Anda di halaman 1dari 23

Reproduksi Korupsi

J Danang Widoyoko

Anas Urbaningrum, Ketua Partai Demokrat, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Berita ini sesungguhnya telah ditunggu-tunggu cukup lama karena informasi tentang indikasi
keterlibatan Anas dalam kasus Hambalang berulang kali diungkapkan Nazarudin dan sejumlah
saksi lain.

Meski keterlibatan Anas masih harus dibuktikan oleh KPK, berita ini menambah panjang deretan
politikus muda yang tersangkut kasus korupsi. Fenomena ini sungguh memprihatinkan karena
banyak kalangan berharap besar kepada politikus muda untuk melakukan perubahan politik yang
lebih responsif, akuntabel, dan bersih dari korupsi. Alih-alih berubah, justru para politisi muda
terlibat dalam kasus korupsi, bahkan dalam skala lebih besar. Bukan hanya di ranah politik,
korupsi juga dilakukan di lembaga pendidikan.

Saat ini Rektor Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, telah dinyata- kan
sebagai tersangka dan ditahan karena kasus korupsi dana tanggung jawab sosial perusahaan.
Bantuan untuk petani dan orang miskin justru mengalir ke kantong para pejabat universitas itu.
Sungguh memprihatinkan karena semestinya kita berharap kampus menjadi oase tempat
kejujuran dan integritas dijunjung tinggi, bukannya justru ikut-ikutan melakukan korupsi.

Penyebab korupsi

Melihat kasus-kasus korupsi di atas, kita perlu melihat korupsi secara lebih jernih. Selama ini
korupsi dianggap sebagai masalah moral dan religius. Pelakunya dianggap kurang memegang
teguh ajaran agama dan moralitas. Maka, kemudian, solusi pemberantasan korupsi adalah
meningkatkan kualitas pendidikan keagamaan. Bahkan, di beberapa instansi pemerintah, untuk
memberantas korupsi diselenggarakan pelatihan kecerdasan spiritual.

Namun, lihatlah, banyak pela- ku korupsi justru orang yang taat beribadah. Kasus korupsi impor
daging sapi justru melibatkan ketua partai yang selama ini mengampanyekan antikorupsi dan
dikenal sangat agamis. Bahkan, pengadaan Al Quran di Kementerian Agama turut dikorupsi.

Banyak pihak yang memandang korupsi karena kecilnya gaji pejabat dan pegawai pemerintah.
Mereka melakukan korupsi karena didorong oleh kebutuhan ekonomis. Namun, dari kasus-kasus
korupsi yang melibatkan politisi, tampak hidup mereka jauh dari sederhana. Bahkan, Nazaruddin
bisa melarikan diri ke luar negeri sebelum akhirnya ditangkap KPK di Kolombia.

Juga bisa dilihat di televisi bagaimana para politisi korup memiliki rumah besar berharga mahal
plus mobil mewah. Dari gaya hidup mereka, jelas korupsi dilakukan bukan semata-mata karena
gajinya tidak cukup.
Dari kasus-kasus korupsi yang belakangan ini terungkap, saya justru melihat yang terjadi adalah
reproduksi korupsi di dalam masyarakat kita di berbagai bidang. Praktik korupsi dilakukan oleh
para politisi muda dan elite partai, baik partai yang sekuler maupun partai yang agamis.

Korupsi juga dilakukan di lembaga pendidikan yang membuatnya tidak berbeda dengan lembaga
peradilan, kantor pelayanan publik, dan berbagai instansi korup lainnya.

Habitus korupsi

Untuk memahami bagaimana reproduksi korupsi dilakukan, saya meminjam pemikiran Pierre
Bourdieu tentang habitus. Korupsi tak disebabkan semata-mata karena kreativitas individu yang
mampu mengakali hukum dan lembaga peradilan. Korupsi juga tak disebabkan semata-mata oleh
struktur atau sistem yang memaksa setiap individu di dalamnya untuk melakukan korupsi.
Korupsi dituntun oleh habitus yang memberikan panduan kepada individu di dalam masyarakat
bagaimana berkata, berpikir, dan bertindak.

Individu bersifat tahan lama dan bisa diwariskan atau dipindahposisikan mengikuti individu.
Namun, habitus bukan struktur atau sistem yang deterministik. Habitus dibentuk oleh individu-
individu melalui perulangan praktik sosial dalam jangka waktu yang lama. Habitus korupsi
dibentuk oleh perulangan praktik korupsi yang dilakukan secara terus-menerus dan tanpa
disadari kemudian menjadi sebuah habitus yang memberikan panduan dan pembelajaran kepada
siapa pun untuk melakukan korupsi.

Karena habitusnya korup, praktik korupsi kemudian menjadi suatu tindakan normal dan wajar.
Pelakunya tak merasa melakukan korupsi sehingga, dalam kasus Hambalang, seorang tersangka
justru dengan percaya diri mengatakan siap digantung di Monas apabila terbukti bersalah.
Habitus korupsi menjadikan seorang ustaz yang memimpin partai politik ikut mengatur dan
menikmati praktik korupsi sembari pada saat yang sama terus berkhotbah untuk bersih (tidak
korupsi) dan peduli kepada umat. Alih-alih melakukan pembenahan internal dan mengatur ulang
mekanisme pendanaan partai, penerusnya justru menyerukan tobat nasional dan menuding
adanya konspirasi.

Habitus menjadikan praktik korupsi tidak disadari lagi dan menjadi kebiasaan yang terus
berulang sehingga banyak pelaku dan pendukungnya seakan-akan tidak habis mengerti mengapa
mereka ditangkap karena korupsi. Habitus korupsi membuat korupsi direproduksi oleh para
individu di berbagai medan kehidupannya. Tidak mengherankan apabila kemudian praktik
korupsi tak hanya dilakukan oleh para politisi, tetapi juga terjadi di lembaga pendidikan atau
bahkan lembaga agama.

Korupsi direproduksi melalui praktik sehari-hari di dalam masyarakat yang dituntun oleh habitus
korup. Meskipun banyak koruptor telah dipenjarakan oleh penegak hukum, korupsi tetap terjadi
karena, sebagai praktik sosial, korupsi terus-menerus direproduksi. KPK pun tidak akan sanggup
memberantas korupsi karena kapasitasnya terlampau kecil untuk menghentikan barisan koruptor
yang terus muncul di medan politik, birokrasi pemerintah, organisasi agama, dan berbagai medan
kehidupan lainnya.

Agenda besar pemberantasan korupsi bukan sekadar memenjarakan koruptor, melainkan


bagaimana menghentikan reproduksi korupsi dengan melakukan transformasi dari habitus korup
menuju habitus antikorupsi. Membentuk habitus baru membutuhkan perulangan praktik sosial
secara terus-menerus sehingga, dalam pengertian ini, pemberantasan korupsi harus dilakukan
dengan konsisten. Tanpa mengubah habitus, akan banyak politisi, pemimpin agama, guru,
pegawai pemerintah, dan pengusaha yang akan memenuhi penjara.

J Danang Widoyoko Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

http://nasional.kompas.com/read/2013/03/09/
02002625/.reproduksi.korupsi
Korupsi dalam Pandangan Strukturalisme
Bourdieu
Pierre Bourdieu adalah seorang tokoh pemikir Prancis, dikenal juga sebagai filsuf
dan sosiolog, yang memberikan sumbangan terhadap ilmu-ilmu sosial budaya
dan berhasil membangun teori umum tentang praktik sosial. Bourdieu pada
awalnya masih dipengaruhi oleh strukturalisme, seperti Saussure dan Lvi-
Strauss. Namun kemudian, ia mengolah pandangan-pandangan tersebut dan
membangun suatu teori tentang model masyarakat (praktik sosial). Ia menyerang
pemahaman kaum strukturalis yang menciptakan objektivisme menyimpang
dengan memposisikan ilmuwan sosial sebagai pengamat. Menurutnya
pemahaman ini mengabaikan peran pelaku dan tindakan-tindakan praktis dalam
kehidupan sosial.

