Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

SEJARAH DAN MASA DEPAN DINAMIKA POLITIK LOKAL

OLEH :
HAFIZAH NIDA KHAIRANI
SEMESTER I

XI TKJ A
SMK MUHAMMADIYAH II
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat
menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Sejarah dan Masa Depan Dinamika Politik
Lokal di Indonesia”.
Penulisan makalah merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata pelajaran PKN Smk
muhammadiyah II Banjarmasin . Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang
penulis miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga
kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada :
keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar
kepada penulis dalam menyelesaikan makalah ini Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu
persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang
telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa
Robbal ‘Alamiin.

BANJARMASIN , AGUSTUS 2016


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut paham demokrasi dan system
Desentralisasi. Dinamika desentralisasi dari waktu ke waktu melahirkan otonomi daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.
Sejalan dengan itu, tujuan utama yang ingin dicapai melalui penerapan kebijakan desentralisasi
yaitu tujuan demokrasi dan tujuan kesejahteraan. Tujuan demokrasi akan memposisikan
Pemerintah Daerah sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat lokal yang akan
menyumbang terhadap pendidikan politik secara nasional sebagai landasan utama dalam
menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa dan negara serta mempercepat terwujudnya
masyarakat madani. Tujuan kesejahteraan mengisyaratkan Pemerintah Daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik secara efektif,
efisien dan ekonomis.
Perjalanan desentralisasi di Indonesia menimbulkan banyak dinamika politik local di Indonesia,
Makalah ini akan membahas kehidupan atau sistem politik lokal di Indonesia yang mengacu
pada perbandingan antar masa, perbandingan politik lokal masa orde lama, dan politik lokal
masa reformasi.
1.2 Case Study
Keadaan Politik Lokal pada masa Orde Baru
Sudah sejak dulu ABRI memiliki peranan tersendiri dalam bidang politik dan juga strategi dalam
pemerintahan. Hal tersebut bisa dilihat dari banyaknya pejabat militer yang menduduki posisi-
posisi penting dalam pemerintahan di masa orde baru.
Berbeda dengan pemilihan yang berlangsung saat ini, di masa orde baru pilkada gubernur dan
wakilnya yang dilaksanakan di DPRD dicalonkan dan dipilih berdasarkan skenario yang
dikendalikan oleh kekuatan rezim yang berkuasa melalui tiga jalur yang terdiri dari Abri,
Birokrat, dan Golkar. Kriteria tidak tertulisnya antara lain adalah cakap, loyal, dapat menjaga
stabilitas, dan lain sebagainya.
Dibawah ini adalah contoh dari orang- orang yang memegang kekuasaan dalam pemerintahan
dengan latar belakang militer yaitu :
a. Azwar Anas Datuak Rajo Sulaiman
- Gubernur Sumatera Barat selama dua periode (1977- 1987)
- Menteri Perhubungan Indonesia pada Kabinet Pembangunan V (1988- 1993)
- Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat pada Kabinet Pembangunan VI (1993- 1998)
b. Bustanil Arifin : Pernah menjabat Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) dan Menteri
Koperasi Indonesia.
c. Dr. Tarmizi Taher : Menteri Agama Indonesia periode 1993- 1998
d. Mayjen TNI (Purn) Widya Latief :Juru bicara kepresidenan pada masa awal pemerintahan
Soeharto
Keadaan Politik Lokal pada masa Reformasi
Masa reformasi dimulai sejak runtuhnya kerajaan orde baru. Hal yang menandai mulainya masa
ini adalah diadakannya secara serentak diseluruh Indonesia Pemilihan Kepala Daerah atau biasa
disingkat dengan kata PILKADA pada tanggal 7 Juni 1999. Sistem Pemilu yang dipakai pada
saat itu adalah sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar. Sistem ini
pernah dipakai oleh Indonesia pada PILKADA tahun 1997. Pada bagian ini kelompok kami akan
memaparkan beberapa masalah yang terjadi pada pemilu 1999.
Tidak Bertanggungjawabnya KPU
Pemilu yang diikuti oleh 48 partai ini adalah pemilu yang berasaskan langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil. Pada akhirnya, yang kemudian berhasil masuk DPR berjumlah 21 partai.
Landasan hukumnya adalah UU No. 2 tahun 1999. Namun pada pemilu ini, masalah terjadi saat
KPU (Komisi Pemilihan Umum) diminta menandatangani hasil suara rakyat. Mereka berdalih
bahwa hasil suara tidak sah karena terjadi banyak pelanggaran. Memang, banyak pelanggaran
yang terjadi saat pemilu namun hal ini masih dapat ditolelir terbukti dimana pada tingkat daerah,
hasil suara ini telah ditandatangani oleh wakil-wakil partai. Ini berarti, pemilu telah berlangsung
dengan sesuai prosedur.
Presiden Habibie yang saat itu menjabat diminta oleh Panwas Pemilu Pusat untuk ikut campur
tangan dalam penyelesaian masalah ini, dengan dasar hukum Pasal 8 ayat (1) UU No. 3/1999,
yang berbunyi bahwa “Penanggung jawab Pemilihan Umum adalah Presiden". Keputusan ini
memang terlihat seperti pelanggaran dimana presiden mengintervensi KPU, namun karena
masalah ini memang sepenuhnya merupakan kecurangan dari anggota KPU yang tak
bertanggung jawab, tidak terdapat ada penolakan terhadap keputusan ini dimana publik pun diam
saja tanda setuju terhadap keputusan yang diambil oleh Presiden Habibie.

