Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

PEMILIHAN KEPALA DAERAH

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pemerintahan Daerah yang
diampuh oleh Bapak Abdul Hamid Tome, SH.,MH

Disusun

Oleh

Nama : Magfira Alex Rahim


Kelas : A
Nim : 1011419018

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Pemilihan Kepala Daerah ”  ini dengan
lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang
diberikan oleh Bapak Abdul Hamid Tome SH.,MH. Makalah ini ditulis dari hasil
penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh dari internet yang berkaitan
dengan PILKADA. Tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada pengajar
mata kuliah Hukum Pemerintahan Daerah atas bimbingan dan arahan dalam
penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah
mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita
semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai Pemilihan Kepala
Daerah. Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang
lebih baik.

Gorontalo, 14 November 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................1
D. Manfaat Penulisan...................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................3
A. Pemilihan Kepala Daerah Secara Demokratis.................................................3
B. Keunggulan dan Kelemahan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung...6
C. Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pemilihan Kepala Daerah oleh DPR..8
D. Partisipasi Politik Warga Negara dalam Pilkada............................................11
E. Partisipasi Pemilih tanpa Politik Uang...........................................................17
F. Pelaksanaan PEMILU Serentak Terhadap Budaya Politik.............................21
G. Urgensitas Perppu Pilkada Di Kala Wabah Pandemi Covid-19...................24
BAB III PENUTUP..............................................................................................28
A. Kesimpulan.............................................................................................28
B. Saran...................................................................................................29
REFERENSI.........................................................................................................30

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah Demokrasi merupakan suatu pola pemerintahan yang mengikut
sertakan secara aktif semua anggota masyarakat dalam keputusan yang diambil
oleh mereka yang diberi wewenang. Maka legitimasi pemerintah adalah kemauan
rakyat yang memilih dan mengontrolnya. Rakyat memilih wakilwakilnya dengan
bebas dan melalui mereka ini pemerintahnya. Disamping itu, dalam Negara
dengan penduduk jutaan, para warga negara mengambil bagian juga dalam pemer
intahan melalui persetujuan dan kritik yang dapat diutarakan dengan bebas dalam
media massa.
Salah satu wujud dan mekanisme demokrasi di daerah adalah pelaksanaan
pemilihan kepala daerah secara langsung. Pilkada merupakan sarana manifestasi
kedaulatan dan pengukuhan bahwa pemilih adalah masyarakat di daerah. Pertama,
memilih kepala daerah sesuai dengan kehendak bersama masyarakat di daerah
sehingga ia diharapkan dapat memahami dan mewujudkan kehendak masyrakat di
daerah. Kedua, melalui pilkada diharapkan pilihan masyarakat di daerah
didasarkan pada misi, visi, program serta kualitas dan integrasi calon kepala
daerah yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Ketiga pilkada merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus sarana
evaluasi dan kontrol publik secara politik seorang kepala daerah dan kekuatan
politik yang menopang.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pemilihan Kepala Daerah Secara Demokratis!
2. Apa Keunggulan dan Kelemahan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung.
Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD?
3. Bagaimana Partisipasi Politik Warga Negara dalam Pilkada dan Partisipasi
Pemilih tanpa Politik Uang?
4. Bagaimana Pengaruh Pelaksanaan PEMILU Serentak Terhadap Budaya Politik
dan Urgensitas Perppu Pilkada Di Kala Wabah Pandemi Covid-19?

C. Tujuan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pemerintahan Daerah.
2. Untuk mengetahui Bagaimana Pemilihan Kepala Daerah Secara Demokratis.
3. Untuk mengetahui Apa Keunggulan dan Kelemahan Pemilihan Kepala Daerah.
Secara Langsung Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pemilihan Kepala Daerah
oleh DPRD.
4. Untuk mengetahui Bagaimana Partisipasi Politik Warga Negara dalam Pilkada
dan Partisipasi Pemilih tanpa Politik Uang.

1
5. Untuk mengetahui Bagaimana Pengaruh Pelaksanaan PEMILU Serentak
Terhadap Budaya Politik dan Urgensitas Perppu Pilkada Di Kala Wabah
Pandemi Covid-19.

D. Manfaat
Melalui makalah ini diharapkan kita sebagai penulis dapat memberikan
informasi kepada para pembaca mengenai Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah
di Indonesia.

2
BAB II
ISI

A. Pemilihan Kepala Daerah Secara Demokratis


Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara
sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara atas
negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara) sedangkan demokratisasi adalah
proses pelaksanaan demokrasi dalam kehidupan politik kenegaraan dan
kemasyarakatan (Achmad Buchory, 2011). Asas-asas pokok demokrasi dalam
suatu pemerintahan demokrastis adalah (1) pengakuan partisipasi rakyat dalam
pemerintahan misalnya melalui pemilihan wakil-wakil rakyat dan kepala daerah ;
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
Demokrasi berdasarkan cara penyampaian pendapat mencakup :
1. Demokrasi langsung, yaitu rakyat diikut sertakan dalam pengambilan
keputusan untuk menjalankan kebijakan pemerintahan
2. Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan. Dalam demokrasi
ini, pengambilan keputusan dijalankan oleh rakyat melalui wakil rakyat
yang dipilihnya melalui pemilu.
3. Demokrasi perwakilan dengan sistem pengawasan langsung dari rakyat.
Adapun kebudayaan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
meliputi (1) Pemilihan Umum ; (2) Pemilihan Kepala Daerah ; (3)
pembagian kekuasaan ; (4) kebebasan pers ; (5) pluralisme ; (6) kesetaraan
hukum.
Demokrasi telah menjadi budaya karena penghayatan nilai-nilai demokrasi
telah menjadi kebiasaan diantara warga negara dan tidak dapt dipisahkan dari
kehidupan bernegara. Demokrasi yang diawali dari pemilih harus menghasilkan
pemimpin yang berintegritas dan pemilu yang berintegritas diawali dari
penyelenggaraan pemilu yang berintegritas.
Ciri pokok dari sebuah sistem politik yang demokratis adalah :
1. Adanya partisipasi politik yang luas dan otonom
2. Terwujudnya kompetisi politik yang sehat dan adil
3. Adanya suksesi atau sirkulasi kekuasaan yang berkala, terkelola, serta
terjaga dengan bersih dan transparan khususnya melalui proses pemilihan
umum.
4. Adanya monitoring, kontrol serta pengawasan terhadap kekuasaan
(eksekutif, legislatif, yudikatif, birokrasi, dan militer) secara efektif, dan
terwujudnya mekanisme checks and balance diantara lembaga-lembaga
negara.
5. Adanya tatakrama, nilai norma yang disepakati bersama dalam
bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa.

3
Syarat pemilihan demokratis adalah (1) regulasi yang jelas dan tegas ; (2)
peserta pemilu yang taat aturan ; (3) pemilih yang cerdas dan partisipatif ; (4)
birokrasi netral dan (5) penyelenggara yang kompeten dan berintegritas.
Sedang hak kebebasan dan pemilihan umum adalah :
1. Kebebasan melekat pada hak manusia tapi rapuh karena mudah diabaikan /
disalahgunakan
2. Kebebasan menuntut tanggung jawab
3. Kebebasan dijamin bisa dipertahankan dan dipelihara melalui proses
demokrasi
4. Keberhasilan proses demokratis menuntut pemilu terbuka dan adil
sehingga mencerminkan maksud para pemilih
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan koreksi atas
pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui perwakilan rakyat di DPRD
berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Koreksi atas sistem pemilihan kepala daerah ini dilakukan dengan
diimplementasikannya payung hukum pelaksanaan pemilihan kepala daerah
secara langsung, yakni Undangundang Nomor 32 Tahun 2004.
Dalam perkembangan selanjutnya, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008. Lahirnya
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 ini sesungguhnya tidak terlepas dari
perdebatan yang berkembang di masyarakat menyangkut eksistensi pemilihan
kepala daerah, yaitu apakah pemilihan kepala daerah itu masuk dalam rezim
pemerintahan daerah atau rezim pemilihan umum.
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 sebagai dasar konstitusional pelaksanaan
pemilihan kepala daerah, sesungguhnya lahir bersamaan dengan Pasal 18A dan
Pasal 18B, yaitu pada perubahan kedua UUD 1945 dan dimasukkan dalam Bab
tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya Pasal 22E lahir melalui perubahan
ketiga UUD 1945 tetapi tidak memasukkan Pasal 18 ayat (4) melainkan hanya
ketentuan Pasal 18 ayat (3) yang mengatur mengenai DPRD. Hal ini, menurut Leo
Agustina, setidaknya dapat diartikan bahwa Konstitusi tidak hendak memasukkan
pemilihan kepala daerah dalam pengertian pemilihan umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22E ayat (1) yang menyebutkan “pemilihan umum
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima
tahun sekali”.
Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, pemilihan kepala daerah tidak
lagi dipilih melalui sistem perwakilan oleh DPRD, akan tetapi dipilih secara
langsung oleh rakyat. Ini berarti pemilihan kepala daerah secara langsung
memberi peluang bagi rakyat untuk ikut terlibat secara aktif dalam proses
pengambilan keputusan yang sangat strategis dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah melalui pemilihan kepala daerah secara langsung.

