Anda di halaman 1dari 99

DIKTAT

HUKUM ADAT

Disusun oleh:

RIAN SACIPTO, S.H.M.H.

PROGRAM STUDI HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO UNGARAN

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan
bahan ajar/ buku ajar mata kuliah hukum adat. Harapan Penulis adalah semoga
buku ini dapat membantu mahasiswa maupun pihak yang berkepentingan untuk
mempelajari Hukum Adat di Indonesia.

Bahan ajar / buku ajar ini merupakan gabungan dari bahan kuliah dan
dihimpun dari materi-materi buku karangan para penulis di bidang hukum yang
dijadikan sebagai rujukan dalam penyusunannya, oleh karena itu penulis sangat
berterimakasih sekali dan sangat berhutang budi kepada para penulis yang bukunya
dijadikan sebagai bahan rujukan terutama buku karangan Surojo Wignjodipuro, SH
dalam buku Pengantar dan Asas Hukum Adat.

Ucapan Terima kasih, Penulis haturkan kepada Prof. Dr. Subyantoro,


M.hum. Rektor Universitas Ngudi Waluyo dan Civitas Akademi dalam mendorong
penulis untuk menyusun buku ajar ini, serta kepada Ciptono, SH. MH. sebagai
Dosen Akademi Kepolisian, yang mana dengan ilmu yang diberikan kepada Penulis
dapat terbantu dalam penyusunan buku ajar ini. Selanjutnya, Penulis ucapkan pula,
kepada semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu, yang telah
memberikan bantuan hingga terselesaikannya buku ini.

Akhirnya penulis menyadari sepenuhnya bahwa muatan bahan ajar/ buku


ajar ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis selalu membuka diri atas kritik
dan saran yang konstruktif dari para pembaca yang sangat berguna untuk
penyempurnaan lebih lanjut.

Ungaran, Desember 2017

penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................. ii

DAFTAR ISI ........................................................................................... iii

KATA PENGANTAR MATA KULIAH...................................................... iv

BAB I Pendahuluan ............................................................................... 1

a. Pengertian dan Istilah Adat, Istiadat .......................................... 1

b. Istilah Hukum Adat .................................................................... 1

c. Pengertian Hukum Adat ............................................................ 1

d. Hukum Adat dan Kebiasaan ...................................................... 4

e. Sumber Hukum Adat ................................................................. 6

BAB II Ruang Lingkup Hukum Adat ....................................................... 22

a. Unsur Hukum Adat .................................................................... 22

b. Bentuk dari perwujudan Hukum Adat ........................................ 30

c. Sistem Hukum Adat ................................................................. 4

BAB III Sejarah Hukum Adat ................................................................. 38

a. Sejarah Lahirnya Hukum Adat................................................... 38

b. Sejarah Politik Hukum Adat ....................................................... 39

c. Sejarah Hukum Adat Sebagai Sistem Hukum ........................... 38

d. Bukti Adanya Hukum Adat ........................................................ 38


BAB IV Proses Perkembangan Hukum Adat ......................................... 60

a. Pengenalan Teori Dalam Hukum Adat ...................................... 60

b. Faktor Dalam Mempengaruhi Perkembangan Hukum Adat ...... 61

c. Dasar Berlakunya Hukum Adat ................................................. 62

BAB V Tata Masyarakat Hukum Adat .................................................... 72

a. Persekutuan Hukum .................................................................. 72

b. Struktur Perseketuan Hukum .................................................... 73

c. Masyarakat Hukum Adat ........................................................... 74

d. Lingkungan Hukum Adat ........................................................... 35

e. Perjanjian Dalam Hukum Adat .................................................. 74

BAB VI Hukum Adat Dalam Aspek Kebudayaan .................................. 83

a. Sifat Hukum Adat ...................................................................... 34

b. Corak Hukum Adat .................................................................... 40

c. Masyarakat Kebudayaan dan Hukum Adat ............................... 87

d. Peran dan Fungsi Hukum Adat ................................................. 89


PENGANTAR MATA KULIAH

Buku ini dimaskudkan untuk memberikan ilmu pengetahuan kepada setiap


orang untuk mengetahui dan mempelajari tentang hukum adat di Indonesia. Hal ini
berkenaan dengan kedudukan hukum adat di negara Indonesia sangatlah penting.
Hukum adat merupakan bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia yang perlu untuk
dipertahankan, dipelihara dan dikembangkan.

Adapun maksud serta tujuan diberikan Mata Kuliah ini, supaya Mahasiswa
memahami hukum adat yang berlaku di Indonesia dengan fungsinya sebagai
pegangan mahasiwa hukum khususnya dalam studi hukum lebih lanjut sehingga
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat luas.

A.Deskripsi Singkat Hukum Adat

Mata kuliah Hukum Adat merupakan mata kuliah pengantar yang diberikan
di Jurusan Hukum untuk memberikan bekal kemampuan kepada mahasiswa agar
dapat memahami, mengevaluasi dan menganalisis secara umum Hukum Adat yang
berlaku di Indonesia dengan mengingat sifat keberlanjutan (kontinuitas) dari proses
perkembangan hukum, yaitu untuk dapat memahami kondisi hukum saat ini (pokok-
pokok hukum positif yang berlaku di Indonesia) dan bagaimana penerapan Hukum
Adat di masa mendatang.

Dalam pembahasannya di era yang serba canggih sekarang ini terkadang


kita lupa akan latar belakang lahirnya hukum yang kita kenal dalam lingkungan
kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara asia asia lainnya seperti jepang
sebagai negara yang hampir sama dalam latar ideologi yaitu adanya sumber
dimana peraturan-peraturan hukum yang tidak tertulis dan tumbuh dan berkembang
dan dipertahankan dengan adat istiadat yang dianut oleh masyarakat tersebut
dijadikan sebagai acuan dan pedoman dalam langkah pembelajaran.
B.Manfaat / Relevansi

Dengan mempelajari Hukum Adat maka akan diketahui manfaatnya sebagai


pedoman hidup bagi masyarakat yang harus ditaati dan memiliki sanksi apabila
dilanggar oleh masyarakat Indonesia, maka hukum adat sangat penting untuk
dipelajari.

Hukum adat merupakan hukum yang mengakar pada budaya bangsa.


Sebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat bahwa nilai budaya mengakar
pada diri seseorang, yang menentukan cara pandang seseorang, termasuk dalam
mempelajari bertingkah laku.

Dalam perkembangan zaman Hukum Adat sangat dapat diperlakukan


sebagai penerapan dalam Hukum Nasional yang berlaku di Indonesia. Secara
bertahap kita menggabungkan dan menerapkan Hukum Adat yang merupakan suatu
wujud kebudayaan serta warisan kebiasaan dari masyrakat kita sendiri.

C.Deskripsi Masalah

Hukum Adat merupakan mata kuliah dasar bagi mahasiswa fakultas hukum,
untuk mengantar mahasiswa dalam mengetahui dan mempelajari hukum yang
pernah ada dari warisan kebudayaan dan yang sedang berlaku di Indonesia.

D.Tujuan Instruksional

1. Tujuan Instruksional Umum

Pada akhir kuliah mahasiswa :

Mampu memahami hukum adat yang pernah ada dan sedang berlaku di
Indonesia, serta dapat memahami dalam penerapan pelaksanaannya di
negara Indonesia.

2. Tujuan Instruksional Khusus

- Mahasiswa dapat menjelaskan : Ruang lingkup Hukum Adat


- Mahasiswa dapat menerangkan apa yang dimaksud dengan hukum privat,
terdiri dari apa saja.

- Mahasiswa dapat menerangkan apa itu Hukum Adat, apa yang menjadi
asas –asas dalam hukum adat yang meliputi hukum

E. Sub Bab

Mata kuliah Hukum adat memiliki kaidah-kaidah dan ruang lingkup yang
menjadi kajian mata kuliah ini, meliputi :

BAB I : Pengantar Hukum Adat

a. Pengerrtian dan Istilah Adat, Istiadat

b. Istilah Hukum Adat

c. Pengertian Hukum Adat

d. Hukum Adat dan Kebiasaan

e. Sumber Hukum Adat

BAB II : Ruan Lingkup Hukum Adat

a. Unsur Hukum Adat

b. Bentuk dari perwujudan Hukum Adat

c. Sistem Hukum Adat

BAB III : Sejarah Hukum Adat

a. Sejarah Lahirnya Hukum Adat

b. Sejarah Politik Hukum Adat

c. Sejarah Hukum Adat Sebagai Sistem Hukum

d. Bukti Adanya Hukum Adat


BAB IV : Proses Perkembangan Hukum Adat

a. Pengenalan Teori Dalam Hukum Adat

b. Faktor Yang Mempengaruhi Dalam Perkembangan Hukum Adat

c. Dasar Berlakunya Hukum Adat

BAB V : Tata Masyarakat Hukum Adat

a. Persekutuan Hukum

b. Struktur Perseketuan Hukum

c. Masyaarakat Hukum Adat

d. Lingkungan Hukum Adat

e. Perjanjian Dalam Hukum Adat

BAB VI : Hukum Adat Dalam Aspek Kebudayaan

a. Sifat Hukum Adat

b. Corak Hukum Adat

c. Masyarakat Kebudayaan dan Hukum Adat

d. Peran dan Fungsi Hukum Adat


BAB I

PENGANTAR HUKUM ADAT

A. PENDAHULUAN
1. Kompetensi Inti
(1) Menghasilkan lulusan yang bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak
mulia, membangun karakter, penegakan moral dan kejujuran, terampil
dalam bnidang hukum dengan kualifikasi Sarjana (S1) Ilmu Hukum
dengan gelar S.H.
(2) Memiliki ketrampilan pendukung yakni hardskill dan softskill,
profesional hukum, kewirausahaan, unggul dan memiliki kualitas
internasional serta mampu untuk membuka peluang kerja yang
mampu memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat.
2. Kompetensi Dasar :
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Pengantar Hukum Adat

B. PENYAJIAN
A. Pengertian dan Istilah Adat, Istiadat

Adat merupakan pencerminan kepribadian suatu bangsa, yang merupakan


penjelmaan dari jiwa bangsa yang cukup lama bahkan berabad-abad. Setiap bangsa
tentunya mempunyai adat atau kebiasaan sendiri-sendiri satu dengan yang lain tidak
sama. Ketidaksamaan ini memperlihatkan bahwa adat dan atau kebiasaan
merupakan unsur yang penting dalam pergaulan hidup kemasyarakatan. Adat-
istiadat dan kebiasaan yang sudah mentradisi inilah yang mejadi sumber
terbentuknya hukum adat dan hukum kebiasaan.

Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang apabila diterjemahkan dalam
Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”. Adat atau kebiasaan telah meresap kedalam
Bahasa Indonesia, sehingga hampir semua bahasa daerah di Indonesia telah
menganal dan menggunakan istilah tersebut. Adat atau kebiasaan dapat diartikan
sebagai berikut :

“Tingkah laku seseoarang yang terus-menerus dilakukan dengan cara


tertentu dan diikuti oleh masyarakat luar dalam waktu yang lama”.

Sementara dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun W.J.S


Poerwadharminta, adat disebut sebagai aturan yang lazim dituruti atau dilakukan
sejak dahulu kala. Menurut JC. Mokoginta (1996:77), “adat istiadat adalah bagian
dari tradisi yang sudah mencakup dalam pengertian kebudayaan. Karena itu, adat
atau tradisi ini dapat dipahami sebagai pewarisan atau penerimaan norma-norma
adat istiadat”.

Pengertian adat-istiadat menyangkut sikap dan kelakuan seseorang yang


diikuti oleh orang lain dalam suatu proses waktu yang cukup lama, ini menunjukkan
begitu luasnya pengertian adat-iatiadat tersebut. Tiap-tiap masyarakat atau Bangsa
dan Negara memiliki adat-istiadat sendiri-sendiri, yang satu satu dengan yang
lainnya pasti tidak sama. Adat-istiadat dapat mencerminkan jiwa suatu masyarakat
atau bangsa dan merupakan suatu kepribadian dari suatu masyarakat atau bangsa.
Tingkat peradaban, cara hidup yang modern sesorang tidak dapat menghilangkan
tingkah laku atau adat-istiadat yang hidup dan berakar dalam masyarakat. Adat
selalu menyesuaikan diri dengan keadaan dan kemajuan zaman, sehingga adat itu
tetap kekal, karena adat selalu menyesuaikan diri dengan kemjuan masyarakat dan
kehendak zaman. Adat-istiadat yang hidup didalam masyarakat erat sekali kaitannya
dengan tradisi-tradisi rakyat dan ini merupakan sumber pokok dari pada hukum adat.
Menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo, mengatakan bahwa adat adalah tingkah
laku yang oleh masyarakat diadatkan. Adat ini ada yang tebal dan ada yang tipis dan
senantiasa menebal dan menipis. Aturan-aturan tingkah laku didalam masyarakat ini
adalah aturan adat dan bukan merupakan aturan hukum. Adat istiadat
adalah tingkah laku yang oleh dan dalam suatu masyarakat (sudah, sedang, akan)
diadatkan ( dibiasakan untuk dilakukan) karena merupakan perbuatan baik guna
menjaga ketenteraman dan keseimbangan hidup di antara sesama anggota
masyarakat. Adat-istiadat yang berlangsung lama dan diikuti atau dilakukan setiap
anggota masyarakat berarti telah membiasa sebagai kebiasaan (tradisi). Dengan
demikian adat istiadat sama dengan kebiasaan.

Kebiasaan-kebiasaan sosial yang sejak lama ada dalam masyarakat dengan


maksud mengatur tata-kehidupan dalam masyarakat, disebut kebiasaan. Ada yang
menganggap bahwa, adat istiadat itu sebagai peraturan sopan santun yang turun
temurun. Bedanya, adat istiadat bersifat lebih sakral (sesuatu yang suci) dan
mentradisi, kalau kebiasaan tidak mengandung makna sakral, tapi sengaja
ditradisikan dibiasakan untuk dilakukan.

Perbedaan antara kebiasaan dan adat adalah perbedaan asal. Adat


bersifat agak sakral berhubungan dengan (bersumber) dari tradisi rakyat Indonesia
yang telah turun temurun. Kebiasaan berasal (bersumber) dari negara lain (asing)
dan/atau berlakunya wilayah kota. Kebiasaan belum/tidak merupakan tradisi
rakyat - sebagian besar hasil akulterasi antara budaya “Timur” dengan “Barat” yang
belum diresapi sebagai tradisi.

B. Istilah Hukum Adat

Di kalangan masyarakat umum istilah hukum adat jarang digunakan, Yang


banyak dipakai dalam pembicaraan adalah istilah 'adat' saja. Dengan menyebut kata
'adat' maka yang dimaksud adalah 'kebiasaan', yang pada umumnya harus berlaku
dalam masyarakat bersangkutan. Misalnya dikatakan 'adat Jawa' maka yang
dimaksud adalah kebiasaan berperilaku dalam masyarakat Jawa, begitupun jika
dikatakan 'adat Minangkabau', 'adat batak', 'adat Bugis', dan sebagainya.

Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Prof.Dr. Cristian


Snouck Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Acheers” (orang-orang
Aceh), yang kemudian diikuti oleh Prof.Mr.Cornelis van Vollen Hoven dalam
bukunya yang berjudul “Het Adat Recht van Nederland Indie”.

Dengan adanya istilah ini, maka Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir
tahun 1929 meulai menggunakan secara resmi dalam peraturan perundang-
undangan Belanda. Istilah hukum adat sebenarnya tidak dikenal didalam
masyarakat, dan masyarakat hanya mengenal kata “adat” atau kebiasaan. Adat
Recht yang diterjemahkan menjadi Hukum Adat dapatkah dialihkan menjadi Hukum
Kebiasaan. Van Dijk tidak menyetujui istilah hukum kebiasaan sebagai terjemahan
dari adat recht untuk menggantikan hukum adat dengan alasan :

“ Tidaklah tepat menerjemahkan adat recht menjadi hukum kebiasaan untuk


menggantikan hukum adat, karena yang dimaksud dengan hukum kebiasaan adalah
kompleks peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan, artinya karena telah
demikian lamanya orang biasa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga
timbulah suatu peraturan kelakuan yang diterima dan juga diinginkan oleh
masyarakat, sedangkan apabila orang mencari sumber yang nyata dari mana
peraturan itu berasal, maka hampir senantiasa akan dikemukakan suatu alat
perlengkapan masyarakat tertentu dalam lingkungan besar atau kecil sebagai
pangkalnya”.

Hukum adat pada dasarnya merupakan sebagian dari adat istiadat masyarakat.
Adat-istiadat mencakup konsep yang luas. Sehubungan dengan itu dalam
penelaahan hukum adat harus dibedakan antara adat-istiadat (non-hukum) dengan
hukum adat, walaupun keduanya sulit sekali untuk dibedakan karena keduanya erat
sekali kaitannya.

C. Pengertian Hukum Adat

Hukum Indonesia yang bersumber dari adat istiadat inilah yang kemudian
disebut hukum adat, sedangkan yang bersumber dari kebiasaan disebut hukum
kebiasaan. Soepomo, di dalam “Beberapa catatan mengenai Kedudukan Hukum
Adat” mengartikan hukum adat sebagai sinonim dari “hukum yang tidak tertulis di
dalam peraturan legislative (non statutory law); hukum yang hidup sebagai konvensi
di badan-badan hukum Negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan sebagainya); hukum
yang timbul karena putusan-putusan Hakim (Judge made law); hukum yang hidup
sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di
kota-kota maupun di desa-desa (Customary law); semua ini merupakan Adat atau
Hukum yang tidak tertulis yang disebut oleh Pasal 32 UUDS Tahun 1950”.

Di dalam bukunya “Bab-Bab Tentang Hukum Adat” Soepomo menyatakan,


bahwa hukum adat adalah hukum non-statutory yang sebagian besar adalah hukum
kebiasaan dan sebagian kecil hukum Islam. Hukum adat itupun melingkupi hukum
yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam
lingkungan dimana ia memutuskan perkara. Hukum adat adalah suatu hukum yang
hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat.

Dari uraian tersebut, Soepomo mengartikan hukum adat sebagai hukum


tidak tertulis atau hukum kebiasaan yang tidak tertulis.

Sukanto di dalam bukunya “Meninjau Hukum Adat Indonesia”


mengemukakan bahwa, hukum adat adalah hukum yang tidak dibukukan, tidak
dikodifikasikan dan bersifat paksaan (dwang) mempunyai akibat hukum atau
“rechtsgevolg”.

Dalam hal ini Sukanto mengartikan hukum adat sebagai keseluruhan adat
yang tidak tertulis dan hidup dalam masyarakat yang bersifat memaksa
dan mempunyai akibat hukum.

Kusumadi Pudjosewojo di dalam bukunya “Pedoman Pelajaran Tata


Hukum Indonesia” membedakan antara “adat istiadat”, adat nan tar adat”, “adat”
dan “adat yang hukum”.

Adat istiadat, yaitu adat pusaka dari leluhur, yang semenjak purbakala
berlaku sebagai adat; adat itu menjadi dasar; perubahan dalam adat itu hampir tidak
diadakan. Selanjutnya, “Adat” adalah aturan-aturan tingkah laku manusia dalam
masyarakat sebagaimana dimaksudkan tadi, adalah aturan-aturan adat.

Dalam uraiannya, Kusumadi tidak menyebutkan secara definitip tentang


pengertian “hukum adat”. Beliau menyatakan sebagai berikut “Penetapan-penetapan
yang dipernyatakan dari para petugas hukum demikian itu dapat dijadikan tanda ciri
untuk menunjuk batas antara yang adat dan yang hukum. Ini tidak berarti bahwa
sebelum penetapan, aturan itu belum besifat hukum. Tetapi baru pada saat
penetapanlah aturan tingkah laku adat itu tegas berwujud hukum yang positip.
Dengan sekaligus dalam suatu penetapan, suatu tingkah laku diadatkan seraya pula
dihukumkan”. Jika hukum ini tidak tertulis, maka itu disebut “hukum adat”. Tetapi
pula perwujudan dari proses menjadinya hukum itu menurut cara-cara tertentu,
dalam bentuk tertulis, yang disebut “huum tertulis” yang sekarang disebut
“perundang-undangan”.
Selanjutnya beliau menjelaskan arti “Adat” dan arti “Hukum” dan “Hukum
Adat” sebagai berikut : Adat adalah tingkah laku yang oleh dan dalam suatu
masyarakat (sudah, sedang, akan) diadatkan. Aturan-aturan tingkah laku manusia
dalam masyarakat seperti yang dimaksudkan tadi adalah aturan-aturan Adat. Akan
tetapi dari aturan-aturan tingkah laku itu ada pula aturan-aturan tingkah laku yang
merupakan “Aturan Hukum”.

Menurut Ter Haar (dalam pidato Dies pada tahun 1930), hukum adat
adalah hukum yang lahir dari dan dipelihara oleh keputusan-keputusan; keputusan
para warga masyarakat hukum, terutama keputusan berwibawa dari kepala-kepala
rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum; atau dalam hal
pertentangan kepentingan - keputusan para hakim yang bertugas mengadili
sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu tidak bertentangan dengan keyakinan
hukum rakyat, melainkan senapas seirama dengan kesadaran tersebut,
diterima/diakui atau tidak ditoleransikan olehnya. Selanjutnya dalam orasi pada
tahun 1937, Ter Haar memberikan pengertian hukum adat adalah “keseluruhan
peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum
(dalam arti luas) yang mempunyai wibawa (macht, authority) serta pengaruh dan
yang dalam pelaksanaannya berlaku serta merta (spontan) dan dipatuhi dengan
sepenuh hati”.

Pendapat Ter Haar tentang pengertian hukum adat yang lahir dari sebuah
keputusan tersebut, oleh para ahli hukum dikenal dengan “Teori Keputusan”
(beslissingenleer).

Snouck Hurgronje, mempergunakan istilah hukum adat sebagai sebutan


untuk hukum rakyat Indonesia yang tidak dikodifikasi.

R. Van Dijk mengemukakan bahwa, hukum adat adalah hukum yang tidak
dikodifikasi di kalangan bangsa Indonesia dan Timur Asing (Tionghoa, Arab dsb).

Dari pendapat Snouck Hurgronje dan Van Dijk tersebut, bahwa hukum
adat adalah hukum tidak tertulis yang berlaku bagi rakyat Indonesia dan Timur Asing.

Bellefroid dalam bukunya “Inleiding tot de rechtswetenschap in Nederland”


memberikan pengertian hukum adat adalah peratuan-peraturan hidup yang
meskipun tidak diundangkan oleh Penguasa toh dihormati dan ditaati oleh rakyat
dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.
M.M. Djojodigoeno dalam bukumnya “Asas-asas Hukum Adat”
mendefinisikan hukum adat sebagai hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-
peraturan.

Menurut Van Vollenhoven, bahwa hukum adat ialah keseluruhan aturan


tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu
disebut “hukum”) dan dipihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan, karena itu
disebut “adat”. Selanjutnya dikatakan oleh beliau bahwa, tidak semua kaidah adat
istiadat merupakan hukum, yaitu hukum positif. Ada perbedaan antara hukum adat
dan adat. Di samping adat yang yang bersanksi, ada juga adat yang tidak bersanksi.
Hukum adat adalah adat yang bersanksi, sanksinya adalah reaksi masyarakat
terhadap perbuatan salah satu anggotanya. Kemudian van Vollenhoven menyatakan
bahwa, hukum adat tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh
Pemerintah Hindia Belanda.

