptif-untuk-
kebijakan-pembangunan.html\
https://jurnalbumi.wordpress.com/tag/antropologi-ui/

Anda mungkin juga menyukai