4
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang pemilihan
kepala daerah secara langsung itu menggunakan rujukan atau konsideran Pasal 1,
Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD 1945. Frase “ kedaulatan di tangan
rakyat” dan dipilih secara demokratis” agaknya menjadi sandaran pembuat
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 merumuskan diterapkannya pemilihan
kepala daerah secara langsung untuk menggantikan pemilihan kepala daerah
melalui sistem perwakilan melalui DPRD sebagaimana diatur dalam Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999. Akan tetapi, kata “dipilih secara demokratis” ini
menurut Susilo dapat ditafsirkan pemilihan langsung oleh rakyat atau pemilihan
melalui perwakilan oleh DPRD.
Untuk mewujudkan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara
demokratis diperlukan media untuk membentuk dan menciptakan konsep yang
tepat, yang kemudian dikenal dengan istilah pemilihan kepala daerah. Pemilihan
kepala daerah merupakan media untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah
secara demokratis sesuai dengan amanat UUD 1945.
Persoalan mendasar mengenai pemilihan kepala daerah pada umumnya
tersangkut pada pemahaman dan pemaknaan atas kata “demokratis” yang
kemudian diperdebatkan menjadi pemilihan langsunglah yang disebut demokratis
dan pendapat lain yang menyatakan pemilihan tak langsung pun sesungguhnya
juga dapat demokratis.
Mekanisme pemilihan kepala daerah disebut demokratis apabila memenuhi
beberapa parameter. Robert Dahl, Samuel Huntington (1993) dan Bingham Powel
(1978) sebagaimana dikutip Saukani, HR dan kawan-kawan mengatakan bahwa
parameter untuk mengamati terwujudnya demokrasi antara lain: pemilihan umum,
rotasi kekuasaan, rekrutmen secara terbuka, serta akuntabilitas publik.
Terkait kebijakan memilih sistem pemilihan secara langsung dalam pemilihan
kepala daerah, tidak terlepas dari disahkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun
2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003, antara lain direposisi
kewenangan dan fungsi DPRD, yakni fungsi memintapertanggungjawaban kepala
daerah dan memilih kepala daerah. Dengan hilangnya fungsi memilih kepala
daerah oleh DPRD, berarti istilah Susilo, “Menyongsong Pilkada yang
Demokratis”, pemilihan kepala daerah secara demokratis dalam Pasal 18 ayat
UUD 1945 adalah pemilihan langsung oleh rakyat. Meskipun pemilihan secara
langsung dipandang memiliki makna positif dari aspek legitimasi dan kompetensi,
prase “dipilih secara demokratis” sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (4) UUD
1945 tidak dapat diterjemahkan secara tunggal sebagai pemilihan secara langsung.
Pemilihan secara tidak langsung atau perwakilan pun dapat diartikan sebagai

5
pemilihan yang demokratis, sepanjang proses pemilihan yang dilakukan
demokratis
Pemahaman ini didasarkan bahwa Negara Republik Indonesia berdasarkan
UUD 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 18B UUD
1945.
Dengan demikian, pemahaman mendasar terhadap ketentuan pemilihan kepala
daerah sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 terutama terkait prase
“…dipilih secara demokratis” dapat dimaknai bahwa pemilihan kepala daerah
dapat dilakukan dalam 2 (dua) cara, yaitu pemilihan secara langsung oleh rakyat
atau pemilihan melalui perwakilan yang dilaksanakan oleh DPRD

B. Keunggulan dan Kelemahan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung


Pemilihan kepala daerah secara langsung memiliki korelasi yang sangat erat
dengan pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dengan pemilihan kepala daerah secara
langsung, rakyat dapat menentukan sendiri pemimpin di daerahnya, sehingga
terjalin hubungan yang erat antara kepala daerah dengan rakyat yang dapat
mendorong terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis
dan partisipatif.
Sistem pemilihan kepala daerah secara langsung memberikan beberapa
kelebihan, yaitu:
Pertama, Kepala Daerah terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi yang
kuat karena didukung oleh rakyat yang memberikan suara secara langsung.
Legitimasi merupakan hal yang sangat diperlukan oleh suatu pemerintahan yang
sedang mengalami krisis politik dan ekonomi. Krisis legitimasi yang
menggerogoti kepemimpinan kepala daerah akan mengakibatkan ketidakstabilan
politik dan ekonomi di daerah.
Kedua, Kepala Daerah terpilih tidak perlu terikat pada konsesi partai atau
fraksi-fraksi politik yang telah mencalonkannya. Artinya, Kepala Daerah terpilih
berada di atas segala kepentingan dan dapat menjembatani berbagai kepentingan
tersebut. Apabila kepala daerah terpilih tidak dapat mengatasi kepentingan-
kepentingan partai politik, maka kebijakan yang diambil cenderung merupakan
kompromi kepentingan partai-partai dan seringkali berseberangan dengan
kepentingan rakyat.
Ketiga, Sistem pemilihan kepala daerah secara langsung lebih akuntabel
dibandingkan sistem lain yang selama ini digunakan karena rakyat tidak harus
menitipkan suaranya kepada anggota legislatif secara sebagian atau penuh. Rakyat
dapat menentukan pilihannya berdasarkan kepentingan dan penilaian atas calon.
Apabila Kepala Daerah terpilih tidak memenuhi harapan rakyat, maka dalam
pemilihan berikutnya, calon yang bersangkutan tidak akan dipilih kembali. Prinsip

6
ini merupakan prinsip pengawasan serta akuntabilitas yang paling sederhana dan
dapat dimengerti oleh rakyat maupun politisi.
Keempat, Check and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif dapat
lebih seimbang. Dengan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung,
kedudukan dan posisi kepala daerah sangat kuat sehingga DPRD sebagai lembaga
legislatif daerah tidak dapat menekan kepala daerah atas suatu kebijakan yang
dilakukan atau menekan kepala daerah untuk memenuhi kehendak dan tuntutan
DPRD. Dengan demikian, kepala daerah dapat bekerja dengan tenang untuk
mengimplementasikan program kerjanya tanpa harus terusik oleh tuntutan DPRD.
Meskipun demikian, kepala daerah tetap harus memperhatikan pendapat DPRD
terkait pelaksanaan fungsi DPRD sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
Kelima, kriteria calon Kepala Daerah dapat dinilai secara langsung oleh rakyat
yang akan memberikan suaranya. Oleh karena rakyat yang akan menentukan
sendiri kepala daerahnya, maka rakyat dapat menentukan kriteria-kriteria ideal
seorang calon kepala daerah. Dengan criteria yang ditentukan sendiri oleh rakyat,
maka rakyat akan memilih salah satu pasangan calon kepala daerah. Dengan
demikian pilihan rakyat ditentukan oleh rakyat itu sendiri.
Namun yang juga harus diperhatikan bahwa sistem pemilihan kepala daerah
secara langsung juga memiliki kelemahan-kelemahan, yaitu:
Pertama, dana yang dibutuhkan sangat besar. Pemilihan kepala daerah secara
langsung membutuhkan dana atau anggaran yang sangat besar untuk kebutuhan
operasional, logistik, dan keamanan. Besarnya biaya yang harus disiapkan dalam
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung ini tidak hanya
merupakan beban yang harus dipikul calon kepala daerah saja tetapi juga harus
ditanggung pemerintahan daerah. Besarnya biaya dalam pemilihan kepala daerah
secara langsung ini akan lebih berat lagi manakala penyelenggaraan pemilihan
kepala daerah harus dilakukan dalam dua putaran (two round). Pemilihan kepala
daerah secara langsung dalam era liberalisasi politik dengan kekuatan partai
politik yang dominan, memungkinkan sekali yang bias bertempur di sana adalah
mereka yang memiliki capital ekonomi dan politik yang kuat. Para pengusaha
yang dekat dengan partai politik atau para incumbent yang kaya, adalah yang
paling besar mendapatkan peluang masuk dalam bursa pencalonan dalam
pemilihan kepala daerah. Atas dasar kemampuan financial dan kekuatan kapital
ekonomi ini, maka yang dapat masuk dalam bursa kepemimpinan daerah
bukanlah figur-figur yang berkompeten yang memiliki kapabilitas yang baik, akan
tetapi hanya mereka yang termasuk dalam kelompok orang kaya atau memiliki
kemampuan financial yang kuat.
Kedua, membuka kemungkinan konflik antara elite dan massa. Pemilihan
kepala daerah secara langsung membuka potensi terjadinya konflik, baik konflik

7
yang bersifat elite maupun konflik massa secara horizontal. Konflik ini semakin
besar kemungkinan akan terjadi pada masyarakat paternalistic dan primordial,
dimana pemimpin dapat memobilisasi pendukungnya.
Ketiga, aktivitas rakyat terganggu. Pemilihan kepala daerah secara langsung
akan disibukkan aktivitas para calon dan partai politik pendukungnya untuk
mengadakan kampanye dan menyebarkan isu-isu politik serta melakukan
manuver-manuver langsung ke tengan masyarakat dengan maksud mempengaruhi
pilihan rakyat. Oleh karena itu, dalam kesemarakan pelaksanaan pemilihan kepala
daerah secara langsung, telah menimbulkan adanya gangguan terhadap aktivitas
rutin masyarakat, dimana masyarakat akan turut disibukkan dengan kegiatan-
kegiatan yang terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah tersebut.

C. Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD


Berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, DPRD merupakan salah
satu unsur dalam pemerintahan daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum. Sehingga, dapat diketahui bahwa DPRD merupakan
representasi dari rakyat di daerah. Representasi secara sederhana bisa diartikan
sebagai menghadirkan yang tidak hadir.41 Jika melihat konsep representasi yang
diuraikan oleh Hanna F. Pitkin melalui bukunya The Concept of Representation,
ia menuangkan gagasan/teori representasi politik yang melibatkan ‘election’ atau
pemilihan sebagai lembaga yang utama di dalam pemerintahan
perwakilan.42Dalam hal ini, DPRD merupakan wujud dari perwakilan rakyat,
dimana rakyat tidak hadir secara nyata tetapi diwakili oleh DPRD. Atas hal
tersebut, DPRD merupakan lembaga penyalur aspirasi rakyat kepada pemerintah
daerah.
1. Kelebihan Pemilihan Kepala daerah oleh DPRD
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD bukan merupakan suatu hal yang baru di
Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah merupakan undang-undang pertama yang menggagas
pemilihan kepala daerah oleh DPRD.43 Namun, dalam undang-undang tersebut,
DPRD tidak sepenuhnya bisa dikatakan sebagai institusi yang memilih kepala
daerah. Hal tersebut dikarenakan pada proses akhir pengangkatan, Menteri Dalam
Negeri merupakan institusi yang berwenang untuk memilih dan mengangkat salah
satu calon kepala daerah yang diajukan oleh DPRD.44
Keberadaan undang-undang tersebut, kemudian digantikan dengan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Melalui undang-
undang ini, DPRD memiliki kewenangan yang penuh terkait pemilihan kepala
daerah. Hal tersebut tercermin dari keberadaan DPRD sejak proses awal
pencalonan sampai dengan penetapan pemenang. Namun, melalui Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan DPRD

