Anda di halaman 1dari 52

UNIVERSITAS INDONESIA

FUNGSI DAN PERAN LEGISLATIF DALAM PROSES LEGISLASI


DAN PEMBENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

TUGAS MAKALAH
MATA KULIAH LEMBAGA NEGARA

Disusun Oleh:
Ahmad Rizqi Robbani Kaban ( 1906408983 )
HTN Sore / Absen 24.

Dosen:
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie S.H., M.H.
Dr. Fitra Arsil S.H., M.H.
Dr. Fatmawati S.H., M.H.
Mohammad Novrizal S.H., LL.M.

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM
JAKARTA
OKTOBER 2020
Daftar Isi
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah atas berkat rahmat Allah SWT, penulis dapat


menyelesaikan tugas makalah ini. Penulisan makalah ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar magister hukum program pascasarjana
ilmu hukum Universitas Indonesia. Makalah ini mengambil judul “Fungsi Legislatif
Dalam Proses Legislasi dan Pembenukan Peraturan Perundang-Undangan”.
Penelitian ini berfokus pada analisis pelanggaran konsep pembatasan masa
jabatan presiden yang di atur dalam UUD 1945 di Indonesia di tinjau dari praktek
ketatanegaraan. Kedua, melakukan penelitian perbandingan konsep dan praktek
pembatasan masa jabatan presiden di Amerika Serikat, Argentina dan Chile
dibandingkan dengan Indonesia.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya ilmiah ini jauh dari kata sempurna.
Harapannya, karya ini bisa memberikan sumbangsih pemikiran bagi mata kuliah
Lembaga Negara. Karya tulis ini tidak akan dapat terselesaikan tanpa adanya bimbingan
dan bantuan para pihak, khususnya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie S.H., M.H., Dr. Fitra
Arsil S.H., M.H., Dr. Fatmawati S.H., M.H., Mohammad Novrizal S.H., LL.M., yang
memberikan bimbingan teknis penulisan karya ilmiah yang baik dalam mata kuliah
Lembaga Negara.
Akhirnya, Semoga makalah yang telah penulis susun dapat bermanfaat dan
berguna bagi semua kalangan.

Jakarta, 01 Desember 2020

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam teori pembagian kekuasaan, Montesquieu membagi kekuasaan

pemerintahan menjadi tiga, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial.

Ketiga kekuasan itu terpisah satu sama lain, baik mengenai fungsi maupun

lembaga yang menyelenggarakannya.1 Konsep pembagian kekuasaan seperti itu

oleh Emanuel Kant disebut sebagai Trias Politica.Tri berarti tiga, As berarti

poros, dan Politica berarti kekuasaan, sehingga Trias Politica berarti tiga poros

kekuasaan. Kekuasaan legislatif (rule making function) merupakan kekuasaan

negara dalam membentuk undang-undang. Kekuasaan eksekutif (rule application

function) merupakan kekuasaan negara untuk menjalankan undang-undang.

Sedangkan kekuasaan yudisial (rule adjudication function) merupakan

kekuasaan negara untuk mengadili atas pelanggaran undang-undang.2 Pada

hakikatnya, Trias Politica menghendaki kekuasaan-kekuasaan tersebut

sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah

penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.3 Pemisahan yang tegas

antara cabang kekuasaan eksekutif dan cabang kekuasaan legislatif menjadi titik

penting guna menjelaskan fungsi legislasi dalam sistem pemerintahann

presidensil.4

1
Romi Librayanto, Trias Politica dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Makasar: PUKAP,
2008), hal. 18.
2
Ibid, hal, 19.
3
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka, 2002), hal. 151.
4
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi
Dalam sistem politik kekinian, perwakilan politik menjadi hal yang penting

untuk didiskusikan serta diimplementasikan. Satu hal yang menjadi

pertimbangan adalah menyangkut keluasan wilayah serta kepadatan jumlah

penduduk yang tidak memungkinkan terciptanya forum bersama seluruh

masyarakat dalam memutuskan tentang banyak hal secara langsung. Untuk

menunjang sistem tersebut, diperlukan perwakilan politik yang memadai, adil

serta memihak kepada masyarakat. Selama lebih dari 200 (dua ratus) tahun

terakhir, lembaga legislatif merupakan institusi kunci (key institutions) dalam

perkembangan politik negara-negara modern. Menilik perkembangan lembaga

negara, lembaga legislatif merupakan cabang kekuasaan pertama yang

mencerminkan kedaulatan rakyat. Dalam pandangan CF. Strong, “lembaga

legislatif merupakan kekuasaan pemerintahan yang mengurusi pembuatan

hukum, sejauh hukum tersebut memerlukan kekuatan Undang-Undang

(statutory force)”.5

Prinsip kedaulatan rakyat tersebut selain diwujudkan dalam bentuk peraturan

perundang-undangan yang akan dihasilkannya, juga tercermin dalam struktur

dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya

sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Perwujudan sebagai negara

berasaskan demokrasi juga memerlukan suatu pelembagaan, tetapi di pahak lain

juga memerlukan tradisi yang sesuai untuk mendukungnya. Masyarakat yang

berusaha mengadopsi gagasan demokrasi itu tidak memliki tradisi berdemokrasi

sama sekali, niscaya pelembagaan demokrasi itu dalam kenyataan tidak akan

berhasil melahirkan perbaikan dalam peri kehidupan bersama dalam masyarakat

5
C.F Strong, Modern Politucial Constitution An Introduction to the Comparative Study Of Their
History and Existing Form, (Sidwick & Jackson, Londong, 1978), hal. 8.
yang bersangkutan. Oleh karena itu, perwujudan gagasan demokrasi sangat

memerlukan penataan-penataan yang bersifat kelembagaan dan sekaligus

revitalisasi, reorientasi, dan bahkan reformasi kebudayaan politik secara lebih

substansif. Dalam sistem pemerintahan demokrasi, lembaga perwakilan rakyat

merupakan unsur yang paling penting di samping unsur-unsur lainnya seperti,

sistem pemilihan, persamaan di depan hukum, kebebasan mengeluarkan

pendapat, kebebasan berserikat dan sebagainya. Setiap sistem demokrasi adalah

ide bahwa warga negara seharusnya terlibat dalam hal tertentu dibidang

pembuatan keputusan-keputusan politik, baik secara langsung maupun melalui

wakil pilihan mereka di lembaga perwakilan.

Dalam sistem presidensil, badan legislatif menentukan agendanya sendiri,

membahas dan menyetujui rancangan undang-undang. Hal ini didasarkan pada

prinsip kedaulatan rakyat sehingga merupakan wewenang eksklusif dari badan

perwakilan yang berdaulat untuk menentukan suatu peraturan yang mengikat

dan membatasi kebebasan setiap warga negara (presumption of liberty of the

souvereign people).6 Fungsi legislasi tidak hanya di pegang oleh kekuasaan

legislatif, tetapi di pegang juga oleh kekuasaan eksekutif secara bersama-sama.

Bahkan tidak jarang kekuasaan eksekutif lebih dominan dalam menjalankan

fungsi legislasi. Dalam perkembangan ketatanegaraan di berbagai negara seperti

Amerika Serikat, termasuk Indonesia setelah amandemen UUD 1945 dengan

konsep check and balances struktur parlemen tidak hanya terdiri dari satu kamar

(unicameral), tetap terdiri dari dua kamar (bicameral). Dengan konsep seperti

itu, maka pembentukan suatu undang-undang dibahas dan disetujui oleh kedua

6
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hal.
8.
kamar tersebut. Ada negara yang menganut strong bicameral seperti Amerika

Serikat, dan ada juga negara yang menganut soft bicameral seperti Indonesia.

Strong bicameral ditandai dengan kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing

kamar sama-sama kuat. Sedangkan soft bicameral ditandai dengan kekuasaan

salah satu kamar lebih dominan atas kamar lainnya.7

Dalam tulisan ini penulis membatasi permasalahan dalam ruang lingkup

fungsi peran lembaga legislatif dalam menjalankan tugasnya berkaitan dengan

legislasi dan pembentukan peraturan perundang-undangan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka penulis mengambil

rumusan masalah pada tulisan adalah :

1. Bagimana fungsi dan peran lembaga legislatif dalam proses legislasi dan

pembentukan peraturan perundang-undangan ?