Bourdieu lalu menyebut alirannya sendiri sebagai constructivist structuralism


atau structuralist constructivism. Strukturalisme Bourdieu mengacu pada struktur-
struktur objektif, terlepas dari kesadaran dan keinginan pelaku, yang mampu
mengarahkan dan sekaligus menghalangi praktik-praktik atau representasi mereka.
Kemudian dengan menggunakan istilah konstruktivisme, ia menyatakan bahwa terdapat
genesis sosial dari skema-skema persepsi, pemikiran dan aksi, serta bagian lain dari
struktur sosial. Konsep Bourdieu ini menghasilkan cara pandang dan metode baru yang
mengatasi berbagai perdebatan mengenai pemahaman objektivisme dan subjektivisme.
Pemikirannya bukan hanya menjawab pertanyaan tentang asal usul dan seluk beluk
masyarakat tetapi lebih pada menjawab persoalan-persoalan baru yang diturunkan dari
pemikiran-pemikiran terdahulu (eksistensialisme dan strukturalisme).

Tiang-tiang Konseptual Bourdieu

Terdapat dua konsep penting dalam pemikiran Bourdieu, yaitu habitus dan arena
(champ). Kedua konsep ini didukung oleh sejumlah konsep, antara lain modal (capital), praktik
sosial (pratique sociale), persaingan dan strategi. Keseluruhan konsep-konsep tersebut sangat
berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Habitus yang merupakan struktur kognitif
yang menghubungkan individu dan realitas sosial, memungkinkan pelaku hidup dalam
keseharian secara spontan dan melakukan hubungan dengan pihak-pihak di luar dirinya. Dalam
proses interaksi ini, maka terbentuklah sebuah arena sosial, yaitu jaringan relasi yang
terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan
masyarakat yang terbentuk secara spontan. Kemudian di dalam arena ini terdapat persaingan
kekuatan-kekuatan antara pelaku yang memiliki banyak modal dengan individu yang memiliki
sedikit dan atau bahkan tidak memiliki modal. Modal yang dikemukakan Bourdieu adalah
sebuah konsentrasi kekuatan yang spesifik, suatu bentuk kekuasaan yang dapat melakukan
kontrol terhadap masa depan diri sendiri dan orang lain. Karena untuk dapat bertahan dalam
sebuah arena, pelaku dituntut untuk memiliki modal sebanyak-banyaknya dan didukung oleh
kemampuan pelaku dalam menciptakan strategi agar dapat bersaing dengan pelaku-pelaku
lainnya. Ia mengklasifikasikan modal ke dalam dua jenis, yaitu modal ekonomi dan modal
budaya. Modal ekonomi, yang paling efisien, menurutnya berupa alat-alat produksi, materi dan
uang. Sedangkan modal budaya berhubungan dengan kesuluruhan kualifikasi intelektual yang
bisa diproduksi melalui pendidikan formal ataupun warisan keluarga.

Konsep Habitus

Habitus merupakan sistem yang terdiri dari kecenderungan-kecenderungan ajeg yang


berlangsung di dalam diri pelaku sepanjang hidupnya, yang dapat mendorong praktik di
berbagai arena berbeda, yang berfungsi sebagai basis pembentuk praktik yang terstruktur dan
yang secara objektif disatukan. Habitus dapat dikatakan pula sebagai struktur mental atau
kognitif yang digunakan aktor/individu untuk menghadapi kehidupan sosial. Setiap aktor
dibekali dengan serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang mereka gunakan
untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah
aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara dialektis, habitus adalah
produk internalisasi struktur dunia sosial. Atau dengan kata lain habitus dilihat sebagai
struktur sosial terinternalisasi yang diwujudkan.

Habitus mencerminkan pembagian obyektif dalam struktur kelas seperti umur, jenis
kelamin, kelompok dan kelas sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya posisi
dalam kehidupan sosial diduduki. Habitus berbeda-beda pada setiap orang tergantung pada
posisi seseorang dalam kehidupan sosial; tidak setiap orang memiliki kebiasaan yang sama;
orang yang menduduki posisi yang sama dalam kehidupan sosial, cenderung mempunyai
kebiasaan yang sama. Habitus lebih didasarkan pada keputusan impulsif, di mana seorang
individu bereaksi secara efisien dalam semua aspek kehidupan. Habitus menghasilkan dan
dihasilkan oleh kehidupan sosial. Pada satu sisi, habitus adalah struktur yang menstruktur,
artinya habitus adalah sebuah struktur yang menstruktur kehidupan sosial. Di sisi lain, habitus
adalah struktur yang terstruktur, yaitu habitus merupakan struktur yang distruktur oleh dunia
sosial.
Meskipun terkadang disalah-artikan sebagai kebiasaan khusus dalam kehidupan sehari-
hari, atau sebagai sinonim dari sosialisasi, habitus sesungguhnya merupakan bagian dari teori
Bourdieu tentang praktek pengungkapan perwatakan dalam ruang sosial. Ruang ini juga
merupakan suatu arena sosial yang di dalamnya setiap anggota membentuk suatu sistem
hubungan yang didasarkan atas pertaruhan (kekuasaan) yang bermakna dan diinginkan oleh
anggota ruang sosial. Habitus merupakan sejenis ungkapan penanaman (tak sadar) dari orang-
orang yang berkepentingan dalam ruang sosial ini. Ia adalah sejenis tatanan tingkah laku yang
dipakai untuk membedakan satu kelas (yang mendominasi) dengan kelas lainnya (yang
didominasi) dalam arena sosial. Bourdieu melihat habitus sebagai suatu sistem skema
pembentukan praktek-praktek tertentu. Skema habitus dan bentuk-bentuk klasifikasi primer
bergerak di luar kesadaran dan bahasa, melampaui jangkauan pengamatan introspektif atau
kontrol oleh keinginan pelaku.

Habitus mencakup pengetahuan dan pemahaman tentang dunia, yang membuat


kontribusi terpisah pada realitas dunia. Karena modus perkembangannya, habitus kemudian
tidak pernah tetap, baik melalui waktu bagi seorang individu maupun dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Karena posisi-posisi dalam arena-arena sosial berubah, kecenderungan-
kecenderungan yang membentuk habitus pun berubah. Dapat dikatakan bahwa hubungan
antara habitus dan arena adalah relasi dua-arah. Arena hanya dapat bertahan selama pelaku-
pelaku sosial memiliki kecenderungan-kecenderungan dan serangkaian skema perseptual yang
dibutuhkan untuk membentuk arena tersebut. Selanjutnya, dengan berpartisipasi dalam arena,
pelaku dapat memasukkan pengetahuan (savoir-faire) yang memadai ke dalam habitus mereka,
yang akan memungkinkan mereka membentuk arena. Jadi, habitus mewujudkan struktur-
struktur arena, sedangkan arena menjembatani habitus dan praktik sosial.

Dalam kehidupan nyata, kita dapat mengatakan bahwa korupsi di Indonesia telah
menjadi sebuah habitus, yang artinya sebagai prinsip penggerak dan pengatur praktik-praktik
hidup dan representasi masyarakat. Hampir di segala bidang, untuk menyelesaikan berbagai
urusan harus dengan mengeluarkan biaya di luar pungutan resmi. Keterampilan
menyalahgunakan uang telah menjadi representasi kekuasaan. Korupsi identik sebagai jalan
keluar yang paling tepat dalam menyelesaikan semua masalah. Begitu lumrahnya korupsi di
Indonesia, seakan ia merupakan sarana kehidupan dan dapat disetarakan dengan upaya-upaya
lainnya yang sah di mata hukum. Sejalan dengan konsep habitus, korupsi merupakan struktur
yang telah menstruktur kehidupan sosial. Sebagai contoh, untuk dapat bekerja di departemen
pemerintah, calon pegawai negeri sipil harus membayar 50 juta rupiah; lolos seleksi akademi
kepolisian dikenakan biaya 40 juta rupiah; masuk dalam daftar calon legislatif membayar 100
juta rupiah. Tentu saja setelah mereka berhasil mendapatkan jabatan diinginkan, mereka akan
menuntut kembali dana yang telah mereka keluarkan untuk bisa menduduki kursi jabatan
tersebut (reproduksi perilaku). Kesadaran balik-modal ini menjadi bagian dari habitus yang
merupakan sumber penggerak pemikiran dan tindakan korupsi.