1.3 Rumusan Masalah


Untuk mengkaji dan mengulas tentang Sejarah dan Masa Depan Dinamika Politik Lokal di
Indonesia, maka diperlukan subpokok bahasan yang saling berhubungan, sehingga penulis
membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Dinamika Politik Lokal Di Indonesia ?
2. Bagaimana Perjalanan Desentralisasi di Indonesia ?

1.4 Tujuan dan Manfaat


Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Politik Lokal FISIP dan
menjawab pertanyaan yang ada pada rumusan masalah.
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan penulis dan
pembaca tentang Sejarah dan Masa Depan Dinamika Politik Lokal di Indonesia dan untuk
membuat kita lebih memahami Politik Lokal di daerah.

1.5 Sistematika Penulisan


Makalah ini disusun menjadi tiga bab, yaitu bab pendahuluan, bab pembahasan, dan bab
penutup. Adapun bab pendahuluan terbagi atas : latar belakang, case study, rumusan makalah,
tujuan dan manfaat penulisan, dan sistematika penulisan. Sedangkan bab pembahasan dibagi
berdasarkan subbab yang berkaitan dengan Sejarah dan masa depan dinamika politik local di
indonesia. Terakhir, bab penutup terdiri atas kesimpulan dan saran.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sejarah, Politik, dan Politik Lokal.


Sejarah ialah sebagai masa lampau manusia dan persekitarannya yang disusun secara ilmiah dan
lengkap meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan penjelasan yang memberi
pengertian dan kefahaman tentang apa yang berlaku . Sedangkan usaha untuk mencapai
kekuasaan dan membawa tujuan untuk masyarakatnya adalah suatu politik . Berdasarka
pengertian diatas, maka dapat disimpulkan sejarah politik merupakan peristiwa masa lampau
mengenai peristiwa yang berkaitan dengan usaha serta kebijakan untuk kemaslahatan masyarakat
banak dalam suatu wilayah.
Politik lokal secara sederhana dapat didefinisikan sebagai semua kegiatan politik yang berada
pada level lokal. Seperti halnya pemerintahan lokal, pembentukan kebijakan daerah, maupun
pemilihan kepala daerah.