8
tersebut telah dihapus dan digantikan dengan pemilihan kepala daerah secara
langsung.
Pada tahun 2014, kembali muncul keberadaan DPRD dalam pemilihan kepala
daerah. Hal tersebut dimulai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pada saat
pembahasan rancangan undang-undang, gagasan kembali dipilihnya kepala daerah
oleh DPRD ini mengemuka sebagai hasil evaluasi dari praktik pelaksanaan
pemilihan kepala daerah yang dijalankan sejak berlakunya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Setidaknya, terdapat dua
argumentasi utama yang melatarbelakangi gagasan kembali dipilihnya Kepala
daerah oleh DPRD: Pertama, pelaksanaan pemilihan kepala daerah
membutuhkan biaya sangat besar, baik biaya yang dikeluarkan oleh negara
melalui penyelenggara pemilihan kepala daerah, maupun biaya yang dikeluarkan
oleh pasangan calon; dan Kedua, praktik pemilihan kepala daerah yang diwarnai
dengan politik uang, mulai dari yang besifat sporadis hingga yang bersifat masif,
terstruktur, dan sistematis.
Berkaitan dengan pembiayaan, pemilihan kepala daerah secara langsung
membutuhkan anggaran APBN yang tidak sedikit. Meskipun, saat ini Pemerintah
telah menginisiasi pemilihan kepala daerah secara serentak untuk menekan
anggaran. Namun, Kementerian Dalam Negeri justru menyatakan bahwa
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara serentak lebih boros
dibandingkan pemilihan kepala daerah yang waktunya disesuaikan oleh masing-
masing daerah.49 Pada tahun 2018, pemilihan kepala daerah secara langsung di
171 daerah membutuhkan biaya Rp 20 triliun.50 Sayangnya, biaya besar tak
kunjung mendekatkan pemilihan kepala daerah kepada esensinya, yakni
memperoleh kepala daerah yang terbaik. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) mencatat telah terdapat 29 kepala daerah yang terjerat dugaan kasus
korupsi sepanjang tahun 2018.
Hal ini akan berbeda jika pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD.
Dengan pemilihan kepala daerah oleh DPRD, hanya akan melibatkan para
anggota DPRD yang jumlahnya hanya sebanyak 20-55 orang untuk DPRD
kabupaten/kota52 dan sebanyak 35-120 orang untuk DPRD provinsi. Berkaca
pada hal tersebut, tentu Pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya sebesar yang
dikeluarkan jika pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung. Atas
perbandingan pengeluaran pemilihan Kepala daerah secara langsung dan melalui
DPRD, maka perlu dilakukan analisis dengan economic analysis of law.
Berdasarkan teori tersebut, perlu digunakan konsep-konsep ekonomi guna
mengkaji dan menjelaskan efek dan akibat-akibat penerapan hukum tertentu,
apakah penerapan hukum yang dimaksud telah efisien secara ekonomi serta
mampu memberikan manfaat yang paling maksimal bagi masyarakat tanpa

9
mengorbankan fungsi hukum yang sesungguhnya. Pemilihan kepala daerah
melalui DPRD merupakan gagasan efisien dan mampu memberikan manfaat bagi
masyarakat tanpa mengorbankan fungsi hukum dalam pemilihan kepala daerah.
Tentu, fungsi pemilihan kepala daerah adalah memilih calon kepala daerah yang
terbaik. Melalui DPRD yang notabene merupakan orang-orang berpendidikan,
maka akan lebih bisa ditemukan calon kepala daerah yang sesuai. Selain itu, tidak
dapat disangkal bahwa DPRD merupakan institusi yang secara hukum dan politis
dipilih oleh rakyat, sehingga DPRD merupakan wakil rakyat yang mempunyai
tanggung jawab menampung aspirasi masyarakat. Bahkan, tidak dapat dipungkiri
jika DPRD merupakan representasi dari rakyat yang ada di daerahnya.
Selanjutnya, berkaitan dengan politik uang, tidak jarang para calon kepala
daerah menggunakannya sebagai salah satu strategi politik. Hal tersebut
dikarenakan para calon berlomba-lomba untuk memperoleh suara dari rakyat.
Bahkan, dalam pemilahan umum kepala daerah tahun 2018, Polri berhasil
memproses 25 kasus politik uang selama pemilihan kepala daerah serentak tahun
2018 ini.56 Politik uang tersebut juga dilakukan dalam membeli dukungan partai-
partai pendukung hingga jelas dicalonkan dari partai.
2. Kekurangan Pemilihan Kepala daerah oleh DPRD
Pemilihan kepala daerah memilik tiga fungsi penting dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah: Pertama, memilih kepala daerah yang sesuai dengan
kehendak masyarakat di daerah sehingga diharapkan dapat memahami dan
mewujudkan kehendak masyarakat di daerah; Kedua, melalui pemilihan kepala
daerah diharapkan pilihan masyarakat di daerah didasarkan pada visi, misi,
program serta kualitas dan integritas calon kepala daerah, yang sangat
menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di daerah; dan Ketiga,
pemilihan kepala daerah merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus sarana
evaluasi dan kontrol publik secara politik terhadap seorang kepala daerah dan
kekuatan politik yang menopangnya. Berkaca pada adanya 3 (tiga) fungsi
tersebut, pemilihan kepala daerah melalui DPRD akan sulit memenuhi hal-hal
tersebut.
Dipilihnya kepala daerah oleh DPRD belum tentu dapat menjamin bahwa
kepala daerah terpilih akan sesuai dengan kehendak masyarakat di daerah.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD),
Robert Endi Jaweng, mengatakan bahwa DPRD akan lebih mementingkan
kepentingannya, meskipun berseberangan dengan kepentingan rakyat. Pada titik
inilah, pelibatan masyarakat dalam proses pemilihan kepala daerah hampir sama
sekali dikesampingkan. Hal tersebut tidak terlepas dari latar belakang DPRD yang
juga merupakan perwakilan kepentingan-kepentingan khusus tertentu. Sehingga,
tidaklah mustahil apabila para wakil rakyat di daerah tersebut masih dibayang-
bayangi oleh kepentingan politik semata dalam menjalankan amanahnya.

10
Di era demokrasi representasi sebagaimana dianut Indonesia saat ini, berbagai
peristiwa yang terjadi dalam kelembagaan DPRD menunjukkan mulai timbulnya
gejala krisis demokrasi representasi. Hal tersebut tentu menjadi sinyal negatif
yang akan menggerus kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi
representasi. Kepercayaan publik tersebut semakin menurun dengan banyaknya
kasus korupsi yang menimpa beberapa anggota DPRD. Sebagai contoh konkrit
ialah adanya kasus 41 anggota DPRD Kota Malang yang terlibat dalam kasus
dugaan suap pembahasan APBD-P Kota Malang. Suatu hal yang ironi ketika para
wakil rakyat yang telah mendapat legitimasi dari rakyat justru mengabaikan
amanah yang diberikan rakyat.
Berangkat dari fakta yang ada, tentu masyarakat tidak akan secara penuh
memberi kepercayaan kepada DPRD untuk dapat memilih kepala daerah yang
kompeten serta sesuai dengan kehendak masyarakat. Ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pemilihan kepala daerah melalui DPRD tersebut,
termanifestasikan dalam survei terakhir Litbang Kompas yang mendapati
mayoritas responden, yaitu 87,6 persen, mengemukakan kepala daerah lebih baik
dipilih langsung oleh rakyat. Hanya 10,2 persen yang menilai pemilihan oleh
DPRD lebih baik dan sisanya 2,2 tidak menjawab/tidak tahu.
Selain itu, pemilihan kepala daerah melalui DPRD akan menghilangkan satu
ruang partisipasi masyarakat secara langsung dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah melalui pemilihan kepala daerah. Paling tidak, akibat yang
akan muncul adalah menjauhnya hubungan antara kepala daerah dengan
masyarakat di daerah. Sehingga, nantinya sangat dimungkinkan rakyat di daerah
tidak mengetahui visi dan misi dari kepala daerahnya. Pemilihan kepala daerah
melalui DPRD juga akan cenderung menciptakan ketergantungan terhadap
DPRD, sehingga nantinya kepala daerah lebih bertanggung jawab kepada DPRD
daripada kepada rakyat. Padahal, esensi dari demokrasi adalah mendekatkan
pemimpin dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat yang dipimpinnya.

D Partisipasi Politik Warga Negara dalam Pilkada


Pilkada secara langsung dapat diselenggarakan setelah terjadi perdebatan sengit
mengenai mekanismenya apakah secara langsung atau oleh DPRD. Perdebatan ini
pernah terjadi pada 2005 namun mengemuka lagi pada tahun 2014. Landasan
filosofis yuridis yang mendasari dinamika perdebatan Pilkada adalah bunyi Pasal
18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
mengamanatkan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintah daerah Propinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara
demokratis. Frasa “dipilih secara demokratis” ditafsirkan tidak berarti Kepala
Daerah harus dipilih secara langsung namun dapat pula dipilih secara tidak
langsung sepanjang prosesnya demokratis. RUU Pilkada yang salah satu

11
muatannya adalah pengembalian pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD (pemilu
tidak langsung) berhasil disahkan pada tahun 2014. Ketika itu RUU Pilkada
berhasil disahkan karena hadirnya dukungan mayoritas partai politik di DPR
yakni dari Gerindra, PAN, Golkar, PPP, PKS, Demokrat. Tak pelak keputusan
politik ini menjadi polemik dikalangan elit pemerintah, politisi, akademisi, dan
masyarakat karena sebelumnya Pilkada telah banyak dilaksanakan secara
langsung.
Pilkada secara langsung sebenarnya dimulai setelah keluarnya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2007 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Pasal 1 angka 4 yang menentukan bahwa
“Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilihan
Umum untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Namun, setelah adanya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2014, Gubernur, Bupati,
dan Walikota dipilih oleh DPR. Setelah terjadi perdebatan politik hingga muncul
penolakan publik, maka pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota yang kemudian disusul dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang jo. Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang, maka Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh
rakyat. Itu sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2015 bahwa yang dimaksud dengan Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang
selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah
Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan
demokratis. Berdasarkan ketentuan tersebut, Pilkada akhirnya harus dilaksanakan
secara langsung. Oleh karena itu, Pemilihan Kepala Daerah saat ini dapat
dikatakan sebagai bagian dari rezim Pemilu.
Pilkada langsung sejatinya merupakan jalan demokrasi dan amanat konstitusi
Indonesia yang harus terselenggara secara demokratis. Pilkada yang demokratis
dapat menjadi lambang sekaligus salah satu tolak ukur demokrasi modern di
Indonesia apabila hasilnya menjadi cerminan partisipasi dan aspirasi masyarakat
serta diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat

12
dan berserikat (Budiarjo,2008: 461). Suatu Pemilu yang demokratis adalah yang
memenuhi tiga prasyarat demokrasi yakni: 1) adanya kompetisi memperebutkan
dan mempertahankan kekuasaan; 2) adanya partisipasi masyarakat, 3) adanya
jaminan hak-hak sipil dan politik (Marijan, 2010: 83). Partisipasi masyarakat
merupakan salah satu yang harus dihadirkan dalam pemilu karena apabila
partisipasi masyarakat tidak atau kurang hadir maka pemilu yang dilaksanakan
bukan Pemilu yang demokratis (Santoso, 2006: 12). Menurut Eko (2003: 307-
309), Pemilu demokratis akan terwujud apabila kompetisi elite, partisipasi
masyarakat maupun liberalisasi politik berupa jaminan hak-hak politik
dilaksanakan secara demokratis yakni secara terbuka, bebas, jujur, adil, tanpa
tekanan, tanpa intimidasi, dll. Pilkada sebagai bagian dari Pemilu juga harus
dilaksanakan dengan hadirnya partisipasi politik warga negara. Artinya,
partisipasi warga negara dalam Pilkada tidak boleh absen namun harus berkualitas
karena akan menentukan demokratis atau tidaknya Pilkada yang dilaksanakan.
Tahapan-tahapan Pilkada sejatinya sangat memerlukan partisipasi warga dalam
penyelenggaraannya. Partisipasi dimaksud adalah partisipasi politik. Secara
umum, Budiarjo (1998: 1) mendefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan
seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta aktif dalam kehidupan politik,
yaitu dengan jalan memilih pemimpin negara, dan secara langsung atau tidak
langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Pendapat tersebut
sejalan dengan Huntington dan Nelson (1994: 9) yang juga juga mendefinisikan
partisipasi politik sebagai suatu kegiatan yang oleh pelakunya sendiri maupun
orang lain diluar si pelaku dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan pemerintah. Pelaku yang dimaksud adalah perorangan-perorangan
sebagai warga negara preman. Kemudian kegiatan yang dimaksud adalah kegiatan
baik yang legal maupun ilegal (Huntington & Nelson, 1994: 6-8). Pendapat Nie
dan Verba juga sejalan dengan itu bahwa partisipasi politik adalah kegiatan yang
ditujukan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan/atau tindakan-
tindakan yang diambilnya (keputusan) namun Nie dan Verba membatasi kegiatan
tersebut hanya pada kegiatan yang legal bukan ilegal (Budiarjo, 1998: 2).
Cara-cara berpartisipasi terbagi dalam beberapa jenis. Sebagaimana piramida
partisipasi politik David F. Roth dan Frank L. Wilson (dalam Budiarjo, 1998: 7)
dapat diketahui bahwa cara partisipasi politik terbagi menjadi orang yang apolitis
sebagai kelompok terbanyak, pengamat, partisipan, dan aktivis. Piramida ini
mengerucut keatas sesuai dengan intensitas partisipasinya. Orang-orang yang
apolitis adalah orang-orang yang sama sekali tidak melibatkan diri dalam kegiatan
politik (apathy). Kemudian, bentuk-bentuk partisipai politik kelompok pengamat
antara lain memberi suara dalam pemilihan umum, mendiskusikan masalah
politik, menghadiri rapat umum yang bersifat politik, dan menjadi anggota
kelompok kepentingan. Selanjutnya yang lebih intensif lagi adalah melibatkan diri

13
dalam pelbagai proyek pekerjaan sosial, contacting atau lobying pejabat-pejabat,
bekerja aktif sebagai anggota partai politik dan menjadi juru kampanye. Terakhir
yang paling intensif adalah aktivis yakni sebagai pemimpin partai atau kelompok
kepentingan dan pekerja separuh waktu.
Partisipasi politik warga negara sangat terkait erat dengan kepemilikan budaya
politik. Budaya politik merupakan orintasi politik sikap individu terhadap sistem
politik dan komonen-komponennya, juga sikap individu yang dapat dimainkan
dalam sebuah sistem politik tersebut (Almond & Verba, 1990: 14). Budaya politik
individu akan ditentukan oleh kepemilikan orientasi psikologis terhadap obyek
sosial yang dalam hal ini adalah sistem politik. Orientasi tersebut yakni pertama,
orientasi kognitif yang menyangkut pemahaman dan keyakinan individu terhadap
sistem politik dan atributnya, kedua, orientasi afektif yang menyangkut ikatan
emosional yang dimiliki oleh individu terhadap sistem politik, ketiga, orientasi
evaluatif yang menyangkut kapasitas individu dalam rangka memberikan
penilaian terhadap sistem politik yang sedang berjalan dan bagaimana peranan
individu di dalalmnya (Gaffar, 2006: 99). Apabila orientasi kognitif, afektif, dan
evaluatif dikembangkan secara maksimal dan seimbang pada diri warga negara
makan akan muncul budaya politik yang mendukung terwujudnya sistem politik
yang demokratik dan stabil yakni budaya politik partisipan (participant political
culture). Kehadiran budaya politik ini nampak pada masyarakat yang orang-
orangnya melibatkan diri dalam kegiatan politik atau paling tidak dalam kegiatan
pemberian suara, dan memperoleh informasi yang cukup banyak tentang
kehidupan politik. (Winarno, 2008: 18). Warga negara yang telah memiliki
budaya politik partisipatif, memiliki kompetensi politik yang tinggi dan
digunakannya untuk memberikan evaluasi terhadap proses politik (Gaffar, 2006:
100). Artinya, partisipasi politik warga negara merupakan bagian dari budaya
politik partisipatif sehingga kepemilikan budaya politik partisipatif akan
menghadirkan partisipasi politik yang mendorong terwujudnya sistem politik yang
demokratik dan stabil.
Partisipasi politik dalam Pilkada merupakan bagian dari partisipasi politik
secara umum. Partisipasi politik warga neagra dalam Pilkada adalah partisipasi
elektoral (voter turnout). Partisipasi elektoral ini terbagi kedalam dua kategori
yakni yang sifatnya konvensional dan yang non-konvensional. Partisipasi
elektoral yang konvensional berkenaan dengan tingkat kehadiran pemilih di bilik
suara sedangkan partisipasi elektoral non-konvensional sifatnya lebih luas berupa
keterlibatan warga pada proses-proses Pemilu seperti kampanye, menjadi relawan,
menjadi broker politik calon, dan lain sebagainya (Nurhasim, 2014: 12).
Pertama, partisipasi elektoral yang konvensional dalam Pilkada sangat terkait
dengan kepemilikan hak warga negara sebagai Pemilih. Warga negara yang
memiliki hak memilih dalam Pilkada adalah penduduk yang berusia paling rendah

14
17 (tujuh belas) sebagaimana ketentuan UU No. 1 Tahun 2015 jo. UU No. 8
Tahun 2015. Selain itu, warga negara yang sudah memenuhi kriteria tersebut baru
dapat menggunakan hak pilihnya bila sudah terdaftar sebagai Pemilih di KPU.
Namun apabila tidak terdaftar, Pemilih harus menunjukkan Kartu Tanda
Penduduk Elektronik atau surat keterangan penduduk pada saat pemungutan suara
agar dapat menunaikan haknya untuk memilih dalam Pilkada (Pasal 57 Perpu No.
1 Tahun 2014).
Partisipasi Pemilih untuk memilih (voting) dalam Pilkada akan mewujudkan
angka partisipasi yang tinggi sebagai bagian dari tingginya tingkat partisipasi
Pilkada. Tingginya angka partisipasi dalam Pilkada baik bagi penciptaan Pilkada
yang demokratis sebab itu juga menunjukkan sejauhmana proses pemilu berjalan
dengan adanya pelaksanaan hak kebebasan warga negara untuk menentukan
pilihannya. Selain itu, angka partisipasi juga menunjukan warga negara terlibat
dalam kegiatan Pilkada. Hal-hal tersebut juga menandakan bahwa sistem
demokrasi yang berjalan sudah dianggap baik dan tetap dipercaya oleh warga
negara (Nurhasim, 2014: 16). Oleh karena itu, warga negara sebagai Pemilih
harus berpartisipasi untuk memilih (voting) dalam Pilkada agar Pilkada yang
dilaksanakan dapat mendorong penguatan sistem yang demokratis. Upaya untuka
memastikan tercapainya partisipasi politik ini sudah harus dimulai ketika ada
penentuan daftar pemilih tetap di tingkat desa. Warga yang sudah memenuhi
kriteria sebagai Pemilih harus memastikan terdaftar sebagai Pemilih. Kemudian,
pada saat hari pemilihan, warga harus meluangkan waktu untuk berpartisipasi
dengan datang ke TPS untuk memilih kandidat Pilkada.
Kedua, partisipasi elektoral yang non-konvensional sangat terkait dengan
partisipasi warga negara selama tahapan Pilkada. Warga harus terlibat dalam
setiap tahapan Pilkada misalnya dalam tahap penentuan bakal calon oleh salah
satu atau gabungan partai politik, saat kegiatan kampanye Pilkada, saat debat
Pilkada, saat hari pemilihan, saat penghitungan, dan sebagainya. Partisipasi
elektoral yang non-konvensional juga dapat dilakukan dengan aktif dalam
berbagai kegiatan kelompok kepentingan atau kelompok relawan dalam Pilkata.
Selain itu, warga juga dapat berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang
dilakukan dalam NGO baik yang mendukung Kandidat Pilkada maupun yang
mengkritisi jalannya Pilkada. Partisipasi warga pada tahapan Pilkada tersebut
harus ditujukan untuk mensukseskan terselenggaranya Pilkada yang demokratis.
Bentuk-bentuk partisipai politik pada tahapan Pilkada antara lain memberikan
suara saat hari pemilihan, mendiskusikan visi misi dan kualitas kandidat Pilkada,
menghadiri rapat umum yang bersifat politik, dan menjadi anggota kelompok
kepentingan atau relawan salah satu kandidat. Kemudian bentuk yang lain yang
lebih intensif lagi adalah contacting atau lobying pejabat-pejabat, menjadi juru
kampanye atau bekerja aktif sebagai anggota partai politik yang mendukung