Melalui konsep habitus, korupsi dijelaskan sebagai bentuk reproduksi praktik-praktik


sosial tertentu. Tindak korupsi seseorang dilihat sebagai reproduksi tindakan atau hanya
sebagai salah satu varian sistem kecenderungan umum, yang kemudian menjadi jelas. Meski
dilihat sebagai praktik perorangan, korupsi telah menjadi bagian dari praktik umum, tidak hanya
melalui keseragaman, tetapi juga dengan variasi tindakan. Bahkan mereka yang kritis terhadap
korupsi, begitu masuk ke dalam struktur kekuasaan (politik atau ekonomi), akan mereproduksi
praktik korupsi. Korupsi sudah menjadi sistem disposisi yang bertahan lama dan diwariskan
adari generasi ke generasi. Awalnya merupakan struktur yang dibentuk, kemudian berperan
membentuk perilaku, lalu ia menjadi prinsip penggerak dan pengatur praktik-praktik hidup
masyarakat tanpa disadari.

Penutup

Manusia secara tidak sadar akan membawa sistem-sistem yang tertanam dalam dirinya
(habitus) serta kemampuan atau sumber daya mereka dan kemudian bersosialisasi untuk
mencapai tujuan tertentu. Sebagai contoh dalam bidang linguistik, habitus merupakan sebuah
kecenderungan budaya untuk mengatakan hal-hal tertentu, sebagai suatu kompetensi linguistik
yang spesifik untuk mengatakan sesuatu secara benar dan kapasitas sosial untuk
menggunakan kompetensi itu secara tepat. Habitus ini ditanamkan sejak kecil dengan teguran
dan larangan jika kita berkata-kata dengan tidak tepat di dalam situasi tertentu, baik di rumah,
maupun di lingkungan akademis misalnya.

Konsep Bourdieu pada dasarnya mencoba untuk mendamaikan subjektivisme


objektivisme. Ia berpendapat bahwa pada tatanan masyarakat, subjektivisme dan objektivisme
tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling berkaitan erat. Manusia pada hakikatnya
memiliki kebebasan dalam hidup untuk menentukan pilihannya (contoh: dengan menjadi subjek
atas dirinya sendiri), namun juga tetap dipengaruhi oleh struktur-struktur yang ada di
sekelilingnya.

http://chris-
andriyanto.blogspot.co.id/2014/01/korupsi-
dalam-pandangan-strukturalisme.html
Habitus Politik dan Keniscayaan Korupsi
Agus Sudibyo, Direktur Indonesia Research Centre Jakarta

Kejahatan akan lebih merusak jika dilakukan oleh orang-orang yang tidak sadar
sedang melakukan kejahatan dan merasa hanya melakukan sesuatu yang lazim
dilakukan orang-orang di sekelilingnya. Kejahatan itu juga lebih menggemparkan
jika dilakukan orang-orang yang dalam pembawaan sehari-harinya sama sekali
tidak menunjukkan gelagat penjahat ulung, bahkan mengesankan pribadi yang
baik-baik saja.

Teori banalitas kejahatan ini diutarakan teoretikus politik, Hannah Arendt, untuk
menjelaskan orang-orang dengan ekspresi diri yang biasa-biasa saja, normal, dan
tidak menakutkan, tapi telah menjadi mesin pembunuh yang bengis dan tak
berperikemanusiaan setelah menjadi bagian dari rezim Nazi. Bagi Arendt, orang-
orang ini jahat bukan karena hatinya jahat, melainkan karena tak mampu
mengambil jarak dari sistem, lingkungan, dan struktur yang mengkondisikan
kejahatan sebagai keniscayaan, bahkan keharusan. Mereka adalah orang-orang
yang tidak mampu berdialog dengan hati nurani dan memasrahkan diri kepada
tatanan yang telanjur irasional dan bengkok.

Korupsi di Indonesia hari ini telah mencapai taraf banalitas kejahatan itu. Dalam
pengertian bahwa para pelakunya tak lagi melihat korupsi sebagai dosa,
pelanggaran, atau pengkhianatan, melainkan sebagai konsekuensi dari jabatan,
status, atau pekerjaan. Mereka telah mati rasa terhadap korupsi. Maka korupsi
terjadi dalam skala yang masif, mencakup kasus apa saja, termasuk kasus
pengadaan kitab suci Al-Quran atau kasus dana bantuan kemanusiaan. Pelaku
korupsi juga bisa siapa saja, tanpa terkecuali dosen teladan, mantan mahasiswa
terbaik, rektor, guru besar, ulama, hakim, tokoh reformasi, dan lain-lain. Dunia
seperti terbalik-balik. Orang-orang yang telanjur sebagai simbol moralitas menjadi
terdakwa korupsi. Sebagian tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah orang
yang tergolong jempolan dalam urusan ibadah. "Berada di balik jeruji, membuat
saya lebih khusyuk beribadah, lebih dekat dengan Tuhan," demikian ujar mereka.
Begitu paradoksal! Kita harus memasukkan orang-orang yang tampaknya saleh dan
baik-baik itu ke dalam kategori penjahat.

Mengapa korupsi menjadi demikian banal di Indonesia? Salah satu penjelasannya


adalah, kita telah lama hidup dengan habitus yang meletakkan korupsi sebagai
keniscayaan dalam kehidupan publik. Korupsi adalah praktek yang otomatis terjadi
ketika masyarakat mengakses pelayanan publik pada semua lini dan semua level
birokrasi. Bentuknya berupa pungutan liar dalam pengurusan KTP, SIM, akta
kelahiran, izin usaha, surat kelakuan baik, dan seterusnya. Walaupun kecil nilainya,
karena dialami hampir semua warga negara, pungli secara akumulatif
sesungguhnya merupakan "mega-korupsi". Namun korupsi jenis ini kurang
mendapat tempat di ruang publik yang telah didominasi oleh perbincangan tentang
korupsi yang melibatkan nama-nama besar elite kekuasaan.
Gerakan reformasi terbukti tidak berhasil mengubah keadaan bahwa pungli adalah
realitas generik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Untuk urusan apa saja,
masyarakat tetap harus mengeluarkan uang pelicin. Memberi atau menerima uang
pelicin telah menjadi praktek yang sistematis. Masyarakat tidak mempunyai cukup
energi untuk terus-menerus mempersoalkannya, sehingga lebih banyak
menerimanya sebagai kewajaran, bahkan sebagai kebutuhan yang tak terhindarkan
untuk mempermudah banyak urusan.

Pada gilirannya, siapa pun yang menjadi pejabat publik, lambat tapi pasti akan
mempersepsikan pungli sebagai hak, sebagai kesempatan. Selalu ada pembenaran
untuk pungli, sebagaimana selalu ada rasionalitas untuk menerima suap. Ketika
semua pihak telah "mati rasa" terhadap pungli atau suap, pelayanan publik pun
semakin vulgar diperjualbelikan dengan matra penawaran-permintaan. Habitus dan
lingkungan seperti inilah yang menjelaskan mengapa masyarakat, birokrasi,
pengambil kebijakan, dan penegak hukum semakin pragmatis-permisif terhadap
segala bentuk korupsi.

Pada sisi lain, kita dihadapkan kepada skema persepsi sekaligus realitas bahwa
berpolitik itu mahal di ongkos. Berpolitik adalah urusan berapa besar modal yang
harus diinvestasikan dalam suatu proyek. Sebagai gambaran, untuk menjadi
anggota DPR RI, seorang politikus harus menyiapkan dana sekurang-kurangnya Rp
3 miliar untuk kampanye dan pemenangan pemilu. Sebuah investasi yang mahal
dan belum tentu berhasil. Maka cukup manusiawi, ketika berhasil menjadi wakil
rakyat, politikus disibukkan oleh pikiran bagaimana mengembalikan modal atau
memberikan keuntungan ekonomi kepada penyandang dana sesegera mungkin.
Demikian juga mereka yang menduduki jabatan strategis di lembaga-lembaga
negara, selalu dihantui keharusan untuk membalas budi para sponsor politik.
Persoalannya, bagaimana proses kembali modal atau balas budi politik ini
dilakukan? Keadaan dan lingkungan pergaulan membuat banyak pejabat publik tak
bisa menghindari nepotisme, kolusi, suap, patgulipat proyek dalam hal ini.