C. Kerangka Konseptual

1. Teori Konstitusi

Istilah konsitusi berasal dari bahasa Perancis, constituer yang berarti

membentuk, makna dari membetuk pada kata constituer adalah membentuk

suatu negara.8 Dalam arti sempit konstitusi hanya mengandung norma-norma


7
Saldi Isra, Pergesaran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam
Sistem Presidensial Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 299.
8
Astim Riyanto, Teori Konstitusi, (Bandung: Yapemdo, 2000), hal. 17.
hukum yang membatasi kekuasaan yang ada dalam negaara. Sedangkan, dalam

arti luas adalah keseluruhan dari ketentuan ketentuan dasar atau hukum dasar,

baik yang tertulis maupun tidak tidak tertulis. Prof Jimly Asshidiqie

mendefinisikan konstitusi sebagai hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam

penyelenggaraan suatu negara.9 Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi

atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu

sendiri meupakan sumber legitimasi. Secara sederhana, konstitusi dapat di

definisikan sebagai sejumlah ketentuan hukum yang disusun secara sistematik

untuk menata dan mengatur pada pokok-pokoknya struktur dan fungsi lembaga-

lembaga pemerintahan, termasuk hal ihwan kewenangan lembaga-lembaga itu.

arti yang lebih sempit, konstitusi bahkan cuma diartikan sebagai dokumen yang

memuat ketentuan-ketentuan hukum tersebut.10

C.F Strong bepandangan bahwa konstitusi memiliki tujuan untuk membatasi

tindakan sewenang-wenang pemerintah, menjamin hak-hak rakyat yang

diperintah dan menetapkan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Sebagai

hukum tertinggi didalam suatu negara, Prof Jimly Asshiddiqe berpendapat

bahwa tujuan tertinggi pada konstitusi adalah keadilan, ketertiban, dan

perwujudan nilai-nilai ideal seperti kemerdekaan atau kebebasan dan

kesejahteraan atau kemakmuran bersama.

Sebagai hukum tertinggi disuatu negara, materi muatan konstusi disebuah

negara biasanya dilandasi konsenssus atau kesepakatan umum masyarakat. Ada

tiga elemen yang umumnya di gunakan dalam materi muatan konstitusi, yaitu :

1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama.

9
Jimly Asshidiqqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Op,.Cit., hal. 97.
10
Benny K. Harman Hendardi, “Konstitusionalisme Peran DPR dan Judicial Review”, (Jakarta:
Yayasan Bantuan Hukum, 1991), hal. 32.
2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau

penyelenggaraan negara.

3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur

ketatanegaraan.

Teori konstitusi menghendaki negara terbentuk atas dasar hukum dasar

(basic norm) yang demokratis mengakomodir kepentingan dan hak-hak dasar

warga negara, sehingga konstitusi yang dibentuk adalah konstitusi yang

menghendaki the rule of law. Konsekuensi logis dari kenyataan bahwa tanpa

konstitusi negara tidak mungkin terbentuk, maka konstitusi menempati posisi

yang sangat krusial dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara. A. Hamid S.

Attamimi berpendapat tentang pentingnya suatu konstitusi atau Undang-Undang

Dasar pada suatu negara adalah untuk menjadi pegangan dan pemberi batas,

sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara itu harus dijalankan.

2. Teori Lembaga Negara

Dalam arti sempit, Hans Kelsen mengungkapkan bahwa “Whoever fulfills a

function determined by the legal order is an organ”, yang memiliki arti organ

negara tiak selalu berbentuk organik, tetapi setiap jabatan yang ditentukan oleh

hukum dapat pula disebut organ asal fungsi-fungsinya itu bersifat mencipatkan

norma (normcreating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying).11

Selanjutnya dalam arti luas Hans Kelsen berpendapat bahwa semua organ yang

menjalankan fungsi-fungsi “Law creating function and Law applying function”

adalah merupakan organ atau lembaga negara. Menurut Kelsen, setiap warga
11
negara yang sedang berada dalam keadaan menjalankan suatu ketentuan undang-

undang undang-undang juga dapat disebut sebagai organ negara dalam arti luas,

misalnya, ketika warga negara yang bersangkutan sedang melaksanakan hak

politiknya untuk memilih dalam pemilihan umum, dianggap sedang

menjalankan undang-undang (law applying function) dan lembaga perwakilan

rakyat terpilih yang menetapkan UU (law creating function).

Jimly Asshiddiqie merumuskan konsep lembaga negara dalam beberapa

pengertian, diantaranya adalah:

1. Setiap individu yang menjalankan fungsi membentuk dan menerapkan

norma hukum.

2. Setiap individu yang menjalankan fungsi membentuk dan menerapkan

norma hukum yang juga memiliki posisi dalam jabatan kenegaraan atau

pemerintahan.

3. Lembaga yang memiliki fungsi membentuk dan menerapkan norma

hukum dalam kerangka struktur kenegaraan, yaitu dibentuk berdasarkan

UUD, UU dan peraturan perundangan-undangan atau keputusan-

keputusan, baik di tingkat pusat ataupun di tingkat daerah.

4. Lembaga-lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD, UU atau peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah.

5. Untuk pengertian khusus terhadap lembaga-lembaga di tingkat pusat

yang pembentukan dan pengaturannya didasarkan pada UUD, yaitu

Presiden/Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA dan MK, yang

dapat juga disebut sebagai Lembaga Tinggi Negara.


Untuk menjalankan roda pemerintahan dan berjalannya tujuan-tujuan dari

didirikan negara. Lembaga negara dalam proses nya harus memiliki organisasi

negara yang dalam pelaksanaan nya di isi oleh orang-orang yang disebut dengan

pejabat. Lembaga Negara atau Organ Negara yang melaksanakan fungsi negara

secara langsung atau bertindak untuk dan atas nama negara, seperti Lembaga

Kepresidenan, DPR, dan Kekuasaan Kehakiman. Lembaga-lembaga yang

menjalankan fungsi ini disebut juga sebagai alat kelengkapan negara.

Selanjutnya ada lembaga yang disebut dengan lembaga administratif, yaitu

lembaga yang menjalankan fungsi administrasi negara dan tidak bertindak untuk

dan atas nama negara. Artinya, lembaga ini hanya menjalankan tugas

administratif yang tidak bersifat ketatnegaraan. Dan terakhir, Lembaga negara

penunjang yang berfungsi unutk menunjang fungsi alat kelengkapan negara, dan

lembaga ini sebut dengan auxiliary organ agency.

3. Teori Pemisahan Kekuasaan

Prinsip pemisahan kekuasaan dikembangkan oleh John Locke dan

Montesquieu. Konsep tersebut kemudian dikenal dengan istilah teori Trias

Politica. John Locke membagi kekuasan dalam tiga kelompok, yaitu:

1. Kekuasaan Legislatif, dengan tugas membuat undang-undang.

2. Kekuasaan Eksekutif, memiliki tugas untuk melaksanakan undang-

undang yang ada di dalamnya termasuk kekuasaan untuk mengadili.


3. Kekuasaan Federatif, tugasnya meliputi segala tindakan untuk menjaga

keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain seperti membuat

aliansi dan sebagainya (dewasa ini disebut dengan hubungan luar negeri).

Sementara itu Montesquieu dalam masalah pemisahan kekuasaan

membedakannya dalam tiga bagian yang berbeda dengan John Locke, yaitu:

1. Kekuasaan Legislatif, bertugas untuk membuat undang-undang

2. Kekuasaan Eksekutif, bertugas untuk menyelenggarakan undang-

undang. (mengutamakan tindakan di bidang politik luar negeri),

3. Kekuasaan yudikatif, bertugas untuk mengadili atas pelanggaran

undang-undang.12

Dari dua pendapat ini ada perbedaan pemikiran antara John Locke dengan

Montesquieu. John Locke memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam

kekuasaan eksekutif, sementara Montesquieu memandang kekuasaan pengadilan

(yudikatif) itu sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri. Menurut Montesquieu

dalam setiap pemerintahan tiga jenis kekuasaan itu mesti terpisah satu sama

lainnya, baik mengenai tugas (functie) maupun mengenai alat perlengkapan

(organ) yang melakukannya. Menurut ajaran ini tidak dibenarkan adanya campur

tangan atau pengaruh-mempengaruhi, antara yang satu dengan yang lainnya.

Oleh karena itu ajaran Montesquieu disebut pemisahan kekuasaan artinya ketiga

kekuasaan itu masing-masing harus terpisah baik lembaganya maupun orang

yang menanganinya.13

Adanya pemisahan kekuasaan dalam negara diatur dalam hukum dasar

dari suatu negara yaitu Undang-Undang Dasar atau Konstitusi. Konstitusi atau

12
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,(Jakarta: Gramedia, 2002), hal. 150.
13
Moh. Kusnadi dan Hamaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, 1983), hal. 141.
UUD merupakan dokumen negara yang memuat hal-hal pokok penyelenggaraan

negara. Moh. Mahfud MD berpendapat bahwa pada dasarnya konstitusi

mengandung halhal sebagai berikut ;

1. Public authority hanya dapat dilegitimasi menurut ketentuan konstitusi

2. Pelaksanaan kedaulatan rakyat (melalui perwakilan) harus dilakukan

dengan menggunakan prinsip universal and equal suffrage dan

pengangkatan eksekutif harus melalui pemilihan yang demokratis.

3. Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan serta pembatasan

wewenang.

4. Adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri yang dapat menegakkan

hukum dan keadilan baik terhadap rakyat maupun terhadap penguasa.

5. Adanya sistem kontrol terhadap militer dan kepolisian untuk

menegakkan hukum dan menghormati hak-hak rakyat.

6. Adanya jaminan perlindungan atas HAM.14

4. Teori Lembaga Perwakilan

Duduknya seseorang di lembaga perwakilan, baik itu karena

pengangkatan/penunjukkan maupun melalui pemilihan umum,

mengakibatkan timbulnya hubungan si wakil dengan yang diwakilnya.