15
kandidat Pilkada. Partisipasi lain yang lebih intensif lagi antara lain menjadi
pemimpin kelompok kepentingan yang mendukung atau mengkritisi Kandidat
Pilkada atau menjadi pendukung Kandidat Pilkada.
Meski demikian, partisipasi yang dilakukan harus ditujukan untuk mendukung
terwujudnya Pilkada yang demokratis seperti peningkatan kualitas kompetisi antar
kandidat Pilkada dan pemenuhan hak kebebasan warga negara untuk memilih
dalam Pilkada. Partisipasi yang dimaksud ditujukan untuk mencari dan
mendukung kandidat Pilkada yang dianggap mampu mewujudkan kebaikan
umum (binum communae) yakni suatu situasi diruang publik yang tanpa
ketidakadilan, tanpa pemerasan, tanpa kemiskinan dan pemiskinan, tanpa
penindasan dan pembodohan dan sebagainya (Baowollo, 2008: 161). Kandidat
Pilkada yang harus dicari dan didukung adalah mereka yang memiliki civic virtue.
Sebab, prasyarat terciptanya binum communae adalah dimilikinya civic virtue
karena binum communae hanya dapat dicapai dengan mengedepankan keutamaan
dan kebajikan (Baowollo, 2008: 161). Setiap kandidat yang memenangi Pilkada
sebenarnya memiliki kewajiban untuk mewujudkan kebaikan umum didaerah
yang dipimpinnya. Namun, karena tidak jarang ada Kepala Daerah yang justru
memntingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya semata maka hadirnya
pemimpin ideal masih harus diupayakan.
Selain itu, idelanya keterlibatan dalam Pilkada tidak sekedar dilandasi oleh
faktor mobilisasi yang keterlibatannya (partisipasi) hanya disebabkan oleh
bujukan atau dorongan dari luar apalagi yang berupa imbalan baik berbentuk janji
atau barang. Idealnya partisipasi dalam Pilkada harus didorong oleh niat dan
kesadaran penuh dari diri pribadi untuk berpartisipasi dan mempengaruhi
keputusan politik yang oleh Huntington & Nelson (1994: 9) disebut sebagai
partisipasi otonom. Selain itu, perilaku memilih warga negara dalam Pilkada juga
jangan sampai dilakukan atas pertimbangan pragmatisme politik yakni sebuah
perialaku politik yang disesuaikan dengan kondisi dan tujuan praktis tertentu
misalnya atas pertimbangan iming-iming mendapat imbalan materi. Perilaku
memilih dalam Pilkada seyogianya dilandasi pertimbangan atas tujuan-tujuan
tertentu yang bersifat ideologis. Perilaku memilih dalam Pilkada haruslah
ditujukan untuk menghadirkan Kepala Daerah yang mau dan mampu
memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyat selama kepemimpinannya
kelak.
Partisipasi yang dimaksud ditujukan untuk mencari dan mendukung kandidat
Pilkada yang dianggap mampu mewujudkan kebaikan umum (binum communae)
yakni suatu situasi diruang publik yang tanpa ketidakadilan, tanpa pemerasan,
tanpa kemiskinan dan pemiskinan, tanpa penindasan dan pembodohan dan
sebagainya (Baowollo, 2008: 161). Kandidat Pilkada yang harus dicari dan
didukung adalah mereka yang memiliki civic virtue. Sebab, prasyarat terciptanya

16
binum communae adalah dimilikinya civic virtue karena binum communae hanya
dapat dicapai dengan mengedepankan keutamaan dan kebajikan (Baowollo, 2008:
161). Setiap kandidat yang memenangi Pilkada sebenarnya memiliki kewajiban
untuk mewujudkan kebaikan umum di daerah yang dipimpinnya. Namun karena
potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh Kepala Daerah selalu ada maka hadirnya
pemimpin ideal masih harus diupayakan.
Ada tiga sumber daya utama yang sangat menentukan partisipasi elektoral
yang non-konvensional yaitu: waktu, uang, serta civic skills (Nurhasim, 2014:
15). Artinya, partisipasi warga negara dalam Pilkada perlu menggunakan waktu,
uang, serta civic skills sebagai investasi dalam berpartisipasi. Warga dapat
menggunakan waktu dalam berpartisipasi politik dengan mengikuti berbagai
kegiatan politik seperti melakukan kampanye, menulis surat kepada pihak
berwenang, dan menghadiri pertemuan relevan, dan sebagainya. Sementara uang
dapat digunakan untuk berdonasi kepada kandidat, partai, maupun organisasi
politik atau kelompok kepentingan (relawan). Sementara civic skills berhubungan
dengan komunikasi dan kapasitas organisasional yang perlu dimiliki oleh warga
karena kepemilikannya sangat penting dalam aktivitas politik. Dari ketiga
investasi tersebut, waktu dan uang merupakan investasi utama dari partisipasi
politik Kepemilikan dan penggunaannya dalam berpartisipasi Politik akan
menjadi pembeda antara warga yang satu dengan warga lainnya (Nurhasim, 2014:
15).

E. Partisipasi Pemilih tanpa Politik Uang


Pilkada secara serentak merupakan momentum rakyat (pemilih) untuk
menentukan nasib daerahnya. Kualitas kepemimpinan daerah 5 tahun kedepan
diawali sejak suksesnya Pilkada. Momentum Pilkada dapat menjadi ajang bagi
rakyat untuk menentukan pemimpin terbaik bagi daerahnya masing-masing.
Partisipasi politik Pemilih di bilik suara (voting) harus dipandang sebagai upaya
dalam mewujudkan output politik yang sesuai dengan kehendak rakyat. Hal
tersebut makin mendesak bila mengingat fakta bahwa para wakil (representative)
yang memang acapkali memiliki agenda sendiri-sendiri dan mengesampingkan
kehendak terwakil (represented) sehingga muncul apa yang disebut sebagai
disconnect electoral antara wakil dengan terwakil. Padahal, wakil rakyat
(representative) memiliki kewajiban untuk bekerja demi kepentingan rakyat
(represented) (Marijan, 2010:108). Artinya, memilih Kepala Daerah yang tepat
merupakan cita Pilkada yang demokratis. Oleh karena itu, jangan sampai salah
pilih jika Pilkada ingin dikatakan sukses.
Masih banyaknya Kepala Daerah yang hanya mementingkan pribadi dan
kelompok sampai akhirnya terindikasi korupsi dan menjadi tersangka perkara
korupsi merupakan persoalan penting yang harus dicermati. Pemimpin yang harus

17
ditemukan dalam Pilkada adalah yang mau dan mampu memakmurkan serta
mensejahterakan rakyatnya. Pemimpin seperti itu adalah seorang negarawan.
Seorang negarawan memiliki pengetahuan dan pemahaman dalam pelaksanaan
pemerintahan yang baik. Setiap pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik
selalu ditujukan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Masa
depan rakyat yang jauh lebih baik merupakan satu-satunya tujuan kepemimpinan
seorang negarawan.
Seorang kandidat dalam Pilkada yang terindikasi korupsi, pernah menjadi
tersangka, terdakwa, apalagi terpidana korupsi tentu tidak bisa disebut negarawan.
Selain itu, kandidat yang tidak memiliki kecakapan mengurus pemerintahan
dilihat dari minimnya dedikasi dan pengalaman dalam penyelenggaraan
pemerintahan tentu sulit dikategorikan sebagai negarawan. Kemudian, kandidat
yang sikap, tindakan dan perilakunya bukan ditujukan untuk membuat rakyat
menjadi makmur dan sejahtera tentu tidak layak dikatakan bersosok negarawan.
Maka dari itu, penting bagi rakyat mengetahui rekam jejak kandidat pilkada agar
dapat menemukan mana yang paling negarawan untuk dipilih sebagai pemimpin
daerah pada saat pemungutan suara dalam Pilkada. Kini, kepemimpinan daerah
harus dipegang orang-orang bersosok negarawan juga.
Menemukan Kandidiat Pilkada bersosok negarawan tidaklah mudah. Setiap
kandidat Pilkada akan berlomba-lomba memenangi Pilkada dengan berbagai.
Sesuai tahapan Pilkada, masa kampenye merupakan moment terakhir yang dapat
digunakan pemilih untuk meniliai kualitas diri kandidat Pilkada. Sebab, pada
masa kampanye akan ada lontaran-lontaran janji politik dan rancangan
kepemimpinan daerah dari para kandidat Pilkada yang tentunya bertujuan untuk
mendapat simpati dan dukungan Pemilih. Sesuai Pasal 65 ayat (1) UU No. 8
Tahun 2015, kampanye dilaksanakan melalui pertemuan terbatas, pertemuan tatap
muka dan dialog, debat publik/debat terbuka antarpasangan calon, penyebaran
bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga, iklan media massa cetak
dan media massa elektronik, dan/atau kegiatan lain yang tidak melanggar larangan
kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada tahapan itu, rakyat
akan disuguhi pemaparan visi misi dan program, persebaran baligo/ baner/
pamflet, pembagian kaos dan aksesoris Pilkada. Pada msa kampanye, Pemilih
harus pandai-pandai menemukan sendiri pemimpin terbaik demi kemajuan
daerahnya. Sebab, janji dan rancangan kepemimpinan daerah yang ditawarkan
tidak selalu memiliki konsep dan realisasi yang jelas. Bahkan tidak jarang
kegiatan kampanye yang disertai oleh upaya politik uang (money politics) dengan
disertai permintaan dukungan agar menang dalam Pilkada. Pada akhirnya, Pemilih
harus cermat betul dalam menilai kandidat Pilkada dalam setiap kampanye yang
dilakukannya. Ini penting agar Pemilih tidak terjebak pada perilaku memilih yang

