Anda di halaman 1dari 18

Tugas : Individu

Mata Pelajaran : PPKN

Semester : 3 (tiga)

PERKEMBANGAN BUDAYA POLITIK


DI NEGARA INDONESIA

DISUSUN OLEH :
NAMA : AYU LESTARI
NIS : 16.6189
KELAS : XI KI 2

KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN
PUSDIKLAT INDUSTRI
SMK-SMTI MAKASSAR
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Menurut KBBI, perkembangan berarti menjadi besar, luas, dan banyak,


serta menjadi bertambah sempurna dalam hal kepribadian, pikiran, pengetahuan,
dan sebagainya.

Perkembangan menunjukkan suatu proses kearah yang lebih sempurna dan


tidak dapat diulang kembali. Perkembangan juga diartikan sebagai proses yang
kekal dan tetap yang menuju kearah suatu organisasi pada tingkat integrasi yang
lebih tinggi, berdasarkan pertumbuhan, pematangan, dan belajar.

Secara etimologis, istilah budaya berasal dari beberapa bahasa, antara lain:
Culture (Bahasa Inggris) artinya budaya, Colore (Bahasa Latin) artinya budaya,
dan Akhlaq (Bahasa Arab) artinya peradaban atau budi.

Kata “budaya” berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhaya yang


merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, artinya akal. Selanjutnya
dikembangkan menjadi kata budidaya yang artinya kemampuan akal budi
seseorang ataupun sekelompok orang.

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sistem


gagasan, tindak dan hasil karya dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik manusia dengan cara belajar. Sedangkan menurut Moh. Hatta ,
kebudayaan adalah ciptaan dari suatu bangsa.

Menurut Zoetmulder, kebudayaan adalah perkembangan terpimpin oleh


manusia budayawan dari kemungkinan-kemungkinan dan tenaga-tenaga alam
terutama alam manusia, sehingga merupakan satu kesatuan harmonis.

Salah satu unsur kebudayaan yang bersifat universal adalah system


kemasyarakatan yang didalamnya terdapat organisasi kekuasaan atau politik.
Kebudayaan dimiliki oleh setiap masyarakat dan selalu berkembang dalam upaya
memenuhi segala kebutuhan masyarakat.
Pada umumnya istilah politik dapat diartikan sebagai bermacam-macam
kegiatan dalam suatu sistem politik atau Negara yang menyangkut proses
menetukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.
Politik menyangkut tujuan-tujuan seluruh masyarakat, termasuk kegiatan berbagai
kelompok baik partai poltik maupun individu. Konsep-konsep pokok politik
adalah Negara, kekuasaaan, pengambilan keputusan, kebijakan, dan pembagian
kekuasaan.

Berbicara soal masyarakat politik sebenarnya juga membahas masalah


Negara. Negara timbul karena adanya kebutuhan dan keinginan manusia yang
beraneka ragam yang menyebabkan mereka harus bekrja sama untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Kerja sama ini timbul karena setiap orang tidak mampu
memenuhi kebutuhannya secara sendiri-sendiri. Karena itu, sesuai dengan
kecakapan mereka masing-masing, tiap orang mempunyai tugas sendiri dan
bekerja sama untuk memenuhi kepentingan mereka. Kesatuan mereka inilah yang
kemudian disebut masyarakat atau Negara. Negara merupakan integrasi dari
kekuasaan politik. Negara adalah alat dari masyarakat yang mempunyai
kekuasaan untuk mengatur hubungan masnisia dalam masKesatuan mereka inilah
yang kemudian disebut masyarakat atau Negara. Negara merupakan integrasi dari
kekuasaan politik. Negara adalah alat dari masyarakat yang mempunyai
kekuasaan untuk mengatur hubungan masnisia dalam masarakat dan menertibkan
gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat.

Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam


kehidupan benegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan,
hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota
masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat di artikan sebagai suatu
sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan
publik untuk masyarakat seluruhnya.

Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap


orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam
bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu.
Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan
politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa
warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol
dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan
orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan
mereka di dalam sistem politik.

Perkembangan politik dalam suatu negara sangat dipengaruhi oleh


perkembangan budaya yang ada dalam masyarakat negara tersebut. Pendidikan
dan pemahaman politik masyarakat sangat mempengaruhi perkembangan budaya
politik di Indonesia yang memiliki karakteristik berbeda pada masa Orde Lama,
Orde Baru, dan Reformasi. Perkembangan budaya politik di wujudkan dengan
terciptanya partai-partai politik. Partai politik selalu berusaha untuk merebut
simpati rakyat dalam kegiatan pemilu yang bertujuan untuk menempatkan orang-
orang partainya dalam pemerintahan yang tidak bertentangan dengan ideologi
negara dan UUD 1945. Untuk itu, agar masyarakat memiliki pandangan politik
yang sesuai, sosialisasi politik dilakukan sesuai dengan kondisi dan
perkembangan lingkungan yang ada.

Budaya politik yang berkembang di Indonesia sangat dipengaruhi oleh


kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen. Kondisi masyarakat yang
heterogen selain dapat memberkaya berkembangnya budaya politik yang
beragam, juga dapat menjadi suatu ancaman terhadap keutuhan bangsa. Untuk
menghindari terjadi disintegrasi bangsa, perlu kiranya menanamkan nilai-nilai
dasar yang dapat mengikatkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa, seperti
toleransi, kekeluargaan, musyawarah mufakat, gotong royong, jaminan dan
perlindungan hak asasi manusia. Yang terpenting dalam hal ini adalah bukan
membicarkan perbedaan yang ada tetapi bagaimana menyatukan pendangan yang
lebih menekankan pada kepentingan nasional.

Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut dari


setiap masa ke masa. Perkembangan demokrasi tersebut mempengaruhi pula
stabilitas sistem politik Indonesia. Karena itu sangat penting untuk mengkaji
berhasil atau tidaknya suatu rezim yang sedang atau telah berkuasa, diperlukan
suatu kerangka kerja yang dapat digunakan untuk menjelaskan kehidupan
ketatanegaraan. Dalam kajian ini adalah terkait dengan kehidupan politiknya. Ada
dua kerangka kerja yang sering digunakan oleh para pengamat politik untuk
melihat bagaimana kinerja sistem politik suatu negara. Karena salah satu sifat
penting sistem politik adalah kemampuannya untuk dibedakan dengan sistem
politik lainnya, seperti organisme dan individu misalnya. Kedua kerangka kerja
tersebut adalah pendekatan struktural-fungsional dan pendekatan budaya politik.
Dengan pendekatan struktural-fungsional akan dapat diketahui bagaimana
struktur-struktur maupun fungi-fungsi politik suatu sistem politik bekerja.
Sedangkan dengan pendekatan budaya politik akan dapat diketahui bagaimana
perilaku aktor-aktor politik dalam menjalankan sistem politik yang dianut oleh
negara masing-masing, dalam hal ini adalah elite maupun massanya.

Semakin stabil pemerintahan, semakin mudah untuk melakukan sosialisasi


politik. Pada prinsipnya, tidak ada perubahan yang sempurna, tetapi kita harus
berusaha agar perkembangan budaya politik berkembang sesuai dengan yang
diharapkan, untuk mencapai kepentingan bersama, sehingga masyarakat yang
memegang peranan penting dalam perkembangan budaya politik suatu negara
mampu berpartisipasi dalam kehidupan politik.

Karena pentingnya mempelajari perkembangan sistem politik di negara


kita ini, maka dalam tulisan kali ini saya akan mencoba sedikit mengulas
mengenai perkembangan sistem politik Indonesia dari mulai era Demokrasi
Parlementer, era Demokrasi Terpimpin, era Demokrasi Pancasila, dan yang
terakhir adalah era Reformasi dengan menggunakan kerangka kerja pendekatan
budaya politik, serta pentingnya sosialisasi pengembangan budaya politik.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja tipe-tipe budaya politik yang berkembang di Indonesia ?
2. Bagaimana perkembangan budaya politik di Indonesia ?
3. Mengapa sosialisasi pengembangan budaya politik penting dilakukan ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK YANG BERKEMBANG DI INDONESIA


1. Budaya Politik Parokial
Budaya politik parokial yaitu budaya politik yang tingkat
partisipasi politiknya sangat rendah. Budaya politik suatu masyarakat
dapat di katakan Parokial apabila frekuensi orientasi mereka terhadap
empat dimensi penentu budaya politik mendekati nol atau tidak memiliki
perhatian sama sekali terhadap keempat dimensi tersebut. Tipe budaya
politik ini umumnya terdapat pada masyarakat suku Afrika atau
masyarakat pedalaman di Indonesia. dalam masyarakat ini tidak ada peran
politik yang bersifat khusus. Kepala suku, kepala kampung, kyai, atau
dukun,yang biasanya merangkum semua peran yang ada, baik peran yang
bersifat politis, ekonomis atau religius.
Ciri-ciri budaya politik parokial :
a. Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai objek umum, objek-objek
input, objek-objek output, dan pribadi sebagai partisipan aktif
mendekati nol.
b. Tidak terdapat peran-peran politik yang khusus dalam masyarakat.
c. Orientasi parokial menyatakan alpanya harapan-harapan terhadap
perubahan komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik.
d. Kaum parokial tidak mengharapkan apa pun dari sistem politik.
e. Parokialisme murni berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih
sederhana ketika spesialisasi politik berada pada jenjang sangat minim.
f. Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat
afektif dan normatif daripada kognitif.

2. Budaya Politik Kaula (Subjek)


Budaya politik kaula yaitu budaya politik yang masyarakat yang
bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya tetapi
masih bersifat pasif. Budaya politik suatu masyarakat dapat dikatakan
subyek jika terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap pengetahuan
sistem politik secara umum dan objek output atau terdapat pemahaman
mengenai penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah. Namun
frekuensi orientasi mengenai struktur dan peranan dalam pembuatan
kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak terlalu diperhatikan. Para
subyek menyadari akan otoritas pemerintah dan secara efektif mereka di
arahkan pada otoritas tersebut. Sikap masyarakat terhadap sistem politik
yang ada ditunjukkan melalui rasa bangga atau malah rasa tidak suka.
Intinya, dalam kebudayaan politik subyek, sudah ada pengetahuan yang
memadai tentang sistem politik secara umum serta proses penguatan
kebijakan yang di buat oleh pemerintah.
Ciri-ciri budaya politik kaula :
a. Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi terhadap sistem politik
yang diferensiatif dan aspek output dari sistem itu. Akan tetapi,
frekuensi orientasi terhadap objek-objek input secara khusus,
dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati nol.
b. Para subjek menyadari adanya otoritas pemerintah.
c. Hubungannya terhadap sistem politik secara umum dan terhadap
output, administratif secara esensial merupakan hubungan yang pasif.
d. Orientasi subjek lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif.

3. Budaya Politik Partisipan


Budaya politik partisipan yaitu budaya politik yang ditandai
dengan kesadaran politik yang sangat tinggi. Masyarakat mampu
memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan politik. Dan juga
merupakan suatu bentuk budaya politik yang anggota masyarakatnya
sudah memiliki pemahaman yang baik mengenai empat dimensi penentu
budaya politik. Mereka memiliki pengetahuan yang memadai mengenai
sistem politik secara umum, tentang peran pemerintah dalam membuat
kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam proses politik
yang berlangsung. Masyarakat cenderung di arahkan pada peran pribadi
yang aktif dalam semua dimensi di atas, meskipun perasaan dan evaluasi
mereka terhadap peran tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.
Ciri-ciri budaya politik partisipan :
a. Frekuensi orientasi politik sistem sebagai objek umum, objek-objek
input, output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati satu.
b. Bentuk kultur politik anggota-anggota masyarakat cenderung
diorientasikan secara eksplisit. Masyarakat pun aktif terhadap sistem
politik secara komprehensif. Selain itu, masyarakat juga aktif terhadap
struktur dan proses politik serta administratif (aspek input dan output
sistem politik).
c. Anggota masyarakat bersikap partisipatif terhadap objek politik
(tingkat partisipasi masyarakat sangat tinggi).
d. Masyarakat berperan sebagai aktivis.

B. PERKEMBANGAN BUDAYA POLITIK DI INDONESIA


1. Era Demokrasi Parlementer (1945-1950)
Budaya politik yang berkembang pada era Demokrasi
Parlementer sangat beragam. Dengan tingginya partisipasi massa dalam
menyalurkan tuntutan mereka, menimbulkan anggapan bahwa seluruh
lapisan masyarakat telah berbudaya politik partisipan. Anggapan bahwa
rakyat mengenal hak-haknya dan dapat melaksanakan kewajibannya
menyebabkan tumbuhnya deviasi penilaian terhadap peristiwa-peristiwa
politik yang timbul ketika itu. Percobaan kudeta dan pemberontakan, di
mana dibelakangnya sedikit banyak tergambar adanya
keterlibatan/keikutsertaan rakyat, dapat diberi arti bahwa kelompok rakyat
yang bersangkutan memang telah sadar, atau mereka hanya terbawa-bawa
oleh pola-pola aliran yang ada ketika itu.

Para elite Indonesia yang disebut penghimpun


solidaritas (solidarity maker) lebih nampak dalam periode demokrasi
parlementer ini. Walaupun demikian, waktu itu terlihat pula munculnya
kabinet-kabinet yang terbentuk dalam suasana keselang-selingan
pergantian kepemimpinan yang mana kelompok adminitrators memegang
peranan. Kulminasi krisis politik akibat pertentangan antar-elite mulai
terjadi sejak terbentuknya Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan PRRI pada
tahun 1958. Selain itu, dengan gaya politik yang ideologis pada masing-
masing partai politik menyebabkan tumbuhnya budaya paternalistik.
Adanya ikatan dengan kekuatan-kekuatan politik yang berbeda secara
ideologis mengakibatkan fungsi aparatur negara yang semestinya melayani
kepentingan umum tanpa pengecualian, menjadi cenderung melayani
kepentingan golongan menurut ikatan primordial. Selain itu, orientasi
pragmatis juga senantiasa mengiringi budaya poltik pada era ini.

2. Era Demokrasi Terpimpin (Dimulai Pada 5 Juli 1959-1965)


Budaya politik yang berkembang pada era ini masih diwarnai
dengan sifat primordialisme seperti pada era sebelumnya. Ideologi masih
tetap mewarnai periode ini, walaupun sudah dibatasi secara formal melalui
Penpres No. 7 Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan
Kepartaian. Tokoh politik memperkenalkan gagasan Nasionalisme,
Agama, dan Komunisme (Nasakom). Gagasan tersebut menjadi patokan
bagi partai-partai yang berkembang pada era Demorasi Terpimpin. Dalam
kondisi tersebut tokoh politik dapat memelihara keseimbangan politik.

Selain itu, paternalisme juga bahkan dapat hidup lebih subur di


kalangan elit-elit politiknya. Adanya sifat kharismatik dan
paternalistik yang tumbuh di kalangan elit politik dapat menengahi dan
kemudian memperoleh dukungan dari pihak-pihak yang bertikai, baik
dengan sukarela maupun dengan paksaan. Dengan demikian muncul
dialektika bahwa pihak yang kurang kemampuannya, yang tidak dapat
menghimpun solidaritas di arena politik, akan tersingkir dari gelanggang
politik. Sedangkan pihak yang lebih kuat akan merajai/menguasai arena
politik.
Pengaturan soal-soal kemasyaraktan lebih cenderung dilakukan
secara paksaan. Hal ini bisa dilihat dari adanya teror mental yang
dilakukan kepada kelompok-kelompok atau orang-orang yang kontra
revolusi ataupun kepada aliran-aliran yang tidak setuju dengan nilai-nilai
mutlak yang telah ditetapkan oleh penguasa.

Dari masyarakatnya sendiri, besarnya partisipasi berupa tuntutan


yang diajukan kepada pemerintah juga masih melebihi kapasitas sistem
yang ada. Namun, saluran inputnya dibatasi, yaitu hanya melalui Front
Nasional. Input-input yang masuk melalui Front Nasional tersebut
menghasilkan output yang berupa output simbolik melalui bentuk rapat-
rapat raksasa yang hanya menguntungkan rezim yang sedang berkuasa.
Rakyat dalam rapat-rapat raksasa tidak dapat dianggap memiliki budaya
politik sebagai partisipan, melainkan menujukkan tingkat budaya politik
kaula, karena diciptakan atas usaha dari rezim.

3. Era Demokrasi Pancasila (Tahun 1966-1998)


Gaya politik yang didasarkan primordialisme pada era Orde Baru
sudah mulai ditinggalkan. Yang lebih menonjol adalah gaya intelektual
yang pragmatik dalam penyaluran tuntutan. Dimana pada era ini secara
material, penyaluran tuntutan lebih dikendalikan oleh koalisi besar
(cardinal coalition) antara Golkar dan ABRI, yang pada hakekatnya
berintikan teknokrat dan perwira-perwira yang telah kenal teknologi
modern.

Sementara itu, proses pengambilan keputusan kebijakan publik


yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan militer yang
terbatas sebagaimanaa terjadi dalam tipologi masyarakat birokrasi.
Akibatnya masyarakat hanya menjadi objek mobilisasi kebijakan para elit
politik karena segala sesuatu telah diputuskan di tingkat pusat dalam
lingkaran elit terbatas.
Kultur ABS (asal bapak senang) juga sangat kuat dalam era ini.
Sifat birokrasi yang bercirikan patron-klien melahirkan tipe birokrasi
patrimonial, yakni suatu birokrasi dimana hubungan-hubungan yang ada,
baik intern maupun ekstern adalah hubungan antar patron dan klien yang
sifatnya sangat pribadi dan khas.

Dari penjelasan diatas, mengindikasikan bahwa budaya politik


yang berkembang pada era Orde Baru adalah budaya politik subjek.
Dimana semua keputusan dibuat oleh pemerintah, sedangkan rakyat hanya
bisa tunduk di bawah pemerintahan otoriterianisme Soeharto. Kalaupun
ada proses pengambilan keputusan hanya sebagai formalitas karena yang
keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan dalam lingkaran
elit birokrasi dan militer.

Di masa Orde Baru kekuasaan patrimonialistik telah menyebabkan


kekuasaan tak terkontrol sehingga negara menjadi sangat kuat sehingga
peluang tumbuhnya civil society terhambat. Contoh budaya politik Neo
Patrimonialistik adalah :

a. Proyek di pegang pejabat.


b. Promosi jabatan tidak melalui prosedur yang berlaku (surat sakti).
c. Anak pejabat menjadi pengusaha besar, memanfaatkan kekuasaan
orang tuanya dan mendapatkan perlakuan istimewa.
d. Anak pejabat memegang posisi strategis baik di pemerintahan maupun
politik.

4. Era Reformasi (Tahun 1998-Sekarang)


Budaya politik yang berkembang pada era reformasi ini adalah
budaya politik yang lebih berorientasi pada kekuasaan yang berkembang
di kalangan elit politik. Budaya seperti itu telah membuat struktur politik
demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik. Walaupun struktur dan
fungsi-fungsi sistem politik Indonesia mengalami perubahan dari era yang
satu ke era selanjutnya, namun tidak pada budaya politiknya. Menurut
Karl D. Jackson, budaya Jawa telah mempunyai peran yang cukup besar
dalam mempengaruhi budaya politik yang berkembang di Indonesia.
Relasi antara pemimpin dan pengikutnya pun menciptakan pola hubungan
patron-klien (bercorak patrimonial). Kekuatan orientasi individu yang
berkembang untuk meraih kekuasaan dibandingkan sebagai pelayan
publik di kalangan elit merupakan salah satu pengaruh budaya politik Jawa
yang kuat.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Agus Dwiyanto dkk dalam


mengenai kinerja birokrasi di beberapa daerah, bahwa birokrasi
publik masih mempersepsikan dirinya sebagai penguasa daripada sebagai
abdi yang bersedia melayani masyarakat dengan baik. Hal ini dapat dilihat
dari perilaku para pejabat dan elit politik yang lebih memperjuangkan
kepentingan kelompoknya dibandingkan dengan kepentingan rakyat secara
keseluruhan.

Dengan menguatnya budaya paternalistik, masyarakat lebih


cenderung mengejar status dibandingkan dengan kemakmuran. Reformasi
pada tahun 1998 telah memberikan sumbangan bagi berkembangnya
budaya poltik partisipan, namun kuatnya budaya politik patrimonial dan
otoriterianisme politik yang masih berkembang di kalangan elit politik dan
penyelenggara pemerintahan masih senantiasa mengiringi. Walaupun
rakyat mulai peduli dengan input-input politik, akan tetapi tidak diimbangi
dengan para elit politik karena mereka masih memiliki mentalitas budaya
politik sebelumnya. Sehingga budaya politik yang berkembang cenderung
merupakan budaya politik subjek-partisipan.

Menurut Ignas Kleden, terdapat lima preposisi tentang perubahan


politik dan budaya politik yang berlangsung sejak reformasi 1998, antara
lain:
a Orientasi Terhadap kekuasaan
Misalnya saja dalam partai politik, orientasi pengejaran kekuasaan
yang sangat kuat dalam partai politik telah membuat partai-partai
politik era reformasi lebih bersifat pragmatis.
b Politik mikro vs politik makro
Politik Indonesia sebagian besar lebih berkutat pada politik mikro
yang terbatas pada hubungan-hubungan antara aktor-aktor politik,
yang terbatas pada tukar-menukar kepentingan politik. Sedangkan
pada politik makro tidak terlalu diperhatikan dimana merupakan
tempat terjadinya tukar-menukar kekuatan-kekuatan sosial
seperti negara, masyarakat, struktur politik, sistem hukum, civil
society, dsb.
c Kepentingan negara vs kepentingan masyarakat
Realitas politik lebih berorientasi pada kepentingan negara
dibandingkan kepentingan masyarakat.
1) Bebas dari kemiskinan dan kebebasan beragama
2) Desentralisasi politik
Pada kenyataannya yang terjadi bukanlah desentralisasi politik,
melainkan lebih pada berpindahnya sentralisme politik dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Dengan demikian, budaya politik era reformasi tetap masih


bercorak patrimonial, berorientasi pada kekuasaan dan kekayaan, bersifat
sangat paternalistik, dan pragmatis. Hal ini menurut Soetandyo karena
adopsi sistem politik hanya menyentuh pada dimensi struktur dan fungsi-
fungsi politiknya, namun tidak pada budaya politik yang melingkupi
pendirian sistem politik tersebut.

C. PENTINGNYA SOSIALISASI PENGEMBANGAN BUDAYA POLITIK


1. Definisi sempit, sosialisasi politik adalah penanaman informasi politik
yang disengaja.
2. Definisi luas, sosialisasi politik merupakan semua usaha mempelajari
politik baik formal maupun informal, disengaja ataupun terencana pada
setiap tahap siklus kehidupan.
Sosialisasi politik adalah proses dimana individu-individu dapat
memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap terhadap sistem politik
masyarakatnya. Istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses dengan
jalan mana orang belajar tentang politik dan mengembangkan orientasi pada
politik. Perkembangan sosiologi politik diawali pada masa kanak-kanak atau
remaja.
Tujuan sosialisasi ini untuk memberikan pengetahuan dan
pembelajaran bagi masyarakat agar mereka paham dan mengetahui secara
benar tentang apa yang ada dalam politik sehingga tercipta suatu masyarakat
yang anggota anggotanya mempunyai pengetahuan politik yang baik dan
diharapkan mereka dapat ikut berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan politik
sehingga mereka tidak pasif terhadap kondisi politik negaranya. Dapat
mentransmisikan kebudayaan politik suatu bangsa dari generasi tua kepada
generasi muda dan juga sebagai sarana memelihara budaya politik dari bangsa
itu sendiri.
Ada dua metode sosialisasi pengembangan budaya politik yaitu :
1. Pendidikan politik dilakukan melalui suatu proses dialog sehingga
masyarakat memperoleh nilai, norma dan simbol politik. Biasanya
digunakan oleh negara demokrasi.
2. Proses indoktrinasi politik ialah proses sepihak ketika penguasa
memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai-
nilai, norma dan simbol yang dianggap oleh pihak yang berkuasa ideal dan
baik. Biasanya digunakan oleh negara fasis dan komunis.

Perkembangan demokrasi dewasa ini mempunyai dampak bagi


kehidupan politik di Indonesia. Munculnya partai-partai politik turut
menyemarakkan proses demokrasi. Akan tetapi, banyak hal yang harus dikaji
ketika hubungan antara elit poltik dan massa pendukungnya belakangan ini
seolah sekedar hubungan antara anak dan bapak yang belum dijiwai oleh
semangat demokrasi itu sendiri. Masyarakat dalam menentukan figure-figur
pemimpin bangsa kurang berpikir secara rasional karena masih bersikap
paternalistis dan feodalistis. Hal ini sangat membahayakan bagi
perkembangan suatu bangsa yang sarat dengan heterogenitas seperti Indonesia
yang sangat membutuhkan ketahanan dan stabilitas politik.
Menurut Robert Le Vine, terdapat 3 (tiga) faktor masalah penting
dalam sosialisasi politik pada masyarakat berkembang, yaitu sebagai berikut :
1. Pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang dapat melampaui
kapasitas mereka untuk “memodernisasi” keluarga tradisonal lewat indus-
trialisasi dan pendidikan.
2. Sering terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan dan nilai-nilai
tradisional antara jenis-jenis kelamin, sehingga kaum wanita lebih erat
terikat pada nilai tradisonal. Namun, si Ibu dapat memainkan satu peranan
penting
3. Kemungkinan mungkin pengaruh urbanisasi, yang selalu dianggap sebagai
satu kekuatan perkasa untuk menumbangkan nilai-nilai tradisional. Paling
sedikitnya secara parsial juga terimbangi oleh peralihan dari nilai-nilai ke
dalam daerah-daerah perkotaan, khususnya dengan pembentukan
komunitaskomunitas kesukuan dan etnis di daerah-daerah ini.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Tipe-tipe budaya politik yang berkembang di masyarakat Indonesia yaitu
budaya politik parokial, budaya politik kaula atau subjek, dan budaya
politik partisipan.
2. Perkembangan politik negara Indonesia dalam menjalankan roda
pemerintahan dibagi atas empat masa yaitu: Pertama, masa Repubik
Indonesia I (1945-1959) atau yang lebih dikenal dengan era Demokrasi
Liberal atau Demokrasi Parlementer. Kedua, masa Republik Indonesia II
(1959-1965) atau yang lebih dikenal dengan era Orde Lama atau
Demokrasi Terpimpin. Ketiga, masa Republik Indonesia III (1965-1998)
atau yang lebih dikenal dengan era Orde Baru atau Demokrasi Pancasila.
Dan yang terakhir yang berlaku sampai saat ini adalah masa Republik
Indonesia IV (1998-sekarang) atau yang lebih dikenal dengan era
Reformasi.
3. Sosialisasi pengembangan budaya politik dapat dilakukan dengan metode
pendidikan politik dan proses indoktrinasi. Budaya politik perlu
disosialisasikan kepada segenap rakyat agar dapat berperan serta secara
aktif dan tidak pasif dalam kondisi politik negaranya.

B. SARAN
1. Dalam berpolitik sebaikya dilakukan menurut kaidah-kaidah dan aturan-
aturan yang sesuai agar tercipta integrasi nasional. Karena bangsa
Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama, dan budaya.
2. Masyarakat harus selalu menjaga partisipasi politiknya di era reformasi
ini, serta bisa bertanggungjawab terhadap hak dan kewajiban sebagai
objek dari sebuah Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Anjani, Nuri. (2012). Budaya Politik yang Berkembang di Indonesia.
http://nuri25anjani.blogspot.co.id/2012/09/normal-0-false-false-false-en-us-x-
none.html. (7 Oktober 2017).
Bejo, Kartolo. (2014). Budaya Politik. http://supersonik12.blogspot.co.id/p/blog-
page.html. (7 Oktober 2017).
C'muy, Andres. (2014). Budaya Politik.
http://ourpos.blogspot.co.id/2014/09/contoh-makalah-budaya-politik-di.html. (7
Oktober 2017).
Ermawati, Eli. (2017). Budaya Politik.
https://elitugasku.blogspot.co.id/2017/01/makalah-budaya-politik.html. (7
Oktober 2017).
Mudiansyah, Aris. (2015). Budaya Politik Masyarakat Indonesia di Era
Reformasi. http://masyarakatsosialcerdas.blogspot.co.id/2015/11/budaya-politik-
masyarakat-indonesia-di.html. (7 Oktober 2017).
Muthya, Alc. (2013). Budaya Politik di Indonesia.
http://alcmuthya.blogspot.co.id/2013/01/makalah-tentang-budaya-politik-di.html.
(7 Oktober 2017).
Physicx, Bboy. (2014). Budaya Politik yang Berkembang di Indonesia.
https://sma1dusunselatan.wordpress.com/bahan-ajar/pendidikan-
kewarganegaraan/budaya-politik-yang-berkembang-di-indonesia/. (7 Oktober
2017).
Radita, Diah. (2012). Perkembangan Budaya Politik di Indonesia.
http://dyahcwebatik.blogspot.co.id/2012/12/makalah-perkembangan-budaya-
politik-di.html. (7 Oktober 2017).
Setiawan, Bambang. (2012). Budaya Politik. http://bams-
bambang.blogspot.co.id/. (7 Oktober 2017).
Taufik, Egi. (2015). Budaya Politik di Indonesia.
http://egith77.blogspot.co.id/2015/10/makalah-budaya-politik-di-indonesia.html.
(7 Oktober 2017).

Anda mungkin juga menyukai