Terbentuknya lembaga perwakilan juga karena adanya dua teori klasik

14
Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi Indonesia : Studi Tentang Interaksi Politik dan
Kehidupan Ketatanegaraan, (Jakarta: Rineka Cipta), hal. 421.
tentang hakekat hubungan wakil. dengan terwakili yang terkenal, yaitu teori

mandat dan teori kebebasan.15

a. Teori Mandat, wakil dilihat sebagai penerima mandat untuk

merealisasikan kekuasaan terwakili dalam proses kehidupan

politik. Bagi terwakili teori ini lebih mengutungkan karena wakil

dapat dikontrol terus menerus. Perbedaan pandangan antara wakil

dengan terwakili dapat mengakibatkan menurunnya reputasi

wakil.

b. Teori Kebebasan, wakil dapat bertindak tanpa tergantung atau

terikat secara ketat dari terwakili. Menurut teori ini wakil adalah

orang-orang terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran

hukum masyarakat yang diwakilinya, sehingga wakil dapat

bertindak atas nama mereka yang diwakilinya atau atas nama

rakyat;

c. Teori Organ, negara merupakan suatu organisme yang

mempunyai alat-alat perlengkapannya secara eksekutif, parlemen

dan mempunyai rakyat, semuanya mempunyai fungsi sendiri-

sendiri dan saling tergantung sama lain. Setelah rakyat memilih

lembaga perwakilan mereka tidak perlu lagi mencampuri

lembaga tersebut dan lembaga ini bebas berfungsi sesuai dengan

wewenang yang diberikan oleh Undang-undang Dasar.

d. Dalam teori sosiologi Dieker, menyatakan bahwa lembaga

perwakilan bukan merupakan bangunan politis tetapi merupakan

15
Dahlan Thaib, DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Edisi Kedua, (Yogyakarta:
Liberty, 2000), hal. 2.
bangunan masyarakat (sosial). Si pemilih akan memilih wakilnya

yang benar- benar ahli dalam bidang kenegaraan dan yang akan

benar-benar membela kepentingan si pemilih.

e. Dalam teori hukum obyektif dari Duguit, menurut teori ini dasar

hubungan antara rakyat dan parlemen adalah solidaritas. wakil

rakyat dapat melaksanakan tugas kenegaraannya hanya atas nama

rakyat sedangkan rakyat tidak akan dapat melaksanakan tugas-

tugas kenegaraannya tanpa mendukung wakilnya dalam

menentukan wewenang pemerintah, jadi ada pembagian kerja,

rakyat pasti akan memilih wakilnya dan parlemen pasti akan

menjalankan tugasnya.

Dapat dikatakan bahwa perwakilan adalah suatu konsep yang

menunjukkan adanya hubungan antara wakil dengan pihak yang diwakili

(terwakili), dalam hal mana wakil mempunyai sejumlah wewenang yang

diperoleh melalui kesepakatan dengan pihak yang diwakilinya. Dalam

pandangan Jimly Asshiddique, perbincangan teoritis mengenai struktur

organisasi parlemen ini biasanya dikenal adanya dua sistem yaitu sistem

unikameral dan bikameral, yang pertama terdiri atas satu kamar, sedangkan yang

kedua mempunyai dua kamar yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-

sendiri. Masing-masing sistem yang berlaku tersebut terdapat kekurangan dan

kelebihan tersendiri. Dalam pandangan Dahlan Tahlib keuntungan yang

diperoleh dari sistem legislatif unikameral adalah :

1. Kemungkinan untuk dapat cepat meloloskan Undang-undang (karena

hanya satu badan yang diperlukan untuk mengadopsi Rancangan


Undang-undang sehingga tidak perlu lagi menyesuaikan dengan usulan

yang berbeda-beda).

2. Tanggung jawab lebih besar (karena anggota legislatif tidak dapat

menyalahkan majelis lainnya apabila suatu Undang-undang tidak lolos

atau bila kepentingan warga negara terabaikan).

3. Lebih sedikit anggota terpilih sehingga lebih mudah bagi masyarakat

untuk memantau kepentingan mereka.

4. Biaya lebih rendah bagi pemerintah dan pembayar pajak.

Sistem unikameral terpusat pada satu badan legislatif tertinggi dalam

struktur negara. Isi aturan menganai fungsi dan tugas parlemen unicameral ini

beragam dan bervariasi dari satu negara ke negara lain, tetapi pada pokoknya

bahwa secara kelembagaan fungsi legislatif tertinggi diletakkan sebagai

tanggung jawab satu badan tertinggi yang dipilih oleh rakyat.

Sedangkan keuntungan yang diperoleh dalam menggunakan sistem

legislatif bikameral menurut Dahlat Thaib adalah :

1. Anggota Secara resmi mewakili beragam pemilih (misalnya negara

bagian, wilayah, etnik, atau golongan.

2. Memfasilitasi pendekatan yang bersifat musyawarah terhadap

penyusunan perundang-undangan.

3. Mencegah disyahkan perundang-undangan yang cacat atau ceroboh.

4. Pengawasan atau pengendalian yang lebih baik atas lembaga

eksekutif .

Sistem dua kamar yang dilengkapi dengan kewenangan yang sama-sama

kuat dan saling mengimabngi satu sama lain adalah ciri dari sistem Bikameral.
Untuk itu masing-masing kamar diusulkan dilengkapi dengan adanya hak veto.

Usulan semacam ini berkaitan erat dengan sifat kebijakan otonomi daerah yang

cenderung sangat luas dan hampir mendekati pengertian sistem federal. Hal ini

dianggap sesuai dengan kecenderungan umum dunia, dimana negar-negara

federal yang memiliki parlemen dua kamar selalu mengembangkan tradisi

‘strong bicameralism’ sedangkan di lingkungan negara-negara kesatuan

becameralisme yang dipraktekkan adalah ‘soft bicameralism’.

Sistem bikameral bukan hanya merujuk adanya dua dewan dalam suatu

negara, tetapi dapat pula dilihat dari proses pembuatan undang-undang yang

melalui dua dewan atau kamar, yaitu melalui Majelis Tinggi dan Majelis

Rendah, dengan adanya dua majelis akan sangat menguntungkan karena dapat

menjamin semua produk legislasi dan tindakan-tindakan pengawasan dapat

diperiksa secara ganda (double check).

5. Teori Peraturan Perundang-Undangan.

Teori tata urutan norma hukum adalah teori yang dikemukakan oleh Hans

Kelsen, dimana menurutnya bahwa suatu norma hukum itu valid karena dibuat

dengan cara yang ditentukan oleh suatu norma hukum yang lain, dan norma

hukum yang lain itu menjadi landasan validitas dari norma hukum yang disebut

pertama, dan menurutnya suatu tatanan hukum, terutama tatanan hukum yang

dipersonifikasikan dalam bentuk Negara bukanlah sistem norma yang satu dan

lain hanya dikoordinasikan, yang berdiri sejajar dan sederajat, melainkan suatu
tatanan urutan norma-norma dari tingkatantingkatan yang berbeda. Pembentukan

norma yang satu- yakni norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma yang

lebih tinggi lagi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma yang lebih tinggi

lagi, dan bahwa regressus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri

oleh suatu norma dasar tertinggi, yang menjadi dasar tertinggi dari validitas

keseluruhan tatanan hukum, membentuk suatu kesatuan tatanan hukum.16

Dengan demikian maka menurut Hans Kelsen dalam teorinya yang disebut

dengan “Stufenbau des Recht” atau hierarchi hukum, bahwa norma hukum itu

berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarchi atau tata susunan,

dimana sustu norma yang lebih rendah berlaku,bersumber, dan berdasar pada

norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan

berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada

suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut yaitu norma dasar

(Grundnorm).17

Dalam sebuah Negara Hukum, sistem hukumnya harus tersusun dalam

suatu tata norma hukum secara hierarchis dan tidak boleh saling bertentangan

baik secara vertical maupun horizontal. Tata urutan norma hukum di Indonesia

diatur dalam UU No.12 Tahun 2011. Dalam UU No.12 Tahun 2011 akan tampak

bahwa peraturan perundang-undangan di Indonesia terdiri dari:

1). Peraturan perundang-undangan yang berada didalam hierarki,

16
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, (Bandung: Nusa Media, 2006), hal.
179.
17
Maria Farida Indrati Soprapto, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan
Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hal. 25.
2). Peraturan perundang-undangan di luar hierarki.

Peraturan perundang-undangan yang berada di dalam hierarki adalah apa

yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011, sedangkan yang

diluar hierarki sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) UU No.12 Tahun

2011.

Peraturan perundang-undangan dalam hierarki ditentukan dalam Pasal 7

ayat (1) UU No.12 Tahun 2011, yang menyebutkan bahwa : (1) Jenis dan

hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi;dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Menurut Leon Fuller ada 8 kriteria hukum yang baik yaitu:

1. Hukum harus dituruti semua orang, termasuk oleh penguasa negara

2. Hukum harus dipublikasikan.

3. Hukum harus berlaku ke depan, bukan berlaku surut.

4. Kaidah hukum harus ditulis secara jelas, sehingga dapat diketahui dan

diterapkan secara benar.