“ Hukum adat ialah bagian tata hukum Indonesia yang berasal dari adat
istiadat. Adat istiadat ialah himpunan kaidah-kaidah sosial yang sejak lama ada,
telah merupakan tradisi dalam masyarakat Bumi Putera, dan yang bermaksud
mengatur tata tertib masyarakat Bumi Putera itu”.

“ Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis, hukum adat hanya dapat
diketahui dari dan hanya dapat dipertahankan dalam keputusan-keputusan para
peguasa Adat”.

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan, bahwa hukum adat adalah


keseluruhan kaidah-kaidah atau norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang
berasal dari adat istiadat atau kebiasaan masyarakat Indonesia untuk mengatur
tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, terhadap yang melanggarnya dapat
dijatuhi sanksi. Bagian terbesar dari hukum adat masih tidak tertulis. hukum adat
hanya dapat diketahui dari dan dipertahankan dalam keputusan-keputusan para
tetua-tetua atau penguasa adat.

Banyak pendapat – pendapat yang dikemukakan oleh para ahli ilmu hukum
adat dan dikumpulkan dalam himpunan-himpunan yurisprudensi adat atau ditulis
dalam literatur adat. Buku-buku tentang hukum adat yang terkenal hingga kini tetap
dipakai sebagai rujukan antara lain :
1. Prof Mr.C.Van Vollenhoven “Het Adatrecht van Ned. Indie”
(Hukum Adat Indonesia) 3 jilid;
2. Mr. B. Ter Haar Bzn. “Beginselen en stelsel van het adatrecht”
(Asas-asas dan Susunan Hukum Adat);
3. Prof. Dr. Soepomo “Het adat privaatrecht van West Java”
(Hukum Adat Perdata Jawa Barat);
4. Prof. M.M. Djojodiguno dan Tirtawinata “Het Adatrecht van
Middel Java” (Hukum Adat Perdata Jawa Tengah);
5. Dr. V.E. Korn “Het Adatrecht van Bali” (Hukum Adat Bali);
6. J. Mallinckrodt “Het Adatrecht van Borneo” (Hukum Adat
Borneo) dan lain-lain.
Pengarang yang pertama menulis tentang filsafat hukum adat adalah M.
Nasroen, di dalam bukunya “Dasar Filsafah Hukum Adat Minangkabau” (1957).
Sebagian besar pendapat mengenai hukum adat bentuknya tidak
tertulis, hanya sebagian kecil yang tertulis, diantaranya ialah :
a. Bermacam-macam piagam raja (surat pengesahan raja atau
kepala adat);
b. Kitab-kitab hukum misalnya yang dibuat oleh Kasunanan,
Mangkunegara dan Pakualam dahulu antara lain :
“Angger - aru-biru” (tahun 1782);
“Nawolo - Pradoto” (tahun 1771, 1818);
“Peraturan Bekel” (tahun 1884);
c. Peraturan persekutuan hukum adat yang dituliskan seperti :
“Pranatan desa” - “agama desa” - “awig-awig” ( peraturan
subak di Bali).

D. Hukum Adat dan Kebiasaan


Pengertian hukum kebiasaan sering kali disamakan dengan pengertian
hukum adat, Selain hukum yang tertulis, terdapat pula kaidah hukum yang tidak
tertulis, yang disebut dengan hukum kebiasaan.
“Menurut pendapat A. Ridwan Halim : kebiasaan adalah tata cara
hidup yang dianut oleh suatu masyarakat atau suatu bangsa
dalam waktu yang lama, dan memberikan pedoman bagi
masyarakat yang bersangkutan untuk berpikir dan bersikap dalam
menghadapi berbagai hal yang terjadi dalam kehidupannya.”

Dapat ditegaskan hukum kebiasaan disamakan dengan hukum adat. Adat


berasal dari bahasa Arab artinya kebiasaan. dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia kata adat mengandung sekurangnya dua arti, pertama adat diartikan
dengan aturan (perbuatan) yang lazim diatur atau dilakukan sejak dahulu kala
menurut masing-masing daerah. Kedua, adat diartikan kebiasaan yaitu cara
(kelakuan) yang sudah menjadi kebiasaan. Dari kedua pengertian tersebut dapat
dikatakan bahwa adat dan kebiasaan terdapat persamaan dan perbendaan.

Hilman Hadikusuma mendefinisikan hukum adat sebagai aturan kebiasaan


manusia dalam hidup bermasyarakat. Kehidupan manusia berawal dari berkeluarga
dan mereka telah mengatur dirinya dan anggotanya menurut kebiasaan dan
kebiasaan itu akan dibawa dalam bermasyarakat dan negara.

Supomo dan hazairin membuat kesimpulan bahwa hukum adat adalah


hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama
lain. Hubungan yagng dimaksud termasuk keseluruhan kelaziman dan kebiasaan
dan kesusilaan yang hidup dalam masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan
oleh masyarakat. Termasuk juga seluruh peraturan yang mengatur sanksi terhadap
pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan para penguasa adat. Penguasa
adat adalah mereka yang mempunyai kewibawaan dan yang memiliki kekuasaan
memberi keputusan dalam suatu masyarakat adat. Keputusan oleh penguasa adat,
antara lain keputusan lurah atau penghulu atau pembantu lurah atau wali tanah atau
kepala adat atau hakim dan lain sebagainya

Hukum adat merupakan hukum yang dinamis, berubah sesuai zaman.


Walaupun tidak tertulis di sebuah buku aturan yang jelas, tapi setiap orang yang
mengetahui dan memahaminya akan selalu patuh di bawahnya, karena hukum adat
adalah sesuatu yang sakral dan harus diikuti selama tidak menyimpang dari rasa
keadilan.
Hukum adat yang juga merupakan peraturan adat istiadat sudah ada
semenjak zaman kuno dan zaman pra-Hindu. Hingga akhirnya masuklah kultur-kultur
budaya masyarakat luar yang cukup mempengaruhi kultur asli pada daerah tersebut.
Seperti datangnya kultur Hindu, kultur Islam, dan kultur Kristen, sehingga hukum
adat yang ada pada saat ini merupakan akulturasi dari berbagai kultur pendatang.

Kebiasaan dapat diartikan serupa dengan pengertian adat. Bedanya,


kebiasaan dipergunakan untuk perseorangan, sedangkan adat digunakan oleh
sekelompok orang. Baik adat dan kebiasaan dapat disebut sebagai contoh hukum
tidak tertulis. Adat dan kebiasaan umumnya tidak mengikat, namun memiliki sanksi
sosial bila sesorang melanggar adat.

Apabila kebiasan telah diterima oleh masyarakat umum dan dilakukan


secara berulang-ulang serta dianggap baik atau bermanfaat, maka segala tindakan
yang bertentangan dengan kebiasaan tersebut akan dirasakan sebagai perbuatan
pelanggaran hukum. Dengan demikian, kebiasan dalam pergaulan hidup di
masyarakat dipandang sebagai hukum. Hukum kebiasaan dibentuk oleh lingkungan
setempat.

E. Sumber Hukum Adat

Sumber hukum adalah hal paling mendasar sehingga manusia mau menaati
hukum dan memiliki keteraturan dalam kehidupan. Ketika terjadi suatu peristiwa dan
dianggap melawan hukum, maka kita akan mencari sumber hukum yang
menyatakan bahwa peristiwa tersebut betul-betul bertentangan dengan hukum.

Secara umum, sumber hukum adalah tempat di mana kita menemukan


hukum. Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan terbentuknya
peraturan-peraturan hukum, baik itu berupa perintah maupun berupa larangan.
Sumber hukum memiliki kekuatan yang memaksa yang telah disepakati bersama
oleh suatu komunitas atau masyarakat. Dengan demikian, sumber hukum dapat
mengatur dan memberikan sanksi bagi yang melanggar hukum.

Sumber untuk mengenal hukum adat itu adalah :

a. Adat-istiadat atau kebiasaan yang merupakan tradisi rakyat

b. Kebudayaan tradisionil rakyat


c. Ugeran/ Kaidah dari kebudayaan Indonesia asli

d. Perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat

e. Pepatah adat

f. Yurisprudensi adat

g. Dokumen-dokumen yang hidup pada waktu itu, yang memuat


ketentuan-ketentuan hukum yang hidup

h. Kitab-kitab hukum yang pernah dikeluarkan oelh Raja-Raja.

i. Doktrin tentang hukum adat

j. Hasil-hasil penelitian tentang hukum adat dan Nilai-nilai yang


tumbuh serta berlaku dalam masyarakat.

Rangkuman

Adat merupakan gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai


kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim
dilakukan di suatu daerah. Apabila adat ini tidak dilaksanakan akan terjadi kerancuan
yang menimbulkan sanksi tak tertulis oleh masyarakat setempat terhadap pelaku
yang dianggap menyimpang. Istiadat memiliki arti dasar dimana asal mulanya
berasal dari kata dasar yaitu adat. Istiadat berarti tata kelakuan yang kekal dan
turun-temurun dari generasi satu ke genenasi lain sebagai warisan sehingga kuat
integrasinya dengan pola perilaku masyarakat.

Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang apabila diterjemahkan dalam
Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”. Adat atau kebiasaan telah meresap kedalam
Bahasa Indonesia, sehingga hampir semua bahasa daerah di Indonesia telah
menganal dan menggunakan istilah tersebut. Istilah “Hukum Adat” dikemukakan
pertama kalinya oleh Prof.Dr. Cristian Snouck Hurgronye dalam bukunya yang
berjudul “De Acheers” (orang-orang Aceh), yang kemudian diikuti oleh
Prof.Mr.Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat Recht
van Nederland Indie”. Dengan adanya istilah ini, maka Pemerintah Kolonial
Belanda pada akhir tahun 1929 mulai menggunakan secara resmi dalam peraturan
perundang-undangan Belanda. Istilah hukum adat sebenarnya tidak dikenal didalam
masyarakat, dan masyarakat hanya mengenal kata “adat” atau kebiasaan.

Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan
sosial di Indonesia dan negara-negara lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok.
Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-
peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan
dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak
tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan
menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu
sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama
suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar
keturunan.

C. PENUTUP
Contoh Soal

1. Jelaskan arti penting mengenal dan mempelajari hukum adat bagi generasi
muda di era globalisasi saat ini ?

2. Apa perbedaan antara adat, adat istiadat, hukum adat dan hukum kebiasaan.
Berikan contoh aplikasinya !

Umpan Balik

Mahasiswa dapat dikatakan berhasil menguasai materi, apabila mahasiswa dapat


menjawab pertanyaan 80% benar.
BAB II

RUANG LINGKUP HUKUM ADAT

A. PENDAHULUAN
1. Kompetensi Inti
(1) Menghasilkan lulusan yang bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak
mulia, membangun karakter, penegakan moral dan kejujuran, terampil
dalam bnidang hukum dengan kualifikasi Sarjana (S1) Ilmu Hukum
dengan gelar S.H.
(2) Memiliki ketrampilan pendukung yakni hardskill dan softskill,
profesional hukum, kewirausahaan, unggul dan memiliki kualitas
internasional serta mampu untuk membuka peluang kerja yang
mampu memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat.
2. Kompetensi Dasar :
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Ruang Lingkup Hukum Adat

B. PENYAJIAN
A. Unsur – Unsur Hukum Adat
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan
sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan
Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh
dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya.
Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat
memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Pada permulaannya untuk menyebut hukum adat antara lain digunakan
istilah “godsdienstige wetten” atau hukum agama. Ini suatu bukti adanya kesalah
pahaman, dimana hukum adat itu dianggap sama dengan hukum agama. Menurut
Snock Hurgronye, tidak semua bagian hukum agama diterima, diresepsi dalam
hukum adat. Hanya sebagian tertentu saja dari hukum adat di pengaruhi oleh hukum
agama (terutama bagian hukum keluarga, perkawinan dan hukum waris yang
mendapat pengaruh dari hukum agama).
Ter Haar membantah sebagian pendapat Snock Hurgronye bahwa hukum
waris tidak dipengaruhi oleh hukum islam. Melainkan hukum adat yang asli. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa hukum adat :

“Sebagian besar terdiri dari unsur-unsur hukum asli,


Sebagian kecil terdiri dari unsur-unsur hukum agama”.
Dari batasan-batasan definisi yang telah dikemukakan di atas, maka terlihat
unsur-unsur dari pada hukum adat sebagai berikut :
1. Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat
2. Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis
3. Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sacral
4. Adanya keputusan kepala adat
5. Adanya sanksi/ akibat hukum
6. Tidak tertulis
7. Ditaati dalam masyarakat

Menurut soerodjo wignjodipoero, S.H. hukum adat memiliki dua unsur, yaitu:
1. Unsur kenyataan: bahwa adat itu dalam keadaan yang sama
selalu di indahkan oleh rakyat.
2. Unsur psikologis: bahwa terdapat adanya keyakinan pada
rakyat, bahwa adat dimaksud mempunyai kekuatan hukum.

Unsur Kenyataan Adat dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh
rakyat dan secara berulang-ulang serta berkesinambungan dan rakyat mentaati serta
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Unsur Psikologis Setelah hukum adat ini ajeg atau berulang-ulang yang
dilakukan selanjutnya terdapat keyakinan pada masyarakat bahwa adat yang
dimaksud mempunyai kekuatan hukum, dan menimbulkan kewajiban hukum (opinion
yuris necessitatis). Kedua unsur itulah yang menimbulkan adanya kewajiban hukum
(opinio yuris necessitatis).
Hukum adat tidak statis, terus menerus tumbuh dan berkembang seperti
kehidupan itu sendiri, Menurut Prof. Dr. Soepomo, S.H. Wujud hukum adat ada 3
bentuk dalam masyarakat yaitu:

1. Hukum Adat yang tidak tertulis merupakan bagian yang terbesar

2. Hukum Adat yang tertulis; hanya sebagian kecil saja

3. Uraian-uraian hukum adat yang tertulis merupakan hasil penelitian

B. Bentuk dari perwujudan Hukum Adat

Adat merupakan konstruksi perilaku kehidupan manusia yang berwujud


kebiasaan dan dipertahankan secara terus menerus oleh perseorangan maupun
kelompok. Di dalam masyarakat hukum adat nampak dalam tiga wujud, yaitu
sebagai :

1. Hukum yang tidak tertulis (“jus non scriptum”); merupakan bagian yang
terbesar.

Hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat adat, tetapi


tidak tertulis dan tidak mengenal kodifikasi namun berlakunya ditaati
seperti perundang-undangan. Biasanya berlaku di masyarakat yang
masih buta huruf.

Contoh hukum adat tidak tertulis:

a. Maro

b. Kawin lari

c. Harta hono gini dsb.

2. Hukum yang tertulis (“jus scriptum”); hanya sebagian kecil saja, hukum
yang tumbuh dan hidup di dalam masyarakat yang sudah mengenal
tulis, dapat diketahui keputusan-keputusan para pemimpin persekutuan
dan tidak boleh bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.
misalnya peraturan-peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan
oleh raja-raja / sultan-sultan dahulu seperti pranatan-pranatan di Jawa,
peswara-peswara/titiswara-titiswara di Bali, dan sarakata-sarakata di
Aceh.

Contoh hukum adat tertulis:

a. Subak di Bali

b. Piagam-piagam raja

c. Angger Arubiru (1782)

d. Nawolo Pradoto (1771)

e. Pranata desa

f. Baraja nanti (Kutai) dsb.

3. Uraian-uraian hukum secara tertulis; lazimnya uraian-uraian ini


adalah merupakan suatu hasil penelitian (research) yang
dibukukan, seperti antara lain hasil penelitian Prof. Supomo
yang diberi judul “Hukum Perdata Adat Jawa Barat”.

C. Sistem Hukum Adat

Hukum adat merupakan hukum yang hidup dalam pergaulan masyarakat


sehari-hari. Dalam pertumbuhan hukum adat itu secara langsung selalu membawa
kita pada dua keadaan, tertulis atau tidak tertulis, pasti dan tidak pasti, hukum raja
dan hukum rakyat, dan seterusnya. Membawa kita pada dua keadaan itu adalah
justru sifat dan pembawaan hukum adat sendiri. Tiap hukum merupakan suatu
sistem, artinya kompleks norma-normanya itu merupakan suatu kebulatan sebagai
wujud pengejawatan daripada kesatuan alam pikiran yang hidup di dalam
masyarakat.

Sistem hukum adat bersendi atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang
sudah barang tentu berlainan dengan alam pikiran yang menguasai hukum barat.
Dan untuk dapat memahami serta sadar akan hukum adat, orang harus menyelami
dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Hukum adat
sebagai salah satu tipe hukum bangsa Indonesia mempunyai sistem sendiri yang
berbeda dengan sistem hukum dari tipe hukum bangsa lainnya.

Sistem hukum adat merupakan sistem hukum khas struktur alam pikiran
masyarakat Indonesia, yang bersifat religiomagis, komunal, kontan dan kongkrit.
Berdasarkan struktur alam pikiran tersebut, maka sistem hukum adat tidak
memerlukan kodefikasi, mengatur secara garis besar saja, tidak dibuat aturan
terlebih dahulu, karena yang diatur hal-hal yang umum untuk kepentingan bersama,
tidak dibedakan atas benda tetap dan bergerak, serta hak kebendaan dan
perorangan, juga tidak dibedakan antara hukum privat dan hukum publik, sebab
dalam hukum adat tidak dibedakan kedudukan antara penguasa dan rakyat.

Apabila sistem hukum adat diperbandingkan dengan sistem hukum barat,


maka akan tampak perbedaan sebagai berikut:

a. Sistem Hukum Barat

1). Menjunjung tinggi nilai-nilai kodefikasi

2). Memuat peraturan yang kasuistis, artinya merinci.

3). Hakim terikat penetapan dari kodifikasi. Hakim diberi tugas


mencocokkan perkara yang dihadapi dengan penetapan
kodifikasi, karenanya hakim pasif.

4). Mengenal hak-hak kebendaan, yaitu hak-hak yang berlaku


terhadap setiap orang dan hak-hak perorangan, yaitu hak-
ahak atas suatu objek yang hanya berlaku terhadap
seseorang tertentu saja.

5). Terdapat pembagian hukum dalam hukum privat dan hukum public.

6). Dikenal perbedaan benda dalam benda tetap dan benda


bergerak.

7). Perlu adanya sanksi sebagai jaminan terlaksananya penertiban.

b. Sistem Hukum Adat

1). Tidak menghendaki kodifikasi.

2). Menyandarkan pada asas-asas hukum saja, artinya hanya


mengatur dalam garis besar saja.
3). Karena tidak ada penetapan (kodifikasi) maka hakim diberi
kebebasan dalam mewujudkan keadilan yang hidup dalam
masyarakat karenanya hakim aktif

4). Hak-hak kebendaan dan perorangan tidak dikenal dalam


hukum adat.

5). Tidak dikenal pembagian hukum public dan privat.

6). Perbedaan benda tetap dan bergerak tidak dikenal.

7). Dalam hukum adat tidak ada ketentuan yang harus disertai
syarat yang menjamin terlaksananya ketertiban dengan jalan
mempergunakan sanksi. Hukuman adat tidak merupakan
hukuman, akan tetapi hanyalah upaya adat untuk
mengembalikan keseimbangan.

Rangkuman

Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan
sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan
Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh
dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya.
Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat
memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Didalam hukum adat pun juga
memuat 4 unsur yaitu: nilai budaya, sistem norma, sistem hukum dan aturan khusus.

Pada umunya hukum adat tidak tentulis dalam bentuk perundang undangan
dan tidak dikodifikasikan, jadi tidak tersusun secara sistematis dan tidak dihimpun
dalam kitab perundangan. Bentuk hukum adat tidak teratur, keputusan tidak
memakai konsideran, pasal – pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai
penjelasan, bahkan kebanyakan tidak ditulis atau dicatat.

Hukum adat merupakan Hukum indonesia asli yang tidak tertulis di dalam
perundang-undangan RI yang mengandung unsur agama. Kedudukan Hukum Adat
yaitu sebagai salah satu sumber penting guna memperoleh bahan-bahan bagi
pembangunan hukum nasional yang menuju pada penyamaan hukum. Sistem
hukum adat inilah yang berlaku di seluruh nusantara sejak orang-orang Belanda
belum dan sesudah menginjakkan kakinya di nusantara. Sebagai suatu sistem,
meskipun berbeda dengan sistem hukum barat sebagaimana perbedaannya antara
lain diungkapkan oleh Soepomo di atas, hukum adat juga memiliki aspek-aspek
hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, bahkan hukum internasional.
Sebagai suatu sistem, hukum adat mempunyai asas-asas yang sama, tetapi
mempunyai perbedaan corak hukum yang bersifat lokal.

C. PENUTUP

Contoh Soal

1. Jelaskan peranan unsur hukum adat dalam penerapanya didalam


masyrakat Indonesia !

2. Mengapa sistem hukum adat diperlukan bagi keberlangsungan terjadinya


hukum adat !

Umpan Balik

Mahasiswa dapat dikatakan berhasil menguasai materi, apabila mahasiswa dapat


menjawab pertanyaan 80% benar.
BAB III

SEJARAH HUKUM ADAT

A. PENDAHULUAN
1. Kompetensi Inti
(1) Menghasilkan lulusan yang bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak
mulia, membangun karakter, penegakan moral dan kejujuran, terampil
dalam bnidang hukum dengan kualifikasi Sarjana (S1) Ilmu Hukum
dengan gelar S.H.
(2) Memiliki ketrampilan pendukung yakni hardskill dan softskill,
profesional hukum, kewirausahaan, unggul dan memiliki kualitas
internasional serta mampu untuk membuka peluang kerja yang
mampu memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat.
2. Kompetensi Dasar :
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Sejarah Hukum Adat

B. PENYAJIAN
A. Sejarah Lahirnya Hukum Adat
Peraturan adat istiadat kita ini, pada hakekatnya sudah terdapat pada zaman

kuno, zaman Pra-Hindu. Adat istiadat yang hidup dalam masyarakat Pra-Hindu

tersebut menurut ahli-ahli hukum adat adalah merupakan adat-adat Melayu

Polinesia.

Kemudian datang kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen yang masing-

masing mempengaruhi kultur asli tersebut yang sejak lama menguasai tata

kehidupan masyarakat Indonesia sebagai suatu hukum adat. Sehingga Hukum Adat

yang kini hidup pada rakyat itu adalah hasil akulturasi antara peraturan-peraturan
adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan peraturan-peraturan hidup yang dibawa oleh

kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen.

Hukum Adat dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck Hurgrounje


seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda (1894). Sebelum istilah Hukum Adat
berkembang, dulu dikenal istilah Adat Recht. Prof. Snouck Hurgrounje dalam
bukunya de atjehers (Aceh) pada tahun 1893-1894 menyatakan hukum rakyat
Indonesia yang tidak dikodifikasi adalah de atjehers.