2.2 Dinamika Politik Lokal Masa Penjajahan Kolonial Belanda


Di awal masa penjajahan sebelum tahun 1903, pemerintah kolonial Belanda menerapkan aturan
hukum berupa Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie (Stb 1855/2) yang
sangat konservatif. Aturan tersebut menjelaskan tentang sentralisasi kekuasaan di Hindia
Belanda bukan sebaliknya. Di samping menjalankan sentralisasi, dekonsentrasi memberikan
kekuasaan kepada wilayah-wilayah administratif secara hirarkhis, namun hanya terbatas di pulau
Jawa saja..
Ciri dari sistem pemerintah kolonial sebelum kemerdekaan adalah sebagai berikut:
1. pemerintahan tidak langsung,
2. pemberlakukan aturan double standart, hukum eropa konservatif bagi elit Eropa dan
hukum adat bagi pribumi,
3. berkembangnya elit pribumi berdasarkan garis keturunan kerajaan sebagai waki
pemerintah kolonial di luar pulau Jawa,
4. isolasi gerakan nasionalis,
5. pengendalian ketat daerah-daerah pedesaan dan daerah luar Jawa oleh elit pribumi
tradisional patuh pada kekuasaan kolonial.

2.3 Dinamika Politik Lokal Masa Penjajahan Kolonial Jepang


Pada masa pendudukan kolonial Jepang, daerah bekas jajahan Belanda terbagi menjadi tiga
komando, yaitu:
1. Sumatera di bawah Komando Panglima Angkatan Darat XXV di Bukittinggi;
2. Jawa dan Madura di bawah Komando Panglima Angkatan Darat XVI di Jakarta;
3. Daerah lain di bawah Komando Panglima Angkatan Laut di Makassar.

2.4 Dinamika Politik Lokal Masa Kemerdekaan 1945


Setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya pada tahun 1945, Belanda yang terusir dari
bumi Hindia Belanda karena kekalahannya melawan Jepang berusaha merebut kembali
kekuasaannya di Indonesia. Segala dalih politikpun direncanakan demi merebut ambisi
menduduki kembali bumi Indonesia, Politik Belanda saat itu adalah merumuskan Indonesia ke
dalam negara-negara bagian sehingga terciptalah bentuk negara Federasi yang bernama Republik
Indonesia Serikat (RIS).
Menurut Nasution, ada 2 alasan kegagalan RIS yang memiliki 17 negara bagian yaitu:
1. Indonesia merasa dikhianati oleh Gubernur Jenderal Belanda Van Mook, karena
pendirian negara miniatur di luar federasi: Pasundan, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Madura, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Bangka, Belitung, di luar
kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Belanda, dan
2. Tulisan Dr. Anak Agung Gde Agung, tokoh pemimpin dari wilayah Timur Indonesia,
berisikan mengenai tiga setengah tahun pelaksanaan federalisme di wilayah Timur
Indonesia ternyata gagal memberikan hasil memuaskan.