18
dilandasi pragmatisme politik yang apalagi didorong oleh pelaksanaan strategi
politik uang (money politics).
Politik uang (money politics) merupakan hambatan mendasar bagi terciptanya
Pilkada yang demokratis. Politik uang adalah penyalahgunaan keuangan
publik/negara untuk keuntungan kepentingan politik tertentu, atau penggunaan
dana secara melawan hukum untuk mencapai kemenangan, baik berwujud upaya
pembujukan, paksaan maupun memengaruhi pilihan secara tidak langsung
(Winardi, 2009: 151). Lucky (2013) yang menyoroti fenomena politik uang di
Nigeria beranggapan bahwa politik uang adalah pembelian suara. Hal itu
merupakan fenomena dalam proses pemilihan dimana para kandidat bersaing
untuk posisi elektif dengan menggunakan uang atau uang digunakan atas nama
mereka sebagai bujukan untuk mempengaruhi dukungan pemilih. Dukungan yang
diberikan pemilih diarahkan tidak berdasarkan apa yang diharapkan dan diyakini
pemilih tetapi berdasarkan kekuatan uang yang telah berpindah tangan. Untuk
konteks Indonesia, Muhtadi (2013: 46) menegaskan bahwa Indonesia sebagai
negara demokrasi yang masih muda masih rentan politik uang. Ia menjelaskan
bahwa banyak politisi atau calon kepala daerah yang menjadikan kaum papa
sebagai target operasi jual beli suara (vote buying) dengan menawarkan uang atau
bentuk-bentuk hadiah yang lain sebagai alat tukar dalam pemilihan (Muhtadi,
2013: 46)
Politik uang menyebabkan proses politik (Pilkada) menjadi bias, akibat
penggunaan uang, Pilkada akan sulit mencapai tujuan sejatinya. Politik uang
merupakan sebuah perbuatan korupsi yang memiliki benang merah kausatif
dengan perkembangan politik di masa depan. Jika korupsi semakin banyak dan
berdampak luas dapat mengakibatkan keterasingan masyarakat serta
ketidakstabilan politik (Winardi, 2009: 153). Sebab, memang definisi umum
korupsi sebagaimana yang diakui oleh Alatas (1990); Tanzi (1998); Treisman
(2000); Jain (2001) dan Azra (2010) adalah suatu penyalahgunaan kekuasaan
dalam jabatan publik untuk keuntungan pribadi atau kolektif dengan cara yang
bertentangan dengan peraturan. Hasil dari suatu tindakan korupsi bukanlah
keuntungan rakyat tetapi keuntungan pribadi dan kelompok si Koruptor. Maka
apabila kejahatan korupsi termasuk politik uang itu tidak benar-benar menjadi
musuh bersama (common enemy) maka bukan tidak mungkin tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara akan hancur.
Pada penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, berbagai bentuk perbuatan yang
mengarah pada politik uang sebenarnya sudah dikategorikan sebagai sebuah
tindak pidana Pemilu. Pada pasal 260 UU No. 8 Tahun 2012, tindak pidana
Pemilu merupakan tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap
ketentuan tindak pidana pemilu sebagaimana diatur dalam UU Pemilu. Tindak
pidana pemilu politik unag dikategorikan sebagai yang bersifat kejahatan (Khairul

19
Fahmi, 2015: 268). Artinya, apabila perbuatan tersebut dilakukan maka pelakunya
akan diancam dengan sanksi pidana baik denda maupun penjara. Namun saat ini,
politik uang merupakan endemi yang selalu timbul setiap kali Pemilu tetapi disisi
lain mengungkap pelaku sekaligus memproses penindakannya sangat sulit (Najib,
2014: 88). Namun, jika rakyat berani menolak dan berani melaporkan serta
menjadi saksi adanya praktek politik uang tentu praktek demikian tidak akan
menjadi semakin marak. Selama ini, kesulitan proses penegakan hukum tindak
pidana Pemilu termasuk praktik politik uang sering disebabkan oleh ketiadaan
saksi-saksi sebagai alat bukti serta minimnya barang bukti (Sutrisno, 2015). Oleh
karena itu, jika ada praktek politik uang dan tindak pidana Pemilu lainnya,
tolaklah dan laporkan kejadian itu ke Panwascam, Panwaslu Kabupaten maupun
Bawaslu selaku lembaga yang bertugas melakukan pengawasan Pemilu sebab ada
mekanisme penyelesaian hukum untuk menindak praktek demikian sebagaimana
yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 2015 jo. UU No. 8 Tahun 2015 serta
peraturan perundangan lain yang terkait.
Selain itu, guna melawan politik uang secara masif tentu harus ada kesadaran
kolektif bahwa sebenarnya rakyat adalah pihak yang paling dirugikan oleh skema
praktek politik uang. Sebab, kandidat yang berhasil memenangi Pilkada
menggunakan strategi politik uang akan memiliki kekuasaan untuk mengorganisir
sumber-sumber kekayaan daerah dan berpotensi besar mengarahkannya untuk
mengisi kantong pribadi dalam rangka mengembalikan modal ataupun balas jasa
kepada para broker yang telah mendanai pemenangannya. Jika demikian, yang
akan terjadi dalam kepemimpinan daerah yang didapatkan dengan cara politik
uang hanyalah penyalahgunaan wewenang dan korupsi. Rakyat hanya akan
menyesal karena masuk jebakan politik uang bukan mendapat kemakmuran dan
kesejahteraan. Maka, inisiatif rakyat (pemilih) melawan politik uang sangatlah
penting. Pemilih tidak boleh lagi mendasarkan pemilihan kepala daerah atas
pemberian uang puluhan ataupun ratusan ribu dan bahkan berapapun serta dalam
bentuk apapun semisal pemberian barang dan bantuan berupa sandang, pangan
maupun papan. Untuk itu, warga negara harus menginisiasi Pilkada damai dan
berintegritas tanpa politik uang. Gerakan perlawanan itu perlu dimulai dengan
inisiasi pribadi warga menolak politik uang melalui pembuatan kesepakatan
bersama keluarga maupun masyarakat desa dan kalau perlu ditindaklanjuti dengan
pemasangan spanduk/ banner menolak politik uang. Hal tersebut ditujukan agar
tidak ada oknum Pilkada yang memanfaatkan politik uang untuk memenangi
Pilkada. Langkah ini sekaligus sebagai wujud adanya sambutan positif dan
dukungan rakyat untuk mewujdukan Pilkada yang demokratis.

20
F. Pengaruh Pelaksanaan PEMILU Serentak Terhadap Budaya Politik
Pemilihan umum serentak 2019 didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Undang-undang tersebut
diundangkan 16 Agustus 2017, Lembaran Negara 182, TLN 6109. Dengan
demikian pelaksanaan pemilu serentak memiliki dasar hukum yang kuat.
Pelaksanaan pemilu serentak harus didasarkan asas pemilu langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap warga
negara yang sudah memiliki hak pilih berhak untuk terlibat dalam pemilihan
umum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Budaya politik dalam pemilihan umum serentak menunjukkan berbagai
temuan yang dapat menjadi bahan diskusi lebih lanjut. Budaya politik berasal dari
dua kata, yaitu “budaya” dan “politik”. Budaya berdasarkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah pikiran, akal budi, atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan
yang sudah sukar diubah. Kata politik sendiri menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah segala urusan dan tindakan mengenai pemerintahan negara atau
terhadap negara lain atau cara bertindak dalam menghadapi atau menangani
masalah. Pengertian budaya dan politik tersebut tidak jauh beda dengan
pengertian apabila kedua kata tersebut disatukan sebagai “budaya politik”.
Budaya politik adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap
kehidupan politik yang dihadapi oleh para anggota suatu sistem politik. Budaya
politik dipengaruhi oleh sikap dan lingkungan. Oleh karena itu, terkadang kita
menemukan budaya politik setiap wilayah berbeda-beda. Bahkan bukan hanya itu,
budaya politik antarindividu pun berbeda-beda. Perbedaan budaya politik ini
dianggap wajar karena setiap orang memiliki pengalaman politik yang berbeda-
beda. Pernyataan ini diperkuat oleh pendapatnya Gabriel Almond dan Sidny
Verba. Menurut mereka budaya politik merupakan sikap orientasi yang khas dari
warga negara. Setiap warga negara memiliki perbedaan budaya politik karena
faktor pandangan hidup, pendidikan, dan kelas sosial.
Almond dan Verba mengklasifikasikan tipe-tipe budaya politik parokial,
subjek, dan partisipan. Masyarakat yang memiliki budaya politik parokial
cenderung tidak memiliki perhatian terhadap politik. Mereka cenderung apatis
karena semua hal berkaitan dengan keputusan yang bersifat publik diserahkan
atau tergantung kepada pemimpinnya. Masyarakat yang memiliki budaya politik
subjek memiliki pengetahuan tentang sistem politik walaupun masih sederhana.
Akan tetapi, kepedulian mereka terhadap politik lebih baik daripada masyarakat
parokial. Walaupun mereka memiliki pengetahuan tentang politik, tetapi masih
minim dalam hal memperhatikan kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah.
Masyarakat yang memiliki budaya partisipan memiliki pengetahuan dan mampu

21
mengaplikasikan pengetahuan politik tersebut. Masyarakat lebih aktif dalam
sistem politik seperti keterlibatannya dalam pemilihan umum, baik sebagai calon
yang dipilih maupun pemilih.
Herning Suryo dalam penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Amerika
Serikat memiliki budaya politik partisipan, sedangkan Indonesia sendiri budaya
politiknya relatif konstan. Pembagian tipe-tipe politik Indonesia didasarkan pada
gaya berpolitik, yaitu budaya politik tradisional, budaya politik Islam, dan budaya
politik modern.
Pernyataan yang mengarah terhadap budaya politik masyarakat Indonesia
dapat dilihat dari hasil penelitian Munadi tentang budaya politik masyarakat
samin. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa masyarakat samin menganut
budaya politik parokial. Pengaruh sejarah yang turun-temurun dan dikawal
dengan norma-norma agama yang kuat menjadi faktor yang mempengaruhi
budaya politik masyarakat samin.
Berdasarkan hasil uji responden yang telah dilakukan dapat bahwa anggota
kelompok Dasawisma Anggrek 6A menunjukkan budaya politik partisipan pada
pemilu serentak 2019. Di mana mereka memiliki tingkat partisipasi terhadap
pemilihan umum serentak cukup besar. Hal tersebut dapat diartikan bahwa
keterlibatan perempuan dalam pemilu sudah cukup baik sesuai Pasal 27 ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945. Budaya politik yang kemudian berkembang ialah budaya
politik partisipan sehingga harapannya budaya politik yang terus berkembang ini
membantu dalam meningkatkan partisipasi perempuan dalam bidang politik.
Adanya dukungan dari perempuan terhadap kehidupan politik berharap membantu
dalam meningkatkan indeks demokrasi. Seperti yang dikatakan oleh Afan Gafar
bahwa berkembangnya budaya politik partisipan akan mendukung terbentuknya
sebuah sistem politik yang demokratis dan stabil.16 Pernyataan ini dan fakta yang
terjadi berdasarkan hasil penelitian menunjukknan bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD
NRI Tahun 1945 mulai terwujud dengan baik. Almond dan Verba17 menyatakan
bahwa budaya demokratis ini menyangkut “suatu kumpulan sistem keyakinan,
sikap, norma, persepsi, dan sejenisnya yang menopang terwujudnya partisipasi.”
Keterlibatan perempuan dalam dunia politik menunjukkan bahwa pendidikan
politik perempuan di Dasawisma Anggrek 6A telah berjalan. Hal ini dibantu
dengan begitu masifnya proses sosialisasi yang dilakukan oleh KPU, perangkat
desa, dan partai politik, baik melalui media elektronik maupun nonelektronik.
Selain itu, faktor yang mempengaruhi proses budaya politik partisipan, yaitu
kehidupan sosial yang sudah modern dengan pergaulan yang luas. Di samping itu,
anggota juga memiliki tingkat pendidikan yang baik, sehingga proses sosialisasi
politik yang dilakukan pemerintah dapat diterima dengan baik.
Faktor-faktor yang ditemukan dalam masyarakat anggota Dasawisma Anggrek
6A Perumahan Tapan memang cukup menarik. Berdasarkan dari hasil observasi