Tak pelak lagi, politik secara kolektif dijalankan dengan hipokrisi. Di dalam pidato-
pidato, sambutan-sambutan, serta pernyataan media, pejabat publik pasti
menyuarakan kebajikan, kepedulian, kejujuran, dan kesetiaan. Namun, dalam
kenyataan, mereka diam-diam melakukan manipulasi dan penyelewengan. Tanpa
perencanaan sekalipun, mereka selalu secara otomatis dapat memilah-milah apa
yang harus dibicarakan di depan publik tentang politik, apa yang benar-benar
dipraktekkan di dalam kehidupan politik.

Pemberantasan korupsi hampir tak mungkin dilakukan tanpa mengubah habitus


politik yang seperti ini. Kita harus memulainya dengan menumbuhkan kembali rasa
sakit, marah, atau malu masyarakat ketika menghadapi pungli, sogok, dan politik
uang. Pemberantasan korupsi sangat tergantung kepada sejauh mana masyarakat
mampu mempertahankan skema persepsi bahwa korupsi adalah penyakit yang tak
boleh dibiarkan terus-menerus menggerogoti sendi-sendi kehidupan publik. Sistem
pemilu juga perlu dikaji ulang sehingga berpolitik tidak semakin mahal, boros dan
jorjoran. Tanpa menangguhkan reformasi di bidang politik, kita harus mencari
alternatif lain yang lebih kondusif bagi upaya mewujudkan tatanan politik yang
bersih dan akuntabel. *

http://www.tempo.co/read/kolom/2013/10/24/
858/Habitus-Politik-dan-Keniscayaan-Korupsi
Habitus, Korupsi, Transformasi ?
Habitus, Korupsi Dan Transformasi.

Di Indonesia ini telah mengalami berbagai macam polemik yang terjadi di berbagai
macam bidang sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan, membicarakan sebuah
polemic tidak akan pernah ada habisnya, karena pada hakikatnya sebuah
masyarakat baik secara makro ataupun mikro pasti mengalami sebuah konflik yang
mengakibatkan terjadinya sebuah problematika secara individu maupun bersama.
Sebagai pemaparan bahwa polemik itu terjadi kita berkacamata pada masyarakat di
Negara ini, telah banyak terjadi masalah dari tahun ke tahun di Negara ini tak
kunjung selesai dengan berbagai macam pula masalah tersebut, namun saya
berusah melihat dari satu aspek polemik yang terjadi, yaitu adalah tindak korupsi
sebagai suatu wadah dimana kejahatan politik dan ekonomi itu terjadi sehingga
dapat memberikan suatu pengaruh negatif bagi Negara itu sendiri.

Berbagai badan penegak hukum di buat tidak serta merta hanya sebagai hiasan
sebuah lembaga peradilan dengan keadaan sekarang sangatlah sulit menlihat
bahwa itu adalah tindakan yang salah, hal ini dikatakan berlanjut karena ketidak
bergeraknya elemen yang ada untuk memberantas dengan saling sosialisasi,
namun untuk sekarang keadaan itu terjadi sebagai semu di masyarakat.

Korupsi di Indonesia begitu banyak terjadi dan menjadi sebuah tatanan yang biasa,
dalam suatu kegiatan yang di lakukan bagi sebagian orang baik secara individu
maupun secara berkelompok. Dari tahun ketahun Indonesia telah mengalami suatu
kemunduran, baik secara ekonomi maupun moral yang menjadi citra bagi bangsa
ini, karena kata kunci dalam polemik ini merupakan suatu wujud pengendalian diri
terhadap diri individu tersebut dan masyarakat (kelompok), tentang bagaimana
memaknai sesuatu kegiatan (dalam hal ini tindakan) dengan tanpa melakukan
tindakan korupsi. Terjadi sebuah pertanyaan bagi tindak korupsi di sini sebagai opsi
untuk melihat maksud dari tindakan korupsi ini, pertama apakah latar belakang
terhadap tindak korupsi, kedua apakah korupsi itu pengaruh dari sistem sosial yang
terbentuk sehingga telah menjadi sebuah habitus yang tertanam di tiap pelaku
korupsi tersebut. Demi menjawab pertanyaan tersebut maka haruslah di pahami
terlebih dahulu bagaimana dan mengapa korupsi itu ada.

Setelah terjadinya korupsi adalah bukan untuk tetap membiarkan korupsi itu terus
berlanjut, tetapi dengan di lakukannya peninjauan atau sebuah pemberantasan
terhadap tindak korupsi disini, dengan membiarkan suatu tindakan korupsi sebagai
awal habitus terhadap pemberantasan korupsi. Sebelum lebih jauh, baiknya untuk
lebih memperdalam sebuah tindakan korupsi terhadap habitus dan bagaimana
habitus sebagai transformasi gerakan anti korupsi.

Indonesia terkorup di antara 12 negara di Asia, diikuti India dan Vietnam. Thailand,
Malaysia, dan Cina berada pada posisi keempat. Sementara negara yang
menduduki peringkat terendah tingkat korupsinya adalah Singapura, Jepang,
Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan. Korupsi, menurut asal kata berbahasa latin,
corruption. Kata ini sendiri punya kata kerja corrumpere yang artinya busuk, rusak,
mengoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Menurut Transparency Internasional,
korupsi adalah perilaku pejabat public yang secara tidak wajar dan legal
memperkaya dirinya ataupun memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya,
dengan cara menyalahgunakan kekuasaan public yang di percayakan kepada
mereka. Dalam konsepsi korupsi berlakunya sebuah dominasi baik secara personal
maupun interpersonal dan keadaan tersebut dapat di jelaskan dari berbagai sudut
pandang, memahami hal tersebut dapat di artikan bahwa korupsi merupakan
tindakan yang dimana memiliki ruang lingkup yang luas yang sehingga memberikan
sebuah peluang untuk siapa saja melakukan tindak korupsi tersebut.
Sebagaimana kita tahu korupsi adalah sebuah kebohongan yang semu dimana
manipulasi sebuah sistem yang ada di buat sedemikian rupa agar tidak di ketahui
secara valid dimana korupsi itu terjangkit, sehingga keadaan tersebut menajadi
sebuah simulakra dalam sebuah tindakan murni. Korupsi memang sudah mengakar
kuat dan masuk ke setiap lini kehidupan bangsa Indonesia, oleh karenanya segala
daya dan kekuatan bangsa ini harus dicurahkan untuk memberantas penyakit
kronis ini, Menurut Karni Ilyas, pemerhati dan kolumnis masalah-masalah hukum di
Indonesia, jika dipersamakan dengan penyakit kanker, situasi korupsi di Indonesia
sudah mencapai stadium 4 (empat) atau sudah tidak mungkin untuk di atasi lagi..
penyataan itu.. kurang lebih 10 (sepuluh) tahun yan lampau.

Mengapa korupsi itu terus bertahan di Negara yang penuh dengan lembaga hukum
di Indonesia, dapat di katakan secara konspirasi bahwa jika pemimpin korup, maka
bagaimana dengan bawahannya, keadaan tersebut bagaikan ironi yang membuat
korupsi itu menjadi sebuah dominasi untuk mementingan golongan tertentu,
lemahnya hukum luasnya ruang gerak dalam penegakkannya korupsi itu tercampur,
korupsi terjadi juga akibat ketidak mampuan mental bertanggung jawab terhadap
kewajiban pekerjaannya tersebut, faktor terbesar adalah kapitalis yang bertombak
pada matrealisme yang tinggi terhadap ekonomi yang terjadi, hal ini sangatlah
berpengaruh karena dalam pola konsumsi ekonomi di Indonesia sangatlah tinggi.