5. Hukum harus menghindari diri dari kontradiksi-kontradiksi.


6. Hukum jangan mewajibkan sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi.

7. Hukum harus bersifat konstan sehingga ada kepastian hukum. Tetapi hukum

harus juga diubah jika situasi politik dan sosial telah berubah.

8. Tindakan para aparat pemerintah dan penegak hukum haruslah konsisten

dengan hukum yang berlaku.18

Dalam sistem presidensil, secara umum fungsi legislasi memiliki karakter

umum yakni sebagai berikut:

1. The legislature tends to have broad power to amend any legislation.

Lack of sources, and other factor may act to blunt this power.

2. The potential for legislative assertiveness is greater in presidential

sistem, but the actual realization (and staffing up for assertiveness)

depends on the presence of other condition.

3. Legislature in presidential system are more likely to have specialized

and permanent standing committees and subcommittees with a number

of professional staff to half draft, review and amend legislation.

4. Via the committee system, the legislature has exstensif power to call

expert witnesses, members of cabinet, presidential advisors, etc. for

public or private hearing before the legislature.

5. President can veto legislation, which can only be overridden by a 2/3

vote in the legislature.19

18
Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun dan Merancang
Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan Praktis Disertai Manual) Konsepsi Teoritis Menuju
Artikulasi Empiris, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 34.
19
Saldi Isra., Op.Cit,. hal. 82-83.
Dalam karakter umum di atas, dijelaskan bahwa kekuasaan legislatif

memiliki peranan yang dominan dalam menjalankan fungsi legislasi ketimbang

eksekutif. Wewenang yang dominan tersebut dimiliki mulai dari proses

perencanaan sampai penetapan suatu undang-undang. Kekuasaan legislatif dapat

menentukan sendiri suatu undang-undang yang akan mengikat rakyat. Namun

dalam praktek, karakter seperti itu, tidak mutlak dapat dijalankan sepenuhnya

karena disebabkan oleh beberapa faktor seperti kurangnya sumber daya, pengaruh

sistem kepartaian dan faktor-faktor lainnya. Sehingga sebagai karakter khas dalam

sistem presidensil, Presiden memiliki hak veto yaitu berupa hak untuk menolak

suatu undang-undang yang telah ditetapkan oleh kekuasaan eksekutif

Peraturan perundang-undangan yang baik merupakan pondasi Negara

Hukum yang akan menjamin hak-hak warga negra, membatasi kekuasaan

penguasa, menjamin kepastian dan keadilan hukum untuk mewujudkan

kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Di dalam merancang peraturan

perundang-undangan yang baik dapat menggunakan metode ROCIPPI (Rule,

Oportunity, Capacity, Comication, Interest, Proces, Ideologi),yang merupakan

pemecahan masalah dalam merancang peraturan perundang-undangan yang baik.

Fungsi ROCIPPI yakni dari persepektif normative, berfungsi sebagai justifikasi

teoritik konseptual yakni justifikasi konstitusional, dan justifikasi yuridis dengan

pendekatan deduktif. Dalam justifikasi teoritik konseptual artinya sebelum

perancangan peraturan perundang-undangan dilakukan terlebih dahulu

penelusuran teori-teori, asas-asas hukum umum yang digunankan sebagai dasar

pembenar. Justifikasi konstutusional yuridis dalam kaitannya dengan fungsi

ROCIPPI yaitu untuk menghindari kemungkinan terjadinya konflik norma hukum


antara peraturan perundang-undangan yang dibuat dengan peraturan diatasnya,

maupun antara peraturan perundangundangan yang satu dengan yang lainnya.

Rule (Peraturan), produk hukum yang dibentuk supaya jelas mengenai

dasar hukum pembentukan, kaitannya dengan produk hukum yang lain,

kewenangan membentuk dan melaksanakan, hak dan kewajiban, prosedur,

pengawasan dan koordinasi serta sanksinya. Produk hukum supaya

diformulasikan dengan kata-kata yang jelas – tidak rancu, tidak menimbulkan

perilaku bermasalah. Opportunity (kesempatan), produk hukum yasng dibentuk

memungkinkan subyek norma berperilaku sebagaimana diperintahkan oleh

produk hukum tersebut. Sebaliknya, jangan sampai membuka peluang

pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang. Capacity (kemampuan),

produk hukum yang dibentuk harus mampu mengidentifikasi perilaku bermasalah

dan menangani penyebab-penyebab perilaku bermasalah tersebut sehingga bisa

mengendalikan perilaku bermasalah menjadi perilaku taat hukum. Produk hukum

yang dibentuk jangan sampai memberikan celah timbulnya korupsi, kolusi, dan

nepotisme.

Communication (komunikasi), produk hukum yang dibentuk harus

dikomunikasikan kepada pelaku peran (rule accupants), sebaba tidak ada orang

yang secara sadar mematuhi suatu produk hukum kecuali bila dia mengetahuinya.

Ketidaktahuan seseorang terhadap suatu produk hukum dapat menjelaskan adanya

perilaku bermaslah. Interest (kepentingan), produk hukum yang dibentuk harus

akomodatif – mengacu pada harapan atau pandangan pelaku peran tentang akibat

dan manfaat bagi mereka. Produk hukum memuat ketentuan sanksi dan

penghargaan sebagai motivator bagi pelaku peran untuk berlaku sesuai dengan
ketentuan-ketentuan produk hukum. Process (proses), produk hukum yang

dibentuk harus memuat prosedur yang jelas mengenai bagaimana pelaku peran

memutuskan untuk mematuhi atau tidak suatu produk hukum. Ideology (ideologi),

merupakan nilai, sikap, kepentingan yang harus diakomodasi dalam produk

hukum sebagai motivasi untuk berperilaku sesuai dengan produk hukum yang

ada.
BAB II

PEMBAHASAN

a) Dasar Hukum Pemebentukan Lembaga Negara

Dasar hukum yang menjadi fondasi dasar dalam membentuk suatu

lembaga yang mengelola sebuah negara adalah konstitusi. Konstitusi indonesia

yaitu Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945). Dalam UUD 1945 tersebut

mengatur peembentukan lembaga-lembaga negara. Menurut Abdul Rasyid,

setidaknya ada 6 ( enam ) alasan untuk membedakan lembaga negara yaitu:

a) Ada “lembaga UUD 1945” juga sekaligus menjadi lembaga

negara, misalnya Presiden, DPR, DPD, dan MK, sedangkan

pemerintah daerah bukan “lembaga negara.

b) Ada lembaga UUD yang kewenangannya diberikan langsung oleh

UUD 1945, tetapi ada juga lembaga UUD yang kewenangannya

akan diatur lebih lanjut dalam bentuk undang-undang, misalnya

pemerintah daerah yang kewenangannya diberikan melalui

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004.

c) Ada “lembaga UUD 1945” yang kewenangannya diberikan oleh

UUD 1945, tetapi kewenangannya tersebut tidak bisa diuji oleh

MK. Misalnya kewenangan MK itu sendiri.


d) Ada “lembaga negara” yang kewenagannya diberikan oleh UUD

1945, tetapi tidak dapat diuji kewenangannya oleh MK yaitu MA.

e) Ada Lembaga yang dibentuk oleh UUD 1945, tetapi bukan

termasuk lembaga UUD 1945 dan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, misalnya KY

f) Ada lembaga yang dibentuk oleh UUD 1945, tetapi bukan

termasuk “lembaga UUD 1945” dan lembaga negara yang

kewenangannya diatur dalam bentuk undang-undang, misalnya

Bank Sentral ( Pasal 23D ), KPU ( Pasal 22E ayat (5) ), TNI dan

POLRI ( Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002), dan kejaksaan

(Undang-Undang Nomor 5 tahun 1991.20

Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR adalah lembaga pewakilan rakyat

yang berperan sebagai lembaga legislatif dalam sistem yang berlaku di

Indonesia, hal itu diatur melalui keberadan, wewenang, dan fungsinya yang

tertuang di dalam Bab VII Pasal 19-Pasal 22b UUD 1945.

b) Kedudukan dan Kewenangan DPR dengan Lembaga Negara Tinggi

Lainnya

Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “MPR terdiri atas anggota DPR

dan anggota DPD yang dipilih meIaui pemilu dan diatur Iebih lanjut dengan

20
Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implementasinya Dalam Sistem
Ketata Negaraan Republik Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 414.
undang-undang”. Hubungan dalam kewenangan dari legislasi DPR bekerjasama

dengan Pemerintah dalam membuat undang-undang. Usulan Presiden dalam hal

membuat undang-undang harus mendapat persetujuan dari DPR yang untuk

selanjutnya usulan tersebut dibahas dalam rapat bersama antara DPR dengan

Pemerintah dan disetujui bersama.