22
lapangan, kemenarikan kondisi masyarakat tidak terlepas dari lingkungan
perumahan yang masih sangat sederhana. Di mana, kondisi sosial ekonomi
masyarakat di luar anggota dasawisama Perumahan Tapan sebagian masih
tradisional. Akan tetapi, dari hasil observasi dan wawancara menunjukkan bahwa
modernitas konsep perumahan dan masyarakat mampu mengubah cara pandang
masyarakat anggota dasawisma yang berdampak pula kepada masyarakat di luar
anggota dasawisma. Hasil penelitian menunjukkan catatan yang menarik di mana
pelaksanaan pemilu serentak mempengaruhi partisipasi politik. Berdasarkan nilai
probablitas 0,0012 berarti pelaksanaan pemilu umum serentak berpengaruh
signifikan terhadap perubahan budaya politik perempuan Dusun Tapan. Walaupun
begitu, tidak memungkiri bahwa proses pelaksanaan pemilu banyak kendala,
beberapa diantaranya permasalahan logistik, kotak suara yang diterima KPPS
tidak tersegel, dan surat suara yang tertukar antardaerah.18 Hasil penelitian
menunjukkan bahwa apabila sistem pemilu model serentak dilakukan perbaikan-
perbaikan ke arah yang lebih baik dapat meningkatkan partisipasi masyarakat.
Akan tetapi, apabila sistem pemilu serentak yang akan datang tetap menggunakan
model seperti ini tanpa ada perbaikan justru dapat menurunkan partisipasi
masyarakat. Jadi, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilihan
umum yang akan datang sebaiknya sistem pemilu dilakukan perbaikan menjadi
lebih baik.
Proses perbaikan sistem pemilu menjadi wewenang pemerintah pusat, yaitu
lembaga legislatif. Lembaga legislatif harus memperbaiki sistem pemilu melalui
peraturan perundang-undangan. Sistem pemilu yang seharusnya diperbaiki mulai
dari efisiensi dan efektivitas pelaksanaan pemilu dengan mempertimbangkan
berbagai aspek yang telah terjadi pada pemilu 2019. Perbaikan sistem pemilu pada
2024 merupakan salah satu pekerjaan rumah anggota DPR periode 2019─2024.
DPR memiliki kewajiban memperbaiki undang-undang pemilu sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Bersama presiden,
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat catatan penting dan
menjadi rujukan untuk memperbaiki konsep pemilu yang akan datang.
Sebagaimana hasil penelitian menunjukkan bahwa pemilu serentak 2019
memberikan dampak signifikan terhadap budaya politik. Walaupun begitu konsep
perbaikan tetap harus dilakukan untuk memperbaiki pemilu yang akan datang
seperti memisahkan pemilu legislatif dengan pemilu presiden dan wakil presiden,
tetapi jangka waktu pelaksanaannya tidak terlalu lama. Pemisahan kedua pemilu
ini penting agar setiap partai politik bisa fokus dalam salah satu kegiatannya, baik
itu memenangkan kursi di parlemen maupun persiapan menghadapi pemilu
presiden. Jarak antarpemilu jangan terlalu lama agar euforia pemilu masih terus
terasa. Hal ini didasarkan atas hasil penelitian yang menunjukkan bahwa

23
masyarakat antusias dengan konsep pemilu serentak. Kata serentak tidak harus
dimaknai sebagai sesuatu yang selalu bersamaan, tapi bisa juga dilakukan dalam
satu momentum yang berbeda.
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya politik masyarakat di Dusun
Tapan sangat baik, hal tersebut dipengaruhi oleh faktor kegiatan sosial perempuan
yang dilakukan di Dusun Tapan, khususnya anggota Dasawisma Anggrek 6A.
Kegiatan tersebut dapat dimanfaatkan oleh KPU atau petugas untuk
menyosialisasikan pelaksanaan pemilu dan membangun kepeduan perempuan
dalam menyukseskan pesta demokrasi (pemilihan umum). Melalui konsep
tersebut harapannya tujuan pemilu yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bisa tercapai.

G. Urgensitas Perppu Pilkada Di Kala Wabah Pandemi Covid-19


Perkembangan penyebaran wabah pandemi secara signifikan terus meningkat,
tidak terkecuali negara Indonesia menjadi negara terdampak akibat wabah
pandemi ini. Dengan mengingat bahaya wabah tersebut, melalui mandat yang
tertuang dalam pasal 12 Un-dang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Presiden kemudian menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Republik
Indonesia No-mor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan.
Merujuk ke dalam kajian hukum tata negara darurat, penetu-an keadaan darurat
ini masih dalam lingkup staatsnoodrecht, di-mana negara diwajibkan
mengeluarkan kebijakan untuk menghada-pi situasi darurat (Asshiddiqie, 2012).
Implementasi kebijakan terse-but tertuang kedalam penerapan Pembatasan Sosial
Berskala Besar berupaPembatasan-pembatasan yang mulai dilakukan dan
himbauan untuk menghindari kegiatan yang melibatkan orang ban-yak mulai
diterapkan. Yang baru-baru ini pemerintah menetapkan kebijakan larangan mudik
guna memutus mata rantai penyebaran wabah pandemic covid-19.
Jika melihat secara masif dan komprehensif, akibat dari pan-demi ini ternyata
berdampak keberbagai lini sektor, salah satunya ialah sektor ketatanegaraan.
Kebijakan penundaan agenda keta-tanegaraan mulai dilakukan dan menjadi
pertimbangan. Dalam hal ini, yang menjadi sorotan adalah ketika pandemi datang
pada saat tahun politik yakni agenda pemilihan kepala daerah.
Dalam konteks pemilihan kepala daerah Tahun 2020, seluruh aktor pilkada
meliputi penyelenggara, bakal calon hingga partai par-tai politik sepenuhnya
menunggu respon dan sikap tanggap pemerintah terkait keadaan bawah pandemi
covid-19. Dengan penentuan status kedaruratan kesehatan, pembatasan interaksi
mempersulit pergerakan dan menghambat kinerja penyelenggara pemilu, aksi
bakal calon dan pergerakan partai politik meraih masa untuk persiapan agenda
penyelenggaran pemilihan Gubernur, Bu-pati dan Walikota di 270 daerah yang
akan Pilkada di 2020 juga ter

24
hambat.
Secara teknis sebagai antisipasi penyebaran covid-19, Komisi Pemilihan
Umum telah mengeluarkan kebijakan yang tertuang di da-lam Keputusan KPU
Nomor 179/PL.02-Kpt/01/KPU/III/2020 tentang Penundaan Tahapan Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bu-pati dan Wakil Bupati, dan/atau WaliKota dan
Wakil WaliKota Ta-hun 2020. Keputusan tersebut secara garis besar terdapat 4
tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang ditunda meliputi
pelantikan panitia pemungutan suara, verifikasi syarat dukungan calon
perseorangan, pembentukan Panitia Pemuktahiran Data Pem-ilih, serta
pemuktahiran dan penyusunan daftar pemilih.
Melihat kedalam muatan materinya, keputusan tersebut hanya terbatas kepada
penun-daan penyelenggaraan teknis pilkada sampai tahap penetapan daftar
pemilih, namun tahapan penyeleggaran pilkada serentak tetap akan dilaksanakan
pada September 2020. Ketentuan ter-sebut disandarkan kepada maklumat yang
tertuang dalam Pasal 201 ayat (6) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang
pe-rubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gu-bernur,
Bupati, dan Walikota.
1. Penundaan dalam persepktif Undang-Undang Pilkada
Apabila menganalisis dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
termaktub dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan
kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Adalah: Buletin Hukum dan Keadilan,
Vol. 4, No. 1 (2020)
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, sejatinya terdapat mekanisme yang
dapat dilakukan apabila terdapat kondisi yang me-maksa atau memungkinkan
tahapan pemilihan kepala daerah harus ditunda. Pilihan tersebut berupa dilakukan
pemilihan lanjutan dan pemilihan susulan.
Pasal 120 Undang-Undang Pilkada menyebutkan bahwa pem-ilihan lanjutan
adalah sebuah mekanisme penundaan pilkada yang nanti melanjutkan tahapan
yang terhenti, adapun syarat ditetapkan pemilihan lanjutan, tertuang dalam pasal
120 ayat (1) berbunyi: “Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah Pemilihan
terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya
yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan Pemilihan tidak dapat
dilaksanakan maka dilakukan Pemilihan lanjutan.”
Selain melalui mekanisme tersebut, adapun alternatif lain lain yaitu pemilihan
susulan yang sesuai dengan Pasal 121 ayat (2) mekanisme tersebut dilakukan
untuk seluruh tahapan dalam artian dimulai dari awal (Rohim, 2016). Adapun
syaratnya tertuang dida-lam Pasal 121 ayat (1) berbunyi: “Dalam hal di suatu
wilayah Pemilihan terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan,
dan/atau gangguan lainnya yang mengakibatkan terganggunya seluruh tahapan
penyelenggaraan Pemilihan maka dilakukan Pemilihan susulan.”