Melihat fenomena korupsi idak cukup dengan pengamatan biasa, Indonesia sudah
lebih dari 60 tahun meredeka tapi pola korupsi terus merajalarela. Artinya, pada
lembaga birokrasi korupsi sudah menjadi struktur dan lebih parah lagi,sudah
menjadi skema yang sistemik. Jika ada seorang pegawai jujur masuk kedalam
birokrasi, maka ia bisa menjadi koruptur pula walau sevara tidak langsung. Pola ini
lahir dari kecenderungan sejarah. Peristiwa-peristiwa sejarah masa lalu menjadi
muara yang terus mengalirkan aliran korupsi-korupsi hingga hari ini. Pola sejarah ini
bermula dari penyelewengan yang dilakukan oleh pegawai-pegawai VOC yang
menimbun barang dan membuat cek palsu untuk memeperkaya diri mereka. Pola
ini kemudian menular dan terus menahun di tubuh manusia Indonesia karena
merasakan nikmatnya menjadi kaya dengan jalan pintas, yakni korupsi.

Jika dalam kajian fungsionalisme struktur adalah penentu yang melahirkan perilaku
korupsi misalnya, namun indikasi-indikasi yang ditimbulkan pastinya bukan dari
struktur semata namun juga ada keterlibatan actor disana. Ingat, bahwa yang
pertama kali memunculkan penyelewengan korupsi ini adalah ide kreatif dari
pegawai VOC. Ide ini telah membuat struktur terbentuk dan pola-pola kemudian
merajut menjadi satu dengan kpentingan-kepentingan yang telah menjadi skema
tersendiri.

Pierre Bourdeau menyatakan bahwa pola-pola bukan sekedar turunan dari struktur
seperti asumsi dari teoritis fungsionalisme, namun yang lebih signifikan dari
tindakan yang sudah terpolrisasi adalah kebiasaan. Kebiasaan itu lahir berkat
adanya suatu struktur besar yang membuat individu terpakasa berafiliasi kepada
struktur besar tersebut. Pola afiliasi ini lebih mengacu kepada suatu keberlanjutan
dari sejarah. Sejarah bagaikan suatu hilir yang memproduksi aliran-aliran yang
berkolaborasi dengan faktor-faktor seperti perbedaan SDA, perbedaan modal, dan
focus Negara melahirkan suatu muara yang terdiri dari dua hilir ini. Maka kapasitas
ini telah mendorong produksi pikiran, perspesi, ekspresi, dan tindakan yang dibatasi
oleh sejarah dan kondisi-kondisi sosial.

Korupsi, bisa dilihat dari habitus. Korupsi terwujud pada apresiasi yang
memproduksi pikiran, dan tindakan kotor yang bisa dilihat sbagai pola keberlanjutan
dari dua sumber yang telah disebutkan diatas. Pola sejarah, telah disnutkan bahwa
VOC adalah sumber dari keberlanjutan dari kanker korupsi, dan perbedaaan-
perbedaan yang terjadi dari perbedaan SDA. SDA yang tidak terbagi sempurna dan
cendrung dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu telah membuat orang lain yang
ingin menikmati kue dari SDA itu mendekati pihak-pihak penguasa dan terjadilah
pola kolusi dan nepotisme. Kemudian perbedaan modal telah memunculkan tentang
konsep selera. Orang yang ingin merasakan menjadi orang kaya secara instan
dan berselera kaya terus melalukan pendekatan-pendekatan kepada pihak yang
berkuasa. Dan yang terakhir adalah Negara. Negara yang telah disusupi oleh
kepentingan telah memunculkan budaya-budaya korupsi.

Begitu seringnya korupsi itu terjadi karena budaya, budaya itu menghasilkan
kebisaan dan kini menurut Pierre Bordieu menciptakan sebuah habitus sebagai
makna dari tindakan korupsi itu, Habitus adalah struktur mental atau konitif yang
di gunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Aktor dibekali serangkaian
skema ata pola yang di iternalisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan,
mamahami, dan menyadari, dan menilai dunia sosial. Habitus tercipta karena
periode historis seperti di jelaskan sebelumnya, bagaimana sebuah sejarah
menetukan kedepannya sebuah masa depan, dan tidak salah pula sebuah
konspirasi memandang bahwa jika pemimpin itu korup maka bagaimana nasib para
bawahannya tersebut. Habitus sendiri merupakan hasil dan di hasilkan oleh
masyarakat oleh Karen itu korupsi itu terbentuk karena adanya sifat korup itu
sendiri dalam kegiatan korupsi itu seperti sebelumnya dikatakan, habitus adalah
sebuah struktur dimana sistem sistem yang ada didalamnya sangatlah berpengaruh
untuk menggerakan arah tujuan yang di inginkan.

Lapangan, adalah sebuah syarat sebuah habitus dan habitus sendiri adalah sebuah
lapangan, hubungan dialektis ada dalam suatu tatanan habitus, hubungan dialektis
itu sendiri berupa cara berpikir dan citra, dialektika menekankan pada sebuah arti
penting yaitu proses, hubungan dan kontradiksi, hal ini juga mempunyai sebuah
penjelasan dari sebuah tindakan korupsi yang menjadi citra adalah makna tindakan
korupsi, terjadinya korupsi itu merupakan hasil dari sebuah tindakan yang menjadi
sebuah proses dan saling berhubungan inilah dialektis sebuah korupsi dalam
sebuah tindakan korupsi, dalam Habitus melihat sebuah strukturalisme hal ini tidak
sama dengan strukturalis lain Bordieu melihat strukturalis secara makro dengan
demikian peran actor disini di pandang lebih meluas dan begitu pula pada sebuah
korupsi; Pierre Bordieu mekomposisikan teorinya dengan teori Durkheim. Korupsi itu
ada karena adanya ruang, ruang disini merupakan, ruang sosial itu tercipta atau
ada karena sebuah tindakan yang mengentarai habitus dan kehidupan sosial.

Disisi lain, tindakan korupsi memiliki tasndingan dimana kondisi korup yang telah
terjadi menjadi sebuah pemberantasan untuk membelenggu tindakan korupsi,
sebagai suatu tindak pemberantasan yang di namakan sebagai transfomasi yang
dimana transformasi sendiri memiliki arti sebagai perubahan, dan menjadi, alih
fungsi yang dimaksud disini adalah tindak korupsi, posisi korupsi disini yang terus
merajalela menurut Bordieu tetang distinction menjelaskan sebuah perubahan
kebudayaan, disini transformasi itu harus di jelaskan dengan memberikan sebuah
perubahan yang realistis dari sebuah budaya korupsi itu untuk berubah.
Jika ingin melakukan sebuah perubahan (yang dalam arti di sini transformasi),
dilihat bagaimana sebuah pola sistem yang ada di Negara itu, agar korupsi itu dapa
di tindak lanjuti, Bordieu menjelaskan sebuah perubahan atau transformasi haruslah
melihat pada pola yang menurut Bordieu di bagi menjadi tiga bagian yaitu SDA,
Modal dan Negara.