2.5 Dinamika Politik Lokal Masa Demokrasi Parlementer


Pada masa demokrasi parlementer (1950-1959), lahirlah Undang-undang Nomor 1/1957 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah 1956, dengan alasan:
1. bahwa berhubung dengan perkembangan ketatanegaraan maka undang-undang pokok
Pemerintahan Daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, perlu
diperbaharui sesuai dengan bentuk Negara Kesatuan;
2. bahwa pembaharuan itu perlu dilakukan dalam suatu Undang-undang yang berlaku
untuk seluruh Indonesia.
Pada akhirnya negara kesatuan disepakati sebagai pilihan dengan beberapa persyaratan, seperti:
1. penegakan demokrasi lebih berguna untuk meredam ketidakpuasan di berbagai daerah,
melawan ketidakadilan, dan menghindari sentralisasi yang tidak seimbang, dan
2. wilayah-wilayah sedapatnya akan diberikan otonomi seluas-luasnya.
2.6 Dinamika Politik Lokal Masa Demokrasi Terpimpin
Selepas Dekrit Presiden di tahun 1959 diberlakukan, pemerintahanpun semakin mengarah pada
demokrasi terpimpin. Pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 6/1959
(disempurnakan) dan Penetapan Presiden Nomor 6/1959 (disempurnakan) mengatur tentang
Pemerintahan Daerah. Dasar pemikiran undang-undang pemerintahan daerah adalah:
1. tetap mempertahankan politik dekonsentrasi dan desentralisasi, dengan menjunjung
paham desentralisasi teritorial;
2. dihapuskan dualisme pimpinan daerah.
Perkembangan selanjutnya tentang pemerintahan daerah adalah terbitnya Undang-undang
Nomor 18/1965 yang membagi habis daerah-daerah otonom di Indonesia ke dalam tiga
tingkatan:
1. Provinsi dan/atau Kotaraya sebagai Daerah Tingkat I;
2. Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai Daerah Tingkat II;
3. Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat III.
The Liang Gie mengungkapkan beberapa kelemahan Undang-undang No. 18/1965 tersebut,
antara lain:
1. politik desentralisasi masih mengandung apa yang disebut oleh Prof. John D. Legee sebagai
colonial flavor (berbau kolonial), karena pemerintah pusat masih keras menunjukan
keinginan dan berusaha menancapkan serta memelihara kekuasaanna di lingkungan segenap
wilayah bawahannya;
2. Undang-undang No. 18/1965 masih meneruskan memakai istilah ”rumah tangga” daerah
dari masa lampau yang sangat kabur pemakaiannya;
3. Masih menggunakan istilah ”pemerintahan sehari-hari” yang tidak tegas pemaknaannya;
4. Menganut citra ketunggalan dan keseragaman, artinya penyelenggaraan desentralisasi di
Indonesia hanya diatur dengan satu peraturan saja dan isinya tidak memiliki pemahaman
akan arti keberagaman tiap daerah; dan lainnya.

2.7 Dinamika Politik Lokal Masa Orde Baru


Pada masa pemerintahan Orde Baru, lahirlah Undang-undang Nomor 5/1974 dimana semangat
sentralisasi pemerintahan justru semakin menjadi-jadi. Di dalam masa kekuasaan Order Baru,
etnis cina Indonesia memperoleh perlakuan khusus, sehingga jurang ekonomi antara masyarakat
keturuna etnis Cina dengan kaum pribumi menjadi sangat tajam. Lebih jauh lagi, masa
pemerintahan Soeharto memunculkan model pembangunan daerah yang timpang antara
masyarakat di belahan Indonesia bagian Barat (Jawa dan Sumatra) yang kaya dengan masyarakat
di Indonesia bagian Timur yang melarat dan kelaparan (Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur
sebelum menjadi negara Timor Lester, dan Papua). Ketimpangan tersebut menjadikan
pembangunan tidak merata di daerah pedesaan dan kemiskinan di daerah perkotaan,
meningkatkan jumlah penduduk perkotaan sangat pesat.

2.8 Dinamika Politik Lokal Masa Pasca Orde Baru


Langkah-langkah strategis Presiden Habibie saat itu memberikan kebebasan pers, kebebasan
mendirikan partai-partai politik, pemilu bebas, dan pemberian referendum bagi masyarakat
Timor Timur yang berujung lepasnya provinsi termuda Indonesia tersebut menjadi merdeka
sepenuhnya. Dengan demikian UU Nomor 22/1999 telah memberikan dasar-dasar pemerintahan
desentralisasi administratif yang sangat banyak kelemahannya.
Di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, masalah desentralisasi semakin mencuat ke
permukaan dengan bantuan liputan berbagai media. Masalah-masalah seperti korupsi, kepala
daerah yang memainkan politik uang ketimbang melaksanakan janji pada konstituennya,
kemudian wakil rakyat yang hanya mementingkan ‘perut’ sendiri, memaksa pemerintahannya
melahirkan undang-undang ‘penangkal’ baru, yaitu Undang-undang Nomor 32/2004 dan
33/2004, masing-masing tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah. Menurut Malley (2004), pemerintahan Megawati bukanlah mengamandemen undang-
undang yang ada, tetapi malah menggantinya sama sekali. Sekalipun demikian, perubahan tidak
banyak memunculkan gejolak berarti, bahkan terbilang tidak mengalami hambatan berarti karena
pemilu Bupati pertama di bulan juni 2005 berlangsung lancar. Pilkada memilih pemimpin daerah
secara langsung bukan simbol-simbol partai seperti masa lalu mendorong masyarakat secara
aktif berpartisipasi dalam kampanye dan datang berduyun-duyun mencoblos calon pilihannnya
di bilik-bilik pemilihan.
Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono diwarnai dengan kebijakan-kebijakan
desentralisasi bernama pemekaran. Pemekaran adalah nama yang dipergunakan dalam proses
desentralisasi yang menciptakan unit-unit administratif baru di dalam provinsi-provinsi dan
distrik-distrik yang telah ada sebelumnya.