Kemudian istilah ini dipergunakan pula oleh Prof. Mr. Cornelis van
Vollenhoven, seorang Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang pula menjabat
sebagai Guru Besar pada Universitas Leiden di Belanda. Ia memuat istilah Adat
Recht dalam bukunya yang berjudul Adat Recht van Nederlandsch Indie (Hukum
Adat Hindia Belanda) pada tahun 1901-1933. Perundang-undangan di Hindia
Belanda secara resmi mempergunakan istilah ini pada tahun 1929 dalam Indische
Staatsregeling (Peraturan Hukum Negeri Belanda), semacam Undang Undang Dasar
Hindia Belanda, pada pasal 134 ayat (2) yang berlaku pada tahun 1929.

Dalam masyarakat Indonesia, istilah hukum adat tidak dikenal adanya. Hilman
Hadikusuma mengatakan bahwa istilah tersebut hanyalah istilah teknis saja.
Dikatakan demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan dikembangkan oleh
para ahli hukum dalam rangka mengkaji hukum yang berlaku dalam masyarakat
Indonesia yang kemudian dikembangkan ke dalam suatu sistem keilmuan.

Dalam bahasa Inggris dikenal juga istilah Adat Law, namun perkembangan
yang ada di Indonesia sendiri hanya dikenal istilah Adat saja, untuk menyebutkan
sebuah sistem hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum Adat. Pendapat ini
diperkuat dengan pendapat dari Muhammad Rasyid Maggis Dato Radjoe
Penghoeloe sebagaimana dikutif oleh Prof. Amura sebagai lanjutan
kesempuranaan hidupm selama kemakmuran berlebih-lebihan karena penduduk
sedikit bimbang dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah, sampailah manusia
kepada adat.

Sedangkan pendapat Prof. Nasroe menyatakan bahwa adat Minangkabau


telah dimiliki oleh mereka sebelum bangsa Hindu datang ke Indonesia dalam abad
ke satu tahun masehi. Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H. di dalam bukunya
mengatakan bahwa istilah Hukum Adat telah dipergunakan seorang Ulama Aceh
yang bernama Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani
(Aceh Besar) pada tahun 1630. Prof. A. Hasymi menyatakan bahwa buku tersebut
(karangan Syekh Jalaluddin) merupakan buku yang mempunyai suatu nilai tinggi
dalam bidang hukum yang baik.

Penemuan hukum adat tidak ditemukan secara sengaja artinya dilakukan


oleh seseorang yang memang sengaja melalui sebuah proyek untuk mencari dan
menemukan hukum adat. Penemuan hukum adat terjadi sejak akhir abad ke 19 dan
awal abad ke 20 sebagai akibat dari peningkatan perhatian orang terhadap hukum
adat mesyarakat secara sederhana di wilayah Indonesia.

Para perintis ini tidak hanya melakukan gambaran tentang hukum adat (
kebudayaan) , tetapi juga lebih spesifik lagi misalnya hukum adat tentang tanah, atau
desa dan sebgainya . van vollenhoven menyebutkan periode tahun 1865 sebagai
“westerre verkenning” (Penyelidikan atau penelitian lapangan yang dilakukan oleh
orang-orang barat ) yaitu perintis penyelidikan hukum adat yang dilakukan oleh
orang barat.

Beberapa peintis dari penyelidikan hukum adat, antara lain :

a. William marsden

William marsden adalah perintis pertama dari penemuan hukum adat . ia


adalah orang pertama yang melakuakn penyelidikan tentang hukum adat . disebut
sebagai yang pertama karena marsden telah melakukan penelitian sistematis sejak
1783 terhadap hukum adat kemudian marsden menerbitkan bukunya yang berjudul
“the history of Sumatra” buku ini berisi tentang budaya adat orang Sumatra.

b. Herman Warren Muntinghe

Warren adalah orang yang memiliki kepandain luar biasa . oleh karena itu .
pada tanggal 18 oktober 1811 dengan segera oleh lord minto ia diangkat menjadi
anggota kedua dari dewan. Akan tetapi , iaa sangat malas dan hidupnya tidak
teratur, oleh karena itu tidak satupun buku yang ditulisnya , bahkan terjebak dalam
pekerjaan sebagai spekulan tanah . ia terkenal karena sebagai penulis 5 memorynya
yaitu :

1. Memori untuk raffles tentang rencana pembahuruan


2. Tentang hukum tanah di jawa , ia menyebutkan bahwa penyerahan tanah
kepada orang eropa diperbolehkan asalkan tidak merugikan orang jawa
3. Tentang perusahaan bebas dan pajak yang teratur, memory satu lagi untuk
va de capellen tentang politik agrarian
4. Muntinghe mengemukakan bahwa tida dapat dibenarkan untuk memberikan
tanah kepada orang eropa memori yang satu ini untuk van de capellen juga
tentang politik agraria
5. Yang terkahir sama sekali tidak membicarakan tentang hukum adat yang
satu ini untuk van debuit tentang politik agrarian

c. Thomas Stamford Raffles

Orang inggris kedua yang menaruh minat pada hukum adat. Daerah
penelititan raffles meliputi Malaya,jawa,Bengkulu di Malaya ia bertindak sebagai
pangreh praja yang bertugas mengumpullkan bahan2 di jawa dan Bengkulu ia
sebagai pembesar pemerintah yang berkusa memerintah untuk mengumpulkan
bahan2 hukum adat diserahkan kepadanya.

Pandangan raffles tentang hukum adat secara singkat dikatakan bahwa


raffles tidak membedakan antara hukum adat dengan hukum agama (islam)
dikatakanya bahwa al-quran adalah sumber hukum di jawa dan desa bersumberkan
‘hinduisme’

d. John Crawford

Orang inggris ketiga yang tertarik pada hukum adat dan dianggap sebagai
pioneer. Pandangan john Crawford tentang hukum adat di Indonesia dalam
hubunganya dengan hukum agama. Dia berpandanga” adakah kemungkinan bahwa
hukum suatu bangsa dengan bermacam-macam kasta seperti hindu awal atau
hukum suatu tanah penggembalaan yang tandus seperti negeri arab dapat berlaku
sebagai hukum yang hidup di Indonesia
e. Dirk Van Hogendorp

Pandangan Hogendorp yang penting adalah pandanganya bahwa orang


jawa (khususnya orang jawa tengah) hidup dengan peraturan pinjam tanah, artinya
sultan meminjamkan tanah kepada pemegang apanage meminjamkanya lagi dengan
tanggung jawab sebagai dari tanah itu kepada penduduk desa.Hogendorp
selanjutnya mengatakan bahwa peraturan itu dianggap sungguh2 membuat gundah,
oleh karena itu orang jawa dianggap sebagai pemilik tanah dan diterapkanya
pandangan bebas. Dan untuk tanah itu dan hasilnya , penduduk harus tunduk pa da
peraturan pajak . ia tidak menyinggung tentang pajak tanah raja di jawa.

f. Jean Ehretien band

Band memahami soal hukum adat, serta ia sangat menyadari arti penting
ilmu ketimuran itu. Band mencoba melakukan penelitian dengan kemauan yang
sungguh2 ia sangat menaruh perhatian pada ilmu pengetahuan. Hal ini terbukti dari
dedikasinya untuk wujudakn “koninlchishe institute” (institute ilmu pengetahuan).
Pengertian tentang hukum adat dinyatakan dalam bentuk diskusi dan pidato yang
dilakuakn sehubungan dengan lahirnya “regerungsrglement 1854”

B. Bukti Adanya Hukum Adat Indonesia


Bukti-bukti bahwa dulu sebelum bangsa Asing masuk ke Indonesia sudah
ada hukum adat, adalah sebagai berikut :

a. Tahun 1000, pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur
dengan kitabnya yang disebut Civacasana.
b. Tahun 1331-1364, Gajah Mada Patih Majapahit, membuat kitab yang
disebut Kitab Gajah Mada.
c. Tahun 1413-1430, Kanaka Patih Majapahit, membuat kitab Adigama.
d. Tahun 1350, di Bali ditemukan kitab hukum Kutaramanava.
Disamping bukti kitab - kitab hukum kuno yang ditemukan tersebut dimana
yang mengatur kehidupan didalam lingkungan istana, ada juga kitab-kitab yang
mengatur kehidupan masyarakat sebagai berikut :

1. Di Tapanuli
Ruhut Parsaoran di Habatohan (kehidupan social di tanah Batak), Patik
Dohot Uhum ni Halak Batak (Undang-Undang dan ketentuan-ketentuan
Batak).

2. Di Jambi Undang-Undang Jambi

3. Di Palembang
Undang-Undang Simbur Cahaya (Undang-Undang tentang tanah di
dataran tinggi daerah Palembang).

4. Di Minangkabau
Undang-Undang nan dua puluh (Undang-Undang tentang hukum adat
delik di Minangkabau)

5. Di Sulawesi Selatan
Amana Gapa (peraturan tentang pelayaran dan pengangkatan laut bagi
orang-orang wajo)

6. Di Bali
Awig-awig (peraturan Subak dan desa) dan Agama desa (peraturan
desa) yang ditulis didalam daun lontar.

Sebelum datang VOC belum ada penelitian tentang hukum adat, dan
semasa VOC karena ada kepentingan atas Negara jajahannya (menggunakan politik
opportunity), maka Heren 17 (pejabat di Negeri Belanda yang mengurus Negara-
negara jajahan Belanda) mengeluarkan perintah kepada Jenderal yang memimpin
daerah jajahannya masing-masing untuk menerapkan hukum Belanda di Negara
jajahan (Indonesia) tepatnya yaitu pada tanggal 1 Maret 1621 yang baru
dilaksanakan pada tahun 1625 yaitu pada pemerintahan De Carventer yang
sebelumnya mengadakan penelitian dulu dan akhirnya sampai pada suatu
kesimpulan bahwa di Indonesia masih ada hukum adat yang hidup. Oleh karena itu,
Carventer memberikan tambahan bahwa hukum itu disesuaikan sehingga perlu 4
kodifikasi hukum adat yaitu :

1. Tahun 1750, untuk keperluan Lanrad (pengadilan) di Serang dengan kitab


hukum “MOGHARRAR” yang mengatur khusu pidana adat (menurut Van
Vollenhoven kitab tersebut berasal dari hukum adat).
2. Tahun 1759, Van Clost Wijck mengeluarkan kitab yaitu “COMPEDIUM”
(pegangan/ikhtisar) yang terkenal dengan Compedium Van Clost Wijck
mengenai Undang-Undang Bumi Putera di lingkungan kerator Bone dan
Goa.
3. COMPENDIUM FREIZER tentang Peraturan Hukum Islam mengenai
nikah, talak, dan warisan.
4. HASSELAER, beliau berhasil mengumpulkan buku-buku hukum untuk
para hakim di Cirebon yang terkenal dengan PAPAKEM CIREBON.

Pencatatan hukum adat oleh orang luar negeri diantaranya :

1. Robert Padtbrugge (1679), ia seorang gubernur Ternate yang


mengeluarkan peraturan tentang adat istiadat Minahasa.

2. Francois Valetijn (1666-1727) yang menerbitkan suatu ensiklopedia


tentang kesulitan-kesulitan hukum bagi masyarakat.

Peridesasi hukum adat pada masa penjajahan Belanda terbagi dalam :

1. Jaman Daendels (1808-1811)

Beranggapan bahwa memang ada hukum yang hidup dalam


masyarakat adat tetapi derajatnya lebih rendah dari hukum eropa,
jadi tidak akan mempengaruhi apa-apa sehingga hukum eropa
tidak akan mengalami perubahan karenanya.

2. Jaman Raffles (1811-1816)

Pada zaman ini Gubernur Jenderal dari Inggris membentuk komisi


MACKENZIE atau suatu panitia yang tugasnya mengkaji/meneliti
peraturan-peraturan yang ada di masyarakat, untuk mengadakan
perubahan-perubahan yang pasti dalam membentuk pemerintahan
yang dipimpinnya. Setelah terkumpul hasil penelitian komisi ini
yaitu pada tanggal 11 Pebruari 1814 dibuat peraturan yaitu
regulation for the more effectual Administration of justice in the
provincial court of Java yang isinya :

a. Residen menjabat sekaligus sebagai Kepala Hakim

b. Susunan pengadilan terdiri dari :

1. Residen’s court

2. Bupati’s court

3. Division court

c. Ada juga Circuit of court atau pengadilan keliling

d. Yang berlaku adalah native law dan unchain costum


untuk Bupati’s court dan untuk Residen (orang Inggris)
memakai hukum Inggris.

3. Zaman Komisi Jenderal (1816-1819)

Pada zaman ini tidak ada perubahan dalam perkembangan


hukum adat dan tidak merusak tatanan yang sudah ada.

4. Zaman Van der Capellen (1824)

Pada zaman ini tidak ada perhatian hukum adat bahkan


merusak tatanan yang sudah ada.

5. Zaman Du Bush

Pada zaman ini sudah ada sedikit perhatian pada hukum


adat, yang utama dalam hukum adat ialah hukum Indonesia
asli.

6. Zaman Van den Bosch

Pada zaman ini dikatakan bahwa hukum waris itu dilakukan


menurut hukum Islam serta hak atas tanah adalah campuran
antara peraturan Bramein dan Islam.
7. Zaman Chr. Baud.

Pada zaman ini sudah banyak perhatian pada hukum adat


misalnya tentang melindungi hak-hak ulayat.

Pada tahun 1918 putera-putera Indonesia membuat disertasi mengeani


hukum adat di Balai Perguruan Tinggi di Belanda, antara lain :

1. Kusumaatmadja tahun 1922 yang menulis tentang wakaf

2. Soebroto tahun 1925 yang menulis tentang sawah


vervavding (gadai sawah)

3. Endabumi tahun 1925 yang menulis tentang Bataks


grondenrecht (hukum tanah suku Batak).

4. Soepomo tahun 1927 yang menulsi tentang Vorstenlands


grondenrecht (hak tanah di kerajaan-kerajaan).

Adapun penyelidikan tentang hukum adat di Indonesia dilakukan oleh :

1. Djojdioeno/ Tirtawinata yang menulis tentang Hukum Adat


privat Jawa Tengah.

2. Soepomo yang menulis tentang Hukum Adat Jawa Barat

3. Hazairin yang membuat disertasinya tentang “Redjang”

C. Sejarah Politik Hukum Adat

Hukum adat menjadi masalah politik hukum pada saat pemerintah Hindia
Belanda akan memberlakukan hukum eropa atau huku yang berlaku di Belanda
menjadi hukum positif di Hindia Belanda (Indonesia) melalui asas konkordansi.

Mengenai hukum adat timbulah masalah bagi pemerintah colonial, sampai


dimana hukum ini dapat digunakan bagi tujuan-tujuan Belanda serta kepentingan-
kepentingan ekonominya, dan sampai dimana hukum adat itu dapat dimasukkan
dalam rangka politik Belanda. Kepentingan atau kehendak bangsa Indonesia tidak
masuk perhitungan pemerintah colonial.

Sebelum zaman Penjajahan Indonesia diperintah oleh banyak kerjaan yang


rapuh. Hukum yang menjadi dasar dan pedoman mereka berperilaku parsial yaitu
hukum menurut kerajaan mereka masing-masing bahkan di masyarakat pun ada
yang tunduk pada hukum adat pada masinh2 suku,agama, pada masing-masing
agama dan hukum kerajaan pada kerajaan masin-masing. Sementara itu terjadi
perubahan dibelahan dunia lain terutama di eropa . pada tahun 1580 portugis
ditaklukan oleh spanyol. Pada tahun 1589 kapal berbendera belanda bersandar di
banten. Suatu Bandar sekaligus tempat perdagangan hasil bumi terbesar saat itu
karean banyak kapal2 asing yang bersandar disana.

Kedatangan belanda adalah awal dari kolonialisme di nusantara, sebab pada


tanggal 20 maret 1602 atas ajuan van olendenbaanevelat orang - orang belanda
yang terdiri dari atas 60 orang pedagang besar dan dikelola oleh 17 orang pengawas
harian yang disebut verenget oostingdesehc compagne (VOC) pada masa awal
pendudukan VOC sedang dalam peperangan dengan berbagai pihak maka dari itu
dia tidak menyentuh pribumi termasuk Hukum adat. Namun demikian daerah yang
dikuasai VOC tetap menggunakan hukum VOC hukum voc berbentuk plakat atau
pengumuman dan undang-undang . namun ternyata hukum ini hanya diikuti didalam
kota Batavia saja. Jadi untuk menanganinya mereka memmeritahkan kepala
kampong atau kapitan untuk mengawasi hukum agar berlaku di daerah terpencil.

Pada 31 desember 1799 voc kolaps dan dibubarkan. Kekuasaan diambil alih
oleh Bataafische republice yang dipimpin oleh herman William daendels. Kemudian
berubah menjadi koninkrirsh bataafsch republic kemudian berubah jadi koninkrisc
hollands dengan rajanya Louis napoleon. Daendels terkenal karena kekejamnya
dia dijuluki marsekal besi. Menurut charter aziatische raad yang disahkan 27
september 1804 yang menetukan bahwa semua lembaga yang sudah ada baik akan
tetap dipertahankan kecuali dianggap perlu untuk perubahan

Apabila diikuti secara kronologis usaha-usaha baik pemerintah Belanda di


negerinya sendiri maupun pemerintah colonial yang ada di Indonesia ini, maka
secara ringkasnya undang-undang yang bertujuan menetapkan nasib ataupun
kedudukan hukum adat didalam system perundang-undangan di Indonesia, adalah
sebagai berikut :

1. Mr. Wichers, Presiden Mahkamah Agung, ditugaskan untuk


menyelidiki apakah hukum adat privat itu tidak dapat diganti
dengan hukum kodifikasi Barat. Rencana kodifikasi Wichers
ternyata gagal.

2. Sekitar tahun 1870, Van der Putte, Menteri Jajahan Belanda,


mengusulkan penggunaan hukum tanah Eropa bagi
penduduk desa di Indonesia untuk kepentingan agraris
pengusaha Belanda. Usaha inipun gagal.

3. Pada tahun 1900, Cremer, Menteri Jajahan, menghendaki


diadakan kodifikasi local untuk sebagian hukum adat dengan
mendahulukan daerah- daerah yang penduduknya telah
memeluk agama Kristen. Usaha ini belum terlaksana.

4. Kabinet Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu


rencana undang-undang untuk menggantikan hukum adat
dengan hukum Eropa. Pemerintah Belanda menghendaki
supaya seluruh penduduk asli tunduk pada unifikasi hukum
secara Barat. Usaha ini gagal, sebab Parlemen Belanda
menerima suatu amandemen yakni amandemen Van
Idsinga.

5. Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda dengan tidak


menghiraukan amandemen Idsinga, mengumumkan rencana
KUH Perdata bagi seluruh golongan penduduk di Indonesia.
Ditentang oleh Van Vollenhoven dan usaha ini gagal.

6. Pada tahun 1923 Mr. Cowan, Direktur Departemen Justitie di


Jakarta membuat rencana baru KUH Perdata dalam tahun
1920, yang diumumkan Pemerintah Belanda sebagai
rencana unifikasi dalam tahun 1923. Usaha ini gagal karena
kritikan Van Vollenhoven. Pengganti Cowan, yaitu Mr
Rutgers memberitahu bahwa meneruskan pelaksanaan kitab
undang-undang kesatuan itu tidak mungkin.

Dan dalam tahun 1927 Pemerintahn Hindia Belanda mengubah haluannya,


menolak penyatuan hukum (unifikasi). Sejak tahu 1927 itu olitik Pemerintah Hindia
Belanda terhadap hukum adat mulai berganti haluan, yaitu dari “unifikasi” beralih ke
“kodifikasi”.
Rangkuman

Hukum Adat dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck Hurgrounje


seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda (1894). Sebelum istilah Hukum Adat
berkembang, dulu dikenal istilah Adat Recht. Prof. Snouck Hurgrounje dalam
bukunya de atjehers (Aceh) pada tahun 1893-1894 menyatakan hukum rakyat
Indonesia yang tidak dikodifikasi adalah de atjehers. Kemudian istilah ini
dipergunakan pula oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, seorang Sarjana Sastra
yang juga Sarjana Hukum yang pula menjabat sebagai Guru Besar pada Universitas
Leiden di Belanda. Ia memuat istilah Adat Recht dalam bukunya yang berjudul Adat
Recht van Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia Belanda) pada tahun 1901-1933.
Perundang-undangan di Hindia Belanda secara resmi mempergunakan istilah ini
pada tahun 1929 dalam Indische Staatsregeling (Peraturan Hukum Negeri Belanda),
semacam Undang Undang Dasar Hindia Belanda, pada pasal 134 ayat (2) yang
berlaku pada tahun 1929

Dalam masyarakat Indonesia, istilah hukum adat tidak dikenal adanya.


Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa istilah tersebut hanyalah istilah teknis saja.
Dikatakan demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan dikembangkan oleh
para ahli hukum dalam rangka mengkaji hukum yang berlaku dalam masyarakat
Indonesia yang kemudian dikembangkan ke dalam suatu sistem keilmuan.

C. PENUTUP

Contoh Soal

1. Jelaskan secara singkat sejarah lahirnya hukum adat ?

2. Bagaimana pembuktiaan asal mula hukum adat hingga dapat diterima


menjadi hukum positif di Indonesia ?

Umpan Balik

Mahasiswa dapat dikatakan berhasil menguasai materi, apabila mahasiswa dapat


menjawab pertanyaan 80% benar.
BAB IV

PROSES PERKEMBANGAN HUKUM ADAT

A. PENDAHULUAN
1. Kompetensi Inti
(1) Menghasilkan lulusan yang bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak
mulia, membangun karakter, penegakan moral dan kejujuran, terampil
dalam bnidang hukum dengan kualifikasi Sarjana (S1) Ilmu Hukum
dengan gelar S.H.
(2) Memiliki ketrampilan pendukung yakni hardskill dan softskill,
profesional hukum, kewirausahaan, unggul dan memiliki kualitas
internasional serta mampu untuk membuka peluang kerja yang
mampu memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat.
2 Kompetensi Dasar :
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Proses Perkembangan
Hukum Adat.

B. PENYAJIAN
A. Pengenalan Teori Dalam Hukum Adat
Secara sadar dan tidak sadar kita hidup denagn dikelilingi oleh hukum yang
berkembang dilingkungan kita. Hukum tersebut biasa kita sebut dengan hukum adat.
Hukum adat ialah serangkaian hukum yang lahir dalam masyarakat adat itu sendiri
karena sebenarnya hukum tersebut telah menjadi dinamika masyarakat dan tidak
dapat untuk dipisahkan.
Di negara kita sedang ramai yang membicarakan hukum adat yang
eksistensinya mulai terlihat kembali dan beragam manfaatnya bagi kehidupan dalam
bermasyarakat. Poin-poin dalam hukum adat dapat dikatakan secara lian atau
abstrak karena tidak semua hukum adat tertulis dan tersurat namun selalu tersirat
dalam suatu pergaluan hidup tertentu.
Dalam studi pengetahuan secara umum, nama Christian Snouck Hurgronje,
Van den Berg dan Snouck Hurgronje dikenal luas sebagai salah seorang sarjana
yang menjadikan Ilmu sebagai satu disiplin tersendiri di Barat. Mereka juga dikenal
sebagai salah seorang tokoh awal yang menjadikan hukum sebagai salah satu
obyek kajian di Eropa dengan pendekatan sejarah. Van Niel juga menggambarkan
Snouck Hurgronje sebagai tokoh penting yang mempunyai pengetahuan cukup luas
tentang Nusantara (Indonesia). Selama lebih dari tujuh belas tahun (1889-1906), ia
menempati posisi penasehat khusus Pemerintah Kolonial Belanda yang sebelumnya
dijabat oleh Van den Berg, yang bertugas, antara lain, memberi nasehat terkait
dengan ajaran Islam dan budaya setempat. Hingga kini, para tokoh pengemuka teori
– teori dalam ilmu pengetahuan tersebut tetap dikenal luas di kalangan masyarakat
Indonesia.
Dan selama perkembangan pembentukan hukum adat saat ini di indonesia,
ada beberapa pengenalan teori yang mendasari untuk keberlangsungan hukum adat
di masyrakat, Antara lain :

Receptio in Complexu

Receptio in Complexu merupakan teori yang dikemukakan oleh Lodewijk


Willem Christian Van Den Berg (1845–1927). Teori ini bermakna bahwa hukum
yang diyakini dan dilaksanakan oleh seseorang seharmoni dengan agama yang
diimaninya. Oleh sebab itu, jika seseorang beragama Islam maka secara langsung
hukum Islamlah yang berlaku baginya, demikian seterusnya. Dengan kata lain, teori
ini dapat dipadankan dengan sebutan “teori penerimaan secara kompleks atau
sempurna”. Kalau suatu masyarakat itu memeluk adama tertentu maka hukum adat
masyarakat yang bersangkutan adlah hukum agama yang dipeluknya. Kalau ada
hal-hal yang menyimpang dari pada hukum agama yang bersangkutan, maka hal-hal
itu dianggap sebagai pengecualian.
Terhadap teori Receptio in Complexu ini hampir semua sarjana memberikan
tanggapan dan dianataranya Snouck Hurrunye “menentang dengan keras
terhadap teori ini, dengan mengatakan bahwa tidak semua Hukum Agama diterima
dalam hukum adat. Hukum agama hanya memberikan pengaruh pada kehidupan
manusia yang sifatnya sangat pribadi yang erat kaitannya dengan kepercayaan dan
hidup batin, bagian-bagian itu adalah hukum keluarga, hukum perkawinana, dan
hukum waris”.
Sedangkan dua sarjana Belanda berikutnya: Cornelis van Vollenhoven
(1874-1933) dan B. Ter Haar. berpendapat bahwa pendapat Snouck Hurgrunye,
menurut Terhaar hukum waris bukan berasal dari hukum agama, tapi merupakan
hukum adat yang asli tidak dipengaruhi oleh hukum Islam, sedangkan hukum waris
disesuaikan dengan struktur dan susunan masyarakat. Teori Reception in Comlexu
ini sebenarnya bertentangan dengan kenyataan dalam masyarakat, karena hukum
adat terdiri atas hukum asli (Melayu Polenesia) dengan ditambah dari ketentuan-
ketentuan dari hukum Agama demikian dikatakan oleh Van Vollen Hoven. Memang
diakui sulit mengdiskripsikan bidang-bidang hukum adat yang dipengaruhi oleh
hukum agama hal ini disebabkan oleh :

1. Bidang-bidang yang dipengaruhi oleh hukum agama sangat bervariasi dan


tidak sama terhadap suatu masyarakat.

2. Tebal dan tipisnya bidang yang dipengaruhi hukum agama juga bervariasi.

3. Hukum adat ini bersifat lokal.

4. Dalam suatu masyarakat terdiri atas warga-warga masyarakat yang


agamanya berlainan.

Ada pula teori receptie a contrario yang dikembangkan oleh Sayuti Thalib
SH. seara harfiah bererti kebalikan dari teori receptie. Jika teori receptie
mendahulukan hukum adat dari pada hukum Islam, maka teori receptie a contrario
mendahulukan hukum islam daripada hukum adat. dalam teori receptio hukum islam
dapat berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum adat, sementara teori reeptie a
contrario hukum adat dapat berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum islam.

B. Faktor Yang Mempengaruhi Dalam Perkembangan Hukum


Adat
Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum adat, disamping
kemajuan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi alam, juga faktor-faktor
yang bersifat tradisional adalah sebagai berikut :

a. Magis dan Animisme :

Alam pikiran magis dan animisme pada dasarnya dialami oleh setiap bangsa
di dunia. Di Indonesia faktor magis dan animisme cukup besar pengaruhnya.
Hal ini dapat dilihat dalam upacara-upacara adat yang bersumber pada
kekuasaan-kekuasaan serta kekuatan-kekuatan gaib.
1. Kepercayaan kepada mahkluk-mahkluk halus, roh-roh, dan hantu-
hantu yang menempati seluruh alam semesta dan juga gejala-gejala
alam, semua benda yang ada di alam bernyawa.

2. Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan sakti dan adanya roh-roh


yang baik dan yang jahat.

3. Adanya orang-orang tertentu yang dapat berhubungan dengan dunia


gaib dab atau sakti.

4. Takut adanya hukuman/ pembalasan oleh kekuatan-kekuatan gaib.


Hal ini dapat dilihat adanya kebiasaan mengadakan siaran-siaran,
sesajen di tempat-tempat yang dianggap keramat.

Animisme yaitu percaya bahwa segala sesuatu dalam alam semesta ini
bernyawa. Animisme ada dua macam yaitu :

1. Fetisisme : Yaitu memuja jiwa-jiwa yang ada pada alam semesta,


yang mempunyai kemampuan jauh lebih besar dari pada
kemampuan manusia, seperti halilintar, taufan, matahari, samudra,
tanah, pohon besar, gua dan lain-lain.
2. Spiritisme : Yaitu memuja roh-roh leluhur dan roh-roh lainnya yang
baik dan yang jahat.
b. Faktor Agama
Masuknya agama-agama di Indonesia cukup banyak memberikan
pengaruh terhadap perkembangan hukum adat misalnya :
1. Agama Hindu :

Pada abad ke 8 masuknya orang India ke Indonesia dengan


membawa agamanya, pengaruhnya dapat dilihat di Bali. Hukum-
hukum Hindu berpengaruh pada bidang pemerintahan Raja dan
pembagian kasta-kasta.

2. Agama Islam :

Pada abad ke 14 dan awal abad 15 oleh pedagang-pedagang dari

Malaka, Iran. Pengarush Agama Islam terlihat dalam hukum


perkawinan yaitu dalam cara melangsungkan dan memutuskan

perkawinan dan juga dalam bidang wakaf.

Pengaruh hukum perkawinan Islam didalam hukum adat di

beberapa daerah di Indonesia tidak sama kuatnya misalnya daerah

Jawa dan Madura, Aceh pengaruh Agama Islam sangat kuat,

namun beberapa daerah tertentu walaupun sudah diadakan

menurut hukum perkawinan Islam, tetapi tetap dilakukan upacara-

upacara perkawinan menurut hukum adat, missal di Lampung,

Tapanuli.

3. Agama Kristen :

Agama Kristen dibawa oleh pedagang-pedagang Barat. Aturan-


aturan hukum Kristen di Indonesia cukup memberikan pengaruh
pada hukum keluarga, hukum perkawinan. Agama Kristen juga
telah memberikan pengaruh besar dalam bidang social khususnya
dalam bidang pendidikan dan kesehatan, dengan didirikannya
beberapa lembaga Pendidikan dan rumah-rumah sakit.

c. Faktor Kekuasaan yang lebih tinggi

Kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi yang dimaksud adalah kekuasaan-


kekuasaan Raja-raja, kepala Kuria, Nagari dan lain-lain. Tidak semua Raja-raja yang
pernah bertahta di negeri ini baik, ada juga Raja yang bertindak sewenang-wenang
bahkan tidak jarang terjadi keluarga dan lingkungan kerajaan ikut serta dalam
menentukan kebijaksanaan kerajaan misalnya penggantian kepala-kepala adat
banyak diganti oleh orang-orang yang dengan kerajaan tanpa menghiraukan adat
istiadat bahkan menginjak-injak hukum adat yang ada dan berlaku didalam
masyarakat tersebut.

d. Adanya Kekuasaan Asing

Yaitu kekuasaan penjajahan Belanda, dimana orang-orang Belanda dengan


alam pikiran baratnya yang individualisme. Hal ini jelas bertentangan dengan alam
pikiran adat yang bersifat kebersamaan.
C. Dasar Berlakunya Hukum Adat
Adapun yang dimaksud dasar filosofis dari Hukum Adat adalah sebenarnya
nilai-nilai dan sifat Hukum Adat itu sangat identik dan bahkan sudah terkandung
dalam butir-butir Pancasila. Sebagai contoh, religio magis, gotong royong,
musyawarah mufakat dan keadilan. Dengan demikian Pancasila merupakan
kristalisasi dari Hukum Adat.
Dasar Berlakunya Hukum Adat ditinjau dari segi Filosofi Hukum Adat yang
hidup, tumbuh dan berkembang di indonesia sesuai dengan perkembangan jaman
yang berfiat luwes, fleksibel sesuai dengan nilai-nilai Pancasila seperti yang
tertuang dalam pembukaan UUD 1945. UUD 1945 hanya menciptakan pokok-pokok
pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari UUD RI. Pokok pokok
pikiran tersebut menjiwai cita-cita hukum meliputi hukum negara baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis.
Dalam pembukaan UUD 1945 pokok pokok pikiran yang
menjiwai perwujudan cicta - cita hukum dasar negara adalah Pancasila.
Penegasan Pancasila sebagai sumber tertib hukum sangat berarti bagi hukum
adat, karena Hukum Adat
berakar pada kebudayaan rakyat sehingga dapat menjelmakan perasaan huku
m yang nyata dan hidup dikalangan rakyat dan mencerminkan kepribadian
masyarakat dan bangsa Indonesia. Dengan demikian hukum adat secara filosofis
merupakan hukum yang berlaku sesuai Pancasila sebagai pandangan hidup atau
falsafah hidup bangsa Indonesia.

Hukum yang berlaku di suatu negara merupakan suatu sistem artinya


bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan satu kesatuan yang utuh
yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama
lainnya (Mertokusumo, l986:100). Dengan kata lain bahwa sistem hukum adalah
suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi
satu sama lainnya dan bekerja bersama untuk mencapai tujuan. Keseluruhan tata
hukum nasional yang berlaku di Indonesia dapat disebut sebagai sistem hukum
nasional. Sistem hukum berkembang sesuai dengan perkembangan hukum. Selain
itu sistem hukum mempunyai sifat yang berkesinambungan, kontinyuitas
dan lengkap.
Secara dasr sosiologis dalam sistem hukum nasional wujud/ bentuk hukum
yang ada dapat dibedakan menjadi hukum tertulis ((hukum yang tertuang dalan
perundang-undangan) dan hukum yang tidak tertulis (hukum adat, hukum
kebiasaan). Hukum yang berlaku di suatu negara dapat dibedakan menjadi hukum
yang benar-benar berlaku sebagai the living law (hukum yang hidup) ada hukum
yang diberlakukan tetapi tidak berlaku sebagai the living law. Sebagai contoh
Hukum yang berlaku dengan cara diberlakukan adalah hukum tertulis yaitu dengan
cara diundangkan dalam lembaran negara.

Hukum tertulis dibuat ada yang berlaku sebagai the living law tetapi juga ada
yang tidak berlaku sebagai the living law karena tidak ditaati/
dilaksanakan oleh rakyat. Hukum tertulis yang diberlakukan dengan
cara diundangkan dalam lembaran negara kemudian dilaksanakan dan
ditaati oleh rakyat dapat dikatakan sebagai hukum yang hidup (the living law.)
Sedangkan hukum tertulis yang walaupun telah diberlakukan dengan
cara diundangkan dalam lembaran negara tetapi ditinggalkan dan tidak
dilaksanakan oleh rakyat maka tidak dapat dikatakan sebagai the living law. Salah
satu contohnya adalah UU nomor 2 tahun 1960 tentang Bagi hasil. Hukum adat
sebagai hukum yang tidak tertulis tidak memerlukan prosedur/ upaya seperti hukum
tertulis, tetapi dapat berlaku dalam arti dilaksanakan oleh masyarakat dengan
sukarela karena memang itu miliknya. Hukum adat dikatakan sebagai the living law
karena Hukum adat berlaku di masyarakat, dilaksanakan dan ditaati
oleh rakyat tanpa harus melalui prosedur pengundangan dalam lembaran
negara. Berbagai istilah untuk menyebut hukum yang tidak tertulis sebagai the
living law yaitu ( People law, Indegenous law, unwritten law, common law,
customary law dan sebagainya).

Dasar Berlakunya Hukum Adat Ditinjau Secara Yuridis dalam Berbagai


Peraturan Perundang-undangan Mempelajari segi Yuridis dasar berlakunya Hukum
Adat berarti mempelajari dasar hukum berlakunya Hukum Adat di Indonesia
(Saragih, l984:15). Berdasarkan fakta sejarah dapat dibagi dalam dua periode yaitu
pada jaman Kolonial (penjajahan Belanda dan Jepang) dan jaman Indonesia
Merdeka.
Dalam Batang Tubuh UUD 1945, tidak satupun pasal yang mengatur tentang
hukum adat. Oleh karena itu, aturan untuk berlakunya kembali hukum adat ada pada
Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II, yang berbunyi :

“Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung


berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
Undang Dasar ini”.

Aturan Peralihan Pasal II ini menjadi dasar hukum sah berlakunya hukum
adat. Dalam UUDS 1950 Pasal 104 disebutkan bahwa segala keputusan pengadilan
harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan
Undang-Undang dan aturan adat yang dijadikan dasar hukuman itu. Tetapi UUDS
1950 ini pelaksanaannya belum ada, maka kembali ke Aturan Peralihan UUd 1945.

Dalam Pasal 131 ayat 2 sub b. I.S. menyebutkan bahwa bagi golongan
hukum Indonesia asli dan Timur asing berlaku hukum adat mereka, tetapi bila
kepentingan sosial mereka membutuhkannya, maka pembuat Undang-Undang dapat
menentukan bagi mereka :

1. Hukum Eropa

2. Hukum Eropa yang telah diubah

3. Hukum bagi beberapa golongan bersama dan

4. Hukum baru yaitu hukum yang merupakan sintese antara adat


dan hukum mereka yaitu hukum Eropa.

Pasal 131 ini ditujukan pada Undang-Undangnya, bukan pada hakim yang
menyelesaikan sengketa Eropa dan Bumi Putera.

Pasal 131 ayat (6) menyebutkan bahwa bila terjadi perselisihan sebelum
terjadi kodifikasi maka yang berlaku adalah hukum adat mereka, dengan syarat bila
berhubungan dengan Eropa maka yang berlaku adalah hukum Eropa.

Dalam UU No. 19 tahun 1964 pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa segala
putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar dan alasan-alasan putusan itu
jug aharus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau
sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. UU No. 19 tahun
1964 ini direfisi jadi UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman karena dalam UU No. 19 tersebut tersirat adanya campur tangan
presiden yang terlalu besar dalam kekuasaan yudikatif. Dalam Bagian Penjelasan
Umum UU No. 14 tahun 1970 disebutkan bahwa yang dimansud dengan hukum
yang tidak tertulis itu adalah hukum adat.

Dalam UU No. 14 tahun 1970 Pasal 27 (1) ditegaskan bahwa hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup di masyarakat.

Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi dasar
berlakunya hukum adat di Indonesia adalah :

1. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi dasar berlakunya

kembali UUD 1945.

2. Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945

3. Pasal 24 UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman

4. Pasal 7 (1) UU No. 14/ 1970 tentang Pokok-Pokok


Kekuasaan Kehakiman.

Rangkuman

Peraturan adat istiadat kita ini merupakan adat-adat melayu-polinesia yang


sudah terdapat pada zaman pra-hindu. Lambat laun terjadi akulturasi antara kultur
hindu, islam dan Kristen yang kemudian mempengaruhi kultur asli tersebut. Saat ini
menurut kenyataan hukum adat yang hidup pada rakyat adalah merupakan
peraturan-peraturan adat-istiadat yang ada pada zaman pra-hindu dan hasil
akulturasi antar agama tersebut. Sejak awal manusia diciptakan telah dikarunia akal,
pikiran dan prilaku yang ketiga hal ini mendorong timbulnya “kebiasaan pribadi “, dan
apabila kebiasaan ini ditiru oleh orang lain, maka ia akan menjadi kebiasaan orang
itu dan seterusnya sampai kebiaasaan itu menjadi adat, jadi adat adalah kebiasaan
masyarakat yang harus dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Suatu hal
yang rasional apabila interaksi sosial mengambil peran yang penting dalam
kelompok masyarakat.
C. PENUTUP

Contoh Soal

1. Jelaskan proses perkembangan hukum adat di Indonesia hingga hukum


adat itu dikenal masyrakat !

2. Faktor apa saja yang mempengaruhi dasar berlakunya hukum adat ?

Umpan Balik

Mahasiswa dapat dikatakan berhasil menguasai materi, apabila mahasiswa dapat


menjawab pertanyaan 80% benar.
BAB V

TATA MASYRAKAT HUKUM ADAT

A. PENDAHULUAN
1. Kompetensi Inti
(1) Menghasilkan lulusan yang bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak
mulia, membangun karakter, penegakan moral dan kejujuran, terampil
dalam bnidang hukum dengan kualifikasi Sarjana (S1) Ilmu Hukum
dengan gelar S.H.
(2) Memiliki ketrampilan pendukung yakni hardskill dan softskill,
profesional hukum, kewirausahaan, unggul dan memiliki kualitas
internasional serta mampu untuk membuka peluang kerja yang
mampu memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat.
2. Kompetensi Dasar :
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Tata Masyrakat Hukum Adat

B. PENYAJIAN
A. Peresekutuan Hukum
Persekutuan adat merupakan kesatuan-kesatuan yan mempunyai tata
susunan yang teratur dan kekal serta memiliki pengurus sendiri dan kekayaan sendiri
baik kekayaan materiil maupun imateriil. (Soeroyo W.P.). Pendapat dari Djaren
Saragih mengatakan, persekutuan hukum adalah sekelompok orang-orang sebagai
satu kesatuan dalam susunan yang teratur yang bersifat abadi dan memiliki
pimpinan serta kekayaan baik berwujud maupun tidak berwujud dan mendiami alam
hidup diatas wilayah tertentu.

Pakar ahli Van Vollenhoven mengartikan persekutuan hukum sebagai suatu


masyarakat hukum yang menunjukkan pengertian-pengertian, kesatuan-kesatuan
manusia yang mempunyai :

1. Tata susunan yang teratur


2. Daerah yang tetap
3. Penguasa-penguasa atau pengurus
4. Harta kekayaan

Terbentuknya Persekutuan Hukum ada tiga asas atau macam, yaitu :

1. Persekutuan Hukum Geneologis

Yaitu yang berlandaskan kepada pertalian darah, keturunan. Persekutuan


Hukum Geneologisdibagi tiga macam :

a. Pertalian darah menurut garis Bapak (Patrilineal) seperti Batak,


Nias, Sumba.
b. Pertalian darah menrut garis Ibu (Matrilineal) seperti
Minangkabau.
c. Pertalian darah menurut garis Bapak dan Ibu (Unilateral) seperti
di Pulau Jawa, Aceh, Dayak.

2. Persekutuan Hukum Territorial

Yaitu berdasarkan pada daerah tertentu atau wilayah. Ada tiga macam
persekutuan territorial yang meliputi :

a. Persekutuan Desa : Yaitu orang-orang yang terikat dalam satu desa

b. Peersekutuan Daerah :

Dimana didalamnya terdapat beberapa desa yang masing-masing


mempunyai tata susunan sendiri.

c. Perserikatan : Yaitu apabila beberapa persekutuan hukum yang


berdekatan mengadakan kesepakatan untuk memelihara kepentingan
bersama, seperti saluran air, pengairan, membentuk pengurus
bersama. Misalnya : Perserikatan huta-huta di Batak.

3. Persekutuan Hukum Geneologis dan Territorial

Yaitu gabungan antara persekutuan geneologis dan territorial, misalnya di


Sumba, Seram. Buru, Minangkabau dan Renjang. Setiap persekutuan
hukum dipmpin oleh kepala persektuan, oleh karena itu kepala
persekutuan mempunyai tugas antara lain :
1. Tindakan-tindakan mengeani tanah, seperti mengatur penggunaan
tanah, menjual, gadai, perjanjian-perjanjian mengenai tanah, agar
sesuai dengan hukum adat.

2. Penyelenggaraan hukum yaitu pengawasan dan pembinaan hukum.

3. Sebagai hakim perdamaian desa.

4. Memelihara keseimbangan lahir dan batin

5. Campur tangan dalam bidang perkawinan

6. Menjalankan tugasnya pemerintahannya secara demokrasi dan


kekeluargaan

Pada dasarnya orang luar tidak diperkenankan masuk dalam persekutuan.


Masuknya orang luar dalam persekutuan ada beberapa macam, yaitu :

1. Atas izin atau persetujuan kepala persekutuan

2. Masuknya sebagai hamba

3. Karena pertalian perkawinan

Persekutuan daerah disebut Marga, yang dikepalai oleh “Pasirah” dengan


gelar depati/ Pangeran. Marga terdiri dari dusun-dusun yang dikepalai oleh Proati,
Kria, Mangku dan dibantu “Panggawa”. Di daerah Banten, persektuan terdiri atas
beberapa ampian, dimana Kepala Kampung disebut Kokolot/ Tua-tua dan Desa
dikepali oleh kepala desa yang disebut Jaro.

Suasana masyarakat desa yang damai, tentram dan penuh rasa


kebersamaan mengalami perubahan yang mengganggu ketentraman, kedamaian
antara lain :

1. Zaman Kerajaan :
- Kerajaan dan familinya menguasai desa
- Penggantian kepala desa oleh keluarga kerajaan
- Tanah diambil oleh keluarga Raja
- Pemungutan pajak yang tinggi
- Batas-batas desa sudah tidak diperhatikan
- Wajib menyerahkan tenaga kerja untuk kepentingan kerajaan.

2. Zaman Pemerintahan Koneal Belanda :


- Penggantian tata administrasi desa
- Persekutuan menjadi lenyap
- Kewajiban membayar pajak yang tinggi
- Kewajiban menyerahkan tenaga kerja
- Melakukan politik hukum dengan berbagai peraturan.

3. Zaman Republik :
- Pengaruh Modernisasi masyarakat

B. STRUKTUR PERSEKETUAN HUKUM


Van Vollenhoven menegaskan bahwa untuk mengetahui hukum, maka
adalah terutama perlu diselidiki pada waktu apa pun dan di daerah mana pun, sifat
dan susunan badan-badan persekutuan hukum, dimana orang-orang yang dikuasai
oleh hukum itu hidup sehari-hari. Persekutuan hukum merupakan kesatuan-kesatuan
yang mempunyai tata susunan yang teratur dan kekal serta memiliki pengurus
sendiri dan kekayaan sendiri, baik kekayaan materiil maupun kekayaan immateriil.
Famili bertindak sebagai kesatuan terhadap famili lain, terhadap orang asing
serta terhadap Pemerintah atasan. Di samping itu, mempunyai wilayah sendiri dan
bertindak sebagai kesatuan terhadap dunia luar, tidak mungkin desa itu dibubarkan.
Untuk memperoleh gambaran tentang struktur persekutuan hukum di
Indonesia, terlebih dahulu harus dimengerti arti serta pengaruh faktor-faktor teritorial
dan genealogis dalam timbulnya persekutuan. Faktor teritorial yaitu faktor terikat
pada suatu daerah tertentu, ternyata merupakan faktor yang mempunyai peranan
yang terpenting dalam tiap timbulnya persekutuan hukum. Faktor genealogis yaitu
faktor yang melandaskan kepada pertalian darah suatu keturunan, dalam
kenyataannya tidak menduduki peranan yang penting dalam timbulnya suatu
persekutuan hukum. Menurut dasar tata-susunannya, maka struktur persekutuan
hukum di Indonesia dapat digolongkan menjadi dua, yaitu Genealogis (berdasar
pertalian suatu keturunan) dan Teritorial (berdasar lingkungan daerah).
Maine menamakan dasar keturunan ini tribal constitution sedangkan dasar
daerah yaitu teritorial constitution.Tribal constitution adalah semula merupakan satu-
satunya dasar, sedangkan teritorial constitution baru kemudian timbulnya.

Persekutuan genealogis, apabila seseorang menjadi anggota persekutuan


tergantung dari pada pertanyaan, apakah orang itu masuk suatu keturunan yang
sama.
Ada 3 macam dasar pertalian keturunan sebagai berikut:
a. Pertalian darah menurut garis bapak (patrilineal)
b. Pertalian darah menurut garis ibu (matrilineal)

c. Pertalian darah menurut garis ibu dan bapak (parental)

Persekutuan teritorial, apabila keanggotaan seseorang tergantung dari pada


bertempat tinggal di dalam lingkungan daerah persekutuan itu atau tidak. Ada 3
jenis persekutuan hukum teritorial, yaitu :
a. Persekutuan desa, apabila ada segolongan orang terikat pada satu
tempat kediaman.
b. Persekutuan daerah, apabila di dalam suatu daerah tertentu terletak
beberapa desa yang masing-masing mempunyai tata-susunan dan
pengurus sendiri yang jelas.
c. Perserikatan (beberapa kampung), apabila beberapa persekutuan
kampung yang terletak berdekatan mengadakan permufakatan untuk
memelihara kepentingan bersama.

Tentang struktur persekutuan hukum, Van Vollenhoven menjelaskan bahwa


persekutuan hukum di Indonesia mengingat akan strukturnya, dapat dipisah-
pisahkan dalam 4 golongan. Keempat golongan itu adalah :
a. Golongan I, persekutuan hukum yang berupa kesatuan genealogis
b. Golongan II, persekutuan hukum yang berupa kesatuan teritorial dengan
di dalamnya terdapat kesatuan-kesatuan genealogis.
c. Golongan III, persekutuan hukum yang berupa kesatuan teritorial tanpa
kesatuan genealogis di dalamnya, melainkan dengan atau tidak dengan
kesatuan/teritorial yang lebih kecil.
d. Golongan IV, persekutuan hukum yang berupa kesatuan teritorial dengan
di dalamnya terdapat persekutuan/badan hukum yang sengaja didirikan
oleh warga.
Dalam garis besarnya prinsip penggolongan di sebagian besar daerah
adalah sebagai berikut:
a. Termasuk golongan pertama, pemilik sawah/ladang/tegalan dengan
pekarangan.
b. Termasuk golongan kedua, pemilik pekarangan saja.
c. Termasuk golongan ketiga, orang-orang yang tidak memiliki tanah.
Cara-cara orang dari luar masuk ke dalam badan persekutuan hukum
sebagai anggota, teman segolongan, yaitu:
a. Pada zaman yang lampau masuk sebagai hamba, budak.
b. Karena pertalian perkawinan, seperti halnya di Tapanuli.
c. Dengan jalan pengambilan anak, sehingga orang yang semula bukan
famili, dapat menjadi famili dan masuk sebagai anggota golongan.

Van Vollenhoven menyebut suatu daerah di dalam daerah mana garis-garis


besar, corak dan sifatnya hukum adat yang berlaku di situ seragam “rechtskring”,
yang kalau disalin dalam bahasa Indonesia menjadi lingkaran hukum/lingkungan
hukum. Tiap lingkungan hukum tersebut dapat dibagi-bagi lagi dalam kukuban
hukum. Di antara kukuban hukum masing-masing, terdapat perbedaan corak hukum
adat yang berlaku di dalam wilayahnya, tetapi perbedaan-perbedaan itu tidak
sebesar perbedaan di antara lingkungan hukum. Kemajuan dalam segala bidang,
menyebabkan daerah-daerah yang terpencil yang semula terasing dari keramaian
kehidupan bangsa Indonesia, terbuka serta menjadi aktif turut serta pula dalam
keramaian kehidupan, sehingga batas-batas antara lingkungan hukum asing itu
lambat laun menjadi kurang tegas untuk akhirnya lenyapnya batas-batas ini.

Dari uraian Van Vollenhoven dan Ter Haar, dapat ditemukan garis-garis
ataupun dasar-dasar umum dalam tata susunan persekutuan hukum, yaitu :
a. Segala badan persekutuan hukum ini dipimpin oleh Kepala rakyat.
b. Sifat dan susunan pimpinan itu erat hubungannya dengan sifat serta
susunan tiap-tiap jenis badan persekutuan hukum yang bersangkutan.

Sifat pimpinan kepala rakyat adalah sangat erat hubungannya dengan sifat,
corak serta suasana masyarakat di dalam badan-badan persekutuan hukum
tersebut. persekutuan hukum adalah bukan persekutuan
kekuasaan(gezagsgemeenschap). Kehidupan dan penghidupan masyarakat di
dalam persekutuan hukum itu bersifat kekeluargaan; badan persekutuan hukum itu
merupakan kesatuan hidup bersama (levensgemeenschap) dari segolongan
manusia yang satu sama lain saling mengenal sejak waktu kanak-kanak hingga
menjadi dewasa dan tua.

Dalam aliran pikiran tradisional Indonesia, persekutuan hukum itu adalah


sebagai suatu kolektivitas dimana tiap warga merasa dirinya satu dengan golongan
seluruhnya. Kepala persekutuan adalah kepala rakyat dan bapak masyarakat; ia
mengetahui persekutuan sebagai ketua suatu keluarga yang besar. Kepala rakyat
bertuga memelihara hidup hukum di dalam persekutuan, menjaga supaya hukum itu
dapat berjalan dengan selayaknya. Aktivitas kepala rakyat pada pokoknya meliputi 3
hal :

a. Tindakan-tindakan mengenai urusan tanah berhubung dengan adanya


pertalian yang erat antara tanah dan persekutuan yang menguasai tanah
itu.

b. Penyelenggaraan hukum sebagai usaha untuk mencegah adanya


pelanggaran hukum, supaya hukum dapat berjalan sebagaimana
mestinya.

c. Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum setelah hukum itu


dilanggar.

Arti penting dari bantuan kepala rakyat dalam melakukan perbuatan-


perbuatan hukum itu seperti dalam perkawinan, jual/beli dan sebagainya, adalah
bahwa perbuatan hukum itu terang serta tidak melanggar hukum adat. Apabila ada
perselisihan antara teman-teman sedesa, apabila ada perbuatan yang bertentangan
dengan hukum adat, maka kepala rakyat bertindak untuk memulihkan perdamaian
adat, untuk memulihkan keseimbangan di dalam suasana desa, untuk memulihkan
hukum. Dengan keputusan, kepala rakyat melakukan secara konkrit dan memberi
bentuk konkrit (Gestaltung) kepada apa yang hidup di dalam masyarakat desanya
sebagai rasa keadilan ataupun kesadaran keadilan rakyat. Kepala rakyat dalam
menjalankan tugasnya selalu bermusyawarah dengan teman-temannya yang ikut
duduk dalam pemerintahan desa, bahkan dalam banyak hal ia bermusyawarah di
rapat desa dengan para warga desa yang berhak ikut bermusyawarah dalam hal-hal
yang tertentu.

Persekutuan desa sebagai suatu kesutuan hidup bersama


(levensgemeenschap) bercorak yang terpenting sebagai berikut:

a. Religius, bersifat kesatuan batin, orang segolongan merasa satu


dengan golongan seluruhnya, bahkan seorang individu dalam
persekutuan itu merasa dirinya hanya sebagai suatu bagian saja dari
alam lingkungan hidupnya, tidak ada pembatasan antara dunia lahir
dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antara berbagai macam
lapangan hidup.
Dr. Kuntjaraningrat menulisAlam berpikir religiomagis itu mempunyai
unsur-unsur sebagai berikut:
- Kepercayaan kepada makhluk halus, roh-roh dan hantu-hantu
yang menempati seluruh alam semesta, dan khusus gejala-
gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh manusia dan
benda-benda.
- Kepercayaan kepada kekuatan sakti yang meliputi seluruh
alam semesta dan khusus terdapat dalam peristiwa-peristiwa
luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang luar biasa, binatang-
binatang yang luar biasa, benda-benda yang luar biasa dan
suara yang luar biasa.
- Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan
sebagai magische-kracht dalam berbagai perbuatan ilmu gaib
untuk mencapai kemauan manusia atau untuk menolak
bahaya gaib.
- Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam
menyebabkan keadaan krisis dan menyebabkan timbulnya
berbagai macam bahaya gaib yang hanya dapat dihindari atau
dihindarkan dengan berbagai macam pantangan.
b. Kemasyarakatan atau komunal
Hidup bersama di dalam masyarakat tradisional Indonesia bercorak
kemasyarakatan, bercorak komunal. Manusia di dalam hukum adat
adalah orang yang terikat kepada masyarakat, tidak sama sekali
bebas dalam segala perbuatannya, ia terutama menurut paham
tradisional hukum adat adalah warga golongan.
c. Demokratis
Suasana demokratis di dalam kesatuan masyarakat hukum ini adalah
selaras dengan sifat komunal dan gotong-royong dari kehidupan
masyarakat Indonesia. Suasana demokratis di dalam kehidupan
masyarakat adat ditandai serta dijiwai oleh asas-asas hukum adat
yang mempunyai nilai universal, yakni asas persetujuan sebagai
dasar kekuasaan umum dan asas permusyawaratan dan perwakilan
sebagai sistem pemerintahan.

Tata susunan serta suasana masyarakat desa pada zaman yang lampau
berdasarkan kepada adat-istiadat itu, kemudian mengalami perubahan-perubahan
karena pengaruh tata administrasi kerajaan-kerajaan di berbagai daerah di
Indonesia, kemudian berhubungan dengan campur tangan administrasi
pemerintahan kolonial Hindia-Belanda dahulu dan akhirnya pun berhubung dengan
proses modernisasi tata administrasi pemerintahan daerah sejak zaman Republik
Indonesia ini.

Hukum adat yang hidup dalam masyarakat ini, sudah barang tentu
dipengaruhi juga oleh perkembangan masyarakat itu sendiri ke arah modernisasi.
Hanya dalam proses modernisasi itu kita tidak perlu membuang segala aliran-aliran
Timur, sebaliknya kita sebagai bangsa Timur yang mempunyai jiwa dan kebudayaan
Timur, kita harus dapat membawa aliran-aliran Timur dan aliran-aliran Barat
bersama-sama ke arah kesatuan yang harmonis.

C. Masyarakat Hukum Adat


Siapapun yang ingin mengetahui tentang berbagai lembaga hukum yang ada
dalam sesuatu masyarakat, seperti lembaga hukum tentang perkawinan, lembaga
hukum tentang pewarisan, lembaga hukum tentang jual-beli barang, lembaga hukum
tentang milik tanah,dll., harus mengetahui struktur masyarakat yang bersangkutan.
Struktur masyarakat menentukan sistim (struktur) hukum yang berlaku di masyarakat
itu, Soepomo menulis: “Penyelidikan hukum adat, yang hingga sekarang telah
berlangsung kira-kira 50 tahun, sungguh membenarkan pernyataan Van Vollenhoven
dalam orasinya pada tgl.2 Oktober 1901; bahwa untuk mengetahui hukum, maka
adalah terutama perlu diselidiki buat waktu apabilapun dan didaerah manapun juga,
sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, dimana orang-orang yang
dikuasai oleh hukum itu, hidup sehari-hari. Paling terasa gunanya mempelajari
masyarakat adat itu, jikalau kita hendak memahami segala hubungan hukum dan
tindakan hukum dibidang perkawinan menurut adat, dibidang pertalian sanak
(keluarga) menurut adat dan dibidang waris menurut adat.
Dari apa yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven dan Soepomo diatas tadi,
kelihatanlah bahwa masyarakat yang memperkembangkan ciri-ciri khas hukum adat
itu, adalah persekutuan hukum adat (adat-rechtsgemeneschap). Pergaulan hidup
manakah diantara pelbagai rupa pergaulan-pergaulan hidup di Indonesia, dapat
dikualifikasikan sebagai persekutuan hukum adat”? Ter Haar menulis “bahwa
diseluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan jelata, terdapat pergaulan hidup
didalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia
luar, lahir dan batin. Golongan-golongan itu mempunyai tata-susunan yang tetap dan
kekal, dan orang-orang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya
dalam golongan sebagai hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak ada
seorangpun dari mereka yang mempunyai fikiran akan memungkinkan pembubaran
golongan itu. Golongan manusia tersebut mempunyai pula pengurus sendiri dan
mempunyai harta benda, milik keduniaan dan milik gaib. Golongan-golongan
demikianlah yang bersifat persekutuan hukum.

Inti perumusan Ter Haar tentang masyrakat adat dapat saya kemukakan
sebagai berikut :
1) kesatuan manusia yang teratur,
2) menetap disuatu daerah tertentu,
3) mempunyai penguasa-penguasa dan
4) mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud
Dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam
masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun
diantara para anggota itu mempunyai fikiran atau kecenderungan unutuk
membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti
melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.
Sebagai contoh untuk menjelaskan perumusan saya ini, dapatlah saya sebut
famili di Minangkabau yang memperlihatkan unsur-unsur sebagai berikut:

1. Seorang penghulu andiko menjadi kepala sebuah famili; bagian-bagian famili


itu masing-masing menempati satu rumah (jurai) dan secara bergiliran
dipimpin oleh beberapa nenek, tetapi kepala famili selalulah seorang
penghulu andiko, yaitu seorang laki-laki.

2. Terhadap suatu kesatuan lain, umpamanya, famili lain, desa (Nagari), orang
asing dari luar, kesatuan sendiri ataupun pemerintahan yang lebih atas,
famili itu selalu bertindak sebagai kesatuan bulat.

3. Tiap famili mempunyai kekayaan berwujud berupa harta pusaka, yaitu harta
yang dimiliki karena didapat dan dipelihara secara turun-temurun dan yang
ditempatkan langsung dibawah pengurusan penghulu andiko; selain
kekayaan berwujud ini ada juga kekayaan tidak berwujud berupa antara lain
gelar-gelar.

4. Tak seorangpun diantara anggota famili itu mempunyai keinginan atau fikiran
untuk membubarkan familinya atau meninggalkannya, melepaskan diri dari
kesatuan famili itu, sebagai anggota,–meninggalkan famili itu hanya terpaksa
dalam hal-hal yang luar biasa (punah, buang sirih atau gadang
menyimpang); famili merupakan suatu kesatuan organis yang tetap.

5. Famili dikuasai dan diikat oleh dan tunduk pada peraturan-peraturan tertentu
yang merupakan suatu sistim (sistim peraturan hukum) yang dipertahankan
oleh kepala masing-masing dan dianut oleh para anggota dengan sepenuh
hati dan kepercayaan.

Demikianlah famili di Minangkabau menjadi persekutuan hukum yang paling


kecil, tetapi juga yang paling rapi. Berlainlah, sebuah keluarga di Jawa. Keluarga di
Jawa itu bukan kesatuan yang tetap; keluarga itu akan bubar sesudah anak-anak
mencapai umur dewasa dan meninggalkan keluarga untuk membentuk keluarga
baru (mencar) ataupun oleh karena ada perceraian.
Tetapi di Jawa, yang ada diluar daerah kota, memenuhi syarat-syarat yang
saya sebut dalam perumusan saya diatas tadi; desa di Jawa adalah suatu
masyarakat hukum. Berlainan lagilah, kampung di kota-kota besar , seperti kampung
di kota dikota Jakarta; kampung dikota besar itu bukanlah masyarakat hukum;
kampung dikota besar adalah jauh daripada suatu masyarakat hukum, karena tidak
mempunyai tata susunan yang wajar, antara penduduk-penduduk kampung itu tidak
ada ikatan batin. Dengan meminjam istilah-istilah Tonnies: desa merupakan suatu
gemeinschaft sedangkan kampung merupakan suatu gesellschaft. Contoh-contoh
yang tersebut diatas ini menjelaskan cukup arti dari masyarakat hukum atau
persekutuan hukum, sebagai faktor terpenting untuk menentukan struktur hukum
adat positif. Disamping itu, dengan menyebut contoh-contoh tersebut diatas ini, telah
kita adakan langkah pertama kearah suatu penggolongan (membuat kategori)
beberapa jenis (type) struktur masyarakat hukum-adat yang berbeda-beda,
berdasarkan ukuran (kriterium) azas kedaerahan atau azas teritorial dan ukuran azas
keturunan atau azas genealogis. Penggolongan menurut kedua azas ini lazim
dilakukan dan memang tepat. Tetapi ariflah kita hendaknya segera mencatat bahwa
dipakainya kedua ukuran tersebut hanyalah sekedar memenuhi naluri keilmuan
belaka, atau dengan kata-kata lain : Penggolongan menurut kedua azas tersebut
hanya mempunyai nilai teoretis saja. Praktis, yaitu menurut kenyataan benar-benar,
maka setiap masyarakat hukum adat memuat dalam strukturnya unsur-unsur
keturunan (genealogis) itu, atau dengan meminjam peristilahan (terminologi) yang
lazim dalam perpustakaan hukum adat: setiap masyarakat hukum adat mempunyai
suatu struktur yang sifatnya teritorial genealogis (dalam hal unsur-unsur teritorial
adalah lebih kuat daripada unsur-unsur genealogis) atau mempunyai suatu struktur
yang sifatnya genealogis-teritorial (dalam hal unsur-unsur genealogis adalah lebih
kuat daripada unsur-unsur teritorial).
Masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat genealogis (menurut azas
kedarahan (keturunan) ialah masyarakat hukum adat yang anggota-anggotanya
merasa terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan bahwa mereka
semua berasal satu keturunan yang sama. Dengan kata-kata lain: seseorang
menjadi anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan karena ia menjadi atau
menganggap diri keturunan dari seorang ayah-asal (nenek-moyang laki-laki) tunggal
– melalui garis keturunan laki-laki – atau dari seorang ibu-asal (nenek moyang
perempuan) tunggal- melalui garis keturunan perempuan – dan dengan demikian
menjadilah semua anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan itu suatu
kesatuan dan tunduk pada peraturan-peraturan hukum (adat) yang sama.
Dalam masyarakat hukum adat yang ditentukan oleh faktor genealogis ini,
kita mengenal tiga macam (type) pertalian keturunan, yaitu:
1. Pertalian keturunan menurut garis laki-laki – hal ini terdapat dalam
masyarakat hukum adat orang Batak, orang Bali, orang Ambon.

2. Pertalian keturunan menurut garis perempuan – hal ini terdapat dalam


masyarakat hukum adat orang Minangkabau, orang Kerinci, orang Semendo.

3. Masyarakat hukum adat keibu-bapaan yang dalam bahasa Indonesia disebut


rumpun yang merupakan kesatuan yang menjadi gabungan dari sejumlah
gezin-gezin di Kalimantan.

Perkawinan dilakukan dalam lingkungan rumpun, antara anggota yang satu –


lelaki – dengan anggota yang lain – perempuan; perkawinan tidak dilakukan diluar
rumpun. Dengan kata lain: rumpun mengenal kawin endogami (endo=dalam). Kawin
endogami, yaitu kawin dalam lingkungan sendiri, merupakan suatu anjuran yang
beralasan pada kepentingan persatuan dalam hubungan antar keluarga, supaya
dapat mempertahankan tanah tetap menjadi milik lingkungan sendiri – milik rumpun
–, beralasan kepentingan keamanan dan kepentingan-kepentingan sosial yang lain.

Dalam hal perkawinan, untuk anggota gezin – yaitu anak-anak – di Jawa dan
Madura tidak ada pembatasan apapun. anggota gezin itu boleh kawin dengan siapa
saja, asal perkawinan yang hendak dilangsungkan itu tidak bertentangan dengan
moral agama – dalam hal ini moral agam islam – dan tidak bertentangan dengan
kesusilaan menurut ukuran tempat. Dalam masyarakat Indonesia yang modern
kelihatanlah pula bahwa justru pemuda dan pemudi Jawa dan Madura adalah paling
bebas untuk kawin dengan orang yang mereka pilih sendiri sebagai bakal-suami atau
bakal isteri. Keberatan dari fihak orang tua, yaitu kalau ada keberatan, biasanya
hanya beralasan pada perbedaan agama – fihak satu beragama islam dan fihak
yang lain beragama kristen – atau beralasan pada sentimen persoonlijk terhadap
bakal-anak mantu atau famili bakal-anak mantu itu, dan keberatan-keberatan yang
beralasan pada berbagai-bagai ikatan-ikatan sosial tidak ada. Hal ini berbeda
dangan hendak dilangsungkannya perkawinan antara pemuda dan pemudi yang
masih diikat oleh ikatan-ikatan clan. Dalam masyarakat Indonesia masih ada lagi dua
jenis landasan mempersatukan orang berdasarkan keturunan, yaitu garis keturunan
yang dalam bahasa Belanda disebut : altenerend, dan garis keturunan yang dalam
bahasa Belanda pula disebut : dubbel-unilateraal. Kedua garis keturunan ini
merupakan bentuk-bentuk istimewa dalam menarik garis keturunan, yang berasal
dari –yaitu yang dalam fase permulaannya terdapat dalam – masyarakat hukum
adat kebapaan.

Masyarakat hukum adat yang susunannya didasarkan atas pertalian


keturunan menurut suatu garis altenered adalah masyarakat hukum adat yang para
anggotanya menarik garis keturunan berganti-ganti secara bergiliran melalui garis
ayah maupun melalui garis ibu sesuai dengan bentuk perkawinan yang dialami oleh
orang tua, yaitu bergiliran kawin jujur, kawin semendo maupun kawin semendorajo-
rajo (Rejang). Masyarakat hukum adat yang susunannya didasarkan atas pertalian
keturunan menurut garis dubbel-unilateral adalah masyarakat hukum adat yang para
angotanya menarik garis keturunan melalui garis ayah dan garis ibu jalin-menjalin,
dan hal itu sesuai dengan pandangan dari mereka yang bersangkutan dan
tergantung pada hal apakah ia laki-laki atau perempuan (Timor).