25
Dengan merujuk keadaan saat ini akibat wabah pandemi covid-19, mekanisme
pemilihan lanjutan lebih tepat untuk diterap-kan dan ditetapkan sebagai pilihan.
Namun yang menjadi kendala pilihan tersebut hanya merujuk kepada suatu
wilayah masing-masing. Menjadi dilematik bahwa undang-undang tersebut tidak
memaparkan terkait keadaan bahaya secara nasional, sehingga ha-rus secara
serentak harus ditunda akibat semakin meluasnya penyebaran wabah ini dan demi
menjaga kesehatan rakyat.
Namun sebagai upaya mitigasi resiko yang lebih besar, perlu diapresiasi ketika
Komisi Pemilihan Umum mengeluarkan langkah untuk menunda 4 tahapan
Pilkada 2020 sebagai Langkah tepat dan responsive menyikapi keadaan saat ini
untuk menekan penyebaran wabah pandemic covid-19 yang semakin luas.
2. Antisipasi Melalui Penundaan Pilkada Secara Total
Melihat kondisi saat ini, seluruh tahapan pemilihan kepala daerah seharusnya
ditunda secara total. Dalam lingkupannya taha-pan hari pemilihan harus turut
ditunda karena pondasi dasar taha-pan sudah ditunda dan perlu dipahami bahwa
tidak mungkin me-nyelenggarakan pilkada sesuai agenda yang tertuang dalam
undang-undang, jika pandemi covid-19 belum selesai sepenuhnya. Secara
pertimbangan, seha-rusnya negara harus fokus terlebih dahulu ke dalam hal-hal
yang dasar dan fundamental yaitu upaya pe-nanganan wabah pan-demi covid-19
yang menyerang Indonesia serta mengupayakan kesejahteraan rakyatnya secara
merata.
Postulat tersebut sejalan dengan hasil rapat kerja yang di lakukan oleh Komisi
II DPR dengan Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum, Badan
Pengawas Pemilihan Umum, dan Dewan Penyelenggara Pemilu pada tanggal 30
Maret 2020 berupa penundaan pemilihan kepala daerah 2020. Secara
komprehensif ter-dapat 4 kesimpulan dari rapat tersebut meliputi penundaan
pilkada serentak 2020, pelaksanaan pilkada lanjutin akan dilaksanakan ber
dasarkan persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah dan DPR, kemudian
meminta kepada kepala daerah untuk merelokasi dana pilkada 2020 yang belum
terpakai untuk penanganan covid-19, dan yang terakhir meminda kepada
pemerintah untuk segera menetap-kan payung hukum berbentuk Peranturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Kemudian dalam pertimbangannya, Komisi Pemilihan Umum menawarkan 3
opsi hari pemungutan surat sebagai konsekuensi logis pergeseran agenda
ketatangeraan ini ditundanya tahapannya pemilihan kepala daerah. Dalam
pemaparannya KPU menawarkan antara dilaksanakan pada rabu 9 Desember
2020, abu 17 Maret 2020, atau pada rabu 29 September 2020.
Walaupun sudah terdapat nota kesepaham dan kesepakatan antar Lembaga, hal
tesebut bukanlah produk hukum resmi melain-kan kesepakatan politik antar
lembaga. Dengan mengingat Indonesi a adalah sebuah tatanan negara berbasis

26
hukum sesuai Pasal 1 (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 maka ketentuan penundaan teragendakan dalam bentuk hukum yang
resmi setingkat undang-undang.
3. Perppu Pilkada sebagai Legalitas Penundaan
Dalam kajian negara hukum, negara harus mampu merespon keadaan yang
dimanifestasikan dalam wujud peraturan perun-dangan-undangan sebagai jaminan
konstitutisonalitas penundaan Pilkada 2020. Secara original intens, peraturan
tersebut harus mampu bertindak untuk melindungi rakyat dan menjamin
kesejahteraan (Pembukaan UUD NRI Tahun 1945). Sesuai dengan adagium yang
digaungkan oleh Marcus Tullius Cicero dalam karnyanya yaitu “Salus populi
suprema lex esto”. (Soekanto, 2002)
Jika melihat dalam konteks keadaan genting, memaksa dan ketidakmampuan
Undang-Undang Pilkada menyikapi keadaan saat ini, kebijakan dalam bentuk
Peraturan Pemerintah Pengganti Un dang-Undang adalaah hal yang tepat. Hal
tersebut disandarkan kepada Pasal Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indo-nesia bahwa “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,
Presiden ber-hak menetapkan peraturan pemerintah sebagai penggati Undang-
Undang.”
Perppu Pilkada sejatinya dapat digunakan sebagai legalitas terhadap
penundaan pelaksaan pilkada 2020. Dalam muatan materi setidaknya harus
mencakup beberapa hal meliputi status tahapan pasca penundaan, skema
pengisian jabatan kepala daerah bagi dae-rah yang mengalami kekosongan kepala
daerah sebelum ter-laksananya pilkada, mekanisme realokasi anggaran pilkada
2020 dan penetapan sumber anggaran pilkada pasca penundaan dan setid-aknya
memperhatiakn pelaksanaan pilkada dengan desain penataan pemilu yang
khususnya termaktub dalam Putusan Mahkamah Kon-stitusi Nomor 55/PUU-
XVII/2019 tentang kosntitutionalitas model keserentakan pemilu agar tidak terjadi
tambal sulam dalam penentu-an jadwal pilkada dikemudian hari.
Maka apabila negara sudah tepat secara responsif menanggapi penundaan
pilkada melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dengan segala
pertimbangan hukum dan berbagai bidang kajian lainnya. Maka hukum telah
dapat berjalan sebagaimana fungsi yang menurut Mochtar Kusuma Adtmaja
bahwa “hukum harus bisa dijadikan sarana untuk memecahkan problematika
dalam penyelenggaraan Negara” (Kusumaatmadja, 2002).
Berdasarakan legal memorandum diatas maka dapat disimpulkan bahwa
negara harus secara cepat dan sigap untuk segera menerbitkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ten-tang Penundaan Pilkada. Hal ini
setidaknya memberikan status le-galitas penundaan dan menjamin adanya suatu
kepastian hukum da-lam proses ketatanegaraan.

27
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemilihan umum sebagai sarana pengejawantahan kedaulatan rakyat faktanya
memiliki kelebihan dan kekurangan. Melalui pemilihan umum, kepala daerah
yang terpilih tentu akan memiliki ikatan yang lebih dekat dengan warga karena
dalam hal ini, masyarakat daerah itu sendirilah yang menentukan figur yang akan
memimpin daerahnya sendiri. Selain itu, derajat demokratis pemilihan kepala
daerah akan lebih terasa ketika kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat
mengingat dengan adanya pemilihan langsung, partisipasi rakyat lebih
diutamakan. Namun, di lain sisi, pemilihan kepala daerah secara langsung
ternyata berdampak pada berbagai konflik yang timbul di masyarakat akibat
gesekan-gesekan antara para pendukung calon kepala daerah yang merasa tidak
puas dengan hasil pemilihan umum. Selain itu, faktor efisiensi anggaran dan
waktu juga menjadi salah satu hal yang juga perlu diperhatikan pada saat
dipilihnya mekanisme pemilihan secara langsung dalam menentukan kepala
daerah.
Adapun mekanisme kedua dalam pemilihan kepala daerah yaitu melalui
pemilihan oleh DPRD. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD memang dapat
menekan anggaran politik yang dikeluarkan, namun pemilihan kepala daerah oleh
DPRD tidak dapat menjamin bahwa kepala daerah yang dihasilkan mampu
merepresentasikan pilihan rakyat, terlebih saat ini kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga perwakilan daerah tersebut mengalami degradasi akibat
banyaknya anggota DPRD yang terbukti terlibat kasus korupsi. Mengacu pada
berbagai kelebihan dan kelemahan dari masing-masing mekanisme pemilihan
kepala daerah, maka mekanisme pemilihan kepala daerah yang lebih sesuai untuk
diterapkan di Indonesia adalah melalui pemilihan umum. Meskipun pemilihan
umum masih memiliki beberapa kelemahan, namun kelemahan-kelemahan
tersebut tidak menjadikan dihapuskannya mekanisme pemilihan umum dalam
proses penggantian jabatan kepala daerah di Indonesia.

B. Saran
Pemilu merupakan salah satu cara yang terbaik untuk melakukan proses
penggantian jabatan dalam pemerintahan. Terkait berbagai kekurangan dalam
pemilu dapat diatasi dengan berbagai langkah. Persoalan pendanaan dapat diatasi
dengan melakukan pemilihan kepala daerah secara serentak. Dengan demikian
akan tercipta efektifitas dan efisiensi baik dari segi anggaran maupun tenaga dan
tidak menghilangkan prinsip esensial dari demokrasi. Berkaitan dengan konflik
horizontal pasca pemilu, salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan

28
meningkatkan dan melakukan sosialisasi pendidikan politik terhadap masyarakat
Indonesia akan pemahaman pemilihan umum.

29
REFERENSI

Supremasi Hukum : Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN: 1693-766X ; e-ISSN:


2579-4663, Vol. 28, No. 2, Agustus 2019, 163-186.
JPW (Jurnal Politik Walisongo) – Vol 1, No 1 (2019), 29—48 ISSN: 2503-
3190 (p); 2503-3204 (e) DOI: 10.21580/jpw.2019.1.1.2335.
MIMBAR ADMINISTRASI ISSN:9772581101001; Vol. 2 No. 1, April 2018.
JPK: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, ISSN 2527-7057 (Online),
ISSN 2545-2683 (Printed). Vol. 2, No. 2, Juli 201.
‘Adalah: Buletin Hukum dan Keadilan, ISSN: 2338 4638 Vol. 4, No. 1 (2020)
Jurnal Law Reform Volume 13, Nomor 1, Tahun 2017.
Supremasi Hukum :Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN: 1693-766X ; e-ISSN:
2579-4663, Vol. 29, No.1, Januari 2020, 13-28.

30

Anda mungkin juga menyukai