Dalam UUD 1945 kedudukan DPR dengan lembaga-lembaga negara

lainnya seperti MPR, Presiden, MA, MK, BPK, dan KY adalah lembaga tinggi

negara, lembaga tinggi negara dihapuskan dalam UUD 1945 amandemen ke-4.

c) Pengisian dan Pemberhentian Anggota DPR

Anggota DPR terpilih melalui sebuah pemilihan umum hal tersebut diatur

di dalam Pasal 19 ayat (1) UUD 1945, dalam hal ini anggota DPR adalah

perwakilan dari rakyat yang memberikan suaranya dalam pemilu untuk dapat

menjadi perwakilannya di legislatif sebagai control dari eksekutif dengan

memiliki peran sebagai pengawas sehingga akan tercipta ‘check and balances’

antara eksekutif dan legislatif. Kedaulatan berada di tangan rakyat, hal ini telah

diatur dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Melalui pemilihan umum, rakyat

mempercayakan kedaulatannya untuk di wakili oleh DPR. Disamping melalui

pemilihan, anggota DPR dalam masa jabatannya dapat diganti melalui

Pergantian Antar Waktu (PAW), dengan ketentuan PAW dengan alasan

meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan sebagaimana diatur di

dalam Peraturan KPU Nonor 6 tahun 2017 tentang Pergantian Antarwaktu

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan


Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota. Anggota DPR yang di PAW digantikan dengan oleh calon

pengganti antarwaktu yang diambil dari Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota

DPR dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama yang

menduduki peringkat suara terbanyak berikutnya. Apabila masa jabatan anggota

hanya tersisa 6 bulan lagi maka keanggotaan seorang menjadi anggota DPR

tidak dapat dilakukan PAW.

Setiap anggota DPR yang terpilih pada satu pemilu akan menjabat selama

5 tahun. Apabila dalam pemilu selanjutnya anggota DPR yang mencalonkan diri

kembali tidak terpilih maka secara otomatis pada saat masa jabatannya berakhir

maka berakhir pula keanggotan yang bersangkutan dalam keanggotaan DPR.

d) Tugas Dan Fungsi DPR

Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 mengatur tugas DPR yaitu memiliki fungsi

legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Selain tugas dan fungsi tersebut,

dalam melaksanakan fungsinya DPR diberikan hak yang diatur di dalam Pasal 20A

ayat (2) dan ayat (3), yaitu hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan

pendapat, selanjutnya anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, hak

menyampaikan usul dan pendapat, dan hak imunitas.

Wewenang untuk DPR menjalankan fungsi legislasi diberikan ketegasan

melalui Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Wewenang legislasi tersebut juga melalui

persetujuan bersama dari Presiden. Selanjutnya fungsi anggaran dan fungsi

pengawasan juga secara langsung DPR bersinggungan dengan pemerintah.


Pemerintah sebagai pelaksana eksekutif harus di awasi dan dicontrol oleh DPR

selaku legislatif, hal itu sebagaimana fungsi pengawasan yang di amanatkan UUD

1945 kepada DPR.

e) Fungsi Legislasi dan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan DPR

Salah satu fungsi dan tugas dari lembaga perwakilan rakyat (DPR) adalah

fungsi legislasi atau pengaturan. Fungsi pengaturan ( regelende functie) ini

berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat dan

membatasi. Sehingga, kewenangan ini utamanya hanya dapat dilakukan

sepanjang rakyat sendiri menyetujui untuk diikat dengan norma hukum yang

dimaksud.selain itu, fungsi legislatif juga menyangkut empat bentuk kegiatan

sebagai berikut :

1. Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation).

2. Pembahasan rancangan undang-undang (law making process).

3. Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law

enactment approval).

4. Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau

persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang

mengikat lainnya (binding decision making on international

agreement and treaties or other legal binding documents).21

21
Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2005) hal. 205.
Di Indonesia undang-undang dibuat atas kerjasama DPR dan Presiden.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UUD 1945 ayat (1), bahwa DPR memegang

kekuasaan membentuk undang-undang. Sedangkan pada ayat (2) dinyatakan

bahwa, setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan

Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Hak-hak DPR

yang menyertai fungsi ini adalah hak inisiatif yang merupakan hak dari anggota-

anggota DPR. Hak inisiatif adalah hak untuk memprakarsai pembuatan undang-

undang dengan mengusulkan rancangan undangundang. Dalam UUD NRI

Tahun 1945 hak ini terdapat dalam Pasal 21 ayat (1) yang menyatakan bahwa,

anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-

undang. Dalam Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,

DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 42 Tahun 2014

(selanjutnya disebut UU MD3), dinyatakan bahwa DPR berwenang membentuk

Undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan

bersama (Pasal 71 huruf a). DPR juga berwenang memberikan persetujuan atau

tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti

undangundang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang.

(Pasal 71 huruf b).

Peraturan perundang-undangan adalah suatu keputusan dari suatu lembaga

negara atau lembaga pemerintahan yang dibentuk berdasarkan atribusi dan

delegasi. Atribusi kewenangan dalam pembentukan perundang-undangan, yang

diberikan oleh Undang-Undang Dasar dan/atau undang-undang kepada lembaga

negara dalam hal ini presiden, akan melekat secara terus-menerus. Dengan

kewenangan ini, presiden dapat berprakarsa secara mandiri untuk mengajukan


pembentukan peraturan perundangundangan setiap waktu diperlukan, sesuai

dengan batas-batas kewenangan yang diberikan UUD dan/atauUU. Hal ini

sebagaimana dijelaskan, dengan mengacu pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD

1945.22 Proses pembentukan undang-undang yang baik (law making process)

ada lima tahapan penting yang harus dijadikan patokan dalam menghasilkan

Undang-undang yang baik, yaitu:

1. Asal Rancangan Undang-Undang (a bill’s origins).

2. Penelitian dan Penyusunan Naskah Akademik (the concept paper).

3. Prioritas Pembahasan Undang-Undang (Prioritizatio).

4. Penyusunan Draft Undang-Undang (drafting the bill).

5. Akses Publik Dalam Proses Undang-Undang.

Fungsi legislasi dalam sistem presidensil didasarkan pada adanya

pemisahan kekuasaan yang tegas antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan

legislatif. Pemisahan tersebut merupakan karakter khas dari sistem presidensil.

Dengan demikian, dalam sistem presidensil badan legislatif menentukan

agendanya sendiri, membahas dan menyetujui rancangan undang-undang pun

sendiri pula. Artinya bahwa, fungsi legislasi dalam sistem presidensil merupakan

wewenang eksklusif dari badan legislatif.Namun pemisahan kekuasaan tersebut

pada hakikatnya tidak serta merta dijalankan secara mutlak. Namun dalam

sistem negara modern, ada hubungan fungsional antara eksekutif dan legislatif.

22
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik (Gagasan
Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 41-43.
Bahkan dalam fungsi legislasi di Indonesia dilakukan secara bersama-sama

antara eksekutif dan legislatif.

Dalam sistem presidensil, secara umum fungsi legislasi memiliki karakter

umum yakni sebagai berikut :

1. The legislature tends to have broad power to amend any legislation.

Lack of sources, and other factor may act to blunt this power.

2. The potential for legislative assertiveness is greater in presidential

sistem, but the actual realization (and staffing up for assertiveness)

depends on the presence of other condition

3. Legislature in presidential system are more likely to have specialized

and permanent standing committees and subcommittees with a number

of professional staff to half draft, review and amend legislation.

4. Via the committee system, the legislature has exstensif power to call

expert witnesses, members of cabinet, presidential advisors, etc. for

public or private hearing before the legislature.

5. President can veto legislation, which can only be overridden by a 2/3

vote in the legislature.23

Dalam karakter umum di atas, dijelaskan bahwa kekuasaan legislatif

memiliki peranan yang dominan dalam menjalankan fungsi legislasi ketimbang

eksekutif. Wewenang yang dominan tersebut dimiliki mulai dari proses

perencanaan sampai penetapan suatu undang-undang. Kekuasaan legislatif dapat

menentukan sendiri suatu undang-undang yang akan mengikat rakyat. Namun

23
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi; Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam
Sistem Presidensial Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 235.
dalam praktek, karakter seperti itu, tidak mutlak dapat dijalankan sepenuhnya

karena disebabkan oleh beberapa faktor seperti kurangnya sumber daya,

pengaruh sistem kepartaian dan faktor-faktor lainnya.

BAB III

PERBANDINGAN

A. Legislasi di Amerika Serikat

Di Indonesia fungsi lesilasi berada di tangan DPR tetapi pembahasan

untuk menjadi unndang-undang dibahas antara DPR bersama dengan Presiden

sedangkan DPD dapat ikut membahas hal-hal yang telah ditentukan oleh

Undang-Undang Dasar saja. Berbeda dengan Amerika Serikat yang sama-sama

memiliki badan legislasi seperti Indonesia, Amerika Serikat mempunyai dua

badan legislasi (senate dan House of Representative) akan tetapi terdapat

perbedaan antara legislasi Indonesia dan Amerika Serikat. Amerika Serikat

mempunyai ketentuan lain dalam hal membuat undang-undang, sebagaimana

telah diatur dalam Article 1 section 7 The Constitution of United States yang

menyatakan : Section 7 – Revenue Bills, Legislative Process, Presidential Veto

All Bills for raising Revenue shall originate in the House of Representatives; but

the Senate may propose or concur with Amendments as on other Bills. Yang

berarti semua Rancangan UndangUndang untuk meningkatkan Pendapatan akan

berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat, akan tetapi Senat boleh mengusulan atau
menyetujui perubahan-perubahan, seperti halnya dengan Rancangan Undang-

Undang yang lain.

