Anda di halaman 1dari 42

POLITIK DESENTRALISASI DI INDONESIA

BAB II

CARA MEMAHAMI POLITIK DESENTRALISASI

2.1 Pengantar
Falsafah mengelola Negara secara efektif dan efisiensi dalam perspektif
umum tidak dapat dilepaskan dari kesepakatan dan kebijakan yang mencakup
bagaimana pilihan politik terhadap bentuk Negara, sistem pemerinahan,
sistem politik, maupun mekanisme penyelanggaraan pemerintahan yang
dianggap paling efektif. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, selalu ada
dua pilihan. Untuk dapat mengambil jalan tengah dilakukan suatu proses
politik. Yakni suatu proses untuk memformulasikan dan mengdministrasikan
kebijakan public yangnumumnya dilakukan melalui interkasi antara kelompok
sosisal dan institusi politik atau dianta kepemimpinan politik dan pendapat
public. Melalui proses politik, keinginan, tuntutan, pandangan dari public
dapat didengar dan diakomodasikan dalam kebijakn public, baik berupa UU
atau peraturan turunannya.

Hal pertama yang perlu dibedah adalah defines politik itu sendiri.
Beragam pemahaman tentangpolitik dirangkum dalam konsep yang dapat
digunakan sebagai analisis. Disisi lain kejelasan ruang lingkup politik dapat
menggambarkan perbedaan antara ilmu politik dengan ilmu lainnya, agar
tidak terjadi tumpang tindih pemahaman.

Elaborasi yang lebih spesifik pada politik desentralisaai mengakomodasi


defines dan ruang lingkupnya sebgai bagian yang tidak terpisahkan dalam
rangkaian penulusaran pengertian dan batasan utamanya. Politik
desentralisasi idealnya dimulai dengan mengenal dan menggambarkan cirri
utamanya kemudian memberikan batasan yang jelas kedudukan politik
desentralisasi itu sendiri.

2.2. Definisi dan Ruang Lingkup Politik


Menurut Kamus Politik yang disusun oleh McLean dan McMillan, bahwa
: “ Politics as general concept, the practice of the art or science of directing and
administrating states or other political units”. Politik merupakan prkatek atau
ilmu mengarahkan dan mengadministrasikan Negara atau unit- unit politiknya
lainnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Miriam Budiarjo mengatakan baha
definisi politik sangat normative terdesak oleh definisi lain yang lebih
menekankan pada upaya ( means) untuk mencapai masyarakat yang baik,
seperti kekuasaan, pembuatan keputusan, kebijakan dan alokasi nilai.

Pandangan lain oleh Merkl ( dalam Miriam Budiarjo) bahwa “ politics at


its worst is a selfish grab for power, glory and riches”. Poltik dalam bentuk yang
bentuk yang paling buruk adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan
kekayaan untuk kepentingan diri sendiri.

Definisi politik berpedoman pada pandangan Hague dan Heywood bahwa


: “ politics is the activity by which grous reach binding collective decisions
through attempting to reconcile differences among their members. Politik adalah
kegitan yang menyangkut cara bagaimana kelompok mencapai keputusan
yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan
perbedaan diantara anggota- anggotanya.

Menurut Heywood bahwa : “ politics is the activity through which a people


make, preserve and amned the general rules under which they lie and as such is
inextricably linked to the phenomen of conflict and cooperation.” Politik adalah
usaha atau kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat,
mempertahankan, dan mengembangkan atau memperbaiki peraturan-
peraturan umum yang mengatur kehidupan masyarakat.

Heywood menjelaskan beberapa pendekatan dalam mendefinisikan


politik. Pendekatan pertama, poltik diasosiakan dengan sebuah perilaku
menjadi politisi disebabkan oleh tempat dimana ia berlangsung. Pada
pendekatan kedua, politik dipahami sebagai sebuah proses atau mekanisme
perilaku politisi yang memiliki ciri-ciri tertentu sehingga dapat terjadi pada
semua interaksi social.

Masih terdapat beberapa pendekatan lain dalam mendefinisikan politik


yaitu sebagai berikut. Pertama, politik sebagai kiat berpemerintahan. Kedua,
politik sebagai urusan public. Ketiga, politik sebagai kompromi dan konsesus.
Keempat, politik sebagai kekuasaan. Keempat, politik sebagai kekuasaan.

Menurut Varma, bahwa perkembangan teori poltik modern dapat dibagi


menjadi tiga tahapan yakni tradisionalisme, bevavioralisme, serta
behavioralisme. Berdasarkan penjelasan diatas jika diidentifikasikan secara
menyeluruh maka ruang lingkup politik umumnya mencakup Negara,
kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan dan pembagian atau alokasi.
Definisi dan ruang lingkup politik akan berkembang seiring dan sejalan
dengan sejuahmana para pemikir politik dalam suatu negara
membicarakanya, mewacanakan serta mendefinisikannya berdasarkan
pengalaman dan referensi teoritis yang dipahaminya.

Feith merumuskan pemikiran poltik yang lebih spesifik dalam tiga


macam generalisasi atau simpulan umum. Pertama, pemikiran poltik yang
bersifat moralis. Kedua, pemikiran politik yang idak melihat masyarakat
dalam berbagai golongan dan berbagai kepentingan, tetapi hanya melihat
hubungan antara pemimpin dan masyarakatnya. Ketiga,

2.3. Definisi dan Ruang Lingkup Desentralisasi


Konsep desentralisasi dalam pemaaman Smit adala sejaumana
kekuasaan dan kewenangan diserahkan melalui suatu hierarki secara
geografis dalam negara dan uga berkenaan denganinstitusi dan proses yang
memungkinkan berlangsungnya pembagian tersebut.

Menurut Maddick desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan secara


hokum untuk menangani bidang-bidang atau fungsi-fungsi tertentu kepada
daerah otonom. Rondinelli dan Cheema ( dalam Nurcholis ) mengemukan
desentralisasi merupakan ppenciptaan atau penguatan baik keuangan
maupun hukum pada unit-unit pemerintahan subnasional yang
penyelanggaraannya secara substansiak berada diluar control langsung
pemerintah pusat.

PBB( United Nations ) memberikan definisi tentang desentralisasi


meruuk pada pemindahan kekuasaan dari pemerintah pusat baik melalui
dekonsentrasi ( dalam hal ini delegasi ) pada pejabat pusat yang ada
dilapngan, maupun melalui devolusi pada badan-badan otonom daerah.

Turner dan Hulme berpendapat bahwa decentralization is a transfer of


authority to perform some service to the public rom an individual or an agency in
central government to some other individual or agency wich is closer to the public
to be served. Jadi desentralisasi didalam sebua negara mencakup pemindaan
kewengan dalam rangka penyelanggaraan pelayanan kepada masyarakat, dari
peabat atau badan pemerintan di tingkat pusat kepada peabat atau badan
pemerintaan di tingkat pusat kepada pejabat atau badan pemerintaan di
tingkat pusat kepada pejabat atau badan pemerintahan yang lebih dekat
kepada masyarakat yang dilayani.
Pandangan Turner dan Hulmer menjelaskan dengan desentralisasi
berbagai perencanaan yang bersifat local akan dapat diakomodasikan dalam
dokumen perencanaan, seingga akan mendorong proses pengambilan
keputusan yang lebih cepat dan baik. Desentralisasi juga membuka peluang
adanya uicoba berbagai kebijakan berskala local maupun munculnya berbagai
inovasi atas inisiatif pemimpin pemerintahan didaerah. Desentralisasi juga
dapat meningkatkan motivasi pejabat yang berada dilapangan karena mereka
diberi kebebasan untuk melakukan diskreksi tanpa menunggu petunuk dari
pusat.

Jean-Paul Faguet, mrngstsksn bahwa desentralisasi sebagai bentuk


devolusi fungsi- fungsi khusu ole pemerintah pusat ( nasional), dengan
seluruh atribut administrasi, politik dan ekonomi yang dibutukan untuk
demokrasi local, yakni pemerintah daerah yang bebas dari pmerintah pusat
dalam domain wilayah geografis dan fungsi tertentu yang sah.

Intisari desentralisasi adalah adanya pemencaran kekuasaan dari


pemerintah nasional kepada pemerintah subnasional, organisasi non
pemerintah, dan atau entitas otonom lainnya untuk menjalankan fungsi-
fungsi public.

Berkaitan dengan jenis- jenis desentralisasi, Bayu Surianingrat membagi


desentralisasi menjadi dua macam sebagai berikut :

1). Desentralisasi Jabatan

2). Desentralisasi Kenegaraan

Desentralisasi kenegaraan dibedakan menjadi dua yakni :

a. Desentralisasi teritoral
b. Desentralisasi fungsional

Tresna Membagi desentralisasi dalam dua macam yaitu :

1). Ambtelijke Decentralisatie yaitu pemberian kekuasaan dari atas ke bawah


didalam rangka kepegawaian.

2). Staatkundige Decentralisatie yaitu pemberian kekuasaan mengatur kepada


daera- daera didalam lingkungannya guna mewujudkan asas demokrasi di
dalam pemerintahan negara. Staatkundige Decentralisatie dibagi lagi kedalam
dua macam yaitu :

a. Territoriale decentralisatie
b. Functionele decentralisatie

Pandangan Tresna maupun Bayu Surianingrat merujuk pada konsep


desentralisasi banyak digunakan pada berbagai undang- undang yang
mengatur pemerintahan daerah di Indonesia, yakni asas desentralisasi, asas
dekonsentrasi, serta asas tugas pembantuan.

Litvack dan seddon memberi kewengan dan tanggungjawab fungsi-


fungsu public dari pemerintah pusat kepada unit dibawana atau organisasi
pemerintahan bebas yang semu atau sector swasta.Litvack dan Seddon
membagi desentralisasi menjadi empat tipe yaitu :

1) Desentralisasi politik
2) Desentralisasi administratif meliputi :
a) Dekonsentrasi
b) Delegasi
c) Delovusi
3) Desentralisasi fiscal
4) Desentralisasi ekonomi dan pasar

Konsep desentralisasi yang sejalan dengan Litvack dan Seddon adalah


penyerahan perKonsep desentralisasi yang sejalan dengan Litvack dan Seddon
adalah penyerahan perencanaan, pembuatan keputusan, atau kewenangan
administrative dari pemerintah pusat kepada organisasi wilayah, unit
administrative local, organisasi semi otonom, pemerintah daerah, atau
organisasi non- pemerintah.

Desentralisasi dalam bentuk dekonsentrasi berwujud pembagian


kewenangan dan tanggungjawab administrative antara departemen pusat atau
kementerian pusat dengan pejabat-pejabatnya atau pejabat pusat yang ada di
lapangan atau di wilayah.

Desentralisasi dalam bentuk dekonsentrasi dibagi dalam dua tipe yaitu


field administration dan local administration.

Tipe pemerintahan wilaya menurut Rondinelli dan Cheema dibagi lagi kedalam
dua bentuk yaitu integrated dan unintegrated.

Bentuk desentralisasi yang kedua dimaknai sebagai pelimpahan


kewenangan pada lembaga semi otonom ( delegasi ).

Model desentralisasi yang ketiga disebut devolusi ( devolution ). Terdapat


karakteristik undamental dari deolusi dapa t dijalskan sebagai berikut .
Bentuk desentralisasi yang keempat merupakan penyerahan fungsi
pemerintah atau kewengan pemerintah kepada lembaga non pemerintah.

Konsep desentralisasi yang dikemukaan ole Rondinelli dan Cheema


sesungguhnya merupakan bagian yang pernah ada dan menjadi acuan
pelaksanaan desentralisasi di Indonesia.

Pemerintahan daerah di Indonesia, setiap berganti peraturan


perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintaan daera, berganti
pula model yang digunakan karena belum ditemukan model desentralisasi
ideal yang sesuai dengan karateristik bangsa Indonesia.