Melihat sebuah tindak korupsi yang dialami oleh pengelolaan SDA yang tidak rata
yang merupakan pola pertama, sedikit di jelaskan tadi sebagai penjelasnya akan di
tambahkan tentang perilaku manipulasi itu terjadi SDA tersebut, hal itu tercipta
karena sebuah dominasi dan underine mechanism itu ada, seperti apa yang dialami
oleh perusahaan kelapa sawit yang merupakan produk ekspor namun tidak samapai
pada sebuah kemakmuran di masyarakat kemakmuran tersebut, mengapa
dikatakan demikian karena proses eksportr dalam perpajakan sudah di latar
belakangi oleh sebuah korupsi sebagai kepentingan dari golongan golongan
tertentu sehingga pemerataan itu tidak sampai pada apa yang di inginkan, kerena
banyaknya prosedur yang berbelit dan pengawasan yang tidak tepat sehingga hal
tersebut terjadi, jika memberikan sebuah habitus yang merupakan produksi dalam
sebuah tindakan. Haruslah dilakukan penanaman sebuah dominasi positif terhadap
kekuasaan agar bisa menimbulkan kesadaran dimana kejahatan korupsi
memberikan cerminan terhadap perilaku perpajakan, pemberantasannya adalah
dengan melakukan sebuah pengawasan yang real terhadap mafia perpajakan untuk
meminimalisir ruang gerak terhadap habitus korupsi yang ada.
Pola kedua, adalah sebuah ketertarikan terhadap sumber modal yang tinggi,
sehingga memberikan minat terhadap perilaku korupsi sehingga hal tersebut di
lakukan dengan melepas kepentingan orang lain demi kepentingan pribadi, dari hal
tersebut memberikan lagi sebuah peluang korupsi dengan habitus terhadap pola
modal yang korup, transformasi pemberantasan korupsi ini habitus yang di ubah
adalah pola dimana pemikiran sebuah modal itu tidak dapat di manipulasi pula, dan
lagi adalah sebuah pengawasan yang ketat. Dengan membuat oraganisasi
pengawasan lebih spesifik lagi dengan audit yang jelas dan secara terukur dan
kredibel habitus tersebut akan bertransfomasi menjadi satu kedisiplinan mental.
Kemudian pola yang ketiga, Negara yang merupakan bagian penting yang menurut
Bordieu sebagai motor penggerak sebuah masyarakat, dalam pengaruhnya
terhadap habitus dengan korupsi memberikan keadaan yang sangat signifikan.
Negara menyelewangkan anggaran, yang tidak masuk pada rakyat menjadi sebuah
polemik yang terus terjadi secara semu, dalam sebuah pemberantasan
penyelewengan anggaran Negara ini GKPK diperlukan sekali dalam bidang
pengawasan sebagai perubahan nilai Habitus yang ada.

Terlepas dari pola yang Bordieu Jelaskan masih banyak motif yang menjadi pola
saat ini, dari berbagai kegiatan yang ada, adalah memeras rakyat. Hal ini menjadi
sebuah habitus di karenakan berbagai faktor yang menjadi persoalan yaitu,
pertama, lapangan kerja yang sempit di tengah pertumbuhan angkatan kerja yang
besar. Kedua, kewenangan yang tidak terkontrol dari (pimpinan) instansi
pemerintahan tertentu. Ketiga, pihak pemerintah nasional terkait jarang untuk
peduli terhadap kondisi birokrasi daerah yang carut carut dan kotor itu. Ha ini
menyebabkan tindakan yang disebut juga sebagai korupsi, dari ketiga hal tersebut
sebuah habitus terlihat sudah tercipta secara tidak langsung dengan berbagai
macam pola.
Kosekuensi yang harus di jalani adaah efek negatif terhadap moralitas dari sebuah
pegelolaan, sistem yang tertatan itu menjadi rusak dan kembalilah jika ingin adanya
sebuah perubahan dengan dilkukannya sebuah pembangunan moralitas terhadap
tindakan transformasi pemberantasan korupsi dengan habitus tersebut.

Jika dilihat kembali Habitus berfungsi dibawah tingkat kesadaran dan bahasa,
diluar jangkauan pengamatan dan pengendalian oleh kemauan. Namun ia
mewujudkan dirinya dalam aktivitas kita yang sangat praktis seperti cara kita
makan, berbicara, dan bahkan dalam cara kita membuang ingus. Kebiasaan atau
habitus ini berpertan sebagai struktur, tetapi orang tak memberikan tanggapan
terhadapnya atau terhadap struktur eksternal yang mempengaruhi secara mekanis.
Jadi dalam pendekatan Bordieu, kita menghindari keekstreman sesuatu yang baru
yang tak teramalkan dan determinisme total ;Selera sebagai habitus juga termasuk
sebagai indikator terhadap tindak korupsi, dalam pola ini berbagai macam kegiatan
dan jenis korupsi itu terjadi.

Dalam tindakan korupsi, seseorang dapat memiliki keuntungan yang cukup banyak
namun dengan kosekuensi kerugian pada lain pihak sebagaimana mestinya sebuah
tindakan korupsi yang telah menpengaruhi habitus ini, di berikan sebuah batasan
batasan yang menjadi tolak ukur tindak korupsi, sehubungan dengan itu sudah
tidak sedikit dengan banyaknya kasus korupsi yang terungkap menjelaskan batasan
itu adalah tranformasi yang berupa pemberantasan. Jika sebuah korupsi itu masih
banyak terjadi, sebuah sistem itu harus lebih banyak membuat lembaga
pemberantasan korupsi lebih spesifik, terbuka, transparansi terhadap publik, pada
tindak korupsi sebelumnya berjalan Karena adanya sebuah underline mechanism,
yang merupakan awal kemudian adanya ruang sebuah tindakan, dan bagaimana
sebuah mental menjai rusak, namun anehnya melihat adanya lembaga hukum dan
lembaga pengawasan, hal itu masih tetap ada dan sangat sulit di berantas, dengan
habitus yang sudah mendarah daging dalam kehidupan itu membangunan ekonomi
dan sosial di masyarakat transformasi habitus itu akan terjadi dalam konteks
pemberantasan, jika semua itu dilakukan tidak menutup kemungkinan maka habitus
itu akan terbentuk menjadi lebih baik lagi.

--------------

Daftar Pustaka

Giddens, Anthony dkk. 2009. Sosiologi Sejarah Dan Berbagai Pemikiranny. Terj. La
Sociologie History Et Idees. Bantul : Kreasi Wacana

Kaligis, O.C. 2006. Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana
Khusus dalam Pemberantasan Korupsi. Jakarta : Alumni

Kaligis, O.C.2008. Praktik Tebang Pilih Korupsi. Jakarta : Alumni

Ritzer, George & Douglas J. Goodman, dkk. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta :
Kencana Prenada Media Group.
Posted by Kirlian at 20.17
http://kirliankid.blogspot.co.id/2011/02/habitus-korupsi-transformasi.html
Habitus Baru Melawan Korupsi

Sebuah organisasi mahasiswa mengadakan seminar. Di dalam proposal pencarian dana tercantum
honor untuk setiap penceramah sebesar lima ratus ribu rupiah. Dalam pelaksanaan, penceramah
hanya diberi vandel yang mungkin seharga tiga puluh ribu rupiah.

Ironis, bahkan di kalangan yang lantang dan kritis terhadap korupsi sudah terjadi banalitas
korupsi. Disposisi korupsi itu memang sudah berkembang sejak masa pendidikan.
Kecenderungan itu merupakan cermin lingkungan yang sudah dibatinkan.

Habitus (konsep dielaborasi sosiolog Perancis P Bourdieu) menjelaskan secara lebih memadai
terjadinya banalitas korupsi itu. Konsep itu cukup tajam untuk membedah masalah korupsi dari
sudut pandang budaya (bandingkan dengan Nota Pastoral KWI 2004). Pendekatan budaya tidak
langsung menggagas korupsi dari aspek hukum atau politik, tetapi mau menekankan, pertama,
aspek normatif, kaidah hidup bersama, terutama pembinaan nilai dan pewujudan cita-cita
(kesejahteraan umum, keadilan, dan solidaritas); kedua, budaya dimengerti sebagai yang
mengarahkan dan membentuk perilaku, tata hidup, gaya hidup, dan etos.

Dua hal itu tidak bisa lepas dari habitus. Habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi
tindakan praktis (tidak harus selalu disadari, etos misalnya), lalu diterjemahkan menjadi
kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu (P
Bourdieu, 1994:9,16,17). Seniman mampu menciptakan karya bermutu berkat kebebasan
kreatifnya. Ia tidak perlu lagi menyadari gaya atau aturan main karena sudah terintegrasikan
dalam dirinya. Kebebasan kreatif itu merupakan hasil pembatinan tuntutan keterampilan
(struktur). Banalitas korupsi berawal dari pembatinan struktur juga. Ketika masuk PNS
menyogok lima puluh juta rupiah; terseleksi jadi polisi bayar empat puluh juta; masuk dalam
daftar jadi caleg setor seratus juta rupiah. Tentu saja mereka akan menuntut ganti ketika
menduduki jabatan strategis (reproduksi perilaku). Pembatinan harus balik ongkos itu lalu
menjadi bagian habitus yang merupakan sumber penggerak pemikiran dan tindakan.

Habitus mau mengatasi dikotomi individu-masyarakat dan aktor-struktur sosial. Dengan


demikian, orang tidak akan memahami korupsi hanya menjadi masalah moral individual;
sekaligus korupsi tidak hanya dipermiskin menjadi masalah kejahatan struktural seakan tidak ada
yang bisa dituntut tanggung jawabnya karena struktur yang korup. Korupsi di Indonesia sudah
menjadi bagian habitus, artinya berperan sebagai prinsip penggerak dan pengatur praktik-praktik
hidup dan representasi masyarakat (bandingkan dengan P Bourdieu, 1980:88-89). Hampir di
semua bidang, untuk menyelesaikan urusan harus mengeluarkan biaya di luar pungutan resmi.
Keterampilan menyalahgunakan uang sudah jadi representasi kekuasaan. Korupsi identik mampu
menyelesaikan semua urusan. Ia menjadi sarana hidup berhasil. Begitu biasanya korupsi seakan
sama dengan upaya-upaya sah lainnya. Seakan penilaian moral tak relevan lagi.

Setidaknya, ada empat bentuk korupsi (Yves Meny, 1992) yang ciri strukturalnya menonjol,
artinya sudah menjadi bagian habitus: pertama, korupsi-jalan pintas (penggelapan uang negara
atau dana bencana, sektor ekonomi membayar untuk mendapat keuntungan politik, pengusaha
menginginkan UU perburuhan tertentu diberlakukan, money politics); kedua, korupsi-upeti yaitu
bentuk korupsi yang dimungkinkan karena jabatan strategis, penggelembungan proyek, seleksi
karyawan, dan penentuan jabatan; ketiga, korupsi-kontrak tidak bisa dilepaskan dari upaya untuk
mendapatkan proyek, fasilitas atau pasar; keempat, korupsi-pemerasan terkait dengan jaminan
keamanan, perlindungan, dan urusan-urusan gejolak intern maupun karena faktor luar.

Melalui konsep habitus, keempat jenis korupsi dijelaskan sebagai bentuk reproduksi praktik-
praktik sosial tertentu. Tindak korupsi seseorang dilihat sebagai reproduksi tindakan atau hanya
salah satu varian sistem kecenderungan umum. Dari situ menjadi jelas. Meski dilihat sebagai
praktik perorangan, korupsi telah menjadi bagian dari praktik umum, tidak hanya melalui
keseragaman, tetapi juga dengan variasi tindakan (bdk P Bourdieu, 1980:101). Bahkan, mereka
yang kritis terhadap korupsi, begitu masuk ke dalam struktur kekuasaan (politik atau ekonomi),
akan mereproduksi praktik korupsi. Korupsi sudah menjadi sistem di posisi tahan waktu dan
diwariskan. Awalnya merupakan struktur yang dibentuk, kemudian berperan membentuk
perilaku; ia menjadi prinsip penggerak dan pengatur praktik-praktik hidup masyarakat tanpa
disadari.

Struktur kejahatan itu hanya bisa diciptakan, dipelihara, dan diubah oleh para pelaku kendati
mereka juga dikondisikan oleh struktur tersebut. Namun, semakin banyak orang mampu
mengambil jarak terhadap yang biasa dilakukan, mencari makna tindakan, dan kritis terhadap
dirinya maupun orang lain, semakin terbuka perubahan struktural. Dengan pengambilan jarak ini,
habitus baru menemukan relevansinya karena menjadi faktor yang membuat usang struktur
kejahatan. Memberantas korupsi berarti menciptakan habitus baru. Maka, habitus baru
mengandaikan perubahan budaya secara mendasar.

Perubahan itu harus menyentuh tiga modalitas dalam interaksi sosial yang dominan: kerangka
penafsiran, fasilitas (modalitas interaksi kekuasaan), dan norma (A Giddens, 1993:129).
Mengapa kerangka penafsiran harus berubah? Karena habitus adalah kerangka penafsiran untuk
memahami dan menilai realitas. Ia sekaligus penghasil praktik-praktik sosial. Maka, ia menjadi
dasar kepribadian seseorang yang pembentukannya sulit ditentukan ujung-pangkalnya. Di satu
sisi, terbentuknya sangat memperhitungkan hasil dari keteraturan perilaku; di sisi lain,
praktiknya mengandalkan pada improvisasi, bukan hanya pada kepatuhan terhadap aturan-
aturan. Improvisasi mengandaikan kelenturan kerangka penafsiran. Kerangka penafsiran
menentukan kualitas pemaknaan. Pertaruhan dalam pemaknaan ialah gaya hidup (keseluruhan
selera, kepercayaan, praktik sistematis, opini politik, dan keyakinan moral).

Salah satu gaya hidup yang paling mudah diamati adalah pola konsumsi. Sistem representasi
biasanya mengacu pada nilai dan makna, tetapi dewasa ini sudah menjadi obyek konsumsi.
Dengan mudah, sistem representasi sekarang ini diganti dengan mobil, rumah mewah, apa yang
dipakai. Pola konsumsi didikte oleh logika mode. Sistem mode menjadi sumber kesenangan
pribadi dan cenderung menghancurkan solidaritas serta kesadaran kelompok (S Charles,
2004:10). Mode memungkinkan orang menghargai yang baru, mendiskualifikasi yang lalu, dan
mengafirmasi diri berhadapan dengan kolektivitas karena selera dianggap cermin kekhasan diri.
Hal yang memprihatinkan, komersialisasi gaya hidup itu tidak menemui perlawanan yang
terorganisasi, baik dari segi budaya maupun ideologi (agama). Lalu, lingkup sosial dan pribadi
diorganisasi kembali menurut logika konsumsi. Logika ini mengandalkan pada prinsip pelayanan
diri sendiri, pencarian emosi dan kesenangan, perhitungan melulu manfaat, serta hubungan-
hubungan di permukaan. Situasi budaya narsistik seperti itu menjadi lahan subur bagi korupsi.
Istilah solidaritas, bela rasa terhadap yang lemah atau korban tidak lagi masuk dalam kamus.
Tiada lagi keprihatinan mengupayakan kesejahteraan bersama. Di mana-mana orang hanya
mengejar kepentingan diri dalam semua aspek kehidupan (sekolah, seksualitas, politik, dan
ekonomi).

HABITUS baru harus diarahkan pada tumbuhnya solidaritas, pentingnya tindakan kolektif,
pewujudan kesejahteraan bersama, dan kepekaan akan keadilan. Oleh karena itu, semua bentuk
struktur kolektif (keluarga, asosiasi, paguyuban, komunitas, asrama) perlu didukung dan
ditumbuhkembangkan. Dalam komunitas semacam itu orang belajar dan melatih keterampilan
untuk solider, bela rasa, dan toleran. Ketiga sikap ini hanya bisa tumbuh dalam etos tertentu.
Maka, pendidikan antikorupsi perlu menekankan habitus untuk pembentukan etos yang
menunjang, maksudnya yang menyangkut prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang dipraktikkan.

Etos ini merupakan bentuk moral yang dibatinkan dan tidak mengemuka dalam kesadaran, tetapi
mengatur perilaku sehari-hari, seperti jujur, ulet, cekatan, kerja keras, murah hati, selalu menolak
ketidakadilan. Etos ini menentukan arah orientasi sosial yang siap menentang mentalitas jalan
pintas, kepentingan diri, dan aji mumpung. Pendek kata, melawan sikap pendorong utama
korupsi. Namun, tidak cukup mengandalkan disposisi perorangan. Maka, harus ada tindakan
konkret. Perlu sangsi hukum yang berat bagi koruptor. Perlu ditumbuhkan indignation (protes
dan tidak terima) terhadap koruptor dan keluarga. Agar protes bisa berdampak (korupsi sungguh
dirasakan sebagai kejahatan), perlu diciptakan lagu, slogan, dan semboyan untuk
mempermalukan koruptor dan keluarganya. Media mempunyai peran penting.