Every Bill which shall have passed the House of Representatives and the

Senate, shall, before it become a Law, be presented to the President of the

United States; If he approve he shall sign it, but if not he shall return it, with his

Objections to that House in which it shall have originated, who shall enter the

Objections at large on their Journal, and proceed to reconsider it. If after such

Reconsideration two thirds of that House shall agree to pass the Bill, it shall be

sent, together with the Objections, to the other House, by which it shall likewise

be reconsidered, and if approved by two thirds of that House, it shall become a

Law. But in all such Cases the Votes of both Houses shall be determined by yeas

and Nays, and the Names of the Persons voting for and against the Bill shall be

entered on the Journal of each House respectively. If any Bill shall not be

returned by the President within ten Days (Sundays excepted) after it shall have

been presented to him, the Same shall be a Law, in like Manner as if he had

signed it, unless the Congress by their Adjournment prevent its Return, in which

Case it shall not be a Law.

Setiap Rancangan Undang-Undang yang harus melalui Dewan Perwakilan

Rakyat dan senat, sebelum menjadi Undang-Undang akan disampaikan kepada

Presiden Amerika Serikat; jika ia setuju, ia akan menandatanganinya, tetapi jika

tidak, ia akan mengembalikannya, disertai dengan Keberatan-Keberatannya, ke

Kamar asal rancangan itu, yang akan mencantumkan keberatan-keberatan itu

seluruhnya ke dalam catatannya, dan kemudian mempertimbangkannya. Jika

setelah dipertimbangkan kembali dua pertiga anggota Kamar itu setuju untuk
meloloskan Rancangan tersebut, rancangan itu akan disampaikan bersama-sama

dengan Keberatan-Keberatannya, ke Kamar lainnya, yang juga akan

mempertimbangkan kembali, dan bilamana disetujui oleh dua pertiga anggota

Kamar ini, rancangan tersebut akan menjadi Undang-Undang.

Akan tetapi dalam semua Kasus demikian hasil suara akan ditentukan

dengan kata-kata ya dan tidak, dan Nama orang-orang yang memberi suara

setuju dan suara menolak rancangan undang-undang tersebut akan dimasukkan

ke dalam catatan masing-masing Kamar. Jika suatu Rancangan Undang-Undang

tidak dikembalikan oleh Presiden dalam waktu sepuluh Hari (kecuali Hari

Minggu) setelah disampaikan kepadanya, rancangan itu akan menjadi Undang-

Undang seperti halnya bila ia menandatanganinya, kecuali jika Kongres dengan

penundaan sidangnya mencegah pengembaliannya, dalam hal mana rancangan

itu tidak akan menjadi Undang-Undang.

Every Order, Resolution, or Vote to which the Concurrence of the Senate

and House of Representatives may be necessary (except on a question of

Adjournment) shall be presented to the President of the United States; and

before the Same shall take Effect, shall be approved by him, or being

disapproved by him, shall be repassed by two thirds of the Senate and House of

Representatives, according to the Rules and Limitations prescribed in the Case

of a Bill. (Setiap Perintah, Resolusi atau Suara yang mungkin memerlukan

persetujuan Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat (kecuali mengenai penundaan

sidang) harus disampaikan kepada Presiden Amerika Serikat; dan sebelum bisa

berlaku, Tindakan tersebut harus disetujuinya, atau bila tidak disetujuinya,

haruslah diloloskan lagi oleh dua pertiga anggota Senat dan Dewan Perwakilan
Rakyat, sesuai dengan Aturan-Aturan dan Pembatasan-Pembatasan yang

ditetapkan dalam hal Rancangan Undang-Undang.)

Berdasarkan ketentuan tersebut dijelaskan bahwa baik Senate maupun

House of Representative Amerika Serikat mempunyai kedudukan yang sama

dalam hal mengajukan rancangan undang-undang. Presiden sebagai lembaga

eksekutif hanya berhak untuk menyetujui atau menolak terhadap usulan

rancangan undang-undang tersebut. presiden Amerika Serikat tidak berhak untuk

mengajukan rancangan undang-undang seperti halnya negara Indonesia.

Di Amerika Serikat, Senate selaku perwakilan daerah Amerika serikat

mempunyai kedudukan yang sama dengan House of Representative Amerika

selaku Perwakilan Rakyat dalam hal mengajukan Rancangan undang-undang.

Artinya senate Amerika Serikat mempunyai ketentuan yang berbeda dengan

Indonesia dalam hal mengajukan rancangan Undang-undang yaitu tidak ada

keadaan tertentu yang disyaratkan dalam Konstitusi mereka. Presiden selaku

Lembaga Eksekutif Amerika Serikat dalam hal inisiatif untuk mengajukan

rancangan undang-undang tidak diberikan hak untuk itu. akan tetapi, Presiden

tetap dapat mengusulkan naskah rancangan undang-undang kepada Senate atau

House of Representativc, namun setelah itu naskah tersebut akan menjadi milik

Senate atau House of Representative

Perencanaan undang-undang di Amerika Serikat berbeda dengan

Indonesia, ide pembentukan undang undang berasal dari sebuah “idea” tau

sebuah gagasan. Dimana gagasan ini bisa berasal dari Constituent, bisa juga

berasal dari Partai politik , dan bisa juga dari Pejabat terpilih (Elected Officials),

atau bisa juga datang dari kepentingan kepentingan dari kelompok tertentu
(Interest Groups). Presiden juga berhak untuk mengusulkan sebuah rancangan

undang-undang. Kemudian gagasan atau ide ini akan dilanjutkan oleh House of

Representative atau dilanjutkan oleh Senate tergantung gagasan tersebut

disampaikan kepada siapa, kemudian gagasan –gagasan tersebut dilanjutkan

sehingga terbentuknya sebuah rancangan undang-undang atau “bill”.

Pembahasan RUU Amerika Serikat mempunyai cara yang berbeda dengan

Pembahasan RUU di Indonesia. Anggota Senate maupun House of

Representative dapat menyebarakan rancangan undang-undang atau meminta

kepada anggota yang lain melalui surat untuk rekan yang terhormat (Dear

Colleague Letters) untuk menandatangani rancangan undang-undang untuk

menunjukkan dukungan mereka yang solid. RUU tersebut lalu akan

direferensikan oleh Pimpinan House of Representative atau pimpinan Senate atas

saran dari anggota parlemen non partisan, kepada komisi komisi yang

mempunyai yurisdiksi atas RUU tersebut. di Amerika biasanya RUU yang

diajukan berada di bawah satu komisi, apabila ada lebih dari komisi yang

bersinggungan, maka komisi yang terkait hanya dapat bekerja hanya pada

kewenangan yang ada pada komisinya saja. Kemudian dari komisi-komisi

tersebut akan ditunjuk satu sebagai pimpinan utama/panitia utama yang akan

memimpin apabila terjadi hal-hal yang mungkin terjadi.

Pembahasan RUU di Amerika baik di Senate maupun di House of

Representative mempunyai Prosedur yang sama. Setelah rancangan undang-

undang direferensikan oleh pimpinan untuk dilakukan pembahasan pertama ke

dalam komisi. Pembahasan selanjutnya setelah disetujui dalam rapat komisi

adalah Rapat Paripurna anggota (House Floor or Senate Floor). Dalam rapat ini
semua anggota dalam Kamar (House of Representative) apabila dikumpulkan

untuk melakukan pembahasan terhadap RUU yang diajukan. Prosedur

selanjutnya yaitu pembahasan bersama yang dilakukan dari pihak House dan

Senate yang dinamakan Joint Commite atau Joint Conference. Dalam

pembahasan ini akan ada perwakilan dari Senate dan akan ada perwakilan dari

House untuk melakukan pembahasan ini. Setelah pembahasan di Joint Commite

maka setelah itu dikembalikan lagi ke floor kamar yang mengajukan RUU untuk

dibahas kembali dalam rapat floor. Pembahasan ini dilakukan untuk membahas

kembali terhadap ketentuan-ketentuan yang disepakati dalam pembahasan di

paripurna tersebut apakah telah dirubah dalam join commite atau apakah tidak

sesuai dengan yang mereka sepakati dalam pembahasan sebelumnya.


BAB IV

ANALISIS TEORI DAN PERBANDINGAN

A. Analisis Teori Dengan Fungsi DPR Dalam Legislasi dan Pemebentukan

Peraturan Perundang-Undangan.

Di Indonesia prinsip pembentukan undang-undang diatur dalam pasal 20

ayat (1) dan (2) UUD RI 1945, yaitu pemegang kekuasaan membentuk undang-

undang adalah DPR, dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR

dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Kemudian teknis

pembentukannnya diatur dalam undang-undang. Usaha pengaturan mengenai

pembentukan perundang-undangan di Indonesian telah dilakukan sejak lama,

pengaturan pembentukan undang-undang diatur dalam berbagai peraturan

perundang-undangan baik yang secara khusus mengatur pembentukan undang-

undang maupun secara tidak langsung yaitu undang-undang tentang susunan

kedudukan lembaga legislasi. Peraturan perundang-undangan tersebut antara

lain:

1. Undang-undang Nomor 1 tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk

Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.

2. Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum

DPR-GR mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata

urutan peraturan perundangan Republik Indonesia.

3. Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, tentang Sumber hukum dan

tata urutan peraturan perundang-undangan.


4. Undang-undang Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan

Kedudukan Majelis Permusyarawatan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah.

5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.

6. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

7. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (menggantikan Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2004).

Sebagai penyempurnaan terhadap Undang-undang No.10 Tahun 2004,

Undang-Undang No.12 Tahun 2011 memuat materi muatan baru yang

ditambahkan, yaitu antara lain:

1. Penambahan ketetapan MPR sebagai ssalah satu jenis Peraturan

Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Perluasan cakupan perencanaan peraturan perundang-undangan yang

tidak hanya untuk prolegnas dan Prolegda melainkan juga

perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan

Perundang-undangan lainnya.

3. Pengaturan mekanisme pembahasan RUU tentang pencabutan

peraturan pemerintah pengganti undang-undang.


4. Pengatur Naskah Akademik (NA) sebagai suatu persyaratan dalam

penyusunan RUU.

5. Pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-

undangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan

Peraturan Perundang-undang.

6. Penambahan teknik penyusunan NA dalam lampiran I Undang-

undang ini.

Tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan

peraturan perundang-undangan yang, mencakup tahapan perencanaan,

penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundungan.

Dari politik hukum legilasi tersebut, maka dari segi penyiapan materi,

tahapan perencanaan, penyusunan dan pembahasan merupakan tahapan yang

menentukan dalam penentuan materi. Penentuan materi legislasi juga akan

membicarakan bagaimana politik hukum dalam ranah perundang-undangan.

Untuk itu konteks dimensi legislasi harus dimasukan dalam ketiga tahapan

tersebut. Dari ketiga tahapan tersebut maka beberapa kegiatan krusial yang

menentukan kualitas, legislasi adalah Kualitas Prolegnas, Kualitas NA, Kualitas

pembahasan RUU dan penulis tambahkan juga mengenai evaluasi legislasi.

a) Kualitas Tahapan Prolegnas

Pada tahapan perencanaan hukum, Prolegnas saat ini masih merupakan

daftar permintaan permintaan dari kemetrian terkait, implikasinya adalah


banyaknya RUU dalam Prolegnas. Apabila separuh dari 46 Kementrian yang

ada mengajukan permintaan RUU, maka jumlah RUU sudah mencapai 23.

Prolegnas yang terjadi saat ini belum mengatur dari segi kualitas, dimana

sangat memungkinkan terjadi peraturan perundang-undangan yang

berlebihan dan tumpang tindih, walaupun sebenarnya telah ada mekanisme

harmonisasi hukum dalam tahapan pengajuan RUU oleh kementrian

tersebut.

Prolegnas adalah sebuah manajemen perencanaan, artinya ada arah yang

ingin dituju dalam membentuk regulasi, ketika metode yang digunakan

adalah hanya menerima dan menyeleksi regulasi yang di inginkan oleh

kementrian dan lembaga (KL), maka mengarahkan kebutuhan legislasi

menjadi tidak terarah, apalagi dengan. Minimnya kemampuan koordinasi

dan perancangan dalam pemerintah, sehingga konsep prolegnas hendaknya

diubah dari konsep yang hanya menerimna dan mengevaluasi syarat

administratif pengajuan RUU, hendaknya diubah juga sebagai kegiatan yang

dapat mengarahkan arah legilasi yang sesuai dengan Pancasila, UUD RI

1945, dan RPJMN.

Sehingga daftar regulasi yang dibutuhkan, dimulai dari tahapan yang

sudah dikaji dan terarah, begitupun lembaga-lembaga yang terkait yang

akanb membahasnya, bukan lagi hanya satu KL tertentu. Begitupun apabila

terkait dengan beberapa kementrian. Hal ini penting untuk mencegah

beberapa perundang-undangan yang tidak sinkron.

b) Kualitas Penelitian dan Naskah Akademik


Pada tahapan penyusunan, terdapat dua tahapan penting yang harus

dilakukan, yaitu tahapan penelitian dan tahapan Naskah Akademik (NA),

namun dalam UU No.12 Tahun 2011 hanya mengatur mengenai NA,

sedangkan penelitian tidak dibahas, sehingga terlihat bahwa dalam undang-

undang tersebut belum menempatkan peran strategis dari penelitian. NA

adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian

lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan

secar ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu RUU.

Dari pengertian NA tersebutm permasalahan yang mengemuka adalah

bagimana jika dalam hasil klajian tersebut ternyata tidak merekomendasikan

dibentuknya undang-undang, atau merekomendasikan terbentuknya

peraturan pemerintah atau bentuk peraturan perundang-undangan lainnya,

sedangkan tahapan NA merupakan tahapan rasionalisasi norma (rational

rules) dan merupakan rangkaian dalan penmbentukan undang-undang.

Tahapan penelitian sebaiknya dijadikan instrumen awal sebelum tahapan

NA, jadi terdapat dua kegiatan yang berbeda dengan tujuan yang berbeda

pula, yaitu :

1) Penelitian ditujukan untuk menggali masalah dan merekomendasikan

arah pengaturan baru serta bentuk pengaturannya baik undang-

undang ataupun peraturan perundang-undangan lainnya, atau

penelitian dapat merekomendasikan penghapusan peraturan yang ada,

dan atau pengharmonisasian peraturan yang ada, sedangkan NA

diarahkan untuk menindaklanjuti saran penelitian yang


merekomendasikan bentuk aturan yang ada serta bentuk penormaan

aturan tersebut.

2) Penelitian dilakukan sebelum terbentuknya NA, sehingga kedua

kegiatan ini adalah rangkaian yang saling terkait.

3) NA juga harus merasionalisasikan dan merumuskan beberapa bentuk

aturan pendukung yang harus dibuat untuk mendukung aturan

tersebut, khususnya melibatkan siapa saja yang akan dikaitkan

dengan pembentukan aturan tersebut, sehingga kebutuhan aturan

tindak lanjut dari undang-undang tersebut sudah diketahui dan

dipersiapkan.

Oleh karena tahapan penelitian dan NA merupakan tahapan pembedahan

permasalahan dan mencari solusi dalam bidang hukum serta metode dalam

membuat aturan yang lebih rasional, maka aspek multi approach ini sesuai

dengan pandangan beberapa pakar yang tersebut di atas dan hal ini juga

berarti harus menggunakan banyak bidang ilmu dan juga kementrian terkait

yang berbeda, sehingga baik pada tahapan penelitian dan tahapan

pembentukan NA bukan lagi hanya dipandang dalam bidang tertentu tetapi

dari berbagai bidang. Revitalisasi ini diarahkan untuk mengantisipasi

problem legislasi selama ini, baik tumpang tindih kewenangan,

permasalahan ketidak pastian hukum dalam pengaturan dan beberapa

masalah lainnya. Khususnya untuk memberikan alternatif kebijakan beserta

implikasinya pada penentu kebijakan, dalam hal legislasi ini adalah DPR

dan Pemerintah.
Untuk itu NA harus beranggotakan pakar akademisi dan praktisi yang

berbeda (termasuk LSM), juga terkait dengan beberapa kementrian dan

lembaga yang terkait. Proses akademik hendaknya memberikan penjelasan

yang luas baik arah kebijakan yang mungkin tidak direkomendasikan

maupun yang direkomendasikan pada pembentuk substansi aturan, hingga

pada perbandingan pilihan kebijakan di negara-negara lain beserta

implikasinya, untuk itu kepentingan anggota DPR untuk studi banding dapat

diganti dengan kebijakan pengkajian di negara-negara lain pada suatu NA.

c) Kualitas Pembahasan RUU

Pada tahapan pembahasan, yaitu pada tahapan pembahasan DPR dan

pemerintah, maka kegiatan yang menjadi penting adalah pada saat

perdebatan dan penentuan pilihan dalam merumuskan kebijakan. Kualitas

proses pemben tukan kebijakan khususnya dalam menentukan pilihan

rasional terhadap substansi perundang-undangan tertentu, dimulai dengan

mengundang para pakar dan praktisi serta kelompok kepentingan yang

terkait dengan RUU yang akan dibahas, hal ini mungkin sudah dilakukan,

tetapi terhadap eksplorasi dan publikasi terhadap isu tertenu belum

dilakukan, alat pendukung tersebut seharusnya dipublikasikan, seperti

rekaman proses persidangan yang dapat di akses di internet.

Pembahasan yang dapat dilihat langsung ataupun publikasi RUU yang

krusial beserta pasal-pasalnya hingga saat ini belum maksimal dilakukan.

Transparansi dan akuntabilitas ini dapat mendorong pilihan materi kebijakan

akan lebih rasional dibandingkan transaksi politik.


B. Perbandingan Proses Legislasi dan Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan Indonesia dengan Amerika Serikat.