2.4. Definisi dan Ruang Lingkup Politik Desentralisasi

Politik desentralisasi dapat dimaknai sebagai :

“ Suatu kebijakan public yang berisi filosofi, paradiqma, arahan,maupun


keputusan dalam menjalankan pemerintahan dengan menyerahkan sebagian
kewenangan dari pemerintahan nasional kepada pemerintahan subnasional
maupun entitas lainnya, guna meningkatkan kesejahteraan masyarkat”.

2.5. Sumber-sumber Identifikasi Politik Desentralisasi dan


Ruang Lingkup Pemahaman Politik Desentralisasi
Lima elemen penting yang merupakan sumber bagi kebijakan politik
desentralisasi yaitu : 1) Falsafah berbangsa dan bernegara ; 2) Konstitusi
negara ; 3) basis teoretis yang digunakan dalam naskah akademis : 4) suasana
kebatinan pada saat sebuah undang-undang disusun: serta 5) konsiderans
yang tertuang pada masing-masing undang-undang , yang dididalamnya
terkandung berbagai paradiqma.

2.5.1. Falsafah Berbangsa dan Bernegara

Sistem desentralisasi dan otonomi daera di suatu negara dapat


dilaksanakan dengan benar dan komprehensif apabila dilandasi oleh
pemahaman yang rasional terhadap pilian konsep bernegara yang dianut ole
negara tersebut.
Setiap negara dibangun atas dasar alsaa tertentu, yang merupakan
cerminan dari cita-cita dan watak suatu bangsa. Dasar alsafa negara
merupakan pedoman cara berpikir, cara pandang, serta ciri-ciri dari negara
dan bangsa yang bersangkutan.Penyelenggaraan negara dengan segala
dinamikanya yang dimaksud dalam falsaah bangsa arus diletakkan sebagai
sala satu sarana yang mendekatkan pada perwuudan tuuanberbangsa dan
bernegara.

Negara dengan paam komunisme memiliki pendekatan bahwa


hakikatnya kebesan dan hak individu itu tidak ada. Pada negara berpaham
komunisme, tidak mengenal adanya desentralisasi.

Sebaliknya pada negara dengan paham liberalism memiliki pandangan


dan tradisi politik bahwa kekbeasan adlah nilai politik yang utama. Paham
Liberalisme menolak adanya pembataan, khusunya dari pemerintah dan
agama. Oleh karena itu paham liberalism menjadi dasar bagi tumbuhnya
kapitalisme. Liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, karena
keduanya sama-sama mendasarkna kebebasan mayoritas, dengan implikasi
pada penyelenggaraan negara yang memberdayakan unit-unit dibawahnya.

Negara dengan paham konseratisme mengajarkan sebuah filsaat politik


yang mendukung nilai-nilai tradisional. Paha mini lebih mementingkan
lembaga-lembaga kerajaan dan gereja, masjid, pura. Konseratisme juga
menentang radikalisme dan skeptisme. Paha mini sangat menjunjung tinggi
pengelolaan negara dibawah kendali pusat atau sangat sentralistis, sehingga
tidak ada ruang penyerahan kewenangan kepada unit dibawahnya.

Negara fasisme menganut paham politik yang mengagungkan kekuasaan


absolute tanpa demokrasi. Paham ini menganut prinsip nasionalisme yang
sangat anatik dan juga menerapkan prinsip otoriter yang terbuka. Sistem
pemeritahan fasis diterapkan dalam hampir semue tingkatan kemasyarakatan,
dari pendidikan hingga budaya, agama sampai seni, struktur pemerintah ingga
sistem militer, dan dari organisasi politik hingga kehidupan pribadi rakyatnya,

Pada Negara Kesatuan Republik Indonesia, falsafah berbangsa dan


bernegara telah dirumuskan oleh pendiri bangsa dengan nama Pancasila.
Pancasila sering disebut sebagai Dasar Filsafat atau Dasar Falsafah Negara (
Philosofische Grondslag ) dari negara.

Untuk menemukan releansi yang merupakan benang merah


pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, perlu ditelusuri lebih jauh
nilai- nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Nilai dan norma yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, adalah nilai-
nilai yang bersiat fundamental yang berkembang dan menjadi dasar ketentuan
yang menolak aam-aam yang bertentangan seperti atheism dan segala bentuk
kekafiran tak beragama, kolonialisme, diktatorisme, kapitalisme, dan lain-
lainnya.

Nilai-nilai dalam Sila Pertama Pancasila menjadi landasan filosofi


menjalankan desentralisasi di Indonesia.Sila kedua berbicara mengenai
prinsip kemanusiaan. Desentralisasi yang dijalankan di Indonesia aruslah
berdasarkan nilai kemanusiaan serta untuk memanusiakan manusia. Sila
ketiga menekan Persatuan Indonesia, artinya apapun politik desentralisasi dan
otonomi daerah yang dipilih oleh pemerintahan yang sedang berkuasa, harus
mengutamakan persatuan bangsa.

Desentralisasi yang berarti memberi kebebasan kepada daerah otonom


untuk menjalankan urusan rumah tangganya sendriri tidak boleh
mengandung bibit-bibit yang melemahkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Sila Keempat berkaitan dengan model demokrasi yang dianut yakni demokrasi
deliberasi dan demokrasi perwakilan.

Esensi demokrasi yang termuat dalam Sila Keempat Pancasila dapat


dimaknai bawa dasar dalam menjalankan kedaulatan rakyat melalui
permusyaratan / perwakilan.Demokrasi yang dikembangkan di Indonesia
berasal dari nilai-nilai luhur yang sesunggunya mengutamakan musyawara-
mufakat sebagai cara mengambil keputusan dengan pendekatan menang-
menang ( win-win approach ) sebagai sebuah solusi mengakomodasi berbagai
kepentingan.

Demokrasi mempunyai kaitan erat dengan desentralisasi. Hanya pada


negara yang menganut paam demokrasi, berkembang asas desentralisasi
dengan berbagai gradasi. Sila Kelima Pancasila berkaitan dengan keadilan
social bagi seluru rakyat Indonesia, bahwa setiap manusia Indonesia memiliki
hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan social dalam
kehidupan masyarakat.

Upaya mewujudkan keadilan social tersebut, pemerinta diberikan


tanggungjawab menciptakan kondisi social yang adil melalui pelaksanaan
fungsi-ungsi pemerintahan. Salah satu tujuan desentralisasi yakni
menciptakan kemakmuran, mengurangi kemiskinan, serta memperkecil
kesenjangan antar daerah.
Sumber utama sebuah negara termasuknIndonesia menjalankan politik
desentralisasi, adalah sejara terbentuknya negara bersangkutan.Nilai
desentralisasi di Indonesia telah ada dalam pandangan hidup berbangsa dan
bernegara sejak sebelumnya terbentuknya Indonesia sebagai sebua negara
merdeka.

2.5.2. Konstitusi Negara

Aspek lain yang perlu sebagai sumber pijakan utama politik


desentralisasi adal Undang- Undang Dasar atau landasan konstitusional
sebuah negara. Sifat konstitusi adala sebagai sebuah dokumen yang berisi
aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi pemerintahan negara,
baik yang tertulis dalam bentuk Undang-Undang Dasar, atau konvesi,yang
mengatur dan mengikat cara suatu pemerintaan diselenggarakn dalam suatu
masyarakat negara.

Basis pokok konstitusionalisme adala kesepakatan umum atau


persetujuan ( konsesus) diantara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang
diidealkan berkaitan dengan negara.

Menurut Andrews ( dalam Asshiddiqie), terdapat tiga elemen


kesepakatan umum atau konsesus yang menjadi muatan pokok isi sebuah
konstitusi, yaitu sebagai berikut :

1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita- cita bersama.


2. Kesepakatan tentang te rule o law sebagai landasan pemerintahan.
3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur
ketatanegaraan.

Konstitusional modern adala menyangkut prinsip pembatasan.kekuasaan atau


yang lazim disebut sebagai prinsip limited government.

Ada beberapa pesan politik desentralisasi yang termuat dalam pasal 18


UUD 1945 ( sebelum amandemen ) yaitu sebagai nerikut :

1) Indonesia adalah negara kesatuan yang berdesentralisasi, yang didalam


negara tidak terdapat entitas berstatus negara
2) Dilakukan pembagian daera menurut ukuran size, sehingga terbentuk
daerah besar dan daerah kecil.
3) Ada daerah yang bersiat otonom yang memiliki badan perwakilan
daerah, dan adapula daerah yang bersiat administrative.
4) Sendi pemerintah yang digunakan adala permusyawaratan.
5) Ada daerah-daerah yang bersifat istimewa yang diakui dan dihormati
keberadaannya ole negara.

2.5.3. Basis Teortits yang mendasari


Politik desentralisasi yang dijalankan ole sebua negara, dapat
diliat dari undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan
daerahhnya. Dalam memilih bentuk desentralisasi yang tepat untuk
dijalankan dalam suatu negara perlu diidentifiksi kesesuaian modelnya
dengan latar belakang sejarah, situasi dan kondisi gegrais, dinamika
politik dari negara bersangkutan.
Secara deiniti dapat dikatakan bahwa naskah akademik adalah
naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmia mengenai
konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang
ingin diwujudkan dan lingkup, jangankauan, obyek, atau arah
pengaturan Rancangan UU ( Pasal 1 butir Nomor 7 Perpres Nomor 68
Tahun 2005 ).

2.5.4. Suasana Kebatinan Para Penyusunnya


Kebijakan strategis dan berdampak luas pada kehidupan
berbangsa dan bernegara idelannya diambil melalui pertimbangan yang
matang dengan merujuk pada berbagai referensi.
Idealnya suasana kebatinan para penyusunya tercatat dengan
baik dalam notulensi rapat-rapat pembaasan sebua rancangan undang-
undang. Apabila suasanan kebatinan para penyusunnya sangat
dominan dalam membuat UU tanpa didasari pertimbangan filosofis,
teoretis, maupun peradigmatis, maka niscaya usia UU itu akan sangat
pendek.

2.5.5. Konsiderans Sebuah Undang-undang

Kendala yang dihadapi dalam menganalisis politik desentralisasi yang


perna dibuat di Indonesia adalah tidak semua undang-undang yang mengatur
tentang pemerintaan daerah disertai naskah akademis maupun notulen yang
lengkap. Maka untuk memahami politik desentralisasi di Indonesia pada bab
dan paragra berikutnya, penulis gunakan urutan pola piker sebagai berikut :

a. Filosofi yang digunakan, yang terbagi menjadi dua yakni :


1) Pada masa UUD 1945 ( sebelum amandemen)
2) Pada masa UUD 1945 ( sesudah amandemen)
b. Paradigma yang digunakan, yang tergambar pada naka akademik dan
atau pada konsiderans UU yang mengatur tentang pemerinta daerah.
c. Suasana kebatinan para penyusunnya, untuk menggambarkan
adanya pergulatan gagasan politik dalam penyusunannya.
d. Berbagai model yang digunakan dalam undang-undang tentang
pemerinta daerah , mencakup :
1) Model Transer Kewenangan
2) Mpdele Perimbangan Keuangan
3) Model Pengisian Jabatan Kepala Daerah
4) Model Lembaga Perwakilan
5) Model Organisasi
6) Model Pertanggungjawaban
7) Model Hubungan Antar Asas
8) Model Hubungan Dengan Masyarakat

BAB 3

POLITIK DESENTRALISASI MASA SEBELUM KEMRDEKAAN


DAN AWAL KEMERDEKAAN
3.1. Pendahuluan

Politik desentralisasi di Indonesia sesunggunya telah ada sejak masa


kerajaan dulu.Analisis politik desentralisasi yang dilakukan dimulai dari
masa penjajahan Hindia Belanda, kemudian dilanjutkan pada masa
penjajahan Jepang.