2.9 Perjalanan Desentralisasi sebagai landasan politik lokal di Indonesia


Sistem Pemerintahan Daerah Sebelum Kemerdekaan : Pemerintah Daerah yang relatif otonom
pertama kali didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda melalui Desentralisatie Wet Tahun
1903. Undang-undang ini hanya mencakup wilayah Jawa dan Madura saja. Sebelum Tahun
1903, seluruh wilayah Hindia Belanda diperintah secara sentral di bawah Gubernur Jenderal
sebagai Wakil Raja Belanda di tanah jajahan. Disamping itu, terdapat juga daerah-daerah yang
disebut ‘Swapraja’ yang diperintah oleh raja-raja pribumi setempat. Raja-raja tersebut
memerintah berdasarkan kontrak politik yang ditandatangani dengan wakil Pemerintah Belanda
dan diberikan tugas untuk menjalankan beberapa tugas atas nama pemerintah kolonial.
Sistem Pemerintahan Daerah Paska Kemerdekaan :Sistem pemerintahan daerah di Indonesia
paska proklamasi ditandai dengan diberlakukannya berbagai peraturan perudang-undangan
tentang pemerintahan daerah. Setiap undang-undang yang diberlakukan pada suatu kurun waktu
tertentu menandai terjadinya perubahan dalam sistem pemerintahan daerah, yang mana hal ini
sangat erat kaitannya dengan situasi politik nasional.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 : Diterbitkan 23 Nopember 1945 dan merupakan undang-
undang Pemerintahan Daerah yang pertama setelah kemerdekaan. Undang-undang tersebut
didasarkan pasal 18 UUD 1945. Sistem pemerintahan daerah berdasarkan undang-undang
tersebut adalah dibentuknya Komite Nasional Daerah pada setiap tingkatan daerah otonom
terkecuali di tingkat provinsi.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 : UU No. 22 Tahun 1948 dikeluarkan 10 Juli 1948,
dimaksudkan sebagai pengganti UU Nomor 1 Tahun 1945 yang dianggap tidak sesuai dengan
semangat kebebasan. UU 22 Tahun 1948 hanya mengatur tentang daerah otonom dan sama
sekali tidak menyinggung daerah administratif. Undang-undang tersebut hanya mengakui 3
tingkatan daerah otonom, yaitu provinsi, kabupaten atau kotamadya dan desa atau kota kecil.
Kekuasaan eksekutif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan
pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Dewan Pemerintahan Daerah (DPD). Kepala Daerah
bertindak selaku Ketua DPD. Kepala Daerah diangkat oleh Pemerintah dari calon-calon yang
diusulkan oleh DPRD.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1957 : UU 1 Tahun 1957 ditandai dengan penekanan lebih jauh
lagi ke arah desentralisasi. UU No. 1 Tahun 1957 adalah produk sistem parlementer liberal hasil
Pemilihan Umum pertama tahun 1955, di mana partai-partai politik menuntut adanya Pemerintah
Daerah yang demokratik.
Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959 : Tanggal 16 Nopember 1959, sebagai
tindak lanjut dari Dekrit Presiden, Pemerintah mengeluarkan Penpres 6 tahun 1959 untuk
mengatur Pemerintah Daerah agar sejalan dengan UUD 1945. Dalam Penpres tersebut diatur
bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Kepala daerah mengemban dua
fungsi yaitu sebagai eksekutif daerah dan wakil Pusat di daerah. Kepala Daerah juga bertindak
selaku Ketua DPRD. Sebagai eksekutif daerah, dia bertanggungjawab kepada DPRD, namun
tidak bisa dipecat oleh DPRD. Sedangkan sebagai wakil Pusat dia bertanggungjawab kepada
Pemerintah Pusat.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 : Kebijakan pada UU No. 18 Tahun 1965 merupakan
arus balik dari kecenderungan sentralisasi menuju desentralisasi. Hal ini nampak dari kebebasan
yang diberikan kepada Kepala daerah dan BPH untuk menjadi anggota partai politik tertentu.
Dengan demikian, kesetiaan atau loyalitas eksekutif daerah tidak lagi hanya kepada Pemerintah