Gerak timbal-balik itu diperlukan, pertama, pembatinan realitas obyektif berarti hukum harus
benar-benar berfungsi untuk mengorganisasi tanggung jawab; kedua, gerak subyektif seperti
persepsi, evaluasi, sikap kritis (hasil pembatinan) berperan untuk mempertajam makna tanggung
jawab. Dengan cara tersebut, selain orang membuka dan melatih diri untuk bertanggung jawab
dalam hubungan-hubungan sosial, ia juga mengasimilasi norma-norma, nilai-nilai, dan
keyakinan suatu masyarakat.(Haryatmoko Dosen Pascasarjana Filsafat UI dan Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta)

Tulisan ini diambil dari Kompas, 13 Januari 2005

http://www.antikorupsi.org/en/content/habitus-baru-melawan-korupsi
Pola penularan korupsi
Oleh Haryatmoko

Rekening gendut PNS muda membuat terkesima masyarakat. Banalitas


korupsi (korupsi sudah jadi hal yang biasa) menjelaskan mengapa masih
muda sudah korup.

Banalitas itu adalah indikator korupsi sudah jadi kejahatan struktural. Ciri
struktural kejahatan korupsi ini memudahkan penularannya ke generasi
muda. Korupsi telah begitu mengakar sampai membentuk struktur
kejahatan, yaitu faktor negatif yang terpatri dalam institusi-institusi
masyarakat yang bekerja melawan kesejahteraan bersama (Sesbo,
1988).

Akibatnya, orang muda yang meniti karier dalam organisasi pelayanan publik
mudah terjebak masuk ke jalur rentan korupsi tanpa perlawanan nurani.
Struktur dasar masyarakat sudah dibusukkan. Pembusukan lembaga sosial,
padahal berperan mendefinisikan hak dan kewajiban warga negara, jadi
sumber kepincangan dan ketidakadilan. Jadi, korupsi kian memperparah
kemiskinan, bahkankarena sistematissudah seperti mafia.

Mafia dan komunikasi kekuasaan

Munculnya organisasi mafia menunjukkan gejala krisis institusional negara di


mana ketidakadilan lebih dominan daripada keadilan; korupsi merajalela
sampai mengaburkan batas yang boleh dan dilarang, yang legal dan ilegal,
pelanggaran dan norma (Ayissi, 2008). Korupsi kartel- elite merupakan
korupsi berbentuk mafia. Banyak tokoh muda sudah terlibat dan berperan
dalam korupsi ini. Pendorong utama korupsi jenis ini: pendanaan parpol!

Korupsi ini melibatkan jaringan parpol, pengusaha, penegak hukum, dan


birokrat karena parpol tidak mengakar, tapi lebih mewakili kepentingan elite;
sistem peradilan korup; birokrasi rentan korupsi. Situasi ini membuat politik
penuh risiko dan ketidakpastian (Johnston, 2005: 89-90). Korupsi jenis ini
adalah cara elite menggalang dukungan politik dari masyarakat, lembaga
legislatif, penegak hukum, dan birokrasi (Lordon, 2008: 10). Jadi, korupsi
telah menjadi kejahatan yang mengakar dan habitus buruk bangsa.

Habitus dipahami sebagai hasil keterampilan yang jadi tindakan praktis yang
tak selalu harus disadari. Tindakan praktis itu menjadi suatu kemampuan
yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial
tertentu (Bourdieu, 1994: 16-17). Habitus korupsi ditularkan tanpa harus
melalui bahasa langsung atau disadari, tapi melalui ajakan yang terpatri
pada praktik yang biasa sekali.
Modalitas praktiknya tampak dalam (i) cara membuat laporan; (ii) cara
berinteraksi dengan atasan atau dengan instansi lain; (iii) dalam
kontrak/tender; (iv) cara membuat anggaran; (v) cara mendapat jabatan,
penempatan anak buah, penerimaan anggota baru; (vi) syarat urusan bisa
beres. Suap ke birokrat tak memecahkan masalah kemacetan administrasi,
tetapi justru memberitahukan kepada pejabat lain mereka bisa memperoleh
uang dengan memperlambat prosedur administrasi. Korupsi
mengomunikasikan praktik pelaksanaan kekuasaan.

Modalitas itu sulit ditolak karena cukup tersembunyi dan sengaja dibuat
untuk tak meninggalkan jejak (tak ada kuitansi, menghindari transaksi lewat
bank, tak ada perjanjian tertulis), tapi bisa dirasakan ada yang tak beres. Di
balik praktik korupsi tersembunyi kode rahasia. Kerahasiaan ini hanya akan
tersingkap apabila terjadi krisis hubungan di antara yang terlibat.

Ketika Nazaruddin merasa dikorbankan, ia membuka rahasia jaringan, tetapi


rantai terputus. Yang terjadi justru desolidarisasi terhadap kambing hitam
dan penggalangan solidaritas untuk melindungi tokoh-tokoh kunci karena
merupakan simbol kohesi sosial partai. Korupsi sudah jadi tindakan praktis
yang tak menumbuhkan rasa salah. Maka, setiap orang yang masuk ke
struktur kekuasaan cenderung korupsi. Tak aneh apabila orang muda PNS
sudah mempunyai rekening gendut.

Agentic shift dan meniru

Banalitas korupsi membuat koruptor mencari alibi tanggung jawab. Bentuk


alibi tanggung jawab disebut S Milgram sebagai agentic shift. Hal ini terjadi
ketika orang menimpakan tanggung jawab kepada pihak lain yang dianggap
lebih penting, seperti atasan, organisasi, agama, Tuhan (Dobel, 1999: 30).
Bersembunyi di balik perintah atasan atau kepentingan organisasi/kelompok
jadi pola pengalihan tanggung jawab. Kelompok sering makin memperparah
kecenderungan alibi tanggung jawab ini karena kelompok melebih-lebihkan
distorsi informasi, sekaligus memberikan sumber rasa nyaman atau simpati
sehingga semakin meneguhkan pejabat publik seakan korupsi bisa
dibenarkan.

Upaya mengelak dari tanggung jawab membungkam kemampuan


pertimbangan moral. Akibatnya, koruptor tidak merasa bersalah karena
biasanya korbannya. Mekanisme silih sering dipakai untuk mengurangi rasa
salah. Sebagian uang disumbangkan untuk rumah ibadah, lembaga agama,
atau bentuk kesalehan lain. Upaya ini untuk menghindari rasa salah moral,
setelah secara hukum bisa lepas dari sanksi berkat impunitas.
Jaringan korupsi terbentuk mengikuti pola sistem isolasi sesuai model
pembagian kerja. Maka, koordinasi tetap efektif dan kerahasiaan terjaga.
Strategi ini memungkinkan memutus rantai sehingga jaringan tak mudah
terbongkar. Hanya oknum yang terkena. Kasus Nazaruddin contoh nyata
bagaimana penegak hukum tak mampu membongkar jaringan korupsi.
Negara yang secara institusional sarat korupsi mengondisikan munculnya
bentuk-bentuk kriminalitas lain dan membangun pola reproduksi kejahatan
korupsi. Efek peniruan korupsi merasuk ke generasi muda. PNS muda sudah
biasa membuat proposal dengan penggelembungan angka atau menerima
gratifikasi tanpa rasa salah. Semua seakan sah.

Pengakuan legitimitas itu terpatri pada praktik sosial sehingga membentuk


kecenderungan yang sama pada hampir setiap warga negara. Kejahatan
korupsi biasanya ditanamkan lewat proses mimesis (meniru). Apabila ada
upaya melawan atau bersikap jujur, lingkungan memberi sanksi. Akhirnya,
kepatuhan tanpa tekanan akan mengikuti karena menyesuaikan diri
menjanjikan keuntungan materi dan simbolis atau promosi jabatan.

Haryatmoko Dosen di Pascasarjana FIB UI dan Universitas Sanata Dharma

SUMBER: http://regional.kompas.com/read/2011/12/27/03100067/Pola.Penularan.Korupsi

Anda mungkin juga menyukai