3.2 Masa Penjajahan Hindia Belanda

Model desentralisasi jaman pemerintaan Hindia Belanda juga


membedakan antara pengaturan pemerintaan daerah di Pulau Jawa dan
Madura serta pengaturan pemerintahan daerah di Pulau Jawa dan Madura.

Tujuan politik desentralisasi pada masa penjajaan hindia Belanda adalah :

1. Menjaga agar tidak terjadi pemberontakan dari daera- daerah yang


dijajah;
2. Sebagai upaya untuk melanggengkan penjajaan dengan menggunakan
politik ‘ devide et impera’, dalam bentuk pengaturan yang membedakan
antara pemerintaan daera di Pulau Jawa dan Madura dengan
pemerintahan daerah di luar Pulau Jawa dan Madura.
3. Pembentukan ‘ daerah otonom bertujuan untuk meringankan beban
keuangan pemerintah Belanda dalam mengelola tanah jajahannya.

3.3. Masa Penjajahan Jepang

Masa Penjajahan Jepang yang relatif pendek tidak meninggalkan jejak


sejarah yang membekas mendalam dalam politik desentralisasi di
Indonesia. Adapun tujuan politik desentralisasi pada masa penjajahan
Jepang yaitu sebagai berikut :

1) Mendayagunakan potensi yang ada dibumi Nusantara untuk


mendukung perang bagi kemenangan Jepang:
2) Untuk mencega agar tidak terjadi pemberontakan oleh daera-daerah
bekas jajahan Belanda, maka digunakan politik akomodasi dalam
bentuk melanjutkan sebagian besar kebijakan desentralisasi yang
sudah dijalankan pada masa penjajaan Hindia Belanda.

3.4. Masa Awal Kemerdekaan


Tujuan politik desentralisasi pada awal kemerdakaan adalah untuk :

1) Menunjukkan pada dunia bahwa kemerdekaan Indonesia didukung oleh


daerah-daerah, bukan bentukan dari Pemerintaan balatentara Jepang.
2) Mengakomodasi keinginan daerah untuk memiliki otonomi dalam
bingkai NKRI, sesuai kesepakatan para pemuda yang dirintis sejak
tahun 1908 dan 1928.
3) Meletakkan landasan bagi tersusunya peraturan perundangan-
undangan berkaitan desentralisasi yang lebi lengkap, komprehensif, dan
akomodatif terhadap karakteristik bangsa dan negara.
BAB 4

POLITIK DESENTRALISASI MASA ORDE LAMA

4.1 Pendahuluan

Perjalanan desentralisasi pada masa Orde Lama, diungkap melalui beberapa


aspek penting yaitu dasar filosofi dan paradigm yang digunakan pada saat itu,
model transfer kewenangannya, model perimbangan keuangannya, model
pemerintahan daerahnya, model pengisian kepala daerahnya, model
pertanggungjawabannya, model hubungan antar asas serta model hubungan
dengan masyarakat.

4.2. UU 22 Tahun 1948 tentang Penetapan aturan –aturan Pokok


Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah- Daerah Yang Berak Mengatur
Dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri

4.2.1. Filosofi yang Digunakan

UU Nomor 22 Taun 1948 merupakan UU pertama Republik Indonesia


yang mengatur tentang desentralisasi secara lebi lengkap. Ada beberapa butir
ketentuan yang dapat dikemukakan sebagai basis ilosoi dalam penyusunan
UU Nomor 22 Tahun1948. Elaborasi dimulai dengan pemahaman terhadap
penyelanggaraan desentralisasi sebagai upaya mewujudkan asas kerakyatan
yang dianut Republik Indonesia.

Keadiran UU Nomor 22 Tahun 1948 merupakan penyempurnaan


teradap penyelenggaraan desentralisasi yang berdasarkan regulasi sebelumnya
termasuk yang berasal dari masa penjajaan Hindia Belanda dan Jepang,
seingga menciptakan pluralism dalam perundang-undangan.

Falsafah lain yang dapat ditemukan dalam UU Nomor 22 Taun 1948


adalah prinsip persamaan dalam penyelenggaaan pemerintaan daera untuk
seluru Negara Kesatuan Republik Indonesia baik di Jawa dan Madura maupun
diluar Pulau JAwa dan Madura. Pokok pikiran utama lainnya yang digunakan
sebagai pertimbangan lairnya UU ini adalah mengenai upaya menata kembali
pemerintahan daera dengan kepemimpinan eksekuti tunggal, bukan
berbentuk kolektif kolegial.
4.2.2. Paradigma yang digunakan

Melihat isi UU Nomor 22 Tahun 1948, dapat ditangkap semangat para


penyusunnya yang lebih mengedapankan dimensi politik daripada dimensi
lainnya seperti dimensi manaemen pemerintahan dan uga dimensi
kemampuan keuangan negara. Paradigma yang digunakan UU Nomor 22
Tahun 1948, dapat dilihat dibagian penjelasannya sebagai berikut :

a) Menghindari adanya pemerintahan yang dualistis;


b) Penyelenggaraan pemerintaan didasarkan pada dua hak yakni hak
otonomi dan hak medebewind;
c) Letak titik berat dalam member ak mengatur dan mengurus ruma
tangga deranya berada didesa atau nama lain yang sejenis;
d) Masa jabatan kepala daera tidak dibatasi, tergantung pada pejabat yang
berwenang, tetapi dalam pengisiannya harus mendapat persetujuan dari
DPRD bersangkutan;
e) Keberadaan pamong praja secara bertahap akan dihilangkan.

UU Nomor 22 Taun 1948 menggunakan pendekatan tingkatan daerah otonom


yang dipadukan dengan pendekatan ukuran.

4.2.3. Suasana Kebatinan Para Penyusunnya

Mendeskripsikan suasan kebatinan para penyusunan dalam


pertarungan konsep dan gagasan memperuangkan al-al yang perlu diatur
dalam UU ini, dapat dimulai dengan memaparkan gambaran situasi politik
nasional maupun local yang berkembang saat itu. Pada bagian lain terjadi
kekacauan internal yakni adanya penentangan terhadap pranata social yang
ada. Konflik anta relit berkisar mengenai bagaimana merancang sebuah
pemerintahan yang akan dijalankan sesuai dengan cita-cita Proklamasi, serta
bagaimana caranya memberikan harapan kepada masyarakat didaerah agar
ikut serta mengisi kemerdekaan.

Konflik internal lainnya yang mempengarui kebijakan penyelenggaraan


pemerintahan daera waktu itu adala pemberontakan komunis. Ada juga
peristiwa yang mempengarui situasi politik nasional waktu itu adala
pemberontakan Darul Islam.

Dampak yang terjadi setelanya adanya pergolakan pada saat itu adalah
eek perubahan kondisi ekonomi, social dan budaya Indonesia. Sementara itu
kenyataan yang teradi di daerah terjadi variasi penyimpangan praktik
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dualistis, yang menimbulkan
konflik anta relit local seingga tidak menciptakan tata kelolal pemerintaan
daerah yang baik.

Semangat para politisi perumus terutama dari kalangan parlemen ( DPR)


yang melairkan UU pemerintahan daerah, ingin menyamakan situasi politik
dan sistem pemerintahan daerah-daerah otonom seperti di tingkat nasional.
Catatan kritis terhadap para perumus UU adala semnagat mereka terlampau
mau sehingga terkesan sangat kurang realistis terutama berkaitan akta
pertumbuhan pemerintahan daerah. Selain itu lebi memokuskan kepada
upaya mempublikasikan kepada dunia internasional bahwa Indonesia adala
negara demokratis. Akibatnya UU yang dihasilkan menimbulkan berbagai
ambatan dalam impelementasinya.

4.2.4. Berbagai model yang digunakan

1). Model Transfer Kewenangan

Model transfer yang digunakan UU Nomor 22 Tahun1948 dapat


dijelaskan berdasarkan prinsip pemerintahan daearah yang dianut pada saat
itu. Model transfer kewenangan yang dianut saat itu dilakukan secara penuh
dan tidak penuh. Model penyerahan secara penuh dilakukan dari pemerintah
pusat kepaa daerah dalam kerangka implementasi hak otonomi. Model
penyerahan tidak penuh atau implementasi hak medewebind ini selain
dilakukan oleh pemerintah kepada daerah tetapi juga dapat dilakukan dari
daerah kepada dewan perwakilan rakyat daerah atau kepada dewan
pemerintah daerah dibawahnya.

2). Model Perimbangan Keuangan

Penyerahan urusan pemerintahan dalam rangka desentralisasi sudah


seharusnya disertai sumber-sumber keuangan untuk menjalankannya.
Prinsipnya adalah daerah otonom yang diberi otonpmi harus pula diberi
sumber-sumber keuangan yang memadai agar mampu membiayai sendiri
penyelanggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan kepadanya.
Keterbatasan sumber-sumber keuangan maupun pengaturan
peimabnagn keuangan anatara pemerintah pusat dan daerah menjadi salah
satu hambatan dalam menjalankan desentralisasi di Indonesia.

3). Model Pemerintah Daerah


Model pemerintah daerah sebagimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun
1948 adalah model pemerintahan collegial ( bersama-sma). Artinya
pmerintahan daerah dijalankan secara bersama-sama antara DPRD dan DPD,
denga ketentuan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh DPD. Model ini
dipilih sebagai solusi atas kenyataan terjadinya pemerintahan dualistis yang
masing=masing memiliki posisi dan peran yang kuat sehingga menimbulkan
permaslahan dalam penyelenggaran pemerintahan daerah.
Upaya mewujudkan model pemrintahan daerah collegial ini juga dengan
memperbaiki ketentuan mengenai kedudukan kepala daerah.

4). Model Pengisian Jabatan Kepala Daerah


Pengisian jabatan kepala daerah adlah slah satu peristiwa penting dan
menjadi bagian dalam dinamika politikdesentralisasi. Proses pengisian jabatan
kepala daerah juga meupakan upaya melaksanakan demokratisasi di tingkat
local. Model pengisian jabtan kepala daerah dalam perkembangannya selalu
mengikuti sistem pemerintahan yang dianut ezim tertentu.
Dalam demokrasi dikenal prinsip “check and balances”, tetapi pada
masa UU nomor 22 Tahun 1948 prinsipmtersebut sulit dilaksanakan. Sebab
yang mengusulkan calon kepala dareah adalah DPRD yang kemudian diangkat
oleh pejabat yang berwenang.Secara eksplisit pengisian jabtan kepala daerah
yang diamanatkan dalm UU Nomor 22 Tahun 1948 adalah melauli mekanisme
pemilihan dan pengakatan.

5). Model Lembaga Perwakilan


Entitas penting lain yang dianalisis adlah menyangkut model lembaga
perwakilannya.Sebagai perwujudan demokrasi di tingkat local maka lembaga
perwakilan daerah diharapkan mapu menjalankan kekuasaan dalam bidang
legislative.
Dinamika kedudukan lembaga perwakilan daerah ini selalu mengikuti
dinamika politik nasionaln dansistem pemerintahan yang dianut dalam suatu
rezim yang berkuasa.
Mendiskusikan model lembaga perwakilan pada UU ini secara spesifik,
amka focus utama yang dilihat adalah mengenai peran dan kedudukan DPRD
termasuk mengenai criteria dan mekanisme pemilihannya.

6). Model Organisasi Pemerintah Daerah


Entitas lainnya dlam upaya memahami politik desentralisasi setiap
rezim adalah mengnai organisasi perangkat daerah, mengingat perannya
dalam membantu jalannya roda pemerintahan daerah.Analisis terhadap model
organisasi perangkat daerah dapat dilihat melalui kebijakan pengaturan
pemerintahan daerah yang berupa undang-undang atau peraturan setara
lainnya.

7). Model Pertanggungjawaban


Pemahaman lebuh jauh mengenai paradigm politik desentralisasi juga
dilihat melalui model pertanggung-jawabannya. Dinamika pelaksanaan
pertanggungjawaban pemerintah daerah dalam setiap rezim kekuasaan sangat
bervariasi dan dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang dijalankan saat itu.
Model pertanggungjaawaban penyelanggaraan pemerintahan daerah akan
tergantung pada mekanisme pengisian jabatan kepala daerahnya.

8). Model Hubungan Antar Asas


Analisi terhadap model hubungan antar asas dilakukan untuk melihat
kecenderungan penerapan asas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
terjadi pada suatu rezim. Dinamika oenggunaan asa penyelanggaraan
pemerintahan daerah telah mewarnai praktik penyelanggaraan pemerintahan
daerah.

9). Model Hubungan Dengan Masyarakat


Analisi perkembangan paradigm politik desentralisasi dapat juga dilihat
dari pola hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Hal yang
dilihat adalah bagaimana partisipasi masyarakat dalam rangak implementasi
kebijakan desentralisasi tersebut.
Dinamika partisipasi masyarakat dalam implementasi otonomi daerah
termasuk pola hubungannya dengan pemerintah memiliki pola ynag berbeda-
beda sesuai denganpolitik yang berkembang pada jamnnya.

4.3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok


Pemerintahan Daerah

4.3.1. Filosofi yang digunakan


Filososfi lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1957 adalah untuk mengatur
sebaik-baiknya mengenai otonomi dan medebewind diseluruh Indonesia,
sesuai denga maksud pasal 131 UUD Sementara 1950. Pada UU ini tidak
dilakukan rincian yangbtegas, baim tentang urusan rumah tangga daerah
maupun mengenai urusan-urusan yang termasuk tugas pemerintah pusat.
Filososfi yang diusung dalam undang-undang ini lebih kepada hakekat
menyelesaikan setiap persolan yang menyangkut urusan kepentingan umum,
sehingga tercapai hasil yang sebesar-besarnya. Prinsipnya dalah memberikan
ruang bagi pemerintahan yang diharapkan dapat menemukan solusi atas
setiap persoalan kehidupan masyarakat di daerah.

4.3.2. Paradigma yang digunakan


UU ini masuh menggunakan paradigm yang sama seperti pada UU
Nomor 22 Tahun 1948 yakni membagi daerah otonom dalam pendekatan
ukuran daerah besar dan kecil serta membagi derah kedalam tiga tingkatan.
Pertimbangan politik masuh mendominasi jiwa UU Nomor 1 Tahun 1957
dengan menetapkan daerah otonom yang berjenjang banyak.
Desentralisasi berjenjang banyak seperti pada UU ini membuat proses
pengambilan keputusan di tingkat pusat maupun daerah menjadi lama.
Paradigma lain yang menjadi warna khas UU ini adalah perubahan pengisian
jabatan kepala daerah dari yang semula diangkat oleh pejabat pemerintah
pusat berdasarkan calon yang diajukan DPRD kemudian berubah menjadi
dipilh langsung oleh rakyat.
Paradigma yang tekandung dalam UU ini berimplikasi pada besarnya
desentralisasi politik dan terjaminnya desentralisasi administrative.

4.3.3. Suasana Kebatinan Para Penyusunnya


Gambaran situasi dan kondisi politik nasional yang tejadi pada masa
diterbitkannya UU Nomor 1 Tahun1957, menjadi pengantar untuk
menjelaskan tekanan maupun kondisiyang terjadi saat para perumus
melahirkan UU ini.Dinamika politik nasioanl saat itu begitu tinggi antara
pihak eksekutif dan pihak legislative, ditandai dengan berbagai peristiwa
politik yang terjadi megirinigi proses penyusunan RUU pemerintahan daerah.

4.3.4. Berbagai Model yang digunakan


1) Model Transfer Kewenangan
Tidak ada pembagian yang tegas antara kewengan pemerintah pusat
maupun kewenangan pemerintah daerah. UU ini tidak mengenal pengaturan
secara tegas transfer kewengan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom.

2). Model Perimbangan Keuangan


Pengaturan tentang peimbangan keuangananatara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah menurut II ini dapat dilihat pada Bab VI tentang
Keuangan Daerah. Dalam ketentuan Pasal 56 ayat 2 dinyatakan bahwa dalam
undang-undang ditetapkan peraturan umum tentang pajak daerah dan
retribusi daerah, yang sesungguhnya dimaksudkan agar daerah mendapat
pegangan umum, sehingga tidak ada pembebenan pungutan yang melebihi
batas kemampuan ekonomi daerah.

3). Model Pemerintah Daerah


Analisi terhadap model pemerintahan daerah menurut UU ini dimulai
dengan melihat ketentuan Pasal 2 ayat (1), dijelaskan bahwa Wilayah Republik
Indonesia dibagi dalam daerah besar dan kecil, yang berhak mengurus rumah
tangganya sendiri, dan merupakan sebanyak-banyaknya tiga tingkat
derajatnya dari atas ke bawah adalah sebagai berikut :
a. Daerah tingkat I, termasuk Kotapraja Jakarta Raya,
b. Daerah tingkat II, termasuk Kotapraja
c. Daerah tingkat III

4). Model pengisian Jabatan Kepala Daerah


Pengisian jabatan kepala daerah menurut UU ini dilakukan pemilihan
secara langsung oleh rakyat, denga ketentuan akan diatur tersendiri dengan
sebuah undang-undnag mengenai cara pengangkatan dan pemberhentian
kepala daeraah.

5). Model Lembaga Perwakilan


Kedudkan lembaga perwakilan daerah pada UU ini ditegaskan bahwa
pemerintah daerah terdiri daripada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
Dewan Pemerintah Daerah. Kedua badan ini yang menurut UU ini
berkewajiban mengurus segala urusan rumah tangga sendiri dan dapat pula
diserahi tugas untuk memberikan bantuan dalam menjalankan peraturan-
peraturan oleh instansi-instansi yang lebih tinggi.

6). Model Organisasi


Analisis keberadaan organisasi perangkat daerah berdasrkan ketentuan
UU ini dapat dilihat melalui pengaturan tentang sekretaris daerah, pegawai
daerah, dan kedudukan pamong praja.

7).Model pertanggungjawaban
UU ini mengingakn pengisian jabatan dilakukan dengan cara pemilihan
langsung oleh rakyat, yang diatur denganundang-undang tenyang pemilihan
kepala daerah. UU inintidak secara tegas mengatur mekanisme
pertanggungjawaban kepala daerah. Mekanisme pengisian jabatannya melalui
pemilihan oleh DPRD, maka kepala daerah secara prinsip bertanggungjawab
kepada DPRD.
8). Model Hubungan Antar Asas
Pada masa UU ini, keinginan politik yang tertuang dalam pasal-pasal
sesungguhnya lebih menyeimbangkan penerapan asaa desentralisasi dengan
penguatan otonomi riil dan implementasi medewind ( tugas pembantuan) serta
penerapan dekosentrasi.

9). Model Hubungan Dengan Masyarakat


Pada masa belakunya UU ini, para elite politik di tngkat nasional masih
focus pada persoalan eksistensi banga, sehingga kurang member perhatian
pada mekanisme hubungan dengan masyarakat.

4.4 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1959 Tentang


Pemerintah Daerah

4.4.1 filosofi yang digunakan


Filosofi Penpres ini dapat dilihat dari konsideransnya yakni sebagai
tindak lanjut dari Dekrit Preside 5 Juli 1959 serta untuk mengatasi situasi
politik nasional yang tidak stabil, sehingga dapat membahayakan persatuan
dan kestauan negara dan bangsa.

4.4.2. Paradigma yang digunakan


Penpres ini terdiri darin 23 pasal, tetapi ada beberapa pardigma baru
yaitu sebgai berikut :
1). Pemerintah daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD
2). Intervensi pemerintah pusat pada pemerintah daerah semakin kuat,
terutama melalui tangan kepala daerah.
3). Pemerintah daerah tidak lagi dijalnkan secara kolektif-kolegial melainkan
dijalankan oleh Kepala Daerah yang dibantu oleh BPH ( Badan Pemerintahan
Harian)
4). Kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh pejabat yang berwenang
dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD.
5). Kepala daerah menjalankan posisi ganda yakni sebagai alat pemerintah
pusat dan alat pemerintah daerah.
6). Masih dipakinya otonomi berjenjang yang sifatnya hierarkis.

4.4.3. Suasana Kebatinan Para Penyusunnya


Filosofi dan pardigma yang digunakan dalam regulasi ini adalah revolusi
ketatanegaraan dibidang horizontal mengenai pemerintahan pusat di Jakarta,
dan ertikal mengenai pemerintahan daerah. Terdapat dua hal penegasan
penting dalam penetapan Penpres ini yaitu : 1) melanjutkan politik
dekonsentarsi dan desentralisasi dengan mejunjung faham desentralisasi
territorial;2) menghapuskan dualism dalam pimpinan pemerintahan daerah
demi kepentinganrakyat, keutuhan pemerintah daerah dan kelacaran
administrasi.

4.4.4. Berbagai Model yang digunakan


1). Model transfer kewenangan
Salah satu butir penting yang disung Penpres ini adalah melanjutkan
politik desentralisasi dengan menjunjung aham desentarlisasi terotorial. Hal
ini berarti melanjutkan pemberian hak kepada daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri, dengan mengingat kemampuan dan
kesanggupan derah masing-masing.

2). Model Perimbangan Keuangan


Pengaturan perimabangan keuangan pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah tidak banyak mengalami banyak perubahan. Ketentuan
perimbangan keuanganadalah penegaan besarnya penerimaaan negara
yangnharus diserahkan ke daerah secara formal dinyatakan akan ditetapkan
setiap tahun oleh pemerintah.

3). Model Pemerintahan Daerah


Dari penjelasan Penpres ini bahwa pimpinan pemerintahan di daerah
masih bersifat dualistis, dalam arti kata bahwa ada dua pimpinan yang
berdiribterpisah, dalam dua bidang pekerjaan yang pada hakekatnya sangat
erat hubungannya satu sama lain.

4). Model pengisian jabatan


Pengisian jabatan kepala daerah berdasarkan Penpres inidilakukan
melalui pengangkatan oleh pejabat pemerintah pusat yang berwenag, bukamn
melalui pemilihan.

5). Model Lembaga perwakilan


Model lembaga perwakilan menurut Penpres ini tidak mengalami banyak
perubahn disbanding UU sebelumnya.Perbedaannya terletak pada anggota
DPRD yang duduk didalmnya merupakan hasil Pemilu 1955.

6). Model Organisasi


Dalam Penetapan Penpres ini telah memasukkan gagasan baru berupa
pemisahan kekuasaan antara fungsi eksekusi dengan fungsi legislasi didaerah
meskipun belum sepenuhnya. Fungsi eksekusi dijalankan oleh kepala daerah
dibantu oleh BPH, sedangkan fungsi legislasi derah dijalankan oleh DPRD.

7). Model Pertanggungjawaban


Model pertanggujawaban kepala daerah bersifat ertikal ke atas, yakni
bertanggungjawab kepada pejabat yang berwenang mengangkatnya.

8).Model Hubungan antar Asas


Dengan ditetapkannya Penpres ini maka pemerintahan daerah yang
semula didominasi oleh DPRD sebagai wakil rakyat telah bergeser ke tangan
pejabat pusat yang ada didaerah.

4.5. UU Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintah Daerah


4.5.1. Filosofi yang digunakan
Filosofi yang digunakan dalam UU ini adalah mengembaliaknketentuan-
ketentuan perundanagn tentang pokoko-pokok pemerintahan daerah sesuai
dengan UUD 1945. Pradigma penting lainnya yang disusng UU ini
berkehendak membagi habis seluruh Negara Republik Indonesia dalam tiga
tingkatan daearh yang berhak nmengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri ( otonomi ).

4.5.2. Paradigma yang dugunakan


UU ini masih mengguanakan pardigma pembagian daerah otonom
menurut ukuran size dan pendekatan tingkatan dan herarkhi.

4.5.3. Suasana Kebatian Para Penyusunnya


Proses permusan UU ini diawalai dengan pembentukan panitia Negara
Urusan Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Dinamika diskusi dan kritik yang
berekmbang tetuju kepada panitia Soeroso yang mengingatkan agar RUU yang
barubtersebut jamgan sekedar mengalihkan regulasi sebelumnya.

4.5.4. Berbagai Model yang digunakan


1). Model Transfer Kewenangan
Mekanisme penyerah kewenangan yang diatur dalam UU ini
berdasarkan pada prinsi[ perwujudan sistem otonomi riil yang seluas-luasnya.

2). Model Perimbangan Keuangan


Undang-undang ini sudah mengakomodasi pentingnya dukungan
pembiayaan yang memadai dalam penyelenggaraan urusan rumah tangga
daerah sebagai upaya mewujudkan tujuan penyelenggaraan desentralisasi.

3). Model Pemerintahan Daerah


Model [emerintahan daerah yang disusng UU ini sesungguhnya
merupakan penyempurnaan konsep bergbagai undang-undang yang mengatur
tentang pemerintahan daerah. UU ini sudah lebih spesifik menyebut istilah
provinsi, kabupaten dan kecamatan sebgai jenis daerah yang berhak mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri ( daerah otonom), sehingga tidak lagi
dijadikan sebagai wilayah kerja seorang pejabat pamong paraja atau dikenal
dengan wilayah administrative.

4). Model Pengsian jabtan Kepala Daerah


Pada UU ini pengisian kepala daerahnya dilakukan melalui
pengangkatan. Namun pengaturan tentang mekanisme dan tata cara
pengangkatnnay dibuat lebih rinci dan lengkap. DPRD diberikan peran dlam
penclonan kepala daerah.

5). Model Lembaga Perwakilan


Model lembaga perwakilan yang diatur UU ini amsih dipengarui oleh
Dekrit Presiden tanggal 5 Julin1959 tantang kemabli UU 1945.Dalam UU ini
mengenai kedudukan lembaga perwakilan daearh menjadi bagian penting
dalam analisis paradigm politik desentaralsiasi OrdeLama.

6). Model Organisasi


Model organisasi perangkat daera menurut UU ini imulai dengan melihat
ketentuan tugas, wewenang, dan kekuasaan pemerintah daerah. Pengaturan
meskipun masih menggunakan berbagai pola yang sama.

7). Model pertanggungawaban


Mekanisme pertanggunjawaban pejabat pemerintah akan tergantung
pada mekanisme pengisiannya. Mereka yang diangkat bertanggungjawab
kepada yang mengangkat, sedngkan mereka yang dipilih bertanggungawab
kepada yag memilih.

8). Model Hubungan Antar Asas


Kebijakan memperkuat asas dekonsentrasi pada
penyelenggaraanpemerintahan daerah yang dimulai dalam Penpres Nomor 6
Tahun 1959 dilanjutkan pada UU ini. Pelaksanaan asa desentralisasi dan asa
tugas pembantuansemakin berkurang.Asas dekonsentrasi yang kuat
diterapkan did aerah , sedangkan asas desentralisasi hanya sebgai
komplemen.

9). Model Hubungan Dengan MAsyarakat


Hubungan antar masyarakat denga pemerintahan daerah maupun
pemerintah pusat tidak mengalami perubahan yang berarti. Peran amsyarakay
sangat kecil sedangkan dominasi peran pemerintah daerah sangat tinggi.
Dinamika politik desentralisasi ,asih dalam pertarungan antar sesame elite
local maupun dengan elit pusat seiring dengan upaya mempertaankan
kepentingannya.

UU Nomor 19 Tahun 1965 Tentang DesaPraja


4.6.1. Filosofi yang digunakan
UU ini memiliki keinginan filosofi menjadikan Desa sebagai daerah
otonom seperti yang tertuang dalam penjelasn pasal 18 UU 1945 ( sebelum
amandemen) yang menempatkan desa atau nama lain yg sejenis sebagai
daerah yang bersifat istimewa, maupun konsepsi Hatta yang ingin menjadi
Desa sebagai daerah otonom terbawah ternyata masih kuat tertanam pada
politisi yang duduk di DPR maupun Pihak pemerintah pusat.
Filosofi yang dig
Nakan dalam kebijakan pengaturan desapraja adalah mengganti segala
peaturan perundnag tata perdesaan umumnya, yang masih mengandung
unsure-unsur dn sifat colonial feudal denag satu Undang-undang Nasioanl
kedesaan yang berlaku untuk seluruhwilayah republoik Indonesia.
4.6.2. Paradigma yang digunakan
Ada bebrapa paradigm yang digunaka dalam UU ini antara lain
pengahapusan dualismenpengaturan tentang desa antara pulau Jawa dan
Madura , maupun berbagai peraturan lainnya yang mengatur tentang desa.

4.6.3. Suasana Kebatinan Para Penyusunannya


Suasana kebatinan pada saat menyusun UU ini sama dengan pada saat
menyusunUU Nomor 18 Tahun 1965. Karena disusun pada masa persidngan
DPR yang sama.

4.6.4. Berbagai Model yang digunakan


1). Model Transfer Kewenangan
Ketentuan mengenai mekanisme penyera kewenagan dlam UU ini
sesunggunya bertitik tolak dari semanagat untuk mempercepat terwujudnya
daerh tingkat III diseluruh wilayah Indonesia., sehingga mekanisme
penyerahan kewenangannya pun menuju keara yang diinginkan.

2). Model Perimbangan Keuangan


Desa praja tidak perna disebut sebagai entitas pemerintaan, tetapi
kepadanya diberikan kewenangan memungut pajak dan retribusi yang pada
akekatnya merupakan kewengan daerah otonom.

3). Model badan hukum desapraja


Desapraja sebagai badan hokum terdiri dari Kepala Desapraja dan alat
kelengkapan lainnya seperti Badan Musyawarah Desapraja, Pamong
Desapraja, Panitera Desapraja,dan Badan Pertimbangan Desapraja. Kegiatan
di Desapraja semuanya bermuara di tangan kepala Desapraja.

4). Model Pengisian Jabtan Kepala Desapraja


Menurut ketentuan pasal 9 ayat (1) UU ini bahwa “Kepala Desapraja
dipilih langsungoleh penduduk Desapraj yang suda berumur 18 Taun atau
suda ( perna ) kawinm dan menurut adat kebiasaan setempat suda menjadi
warga Desapraja yang bersangkutan”.

5). Model Lembaga Perwakilan Desapraja


Pada Desapraja terdapat dua jenis lembaga perwakilan, yakni BMD(
Badan Musyawara Desapraja) dan BPD ( Badan Pertimbangan Desapraja).

6). Model Organisasi


UU ini menggunakan alat istila kelengkaopan sedapraja sebgai pengganti
istilah susunan organisasi,karena desapraja saat itu memang bukan
merupakan satuan pemerintahn, tetapi komunitas yang diberi tugas
menjalankan sebgaian urusan pemerintaan. Model organisasi nya berbetuk
lini dan sta, yang terdiri dari Pamong Desapraja sebagai pembantu kepala
Desapraja yang mengepalai satu dukuh. Pamong Desapraja adalah pegawai
Desapraj yang memimpin tat-usaha Desapraj dan tat-usaha KEpala Desapraja.

7). Model pertanggungjawaban Kepala Desapraja


Dalam UU ini tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur
mekanisme pertanggungjawaban Kepala Desapraja. Tetapi setiap pejabat
public maupun pimpinan komunitas yang menjalankan sebagian urusan
pemerintahan wajib mempertangungjawabkan tugas dan wewenang yang
dijalankannya.

8). Model Hubungan Antar Asas


Ada dua asas yang digunakan dalam UU ini yakni asas otonomi dan
asas tugas pembantuan.Asas otonomi bersifat pengakuam, buakn
pemberian..Sedangkan asas tugas pembantuan yakni meneriam tugas
pembantuan dari instansi-instansi tingkat atasnya.

9). Model Hubungan dengan Masyarakat


Hubungan Desapraja dengan masyarakat masih meminjam konsep dari
Arnstein yang berbicara mengenai tipologi partisipasi yang disebut “ tangga
partispsasi warganegara”. Jarak psikologis maupun jarak fisik antara
masyarakat dengan Desapraja sebagai kestuan masyarakt hokum sangatlah
dekat.

Berdasrkan penjelasn diatas, dapat ditarik intisari politik desentralisasi pada


era Orde Lama yaitu sebagai berikut :
1). Desentralisasi lebuh banyak didasrkan pada pertimbangan aspek politik
dibandingkan pertimbangan aspek lainnya,
2). Perubahan bentuk pemerintahan daerah mengikuti perubahan perubahan
bentuk negara dan sistem pemerintahan di tingkat nasional.
3). Birokrasi pemerintahan daerah belum dikembangkan secara optimal,
padahal entitas ini memegang peranan penting bagi kemajuan daerah
otonomm,
4). Partisipasi masyarakat awalnya baru tahap “ manipulasi” kemudian
bergerak menuju tahap “kekuasaan yang didelegasikan” dalm bemtuk memilih
Kepla daerah adan atau wakilnya pada le,baga perwakilan.
5). Pilihan model desentralisasinya adalah berjenjang banyak dan hierarkhis
sehingga memerlukan dukungan pembiaayaan dan jumlah pegawai yang
banyak.

BAB 5
POLITIK DESENTRALISASI MASA ORDE BARU

5.1 Pendahuluan

MAsa Orde Baru merupakan masa berakhirnya kekuasaan rezim


Soekarno dan dimulainya kekuasaan rezim soeharto. Setela Presiden Soeharto
berkuasa,perbaikan keidupan social, politik maupun ekonomi dilakukan
secara bertaap dengan model dan gaya yang berbeda. Prinsipnya adala
mengembalikan tatanan keidupan berbangsa dan bernegara pada kemurnian
pelaksanaan Pancasiladn UUD 1945.
Pemeintaan Soeharto kemudian merancang sistem pemerintaan daera
yang baru, yang secara esesnsial bertujauan meminimalkan ataumengilagakan
munculnya gerakan perlawanan daerah seperti terjadi pada era 1950-an, serta
untuk menjamin terciptanya stabilitas politik sebagai prasyarat utama bagi
terlaksananya pembangunan ekonomi.
Analisis politik desentraloisasi masa Orde Baru lebih difokuskan pada
UU Nomor 5 T ahun1974 tenytang pokok-pokok pemerintaan di daerah serta
peraturan pelaksanaan lainnya yang menjadi pedoamn operasional
penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

5.2. UU Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di


Daerah
5.2.1. Dasar Filosofi yang digunakan
Dasar filosofi yang digunakan UU ini adala keseragaman dalam
kesatuan. Berdasarakan filososi ini maka pengaturan penyelenggaraan
pemerintahan daerah di seluruh Indonesia dalam segala segi dibuat serba
seragam, bahkan sampai dalam bentuk petunjuk pelaksanaan ( juklak) dan
petunjuk teknis ( juknis).

5.2.2. Paradigma yang digunakan


Pada masa UU ini dibangun konstuksi pemerintahan yang hirerarkhis
vertical ke atas. Paradigma lainnya adalah adanya daerah yang bersifat
otonom dan ada daeran yang bersifat administrative, yang kemudian
memunculkan prinsip uniteritorial dan prinsip unipersonal. Prinsip
uniteritorial adalah prinsip yang menjadikan batas daerah otonom berhimpit
dengan batas wilayah administrati, sedangkan prinsip unipersonal adala
prinsip yang menyatukan antara perangkat daera otonom dengan perangakt
wilayah administrative.

5.2.3. Suasana kebatinan para penyusunnya


Mendiskripsikan suasana kebatinan dengan menelusuri notulen rapat
atau risala rapat pleno yang tercatat waktu itu. Hal ini menadi pengantar
menganalisis dinamika proses penyusunan UU yang didalamnya terdapat
pertarungan konsep dan gagasan anta relit eksekuti maupun legislative.

5.2.4. Berbagai Model yang digunakan


1). Model Transfer Kewenangan
Pada prinsipnya semangat UU ini adalah dalam pemberian otonomi
kepada daerah adalah memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri. Untuk mencapai tujuan tersebut
maka kepada daerah perlu diberikan wewenang untuk melaksanakan berbagai
urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya.
Model penyerahan urusan pemerintahan kepada daearah yang diatur
dalam UU ini dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan keadaan dan
kemapuan daerah yang bersangkutan.

2). Model Perimbangan Keuangan


Model perimbangan keuangan pada masa Orde Baru tidak dpat
dilepaskan dari pardigma dan semangat yang cenderung bergerak ke kutub
sentralisasi. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dirancang oleh
Orde Baru lebih difungsikan sebagai alat untuk memperlancar pelaksanaan
pembangunan ekonomi didaerah. UU ini menegaskan agar daerah dapat
mengurus rumah tangganya sendiri dengan sebaik-baiknya, maka kepadanya
perku diberikan sumber-sumber pembiayaan yang cukup. Pada masa Orde
Baru pengaturan keuangan antara pusat dan daera tidak berjalan sesuai
tuuan untuk meningkatkan kemampuan keuangan daera, tetapi lebi banyak
diwarnai oleh keinginan politik pemerintah pusat dalam mengamankan
kepentingannya.

3). Model Pemerintahan Daerah


Analisis model pemerintahan daerah pada masa Orde Baru berdasarkan
ketentuan UU ini dapat dilihat dalam dua bentuk, Pertama, meliat
pemerintaan daerah dalam konstruksi sebagai daerah otonom, dan yang
kedua, melihat konstruksi sebagai wilayah administratif.

4). Model Pengisian Jabatan Kepala Daerah


Pengisian jabatan kepala daera pada masa Orde Baru menurut UU ini
dilakukan melalui dua tahap yakni melalu pemilihan secara tidak langsung ole
DPRD, dan pengangkatan oleh pejabat yang berwenang. Model pengisian
jabatan kepala daerah seperti ini memiliki kesamaan dengan model pengisian
jabatan pada masa Orde Lama terutama dengan Penpres Nomor 6 Tahun 1959
dan UU Nomor 18 Tahun 1965.
5). Model Lembaga Perwakilan Daerah
Paradigma lembaga perwakilan daerah pada masa Orde Baru
sesungguhnya lebih menegaskan kedudukannya sebagai penyelenggara
pemerintahan daerah dalam bidang legislative atau aspek mengatur.

6). Model Organisasi Perangkat Daerah


Keberadaan organisasi perangkat daerah dapat ditegaskan secara
eksplisit melalui undang-undang pemerintahan daerah. UU ini dalam
mengatur organisasi pemerintahan daerahnya menggunakanmodel organisasi
lini dan staf.

7). Model Pertanggujawaban


Pertanggunjawaban terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah
pada masa Orde Baru dikonstruksikan mengikuti paradigm pengisian kepala
daerahnya. Menurut UU ini,Kepala daerah berkewajiban memberikan
keterangan pertanggunjawaban kepada DPRD mengenai
pelaksanaanpemerintahan daerah yang dipimpinnya.
Model ertanggunjawabannya kepala daerah terhadap penyelengaraan
pemerintaan daera pda masa Orde Baru bersiat ierarkis ke atas.

8). Model Hubungan Antar Asas


UU ini dalam kaitan dengan konsep penyelengaraan pemerintaan daerah
otonom dn penyelengaraan pemerintaan yang menjadi tugas pemerintah pusat
didaerah dijalankan dengan menggunakan asas desentralisasi, asas
dekonsentrasi dan asa s tugas pembantuan. Ketiga asa ini diyakini mampu
menjawab penyelengaraan pemerintaan yang efekti dan efisien berdasarkan
kondisi geografis dan demografis negara Indonesia, serta mengakomodasikan
kepentingan pemerintah pusat dan kepentingan pemerintah daerah.

9). Model Hubungan DenganMasyarakat


Pola ubungan antara pemarinta daera dengan masyarakat pada masa
Orde Baru dapat dikatakn bersiat searah. Konsep ini menempatkan pemerinta
sebagai subyek atau pelaku utama sedangkan masyarakat hanya sebagai
obyek. Keterlibatan masyarakat dalam penyelengaraan pemerintaan dan
pembangunan secra langsung maupun tidak langsung hampir tidak ada.

Catatan Politik Desentralisasi Masa Orde Baru


1). Politik desentralisasi diarakan pada peningkatan efektivitas dan efisiensi
pemerintahan daerah untuk menunjang pembangunan, sehingga aspek
manajemen pemerintahan lebih dominan dibandingaknaspek politiknya.
2).Ada tiga asas penyelangaraan pemerintahan didaerah yakni asas
desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan, tetapi dalam
kenyataannya asas dekonsentrasi lebih menonjol.
3). Model pemerintahannya bersifat dominan eksekutif. Mekanisme pengisian
jabatan kepala daerah juga lebih dominan peran pejabat yang berwenag
daripada peran DPRD.
4). Model organisasi pemerintahannaya adalah lini dan sta
5). Partisipasi masyarakat berada pada tahap dimanipulasi oleh penguasa
untuk melanggengkan kekuasaanya.

BAB 6
POLITIK DESENTRALISASI MASA REFORMASI

6.1.Pendahuluan

Pada pertengahan tahun1998, gerakan reformasi yang dipelopori oleh


mahasiswa telah berhasil menumbangkna rezim Soeharto. Salah satu agenda
penting reformasi adalah mengunah UUD 1945 yang selama ini
dikemaramatkan, termasuk didalmnya amandemen kletentuan yang mengatur
tentang desentralisasi. Tujuannya adalah agar bangsa dan negara Indonesia
tidak mengalamai disintegrasi.
Setalah rezim Orde Barutumbang lahirlah rezim Reformasi. Karean
pemerintahan tersebut merupakan hasil Gerakan Reformasi yang dipe;opori
oleh mahasiswa. Sampai saat ini telah ada lima orang presiden yang memgang
jabatan pada rezim Orde Reformasi.
Gerakan Reformasi sekarang sudah berjalan selama 18 tahun. Selama
kurun waktu tersebut telah banyak dilakukan perubahn mendasar dalam tata
kehidupan berbangsa,bernegara, dan pemerintahan, termasuk mengenai
politik desentralisasi. Seringnya terjadi pergantian UU karena sumber
pembuatannya sekarang melalui dua pintu, dapat melalui DPR-RI atau melalui
pintu eksekutif. Akibatnya muncul ketidakpastian hokum atau bahkan
penyalahgunaan hokum.

6.2 UU Nomor 22 Tahun 1999 Tenytang Pemerintahan Daerah


6.2.1. Dasar Filosofi
Filosofi yang digunakan dalam UU ini adalah keanekaragaman dalam
kesatauan, yang merupakan kontra konsep dari filososfi “ kesatuan dalam
keanekaragaman” yang digunakan UU Nomor 5 Tahun 1974.
Prinsip keanekaragaman dalam kestauan sesungguhnya mengembalikan pada
karakter dan kondisi bangsa Indonesia yang beraneka ragam dan sejalan
dengan sesanti “ Bhinneka Tunggal Ika”.
Filosofi keanekaragaman dalam kesatuan kemudian tercermin melalui
pemberian kebebasan untuk member nama desa dengan nama lain yang
sejenis sesuai dengan kenyataan social yang ada didaerah masimg-masing.
Adanya kebebasan untuk pemberian nama kecamatan sesuai kesepakatan
masyarakt setempat.Demikian pula bentuk, susuanan, serta nama organisasi
pemerintah daerah yang dapat berbeda anatara satu daerah dengan daerah
lainnya.

6.2.2. Pardigma ynag digunakan


Ada empat konsiderns yang memberikan landasan filosofi yaitu sebagai
berikut :
a. Paradigma pemberian keleluasaan lepada daerah untuk
menyelenggarakan Otonomi daerah;
b. Pradigma demokratisasi, pemberian peranserta masyrakat yang lebih
luas, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan
keaneka ragaman daerah;
c. Paradigma menghadapi kompetisi global, dengan meberikan
kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah
secara proporsional;
d. Paradigma pemisahan pengaturan tentang desa.

6.2.3. Suasanan Kebatinan Para Penyusunnya


Suasana kebatinan para penyusunnya dapat diliat dari kompisisi
anghota DPR pada periode 1999-2004 menurut asal partai poitiknya, karena
setiap partai politik memiliki platform ynag berbeda-beda.

6.2.4. Berbagai Model yang digunakan


1). Model transfer kewenangan
Pad UU ini dipakai paradigm pengakuan kewengan pemerintahan.
Pertimbangan utamanya adalah bahwa daerah otonom sesungguhnya secara
konstitusioanal telah memiliki kewenangan, negara tinggal mengakuinya
didalam undang-undang. Adanya ketidakselarasan paradigm UUD 1945
denagn UUini sebagau UU organiknya. Ada tiga alas an mengapa UU ini yang
belum lama diundangkan sudah direvisi secara mendasar yakni alasan
yuridis,alas an administrative serta alas an sosiologis. Alasan yurudis yaitu
adanya amandemen UUD 1945, khususnya pasal 18 mengharuskan adanya
penyesuaian UU organiknya.
Alasan kedua yakni alas an administrative berdasarkan pertimbangan
terlampau luasnya rentang kendali antara pemerintah pusat terhadap
kabupaten/kota secara langsung, serta antara kabupaten dengan desa,
sehingga memperlemah aspek penggawasan dan pembinaan serta
penyerasiaan. Alasan sosioligis adalah telah timbulnya berbagai masalah
actual yang dapat mengganggu kegiatan berbangsa,bernegara serta
berpemerintahan.

2). Model perimbangan keuangan


UU ini memeberikan landasan pengaturan bagi pembiayaan keuanagan
antara pemerintah pusat dan daerah, serta memberikan landasan bagi
perimbangan keuangan anatara daerah. UU ini berintikn pembagiaan
kewenangan dan fungsi antar tingkatan pemerintahan.
Model perimbangan yang dianut pada masa Reformasi atau masa
lahirnya UU ini yakni menganut prinsip mewujudkan secara jelas aspek
keuangan dalam rangka implementasi tiga asas penyelenggaraan
pemerintahan daerah yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan. UU ini membangun sistem keuangan pemerintahan daerah yang
baru, yang memisahkan pengelolaan dana desentralisasi, dana dekonsentrasi
dan tugas pembantuan.

3). Model Pemerintahan Daerah


Model pemerintahan daerah yang digunakan UU ini adalah model
dominasi legislative, karena DPRD lebih dominan dibandingkan kepala daerah.
Model ini sejalan dengan bentuk negara federasi dan sistem pemerintahan
parlementer, padahal Indonesia saat II ini dibuat adalah negara berbentuk
kesatuan dengan sistem pemerintahan presidensiil.
Ketidakselarasan sistem pemerintahan di tingkat nasional dengan di
tingkat daerah pada negara berbentuk kesatuan yang tidak biasa, yang pada
golirannya dapat menimbulkan kekacauan sistem. UU ini akhirnya memang
tidak berusia panjang, hanya sekitar lima tahun. Meskipun demikian UU inin
telah membangkitkan kembali kesadran warganegara dan wargadaerah bahwa
kekuasaan yang terlampau besar ditanagn kepala daerah dapat menimbulkan
masalah, demikian pula sebaliknya apabila berada ditangan DPRD.

4). Model pengisian Jabatan


Mekanisme pengisian jabaatan diserahkan kepada DPRD. PeranDPRD
sangat dominan dalam rangka menentukan seseorang menjadi kepala daerah
dan wakil kepala daerah. Dengan model pengisian jabatan seperti itu, maka
kedudukan DPRD lebih kuat dibandingkan kedudukan kepala daerah.
Mekanisme pemilihan kepla daerah menurut UU ini terlihat lebih maju
dibandingkan dengan mekanisme yang diatur dengan regulasi pada rezim
sebelumnya.

5). Model Lembaga Perwakilan


UU ini secara tegas menempatkan DPRD sebgai lembaga/ badan
legislative daerah, sedangkan pemerintah daerah sebagai badan eksekutif
daerah. Meskipun dalam UU ini ditetapkan DPRD berkedudukan sebagai mitra
yang sejajar dengan pemerintah daerah tetapi dalam praktiknya DPRD lebih
dominan di daerah.

6). Model Organisasi Perangkat daerah


Setelah terbitnya UU ini organisasi perangkat daerah yang sebelumntya
terdiri dari Perangkat Daerah Otonom dan perangkat pemerintah didaerah
berdasarkan asas dekonsentrasi yang dijalankan dengan prinsip unipersonal,
ditata kembali sehingga kelembagaan didaerah hanya terdiri dari perangkat
daerah, meliputi Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan lembaga teknis
daerah lainnya, sesuai dengan kebutuhan daerah

Model organisasi yang dibentuk pada masa UU ini sejalan dengan


pemahaman teoritis yang dikemukan oleh Mintzberg bahwa esensi dari suatu
organisasi adlah adanya pembagian tugas kedalam unit-unit dan koordinasi
pelaksanaan tugas oleh setiapu unit/ pegawai untuk mencapai tujuan
organisasi.

7).Model Pertanggungjawaban
Mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah yang diatur menurut UU
ini yakni bagwa Kepala Daerah wajib menyampaikan pertanggungjawaban
kepada DPRD pada setiap akhir tahunanggaran. Selainmekainisme itu, Kepala
Daerah juga wajib menyampaikan laporan atas penyelanggaraan
Pemerintahan Daerah kepada Presiden. Laporan tersebut disampaikan secara
berjenjang melalui Menteri Dalam Negeri dengan tembusan Gubernur bagi
Kepala Daerah Kabupaten dan Kepala Daerah Kota.

8). Model Hubungan aNtar Asas


Hubungan antar asas pada masa UU ini berjalan tidak seimbang. Asas
desentralisasi dijalankan dengan sangat massif pada daerah kabupaten/kota
dan terbatas pada daerah provinsi. Asas dekonsentrasi dijalankan terbatas
sampai di tingkat provinsi, sedangkan didaerah kabupaten/kota tidak
dijalankan asas dekonsentrasi kecuali oleh kementerian yang mengangani
urusan absolute, politik luar negeri, fiscal.
Diantara ketiga asas, tugas pembantuan merupakan asas yang paling jarang
digunakan. Asas tugas pembantuan dilaksanakan sampai pada tingkat desa.

6.3. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


6.3.1. Dasar Filosofi
UU ini disusun berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen yang
menekankan pada pemberian otonomi seluas-luasnya pada daerah. Filosofi
yang digunakan pada UU Nomor 22 Tahun 1999 masih tetap dipertahankan.
Pola otonomi asimetris dengan memperhatikan keanekaragaman bangsa
Indonesia diberlakukan sebagai upaya mengakomodasikan kepentingan
daerah-daerah dengan kekhasan atau kekhususan tersendiri
6.3.2. Paradigma yang digunakan.
Pada masa UU Nomor 22 Tahun 1999, yang kemudian dilanjutkan oleh
UU ini fungsi utama pemerintah daerah berubah menjadi pelayan masyarakat.
Pelayanan public adalah fungsi hakiki dari dibentuknya lembaga
pemerintahan.
Paradigma yang dibandingkan adalah penggunaan asas dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Paradigma lain yang perlu
dibandindkan adala model organisasi penyelenggara pemerintahan daerahnya,
karena didalam pelaksanaan desentralisasi, organisasi pemerintah daeah
memegang peranan penting.

Paradigma Daya Saing Daerah


Penggunaan pardigma ini artinya setiap entitas, termasuk pemerintah
daerah harus memiliki daya saing agar dapat menjadi yang terdepan. Maka
ditetapkanlah UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN), yang mewajibkan setiap daerah mebuat visi
dan misi daerah utuk pembangunan jangka [anjang ( RPJD untuk 20 tahun ),
yang dijabarakan dengan visi dan misi kepala daerah untuk pembangunan
jangka menengah ( RPJMD 5 tahun).Peningkatan daya saing daerah
diperlukan untuk menghadapi perdagagangan bebas ASEAN yang akan
dimulai awal tahun 2016 maupun menghadapai globalisasi.

Paradigma Desentralisasi Berkeseimbangan


Perubahan desentralisasi di Indonesiaa dapat diibratkan seperti sebuah
penduldum ( bandul jam ).Ada dua kubu pemikiran titik berat otonomi dsrsh.
Kubu Pertama, yakni kubu yang mendesak agar titik berat otonomi diletakkan
pada daerah provinsi dengan alasan skla ekonomi yang memungkinkan
daerah akan membangun dengan cepat pada skla yang menguntungkan.
Kubu Kedua, yakni kubu yang menekannkan titik berat otonomi pada daerah
kabupaten/kota dengan menggunakan argumentasi yang sama seperti yang
digunakan pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974, yakni kabupaten/kota lebih
dekat dengan masyarakat, sehingga bnyak pelayanan public yang dapat
diberikan kewenangannya pada kabupaten/kota.
Diluar kedua kubu, sebenarnya ada kubu ketiga, yanki kelompok yang
menawarkan pendekatan eklektik dalam bentu desntralisasi berkeseimbangan
baik secra vertical maupun horizontal, tetapi tidak banyak pendukungnya,
karena ada garis luar utama pemikiran yang berkembang. Model desentralisasi
sebenarnya lebih cocock bagi Indonesia karena sejalan dengan ideology
Pancasila yang adalah juga ideology jalan tengah.
Desentralisasi berkeseimbanganadalah sebuah model desentralisasi
yang membagi kewengan pemerintah pusat dengan pemerintahan subnasional
maupun entitas otonom lainnya secar dinamis dan proporsional.
Desentralisasi berkeseimbangan dpat dibedakan menjadi duam macam yakni
secra vertical dan secra horizontal. Secra vertical adal berkeseimbangan antar
susunan pemerintahan ( pusat,provinsi, kabupaten/kota). Sedangkan secra
horizontal adalah antar kepala daerah dan DPRD.

Paradigma Demokrasi,Pemertaan dan Keadilan


Pardigma penguatan demokrasi yang digunakan pada mas UU Nomor 22
Tahun 1999 masih dilanjutkan pada masa UU ini. Indonesia satu-satunya
negara didunia yang menjalankan dua perubahan besar sekaligus yakni
demokratisasi dan desentralisasi. Model demokrasi yang digunakan di tingkat
ansional akan member warna pada demokrasi di tingkat daerh.

Paradigma Peningkatan Efektivitas dan Efensiensi


Para pembuat UU ini bertekad agar demokrasi yang sedang berjalan di
Indonesia diikuti dengan efisiensi, baik dari aspek proses pemilihan pejabat
public maupun penyelenggaraan pemerintahannya. Wujudnya dalag
diselnggarakannya pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah secara
serentak dengan berbasi elektronik ( e- voting), pembuatan KTP elektronik ( e-
ktp) sebagai sarana untuk menjalankan e-voting, dan lain sebagainya.
Perubahan yang ad pada UU ini adalah pengurangan lapisan pemerintahan.
Lapisan pemerintahan tersebut dikurangi menjadi tiga yakni pemerintah
pusat, pemerintah daerah provinsi, serta pemerintah kabupaten/kota.

Pardigma Keselarasan Hubungan Antar Susunan Pemerintahan


Keselarasan hubungan antar susunan pemerintahan muncul sebgai
paradigm karena adanya data dalam DIM ( Daftar Inventarisasi Masalah) yang
menunjukkan bahwa selama ini hubungan tersebut tidak selalu harmonis.
Penyebab ketidakselarasan hubungan disebabkan karena para pejabat yang
berasal dari partai politik masih menjadi pengurus partai pada ssat dilantik
menjadi pejabat negara ( presiden, menteri,gubernur,bupati/walikota)

6.3.4. Berbagai Model Yang digunakan


1). Model Transfer Kewenangan
Pada UU ini digunakan istilah pembagian urusan pemerintahan, buakn
penyerah kewenangan sepertu UU sebelumnya. Model pembagian urusan
pemerintahan yang digunakan pada UU ini adalah model desentralisasi asli
“made in Indonesia,” karean digagas dan dirumuskan oleh ahli-ahli Indonesia.
Ada tiga jenis urusan pemerintahan yang digunakan dalam UU ini yakni
urusan pemerintahan absolute, dan urusan pemerintahan konkuren yang
terdiri dari urusan pemerintahan wajib, serta urusan pemerintahan pilihan.
Pada UU ini telah dibuat pola pembagian tugas anatar susunan pemerintahan.
Pemerintah Pusat lebih banyak membuat kebijakan nasinal menyangkut NSPK
( Norma,Standara,Kriteria,dan Prosedur) serta menangani urusan-urisan
teknis berskala nasional dan internasional, sedangkan ndaerah
kabupaten/kota lebih bnayak menangani urusan yang bersifat teknid
operasional.

2). Model Perimbangan Keuangan


Pada say disusun UU tentang pemerintahan daerah, disusn pula UU
tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan
pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota, yang
kemudian dikenal sebagai UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Kehadiran UU Nomor 33 Tahun 2004 berdekatan dengan lahirnya UU
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun
2004 tentang perbendaharaan Negara, sehingga sistem pengelolaan keuangan
negara dan daerah diatur lebih komprehensif dan sistematik.

3). Model Pemerintahan Daerah


Berdasarkan berbagai masalah yangbterinventarisasi didalam DIM,
dilakukan perubahan model pemerintahan daera dengan mengembalikan pada
prinsip bahwa unsure penyelenggara pemerintahan daerah terdiri dari Kepala
Daerah dan DPRD yang berada dalam satu kotak. Perbedaan terletak pada
fungsinya. Kepala Daerah menjalankan fungsi mengatur yang bersifat teknis
operasional, sedangkan DPRD menjalankan fungsi mengatur yang bersifat
kebijakan.

4). Model Pengisian Jabatan Kepala Daerah


UU ini mengubah sistem pengisian jabatan kepala daerahnya dengan
model pemilihan secara langsung oleh konstituen.

5). Model Lembaga Perwakilan


UU ini menempatkan DPRD dan Kepala Daerah dalam satu kotak
dengan nama “unsure penyelenggara pemerintahan daerah.” DPRD dan Kepala
Daerah sebagai unsure penyelenggara pemerintahan daerah berkedudukan
sejajar dan merupakan mitra kerja dengan fungsi utama yang berbeda. DPRD
lebi banyak menjalankan fungsi “mengatur,” sedangkan Kepala Daerah lebih
banyak menjalankan fungsi “mengurus.”

6). Model Organisasi Pemerintahan Daerah


Untuk menindaklanjuti berbagai ketentuan tentang organisasi
pemerintah daerah yang diatur UU ini, telah diterbitkan PP Nomor 41 Tahun
2007 tentang organisasi perangkat daerah. Ada tiga parameter yang
digunakan PP ini yakni : 1) kebutuhan daerah;2) kemampuan keyuangan
daerah;3) ketersediaan sumber daya aparatur yang professional.

7). Model Pertanggujawaban


Model pertanggungjawaban kepala daerah akan mengikuti model
pengisian jabatannya. Pada masa UU ini, kepala daerah dipilih langsung oleh
masyrakat, sehingga prinsipnya bertanggungjawab kepada masyarakat.

8). Model Hubungan Antar Asas


Pada masa UU ini ,penggunaan asas dekonsentrasi mulai Nampak
diperkuat disbanding masa UU Nomor 22 Tahun 1999. Secara politis
kebijakan tersebut bertujuan agar deentralisasi yang dijalankan oleh daerah
otonom tidak mengganggu eksistensi NKRI. Pada masa UU ini mucuk
kekacauan asas dengan adanya dana BS (Bantuan Operasional Sekolah) dan
dana Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat).

6.4. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

6.4.1. Filosofi yang digunakan


UU ini disusun merujik pada landasan filosofi Pancasila, khusunya Sila
ketiga,keempat dan kelima.

6.4.2. Paradigma yang digunakan


Pada konsiderans UU ini dapat ditangkap adanya paradigm sebagai
berikut :
1). Paradigma peningkatan pelayanan, pemeberdayaan, dan peran serta
masyarakat.
2). Paradigma daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan,dan kekhasan suatu daerah.
3). Paradigma peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
4). Paradigma keserasian hubungan antara Pemerintah Pusat denga derah dan
antar daerah.

6.4.3.Berbagai Model Yang digunakan


1). Model Transfer Kewenangan
UU ini masih melanjutkan model transfer kewengan dari pemerintah
pusat ke daerah yang digunakan pada mas UU Nomor 32 Tahun 2004 yakni
model pembagian urusan pemerintahan, dengan berbagai modifikasi untuk
mengatasi berbagai permasalahan yang diinventarisasi melalui DIM.
2). Model Perimbangan Keuangan
Model perimbangan keuangan yang digunakan pada mas UU ini masih
sama dengan UU sebelumnya. Pada masa UU ini telah terjadi pergesaran
pemberian dana perimbangan kepada daerah yang semula bertumpu pada
dana alokasi umum menuji pada perluasan jenis dana alokasi khusus,
meskipun apabila dilihat dari segi jumlahnya belum berubah secara signifikan.

3). Model Pemerintahab Daerah


Model pemerintahan daerah yang digunakan pada masa UU ini tidak
jauh berbeda dengan UU sebelumnya, yakni menempatkan unsure
penyelenggara pemerintahan daerah yang terdiri dari Kepala Daerah dan
DPRD dalam kedudukan sejajar dan merupakan mitra dengan beda fungsi.

4). Model Pengisian Jabatan Kepala Daerah


Dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia yang sudah
berkembang sejak tahun 1903, baru pertama kali terjadi pengaturan mengenai
pengisisan jabtan kepala daerahnya diatur tersendiri dalam UU. Pemisahan
pengaturan tersebut terjadi pada mas UU ini, karena para pembuat kebijakan
ingin mengaturnya secara rinci seungga memperkecil peluang adanya
sengketa.

5). Model Lembaga Perwakilan


Perubahan sistem pemilihan umum nasional dan daerah yang akan
dibuat secara serentak bertujuan agar ada kesinambungan antara
perencanaan di tingkat nasional denga tingkta daerah dilihat dari dimensi isi
dan dimensi waktu.

6). Model Organisasi


Pada UU ini dilakukan perubahan manajemen keorganisasian,
meskipun tetap konsisten dengan prinsip Structure Follow Function. Maka
bentuk dan susunan organisasi pemerintahan daerah juga akan mengalami
perubahan. Ada tiga tipologi dinas ( Tipe A,B,C) dengan melihat pada beban
kerja berdasarkan urusan pemerintahan yang menjadi kewengan daerah yang
bersangkutan.

7). Model Pertanggujawaban


Model pertanggunjawaban kepala daerah dalam menjalankan tugas,
wewenang dan tanggungjawab yang digunakan pada UU ini masih sama
dengan UU Nomor 22 Tahun 2004 yakni bertanggungjawab kepada
masyarakat.
8). Model Hubungan antar Asas
Hubungan anatar asas pada UU ini masih melanjutkan model yang
digunakan pada masa UU Nomor 32 Tahun 2004, yakni menonjolnya peran
asas desentralisasi dibandingkan asas dekonsentrasi dan asas tugas
pembantuan. Meskipun ada juga perbedaanya, yakni menguatnya peran
pemerintah pusat dalam memberikan sanski kepada para penyelenggara
pemerintahan daerah.

6.5. Penutup
Politik desentralisasi pada era Orde Reformasi bersifat sangat dinamis,
ditandai dengan adanya tiga buah UU tentang pemerintahan daerah yang
usianya relative pendek, serta berbagai UU yang mengubah secra minor ketiga
UU tersebut.

BAB 7
PROSPEK DESENTRALISASI DI INDONESIA

7.1 . Intisari Politik Desentralisasi di Indonesia


Dinamika politik desentralisasi bergerak seperti sebuah pendulum
(bandul jam) dari satu kutub kebijakan politik yang sentralitik kembali ke
kutub kebijakan politik yang sebaliknya yakni desentralistik. Indonesia perlu
segera menemukan titik keseimbangan baru dalam politik desentralisasi. Agar
tidak terjadi ketegangan yang tinggi antar susunan pemerintahan yang dapat
mengarah pada gejolak politik. Ada empat area yang menjadi wilayah konflik
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yakni 1) kewenangan
pemerintahan;2) sumber-sumber keuangan;3) kepegawaian;4) pengawasan.
Area konflik pertama adalahb pembagian kewenangan antar susuanan
pemerintahan. Ketidakseimabangan dalam politik alokasi kewenangan antara
di pusat, provinsi maupun kabupaten/kota.
Pada era Reformasi. Telah dicoba berbagai formula transfer kewenangan
pemerintahan dengan berbagai teori dan nama. Pada masa UU Nomor 22
Tahun 1999, dipakai paradigma pengakuan kewenangan pemerintahan.
Pertimbangan utamanya adalahbahwa daerah otonom sesungguhnya secara
konstitusioanal telah memiliki kewenangan, negara tinggal mengakuinya di
dalam undang-undang.
Pada masa UU Nomor 32 Tahun 2004 digunakan istilah pembagian
urusan pemerintahan, bukan penyerahan kewenangan seperti yang
digunakan UU Nomor 22 Tahun 1999. Sedangkan UU Nomor 23 Tahun 2014
masih melanjutkan model transfer kewenangan dari pemerintah pusat ke
daerah yang digunakan pada masa UU Nomor 32 Tahun 2004 yakni model
pembagian urusan pemerintahan, dengan berbagai modifikasi yang
sebenarnya mengarah pada model desentralisasi berkeseimbangan.
Area konflik kedua adalah politik perimbanagn keuangan.
Ketidakseimbanagn leuangan antara pusat dan daerah dan antar daerah telah
member pelajaran penting dalam perjalanan desentralisasi di Indonesia.
Area konflik ketiga adalah manajemen kepegawianan. Tarikan
kepentingan antara pengaturan manajemen kepegawaian secra sentralitik
dengan keinginan mengaturnya secara desentralistik.
Pada mas a UU Nomor 22 Tahun 1999 digunakan sistem manajemen
kepegawaian yang desentralistik. Kepala daerah diberi kebebasan dalam
menjalankan siklus manajemen sumberdaya manusia mulai dari perencanaan,
perekrutan, penempatan, pengembangan, sampai pada pemberhentian, tetapi
pemberian imbalannya masih sepenuhnya mengandalkan anggaran
pemerintah pusat.
Dengan lahirnya UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang aSN, secara bertahap
sistem manajemen kepegawaiannya ditarik kembali ke pusat sejalan dengan
sistem terintegrasi.
Area konflik keempat adalah sistem pengawasan. Pada masa UU Nomor
5 Tahun1974 digunakan tiga jenis pengawasan terhadap jalannya
pemerintahan daerah yakni pengawasan umum, pengawsan preventif, dan
pengawsaan represif.Pada masa UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32
Tahun 20014 digunakan sistem pengawasan umum dan pengawsan represif.
Sedangkan pada masa UU Nomor 23 Tahun 2014 kembali menggunakan
sistem pengawasan seperti yang digunakan pada UU Nomor 5 Tahun 1974.
Bentuk negara kesatuan membawa konsekuensi teradap politik perimbanagn
keunagan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Mekanisme
yang umu digunakan yaitu sumber-sumber keuangan negara yang potensial
ditarik terlebih dahulu oleh pemerintah pusat untuk kemudian dibagikan
secara proporsional ke daerah-daerah.

7.2. Pengaruh Teknologi Informatika Terhadap Kebijakan Desentralisasi di


Indonesia
Semakin tinggi derajat demokrasi sebua mnegara, kebebasan
individualnya semakin tinggi.Sebaliknya semkain rendah derjat sebua negara
demokrasi sebuah negara, kebebasan individunya juga semakin terbatas
karena kehidupannya lebih banyak diatur oleh negara.
Sejak hadirnya teknologi informatika dan komunikasi yang sangat
massif dalm kehidupan masyarakat luas, diikuti pula muncuknya estate
kelima yakni kelompok masyarakat pengguna media social yang dinamakan
internetcitizen atau netizen. Pada organisasi social maupun politik yang
berbasis IT, lingkungan internal maupun eksternalnya bersifat lebih cair
sehingga sulit diprediksi secara tepat.
Dunia maya sangat bebas, sehingga estate kelima dapat digrakakn
menjadi kekuatan yangsangat besar. Kelompok estate kelima perlu dengan
sungguh-sungguh memperhatikan prinsip-prinsip virtual citizenship, yakni
adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta siap menanggung
akibat dari penggunaan kebebasan yang dimilimya. Melalui revolusi teknologi
komunikasi informatika, telah terjadi pergeseran pusat-pusat pemegang
kekuasaan.
Lahirnya estate kelima telah mendorong munculnya demokrasi dunia
maya, yang pada gilirannnya berikut akan mendorong hadirnya desentralisasi
dunia maya. Penggunaan petisi online untuk menyampaikan gagasan atau
gugatan kepada penguasa,penggalangan dukungan melalui media social,
ataupun bentuk-bentuk lainnya yang sejenis yang akan bergulir secara cepat
dan meluas akan mendorong lahirnya perlemen dunia mya. Parlemen dunia
nyata yang dinamakan DPR-RI maupunDPRD, perlu mengapresiasi gagasan
atau tuntuatan yang dislaurkan melalui parlemen dunia maya, yang dianggap
lebi jujur dan terbuka.
Munculnya desentralisasi di dunia maya akan menimbulkan
konsekuensi yakni bergesernya pusat pengambilan keputusan. Pusat
pengambilan keputusan sebagian besar kepada anggota masyarakat.
Tetapi bagaimana menurit pemerintahan lebih baik adalah sebuah persoalan
tersendiri yang cukup rumit untuk dilaksanakan, sebab teknologi informatika
hanyalah alat yang penggunaannya sangat tergantung pada orang yang ada
dibelakangnya termasuk para penguasa yang memegang tampuk kekuasaan.
Demikian pulak demokrasi yang lebih kuat akan sangata tergantung
pada sistem yang dianut dalam suatu negra, sebab ada negara yang sungguh-
sungguh berdemokrasi, tetapi ada pula yang berpura-pura berdemokrasi,
padahal yang dijalankan adalah sistem totaliter.
Pengembangan kebijakan desentralisasi dalam era digital di Indonesia
pada mas sekarang dan masa mendatang perlu memperatikan isi dan
konteksnya, mengingat variasi situasi dan kondisi masyarakat dan wilayahnya
yang sangat tinggi.Perlu lebih bnayak dibuat kebijakan alternative pada
kelompok-kelompok yang belum menikmati kemajuan.

Anda mungkin juga menyukai