Pusat.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 : Era demokratisasi terpimpin telah berakhir dan diganti
oleh era pemerintahan Orde Baru. Dalam pengaturan pemerintahan daerah, UU 18 Tahun 1965
diganti dengan UU No. 5 Tahun 1974. Ada tiga prinsip dasar yang dianut oleh UU No. 5 Tahun
1974, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Prakteknya, prinsip
dekonsentrasi lebih dominan. Struktur pemerintahan daerah terdiri dari kepala Daerah Otonom
dan sebagai Kepala Wilayah (yaitu Wakil Pemerintah di Daerah).
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 : UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
dimaksudkan untuk mengoreksi UU 5 Tahun 1974 yang dirasa sentralistik menjadi
desentralistik dan mendekatkan pelayanan masyarakat menjadi pelayanan local, serta
meningkatkan pendidikan politik masyarakat. Prinsif otonomi seluas-luasnya menjiwai hampir di
semua pasal. Bahkan manajemen kepegawaian dan keuangan yang di UU pendahulunya diatur
dengan ketat oleh Pusat didelegasikan secara penuh kepada Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 : Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di
Indonesia memasuki babak baru dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Salah satunya adalah desentralisasi dan dekonsentrasi dipandang sebagai sesuatu yang
bersifat kontinum bukan bersifat dikotomis. Orientasi pelayanan masyarakat, dicerminkan dalam
pembagian urusan antar tingkat pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan dalam konteks
desentralisasi merupakan penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah kepada daerah
otonom. Aspek penting lainnya adalah aspek demokratisasi yang diukur dari unsur keterlibatan
masyarakat dalam menentukan pejabat publik di daerah.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Dinamika politik local di Indonesia mengalami perjalanan yang sangat panjang , sejak masa
sebelum kemerdekaan , masa kemerdekaan, masa pasca kemerdekaan, masa demokrasi
parlementer, masa orde lama, orde baru, sampai sekarang era reformasi. Politik local tersebut
memunculkan desentralisasi di daerah. Dan antar masa , ada saja kesalahan – kesalahan yang
berbeda dari desentralisasi yang dilakukan oleh pemreritah daerah.
Perjalanan desentralisasi di Indonesia juga panjang, perbaikan terus dilakukan sehingga
menyebabkan dinamika desentralisasi. Berawal dari Sistem Pemerintahan Daerah Sebelum
Kemerdekaan , Sistem Pemerintahan Daerah Paska Kemerdekaan . Juga undang undang yang
berlaku sepperti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 ,Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948
, Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959 , Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 ,
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 , Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 , dan yang
terakhir kita pakaia sekarang ini Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

3.2 SARAN
Berdasarkan permasalahan atas perjalanan dinamika politik local dan desentralisasi dari masa ke
masa, maka kami memberikan sebuah saran atas permasalahan tersebut yakni, untuk
meminimalisir terjadinya perubahan dinamika kembali di masa depan akibat kesalahan –
kesalahan yan kerap muncul dari desentralisasi sebaiknya pemerintah pusat lebih menjaga
hubungan kepada pemerintah daerah dengan tidak membuat kebijakan yang merugikan daerah
agar tidak ada lagi daerah yang ingin melepaskan diri atau merdeka, atau daerah yang menjadi
korban dari pemerintah pusat yang menyebabkan perubahan undang – undang atau perubahan
system kembali.

Anda mungkin juga menyukai