Kongres Amerika Serikat adalah cabang legislatif dari pemerintahan

federal Amerika Serikat. Sistem yang dianut adalah sistem dua kamar atau

bikameral, terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat. Dewan

Perwakilan terdiri dari 435 anggota, masing-masing mewakili sebuah distrik

dan bertugas selama dua tahun. Jumlah kursinya dibagi berdasarkan jumlah

penduduk tiap negara bagian; sedangkan dalam Senat, setiap negara bagian

memiliki dua Senator, tidak memandang populasi. Ada 100 orang senator,

yang menjabat selama enam tahun. Anggota DPR dan senator, dipilih secara

langsung oleh masyarakat, tetapi di beberapa negara bagian gubernur dapat

memilih pengganti sementara ketika sebuah kursi Senat kosong.

House of Representative memiliki kewenangan yang sama yaitu

merancang peraturan perundang-undangan. Namun DPR dapat

mengundangkan dan memutuskan rancangan tersebut menjadi undang-

undang, sedangkan House of Representative tidak memiliki kewenangan

untuk mengundangkan. House of Representative hanya dapat merancang

RUU kemudian diajukan pada Senate.

DPR RI memiliki beberapa kewenangan yang tidak dimiliki oleh House

of Representative, pertama adalah memberikan persetujuan dalam pemilihan

anggota lembaga tinggi negara atau pimpinan dari lembaga tinggi negara
seperti anggota BPK, pimpinan polri, hakim agung, dan lain-lain, sedangkan

di Amerika Serikat kekuasan itu terletak ada pada senate. Dalam hal

menyatakan perang Presiden dibantu DPR untuk mempertimbangkan hal

tersebut sedangkan kewenangan memberikan pertimbangan di Amerika

Serikat ada pada tangan Congress.

DPR dapat melakukan Impeachment terhadap presiden/dan wakil

presiden dengan memberikan laporan ke Mahkamah Kosnstitusi. Sedangkan,

House Of Representative Amerika dapat mengajukan impeachment namun

tidak hanya terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden tetapi juga terhadap

pejabat negara federal lainnya. Impeachment tersebut dilakukan oleh House

Of Representative diajukan kepada Senate, kemudian Senate dengan

dipimpin oleh hakim agung akan melakukan trial terhadap impeachment

yang diajukan.

Konstitusi Amerika Serikat memutuskan ada tiga lembaga yang

memegang kekuasaan negara yakni Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif.

Lembaga legislatif biasa disebut congress. Konstitusi Amerika Serikat

menegaskan bahwa kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan

Congress yang terdiri dari dua badan (bicameral) yaitu senate, dan House Of

Representative. Sedangkan di Indonesia lembaga legislatif terdapat Dewan

Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, yang bersama-sama

membentuk MPR.

Perbedaan Kewenangan Badan Legislatif di Indonesia dan Amerika

serikat diantaranya adalah :


1. Kekuasaan Legislatif Amerika Serikat diberikan sepenuhnya kepada

sebuah Kongres Amerika Serikat, yang terdiri dari sebuah Senat dan

Dewan Perwakilan Rakyat tanpa campur tangan Presiden sedangkan

di Indonesia kekuasaan membentuk undang-undang dibahas dengan

Presiden dan mendapat persetujuan bersama.

2. Badan Legislatif Amerika Serikat mempunyai wewenang khusus,

yaitu wewenang untuk memastikan pengangkatan pejabat tinggi dan

duta besar sedangkan di Indonesia bukan kewenangan badan

legislatif Indonesia melainkan sepenuhnya Kewenangan Presiden.

3. Badan Legislatif Amerika Serikat wewenang untuk mengesahkan

perjanjian dengan cara dua pertiga suara sedangkan di Indonesia

mengesahkan perjanjian bukan kewenangan badan legislatif.

4. Badan Legislatif Amerika Serikat Mempunyai wewenang untuk

mengajukan perundang-undangan kenaikan penghasilan. sedangkan

di Indonesia bukan menjadi kewenangan badan Legislatif indonesia.

5. Badan Legislatif Amerika Serikat memiliki kewenangan untuk

memeriksa dan membahas RUU yang di usulkan oleh House of

Representative Sedangkan di Indonesia kewenangan untuk

memeriksa dan membahas RUU hanya kekuasaan badan legislatif.

6. Presiden Amerika Serikat sama sekali terpisah dengan badan

legislatif sedangkan Presiden Indonesia bekerja sama dengan badan

legislatif.

7. Memutuskan atau Menolak kabinet yang diusulkan oleh Presiden.

Sedangkan di Indonesia tidak boleh menolak karena hak prerogatif


Presiden. Memutus dan mengadili Impechment yang diajukan oleh

House of Representative. Senat mempunyai hak untuk mengadili dan

menetukan bersalah tidaknya pejabat yang bersangkutan. Dewan

memiliki hak tunggal untuk mengajukan tuduhan, yang dapat

menyebabkan persidangan impeachment nantinya Sedangkan di

Indonesia Usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan akan diserahkan

hasilnya kepada MPR RI.

8. Pemilu di Amerika Serikat menggunakan sistem distrik sedangkan

pemilu di Indonesia berdasarkan jumlah penduduk yang dilaksanakan

di tiap daerah pemilihan.

Persamaan Kewenangan Badan Legislatif Indonesia dan Amerika

Serikat:

1. Sama-sama mempunyai kekuasaan membentuk dan menyusun

rancangan rundang-undangan

2. House of Representative Amerika Serikat dan Indonesia memiliki

kewenangan yang sama dalam mengajukan impeachment.

3. Sama-sama boleh membahas memeriksa dan membahas RUU yang

di usulkan.

4. Badan Legislatif Indonesia dan Amerika Serikat mempunyai hak

untuk membatalkan ketetapan rancangan peraturan dan undang-

undang.

5. Badan legislatif Indonesia dan Amerika Serikat dalam setiap

Pengambilan keputusan dalam rapat pada dasarnya diusahakan


sejauh mungkin dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat,

apabila tidak terpenuhi, keputusan diambil berdasarkan suara

terbanyak.

6. Syarat untuk menjadi anggota badan legislatif harus cukup umur

yaitu minimal umur 21 tahun

7. Pemilihan Presiden oleh rakyat melalui pemilu berdasarkan suara

mutlak yang sah.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Indonesia dan Amerika Serikat merupakan dua Negara yang memiliki

ketentuan yang berbeda terhadap Prosedur legislasi dalam konstitusi

dimasing-masing Negara. Ketentuan Prosedur Legislasi Indonesia telah

diatur dalam Pasal 5 ayat (1),pasal 20 dan pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD

1945 yang kemudian diturunkan dalam UU No. 12 tahun 2011 dan Perpres

No. 87 tahun 2014 serta Peraturan DPR RI No.1 tahun 2014 tentang Tata

Tertib. Sedangkan Ketentuan Prosedur Legislasi Indonesia diatur dalam

Article 1 Section 7 The Constitution of United States of America. Yang


menjadikan landasan bagi kedua negara tersebut dalam membentuk sebuah

undang-undang.

Eksekutif Indonesia mempunyai inisiatif untuk mengajukan rancangan

undangundang, kemudian rancangan-undang-undang yang telah diajukan

ketika dalam prosedur pembahasan di DPR, usulan rancangan undang-

undang tersebut dituliskan atas inisiatif Pemerintah. Sedangkan di Amerika

Serikat, Eksekutif Amerika Serikat juga dapat mengajukan usulan rancangan

undang-undang, namun yang membedakan dengan di Indonesia adalah

ketika usulan tersebut sudah diterima oleh Senate atau Representative, dalam

pembahasan maka usulan tersebut tidak lagi ditulis atas usulan presiden,

namun rancangan undang-undang tersebut menjadi milik Senate atau House

of Representative tergantung pada kamar mana yang menerima usulan

rancangan oleh presiden.

Dasar utama dari perbedaan Prosedur legislasi Indonesia dan Amerika

serikat yaitu karna penerapan sistem presidensial yang berbeda antara

Indonesia dan Amerika serikat, Amerika serikat menerapkan presiden sial

murni yang menjadikan pemisahan kekuasaan (separation of power )

sehingga tugas dan fungsi dari lembaga legislative, yudikatif dan eksekutif

berjalan terpisah sesuai dengan fungsinya masing masing.

B. Saran

Perlu adanya sistem pemisahan kekuasaan yang murni pada prosedur

legislasi di indonesia yang mana di indonesia kepala negara atau presiden


memiliki fungsi yaitu bekerjasama dengan badan legislasi, presiden juga

yang memberi wewenang kepada pejabat tingi dan duta besar, sehingga di

indonesia kewenangan legislasi tidaklah memiliki kewenangan yang mutlak.

Di Indonesia kekuasaan badan legislatif hanya memiliki kewenangan

untuk memeriksa dan membahas RUU, sehingga kekuasaan ekssekutif

dalam hal ini presiden berada diluar pengawasan langsung badan legislatif

sehingga memungkinkan menciptakan kekuasaan mutlak pada ekseskutif.

Serta pertanggung jawaban badan eksekutif dan badan legislatif kurang

jelas secara tertulis dan pembuatan peraturan perundang-undangan yang

banyak menghabiskan waktu dikarenakan perpindahan kewajiban dari

legislatis ke eksekutif yang memakan banyak waktu.


DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai