Anda di halaman 1dari 5

SEJARAH KOMUNITAS ADAT TERPENCIL (KAT)

Di Susun Oleh :

Nama : Devi Yulia Astuti

NIM : N1A117074

Kelas : 5E (Epidemiologi B)

Dosen Pengampu : Asparian, S.KM.,M.Kes.

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS JAMBI

TAHUN 2020
Komunitas Adat Terpencil (KAT) merupakan salah satu kelompok masyarakat yang
sering terabaikan dalam pembangunan. Mereka sering mendapat perlakuan yang kurang adil dari
pengambil kebijakan. Makanya tidak heran apabila kondisi kehidupan sosial ekonomi mereka
sangat jauh tertinggal bila di bandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Sampai saat ini
perhatian pemerintah terhadap kelompok masyarakat ini relatif masih amat terbatas dilakukan.
Hal ini ditandai dari akses pelayanan publik dasar, seperti pendidikan, kesehatan, sarana
transportasi, dan fasilitas sosial ekonomi lainnya sangat terbatas diperoleh oleh mereka. Dengan
demikian mereka selalu tertinggal dalam setiap derap pembangunan.
Komunitas Adat Terpencil (KAT) merupakan kelompok sosial dan budaya yang bersifat
lokal, relatif kecil, tertutup, tertinggal, homogen, terpencar dan berpindah-pindah ataupun
menetap. Kehidupannya masih berpegang teguh pada adat istiadat, kondisi geografis, yang sulit
dijangkau, penghidupannya tergantung pada sumberdaya alam setempat dengan menggunakan
teknologi yang masih sangat sederhana dan ekonomi subsisten serta terbatasnya akses pelayanan
sosial dasar. Kondisi yang demikian disebut dengan komunitas yang belum diberdayakan, dan
perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Suku anak dalam ( Kubu ) merupakan salah satu suku asli yang ada di Propinsi Jambi.
keterangan yang pasti asal usul kedatangan nenek moyang suku kubu belum ditemui secara
tertulis,pendapat para ahli dan sejarahwan ada yang menyebutkan bahwa suku ini berasal dari
peercampuran antara suku Wedda dan suku Negrito yang kemudian disebut suku
Weddoid,pendapat ini didasarkan pada cirri cirri pisik suku anak dalam yang memiliki kesamaan
dengan suku Negrito dan Weddoid,cirri yang bersamaan itu antara lain Kepala berbentuk
sedang(kecil),posisi mata agak menjorok kebelakang,kulit sawo matang dan umumnya warga
suku anak dalam berambut keriring (ikal,berombak dan hitam legam)
Terkait asal usul suku yang hingga kini masih tergolong kelompok marginal ini, dijumpai
beberapa versi. Sebagian Orang Rimba meyakini bahwa mereka berasal dari kerajaan
pagaruyung. Sejumlah pasukan diutus raja pagaruyung untuk melakukan perjalanan ke Jambi
mengemban misi kerajaan, namun gagal menjalankan misinya. Tapi untuk kembali ke
pagaruyung mereka malu, sehingga memilih melarikan diri ke hutan. Dan kemudian berkembang
membentuk kelompok-kelompok sendiri.
Versi lainnya menyebutkan Orang Rimba berasal dari sisa sisa pasukan kerajaan
Sriwijaya yang kalah berperang melawan Belanda, dan kemudian melarikan diri ke hutan. Versi
lainnya menyebutkan kelompok ini berasal dari buah gelumpang.
Dari sekian banyak versi asal usul Orang Rimba, memang sulit untuk dibuktikan karena
tidak ditemukan adanya bukti-bukti yang mengarah kesana. Menurut kajian antropologi
Komunitas Konservasi Indonesia WARSI, ketiga versi ini sulit bisa di klaim mendekati
kebenaran asal usul Orang Rimba. Karena jika mereka berasal dari Kerajaan Pagaruyung,
ataupun Sriwijaya maka dalam kehidupan mereka seharusnya juga telah mengenal peradaban
yang ada dimasa itu, yang mungkin diturunkan kepada anak cucunya, seperti membuat rumah,
bercocok tanam dan lainnya. Demikian juga dengan penggunaan bahasa, terdapat perbedaan
dialek dan pelafalan huruf. Perubahan fonologi membutuhkan waktu yang sangat lama mencapai
ratusan ribu tahun.
Kemungkinan besar Orang Rimba berasal dari suku Melayu Proto atau “Melayu Asli”
masuk golongan Austronesia yang berasal dari Yunnan. Kelompok pertama dikenal sebagai
Melayu Proto berpindah ke Asia Tenggara pada Zaman Batu Baru (2500 SM). Suku melayu
proto ini juga yang kemudian sampai di dataran Jambi. Mereka sudah mengalami proses
perubahan sosial beribu tahun dan kebanyakan terisolasi di dalam hutan. Ketika budaya baru
seperti Hindu, Budha dan terakhir Islam masuk dan mempengaruhi budaya masyarakat lainnya,
kelompok Orang Rimba yang berada di hutan tidak tersentuh sama sekali. Sehingga mereka tidak
mengalami transformasi perubahan sosial. Sementara budaya-budaya lain telah berkembang
pesat dan mempengaruhi kehidupan masyarakat melayu yang lainnya, Orang Rimba malah justru
sebaliknya, mereka masih berpegang teguh dengan kebiasaan dan budaya mereka yang
diwariskan leluhur dari zaman itu. Hidup secara nomaden dengan mengandalkan kehidupan dari
berburu dan meramu.
Cerita yang dituturkan dari mulut kemulut dan dipercayai oleh sebagian besar suku anak
dalamdi pedalaman Taman Nasional Bukit Dua Belas dan suku anak dalam yang hidup
dikawasan Hutan Kabupaten Merangin, Bungo,Tebo dan sebagian suku anak dalam yang
bermukim di kawasan Bathin VIII, Sarolangun menyebutkan nenek moyang mereka berasal dari
Kerajaan Pagaruyung di Sumatera Barat.Dikisahkan pada zaman dahulu kerajaan Pagaruyung
mengirimkan tentara bala bantuan untuk kerajaan Melayu Jambi yang saat itu sedang mendapat
ancaman dari temtara kerajaan lain.
Puluhan orang bala tentara kerajaan pagaruyung diberangkatkan ke Kerajaan Melayu
Jambi, setelah menempuh perjalanan yang sangat jauh melewati hutan belantara dan
menyeberangi puluhan sungai sungai besar tentara Pagaruyung terpaksa menghentikan
perjalanan karena mereka kehabisan bekal dalam perjalanan, saat itu mereka berpikir tidak
mungkin untuk kembali kepagaruyung,karena perjalanan masih sangat jauh, dan mereka
khawatir jika mereka kembali mereka akan mendapat hukuman dari kerajaan. Untuk melanjutkan
perjalanan ke Jambi mereka sudah tidakmampu karena kehabisan bekal,setelah mengalami
berbagai pertimbangan akhirnya mereka memutuskan untuk hidup mengembara di dalam hutan
hutan belantara jambi
Hingga kini, tidak diketahui secara pasti asal muasal Suku Anak Dalam. Versi
Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990) menyebutkan asal usul Suku
Anak Dalam dimulai sejak tahun 1624 ketika Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi, yang
sebenarnya masih satu rumpun, terus menerus bersitegang sampai pecahnya pertempuran di Air
Hitam pada tahun 1929. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada 2 kelompok masyarakat
anak dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan adat istiadat yang berbeda. Mereka
yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan) Berbahasa Melayu, berkulit kuning
dengan berpostur tubuh ras Mongoloid seperti orang palembang sekarang. Mereka ini keturunan
pasukan Palembang. Kelompok lainnya tinggal dikawasan hutan Jambi berkulit sawo matang,
rambut ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras wedoid (campuran wedda dan
negrito ). Konon mereka tentara bayaran Kerajaan Jambi dari Negara lain.
Versi lain adalah cerita tentang Perang Jambi dengan Belanda yang berakhir pada tahun
1904, Pihak pasukan Jambi yang dibela oleh Anak Dalam yang di pimpin oleh Raden Perang.
Raden Perang adalah seorang cucu dari Raden Nagasari. Dalam perang gerilya Anak Dalam
terkenal dengan sebutan orang Kubu artinya orang yang tak mau menyerah pada penjajahan
Belanda. Orang belanda disebutnya sebagai orang Kayo Putih dan menjadi lawan Raja Jambi
(Orang Kayo Hitam).
Sedangkan versi lainnya adalah, Suku Anak Dalam (SAD) berasal dari Pagaruyung yang
diperbantukan Raja Pagaruyung ketika perang Kesultanan Melayu Jambi melawan Belanda atau
yg mereka sebut dengan Orang Kayo Putih (penjajah), namun jauhnya jarak tempuh membuat
mereka tidak berhasil menjalankan misi yang diamanahkan karena perang telah usai dan artinya
mereka gagal menjalankan amanah. Karena merasa malu dan tak berani untuk kembali ke
pagaruyung akhirnya mereka memilih untuk menetap dipedalaman hutan jambi. Versi ini juga
merupakan yang paling mendekati kebenaran tentang asal usul Suku Anak Dalam (SAD), hal
tersebut dikuatkan oleh sistim kekerabatan mereka yang menganut sistim matrilineal (garis ibu)
serta sumber hukum yang mereka gunakan adalah Pucuk Undang  Nan Salapan sebagai mana
yang dianut oleh masyarakat Minangkabau.
Van Dongen (1906) dalam Tempo (2002), menyebutkan bahwa orang rimba sebagai
orang primitif yang taraf kemampuannya masih sangat rendah dan tak beragama. mereka
melakukan transaksi dengan bersembunyi di dalam hutan dan melakukan barter, mereka
meletakkannya di pinggir hutan, kemudian orang melayu akan mengambil dan menukarnya.
Sementara Bernard Hagen (1908) dalam Tempo (2002) (die orang kubu auf Sumatra)
menyatakan orang rimba sebagai orang pra melayu yang merupakan penduduk asli Sumatera.
Senada dengan Bernard Hagen,  Paul Bescrta mengatakan bahwa orang rimba adalah proto
melayu (melayu tua) yang ada di semenanjung Melayu yang terdesak oleh kedatangan Melayu
muda.
Dari uraian di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan Koentjaramingrat
(Koentjaraningrat, 1993) bahwa asal mula adanya masyarakat terasing dapat di bagi dua yaitu
pertama, dengan menganggap bahwa masyarakat terasing itu merupakan sisa sisa dari suatu
produk lama yang tertinggal di daerah daerah yang tidak dilewati penduduk sekarang, kedua
bahwa mereka merupakan bagian dari penduduk sekarang yang karena peristiwa peristiwa
tertentu diusir atau melarikan diri ke daerah daerah terpencil sehingga mereka tidak mengikut
perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat.

Anda mungkin juga menyukai