Pengetahuan kita tentang susunan masyarakat hukum adat diatas ini


menjadi dasar pengetahuan kita untuk menelaah hukum perkawinan adat dan hukum
waris adat. Masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial (lihatlah
diatas tadi), yaitu masyarakat hukum adat yang disusun berazaskan lingkungan
daerah, adalah masyarakat hukum adat yang para anggotanya merasa bersatu, dan
oleh sebab itu merasa bersama-sama merupakan kesatuan masyarakat hukum adat
yang bersangkutan, karena ada ikatan antara mereka masing-masing dengan tanah
tempat tinggal mereka. Landasan yang mempersatukan para anggota masyarakat
hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial adalah ikatan antara orang – yaitu
anggota masing-masing masyarakat tersebut – dengan tanah yang didiami sejak
kelahirannnya, yang didiami oleh orang tuanya, yang didiami oleh neneknya, yang
dialami oleh nenek moyangnya, secara turun-temurun ikatan dengan tanah menjadi
inti azas teritorial itu.

Teranglah, meningglakan tempat tinggal bersama – lingkungan daerah –


untuk sementara waktu, tidaklah membawa hilangnya keangotaan masyarakat, dan,
sebaliknya, orang asing (orang yang berasal dan datang dari luar lingkungan-daerah)
tidak dengan begitu saja diterima dan diangkat menurut hukum adat menjadi
anggota masyarakat hukum adat, yaitu menjadi teman segolongan, teman hidup
sedesa, seraya mempunyai hak dan kewajiban sebagai anggota sepenuhnya
(misalnya, berhak ikut-serta dalam rukun desa). Supaya dapat menjadi anggota
penuh masyarakat hukum adat, maka orang asing berstatus pendatang. Didalam
kehidupan nyata sehari-hari didesa, perbedaan antara penduduk inti (kerndorpres)
dan pendatang kelihatan dengan terang, biarpun dalam suasana desa yang telah
dimodernisir perbedaan tersebut makin lama makin lenyap – lenyaplah perbedaan
antara penduduk inti dan pendatang itu adalah sesuai dengan penyosialan
versocialisering) struktur desa.

Ada tiga jenis masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial:

1. Masyarakat hukum desa

Masyarakat hukum desa adalah segolongan atau sekumpulan orang yang


hidup bersama berazaskan pandangan hidup, cara hidup, dan sistim
kepercayaan yang sama, yang menetap pada suatu tempat kediaman
bersama dan yang, oleh sebab itu, merupakan suatu kesatuan suatu tata-
susunan, yang tertentu, baik keluar maupun kedalam. Masyarakat hukum
desa ini melingkupi pula kesatuan-kesatuan yang kecil yang terletak diluar
wilayah desa yang sebenarnya, yang lazim disebut teratak atau dukuh,
tetapi yang juga tunduk pada penjabat kekuasaan desa dan, oleh sebab
itu, baginya juga merupakan pusat kediaman. Contoh-contoh adalah
desa-desa di Jawa dan Bali.

2. Masyarakat hukum wilayah ( persekutuan desa )

Masyarakat hukum wilayah adalah suatu kesatuan sosial yang teritorial


yang melingkupi beberapa masyarakat hukum desa yang masing-
masingnya tetap merupakan kesatuan-kesatuan yang berdiri tersendiri.
Biarpun masing-masing masyarakat hukum desa yang tergabung dalam
masyarakat hukum wilayah itu mempunyai tata susunan dan pengurus
sendiri-sendiri, masih juga masyarakat hukum desa tersebut merupakan
bagian yang tak terpisah dari keseluruhan, yaitu merupakan bagian yang
tak terpisah dari masyarakat, hukum wilayah sebagai kesatuan sosial
teritorial yang lebih tinggi. Dengan kata-kata lain: masyarakat hukum desa
itu merupakan masyarakat hukum bawahan yang juga memiliki harta
benda, menguasai hutan dan rimba yang terletak diantara masing-masing
kesatuan yang tergabung dalam masyarakat hukum wilayah dan tanah,
baik yang tergabung dalam masyarakat hukum wilayah dan tanah, baik
yang ditanami maupun yang ditinggalkan atau belum dikerjakan. Contoh-
contoh adalah kuria di Angkola dan Mandailing – kuria sebagai
masyarakat hukum wilayah melingkupi beberapa huta –, marga di
Sumatera Selatan – marga sebagai masyarakat hukum wilayah
melingkupi beberapa dusun.

3. Masyarakat hukum serikat desa (perserikatan desa)

Masyarakat hukum serikat desa adalah suatu kesatuan sosial yang


teritorial, yang melulu dibentuk atas dasar kerjasama diberbagai-bagai
lapangan demi kepentingan bersama masyarakat hukum desa yang
tergabung dalam masyarakat hukum serikat desa itu. kerjasama itu
dimungkinkan karena – kebetulan – berdekatan letaknya masyarakat
hukum desa yang bersama-sama membentuk masyarakat hukum serikat
desa itu.

Akan tetapi biarpun berdekatan letaknya masyarakat hukum desa yang


tergabung dalam masyarakat hukum serikat desa itu kebetulan, masih juga
kerjasama tersebut adalah kerjasama yang bersifat tradisionil. Untuk dapat
menjalankan kerjasama itu secara tersebut mempunyai pengurus bersama, yang
biasanya :

(1) mengurus pengairan,

(2) menyelesaikan perkara-perkara delik adat,

(3) mengurus hal-hal yang bersangkut paut dengan keamanan bersama.

(4) keturunan yang sama.

Contoh-contoh adalah portahian (perserikatan huta-huta) di Tapanuli.

Diantara tiga jenis masyarakat hukyum adat yang teritorial yang disebut
diatas tadi, maka yang merupakan pusat pergaulan sehari-hari adalah desa, huta
dan dusun. Hal ini ditinjau dari baik segi organisasi sosial maupun dari perasaaan
perikatan yang bersifat tradisionil. Segala aktivitet masayarakat hukum desa
dipusatkan dalam tangan kepala desa, yang menjadi bapak masyarakat desa dan
yang dianggap mengetahui segala peraturan-peraturan adat dan hukum adat
masyarakat hukum adat yang dipimpinnya itu – oleh sebab itu kepala desa adalah
juga kepala adat (adathoofd).

Aktivitet kepala adat umumnya dapat dibagi dalam tiga bidang, yaitu:

1. Urusan tanah

2. Penyelenggaraaan tata-tertib sosial dan tatatertib hukum supaya kehidupan


dalam masyarakat hukum desa berjalan sebagai mestinya, supaya
mencegah adanya pelanggaran hukum (preventif)

3. Usaha yang tergolong dalam penyelenggaraan hukum untuk mengembalikan


(memulihkan) tatatertib sosial dan tatatertib hukum serta keseimbangan
(evenwicht) menurut ukuran-ukuran yang bersumber pada pandangan yang
religio-magis (represif).

Tiap keputusan (ketetapan) yang diambil oleh penguasa masyarakat hukum


desa menjadi patokan yang nyata tentang bagaimana para anggota masyarakat
hukum desa itu harus bertingkah laku. Segala keputusan itu memuat norma-norma
yang hidup, sebagai kesadaran hukum dan menjelmakan srtuktur kerokhanian yang
terdapat dalam masyarakat hukum desa itu. Perlu dikemukakan pula bahawa factor
teritorial – ikatan antara orang dengan tanah – bukanlah factor satu-satunya
menentukan masyarakat hukum desa. Tetapi juga factor genealogis adalah factor
yang penting dan turut menentukan. Bahkan, pada permulaan tiap kelompok orang,
yang kemudian merupakan masyarakat hukum desa itu, merupakan kesatuan hanya
berdasarkan keturunan yang sama belaka. pada permulaan kelompok itu
mengembara, hidup secara nomadis, dan yang menjadi ikatan satu-satunya adalah
keturunan saja. Selanjutnya, lambat laun kelompok itu menetap disuatu daerah
tertentu dan sesudah itu timbullah ikatan baru, yaitu ikatan antara kelompok itu
dengan tanah yang didiaminya. Timbullah factor teritorial. Proses teritorialisaai ini
pada waktu sekarang sudah hampir terhenti. Sudah tentu pada waktu masih
berjalannya, maka proses tersebut dipengaruhi oleh banyak hal seperti
perkembangan kerokhanian serta pandangan-pandangan terhadap alam sekitar;
pengaruh ini adalah pengaruh yang bersifat timbal-balik.

D. Lingkungan Hukum Adat


Van Vollehhoven mengadakan analisa terhadap cirri-ciri khusus yang
berlaku di setiap lingkungan hukum adat. Ciri-ciri tersebut kemudian diujikan
terhadap sistem-sistem hukum adat yang terdapat pada masyarakat-masyarakat di
daerah-daerah yang semula diidentifikasikan sebagi tempat tempat yang secara
hipotesis diberi nama lingkungan hukum adat, sehingga menhasilkan lingkungan-
lingkungan sebagai berikut :
1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat Aceh, Singkel, Simeulue)
2. Tanah Gayo, Alas, dan Batak
a. Tanah Gayo (Gayo Lueus)
b. Tanah Alas
c. Tanah Batak (Tapanuli) :
Tapanuli Utara :
a. Pakpak- Batak (Barus)
b. Karo-Batak
c. Simelungun-Batak
d. Toba-Batak (Samosir, Balige,Laguboti, Sumban Julu)

Tapanuli Selatan :

a. Padanglawas (Tano Sapanjang)


b. Angkola
c. Mandaiiling (Sayurmatinggi)

3. Daerah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh


Kota, Daerah Kampar, Kerinci)

4. Sumatera Selatan

a. Bengkulu (Rejang)

b. Lampung (Abung, Peminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan,


Tulangbawang)
c. Palembang (Anak-Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah,
Semendo)

5. Daerah Melayu (Lingga Riau, Indragiri, Pantai Timur Sumatera,


orang-orang Banjar)

6. Bangka dan Belitung

7. Kalimantan (Daya, Bagian Barat Kalimantan, Kapuas Hulu,


Kalimantan Tenggara, Mahakam Hulu, Pasir, Daya Kenya, Daya
Klematan, Daya Landan dan Tayan, Daya-Lawangan, Lepo-Alim,
Lepo-Timei, Long glatt, Daya-maanyan-Patai, Daya Maanyan-
Siung, Daya-Ngaju, Daya-Ot0-Danum, Daya-Penyabung Punan).

8. Minahasa (Menado)

9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo)

10. Daerah/Tanah Toraja (Sulawesi bagian tengah, Toraja, orang


Toraja berbahasa Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja
Sadan, To Mori, To Lainang, Kepulauan Banggai).

11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre,


Mandar, Makasar, Selayar,Muna).

12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Pulau


Sula)

13. Maluku-ambon (Ambon, Banda, orang Uliaser,Saparua, Buru,


Seram, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, Kisar)

14. Irian

15. Kepulauan Timor (Kelompok Timor-Timur, bagian tengah Timor,


Mollo, Sumba, bagian tengah Sumba, Sumba Timur, Kodi Flores,
Ngada, Roti. Savu Bima)

16. Bali dan Lombok (Bali, Tanganan Pagringsingan, Kastala,


Karangasem,Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa)

17. Bagian Tengah Jawa dan Jawa Timur termasuk Madura ( Jawa
bagian tengah, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur,
Surabaya, Madura)
18. Daerah Kerajaan (Solo, Yogyakarta)

19. Jawa Barat (Parahianagan, Tanah Sunda, Jakarta, Banten.

Terhadap masing-masing lingkungan hukum adat tersebut C. Van


Vollenhoven melakukan analisa deskriptif, dengan sistematika yng tersusun, sebagai
berikut :

1. Tempat menemukan hukum adat lingkungan hukum adat masing-


masing.

2. Ruang lingkup lingkungan hukum adat yang bersangkutan

3. Bentuk-bentuk masyarakat hukum adat

4. Tentang pribadi

5. Pemerintahan, peradilan dan pengaturan

6. Hukum adat masyarakat

a. Hukum kekeluargaan adat

b. Hukum perkawinan adat

c. Hukum waris adat

d. Hukum tanah adat

e. Hukum hutang piutang adat

f. Hukum delik adat

g. Sistem sanksi

h. Perkembangan hukum adat

Ciri-ciri khas dari masing-masing lingkungan hukum adat tampak dari


penjelasan secara analistis terhadap bidang-bidang tersebut di atas. Didalam tulisan
yang berjudul “Daftar Sementara Suku Bangsa di Indonesia berdasarkan Klasifikasi
letak pulau atau Kepulauan” yang diterbitkan dalam majalah Sodiografi Indonesia
nomor 1 tahun 1959, M.A. Dimana mencoba untuk mengadakan klasifikasi suku
bangsa di Indonesia dan telah mengumpulkan data tersebut semenjak tahun 1959,
dengan mengambil patokan criteria bahasa, daerah kebudayaan serta susunan
masyarakat.

Jumlah suku bangsa yang ada terinci, sebgai


berikut :

1. Sumatera = 49

2. Jawa = 7

3. Kalimantan = 73

4. Sulawesi = 117

5. Nusa Tenggara = 30

6. Maluku-Ambon = 41

7. Irian Jaya = 49

Sudah tentu bahwa daftar suku bangsa sebagaimana tabel di atas, pada
dewasa ini masih memerlukan penelitian kembali. Ada kemungkinan terdapatnya
penggabungan-penggabungan ataupun adanya pemisahan-pemisahan, sehingga
jumlahnya berkurang atau meningkat. Namun demikian, dari sudut suku bangsa
yang ada, nyatalah bahwa masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat
majemuk (dari sudut sistem sosial dan budayanya).

D. Perjanjian Dalam Hukum Adat


Indonesia dikenal dengan luasnya pulau yang dia miliki, dan masyarakat
multikulturnya yang saling menjaga toleransi antar suku, ras, dan agama.
Masyarakat adalah komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-
menurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki hak atas tanah dan kekayaan
alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang
mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat.

Keunikan Indonesia inilah yang membawa masyarakat di berbagai daerah


memiliki kebudayaan dan aturan tersendiri dalam kehidupannya, sehingga ada
peraturan-peraturan yang dimiliki suku yang mana peraturan tersebut mungkin tidak
dimiliki oleh suku yang lain juga. Seperti halnya perjanjian dalam hukum adat,
mungkin ada perbedaan antara suku satu dengan yang lainya dalam perjanjian adat.

Defenisi perjanjian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “persetujuan


tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing
berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu”.

Menurut kitab Undang Undang Hukum Perdata pasal 1313 berbunyi : “suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Ketetapan menurut pasal
ini sebenernya kurang memuaskan, karena masih terdapat kelemahan-kelemahan di
dalamnya. Di bawah ini adalah kelemahan-kelemahan yang dapat diuraikan dari
pasal 1331 KUH Perdata, yaitu :

a. Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini diketahui dari kalimat “satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih”.
b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus
c. Defini perjanjian terlalu luas
d. Tanpa menyebut tujuan
e. Ada bentuk tertentu, lisan dan tulisan
Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian, seperti disebutkan di bawah
ini:
1. Syarat ada persetujuan kehendak
2. Syarat kecakapan pihak-pihak
3. Ada hal tertentu
4. Ada kuasa yang halal.
Menurut Subekti (2005:1) bahwa, suatu perjanjian adalah “suatu peristiwa di
mana seorang berjanji pada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal”. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan
anatara orang tersebut yang di namakan perikatan. Pengertian perikatan adalah
hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang pihak atau lebih, yakni pihak yang
satu berhak menuntut suatu hal dan pihak lainnya wajib memenuhi sesuatu hal
tersebut. Dengan demikian, diketahui bahwa perjanjian itu memunculkan perikatan
antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu
rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan seseorang baik
diucapakan maupun ditulis.
Suatu perjanjian merupakan juga sebuah persetujuan. Karena di dalamnya
terdapat unsur saling setuju satu dengan yang lainnya, atau keduanya telah setuju
dengan perkataan atau tulisan yang telah mereka sepakati bersama.

Berdasarkan hal tersebut dapat diuraikan bahwa unsur-unsur perjanjian


adalah sebagai berikut:

a. Adanya pihak-pihak yang sekurangnya dua orang


b. Adanya persetujun atau kata sepakat
c. Adanya tujuan yang ingin dicapai
d. Adanya prestasi atas kewajiban yang akan dilaksanakan
e. Adanya bentuk tertentu
f. Adanya syarat-syarat tertentu.
g.
Adapun perjanjian menurut hukum adat adalah perjanjian di mana pemilik
rumah memberikan izin kepada orang lain untuk mempergunakan rumahnya sebagai
tempat kediaman dengan pembayaran sewa di belakang (atau juga dapat terjadi
pembayaran dimuka. Hukum perjanjian pada dasarnya mencakup hutang piutang.
Dengan adanya perjanjian, maka satu pihak berhak untuk menuntut suatu hal dan
pihak lainnya wajib memenuhi suatu hal tersebut. Suatu hal di sini adalah mungkin
berbentuk benda, atau tidak melakukan suatu perbuatan.

Adapun macam – macam jenis perjanjian dalam hukum adat ialah :

1. Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit merupakan suatu perjanjian meminjamkan uang dengan


atau tanpa bunga, atau barang-barang tertentu yang harus dikembalikan sesuai
dengan nilainya masing-masing pada saat yang telah disepakati. Hasil penelitian
lapangan di Lampung dan Sumatera Selatan menyatakan bahwa peminjaman yang
dikenakan bunga telah lazim terjadi, apabila yang meminjam uang itu adalah orang
luar, artinya yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan pihak yang
meminjamkan uang itu. Jadi ada perbedaan disana ketika yang meminjam adalah
pihak di luar dari kekerabatan seorang yang meminjamkan dengan orang yang
mempunyai kekerabatan dengan orang yang meminjamkan dalam masalah ada atau
tidaknya suatu bunga peminjaman. Adanya bunga atau jaminan terhadap pinjaman
uang, rupa-rupanya merupakan pengaruh dari kebiasaan-kebiasaan di kota dari para
pendatang.
Perjanjian kredit ini mempunyai banyak kemiripan dengan transaksi pada
masyarakat luas, artinya hal ini umum terjadi di kalangan masyarakat. Demikian pula
dengan pinjam-meminjam barang, maka pinjam-meminjam tersebut merupakan
suatu hal yang sudah lazim. Pinjam-meminjam barang ini harus dikembalikan
dengan barang sejenis ataupun dengan uang yang sepadan dengan nilai barang
yang dipinjamkan.

2. Perjanjian Kempitan

Perjanjian kempitan adalah sebuah perjanjian dalam hukum adat yang


merupakan suatu bentuk perjanjian dimana seseorang menitipkan sejumlah barang
kepada pihak lain dengan janji bahwa kelak akan dikembalikan dalam bentuk uang
atau barang yang sejenis. Perjanjian kempitan ini lazim terjadi dan pada umumnya
menyangkut hasil bumi dan barang-barang dagangan.
Di dalam perjanjian kempitan, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi,
yaitu antara lain :

a. Harus ada musyawarah lebih dulu, kepercayaan dan surat


perjanjian.
b. Diadakan batas waktu pengembalian barang dan kalau barang
tersebut tidak diambil, maka barang tersebut dijual atas dasar
mufakat.
c. Dalam surat perjanjian itu ditentukan jumlah harga pengembalian
barang tersebut.
d. Apabila barang yang dititipkan itu hilang, maka harus ada
penggantian dan apabila barang itu telah dijual orang yang dititipi
barang tersebut harus diberi upah untuk jerih payahnya.

Dengan demikian, dalam perjanjian kempitan terdapat kecenderungan bahwa


barang yang dititipkan itu harus dikembalikan apabila dikehendaki oleh pemilik
barang dan adanya suatu syarat utama yaitu bahwa antara para pihak harus saling
percaya.

3. Perjanjian Tebasan
Perjanjian tebasan terjadi apabila seseorang menjual hasil tanamannya
sesudah tanaman itu berbuah dan sebentar lagi akan dipetik hasilnya. Perjanjian
tebasan ini lazim terjadi pada padi atau tanaman buah-buahan yang sudah tua dan
sedang berada di sawah ataupun di kebun. Di daerah-daerah tertentu (misalnya
beberapa daerah Sumatera Selatan) perjanjian tebasan merupakan perjanjian yang
tidak lazim terjadi dan ada kecenderungan bahwa perikatan dalam bentuk ini
merupakan perjanjian yang dilarang.
Perjanjian tebasan ini mirip dengan jual beli salam dimana dalam hukum
Islam dimana seseorang memesan barang yang belum tampak oleh mata seperti
halnya jual beli buah-buahan yang masih ada di pohon.

4. Perjanjian Perburuhan
Perjanjian perburuhan disini dimaksudkan apabila ada seseorang yang
mempekerjakan seseorang untuk membantunya, yang pada prinsipnya berhak
menerima upah, pada hal ini tiadak diberikan upah sama sekali. Namun, ia
memperoleh imbalan lainnya berupa biaya hidupnya di tanggung oleh pihak yang
memperkerjakannya. Menurut Ter Haar menyatakan bahwa tentang menumpang di
rumah orang lain dan mendapat makan dengan Cuma-Cuma tapi harus bekerja
untuk tuan rumah, merupakan hal yang berulang-ulang dapat diketemukan dan
sering bercampur baur dengan memberikan penumpangan kepada kepada sanak-
saudara yang miskin dengan imbangan tenaga bantuannya di rumah dan di ladang.

5. Perjanjian Pemegangkan
Perjanjian pemegangkan cukup lazim dalam hukum adat, apabila ada
seseorang yang meminjam uang terhadap orang yang meminjamkan barang,
kemudian orang yang meminjam memberikan jaminan barang, maka orang yang
meminjamkan uang berhak menggunakan barang tersebut sampai si peminjam
mengembalikan uang nya. Tetapi apabila peminjaman tersebut di kenakan bunga,
maka pihak yang meminjami uang tersebut tidak berhak menggunakan barang
tersebut. Karena pihak yang memberikan pinjaman menerima bunga hutang
tersebut.

5. Perjanjian Pemeliharaan
Perjanjian ini memiliki kedudukan yang istimewa pada hukum kekayaan
harta adat. Dimana, pihak pemelihara bertanggung jawab atas pihak yang dipelihara.
Maksudnya, hartanya dibawah tanggungan pihak pemelihara. Terlebih apabila usia
lanjut. Pemelihara pula yang menanggung urusan pemakamannya dan pengurusan
harta peninggalannya. Sehingga, apabila si memelihara meninggal maka harta yang
dimiliki pihak yang dipelihara berhak dimiliki oleh hak pemelihara. tidak tanggung-
tanggung bagian yang dimiliki oleh pihak pemelihara sama halnya dengan hak yang
diberikan kepada kerabat atau anak yang dipelihara.

6. Perjanjian Pertanggungan Kerabat


Apakah lazim seseorang menanggung hutang orang lain yang tidak sanggup
melunasi hutang tersebut ?
Ter Haar pernah menulis bahwa dalam hukum adat terdapat perjanjian
dimana seseorang menjadi penanggung hutangnya orang lain. Si penanggung dapat
ditagih bila dianggap bahwa perlunasan piutang tak mungkin lagi diperoleh dari si
peminjam sendiri. Menanggung hutang orang lain, pertama-tama mungkin
disebabkan karena adanya ikatan sekerabat, berhadapan dengan orang luar. Kedua
mungkin juga berdasarkan atas rasa kesatuan daripada sanak saudara. Misalnya
dikalangan orang-orang Batak Karo, seorang laki-laki selalu bertindak bersama-
sama atau dengan penanggunagan anak beru sinina, yaitu sanak saudaranya
semenda dan kerabatnya sedarah yang seakan-akan mewakili golongan-golongan
mereka berdua yang bertanggung jawab.
Penelitian di beberapa masyarakat menyatakan kebenaran dari pemikiran
yang diajukan oleh ter Haar di atas. Di Sumatera Selatan perjanjian pertanggungan
kerabat orang lain juga masih lazim dilakukan. Alasan-alasannya antara lain :

a) Menyangkut kehormatan suku.


b) Menyangkut kehormatan keluarga batih.
c) Menyangkut kehormatan
7. Perjanjian serikat

Acapkali ada kepentingan-kepentingan tertentu yang dipelihara oleh anggota


masyarakat dalam berbagai macam kerja sama. Kerja sama dari para anggota
masyarakat untuk memenuhi kepentingan itulah yang menimbulkan serikat, yang
didalamnya muncul perikatan atau perjanjian-perjanjian untuk memenuhi
kepentingan tertentu tadi. Sebagai contoh adalah dimana beberapa orang yang
setiap bulan membayar sejumlah uang tertentu dalam waktu yang telah ditetapkan
bersama, misalnya, dalam setiap bulan. Masing-masing mereka secara bergiliran
akan menerima keseluruhan jumlah uang yang telah dibayarkan itu dan dapat
mempergunakan uang tersebut sekaligus dan juga seluruhnya.
Kegiatan yang demikian ini di Jakarta disebut dengan serikat, di Minangkabau
disebut dengan jula-jula, di Salayar disebut dengan mahaqha dan di Minahasa
disebut mapalus. Tetapi perlu diingatkan bahwa mapalus di Minahasa mengandung
arti rangkap. Pertama- sebagai bentuk kerjasama yang pada prinsipnya
mengandung kegiatan tolong menolong secara timbale balik, sehingga dapat
digolongkan dalam bentuk perikatan tolong menolong yang merupakan “wederkeng
hulpbetoon”. Kedua adalah bentuk kerja sama dalam kegiatan yang telah diuraikan
di muka. Bentuk kerja sama tersebut, kini telah mengalami perkembangan dan tidak
semata-mata menyangkut uang saja, akan tetapi juga berkaitan dengan pelbagai
keperluan, seperti keperluan rumah tangga, dan lain sebagainya. Kegiatan tersebut
juga sudah meluas dalam masyarakat, dan lazim disebut arisan.

8. Perjanjian Bagi Hasil

Perjanjian bagi hasil adalah apabila pemilik tanah memberi ijin kepada orang
lain untuk mengerjakan tanahnya dengan perjanjian, bahwa yang mendapat ijin itu
harus memberikan sebagian hasil tanahnya. Ada yang dibagi menjadi dua di Jawa :
maro, Minangkabau : memperduai, Periangan : nengah, Sumatera : Perdua,
Sulawesi Selatan : Tesang, Minahasa: Toyo. Jika hasilnya dibagi menjadi tiga maka
disebut pertiga, di Jawa : mertelu, Periangan : Jejuron.
Dengan demikian, maka ketentuan-ketentuannya adalah sebagai berikut:

1) Pemilik tanah dan penggarapnya memperoleh bagian yang sama (maro).


2) Pemilik tanah memperoleh 2/3 bagian (mertelu).
Di Jawa dalam suatu perjanjian bagi hasil berlaku ada kebiasaan dalam adat,
bahwa permulaan transaksi dibayar srama atau mesi. Srama adalah pemberian uang
sekedarnya oleh penggarap kepada si pemilik tanah, sedangkan mesi adalah
pemberian dari penggarap yang berarti tanda pengakuan terhadap pemilik tanah.
Mengenai perjanjian bagi hasil atau “sharecropping” ini, sebetulnya telah
diatur di dalam UU No. 2 tahun 1960, : bahwa perjanjian bagi hasil (pasal 3)
dikatakan bahwa perjanjian bagi hasil harus dibuat secara tertulis di hadapan kepala
desa dan disahkan oleh camat, dan menurut pasal 4 perjanjian bagi hasil untuk
sawah berlaku sekurang-kurangnya 3 tahun dan tanah kering sekurang-kurangnya 5
tahun. Kemudian pasal 8 menyatakan dinyatakan adanya pembayaran uang atau
pemberian benda apapun kepada pemilik tanah untuk memperoleh hak
mengusahakan tanah.

9. Perjanjian Ternak

Ter Haar menyatakan “ Pemilik ternak menyerahkan ternaknya kepada pihak


lain untuk dipelihara dan membagi hasil ternak atau peningkatan nilai dari hewan itu”
Di Sumatera Barat (Minangkabau) dikenal dengan nama “paduon taranak” atau
“saduoan taranak”. Mengenai hal ini, lazimnya berlaku ketentuan – ketentuan
sebagai berikut :

a) Apabila hewan ternak itu betina, maka setelah beranak, anaknya itu dibagi
antara pemilik dan pemelihara dengan besaran yang sama, atau dipatut
harga induknya, kemudian anaknya dibagi dua sama banyak, dan
kelebihan harga induknya yang dipatut itu dibagi dua pula. Kelebihan
harga induk adalah dari harga waktu penyerahan dan waktu akan
membagi.
b) Jika ternak itu ternak jantan, maka sewaktu dikembalikan pada pemilik
harus ditentukan harganya, kemudian setelah dijual laba dibagi dua sama
besar antar pemilik dan pemelihara.
Kalau dijual sebelum beranak maka ketentuannya adalah :
1. Jika ternak itu dipatut harganya, maka laba dibagi dua.
2. Jika ternak itu tidak dipatut harganya, maka kepada pemelihara
diberikan sekedar uang jasa selama ia memelihara ternak tersebut,
besarnya tergantung kepada pemilik ternak, sifatnya hanya sosial saja.
3. Kalau ternak itu mandul, maka dijual, biasanya dikeluarkan juga uang
rumput pemeliharaan, dan pemelihara mempunyai hak terdahulu jika ia
ingin membeli atau memeliharanya kembali.

Rangkuman

Masyarakat yang sudah ada sejak lama dan mendiami suatu wilayah tertentu
maka masyarakat tersebut sudah terikat dengan tempat tersebut yang dikenal
dengan masyarakat adat. Masyartakat adat juga dikenal dengan masyarakat
trasisional yang identik dengan masyarakat desa.

Masyarakat adat yang hidup dalam lingkungan desa merupakan masyarakat


yang sudah memiliki ikatan batin dengan daerah yang ditinggalinya. Mereka
menganggap bahwa tanah tempat mereka tinggal merupakan tanah peninggalan
para leluhur yang harus dijaga dan dirawat. Masyarakat adat juga percaya dengan
adanya kekuatan-kekuatan lain yang ada di luarnya.

Van Vollenhoven dalam bukunya “Adatrecht” menguraikan tentang Tata


Persekutuan Hukum dari masing-masing wilayah hukum menurut bentuk susunan
masyarakat yang hidup di daerah-daerah, yaitu:

1. semua persekutuan tata hukum dipimpin oleh kepala rakyat/desa;

2. sifat dan tata susunan itu erat hubungannya dengan sifat, serta susunan tiap-
tiap jenis badan persekutuan yang bersangkutan.

Banyak hal yang menjadikan perubahan-perubahan susunan yang terjadi


dalam masyarakat sehingga pembagian 19 Lingkungan Hukum Adat Indonesia
tersebut sudah mengalami pergeseran hukum. Saat ini suatu daerah tidak lagi
didiami oleh satu suku saja (clan), tetapi akibat percampuran satu wilayah bisa
didiami oleh suku-suku lain yang tidak hanya Hukum Adat setempat saja yang
berlaku, melainkan Hukum Adat yang dibawa di mana individu tersebut tinggal.
Di samping itu, pemberlakuan Hukum Nasional Indonesia (Hukum Negara
Indonesia) mempengaruhi berlakunya Hukum Adat di dalam suatu Lingkungan
Hukum Adat, di mana perangkat-perangkat desa menyesuaikan diri dengan
peraturan yang dibuat negara (antara lain UU tentang otonomi daerah). Sehingga
secara berangsur Wilayah atau dalam Lingkungan Hukum Adat yang diklasifikasikan
oleh Van Vollenhoven untuk Indonesia di atas menjadi berkurang keberadaannya.

C.PENUTUP

Contoh Soal

1. Sebutkan tatanan dalam masyrakat desa yang berasal dari hukum adat ?

2. Mengapa tatanan hukum adat diperlukan bagi keberlangsungan


masyrakat ?

Umpan Balik

Mahasiswa dapat dikatakan berhasil menguasai materi, apabila mahasiswa dapat


menjawab pertanyaan 80% benar.
BAB VI

HUKUM ADAT DALAM ASPEK KEBUDAYAAN

A. PENDAHULUAN
1. Kompetensi Inti
(1) Menghasilkan lulusan yang bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak
mulia, membangun karakter, penegakan moral dan kejujuran, terampil
dalam bnidang hukum dengan kualifikasi Sarjana (S1) Ilmu Hukum
dengan gelar S.H.
(2) Memiliki ketrampilan pendukung yakni hardskill dan softskill, profesional
hukum, kewirausahaan, unggul dan memiliki kualitas internasional serta
mampu untuk membuka peluang kerja yang mampu memenuhi tuntutan
kebutuhan masyarakat.
2. Kompetensi Dasar :
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Hukum Adat Dalam Aspek
Kebudayaan

B. PENYAJIAN
A. SIFAT HUKUM ADAT
Sifat dan corak hukum adat tersebut timbul dan menyatu dalam kehidupan
masyarakatnya, karena hukum hanya akan efektif dengan kultur dan corak
masyarakatnya. Oleh karena itu pola pikir dan paradigma berfikir adat sering masih
mengakar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Menurut Ratno Lukito dalam bukunya Tradisi Hukum Indonesia, menyatakan
bahwa hukum adat memiliki karakter fleksibel, simpel, dan supel. Karakter dinamis
dan fleksibel dari hukum adat terletak dalam aturan-aturan detailnya, yang berakar
pada pengalaman dan kebutuhan hidup yang selalu berkembang sejalan dengan
perubahan waktu. Namun tidak berarti bahwa prinsip-prinsip umumnya mudah
berubah, prinsip umumnya tetaplah stabil, karena ia menjadi medium yang
menghubungkan masyarakat hari ini dengan ajaran dan tradisi para leluhur yang
berisi kehidupan duniawi dan elemen-elemen supranatural.
F.D. Holleman di dalam pidato inagurasinya (pidato dalam pengukuhan
menjadi Guru Besar) yang berjudul :”De Comune Trek in het Indonesische
Rechtsleven”(corak gotong royong dalam kehidupan hukum di Indonesia),
menyimpulkan bahwa adanya empat sifat hukum adat Indonesia, yaitu :
1. kebersamaan (komunal/kolektip), artinya orang Indonesia suka hidup
bersama dalam keterikatan kemasyarakatan yang sangat erat. Rasa kebersamaan
(komunal) dari masyarakat Indonesia ini sangat mempengaruhi materi hukum
adatnya.
2. Bersifat religio-magis, masyarakat Indonesia masih mempunyai
kepercayaan yang tinggi terhadap hal-hal gaib, misalnya terhadap adanya mahluk
halus atau roh-roh yang menunggu alam sekitarnya (penghuni gunung, sungai,
lautan, pepohonan besar/tempat-tempat angker), kekuatan gaib, kesaktian. Hal ini
menunjukkan bahwa manusia itu bagian dari alam raya dan berkewajiban untuk
menjaga keseimbangan antara rohani dan jasmani, antara manusia dan
lingkungannya.
3. Sifat konkrit atau nyata, artinya sifat berpikir bangsa Indonesia serba nyata
(konkrit) tidak abstrak. Cara berpikir konkrit ini juga berpengaruh pada hukum adat,
misal : uang panjar sebagai uang muka pembelian, peningset/ penyancang sebagai
tanda pertunangan atau akan melakukan perkawinan; tetenger untuk menandai
suatu barang (pohon, batas tanah garapan) bahwa barang yang diberi tetenger
(tanda) itu dalam pengelolaannya (haknya);
4. Bersifat kontan atau tunai, artinya bahwa suatu perbuatan simbolis atau
dengan pengucapan bahwa tindakan yang dilakukan selesai, atau terjadi seketika itu
juga dalam waktu yang bersamaan antara ucapan dan perbuatan. Misalnya jual beli
secara tunai, maka pada saat diucapkan jual-beli, maka harus ada uang dan barang
yang diserahkan kepada penjual dan pembeli.

Berbeda dengan sifat dan sistem Hukum Eropa (Hukum Barat),


Perbedaannya antara lain :
1. Hukum Barat mengenal perbedaan “zakelijk rechten” (hak kebendaan yang
bersifat mutlak) dan “persoonlijke rechten” (hak perorangan yang timbul karena
perikatan yang bersifat nisbi/relatip);
2. Hukum Adat tidak mengenal perbedaan antara hak kebendaan dengan hak
perorangan seperti pada Hukum Barat.
3. Hukum Barat mengenal perbedaan antara hukum publik dan hukum rivat. Dalam
Hukum Adat tidak dikenal adanya hukum publik dan hukum privat;
4. Hukum Adat tidak mengenal perbedaan antara pelanggaran pidana diperiksa oleh
hakim (pengadilan) pidana, dan pelanggaran perdata diadili/diperiksa oleh hakim
(pengadilan) perdata, sebagaimana yang dikenal dalam Hukum Barat;
5. Hukum Adat tidak mengenal adanya benda bergerak dan benda tidak bergerak,
sebagaimana yang terdapat dalam Hukum Barat.

B. CORAK HUKUM ADAT


Hukum adat adalah aturan kebiasaan dalam hidup bermasyarakat. Sejak
manusia di turunkan ke muka bumi, maka ia memulai hidupnya berkeluarga,
kemudian bermasyarakat dan kemudian bernegara. Sejak manusia berkeluarga
mereka telah mengatur dirinya dan anggota keluarganya. Menurut kebiasaan
mereka, misalnya ayah mencari buruan atau mencari akar-akaran untuk bahan
makanan, sedang ibu menghidupkan api untuk membakar hasil buruan kemudian
bersantap bersama. Perilaku kebiasaan tersebut itu berlaku terus menerus, sehingga
menjadi pembagian kerja yang tetap.
Hukum adat sebagai hasil budaya bangsa Indonesia bersendi pada dasar
pikiran yang berbeda dengan dasar pikiran dan kebudayaan barat, dan oleh karena
itu untuk dapat memahami hukum adat kita harus dapat menyelami dasar alam
pikiran pada masyarakat Indonesia. Berbeda dengan cara hukum barat yang
cenderung individualistis dan liberalistis. Adapun mengenai corak hukum adat yang
bersendi pada alam pikiran Indonesia.
Dalam penerapan hukum adat terdapat beberapa corak yang melekat dalam
hukum adat itu sendiri yang dapat dijadikan sebagai sumber pengenal hukum adat di
antaranya yaitu: corak yang tradisional, keagamaan, kebersamaan, konkret dan
visual, terbuka dan sederhana, dapat berubah dan menyesuaikan, tidak dikodifikasi,
musyawarah dan mufakat.

1. Tradisional
Hukum adat itu pada umumnya bercorak tradisional, artinya bersifat turun
temurun, dari zaman nenek moyang sampai ke anak cucu sekarang keadaannya
masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan.
Misalnya dalam hukum kekerabatan adat orang batak yang menarik garis keturunan
lelaki, sejak dulu sampai sekarang tetap saja mempertahankan hubungan
kekerabatan yang disebut “dalihan na tolu” (bertungku tiga) yaitu hubungan antara
marga hula-hula, dengan tubu (dongan sebutuha) dan bolu. Sehingga dengan
adanya hubungan kekerabatan tersebut tidak terjadi perkawinan antara pria dan
wanita yang satu keturunan (satu marga).

Contoh corak tradisional di lampung bahwa dalam hukum kewarisan berlaku


sistem mayorat lelaki, artinya anak tertua lelaki menguasai seluruh harta peninggalan
dengan kewajiban mengurus adik-adik nya sampai dewasa dan dapat berdiri sendiri.
Harta peninggalan itu tetap tidak terbagi-bagi, merupakan milik keluarga bersama,
yang kegunaannya untuk kepentingan anggota keluarga.

2. Keagamaan
Hukum adat itu pada umumnya bersifat keagamaan (magis religius) artinya
perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan
terhadap yang gaib dan atau berdasarkan pada ajaran ketuhanan yang maha esa.
Oleh karena apabila manusia akan memutuskan sesuatu atau mau
melakukan sesuatu biasanya berdoa memohon keridhaan tuhan yang ghaib, dengan
harapan karya itu akan berjalan sesuai dengan yang dikehendaki, dan tidak
melanggar pantangan (pamali) yang dapat berakibat timbulnya kutukan dari yang
maha kuasa.
Corak keagamaan dalam hukum adat ini terangkat pula dalam pembukaan
UUD 1945 alenia yang ketiga yang berbunyi ”atas berkat rahmat Allah yang maha
kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaan nya”.
3. Kebersamaan

Hukum adat mempunyai corak yang bersifat kebersamaan (komunal),


artinya ia lebih mengutamakan kepentingan bersama. ”satu untuk semua dan semua
untuk satu” hubungan hukum antara anggota masyarakat yang satu dan yang lain
didasarkan oleh rasa kebersamaan, tolong menolong, dan gotong-royong.
Oleh karenanya hingga sekarang kita masih melihat rumah gadang di tanah
Minangkabau, ”tanah pusaka” yang tidak terbagi secara individual melainkan
menjadi milk bersama dan untuk kepentingan bersama .bahkan corak dan sifat
kebersamaan ini terangkat pula dalam pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang mengatakan
“perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan”.
Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang.
Sebab itu perekonomian disusun atas sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.

4. Konkrit dan visual

Corak hukum adat adalah konkrit artinya jelas, nyata, berwujud dan visual
artinya dapat terlihat, tampak, terbuka, tidak tersembunyi. Jadi sifat hubungan hukum
yang berlaku dalam hukum adat itu “terang dan tunai”, tidak samar-samar, terang
disaksikan, diketahui, dilihat dan di dengar orang lain, dan nampak terjadi “ijab
Qobul” (serat terima)nya. Misalnya dalam jual beli jatuh bersamaan waktunya antara
pembayaran harga dan penyerahan barangnya. Jika barang diterima pembeli, tetapi
harga belum dibayar maka itu bukan jual beli melainkan hutang piutang.

5. Terbuka dan sederhana

Corak hukum adat itu “terbuka” artinya dapat menerima masuknya unsur-
unsur yang datang dari luar asal saja tidak bertentangan dengan jiwa hukum adat itu
sendiri. Corak dan sifatnya yang sederhana artinya bersahaja, tidak rumit, tidak
banyak administrasi nya bahkan kebanyakan tidak tertulis, mudah dimengerti dan
dilaksanakan berdasar saling percaya mempercayai.

Keterbukaan nya misal dapat dilihat dari masuknya pengaruh hukum hindu,
dalam hukum perkawinan adat yang disebut “kawin anggau”. Jika suami mati maka
istri kawin lagi dengan saudara suami. Atau masuknya pengaruh hukum islam dalam
hukum waris adat yang disebut bagian “sepikul segendong”, bagian warisan bagi ahli
waris pria dan wanita sebanyak 2:1 untuk penerimaannya.

Kesederhanaan misalnya dapat dilihat dari terjadinya transaksi-transaksi


yang berlaku tanpa surat-menyurat misalnya dalam perjanjian bagi hasil antara
pemilik tanah dan penggarap, cukup adanya kesepakatan dua belah pihak tanpa
adanya suatu surat menyurat dan kesaksian kepada kepala desa. Begitu pula dalam
transaksi yang lain seperti gadai, sewa-menyewa, hutang piutang, sangat sederhana
karena tidak dengan bukti tertulis.

6. Dapat berubah dan menyesuaikan

Hukum adat itu dapat berubah, menurut keadaan, waktu dan tempat. Orang
Minangkabau berkata “sekali aik gadang sakali tapian beranja, sakali raja baganti,
sakali ada berubah”di bawah tangan tidak atau belum dimuka notaris. (begitu air
besar, begitu pula tempat pemandian bergeser, begitu pemerintah berganti, begitu
pula adat lalu berubah). Adat yang nampak pada kita sekarang sudah jauh berbeda
dari adat dimasa Hindia Belanda. Begitu pula apa yang dikatakan di atas
kebanyakan transaksi tidak dibuat dengan bukti tertulis, namun sekarang
dikarenakan kemajuan pendidikan dan banyaknya penipuan yang terjadi dalam
masyarakat, maka sudah banyak pula setiap transaksi itu dibuat dengan surat
menyurat walaupun Kalau ditilik dari batasan hukum adat, maka dapatlah dimengerti
bahwa hukum adat itu merupakan hukum yang hidup dan berlaku dimasyarakat
indonesia sejak dulu hingga sekarang yang dalam pertumbuhannya atau
perkembangannya secara terus menerus mengalami proses perubahan. Oleh karena
itu dalam perkembangannya terdapat isi atau materi yang tidak berlaku lagi.

7. Tidak di kodifikasi

Hukum adat kebanyakan tidak ditulis, walaupun ada juga yang dicatat dalam
aksara daerah, bahkan ada yang dibukukan dengan cara yang tidak sistematis,
namun hanya sekedar sebagai pedoman bukan mutlak yang harus dilaksanakan,
kecuali yang bersifat perintah tuhan. Jadi hukum adat pada umumnya tidak di
kodifikasi seperti hukum adat (Eropa), yang disusun secara teratur dalam kitab yang
disebut kitab perundangan. Oleh karena itu hukum adat mudah berubah dan dapat
menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat seperti yang di uraikan di atas.
Walaupun demikian adanya, juga dikenal hukum adat yang di catat dalam aksara
daerah yang bentuknya tertulis seperti di tapanuli “ruhut parsaoron” di bali dan
lombok “awig awig”, di jawa “pranata desa”, di surakarta dan yogyakarta “angger
angger” dan lain-lain.

Selain itu masih ada peraturan-peraturan hukum adat pada abad XV sampai
XVIII yang tertulis dalam buku (manuskrip) orang orang di sulawesi selatan yang di
sebut “lontara” yang masih berlaku hingga sekarang. jadi berbeda dengan hukum
barat yang corak hukumnya di kodifikasi atau di susun secara teratur dalam kitab
yang di sebut kitab perundang undangan.

8. Musyawarah Dan Mufakat

Hukum adat pada hakikatnya mengutamakan adanya musyawarah dan


mufakat, baik di dalam keluarga, kekerabatan dan ketetanggaan dalam memulai
suatu pekerjaan sampai dalam mengakhirinya, apalagi yang bersifat peradilan dalam
menyelesaikan perselisihan antara yang satu dengan yang lainnya, diutamakan jalan
penyelesaiannya ecara rukun dan damai dengan musyawarah dan mufakat, dengan
saling memaafkan tidak begitu saja terburu buru pertikaian itu langsung di bawa ke
meja hijau.

Corak musyawarah dan mufakat ini dalam penyelesaian perselisihan


biasanya di dahului oleh adanya semangat itikad baik, adil dan bijaksana dari orang
yang dipercaya sebagai penengah dalam perkara itu, peribahasa lampung dalam
bermufakat terungkap dalam kata “mak patoh lamen lemoh mak pegat dalam
kendur” tak kan patuh jika lemah, tak kan putus jika kendur.

C. MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN KEBUDAYAAN


Memahami Hukum Adat dimulai dari pengetian dan istilah hukum adat itu
sendiri, menurut Snouck Hurgronje Adat Recht atau Hukum Adat adalah adat-adat
yang mempunyai akibat hukum, atau dengan kata lain disebut dengan hukum adat
jika adat tersebut memepunyai akibat hukum. Diantara manfaat mempelajari hukum
adat adalah untuk memahami budaya hukum Indonesia, dengan ini kita akan lebih
mengetahui hukum adat yang mana yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan
zaman dan hukum adat mana yang dapat mendekati keseragaman yang berlaku
sebagai hukum nasional.
Sebelum menginjak lebih jauh mengenai pembahasan Hukum Adat sebagai
Aspek Kebudayaan, Budaya sendiri menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah
pikiran; akal budi; hasil. Lalu disini akan lebih dikhususkan lagi dengan pengertian
Kebudayaan itu sendiri.
Budaya menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah pikiran, akal budi,
hasil.Ada beberapa pendapat mengenai pengertian kebudayaan diantaranya :
a. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun
dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai
superorganic.
b. Andreas Eppink mengemukakan kebudayaan mengandung keseluruhan
pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan
struktur-struktur sosial, religious, dan segala pernyataan intelektual dan
artistic yang menjadi cirri khas suatu masyarakat.
c. Edward Burnett Tylor memandang kebudayaan merupakan keseluruhan
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan,kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-
kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
d. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi,kebudayaan adalah sarana hasil
karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Segi wujudnya kebudayaan menurut Koentjoroningrat ada 3 wujud yaitu :

a) Suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma aturan dsb.


b) Kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
c) Benda-benda hasilkarya manusia.

Dari uraian di atas maka dapat diambil pengertian bahwa hukum adat
sebagai aspek kebudayaan adalah hukum adat yang dilihat dari sudut pandang nilai,
norma sosial, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan struktur sosial religious yang
didapat seseorang dengan ekstensinya sebagai anggota masyarakat.

Kebudayaan dalam wujud idiil, bertugas mengarahkan dan mengatur tingkah


laku manusia dalam kehidupan masyarakat, sehingga hukum adat merupakan suatu
aspek dalam kehidupan masyarakat dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Jika
hukum adat dilihat dari segi wujud kebudayaan maka hukum adat termasuk dalam
kebudayaan yang berwujud sebagai kompleks dari ide yang fungsinya untuk
mengarahkan dan mengatur tingkah laku manusia dalam berkehidupan di
masyarakat, dengan demikian hukum adat merupakan aspek dalam kehidupan
masyarakat sebagai kebudayaan bangsa Indonesia.

Hukum Adat merupakan hukum tradisional masyrakat yang merupakan


perwujudan dari suatu kebutuhan hidup yang nyata serta merupakan salah satu cara
pandangan hidup yang secara keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat
tempat hukum adat tersebut berlaku. Apabila kita melakukan studi tentang hukum
adat maka kita harus berusaha memahami cara hidup dan pandangan hidup bangsa
Indonesia yang merupakan refleksi dari cara berpikir dan struktur kejiwaan bangsa
Indonesia. Maka jelas dikatakan bahwa memang hukum adat adalah sebagai aspek
kehidupan dan budaya bangsa Indonesia karena struktur kejiwaan dan cara berfikir
bangsa Indonesia tercermin lewat hukum adat itu sendiri.

Jika hukum adat dilihat dari segi wujud kebudayaan maka hukum adat
termasuk dalam kebudayaan yang berwujud sebagai kompleks dari ide yang
fungsinya untuk mengarahkan dan mengatur tingkah laku manusia dalam
berkehidupan dimasyarakat,dengan demikian hukumadat merupakan aspek dalam
kehidupan masyarakat sebagai kebudayaan bangsa Indonesia. Hukum adat
merupakan hukum tradisional masyarakat yang merupakan perwujudan dari suatu
kebutuhan hidup yang nyata serta merupakan salah satu cara pandangan hidup
yang secara keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum
adat tersebut berlaku. Apabila kita melakukan studi tentang hukum adat maka kita
harus berusaha memahami cara hidup dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang
merupakan refleksi dari cara berpikir dan struktur kejiwaan bangsa Indonesia. Maka
jelas dikatakan bahwa memang hukum adat adalah sebagai aspek kehidupan dan
budaya bangsa Indonesia karena struktur kejiwaan dan cara berpikir bangsa
Indonesia tercermin lewat hukum adat itu sendiri.

Hukum yang berlaku pada setiap masyarakat tumbuh dan berkembang


bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya kebudayaan suatu masyarakat,
karena hukum itu adalah merupakan salah satu aspek dari kebuadayaan suatu
masyarakat. Kebudayaan adalah usaha dan hasil usaha manusia menyesuaikan
dirinya dengan alam sekelilingnya, karena kebudayaan setiap masyarakat
mempunyai corak, sifat serta struktur yang khas, maka hukum yang berlaku pada
masing-masing masyarakat juga mempunyai corak, sifat dan struktur masing-
masing.

Proses perkembangan masyarakat manusia berlangsung terus menerus


sepanjang sejarah, mengikuti mobilitas dan perpindahan yang terjadi karena
berbagai sebab. Hal ini menyebabkan pula terjadinya perbedaan-perbedaan dalam
hukum mereka, sedikit atau banyak, namun secara keseluruhan akan terlihat
persamaan-persamaan pokok, baik corak, sifat maupun strukturnya, seperti juga
yang terjadi dalam perbedaan bahasa. Hukum Adat yang mengatur masyarakat
harus tetap dianut dan dipertahankan, tidak hanya berhubungan dengan pergaulan
antar sesama manusia dan alam nyata, tetapi mencakup pula kepentingan yang
bersifat batiniah dan struktur rohaniah yang berhubungan dengan kepercayaan yang
mereka anut dan hormati.

Penyelidikan Van Vollen Hoven dan sarjana-sarjana lain membuktikan


bahwa wilayah Hukum Adat Indonesia itu tidak hanya terbatas pada daerah-daerah
hukum Republik Indonesia yaitu terbatas pada daerah kepulauan Nusantara kita.
Hukum Adat Indonesia tidak hanya bersemayam dalam hati nurani orang Indonesia
yang menjadi warga Negara Republik Indonesia di segala penjuru Nusantara kita,
tetapi tersebar meluas sampai kegugusan kepulauan Philipina dan Taiwan di
sebelah Utara, di pulau Malagasi (Madagskar) dan berbatas di sebelah Timur sampai
di kepulauan Paska, dianut dan dipertahankan oleh oang Indonesia yang termasuk
golongan orang Indonesia dalam arti ethnis. Dalam wilayah yang sangat luas ini
Hukum Adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai peraturan penjaga tata-tertib
sosial dan tata-tertib hukum di antara manusia, yang bergaul di dalam suatu
masyarakat, supaya dengan demikian dapat dihindarkan segala bencana dan
bahaya yang mungkin atau telah mengancam. Ketertiban yang dipertahankan oleh
Hukum Adat itu baik bersifat batiniah maupun jasmaniah, kelihatan dan tak kelihatan,
tetapi diyakini dan dipercayai sejak kecil sampai berkubur berkalang tanah. Di mana
ada masyarakat, disitu ada Hukum (Adat).

Hukum yang terdapat di dalam masyarakat manusia, betapa sederhana dan


kecil pun masyarakat itu, menjadi cerminnya. Karena tiap masyarakat, tiap rakyat,
mempunyai kebudayaan sendiri dengan corak dan sifatnya sendiri, mempunyai alam
dan struktur alam pikiran sendiri, maka hukum di dalam tiap masyarakat yang
bersangkutan, mempunyai corak dan sifatnya sendiri, yaitu: hukum dari masyarakat
masing-masing berlainan. Von Savigny mengajarkan bahwa hukum adat mengikuti
“Volksgeist” (jiwa / semangat rakyat) dari masyarakat tempat hukum itu berlaku.
Karena Volksgeist masing-masing masyarakat berlainan, maka juga hukum
masyarakat itu berlainan pula. Begitu pula halnya Hukum Adat di Indonesia, hukum
adat itu senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang keseluruhannya
merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku. Tidak mungkin
suatu hukum yang asing bagi masyarakat itu dipaksakan atau dibuat, apabila hukum
yang asing itu bertentangan dengan kemauan orang terbanyak dalam masyarakat
yang bersangkutan, dalam arti bertentangan dengan kebudayaan rakyat yang
bersangkutan. Jadi kita tak boleh meninjau Hukum Adat Indonesia terlepas dari
“Volkgeist;, dari sudut alam pikiran yang khas orang Indonesia yang terjelma
dalam Hukum Adat itu. Kita juga tak boleh lupastruktur rohaniah masyarakat
Indonesia yang bersangkutan.

Tidak semua perubahan dalam jiwa dan struktur masyarakat merupakan


perubahan fundamental yang melahirkan suatu jiwa dan struktur yang baru, sebab
masyarakat adalah sesuatu yang kontinu (berjalan terus/tidak berhenti). Masyarakat
berubah tetapi tidak sekaligus meninggalkan yang lama. Jadi di dalam sesuatu
masyarakat terdapatlah realitas bahwa sesuatu proses perkembangan mengatur
kembali yang lama serta menghasilkan synthese dari yang lama dan yang baru,
sesuai dengan kehendak, kebutuhan, cara hidup dan pandangan hidup sesuatu
rakyat.

D. PERAN DAN FUNGSI HUKUM ADAT


Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada
kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat
disimpulkan ada sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di dalamnya
mengandung nilai luhur dan jiwa hukum adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat
pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup
dalam nilai-nilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasarkan azas kekeluargaan.
Pada tataran praktis bersumberkan pada UUD 1945 negara mengintroduser
hak yang disebut Hak Menguasai Negara (HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat,
Hak Pertuanan, yang secara tradisional diakui dalam hukum adat.
Ada 4 pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945, yaitu persatuan meliputi
segenap bangsa Indonesia, hal ini mencakup juga dalam bidang hukum, yang
disebut hukum nasional. Pokok pikiran kedua adalah negara hendak mewujudkan
keadilan sosial. Hal ini berbeda dengan keadilan hukum. karena azas-azas fungsi
sosial manusia dan hak milik dalam mewujudkan hal itu menjadi penting dan
disesusaikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat, dengan tetap
bersumberkan nilai primernya. Pokok Pikiran ketiga adalah : negara mewujudukan
kedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan dan perwakilan.
Pokok pikiran ini sangat fondamental dan penting, adanya persatuan perasaan
antara rakyat dan pemimpinnya, artinya pemimpin harus senantiasa memahami nilai-
nilai dan perasahaan hukum, perasaaan politik dan menjadikannya sebagai spirit
dalam menyelenggarakan kepentingan umum melalui pengambilan kebijakan publik.
Dalam hubungan itu maka ini mutlak diperlukan karakter manusia pemimpin publik
yang memiliki watak berani, bijaksana, adil, menjunjung kebenaran, berperasaan
halus dan berperikemanusiaan. Pokok pikiran keempat adalah: negara adalah
berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, hal ini mengharuskan cita hukum dan
kemasyarakatan harus senantiasa dikaitkan fungsi manusia, masyarakat memiliki
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan negara mengakui
Tuhan sebagai penentu segala hal dan arah negara hanya semata-mata sebagai
sarana membawa manusia dan masyarakatnya sebagai fungsinya harus senantiasa
dengan visi dan niat memperoleh ridho Tuhan yang maha Esa.
Namun setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana
dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan
: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang.

Dalam memberikan tafsiran terhadap ketentuan tersebut Jimly Ashiddiqie


menyatakan perlu diperhatikan bahwa pengakuan ini diberikan oleh Negara :

1). Kepada eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak


tradisional yang dimilikinya;

2). Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat


hukum adat. Artinya pengakuan diberikan kepada satu persatu dari
kesatuan-kesatuan tersebut dan karenanya masyarakat hukum adat itu
haruslah bersifat tertentu;

3). Masyarakat hukum adat itu memang hidup (Masih hidup);


4). Dalam lingkungannya (lebensraum) yang tertentu pula;

5). Pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran-


ukuran kelayakan bagi kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan
keberadaan bangsa. Misalnya tradisi-tradisi tertentu yang memang tidak
layak lagi dipertahankan tidak boleh dibiarkan tidak mengikuti arus
kemajuan peradaban hanya karena alasan sentimentil;

6). Pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna Indonesia
sebagai suatu negara yang berbentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia. (Ashiddiqie, 2003 : 32-33)

Memahami rumusan Pasal 18B UUD 1945 tersebut maka:

1. Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya


;
2. Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup;
3. Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
4. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Diatur dalam undang-undang.

Dengan demikian konsitusi ini, memberikan jaminan pengakuan dan


penghormatan hukum adat bila memenuhi syarat:
1. Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai perkembangan
masyarakat;
2. Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik
Indonesia, dan keberlakuan diatur dalam undang-undang;
Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban”. Antara Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) pada prinsipnya
mengandung perbedaan dimana Pasal 18 B ayat (2) termasuk dalam Bab VI tentang
Pemerintahan Daerah sedangkan 28 I ayat (3) ada pada Bab XA tentang Hak Asasi
Manusia. Lebih jelasnya bahwa Pasal 18 B ayat (2) merupakan penghormatan
terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (indigeneous people).
Dikuatkan dalam ketentuan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia pada Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi :
(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan
dalam masyarakat hukum dapat harus diperhatikan dan dilindungi oleh
hukum, masyarakat dan pemerintah.
(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat
dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

Sebagaimana Penjelasan UU No. 39 Tahun 1999 (TLN No. 3886) Pasal 6


ayat (1) menyebutkan bahwa hak adat yang secara nyata masih berlaku dan
dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan
dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia dalam
masyarakat bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-
undangan.

Selanjutnya penjelasan Pasal 6 ayat (2) menyatakan dalam rangka


penegakan Hak Asasi Manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat
yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat,
tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas
Negara Hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam
ketentuan tersebut, bahwa hak adat termasuk hak atas tanah adat dalam artian
harus dihormati dan dilindungi sesuai dengan perkembangan zaman, dan ditegaskan
bahwa pengakuan itu dilakukan terhadap hak adat yang secara nyata dipegang
teguh oleh masyarakat hukum adat setempat.

Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan dengan UU No. 10


Tahun 2004, maka tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut :

1. Undang-undang Dasar 1945;


2. Undang-undang/ Perpu
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah;
Hal ini tidak memberikan tempat secara formil hukum adat sebagai sumber
hukum perundang-undangan, kecuali hukum adat dalam wujud sebagai hukum adat
yang secara formal diakui dalam perundang-undangan, kebiasaan, putusan hakim
atau atau pendapat para sarjana.

Dalam kesimpulan seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di


Yogyakarta tahun 1975 telah dijelaskan secara rinci dimana sebenarnya kedudukan
hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia. Dalam seminar tersebut
dijelaskan mengenai pengertian hukum adat, kedudukan dan peran hukum adat
dalam sistem hukum nasional, kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan,
hukum adat dalam putusan hakim, dan mengenai pengajaran dan penelitian hukum
adat di Indonesia. Hasil seminar diatas diharapkan dapat menjadi acuan dalam
pengembangan hukum adat selanjutnya mengingat kedudukan hukum adat dalam
tata hukum nasional di Indonesia sangat penting dan mempunyai peranan baik
dalam sistem hukum nasional di Indonesia, dalam perundang-undangan, maupun
dalam putusan hakim.

Hukum Adat sebagai pelestarian nilai-nilai adat istiadat dimana kesimpulan


dalam seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta tahun
1975 di atas telah dijelaskan secara rinci dimanakah sebenarnya kedudukan hukum
adat dalam tata hukum nasional di Indonesia. Dalam seminar tersebut dijelaskan
mengenai pengertian hukum adat, kedudukan dan peran hukum adat dalam sistem
hukum nasional, kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan, hukum adat
dalam putusan hakim, dan mengenai pengajaran dan penelitian hukum adat di
Indonesia. Hasil seminar diatas diharapkan dapat menjadi acuan dalam
pengembangan hukum adat selanjutnya mengingat kedudukan hukum adat dalam
tata hukum nasional di Indonesia sangat penting dan mempunyai peranan baik
dalam sistem hukum nasional di Indonesia, dalam perundang-undangan, maupun
dalam putusan hakim.

Dalam berbagai rumusan peraturan Orde Baru kita dapat membaca bahwa
negara sangat besar kekuasaannya, pandangan seperti mlsalnya ketentuan UUPA
yang mengatur hak atas tanah berdasarkan hukum adat diakui, sepanjang masih
hidup dan tidak bertentangan dengan pembangunan. Disini kita melihat kekuasaan
yang mutlak dari negara, karena berdasarkan interpretasinya hak ulayat yang telah
lama dimiliki oleh masyarakat adat, dapat dihapuskannya.

Hukum adat adalah aturan tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat
adat suatu daerah dan akan tetap hidup selama masyarakatnya masih memenuhi
hukum adat yang telah diwariskan kepada mereka dari para nenek moyang sebelum
mereka. Oleh karena itu, keberadaan hukum adat dan kedudukannya dalam tata
hukum nasional tidak dapat dipungkiri walaupun hukum adat tidak tertulis dan
berdasarkan asas legalitas adalah hukum yang tidak sah. Hukum adat akan selalu
ada dan hidup di dalam masyarakat

Hukum Adat adalah hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati
nurani warga masyarakat yang tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai
dengan adat-istiadatnya dan pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional. Era sekarang memang dapat disebut sebagai era kebangkitan
masyarakat adat yang ditandai dengan lahirnya berbagai kebijaksanaan maupun
keputusan Pengadilan. Namun yang tak kalah penting adalah perlu pengkajian dan
pengembangan lebih jauh dengan implikasinya dalam penyusunan hukum nasional
dan upaya penegakan hukum yang berlaku di Indonesia.

Pengakuan Adat oleh Hukum Formal merupakan persoalan dari penegakan


hukum adat di Indonesia, memang sangatlah prinsipil karena adat merupakan salah
satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi
tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku
Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian
adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan
kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut.

Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri
Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim
harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan
putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat. Kerangka
pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka
pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini
dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan
kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian
masalah yang menyangkut tanah ulayat. Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang
memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu
dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA.
Kebijaksanaan tersebut meliputi :

1. Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1)


2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa
dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan
4)
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum,
dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam
prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk
mengelola ketertiban di lingkungannya. Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum
adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan),
secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa
contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan
hukum adat dalam kepemilikan tanah.

Rangkuman

Memahami Hukum Adat dimulai dari pengetian dan istilah hukum adat itu
sendiri, menurut Snouck Hurgronje Adat Recht atau Hukum Adat adalah adat-adat
yang mempunyai akibat hukum, atau dengan kata lain disebut dengan hukum adat
jika adat tersebut memepunyai akibat hukum. Diantara manfaat mempelajari hukum
adat adalah untuk memahami budaya hukum Indonesia, dengan ini kita akan lebih
mengetahui hukum adat yang mana yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan
zaman dan hukum adat mana yang dapat mendekati keseragaman yang berlaku
sebagai hukum nasional.
Lebih jauh membahas tentang Hukum Adat, suatu adat dikatakan sebagai
hukum adat atau seingkatnya yang merupakan karakteristik hukum adat adalah
hukum yang umumnya tidak ditulis, peraturan-peraturan yang ada kebanyakan
merupakan petuah yang memuat asas perikehidupan dalam bermasyarakat serta
kepatuhan seseorang terhadap hukum adat akan lebih didasarkan pada rasa harga
diri setiap anggota masyarakat. Jika hukum adat dilihat dari segi wujud kebudayaan
maka hukum adat termasuk dalam kebudayaan yang berwujud sebagai kompleks
dari ide yang fungsinya untuk mengarahkan dan mengatur tingkah laku manusia
dalam berkehidupan di masyarakat ,dengan demikian hukum adat merupakan aspek
dalam kehidupan masyarakat sebagai kebudayaan bangsa Indonesia. Hukum adat
merupakan hukum tradisional masyarakat yang merupakanperwujudan dari suatu
kebutuhan hidup yang nyata serta merupakan salah satu arah pandangan hidup
yang keseluruhannya merupakan kebudayaanmasyarakat tempat hukum adat
tersebut berlaku.

Hukum Adat sebagai Aspek Kebudayaan adalah Hukum Adat yang dilihat
dari sudut pandang nilai, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur
sosial religious yang didapat seseorang dengan eksistensinya sebagai anggota
masyarakat. Hukum adat adalah sebagai aspek kehidupan dan budaya bangsa
Indonesia karena struktur kejiwaan dan cara berfikir bangsa Indonesia tercermin
lewat hukum adat itu sendiri.

Hukum Adat adalah Hukum Non Statuir, hukum adat juga sebagai hukum
yang berkembang dan hidup di masyarakat, sehingga unsure-unsur yang ada dalam
hukum adat dapat menjadi asumsi atas eksistensi hukum adat , hukum adat tersebut
lahir dan dipelihara oleh putusan-putusan para warga masyarakat hukum terutama
keputusan kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan hukum itu atau
dalam hal bertentangan keperntingan dan keputusan para hakim mengadili sengketa
sepanjang tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, senafas, seirama,
dengan kesadaran tersebut diterima atau ditoleransi.
C. PENUTUP

Contoh Soal

1. Jelaskan pengaruh masyarakat dari kebudayaan yang terdapat dalam


hukum adat !

2. Apa yang menjadi dasar untuk mendorong peranan untuk terciptanya


fungsi dari hukum adat ?

Umpan Balik

Mahasiswa dapat dikatakan berhasil menguasai materi, apabila mahasiswa dapat


menjawab pertanyaan 80% benar.
DAFTAR PUSTAKA

Dominikus Rato, 2011. Hukum Adat : Suatu Pengantar Memahami Hukum Adat
Indonesia, Laksbang Presindo : Yogyakarta

Gede Wiranata, 2005. Hukum Adat Indonesia, Citra Aditya : Bandung

Hilman Hadikusuma, 2008. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju :
Bandung

Sugangga, 1994. Pengantar Hukum Adat, Badan Penerbit UNDIP : Semarang.

Suriyaman Mustari Pide, 2014. Hukum Adat : Dulu, Kini dan Akan Datang,

Pelita Pustaka : Makassar.

Surojo Wignjodipuro, 1995. Pengantar Dan Asas – Asas Hukum Adat,

PT Toko Gunung Agung : Jakata

Soekanto, Soerjono, 2008, Hukum Adat Indonesia, PT Raja Grafindo Persada :


Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai