Anda di halaman 1dari 209

Jurnal Jumal Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P•

Penelitian Politik LIPI), merupakan media pertukaran pemikiran mengenai masalah-masalah


strategis yang terkait dengan bidang-bidang-bidang politik nasional, lokal,
dan intemasional; khususnya mencakup berbagai tema seperti demokratisasi,
pemilihan umum, konflik, otonomi daerah, pertahanan dan keamanan, poli•
tik luar negeri dan diplomasi, dunia Islam, serta isu-isu lain yang memiliki
arti strategis bagi bangsa dan negara Indonesia.
P2P-LIPI sebagai pusat penelitian milik pemerintah dewasa ini dihadapkan
pada tuntutan dan tantangan baru, baik yang bersifat akademik maupun prak•
tis kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan persoalan dengan otonomi
daerah, demokrasi, HAM dan posisi Indonesia dalam percaturan regional
dan intemasional. Secara akademik, P2P-LIPI dituntut menghasilkan kajian•
kajian unggulan yang bisa bersaing dan menjadi rujukan ilmiah pada tingkat
nasional maupun intemasional. Sementara secara moral, P2P-LIPI dituntut
untuk memberikan arah dan pencerahan bagi masyarakat dalam rangka mem•
bangun Indonesia baru yang rasional, adil dan demokratis. Oleh karena itu,
kajian-kajian yang dilakukan tidak semata-mata berorientasi praksis kebi•
jakan, tetapi juga pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan sosial, khususnya
perambahan konsep dan teori-teori baru ilmu politik, perbandingan politik,
studi kawasan dan ilmu hubungan intemasional yang memiliki kemampuan
menjelaskan berbagai fenomena sosial politik, baik lokal, nasional, regional,
maupun intemasional.

LIPI
Penanggung Jawab Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

Pemimpin Redaksi Hem Cahyono

Wakil Pemred Moch. Nurhasim

Dewan Redaksi Ikrar Nusa Bhakti, Syamsuddin Haris, Ganewati Wuryandari, Dhuroruddin
Mashad, M. Hamdan Basyar, Awani Irewati

Redaksi Pelaksana Adriana Elisabeth, Indriana Kartini, Mardyanto Wahyu Tryatmoko, Sri
Yanuarti

Sekretaris Redaksi Luky Sandra Amalia

Keuangan Sarah Nuraini Siregar

Produksi dan Sirkulasi : Nanto Sriyanto, Anggih Tangkas Wibowo, Abu Bakar
Alamat Redaksi P2P-LIPI, Widya Graha LIPI, Lantai XI
Jln. Jend. Gatot Subroto No. 10
Jakarta 12710
Telp. (021) 525 1542, ext. 757, 763; Faks. (021) 520 7118

ISSN 1829-8001
Jurnal Penelitian

Vol. 7, No. 1, 2010

DAFTARISI

Catatan Redaksi 111

Artikel
• Good Governance dan Reformasi Birokrasl di Indonesia 1
R. Siti Zuhro
• Good Governance Vs Shadow State dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah 23·
SyarifHidayat dan Abdul Malik Gismar
• Pemekaran Daerah dan Persoalan Governability Lokal di Indonesia 37
Mardyanto Wa�yu Tryatmoko
• Korupsi Birokrasi Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah 51
Kisno Hadi
• Dinamika Penyusunan Anggaran Daerah: Kasus Proses Penetapan
Program dan Alokasi Anggaran Belanja Daerah di Kabupaten Sleman 71
Rozidateno Putri Hanida

Resume Penelitian
• Evaluasi Pemilu Legislatif 2009:Tinjauan atas Proses Pemilu, Strategi
Kampanye, Perilaku Memilih, dan Konstelasi Politik Hasil Pemilu 87
Lili Romli
• Alternatif Model Pengelolaan Keamanan di Daerah Konflik 103
Sarah Nuraini Siregar
• Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia di Laut Arafura
dan Laut Timor 119
Japanton Sitohang

ReviewBuku
• Pemilukada dan Problema Tata Kelola Pemerintahan yang Baik 133
Yogi Setya Permana
Tentang Penulis 141
CATATAN REDAKSI

Korupsi adalah sebuah kata dan cerita yang tidak hukum. Sejumlah hal tersebut menimbulkan per•
pernah habis dibicarakan orang, khususnya bagi tanyaan publik mengenai seberapa serius upaya
bangsa Indonesia. Korupsi di negeri ini bagai• pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
kan sesuatu yang sudah terlanjur melekat dan Korupsi bak parasit yang telah menyebabkan
tumbuh subur, mulai dari pungutan liar yang bangsa ini terpuruk. Rezim berganti rezim pasca
terjadi di jalan-jalan sampai di kantor-kantor Soeharto, tapi belum ada satupun yang sukses
instansi pemerintah, maupun "main mata" antara memberangus korupsi. Bahkan, belakangan
oknum-oknum serta penyalahgunaan kekuasaan praktiknya sudah kian kronis yang menjang•
oleh aparat pemerintah. Semuanya, yang celaka, kiti hampir di segala lapisan masyarakat dan
bukan lagi dianggap sebagai perilaku menyim• golongan. Kita sadar sepenuhnya betapa korupsi
pang namun sudah dianggap sebagai sesuatu merupakan persoalan berat di negeri ini, ibarat
yang wajar. penyakit, stadiumnya sudah sangat kronis dan
Memang korupsi bukan hanya perkara praktiknya sudah demikian membudaya dan
menilap uang dari brankas, namun dapat berupa mengakar dalam kehidupan masyarakat kita.
pula menggelapkan uang kantor, menyalah• Membenamkan diri dalam korupsi bagaikan,
gunakan jabatan untuk menerima uang suap, dipandang lumrah. Banyak yang melakukan
me-mark-up nilai suatu proyek, melainkan juga hal serupa. Adalagi yang beralasan, mereka
dapat berupa praktik "melegalisasi" biaya-biaya korupsi lantaran dipaksa oleh keadaan yakni gaji
siluman, menawarkan biaya-biaya tidak resmi, kecil yang tidak mencukupi untuk hidup layak.
sampai menerima uang suap untuk mengesahkan Namun, terungkapnya kasus pegawai pajak
undang-undang yang merugikan rakyat. Gayus Tambunan membuktikan bahwa persoalan
Data yang dihimpun dari berbagai sumber bukan itu, karena justru pegawai yang sudah
badan memperlihatkan bahwa setelah era refor• bergaji tinggi ternyata "merendahkan" dirinya
masi, posisi Indonesia di deretan atas negara• sendiri dengan tetap melakukan korupsi.
negara paling korup di dunia, nyaris tidak ber• Ini memang amat merisaukan kita. · Akibat
geser. Hal mana mengindikasikan bahwa belum dari praktik korupsi, banyak sekali kerugian yang
banyak perubahan dalam pemberantasan korupsi muncul. Bukan saja banyaknya dana menguap
selama kurun waktu 12 tahun terakhir ini. Praktik tak masuk kas negara yang sebenarnya berguna
korupsi tidak saja berlangsung di kalangan lem• bagi biaya pembangunan dan anggaran yang
baga pemerintahan, tetapi juga di DPR/DPRD bisa menyejahterakan rakyat banyak. Pada saat
dan bahkan lembaga penegak hukum, seperti ke• yang sama, korupsi teiah inenurunkan wibawa
polisian, kehakiman, dan kejaksaan, serta korupsi pemerintah dan pejabat, baik di tingkat lebih
semenjak era otonomi daerah bahkan juga kian bawah, maupun di mata masyarakat. Birokrasi•
menjamur bukan hanya di pusat namun semakin pun kehilangan kepercayaan. Pemerintah yang
"terdesentralisasi" ke daerah. bersih jujur, dan transparanpun menjadi sesuatu
Pemimpin negeri ini tak pelak menghadapi yang sulit dicapai.
tantangan tidak kecil menyusul mencuatnya be• Salah satu upaya yang paling sering dike•
berapa kasus korupsi yang menyita perhatian tengahkan dalam rangka pemberantasan korupsi
publik belakangan, yang melibatkan sejumlah di pusat dan daerah ialah bagaimana menciptakan
oknum dan petinggi di instansi-instansi yang good governance. Benar bahwa gagasan good
mestinya berdiri di garda terdepan penegakan governance itu sendiri merupakan bagian dari

111
arus globalisasi pembangunan ekonomi dalam bing• birokrasi di Indonesia masih terbelenggu oleh
kai sistem kapitalisme, yang menuntut negara• kinerja politik. Di antara belenggu politik yang
negara dunia ketiga untuk semakin membuka ditengarai telah ambil bagian dalam "menyan•
dalam kerangka liberalisasi politik dan ekonomi. dera" birokrasi tersebut adalah praktik shadow
Agenda good governance lahir dalam kerangka state. Praktik Shadow State itu sendiri hadir, tum•
liberalisasi, di mana pertama kali dikemukakan buh dan berkembang tatkala terjadi pelapukan
oleh Bank Dunia pada tahun 1989, seusainya fungsi pada institusi pemerintah formal. Muncul•
perang dingin. Kendati diakui bahwa agenda lah berbagai bentuk dari praktik informal eco•
good governance membawa sejumlah "dam• nomy, antara lain: manipulasi kebijakan publik
pak"-seperti · lahirnya demokrasi eksklusioner untuk kepentingan pengusaha; transaksi "bawah
yang justru mengarah pada lenyapnya demokrasi, tangan" antara penguasa dan pengusaha dalam
dan maraknya liberalisasi ekonomi=-tidak bisa tender proyek-proyek pemerintah, dan pemak•
dipungkiri · adanya efek baik dari agenda good saan swastanisasi aset-aset negara. Kepala daerah
governance;' seperti dalamjangkajangka pendek terpilih (gubernur) pada khususnya menghadapi
akan bisa kita rasakan manfaatnya dalam hal banyak kesulitan dalam melaksanakan otoritas
seperti pemberantasan korupsi, penegakan formal yang dimiliki karena berhadapan dengan
pemerintahan yang bersih, adanya desentralisasi, "kekuatan informal" yang berada di luar institusi
dan tegaknya supremasi hukum. Tanpa harus formal pemerintahan daerah (shadow state). Di
menjiplak mentah-mentah konsep Bank Dunia, antara aktor yang cukup dominan dalam praktik
konsepsi good governance setidaknya merupakan shadow state tersebut adalah individu-individu
kontrol bagi aparatur negara dalam hal aturan dan/atau institusi yang telah berperan sebagai
main dan tata cara hidup berbangsa, bernegara, sponsor dana dan sponsor politik bagi pasangan
dan bermasyarakat. Gubernur-Wakil Gubemur pada saat Pemilukada
Mengingat pentingnya perrnasalahan di atas berlangsung.
rnaka Jurnal Penelitian Politik kali ini hadir Mardyanto Wahyu Tryatmoko dalam tulisan•
dengan mengangkat tema tentang "Good Gover• nya berjudul "Pemekaran Daerah dan Persoalan
nance dan Korupsi". Kami menyajikan sejumlah Governability Lokal di Indonesia" melihat bahwa
tulisan yang terkait dengan tema tersebut. Dalam Kebijakan pemekaran daerah di Indonesia pada
artikel "Good Governance dan Reformasi Biro• kenyataannya menimbulkan banyak kelemahan
krasi di Indonesia", R. Siti Zuhro memperlihat• yang mengarah pada persoalan govemability di
kan bahwa selama periode 1999-2010 di satu sisi tingkat lokal. Persoalan governability di tingkat
Indonesia bergerak ke sistem politik demokrasi, lokal disebabkan oleh beberapa kesalahan ke•
di sisi lain masih berjuang melawan warisan pa• bijakan pemekaran daerah di Indonesia. Dalam
trimonialisme rezim Orde Baru. Harapan terjadi• rangka mengatasi persoalan governability se•
nya pembangunan yang simultan antara reformasi bagai dampak pemekaran daerah di Indonesia,
birokrasi dan demokratisasi masih menghadapi ada beberapa hal yang perlu dilakukan baik
tantangan berat. Padahal, reformasi birokrasi bisa oleh pemerintah pusat maupun berbagai institusi
dilakukan, baik secara internal, maupun ekster• lokal, pemerintah harus merumuskan kembali
nal. Faktor-faktor internal meliputi reorientasi konsep territorial reform di Indonesia. Selain
kekuasaan yang prorakyat, memiliki komitmen, itu, baik pemerintah pusat maupun daerah perlu
mampu menciptakan new image, · rasionalisasi, melakukan evaluasi pemekaran daerah secara
peningkatan kualitas SDM, dan payung hukum lebih komprehensif mencakup strategi dasar,
yang jelas, tegas serta mengikat. Sedangkan faktor pendorong, proses pembentukan, kesiapan
faktor-faktor eksternal meliputi komitmen atas daerah, dan hasilnya. Dan akhimya, penguatan
keteladanan elite (perlu keteladanan elite) dan kapasitas daerah melalui peningkatan asistensi
pengawasan oleh rakyat. bagi daerah baru dan kerja sama antardaerah
Sementara itu, Syarif Hidayat dan Abdul perlu segera diwujudkan.
Malik Gismar dalam artikel tentang "Good Gover• Selanjutnya dalam artikel berjudul "Ko•
nance Vs Shadow State dalam Penyelenggaraan rupsi Birokrasi Pelayanan Publik di Era Otonomi
Pemerintahan Daerah" memperlihatkan bahwa Daerah", Kisno Hadi menulis bahwa lembaga

iv
birokrasi sebagai organ negara yang menangani Sejalan hal di atas dan dengan mengambil
sektor pelayanan publik ditengarai banyak pihak sebuah kasus, Rozidateno Putri Hanida dalam
menjadi sarang korupsi. Celakanya, korupsi yang tulisannya berjudul "Dinamika Penyusunan Ang•
dulu berada di pusat, sekarang dengan adanya garan Daerah: Kasus Proses Penetapan Program
kebijakan desentralisasi politik dan ekonomi ke dan Alokasi Anggaran Belanja Daerah Di Kabu•
daerah temyata korupsi juga ikut terdesentrali• paten Sleman", menyatakan bahwa aktor-aktor
sasi. Korupsi dalam tubuh birokrasi pelayanan yang terlibat dalam perumusan kebijakan ang•
publik ini hanya dapat diminimalisir bila ada garan dalam perspektif politik anggaran masih
pemahaman secara holistik dan komprehensif senantiasa memperjuangkan kepentingan sendiri
terhadap dimensi dan jaringan korupsi itu sen• dengan berbagai strategi. Di dalam penyusunan
diri, ada pemahaman terhadap latar belakang APBD terjadi proses sharing dan bargaining ke•
terjadinya korupsi, ada pemahaman dan pende• pentingan antaraktor, di mana legislatif yang se•
teksian terhadap areal di mana korupsi dalam harusnya bisa mengontrol masih belum berperan,
tubuh birokrasi pelayanan publik tersebut hadir, di antaranya akibat masih banyak anggota legisla•
serta mesti ada format kebijakan yang tepat dan tif yang tidak mengerti apa yang menjadi prioritas
dengan didukung oleh kebijakan hukum dan pembangunan setempat. Landasan prioritas oleh
aparat penegak hukum yang tangguh. Tanpa itu, legislatif masih tersekat-sekat pada pemahaman
pemberantasan atau paling tidak meminimalisir pemenuhan kebutuhan para konstituen.
tindak korupsi di dalam tubuh birokrasi pelayan• Redaksi berharap hadirnya Jumal Penelitian
an publik akan sulit dilakukan. Bila itu terjadi Politik ini bisa disambut baik oleh para pembaca
berlarut-larut, publik niscaya tidak akan percaya Akhir kata, kami ucapkan selamat membaca.
terhadap layanan-layanan yang diberikan oleh
birokrasi.

REDAKSI

v
GOOD GOVERNANCE DAN REFORMASI BIROKRASI
DI INDONESIA

R. Siti Zuhro

Abstract

With the downfall ofSoeharto s New Order regime, the authoritarian nature of the bureaucratic system was
exposed. The implementation ofnew political laws since 1999 gave rise to an invigorated rolefor political parties,
and the implementation ofa government regulation for a neutral bureaucracy resulted in its declining involvement
in politics. A strong parliament and the increasing political awareness of bureaucrats have become a reality today.
These changes have put paid to questions about the involvement ofpolitical parties and the influence of societal
forces in theformation ofpolicy. The bureaucracy can no longer exist as it was in the New Order, and, in fact, has
responded to societal needs by adjusting to the new political climate. Indonesian politics under the transition era
takes on a wider significancefor one ofthe main results has been the emergence ofbureaucratic pluralism-a more
pluralistic political system that is more open to the influence of these societalforces. Improvement in governance
became possible, however, with the rise of the reformation since 1998. At this time, the debate on governance in
Indonesia began with a consideration of 'good governance'. The post-Soeharto era was seen by reformists as a
long-awaited opportunity to improve government policy so that people would not only follow the governments
decisions, but would also contribute to the decision-making process. Indonesian demanded more 'democratic
governance, 'that is, more regular interaction between government and civil society, andfreer participation by the
latter in government institutions.
Keywords: Governance policy, democratization, reformation, good governance

Tata pemerintahan yang baik (good governance) tarikan politik yang takjarang rnembuat institusi
telah lama dikampanyekan di Indonesia. Sejak birokrasi menjadi ajang tarik-menarik kepenting•
1998 kampanye tersebut semakin gencar dilaku• an politik partai-partai. Apalagi setelah diterap•
kan seiring dengan munculnya gerakan reformasi kannya sistem multipartai sejak 1999. Sejak itu
pada tahun tersebut. Kampanye ini tak dapat dinamika politik, baik yang terjadi di pusat mau•
dilepaskan dari makin buruknya kinerja birokrasi pun daerah semakin pesat. Di daerah, khususnya,
dan maraknya korupsi akibat tidak profesional, politik lokal cenderung menguat setelah diterap•
tidak efektif dan tidak efisien. Selain itu, birokrasi kannya otonomi daerah tahun 2001 dan pemilu
Indonesia juga masih tidak rasional, gemuk (kaya kepala daerah secara langsung tahun 2005. ·
struktur miskin fungsi), tidak netral dan tidak Tulisan ini akan membahas perspektif biro•
transparan. Masalah-masalah ini menjadi kendala krasi masa depan dengan me-review konsep
serius bagi birokrasi yang semestinya lebih pro• good governance dan "gerakan reformasi bi•
gresif dalam merespons perubahan masyarakat rokrasi'" serta dampaknya terhadap penciptaan
yang terjadi selama periode 1_998-2010. pemerintahan yang ber.s..ih, ..akuntabel, dan tidak
Gerakan reformasi 1998 yang seharusnya korup. Bahwa keberhasilan dalam mewujudkan
netralitas birokrasi-khususnya dalam mem•
menjadi tonggak reformasi birokrasi Indonesia
perkuat hak politik pegawai negeri sipil (PNS)
dalam tataran praksisnya sulit diwujudkan.
Bisa dikatakan bahwa selama rentang waktu 12 1
Yang dimaksud dengan gerakan reformasi birokrasi dalam
tahun terakhir perjuangan untuk mewujudkan tulisan ini adalah tuntutan publik, yang diwakili oleh kekuatan
pemberantasan KKN belum mencapai hasil yang sosial dalam masyarakat (societal forces) untuk memberantas
korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam birokrasi yang telah
maksimal. Banyak kendala dan tantangan yang menumbangkan Soeharto dari kursi kepresidenan, Mei 1998.
membuat reformasi birokrasi masih menjadi wa• Sejak itu gerakan ini senantiasa disuarakan dari waktu ke waktu
cana dan kalaupun dilakukan sangat parsial. dan mencapai puncaknya akhir Desember 2009 ketika rakyat
menilai korupsi semakin marak dan tak terkendali. Contoh
Realitasnya birokrasi Indonesia masih meng• terkini adalah munculnya kasus Bank Century dan makelar
hadapi peliknya reformasi kelembagaan dan kasus di hampir semua instansi pemerintah.

1
dan kesetaraan partai politik-merupakan hal masyarakat daerah, termasuk masyarakat pe•
penting untuk membangun iklim demokrasi. desaan.
Lebih dari itu, gerakan reformasi birokrasi juga Sebagaimana disebutkan di atas, indikator
memunculkan pluralisme birokrasi (bureau• good governance merujuk pada akuntabilitas,
cratic pluralism) karena formatkebijakan lebih transparansi dan partisipasi. Pelaksanaan sistem
merupakan basil dari kompetisi aktor-aktor dan good governance diharapkan dapat meningkatkan
tuntutannya ketimbang monopoli negara. Salah pembangunan ekonorni daerah. Adapun indikator
satu indikasinya adalah terbukanya peluang un• peningkatan pembangunan ekonorni secara fisik
tuk memengaruhi kebijakan publik dan relatif dapat dilihat dari perbaikan infrastruktur daerah,
meningkatnya tanggungjawab birokrasi terhadap besarnya APBD, PDRB dan PAD. Selain itu,
masalah-masalah sosial dan tekanan sosial. indikator penting lainnya dapat dilihat dari besar•
kecilnya pelayanan publik yang tecermin dari
Konsep Gpod Governance angka kerniskinan, pengangguran, kesehatan, dan
tingkat pendidikan masyarakat. Artinya, semakin
Terwujudnya good governance di Indonesia tidak
kecil jumlah kemiskinan dan pengangguran akan
dapat dilepaskan dari berhasil tidaknya kinerja
semakin bagus kinerja ekonomi suatu daerah.
birokrasi. Keduanya mempunyai korelasi yang
Selain itu, kualitas tingkat pelayanan kesehatan,
positif, dalam arti sating memengaruhi. Kinerja
gizi dan pendidikan masyarakat menjadi indika•
birokrasi dan pemberdayaan masyarakat yang se•
tor penting peningkatan pembangunan ekonorni
makin bagus akan berpengaruh positif terhadap
daerah.3
pembangunan. Hubungan yang bersinergi antara
pemerintah dan masyarakat akan menghasilkan Di tataran empirik, realisasi desentralisasi
suatu pemerintahan yang kuat yang didukung dan otonorni daerah menghadapi banyak kendala
oleh masyarakat. Untuk itulah diperlukan ada• karena tidak didukung infrastruktur yang bisa
nya interaksi yang sating memperkuat antara menerjemahkan setiap kebijakan yang dikeluar•
pemerintah dan masyarakat guna menciptakan kan pemerintah pusat. Salah satu infrastruktur
kemajuan ekonomi nasional. tersebut adalah birokrasi daerah yang tidak
mempunyai kemampuan yang cukup, baik se•
Konsep governance secara sederhana meru•
cara personal maupun institusional. Rendahnya
juk pada proses pembuatan keputusan dan dan
kemampuan birokrasi daerah dalam merespons
implementasinya. Governance berlaku dan
desentralisasi dan otonorni daerah menyebabkan
berlangsung di semua tingkatan, baik nasional
penyimpangan dalam realisasi desentralisasi dan
maupun lokal.2 Sementara itu, good governance
otonorni daerah.
merujuk pada adanya akuntabilitas, partisipasi,
konsensus, transparansi, efisiensi dan efektivitas, Era reformasi sekarang ini menunjukkan be•
responsivitas, persamaan dan inklusivitas, serta sarnya tuntutan untuk memperbaiki governance. 4
kepatuhan pada rule of law. Dengan ciri-ciri Kelompok reformis telah lama menantikan untuk
tersebut realisasi good governance menjadi dapat mereformasi kebijakan pemerintah agar
sangat penting karena dampaknya yang dapat rakyat dapat terlibat dan berpartisipasi langsung
mendorong terwujudnya pembangunan ekonomi dalam proses pembuatan kebijakan. Munculnya
daerah. Artinya, peningkatan pembangunan eko• tuntutan tersebut mengindikasikan dengan jelas
nomi daerah dimungkinkan dengan adanyagood bahwa kelompok reformis menginginkan ter-
governance. Hal ini tentunya sangat diharapkan 3R. Siti Zuhro, "Good Governance dan Kinerja Pembangunan
masyarakat daerah, sebab sebagaimana diketahui Ekonomi Daerah Era Desentralisasi: Studi Kasus Kabupaten
sebagian besar penduduk Indonesia berada di Malang", dalam Abdussomad Abdullah, ed., Demokrasi dan
Globalisasi: Meretas Jalan Menuju Kejatidirian, (Jakarta: PT
daerah dan/atau pedesaan. Kebijakan desentrali• THC Mandiri, 2009), him. 206-212.
sasi dan otonomi daerah tak lain dimaksudkan 4 Governance "is the capacity ofgovernment to make and imple•
untuk menggenjot pembangunan dan perbaikan ment policy-in other words, to steer society.: Thinking about
governance means thinking about how to steer the economy and
society, and how to reach collective goals". Lihat Jon Pierre
2LihatJon Pierre dan B. Guy Peters, Governance, Politics and dan B. Guy Peters, Governance, Politics and the Stale, (New
the State, (New York: St. Martin's Press, 2000), him. 1. York: St. Martin's Press, 2000), him. I.

2
wujudnya democratic governance, yaitu adanya legislatif, efisiensi sumber daya dan realisasi
interaksi yang lebih intens antara pemerintah pembangunan ekonomi.
dengan masyarakat, dan meningkatnya partisi• Sejak diberlakukannya UU No.32/2004
pasi masyarakat. tentang Pemerintahan Daerah, era sekarang bisa
Partisipasi masyarakat merupakan salah disebut sebagai era transisi.6 Bagi daerah periode
satu kunci penting bagi terwujudnya program• transisi ini bukan periode yang mudah untuk di•
program yang dicanangkan pemerintah daerah. lalui. Pengalaman Indonesia dalam melaksanakan
Termasuk di dalamnya program pembangunan otonomi daerah di bawah UU No. 22/1999 ten•
ekonomi. Masyarakat dapat dipandang sebagai tang Pemerintahan Daerah menunjukkan bahwa
salah satu unsur penting dari stakeholders kebi- tak sedikit kendala yang dihadapi daerah dalam
. jakan publik di daerah di samping pemerintah melaksanakan otonomi. Hal yang menonjol
daerah dan DPRD. Partisipasi masyarakat juga adalah munculnya tarik-menarik kepentingan
dianggap penting dalam pembuatan kebijakan antara pusat-daerah dalam hal pengelolaan
karena warga masyarakatlah yang tahu dan sumber daya alam di daerah. Kewenangan yang
merasakan kebutuhannya. Hal ini merupakan dimiliki daerah di bawah UU No. 22/1999 tidak
dasar sosiologis penting bagi penyusunan suatu bisa dilaksanakan secara maksimal oleh daerah
kebijakan publik, di samping dasar yuridis dan untuk mengefektifkan program-program yang
filosofis. Asumsinya bahwa kebijakan publik dicanangkan, khususnya, dalam memberikan
merupakan upaya untuk menanggulangi masalah pelayanan yang baik kepada masyarakat dan juga
publik. Sebagai suatu kebijakan publik, sepatut• untuk menyejahterakan mereka.
nya kebijakan ini berorientasi pada kepentingan Kekhawatiran akan kurangnya perhatian atas
publik. Konsekuensinya, masalah dan alternatif permasalahan kesejahteraan masyarakat tersebut
solusinya diharapkan berasal dari publik, bukan menjadi semakin besar ketika pemerintah mem-.
sekadar cetusan pikiran atau imajinasi ide pejabat berlakukan UU No. 32/2004, karena terdapat
pembuat kebijakan. perubahan yang signifikan. Salah satunya karena
Dengan kata lain, yang diharapkan adalah pemerintah provinsi mengemban fungsi ganda,
kemampuan pemerintah daerah menciptakan baik sebagai wakil pemerintah pusat maupun
perencanaan yang partisipatif, yang melibatkan sebagai daerah otonom, perannya cenderung
unsur-unsur masyarakat. Sejauh ini, pemerintah tidakjelas. Selain berfungsi sebagai koordinator
daerah cenderung menafikan aspirasi dan kepen• wilayah, pemerintah provinsi (pemprov) jug a

tingan masyarakat5 . Proses dan mekanisme pem• berperan penting sebagai pembina dan pengawas

buatan kebijakan publik yang terkesan bottom up Afadlal, (ed.), Dinamika Kekuatan Masyarakat Lokal Era
Otonomi Daerah, Jakarta: Pusat Penelitian Politik-Lembaga
sebagaimana tampak di beberapa daerah tidak lmu Pengetahuan Indonesia, 2005 ..
menjamin terakomodasinya aspirasi masyarakat.
Takjarang gagasan-gagasan yang disuarakan dari
bawah tidak diakomodasikan dalam keputusan
akhir (implementasi) kebijakan. Sebagai akibat•
nya, bisa dipahami bila timbul keengganan rakyat
untuk mendukung program-program pemerintah
daerah yang dinilai tidak aspiratif tersebut. Seba•
liknya, bila pemerintah tak menafikan peran serta
masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan
publik, akan dapat dihasilkan kebijakan publik
yang lebih baik yang sekaligus dapat mening•
katkan kepercayaan warga kepada eksekutif dan

5
R. Siti Zuhro, "Dinamika Kekuatan Masyarakat Lokal dan
Demokratisasi: Studi Kasus di Kabupaten Malang", dalam

3
4
di wilayahnya. Namun, dalam kenyataannya tak
sedikit pemerintah kabupaten/kota yang .kurang
"taat" kepada pemprov. Aroma resentralisasi
mulai tercium ketika salah satu pasal dalam UU
tersebut menyatakan bahwa Menteri Dalam Nege•
ri bisa mengangkat dan memberhentikan atau
membatalkan bupati/walikota sebagaimana kasus
di Kabupaten Bekasi. Fenomena tersebut menun•
jukkan hidupnya kembali sistem hierarki, jenjang
pemerintahan dari pusat sampai dengan daerah,
padahal hal tersebut sudah dihapus dalam UU No.
22/1999. Sebagai konsekuensinya, kabupaten/
6
Menurut banyak kalangan UU No.32 Tah�n 2004 merupakan
upaya resentralisasi karena daerah lebih diperankan sebagai
daerah "pembantuan" ketimbang daerah yang memiliki ke•
wenangan sebagai daerah otonom. Masa transisi ini merujuk
pada masa peralihan dari UU No. 22/1999 dan UU No.25/1999 ke
UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004 yang pelaksanaan• nya
dimulai sejak awal 2005 di bawah pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono.

4
4
kapasitas daerah dalam mengelola sumber-sumber yang ada
kota tidak bisa lagi menafikan posisi, fungsi, dan di daerah.
peran pemerintah pus at, meskipun realitasnya hal
ini tidak mudah untuk dilakukan,
Masalah peningkatan kesejahteraan masya•
rakat pada dasarnya merupakan salah satu
tugas pemerintah kabupaten/kota. Hal tersebut
memunculkan pertanyaan tentang apakah UU
No. 32/2004 akan lebih memberikan peluang
munculnya good governance dan peningkatan
kinerja pembangunan ekonorni daerah atau
bahkan, sebaliknya akan membuat pemerintah
daerah makin jauh dari efektif.
Bila ditelusuri sekilas tentang sistem peme•
rintahan daerah di Indonesia, tampak bahwa
sistem pemerintahan daerah (di bawah UU No.
5 Tahun 1974) yang diterapkan sebelum tahun
1998 bertujuan meningkatkan efisiensi penye•
lenggaraan pemerintahan dan pembangunan di
daerah. Sebagaimana diketahui, pada masa Orde
Baru sistem pemerintahan daerah Indonesia (baca
paradigma lama) lebih menonjolkan efisiensi,
besarnya kontrol pusat, dikesampingkannya
demokratisasi politik lokal dan dikendalikannya
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangun•
an di daerah oleh pusat. Dengan kata lain,
pemerintah tak memiliki empati terhadap isu
good governance.
Pasca 1998 pemerintah mulai memperkenal•
kan paradigma baru dengan lebih mengede•
pankan desentralisasi kekuasaan dan demokrati•
sasi politik lokal (khususnya di bawah UU No.
22/1999).7 Kedua hal tersebut mewarnai landasan
teori sistem pemerintahan daerah dewasa ini.
Meskipun demik:ian, pada tataran praksis, elemen
lama masih tampak seperti personalisasi sistem
dan oligarki kekuasaan. Keadaan tersebut telah
menghambat pembangunan otonomi daerah.
Empat tahun pertarna realisasi desentralisasi dan
otonomi daerah (2001-2004) sistem pemerin•
tahan daerah kembali memperlihatkan besarnya
implementasi desentralisasi kekuasaan dan
meningkatnya peran legislatif daerah sebagai
7
Sejak direalisasikannya kebijakan otonomi daerah ini
(2001) upaya untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang
demokratis tampak menonjol. Pemerintah pusat tidak hanya
menerapkan desentralisasi administratif, tapi juga desentralisasi
politik. Secara relatif pemerintah lokal memiliki kewenangan
untuk mengelola urusan-urusan di daerah. Jumlah penyerahan
kekuasaan/urusan dari pemerintah pusat ke daerah menentukan

5
4
institusi yang sejajar dengan pemerintah daerah. 8
Seiring dengan tumbuhnya civil society di daerah,
tuntutan masyarakat akan sistem pemerintahan
daerah yang dapat mengadopsi nilai-nilai de•
mokrasijuga semakin besar.9 Dengan demikian,
harapan masyarakat untuk berperan serta secara
maksimal dalam proses pengarnbilan kebijakan
dapat terwujud.
Pemerintahan yang demokratis rnembutuh•
kan persyaratan, seperti lembaga demokrasi yang
kuat, penduduk yang memahami dan memilik:i
pengetahuan cukup mengenai prinsip-prinsip de•
mokrasi, dan kepemimpinan negara yang capable
dan responsible. Secara teoretis, pemerintah
daerah akan berjalan secara efektif bila kepala
daerah terpilih secara demokratis. Dengan
demikian, diharapkan dapat terjadi checks and
balances, berjalannya pemerintahan berdasarkan
prosedur dan keteraturan, dan terbangunnya
mekanisme yang menyediakan transparansi serta
akuntabilitas.
Realisasi good governance atau efektivitas
pemerintah daerah dapat dilihat dari kemampuan•
nya dalam mewujudkan program-program yang
berkaitan dengan pelayanan publik, seperti perizin•
an, pendidikan, dan kesehatan. Keberhasilannya
sangat tergantung pada seberapa besar pemerin•
tah dapat melibatkan partisipasi masyarakat.
Efektivitas pemerintahan daerah merujuk
pada kapasitas pemerintah daerah dalam menge•
lola kewenangannya, baik di bidang pemerin•
tahan maupun pelayanan umum. Oleh karena itu,
institusi pemerintah daerah semestinya menjadi
fokus dalam pembenahan kelembagaan meng•
ingat keberhasilan program-program daerah tidak
hanya diukur dari besarnya partispasi masyara•
kat, melainkan juga dari kinerja institusi pemerin•
tahan daerah. Lebih dari itu, unsur penting yang
tak dapat dipisahkan dari good governance dan
efektivitas pemerintah daerah adalah organisasi
(struktur organisasi), masalah pelayanan, penge-
8
Paling tidak peran DPRD sebagai lembaga legislatif daerah
ini direalisasikan sampai dengan tahun 2004 berdasarkan UU
No.22/1999.
9
Hasil penelitian Tim Peneliti P2P LIPI tentang dinamika
kekuatan masyarakat lokal menunjukkan bahwa kekuatan ma•
syarakat lokal tumbuh dan berkembang pesat dari segi jumlah,
Kekuatan sosial ini secara relatif mampu memengaruhi proses
pembuatan kebijakan publik. Lihat antara lain Afadlal, ed.
Dinarnika Kekuatan Masyarakat Era Otonorni Daerah, (Jakarta:
Pusat Penelitian Politik-LIPI, 2004, hlm 2-5.

6
4
kasi sistem pemerintahan daerah karena otoritas lokal memiliki
lolaan kewenangan daerah (Renstra, Ranperda,
AKU, APBD), pemberdayaan masyarakat, dan
kesejahteraan masyarakat. Hal ini mengindikasi•
kan bahwa masalah good governance berkaitan
erat dengan penyelenggaraan pemerintah daerah,
khususnya dalam memproses public policy dan
merespons public interest.
Dalam perspektif demokrasi, pemerintah
daerah adalah kumpulan unit-unit lokal dari
pemerintah yang otonom, independen dan bebas
dari kendali kekuasaan pusat. Dalam sistem ini
pemerintahan daerah meliputi institusi-institusi
atau organisasi yang memberikan pelayanan ke•
pada masyarakat. Institusi demokrasi dalam poli•
tik lokal mencerminkan partisipasi masyarakat
karena keterlibatan masyarakat di dalam proses
pembuatan keputusan menjadi salah satu tujuan
penting otonomi daerah.
Efektif tidaknya institusi pemerintah daerah
sebagian besar tergantung pada berfungsi tidak•
nya pembuatan dan pelaksanaan keputusan-kepu•
tusan oleh pemerintah daerah.'? Dalam perspek•
tif demokratisasi, hak masyarakat sipil untuk
mendapatkan akses politik dan kesempatan dalam
memperjuangkan kepentingannya merupakan hal
penting dalam konteks politik lokal. Lebih dari itu,
di era otonorni daerah dewasa ini pemerintah
daerah diharapkan lebih memprioritaskan ke•
pentingan masyarakat. Harapan ini bukan tanpa
alasan karena tanpa dukungan masyarakat dalam
realisasi program kebijakan pemerintah tak dapat
mencapai basil maksimal.
Realisasi otonorni daerah dan pemerintahan
daerah yang demokratis tak hanya berkaitan
dengan pembagian kewenangan kepada kepala
daerah semata, melainkan juga menekankan
pentingnya akses masyarakat dalam politik.
Pembagian kewenangan kepala daerah ini
menekankan pula perlunya substansi demokrasi,
sehingga good governance yang mendasarkan
pada nilai-nilai demokrasi dan lokalitas dapat
lebih ditonjolkan. Di dalamnya juga termasuk
nilai-nilai efektivitas dan efisiensi yang diperlu•
kan masyarakat lokal.11

10
Philip Mahwhood, (ed.). Local Government in the Third
World: The Experience of Tropical Africa. Chichecer: John
Wiley & Sons, 1987.
11
Demokrasi lokal menekankan perbedaan lokal dan diversifi•

7
4
Berangkat dari uraian di atas, jelaslah bahwa
keterbukaan/liberalisasi politik di Indonesia yang
berlangsung sejak 1998 telah menghasilkan
perubahan politik yang fundamental di tingkat
lokal, meskipun belum komplit. Sebagaimana
disebutkan di atas, pemerintahan daerah merniliki
kewenangan yang cukup untuk menata daerah,
baik di bidang politik, ekonomi, maupun sosial.
Bahkan, pemerintah daerah juga memiliki ke•
wenangannya untuk menetapkan regulasi dan
redistribusi ekonorni. Dalam studinya Pierre dan
Peters menemukan istilah "the great society" di
Amerika dan "the strong society" di Swedia.
Menurutnya, keduanya berada dalam . . . "two
very different national context-essentially meant
growing government, including increasedpublic
spending on public services and welfare state
programme.12 Dalam konteks ini pemerintah
(government) dipandang sebagai "the appropri•
ate, legitimate and unchallenged vehicle for
social change, equality, and economic develop•
ment." Hal ini menegaskan bahwa pemerintah
(daerah) bertanggung jawab terhadap terlak•
sananya pelayanan publik yang memadai dan·
terwujudnya kesejahteraan rakyat.
Berbeda dengan pemerintah (government),
governance merujuk pada struktur, fungsi dan
penampilan otoritas publik/institusi di semua
level. Governance ini mencakup manajemen
fungsi publik, seperti public service delivery,
public resources (human, natural, economic dan
financial), dan public regulatory powers are exer•
cised (including enforcement) dalam mengelola
masalah negara.
Good governance merujuk pada suatu
proses dan aspirasi menuju governance systems
yang lekat dengan beberapa nilai-nilai berikut: 1)
Institusi publik yang efisien, terbuka, transparan
(tidak korup) dan akuntabel di semua level,
termasuk prosedur pembuatan keputusan yang
jelas. 2) Pengelolaan sumber daya manusia, alam,
ekonorni dan finansial yang efektif dan efisien
kapasitas dan legitimasi untuk pilihan lokal dan suara lokal. Hal
ini berarti bahwa otoritas lokal memiliki hak untuk membuat
pilihan yang berbeda. Lihat J. Halligan dan M. Turner, Profiles
of Government Administration in Asia. Canberra: Australian
Government Publising Service, 1995.
12 Government is "to cover the whole range of institutions and

relationship involved in the process of governing". Lihat Jon


Pierre dan B. Guy Peters, Governance, Politics and the State.
New York: St. Martin's Press, 2000, him. 1.

8
4
State. New York: St. Martin's Press, 2000.
demi terciptanya pembangunan yang adil dan
berkesinambungan. 3) Masyarakat demokratis
dikelola dengan mempertimbangkan hak asasi
manusia dan prinsip-prinsip demokrasi. 4) Par•
tisipasi civil society dalam proses pembuatan
keputusan. 5) Penegakan hukum dalam bentuk
"the ability to enforce rights and obligations
through legal mechanism". Semua nilai-nilai
tersebut sangat relevan untuk melihat fenomena
good local governance di Indonesia.
Pada tahun 1990-an muncul fenomena baru
tentang model pemerintahan yang mempertanya•
kan what is dan what should be tentang peran
pemerintah dalam masyarakat. Pertanyaannya
adalah bagaimana pemerintah yang terpilih dan
akuntabel itu dapat melaksanakan peran koor•
dinasinya dalam masyarakat? Hal ini menarik
bila dikaitkan dengan fenomena masyarakat
Indonesia yang sedang mengalami transisi. Per•
tanyaan selanjutnya adalah bagaimana cara men•
capai kepentingan bersama di tengah masyarakat
yang sedang berubah? Tanpa mengesampingkan
banyaknya kendala internal dan ekstemal, adalah
tugas pemerintah untuk selalu berusaha mewu•
judkan good governance atau democratic govern•
ment. Esensi democratic government ini bukan
hanya menyangkut pemerintahan dari, oleh dan
untuk rakyat, melainkan juga menyangkut per•
soalan partisipasi masyarakat atau keterlibatan
masyarakat dalam proses pemerintahan.13
Good governance berkaitan dengan manaje•
men strategis untuk mengukur dan menilai keber•
hasilan suatu pemerintahan. Keberhasilan peme•
rintah daerah dilihat dari kebijakannya, termasuk
gaya kepemimpinan dan kemampuannya dalam
mendorong peran serta masyarakat, swasta, dan
lembaga-lembaga nonpemerintah. Sebagai salah
satu unsur good governance, efektivitas merupa•
kan kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat
dan melakukannya secara tepat pula. Adapun
indikator penting untuk mengukur efektivitas
adalah profesionalisme birokrasi dalam memberi•
kan pelayanan atau melaksanakan pembangun•
an daerah sesuai dengan anggaran pendapatan
dan belanja daerah (APBD). Pelayanan publik,
kelembagaan dan birokrasi merupakan satu paket

13 Jon Pierre dan B. Guy Peters. Governance, Politics and the

9
6
14
penting yang berkaitan langsung dengan isu /bid., hlm. 4.

efisiensi dan efektivitas.


Konsep governance secara sederhana me•
rujuk pada proses pembuatan keputusan dan proses
pengimplementasian keputusan tersebut. Dalam
bahasa UNDP, "good governance is the manner
in which power is exercised by the society in the
management of various levels ofgovernment, of
the country s social, cultural, political and eco•
nomic resources". Lebih lanjut, menurut Pierre
dan Peters, 14 good governance "should have
devise means ofaccomodating more continuous
forms ofparticipation while still being able to
supply the needed direction to society." Good
governance ini menurut Asian Development Bank
juga berkaitan dengan realisasi akuntabilitas dan
transparansi pemerintahan daerah. Akuntabilitas
adalah kewenangan yang dikelola pemerintah
daerah yang dapat dipertanggungjawabkan
secara transparan. Masalah akuntabilitas dan
transparansi ini meliputi pengembangan kapa•
sitas institusi dalam melaksanakan kewenangan
pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota.
Ada keterkaitan yang erat antara birokrasi,
desentralisasi dan good governance. Birokrasi
adalah mesin utama penggerak dan pelaksana
program desentralisasi dan/atau pembangunan
daerah. Sementara itu, desentralisasi tidak hanya
menjadi prasyarat demokratisasi, melainkan
juga bertujuan untuk menyejahterakan rakyat
dan memberikan pelayanan yang prima kepada
mereka. Selain itu, kebijakan desentralisasi juga
diharapkan dapat meningkatkan pembangunan
ekonomi daerah. Asumsinya, kebijakan desen•
tralisasi akan menghasilkan pemerintahan
daerah yang demokratis dan menciptakan good
governance yang indikatomya adalah terwujud•
nya akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi
masyarakat.
Secara teori, good governance memungkin•
kan peningkatan pembangunan ekonomi daerah.
Indikator peningkatan pembangunan ekonomi
secara fisik dapat dilihat dari perbaikan infra•
struktur daerah, besamya APBD, PDRB, dan
PAD. Indikator penting lainnya dapat dilihat dari
besar kecilnya angka kemiskinan, pengangguran,
kesehatan dan tingkat pendidikan masyarakat.
Semakin berkurang angka kemiskinan dan

6
1
0
2002, him. 1.
pengangguran menunjukkan bahwa kinerja eko•
nomi suatu daerah semak:in berhasil. Pelayanan
kesehatan, gizi, dan pendidikan masyarakat yang
baik merupakan indikator penting peningkatan
pembangunan ekonomi daerah.

Reformasi Birokrasi
Untuk mewujudkan hal tersebut di atas dibutuh•
kan keberanian pemerintah daerah untuk mere•
formasi birokrasinya. 15 Ke depan birokrasi
pemerintah daerah harus menjadi birokrasi yang
mendukung secara luas terciptanya ruang parti•
sipasi publik, pemberdayaan dan peningkatan
kreativitas masyarakat. Untuk itu, birokrasi perlu
mengurangi kadar pengawasan dan represi terha•
dap hak, ekspresi, inisiatif, dan kreativitas ma•
syarakat lokal. Selain itu, perlu pula ditinggalkan
cara-cara penguasaan masyarakat lewat kooptasi
kelembagaan dan sikap dominasi-hegemoni.
Birokrasi perlu merekrut SDM dari luar untuk
memperkuat institusi dan transformasi menuju
birokrasi profesional. Birokrasi yang kompetitif
memasukkan semangat kompetisi di dalam dan
antarbirokrasi. Sebagai contoh, pemkab/pemkot
perlu menciptakan birokrasi daerah yang masing•
masing bagiannya saling bersaing dalam mem-
15
Isu reformasi birokrasi dan demokratisasi di Indonesia
menjadi isu sentral perdebatan politik belakangan ini. Hal ini
tak lain karena terdapat hubungan yang erat antarkeduanya.
Menurut Etzioni-Halevi (1985:54), reformasi birokrasi dapat
berjalan bersama, seiring dengan proses demokratisasi, dan
demokratisasi dapat mempromosikan pembangunan birokrasi.
Dengan kata lain, semakin demokratis sistem pemerintahan,
semakin besar peluang untuk mereformasi birokrasi. Seba•
liknya, semakin netral dan profesional birokrasi, semakin besar
kemungkinan terciptanya demokrasi politik. Krusialnya isu
reformasi birokrasi ini tidak dapat dilepaskan dari pengalaman
pahit birokrasi di era Orde Baru-nya Soeharto, yang mengalarni
politisasi cukup lama. Di era itu birokrasi digunakan sebagai
alat untuk mempertahankan status quo. Sementara partai politik
(parpol) nyaris tak berfungsi sebagaimana layaknya parpol di
negara demokrasi. Proses kebijakan publik hanya melibatkan
elite birokrat dan rniliter, sementara parlemen dan partai politik
serta kekuatan masyarakat tidak merniliki akses dalam proses
tersebut. Lihat R. Siti Zuhro, "Negara, Parpol dan Korpri: Studi
Kasus Surabaya", dalam Muridan Satriyo Wijoyo, ed., Politisasi
Birokrasi: Implikasi Kebijakan Monoloyalitas Pegawai (PPW
UPI, 1997), him. 46-48. Pasca Gerakan Reformasi 1998 Indo•
nesia mengalami proses transisi yang melibatkan pelembagaan
politik sebagai upaya konsolidasi demokrasi dan desentralisasi
pemerintahan. Proses transisi ini tidak hanya menghasilkan
beberapa hal positifbagi bangsa Indonesia, seperti peningkatan
partisipasi politik rakyat, tapijuga menimbulkan kekhawatiran
yang cukup besar akan dampak negatifnya. Lihat Salish Mishra,
"History in the Making: Systemic Transition in Indonesia",
Journal of the Asia Pacific Economy, Nol.7, No. 1 Tahun

6
1
1
berikan pendampingan dan penyediaan regulasi
dan barang-barang kebutuhan publik.
Selain itu, ciri-ciri birokrasi profesional
ke depan adalah birokrasi yang masing-masing
bagiannya bisa menciptakan persaingan dalam
meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan
publik secara kompetitif. Bukan saatnya lagi
birokrat minta dilayani atau membebani ma•
syarakat dengan pungutan liar, salah urus, dan
ketidakpedulian. Lebih dari itu, dalam melakukan
rekrutmen sumber daya manusianya, birokrasi
harus melakukan seleksi fit and proper test dan
menjauhkan kolusi dan nepotisme. Birokrasi
juga perlu memberikan reward merit system
(memberikan penghargaan dan imbalan gaji se•
suai pencapaian prestasi) dan bukan spoil system
(hubungan kerja yang kolutif, diskriminatif, dan
kurang mendidik), serta perlu mengedepankan
pola reward and punishment yang selama ini
kurang berjalan. Dengan kata lain, birokrasi
pemerintah harus netral dalam politik, tidak
diskriminatif, tidak memanfaatkan fasilitas dan
akses milik negara untuk kepentingan individu.
dan partai politik.
Upaya untuk membenahi birokrasi mencakup
empat aspek penting.
(a) Aspek politik (organisasi, pengawasan, ke•
wenangan, kebijakan, netralitas) meliputi:
1. komitmen atas keterbukaan (UU Keter•
bukaan lnformasi Publik/KIP) dan me•
kanisme kontrol dari publik/pers (UU No.
40/1999 tentang Pers),
2. desentralisasi kewenangan pemerintah
(UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah),
3. kebijakan sistem top down and bottom up
(UU No. 32/2004, PP No. 20/2004 tentang
Rencana Kerja Pemerintah, PP No. 6/2008
tentang Evaluasi terhadap Kinerja Pemda),
dan
4. netralitas PNS terhadap parpol (UU No.
43/1999 dikuatkan dengan terbitnya PP
No. 32/2004 tentang Larangan PNS men•
jadi Anggota Parpol).
(b) Aspek kewenangan pemerintahan (UU No.
32/2004).
(c) Aspek administrasi, yaitu regulasi, rekrutmen,
struktur kepegawaian yang terdiri atas:

6
1
2
Globalisasi: Meretas Jalan Menuju Kejatidirian. Jakarta: PT
1. komitmen efisiensi (UU No. 43/1999 ten• THC Mandiri, 2009, him. 210.
tang Pokok-Pokok Kepegawaian),
2. komitmen transparansi (PP No. 8/2003
tentang Pedoman Organisasi Perangkat
Daerah dan PP No. 9/2003 tentang We•
wenang Pengangkatan, Pemindahan, Pem•
berhentian PNS),
3. perampingan dan penataan struktur
kepegawaian (UU No. 32/2004 dan PP
No. 8/2003 tentang Pedoman Organisasi
Perangkat Daerah).
(d) Aspek mentalitas dan kultur yang meliputi:
1. komitmen pelayanan publik (Surat Edaran
Menneg PAN No. SE/10/M.PAN/07/2005
tentang Prioritas Peningkatan Kualitas Pe•
layanan Publik dan SE/15/M.PAN/9/2005
tentang Peningkatan Intensitas Pengawas•
an dalam Upaya Perbaikan Pelayanan Pu•
blik);
2. komitmen antikorupsi (Inpres No. 5/2005
tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
dan SE Menneg PAN No. SE/04/M. PAN/
2/2005 tentang Peningkatan Kualitas Pe•
layanan Publik yang Bebas KKN), dan
3. upaya peningkatan kesejahteraan (kenaik•
an gaji dan tunjangan pegawai).

Pentingnya reformasi birokrasi tersebut pada


dasarnya merupakan konsekuensi logis dari re•
alitas birokrasi Indonesia, baik di pusat maupun
di daerah, yang masih jauh dari profesional dan
netral. Pengabaian tentang hal ini akan sangat
membahayakan nasib Indonesia ke depan karena
kondisi birokrasi sebagai pelaku/pelaksana
pembangunan yang carut-marut menghambat
kemajuan Indonesia. Oleh karena itu, reformasi
birokrasi menjadi suatu keniscayaan.
Sejauh ini terdapat sekitar 30-40 daerah
yang berhasil melaksanakan reformasi birokra•
si, terutama di bidang pelayanan publik, seperti
Jembrana, Sragen, Tarakan, dan Solok.16 Dalam
kaitan ini, Kabupaten Malang masih dalam
proses berbenah diri menuju proses good local
governance, sebagimana terlihat dari relatif ek•
sisnya akuntabilitas, transparansi dan partisipasi.

16 R. Siti Zuhro, "Good Governance dan Kinerja Pembangunan


Ekonomi Daerah Era Desentralisasi: Studi Kasus Kabupaten
Malang". Dalam Abdussomad Abdullah, ed. Demokrasi dan

8 1
3
17
Pembangunan ekonomi yang relatif meningkat di Ibid, him. 206-212.

Malang menghasilkan peningkatan bidang pendi•


dikan dan akses masyarakat terhadap kesehatan.
Hal ini bisa dilihat dari perkembangan terakhir
pembangunan ekonomi Kabupaten Malang pe•
riode 2004-2005.17
Studi empirik di beberapa daerah di Indonesia
menunjukkan bahwa peran leadership kepala
daerah sangat penting untuk membuat terobosan
yang menguntungkan, baik untuk masyarakat,
maupun pemerintahan daerah. Terobosan sema•
cam ini diperlukan ketika sistem birokrasi yang
ada sulit diajak bekerja sama untuk membangun
daerah secara efektif dan efisien. Artinya, Indone•
sia memerlukan banyak lagi kepala daerah yang
mampu mengelola potensi daerah tanpa harus
tergantung pada pemerintah pusat.
Sebuah pemerintahan daerah yang bersih
akan tercipta jika perusahaan yang menjadi
rekanan pemerintah tidak melakukan suap dan
bekerja sama menggelembungkan nilai proyek.
Oleh karena itu, perusahaan rekanan pemerintah
juga harus menjalankan praktik bersih dalam
menerima dan menjalankan proyek yang diterima•
nya. Dengan kata lain, kesadaran kepala daerah
untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik
juga harus ditunjang dengan praktik bersih diri
dari perusahaan yang akan menjadi rekanan.
Dalam konteks ini, studi tentang kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah dalam konteks
penciptaan good governance-dihapuskannya
korupsi, kolusi, dan nepostisme-menuntut
sistem akuntabilitas dan transparansi sehingga
tugas-tugas pemerintah (pusat dan daerah) dapat
dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Isu-isu
ini muncul seiring dengan munculnya isu tentang
keadilan sosial yang makin merebak di tataran
masyarakat lokal selama periode 2001-2010.
Lebih dari itu, munculnya beberapa isu ini
juga tak dapat dilepaskan dari makin berkem•
bangnya jumlah dan peran kekuatan sosial (so•
cietal forces) dalam masyarakat sejak gerakan
reformasi 1998. Sulit dipungkiri juga bahwa
kekuatan sosial dalam masyarakat ini telah mem•
promosikan pentingnya partisipasi dan pluralis•
me. Dengan kata lain, peran civil society dalam
mendorong reformasi birokrasi dan desentralisasi

8 1
4
birokrasi makin meluas dan memengaruhi pemerintah daerah.
makin penting karena terciptanya good gover• Semakin meluas gerakan netralitas ke daerah-daerah, makin
nance tidak bisa semata-mata diharapkan dari besar pula peluang meluasnya pluralisme birokrasi di daerah.
pemerintah daerah saja (from within).
Belakangan ini pemerintah pusat juga mulai
mencanangkan reformasi pemerintahan daerah.
Perbaikan difokuskan pada pelayanan publik,
manajemen berbasis kinerja dan meningkatkan
kinerja auditor daerah, seperti Badan Pengawas
Daerah (BPD). Seiring dengan itu, dikenalkan
pula program "pulau integritas" (island of in•
tegrity) untuk mewujudkan tata pemerintahan
yang baik. Sebagai contoh, KPK saat ini bekerja
sama dengan gubernur dan kepala daerah dalam
mencegah praktik korupsi.18 Kerja sama tersebut
berupa bantuan teknis pencegahan korupsi, pe•
ningkatan pelayanan sektor publik, manajemen
berbasis kinerja dan kinerja auditor daerah.
Selain itu juga dibangun mekanisme pengaduan
masyarakat.

Gerakan Reformasi Birokrasi:


Tekanan dari Bawah19

18
Kerja sama ini dilakukan di beberapa daerah seperti Provinsi
Gorontalo, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Riau.
Kompas, 12 Mei 2006.
19 Gerakan reformasi birokrasi yang memperjuangkan netrali•

tas birokrasi pertama kali dimotori oleh sejumlah dokter dari


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) atau disebut
juga 'Forum Salemba'. Gerakan ini mendapat dukungan dari
Menteri Penerangan, Yunus Yosphia dan sekretarisnya I.G.K
Manila dengan menghapus Korpri di departemennya. Menurut
mereka tidak ada gunanya mempertahankan Korpri karena
dianggap tidak relevan dengan aspirasi dan kepentingan PNS.
Demikian juga dengan Departemen Kehutanan yang meng•
umumkan netralitasnya dan tidak akan berafiliasi dengan
partai tertentu. PPP, PDI dan kelompok muda Golkar juga ikut
mendukung gagasan netralitas birokrasi (Republika, 5 Januari
1999). Bahkan, peneliti Lembaga Ilmu Pengetabuan Indonesia
(UPI) ikut menyemangati dan mendukung ide tersebut yang
disampaikan melalui tulisan kritisnya di media massa. Mena•
riknya kritik yang disampaikan para peneliti ini mendapatkan
dukungan dari Kepala BAKN, Prof Solian Effendi, yang mene•
gaskan bahwa peneliti mempunyai hak untuk berbicara atas
nama aspirasi rakyat.
Meskipun gerakan netralitas ini mendapat kecaman
dari Ketua Korpri Pusat, Feisal Tamin, karena menurutnya
bila Korpri dibubarkan, tidak akan ada lagi PNS, tekad untuk
mewujudkan birokrasi yang netral tidaklah surut. Untuk mere•
spons kecaman Feisal Tamin itu, Yunus Yosphia mengatakan
bahwa tidak ada hubungan antara Korpri dan rekrutmen PNS.
Bubarnya Korpri di Departemen Penerangan merupakan
perwujudan aspirasi anggota Korpri itu sendiri (Kompas, 15
Juni 1999). Polemik ini justru mendorong gerakan netralitas

8 1
5
Sejak 1999 partai politik relatif mendapatkan
kebebasan dalam pemilihan umum. Organisasi
masyarakat menjadi lebih cair dan kompetitif.
Indonesia mengalami perubahan politik secara
gradual dalam periode 1999-2010 yang ditandai
dengan posisi kunci eksekutif ditentukan me•
lalui pemilihan. Demikian juga dengan legislatif
karena semua anggotanya dipilih secara langsung
oleh rakyat. Sejak 2004 militer (TNI dan Polisi)
tak lagi duduk di lembaga legislatif.
Pengalaman pemilu yang diselenggarakan
sejak 1999 menunjukkan bahwa Indonesia
sedang menuju sistem demokrasi perwakilan
(melalui partai politik) dan demokrasi partisi•
patoris untuk menggantikan struktur atau sistem
otoritarian. Sebagai hasilnya, kekuasaan partai
politik dan parlemen relatif bisa mengimbangi
kekuasaan eksekutif atau presiden.
Lebih dari itu, peran kekuatan sosial (so•
cietal forcesf" menjadi lebih signifikan sejak
gerakan reformasi 1998. Salah satu hasilnya
korupsi di birokrasi menjadi lebih tampak dan
makin terkuak. Korupsi menyebar mulai dari.
birokrasi pusat sampai level yang paling bawah.21
Sebagaimana tercatat, korupsi yang terjadi di
pemerintahan pada tahun 1980-an dan 1990-an
secara umum cukup meningkat. Hal itu tampak,
misalnya, dalam lingkaran keluarga Soeharto dan
para kroninya. 22

Kiranya jelas bahwa gerakan reformasi dan netralitas tidak


dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Bila gerakan reformasi
dianggap sebagai perjuangan untuk memperbaiki sistem politik,
sosial, ekonorni dan hukum, gerakan netralitas birokrasi lebih
mernfokuskan pada perbaikan birokrasi. Lebih dari itu gerakan
reformasi hendak memberantas KKN, sedangkan gerakan
netralitas merupakan respons terhadap luasnya tuntutan untuk
mewujudkan good governance yang meningkat tajam setelah
tumbangnya Soeharto. Gerakan netralitas juga lebih mernfokus•
kan upaya rekonfigurasi birokrasi dalam rangka memperbaiki
kualitasnya dan mewujudkan pemilu yang bebas danjujur, dan
untuk membantu mengurangi -KKN. Dampak positif lainnya:
adalah bahwa publik menjadi sadar arti pentingnya mende•
mokratisasikan (democratising) dan mendebirokratisasikan
(debureaucratising) Indonesia untuk kepentingan ekonomi
Indonesia.
20
Yang terdiri atas mahasiswa, akademisi, organisasi nonpe•
merintah (omop), pers, dan masyarakat bisnis.
21
Hampir tiap hari isu dan/atau skandal korupsi terjadi, baik
di pusat maupun daerah diberitakan oleh berbagai media, baik
elektronik maupun cetak. Skandal korupsi di birokrasi ini men•
capai puncaknya dengan dibeberkannya kasus Bank Century
dan makelar/mafia kasus pajak sejak akhir 2009.
22
William R. Liddle. "Indonesia's Democratic Opening".
Government and Opposition, Vol.34, No.I, 1999, him. 105.

8 1
6
Skandal korupsi tersebut kini bukannya makin bisa dipertanggungjawabkan. 24 Akuntabilitas
berkurang, tapi justru makin meningkat. Keadaan dapat diperbaiki bila ada keterbukaan yang cu•
ini tentu sangat memprihatinkan. Masalah korupsi kup besar.
tersebut merupakan hal paling berat yang diha• Dalam kasus Indonesia perbaikan birokrasi
dapi Indonesia di era transisi. Bila Thailand dan tak hanya terkait dengan isu remunerasi atau
Korea Selatan cukup berhasil mengatasi krisis menaikkan gaji PNS, tapijuga berkaitan dengan
dengan mengedepankan manajemen baru yang kecenderungan politisasi birokrasi. Untuk itu,
berorientasi pada reformasi pemerintahan dan netralitas birokrasi sangat diperlukan agar insti•
pelaksanaan demokrasi, pemerintah Indonesia tusi ini dapat bekerja secara profesional, yaitu
masih menghadapi kesulitan dalam menye• dapat mernisahkan politik dari karier adrninistrasi
suaikan diri dengan perkembangan ekonorni baru (public service) dalam pemerintahan dan depo•
dan situasi politik selama periode 1999-2010.23 litisasi public service. Menurut Asmerom dan
Hal ini menyebabkan pembangunan ekonomi Reis, netralitas birokrasi memerlukan beberapa
Indonesia tersendat dan kepercayaan rakyat ter• karakteristik penting:25
hadap demokrasi juga menurun.
"Politics andpolicy are separatedfrom adminis•
Lepas dari itu, munculnya kesadaran yang tration; public servants are appointed andpro•
tinggi tentang perlunya perubahan tingkah laku, moted on the basis of merit rather than on the
sikap dan orientasi budaya pegawai negeri sipil basis ofparty affiliation or contributions; public
sebagai aparat birokrasi menjadi faktor penting servants do not engage in partisan political
pendorong munculnya gerakan reformasi biro• activities; public servants do not express publi•
cly their personal views on government poli•
krasi. Dampak gerakan tersebut relatif signifikan
cies or administration; public servants provide
karena ikut mendorong terwujudnya good gover•
forthright and objective advice to their political
nance dan pemilu yang jujur, bebas dan adil. masters in private and confidence. In return, po•
Kesadaran penting lainnya juga muncul litical executives protect the anonymity ofpublic
berkenaan dengan perbaikan birokrasi Indonesia, servants by publicly accepting responsibilityfor
departmental dee is ions".
yaitu tuntutan terhadap peningkatan transpa•
ransi, efektivitas, efisiensi, profesionalisme, dan 26

Lebih lanjut Asmerom dan Reis juga ber•


akuntabilitas birokrasi. Dengan kata lain, upaya
Fund (IMF), "Indonesia Memorandum ofEconomic and Finan•
untuk menciptakan good governance-pemerin• cial Policies" (1998), dalam http//: WWW.irnf;org/externallnpl
tahan yang berdasarkan hukum, kebijakan yang LOI/011598.htm, lihatjuga Kompas, 17 Januari 1998.
transparan, dan pemerintahan yang dapat diper•
tanggungj awabkan-semakin rnengedepan.
Dengan good governance diharapkan akan
tercipta hubungan yang memadai antara negara
dan rnasyarakat (state-society) yang menghargai
keterlibatan rakyat dalam semua proses kebijakan
politik. Visibilitas proses ini disebut transparansi,
sedangkan akuntabilitas merujuk pada kondisi
di mana hasil keputusan politik sedapat mungkin

23 Respons awal pemerintah waktu itu adalah mengambangkan


nilai tukar rupiah dan meminta bantuan IMF. Beberapa bank
ditutup dan proyek-proyek besar ditangguhkan. Tapi kepen•
tingan bisnis yang dekat dengan presiden dilindungi. Meskipun
demikian, paket bantuan IMF yang diberikan ke Indonesia
15 Januari 1998 itu tidak menghentikan jatuhnya nilai tukar
rupiah. Sebaliknya, harga bahan pokok naik tajam, terutama
barang-barang impor. Keadaan ini akhirnya berpengaruh serius
terhadap perekonomian Indonesia. Lihat International Monetary

10 17
pendapat bahwa birokrasi yang tidak terpolitisasi
akan menjarnin stabilitas pemerintahan ke depan.
Dua pakar ini juga mengatakan bahwa netralitas
dari public service adalah komplementer terha•
dap merit system, di mana sistem rekrutmen dan
promosi dalam berbagai posisi di public service
ditentukan oleh merit, yaitu mekanisme legal
rasional dan bukannya afiliasi politik atau patro•
nase. Merit system ini memberikan keuntungan
berupa terciptanya sistem yang langgeng, ber•
kesinambungan, stabil dan imparsialitas dalam
public service dan membangun profesionalisme.
Karakteristik birokrasi seperti ini menekankan
tentang idealnya birokrasi untuk tidak berpolitik,

24
Indonesian Human Development Report. Toward a New
Consensus. Jakarta: BPS-Statistik Indonesia, Bappenas dan
UNDP, Indonesia, 2001, hlm. 24-25.

zs Haile K. Asmerom dan Elisa P. Reis. "Introduction". Dalam


Haile K. Asmeron dan Elisa P. Reis, Democratisation and
Bureaucratic Neutrality. London: Macmillan Press, 1996,
him. 22-23
26
Ibid., him. 27.

10 18
terbebas dari konflik dan hanya fokus pada sampai daerah. Dalam kaitan ini peran radio
adminsitrasi dan rasionalitas. Hal ini tentunya dan pers penting dalam menyebarkan informasi
relevan dengan birokrasi Indonesia di era transisi mengenai isu nasional dan lokal. Demikian jug a
yang sedang berupaya untuk mendepolitisasikan dengan ornop yang berperan penting dalam
institusinya. meningkatkan kesadaran politik rakyat melalui
program advokasinya, baik di tingkat pusat mau•
Berkaitan dengan reformasi birokrasi terse•
pun daerah. Advokasi yang dilakukan omop di
but, dua hal penting yang perlu dicermati adalah
daerah tentang kebijakan pemda telah mendorong
masih eksisnya politisasi birokrasi, khususnya
rakyat makin meningkatkan partisipasinya karena
sejak pemilu kepala daerah tahun 2005 di mana
reformasi birokrasi tidak bisa diharapkan hanya
pegawai negeri sipil sulit bersikap netral dalam
dari inisiatif pemerintah.
pemilu. Kedua, perlunya upaya untuk mengefek•
tifkan Korpri sebagai pilar pendorong reformasi Dengan kata lain, kekuatan sosial tersebut
birokrasi dan demokratisasi, yang mensyarat• telah mempromosikan partisipasi dan pluralis•
kan posisinya untuk netral dan tidak partisan. me, yang dalam banyak hal melemahkan aparat
Kedua hal tersebut menunjukkan dengan jelas pemerintah sebagai agen kontrol sosial. Masyara•
bahwa gerakan netralitas birokrasi secara tegas kat semakin sadar bahwa terciptanya goodgover•
menuntut birokrat untuk netral dalam politik, nance dan pemberdayaan civil society menjadi
yaitu tidak aktif dan terlibat dalam mendukung sebuah kebutuhan saat ini.
partai tertentu.
lmplementasi PP No. 12/1999
Peran Kekuatan Sosial dalam Reformasi dan PP No. 37/2004
Birokrasi Disahkannya PP No. 12/1999 tentang Perubah•
Meskipun gerakan netralitas birokrasi awalnya an atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun:
dimotori oleh Forum Salemba dan elite politik 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil yang menjadi
tertentu, gerakan ini mendapat dukungan luas dari Anggota Partai Politik, mengakhiri kontroversi
kekuatan sosial. Peran mereka ini sangat krusial tentang keterlibatan PNS dalam politik. PP ini
dalam memberikan tekanan kepada pemerintah membolehkan PNS untuk menggunakan hak
untuk menerapkan peraturan yang tegas tentang politiknya (memilih) dalam pemilu, tapi tidak
PNS. Mereka menanyakan keberadaan birokrasi membolehkan PNS menjadi anggota atau peng•
yang dalam banyak hal makin merosot kualitas• urus partai. Dengan kata lain, PNS dilarang ber•
politik praktis. Ketentuan ini dinilai memberikan
nya setelah tumbangnya Soeharto.27 Perdebatan
pengaruh positif terhadap birokrasi karena rela•
luas mengenai isu netralitas birokrasi pun digelar
tif berhasil membatasi keterlibatan PNS' dalam
selama periode 1998-1999. Tidak sedikit tulisan
politik. Hal ini bisa dilihat dari keterkaitan PNS
kritis berkaitan dengan isu itu dimuat dalam me•
dengan Partai Golkar di sebagian besar wilayah
dia massa seiring dengan perdebatan yang mema•
nas di parlemen yang membahas isu yang sama. Indonesia yang tampak mulai longgar.28
Tulisan-tulisan di media massa tersebut sedikit Lebih dari itu, dengan diterapkan paket UU
banyak berpengaruh terhadap opini publik pada Politik sejak 1999 (UU_No. 3/1999 tentang Pe•
umumnya dan DPR RI pada khususnya. Penga• milihan Umum, UU No. 2/1999 tentang Partai
ruh kekuatan sosial tersebut telah menghasilkan Politik, dan UU No. 4/1999 tentang Kedudukan
partisipasi sosial yang lebih signifikan meskipun MPR, DPR, DPD, dan DPRD) membuat rakyat
terkesan masih belum maksimal. 28
Dengan diterapkannya PP No.12/1999, misalnya, Golkar
Informasi tentang kebijakan publik dise• menghadapi kesulitan untuk menggunakan fasilitas birok:rasi
barluaskan oleh media massa mulai dari pusat dalam kampanye 1999. Penelitian yang penulis lakukan selama
tahun 2001 di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan menunjukkan
27 hal itu. Untuk pertama kali (pada 1999), politisi Indonesia
Berbeda dengan birokrasi era Orde Barn yang relatif ber•
(seperti menteri yang juga kader parpol), PNS dan angkatan
fungsi seperti partai politik dan atau parlemen, birok:rasi era
bersenjata (TNI) dilarang berperan aktif dalam kampanye
reformasi cenderung diwarnai oleh sistem multipartai dan
pemilu. Padahal dalam pemilu-pemilu sebelurnnya di era Orde
tuntutan untuk mewujudkan good governance yang disuarakan
Barn, PNS dan keluarganya memilih dan dalam banyak kasus
secara lantang oleh kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat
bekerja atas nama Golkar.
(societalforces).

10 19
makin sadar tentang hak politiknya. Diterap• undurkan diri. Selama tenggang waktu satu
kannya sistem multipartai dan UU politik baru tahun PNS tersebut akan mendapat gaji sebagai
tersebut telah menyadarkan PNS bahwa biro• kompensasi." Dalam hal tertentu, hal tersebut
krasi tidak hams identik dengan Golkar. PP No. bisa diperpanjang sampai lima tahun, tapi tanpa
12/1999 yang mencegah PNS menjadi anggota gaji.
atau fungsionaris partai merupakan langkah Seperti halnya PNS, personel angkatan ber•
positif. Baik secara institusi maupun individu, senjata yang ingin bergabung dengan partai poli•
birokrasi relatif berubah, 29 tikjuga diwajibkan mengundurkan diri.31 Mereka
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa yang memegang dua posisi akan dikeluarkan
birokrasi memiliki tugas dan peran yang jelas. sebagai PNS sesuai dengan peraturan pemerintah.
Pada level atas, birokrat terlibat dalam perumusan Pada periode 1999-2000 terdapat sekitar 636
kebijakan. Pada level tersebut, pemerintah perlu PNS yang mengajukan diri untuk bergabung
memiliki hak untuk memilih penasehat public dengan partai.32
service yang bisa dipercaya supaya menarik bagi
program partai. Sementara itu, di bawah level Makna Penting Netralitas Birokrasi
paling atas, PNS diberi peluang agar profesional Bagi Demokrasi
dan tetap loyal pada pemerintah yang terpilih. Belajar dari kegagalan birokrasi dan tak mampu•
Dengan peraturan baru itu PNS tidak boleh nya pemerintahan Orde Baru mewujudkan good
memegang posisi ganda, baik sebagai PNS governance33 , masyarakat Indonesia menuntut
maupun fungsionaris partai. Sebagai contoh, agar pemerintah pasca 1998 secara sungguh•
PNS yang ingin ikut kampanye, terlebih dulu sungguh melakukan perbaikan kedua bidang
hams mendapatkan izin dari atasannya. Jika tersebut. Menurut Hadi Soesastro34 pentingnya
permohonannya dikabulkan, PNS harus meng- realisasi good governance ini, karena terkait
langsung dengan kebijakan ekonomi makro.
29
Pengaturan mengenai netralitas PNS telah diatur dalam UU Sementara itu, penguatan mekanisme checks and
Nomor 43 Tahun 1999, Pasal 3 ayat (2) dan (3); PP Nomor 12
Tahun 1999 tentang perubahan atas PP Nomor 5 Tahun 1999
balances dalam sistem politik Indonesia masih
tentang PNS yang menjadi anggota Parpol Pasal 7 dan Peng• dalam taraf proses pembelajaran. Dengan feno•
aturan mengenai netralitas PNS terdapat dalam UU Nomor 43 mena seperti ini, birokrasi di era transisi sekarang
Tahun 1999 tentang perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pasal 3 ayat (2) dan (3),
ini tidak hanya ditantang untuk mampu menge•
PP Nomor 12 Tahun 1999 tentang perubahan atas PP Nomor 5 lola pembangunan ekonomi, tapijuga melakukan
Tahun 1999 tentang PNS yang menjadi anggota Parpol Pasal 7 restrukturisasi politik.
dan PP Nomor 37 Tahun 2004 tentang larangan PNS menjadi
anggota Parpol, Pasal 2. Upaya pemerintah dalam membenahi biro•
Peraturan-peraturan tersebut dimaksudkan agar PNS krasi era transisi cenderung kurang komprehen•
menjaga netralitasnya dan mentaati peraturan. Surat Edaran
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: SE/03.A/ sif. Di bawah pemerintahan B.J. Habibie (1998-
M.PAN/5/2005 juga menegaskan ha! yang sama yaitu: "PNS 1999) dan Abdurrahman Wahid (1999-2001)
yang menjadi calon kepala atau wakil kepala daerah wajib
keinginan untuk memperbaiki birokrasi relatif
membuat surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan
negeri pada jabatan struktural atau fungsional yang disampai• sangat besar. Tiga indikasi penting upaya Habi•
kan kepada atasan langsung untuk diproses sesuai peraturan bie tersebut adalah: 1) ditetapkannya PP No.
perundang-undangan. Bagi PNS yang bukan calon kepala atau
wakil kepala daerah dilarang terlibat dalam kegiatan kampa•
30
nye untuk mendukung calon kepala dan atau wakilnya. PNS Bab7PPNo.12/1999.
yang menjadi kepala daerah kalau diperhatikan dasar hukum 31
tentang cuti (PP Nomor 24 Tahun 1976), maka posisinya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 1999. Him.
identik dengan pejabat yang sedang menjalankan cuti di luar 193-194, bab 7 PP No. 12/1999.
tanggungan negara, sebab yang bersangkutan dibebaskan dari 32
Jakarta Post, 24 Mei 2002.
j abatannya dan j abatan lowong dengan segera dapat diisi (Pas al
33
27). Pengaturan mengenai netralitas PNS terdapat dalam UU Pemerintah Orde Baru dinilai tidak mampu mewujudkan good
Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas UU Nomor 8 governance dan tidak bisa mengelola pembangunan ekonorni
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pasal 3 ayat dan perubahan sosial sehingga rezim ini akhirnya tumbang.
(2) dan (3), PP Nomor 12 Tahun 1999 tentang perubahan atas 34
PP Nomor 5 Tahun 1999 tentang PNS yang menjadi anggota Hadi Soesastro, "The Economic Crisis in Indonesia: Lesson
Parpol Pasal 7 dan PP Nomor 37 Tahun 2004 tentang larangan and Challenges for Governance and Sustainable Develop•
PNS menjadi anggota Parpol, Pasal 2". Lihat Siti Nurbaya. ment". Dalam http//:www.pacific.net. id/pakar/hadisoesastro/
"Reformasi Birokrasi Sulit Dipercaya". Indopos, 1 Juni 2009. economic 2/hml.

12 20
Pemilu 1999.
12/1999; 2) disahkannya tiga paket UU politik
baru (mengenai pemilu, partai politik, susunan,
dan kedudukan MPR, DPR, DPRD); dan 3)
keengganan Habibie menggunakan birokrasi
dalam pemilu 1999. PP dan paket UU politik
tersebut tidak hanya memperjelas posisi birokrasi
dalarn konteks sistem politik Indonesia, tapijuga
memberikan ketegasan hukum yang sifatnya
mengikat bagi PNS yang hendak berpolitik.
Dampak positif kebijakan tersebut dapat di•
lihat dalam pemilu 1999 di provinsi Indonesia ba•
gian barat, yang sebagian besarnya dimenangkan
oleh partai-partai non-Golkar. Sebagai contoh,
di Jawa Timur PKB dan PDI-P masing-masing
mendapatkan kursi 32 dan 31, sementara Partai
Golkar berada di posisi ketiga dengan 12 kursi.
Padahal, dalam pemilu 1997 Golkar di wilayah
ini mendominasi kursi di DPRD dan selama
pemilu Orba, Golkar tak pernah terkalahkan. 35
Sebaliknya, di provinsi Indonesia bagian
timur, sebagian besar masih dimenangkan Partai
Golkar. Sebagai contoh, Golkar menang telak
di Provinsi Sulawesi Selatan dengan 44 kursi.36
Kemenangan Golkar di Sulawesi Selatan ini
tidak terlepas dari isu dicalonkannya Habibie
(yang merupakan putra daerah) menjadi kandidat
presiden. Selain itu, selama Orba wilayah ini juga
merupakan basis kuat Golkar di mana sebagian
besar tokoh lokalnya (publicfigures) sangat dekat
dengan partai tersebut. Hal ini berbeda dengan
Jawa Timur yang merupakan basis pendukung
PKB dan PDI-P.
Dengan eksisnya perbedaan wilayah dan
basis politik tersebut berpengaruh terhadap ting•
kat keberhasilan netralitas PNS, terutama dalam
memengamhi sikap, orientasi dan respons politik
mereka terhadap PP No. 12/1999. Untuk sebagian
besar wilayah Indonesia timur, hubungan PNS
dengan Golkar relatif tidak banyak berubah.
Sedangkan untuk wilayah Indonesia barat PNS
cenderung memiliki kebebasan untuk memilih
wakilnya. Mereka tidak segan-segan lagi memilih
partai yang disukai tanpa hams merasa takut dan
mendapat teguran dari atasan. Sistem multipartai
memberikan keleluasaan dan peluang tersendiri

35
Lihat KPUD Jawa Timur tentang hasil rekapitulasi Pemilu
1999.
36
Lihat KPUD Sulawesi Selatan tentang hasil rekapitulasi

12 21
bagi PNS di Jawa Timur untuk memilih partai
yang mereka nilai tepat, tanpa harus ke Golkar.
Di bawah pemerintahan Abdurrahman
Wahid, beberapa terobosan politik berkaitan
dengan birokrasi jug a dilakukan. Sebagai contoh
konkret, di awal pemerintahannya Wahid mem•
bubarkan Departemen Penerangan dan Sosial.37
Selanjutnya ia juga menerapkan kebijakan 'ne•
gative growth' untuk PNS (tidak ada lagi rekrut•
men PNS barn dan himbauan untuk pensiun dini
bagi PNS yang tidak berkualitas).38 Bersamaan
dengan itu pula, Wahid tidak membolehkan po•
sisi tertentu di birokrasi seperti dirjen, sekretaris
direktur dan deputi dipegang oleh politisi. Hal
ini tak lain dimaksudkan untuk menghindari
politisasi birokrasi.
Yang juga tak kalah penting adalah bahwa
Presiden Wahid berupaya mengurangi kekuasaan
(power) Sekretariat Negara (Sekneg) dengan
membentuknya menjadi tiga bagian: 1) Sekre•
taris Negara; 2) Sekretaris Presiden; dan 3)
Sekretaris Kabinet. Kebijakan ini tentunya sangat
mengagetkan karena selama pemerintahan Orb a·
dan Habibie, Sekneg dinilai sangat berkuasa dan
solid. Dali perspektif perbaikan birokrasi, upaya
yang dilakukan Wahid tersebut merupakan suatu
tindakan yang memberikan shock therapy bagi
proses perampingan birokrasi menjadi lebih pro•
fesional dan pengurangan dominasi kekuasaan
di satu lembaga negara (Sekneg). Pembagian
Sekneg menjadi tiga bagian itu setidak-tidaknya
telah mengurangi kekuasaannya. Sekneg yang
tadinya tampak sangat "angker" dan tertutup -itu
akhirnya menjadi relatif agak transparan.
Kebijakan Wahid untuk mengimplementasi•
kan otonomi daerah, 1 Januari 2001, telah mem•
berikan dampak besar terhadap proses demokrati•
sasi di tingkat lokal. Dengan kata lain, Wahid
telah memberikan basis yang cukup kuat bagi
proses liberalisasi dan demokratisasi ke depan.
Di era kepemimpinan Megawati Soekarno•
putri (2001-2004 ), birokrasi tidak mengalami
perubahan apapun. Meskipun Presiden Megawati

37
Dua departemen ini dinilai tidak sejalan dengan semangat
reformasi yang selama Orde Baru mengalami penyimpangan
dalam pelaksanaannya.
38
Kebijakan 'negative growth' ini dimaksudkan untuk mengu•
rangijumlah PNS, yaitu dengan tidak merekrut lagi tenaga baru,
kecuali tenaga ahli yang diperlukan.

12 22
39 Kompas, 8 Juni 2006.
sendiri sempat mengeluhkan buruknya birokrasi
Indonesia yang digambarkan sebagai "keranjang
sampah", ia tidak melakukan perbaikan birokrasi
secara konkret dan signifikan. Selama periode
kepemimpinannya, Megawati cenderung mem•
prioritaskan penciptaan keseimbangan hubung•
an antara eksekutif-legislatif dan merangkul
TNI dan Polri ketimbang membenahi birokrasi.
Beberapa media massa, bahkan, menengarai
Pemerintahan Mega menggunakan institusi biro•
krasi dalam pilpres 2004. Sebagai incumbent
yang mencalonkan diri dalam pilpres, Megawati
ditengarai menggunakan jalur birokrasi melalui
Departemen Dalam Negeri (Depdagri) untuk
mensosialisasikan dirinya dan untuk mendapat
dukungan menjelang pilpres 2004.
Fenomena birokrasi di era Megawati menun•
jukkan dengan jelas bahwa institusi ini rentan
terhadap berbagai kepentingan partai politik. Di
tataran praksis, sulit dihindari kecenderungan
untuk menarik birokrasi agar tidak mendukung
calon atau partai tertentu.
Di era pemerintahan Susilo Bambang Yudho•
yono (Kabinet Indonesia Bersatu 1/KIB: 2004-
2009 dan KIB 2: 2009-2014) birokrasi masih
berkutat dengan warisan lama yang sarat dengan
pola patron-klien/patrimonial dan korupsi. Kebi•
jakan pemerintah SBY dalam memberantas ko•
rupsi di semua lembaga baik eksekutif, legislatif
dan yudikatif (supra struktur politik) tampaknya
masih harus melaluijalan panjang karena hukum
di negeri ini masih belum bisa ditegakkan secara
penuh (absennya law enforcement). Perkembang•
an terakhir menunjukkan bahwa reformasi biro•
krasi mengambil bentukjalur UU, yaitu dengan
diajukannya RUU berkaitan dengan perbaikan
birokrasi atau administrasi publik.
Sebagai Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara KIB 1, Taufiq Effendi rneng•
umumkan kebijakan pemerintah untuk merefor•
masi birokrasi melalui lima RUU. Menurutnya,
RUU tersebut disiapkan untuk menata sistem
manajemen berbasis kinerja yang meliputi
kelembagaan, tata laksana, sumber daya manu•
sia, budaya kerja dan hubungan teknologi.39
Adapun kelima RUU yang disiapkan tersebut
meliputi RUU Administrasi Pemerintahan, RUU
Pelayanan Publik, RUU Etika Penyelenggaraan

14 23
Negara, RUU Kementerian Negara, dan RUU
Kepegawaian Negara. Dari RUU tersebut, tiga
di antaranya sudah disahkan menjadi UU (UU
Pelayanan Publik, UU Administrasi Pemerin•
tahan, dan UU Kementerian Negara).
Pada masa pemerintahannya yang ke dua,
Presiden juga membentuk Unit Kerja Presiden
Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pem•
bangunan (UK4P) yang diketuai oleh Kuntoro
Mangkusubroto. Selain menjadi Ketua UK4P,
ia juga dipercaya menjadi Ketua Satgas Pem•
berantasan Mafia Hukum yang dibentuk sejak
akhir 2009.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi KIB2, Evert Ernest
Mangindaan, mengatakan bahwa pemerintah
akan membentuk Komite Reformasi Birokrasi
yang dipimpin W akil Presiden Boediono dan
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa.
Menurut pemerintah, ini merupakan salah satu
langkah penting wujud reformasi birokrasi nasio•
nal. Komite ini akan menyusun tata laksana,
prosedur yang benar agar proses birokrasi tidak
terlalu panjang dan rumit. Komite Reformasi
Birokrasi juga akan melakukan restrukturisasi
organisasi yang selama ini masih tumpang tindih,
baik di pusat maupun daerah." Oleh karena itu,
grand desain reformasi birokrasi ini diharapkan
bisa selesai tahun 2010.
Seiring dengan itu, pembenahan sistem
pengawasan terhadap birokrasi perlu diperbaiki.
Perbaikan tersebut, misalnya, dapat dimulai
dari pengadilan negeri dengan cara mendorong
adanya transparansi di institusi penegak hukum
tersebut.
Konsep reformasi birokrasi yang tengah
berjalan saat ini perlu didorong lebih cepat lagi.
Masalahnya, meskipun semua pihak sepakat
akan pentingnya reformasi birokrasi sebagai

40
Dalam melakukan tugasnya sebagai ketua tim, Wapres
Bordiono akan dibantu oleh tiga menteri koordinator (Menko
Ekonomi, Menko Kesra, Menko Polkam), Menteri Keuangan
Agus Martowardoyo, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi
dan Ketua Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan Kuntoro Mangkusubroto. Tugas
Tim Pengarah akan memastikan program reformasi berjalan
dengan baik. Tim tidak hanya menyoroti soal dana, tetapi juga
layanan publik agar indikator kinerja berjalan dengan baik.
Desain utama reformasi birokrasi diharapkan sudah dapat se•
lesai tahun 2010 sehingga upaya perbaikan birokrasi nasional
bisa segera dilaksanakan.

14 24
bagaimana evaluasi dari program itu dilakukan untuk menentu•
syarat fundamental perbaikan pelayanan kepada kan kelanjutan program reformasi birokrasi ke depan.
masyarakat dan perbaikan ekonomi secara me•
nyeluruh, implementasinya tampak seperti jalan
di tempat dan acap kali ditentang oleh internal
birokrasi itu sendiri. Birokrat yang merasa dirinya
terancam akan melakukan perlawanan dengan
menghambat upaya reformasi dan menggagal•
kannya."
Kebijakan remunerasi42 yang dilakukan
pemerintah pada beberapa institusi khusus seperti
Kejaksaan, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), dan Kementerian Keuangan
(Depkeu), dimaksudkan untuk mengantisipasi
kemungkinan penyelewengan dan tindak korupsi
karena instansi-instansi ini dinilai strategis dan
"basah", Apalagi pemberian remunerasi itu
dilakukan oleh pemerintah pada saat beban ang•
garan (APBN) masih relatifberat. Harapan yang
besar digantungkan kepada beberapa institusi
tersebut untuk menjadi pilot project atau percon•
tohan model reformasi birokrasi ala Indonesia.
Ironisnya, ketika realisasi program remu•
nerasi belum genap lima tahun, muncul skandal
mafia kasus pajak. Kemenkeu yang notabene
bertindak sebagai kasir pemerintah tak pelak lagi
mendapat sorotan. Banyak pihak yang memper•
tanyakan kembali efektivitas program reformasi

41
Alasan lama yang sering diungkapkan adalah rumitnya menata
kembali sistem birokrasi yang sudah mengakar, terutama sejak
Orde Baru serta mahalnya biaya untuk melakukan reformasi itu
sendiri. Selain itu, kurangnya komitmen politik dan konsisten
para elite birokrat dan pimpinan tertinggi (Presiden) ikut meng•
hambat urgensi reformasi birokrasi.
Realisasi otonomi daerah dan desentralisasi sejak 2001
bis a jadi ikut menyulitkan upaya reformasi birokrasi, mengingat
kebutuhan dan kemauan politik setiap daerah untuk mere•
formasi birokrasinya tampaknya berbeda dari satu daerah ke
daerah lainnya. Meskipun pemerintah telah memperbaiki sistem
penggajian dan penegakan disiplin, terutama pemberantasan
korupsi, sejauh ini hasilnya belum signifikan. Ini karena Indo•
nesia belum menyentuh masalah utamanya, yaitu pembenahan
mindset PNS/birokrat yang berkaitan dengan pola pikir dan
integritas moral.
42
Perbaikan sistem penggajian dimulai sejak KIB 1 (2004-
2009) melalui kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS). Sebagai
contoh, kenaikan gaji pokok PNS sebesar 20% per Januari
2008, dengan target gaji terendah diperkirakan mencapai Rp2
juta. Kenaikan tersebut bisa jadi tidak terlalu spektakuler, tapi
relatif melegakan bagi PNS.
Kebijakan remunerasi tersebut juga sempat memicu kon•
troversi karena dianggap pilih kasih karena tidak semua kemen•
terian bisa mendapatkan kenaikan gaji "ala" remunerasi di kan•
tor Kemenkeu, Kejaksanaan, BPK, dan MA. Masalahnya adalah

14 25
birokrasi melalui remunerasi. Program penyetara•
an gaji di Kemenkeu yang dijadikan sebagai
terobosan dalam modernisasi birokrasi di institusi
ini tampaknya sulit mencapai hasil maksimal
karena lingkungan di luar Kemenkeu juga belum
tereformasi. Profesionalisme dan kapasitas para
staf di ketiga direktorat (Bea Cukai, Pajak, dan
Perbendaharaan Negara) ini diperlukan karena
dalam menjalankan tugasnya mereka acap kali
berhadapan langsung dengan pelaku usaha, baik
dari dalam maupun luar negeri.
Perbaikan sistem gaji yang dilakukan di
beberapa institusi tersebut juga dimaksudkan
untuk memperbaiki kualitas sistem pelayanan
kepada masyarakat, serta pembersihan beberapa
unit aparat yang dianggap tidak bersih. Namun,
data empirik menunjukkan bahwa harapan itu
tak sepenuhnya bisa diwujudkan karena adanya
distorsi di tataran realisasinya. Contohnya adalah
masalah kasus Gayus Tarnbunan, makelar kasus
pajak dan pemeriksaan mendadak KPK terhadap
Kantor Bea Cukai Tanjung Priok yang disinyalir
merupakan unit bea cukai paling vital ( di mana,
sebagian besar ekspor dan impor Indonesia di•
lakukan melalui pelabuhan Tanjung Priok) tapi
rentan penyelewenagan dan korupsi.
Upaya reformasi birokrasi yang bersifat
parsial dan terkesan kurang sungguh-sungguh
dalam menciptakan good governance telah
menghasilkan maraknya kasus korupsi, baik di
pusat maupun di daerah. Yang paling menonjol
adalah skandal korupsi di Direktorat Jendral
Pajak43 dan Bank Century yang menyeret pula
Bank Indonesia",
Meskipun pemerintah telah membentuk
UP4P yang diketuai Kuntoro Mangkusubroto,
masalah korupsi belum juga bisa diselesaikan
secara memadai. Korupsi"· sangat akut di Indonesia, .
..
43
Terkuaknya isu penggelapan pajak dan keterlibatan para
makelar kasus (markus) pajak menjadi berita mengheboh•
kan mengawali tahun 2010. Remunerasi yang dilaksanakan
di Kementerian Keuangan sejak 2006 seolah sia-sia, dana
remunerasi yang besar tidak menjamin kejujuran dan profe•
sionalitas karyawan untuk memberikan pelayanan yang prima
kepada publik. Sebaliknya, para karyawan yang terlibat dalam
persengkongkolan dengan markus tersebut menikmati uang
tidak halal tersebut sambil menerima remunerasi yang tinggi
tiap bulannya.
44
Sejauh ini beberapa Gubernur BI telah masuk penjara, baik
karena kasus korupsi maupun kasus kebijakan yang diseleweng•
kan. Demikian juga beberapa pejabat BI lainnya terseret kasus
suap dan korupsi.

14 26
bahkan, telah menjalar ke semua lini kehidupan. kan kualitas pelayanan publik akan meningkat.
Solusinya tidak bisa parsial atau setengah-se• Apalagi kepastian hukum dan tingkat ketaatan
tengah. Reformasi birokrasi secara komprehensif
melalui civil service reform sangat diperlukan.
Melakukan reformasi birokrasi saja jelas tak cu•
kup. Indonesia juga perlu mereformasi hukum
secara sungguh-sungguh. Penegakan hukum dan
keadilan harus menjadi paket reformasi yang ur•
gent untuk dilakukan saat ini. Pembentukan satu•
an tugas (Satgas) untuk mengatasi makelar kasus
merupakan terobosan penting, tapi hal itu belum
cukup untuk mengatasi maraknya korupsi dan
makelar kasus yang sudah terlanjur menggurita.
Lepas dari itu, birokrasi Indonesia memang
tidak pemah menunjukkan perannya sebagai in•
stitusi yang efektif. Dari periode ke periode selalu
mengalami perubahan. Namun, perubahan terse•
but selalu saja tidak berdampak positif terhadap
perkembangan birokrasi itu sendiri. Sebaliknya,
malah melanggengkan sifat birokrasi patrimonial
yang sarat dengan patron-klien.
Pengalaman politisasi birokrasi di era sebelum•
nya menjadikan institusi birokrasi tidak netral dan
profesional. Sedangkan peran birokrasi pemerin•
tahan pasca 1998 tampak kabur meskipun relatif
tidak terpolitisasi. Upaya untuk memberikan
payung hukum yang memadai agar birokrasi dan
para PNS bisa melaksanakan tugasnya dengan
baikjuga belum tentu menjanjikan. Kelima RUU
yang diupayakan kantor Kementerian Pendaya•
gunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
tersebut tidak dengan sendirinya membuat bi•
rokrasi Indonesia menjadi lebih baik.
Rasional dari argumen tersebut adalah karena
penciptaan UU sebagaimana yang diupayakan
melalui kelima RUU di atas akan sia-sia bila tidak
mengikat secara utuh aparat birokrasi. Selain itu,
perbaikan sistem penggajian dan perubahan yang
mendasar yang berkaitan dengan orientasi PNS
terhadap etika profesionalisme sangat relevan
untuk diterapkan seiring dengan usulan kelima
RUU tersebut. Semua upaya tersebut akan bisa
maksimal bila ditunjang oleh kepemimpinan
yang kokoh (strong leadership) yang memahami
arti pentingnya reformasi birokrasi.
Dengan masih eksisnya kultur lama birokrasi
yang berorientasi kepada penguasa sulit diharap•

27
16
hukum masyarakat jug a belum terbangun kokoh. Lucian W. Pye, eds., Political Power and Communications in
Indonesia. (Berkeley: University of California Press, 1978).
Inilah masalah mindset PNS di Indonesia yang
belum sepenuhnya memahami makna PNS seba•
gai "abdi negara" dan "abdi masyarakat".
Oleh karena itu, yang paling mendesak untuk
diperbaiki seiring dengan reformasi birokrasi
adalah reformasi hukum atau penegakan hukum
dan terciptanya kepastian hukum. Penciptaan
hukum yang mengikat dan mampu memberikan
sanksi kepada PNS dan warga negara sangat di•
perlukan karena tanpa itu pemberantasan korupsi
di birokrasi akan sangat sulit.

Prospek Pluralisme Birokrasi


Menganalisis prospek pluralisme birokrasi
(bureaucratic pluralism)45 ke depan tak dapat
dilepaskan dari fenomena birokrasi saat ini.
Pertanyaannya adalah apakah yang berubah dan
yang tetap (continuity and change) dari birokrasi
selama pemerintahan Susilo Bambang Yudho•
yono (SBY) 2004-sekarang? Berbeda dengan
pemerintahan Megawati yang tidak banyak
membuat terobosan yang berarti untuk birokrasi,
pemerintahan SBY relatif lebih berani membuat
kebijakan pemberantasan korupsi di birokrasi,
meskipun belum maksimal.
Yang tetap adalah SBY meneruskan model
reformasi birokrasi parsial, melanjutkan kebi•
jakan minus growth pemerintah sebelumnya dan
tetap mempertahankan Departemen Penerangan
(Kementerian Komunikasi dan Informatika) dan
Departemen Sosial yang dihidupkan kembali
oleh Megawati. Demikian juga dengan Sekneg,
kekuasaannya dikembalikan supaya lebih solid
dalam membantu tugas-tugas presiden. Upaya
perampingan birokrasi terhambat karena peme-

45
The increasing political awareness of civil servants and the
strengthening of local government in the regional autonomy
era beginning in 2001 changed the role of the state from a
state-centred to a more decentralised system. There was obvi•
ously a strengthening ofsocietalforces (such as students, intel•
lectuals, the press, and NGOs) opposing the state during this
period, and they became influential in the formation ofpolicy.
Undoubtedly, the Indonesian bureaucracy became more open
to outside criticism, and almost no government policies were
implemented without being scrutinised by these forces. Lihat
antara lain desertasi R. Siti Zuhro, 'The Role of the the Indo•
nesian Bureaucracy in the Transition Era", (Perth, 2004), him.
193; lihatjuga Emmerson, Donald K. The Bureaucracy in the
Political Context: Weakness in Strength,' in Karl D. Jackson and

28
16
49
Kompas, 10 September 2004.
rintah justru menambah jumlah departemen
yang ada.46
Kekhawatiran publik terhadap keberpihakan
birokrasi tidaklah berlebihan karena institusi ini
sangat rentan dan mudah menjadi wilayah konflik
kepentingan partai politik. Sebagai contoh, ma•
salah netralitas ini kembali marak dipertanyakan
ketika muncul isu terjadinya mobilisasi PNS di
Bali dalam rangka kampanye PDI-P menjelang
pernilu legislatif bulan April 2004. Isu tersebut
juga mencuat ketika disinyalir adanya kampanye
terselubung birokrat untuk mendukung salah satu
capres dalam pernilu putaran kedua, 20 Septem•
ber 2004.47 Hal ini, rnisalnya, terlihat dari adanya
lnstruksi Menteri Dalam Negeri, Hari Sabarno,
No. 4/2004 kepada gubernur dan bupati/walikota
seluruh Indonesia untuk mendukung capres ter•
tentu. 48 Sebagaimana diketahui, UU Pernilu 2003
secara tegas melarang pelibatan pejabat negara,
baik struktural maupun fungsional dalam politik
praktis seperti pemilu.49
Fenomena tersebut menunjukkan dengan
jelas bahwa UU dan peraturan tentang birokrasi/
PNS ternyata masih tidak cukup kuat untuk
mencegah upaya penyelewengan fungsi biro•
krasi. Kecenderungan birokrat atau partai yang
memerintah (apapun partainya) untuk mengguna•
kan mesin birokrasi sebagai alat yang efektif un•
tuk mendapatkan dukungan suara dalam pernilu
(mulai dari pusat sampai daerah) sulit dicegah.
Oleh karena itu, akan sangat sulit mengharapkan
perubahan mindset PNS saat ini. Apalagi tanpa
adanya political will, keteladanan, dan integritas
dari pernimpin negara.
Peluang reformasi birokrasi ke depan bisa
jadi akan terkendala oleh konflik kepentingan
yang tidak pernah absen karena masih adanya
46
Jumlah kementerian negara, baik KIB 1 maupun KlB 2 sangat
banyak, yang mencerminkan akomodasi terhadap partai-partai
koalisi dan mengabaikan realitas realisasi otonomi daerah yang
semestinya bisa merampingkan birokrasi di pusat.
47
Kompas, 4 September 2004.
48
Instruksi Mendagri tersebut dipersoalkan karena mencamtum•
kan kalimat, "memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai keberhasilan pembangunan di semua aspek yang
telah dicapai pemerintah hingga saat ini ... hal-hal yang telah
dilakukan pemerintah agar masyarakat tidak tersesat atau salah
memilih dan menetapkan pilihannya secara rasional sehingga
dapat menjamin keberlanjutan integrasi sistem pemerintahan".
Kompas, 10 September 2004.

29
16
penggunaan mesin birokrasi sebagai pengum•
pul suara dalam pernilu, baik melalui cara-cara
terselubung maupun pernyataan implisit pejabat
negara. Lebih-lebih lagi di era pernilukada lang•
sung yang berlangsung sejak Juni 2005.
Dengan sistem multipartai tidak tertutup
kemungkinan konflik kepentingan di birokrasi
akan makin menajam. Gambaran belakangan ini
menunjukkan bahwa disorientasi PNS ternyata
masih berlangsung. Mereka cenderung prag•
matis dan/atau oportunis dan mernihak partai•
partai tertentu, termasuk mernihak partai yang
berkuasa. Bila hal ini terus berlangsung, makna
birokrasi yang seharusnya melayani masyarakat
dan bersikap profesional dalam menjalankan
tugasnya akan hilang. Prospek reformasi biro•
krasi Indonesia sangat tergantung pada sebera•
pa besar kornitmen elite birokrat dan pimpinan
negara untuk mereformasi birokrasi dan sekaligus
menghapus kesan birokrasi yang kornitmennya
cenderung longgar dan pragmatis.
Lepas dari tantangan besar yang dihadapi
birokrasi untuk menjadi profesional, netral..
akuntabel dan partisipatif, secara umum dapat
dikatakan bahwa birokrasi di era transisi cende•
rung menciptakan birokrasi yang plural yang
ditandai dengan makin pluralnya sistem politik
yang lebih terbuka terhadap pengaruh kekuat•
an sosial (societal forces) dalam masyarakat.
Salah satu indikator penting dari ciri pluralisme
birokrasi adalah tak satu pun kebijakan publik
yang ditetapkan pemerintah tak mendapatkan
sorotan atau kritikan dari masyarakat. Meskipun
tak semua keberatan publik dapat menggagalkan
kebijakan pemerintah, sebagiannya terpaksa
mengalami penundaan karena resistensi yang
besar dari masyarakat. Hal ini tentunya tidak
pernah terjadi di era Orde Baru.

Dari Local Bureaucratic Authoritarian


Ke Local Bureaucratic Pluralism
Pergeseran dari sentralisasi ke desentralisasi mem•
berikan pengaruh yang relatif signifikan bagi
perkembangan politik lokal. Sulit dibantah bahwa
telah terjadi kebangkitan politik lokal dengan
berkembangnya jumlah aktor yang ikut berperan
dalam menentukan kebijakan publik, baik di level
pusat maupun daerah. Tak sedikit analis politik
dan ilmu pemerintahan yang mencatat bahwa

30
16
so Lihat R. Siti Zuhro (dkk.), Profesionalitas dan Netralitas
dalam beberapa hal pemerintah pusat telah ke•
hilangan kekuasaannya karena tekanan berbagai
kekuatan sosial, baik dari dalam maupun luar ne•
geri. Pada saat yang sama, aktor-aktor politik lokal
juga makin memperkuat posisinya.
Fenomena tersebut memperkuat argumen
bahwa politik Indonesia saat ini dapat dipahami
dalam koridor 'bureaucratic pluralism' yang
dicirikan oleh peranan dan pengaruh besar
kekuatan nonbirokrasi atau kekuatan sosial
(societal forces) dalam proses pembuatan
keputusan. Si stem ini disebut 'bureaucratic
pluralism' karena pergantian rezim merupakan
basil pengelolaan kekuasaan yang diputuskan
melalui kompetisi dalam pemilu/pemilukada.
Sistem multipartai exist dan pemilu/pemilukada
dilaksanakan secara independen. Lebih dari itu,
pluralisme birokrasi Indonesia cenderung menuju
ke arah demokrasi yang partisipatoris, di mana
partai politik mampu mengontrol birokrasi dan
memengaruhi kebijakan-kebijakan publik yang
dibuat oleh eksekutif. Selama era transisi atau
desentralisasi, kelompok kepentingan, partai
politik, dan kekuatan sosial secara konsisten
mampu memengaruhi kebijakan penting yang
menentukan kebijakan publik.
Pengalaman beberapa birokrasi di daerah
seperti Jawa Timur, Bali, Kalimantan Timur dan
Sumatra Barat menunjukkan bahwa daerah-dae•
rah ini cenderung mempraktikkan model pluralis•
me birokrasi dengan kadar yang berbeda dari
satu daerah ke daerah lain. Jawa Timur dengan
semangat arek-nya memberikan pengaruh positif
terhadap berkembang dan berperannya kekuatan
sosial dalam masyarakat. Hampir semua daerah
di Jawa Timur berhasil melakukan peran yang
signifikan. Demikianjuga dengan Kata Surabaya
dan Kabupaten Sidoarjo. Kedua daerah tersebut
tergolong dalam daerah yang memiliki LSM/
aktivis, pers, intelektual dan mahasiswa yang
cukup vokal dan senantiasa mengkritisi kinerja
pemerintah daerah. Hubungan antara local state
dan society relatif berimbang. Local state tidak
mendominasi dan relatif mau mendengar aspirasi
dan kepentingan society. Sementara itu, era pe•
milihan langsung sekarang ini memberikan pelu•
ang kepada masyarakat untuk ikut berperan serta
dalam proses pembuatan kebijakan publik."

18 19
Sementara itu, Bali, Kalimantan Timur, dan
Sumatra Barat relatif tidak memiliki perbedaan
yang mencolok dalam hal peran dan kekuatan
sosial dalam memengaruhi kebijakan publik.
Meskipun peran mereka tidak sevokal atau sesig•
nifikan kekuatan sosial di Jawa Timur, secara
perlahan posisi dan peran kekuatan sosial di
ketiga daerah tersebut mulai diperlukan untuk
mengimbangi local state. Hubungan antara local
state dan society secara perlahan pula mulai cair.
Kekuatan sosial mulai memberikan pengaruh
dan mendapatkan tempat dalam dinamika poli•
tik lokal meskipun tidak dalam bentuknya yang
komplit. Ke depan, hal ini cukup menjanjikan
karena akan berdampak positif terhadap realisasi
pluralisme birokrasi pada khususnya dan refor•
masi birokrasi pada umumnya.51
Akhimya, gerakan nasional reformasi biro•
krasi dan netralitas birokrasi menjadi suatu hal
yang niscaya saat ini untuk menerobos kebekuan
birokrasi. Gaung gerakan ini sangat diperlukan
bagi Indonesia, khususnya daerah, agar daerah da•
pat segera bangkit dan membenahi masalah yang
dihadapi birokrasi lokal, terutama, dalam men•
dukung daya saing ekonomi daerah dan untuk
menggerakkan roda pembangunan ekonomi.

Penutup
Pemilu 1999, 2004, dan 2009 telah mencatat
secara relatif keberhasilan netralitas birokrasi.52
Keberhasilan ini telah mengubah birokrasi dari
model otoritarian ke model plural atau lebih
terbuka. Konsep pluralisme birokrasi meluas
ke seluruh wilayah Nusantara yang ditandai de•
ngan makin kuatnya pengaruh kekuatan sosial
atau ekstra birokrasi terhadap kebijakan publik.
Gambaran yang terbentang selama periode 1999-
2010 menunjukkan bahwa di satu sisi Indonesia
bergerak ke sistem politik demokrasi, di sisi lain
masih berjuang melawan warisan patrimonialis•
me rezim Orde Baru.

Birokrasi: Upaya Mewujudkan Daya Saing Ekonomi Daerah,


(Jakarta: PT THC Mandiri, 2007).
51 Jbid.

52
Keberhasilan ini tak lepas dari upaya publik yang terus
menyoroti kesungguhan birokrat memegang komitmennya
untuk tetap netral. Pengalaman Indonesia selama 1999-2010
menunjukkan bahwa civil society organization (CSO) relatif
berperan penting dalam mendorong perbaikan birokrasi agar
institusi ini lebih transparan dan akuntabel.

18 19
Dalam kasus Indonesia, harapan terjadinya mengikat. Sementara itu, faktor-faktor ekstemal
pembangunan yang simultan antara reformasi meliputi kornitmen atas keteladanan elite (perlu
birokrasi dan demokratisasi masih menghadapi keteladanan elite) dan pengawasan oleh rakyat.
tantangan berat. Proses demokratisasi yang ber• Dengan kata lain, pemerintah perlu mendesain
langsung sejak 1998-yang awalnya diharapkan regulasi birokrasi yang komprehensif dengan
bisa memperbaiki kualitas birokrasi-temyata mencabut, merevisi, mensinkronkan dan menyu•
belum bisa diwujudkan. Di tingkat praksis (em• sun regulasi baru.
pirik), proses demokratisasi tidak berjalan seiring Mengingat desentralisasi belum mampu
dengan perubahan birokrasi. Kendala besar yang mengatasi pengangguran dan kerniskinan yang
dihadapi birokrasi adalah dirinya sendiri. jurnlahnya semakin besar, diperlukan peningkat•
Mampu tidaknya birokrasi Indonesia mela• an pembangunan daerah yang didukung investasi
wan sikap pragmatismenya dan membuang swasta. Kebijakan pelayanan satu pintu (yang
disorientasi yang masih lekat pada dirinya akan menjarnin informasi dan biaya yang transparan)
menentukan sukses tidaknya birokrasi menjaga menjadi kebutuhan mendesak daerah untuk
netralitasnya dengan partai. Idealnya memang mendukung aktivitas dunia usaha. Ketika potensi
dua bidang ini (demokrasi dan birokrasi) bisa daerah bukan merupakan satu-satunya faktor
berjalan seiring dan saling melengkapi. Tapi, penarik investor, kualitas pelayanan melalui
tantangan besar justru datang dari birokrasi yang pelayanan satu atap dan satu pintu (OSS) menjadi
tampak lamban dalam merespons perubahan daya tarik tersendiri bagi pelaku usaha.
pesat dalam masyarakat. Dengan kenyataan Untuk mereformasi birokrasi, perlu dibentuk
seperti ini hampir dapat dipastikan bahwa proses civil service commission (CSC). Hal ini penting
demokratisasi di Indonesia tidak akan berjalan karena lembaga tersebut memiliki ciri-ciri yang
mulus. Sebagai dampaknya, realisasi pluralisme meliputi independence, selection, merit, dan unifi-.
birokrasi akan diwarnai dengan bergesemya cation. Pembentukan CSC ini juga diatur dalam
sedikit demi sedikit nilai patrimonial dan di• Pasal 13 (3) UU No. 43/1999 tentang Pokok•
gantikan dengan semangat untuk mewujudkan Pokok Kepegawaian, yang menyebutkan bahwa
birokrasi yang profesional dan netral. CSC bertugas: a) merumuskan kebijakan umum
Model birokrasi profesional dan netral ditan• kepegawaian; b) merumuskan kebijakan peng•
dai dengan penataan birokrasi yang mendukung gajian dan kesejahteraan PNS; c) memberikan
secara luas terciptanya ruang partisipasi publik, pertimbangan dalam pengangkatan, pernindahan,
pemberdayaan dan peningkatan kreativitas dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural
masyarakat. Dengan kata lain, model birokrasi tertentu yang menjadi wewenang presiden.
tersebut adalah yang kompetitif di dalam dan Anggota tetap diangkat dari PNS senior dari
antarbagiannya; ada institusi pesaing; partici• instansi/perguruan tinggi dan staf senior dari
pant-autonomous-outsourcing; pemberdayaan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Sementara
publik ( demokratisasi, membuat inisiatif dan itu, anggota tidak tetap diangkat dari PNS senior
peringatan dini untuk publik); standar pelayanan dari departemen terkait, wakil organisasi pega•
publik yang profesional (transparan dalam hal wai negeri dan wakil _tokC?h masyarakat yang
biaya dan waktu: public accountibility, merit mempunyai keahlian yang diperlukan komisi.
system: pengangkatan berdasarkan keahlian, CSC dibentuk melalui keputusan presiden dan
pengawasan kolektif, obyektif); kompetisi insti• bertugas membantu presiden dalam merumus•
tusi dalam memberikan pelayanan publik; dan kan kebijakan dan memberikan· pertimbangan
netral secara politik. tertentu. CSC ini terdiri atas kepala dan wakil
Reformasi birokrasi bisa dilakukan, baik kepala, tiga anggota tidak tetap dan dua anggota
secara internal, maupun eksternal. Faktor-faktor tetap (ketua dan sekretaris). Semua anggota
internal meliputi reorientasi kekuasaan yang pro• diangkat dan diberhentikan oleh presiden dan
rakyat, merniliki kornitmen, mampu menciptakan bersidang sekali dalam setahun.
new image, rasionalisasi, peningkatan kualitas Kiranya jelas bahwa amanat Pasal 13 UU
SDM, dan payung hukum yangjelas, tegas serta No.33/1999 sudah waktunya untuk diwujudkan

18 19
Baik". Penamaan ini menjadi penting untuk memberikan penga•
bila menginginkan adanya reformasi birokrasi ruh positif terhadap PNS/birokrat sebagai aparat pemerintah.
yang riil. Tujuannya agar ada pemisahan yang
tegas antara institusi yang merumuskan, meng•
awasi, dan yang melaksanakan. Tidak seperti
sekarang ini, semua tugas dan tanggung jawab
seolah-olah dibebankan ke kantor Menpan.
Untukjangka menengah pembentukan CSC
tersebut tidak hanya menjadi solusi reformasi
birokrasi, melainkan juga menjadi mekanisme
penting dalam menata kembali keberadaan Kan•
tor Menpan, BKN, dan LAN.53 Di era efisiensi
sekarang ini, mempertahankan eksisnya suatu
institusi tanpa mempertimbangkan secara sung•
guh-sungguh peran, fungsi, kompetensi, dan
kewenangan (executing power) yang dimiliki
akan berakibat buruk pada institusi itu sendiri.
Hal yang sulit pula dielakkan adalah memper•
baiki kerusakan moral aparat PNS/birokrat yang
terlanjur sudah akut.
Kerusakan moral itu juga dipicu oleh ketiada•
an payung hukum yang mengatur etika pemerin•
tahan. Ada kevakuman etika sebagai akar krisis
legitimasi pemerintahan sehingga bisa dipahami
bila pemerintah tak mampu membangun konsen•
sus-konsensus etik secara konsisten sebagaimana
yang eksis di Amerika Serikat (bill ofgovernment
ethics). Absennya peraturan atau UU semacam
bill of government ethics tersebut telah menyu•
burkan KKN dan menghasilkan pemerintahan
yang tidak efektif dan efisien. Bahkan, goodgover•
nance semakin sulit diwujudkan di negeri ini.
Untukjangka pendek, yang harus dilaksana•
kan kepala daerah adalah membuat terobosan•
terobosan kebijakan yang inovatif dan kondusif,
sesuai dengan telah ditetapkannya UU Pelayanan
Publik dan UU Administrasi Pemerintahan. Dae•
rah-daerah bisa melakukan terobosan-terobosan
yang signifikan untuk mendobrak kelesuan
daya saing ekonomi daerah. Misalnya, daerah•
daerah perlu membuat kebijakan atau perda
yang memberi rasa aman dan nyaman bagi dunia
us aha. Perlu juga digarisbawahi bahwa ke depan
fokus yang perlu digarap secara serius adalah
pelayanan publik dengan meningkatkan kualitas
pelayanan.
53 Penataankembali ketiga institusi itu bisa jadi dilakukan dengan
mengubah nama kantomya, misalnya menjadi "Kantor Kemen•
terian Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola Pemerintahan yang

20 21
Seiring dengan itu, pemerintah pusat semesti•
nya ikut mendukung dan bersikap lebih tegas
dalam menerapkan reward and punishment
kepada para birokrat, baik yang berprestasi
maupun yang melanggar peraturan dan tidak
melaksanakan tugas dan kewajibannya secara
bagus. Selain itu, setiap institusi terkait (seperti
Kantor Menpan, BKN, LAN) diwajibkan untuk
melaksanakan programnya dengan sistem target.
Hal ini dimaksudkan agar institusi yang ber•
kenaan langsung dengan reformasi birokrasi bisa
melaksanakan tugasnya secara serius.

Daftar Pustaka
Afadlal (Ed.). 2004. Dinamika Kekuatan Masyarakat
Era Otonomi Daerah. Jakarta: Pusat Penelitian
Politik-LIPI.
Asmerom, Haile K dan Elisa P. Reis. 1996. "Intro•
duction". Dalam Haile K. Asmeron dan Elisa P.
Reis. Democratisation and Bureaucratic Neu•
trality. London: Macmillan Press.
Blair, Harry. 2000. "Participation and Accountability at
the Periphery: Democratic Local Governance in
Six Countries". World Development, 28 (1).
Budiman, Arief. 2002."Civil Society and Democratic
Governance: The Case of Indonesia". Paper di•
presentasikan pada Konferensi Democracy di
Seoul, 29-30 Juli 2002.
Eldridge, Philip. 1995. Non-Governmnet Organisations
and Democratic Participation in Indonesia.
Southeast Asian Social Science Monographs.
Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Emmerson, Donald K. 1978. 'The Bureaucracy in the
Political Context: Weakness in Strength,' in
Karl D. Jackson and Lucian W. Pye (Eds.). Po•
litical Power and Communications in Indone•
sia. Berkeley: University of California Press.
Etzioni-Halevi, Eva. 1986. Bureaucracy and Democ•
racy: A Political Dilemma. London: Routledge
& Kegan Paul.
European Commission, EC. 2004. "Thematic Evalu•
ation of the European Commission Assistance
to Third Countries Supporting Good Gover•
nance". Terms of Reference (final version).
Halligan, J. dan M. Turner. 1995. Profiles of Govern•
ment Administration in Asia. Canberra: Austra•
lian Government Publising Service.
Huntington, Samuel P. dan Joan M. Nelson. 1998.
"Partisipasi Politik dalam Konteks Pembangun•
an". Dalam Miriam Budiardjo (Ed.). Partisi•
pasi dan Partai Politik. Edisi Revisi. Jakarta:
Yayasan Obor.

20 21
Indonesian Human Development Report. Toward a Pierre, Jon dan B. Guy Peters. 2000. Governance,
New Consensus. 2001. Jakarta: BPS-Statistik Politics and the State. New York: St. Martin's
Indonesia, Bappenas dan UNDP, Indonesia. Press.
International Monetary Fund (IMF). 1998. "Indone• Rasyid, Ryaas. 2003. "Regional Autonomy and Local
sia Memorandum of Economic and Financial Politics in Indonesia". Dalam Edward Aspinall
Policies". Dalam http//:www .imf;org/external/ dan Greg Fealy (Ed.). Local Power and Politics
np/LOI/011598.htm. in Indonesia: Decentralization and Democ•
ratisation. Singapore: Institute of Southeast
Kohli, Atul, dan Vivienne Shue. 1994. "State Power
Asian Studies.
and Social Forces: On Political Contention and
Accomodation in the Third World". Dalam Joel Soesastro, Hadi. 2003. "The Economic Crisis in
S. Migdal, Atul Kohli, dan Vivienne Shue (Ed.). Indonesia: Lesson and Challenges for Gover•
State Power and Social Forces. Cambridge Uni• nance and Sustainable Development". (http//:
versity Press. www.pacific.net.id/pakar/hadisoesastro/ eco•
nomic 2/hrnl).
Liddle, William R. 1999. "Indonesia's Democratic
Opening". Government and Opposition, 34 (1). Zuhro, R., Siti. 2004. "The Role of the Indonesian
Bureaucracy in the Transition Era". Disertasi.
Lijphart, Arend. 1968. The Politics of Accommoda•
Perth.
tion. Berkeley: University of California Press.

Macintyre, Andrew. 1994. "Organising Interests: . 2005. "Dinamika Kekuatan Masyarakat


Corporatism in Indonesian Politics". Working Lokal dan Demokratisasi: Studi Kasus di Kabu•
Paper No. 43, the Asia Research Centre Mur• paten Malang", dalam Afadlal (Ed.). Dinamika
doch University. Kekuatan Masyarakat Lokal Era Otonomi Dae•
rah. Jakarta: Pusat Penelitian Politik-Lembaga
Mahwhood, Philip (Ed.). 1987. Local Government in
lmu Pengetahuan Indonesia (P2P- LIPI).
the Third World: The Experience of Tropical
Africa. Chichecer: John Wiley & Sons. . 2009. "Good Governance dan KinerjaPem•
bangunan Ekonomi Daerah Era Desentralisasi:
Manan, Bagir. 1999. "Good Governance: Hindarkan
Studi Kasus Kabupaten Malang". Dalam Abdus-'
Rakyat dari Tindakan Negara yang Merugikan."
somad Abdullah (Ed.). Demokrasi dan Globali•
Jurnal Transparansi, Edisi 14, November.
sasi: Meretas Jalan Menuju Kejatidirian. Jakarta:
Migdal, Joel S. 1988. Strong Societies and Weak States: THC Mandiri.
State-Society Relations and State Capabilities
Zuhro, R. Siti (Ed.). 2006. Efektivitas Pemerintahan
in the Third World. Princeton: Princeton Uni•
Daerah Era Otonomi: Studi Kasus di Sumatera
versity Press.
Baral dan Jawa Tengah. Jakarta: Pusat Pene•
. 1994. "The State in Society: An Approach litian Politik-Lembaga lmu Pengetahuan Indo•
to Struggles for Domination". Dalam Joel S. nesia (P2P- LIPI).
Migdal, Atul Kohli, dan Vivienne Shue (Ed.).
. 2006. "Realisasi Pluralisme Birokrasi".
State Power and Social Forces. Cambridge
Dernokrasi dan HAM, 5 (3).
University Press.
. 2007. Profesionalitas dan Netralitas
Migdal, Joel S., Atul Kohli dan Vivianne Shue. 1994.
Birokrasi dalam Mendorong Daya Saing Eko•
"Introduction: Developing a State-in-Society
nomi Lokal. Jakarta: THC Mandiri.
Perspective". Dalam Joel S. Migdal, Atul Kohl•
i dan Vivianne Shue. State Power and Social
Forces. Cambridge: Cambridge University Surat Kabar
Press. Siti Nurbaya. "Reformasi-Birokrasi Sulit Dipercaya".
Mishra, Satish. 2002. "History in the Making: Syste• 2009. Indopos, 1 Juni.
mic Transition in Indonesia". Journal of the Jakarta Post, 24 Mei 2002.
Asia Pacific Economy, 7 (1).
Kompas, 17 Juni 1997, 17 Januari 19?8, 15 Juni 1999,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.12 4 September 2004, dan 10 September 2004.
Tahun 1999 tentang Perubahan atas Peraturan
Republika, 5 Januari 1999.
Pemerintah No.5 Tahun 1999 tentang Pegawai
Negeri Sipil yang menjadi Anggota Partai Poli•
tik. Bandung: Kuraiko Pratama.

20 21
GOOD GOVERNANCE VS SHADOW STATE
DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

Syarif Hidayat dan Abdul Malik Gismar

Abstract

Good governance is crucial for the attainment of development goals and delivering the promises of demo•
cracy. However, it cannot be understood apart from the political regime and the political dynamic within which
it exists. Hence, establishing good governance in a transitional democracy such as Indonesia has its additional
challenges. This article attempts to elucidate this issue. Specifically, it attempts to show that currently low quality
ofgovernance in provinces accross Indonesia might be linked to the existence of shadow state. Illustrations are
given both from quantitative analysis drawn from the results of Partnership Governance Index and qualitative
studies in six provinces.

Pendahuluan asumsi demokrasi yang mapan (consolidated


Dalam review teori tentang the New Emerging democracy), yaitu suatu praktik demokrasi yang
Way of Thinking about Government, Pierre and tidak saja ditunjukkan oleh hadimya institusi- .
Peters54, secara eksplisit mensinyalir bahwa kon• institusi demokrasi, tetapi juga ditandai oleh
sep dasar dari good governance terletak pada inherennya perilaku demokrasi, baik di kalangan
dua isu utama, yaitu adanya perubahan peran para penyelenggara negara, maupun di kalangan
dari masyarakat dalam penyelenggaraan peme• masyarakat.
rintahan, pada satu sisi, serta perubahan kapasitas Pertanyaannya kemudian adalah, bagai•
pemerintah dalam merespons dan memperjuang• mana halnya dengan upaya membangun good
kan kepentingan kolektif masyarakat berdasar• governance dalam kondisi transisi demokrasi?
kan koridor institusi yang ada, pada sisi yang Hidayat56 menyebutkan bahwa salah satu karak•
lain. Dalam formulasi bahasa yang lebih utuh, teristik dari penyelenggaraan pemerintahan pada
Pierre and Peters55 menyebutkan: "The heart periode transisi demokrasi adalah munculnya
of democratic government or good governance fenomena shadow state. Pertanyaan di atas
concept are the government changing role in so• kiranya cukup relevan dijadikan sebagai landas
ciety and its changing capacity to pursue collec• pijak dalam membaca dan memaknai praktik
tive interest under severe external and internal good governance di Indonesia, khususnya pada
constraints". periode pasca-Orde Baru. Untuk itu, maka sub•
Dari uraian singkat di atas, secara implisit stansi dari materi yang disajikan pada tulisan ini ·
tergambarkan bahwa prinsip dasar dari good akan berupaya menjelaskan tentang peluang dan
governance akan dapat bekerja secara maksimal, tantangan dalam membangun konsep goodgover•
dan akan dapat mencapai tujuan yang dikehen• nance di dalam realitas sosial-politik yang pekat
daki, antara lain, sangat ditentukan oleh karak• dibayang-bayangi oleh adanya shadow state,
teristik dari sistem politik yang mewadahinya. dengan merujuk pada beberapa fakta basil pene•
Proposisi good governance yang dibangun oleh litian yang dapat dijadikan sebagai indikasi.
Pierre and Peters di atas jelas berangkat dari
54 56 Hidayat, Syarif. "Shadow State?". Dalam Nordholt, H. S.,
Pierre, J. and Peters, B.G., Governance, Politics and the State,
(New York: St. Martin's Press, 2000) and Klinken, Gerry, (eds.). Renegotiating Boundaries: Local
Politics in Post-Suharto Indonesia. Leiden: KITLV Press,
55
Ibid., hlm. 7. 2007, hlm. 224.

24 23
45-80.
Memahami Governance
Pembahasan pada subbagian ini tidak bertujuan
untuk memberikan tinjauan literatur yang kompre•
hensif, apalagi ekshaustif, mengenai konsep dan
masalah-masalah yang berkaitan dengan gover•
nance. Latar belakang dan kontekstualisasi kon•
sep yang mengawali tulisan ini lebih ditujukan
untuk meletakkan pengertian konsep governance
yang kami konstruksi dalam upaya mengaitkan•
nya dengan realitas politik di Indonesia.

Latar Belakang dan Kontekstualisasi


Konsep .Governance
Governance adalah konsep yang sedang "in",
bahkan akibat terlalu sering dipakai untuk meru•
juk atau menjelaskan banyak hal, telah membuat
arti dan implikasi yang khas dari konsep ini men•
jadi kabur. Mungkin kedekatan kata antaragover•
ning/government (yang memang sudah lama ada
dan begitufamiliar) dengan governance mem•
buat banyak kalangan merasa merujuk hal yang
sama ketika mereka menggunakan kedua kata ini.
Padahal secara semantik keduanya bisa sangat
berbeda. Kekaburan bertambah, ketika katagover•
nance diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
sebagai "tata pemerintahan" atau "tata-kelola
pemerintahan" yang memiliki konotasi yang
sama dengan pengertian pemerintahan dalam
rezim yang lalu; sementara kata governance
muncul sebagai alternatif untuk menggantikan
kata governing yang tidak mewakili semangat
penyelenggaraan negara yang baru. Pergeseran
falsafah relatif mendasar ini tidak terasa dalam
terjemahannya.
Kerancuan juga disebabkan oleh beraneka•
ragamnya sumber di mana diskursus mengenai
konsep ini berkembang. Dalam hal ini Seppa
Tiihonen57 mengidentifikasi setidaknya ada lima
gugus diskursus di mana governance menjadi
topik penting. Yang pertama, governance dalam
konteks perubahan bentuk rezim politik; kedua,
governance dalam konteks reformasi manaje•
men publik; ketiga, governance dalam konteks
perubahan besar hubungan internasional sejak
tahun 1980-an sebagai konsekuensi dari globali•
sasi; keempat, governance dalam diskursus

57
Tiihonen, Seppo. From Governing to Governance: a process
of change. Tampere: Tampere University Press, 2004, hlm.

24 23
institutional economic dan institutional political
science; dan kelima, governance dalam konteks
kebijakan-kebij akan pembangunan.
Walaupun kelima gugus diskursus ini saling
bersinggungan, masing-masing memiliki tekanan
dan sorotan yang berbeda, bahkan sering pula
falsafah dasarnya berbeda. Oleh karena itu, tidak
jarang terjadi salah pengertian antara pihak yang
memahami governance dalam konteks globali•
sasi dengan mereka yang memahaminya dalam
lingkup lebih sempit manajemen publik. Pihak
yang pertama sering mengaitkan kata ini dengan
pengertian yang sarat ideologi (neoliberalisme,
misalnya), sementara yang lain memahaminya
semata-mata sebagai masalah teknis administratif
belaka.
Mengingat luasnya konteks di mana diskur•
sus mengenai governance berkembang, maka
tidak mengherankan bila definisi dari kata ini
juga menjadi sangat beragam. Artikel ini tidak
bertujuan untuk memberikan daftar definisi dari
governance yang ada. Fokus dari tulisan ini le•
bih pada meletakkan konsep governance dalam
konteks perubahan rezim politik pascareformasi
dan konsekuensinya dalam manajemen publik
yang dituntut oleh perubahan tersebut. Dalam
konteks ini governance atau good governance
pada intinya adalah suatu proses penyeleng•
garaan pemerintahan di mana patologi birokrasi
dan politik seperti korupsi, kolusi, nepotisme,
inefisiensi, dan lain sebagainya, dapat dikurangi
bahkan dihilangkan dengan tujuan akhir pening•
katan kesejahteraan rakyat.
Dalam pengertian di atas ingin ditekankan
bahwa kata governance dan governing memiliki
makna yang berbeda, bahkan dasar konseptual
dari kedua kata ini secara diametrikal berbeda:
kata governance digunakan untuk menggantikan
kata governing karena pergeseran yang sangat
fundamental dalam cara melihat hubungan an•
tara negara (state) dengan masyarakat (society).
Governing (to govern), yang berarti memerintah,
merupakan ekspresi dari suatu realitas politik di
mana lokus atau jangkar dari penyelenggaraan
pemerintahan adalah negara (state centered). Se•
mentara itu, governance merupakan ekspresi dari
suatu realitas politik di mana lokus atau jangkar
dari penyelenggaraan negara adalah warga negara
(citizen centered). Dalam konsep governance

24 23
58
Lihat Gismar, A. Malik. "Kebangsaan dan Kewarganegara•
warga negara dan konsep kewarganegaraan men• an Pasca-Reforrnasi". Dalam Gismar & Hidayat. Reformasi
jadi sangat penting. Setengah Matang? Jakarta: Penerbit Mizan, 2010.
Perubahan rezim politik akan membawa
perubahan makna dan praktik-praktik yang ber•
kaitan dengan kewarganegaraan. Warga negara
suatu rezim totaliter memiliki peran berbeda dari
warga negara suatu rezim yang demokratik. Kon•
stitusi suatu rezim politik menjadikan kewarga•
negaraan sebagai dasar dinamika organisasinya,
dengan kata lain bila rezim ini dimiliki oleh warga
negara, maka rezim politik disebut republik, yang
berasal dari dua kata latin res dan publika yang
berarti "hal-hal yang berkaitan dengan rakyat."
Republik dalam makna generiknya adalah suatu
rezim pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat,
dan oleh rakyat.
Reformasi menuntut Republik Indonesia
untuk kembali kepada makna sesungguhnya dari
kata republik yang disandangnya. Dan bila kon•
sisten dengan makna kata ini, maka paradigma
pengelolaan negara hams bergeser dari state cen•
tered menjadi citizen centered di mana raison d'etre
dari negara adalah warga negara; dan konstitusi
negara pun dibangun seutuhnya untuk kepenting•
an warga negara. Dengan demikian kewarga•
negaraan adalah suatu konsep yang sakral. 58
Dalam rezim politik Indonesia pascarefor•
masi, pada satu sisi konsepsi kewarganegaraan
harus meliputi jaminan atas hak-hak sipil dan
hak-hak politik. Dalam hal ini, keterkaitan antara
warga negara dan negara biasanya dimanifes•
tasikan dalam rumusan-rumusan demokrasi
prosedural dan institusi-institusi yang terkait
dengannya. Sementara, pada sisi yang lain, ne•
gara juga memiliki kewajiban untuk memastikan
bahwa kesejahteraan warganegara terjarnin. Oleh
karena itu, investasi negara untuk kesejahteraan
warga negaranya, dan kapasitas negara untuk
mewujudkannya, menjadi persoalan yang sangat
penting.
Desentralisasi sesungguhnya merupakan
upaya untuk memastikan bahwa kedua sisi
dari konsep kewarganegaraan tersebut dapat
dipenuhi secara lebih baik. Dalam konteks ini
mempertanyakan persoalan governance, khu•
susnya di daerah, menjadi penting. Tidak dapat

25
26
dielakkan, "big bang decentralization" yang
ditempuh Indonesia selama ini telah melahirkan
variasi antardaerah yang sangat lebar dalam hal
penyelenggaraan pemerintahan. Variasi kinerja
ini akan membuat warganegara yang berdomisili
di daerah yang berbeda akan mendapat pengala•
man dan layanan yang berbeda. Bila perbedaan
ini mendasar dan lebar, maka grand solidarity
(meminjam istilahnya Ernst Renan) sebagai
bangsa Indonesia-yang salah satu faktor pen•
tingnya adalah persamaan hak dan kesempatan
sebagai warga negara-akan terganggu. 59
Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa kon•
sep governance secara fundamental memperma•
salahkan hubungan antara negara (state) dengan
masyarakat (society). Secara lebih konkrit, arena
negara dalam hal ini, direpresentasikan oleh
political office dan birokrasi, sedangkan arena
masyarakat secara lebih rinci dapat dipilah ke
dalam masyarakat sipil dan masyarakat eko•
nomi. Dengan demikian, pengertian governance
lebih khusus lagi, berkaitan dengan bagaimana
"arena" political office (jabatan-jabatan politik),
birokrasi, masyarakat sipil, dan masyarakat eko•
nomi berhubungan satu dengan yang lain untuk
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi,
guna mencapai tujuan-tujuan bemegara. Tentu•
nya setiap arena memiliki fungsinya masing•
masing melalui mana arena-arena tadi berinter•
aksi dalam berbagai level (misalnya pembuatan
kebijakan dan/atau implementasi kebijakan) dan
berbagai bentuk/"
Kontribusi dari masing-masing arena.dalam
menciptakan good governance tentunya tidak
sama. Namun, negara tak pelak lagi merupakan
arena yang sumbangannya paling besar.61 Se-
59
Renan, Ernst. "Quest que une nation?". Dalam David
Hutchison and Anthony Smith, (eds.). Nationalism. Oxford
Univerity Press, 1994. ' ··
60
Lihat misalnya Partnership Governance Index (www.
kemitraan.or.id/govindex) yang telah berupaya merumuskan
fungsi-fungsi setiap arena secara generik dan menurunkan
indikator-indikator yang relevan sesuai dengan fungsi-fungsi
generik ini. Sebagai contoh, fungsi pokok dari political office
adalah menyediakan kerangka regulasi (regulatoryframework),
mengalokasikan anggaran (budget allocation), mengoordinasi•
kan pembangunan (development coordination) bagi eksekutif
serta mengawasi (monitoring) bagi legislatif. Birokrasi memiliki
fungsi utama untuk regulasi ekonomi (regulating economy),
menyediakan layanan publik (public service).
61
Dalam upaya membangun Partnership Governance Index,
kemitraan melakukan pembobotan arena-arena ini melalui

25
26
..

lain itu, kinerja negara juga sangat menentukan • Efficiency: the degree to which rulesfacilitate
kinerja arena-arena yang lain. Bahkan, kinerja speedy and timely decision making.
arena yang lain sering kali hanya dapat didefini• Apa yang dikemukakan Hayden dan Court
sikan vis a vis fungsi negara. Karena itu sangat di atas dengan terang memperlihatkan tentang
beralasan bila kemudian negara mendapat sorotan fokus perhatian yang lebih ditekankan pada
paling tajam dalam menilai governance. penyelenggara negara. Atau dengan kata lain,
lebih terfokus pada arena negara. Dalam rangka
Prinsip-Prinsip Good Governance menyulam "bias arena negara" inilah, maka
Setelah konsep governance menjadijelas, pertanya• Partnerhsip Governance Index63 secara tegas
an berikutnya adalah, apa saja yang memenga• menekankan perlunya melihat peran arena lain
ruhi suatu governance dapat dikatakan baik atau -masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi•
buruk? Dengan kata lain, atas dasar prinsip-prin• telah memberikan kontribusi untuk mewujudkan
sip apa suatu praktik penyelenggaraan pemerin• penyelenggaraan negara yang baik. Sudah barang
tahan dapat dinilai baik atau buruk? tentu indikator yang dapat dijadikan ukuran akan
sangat berbeda.
Pada tataran konsep, cukup banyak pendapat
yang dikemukakan oleh akademisi berkaitan Banyak variasi di sekitar perumusan prinsip•
dengan prinsip-prinsip good governance. Hal prinsip good governance tersebut. United Nations
ini bisa dimengerti, karena ruang lingkup gover• Economy and Social Cooperation in Asia Paci•
nance sangat luas. Namun, kompleksitas masalah fic (UNESCAP) misalnya melihat tata kelola
ini lebih teknikal sifatnya sehingga persoalannya pemerintahan dari prinsip-prinsip akuntabilitas,
sering kali sekadar perbedaan ruang lingkup yang transparansi, daya tanggap, inklusivitas dan
hendak dicakup ataupun prioritas dimensi, atau kesamaan derajat, efektivitas dan efisiensi, ke•
aspekgovernance yang dijadikan sorotan. Hyden patuhan terhadap aturan perundang-undangan,
dan Court,62 misalnya, telah meringkas prinsip partisipatoris, dan berorientasi pada konsen•
good governance sebagai berikut. sus." Partnership, dalam melakukan penilaian
terhadap provinsi menggunakan prinsip-prinsip
• Participation: the degree ofinvolvement and
ownership of affected stakeholders; partisipasi, transparansi, keadilan, akuntabilitas,
efisiensi, dan efektivitas.65 Sementara Lembaga
• Decency: the degree to which the formation
Administrasi Negara menawarkan 12 prinsip,
and stewardship ofrules are undertaken with•
LGAT-USAID 5, UNDP 9, dan Bappenas 14.66
out humiliation or harm of the people;
• Fairness: the degree to which rules apply
equally to everyone in society regardless of Shadow State: Tantangan Good
status; Governance
• Accountability: the degree to which public Konsep Shadow State
officials, elected as well as appointed, are
Dalam studi state-society relations, keberadaan
responsible for their actions and responsive
dari praktik shadow state, sebenarnya bukanlah
to public demands;
sesuatu hal yang baru. Pada tataran teoritis, dis•
• Transparency: the degree to which decisions kusi di kalangan para pengamat tentang fenom•
made by public officials are clear and open to
ena shadow state tersebut sudah muncul di per•
scrutiny by citizens or their representatives;
mukaan sejak awal tahun 1990-an. Sebut saja,

63
Analytical Hierarchy Procedure (AHP) menggunakan penilaian www. kemitraan. or. id/govindex
well informedpersons. Hasilnya menunjukkan bahwapolitical 64
OECD/DAC. "Good Practice Paper on Capacity Development
office memiliki bobot 34%, birokrasi 28%, masyarakat sipil
in Public Financial Management". First Draft, DAC Working
(24%) dan masyarakat ekonomi (14%). Melalui AHP jelas
Party on Aid Effectiveness and Donor Practices, July 2004.
negara dianggap memiliki peran yang sangat penting.
65
62
www.kemitraan.or.id/govindex.
Hayden, Goran & Julius Court. Governance and Develop•
66
ment: World Governance Survey. Discussion paper J. New Sekretariat Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata
York: United Nation University, 2002, hlm. 25. Kepemerintahan yang baik-Bappenas,

25
26
Barbara Harriss-White'? telah menulis tentang William Reno?" terlihat telah memberikan
interkorelasi antara "informal economy" dan nuansa diskusi teoritis dan empiris yang lebih
praktik "shadow state" dengan merujuk temuan komprehensif. Ia tidak saja telah menyajikan
studinya di India pada tahun 1990-an. Untuk gambaran yang mendalam tentang praktik
shadow state di Sierra Leone, tetapi juga telah
konteks Indonesia, khususnya pada periode
melakukan review kritis tentang keunggulan dan
pascapemerintahan Orde Baru, memang harus
kelemahan dari shadow state sebagai pendekatan
diakui bahwa analisa kritis tentang praktik sha• dalam menjelaskan realitas pemerintahan di
dow state belum banyak dilakukan. Henk Schulte

Nordholt68, barangkali, satu di antara pengamat Afrika pada khususnya, dan di negara-negara
69
yang secara eksplisit menyebut kemungkinan Ibid., him. 558-579.

praktik shadow state dalam kaitannya dengan


kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah pada
periode pascapemerintahan Suharto.
Kendati tulisan Schulte Nordholt cenderung
skeptis dalam menyoroti perubahan dan kon•
tinyuitas dari karakteristik state dan society di
Indonesia pada periode pasca-Orde Baru, dan
tidak secara eksplisit menjelaskan mekanisme
kerja dari shadow state itu sendiri, namun ia
telah menyodorkan sebuah proposisi yang
relatif provokatif tentang kemungkinan adanya
praktik shadow state pada tingkat pemerintahan
daerah. Untuk lebih jelasnya, Schulte Nordholt
menulis:69
"New ways of looking at 'the state' are neces•
sary in order to trace continuities in patrimo•
nial patterns and to incorporate various ar•
rangements that link formal institutions with
informal networks, which help to undermine
artificial distinctions between 'state', 'society',
and 'market' ... Decentralization in Indonesia
does not necessarily result in democratization,
good governance, and the strengthening ofcivil
society at the regional level. Instead, we wit•
ness a decentralization ofcorruption, collusion/
andpolitical violence that once belonged to the
centralized regime of the New Order but is now
moulded in existing patrimonial patterns at the
regional level . . . On the whole, regional lea•
dership may take the shape of what John Side!
has called bossism, which operates in regional
shadow regimes characterized by alliances of
bureaucrats, party bosses, businesspeople, mili•
tary, and criminals. "

67
Harriss-White, B. India Working: Essays on society and
economy. Cambridge: Cambridge University Press, 2003.
68
Nordholt, H., "Renegotiating Boundaries: Access, Agency
and Identity in Post-Soeharto Indonesia", dalamJournal ofthe
Humanities and Social Sciences ofSoutheast Asia and Oceania,
159-4, him. 550-589.

27
berkembang, pada umumnya. Secara singkat,
Reno menulis, bahwa keberadaan dari shadow
state tidak dapat dipisahkan dari adanya praktik
informal market, yaitu: legally proscribed pro•
duction and exchange that contributes no reve•
nues to government. 71 Sementara, shadow state
itu sendiri telah didefinisikan oleh Reno sebagai
the emergence of rulers drawing authority from
their abilities to control markets and their mate•
rial rewards. 72
Kehadiran dari dua "sudara kembar" tersebut
(informal market dan shadow state), tulis Reno,
antara lain disebabkan karena terjadi pelapukan
fungsi pada institusi formal dari negara. Ke- .
adaannya akan semakin buruk, bila pelapukan
fungsi institusi formal tersebut, juga bersamaan
waktunya dengan krisis ekonomi yang serius.73
Inilah yang telah menjadi karakteristik utama
dari keberadaan informal market dan shadow
state di Sierra Leone, Afrika. Pelapukan fungsi
dari institusi formal negara, bersamaan dengan
krisis ekonomi yang serius, plus adanya tekanan
dari lembaga internasional untuk melakukan
reformasi, telah mendorong para penyelenggara
negara untuk membangun aliansi dengan elemen•
elemen dalam masyarakat (utamanya para peng•
usaha) guna mendapatkan keuntungan ekonomi
dan politik jangka pendek melalui mekanisme
informal market.
Di antara modus operandi dari praktik infor•
mal market tersebut, adalah para penyelenggara
negara mengundang para investor (nasional dan
asing) untuk bergabung dalam jaringan shadow
state yang dibangun, dan sebagai imbalannya
para pengusaha tersebut diberi. perlindungan
70
Reno, William. Corruption and State Politics in Sierra Leone.
Cambridge: Cambridge University Press, 1995.
71
Ibid., hlm. 1.
72
Ibid., him. 3.
73
Ibid., him. 2-3.

27
i!(
,1,,1
11·.
1,,1.,1
! i

dengan menggunakan otoritas formal yang di• William Reno sendiri menekankan penting•
miliki oleh para pejabat negara.74 Di sini, jelas nya pendekatan yang kedua (society-centred
terlihat bahwa antara penguasa dan pengusaha approach). lni antara lain diindikasikan oleh
telah terjadi "transaksi" ekonomi dan politik kritiknya terhadap state-centred approach, yang
tanpa harus melalui institusi formal negara; atau menurut Reno: distanced from the social bases
yang disebut: "politicians and a few business• of economic and political life, state-centered
men without state office exercising significant views ofAfrica s crisis provide little explanation
political authority through private control of of how informal markets supplant institutional
resources". 75 Fenomena ini, sebenamya mirip capacity". 80 Lebih jauh, Reno berargumen:
sekali dengan pengalaman Sierra Leon pada masa
kolonial Inggris, di mana ketika itu para pejabat "Fixations on state institutions as both cause
and remedy for informal markets, however,
pemerintah dan pengusaha mendapat peluang
downplay consideration of the specific nature
yang besar untuk melakukan "transaksi" ekonomi of informal markets. So-called society centred
dan politik melalui mekanisme informal market. studies offer an alternative vantage point that
Secara keseluruhan, berdasarkan kasus Sierra reveals strategies of groups and individuals
Leon tersebut, Reno telah membangun sebuah coping with political and economic uncertainty.
proposisi, yang menyebutkan:76 This approach identifies groups-clan, ethnic,
religious-that manage resources out of the
In Sierra Leone, officials' control over informal reach of central authority. This approach often
markets defines their domestic exercise ofpoliti• views informal market growth as a direct corol•
calpower as well as their society s relations with lary to state decay, however. "81
foreigners. This situation supports analyses that
conclude that informal markets are integrally Tulisan Barbara Harriss White82 tentang
linked to the exercise ofpolitical power. praktik informal economy dan shadow state di
India, juga menarik untuk disimak. Berbeda
Sebagai sebuah pendekatan studi, shadow dengan Reno-yang telah menggunakan istilah
state sedikitnya memiliki dua varian, yaitu: state• "informal market" untuk menjelaskan proses
centred approcah dan society-centred approach. 77 dan mekanisme "transaksi" ekonomi dan politik
Perbedaan mendasar dari dua pendekatan ini, di luar institusi formal negara-Barbara White
antara lain, terletak pada ketidaksamaan cara terlihat lebih memilih menggunakan terminologi
pandang dalam mengartikulasi keberadaan dari "informal economy" untuk menjelaskan feno•
informal market. Bagi state-centred approach, mena yang sama. Menurut White, sedikitnya ada
kehadiran praktik informal market diartikulasi dua pengertian yang melekat pada terminologi
sebagai bentuk dari bias implementasi kebijakan informal economy. Pertama, kegiatan usaha
negara.78 Sementara, dari sisi pandang society•
uJI . '
centred approach, keberadaan informal market
lebih diartikulasi sebagai bagian dari bentuk
perorangan, dan/atau perusahaan yang tidak
didaftarkan pada pemerintah, dan tidak mem•
bayar pajak. Kedua, berkaitan dengan perilaku
Ii·
i: produksi dan transaksi yang dilakukan oleh ele• dari institusi formal (publik maupun swasta)
men masyarakat (society) di luar jangkauan insti• untuk menghindari jangkauan regulasi. Bentuk
tusi formal negara. Peran dari state, berdasarkan dari kegiatan informal economy yang disebut
pendekatan yang disebut terakhir ini, tidak lebih kedua ini, antara lain: kelonggaran pajak, penya•
hanya sebagai distributor dari sumber daya dan lahgunaan kebijakan publik, korupsi, kolusi,
manfaat (benefit).79 dan pemaksaan swastanisasi aset negara.83 Dari
dua kategori kegiatan informal economy di atas,
14
Ibid., him. 2-3.
terlihat dengan jelas bahwa bentuk informal
75
Ibid., him. 1. 80
Ibid., him. 11.
16
Ibid., him. 3. 81
Ibid., him. 9.
71
Ibid., him. 9-21. 82
Harriss-White, B. India Working: Essays on society and
78 economy. Cambridge: Cambridge University Press, 2003.
Ibid., him. 10.
79 83
Ibid., him. 13. Ibid., Chapter 1, him. 4.

28
This must be the most vivid image ofthe blurred
economy yang pertama merupakan arena bagi "si•
boundaries between State and society.
kecil" (petani dan pengusaha kecil); sementara,
bentuk informal economy yang kedua merupakan Setelah mengikuti secara seksama ulasan
domain dari "si-besar"(para pengusaha besar dan teoritis dan pengalaman empiris di India seperti
para pejabat negara). dikemukakan di atas, sedikitnya dapat dicatat
Dalam upaya memahami praktik informal ada empat karakteristik umum dari praktik in•
economy dan shadow state di India, Barbara formal market dan shadow state. Pertama, je•
Harriss-White telah mengaplikasikan apa yang las tergambarkan bahwa informal market dan
disebut dengan pendekatan social structure ofac• shadow state hadir, tumbuh, dan berkembang
cumulation (SSA). Ciri khas dari pendekatan ini, sebagai akibat dari terjadinya pelapukan fungsi
. antara lain, terletak pada diartikulasinya struktur dari institusi formal (negara). Keadaannya akan
sosial sebagai bagian dari faktor determinan bagi lebih buruk bila disertai oleh krisis ekonomi yang
akumulasi ekonomi. Berbicara tentang struktur akut. Kedua, akumulasi keuntungan ekonomi
sosial, tentu saja sangat kompleks. Namun, untuk dan politik jangka pendek (short-term political
kepentingan studinya di India, Harriss-White and economic benefits) di luar bingkai regulasi
telah membatasi lingkup analisis hanya pada formal, merupakan tujuan utama dari "transaksi"
empat dimensi dari struktur sosial: kelas, kasta, melalui informal market. Pada konteks inilah,
hender, dan ruang (space). masing-masing pihak akan memaksimalkan
Secara singkat, berdasarkan hasil studi yang sumber daya yang dimiliki, untuk kemudian
telah dilakukan, Harriss-White kemudian menu• "diperjual-belikan" dalam informal market. Ke•
lis, hampir sebagian besar dari transaksi ekonomi tiga, modus operandi atau mekanisme kerja dari
di India dilakukan melalui mekanisme informal informal market dan shadow state cukup berva•
economy. Praktik informal economy berlangsung riasi, yang secara umum dapat dibedakan dalam
dalam suasana kekeluargaan, berdasarkan repu• tiga kategori utama, yaitu melalui memanipulasi
tasi (nama baik) lebih daripada hukum formal, kebijakan publik, dan melalui jaringan aliansi
tetapijuga sering dengan adanya unsur (ancaman) antar-personal (individual alliances), maupun
kekerasan. Lebihjauh, ketika mendiskusikan ten• aliansi antar-lembaga (institutional alliances).
tang prak:tikshadow state di India, Harriss-White Keempat, aktor (pelaku) yang terlibat dalam
menjelaskan sebagai berikut:84 informal market dan shadow state adalah para
penyelenggara negara (state actors) dan aktor•
Some roles in the «shadow» State are played si• aktor dalam masyarakat (societal actors). Pelaku
multaneously by the bureaucrats of the official yang disebut terakhir sangat beragam. Schulte
State;for instance, accepting tribute, patronage Nordholt menunjuk, misalnya, para pengusaha,
and/or clientelage. Other «shadow» state liveli•
politisi partai politik, dan bahkan kelompok
hoods are a form of self employment, although
they depend on state employees, politicians and kriminal. Sedangkan Harriss-White meneliti
other interested socialforces for their incomes; tentang peran dari pengusaha dan elite masyara•
for example, private armies enforcing black or kat lainnya yang dikelompokkan menurut kasta,
corrupt contracts, intermediaries, technicalfix• kelas, dan gender.
ers, gatekeepers, adjudicators of disputes, con•
fidants, contractors and consultants. Hence the
real State, including its shadow, is bigger than Good Governance vs. Shadow State (1):
theformal State, and has a vested interest in the
Kinerja Politik dan Birokrqsi dalam
perpetuation of a stricken and porous formal
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
State .... [ByJ the end ofthe 1990s in some parts
ofIndia, notably Bihar; up to 40 percent of the Pada tahun 2008, Partnership menyusun Indeks
development budget was said to be creamed off Kenerja Tata Pemerintahan Daerah, yang kemu•
by contractors. The «shadow» State spills spa•
dian disebutPartnership Governance Index (PGJ). 85
tially into the lanes surrounding state offices
Tujuan utamanya adalah untuk mengukur kuali•
and into the private (some would argue, the «fe•
male») domestic space of officials' residences. tas kinerja tata pemerintahan seluruh provinsi

84
85 www.kemitraan.ar. id/govindex.
Ibid., Chapter 1, hlm, 89.

29
di Indonesia berdasarkan sejumlah prinsip tata Rendahnya kinerja pemerintahan daerah
pemerintahan yang baik (good governance). sering dijelaskan dengan masih rendahnya kapasi•
Dengan metode yang ketat dan indikator yang tas institusi dan kompetensi SDM. Faktor-faktor
dipilih dengan sangat hati-hati, PGI dimaksudkan ini mungkin memberikan kontribusi, tapi jelas
untuk menjadi pengukuran yang objektif dan dapat bukan satu-satunya, dan bahkan mungkin bukan
digunakan untuk membandingkan provinsi yang faktor utama. Perbandingan antara kinerj a politik
satu dengan yang lain. Hasilnya, dalam skala 1- dan birokrasi di atas mengindikasikan adanya
proses politik yang tidak mulus; adanya anomali
10, rata-rata indeks kinerja politik dari seluruh
dalam proses-proses politik dan hubungan antara
provinsi adalah 4,9, sementara indeks birokrasi
politik dan birokrasi, yang berujung pada kinerja
adalah 5 ,6. Ini mengindikasikan secara umum ke•
pemerintah (political office) dan birokrasi yang
butuhan akan adanya perbaikan yang sangat lebar
tidak optimal. Dalam realitas politik seperti ini
baik bagi politik maupun birokrasi.
penerapan prinsip-prinsip good governance
N amun, yang sang at menarik dan sekaligus
akan mengalami hambatan ataupun distorsi,
memprihatinkan dari data ini adalah, secara
karena penerapannya lebih bersifat prosedural,
konsisten, dari provinsi yang satu ke provinsi
yang lain, kinerja politik cenderung lebih rendah tanpa upaya penuh atau tanpa kapasitas untuk
daripada birokrasi dan korelasi antara keduanya memastikan pencapaian apa yang menjadi tu•
sangat tinggi (r = 0,68). Hal di atas tergambar juan. Indikasi ini tampak bila dicermati distribusi
sangat jelas pada Grafik 1. dalam prinsip-prinsip good governance, khusus•
Pada Grafik 1 terlihat bahwa kinerja politik nya bila memerhatikan skor prinsip-prinsip good
dan birokrasi naik atau turun secara bersamaan: governance yang paling terpuruk dalam realitas
bila kinerja politik baik, maka kinerja birokrasi politik pada tingkat pemerintah provinsi di Indo•
juga cenderung baik, dan sebaliknya. Hubungan nesia saat ini (Lihat Grafik 2).
birokrasi dengan politik bagaikan kereta dengan Grafik 2 mengindikasikan bahwa pada arena
kekuatan yang menariknya. Bila kereta itu ditarik pemerintah (political office, gubernur dan DPR
seekor keledai, maka lajunya tentu akan berbeda provinsi), kinerja enam prinsip good governance
dengan bila ia ditarik seekor kuda. Walaupun yang paling buruk adalah pada prinsip keadilan
korelasi tidak menunjukkan hubungan kausal, (fairness) dan transparansi (transparency). Se•
namun dalam hal ini cukup jelas menggambarkan mentara itu prinsip-prinsip yang lain memperoleh
mana kereta (birokrasi) dan mana yang menarik nilai yang relatif lebih baik. Dalam kaitan ini,
(politik). Dalam konteks inilah dapat dikatakan juga menarik untuk membandingkan antara skor
bahwa birokrasi kita masih terbelenggu oleh ki• tinggi pada prinsip akuntabilitas dengan skor
nerja politik yang jauh dari prima. rendah pada prinsip keadilan. Prinsip keadilan

10 -----------
9
8
7
6
5

3
2
1

Sumber: Partnership Governance Index (www.kemitraan.or.id/govindex)

30 31
Grafik 1. Kinerja politik dan birokrasi provinsi

31 31
EFFECTIVENESS

EFFICIENCY 5.4�
4.91 I

TRANSPARANCY
I
ACCOUNTABILITY

FAIRNESS

PARTICIPATION

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
• Birokrasi • Pemerintah

Sumber: Partnership Governance Index (www.kemitraan.or.id/govindex)

Grafik 2. Kinerja Pemerintah dan Birokrasi Provinsi

untuk arena pemerintahan, antara lain, dinilai transparan? Di antarajawabannya adalah karena
dari seberapa besar dana yang dialokasikan audit BPK lebih bersifat prosedural, sementara
untuk pendidikan, kesehatan, dan pengentasan akses publik terhadap neraca keuangan (indikator
kemiskinan. Ini adalah hal-hal substantif yang transparansi) masih amat terbatas.
langsung bersangkutan dengan kesejahteraan Selanjutnya, secara umum efisiensi memang
rakyat. Grafik 2 memperlihatkan bahwa skor diharapkan dapat mengikuti efektivitas. Namun
prinsip akuntabilitas pada arena pemerintah kesenjangan kinerja antara keduanya cukup
(.political office) adalah 6,69. Sedangkan skor besar: birokrasi provinsi bisa jadi efektif, tapi
prinsip keadilan (fairness) adalah 2,10. Angka• tidak efisien (lihat Grafik 2). Kecenderungan ini,
angka indeks ini sang at jelas menyodorkan fakta antara lain, diindikasikan oleh cukup berhasilnya
yang paradoks, di mana pemerintah yang (secara pemerintah provinsi dalam mencapai target-tar•
prosedural) telah cukup akuntabel, temyata tidak get yang telah ditetapkan, namun masih dengan
fair (mementingkan rakyat) dalam mengalokasi• biaya yang sangat mahal.
kan anggaran. Persoalan kualitas kinerja di atas memiliki
Hal senada juga ditemukan bila dimencer• dampak yang sangat nyata dalam kehidupan
mati arena birokrasi. Grafik 2 memperlihatkan masyarakat sehari-hari di daerah. Salah satu
bahwa nilai terburuk pada arena birokrasi di• contoh, misalnya, ketidakmampuan politikus
tunjukkan oleh prinsip transparansi (3,79) dan (gubernur/bupati dan DPRD) untuk menetap•
partisipasi (3,78). Wajah buruk dari birokrasi kan APBD sebelum 31 Desember sebagaimana
berkaitan dengan aplikasi prinsip transparansi diamanatkan oleh undang-undang. Analisis yang
ini terlihat sangat ironis, terutama bila mengingat dilakukan oleh Seknas FITRA menunjukkan
akuntabilitas-yang indikator utamanya adalah hanya 118 daerah dari 510 daerah (23,14%) yang
basil audit BPK-mendapat nilai yangjauh lebih menetapkan Perda tentang APBD 2009 sebelum
baik. Pertanyaannya adalah, mengapa birokrasi 31 Desember 2008; 348 daerah (68,24%) yang
yang "cukup akuntabel" ini, namun tidak cukup menetapkan antara 1 Januari-31 Maret 2009;

32 31
Pemerintahan Daerah Pasca-Pemilukada. Jakarta: Lembaga
dan 44 daerah (8,63%) lewat dari 1 April 2009. Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2008.
Keterlambatan ini tentu begitu memengaruhi ke•
mampuan birokrasi untuk menjalankan program•
programnya. Ongkos kemanusiaan yang harus
dibayar oleh warga negara untuk keterlambatan
ini bisa sangat mahal; karena pada akhirnya keter•
lambatan implemementasi program pencegahan
demam berdarah, misalnya, berakibat meningkat•
nya jumlah penderita demam berdarah.
Pertanyaan logis yang kemudian muncul
setelah membaca data PGI di atas adalah, apa
saja belenggu politik yang telah mendistorsi
upaya-upaya menciptakan good governance
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah?
Di antara belenggu politik yang ditengarai telah
ambil bagian dalam "menyandera" upaya mewu•
judkan good governance tersebut adalah karena
hadirnya praktik shadow state. Perlu ditegaskan
di sini bahwa data-data PGI di atas, tentunya,
tidak menunjuk secara langsung peran dari
shadow state. Namun, memberi indikasi yang
kuat mengenai peran penting relasi kekuasaan
dalam memengaruhi kualitas penyelenggaraan
pemerintahan. Kasus kedua yang akan dipapar•
kan pada subbagian berikut, berupaya untuk
mengurai secara lebih tajam bagaimana relasi
kekuasaan berlangsung.

Good Governance vs. Shadow State (2):


Relasi Kekuasaan dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Pasca-Pemilukada
Pada tahun 2006 sampai dengan 2008,
Hidayat dkk. 86 melakukan penelitian di enam
provinsi (Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, Kepu•
lauan Riau, Kalimantan Selatan, dan Gorontalo)
dengan tema "Bisnis dan Politik Pasca-Pemilu•
kada". Secara umum, temuan studi berkaitan
dengan relasi kekuasaan dalam penyeleng•
garaan pemerintahan daerah pasca-pemilukada,
memperlihatkan kecenderungan yang relatif
sama, yakni terjadinya konsentrasi kekuasaan di
tangan sekelompok elite; atau dalam bahasa yang
lebih populer dikenal dengan sebutan oligarki
kekuasaan. Praktik oligarki kekuasaan ini, pada
umumnya, telah dibangun di atas basis cukup
bervariasi, antara lain: ikatan kepartaian, ikatan
86
Hidayat, Syarif dan Soesilowati, E. S. Bisnis dan Politik di
Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa dan Penyelenggaraan

33 31
kesukuan, ikatan kekeluargaan, dan ikatan Dalam Hidayat, Syarif dan Soesilowati, E. S. Ibid,
pertemanan. Sementara itu, modus dari praktik hlm. 109-111.
oligarki kekuasaan itu sendiri, secara umum,
dapat dikelompokkan dalam dua kategori utama,
yaitu monopolar oligarchy dan bi-polar oligarki.
Modus yang disebut pertama, dicirikan oleh ada•
nya konsentrasi kekuasaan yang berporos pada
"satu kutub", sedangkan modus yang kedua,
konsentrasi kekuasaan berporos pada "dua kutub"
atau lebih,
Temuan penting penelitian berikutnya yang
menarik untuk dicatat adalah munculnya apa
yang disebut dengan shadow state (pemerin•
tab bayangan). Porns kekuasaan ini berada di
luar struktur formal pemerintah daerah, tetapi
memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap
"pemerintahan formal", karena baik secara lang•
sung maupun tidak langsung dapat memengaruhi
proses pengambilan keputusan dan implementasi
kebijakan.
Untuk lebih spesifiknya, basil temuan studi
Hidayat dkk., 87 tentang "Kepemimpinan Lokal
dan Relasi Kekuasaan Pasca- Pemilukada" di
enam lokasi penelitian dapat disarikan sebagai
berikut:
Pertama, bila dilihat dari latar belakang
karier yang dimiliki, para gubemur yang terpilih
dan memenangkan perolehan suara pada proses
pemilukada adalah para kandidat yang berasal
dari kalangan birokrat karier, atau para mantan
pejabat tinggi pemerintah daerah, dan para kandi•
dat berasal dari kalangan pengusaha. Dua karak•
teristik ini terefleksi dengan jelas dari basil studi
di enam lokasi penelitian. Di Provinsi Sumatra
Barat, Iambi, Kepulauan Riau, dan Kalimantan
Selatan, Gubernur terpilih adalah incumbent,
atau mantan pejabat tinggi pemerintah daerah,
Sedangkan di Provinsi Bengkulu dan Gorontalo,
gubemur terpilih adalah kandidat yang memiliki
latar belakang pengasaha, dan/atau pengusaha•
politisi.
Kemenangan dari para kandidat gubernur
yang berstatus "mantan pejabat daerah" dan
"pengusaha" tersebut, tentunya, terkait erat
dengan "modal politik" dan "modal ekonomi

87
Hidayat, Syarif. "Bisnis dan Politik Pasca-Pemilukada: Relasi
Kekuasaan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah".

34 31
(finansial)" yang dimiliki. Kemenangan dari penyelenggaraan pemerintahan daerah, karena
masing-masing kandidat, pada akhirnya sangat ditopang oleh keberadaaan "pemangku otoritas
ditentukan oleh kekuatan dari dua modal utama informal" yang berperan sebagai "aktor peng•
itu. Kandidat yang berstatus "mantan pejabat hubung" (connected actor) antara para pejabat
tinggi pemerintah daerah", tidak diragukan, pemerintahan daerah dengan masyarakat, pada
telah memiliki modal politik (utamanya jalur umumnya, dan dengan para pengusaha pada
birokrasi) dan modal finansial yang cukup kuat, khususnya. Pemangku otoritas informal inilah,
melalui proses akumulasi dari dua modal tersebut dalam banyak hal bertindak sebagai shadow
dilakukan, ketika si-kandidat menduduki jabatan. state, di mana memiliki pengaruh dalam proses
Sementara, para kandidat gubernur yang berasal pengambilan keputusan dan implementasi kebi•
dari kalangan pengusaha, kendati mereka lebih jakan. Aktor-aktor yang berperan sebagai shadow
memiliki keunggulan dalam hal modal finansial, state ini umumnya adalah para mantan tim sukses
namun dengan uang yang dimiliki, akumulasi mo• ketika pemilukada berlangsung, para elite partai
dal politik relatif dapat dilakukan dengan cepat. politik pengusung pasangan gubernur-wakil gu•
bernur, dan orang-orang dekat gubernur/wakil
Kedua, adanya kecenderungan "pecah kong•
gubernur.
si" antara kepala daerah dan wakil kepala daerah
Temuan studi di enam lokasi penelitian
terpilih. Lebih spesifiknya, temuan studi di enam
memperlihatkan karakteristik shadow state yang
provinsi yang diteliti mengindikasikan bahwa
menarik untuk dicatat. Di Provinsi Kepri, shadow
telah terjadi "disharmoni" relasi antara kepala
state berada di luar struktur formal institusi
daerah dan wakil kepala daerah dalam penyeleng•
pemerintah daerah, yang diperankan oleh AA
garaan pemerintahan pasca-pemilukada.
(orang dekat gubernur) dan para mantan tim pa•
Ketiga, karakteristik dari relasi kekuasaan kar gubernur pada saat pemilukada berlangsung.
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah AA adalah aktor sentral dan memainkan peran
cenderung terkonsentrasi ditangan sekelompok kunci sebagai shadow state. Ia selain memiliki
elite, atau disebut dengan "oligarki kekuasaan". "pertalian personal" dengan gubernur, juga ter•
Basis dari konstruksi oligarki kekuasaan ini relatif masuk tokoh yang sangat berperan dalam tim
bervariasi, di antaranya adalah belandaskan pada sukses gubernur pada saat pemilukada berlang•
kekuatan partai politik, ikatan kekerabatan, ikatan sung. Dalam kapasitasnya sebagai salah seorang
kesukuan, dan hubungan keluarga. Demikian "duta" Provinsi Kepri di tingkat nasional, AA
halnya dengan modus dari praktik konsentrasi juga berperan menyuarakan kepentingan-kepen•
kekuasan itu sendiri, juga relatif bervariasi. Di tingan pemerintah daerah, pada umumnya, dan
Provinsi Kalimantan Selatan, Jambi dan Kepri kepentingan gubernur pada khususnya., dal�m
misalnya, konstelasi kekuasaan berporos pada berhadapan dengan pemerintah pusat.
tiga aktor utama, yaitu gubernur, wakil gubernur, Di Provinsi Sumbar, shadow state juga berada
dan sekretaris daerah. Gubernur sebagai kutub di luar struktur formal lembaga eksekutif daerah,
kekuasaan pertama, sedangkan kolaborasi antara yang diperankan oleh "Kelompok Pamong Se•
wakil gubernur dan sekretaris daerah, sebagai nior", yakni kumpulan beberapa mantan pejabat
kutub kekuasaan kedua. Dua kutub kekuasaan tinggi pemerintah. Satu di· antara tokoh kunci
ini tidak bekerja sebagai satu kesatuan, tetapi dalam "Kelompok Pamong Senior" ini, dan pal•
berdiri sendiri-sendiri, dan oleh karenanya lebih ing berpengaruh terhadap gubernur adalah DH.
mendekati model bipolar. Moda relasi kekuasaan Ia salah seorang mantan Gubernl!r Sumbar, dan
yang relatif berbeda terjadi di Provinsi Sumatra tentunya mantan atasan gubernur terpilih dalam
Barat, Bengkulu, dan Gorontalo. Dalam hal pemilukada. Begitu sentralnya sosok dan karisma
ini, praktik oligarki kekuasaan lebih mendekati DH ini, sehingga beberapa kalangan telah men.ye•
model monopolar, di mana konsentrasi kekua• butnya sebagai "patron" dan "guru politik" bagi
saan cenderung berporos pada satu kutub, yaitu gubernur terpilih dalam pemilukada. Pada saat
gubernur yang didukung oleh sekretaris daerah. pemilukada berlangsung, "Kelompok Pamong
Keempat, praktik oligarki kekuasaan terse• Senior", khususnyaDH, berperan sebagai think•
but relatif dapat berjalan secara efektif dalam tank bagi tim sukses gubernur terpilih.

34 33
r

Di Provinsi Gorontalo, shadow state dimain• penguasa dan pengusaha dalam tender proyek•
kan oleh Dewan Pengurus Daerah (DPD) Provinsi proyek pemerintah, dan pemaksaan swastanisasi
Partai "X". Dalam kapasitasnya sebagai shadow aset-aset negara.
state, DPD Partai "X" mengemban fungsi ganda. Temuan studi tentang Relasi Kekuasaan
Pada satu sisi, harus mengawal dan mendukung dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
gubemur, yang notabene berstatus sebagai Ketua Pasca-Pernilukada mengisyaratkan bahwa prak•
DPD Partai "X", sementara pada sisi lain ia tik shadow state dan informal economy relatif
juga harus berperan sebagai 'membran' perekat telah menghinggapi penyelenggaraan pemerin•
dalam menciptakan keharmonisan relasi antara tahan derah di enam provinsi yang diteliti. Kepala
Gubernur dengan DPRD Provinsi Gorontalo. daerah terpilih (gubernur) padakhususnyameng•
Dalam kaitan ini, maka sangat dapat dimengerti hadapi banyak kesulitan dalam melaksanakan
bila kemudian, hampir semua usulan kebijakan otoritas formal yang dirniliki karena berhadapan
gubernur, biasanya, akan dibahas di DPD Par• dengan "kekuatan informal" yang berada di luar
tai "X", sebelum diajukan ke DPRD provinsi. institusi formal pemerintahan daerah (shadow
Dernikian juga sebaliknya, bila terdapat pro dan state). Di antara aktor yang cukup dorninan dalam
kontra di kalangan anggota DPRD provinsi dalam praktik shadow state tersebut adalah individu•
menyikapi usulan kebijakan dari gubernur, maka individu dan/atau institusi yang telah berperan
solusi pemecahannya pun dibahas pada tingkat sebagai sponsor dana dan sponsor politik bagi
DPD Partai "X". pasangan gubernur-wakil gubernur pada saat
pernilukada berlangsung.
Penutup
Partnership Governance Indeks (PGI) menunjuk• Daftar Pustaka
kan bahwa kinerja politik dan birokrasi di
Alagappa, Muthiah. 1995. Political Legitimacy in
Indonesia, khususnya dalam penyelenggaraan Southeast Asia. California: Stanford Univer•
pemerintahan daerah, masih menghendaki ada• sity Press.
nya upaya-upaya perbaikan yang sangat signifi• Arghiros, Daniel. 2001. Democracy, Development
kan. Secara kuantitatif, data PGI memperlihat• and Decentralization in Provincial Thailand.
kan bahwa kinerja politik lebih rendah daripada Surrey: Surzon.
birokrasi dan korelasi antara keduanya sangat Case, Williams. 2002. Politics in Southeast Asia: De•
tinggi (r=0.68). Pada konteks inilah dapat di• mocracy or Less. Mitcaham, Surrey: Curzon.
katakan birokrasi di Indonesia terbelenggu oleh Cox, A. 1988. "The Old and New Testaments of Cor•
kinerja politik yang masih jauh dari prima. Di an• poratism: Is it a Political Form or a Method
tara belenggu politik yang ditengarai telah ambil of Policy-Making?" Political Studies, 36, pp.
294-308.
bagian dalam "menyandera" birokrasi tersebut
adalah praktik shadow state. Eldersveld, SJ, et.al. 1995. Local Elites in Western
Democracies: A Comparative Analysis of Ur•
Seperti ditegaskan oleh Reno, bahwa praktik ban Political Leaders in U.S., Sweden, and the
shadow state akan hadir, tumbuh dan berkem• Netherlands. Oxford: Westview Press.
bang tatkala terjadi pelapukan fungsi pada Evans, Marks. 1995. "Elitism", in Mars, David and
institutsi pemerintah formal. Penyebab utama Stoker, Gerry (eds). Theory and Methods in Po•
dari terjadinya pelapukan fungsi tersebut, antara litical Science. London: Macmillan Press.
lain, karena para elite penyelenggara pemerin• Gismar, A. Malik. 2010. "Kebangsaan dan Ke•
tah formal mengalami ketidakberdayaan dalam warganegaraan Pasca-Reformasi" dalam Gis•
berhadapan dengan kekuatan-kekuatan sosial, mar & Hidayat Reformasi Setengah Matang?
Jakarta. Mizan (in press)
ekonorni, dan politik dorninan yang berada di
luar struktur pemerintah. Sementara, pada bagian Harriss-White, B. 2003. India Working: Essays on
society and economy. Cambridge: Cambridge
lain Barbara Harris menjelaskan beberapa ben•
University Press.
tuk dari praktik informal economy, antara lain:
Hayden, Goran & Julius Court. 2002. Governance and
manipulasi kebijakan publik untuk kepentingan Development: World Governance Survey Dis•
pengusaha; transaksi "bawah tangan" antara cussion paper 1: United Nation University.

34 33
Hidayat, Syarif dan Soesilowati, E., S. 2008. Bisnis dan OECD/DAC. 2004. "Good Practice Paper on Capa•
Politik di Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa city Development in Public Financial Manage•
dan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ment". First Draft. DAC Working Party on Aid
Pasca-Pemilukada. Jakarta: Lembaga Ilmu Effectiveness and Donor Practices).
Pengetahuan Indonesia. Oyugi, W.O. 2000. "Decentralization for Good Gover•
Hidayat, Syarif (2007), "Shadow State?", in Nordholt, nance and Development: Concepts and Issues".
H. S., and Klinken, Gerry (Eds.), Renegotiating Regional Development Dialogue, 21 (1) Spring
Boundaries: Local Politics in Post-Suharto (pp. 3-22).
Indonesia. Leiden: KITLV Press. Pierre, J. and Peters, B.G. 2000. Governance, Politics
McVey, Ruth. 2000. Money and Power in Provincial and the State. New York: St. Martin's Press•
Thailand Singapore: Institute of Southeast Asia Reno.
Studies (ISEAS). Schumpeter, J. A. 1976. Capitalism, Socialism and
Migdal, Joel S. 1998. Strong Societies and Weak Democracy. London: George Allen & Unwin.
States: State-Society Relation and State Capa• Renan, Ernst. "Qu'est que une nation?" in David
bilities in the Third World. Princeton: Princeton Hutchison and Anthony Smith, (Eds.). 1994.
University Press. Nationalism. Oxford Univerity Press.
Migdal, Joel S. 2003. State in Society: Studying How Smith, B.C. 1985. Decentralization: The Territorial
States and Societies Transform and Constitutte Dimension of The State. London: Asia Publi•
one another: Cambridge: Cambridge Univer• shing House.
sity Press. Tiihonen, Seppo. 2004. From Governing to Gover•
Mills, C. R Wright. 1956. The Power Elite. New York: nance: a process ofchange. Tampere: Tampere
Oxford University Press. University Press.
Nordholt, H. 2003. "Renegotiating Boundaries: William. 1995. Corruption and State Politics in
Access, Agency and Identity in Post-Soeharto Sierra Leone. Cambridge: Cambridge Univer•
Indonesia". Journal of the Humanities and sity Press.
Social Sciences of Southeast Asia and Ocea• www. kemitraan. or. id/govindex
nia, 159-4 pp. 550-589.

35
PEMEKARAN DAERAH DAN PERSOALAN
GOVERNABILITY LOKAL DI INDONESIA

Mardyanto Wahyu Tryatmoko

Abstract

The implementation of regional government splitting or proliferation in Indonesia has created many acute
problems in the local level. These problems refer to local ungovernability (problem ofgovernability). This paper
argues that the problem of local governability caused by proliferation policy occurs in both governing and gover•
ned. The weakness of civil society marked by lessening of its participation is an indicator of diminishing consent
of society. Meanwhile, corruption, bureaucratic and political rent seeking are indicators of the weaknesses of
governing capacity.

Pendahuluan di Indonesia justru menguras uang negara dari•


Secara tidak langsung, demok.ratisasi di Indone• pada mengarah pada efisiensi, sementara dari sisi
sia telah membawa pengaruh pada kebijakan pelayanan publik, sebagian besar masyarakat
penataan daerah administrasi pemerintahan yang terlihat belum merasakan manfaatnya.
menuju kecenderungan fragmentasi daripada Pemekaran daerah merupakan kebijakan
konsolidasi kekuatan bangsa. Peningkatan jum• prematur yang dilaksanakan atas desakan elite
lah daerah otonom yang sangat pesat dalam ku• yang cenderung hanya memperhatikan kekuasaan ·
run waktu satu dekade pascareformasi ternyata daripada kemampuan untuk menyelenggarakan
sejalan dengan semakin besarnya persoalan lokal pemerintahan secara lebih baik. Tampaknya,
seperti korupsi, inefisiensi ekonomi, kemiskinan, masyarakat lokal juga tidak terlalu memper•
dan lain sebagainya. Berbagai studi yang telah di• hatikan ambisi elite selama hak-hak kultural
lakukan oleh berbagai lembaga88 menyimpulkan mereka diperhatikan. Sama halnya dengan elite,
bahwa sebagian besar daerah pemekaran justru masyarakat lokal tampak tidak memperhitungkan
mengalami kemunduran. secara rasional antara sumber daya manusia dan
Akumulasi persoalan lokal ini tentu bermuara alam yang dimiliki dengan kemampuan mereka
dari kebijakan territorial reform di Indonesia untuk mengelola pemerintahan barn. Kondisi
yang kurang tepat. Faktor kedekatan geopolitik semacam ini dapat dikatakan sebagai persoalan
(geopolitical proximity) tampak dijadikan lan• governability di tingkat lokal.
dasan utama bangsa ini untuk lebih menyukai Ungovernability mengasumsikan ketidak•
pemekaran daripada penggabungan daerah. mampuan pemerintah (governing) dan masyara•
Secara politik, pemekaran daerah lebih menjanji• kat (governed) lokal dalam meningkatkan
kan persebaran kekuasaan yang lebih luas. Oleh pembangunan daerah. Tulisan ini mencoba meng•
karena itu, pembentukan daerah baru selalu dido• analisis persoalan governability di tingkat lokal
rong oleh elite politik lokal maupun nasional. akibat kebijakan pemekaran daerah di Indonesia.
Persoalannya, persebaran kekuasaan tersebut Tulisan ini memuat tiga bagian penting: bagian
tidak menjarnin tumbuhnya demok.rasi, bahkan pertama mengulas mengenai konsep governa•
kecenderungan oligarki kekuasaan semakin bility yang dikaitkan dengan desentralisasi dan
menguat, disertai dengan penyakitnya seperti territorial reform. Bagian kedua r{.endiskusikan
korupsi. Secara ekonorni jelas bahwa pemekaran dampak pemekaran daerah di Indonesia dan
persoalan governability di tingkat lokal. Bagian
88
Di antaranya adalah Bappenas-UNDP (2008), Kornpas ketiga, adalah usulan perbaikan territorial reform
(2008), Depdagri (2005), UPI (2009), dan UGM (2009). Hasil
di Indonesia terkait upaya penyelesaian persoalan
dari beberapa studi ini dijelaskan di bagian "Hasil Kebijakan
Pemekaran Daerah" dalam tulisan ini. governability di tingkat lokal.

37 37
r
Govemability, Desentralisasi, partai untuk mewakili kehendak bersama dan
dan Territorial Reform membawa konsensus. Ketiga, kegagalan sistem
pemerintahan tidak mampu memutuskan dan
Governability
mencegah ketidakpercayaan publik dan ketidak•
Governability merupakan suatu konsep yang sepahamannya dengan negara. Krisis welfare
mulai marak dipakai oleh para akademisi mulai state menunjukkan persoalan-persoalan yang
tahun 1970-an. Konsep ini dipakai oleh Hunting• berasal dari birokratisasi. Persoalan tersebut
ton, Crozier, dan Watanuki dalam menjelaskan mencakup defisit efisiensi dan legitimasi, serta
kondisi pemerintahan dan demokrasi di Eropa, kritik atas regulasi yang berlebihan. Mayntz
Amerika, dan Jepang pada waktu itu. Mereka lebih menekankan governing failure pada state
menjelaskan mengenai kondisi ketidakpuasan daripada aktor lainnya. State dianggap tidak
masyarakat terutama di negara-negara trilateral mampu lagi menyelesaikan persoalan-persoalan
(Eropa, Amerika, dan Jepang) karena terjadi ekonomi dan sosial yang telah diidentifikasi
pelemaha:n fungsi institusi-institusi pemerintahan sebelumnya.
demokratis. Pelemahan itu mereka sebut sebagai
Senada dengan Mayntz, Kooiman91 juga
krisis governability, di mana mesin demokrasi
menjelaskan governability sebagai kemampuan
tetap beroperasi, tetapi kemampuan individu•
governing. Namun, Kooiman lebih terperinci
individu yang mengoperasikan mesin tersebut
menjelaskan governability sebagai proses ke•
untuk membuat keputusan-keputusan cenderung
seimbangan yang permanen antara dua hal
melemah.89
governing, yaitu governing needs dan governing
Huntington, Crozier, dan Watanuki tidakmem• capacities. Menurut Kooiman, governability
berikan secara eksplisit definisi governability. merupakan suatu ekspresi governance dalam arti
Namun, Renate Mayntz" kemudian secara lebih penyesuaian yang absah (legitimate) dan efektif
jelas menjelaskan konsep governing failures atas governing needs to capacities dan governing
dan governability. Hampir sama dengan Cro• capacities to needs. Menurutnya, need bukan
zier, Mayntz menggunakan gambaran situasi sekadar sesuatu di dalam masyarakat dan ca•
politik di Eropa terutama Jerman pada tahun pacity bukan sekadar menunjukkan pemerintah.
1970-an hingga 1980-an untuk menjelaskan Need dan capacity dalam kadarnya (dinamika
konsep ini. Mayntz berangkat dari penjelasan dan interaksi), polanya (kompleksitas dan saling
mengenai governing failures yang dalam kon• ketergantungan), dan aktor (keberagaman arti
sepnya ia sebut juga sebagai ungovernability. dan interpretasi) seharusnya dilihat pada waktu
Dalam menjelaskan kegagalan negara modem yang sama sebagai sosial dan politik, publik dan
(modern state), Mayntz menekankan pada tiga privat, negara dan masyarakat dalam hubungan
hal penting yaitu regulasi yang terkait dengan yang saling tergantung.
ungovernability pada demokrasi barat, krisis di
Di satu sisi kebutuhan (needs) meliputi peren•
welfare state, dan besaran (scale) serta penyebab
canaan, penataan, pengaturan, dan koordinasi.
governing failures.
Kebutuhan ini diselaraskan dengan kemungkinan
Ungovernability menurut pandangan Mayntz pertumbuhan untuk mengontrol proses. Di sisi lain,
terdapat dalam tiga faktor. Pertama adalah faktor kebutuhan mencakup kebebasan individu, otono•
sosial yang meliputi kegagalan sosialisasi dan mi, pertumbuhan, dan pengaruh. Kebutuhan ini
hilangnya nilai-nilai tradisional. Kedua, faktor juga diselaraskan dengan pembangunan tekno•
politik di mana kegagalan terletak pada sistem logi, ekonomi, dan sosial. Menurut Kooiman,
89
Michel J. Crozier, Samuel P. Huntington, dan Joji Watanuki. seluruh manajemen yang mengarah pada keru•
The Crisis ofDemocracy: Report on the Governability ofDemo• suhan, disintegrasi, dan disorientasi pada level
cracies to the Trilateral Commission. New York: New York sistem merupakan bagian penting dari akibat
University Press, 1975.
formulasi kebutuhan sosial-politik.
90
Renate Mayntz. "Governing Failures and the Problem of
Govemability: Some Comments on a Theoretical Paradigm."
Dalam Jan Kooiman, (ed.). Modern Governance: New
Government-Society Interactions. London: SAGE Publica• 91
Jan Kooiman, ed.Modern Governance: New Government-So•
tion, 1994. ciety Interactions. London: SAGE Publication, 1994.

38 38
nomi, dominasi militer, atau tingkat pendidikan yang tinggi,
Kooiman menjelaskan bahwa hubungan tetapi dapat melalui konsensus penduduknya. Konsensus ini
yang terpolarisasi antara kapasitas negara (state)
di satu sisi dan permintaan sosial di sisi lainnya
menyebabkan sulitnya bentuk institusional dari
penyesuaian yang terpadu dan saling mengun•
tungkan dari kebutuhan dan kapasitas sosial•
politik. Ini dapat berarti bahwa hubungan gover•
ning-governed antara kebutuhan dan kapasitas
mernbawa komunikasi, baik dari cara pandang
kebutuhan (problem) atau kapasitas (solusi).
Pierre dan Peters92 juga berpendapat sarna
dengan Kooirnan bahwagovernabiliry sangat erat
kitannya dengan governance dan fungsi gover•
ning. Menurut mereka, kapasitas yang adaptif
dari institusi-institusi politik merupakan suatu
aspek yang penting dari governance, terutama
bagi negara (state) untuk dapat menyediakan
arah, arti, dan koherensi dalamgoverning. Dalam
pengertian lain, proses governing merepresentasi•
kan seperangkat adaptasi yang berkelanjutan
dari aktivitas politik dan administratif untuk
perubahan dalam lingkungan. Governability
menurut Piere dan Peters merupakan "flip side"
· of governance. Oleh karena itu, dimensi dari
governability tidak hanya memfokuskan pada
keberadaan society yang merupakan governed,
tetapi juga lebih penting dari itu adalah hubung•
an antara state dan society. Beberapa elemen
governability tersebut adalah kepercayaan dalam
institusi, jaringan, civil society, dan regulasi.
Governability memikirkan suatu perangkat
pembuatan kebijakan barn yang terkait dengan
persoalan-persoalan governance. Governance
menggarisbawahi proses-proses interaksi multi
stakeholder dalam rangka menyelesaikan persoal•
an-persoalan bersama.93 Sementara itu, kekuatan
atau kelemahan pemerintahan dipengaruhi oleh
efektivitas mekanisme govemability" Di tingkat

92
Jon Pierre dan B. Guy Peters. Governing Complex Societies:
Trajectories and Scenarios. Hampshire and New York: Palgrave
MacMillan, 2005.
93
Dalam konteks lokal, local governance mencakup peran
langsung ataupun tidak langsung dari lembaga-lembaga formal
pemerintah (government) lokal, organisasi-organisasi komu•
nitas, dan norma-norma informal dalam mengejar tindakan
bersama. Lihat Anwar Shah, (ed.). Local Governance in Deve•
loping Countries. Washington: The World Bank, 2006.
94
Dengan kriteria ini, menurut Vigoda-Gadot, suatu bangsa
yang kuat tidak hanya selalu ditandai dengan superioritas eko•

39 39
lokal, konsep governance ini terkait erat dengan
desentralisasi.95
Pemahaman konsep governability yang
dikemukakan oleh Isabelle J anin" lebih jelas
memberikan pemahaman dan kata kunci konsep
ini terkait dengan berbagai pendapat yang telah
diuraikan sebelumnya. Janin mengemukakan
bahwa governability merupakan konsep dua
sisi. Penekanan governability dapat diletakkan di
dua sisi, yaitu pada governed atau pada mereka
yang memegang kekuasaan. Konsep dualisme
governability ini mengarah pada pendekatan
fungsional karena mengekspresikan pertanyaan
governability dalam dua hal, yaitu efektivitas
(dari kebijakan pemerintah) dan consent (dari
governed atau masyarakat). Efektivitas (dari
kebijakan pemerintah) dalam governing me•
nyangkut persoalan efisiensi dan legitimasi
sehingga kegagalan governing diatasi dengan
pendekatan fungsional. Persoalan consent dari
governed mencakup pelibatannya dalam pem•
buatan kebijakan.
Konsep dualisme governability dari Janin .
sangat relevan dipakai sebagai dasar analisis
kelembagaan (struktur dan fungsi) lokal terkait
hasil kebijakan pemekaran daerah di Indonesia.
Secara sederhana, struktur kelembagaan dapat
dilihat dari dua institusi besar yaitu pemerintah/
negara (state) dan masyarakat. Penjelasan atas
fungsi masing-masing lembaga ini tidak dapat
lepas dari konsep need dan capacity sebagaimana
dijelaskan oleh Kooiman. Namun, penjelasan
fungsi governing (pemerintah) akan lebih kom•
prehensif jika dilihat dari tiga dimensi. Dimensi
pertama adalah politik, yang menjelaskan
bagaimana penggunaan, pembagian dan akunta•
bilitas kekuasaan. Dimensi kedua adalah legal,
yaitu bagaimana merumuskan dan menggunakan
regulasi. Dimensi ketigaadalah manajerial yang·
terkait dengan pengaturan kewenangan, ekstraksi

dapat menemukanjalan untuk menyatukan secara damai ide-ide


yang berseberangan dari demokrasi dan birokrasi. Eran Vigoda•
Gadot, Building Strong Nations: ImprovingGovernability and
Public Management. Surrey and Burlington: Ashgate Publi•
shing Company. 2009.
95
Fuhimiko Saito (ed.). Decentralization and Local Gover•
nance. Heidelberg: Physica-Verlag, 2008, him. 6.
96 Isabelle Janin. "Governability." Dalam Mark Bevir, (ed.).

Encyclopedia of Governance. Thousand Oaks, London, and


New Delhi: SAGE Publication, 2007, him. 364.

41 41
r
sumber daya, dan manajemen pembangunan. kasikan sumber daya substansial, fungsi yang
Persoalan governability lokal di Indonesia dari sangat beragam, dan keputusan-keputusan dibuat
sudut pandang state mengacu pada konsep oleh perwakilan masyarakat lokal.
ungovernability sebagaimana dijelaskan oleh Banyak hal positif yang dijanjikan dari ke•
Mayntz. Persoalannya, apakah need dari gover• bijakan desentralisasi. Beberapa dasar pemikiran
ning (pemerintah) dan governed (masyarakat) kebijakan desentralisasi seperti yang disebutkan
untuk lebih baik melaksanakan desentralisasi dan oleh Rondinelli dan Cheema99 di antaranya
otonomi daerah mampu terjawab dengan kebi• adalah: 1) memberikan peluang bagi penetrasi
jakan pemekaran daerah? Apakah capacity dari administrasi dan politik kebijakan nasional yang
governed dan governing lokal setelah pemekaran lebih baik kepada pemerintahan daerah yang ter•
mampu melaksanakan otonomi daerah dengan kecil; 2) mendorong pemerataan alokasi sumber
lebih baik? daya pemerintah dan investasi yang lebih besar;
3) meningkatkan efisiensi pemerintah pusat;
Desentralisasi 4) mengurangi diseconomies of scale sehingga
Desentralisasi merupakan kebijakan politik untuk meningkatkan jumlah penyediaan barang dan
menata persoalan administrasi yang diharapkan jasa publik; 5) mendukung kemampuan adminis•
dapat membuka blokade sentralisasi birokrasi, trasi unit-unit administrasi daerah dan lembaga•
mengobati manajemen yang buruk, memberikan lembaga privat di daerah yang lebih fleksibel,
akses masyarakat yang lebih langsung kepada inovatif, dan kreatif; 6) memungkinkan fungsi•
pemerintah dan pemerintah kepada masyarakat.97 fungsi manajemen dan perencanaan pembangun•
Desentralisasi dimungkinkan ketika institusi-in• an untuk menempatkan pelayanan dan fasilitas
stitusi pemerintah menjadi sangat tidak efektif yang lebih efektif di dalam masyarakat; dan 7)
bahkan gagal memberikan pengaruh otoritas pusat meningkatkan stabilitas politik dan kesatuan
kepada berbagai institusi di level terendah.98 nasional dengan memberikan kemampuan bagi
Menurut Mayntz, desentralisasi merupakan kelompok-kelornpok yang berbeda untuk ber•
solusi kebijakan alternatif untuk mengatasi partisipasi langsung dalam pembuatan kepu•
governingfailures. Desentralisasi dapat mengu• tusan pembangunan. Beberapa faktor tersebut
rangi perintah dan pengawasan governing dalam dapat dikategorisasikan ke dalam empat tujuan
model top-down governance. Dengan demikian, besar desentralisasi, yaitu efektivitas pelayanan
desentralisasi merupakan solusi alternatif atas publik, efisiensi ekonomi, demokratisasi, dan
problem governability (governingfailures) yang kemandirian lokal.
terjadi di level nasional. Persoalannya, apakah Dari berbagai definisi dan dimensi desentra•
desentralisasi juga menjamin kualitas governa• lisasi sebagaimana telah disebutkan, pada dasar•
bility di tingkat lokal? nya desentralisasi diperlukan untuk memperkuat
Pertanyaan ini menantang karena kapasitas manajemen pemerintahan di setiap level pemerin•
lembaga-Iembaga politik di tingkat nasional tahan sehingga pelaksanaan pemerintahan ber•
diasumsikan lebih baik dibandingkan di tingkat jalan secara efektif dan efisien.
lokal. Persoalan ini menjadi paradoks ketika
keterbatasan kapasitas lembaga lokal harus men• Territorial Reform
dukung karakter lembaga lokal yang terdesentrali• Gabriel Ferrazzi mendefinisikan territorial reform
sasi. Menurut Maw hood, karakter tersebut antara atau territorial administration sebagai manaje•
lain memiliki anggaran sendiri, perangkat legal men penyusunan tingkatan atau besaran (size/
(hukum) yang terpisah, otoritas untuk mengalo- number) unit pemerintah daerah sesuai dengan
97
Philip Mawhood. "Desentralization: the Concept and the
Practice." Dalam Philip Mawhood (ed.). Local Government in
99Dennis A. Rondinelli dan G. Shabbir Cheema.vlmplementing
the Third World: The Experience of Tropical Africa. Chicester,
New York, Brisbane, Toronto, dan Singapore: John Wiley & Decentralization Policies: An Introduction." Dalam G. Shab•
Sons, 1983. bir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (eds.). Decentralization
and Development: Policy Implementation in Developing
98 James Manor. The Political Economy ofDemocratic Decen• Countries. California, New Delhi, dan London: SAGE Publi•
tralization .. Washington: The World Bank, 1999. cation, 1983.

40 40
102
Lihat perbedaan alasan pendukung dan penolak peng-
tujuan administrasi dan politik.'?' Mencermati
kecenderunganjenis kebijakan territorial reform
yang menjadi preferensi beberapa negara, ada tiga
varian bentuk kebijakan ini. Pertama, pemekaran
(proliferation) daerah. Kebijakan pemekaran
daerah ini terutama menjadi pilihan bagi negara•
negara berkembang (Pakistan, Filipina, Nigeria,
Uganda, Kenya) yang mengutamakan kedekatan
geografi (geographical proximity). Alasan poli•
tik menjadi basis penganut kebijakan ini dengan
slogan "bring government closer to the people."
Jenis kedua territorial reform adalah penggabun•
gan (amalgamation) daerah. Kebijakan ini dipi•
lih oleh negara-negara maju (Victoria-Australia,
Jepang, Kanada, Swedia) yang terutama berorien•
tasi pada prinsip ekonorni (efisiensi) dalam penye•
lenggaraan pemerintahan. Jenis kebijakan yang
ketiga adalah bentuk campuran antara pemekaran
dan penggabungan. Negara-negara yang menga•
nut kebijakan ini menyesuaikan dengan kondisi
politik dan ekonomi yang ada.
Pemilihan jenis territorial reform tidak ter•
gantung pada bentuk negara apakah federal atau
kesatuan. Setiap negara mernilih satu di antara
ketiga kebijakan itu sebagai pendukung kebi•
jakan desentralisasi dan otonorni daerah. Smith
berpendapat bahwa desentralisasi dalam bentuk
apapun membutuhkan pembagian wilayah negara
ke dalam beberapa area.'?' Optimalisasi pemba•
gian wilayah inilah yang menunjang efektivitas
pemerintahan. Ukuran (besar atau kecil) suatu
wilayah pemerintahan daerah turut menentukan
optimalisasi pelaksaan kewenangan yang didesen•
tralisasikan kepadanya.
Setiap negara yang memilih pemekaran
atau penggabungan dalam melakukan penataan
wilayah adrninistrasi pemerintahan selalu memi•
liki alasan yang didasarkan atas dasar pemikiran
dan tujuan desentralisasi, yaitu efektivitas pelayan•
an publik, efisiensi ekonomi, demokratisasi,
dan kemandirian lokal. 102 Karena desentralisasi

100
Ferrazi mendefinisikan territorial administration atau
territorial reform sebagai "management of the size, shape
and hierarchy of local government units for the purpose of
achievingpolitical and administrative goals." Gabriel Ferrazzi.
International Experiences in Territorial Reform-Implications
for Indonesia. Jakarta: DRSP-USAID, 2007, him. 5.
101
B. C. Smith. Decentralization: The Territorial Dimension of
the State. London: George Allen & Unwin, 1985, him. 61.

41 41
menentukan kualitas governability dan territorial
reform merupakan alat untuk memperkuat desen•
tralisasi, tujuan territorial reform dapat dikatakan
sebagai kebutuhan (needs) governability baik
state maupun society, baik di tingkat nasional
maupun lokal. Hubungan antara desentralisasi,
territorial reform, dan governability terlihat
pada Tabel 1.
Governability sangat dipengaruhi oleh pilihan
dan strategi kebijakan territorial reform. Ukur•
an wilayah pemerintahan dapat memengaruhi
kinerja dalam penyediaan barang-barang publik
baik yang tersentralisasi maupun terdesentrali•
sasi. Ukuran besaran unit politik dapat menjadi
pengaruh penting bagi kualitas governance. Ketika
lingkup pertanggungjawaban pemerintah semakin
berkembang, dan masyarakat kekurangan sumber
daya dan kapasitas untuk menyelesaikan hubun•
gan antara principal-agent yang asimetri, gover•
nance yang lemah dan korup akan muncul. 103
Beberapa faktor pendorong yang menjadi
alasan pemilihan kebijakan pemekaran atau peng•
gabungan, seperti terlihat dalam Tabel 1, ter- .
kadang tidak tercapai dalam praktiknya. Hal ini
justru mengakibatkan situasi yang berkebalikan,
yang mengarah pada keterpurukan pemerin•
tahan daerah. Banyak faktor yang menyebabkan
keterpurukan ini. Kegagalan pemerintahan ini
dapat disebabkan, salah satunya adalah, kesala•
han proses pembentukan daerah barn. Proses
pembentukan daerah yang bersifat elitis akan
menyebabkan basil pemerintahan yang juga
elitis atau oligarkis. Dengan demikian, proses
pembangunan daerah tidak dapat berjalan dengan
baik, malahan ditandai dengan pelemahan insti•
tusi-institusi pemerintahan.
gabungan daerah dalam Erika Techera, "To Merge or Not
To Merge: Local Government Amalgamations in Australia,"
Macquarie Law Working Paper, WY2007-4, September 2007,
Sidney: Macquarie Univerrsity. Masaru Mabuchi, Municipal
Amalgamation in Japan, (Washington: The World Bank, 2001).
Montreal Economic Institute, The Economic Arguments against
Municipal Mergers, October 2001. (http:ll,www.iedm.org/up•
loadedlpdf/fusions_en.pdf, diakses pada 9 Januari 2010).
103
S. Knack and Azfar. "Trade Intensity, Country Size and
Corruption". Economic of Governance, 4 (1), seperti dikutip
dalarn Omar Azfar, Satu Kahkonen, Anthony Lanyi, Patrick
Meagher, dan Diana Rutherford, "Decentralization, Governance
and Public Services: The Impact of Institutional Arrange•
ments." Dalam Mwangi S. Kimenyi dan Patrick Meagher,
(eds.). Devolution and Development: Governance Prospect in
Decentralizing States. Aldershot, Hants: Ashgate Publishing
Limited, 2004, him. 32-33.

42 42
Tabel 1. Keterkaitan antara Desentralisasi, Territorial Reform, dan Governability
Kebutuhan (needs) Governability
Rationale Desentralisasi Parameter Tujuan
(Rondinelli & Cheema) Territorial Reform Alasan Pemekaran Alasan Penggabungan
Menempatkan pelayanan dan Efektivitas Pelayanan Kedekatan masyarakat Mendukung mobilitas
sosial fasilitas yang lebih efektif di Publik dengan pusat pemerintah- tanpa terhambat
persoalan
dalam masyarakat. an jurisdiksi

Mengurangi diseconomies of Efisiensi Ekonomi Diseconomies of scale terli- Menyediakan kesempatan


scale sehingga meningkatkan hat di daerah-daerah yang bagi pemerintah daerah untuk
jumlah penyediaan barang dan berpenduduk lebih dari merampingkan dan merasiona-
jasa publik dua ribu digabungkan lisasi organisasi

Meningkatkan stabilitas politik Demokratisasi Semakin kecil unit politik, Memperkuat kelas menengah
dan kesatuan nasional dengan semakin besar kemam- yang akan mengawasi jalannya
memberikan kemampuan puan masyarakat untuk pemerintahan daerah
bagi kelompok-kelompok yang mempengaruhi kebijakan
berbeda untuk berpartisipasi publik
langsung dalam pembuatan
keputusan pembangunan

Meningkatkan kemampuan Kemandirian Memperkuat ekonomi Memperkuat ekonomi daerah


administrasi pemerintah dan daerah dan pusat dan pusat
inovasi lembaga-lembaga
privat di daerah

Sumber: Analisis dari konsep Rondinelli dan Cheema (1983), Kooiman (1994), Techera (2007), Mabuchi (2001),
dan Montreal Economic Institute (2001).

Demokratisasi, & Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: Asosiasi


Kelemahan penyelenggaraan administrasi
Ilmu Politik Indonesia, 2002.
pemerintahan dan demokrasi akibat kebijakan
pemekaran daerah yang tidak tepat di Indonesia
dapat mengarah pada kecenderungan ungo•
vernability atau governing failures di tingkat
lokal. Ciri-ciri dari governing failures ini dapat
dikatakan serupa dengan konsep bad governance
yang dikemukakan oleh Thompson. Ciri bad
governance menurut Thompson'?' meliputi: 1)
tidak adanya pemisahan yangjelas antara kekaya•
an dan sumber-sumber milik rakyat dan milik
pribadi; 2) tidak ada aturan hukum yang jelas
dan sikap pemerintah yang tidak kondusif untuk
pembangunan; 3) adanyaregulasi yang berlebihan
sehingga menyebabkan "ekonorni biaya tinggi";
4) prioritas pembangunan yang tidak konsisten;
dan 5) tidak ada transparansi dalam pengambilan
keputusan.

104
Kenneth Thompson. On Good Governance. New York: A
Plume Book, 1994. Seperti dikutip oleh Riswandha Imawan
"Desentralisasi, Demokratisasi, dan Pembentukan Good
Governance." Dalam Syamsuddin Haris, (ed.) Desentralisasi,

42 43
Berangkat dari hubungan antara
konsep ter• ritorial reform, desentralisasi,
dan governability, bagian tulisan
berikutnya adalah analisis kon• disi
empiris governability lokal sebagai
dampak pemekaran daerah di Indonesia.

Pemekaran Daerah dan


Persoalan
Govern
ability
Di Indonesia, pemekaran daerah
merupakan salah satu kebijakan territorial
reform yang tarnpaknya disukai oleh
negara di era reformasi. Pemekaran daerah
mulai mendapat pengaturan mulai tahun
2000 meskipun sudah mulai merebak pada
1999. Pada awalnya, kebijakan ini
terkesan mendapat• kan dukungan luas
dari elite maupun masyarakat karena
beberapa hal yang menjanjikan. Pertama,
dengan berlandaskan pendekatan
geografis (geo• graphic proximity)
masyarakat percaya bahwa semakin
kecil lingkup geografis, maka pelayan•
an publik akan semakin cepat dan tepat.
Kedua, elite menjadi sangat antusias
membentuk wilayah administratif barn
karena fragmentasi kekua• saan
memberikan kesempatan bagi mereka
yang belum mendapatkan kekuasaan.
Ketiga, sejalan

42 44
dengan semangat kedaerahan dan kesukuan konflik komunal merebak di berbagai daerah
(ethnic nationalism) masyarakat merasa lebih sebagai akibat proses pembentukan daerah baru
nyaman berada dalam lingkup geografis dengan yang elitis tersebut. 105
komposisi yang lebih homogen. Keempat, elite Tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa dae•
dan masyarakat lokal menjadi yakin dapat rnenge• rah otonom baru memang telah berhasil menye-
lola daerah barunya dengan baik karena ada j ahterakan masyarakatnya melalui peningkatan
jaminan finansial minimal dari pemerintah dalam pembangunan dan pelayanan publik. Namun,
bentuk dana alokasi umum (DAU), dana alokasi tidak sedikit pula kabupaten/kota yang justru
khusus (DAK), dan dana bagi hasil (DBH) dari mengalami kemunduran pembangunan pasca•
pajak. Keempat faktor itulah yang merupakan pemekaran daerah. Kompas mencatat bahwa
faktor pendorong yang lebih kuat ke arah peme• dari 141 daerah pemekaran 31 daerah induk dan
karan dibandingkan kebijakan penggabungan. pemekaran sama-sama mengalami kemundur•
Akibat beberapa faktor pendorong tersebut, an.106 Angka tersebut masih ditambah dengan 70
sejak reformasi bergulir hingga 2009, euforia kabupaten/kota di mana salah satu dari daerah
pemekaran daerah telah meningkatkan jumlah pemekaran maupun induknya mengalami kemun•
daerah otonom secara drastis. Seperti terlihat duran. Selain itu, Kementrian Dalam Negeri juga
dalam Tabel 2, jumlah provinsi meningkat 27% menyatakan bahwa dari sembilan daerah otonom
dari 26 menjadi 33 provinsi dalam satu dekade. baru yang diteliti tidak ada satupun yang masuk
Demikian juga dengan jumlah kabupaten/kota dalam kategori mampu, meskipun telah melaku•
yang meningkat lebih drastis (53% untuk kota, kan upaya penataan berbagai aspek pemerintahan
dan 70% untuk kabupaten), dari 298 kabupaten/ berdasarkan peraturan yang ada."? Dari jumlah
kota di tahun 1999 menjadi 497 kabupaten/kota daerah yang justru mengalami kemunduran
pada 2009. pascapemekaran dapat disimpulkan bahwa kebi- .
jakan pemekaran daerahjustru bertolak belakang
Tabel 2. Peningkatan Jumlah Daerah Otonom dari cita-cita semula.
1999-2009 (Juni) Berdasarkan hasil penelitian berbagai lem•
Wilayah Tahun (Jumlah)

1999 2009 (Juni)


baga (UNDP-Bappenas, LIPI, Depdagri, dan
Provinsi 26 33 UGM), pemekaran daerah telah menimbulkan
Kota 64 98 kompleksitas persoalan politik dan pemerintahan.
Ka bu paten 235 399 Pertama, pemerintah daerah otonom baru tidak
Total 327 530 mampu merumuskan kewenangan atau urusan
Somber: Ditjen Otonomi Daerah Kemdagri
kat dengan memanipulasi data-data lokal sebagai
Basil Kebijakan Pemekaran Daerah prasyarat pembentukan daerah baru. Dampaknya,
Dapat dikatakan bahwa kebijakan pemekaran
daerah di Indonesia dilaksanakan secara tergesa•
gesa di dalam suasana euforia reformasi politik.
Beberapa faktor pendorong pemekaran, seba•
gaimana telah disebutkan sebelumnya, telah me•
micu hasrat yang kuat dari para elite dan seba•
gian masyarakat lokal untuk membentuk daerah
otonom baru atas nama kesejahteraan masyara•
kat. N amun, proses pembentukan daerah baru
yang sangat masif sejak 1999 tampak didominasi
oleh keinginan elite politik dan birokrasi untuk
menciptakan kavling kekuasaan baru. Dominasi
tersebut tampak mengabaikan aspirasi masyara•

42 45
105
Beberapa konflik komunal yang pemah terjadi akib�t proses
elitis pemekaran daerah antara lain terjadi di Maluku Utara,
Sulawesi Barat, Irian Jaya Barat, dan Sumatra Utara. Di Maluku
Utara, warga dari Suku Kao menolak sebagian wilayahnya
dimasukkan ke dalam wilayah yang didominasi oleh Suku
Makian. Lihat lebih detail mengenai konflik pemekaran di
Maluku Utara dalam Mardyanto Wahyu Tryatmoko, Peme•
karan Wilayah dan Pertarungan Elite Lokal di Maluku
Utara.. Masyarakat Indonesia, No.I, 2005, LIPI. Di
Sulawesi Barat, konflik komunal terjadi akibat pemekaran
Kabupaten Polewali• Mamasa pada tahun 2002 menjadi
Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa. Konflik
komunal terjadi di Kecamatan Aralle, Tebilahan, dan Mambi
(ATM). Pasalnya, ketiga keca• matan ini menolak bergabung
dengan Kabupaten Mamasa. Konflik dengan kekerasan juga
terjadi dalam pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat.
106
Litbang Kompas, "Cita-cita yang Tidak selalu Berbuab
Manis." Kompas, 21 Mei 2008.
107
Pusat Penelitian dan Pengembangan Otonomi Daerab, Sinop•
sis Penelitian: Efektivitas Pemekaran Wilayah di Era Otonomi
Daerah. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen
Dalam Negeri, 2005.

42 46
''

daerah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Ketujuh, banyaknya peraturan daerah (perda)
masyarakat lokal. Struktur kelembagaan yang yang bermasalah.116
dibentuk oleh pemerintah daerah setempat Fenomena yang paling memprihatinkan
belum sesuai dengan jenis urusan daerah yang sebagai buah maraknya pemekaran di Indonesia
sesungguhnya. Dampaknya, struktur kelembagaan adalah banyaknya kasus korupsi di daerah baru.
menjadi gemuk dan tidak menunjang efektivitas Hasil penelitian Pusat Kajian Anti Korupsi (Pu•
dan efisiensi penggunaan anggaran daerah. 108 kat), Universitas Gadjah Mada (UGM) menun•
Kedua, pemekaran daerah temyata menimbulkan jukkan 1.891 kasus korupsi di tujuh provinsi
persoalan pembagian potensi ekonomi yang tidak pemekaran baru. Jumlah kasus di setiap provinsi
merata, di samping beban penduduk miskin yang tersebut adalah: di Banten terdapat 593 kasus,
semakin meningkat. Ketertinggalan ini disebab• Kepulauan Riau 463, Maluku Utara 184, Bangka
kan oleh keterbatasan sumber daya manusia dan Belitung 173, Sulawesi Barat 168, Gorontalo
alam, selain kurangnya dukungan pemerintah 155, dan Papua Barat 147 kasus."? Sejumlah
dalam mendukung pembangunan daerah. 109 kasus korupsi itu baru sebatas wilayah provinsi,
Ketiga, pemerintah daerah hasil pemekaran padahal asumsinya bahwa korupsi di ratusan
belum mampu mengelola anggaran untuk men• kabupaten/kota barn lebih banyak dari angka
dorong perekonomian daerah. no Kemampuan kasus di tujuh provinsi tersebut. ns
pemerintah daerah masih rendah dalam menggali
sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD).111
Persoalan Governability Lokal
Bahkan, terjadi pemborosan penggunaan APBD
Beberapa persoalan dampak pemekaran tersebut
untuk kepentingan birokrasi daerah dan pem•
menunjukkan merebaknya persoalan governa•
bangunan etalase bangunan fisik yang irrasional,
bility di tingkat lokal. Persoalan governability
tidak berdasarkan kebutuhan publik.l'? Keempat,
ini ditandai tidak hanya oleh kelemahan elite
kinerja pelayanan publik daerah hasil peme•
atau pemerintah daerah hasil pemekaran, tetapi
karan masih berada di bawah kinerja pelayanan
juga kelemahan kemampuan masyarakat dalam
publik di kabupaten pada umumnya.l" Kelima,
mendukung pembangunan politik dan ekonomi
kualitas aparatur pemerintahan di daerah hasil
lokal.
pemekaran masih berada di bawah potensi yang
dimiliki daerah induk.'!' Keenam, pemekaran Dari sisi masyarakat (governed), kelemahan
daerah cenderung memunculkan oligarki dan masyarakat sudah terlihat sejak proses pem•
memperkuat ethnic nationalism daripada mem• bentukan daerah baru. Kelemahan ini ditandai
perkuat demokrasi.!" Penggalangan kekuatan 116
Ibid.
birokrasi pemda untuk dukungan kekuasan elite 117
"1.891 Kasus Korupsi di Daerah Pemekaran," Kompas, 15
lokal sering kali menggunakan isu agama/etnis. April 2009. "Daerah Pemekaran Jadi Sarang Korupsi," Media
Indonesia, 14 April 2009. (http://www.mediaindonesia.com/
108 Ibid. read/2009/04/14/69780/18/1/Daerah-Pemekaran-Jadi-Sarang•
Korupsi), diakses 16 April 2010.
109
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 118
dan United Nation Development Program (UNDP). 2008. Beberapa kabupaten hasil pemekaran yang terdapat kasus
Studi Evaluasi Pemekaran Daerah 2001-2007. (http://www. korupsi di antaranya adalah Lampung Timur, Lampung Tengah,
undp.or.idlpubs/docs/pemekaran_ID.pd/), diakses 27 Januari Landak, Tolikara, Mappi, Boven Digoel, Nabire, Kerom, dan
2010. Seram Bagian Barat. Lihat dalam Tempo interaktif, "Korupsi
Tripanca Diduga Salahi Peraturan Menteri Keuangan," 5 Januari
110
Ibid. 2009. (http:l/www.tempointeraktif.com/hglhukum/2009/0l/05/
111
brk,20090105-153821,id.html), diakses pada 10 April 2010.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Otonomi Daerah,
"Kasus Dugaan Korupsi Bupati Lampung Timur Segara Tun•
Op.Cit.
tas," Kompas, 25 Maret 2010. (http://regional.kompas.com/
112
Tri Ratnawati, (ed.). Studi Tentang Pemekaran Daerah: read/2010/03/24/1908527 6/Kasus.Korupsi.Bupati.Lampung.
Pemetaan Problematika Politik, Ekonomi dan Sosial Budaya Timur.Segera.Tuntas), diakses 11 April 2010. Francis Kati, "Di
di Daerah-daerah Pemekaran Era Reformasi. Jakarta: LIPI Papua, Pemekaran Kabupaten Merupakan Impian Para Korup•
Press, 2009. tor," 25 Januari 2007. (http://www.kabarindonesia.com/berita.
php?pi1=14&dn=20070125171619), diakses 9 April 2010. Siwa•
113
Bappenas dan UNDP, Op.Cit. lima, "Korupsi Miliaran, Kejati Maluku Bidik Bupati Seram
114 Bagian Barat," 12 Maret 2010. (http://www.siwalimanews.
Ibid.
com/show .php?mode=headline&id=2234&path=list-headline•
115
Tri Ratnawati, ed., Op.Cit. news.html), diakses 14 April 2010.

44 47
oleh rendahnya partisipasi masyarakat dalam daerah baru terkesan berawal dari lokal (bottom•
proses pembuatan keputusan pemekaran daerah. up ), dalam praktiknya proses ini lebih banyak
Masyarakat seperti mudah dikooptasi oleh para didorninasi oleh elite. Dengan mengatasnamakan
elite lokal. Kelemahan ini terus berlanjut hingga masyarakat, elite-elite lokal sering kali memani•
daerah baru mulai membangun. civil society pulasi data untuk kemudahan verifikasi daerah
yang lemah menyebabkan kontrol yang lemah, baru. Dampak dari proses pembentukan yang
sehingga korupsi marak terjadi dan pembangunan elitis ini adalah hadimya kekuasaan yang oligar•
daerah tidak berjalan baik. kis di daerah baru. Oleh karena itu, praktik penye•
lenggaraan pemerintahan di daerah baru sangat
Dari sisi elite pemerintahan (governing) per•
rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan
soalan governability di tingkat lokal dapat dicer•
untuk kepentingan pribadi dan golongan elite.
mati dari beberapa indikator, seperti tercantum
Pemerintah (governing) lokal cenderung merni•
dalam Tabel 3. Pemekaran daerah di Indonesia
liki akuntabilitas yang rendah, sehingga tidak ada
menimbulkan persoalangovernability lokal baik
transparansi dalam pengambilan keputusan.
dalam aspek politik, legal, maupun manajerial.
Persoalan ini tampaknya berawal dari berbagai Kesalahan kedua dari kebijakan pemekaran
kesalahan perumusan dan pelaksanaan kebij akan daerah di Indonesia adalah upaya capacity building
pemekaran daerah. yang sangat rendah di daerah-daerah baru. Mus•
Kesalahan pertama dari kebijakan pemekar• tahil bagi daerah-daerah yang baru dibentuk, ter•
an daerah di Indonesia adalah proses pembentuk• utama yang merniliki sumber daya manusia yang
an daerah baru. Meskipun proses pembentukan rendah, meningkatkan kapasitas penyelenggaraan

Tabel 3. Indikator Persoalan Governability Lokal


Aspek lndikator Kasus I dampak
Politik (kekuasaan) Penyalahgunaan Kekuasaan untuk kepentingan pribadi Praktik kolusi, korupsi, dan nepo-
dan golongan tisme.
Bureaucratic and political rent
Tidak adanya pemisahan yang jelas antara kekayaan dan seeking. Dominasi oligarki daripada
sumber-sumber milik rakyat dan milik pribadi
demokrasi.

Akuntabilitas yang rendah atau tidak ada transparansi


dalam pengambilan keputusan

Legal Tidak mampu merumuskan regulasi daerah yang adaptif. Regulasi yang mendorong ekonomi
biaya tinggi dan cenderung tidak
menguntungkan daerah.
Maraknya perda bermasalah .
Manajerial Tidak mampu merumuskan dengan tepat kewenangan pelayanan publik yang tidak efektif
ataupun urusan yang akan dilaksanakan sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan daerah.

Penggunaan sumber daya lokal yang tidak efisien Pembangunan potensi ekonomi yang
tidak merata
'
..
Rendahnya kemampuan dalam menggali sumber-sumber Ketergantungan pada negara dan
penerimaan daerah rendahnya kemandirian lokal

Penentuan SKPD belum memperhitungkan kriteria efek- lnefisiensi APBD


'
tivitas dan efesiensi kelembagaan yang baik

Prioritas pembangunan yang tidak konsisten Beban penduduk miskin yang


meningkat

Pembangunan fasilitas pemerintahan


yang tidak sebanding dengan infra-
struktur publik

44 48
Sumber: Analisis atas hasil evaluasi pemekaran sebagaimana disimpulkan oleh UNDP-Bappenas, Depdagri, LIPI, UGM,
dan berbagai media

44 49
pemerintahan relatif otonom tanpa asistensi dari (Kemendagri) terhadap daerah-daerah hasil peme•
pihak luar. Padahal, di dalam regulasi disebutkan karan belum dilakukan secara berkala. Selain itu,
bahwa pembinaan daerah baru menjadi tanggung evaluasi yang kini dilakukan oleh pemerintah di•
jawab kabupaten induk, pemerintah provinsi, rasa memiliki banyak cacat metodologi. Evaluasi
dan pusat. Pembinaan seperti yang disebutkan terhadap daerah-daerah pemekaran lebih banyak
dalam regulasi tersebut tidak pemah berlangsung diukur dari kacamata kuantitatif, dan tidak mem•
dengan baik dalam praktiknya. Terkesan, pihak• perhatikan faktor substantif demokrasi, hukum
pihak yang bertanggung jawab melepas begitu dan pemerintahan. Kelemahan lainnya, evaluasi
saja daerah-daerah yang baru terbentuk. Ironis• tidak termasuk pengawasan terhadap penyeleng•
nya, beberapa kabupaten induk justru mengalami garaan pemerintahan daerah-daerah baru. Akibat
krisis manajemen pemerintahan karena sumber kesalahan kedua dan keempat, pemerintah dae•
dayanya tersedot ke daerah pemekarannya. rah tidak memiliki pemahaman terhadap aspek
Akibat dari tidak adanya asistensi/pembina• hukum (legal). Hal ini menimbulkan banyaknya
an, maka sebagian besar daerah-daerah barn produk hukum berupa perda yang bermasalah,
mengalami krisis manajemen pemerintahan. yang berdampak pada kemajuan daerah yang
Krisis manajemen pemerintahan yang dimaksud bersangkutan.
adalah lemahnya kapasitas pemerintah dalam Kesalahan kelima adalah pemerintah tidak
melakukan fungsi utamanya. Seperti disebutkan memiliki grand design territorial reform yang
dalam Tabel 3, kelemahan manajerial pemerintah strategis. Akibat tidak adanya grand design
di daerah barn mencakup beberapa indikator. yang strategis, pemerintah kesulitan menentukan
Pertama, pemerintah daerah baru tidak mampu langkah selanjutnya ketika terdapat daerah yang
merumuskan dengan tepat kewenangan ataupun tidak mampu melaksanakan otonomi daerah. Di
urnsan yang seharnsnya dilaksanakan sesuai dalam regulasi disebutkan bahwa pemerintah
dengan kondisi dan karakteristik daerah serta akan menggabungkan daerah-daerah yang tidak
kebutuhan masyarakat. Kedua, rendahnya ke• mampu melaksanakan otonomi daerah. Peng•
mampuan pemerintah daerah baru dalam meng• gabungan dalam konteks ini adalah paksaan
gali sumber-sumber penerimaan daerah. Ketiga, dan bukan voluntarily berdasarkan kehendak
struktur kelembagaan pemerintahan daerah masyarakat lokal. Kebijakan paksaan ini tentu
(SKPD) yang telah ditentukan oleh pemerintah tidak dapat dikatakan bersifat strategis, karena
daerah barn belum memperhitungkan kriteria dapat dipastikan banyak resistensi lokal yang
efektivitas dan efisiensi kelembagaan yang baik. akan muncul dan berpotensi konflik.
Keempat, pembangunan potensi ekonomi yang
yang direncanakan maupun dilaksanakan oleh Menata Ulang Territorial Reform
pemerintah daerah baru tidak merata. Kelima, Dalam rangka meningkatkan kapasitas governa•
pemerintah daerah terlihat kesulitan, atau bahkan bility, ada beberapa hal yang perlu dilakukan
sengaja, dalam menentukan prioritas pembangun• sekaligus menata ulang territorial reform. Pa•
an, sehingga yang terlihat adalah tiadanya kon• ling tidak, ada dua pendekatan untuk mengatasi
sistensi pembangunan. persoalan governability ini. Pendekatan pertama
Kesalahan ketiga adalah pemerintah terlalu merujuk pada konsepsi Grindle119 yang menekan•
memanjakan daerah baru dengan memberikan kan pada pentingnya pernbahan aturan main (the
insentif. Hal ini menyebabkan daerah tidak dapat rules of game) yang mengatur setiap organisasi
segera mandiri, dan cenderung terus tergantung dan individu dalam membuat keputusan dan
pada pemerintah pusat. Daerah-daerah yang ter• melakukan aktivitas. Perubahan tersebut men•
gantung ini tidak dapat memberikan kontribusi cakup berbagai inisiatif seperti pengembangan
pada peningkatan pembangunan nasional, malah• sistem hukum, rezim kebijakan, dan termasuk
an menjadi beban nasional. juga mekanisme akuntabilitas, kerangka peratur•
an, dan sistem monitoring yang menghubungkan
Kesalahan keempat adalah terletak pada
kesalahan evaluasi terhadap daerah-daerah 119
Merilee S. Grindle, (ed.). Getting Good Government: Capaci•
ty Building in the Public Sectors of Developing Countries.
pemekaran. Evaluasi yang dilakukan pemerintah
Boston: Harvard University Press, 1997.

46 47
lopmentfrom Concepts to Application. Beverly Hills-London:
informasi mengenai struktur dan kinerja pemerin• Sage Publications. 1972.
tah dan pejabat publik.
Pendekatan kedua merujuk pada pendapat
Esman120 yang menunjuk pada instituion building
(IB) melalui berbagai inovasi yang berdampak
pada perubahan kualitatif di dalam norma, pola
perilaku, hubungan individu dan kelompok, dan
dalam persepsi tujuan dan proses. Penekanan
utama dalam IB yang dikemukakan oleh Esman
terdapat di dalam dua hal. Pertama, menyangkut
penguatan berbagai variabel dalam institusi se•
perti leadership, doktrin, program, sumber daya,
dan struktur internal. Hal kedua menyangkut
penguatan hubungan (linkage), yaitu hubungan
interdependensi antara suatu institusi (pemerin•
tahan) dengan bagian relevan masyarakat.
Atas dasar kedua pendekatan tersebut, maka
penyelesaian persoalan governability yang lebih
aplikatif dapat dilakukan melalui beberapa hal.
Pertama, melakukan rekonseptualisasi faktor
pendorong territorial reform. Pemerintah harus
memikirkan ulang konsep territorial reform
di Indonesia. Apakah benar pemekaran paling
tepat? Atau apakah perlu mempertimbangkan
penggabungan daerah.
Kedua, perlu evaluasi yang komprehensif
terhadap kebijakan territorial reform yang telah
dilakukan. Evaluasi pemekaran daerah yang
dilakukan pemerintah cenderung hanya mencari
kelemahan daerah-daerah hasil pemekaran. Eva•
luasi yang sempit inipun memiliki banyak cacat
metodologi. Evaluasi terhadap daerah-daerah
pemekaran lebih banyak diukur dari kacamata
kuantitatif, dan tidak memperhatikan faktor
substantif demokrasi dan pemerintahan. Hasilnya
pasti akan mudah ditebak bahwa lokal tidak akan
mudah menerima hasil evaluasi itu.
Evaluasi semestinya tidak hanya diarahkan
untuk mencari daerah-daerah yang tidak mampu
melaksanakan otonomi daerah dari kacamata
pusat. Evaluasi semestinya juga diarahkan un•
tuk mencermati kembali strategi dasar (pilihan
optimum number atau size), faktor pendorong
(demokratisasi, pelayanan publik, efisiensi eko•
nomi, dan insentif), proses pembentukan (top-

120
Milton J. Esman. "The Elements oflnstitution Building,"
dalam Joseph W. Eaton (ed), Institution Building and Deve•

46 47
down/forced, bottom-up/voluntary, atau mixed), rintah tampak kesulitan untuk segera mengatasi
asistensi/fasilitasi masa transisi, dan waktu persoalan-persoalan di daerah pemekaran.
transisi daerah baru. Evaluasi yang
komprehensif akan memudahkan penentuan
kebijakan territo• rial reform yang strategis.
Ketiga, jika kebijakan penggabungan
daerah tidak benar-benar diimplementasikan
karena mengingat resistensi lokal, penguatan
kapasitas daerah tetap perlu dilakukan melalui
beberapa alternatif kebijakan. Alternatif
kebijakan terse• but antara lain adalah
pembinaan atau asistensi terhadap daerah baru
dan mendorong kerja sama antardaerah.

Kesimpula
n
Kebijakan pemekaran daerah di Indonesia pada
kenyataannya menimbulkan banyak kelemahan.
Kelemahan ini mencakup aspek politik, legal
(hukum), dan manajerial pemerintahan. Dapat
dikatakan bahwa kelemahan ini mengarah pada
persoalan governability di tingkat lokal.
Problem governability merupakan situasi
yang menunjuk pada pelemahan kapasitas
· institusi-institusi pemerintah (governing) dan
masyarakat (governed) dalam meningkatkan
pembangunan daerah. Maraknya bureaucratic
andpolitical rent seeking dan praktik korupsi di
tingkat lokal sebagai dampak pemekaran daerah
merupakan contoh indikator pelemahan pemerin•
tahan (birokrasi) dan demokrasi.
Persoalan governability di tingkat lokal
dise• babkan oleh beberapa kesalahan kebijakan
pem.e• karan daerah di Indonesia. Kesalahan
pertama terletak pada proses pembentukan
daerah baru yang cenderung didominasi oleh
kepentingan elite. Kesalahan kedua adalah
baik pemerintah pusat maupun daerah (induk
dan provinsi) tidak memperhatikan upaya
capacity building yang dilakukan oleh daerah
baru. Kesalahan ketiga adalah pemerintah
terlalu memanjakan daerah baru dan memberi
peluang bagi, daerah yang ingin mekar dengan
insentif. Kesalahan keempat adalah evaluasi
pemekaran daerah tidak dilaku• kan secara
komprehensif. Kesalahan kelima adalah
pemerintah tidak memiliki grand design
territorial reform yang strategis, sehingga peme•

46 47
r
Dalarn rangka mengatasi persoalan governa• Janin, Isabelle. 2007. "Govemability." Dalam Mark
bility sebagai dampak pemekaran daerah di Indo• Bevir (Ed.). Encyclopedia of Governance.
nesia, ada beberapa hal yang perlu dilakukan baik Thousand Oaks, London, and New Delhi:
SAGE Publication.
oleh pemerintah pusat maupun berbagai institusi
Kati, Francis. 2007. "Di Papua, Pemekaran Kabupaten
lokal. Pertama, pemerintah harus merumuskan
MerupakanlmpianParaKoruptor." (http://www.
kembali konsep territorial reform di Indonesia. kabarindonesia.com/berita.php Zpil= l 4&dn=
Kedua, baik pemerintah pusat maupun daerah 20070125171619), diakses 9 April 2010. Kooiman,
perlu melakukan evaluasi pemekaran daerah Jan (Ed.). 1994. Modern Governance: New
secara lebih komprehensif mencakup strategi Government-Society Interactions. London:
dasar, faktor pendorong, proses pembentukan, SAGE Publication.
kesiapan daerah, dan hasilnya. Ketiga, penguatan Mabuchi, Masaru. 2001. Municipal Amalgamation in
kapasitas daerah melalui peningkatan asistensi Japan. Washington: The World Bank.
bagi daerah baru dan kerja sama antardaerah Manor, James. 1999. The Political Economy ofDemo•
perlu segera diwujudkan. cratic Decentralization. Washington: The
World Bank.
Mawhood, Philip. 1983. "Decentralization: the Con•
Daftar Pustaka
cept and the Practice." Dalam Philip Maw•
Azfar, Omar, et all. 2004. "Decentralization, Gover• hood. Local Government in the Third World:
nance and Public Services: The Impact of Insti•
The Experience of Tropical Africa. Chicester,
tutional Arrangements." Dalam Mwangi S.
New York, Brisbane, Toronto, dan Singapore:
Kimenyi dan Patrick Meagher (Eds.). Devolu• John Wiley & Sons.
tion and Development: Governance Prospect in
Mayntz, Renate. 1994. "Governing Failures and the
Decentralizing States. Aldershot. Rants: Ashgate
Problem of Governability: Some Comments on
Publishing Limited.
a Theoretical Paradigm." Dalam Jan Kooiman
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappe• (Ed.). Modern Governance: New Govern•
nas) dan United Nation Development Program ment-Society Interactions. London: SAGE
(UNDP). 2008. "Studt Evaluasi Pemekaran Publication.
Daerah 2001-2007". (http://www.undp.or.id/
Montreal Economic Institute. 2001. "The Economic
pubs/docs/pemekaran_ID.pdj), diakses pada
Arguments against Municipal Mergers." Octo•
27 Januari 2010.
ber 2001. (http://www.iedm.org/uploaded/pdf/
Crozier, Michel J., Samuel P. Huntington, dan Joji fusions en.pdf), diakses 9 Januari 2010.
Watanuki. 1975. The Crisis of Democracy:
Pierre, Jon dan B. Guy Peters. 2005. Governing Com•
Report on the Governability of Democracies
plex Societies: Trajectories and Scenarios.
to the Trilateral Commission. New York: New
Hampshire and New York: Palgrave MacMil•
York University Press.
lan.
Esman, Milton J. 1972. "The Elements of Institution
Pusat Penelitian dan Pengembangan Otonomi Daerah.
Building" Dalam Joseph W. Eaton (Ed.). Insti•
2005. Sinopsis Penelitian: Efektivitas Peme•
tution Building and Development from Con•
karan Wilayah di Era Otonomi Daerah. Jakarta.
cepts to Application. Beverly Hills-London:
Badan Penelitian dan Pengembangan Departe•
Sage Publications.
men Dalam Negeri.
Ferrazzi, Gabriel. 2007. International Experiences in
Ratnawati, Tri (Ed.). 2009. Studi Tentang Peme•
Territorial Reform-Implicationsfor Indonesia.
karan Daerah: Pemetaan Problematika Poli•
Jakarta: DRSP-Usaid.
tik, Ekonomi dan Sosial Budaya di Daerah•
Grindle, Merilee S. (Ed.). 1997. Getting Good Govern• daerah Pemekaran Era Reformasi. Jakarta:
ment: Capacity Building in the Public Sectors LIPI Press.
ofDeveloping Countries. Boston: Harvard Uni•
Rondinelli, Dennis A. dan G. Shabbir Cheema. 1983.
versity Press.
"Implementing Decentralization Policies: An
Imawan, Riswandha. 2002. "Desentralisasi, Demo• Introduction." dalam G. Shabbir Cheema dan
kratisasi dan Pembentukan Good Governance." Dennis A. Rondinelli (eds). Decentralization
Dalam Syamsuddin Haris (Ed.). Desentralisa• and Development: Policy Implementation in
si, Demokratisasi, dan Akuntabilitas Pemerin• Developing Countries. California, New Delhi,
tahan Daerah. Jakarta: Asosiasi Ilmu Politik dan London: SAGE Publication.
Indonesia (AIPI).

48

Saito, Fuhimiko (Ed.). 2008. Decentralization and Lo• Tryatmoko, Mardyanto Wahyu. 2005. "Pemekaran
cal Governance. Heidelberg: Physica-Verlag. Wilayah dan Pertarungan Elite Lokal di Maluku
Shah, Anwar (Ed.). 2006. Local Governance in Deve• Utara." Masyarakat Indonesia, (1).
loping Countries. Washington: The World Vigoda-Gadot, Eran. 2009. Building Strong Nations:
Bank. Improving Governability and Public Manage•
Smith, B. C. 1985. Decentralization: The Territorial ment. Surrey and Burlington: Ashgate Publi•
Dimension of the State. London: George Allen shing Company.
& Unwin. Litbang Kompas. 2008. "Cita-cita yang Tidak selalu
Techera, Erika. 2007. "To Merge or Not To Merge: Berbuah Manis." Kompas, 21 Mei.
Local Government Amalgamations in Austra•
lia." Macquarie Law Working Paper. WP 2007-
4, Macquarie University, Sidney, September
2007

49
KORUPSI BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
DI ERA OTONOMI DAERAH

Kisno Hadi

Abstract

Todays big problem in Indonesian state enforcement and governmental system is corruption in both national
and local level. Corruption in public service bureaucracy can only be minimised if there is a hollistic and compre•
hensive understanding within dimension, network and background of corruption and some areas in public service
bureaucracy that are highly touched by corruption. Without this understanding, efforts ofcorruption elimination in
public service bureaucracy would be hard to achieve. In order to support the process of corruption elimination in
public service sector, the role ofpublic institutions that is built to control the execution ofpublic service institution
must be maximised, therefore.

Pendahuluan birokrasi pelayanan publik selama ini, kekuasaan


Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia be• dan kewenangannya yang luas adalah faktor yang
lakangan bagaikan membuka "kotak pandora". tak terbantahkan untuk menyebutnya sangat
Sebut saja, tatkala Mahkamah Konstitusi (MK) dekat dengan korupsi.122
pada 3 November 2009 membuka rekaman pem• Celakanya, korupsi tidak hanya terjadi dalam .
bicaraan Anggodo Widjoyo dengan sejumlah lembaga negara bernama birokrasi, melainkan su•
orang, menyebut beberapa nama pejabat penegak dah merambah ke segenap sektor kehidupan ma•
hukum untuk "berkonspirasi" membiarkan pe• syarakat Indonesia. Fenomena tersebut membuat
nyebaran penyakit ganas bernama korupsi. Akhir bangsa Indonesia memiliki citra sebagai bangsa
Maret 2010, Susno Duadji membuka praktik korup. Korupsi terjadi karena ada kongkalikong
kongkalikong pegawai pajak dengan aparat pene• antaroknum pejabat serta penyalahgunaan kekua•
gak hukum (polisi-jaksa-hakim) dalam rangka saan oleh aparat pemerintah. Dengan begitu,
mencuri uang pajak yang menjadi tulang pung• masalah besar dalam penyelenggaraan negara dan
gung pembiayaan negara. sistem pemerintahan Indonesia dewasa ini adalah
Lembaga birokrasi sebagai organ negara korupsi, baik di pusat maupun daerah.
yang menangani sektor pelayanan publik ditenga• Era reformasi 1998 dan kebijakan otonomi
rai banyak pihak menjadi sarang korupsi. Arbi daerah yang secara masif sejak tahun 1999
Sanit mengatakan bahwa pelaku birokrasi (biro• mendesentralisasikan pengelolaan aparat biro•
krat) mempunyai wewenang yang sangat besar, krasi kepada pemerintah daerah bukannya mem•
yang memunculkan dikotomi antara pembuat buat pelayanan publik di daerah menjadi lebih
kebijakan dan pelaksana kebijakan, sehingga baik dan berkualitas, melairikan justru semakin
birokrasi lebih mengedepankan sikap menguasai merumitkan proses pelayanan. Korupsi yang <lulu
daripada melayani masyarakat. Tatkala semua berada di pusat, korupsi juga ikut terdesentralisasi.
aspek kehidupan masyarakat ditangani oleh Di era otonomi daerah korupsi bisa berimplikasi
birokrasi, maka layanan birokrasi justru men•
jadi lahan subur bagi birokrat untuk melakukan 121
Membandingkan dengan pendapat Syed Hussein Alatas
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), sebab (1975) dan Richard Robison (1986) Comelis Lay mengatakan
sebuah gosip publik bahwa Departemen PU (kalau di daerah
pejabat politik yang mengisi birokrasi pemerin adalah Dinas PU) merupakan salah satu institusi publik yang
tah sangat dominan. 121 Jika melihat eksistensi rapuh terhadap korupsi. Kekuasaan dan kewenangan besar yang
dimilik.inya sejak Orde Baru adalah salah satu penyebabnya.
121
Tim Simpul Demokrasi. Reformasi Birokrasi dan Demokra• Lihat lebih jauh Comelis Lay. lnvolusi Politik: Esei-Esei Tran•
tisasi Kebijakan Publik. Malang: Averroes Press, 2006, him. sisi Indonesia. Yogyakarta: PLOD dan Fisipol UGM, 2006,
122. him. 227-249.

51 51
:!

fatal bagi segenap sektor kehidupan masyarakat untuk memberantas korupsi di sektor pelayanan
daerah. Korupsi terutama mengurangi jatah publik serta tindakan mal-administrasi lainnya,
anggaran bagi pelayanan masyarakat miskin di namun pelayanan publik yang baik dan berkuali•
daerah; anggaran pelayanan pendidikan, anggar• tas yang dapat memuaskan harapan masyarakat
an pembangunan infrastruktur, anggaran pelayan• tetap belum terwujud. Sistem penyelenggaraan
an kesehatan serta anggaran sektor-sektor yang pemerintahan yang diciptakan melalui beberapa
signifikan berkaitan dengan kepentingan dasar peraturan bahkan diawasi serta dikontrol oleh
masyarakat daerah. Korupsi juga menyebabkan peraturan tersebut belum berhasil mereorientasi
ekonomi biaya tinggi dalam pembangunan dan tradisi kinerja aparatur pemerintah agar bisa men•
pemerintahan, yang pada akhimya menjadi beban jadi pelayan yang memuaskan masyarakat. Tra•
masyarakat sebagai pengguna pelayanan publik. disi yang berlaku, yakni birokrasi yang digunakan
Masyarakat kemudian menanggung biaya ganda, untuk melayani kepentingan negara dan kepen•
berupa pembayaran legal dalam bentuk pajak, tingan pribadi birokrat ketimbang kepentingan
serta pembayaran ilegal dalam bentuk pungutan masyarakat temyata masih lestari.
dan sogokan. 123 Atas permasalahan tersebut di atas maka
Di sisi lain, bagi negara berkembang se• muncul pertanyaan yang hendak dijawab melalui
perti Indonesia terwujudnya good governance tulisan ini, yaitu pertama, mengapa hingga sejauh
adalah suatu keharusan yang mesti diupayakan. ini dalam tubuh birokrasi pelayanan publik rentan
Tuntutan tersebut menjadi penting karena jika terjadi korupsi? Dan kedua, kebijakan seperti apa
kondisi good governance dapat dicapai, maka yang dapat ditempuh untuk menanggulangi prak•
terwujudnya negara yang bersih dan responsif tik korupsi birokrasi pelayanan publik termak•
semaraknya masyarakat sipil, dan kehidupan sud? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada
bisnis yang bertanggung jawab niscaya tidak lagi beberapa hal yang hendak diurai dalam tulisan
hanya menjadi sebuah impian.124 ini, yakni 1) pengenalan dan pemahaman terha•
Secara normatif praktik korupsi merupakan dap dimensi danjaringan korupsi; 2) pengenalan
realitas mal-administrasi, di mana birokrasi men• dan pemahaman terhadap latar belakang terjadi•
jadi tidak terkendali dan pada akhimya organisasi nya korupsi; 3) pengenalan dan pemahaman areal
birokrasi sulit diukur pelayanannya.125 Meski su• dalam tubuh birokrasi pelayanan publik yang
dah banyak regulasi dan lembaga126 yang dibentuk rawan transaksi korupsi; dan keempat, usulan
format kebijakan untuk pemberantasan korupsi
123
Kalteng Pos, 14 April 2010. birokrasi pelayanan publik.
124
M. Arsyad Sanusi, Permasalahan Korupsi di Derah dan
Strategi Penanggulangannya (Makalah tidak dipublikasi).
125
Pembahasan
Adapun yang sering dijumpai dalam praktik mal-adminis•
trasi ialah: 1) perhatian pada yang salah; 2)tidak memberi Dimensi dan Jejaring Korupsi
kesempatan peran-serta; 3) sering terganggu desakan pilihan Bila ditinjau dari berbagai segi seperti legal
yang terpaksa; 4) memaksakan diri karena desakan waktu dan
stres; 5) terlalu banyak menggunakan intuisi dan penghakiman, perundang-undangan, kebijakan, dan institusi
6) mempraktikkan pengambilan keputusan dogmatis; 7) gagal
memberi perhatian pada nilai-nilai; 8) masalah dalam membuat aparatur dan pejabat negara, sejak tahun 2000 juga ada Keppres
estimasi; 9) gaga! menggunakan analisis; 10) masalah dalam No.44 tentang Lembaga Ombudsman guna melayani keluhan,
mengkomunikasikan hasil-hasil analisis; dan 11) melalaikan laporan atau informasi dari masyarakat atas keputusan, tindakan
etika. Berjalannya kompleksitas masalah dalam pengambilan atau perilaku penyelenggara pemerintahan di daerah, dalam
keputusan seperti yang terdapat dalam sebelas pain tersebut di memberikan pelayanan birokrasi yang dirasakan tidak adil,
atas akan mengakibatkan mal-administrasi yang tidak jarang diskriminatif. tidak patuh serta bertentangan dengan hukum.
menyeret birokrasi ke dalam dilema masalah yang berkepan• Di daerah, pemerintah daerah membentuk Badan Pengawas
jangan. Mal-administrasi ini sering berujung pada terjadinya Daerah (Banwasda) yang tujuannya juga untuk mengawasi
KKN yang merusak tatanan administrasi serta birokrasi secara dan mengontrol kinerja aparatur birokrasi di daerah. Sekarang
keseluruhan. Murtir Jeddawi. Reformasi Birokrasi, Kelembaga• melalui UU No.25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
an dan Pembinaan PNS. Yogyakarta: Kreasi Total Media, yang baru disahkan DPR-RI, keluar pula aturan sebagai asas
2008, him. 82-84. penyelenggaraan pelayanan publik yang menyentuh seluruh
kepentingan umum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan
126
Dalam birokrasi pelayanan publik baik di pusat maupun kewajiban, profesionalisme, partisipatif, persamaan perlakuan,
daerah, selain adanya UU No. 28 Tahun 1999. UU No. 20 keterbukaan, akuntabilitas, penyediaan fasilitas untuk kelompok
Tahun 2001, dan UU No. 30 Tahun 2002 yang tujuannya untuk rentan, ketepatan waktu dan asas kecepatan, kemudahan, dan
mengawasi dan mengontrol kinerja pelayanan publik oleh keterjangkauan.

52 52
:!',:;•·

untuk pemberantasan kornpsi, Indonesia telah pelaku swasta yang paling berkuasa. 130 Secara
memiliki kelengkapan yang relatif memadai un• lebih luas korupsi digarnbarkannya sebagai
tuk melakukan pemberantasan kornpsi secara penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan
sistematis, termasuk birokrasi di sektor pelayan• pribadi, dan ketiga dirnensi korupsi tersebut di
an publik. Indonesia telah memiliki TAP MPR atas terjadi tatkala ada hubungan pernberi-pene•
No. Xl/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan rima jasa di sektor publik, dan itu rnernbuka
Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi peluang untuk berkorupsi.131
dan Nepotisme (KKN) dan UU No. 28 Tahun Sernentara Robert Klitgaard rnemasukkan
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang pengertian korupsi ke dalam rnmus:
Bersih dan Bebas KKN. Dari ketentuan tersebut
lahir pula UU No.31 Tahun 1999 Jo. UU No. C=M+D-A
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Dari rurnus tersebut dapat dijelaskan bahwa:
Pidana Kornpsi, UU No. 30 Tahun 2002 tentang korupsi (C=Corruption) adalah fungsi dari rno•
Komisi Pemberantasan Kornpsi yang di beberapa nopoli (M=Monopoly) ditarnbah kewenangan
negara seperti Hongkong dan Singapura berha• (D=Discretion) dikurangi akuntabilitas (A=
sil mengikis korupsi dan menjadi ujung tombak Acuntabiliy). Jadi korupsi dapat terjadi apabila
gerakan pemberantasan korupsi. Di lain pihak ada monopoli kekuasaan di tengah ketidakjelasan
sudah ada beberapa peraturan pemerintah dengan aturan dan kewenangan, akan tetapi tidak ada rne•
operasional pemberantasan kornpsi. Jadi, secara kanisme akuntabilitas atau pertanggungjawaban
teoritis sebenamya hampir tidak ada alasan bagi kepada publik.132 Kernudian William J. Cham•
peningkatan dan perluasan praktik korupsi di bliss rnengernukakan bahwa dalam korupsi terli•
Indonesia. 127 bat banyak pihak yang disebutnya sebagai cabal
Rose-Ackermen mengkategorikan korupsi atau jejaring korupsi. Ia rnelihat bahwa korupsi
ke dalam tiga dimensi, yakni ekonomi, budaya, rnerupakan bagian integral dari setiap birokrasi
dan politik. Korupsi dalarn dimensi ekonomi yang bertemu dengan kepentingan segelintir
menurutnya berpangkal dari gejala yang salah pengusaha, penegak hukurn, dan politisi yang
dalam manajemen negara, di mana institusi-in• sulit dibongkar. Jejaring korupsi itu rnelibatkan
stitusi yang dirancang untuk mengatur hubungan para elite di pusat kekuasaan: pucuk pimpinan
antara negara dengan pendudukjustru digunakan eksekutif, elite partai politik, petinggi lernbaga
untuk memperkaya diri dan mendapat tambahan peradilan, dan kalangan bisnis. Korupsi rnerupa•
keuntungan bagi yang kornp. 128 Dalarn dirnensi kan bagian dari sistern itu sendiri, oleh karena
budaya, korupsi digarnbarkan sebagai tradisi itu bukan pekerjaan rnudah untuk rnernberantas
mernberi suap, hadiah/kado, harga, dan pernberi• korupsi karena aparat penegak hukurn sering
an, yang oleh orang lain disebut sebagai tindakan berada pada situasi yang dilernatis. Korupsi bu•
korup, namun bagi kebudayaan suatu masyarakat kanlah kejahatan di luar sistem, oleh karena itu
dianggap sebagai kebiasaan pemberian hadiah jejaring korupsi sangat sulit diterobos dari dalam
atau persenan yang wajar yang dibuat menjadi karena kolusi antara pengusaha dengan politisi
legal.129 Lalu dalarn dirnensi politik, korupsi dan aparat penegak hukurn. Jejaring korupsi
digambarkan sebagai perilaku korup para aktor juga sulit diterobos dari luar.karena aparat pene•
dalarn rnenjalani hubungan antara negara dengan gak hukurn dapat rnenyediakan penjahat kelas
sektor swasta. Kadang-kadang petugas negara teri yang siap dikorbankan untuk rnelindungi
yang rnenjadi pelaku dorninan; kadang-kadang pelaku sesungguhnya yang berada dalarnjejaring
tersebut. 133 •

127
Suharko. "Pemberantasan Korupsi, Menuju Grand Strategy 130 Ibid., him. 157.
Anti Korupsi untuk Indonesia". Jurnal Demokrasi, II (7)
31 Ibid., him. 127.
2005a. '

128
Susan Rose-Ackerman. Korupsi dan Pemerintahan: Sebab, m Robert Klitgaard. Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam
Akibat dan Reformasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006, Pemerintah Daerah. Jakarta: YOI. 2002.
him. 11. 133M. Syamsudin. "Korupsi dalam PersepektifHukum." Jurnal
129
Ibid., him. 153. Ilmu-Ilmu Sosial 30 (64), Juni 2007, him. 185-186.

53 53
Syed Husein Alatas, berdasarkan hasil pene• tingannya, korupsi seperti ini sering dilakukan
1
,,

litiannya di Asia, terutama di Malaysia dan Indo• oleh keluarga terdakwa yang tidak ingin terdak•
nesia menyebut tujuh kategori korupsi, yaitu 1) wa ditahan atau diproses lebih lanjut; 6) korupsi
korupsi transaktif, merupakan uang yang menun• otogenik, merupakan korupsi yang dilakukan
jukkan adanya kesepakatan timbal balik antara seorang diri karena mempunyai kesempatan un•
pihak yang memberi dan menerima keuntungan tuk memperoleh keuntungan dari sesuatu yang
bersama, kedua pihak sama-sama aktif dalam diketahuinya sendiri, panitera pengadilan kerap
menjalankan perbuatan tersebut; 2) korupsi peme• melakukan korupsi seperti ini dalam administrasi
rasan, merupakan jenis korupsi di mana pihak pendaftaran perkara, ketidakjelasan tarif pendaf•
pemberi dipaksa untuk menyuap demi mencegah taran membuatnya leluasa menentukan harga
kerugian yang mengancam dirinya, kepentingan• yang harus dibayar oleh pengacara; dan 7) ko•
nya, atau orang-orang dan hal-hal yang dihargai• rupsi dukungan, merupakan dukungan terhadap
nya, korupsi yang dilakukan oleh polisi lalu lintas korupsi yang ada atau penciptaan suasana yang
termasuk jenis korupsi pemerasan; 3) korupsi kondusif untuk dilakukannya korupsi, korupsi
investif, merupakan pemberian barang atau jasa ini dilakukan oleh elite di lembaga peradilan
tanpa ada pertalian langsung dengan keuntung• yang tidak mempunyai kemauan politik untuk
an tertentu, selain keuntungan yang diharapkan menindak tegas bawahannya.!"
akan diperoleh pada masa mendatang, bentuk Hasil penelitian Alatas tersebut di atas ber•
korupsi seperti ini dilakukan oleh yang mem• jasa dalam membuat tipologi korupsi yang umum
beri uang bulanan secara rutin kepada hakim, dikenal di mana-mana, yakni seperti dijelaskan
harapannya kelak ketika kasusnya masuk ke pada Tabel 1.
pengadilan, hakim yang telah digajinya langsung Dari penjelasan tersebut di atas jelas terlihat
menangani perkaranya; 4) korupsi perkerabatan bahwa korupsi adalah fenomena yang sangat
(nepotisme), merupakan penunjukan secara tidak kompleks, di mana korupsi terjadi karena ada
sah terhadap teman atau saudara untuk meme• relasi dan interaksi dalam kehidupan masyarakat
gang suatu jabatan, atau tindakan pengutamaan sehingga memunculkan "ruang-ruang" korupsi
dalam segala bentuk yang bertentangan dengan tersendiri secara spesifik. Korupsi juga terjadi
norma atau peraturan yang berlaku; 5) korupsi akibat besarnya monopoli kekuasan di sektor ter•
defensif, merupakan korupsi yang dilakukan oleh tentu ( terutama birokrasi) sementara mekanisme
korban pemerasan, dengan melakukan korupsi
ini orang yang diperas menyelamatkan kepen- 134
Ibid., hlm. 186.

Tabel 1. Tipologi Korupsi

No. Tipologi Penjelasan

1. Korupsi transaktif (transactive) Praktik korupsi yang dilakukan dalam konteks proses transaksi uang
antara pihak-pihak yang terlibat.
2. Korupsi yang memeras (extortive) Praktik korupsi yang dipaksakan kepada satu pihak yang biasanya disertai
ancaman terhadap kepentingan orang dan hal-hal yang dimilikinya.
3. Korupsi investif (investive) Praktik korupsi dalam konteks memberikan suatu jasa atau barang ter-
tentu kepada pihak lain demi keuntungan di masa depan
4. Korupsi perkerabatan (nepotistic) Praktik korupsi yang dilakukan dalam konteks hubungan kekerabatan dan
kekeluarga.
5. Korupsi defensive (defensive) Praktik korupsi dalam konteks pihak-pihak yang akan dirugikan terpaksa
ikut terlibat di dalamnya.
6. Korupsi otogenik (autogenic) Praktik korupsi yang dilakukan oleh seorang diri, tidak ada orang atau
pihak lain yang terlibat di dalamnya.
7. Korupsi suportif (supportive) Praktik korupsi dalam konteks dukungan terhadap penciptaan terjadinya
korupsi.

54 54
Sumber: Diadaptasi dari Syed Husein Alatas (Diarnbil dari M Syamsuddin, "Korupsi dalam Perspektif Hukum", Loe.Cit.,
him. 185-186)

55 55
135
Ignatius Ismanto. "Tinjauan Perkembangan Politik: Dinami•
pertanggungjawaban kewenangannya tidak ada,
ka Politik Menjelang Pemilu 2009". Jurnal Analisis CSJS, 37,
dan diperparah oleh ketidakjelasan peraturan. (2), 2008). him. 153-154.
Dalam kasus lain korupsi justru terjadi lebih
parah, yakni sudah merambah sistem politik
dan pemerintahan, di mana aparatur penegak
hukum juga terlibat korupsi di samping elite
politik dalam struktur eksekutif, legislatif, par• tai
politik, dan lain-lain. Korupsi bahkan juga sudah
merambah sektor kehidupan masyarakat sehari-
hari. Realitas dernikian memperlihatkan bahwa
korupsi sudah berjejaring sehingga sangat
menyulitkan untuk memberantasnya.
Data yang dihimpun dari berbagai sumber
seperti Transparansi Intemasional (Tl), Political
Economy and Risk Consultancy ((PERC), dan
Indonesia Corruption Watch (ICW) menun•
jukkan bahwa sejak reformasi 1998 Indonesia
terus-menerus masuk 10 besar negara terkorup
di dunia. Pada tahun 1998 Indonesia berada
di peringkat ke-6 negara terkorup setelah Ka•
merun, Paraguay, Honduras, Tanzania, dan
Nigeria. Tahun 1999 Indonesia berada di posisi
ke-3 setelah Kamerun dan Nigeria. Pada 2000
Indonesia berada di posisi ke-5 setelah Nigeria,
Yugoslavia, Ukraina,dan Azarbaijan. Setahun
berikutnya, Indonesia berada di peringkat ke-4
setelah Bangladesh, Nigeria, dan Uganda. Tahun
2003 Indonesia kembali menduduki urutan ke-6
dan tahun 2004 Indonesia berada di urutan ke-5
negara terkorup.
Bahkan TI menempatkan Indonesia dalam
kategori negara yang tidak banyak mengalami
perubahan dalam pemberantasan korupsi selama
10 tahun terakhir ini. Praktik korupsi tidak saja
berlangsung di kalangan lembaga pemerintahan,
tetapi juga di DPR dan bahkan lembaga penegak
hukum, seperti kepolisian, kehakiman, dan ke•
jaksaan. Di lembaga DPR korupsi terjadi seiring
dengan meningkatnya wewenang DPR, yaitu
mulai penyusunan UU, penyusunan anggaran
hingga dalam menjalankan pengawasan peme•
rintah. Kewenangan melakukan fit and proper
test dalam proses rekrutmen lembaga-lembaga
negara nondepartemen pun juga menjadi arena
yang rentan terhadap praktik-praktik korupsi.135

56 56
137
Sampai tahun 2008, seperti yang ditunjukkan Kedaulatan Rakyat, 18 November 2009.
oleh basil survei Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
yang dilakukan Transparency International Indo•
nesia (TII) memperlihatkan bahwa Indonesia ti•
dak lagi berada dalam kelompok negara terkorup.
Posisi Indonesia berada di urutan ke-126 dari 180
negara yang disurvei. IPK Indonesia tahun 2008
adalah 2,6 atau naik 0,3 dibanding tahun 2007.
Indonesia satu kelompok dengan negara Eritrea,
Guyana, Honduras, Libya, Mozambik, dan
Uganda dengan IPK 2,6. Sementara negara yang
menyandang sebagai terkorup adalah Somalia
(IPK 1), Myanmar (IPK 1,3), dan Irak (IPK 1,3).
Tiga negara terbersih adalah Denmark, Selan•
dia Baru, dan Swedia dengan IPK 9,3. Untuk
kawasan ASEAN peringkat Indonesia berada di
atas Filipina, tetapi berada di bawah Singapura,
Malaysia, Thailand, dan Vietnam. 136
Selanjutnya survei TII tahun 2009 memper•
lihatkan peningkatan IPK Indonesia, dari 2,6
tahun 2008 menjadi 2,8 tahun 2009 atau naik
0,2 dari tahun sebelumnya. Indonesia berada
di posisi 111 dari 180 negara yang disurvei,
dengan dernikian Indonesia mengalarni kenaikan
peringkat sebanyak 15 selama kurun waktu satu
tahun (2008-2009). Prestasi itu telah membawa
Indonesia berdekatan dengan prestasi negara•
negara yang juga gencar memerangi korupsi
seperti Mesir, Mali, Kiribata, Saotome, Principe,
Algeria, Djibouti, Kepulauan Solomon, dan
Togo. Di tingkat ASEAN, skor Indonesia ber•
ada di posisi ke-5, lebih rendah dari Singapura,
Brunei Damssalam, Malaysia, dan Thailand yang
masing-masing menduduki posisi 1 sampai 4, di
mana skor O adalah skor korupsi tertinggi dan
skor 10 adalah skor korupsi terendah.137
Artinya, komitmen pemerintah Indonesia
untuk membasrni korupsi sudah mulai tampak
hasilnya. Kendati begitu, korupsi yang sudah
berurat-berakar dalam kehidupan sehari-hari ma•
syarakat Indonesia dirasa masih terjadi di banyak
daerah. Korupsi malah dorninan dilakukan oleh
kalangan pejabat, di mana didapati ada banyak
mantan bupati, mantan gubemur, mantan anggota
DPRD dan mantan pejabat birokrasi di daerah
yang tersangkut pidana korupsi, di mana tindakm1
korupsi mereka lakukan saat memegang jabatan
tertentu di daerah.
136
Jeddawi,Op.Cil., him. 1-2.

57 57
Dengan begitu, faktor kemiskinan bukan
satu-satunya faktor yang menyebabkan korupsi
bertumbuh dan berkembang biak. Faktor meluas•
lembaga negara atau lembaga pemerintah pun
korupsi sangat mungkin terjadi.
Sesuatu pekerjaan dalam sektor pelayanan
'
ir

nya tingkat pengangguran, lemahnya pendidikan publik sangat rawan terjadi tindak korupsi yang
moral dan budi pekerti, ketimpangan akses terha• disebabkan banyak hal, misalnya kurangnya
dap sumber-sumber ekonorni, sosial, politik, dan gaji pegawai negeri, 138 kurangnya pemasukan
budaya adalah sumber-sumber yang subur untuk negara atau pendapatan daerah sehingga biaya
bertumbuhnya korupsi. Jadi, dimensi danjejaring penyelenggaraan pelayanan publik seperti mem•
korupsi sangat kompleks yang tidak saja menyen• beli alat tulis kantor (kertas, tinta, komputer, dll.)
tuh dimensi ekonorni, politik dan budaya, melain• dibebankan kepada publik atau masyarakat. Ma•
kan sudah menyentuh dimensi sosial seperti ke• syarakat yang tidak tahu-menahu karena ketidak•
rniskinan, ketiadaan akses dan ketidakberdayaan. berdayaan memprotes sebagai akibat minimnya
Penduduk desa bisa saja melakukan "korupsi pengetahuan, meski dengan berat hati tetap saja
terpaksa" karena ketidakberdayaannya menolak membayar selembar KTP dengan harga mahal,
desakan sebagai akibat ketidakmampuannya padahal dana untuk itu sudah dianggarkan oleh
berbuat sesuatu untuk membela kepentingannya, pemerintah. Tabel 2 menjelaskan tiga wilayah
misalnya ketidakmampuan mereka mengakses penyebab korupsi.
kantor polisi untuk melaporkan pemerasan oleh
seorang aparat desa saat membuat KTP atau akta Korupsi dalam Konteks Governance
tanah. Ketidakmampuan itu karena faktor jauh• dan Kendala Pemberantasannya'"
nya j arak desa ke kota kecamatan dan rninimnya Hasil penelitian Bozz-Allen dan Hamilton mem•
sarana transportasi serta komunikasi. Korupsi perlihatkan bahwa Indonesia sampai tahun 1999
dengan dernikian bisa terjadi karena persoalan menduduki posisi paling parah dalam hal indeks
geografis yang sama sekali terlepas dari dimensi good governance, indeks korupsi, dan indeks
ekonorni, politik, dan budaya seperti yang dikate• efisiensi peradilan dibandingkan dengan be•
gorikan Rose-Ackermen. berapa negara Asia Tenggara Iainnya."" Indeks
Mengenali dan memahami korupsi di
Indonesia dalam dimensi ruang, waktu, dan 138
Bukankah pegawai Ditjen Pajak yang menelikung duit pajak
adalah pegawai yang penghasilannya mendapat remunerasi.
faktor-faktor individu serta kelembagaan tetap
Perlu diingat bahwa Departemen Keuangan yang membawahi
perlu, namun sisi-sisi lain seperti faktor sosial, Ditjen Pajak adalah satu-satunya departemen di Indonesia yang
geografis dan juga kelembagaan politik tetap melaksanakan program remunerasi bagi para pegawainya,
sehingga secara teoritis kecil sekali kemungkinan pegawai
menjadi kemutlakan, karena persoalan penduduk Depkeu melakukan korupsi. Tapi temyata hipotesa tersebut
Indonesia yang kompleks dengan berbagai latar terpatahkan dengan terungkapnya kasus penggelapan pajak
belakang kepentingan dan alasan sangat berpon• oleh Gayus Tambunan.
tensi menjadi lahan subur tumbuhnya korupsi. 139
Subbab bagian ini dikutip dan diadaptasi dari M. Arsyad
Sanusi, Permasalahan Korupsi di Daerah dan Strategi Penang•
Faktor-faktor yang menyebabkan korupsi terse•
gulangannya (Makalah tidak dipublikasi).
but bahkan tidak saja terjadi di lingkungan ma•
140
Dikutip dari Alexander Irwan. "Clean Government dan
syarakat sebagai pihak ekstemal lembaga negara Budaya Bisnis Asia". Dalam Jurnal Reformasi Ekonomi, 1 ( 1 ),
atau lembaga pemerintahan, di dalam internal Januari-Maret 2000, hlm. 56-63.

Korupsi
< Dimensi � Ekonomi, Budaya, Politik, Sosial, Tata Ruang (Geografis),

Jejaring � (1) Dalam sistem: eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga


penyelenggara negara lainnya.
(2) Luar sistem: partai politik, swasta (pengusaha), masyarakat umum.

Bagan 1. Dimensi dan Jejaring Korupsi

56 58
Rf;'"
!!''''"'
r

Tabel 2. Wilayah Penyebab Korupsi

No. Wilayah Penyebab Penjelasan


1. Wilayah lndividu Dikenal sebagai aspek manusia yang menyangkut moralitas personal serta kondisi
situasional seperti peluang terjadinya korupsi, termasuk di dalamnya adalah faktor
kemiskinan.
2. Wilayah Sistem Dikenal sebagai aspek institusi/administrasi. Korupsi dianggap sebagai konsekuensi
dari kerja sistem yang tidak efektif. Mekanisme kontrol yang lemah dan kerapuhan
sebuah sistem memberi peluang terjadinya korupsi.

3. Wilayah lrisan Dikenal sebagai korupsi antara individu dan sistem, dengan aspek sosial budaya
yang meliputi hubungan antara politisi, unsur pemerintah dan organisasi non
pemerintah. Selain itu meliputi juga kultur masyarakat yang cenderung permisif
dan kurang perduli dengan hal-hal yang tidak terpuji. Di samping itu juga akibat
terjadinya pergeseran nilai, logika sosial dan ekonomi yang ada dalam masyarakat.

Somber: Boni Hargen (Diambil dari www.bpkp.go.id)


good governance Indonesia hanya sebesar 2,88, putusan perkara, perkara cepat terselesaikanjika
jauh lebih rendah dibandingkan dengan Singa• menyodorkan sejumlah uang sogokan. Dari sisi
pura (8,93), Malaysia (7,72), Thailand (4,89), birokrasi, terdapat pula kecenderungan bahwa
dan Filipina (3,47).141 Temuan tersebut didukung masyarakat enggan untuk berhadapan dengan
studi Huther dan Shah yang meyatakan bahwa birokrasi. Masyarakat yang ingin mendapatkan
Indonesia termasuk dalam kategori negara poor pelayananjustru memperoleh kesulitanjika ber•
governance (Tabel 3). hadapan dengan birokrasi. Kerap kali pelayanan

Tabel 3. Kondisi Good Governance di Asia Tenggara, 1999

lndeks Efisiensi lndeks Good Kategori Kualitas


Negara lndeks Korup si
Peradilan Governance Governance
Malaysia 9,00 7,38 7,72 Baik
Singapura 10,00 8,22 8,93 Baik
Thailand 3,25 5,18 4,89 Cukup Baik
Philipina 4,75 7,92 3,47 Cukup Baik
Indonesia 2,50 2,15 2,88 Buruk
Somber: Ruther dan Shah (Ruther dan Shah dalam M. Arsyad Sanusi (Makalah, Op.Cit.)
Studi Huther dan Shah tersebut melihat terselesaikan dalam waktu beberapa hari yang
kualitas good governance dengan cara meng• seharusnya bisa terselesaikan dalam hitungan
hitung besarnya government quality index di jam. Akhimya, proses birokrasi yang panjang
masing-masing negara yang menjadi sampel, dan tidak efisien menyebabkan masyarakat
di antaranya indeks efisiensi peradilan, indeks mencari jalan pintas dengan memberikan suap,
korupsi dan indeks good governance. 142 Realitas maksudnya agar pelayanan yang diterima cepat
tersebut memperlihatkan bahwa secara objektif terselesaikan.
harus diakui kualitas governance di Indonesia Korupsi juga telah berkembang dan meng•
masih jauh dari kategori good governance. Dari akar di lembaga pemerintahan, lembaga per•
indikator efisiensi peradilan dan efisiensi birokra• wakilan rakyat (DPR dan DPRD), bahkan di
si, misalnya, keduanya masih jauh dari harapan dalam lembaga peradilan sendiri. Kepolisian, ke•
karena sangat rentan dengan semangat korupsi. jaksaan dan lembaga peradilan yang seharusnya
Sering kali terdengar pencari keadilan hams menjadi ujung tombak bagi upaya pemberantasan
berlama-lama menunggu proses penyelesaian korupsi justru sebagai institusi-institusi publik
yang paling korup dan paling banyak melakukan
141
Indeks ini menunjukkan bahwa semakin rendah angka indeks penyalahgunaan wewenang.143 Dengan kata lain,
suatu negara maka tingkat good governance-nya pun semakin
buruk, dan sebaliknya. 143
Lihat, HS Dillon, Partnership for Government Reform:
142 Ibid. Facilitating Government Reform in the Indonesian Judiciary

56 59
Maret 2004.

korupsi telah merajalela terutama di kalangan


birokrasi pada institusi publik atau lembaga peme•
rintah, baik departemen maupun nondepartemen.
HS. Dillon, misalnya, mengatakan bahwa jaksa
merupakan aparat penegak hukum yang paling
banyak menerima suap (51,8%), disusul oleh
hakim (46,2 % ), aparat-aparat lain dari kantor
kejaksaan (38,8%), panitera (23,1 %), pengacara
(7,7%), polisi (7,7%), dan aparat-aparat penegak
hukum lainnya (2,6% ).144
Sementara berkaitan dengan kendala dalam
pemberantasan korupsi, United Nations Office
on Drugs and Crime (UNODC) (Kantor PBB
Untuk M;salah Obat-Obatan Terlarang dan Tin•
dak Kejahatan) mengemukakan bahwa setidak•
tidaknya ada empat kendala atau "berita buruk"
(bad news) bagi upaya pemberantasan korupsi
di dunia, termasuk juga di Indonesia dan daerah•
daerah.!" Berita burukpertama: kurangnya dana
yang diinvestasikan pemerintah untuk program
pemberantasan korupsi. Hal ini mengindikasikan
rendahnya komitmen pemerintah terhadap upaya
pemberantasan korupsi dan selama ini pemberan•
tasan korupsi belum menjadi prioritas utama
kebijakan pemerintah. Realitas ini mencerminkan
masih lemahnya political will pemerintah bagi
upaya pemberantasan korupsi.
Berita buruk kedua: kurangnya bantuan yang
diberikan oleh negara-negara donor bagi program
pemberantasan korupsi. Minimnya bantuan luar
negeri ini merupakan cerminan rendahnya tingkat
kepercayaan negara-negara donor terhadap
komitmen dan keseriusan pemerintah di setiap
negara (termasuk Indonesia) dalam melakukan
pemberantasan korupsi. Berita buruk ketiga: ku•
rangnya pengetahuan dan pengalaman aparat pe•
negak hukum dalam memberantas korupsi. Dan,
berita buruk keempat: rendahnya insentif dan gaji
para pejabat publik. Insentif dan gaji yang ren-

and Public Prosecution, makalah disampaikan dalam Seminar


Nasional "Menuju Good Governance dan Clean Government
Melalui Peningkatan Integritas Sektor Publik dan Swasta
(Dalam Semangat Konvensi PBB Menentang Korupsi), Jakarta,
14-15 September 2004.
144
Ibid.
45
t Pernyataan Petter Langseth (Program Manager of Global
Program Against Corruption, UNODC) sebagaimana dikemu•
kakan dalam sebuah seminar yang diselenggarakan di Jakarta
atas kerja sama dengan Departemen Kehakiman dan HAM
serta Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tanggal 24

58 60
r
undangan, baik dari aspek isi maupun aspek
teknik pelaksanaannya, sehingga memungkinkan
terjadinya ketimpangan dalam pemberantasan
r kornpsi. Di antara kelemahan-kelemahan tersebut
dah ini berpotensi mengancam adalah: 1) tidak jelasnya pembagiankewenangan
profesionalisme, kapabilitas, dan antara jaksa, polisi dan KPK dan tidak adanya
independensi hakim serta aparat prinsip pembuktian terbalik dalam kasus ko•
penegak hukum lainnya, termasuk dalam rupsi; 2) lemah dan tidak jelasnya mekanisme
konteks pemberantasan tindak pidana perlindungan saksi sehingga seseorang yang
korupsi. dianggap mengetahui ada penyelewengan di
bidang keuangan tidak bersedia untuk dijadikan
Selain dari keempat "berita buruk"
saksi/memberikan kesaksian.
tersebut di atas, realitas penyakit korupsi
di Indonesia ber• tambah parah karena
terjadinya perdebatan tiada henti tentang
posisi dan kedudukan hukum dari
kebijakan-kebijakan publik yang
dilaksanakan pejabat negara. Beberapa
pihak berpendapat bahwa kebijakan-
kebijakan publik yang dilak• sanakan
pejabat negara dapat disentuh oleh
hukum pidana sehingga pejabat negara
yang korup dapat digugat, baik secara
hukum pidana maupun perdata.
Sementara beberapa pihak lain
berpendapat bahwa kebijakan-
kebijakan publik yang dilaksanakan
oleh pejabat negara tidak tersentuh
oleh hukum sehingga pejabat• pejabat
negara yang korup tidak dapat digugat,
baik secara hukum pidana maupun
perdata. Ada juga beberapa pihak lainnya
berpendapat bahwa hukum administrasi
negara merupakan satu-satu• nya
perangkat hukum yang dapat
menyentuh kebijakan-kebijakan publik
yang dilaksanakan oleh para pejabat
negara.
Namun, hingga sejauh ini perdebatan
menge• nai permasalahan tersebut
cenderung berlarut• larut tanpa dapat
memberikan solusi yang efektif bagi
upaya pemberantasan korupsi di
Indonesia. Di luar masalah tersebut, ada
pula beberapa hal lain yang turut
menghambat atau menjadi kendala bagi
upaya pemberantasan korupsi di
daerah. Kendala pertama, berkaitan
dengan peraturan perundang-
undangan. Peraturan perundang•
undangan yang rnenyangkut upaya
pemberantasan korupsi mempunyai
beberapa kelemahan yang terletak pada
substansi peraturan perundang•

58 61
2007, hlm. 131.
Kendala kedua, berkaitan dengan kurang•
nya transparansi lembaga eksekutif dan legis•
latif terhadap berbagai penyimpangan dalam
pengelolaan keuangan negara. Mekanisme
pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat eksekutif
dan legislatif juga terkesan sangat birokratis, ter•
utama apabila menyangkut izin pemeriksaan ter•
hadap pejabat-pejabat yang terindikasi korupsi.
Kendala ketiga, terkait dengan integritas moral
aparat penegak hukum serta ketersediaan sarana
dan prasarana penunjang keberhasilan mereka
dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi.
Hambatan keempat, menyangkut masalah kultur
atau budaya, di mana sebagian masyarakat telah
memandang korupsi (KKN umumnya) sebagai
sesuatu yang lazim dipraktikkan secara turun•
temurun, di samping masih semakin hilangnya
budaya malu.

Birokrasi Pelayanan Publik


Birokrasi pelayanan publik adalah lembaga
pemerintah yang sehari-hari selalu bersentuhan
dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat.
Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan
kewajiban pokok pemerintah (birokrasi negara)
untuk menyediakan dan menyelenggarakannya.
Dalam kegiatan berpemerintahan sehari-hari
yang diutamakan adalah pelayanan sehingga
pelayanan merupakan hal penting yang mesti
menjadi perhatian serius setiap lembaga birokrasi
pemerintah. Senada seperti dikatakan Ryass
Rasyid bahwa prinsip kegiatan berpemerintahan
dilakukan tidak lain karena merujuk kepada misi
pemerintahan itu sendiri, yakni pelayanan, pem•
berdayaan, dan pembangunan. 146 Artinya setelah
misi pelayanan membuahkan hasil maksimal,
maka dengan sendirinya misi pemberdayaan dan
pembangunan akan tercapai.
Adapun jenis-jenis pelayanan publik yang
umum diselenggarakan oleh lembaga birokrasi
pemerintah di daerah-daerah di Indonesia ialah:
1) pelayanan pembuatan KTP; 2) pelayanan
pembuatan Kartu Keluarga (KK); 3) pembuatan
pengantar Akte Kelahiran; 4) pembuatan Akta
Catatan Sipil; 5) SPT (Surat Pemyataan Tanah); 6)
pembuatan Akte Jual Beli Tanah; 7) pembuatan

146
Ryass Rasyid. Malena Pemerintahan: Tinjauan dari Segi
Etika dan Kepemimpinan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,

58 62
Surat Keterangan Mutasi Penduduk; 8) Pem•
buatan Rekomendasi Izin Mendirikan Bangunan
(IMB). 9) Keterangan Kepegawaian: 10) Surat
Keterangan Berkelakuan Baik; 11) Rekomendasi
Usaha: 12) keterangan lain-lain.
Hanya organisasi pemerintah atau birokrasi
negaralah yang boleh menyelenggarakan pelayan•
an publik tersebut, dan kalaupun dilaksanakan
oleh pihak swasta, harus mendapat izin dari
lembaga pemerintah terkait. Ketentuan tersebut
dapat dilihat misalnya dalam azas-azas pelayanan
publik yang termuat di dalam Surat Keputusan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
(SK. Menpan) No. 81 Tahun 1993 tentang "Pedo•
man Tatalaksana Pelayanan Umum". Pelayanan
umum atau pelayanan masyarakat di sini harus
merupakan suatu rangkaian kegiatan terpadu
yang mengandung sifat: "sederhana, terbuka,
lancar, tepat, lengkap, wajar, dan terjangkau".
Pelayanan masyarakat menurut SK Menpan
tersebut harus memiliki sendi-sendi tata laksana
pelayanan masyarakat, yakni "kesederhanaan,
kejelasan dan kepastian, keamanan, keterbukaan,
. efisien, ekonomis, keadilan yang merata, dan
ketepatan waktu".
Kemudian berdasarkan UU Kepegawaian
Negara No. 43/1999, dikatakan bahwa kepega•
waian dapat digolongkan ke dalam tiga jenis,
yakni pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI,
dan anggota Polri. Untuk PNS dibagi menjadi
dua, yaitu PNS Pusat dan PNS Daerah. UU
tersebut juga memberi kewenangan lebih besar
kepada pemerintah daerah untuk mengelola sen•
diri pegawainya serta pelayanan yang dibutuhkan
oleh masyarakat di daerah bersangkutan. Kebi•
jakan ini mengarah kepada separate personnel
systemfor each local authority. Pemerintah pusat
hanya menetapkan norma, standar dan prosedur
mengenai pengangkatan, pemindahan, pember•
hentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, ke•
sejahteraan, hak dan kewajiban, pelayanan, serta
kedudukan hukum baik bagi pegawai pusat mau•
pun pegawai daerah. Karena sektor pelayanan
publik hanya dapat dilaksanakan -oleh aparatur
pemerintah, maka secara lebih luas pelayanan
publik adalah pelayanan yang dilaksanakan oleh
aparatur pemerintah secara keseluruhan, yakni
PNS (Daerah dan Pusat), Polri, dan TNI.

58 63
Kepemerintahan: Kemitraan, Partisipasi, dan Pelayanan Publik
Yogyakarta: S2 PLOD UGM. 2007, hlm. 186.

Hingga sejauh ini, umum diketahui bahwa


areal yang paling banyak bersentuhan dengan
kepentingan dan kebutuhan publik adalah areal di
mana aparatur pegawai negeri sipil bekerja se•
hingga lembaga birokrasi sipil seperti kelurahan,
kecamatan, dan kabupaten adalah lembaga
birokrasi yang paling banyak melaksanakan pe•
layanan publik. Adapun ciri-ciri pokok pelayanan
publik tersebut ialah:
1. Pelayartan untuk pure public goods (barang
danjasa utama/murni) seperti pertahanan-ke•
amanan dan perlindungan lingkungan hidup.
Pelayanan jenis ini diselenggarakan oleh
pemerintah dan tidak dapat dialihkan kepada
organisasi swasta dengan mekanisme pasar.
2. Penyediaan pelayanan publik untuk barang
ataupunjasa yang mengandung eksternalitas
positif dan menguntungkan masyarakat secara
keseluruhan, dan bukan anggota masyarakat
secara individual juga lebih tepat diseleng•
garakan oleh pemerintah. Misalnya, imunisasi
anak untuk penyakit menular, akan memberi
manfaat secara keseluruhan terhadap anak•
anak yang lain, karena penyebaran penyakit
tersebut dapat dihambat.
3. Kegiatan pelayanan publik yang bersifat mo•
nopoli seperti penyediaan air, dan pelayanan
infrastruktur lain akan lebih efisien diseleng•
garakan oleh organisasi tunggal (singlefirm).
Oleh karena itu, organisasi swasta sering kali
kurang tepat sebagai penyelenggara kegiatan
seperti ini.147
Dari segi prinsip bekerjanya, prinsip-prin•
sip pelayanan publik di Indonesia mencakup
beberapa hal, yaitu:
1. Pemerintah bertugas melayani:
• Birokrasi berusaha meningkatkan keteram•
pilan terutama untuk menghadapi globali•
sasi.
• Birokrasi tanggap dengan kebutuhan ma•
syarakat.
• Birokrasi dan kebijakannya bersifat trans•
paran.
2. Masyarakat adalah kelompok yang dilayani
pemerintah:

147
Bambang Purwoko. "Mengelola Pengentasan Kerniskinan"
dalam Pratikno (Ed.). Mengelola Dinamika Politik dan Jejaring

64
60
1. terdapat kejelasan antara hak dan kewajiban


t
Meningkatkan kesadaran berpolitik masya•
1 pemberi dan penerima pelayanan;
2. pengaturan pelayanan publik disesuaikan
dengan kondisi kebutuhan masyarakat setem•
pat;


rakat melalui pendidikan dalam arti luas.
Masyarakat dibiasakan untuk memahami
i
148
Jbid., hlm. 189-190.
I
kebutuhannya sendiri dan bagaimana mem•
perjuangkannya.
• Meningkatkan partisipasi masyarakat me•
lalui pengelolaan kebutuhannya.
3. Kebijaksanaan menjadi landasan
pelayanan publik:
• Pemahaman terhadap visi, misi dan
strategi organisasi.
• Menyesuaikan dengan tingkat-tingkat ke•
bijaksanaan.
• Mengikuti tahapan-tahapan
penyusunan kebij aksanaan.
• Melakukan analisis dan evaluasi kebijak•
sanaan.
4. Peralatan dan sarana pelayanan
menjadi alat bantu pelayanan:
• Menyediakan sarana yang sesuai
dengan beban yang akan datang.
• Menyediakan sarana yang
mendukung pelayanan
masyarakat.
5. Sumber daya yang tersedia dikelola sedemiki•
an rupa dalam bentuk kegiatan pelayanan:
• Menghilangkan atau mengurangi
risiko yang muncul dari pelayanan
yang akan diberikan.
• Memanfaatkan sumberdaya yang ada se•
maksimal mungkin.
• Menggabungkan dana dan
sumberdaya menjadi lebih
bermanfaat melalui proses
sinergisme.
6. Pelayanan dilakukan secara
berkualitas, yang memuaskan
masyarakat, yang sesuai dengan
standar dan asas-asas pelayanan
masyarakat.
7. Manajemen dan kepemimpinan
menjadi unsur pokok internal dalam
organisasi pe• layanan.!"

Dalam konteks ini pelayanan


publik yang baik harus mencakup:

65
60
Tabel 4. Perbedaan Azas Pelayanan Publik dan Pelayanan Swasta
No. Pelayanan Publik Pelayanan Swasta

l. Berdasarkan regulasi pemerintah. Berdasarkan keputusan rapat pemegang saham atau


dewan komisaris/direksi.

2. Memerlukan manajemen ekonomi secara nasional. Berdasarkan sinyal/harga pasar, misalnya tingkat harga
saham/uang dunia.

3. Keputusan pemerintah relatif terbuka; menekankan Keputusan relatif terbatas pad a organisasi yang bersang-
pada keterwakilan. kutan.

4. Memerlukan stakeholders yang lebih luas. Penekanan pada shareholders dan manajemen.

5. Memiliki nilai dan tujuan yang beragam: a) pelayanan; Memiliki nilai dan tujuan yang relatif terbatas.
b) kepentingan publik; c) pemerataan; d) profesionalisme;
e) partisipasi masyarakat; f) tukar-imbang (tarde-off)
yang lebih kompleks.

6. Sumber pokok berdasarkan pajak. Sumber daya pokok berdasarkan keuntungan


perusahaan dan pinjaman.

7. Akuntabilitas publik yang luas. Akuntabilitas publik yang terbatas.

8. Bertanggung jawab pada kekuasaan politik dan Tidak bergantung kepada kekuasaan politik, dan relatif
berdasarkan kerangka waktu. tidak berdasarkan kerangka waktu.
9. Memiliki tujuan-tujuan sosial. Tujuan pokoknya meraih keuntungan.

10. lndikator kinerjanya lebih kompleks dan sarat Berdasarkan ukuran-ukuran kuantitatif-ekonomis.
dengan debat.

11. lmplementasi kebijakannya lebih kompleks. lmplementasi kebijakan lebih sederhana.

Somber: Purwoko dkk.'

I
Ibid., him. 188.
3. kualitas proses dan hasil pelayanan memberi• dengan prinsip berdagang, di mana pelanggan
kan keamanan, kenyamanan, kelancaran, dan atau konsumen akan selalu datang ke toko yang
kepastian hukum; sama apabila pelayanan yang diberikan oleh
4. apabila pelayanan publik dirasakan mahal, pedagangnya berkualitas, tidak berbelit serta
harus ada peluang bagi masyarakat untuk me• dengan harga murah. Tampaknya, dalam hal
nyelenggarakan sistem pelayanan sendiri.149 menarik hati masyarakat agar mau mengakses
pelayanan publik, birokrasi pemerintah mesti
Hal utama yang dikerjakan dalam penye• belajar dari pedagang.
lenggaraan pelayanan publik adalah rnemper•
hatikan kepuasan masyarakat yang dilayani, Korupsi dalam Tubuh Birokrasi di Daerah
seperti filosofi pedagang yang menempatkan Di masa Orde Baru kebanyakan ilmuwan
"pembeli sebagai raja". Erat sekali kaitannya meyakini bahwa akselerasi pertumbuhan eko•
antara kepuasaan pelayanan yang diterima nomi terutama dalam -korrteks pertumbuhan
dengan kemauan masyarakat untuk mengakses industrialisasi tidak cocok dengan demokrasi.
pelayanan tersebut secara berkelanjutan. Misal• Robert Wade mengatakan bahwa penyebab utama
nya dari waktu ke waktu masyarakat tidak akan prestasi pembangunan terutama pembangunan
malas mengurus KTP, mengurus Sertifikat ekonomi di kawasan Asia Timur, termasuk
Tanah atau juga mengurus Akta Kelahiran Anak Indonesia adalah karena birokrasi negara yang
apabila proses pelayanan dalam mengaksesnya intervensionis, bukan birokrasi yang policy•
memuaskan masyarakat, sebaliknya masyarakat massif. Suatu negara yang intervensionis pasti
akan malas untuk sekadar memiliki KTP bila otoriter dan korporatis. Oleh sebab itu, mema•
pelayanan yang diberikan sangat buruk. Sama hami birokrasi tidak cukup hanya dari kerangka
teknis-administratif, tetapi juga dilihat sebagai
149
lbid., him. 185-186.

66
60
l
Baru". Prisma, 25 (8) 1996, him. 26.

organ negara yang mengabdi pada kapitalisme.


Dalam kerangka ini, birokrasi bisa dipahami
sebagai aparat negara penyelenggara teknis-ad•
ministratif, perencana dan pelaksana kebijakan,
mendominasi kehidupan politik, dan tidak netral
dari kekuatan politik tertentu. Di banyak negara
dunia ketiga, birokrasi adalah pemegang inisiatif
dan perencana pembangunan, manajer produksi
dan distribusi output-nya, serta konsumen ter•
besar hasil-hasil pembangunan, maka birokrasi
adalah kekuatan yang omnipotent, baik secara
administratif, ekonomi, dan politik.""
Tidak mengherankan karena dominannya
kekuatan serta kekuasaan birokrasi, sektor
pelayanan publik yang menjadi ujung tombak
aktivitas lembaga birokrasi adalah sektor yang
tidak pernah steril dari perilaku korupsi. Dengan
kewenangan yang dimilikinya, birokrasi bisa
memaksa orang lain entah masyarakat maupun
pengusaha secara individu atau kelembagaan
untuk terlibat dalam tindakan koruptif.
Dalam kalangan masyarakat tradisional
Jawa, misalnya, dikenal istilah "talang bocor"
yang membuat air hujan yangjatuh tidak semua•
nya dapat dialirkan ke dalam penampungan,
melainkan jatuh tidak beraturan menembus lu•
bang-lubang yang ada. Filosofi "talang bocor"
ini tampaknya linier untuk menggambarkan
betapa dana-dana program pembangunan tidak
utuh dialirkan kepada objek yang membutuhkan,
melainkan mengalami kebocoran di sana-sini.
Kebocoran itu entah mengalir ke mana, yangjelas
bukan mengalir kepada masyarakat miskin yang
membutuhkan. Kondisi tersebut memperlihatkan
betapa penyelenggaraan pelayanan publik oleh
aparat birokrasi dilakukan untuk mengabdi ke•
pada kepentingan diri aparat birokrasi itu sendiri
serta segelintir elite di dalamnya, bukan untuk
kepentingan masyarakat.
Di banyak daerah pedalaman Kalimantan
Tengah, misalnya, untuk kepengurusan selembar
KTP kerap kali masyarakat dibebankan pem•
bayaran uang administrasi sebesar Rp10.000-
Rp20.000, yang penggunaanya tidak dijelaskan
secara transparan pada saat mengurus IMB (izin
mendirikan bangunan), jangan berharap banyak
akan cepat selesai bila hanya mengandalkan

150 Sutoro Eko. "Birokrasi, Modernisasi dan Kapitalisme Orde

62 63
dispenda, pos-pos desa, polisi sungai, polisi
pelabuhan, dan angkatan laut mengelola pos-pos
itu untuk me• mungut "pajak" atas kayu-kayu
yang lewat152 ke
!
persyaratan mengisi formulir,
melainkan ha• 151
Beberapa kasus dalam paragrap ini adalah bagian dari peneli•
ms disertai penyodoran sejumlah uang tian penulis di Kalimantan Tengah sejak tahun 2004, terutama di
kepada aparat yang mengurusnya saat beberapa kabupaten pemekaran. Saat kasus ini disajikan dalam
mengurus izin menyelenggarakan acara tulisan ini, penelitian masih berlangsung.
152 John F. McCarthy. "Dijual Ke Hilir: Merundingkan Kembali
keramaian atau untuk mengumpulkan
Kekuasaan Publik Atas Alam di Kalimantan Tengah." Dalam
orang banyak dalam rangka
Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (Ed.). Politik
menyelenggarakan upacara adat, Lokal di Indonesia Jakarta: YOI dan KITLV, 2007, him. 207.
sebuah kelu• arga dalam komunitas
masyarakat adat Dayak mesti
menyodorkan sejumlah "uang pelicin"
agar proses izin oleh pemerintah
kecamatan dan kepolisian bisa cepat
keluar. Bila tidak, jangan harap surat
izin cepat keluar, dan bila sebuah
upacara adat tetap dilaksanakan tanpa
surat izin dari camat dan polisi, maka
upacara adat itu akan dibubarkan polisi
karena upacara ter• maksud dianggap
ilegal. Saat penerimaan PNS (pegawai
negeri sipil) dilaksanakan di banyak
kabupaten pemekaran, seorang
peserta tidak tanggung-tanggung
menyogok uang mencapai Rp75 juta.
Saat ada program pengentasan ke•
miskinan bagi masyarakat miskin di
desa-desa pedalaman, yang paling
banyak mendapat faedah dari program
tersebut justru aparatur birokrasi
ketimbang masyarakat miskin, karena
dana pro• gram yang dianggarkan lebih
separuh terserap untuk kepentingan
operasional aparat birokrat serta
membayar tenaga konsultan.
Pengerjaaan proyek infrastruktur seperti
membangun sekolah atau membangun
jalan desa, maka kongkalikong korupsi
antara kontraktor, pimpro, pejabat di Di•
nas PU dan Diknas, kepala sekolah serta
kepala desa pun tidak terelakkan, dll. 151
John McCarthy bahkan
menyebutkan bahwa sejak tahun 2004
di Kalimantan Tengah dan Kalimantan
Selatan ada 480 pos di Sungai Barito
yakni dari Kota Puruk Cahu di hulu
Sungai Barito sampai ke Banjarmasin di
muara sungai Barito yang memungut
pajak dari rakit-rakitkayu gelondongan.
Berbagai lembaga negara, terma• suk
polsek, koramil, dinas kehutanan,

62 63
Tabel 5. Tindak Pidana Korupsi di Sektor Pelayanan Publik yang Diusut Kejati dan Kepolisian di Kalteng
Kasus Tipikor yang Ditangani Kejati Kalteng
A. Sejak Februari hingga Desember 2009, telah dilaksanakan 33 penyidikan kasus korupsi di berbagai bidang pelayanan
publik dengan penetapan 33 orang tersangka. Di antaranya:
1. Dugaan korupsi atau penyimpangan 22 paket proyek di Kabupaten Lamandau senilai Rp8,3 miliar. Tersangka
enam orang.
2. Dugaan korupsi atau penyimpangan pekerjaan pengadaan bibit dan pupuk di Dinas Kependudukan dan
Transmigrasi Kabupaten Gunung Mas senilai Rpl,2 miliar. Tersangka lima orang.
3. Dugaan korupsi atau penyimpangan dana asuransi purnabakti di Sekretariat DPRD Ka bu paten Barito Selatan
senilai Rpl,8 miliar. Tersangka 3 orang.
4. Dugaan korupsi atau penyimpangan dana pengembangan SDM di Sekretariat DPRD Kota Palangka Raya seni•
lai Rp2,8 miliar. Tersangka tujuh orang.
B. Dugaan korupsi atau penyimpangan Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) di Kabupaten Kotawaringin
Timur, melibatkan aparatur birokrasi di Dinas Kehutanan. Sedang diproses berapa orang yang terlibat dan berapa
besar kerugian negara.
C. Dugaan korupsi atau penyimpangan Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) di Kabupaten Barito Selatan
tahun 2002. Kerugian negara mencapai Rpl,3 miliar, melibatkan seorang pejabat Kepala SKPD.
D. Dugaan korupsi atau penyimpangan penggunaan dana Asuransi Kesehatan (Askes) di DPRD Kabupaten Katingan
tahun 1999-2004. Melibatkan 25 anggota DPRD, pejabat Pemda Katingan dan pihak asuransi.
E. Dugaan korupsi atau penyimpangan dana Proyek Pengadaan enam Unit Kapal Nelayan di Kabupaten Kotawaringin
Timur yang dibiayai oleh APBN dan APBD tahun 2007. Seorang tersangka adalah Kepala Dinas Kelautan dan Peri•
kanan Kabupaten Kotawaringin Timur beserta delapan orang lainnya sebagai terperiksa. Kerugian negara masih
dalam proses penghitungan oleh BPK.

Sumber: Diolah dari beberapa sumber1

1
Kaifeng Pos, 29109/09. 19/03/2010, 25/03/2010, 31/03/2010, Koran Tabengan 23/03/2010, serta diolah dari berbagai sumber di ·
Kalimantan Tengah.
muara sungai. Masyarakat awarn pun tahu bahwa daerah kepada pusat. Dengan metode "membeli
praktik pemungutan "pajak" tersebut adalah prak• uang" ini dipercaya lobi-lobi dana program dari
tik korupsi dan manipulasi aparatur pemerintah pemerintah pusat menjadi lancar bahkan nilai
lokal yang hendak memperkaya diri. nominalnya mencapai seperti yang diusulkan.
Beberapa kasus tersebut adalah faktafakta Selo Soemardjan mengatakan bahwa korup•
kecil proses pelayanan publik kekinian yang dise• si, kolusi dan nepotisme adalah dalam satu nafas
lenggarakan dalam semangat otonomi daerah, di karena ketiganya melanggar kaidah-kaidah ke•
samping banyak praktik pelayanan publik lain jujuran dan norma hukum. Adapun faktor sosial
yang tidakjauh dari transaksi korupsi. Fenomena pendukung KKN adalah 1) disintegrasi (anomie)
lain yang terjadi di era otonomi daerah sekarang sosial karena perubahan sosial terlalu cepat sejak
adalah diperkenalkannya istilah "membeli uang" revolusi nasional, dan melemahnya batas milik
dari pemerintah pusat, yakni dengan harapan negara dan milik pribadi; 2) fokus budaya berge•
mendapatkan dana perimbangan yang banyak ser, nilai utama orientasi sosial beralih menjadi
dari pusat untuk kepentingan proyek tertentu orientasi harta, kaya tanpa harta menjadi kaya
di daerah, maka pejabat daerah pergi melobi dengan harta; 3) pembangunan ekonomi menjadi
pejabat terkait di Jakarta. Sudah tentu lobi itu panglima pembangunan bukan pembangunan
tidak hanya dilakukan dengan bermodal tangan sosial atau budaya; 4) penyalahgunaan kekua•
kosong atau keahlian melobi, melainkan disertai saan negara sebagai short cut mengumpulkan
sejumlah uang sogokan. Kasus tertangkapnya harta; 5) paternalisme, korupsi tingkat tinggi,
beberapa pejabat daerah pada tahun 2008 ketika menurun, menyebar, meresap dalam kehidupan
hendak melobi dana sebuah proyek dari Departe• masyarakat, bodoh kalau tidak menggunakan
men Transmigrasi di Jakarta, misalnya, adalah kesempatan menjadi kaya; dan 6) pranata-pranata
contoh kecil betapa korupsi "membeli uang" ini sosial kontrol tidak efektif lagi. 153
sudah menjadi hal biasa yang menyertai lobi-lobi 153
Syamsudin, Op.Cit., him. 187.

62 63
Korupsi Kemanusiaan, Menafsirkan Korupsi (dalam) Masyara•
Oleh sebab itu, tidak mengherankan korupsi kat. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006, hlm. 17-29.
kemudian menurun hingga ke tataran birokrasi
unit-unit di daerah seperti di kelurahan atau ke•
camatan dalam rangka pelaksanaan pelayanan
publik. Korupsi di unit terkecil sektor birokrasi
pelayanan publik ini bukan sesuatu yang asing
di telinga masyarakat. Korupsi di unit ini malah
sering disebut sebagai sesuatu yang wajar dengan
bertameng pada "uang administrasi", padahal
dana administrasi seperti untuk membeli tinta
atau kertas sudah dianggarkan dan dananya ada,
tetapi tetap saja masyarakat dikenakan biaya.
Dalam kerangka ini semua, korupsi dalam
tubuh birokrasi pelayanan publik ini disebab•
kan oleh: 1) luar biasa besamya kewenangan
birokrasi sehingga semua sektor mesti ditangani
oleh birokrasi, dengan kewenangan yang besar
itu sangat besar pula peluangnya untuk memaksa
masyarakat baik secara individu maupun kelem•
bagaan melakukan korupsi; 2) ketidakmauan atau
keengganan aparat birokrasi meniadakan atau
menihilkan praktik koruptif dalam menjalani
aktivitas sehari-hari di kantor, bila korupsi di•
tiadakan malah tidak semangat dalam bekerja;
3) korupsi bukan dianggap sebagai kej ahatan
massif sehingga justru aneh bila suatu interaksi
atau relasi terjadi tanpa melakukan korupsi; 4)
alat kontrol seperti penegakan hukum oleh aparat
penegak hukum sudah tidak lagi berfungsi, alih•
alih berfungsi aparat penegak hukum justru men•
jadi pemain dalam tindakan korupsi; 5) kontrol
dari masyarakat baik secara individu maupun
kelembagaan tidak lagi berfungsi, di banyak dae•
rah lembaga yang dibangun masyarakat seperti
media massa dan LSM justru terjebak ke dalam
jurang korupsi itu sendiri; logika koruptif sudah
merasuk ke dalam kerja jumalistik;154 misalnya
wartawan atau aktivis LSM yang meminta uang
kepada pejabat terkait supaya kegiatan pejabat
tersebut diliput oleh media massa atau juga
terjadi pemerasan terhadap pejabat tertentu, bila
sang pejabat tidak memberi sejumlah uang maka
aibnya akan dipublikasikan ke publik, dan di
banyak daerah malah media massa secara khusus
154
AL Andang L. Binawan, (ed.) "Korupsi (dalam Cakrawala)
Kemanusiaan", Kata Pengantar dalam Korupsi Kemanusiaan,
Menafsirkan Korupsi (dalam) Masyarakat. Jakarta: Penerbit
Buku Kornpas, 2006, hlm. xvi. Lebihjauh lihat Maria Hartining•
sih, "Menolak Logika Koruptif dalam Kerja Jurnalistik." Dalam

64 65
dibayar atau dikontrak pemda untuk menjadi
"corong" pemberitaan kegiatan-kegiatan pemda;
dan 6) belum terbangunnya civil society yang
kuat dalam melakukan kontrol dan pengawasan
terhadap kinerja birokrat, di beberapa daerah
dengan eksistensi civil society yang kuat se•
perti Yogyakarta dan Jakarta, pelayanan publik
oleh pemerintahnya sudah lumayan berkualitas
ketimbang daerah-daerah seperti di pedalaman
Kalimantan dan Papua yang posisi masyarakat
sipilnya sangat lemah; dan 7) peran lembaga•
lembaga pengawas dan kontrol yang dibentuk
negara sebagai representasi kepentingan ma•
syarakat seperti lembaga legislatif atau lembaga
Ombudsman belum berfungsi maksimal, alih-alih
ikut memberantas korupsi justru banyak anggota
legislatif menjadi tersangka korupsi, di banyak
daerah, selain anggota legislatif, sekretaris dewan
besertajajaran pejabat di sekretariat DPRD juga
didakwa melakukan praktik korupsi.
Bila korupsi sudah begitu parah menggerogoti
sendi-sendi kehidupan masyarakat, bagaimana
lagi cara meminimalisasi (kalau tidak bisa meng•
hilangkan secara total) tindakan korupsi di sektor
pelayanan publik agar tidak mendarah daging dan
diturunkan kepada anak cucu di kemudian hari.
Persoalannya, kembali kepada masing-masing
pihak, baik masyarakat maupun pemerintah yang
memiliki kemauan dan komitmen politik kuat
untuk memberantasnya. Sepanjang tidak ada
kemauan dan komitmen politik, sangat sulit
sekali meniadakan praktik-praktik korupsi dalam
sektor pelayanan publik ini. Untuk mendukung
kemauan dan komitmen politik tersebut, diperlu•
kan seperangkat format kebijakan publik baru
yang tepat dan akurat. Format kebijakan yang
ada selama ini seperti dalam UU Pemberantasan
Korupsi atau jug a dalam peraturan daerah dinilai
belum begitu efektif melakukan pemberantasan
korupsi.

Usulan Format Kebijakan Pemberantasan


Korupsi
Dalam rangka pembuatan kebijakan publik
untuk memiminalisasi praktek korupsi di sektor
pelayanan publik ini, ada beberapa format ke•
bijakan publik baru yang diusulkan, baik untuk
dimuat dalam UU Pemberantasan Korupsi seba•
gai penyempumaan UU Tindak Pidana Korupsi

64 65
155
Jawahir Thontowi. "Kepemirnpinan DIY Demokratis". Lam•
yang sudah ada ataupun dalam UU Etika Penye•
piran Makalah Pelatihan Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa Swasta
lenggara Negara yang sekarang sedang menjadi Kopertis Wilayah V DIY, Yogyakarta, 30 Juli 2003.
RUU di DPR-RI. Usulan format kebijakan ini
dapat juga menjadi materi peraturan-peraturan
daerah baik di provinsi maupun kabupaten/kota
dalam rangka mencegah terjadinya korupsi.
Format kebijakan baru tersebut pada intinya
berangkat dari kebutuhan-kebutuhan saat ini
serta mengakomodasi nilai-nilai yang terkandung
dalam kearifan masyarakat lokal di Indonesia.
Format yang terumuskan dalam regulasi pem•
berantasan korupsi di sektor pelayanan publik
selama ini kurang begitu efektif dilaksanakan
karena lebih banyak mengadopsi nilai-nilai de•
mokrasi liberal yang berkembang dalam tatanan
masyarakat barat, sementara nilai-nilai humanis
yang berkembang dalam tatanan masyarakat lo•
kal diabaikan. Padahal, lingkungan implementasi
regulasi tersebut adalah masyarakat humanis
yang masih kental semangat komunitariannya.
Semangat komunitarian tersebutlah yang menjadi
lahan subur bertumbuhnya virus-virus korupsi.
Usulan format kebijakan tersebut ialah: perta•
ma, mesti ada partisipasi masyarakat dalam proses
pembuatan kebijakan. Masyarakat harus dilibat•
kan dalam setiap proses dan usaha peningkatan
pelayanan publik, agar masyarakat tidak semata
sebagai objek pelayanan, melainkan juga bisa
menjadi subjek pelayanan. Atas dasar itu, aspirasi
masyarakat bisa menjadi masukan dalam rangka
pembuatan kebijakan tentang penyelenggaraan
pelayanan publik yang baik dan bebas korupsi
seperti dalam bentuk UU, dan keppres, peraturan
daerah (perda). Max Weber menegaskan bahwa
suatu peraturan perundang-undangan dapat
menjadi peraturan hukum yang legitimasi (legal
legitimite) bilamana didukung oleh "kesepakatan
yang rasional" (rational agreement) dan proses
pengundangannya melalui proses yang benar
(enactment process).155
Persoalan seberapa j auh pembuat rancangan
produk hukum (legal drafter) suatu peraturan ten•
tang pelayanan publik dapat mencerminkan nilai•
nilai, kepentingan dan kepuasan masyarakat;
nilai-nilai apakah yang telah terakomodasi dan
terkandung dalam peraturan tentang pelayanan

64 65
publik tersebut; apakah segenap elemen masyara•
kat memiliki hak-hak politik yang sama dalam
kebijakan yang dibuat; apakah nilai-nilai yang
terkandung dalam peraturan yang dibuat terse•
but sudah menjarnin bebas dari praktik korupsi?
Merupakan elemen penting yang mesti diperha•
tikan dalam membuat kebijakan yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pelayanan publik.
Partisipasi masyarakat dalam konteks ini mesti
diakomodasi mulai tahap penggagasan atau ide
kebijakan, identifikasi, formulasi, analisis, imple•
mentasi, operasi hingga evaluasi kebijakan.
Kedua, dalam perumusan kebijakan mesti
memerhatikan kepuasan masyarakat dan mening•
katkan kepercayaan yang diberikan. Dalam
kaitannya dengan pelaksanaan pembangunan
dan pemerintahan yang baik, terlaksananya
penyelenggaraan pelayanan publik yang baik
adalah gambaran kinerja aparat birokrasi yang
berkualitas. Dengan begitu, penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dalam konteks pelayanan
publik ini diharapkan dapat menciptakan kepuas•
an bagi masyarakat yang dilayani sehingga bisa
. mewujudkan kepercayaan masyarakat kepada
aparatur pemerintah. Kepercayaan termaksud
dengan sendirinya bisa menumbuhkan partisipasi
masyarakat dalam proses pembangunan sehingga
bisa mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
Terwujudnya masyarakat yang sejahtera akan
membawa ke arah negara sej ahtera ( welfare state)
pula. Di samping itu, masyarakat dan negara yang
sejahtera dipercaya mampu mewujudkan tatanan
administrasi negara yang bertanggung jawab
sehingga dapat mengembangkan negara menuju
tertib adrninistrasi, masyarakat sipil yang aktif
dan bebas korupsi.
Ketiga, kebijakan publik mesti menekankan
adanya fungsi pelayanan publik yang menem•
patkan pegawai sebagai "panggilan pelayanan",
bukan sebagaijalan karier atau mata pencaharian
untuk mencari nafkah. Jumlah pegawai negeri di
unit-unit birokrasi pelayanan publik juga mesti
dikurangi. Untuk menghindari korupsi, kolusi,
dan nepotisme (KKN) di sektor pelayanan publik
seperti di Maroko menurut Maddi ck hampir tidak
ada karyawan dalam sistem pemerintahan daerah,
tidak ada bendahara, tidak ada sekretaris, tidak
ada teknisi, yang ada adalah struktur pemerintah
daerah yang kecil dengan jumlah pegawai yang

64 65
15 6Henry Maddick, Desentralisasi dalam Praktek. (Yogyakarta:
sangat sedikit, sehingga dari keterbatasan pegawai Pustaka Kendi, 2004), hlm. 43-244.
tersebut dapat dibentuk kandidat yang memenuhi
syarat yang dapat dilatih untuk menjadi pegawai
profesional. Kantor kota praja tidak dibuka sam•
pai tengah hari sehingga memungkinkan pegawai
dapat bekerj a sambilan di luar atau di sektor
lain sehingga pegawai mendapat penghasilan
tambahan. Kebijakan mempekerjakan pegawai
sebanyak-banyaknya di sektor pelayanan publik
dengan tujuan mengurangi pengangguran bukan•
lah kebijakan yang bijak.156
Dengan terlalu banyaknya orang yang be•
kerja di sektor pelayanan publik serta bertujuan
untuk mengurangi pengangguran maka me•
mungkinkan pegawai untuk melakukan KKN.
KKN terjadi karena ketatnya kompetisi yang
melibatkan banyak pegawai, sehingga bagi
pegawai yang benar-benar berkompeten sangat
kecil peluangnya menduduki suatu jabatan. KKN
kemudian menjadi altematif untuk memperoleh
jabatan publik yang diingini. KKN juga sering
terjadi pada saat proses perekrutan pegawai ne•
geri di berbagai daerah. Kalau saja penerimaan
pegawai negeri ditiadakan selama kurun waktu
tertentu, misalnya selama satu dekade, korupsi di
areal ini dipastik:an akan terminimalisasi, sebab
satu generasi pegawai yang sering berpraktik
KKN telah pensiun kemudian digantik:an pegawai
generasi barn yang lebih menekankan kinerj a dan
profesionalitas.
Di lain sisi, KKN juga terjadi antara masya•
rakat yang hendak memperoleh pelayanan cepat
dengan aparatur yang memberi pelayanan.
Sebetulnya KKN dalam konteks ini tidak akan
terjadi kalau peraturan dan prosedur pelayanan
berjalan cepat, akurat, dan bertanggung jawab.
KKN juga tidak terjadi kalau aparatur birokrasi
hidup berkecukupan dengan tidak mengandal•
kan penghasilannya pada pekerjaannya di sek•
tor pelayanan publik, melainkan memperoleh
penghasilan dari pekerjaan di sektor lain. Hal
ini sebenamya bisa terjadi bila aparat birokrasi
mampu memaknai bahwa pekerjaan di sektor
pelayanan publik: adalah dalam rangka melayani
kebutuhan dan kepentingan masyarakat bukan
untuk memperoleh keuntungan finansial. Oleh
sebab itu, ketika banyak orang beramai-ramai

66 67
mendaftar ingin menjadi PNS atau berkompetisi
menjadi pejabat, sesungguhnya mereka beramai•
ramai hendak menjadi pelayan masyarakat.
Keempat, dalam merumuskan kebijakan
publik mesti ada kepekaan apatur pemerintah
terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Terdapat beberapa tugas pokok dan fungsi
pemerintahan yang hams diperhatikan dalam
rangka penyelenggaraan pelayanan publik yang
bersentuhan dengan kebutuhan-kebutuhan ma•
syarakat, yakni mencakup:
1. Menjamin keamanan dari segala kemungkin•
an serangan dari luar, dan menjaga agar tidak
terjadi pemberontakan dari dalam yang dapat
menggulingkan pemerintah yang sah melalui
cara-cara kekerasan.
2. Memelihara ketertiban dengan mencegah
terjadinya gontok-gontokan di antara warga
masyarakat, menjamin agar perubahan apa•
pun yang terjadi di dalam masyarakat dapat
berlangsung secara damai.
3. Menjamin diterapkannya perlakuan yang
adil kepada setiap warga masyarakat tanpa
membedakan status yang melatarbelakangi
keberadaan mereka. J aminan keadilan ini
terutama melalui keputusan pengadilan, di
mana kebenaran diupayakan pembuktiannya
secara maksimal, konstitusi dan hukum yang
berlaku dapat ditafsirkan dan diterapkan se•
cara adil dan tidak memihak, serta perselisih•
an bisa didamaikan.
4. Melakukan pekerjaan umum dan memberi
pelayanan dalam bidang yang tidak mungkin
dikerjakan oleh lembaga nonpemerintah,
atau yang akan lebih baik jika dikerjakan
oleh pemerintah. Ini antara lain menyangkut
pembangunan jalan, penyediaan fasilitas
pendidikan yang terjangkau oleh masyarakat
yang berpendapatan rendah, pelayanan pos,
pelayanan di kantor kecamatan, dan pencegah•
an penyakit menular.
5. Melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan sosial: membantu orang miskin
dan memelihara orang-orang cacat, jompo
dan anak terlantar, menampung serta menya•
lurkan para gelandangan ke sektor kegiatan
yang produktif dan semacamnya.
6. Menerapkan kebijakan ekonomi yang meng•
untungkan masyarakat luas, serta mengendali•
kan laju inflasi, mendorong penciptaan la-

66 67
158
Ibid., hlm. 131.
pangan kerja baru, rnernajukan perdagangan
domestik dan antarbangsa, serta kebijakan
lain yang secara langsung rnenjarnin pening•
katan ketahanan ekonomi negara dan rnasya•
rakat.
7. Menerapkan kebijakan untuk perneliharaan
surnber daya alarn dan lingkungan hidup,
seperti air, tanah, dan hutan. Pernerintahjuga
berkewajiban rnendorong kegiatan penelitian
untuk mernanfaatkan sumber daya alam yang
rnengutarnakan keseimbangan antara eksploi•
tasi dan reservasi.157
Bagaimanapun, persoalan pembangunan
akan terus terkendala bila para aktor pelaksanan•
ya yang bekerja dalam lembaga pernerintah tidak
peka terhadap kebutuhan masyarakat. Berbagai
investasi di daerah, umpamanya, tidak akan ter•
dorong untuk maju bila pelayanan yang diberikan
oleh aparat pemerintah tidak maksimal, tepat,
dan akurat. Kehadiran investasi merupakan kemu•
tlakan dalam upaya mempercepat pertumbuhan
ekonorni masyarakat daerah, karena di dalamnya
terdapat pengembangan sektor riil yang menjadi
tumpuan perekonomian masyarakat.
Kalau aparatur negara tidak memberi pela•
yanan yang baik dalam rangka rnendorong laju•
nya investasi, pertumbuhan ekonorni daerah akan
lamban, masyarakat rniskin dan pengangguran
niscaya akan semakin bertambah, yang justru
akan menyuburkan pertumbuhan praktek korupsi.
Tentang kenapa aspek pelayanan publik ditekan•
kan dalam proses penyelenggaraan negara, tidak
lain karena merujuk kepada rnisi pemerintahan
itu sendiri, yakni pelayanan, pemberdayaan, dan
pembangunan.158 Oleh sebab itu, unsur penyeleng•
garaan pelayanan publik adalah hal pokok dan
utama untuk mengukur kesuksesan suatu negara,
dan sektor ini harus bebas dari praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme.
Kelima, dalam menjalankan kebijakan publik
dibutuhkan peraturan hukum yang adil serta apa•
rat penegak hukum yang mampu bertindak tegas.
Selama ini praktek KKN menjadi subur bertum•
buh di sektor pelayanan publik karena aparat
penegak hukum justru menjadi aktor KKN itu

157
Ryass Rasyid. Makna Pemerintahan: Tinjauan Dari Segi
Etika dan Kepemimpinan. Jakarta: Yarsif Watampone, 2007,
him. 11-13.

66 67
sendiri. Amerika Serikat pemah rnengalarni KKN
kronis seperti yang dialami Indonesia sekarang,
yakni di masa pemerintahan Presiden Andrew
Jackson, di mana patronase birokrasi dan partai
politik terlihat kuat terutama dalam sistem rekrut•
men pada jabatan-jabatan strategis birokrasi.
Narnun, setelah muncul Pendleton Act dan Civil
Service Act 1883 yang melarang keras praktik•
praktik KKN atau spoil system, rnaka secara
berangsur KKN di Arnerika mulai berkurang.
Di Cina pada masa pemerintahan Mao Zedong,
KKN juga marak, yakni dilakukan oleh lembaga
birokrasi. Zedong lantas mengkampanyekan "anti
tiga", yaitu melenyapkan birokratisme, korupsi
dan pernborosan. Zedong juga rnenyatakan per•
ang terhadap lima hal, yaitu penyuapan, peng•
hindaran pajak, penipuan, korupsi, dan revolusi
budaya yang represif. Ketika Zedong diganti
Deng Xiaoping, langkah-langkah yang dilakukan
berikutnya adalah pemberantasan korupsi dan
penekanan pada tanggungjawab serta moralitas
kepernimpinan pada aparat publik, pendidikan,
pelatihan manajerial dan administratif bagi
pejabat publik, serta reformasi terhadap kinerja
pelayanan publik. Baik program Mao Zedong
rnaupun Deng Xiaoping sama-sarna mengalami
kegagalan karena berbenturan dengan mekanis•
me politik serta tidak adanyajarninan penguatan
pertumbuhan ekonorni serta kesejahteraan masya•
rakat. 1s9
Di Indonesia, sejak keluar UU No. 28/1999
tentang pemberantasan KKN, kampanye anti
KKN sangat gencar dan sudah banyak pejabat
negara yang terjaring. Namun hasil tersebut
masih jauh dari harapan karena aparat penegak
hukumjuga terlibat KKN. Dalam sektor pelayan•
an publik korupsi masih terjadi karena pegawai
negeri juga turut melakukannya, yang justru
didukung oleh masyarakat sebagai penerima
pelayanan. Sebab itu, untuk mengatasi korupsi
di sektor pelayanan publik ini dibutuhkan ma•
syarakat sipil yang kuat serta pola pendidikan
anti-KKN sejak dini bagi para calon pegawai
serta calon hakim dan jaksa. Pendidikan dini
anti-KKN yang menekankan moralitas dan budi
pekerti luhur sangat penting diupayakan karena
tidak hanya untuk kepentingan mendidik calon

159Tim Simpul Demokrasi, Op.Cit., him. v-vi.

66 67
160
Darius Dubut. "Agama dan Kebudayaan Masyarakat DAS
pegawai pemerintah, melainkan juga mendidik Barito". Makalah Seminar "Barito Raya". Diselenggarakan
masyarakat anti-KKN secara menyeluruh. Kerukunan Keluarga Dusmala, Jakarta, 19 Juli 2004.

Keenam, kebijakan pelayanan publik yang


dibuat mesti merangkul nilai-nilai kearifan lo•
kal yang bisa menjadi sanksi moral bagi pelaku
korupsi di sektor pelayanan publik di berbagai
daerah. Dalam konteks ini sanksi moral kearifan
lokal berdasar adat istiadat atau tradisi masyara•
kat lokal dipercaya bisa membuat orang berpikir
ulang untuk · melakukan korupsi. Di kalangan
masyarakat Dayak Dusun di Kalimantan Tengah
misalnya ada dikenal filosofi "welum bahadat",
yakni filo�ofi menjalani hidup dengan berlan•
daskan adat istiadat atau hidup beradab. Saya
sependapat dengan pendapat Darius Dubut yang
mengatakan bahwa orang yang hidupnya tidak
beradat atau tidak berlandaskan adat adalah orang
yang tidak memiliki adat istiadat, yakni disebut
"bakoi bahadat" atau ''puang bahadat" .160
Tindakan korupsi misalnya adalah salah satu
tindakan "bakoi bahadat" atau "puang bahadat",
karena tindakan korupsi hanya mementingkan
diri sendiri dan mengambil hak milik orang
lain. Selain korupsi, dalam praktek kehidupan
sehari-hari seperti ketidakjujuran, kecurangan,
keserakahan, kolusi, dan nepotisme adalah tin•
dakan-tindakan "bakoi bahadat" yang membuat
manusia kehilangan akar kebudayaannya se•
hingga membuat manusia tersebut patut disebut
sebagai "satua" atau binatang. Filosofi tersebut
linier sangat cocok bila digunakan sebagai sanksi
moral terhadap orang yang melakukan korupsi,
sehingga bila kedapatan korupsi, maka koruptor
itu harus dicap atau bahkan namanya diubah
dengan "satua" atau binatang.
Ketujuh, format kebijakan publik yang di•
buat mesti dalam rangka mengkaji ulang peran•
peran lembaga pengawas dan pengontrol kinerja
aparat birokrasi di sektor pelayanan publik. Saya
mengamati di berbagai daerah bahwa peran lem•
baga legislatif daerah, peran lembaga Ombuds•
man Daerah dan peran Badan Pengawas Daerah
(Banwasda) terjadi tumpang tindih, yakni sama•
sama menjadi lembaga pengontrol, pengaudit,
dan pengawas kinerja serta kebijakan-kebijakan
birokrasi di sektor pelayanan publik baik secara

68 69
internal maupun eksternal. Sebaiknya peran
yang dimiliki oleh lembaga-lembaga ini dilebur
ke dalam satu wadah organisasi saja, yaitu ke
dalam lembaga Ombudsman, sementara peran
pengawasan publik di lembaga legislatif dimini•
malkan dan peran pengawasan di Banwasda
dihilangkan. Banwasda sebaiknya dihapus dari
struktur birokrasi pemerintah daerah sehingga
dapat menghemat anggaran, sedangkan pega•
wainya bisa dipekerjakan di sekretariat lembaga
Ombudsman Daerah. Dengan adanya penyatuan
tersebut, kegiatan sebagai lembaga pengawas,
pengaudit, dan pengontrol kinerja aparatur biro•
krasi di sektor pelayanan publik oleh lembaga
Ombudsman bisa maksimal.
Kedelapan, menggerakkan elemen civil
society untuk terlibat aktif dalam proses pem•
berantasan korupsi di sektor pelayanan publik.
Elemen-elemen masyarakat sipil seperti media
massa, partai politik, organisasi masyarakat adat,
LSM, lembaga agama, organisasi perempuan,
organisasi petani, organisasi buruh, kaum pe•
nyandang cacat, dan kaum miskin kota adalah
seperangkat alat yang dapat digunakan masyara•
kat untuk mengimbangi kekuasaan negara dan
aparatumya. Gerakan tersebut dapat dilakukan
mulai tahap gagasan atau ide besar mengenai
misalnya regulasi yang tepat untuk menihilkan
korupsi di sektor pelayanan publik, lalu gagasan
tersebut bergeser ke dalam proses kontrol dan
evaluasi kinerja pelayanan publik oleh aparat
birokrasi sehari-hari. Logika koruptif dalam
pikiran setiap individu di dalam lingkungan ke•
luarga, lingkungan kerja, ruang-ruang publik, dan
lain-lain, harus dapat dibuang161 dengan adanya
regulasi kebijakan publik semacam ini.

Penutup
Korupsi dalam tubuh birokrasi pelayanan publik
hanya dapat diminimalisasi bila ada pemaham•
an secara holistik dan komprehensif terhadap
dimensi dan jaringan korupsi itu sendiri, ada
pemahaman terhadap latar belakang terjadinya
korupsi, ada pemahaman dan pendeteksian terha•
dap areal di mana korupsi dalam tubuh birokrasi
pelayanan publik tersebut hadir, serta mesti ada
format kebijakan yang tepat dan didukung oleh

161
Maria Hartiningsih, Op.Cit., him. 17-20.

68 69
kebijakan hukum dan aparat penegak hukum lrwan, Alexander. 2000. "Clean Government dan Bu•
daya Bisnis Asia." Jurnal Reformasi Ekonomi,
yang tangguh. Tanpa itu, pemberantasan atau
1 (1), Januari-Maret.
paling tidak meminimalisasi tindak korupsi di
Ismanto, lgnasius. 2008. "Tinjauan Perkembangan
dalam tubuh birokrasi pelayanan publik akan sulit Politik: Dinamika Politik Menjelang Pemilu
dilakukan. Bila itu terjadi berlarut-larut, publik 2009." Jurnal Analisis CSIS, 37 (2).
niscaya tidak akan percaya terhadap layanan• Jeddawi, Murtir. 2008. Reformasi Birokrasi, Kelemba•
layanan yang diberikan oleh birokrasi. gaan dan Pembinaan PNS. Yogyakarta: Kreasi
Untuk mendukung proses pemberantasan Total Media.
korupsi di sektor pelayanan publik ini, maka Kartasasmita, Ginanjar. 2006. "Jalan Keluar Bagi Ke•
peran lembaga-lembaga publik yang dibentuk miskinan". Kompas. 13 September 2006. Klitgaard,
untuk mengontrol kinerja lembaga pelayanan Robert. 2002. Penuntun Pemberantasan
publik mesti dioptimalkan perannya. Peran Korupsi dalam Pemerintah Daerah. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
lembaga Ombudsman, lembaga legislatif bahkan
Lay, Cornelis. 2006. Involusi Politik: Esei-Esei Tran•
elemen civil society seperti LSM, partai politik,
sisi Indonesia. Yogyakarta: PLOD dan Fisi•
organisasi buruh dan petani, mesti ditingkatkan
pol UGM.
kapasitasnya sehingga kontrol terhadap layanan•
McCartthy, John F. 2007. "Dijual Ke Hilir: Merun•
layanan publik yang diterima masyarakat bisa dingkan Kembali Kekuasaan Publik Atas Alam
terjamin cepat, berkualitas, dan bebas dari prak• di Kalimantan Tengah". Dalam Henk Schulte
tik-praktik koruptif. Nordholt dan Gerry van Klinken (Ed.). Politik
Lokal di Indonesia. Jakarta: YOI dan KITLV.
Maddick, Henry. 2003. Desentralisasi dalam Praktek.
Daftar Pustaka Yogyakarta: Pustaka Kendi.
AsianDevelopmentBank(ADB).1999. "Good Gover• Purwoko, Bambang dkk. 2007. "Mengelola Pengen•
nance and Anticorruption: The Road Forward tasan Kemiskinan". Dalam Pratikno (Ed.).
for Indonesia". Makalah dipresentasikan dalam Mengelola Dinamika Politik dan Jejaring Ke•
Pertemuan Puncak CGI ke-S, Paris, 27-28 Juni pemerintahan: Kemitraan, Partisipasi, dan Pe•
1999. layanan Publik. Yogyakarta: PLOD UGM.
Binawan, Al. Andang L. (Ed.). 2006. "Korupsi (dalam Rasyid, Ryass. 2007. Makna Pemerintahan: Tinjau•
Cakrawala) Kemanusiaan". Kata Pengantar an dari segi Etika dan Kepemimpinan. Jakarta:
dalam Korupsi Kemanusiaan, Menafsirkan Y arsif W atampone.
Korupsi (dalam) Masyarakat. Jakarta: Pener• Rose-Ackerman, Susan. 2006. Korupsi dan Pemerin•
bit Buku Kompas. tahan: Sebab, Akibat dan Reformasi. Jakarta:
Dillon, HS. 2004. "Partnership for Government Re• Pustaka Sinar Harapan.
form: Facilitating Government Reform in the Sanusi, M. Arsyad. 2006. Permasalahan Korupsi
Indonesian Judiciary and Public Prosecution." di Derah dan Strategi Penanggulangannya.
Makalah disampaikan dalam Seminar Nasi• Makalah tidak dipublikasi.
onal "Menuju Good Governance dan Clean
Susetyo, Benny. 2001. Orde Para Bandit. Yogya•
Government Melalui Peningkatan Integritas
karta: LKiS.
Sektor Publik dan Swasta (Dalam Semangat
Konvensi PBB Menentang Korupsi, Jakarta, Syamsudin, M. 2007. "Korupsi dalam Persepektif Hu•
14-15 September. kum". Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, 30 (64). Thontowi,
Dubut, Darius. 2004. "Agama dan Kebudayaan Masya• Jawahir. 2003. "Kepemimpinan DIY
rakat DAS Barito". Makalah Seminar "Barito Demokratis". Lampiran Makalah Pelatihan
Raya", Kerukunan Keluarga Dus mala, Jakarta, Karya Tulis Ilrniah MahasiswaSwasta Koper•
19 Juli 2004. ' tis Wilayah V DIY, Yogyakarta, 30 Juli 2003.
Eko, Sutoro. 1996. "Birokrasi, Modemisasi dan Kapi• Tim Simpul Demokrasi. 2006. Reformasi Birokrasi
talisme Orde Baru." Prisma, 25 (8). dan Demokratisasi Kebijakan Publik. Malang:
Averroes Press.
Hartiningsih, Maria. 2006. "Menolak Logika Koruptif
dalam Kerja Jumalistik." Dalam Al. Andang Tyas, B Hari Saptaning. 2005. "Pembaharuan Biro•
L. Binawan (Ed.). Korupsi Kemanusiaan, krasi Daerah". Dalam R. Widodo Triputro dan
Menafsirkan Korupsi (dalam) Masyarakat. Supardal (Ed.). Pembaharuan Otonomi Dae•
Jakarta: Penerbit Buku Kompas. rah. Yogyakarta: APMD Press.

68 69
Sumber Lain:
Kalteng Pas, 26 Oktober 2007, 29 September 2009,
19 Maret 2010, 25 Maret 2010, 31 Maret 2010,
dan 14 April 2010.
Kedaulatan Rakyat, 18 November 2009.
Kompas, 20 Oktober 2009.
Koran Tabengan, 23 Maret 2010.
Majalah Tempo, 17-23 Agustus 2009.

70 71
DINAMIKA PENYUSUNAN ANGGARAN DAERAH: KASUS
PROSES PENETAPAN PROGRAM DAN ALOKASI
ANGGARAN BELANJA DAERAH DI KABUPATEN SLEMAN*

Rozidateno Putri Hanida

Abstract

The article is a study of the dynamics of local budget arrangement especially in the process ofprogram de•
cision and local budget expenses allocation in Steman region. Other dynamics in this study is the establishment of
egosectoral of division ofplanning, namely, SKPD in Sleman region. In this regards, planning proposal arranged
by SKPD has not showed priority scale, but rather compilation ofproposal that are reservedfrom process ofplan•
ning. It can be said that the SKPD proposal is premature, therefore. SKPD attempts to reserve budget expenses
without considering budget limitation andprogram continuation in other SKPD. The dynamics in politicalprocess is
legislative body in Sleman region that is oriented to constituent interests, hence neglecting the benefit ofa program
and the value of trickle down effect of a program. On both levels there have been dynamics that show interaction
between actors by sharing and bargaining interests. The implication of this dynamics is that budgeting policy can•
not increase society welfare instantly and an effective and efficient budget is difficult to achieve.

Pendahuluan garan daerah disusun berdasarkan kebutuhan, visi


Anggaran merupakan wujud komitmen dari pemerintah daerah, arah kebijakan daerah yang
budget holder ( eksekutif) kepada pemberi we• dituangkan ke dalam program atau kegiatan kerja
wenang (legislatif), yang juga digunakan untuk pemerintah daerah untuk dibahas bersama DPRD
memutuskan prioritas-prioritas dan kebutuhan dan selanjutnya ditetapkan.
keuangan. Pada sektor publik, anggaran meru• Tulisan ini merupakan ringkasan singkat dari
pakan dokumen politik sebagai bentuk komit• hasil penelitian, yang mengkaji dinamika antara•
men eksekutif dan kesepakatan legislatif atas ktor yang terlibat dalam peroses penetapan pro•
penggunaan dana publik untuk kepentingan ter• gram dan pengalokasian anggaran belanja daerah,
tentu. Anggaran bukan sekadar masalah teknis, dari setiap tahapan penetapan dan pengalokasian
melainkan lebih merupakan alat politik (political anggaran, dengan menggunakan kasus di Kabu•
tool). Karena pada dasamya anggaran tidak hanya paten Sleman. Hal ini sangat relevan untuk dibicara•
disusun berdasarkan ketentuan-ketentuan teknis kan, mengingat selama ini Kabupaten Sleman
ataupun melalui hitungan-hitungan ekonomi tergolong sebagai kabupaten yang maju, dengan
semata, tetapi lebih dari itu dokumen pengang• potensi daerah relatif besar, baik dalam bidang
garan disusun berdasarkan sebuah kesepakatan, jasa ataupun sumber daya manusia.
dan merupakan sebuah terjemahan dari visi dan Selain itu, situasi politik dan hukum di Kabu•
misi kepala daerah terpilih. paten Sleman memberikan keunikan tersendiri.
Pembahasan dan analisis mengenai anggaran Tersangkutnya Bupati Sleman dalam kasus peng•
daerah memang telah banyak dilakukan, seperti adaan buku yang terkait erat dengan semua proses
analisis proses penyusunan anggaran pendapatan penganggaran merupakan alasan lain mengapa
dan belanja daerah, baik di tingkat eksekutif kasus ini dibahas. Ini memberikan gambaran
maupun legislatif. Tetapi pada umumnya kajian yang ironis, ketika Kabupaten Sleman dijadikan
yang dilakukan hanya secara teknis, di mana ang- rujukan dalam penyusunan anggaran oleh daerah•
• Adalah tulisan yang ditulis ulang dengan penambahan analisis daerah lain, di saat yang sama Bupati Kabupaten
seperlunya dari sebuah laporan penelitian denganjudul "Dina• Sleman terlibat kasus korupsi.
mika Penyusunan Anggaran Daerah: Studi Tentang Proses
Penetapan Program dan Alokasi Anggaran Belanja Daerah di
Kabupaten Sleman.

70 71
Sistem Penganggaran di Sektor Publik Bila dilihat secara lebih menyeluruh, kompo•
nen APBD dalam garis besamya terbagi menjadi
Anggaran merupakan pemyataan mengenai esti•
tiga kelompok utama, yaitu 1) anggaran pendapat•
masi kinerja yang hendak dicapai selama periode
an; 2) anggaran belanja daerah; 3) anggaran
waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran
pembiayaan. Pendapatan daerah adalah semua
finansial. Sedangkan penganggaran adalah proses
penerimaan dalam periode tahun anggaran yang
atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran.
menjadi hak daerah. Belanja daerah adalah semua
Proses penganggaran organisasi sektor publik di•
pengeluaran dalam periode tahun anggaran
mulai ketika perumusan strategi dan perencanaan
yang menjadi beban daerah. Pembiayaan adalah
strategi telah selesai dilakukan.162 Terkait dengan
transaksi keuangan daerah untuk menutup selisih
Kabupaten Sleman, anggaran sektor publik pen•
antara pendapatan daerah dan belanja daerah.
ting untuk disusun karena anggaran merupakan
alat pemerintah untuk mengarahkan pembangun•
an sosial ekonomi, menj amin kesinambungan dan Dinamika dalam Perumusan Anggaran
meningkatkan kualiatas hidup masyarakat. Daerah
a. Anggaran diperlukan karena kebutuhan dan Ketika perumusan kebijakan anggaran dilakukan
keinginan masyarakat yang tak terbatas dan di Kabupaten Sleman, setiap unit SKPD akan
terus berkembang, sedangkan sumber daya mengajukan usulan rancangan anggaran belanja
yang ada terbatas. Di Kabupaten Sleman de• yang diverifikasi lebih lanjut oleh Tim Panitia
ngan penduduk lebih kurang satu juta orang Anggaran Daerah. Usulan yang diajukan oleh
hanya mempunyai PAD di tahun 2009 sebesar SKPD meliputi pembahasan mengapa program
Rp117.315.380.710 dengan total belanja A berbesaran belanja sejumlah X atau mengapa
Rp939.638.240.234,85. Artinya, anggaran program B berbesaran belanja sejumlah Y. Setiap
diperlukan karena keterbatasan sumber daya unit SKPD yang bisa menjelaskan kepada TAPD
(scarcity ofsource) dan pilihan (chaise) dan dan sesuai dengan pagu anggaran yang ada, maka
trade off usulan itu akan ditindaklanjuti. Proses ini dilaku•
b. Anggaran diperlukan untuk meyakinkan bahwa kan setelah ditandatanganinya nota antarekseku•
pemerintah telah bertanggungjawab terhadap tif dan legislatif. Nota kesepakatan yang ditan•
rakyat. Dalam hal ini anggaran sektor publik datangani memuat proyeksi pendapatan, belanja
merupakan instrumen pelaksanaan akuntabili• dan pembiayaan daerah yang menjadi pedoman
tas oleh lembaga-lembaga publik yang ada, bagi SKPD untuk menyusun RASKPD. Dengan
dengan bentuk melakukan pembangunan dan logika hukum yang seperti itu, seharusnyalah
menyelenggarakan layanan untuk masyarakat.
RASKPD disusun setelah nota kesepakatan ditan•
datangani. Namun, dalam praktiknya RASKPD
Berdasarkan pengertian tersebut pengurus•
disusun oleh SKPD setelah mendapatkan gam•
an keuangan daerah dilakukan oleh pemerintah
baran dari TAPD mengenai jumlah pembiayaan
daerah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
danjumlah biayarutin. Dengan gambaran besaran
Daerah (APBD). Yang dimaksud dengan APBD
angka yang diberikan oleh TAPD maka masing•
adalah rencana operasional keuangan pemerin•
masing SKPD akan menyusun estimasi perkiraan
tah daerah, di mana satu pihak menggambarkan
belanja tahunan.
perkiraan pengeluaran setinggi-tingginya guna
membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek Pada tahap inilah para aktor akan merasiona•
daerah dalam satu tahun anggaran tertentu, dan di lisasikan dan melakukan advokasi atas agenda
lain pihak menggambarkan perkiraan penerimaan yang mereka sampaikan dengan segala argumen•
dan sumber-sumber penerimaan daerah guna me• tasi dan strateginya. Kenyataan tersebut tidak
nutupi pengeluaran-pengeluaran dimaksud.163 hanya berlangsung dalam arena formal pemba•
hasan, akan tetapi juga terj adi di luar arena formal
yang dimainkan oleh aktor internal yang memiliki
162
Mardiasmo, Akuntansi Sektor Publik, (Yogyakarta: Andi, kewenangan dan aktor ekstemal yang memiliki
2005), hlm. 17 kepentingan tertentu. Agar harapan setiap aktor
163
Abdul Halim. Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan terakomodasi dalam hasil keputusan kebijakan, !

Daerah. Jakarta: Penerbit Selemba Empat. 2007, hlm. 56. !

72
l
Tabel 1. Komponen APED
Pendapatan Belanja Pembiayaan
Pendapatan Asli Daerah: Belanja Aparatur Daerah; Penerimaan Daerah:
- Pajak daerah • Belanja Administrasi Umum - Sisa lebih perhitungan anggaran
- Retribusi daerah - Belanja pegawai/personalia tahun lalu
- Bagian laba usaha daerah - Belanja barang dan jasa - Transfer dari dana cadangan
- Lain-lain pendapatan asli daerah - Belanja perjalanan dinas - Pinjaman dan obligasi
- Belanja pemeliharaan - Hasil penjualan aset aderah yang
• Belanja Operasi & Pemeliharaan dipisahkan
- Belanja pegawai/personalia - Penerimaan kembali polis asuransi
- Belanja barang dan jasa
- Belanja perjalanan dinas
- Belanja pemeliharaan
• Belanja modal/pembangunan
Dana Perimbangan: Belanja Pelayanan Publik: Pengeluaran Daerah
- Bagi hasil pajak • Belanja Administrasi Umum - Transfer dana cadangan
- DAU,DAK - Belanja pegawai/personalia - Penyertaan modal
- Dana perimbangan dari provinsi - Belanja barang dan jasa - Pembayaran utang pokok yang jatuh
- Bagi hasil pajak/bukan pajak dari - Belanja perjalanan dinas tempo
provinsi - Belanja pemeliharaan - Sisa lebih perhitungan anggaran
- Bagi hasil pajak dari provinsi • Belanja Operasi & Pemeliharaan tahun lalu
- Bagi hasil bukan pajak dari provinsi - Belanja pegawai/personalia
- Belanja barang dan jasa
- Belanja perjalanan dinas
- Belanja pemeliharaan
• Belanja modal/pembangunan

Lain-lain pendapatan yang sah Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan
belanja tidak tersangka.

Sumber: Kepmendagri No. 29 tahun 2002

kemampuan aktor bernegosiasi menjadi salah kebijakan. Akan tetapi ,kondisi politik yang oli•
satu faktor penentunya di tengah kontestasi atas gopoli (political oligopoly market) dan asimetris
banyaknya masalah yang harus dibiayai secara seperti itu, hanya akan melahirkan para "bandit
maksimal, sementara dana yang dimiliki terbatas. politik". Seperti yang dikatakan oleh Allan
Dalam sistuasi ini para aktor akan melakukan bar• Drazen:165
gaining dengan mendayagunakan basis kekuasa• The strong budget cycle in those countries ac•
annya untuk menguatkan daya tawar, sampai countsfor thefinding ofa budget cycle in larger
pada tahapan pembuatan konsensus164• samples that include these countries; when these
countries are removedfrom the larger sample, so
Proses politik dalam kebijakan anggaran that only "established" democracies remain, the
dapat dianalisis melalui sebuah teori yang disebut political budget cycle disappears. The political
teori pilihan publik (public choice). Teori pilihan deficit cycle in new democracies accounts for
publik menggambarkan adanya kelembagaan findings in both developed and less developed
dasar di dalam politik, yakni suatu pertukaran economies, for thefinding that the cycle is stron•
ger in weaker democracies, and/or differences
atau kontrak politik antara kedua belah pihak
in the political cycle across governmental and
di dalam pasar politik (political market). Ranah electoral systems. Our findings may reconcile
informal pembahasan memungkinkan terjadinya two contradictory views of'pre-electoral manipu•
ruang consensus building yang bisa saja efektif, lation, one arguing it is a useful instrument to
tetapi juga bisa menjadi arena kolusi bersama gain voter support and a widespread empirical
antaraktor internal dengan eksternal perumus phenomenon, the other arguing that voters pun•
ish rather than reward.fiscal manipulation.
164
Purwo Santoso, dkk. Menembus Ortoksi Kebijakan Publik.
Dalam M. Ridwan Jafar. "Politik Anggaran Daerah, Studi ten•
165
tang Proses Perumusan Kebijakan Anggaran dalam Penyusunan Adi Brender and Allan Drazen. Political Budget Cycles in
APBD Tahun 2005 di Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi New versus Established Democracies. Tel Aviv University,
Barat". Yogyakarta, tesis, 2006, hlm. 31-32. University of Maryland, 2004 hlm. 1.

73
Situasi seperti itu sering diistilahkan sebagai Singkatnya, argumen pokok Wildavsky ada•
fenomena brokery di mana kepentingan substan• lah bahwa proses anggaran belanja mempunyai
tif setiap aktor yang terlibat ternyata menyelipkan alternatif terbatas. Hanya penyesuaian-penye•
kepentingan terselubung aktor itu sendiri maupun suaian yang secara relatif kecil dari anggaran
pesanan (by order) aktor eksternal. Keberadaan belanja sebelumnya dapat dibuat. Konsep ini
fenomena itu memang tidak diragukan namun su• mirip dengan yang diperkenalkan Lindblom,
lit dibuktikan secara empiris, sehingga pada level yaitu "partitional mutual adjustment",
metodologis hampir tidak mungkin melakukan Dalam kondisi yang disebutkan oleh Wil•
pelacakan. Selain aktor, kompetisi dan interaksi davsky, diperlukan sharing dan bargaining167
sebenarnya terjadi di antara masalah-masalah kepentingan seperti pembagian dan distribusi
yang dihadapi untuk memperebutkan ruang alokasi anggaran untuk setiap agenda yang sesuai•
pembiayaan yang akan disuarakan aktor di tengah kan oleh masing-masing aktor. Sharing akan
kondisi keterbatasan sumber daya pendanaan itu menentukan program yang muncul dan berapa
sendiri. alokasi yang disiapkan. Sharing akan menghasil•
Pada bagian yang lain, sebuah model pembuat• kan banyak model hasil kontestasi anggaran,
an kebijakan yang relatif signifikan, mirip dengan antara lain:
model inkremental, memperlihatkan interaksi pengurangan dan penghapusan agenda dan
aktor, bisa ditemukan dalam Aron Wildavsky biaya;
yang berjudul politik The Politic The Budgetary penambahan dan perobahan lokasi kegiatan
Process. Asumsi utama Wildavsky adalah peng• anggaran; dan
anggaran belanja pemerintah adalah inkremental, persetujuan atas revisi volume pekerjaan.
terpisah-pisah, nonprogrammatic, dan sequen•
Di Kabupaten Sleman, dari studi dokumen
sial. Ini disebabkan sifat pluralistik dari suatu
yang dilakukan diketahui bahwa setiap tahun•
situasi pembuatan anggaran belanja. Selanjutnya
nya dalam periode 2005-2010, belanja masing•
Wildavsky menjelaskan pemikiran ini dengan
masing SKPD tidaklah tetap. Misalnya belanja
mengatakan bahwa proses yang dikembangkan
SKPD pendidikan tahun 2006 adalah 42% dari
guna melakukan komparasi interpersonal tidak
total belanja daerah, 35% pada tahun 2007,
didasari kepentingan ekonomi, melainkan sarat
berturut-turut 37% dan 40% pada tahun 2008
dengan kepentingan politik. Konflik-konflik
dan 2009. Untuk belanja tahun 2010 belum bisa
dipecahkan (dengan landasan kesepakatan pada
dihitung, karena pada saat penelitian APBD
peran) dengan menerjemahkan preferensi-prefe•
Kabupaten Sleman untuk tahun 2010 sedang
rensi yang berbeda melalui sistem politik ke
dibahas. SKPD lain yang juga dihitung dan
dalam unit-unit yang disebut pemilihan dalam
dicermati dari dokumen adalah SKPD kesehatan,
tipe-tipe wewenang, seperti veto power. Strategi
yang pada tahun 2006 belanja bidang kesehatan
melibatkan politik sebenarnya faktor yang me•
adalah 6% dari total belanja daerah, 7 % pada
nentukan dalam proses anggaran belanja dan
tahun 2007, 8% dan 7% pada tahun 2008 dan
kinerjanya. Lebih jauh Wildavsky mengatakan
2009. Implikasi dari proses seperti ini, bisa saja
sebagai berikut.
menyebabkan tidak maksimalnya sebuah agenda
Budgeting is incremental, not comprehensive.
direncanakan secara teknis, namun berkeadilan
The beginning of wisdom about agency bud•
get is that almost never actively reviewed as a
dalam kacamata politis. Karena yang terjadi
whole every year in the sense of reconsidering adalah proses pembagian alokasi sumber daya
the whole ofall existing programs as compared yang biasanya mengabaikan azas manfaat dari
to allpossible alternatives. Instead, it is based on sebuah agenda.
lastyears budget with special attention given to
a narrow range of increase. Thus, the men hwo
make the budget are concerned with relatively
small increments to an existing base. Their atten• Little, Brown & co. Dalam Budi Winarno. Teori dan Proses
tion is focused on a small number of items over Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo, him. 112.
which the budgetary battle fought166 167
Michael Howlett, et.al. Studying public policy: Policy Circles
166 Aron and Policy Subsiter Oxford university Press, 1995, him. 141.
Wildavsky. The Politics ofBudgetary Process. Boston:

74
kan oleh DPRD Kabupaten Sleman. Agenda ini
Prioritas pembangunan Kabupaten Sleman
kemudian dilanjutkan sidang berikutnya dengan
Tahun 2009: agenda penyampaian pandangan umum oleh
1. Penanggulangan kemiskinan dan pengang• panitia anggaran dan oleh fraksi-fraksi.
guran
Pandangan umum panitia anggaran dan
2. Revitalisasi pertanian dan kehutanan fraksi-fraksi berisikan tanggapan dan rekomen•
3. Peningkatan kualitas kesehatan dan pendi• dasi. Beberapa tanggapan dan rekomendasi fraksi
dikan yang dibacakan dalam sidang pembacaan pan•
4. Pengembangan kawasan strategis, pening• dangan umum fraksi-fraksi terhadap Rancangan
katan dan pengelolaan lingkungan hidup Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan
dan sumberdaya alam Belanja Daerah Kabupaten Sleman Tahun Ang•
5. Peningkatan pendapatan daerah garan 2009 pada tanggal 6 Desember 2008168•
6. Peningkatan keamanan dan ketertiban Secara ringkas pandangan umum fraksi-fraksi
terlihat di bawah ini.
Sumber: Nota Keuangan Kabupaten Sleman Tahun 2009

Situasi seperti inilah yang dibahasakan sebagai Pandangan dari Fraksi Kebangkitan Bangsa
politik anggaran. Politik anggaran akan berlang• a. Kenaikan DAK Kabupaten Sleman cukup
sung dalam mekanisme dan prosedur formal signifikan, yaitu sebesar Rp25,8 miliar tentu•
maupun informal yang mempertemukan kedua nya dapat digunakan dengan sebaik-baiknya
lembaga tersebut dalam pembahasan kebijakan untuk meningkatkan pembangunan sarana
anggaran. Mekanisme itu diciptakan sebagai dan prasarana publik terutama jalan, jem•
upaya sistematisasi model pembahasan anggaran batan, dan fasilitas lain.
agar didapat keputusan yang mampu memenuhi b. Dalam mengatasi kemiskinan dan banyaknya
harapan semua pihak. RAPBD yang yang telah pengangguran, maka pembangunan prasarana
dikerjakan eksekutif Kebupaten Sleman selan• fisik di desa perlu dilakukan dengan sistem
jutnya diserahkan kepada DPRD untuk dipelajari padat karya.
dan untuk dibahas. Proses penetapan itu terdiri c. Perlu adanya penambahan bantuan sosial bagi
atas beberapa tahapan yang jika diperinci per Ormas dan juga Rois.
tahapannya adalah sebagai berikut. d. Kekurangan bantuan aspal
1. Penyampaian nota keuangan oleh Bupati Sle• Rp 1.000.000.000,00.
man. Perlu dicatat, fraksi Kebangkitan Bangsa
2. Pandangan umum oleh panitia anggaran dan tidak memberikan rekomensasi khusus terkait
oleh fraksi-fraksi. dengan tanggapan mereka. Yang menarik dari
3. Jawaban oleh eksekutif yang disampaikan tanggapan fraksi ini adalah lebih ditekankannya
oleh Bupati terhadap pandangan panitia ang• pada pembangunan yang bersifat fisik, dan tang•
garan dan fraksi. gapan pun dilakukan pada hal-hal yang bersifat
4. Sinkronisasi pandangan akhir oleh panitia global.
anggaran dan oleh fraksi-fraksi.
5. Penetapan RAPBD menjadi APBD. Pandangan Fraksi Partai Golkar
a. Eksekutif sepantasnya memperhatikan ke•
Nota keuangan yang disampaikan oleh Bupati beradaan linmas yang ada di .lingkungan
Sleman, berisikan kondisi dan kebijakan anggaran RT/RW sebagai ujung tombak pelaksana
pendapatan daerah, kondisi dan kebijakan ang• pemerintah perkampungan dan kemasyaraka•
garan belanja daerah, kondisi dan kebijakan ang• tan di desa. Yang perlu mendapat perhatian
garan pembiayaan pada tahun yang direncanakan. adalah bentuk kesejahteraan bagi mereka
Nota Keuangan APBD Kabupaten Sleman Tahun
16
8 Selengkapnya bisa dibaca dalam Risa/ah Rapat Paripurna
2009 dibacakan oleh Wakil Bupati Kabupaten
DPRD Kabupaten Steman tentang Pembahasan Perda tentang
Sleman Sri Pumomo pada tanggal 3 Desember APED Kabupaten Steman Tahun Anggaran 2009. Dibukukan
2008 pada sidang paripuma yang diselenggara- oleh Sekeretariat DPRD Kabupaten Steman, 2008.

75
yakni dengan menaikkan tunjangan RT/RW, dikan gratis dan berkualitas dari jenjang SD
linmas, tenaga-tenaga relawan yang selalu hingga SMA/SMK tanpa membeda-bedakan
siap membantu tugas-tugas pemerintahan di apakah mereka di sekolah negeri atau sekolah
setiap momen kegiatan demokrasi. swasta.
b. Mendukung kesepakatan bersama untuk meng•
b. Mengenai pajak (PBB), PPG mengusulkan
anggarkan jaminan kesehatan bagi warga
agar pemerintah meninjau ulang NJOP, karena
miskin senilai Rp8,342 miliar. Meskipun
realitanya di masyarakat banyak keluhan
karena keterbatasan anggaran pada APBD
dan keberatan lantaran kenaikan PBB yang murni baru dianggarkan Rp4, 171 miliar, telah
tidak seimbang dengan hasil pertanian yang
disepakati kekurangannya akan dianggarkan
diperoleh. pada APBD Perubahan 2009. Fraksi sekaligus
Dari tanggapan oleh fraksi Golkar tersebut meminta agar program ini diperluas cakupan•
yang menonjol dari usulannya adalah usulan nya pada RS swasta yang tersebar di seluruh
yang terkait langsung dengan kepentingan kon• Kabupaten Sleman sehingga memudahkan
stituen, masyarakat untuk mendapatkan layanan.

Dari pandangan fraksi-fraksi tersebut di


Pandangan Fraksi PKS
atas, terlihat bahwa belum ada usulan kongkret
a. Mendukung penganggaran jaminan pendi• yang diberikan oleh legislatif dalam penetapan
dikan dengan komitmen bersama senilai program dan pengalokasian anggaran belanja
Rp12 miliar, meskipun dalam APBD mumi daerah. Setelah Sidang yang kedua itu, maka
2009 baru dianggarkan Rp7,5 miliar, telah
agenda atau pembahasan selanjutnya adalah
disepakati bersama bahwa perubahannya
penyampaian jawaban dari eksekutif terhadap
akan dipenuhi dalam APBD 2009 Perubah•
pandangan umum yang disampaikan panitia
an. FPKS mengharapkan program ini dapat
anggaran dan fraksi. N amun, terkadang di dalam
memberikan solusi bagi kesulitan biaya siswa,
mekanisme tersebut tercipta pula pola-pola in•
terutama yang berasal dari keluarga tidak
mampu. Selain itu, eksekutif diminta segera teraksi yang terbatas pada elite aktor-aktor yang
menyusun regulasi pelaksanaannya dan mem• terlibat guna membentuk prakondisi dan distorsi
perbaiki pendataannya, sebab semua siswa bagi kontestasi dan relasi dalam pembahasan
miskin harus mendapatkan fasilitas pendi- anggaran daerah.

Tabel 2. Struktur Perumus Kebijakan Anggaran Daerah


AKTOR PERANAN STRATEGISNYA

Kepala Daerah Pemegang tertinggi kebijakan anggaran. Visi misinya harus menjadi acuan APBD
Menjadi ketua panitia anggaran eksekutif dan mengkoordinasikan semua proses penyu-
Sekretaris Daerah
sunan dan pembahasan anggaran.
Menjadi koordinator perencana, memfasilitasi proses sinkronisasi usulan masing-masing
Bappeda
SKPD.

BKKD (Bagian Keuangan) Mengkoordinasikan penyusunan rencana belanja aparatur.

Menyusun renstra berdasarkan RPJMD, menyusun renja berdasarkan renstranya,


SKPD mengikuti proses perencanaan, menyusun RKA SKPD, serta mengikuti proses pern-
!, bahasan dengan legislatif dan komisi-komisi.
I
'
Membahas dan menandatangani MOU KUA & PPAS, serta APBD.
Pimpinan DPRD dan
Membahas RAPBD yang diajukan eksekutif dan memiliki hak untuk menolak dan
Pimpinan Fraksi
menerima secara politis, yang disebut dengan pandangan fraksi.

Membahas RAPBD yang diajukan eksekutif dan memanggil SKPD yang sesuai dengan
Pimpinan Komisi
bidangnya masing-masing.

Memiliki hak suara untuk setuju dan tidak setuju, baik sebagai anggota fraksi, komisi,
Anggota DPRD
pimpinan.

Membantu kerja legislatif untuk membahas secara mendalam bersama panggar


Panggar Legislatif
eksekutif terhadap RAPBD.

76
!:.
I '!,,,1
Kurang Efektifnya Pembahasan Kantor Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil
oleh Legislatif Balai Latihan Kerja
Kecamatan
Sernentara untuk rnenjalankan roda pernerintahan
Sumber: Bagian Organisasi Kabupaten Sleman
dan aktivitas pernbangunan, Kabupaten Slernan
rnerniliki perangkat pernerintahan daerah yang Hal lain yang perlu dikernukakan berkaitan
diatur dalarn Perda Kab. Slernan Tahun 2003, dengan kondisi lernbaga eksekutif daerah Kabu•
dengan kornposisi dua sekretariat, lirna badan, paten Slernan pada saat penelitian dilaksanakan,
sernbilan dinas, dan lirna kantor, ditarnbah be• serta saat pernbahasan anggaran akhir tahun 2009
berapa institusi penting lainnya. Dan saat peneli• dan penganggaran 2010, posisi Bupati Kabupaten
tian berlangsung sedang direncanakan pergantian Slernan dijabat oleh penjabat sernentara, yang
kornposisi. Untuk pernbahasan dan penganggar• dalarn hal ini adalah Wakil Bupati Kabupaten Sle•
an pernbangunan yang harus berlangsung setiap rnan, Sri Purnorno. Keadaan itu terjadi karena Bu•
tahun, lernbaga eksekutif daerah rnerniliki tirn pati Kabupaten Slernan yang terpilih pada tahun
yang disebut dengan Tim Anggaran Pernerintah 2005 untuk periode 2005-2010, terkait rnasalah
Daerah Kabupaten Slernan, yang beranggotakan hukurn dan sedang rnenjalani proses persidangan
penjabat-penjabat pirnpinan dari seluruh instansi di Pengadilan Negeri Kabupaten Slernan.
di lingkungan pernerintahan Kabupaten Slernan.
Sernentara itu, Dewan Perwakilan Daerah
Posisi pirnpinan pada tirn khusus anggaran ini
Kabupaten Slernan periode 2004-2009 diisi oleh
dijabat oleh bupati sebagai pirnpinan ter.tinggi
45 orang dengan perincian seperti tercanturn pada
eksekutif di Kabupaten Slernan, selanjutnya oleh
Tabel 4 berikut:
Sekretaris Daerah, Kepala Badan Perencanaan
Pernbangunan Daerah (Bappeda) yang rnerupa• Tabel 4. Wakil-wakil Partai Di DPRD Kabupaten
kan badan yang khusus bekerja dalarn hal peren• Sleman Hasil Pemilu 2004

canaan pernbanguan daerah dan Kepala Badan


No. Nama Partai Jumlah Wakil (Orang)
Pengelola Keuangan Daerah (BPKKD) sebagai
1 PDIP 10
unit kerja yang rnernbidangi urusan keuangan.
Untuk lebihjelasnya dapat dilihat pada Tabel 3. 2 PAN 7

3 PKB 7
Tabel 3. Perangkat Pemerintah Daerah Kabupaten
Sleman 4 Golkar 5

Sekretariat Daerah 5 PPP 4


Sekretariat Dewan
6 PKS 6
Dinas Permukiman, Prasarana Wilayah
dan 7 Demokrat .3
Perhubungan
8 PKPB 1
Dinas Pengairan, Pertambangan dan Penanggulangan
Bencana Alam 9 PDS 1
Dinas Perdagangan,
Pertanian dan Perindustrian,
Kehutanan Koperasi dan Jumlah 45
Penanaman Modal
Dinas Kesehatan
Keernpat puluh lima orang anggota legislatif
Dinas Pendidikan
Dinas Tenaga Kerja, Sosial dan Keluarga Berencana tersebut adalah wakil rakyat dari enarn daerah pe•
Dinas Palisi Pamong Praja dan Ketertiban Masyarakat rnilihan. Wilayah I merupakan gabungan dari tiga
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kecarnatan (yaitu Tempel, S�ernan, dan Ngaglik),
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Badan Pengawasan Daerah
wilayah II adalah gabungan empat kecarnatan
Badan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (Turi, Pakem, Ngemplak, dan Cangkringan),
Badan Pengendalian Pertanahan Daerah wilayah III adalah gabungan dari tiga kecamatan
Badan Kepegawaian Daerah
(yaitu Prambanan, Kalasan, dan Brebah), sedang•
Rumah Sakit Umum Daerah
Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah
kan wilayah IV hanya ada satu kecamatan yaitu
Kantor Telekomunikasi dan lnformatika Kecarnatan Depok, karena merupakan kecamatan
Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan dengan penduduk terpadat di Kabupaten Sleman.
Kantor Pengelolaan Pasar
Selanjutnya, wilayah V terdiri atas dua keca-

77
matan (Mlati dan Gamping), serta wilayah VI Anggaran Pendapatan Daerah, Kondisi dan Ke•
terdiri atas empat kecamatan (Godean, Moyudan, bijakan Anggaran Belanja Daerah, serta Kondisi
Minggir, dan Seyegan). dan Kebijakan Anggaran Pembiayaan pada tahun
yang direncanakan. 169 Agenda ini kemudian
Masing-masing wakil daerah pemilihan
dilanjutkan sidang berikutnya dengan agenda
memperjuangkan konstituen di daerah pemilih•
penyampaian pandangan umum oleh panitia
annya. Perjuangan dilakukan bersama kekuatan
anggaran dan oleh fraksi-fraksi. Ditinjau dari
partai yang tergabung dalam fraksi yang ada,
sisi dinamika penyusunan anggaran atau yang
sehingga dalam pembahasan kekuatan masing•
oleh Wildavsky disebut sebagai politik anggaran,
masing partai juga kelihatan. Misalnya, fraksi
tanggapan dari panitia anggaran terhadap doku•
Partai Keadilan Sejahtera menegaskan pula
men RAPBD tahun 2008 belum memperlihatkan
bahwa dalam hal penyusunan anggaran, setiap
kalau di dalam prosesnya berlangsung dengan
SKPD seharusnya merujuk pada kebutuhan riil di
apa yang disebut sebagai bargaining. Karenajika
setiap SKPD. Namun, upaya penghematan yang
dicermati bahasa-bahasa tanggapan itu tidak ada
seharusnya dilakukan oleh setiap SKPD tidak
yang bersifat menekan eksekutif agar bersedia
selayaknya mengakibatkan penurunan kinerja
mengikuti alur berpikir legislatif, malahan dapat
dari SKPD tersebut. Apa yang dikemukakan
dikatakan alur pikir legislatif yang terwakili me•
tersebut mungkin ada benarnya, karena penulis
lalui panita anggaranjuga tidak terlihat. Dari do•
juga melihat bahwa masih terjadi pengulangan
kumen dan risalah tiga rapat paripurna terdahulu,
usulan program di setiap tahun anggaran. Bila
rata-rata komentar hanya menyangkut hal-hal
kita menelusuri risalah rapat-rapat paripurna
populer di saat tahun anggaran, seperti persoal•
beberapa tahun anggaran, terlihat bahwa dari
an pengadaan buku dan penyelesaian pendirian
tahun ke tahun kritik menyangkut masalah yang
stadion di Kabupaten Sleman.
sama, yaitu persoalan efektivitas dan efisiensi.
Akan tetapi, disayangkan bahwa sikap kritis Setelahnya adalah tahapan yang disebut
itu tidak berupa saran yang kongkret sehingga dengan sinkronisasi yang dilangsungkan dalam
dapat dikatakan bahwa apa yang dikemukakan rapat komisi.'?" Pembahasan sinkronisasi di
dalam rapat-rapat komisi ini dilaksanakan dengan
anggota DPRD Kabupaten Sleman masih pada
mengundang instansi-instansi yang menjadi
level normatif.
mitra, untuk kemudian dilakukan pembahasan
Dalam rapat-rapat pembahasan, anggota legis•
per bidang yang dibawahi oleh komisi bersang•
latif dapat melakukan penambahan agenda, atau
kutan. Pembahasan di komisi diawali dengan
melakukan penegasan, baik tentang rencana-ren•
rapat dengar pendapat dengan semua unsur ma•
cana yang lain maupun rencana yang lebih mikro.
syarakat, atau yang sering disebut sebagai public
Rasionalisasi usulan agenda oleh para anggota
hearing, yang dilanjutkan dengan rapat internal
legislatif dalam rapat-rapat pembahasan RAPBD
masing-masing komisi, dan kemudian komisi
bukan tidak mungkin menyelipkan hidden agen•
mengundang SKPD terkait untuk melakukan
da (agenda tersembunyi) personal mereka.
konsultasi. Di sini terlihat bagaimana persetu•
Di samping itu, patut dicatat bahwa kendati juan yang diberikan oleh legislatif lebih pada
terjadi pembahasan yang panjang, pada kenyata• pertimbangan politik dan kepentingan pribadi
annya rapat ini tidak begitu signifikan mampu para aktor.
memengaruhi kebijakan dan penetapan program
serta pengalokasian anggaran. Bahkan terkesan 169
Nota Keuangan APBD Kabupaten Sleman Tahun 2009 di•
panitia anggaran di legislatif tidak terlalu ber• bacakan oleh Wakil Bupati Kabupaten Sleman, Sri Purnomo,
fungsi. Dari usulan yang diajukan oleh eksekutif, pada tanggal 3 Desember 2008 dalam sidang paripurna yang
diselenggarakan oleh DPRD Kabupaten Sleman.
legislatif hanya mampu mengubah 10-20 persen
170
Di dalam struktur kelembagaan legislatif Kabupaten Sleman,
terhadap usulan eksekutif tersebut. Perubahan
terdapat beberapa alat kelengkapan yang menunjang kinerja
dimaksud sudah termasuk di dalamnya ihwal lembaga tersebut. Salah satu perangkat DPRD yang dibuat
angka dan program. adalah komisi-komisi. Ada empat komisi di DPRD Kabupaten
Sleman, yaitu Komisi A membawahi hukum dan pemerintahan,
Nota Keuangan yang disampaikan oleh Komisi B mengurusi soal keuangan, Komisi C bidang pem•
Bupati Sleman, berisikan Kondisi dan Kebijakan bangunan, dan terakhir Komisi D bidang kesejahteraan.

78
Proses Perencanaan dan Penyusunan diambil, karena jika semuanya tidak terpenuhi
akan mengakibatkan kekecewaan pada masyara•
Prioritas Pembangunan
kat pemilih. Inilah yang merupakan keputusan
Proses penyusunan dan pengalokasian APBD
yang dibuat didasarkan pada keuntungan politik
Kabupaten merupakan rangkaian kegiatan yang
dengan dipandang sebagai sarana untuk mencapai
diawali dari proses perencanaan hingga pengang•
tujuan-tujuan partai atau tujuan-tujuan kelompok
garan yang saling terkait dan tidak terpisahkan,
kepentingan.
keduanya merupakan proses yang menyatu.
Tabel 5 memberi penjabaran analisis kese•
Tahapan perumusan kebijakan pembangunan
suaian arahkebijakan pembangunan sosial, dengan
dimulai dari penjaringan masalah dan agenda
melihat konsistensi antara visi dan misi kepala
yang diharapkan masyarakat hingga pada tahapan
daerah terpilih dan prioritas dalam RPJMD peri•
disahkannya APBD tiap tahunnya.
ode tahun 2005-2010 dengan Rencana Kerja
Dalam proses penyusunan RPJMD terlihat
Pemerintah Daerah (RKPD) pada tiap-tiap tahun
dinamika yang menggambarkan proses pemenuh•
anggaran. Terlihat dari dua dokumen yang ada
an kepentingan aktor yang terlibat dalam penyu•
bahwa prioritas dalam RKPD tahunan mulai dari
sunan, yaitu antara pasangan bupati terpilih dengan
tahun 2007 hingga 2009 adalah sama. Tentunya
tim yang dibentuk bappeda. Kepentingan yang
tidak ada yang salah dengan samanya prioritas
menonjol adalah kepentingan dari pasangan bu•
pembangunan dalam RKPD tahunan tersebut.
pati terpilih. Situasi seperti itu sering diistilahkan
Hal ini bisa disebabkan karena memang prioritas
sebagai fenomena brokery, di mana setiap aktor
di tahun 2007 masih belum terwujud sehingga
yang terlibat ternyata menyelipkan kepentingan
kembali harus menjadi prioritas di tahun-tahun
terselubung aktor itu sendiri maupun pesanan (by
berikutnya.
order) aktor eksternal. Agar harapan setiap aktor
terakomodasi dalam hasil keputusan kebijakan,
kemampuan aktor bernegosiasi menjadi salah KUA yang Terabaikan
satu faktor penentunya di tengah kontestasi atas Perumusan Kebijakan Umum Anggaran (KUA)
banyaknya masalah atau program yang harus tiap tahunnya adalah sebuah proses perumusan
dimasukan ke dalam dokumen RPJMD. kebijakan anggaran dengan aspek kualitatif karena
aspek kuantitatifnya tertuang dalam Rancangan
Kenyataan tersebut tentunya sangat ironis
mengingat kepentingan yang diperjuangkan Anggaran Belanja Daerah (RAPBD). Selain
mestinya ialah kepentingan rakyat. Bila kita me• KUA sebenarnya ada dokumen kualitatiflainnya
nengok data di lapangan menunjukkan masih dalam proses penetapan program dan pengaloka•
cukup tingginya angka kemiskinan di Kabupaten sian anggaran daerah, yaitu dokumen Prioritas
Sleman yaitu 58.701 kepala keluarga (KK) dari dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS). ·
total 250.847 KK. Ini berarti permasalahan pen• Pada proses penyusunan program dan peren•
ting di daerah ini ialah masih terdapatnya sekitar caaan penganggaran setiap tahunnya di Kabupa•
23,40% penduduk miskin dan masih belum ten Sleman, ada beberapa tahapan yang dilewati,
terpenuhi kebutuhan masyarakat akan lapangan mulai dari tahapan perencanaan hingga pengang•
kerja. garan, seperti yang dapat.kita lihat Gambar 1.
Kontestasi kepentingan antaraktor dalam KUA adalah sasaran dan kebijakan dae•
penyusunan program RPJMD jelas masih ber• rah dalam satu tahun anggaran yang menjadi
orientasi pada aspek politik, di mana para aktor petunjuk dan ketentuan-ketentuan umum yang
melihat alternatif-alternatif kebijakan berdasar• disepakati sebagai dasar penyusunan Rancan•
kan pada kepentingan partai politik beserta ke• gan APBD. KUA disusun dan disepakati oleh
lompoknya ( clientele group). Dalam hal ini dapat pemerintah daerah bersama DPRD dan tertuang
disebutkan antara lain kepentingan bupati terpilih dalam sebuah nota kesepakatan. KUA merupakan
yang harus memenuhi janji kepada masyarakat ruang pertemuan untuk menyatukan agenda
pemilihnya, walaupun kemudian proses itu men• pemerintah yang terdiri atas visi dan misi daerah,
jadi sulit karena harus disesuaikan dengan potensi renstrada, kinerja masa lalu, kebijakan pemerin•
Kabupaten Sleman. Keputusan seperti itu harus tah pusat dan asumsi/estimasi keuangan daerah,

79
� Tabel 5. Analisis Kesesuaian Arab Kebijakan Pembangunan Sosial

Prioritas Pembangunan dalam


No Visi Misi Kepala Daerah RKPD
RPJMD
Visi: 2007 2008 2009
Terwujudnya masyarakat
Sleman yang lebih sejahtera 1. Peningkatan kualitas 1. Peningkatan kualitas 1. Penanggulangan kemiskinan 1. Penanggulangan kemiskinan dan pengangguran
lahir dan batin tahun 2010 pelayanan publik terutama pelayanan publik terutama dan pengangguran 2. Revitalisasi pertanian dan kehutanan
pendidikan dan kesehatan pendidikan dan kesehatan 2. Revitalisasi pertanian dan 3. Peningkatan kualitas kesehatan dan pendidikan
2. Pemberdayaan masyarakat 2. Peningkatan pemberdayaan kehutanan 4. Peningkatan kualitas pelayanan publik
miskin masyarakat terutama rnasy- 3. Peningkatan kualitas pendi- 5. Pengembangan kawasan strategis, peningkatan
3. Peningkatan kontribusi arakat miskin dikan dan kesehatan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya
pendapatan daerah dalam 3. Rehabilitasi dan rekonstruksi 4. Peningkatan kapasitas a lam
pembangunan pascabencana pemerintah daerah 6. Peningkatan pendapatan daerah
4. Ketersediaan data yang 4. Peningkatan peran serta ma- 5. Pembangunan infrastruktur, 7. Peningkatan keamanan dan ketertiban
akurat dan mutakhir syarakat dan swasta dalam peningkatan pengelolaan
5. Peningkatan peran serta ma- dunia usaha dan investasi lingkungan hidup dan sum-
syarakat dan swasta dalam 5. Revitalisasi pertanian dan ber daya alam
dunia usaha dan investasi kehutanan 6. Peningkatan pendapatan
6. Stabilitas keamanan dan 6. Peningkatan stabilitas daerah
ketertiban masyarakat yang ketentraman dan ketertiban 7. Peningkatan keamanan dan
kondusif masyarakat yang kondusif ketertiban

Misi
Menjaga terselenggaranya tata
pemerintahan yang baik
Menjaga keberlanjutan kegia-
tan perekonomian masyarakat

Meningkatnya kualitas hidup


dan kehidupan masyarakat
Siklus Penyusunan APBD
Penyusunan KUA-Proses yang terabaikan

...__P_r_n_m_a_m_�-->��---....-i RKPD

. J

Pedoman
RAPBD RKA-SKPD -----1 Penyusunan
RKA-SKPD
Nota
Kesepakatan

Evaluasi Raperda APBD oleh Gubernur/


Mendagri 1---->- APBD

Gambar 1. Siklus Penyusunan APBD

dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat, guna yang terjadi dengan legislatif. Kenyataan ini
menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi dapat dibuktikan dengan cara membandingkan
masyarakat. KUA berisikan agenda umum pem• Rancangan KUA dengan dokumen KUA yang
bangunan yang kemudian akan dijadikan payung disetujui dan disahkan. Setelah pembahasan di
untuk menentukan arah belanja setiap SKPD panitia anggaran, kemudian hasil rumusan KUA
selama satu tahun penganggaran. Dalam KUA tersebut dibahas dalam rapat paripuma DPRD
dimuat informasi tentang strategi pembangunan yang melibatkan seluruh pimpinan dan anggota
daerah sesuai dengan perkembangan situasi, dewan dengan mengahadirkan seluruh pimpinan
muatan informasi itu didapatkan dengan terlebih SKPD. Pada saat ini DPRD membacakan pan•
dahulu melakukan jaring aspirasi masyarakat dangan umum panitia anggaran terhadap KUA
yang dilakukan di tahun sebelumnya, kemudian dan juga pandangan umum fraksi. Pada saat
disusun proyeksi anggaran pendapatan, belanja ini sebenarnya anggota dewan masih diberikan
dan pembiayaan tahun bersangkutan. kesempatan untuk mengkritisi dan untuk memasti•
Di Kabuapten Sleman KUA dirumuskan oleh kan harapan konstituen. Akan tetapi, proses
eksekutif, kemudian hasilnya diajukan ke DPRD pembahasan KUA nyatanya tidak berlangsung
untuk disetujui menjadi KUA melalui sebuah lama, karena secara aklamasi antara eksekutif
nota kesepakatan. DPRD sebagai lembaga poli• dan legislatif menyatakan kesepakatannya ter•
tis kemudian bekerja mempelajari KUA usulan hadap KUA yang diajukan oleh eksekutif, tanpa
eksekutif, yang dilakukan oleh panitia anggaran. halangan atau kritik yang berarti.
Selain dibahas oleh panitia anggaran sebenarnya Pembahasan KU� antara eksekutif dengan
di Kabupaten Slemanjuga dilakukan pembahasan DPRD tidak begitu dinamis, ditandai dengan
oleh masing-masing fraksi. Melalui panitia ang• kurangnya aspirasi dan perdebatan yang berlang•
garan dan pembahasan di fraksi anggota DPRD sung di dalamnya. Hal ini antara lain dikarenakan
yang merepresentasikan wilayah pemilihan, KUA masih berisi pernyataan-pernyataan umum
partai, dan berbagai kepentingan yang disuarakan tentang rencana pembangunan, belum spesifik
dapat mengajukan usulan dan melakukan analisis dan belum mencantumkan nilai rupiah yang de•
kritis. Dari studi dokumen yang dilakukan selama tail lantaran masih dicantumkan dengan sistem
periode 2005-2010 pembahasan KUA di Kabu• kelompok. Ini sebagaimana diungkapkan oleh
paten Sleman hanya sekadar menguatkan apa seorang informan: 171
yang sudah diagendakan pemerintah. Artinya,
171Wawancara dengan RSH, salah satu anggota DPRD Kabu•
tidak ada perubahan signifikan atas pembahasan
paten Sleman, pada 24 Juli 2009.

81
"Pernbahasan KUA memang biasanya tidak periode tahun yang akan datang. Angka di pos
memakan waktu lama, karena KUA itu khan pengeluaran merupakan perubahan (kenaikan)
masih sesuatu hal yang umum. Biasanya pem• dari angka periode sebelumnya. Permasalahan
bahasan yang panjang itu nanti saat membahas yang hams diputuskan bersama adalah metode
RAPED, karena sudah ada angkanya sehingga penaikan/penurunan (incremental) dari angka
lebih jelas".
anggaran tahun sebelumnya. Logika sistem
anggaran ini adalah seluruh kegiatan yang di•
Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan
laksanakan merupakan kelanjutan kegiatan dari
Belanja Daerah Tahun 2010 misalnya menetap•
tahun sebelumnya.
kan kebijakan umum belanja daerah adalah
untuk menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi
masing-masing satuan kerja perangkat daerah Regulasi APBD: Ruang Bagi Ekskutif
serta untuk memenuhi kebutuhan anggaran sesuai untuk "Bermain"
dengan prioritas yang ditetapkan. APBD tahun Agaknya perlu untuk terns mengingatkan peme•
2010 diperkirakan mencapai Rpl,006 triliun rintah daerah bahwa anggaran daerah adalah per•
yang dipergunakan untuk belanja tidak langsung wujudan amanat rakyat kepada pihak eksekutif
sebesar Rp715,104 miliar. Anggaran tersebut dan legislatif. Untuk itu, pemerintah dilengkapi
dipergunakan untuk membiayai gaji dan tun• dengan rambu-rambu yang merupakan pedo•
jangan pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan man dalam penyusunan anggaran. Dalam proses
sosial, bagi basil bantuan keuangan dan belanja penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja
tidak terduga. Selebihnya, dialokasikan untuk Daerah Kabupaten Sleman, dasar hukum yang
belanja langsung sebesar Rp291,662 miliar, yakni digunakan sebagai pedoman penyusunan itu
dipergunakan untuk membiayai program dan cukup banyak dan juga rumit. Pada Gambar 2
kegiatan masing-masing SKPD sesuai dengan ditunjukan berbagai peraturan yang digunakan
fungsi dan urusan pemerintah daerah yang hams dalam penyusunan APBD.
dilaksanakan. Pada amandemen terakhir terhadap UUD
Angka dan prioritas program yang diusulkan 1945 pasal 18A ayat (2) diamanatkan agar hu•
oleh pemerintah daerah (eksekutif) tidak berbeda bungan keuangan, pelayanan umum, sumber daya
dengan dokumen yang kemudian disepakati alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah
antareksekutif dan legislatif melalui nota kese• Pusat dan Pemerintah Daerah diatur dan dilak•
pakatan antara Pemerintah Kabupaten Sleman sanakan secara adil dan selaras berdasarkan
dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabu• undang-undang. Ini kemudian menjadi dasar
paten Sleman No. 48/Kep.KDH/B2009 dan No. pembentukan Undang-Undang tentang Perim•
3/Kes-DPRD/2009 tanggal 6 November 2009 bangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
tentang Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan Pemerintah Daerah. Selanjutnya, melalui Ketetap•
dan Belanja Daerah Kabupaten Sleman Tahun an MPR No. 1 V/MPR/2000 tentang Rekomen•
Anggaran 2010. DPRD di sini agaknya belum dasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi
merasa penting untuk mengkritisi KUA dengan Daerah dan Ketetapan MPR No. VI/MPR/2002
sangat detail, karena dianggap belum strategis Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan
bagi kepentingan mereka. MPR RI oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, dan
Di lain pihak, program dan alokasi anggaran MA merekomendasikan kepada Pemerintah dan
dalam ABPD adalah kompilasi dari usulan yang DPR agar melakukan perubahan yang bersifat
diajukan oleh masing-masing SKPD. Jika kita mendasar dan menyeluruh terhadap UU No.22
melihat kembali, sebenamya tidak sepenuhnya Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
anggaran belanja Kabupaten Sleman disusun UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
berbasis kinerja, tetapi juga berupa pengga• Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerin•
bungan dengan incremental budgeting, yaitu tah Daerah. Sejalan dengan amanat TAP MPR
sistem anggaran belanja dan pendapatan yang tersebut serta perkembangan dalam peraturan
memungkinkan revisi selama tahun berjalan, se• perundang-undangan di bidang keuangan negara,
kaligus sebagai dasar penentuan usulan anggaran yaitu UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan

82
uu 2512004 uu 17/2003 uu 1/2004 W3312004,

PP38/07

PP41/07
PERM9ll)A(3Rt 13/116 .
. .J ..
PE�DAGRI S'J/07

Gambar 2. Landasan Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah

Negara, UU No.I Tahun 2004 tentang Perben• Setiap unit kerja diharuskan merasionalisasi•
daharaan Negara, UU No.15 Tahun 2004 tentang kan rencana kegiatannya pada setiap program,
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab mulai dari tujuan, hasil dan manfaat setiap kegiat•
Keuangan Negara, terjadilah perubahan mendasar an. Selain itu proses revisi dan konfirmasi item
dan menyeluruh dalam sistem keuangan negara. dilakukan untuk mengoptimalkan ketepatan
Adapun peraturan pemerintah (PP) yang lahir dengan input dari setiap SKPD dengan pusat
setelah perubahan perundang-undangan tersebut data di bappeda. RASK harus mencerminkan
di antaranya adalah: PP No. 37 Tahun 2005 tentang kesesuaian dan konsistensi dengan KUA dan
Kedudukan Protokoler dan Keuangan DPRD, PP strategi prioritas yang telah ditetapkan. Misalnya,
No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, PP pada RAPBD tahun 2009 SKPD kesehatan
No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, mengajukan usulan program promosi kesehatan
PP No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi dan pemberdayaan masyarakat dengan anggaran
Keuangan Daerah, PP No. 57 Tahun 2005 tentang sebesar Rp271.046.500 dan pada tahun anggaran
Hibah Kepala Daerah, dan PP No. 58 Tahun 2005 2010 program ini muncul kembali dengan nama
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. program yang sama, yaitu program promosi
Di Kabupaten Slernan semua peraturan itu kesehatan dan pemberdayaan masyarakat dengan
dijadikan dasar hukum dalam menyusun doku• anggaran sebesar Rp57 l.193.000. Serupa pula de•
men anggaran belanja daerah. Rencana anggaran ngan itu, dari SKPD Pendidikan pada tahun 2007
kegiatan yang dibuat oleh SKPD di lingkungan mengusulkan program penyelenggaraan program
pemerintah Kabupaten Sleman, yang disingkat PAUD dengan anggaran Rpl 75.000.000, namun
dengan RASK, merupakan dokumen dasar dalam pada tahun anggaran 2010 usulan ini kembali
penyusunan anggaran pendapatan belanja daerah. diajukan dengan nama programpengembangan
Dokumen dasar tersebut selanjutnya disampaikan pendidikan usia dini (PAUD) dengan anggaran
kepada tim anggaran daerah untuk dievaluasi le• sebesar Rp47.250.000 yang dilakukan dalam
bih lanjut mengenai kesesuaian program yang ada banyak kegiatan, yaitu pengembangan kuriku•
di unit kerja, kesesuaian program dan kegiatan lum, bahan ajar dan model pembelajaran pendi•
unit kerja dengan tupoksinya, dengan strategi dikan anak usia dini, penyelenggaraan koordinasi
. dan prioritas daerah serta dengan kewajaran dan dan kerja sama PAUD, publikasi dan sosialisasi
target kinerja. PAUD.

83
Pengulangan program dari tahun ke tahun Kita ingin mengatakan bahwa sistem peng•
anggaran tidak selalu salah, selama indikator anggaran yang digunakan di Kabupaten Sleman
capaian program yang diulang tersebut jelas dan adalah anggaran yang berbasis kinerja, namun
terukur. Dalam kasus program promosi kesehatan nyatanya dalam program-program, capaian kinerja
dan pemberdayaan masyarakat seperti di atas, indi• belum bisa diukur. Kesepakatan yang terjadi
kator capaiannya adalah sama, dan terlebih lagi dan kemudian ditetapkan menjadi APBD adalah
di dalam dokumen Laporan Keterangan Pertang• salah satu bentuk dari keahlian aktor dalam hal
gungj awaban (LKPJ) tahun 2009 keberhasilan ini eksekutif dalam melakukan negosiasi, dan
program ini tidak dijelaskan, sehingga tentunya menyakinkan legislatif, bahwa itu sesuai dengan
dari sisi fungsi anggaran sebagai alat penilaian kesepakatan dalam KUA, dan tidak bertentangan
kinerja (performance measurement tool) APBD dengan aturan hukum penyusunan anggaran.
Kabupaten Sleman tidak bisa dijadikan indikator
untuk menilai kinerja aparatur penyelenggara
pemerintahan yang bertugas memberikan layanan Kesimpulan
kepada masyarakat. Aktor-aktor yang terlibat dalam perumusan kebi•
Membandingkan usulan dana program antar• jakan anggaran dalam perspektif politik anggaran
bidang dan antara satu dinas dengan dinas lain• masih senantiasa memperjuangkan kepentingan
nya adalah salah satu upaya untuk meningkatkan sendiri dengan berbagai strategi. Bagi eksekutif
posisi tawar terkait dengan usaha setiap SKPD strategi yang paling aman adalah dengan senan•
untuk meningkatkan jumlah anggaran yang dike• tiasa mengemukakan bahwa anggaran telah se•
lola. Namun, terkadang kita menyaksikan bahwa suai dengan aturan. Sementara, untuk kondisi
peningkatannya itu tidak rasional, ini semua erat semacam itu, legislatif biasanya tidak bisa ber•
kaitannya dengan sistem penganggaran yang buat banyak, terutama disebabkan pada dasarnya
masih bersifat inkremental. Logika dari sistem legislatif-DPRD tidak punya cukup pengetahuan
anggaran ini adalah seluruh kegiatan yang dilak• di bidang penganggaran. Ditemukan bahwa ma•
sanakan merupakan lanjutan kegiatan dari tahun sih banyak anggota legislatif yang tidak mengerti
sebelumnya. Kondisi yang terjadi dengan program apa yang menjadi prioritas pembangunan Kabu•
dari dinas kesehatan yang disebutkan tadi tidak paten Sleman. Selain itu, landasan prioritas oleh
sepenuhnya demikian. Ini karena dengan nama legislatif masih tersekat-sekat pada pemahaman
program yang sama, rincian kegiatannya jauh pemenuhan kebutuhan para konstituen. Di dalam
berbeda. Tahun 2008 program yang dilaksanakan penyusunan APBD terjadi proses sharing dan
adalah pemberdayaan UKBM (Usaha Kesehatan bargaining kepentingan antaraktor.
Berbasis Masyarakat), penyebarluasan informasi
kesehatan, pembinaan terpadu (PKK-KB Kes, Daftar Pustaka
TMKK), dan penyebarluasan informasi tentang Brender, Adi, dan Allan, Drazen. 2004. Political Bud•
bahaya napza terhadap kesehatan. Sedangkan get Cycles in New versus Established Democra•
pada tahun 2010 dengan jumlah anggaran yang cies. Tel Aviv: University of Maryland.
jauh lebih besar kegiatan yang dilakukan adalah Bastian Indra. 2001. Akuntasi Sektor Publik di Indo•
promosi kesehatan dan informasi sadar hidup nesia. Jakarta.
sehat, penyuluhan masyarakat pola hidup sehat, Halim, Abdul. 2007. Akuntansi Sektor Publik Akun•
peningkatan pemanfaatan sarana kesehatan dan tans i Keuangan Daerah. Jakarta: Selemba
peningkatan pendidikan tenaga penyuluhan kese• Empat.
hatan. Terlihat bahwa kegiatan di tahun 2010 bu• Howlett, Michael, et.al. 1995. Studying public poli•
kanlah lanjutan kegiatan tahun 2008. Wildavsky cy: Policy Circles and Policy Subsiter. Oxford
University Press.
menjelaskan ini adalah sebagai bentuk hasil dari
sebuah kompromi-kompromi politik. Kompromi Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogya•
karta: Andi.
politik yang dilakukan oleh aktor, dalam hal ini
. 2004. Otonomi dan Manajemen
adalah anggota TAPD dengan SKPD.
Keuangan Daerah. Yogyakarta: Andi.

84
Santoso, Purwo, dkk. 2004. Menembus Ortoksi Ke• Wildavsky, Aron. 1946. The Politics of Budgetary
bijakan Publik. Dalam M. Ridwan Jafar. 2006. Process. Boston: Little, Brown & co. Dalam
Politik Anggaran Daerah, Studi tentang Proses Budi Winarno. Teori dan Proses Kebijakan
Perumusan KebijakanAnggaran dalam Penyu• Publik. Yogyakarta: Media Pressindo.
sunan APED Tahun 2005 di Kabupaten Mamu• Kepmendagri No. 29 Tahun 2002.
ju, Provinsi Sulawesi Barat. Yogyakarta.

85
86
EVALUASI PEMILU LEGISLATIF 2009:
Tinjauan atas Proses Pemilu, Strategi Kampanye, Perilaku Memilih,
dan Konstelasi Politik Hasil Pemilu"

Lili Romli

Abstract

In general, the 2009 legislative election has been conducted condusively. However, _t�ere were_some P_roblems
in the implementation ofthe election such as fixed voter lists and the election results decision. In this election, JJ_ar•
ticipation of the voter was decreasing relatively compare to previous election an� the trend o! the =: behavifwzr
tend to be transactional. In this regards, there were frictions of the 2009 electzon �esults �1th the victory o t e
Democratic Party accompanied by the decline of the Golkar Party, PDIP and Islamic parties.

Pendahuluan sesuai dengan ketentuan UU Pemilu No.3 Tahun


1999 tentang Pemilu, parpol yang lolos electoral
Pada era reformasi ini, bangsa Indonesia telah
threshold (ET) 2% hanya enam parpol, yaitu
melakukan tiga kali pemilihan umum (pemilu),
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),
yaitu di tahun 1999, 2004, dan 2009. Pada Pe•
Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan
milu 2004 dan 2009 bangsa Indonesia dianggap
Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa.
telah mampu menunjukkan kemajuan dalam ber•
(PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan
demokrasi dan berpolitik secara lebih modem.
Partai Bulan Bintang (PBB). Dan dalam kon•
Kenyataan inilah yang menyebabkan bangsa ini
teks sejarah politik, basil Pemilu 1999 memang
mulai mendapat perhatian dari berbagai kalang•
berhasil mengurangi hegemoni Golkar selama
an di belahan dunia. Predikat sebagai sebuah
32 tahun lebih.
negara demokrasi terbesar ketiga tak pelak disan•
dang oleh Indonesia saat ini, setelah hampir lima Pemilu kedua era reformasi dilaksanakan
dekade hidup dalam otoriterianisme. pada tahun 2004. Sebanyak 24 partai politik
berpartisipasi dalam pemilu tersebut. Pada Pe•
Pemilu Legislatif (Pileg) 1999 merupakan
milu 2004 itulah rakyat Indonesia diperkenalkan
momentum awal kebebasan berpolitik di negeri
pada sistem pemilu "langsung". Si stem pemilu
ini sekaligus menjadi titik tolak transisi menuju
legislatif yang menggunakan mekanisme pro•
kehidupan demokrasi yang lebih baik. Pemilu porsional dengan daftar "semi-terbuka" memang
1999 memberikan kesempatan bagi setiap partai mengundang perdebatan. Ketika pelaksanaannya
politik peserta pemilu untuk berpartisipasi dan pun masih menunjukkan kuatnya peran pengurus
berkompetisi secara lebih adil, memberikan ke•
pusat partai dalam men_ent�kan calon le�islatif.
bebasan bagi rakyat untuk memilih secara lebih
Namun, setidaknya Pemilu 2004 relatif telah
konsekuen, dan menciptakan ruang dan peran
membuka peluang lebih besar bagi rakyat untuk
yang cukup besar bagi kekuatan di luar negara
lebih terlibatmeski secara terbatas dalam persoal•
dalam pelaksanaan pemilu.
an pemilihan calon anggota Iegislatif (caleg).
Hasil Pemilu 1999 menunjukkan dari 48
Hasil Pemilu 2004 kemudian menunjukkan
partai politik (parpol) peserta pemilu, tidak ada
adanya perubahan peta politik secara nasional
satupun yang memperoleh suara mayoritas mut•
dan di tingkat lokal. Perubahan tersebut terjadi
lak. Secara keseluruhan ada 21 parpol yang mem•
terutama pada pergeseran kekuatan partai politik
peroleh kursi di DPR. Dari 21 parpol tersebut,
pada pemilu 1999 dan pemilu 2004. Dalam pemi•
"Penelitian dengan judul tersebut dilakukan oleh tim penel!ti lu 2004, Partai Golkar keluar sebagai pemenang
yang beranggotakan Lili Romli (Koordinator), Syamsuddm
Haris, Firman Noor, dan Tri Rainny Syafarani.
pemilu dengan memperoleh suara 21,6% (128

87
kursi). Meski memenangkan pemilu, suara yang dan kekuasaan oleh pejabat publik yang melaku•
diperoleh Partai Golkar mengalami penurunan di• kan kampanye; ini khususnya menyangkut tidak
bandingkan dengan Pemilu 1999 (22,4% ). PDIP adanya aturanjelas mengenai penggunaan fasili•
yang pada Pemilu 1999 sebagai pemenang, pada tas publik dan sanksi bagi partai atau calon yang
Pemilu 2004 ia berada pada urutan kedua dengan menyalahgunakannya.
memperoleh suara 18,5% (109 kursi). PDIP men• Ketiga, sistem proporsional terbuka yang
galami penurunan suara sekitar 15% dari hasil Pe• diterapkan masih memungkinkan terjadinya
milu 1999 (33,73%). Urutan ketiga ditempati oleh dominasi peran partai politik dalam penentuan
PKB dengan 10,6% (52 kursi), kemudian PPP calon. Partai politik dapat "menggiring" pemilih
8,2% (58 kursi), dan PAN 6,4% (52 kursi). Sama untuk mencoblos hanya tanda gambar partai saja
dengan Partai Golkar dan PDIP, ketiga partai ini tanpa pilihan atas nama calon. Dengan begitu,
sama-sama mengalami penurunan suara. pemilih dapat terjebak untuk kembali ke pro•
porsional tertutup meskipun secara formal yang
Secara umum Pemilu 1999 maupun Pemilu
berlaku adalah sebaliknya. Keempat, posisi dan
2004 memang berlangsung relatif sesuai dengan
kewenangan lembaga pengawas pemilu masih
tatanan normatif pelaksanaan pemilu yang
lemah. Kebutuhan akan lembaga pengawas
demokratis, namun bukan berarti tidak ada
independen dengan kewenangan yang luas itu
mas al ah sama sekali. Dalam Pemilu 1999, yang
dinafikan oleh pemerintah dan DPR. Pengadilan
secara prosedural lebih demokratis dibandingkan
ad hoc atau pengadilan khusus pemilu juga sama
pemilu-pemilu masa Orde Barn, catatan kelam
sekali tidak diakomodasi dalam undang-undang
terutama terkait dengan perilaku elite politik hasil
pemilu. Padahal, pada Pemilu 1999, pengadilan
pemilihan itu sendiri. Hal ini karena substansi
umum gagal sebagai institusi yang bertugas untuk
demokrasi yang diharapkan berkembang dengan
menegakkan hukum pemilu. Fenomena yang
baik setelah pelaksanaan sebuah pemilu yang
kemudian terjadi, sebagai dampak susulan dari
demokratis tidak terjadi. Performa wakil-wakil
kelemahan aturan main di atas, adalah muncul•
rakyat yang duduk di legislatif selain dianggap
nya berbagai pelanggaran pemilu seperti money
tidak mampu menegakkan makna reformasi yang
po/Wes dan pelanggaran kampanye, menajamnya
sesungguhnya, juga menjadi bagian yang menim•
konflik internal, menguatnya fenomena oligarki
bulkan masalah politik berkepanjangan. Hal ini
partai politik dalam pencalonan.
ditandai, misalnya, dengan semakin meluasnya
Dari dua pelaksanaan pemilu tersebut ter•
praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, ketidak•
dapat beberapa pelajaran penting, khususnya
adilan dan ketidaktegakan hukum.!"
terkait dengan keberadaan partai politik dan
Pada Pemilu 2004, permasalahan terutama kehidupan demokrasi. Pertama, secara umum
dikaitkan dengan soal-soal yang bersifat prose• pemilu belum dapat mengubah orientasi partai
dural. Peraturan perundangan tentang Pemilu, untuk mengedepankan program. Partai-partai
yaitu UU No. 12 Tahun 2003 menyisakan ber• politik cenderung mengembangkan isu-isu yang
bagai masalah, antara lain173: pertama, peng• terkait dengan masalah primordial, figuritas atau•
aturan dana kampanye yang sangat longgar, tidak pun wacana-wacana yang bersifat jargon yang
transparan, dan jauh dari prinsip-prinsip akun• bersifat sementara dan tidak detail. Situasi ini
tabilitas publik yang universal. Tidak ada aturan bukan saja berimplikasi pada materi kampanye
yangjelas mengenai sanksi terhadap pelanggaran partai politik yang mengambang, melainkan pula
dalam pencatatan, pembukuan, pelaporan, dan secara esensial partai politik belum menunjukkan
auditing dana kampanye. Kedua, minimnya karakteristik modern, lantaran tidak membiasa•
aturan main mengenai penyalahgunaan jabatan kan diri berkecimpung pada soal-soal konkret
172
yang dibutuhkan oleh rakyat di atas sebuah fun•
Lihat dalam Lili Romli, ed .. Evaluasi Pemilihan Umum
2004: Analisis Proses dan Hasil Pemilu Legislatif, (Jakarta:
damen visi dan rnisi yang jauh ke depan. Deng an
LIPI Press, 2005), him. 2-3. atmosfer demikian pada gilirannya tidak saja
173
Analisis mengenai ha! ini lihat dalam Syamsuddin Haris. menyebabkan partai politik relatif gagal untuk
"Pernilu 2004: Peluang Konsolidasi Demokrasi atau Perang• secara cerdas menjadi bagian dari penyelesaian
kap "Status Quo" Politik?", Jurnal Ilmu Politik: Pemilu dan
masalah, tapi secara politis menjadi sulit untuk
Demokrasi (April. 2003), him. 3-27.

88
dimintai pertanggungjawaban oleh konstituen Saatini, dengan adanya UUbaru (UUNo.10
karena memang kerap mengedepankan hal-hal Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR,
yang secara umum tidak bersifat konkret. DPD, dan DPRD) yang menyiratkan keterlibatan
Kedua, pemilu-pemilu di awal reformasi rela• mereka secara langsung, ditambah dengan pola
tif gagal dalam mengikis kecenderungan oligarki pendekatan baru caleg dalam menjaring suara,
partai politik. Hal ini terbukti dengan masih ada• ams informasi yang semakin terbuka, dan budaya
nya praktik lompat pagar anggota partai yang politik yang bertambah pragmatis (meski tidak
langsung menduduki jabatan penting dalam se• seluruhnya demikian), perilaku memilih tampak
buah partai. Selain itu, elite partai di pusat masih akan terpengaruhi dan tidak menutup kemungki•
amat berperanan dalam menentukan nomor urut nan mengalami pergeseran. Di sisi lain, dengan
kandidat dan jadi atau tidaknya sesorang kandi• dilandasi asumsi adanya korelasi antara pemilu,
dat menjadi anggota legislatif. Di samping itu, aturan main, perilaku partai dan pemilih dalam
masih minimnya upaya partai dalam menyosia• pemilu, adalah sebuah keniscayaan jika hasil
lisasi kandidat kepada khalayak, telah membuat pemilu 2009 menyiratkan adanya perubahan
masyarakat kurang memperoleh peluang untuk konstelasi politik di tanah air.
memahami dan mengevalusi kelayakan seorang Pelaksanaan Pemilu 2009 yang berpedoman
kandidat legislatif. Dengan mekanisme nomor pada UU No.IO Tahun 2008 mengindikasikan
urut yang mendompleng preferensi terbuka, se• sebuah perubahan aturan main yang signifikan
jatinya telah membuat kedaulatan rakyat dalam dalam kehidupan politik bangsa Indonesia.
memilih menjadi berjalan setengah-setengah. Ini Aturan main baru itu secara normatif ditujukan
karena dalam praktiknya basil akhir komposisi bagi peningkatan kualitas politik dan kehidupan
keanggotaan legislatif dari partai tertentu tetap demokrasi bangsa Indonesia. UU ini secara fak•
dipegang oleh pengurus pusat partai, yang kerap tual telah membawa perkembangan politik yang .
sarat dengan kepentingan atas dasar kedekatan lebih "populis" dengan memberikan kesempatan
dan bukan kualitas. yang luas bagi masyarakat untuk menempatkan
Pemilu 2009 merupakan ujian bagi upaya wakil rakyat yang dikehendakinya secara lang•
seberapa besar partai politik berkeinginan untuk sung. Namun, hal itu tentu saja baru merupakan
memperbaiki diri dengan lebih berorientasi salah satu aspek. Aspek lainnya perlu digali
program dan juga sedapat mungkin mengikis dalam rangka menilai secara utuh kontribusi
kecenderungan oligarki yang diidap parpol. regulasi pemilu kali ini dalam upaya peningkatan
Dengan diberlakukannya sistem proporsional kualitas kehidupan politik bangsa.
terbuka murni, diharapkan akan mengurangi Dalam UU Pemilu 2008, terdapat sejumlah
oligarki partai dan mendorong parpol untuk kian tantangan yang berat bagi partai-partai politik
mendekatkan diri kepada masyarakat. Selain untuk dapat meraih suara. Hal ini karena UU
itu, mengingat semakin mahalnya harga sebuah tersebut memberlakukan ketentuan parliamen•
kursi, maka ke depan sebuah partai sesungguhnya tary threshold (PT) 2,5%, sementara untuk
dituntut untuk lebih profesional dan mengakar mencapai PT 2,5% suara tentu tidak mudah bagi
kuat di tengah-tengah masyarakat. Dengan meng• parpol yang belum memrunY.ai basis massa yang
hadapi tantangan itu, ditambah dengan semakin kuat. Alokasi kursi daerah pemilihan (dapil)
rasional dan pragmatisnya masyarakat Indonesia, mengalami perubahan, dari 3-12 kursi menjadi
maka persoalan mengenai perubahan orientasi 3-10 kursi. Selain itu, untuk penghitungan suara
ke arah program yang berpengaruh pada materi di DPR diberlakukan aturan 50% 'dari Bilangan
kampanye menjadi soal yang menarik untuk Pembagi Pemilih (BPP) dan sisa suara ditarik ke
dicermati. Hal ini tentu tidak mudah mengingat provinsi. Dengan ketentuan seperti ini, tingkat
telah muncul kecenderungan meningkatnya apa• kompetisi di antara parpol peserta pemilu akan
tisme masyarakat, yang diindikasikan dengan ketat dan tidak mudah bagi partai-partai politik
menguatnya fenomena golput pada beberapa untuk dapat meraih kursi di DPR.
pemilukada terakhir.'?"
174
Sebagai contoh, pemilukada DKI Jakarta angka golput
mencapai 39,2 persen, pemilukada Jawa Barat 33 persen, dan Pilakada Jawa Timur golput mencapai 40 persen.

89
Selain itu, berdasarkan Putusan Mahkamah oleh sejumlah partai barn. Di antara partai-partai
Konstitusi (MK), penetapan calon terpilih ang• barn yang menjadi peserta Pemilu 2009 ialah
gota legislatif yang semula berdasarkan 30% Hanura, Gerindra, PDP, PKNU, dan PMB. PDP
BPP dan nomor urut seperti diatur pada Pasal dan PKNU mernpakan partai barn produk konflik
214 UU No.IO Tahun 2008 tentang Pemilihan internal di PDIP dan PKB, sedangkan PMB lahir
Angggota DPR, DPD dan DPRD, berubah akibat ketidakpuasan terhadap PAN yang diang•
menjadi berdasarkan suara terbanyak. Implikasi gap kurang "melayani" warga Muhammadiyah.
Putusan MK ini, antara lain, membuat semua Akibat pemberlakuan aturan barn dalam Pemilu
caleg mempunyai kesempatan yang sama untuk 2009 (PT 25%, alokasi kursi per dapil 3-10, dan
terpilih dan persaingan pemilu akan semakin pembagian suara 50% dari BPP) dengan jumlah
luas. Persaingan bukan hanya antarpartai tetapi perserta pemilu sebanyak 38 partai, telah dipre•
juga antarcaleg internal partai. Penetapan suara diksi bakal terjadi pergeseran kekuatan politik di
tebanyak bagicalon terpilih anggota legislatif di• DPR basil Pemilu 2009.
harapkan juga dapat meningkatkan akuntabilitas Pemilu 2009 merupakan pemilu penentuan
anggota legislatif terhadap konstituen. bagi konsolidasi demokrasi, berbagai soal terkait
Sehubungan dengan itu diperlukan strategi dengan regulasi, pola pendekatan partai politik,
yang jitu bagi partai-partai politik dan caleg perilaku memilih dan kecendernngan perge•
untuk dapat meraih dukungan pemilih. Dengan seran peta kekuatan politik merupakan hal yang
waktu kampanye pemilu yang relatif panjang, menarik untuk dikaji. Sehubungan dengan itu,
yakni sembilan bulan, terdapat kesempatan yang pertanyaan yang dijawab dalam penelitian ini ter•
luas bagi parpol dan caleg untuk melakukan
berbagai pendekatan pada konstituen. Pelbagai
cara telah dilakukan oleh partai-partai politik
diri atas: 1) Bagaimanakualitas penyelenggaraan
Pemilu 2009 dibandingkan dengan pemilu sebe•
lumnya? Apa saja problematika yang terdapat 1
I
dan para calegnya dalam upaya meraih simpati di dalam sistem dan regulasi Pemilu 2009? 2) I
dan dukungan kosntituen, yaitu mulai dari pema•
sangan baliho, pamflet, sampai pasang iklan di
Bagaimanakah pola dan strategi partai politik dan
calon anggota legislatif dalam upaya mendekati I
I
berbagai media massa, baik cetak maupun elek• konstituen untuk mendapatkan dukungan suara?
tronika. Selain itu, guna meraih simpati pemilih, Apakah ada kemajuan dari pola dan strategi yang
di antara parpol dan caleg ada yang melakukan dilakukan parpol dan caleg dibandingkan pemilu
upaya-upaya seperti memberikan asuransi, benih sebelumnya? 3) Bagaimanakah tingkat partisipasi
padi, hingga bantuan finansial yang tidak sedikit politik dan kecendernngan perilaku memilih pada
kepada warga. Pemilu 2009? Adakah pernbahan pola kecen•
Di sini tampak bagaimana "sepak terjang" derungan perilaku memilih dibandingkan pemilu
caleg dan parpol dalam mendekati pemilih dalam sebelumnya? dan 4) Sejauhmana sistem pemilu
rangka mendapatkan suara sebanyak-banyaknya dan meningkatnya jumlah peserta pemilu akan
dalam pemilu kali ini. Akan tetapi agresivitas mengubah peta kekuatan politik di DPR hasil
caleg dalam mengkampanyekan dirinya, ternyata Pemilu 2009? Apakah akan terjadi pergeseran
di kalangan masyarakat justrn memunculkan peta kekuatan politik dan apa faktor-faktor yang
sikap pesimistis dan antipati. Mengacu pada memengaruhinya?
pemilukada-pemilukada di beberapa daerah
dengan tingkat partisipasi pemilih yang relatif Dilema Format Pemilu dan Kisruh
rendah dan tingkat golput yang cendernng tinggi, Proses Pemilu
maka Pemilu 2009 sedari awal telah diprediksi Meskipun secara umum pemilu berlangsung
akan berlangsung sebagaimana pada pemilukada• kondusif, barangkali tak seorang pun bisa mem•
pemilukada tersebut, yakni tingkat partisipasi bantah bahwa penyelenggaraan Pemilu 2009
masyarakat dalam memilih relatif akan rendah memang bermasalah sejak periode persiapan
dan kecendernngan golput akan tinggi. tahapan-tahapan pemilu, pelaksanaan pemberian
Pemilu 2009 selain dikuti oleh partai-partai suara dan penghitungan suara, hingga penetapan
politik lama (peserta Pemilu 2004) juga diikuti kursi serta hasil pemilu. Daftar panjang persoalan

90
"Tak Bawa AS, Puluhan Penumpang di Juanda Ditolak KPPS",
penyelenggaraan pernilu itulah yang disebut seba• dalam http://beritajatim.com, 9 April 2009.
gai "kekacauan dan kekisruhan pernilu".
Secara umum fakta-fakta tentang kisruh
pernilu dapat dikelompokkan atas tiga tahapan pe•
rnilu, yaitu masalah-masalah di sekitar persiapan
pernilu, soal-soal di seputar pelaksanaan pernilu
terutama pemberian suara dan penghitungan
suara, serta berbagai masalah yang berkaitan
dengan penetapan basil pernilu.175
Dalam persiapan pernilu, hal yang menimbul•
kan kekisruhan adalah terkait dengan persoalan
verifikasi partai politik. Jumlah partai peserta Pe•
rnilu 2009 sebanyak 34 partai nasional dibanding•
kan 24 partai peserta Pemilu 2004 menimbulkan
kecurigaan sebagian kalangan atas profesionalitas
KPU melakukan verifikasi atas partai peserta pe•
rnilu. Kekecewaan atas basil verifikasi KPU juga
dinyatakan oleh sejumlah partai yang gagal lolos
sebagai peserta pemilu, sehingga mereka meng•
gugat KPU melalui pengadilan tata usaha negara.
Pengadilan PTUN temyata mengabulkan gugatan
empat partai baru yang sebelumnya dinyatakan
gagal lolos oleh KPU yakni Partai Merdeka,
Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia,
Partai Sarikat Indonesia, dan Partai Buruh,
Kisruh lainnya adalah berkaitan dengan
persoalan daftar pemilih tetap (DPT). Kekha•
watiran berbagai kalangan akan kisruh DPT
pemilu legislatif akhimya menjadi kenyataan.
Hak konstitusi warga negara dikorbankan atas
nama undang-undang dan peraturan KPU yang
kaku, rancu, dan multitafsir. Paling kurang ada
dua faktor yang menjadi sumber kekisruhan
DPT, yaitu: (1) Penyerahan DP4 ke KPU, Dep•
dagri lewat Dinas Kependudukan tidak memak•
simalkan penyisiran atau up date data potensial
pemilih di daerah, khususnya daerah yang baru
selesai menyelenggarakan pernilukada; dan (2)
tidak ada sosialisasi massif dilakukan oleh KPU
mengenai perubahan sistem pendataan pemilih
dari stelsel pasif menjadi stelsel aktif sehingga
pada umumnya masyarakat tidak tahu bahwa

175
Berita tentang kisruh pemilih dapat dibaca, dalam Sidik
Pumomo, "Menyelamatkan (Penyelenggara) Pemilu", dalam
Kompas, 2 Oktober 2009. Atau lihat pula, Irvan Mawardi,
"Anatomi Kekisruhan DPT', dalamhttp://wwwjppr.or.id/con•
tent/view/2525/80/, 10 April 2009. Dan, pemberitaan berjudul,

92 91
untuk menjadi pemilih mereka barns mengecek
DPS ke PPS setempat.
Sumber kisruh pernilu lainnya adalah per•
ubahan sistem pendataan pemilih, dari stelsel
pasif menjadi stelsel aktif. Pada pernilu sebelum•
nya petugas pendaftar mendatangi pemilih, tetapi
sekarang para pemilih barns mendatangi petugas.
Perubahan ini terlalu maju untuk Indonesia yang
kualitas pelayanan birokrasinya sangat buruk.
Masyarakat enggan mendatangi aparat, apalagi
hanya sekadar untuk mengecek nama mereka
dalam DPS. Kisruh pernilu lain yang tak kalah
pentingnya adalah tertunda-tundanya penetap•
an basil pemilu oleh KPU. Keputusan KPU
tentang penetapan basil pernilu bahkan digugat
oleh sejumlah caleg ke Mahkamah Agung, dan
dipenuhi oleh MA. Walaupun akhimya Mahka•
mah Konstitusi secara tak langsung membatalkan
Keputusan MA, realitas tersebut mencerminkan
problematika sisternik Pileg 2009.
Tahapan pernilu lainnya yang menjadi sum•
ber kekisruhan penyelenggaraan Pemilu 2009
adalah pemberian suara dan pemungutan suara.
Sebagai konsekuensi logis dari persoalan DPT,
muncul kekecewaan banyak pemilih di berbagai
daerah di Indonesia karena temyata nama mereka
tidak tercantum dalam daftar pemilih. Keluhan
dan kekecewaan tersebut temyata hampir merata
di berbagai daerah dengan tingkat kecerobohan
danjumlah pemilih yang diciderai hak politiknya
berbeda-beda di setiap daerah, Kekecewaan ma•
syarakat ini sangat wajar apalagi dihubungkan
dengan fakta bahwa mereka pada umumnya ter•
daftar sebagai pemilih dalam pernilukada terakhir
di wilayahnya masing-masing.
Sumber kisruh pernilu lainnya adalah tidak
tersedianya stok Formulir C-1 yang merekam
basil penghitungan suarapemilu di tingkat TPS.
Saksi-saksi partai berhak memperoleh Form
C-1 sebagai data autentik basil pemilu yang
ditandatangani oleh KPPS. Namun dalam reali•
tasnya, baik partai maupun para caleg mengeluh
dan kecewa karena gagal memperoleh Form C-1
dari KPPS.
Kisruh lain yang tak kalah membingungkan
berbagai pihak adalah tertunda dan berubah•
ubahnya penetapan basil pernilu legislatif oleh
jajaran KPU, baik oleh KPU daerah untuk DPRD
setempat maupun oleh KPU pusat untuk DPR RI.

92 91
Penetapan pembagian kursi oleh KPU untuk DPR adalah kinerja sangat buruk pendataan penduduk
bahkan dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai basis bagi KPU menyusun daftar pemilih
setelah digugat oleh beberapa caleg yang merasa sementara (DPS) dan DPT.
seharusnya terpilih sebagai anggota legislatif atas Penyakit kronis aparat birokrasi yang mem•
dasar perundang-undangan yang berlaku. perlakukan pendataan pemilih sekadar sebagai
Kekisruhan ini antara lain bersumber dari "proyek", adalah faktor penting di balik terdaf•
Keputusan KPU No.15 Tahun 2009 tentang tarnya warga yang meninggal, para bayi dan
Mekanisme Penetapan Hasil Pemilu yang jus• anak-anak, atau tidak terdaftarnya para pemilih
tru tidak saling mendukung dengan UU No.IO pemula. Namun, data pemilih yang amburadul
Tahun 2008. Di satu pihak KPU menerbitkan tersebut sebenarnya masih bisa diselamatkan jika
keputusan seperti disebut di atas, tetapi di pihak jajaran KPU melakukan pemutakhiran dan verifi•
lain, penetapan kursi DPR didasarkan pada UU kasi data secara benar dan bertanggung jawab.
No.IO Tahun 2008. Akibatnya, KPU digugat ke Secara juridis, KPU format baru sebenar•
MA oleh sejumlah caleg yang merasa dirugikan, nya memiliki kedudukan yang lebih kuat dan
dan seperti dikemukakan di atas, MA kemudian independen dibandingkan KPU sebelumnya.
memenangkan gugatan tersebut dan membatal• Penguatan dan independensi KPU tersebut dise•
kan Keputusan KPU No.15 Tahun 2009. pakati pemerintah dan DPR melalui UU No. 22
Fenomena kekisruhan penyelenggaraan Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan
Pileg 2009 sebenarnya tidak berdiri sendiri. Umum. Agar kerja KPU lebih fokus, UU yang
Artinya, faktor di balik realitas kisruh pemilu sama bahkan mengalihkan urusan logistik pe•
bukan semata-mata berkaitan dengan buruknya milu dari anggota komisi ke jajaran Sekretariat
kinerja dan profesionalitas KPU, melainkanjuga Jenderal KPU. Namun semua itu tampaknya tak
terkait komitmen hampir keseluruhan pihak yang berarti ketika kepemimpinan dan manajerial le•
terlibat dalam pemilu. Ini termasuk di dalamnya mah, kinerja tidak fokus dan tanpa prioritas, serta
kualitas perencanaan, pembahasan, dan produk para anggota komisi gagal mengontrol tanggung
berbagai UU bidang politik yang dihasilkan DPR jawab mereka masing-masing. Pada gilirannya
bersama-sama dengan pemerintah. hal ini membuka peluang intervensi sehingga
komisi yang semestinya nonpartisan acapkali
Apabila ditelusuri akar masalahnya, selain
dipengaruhi tekanan partai atau kepentingan
KPU, pemerintah dan DPR turut bertanggung
politik lain di luar komisi.
jawab atas semua kekisruhan pemilu. Tanggung
jawab pemerintah dan DPR terletak pada kualitas Kegagalan KPU sudah tampak dari jadwal
produk perundangan bidang politik yang kental dan tahapan pemilu yang tidak konsisten dan
diwarnai politik dagang sapi antarpartai, sehingga berubah-ubah. Selain tidak serius merespons
UU acapkali hanya mewadahi kepentingan masukan dan koreksi yang disampaikan kepada
jangka pendek partai-partai. Selaku pembentuk mereka, KPU juga gagal mengontrol kinerja
UU, pemerintah dan DPR mengabaikan urgensi jajarannya, KPU provinsi dan kabupaten/kota.
pelembagaan sistem pemilu yang sederhana, Akibatnya, kisruh DPT tak tertangani hingga
menjamin hak politik rakyat, dan mudah diimple• hari H pemilu.
mentasikan. Selain itu, pemerintah dan DPR juga
turut bertanggung jawab atas kualitas KPU yang Kampanye Pemilu
sejak awal menuai kontroversi. Berkaitan dengan kampanye dalam Pemilu 2009,
Kelalaian pemerintah lainnya terkait lamban hal yang dikaji dalam penelian ini berkaitan
dan tertunda-tundanya pengucuran dana, baik dengan pesan, media, dan kegiatan kampanye.
untuk pemutakhiran data pemilih, logistik pe• Terkait dengan materi kampanye Pileg 2009
milu, maupun untuk keperluan sosialisasi pemilu. laporan ini menyoroti tiga hal yang patut untuk
KPU mengeluh soal ini sejak awal, tetapi gagal dicermati, yakni, pertama, keragaman karak•
meyakinkan pemerintah dan DPR akan krusi• ter materi yang disampaikan oleh partai-partai
alnya masalah dana. Namun, kelalaian terbesar politik yang memperlihatkan empat tipe pesan
pemerintah (dan pemerintah-pemerintah daerah) kampanye, yakni (1) sekadar identitas diri, (2)

92 91
penonjolan prestasi, (3) penonjolan ideologi, panye yang digunakan sudah demikian beragam,
dan (4) pemaparan program, di man a penonjolan meliputi media konvensional seperti spanduk,
identitas masih mendominasi materi pesan. Ke• brosur, ataupun kalender, hingga "non-konven•
dua, fenomena meredupnya materi aliran. Ketiga, sional", semisal facebook, sms atau internet.
diferensiasi antara materi pad a level partai di satu Pilihan penggunaan media tersebut ditentukan
sisi, yang lebih mengetengahkan hal-hal umum, oleh setidaknya tiga hal: 1) rasionalitas caleg
berskala nasional, cenderung ideologis, dan pe• dalam melihat karakteristik dapilnya. Pilihan•
nonjolan prestasi secara kolektif dan individu di pilihan ini jelas terkait masalah efektivitas dan
sisi lain yang mernfokuskan materi yang bersifat efisiensi berkampanye yang telah diperhitungkan
personal, berskala lokal, bersifat pragmatis, dan oleh para caleg; 2) kemampuan finansialjuga me•
penonjolan prestasi perorangan. mengaruhi pula pilihan media; 3) pilihan media
juga dipengaruhi oleh persepsi kampanye dalam
Dalam konteks materi, terlihat beberapa
benak caleg. Semakin sederhana persepsi itu cen•
aspek yang dapat dipandang sebagai sebuah
derung semakin sederhana media berkampanye
kebaharuan yakni: (1) mulai ditonjolkannya
yang dipilihnya, begitu pula sebaliknya. Kedua,
materi yang bersifat program dan ajakan kepada
persoalan seputar media "nonkonvensional" ter•
masyarakat untuk melakukan evaluasi sebelum
utama iklan kampanye di televisi, yang menjadi
menentukan pilihannya relatif sudah meluas; (2)
perhatian banyak kalangan dan telah mewarnai
partai-partai yang beralandasakan agama
pelaksanaan kampanye di era reformasi, tidak
maupun yang utamanya mengandalkan konsituen
terkecuali pada Pemilu 2009.
komunitas religius tidak lagi banyak "mengum•
bar" simbolisasi danjanji-janji yang bersifat ke• Terkait dengan kebaharuan dalam soal media
agamaan. Hal ini menandai menyurutnya materi kampanye ini terlihat dengan: 1) menghilangnya
yang bersifat aliran; (3) meluasnya diferensiasi koran-koran partisan yang pada awal reformasi
materi kampanye sebagai dampak dari pendistri• sempat menggejala. Meski gejala hilangnya me•
kan materi kampanye, yang menyebabkan tidak dia kampanye ini sudah terasakan pada Pemilu
saja materi kampanye menjadi makin beragam 2004, namun sikap media surat kabar untuk
namun juga menjadi cenderung lebih bersifat semakin netral dan imbang semakin terasa ter•
individual, spesifik, lokal, dan pragmatis. masuk pada koran-koran berskala nasional yang
pada masa-masa sebelumnya masih menunjuk•
Sementara itu, aspek keberlanjutan yang
kan kecenderungan keberpihakannya; 2) hadir•
masih terlihat dalam kampanye kali ini, meliputi
nya media "nonkonvensional" berkampanye
soal: (1) tema kampanye yang terfokus pada
seperti iklan di televisi, dan kategori media yang
tipologi materi pengenalan diri. Terna kampanye
dapat dikatakan sebagai postbroadcast campaign
seperti ini kerap diiringi oleh janji-janji politik
seperti internet, e-mail, atau situs (website) priba•
sekadarnya dan pengedepanan simbol dan hal•
di seperti blog,facebook, maupun pesan singkat
hal yang bersifat menyentuh secara emosional
ketimbang menyodorkan data-data yang dapat melalui handphone (SMS). Sementara dalam
dipertanggungjawabkan sebagai materi kampa• konteks keberlanjutan, hal ini ditandai dengan
masih digunakannya beberapa media konven•
nye; (2) belum meluasnya negative campaign.
sional sebagai pilihan partai dan caleg untuk
Meski mulai muncul di beberapa tempat namun
mendekati konstituen. Sebagaimana yang telah
dengan persentase yang tidak signifikan; (3)
diketengahkan media seperti bendera, spanduk,
tema kampanye yang masih didominasi oleh
brosur, pamflet, ataupun kartu nama, atau pun
problematika masyarakat jangka pendek dan
yang menggunakan media elektronik seperti ra•
menengah, namun tidak menyentuh banyak
dio dan koran merupakan pilihan-pilihan media
mengenai soal-soal yang bersifatjangka panjang
yang umum digunakan.
apalagi menembus zaman.
Dalam kegiatan kampanye ada empat tipo•
Mengenai media kampanye ada dua isu
logi bentuk kegiatan kampanye yang umum
besar, yakni pertama, seputar jenis media yang
dilakukan oleh caleg yakni: 1) kegiatan konven•
digunakan dan alasan penggunaannya. Dari
sional terbuka, 2) konvensional tertutup, 3) non-
pembahasan terlihat bahwa saat ini media kam-

94 93
konvensional terbuka; dan 4) non-konvensional menyengajakan diri tidak memilih sebagai bentuk
tertutup. Pembagian itu didasari pada substansi protes dan pemberontakan terhadap pemerintah•
(konvensional vs non-konvensional) dan tempat an. Banyak kalangan lebih sepakat mengartikan
(terbuka vs tertutup) kampanye. golput sebagai "golongan luput", yaitu mereka
yang memang terpaksa tidak memilih karena ti•
Dari pembahasan terlihat bahwa dalam
dak terdaftar di DPT dan tidak mendapatkan surat
soal kebaharuan itu adanya kegiatan kampanye
undangan ke TPS. Juga, sikap pasif masyarakat
"nonkonvensional" yang terbagi menjadi ke•
dalam proses pendataan dan pendaftaran pemilih
giatan indoor dan outdoor. Hal mendasar yang
menyebabkan kasus DPT semakin rumit. Ini
membedakan antara kegiatan konvensional dan
terkait jug a dengan sangat kurangnya sosialisasi
kegiatan-kegiatan ini adalah tidak saja dalam
yang dilakukan KPU.
konteks waktu kemunculannya, tetapi menyang•
kut pula esensi kegiatan. Minimnya sosialisasi KPU juga sangat tera•
sa dalam urusan teknis pencontrengan. Karena
Sementara fenomena keberlanjutan dari ke•
berbeda dengan pemilu sebelumnya, masyarakat
giatan kampanye ini utamanya ditandai dengan
kebingungan ketika masuk ke bilik suara dihadap•
masih berlangsungya beberapa tradisi kegiatan,
kan pada kertas suara yang sangat lebar dan harus
termasuk misalnya arak-arakan, orasi politik atau
mencontreng tanda gambar partai dan/atau nama
pertemuan dengan tokoh-tokoh politik nasional,
caleg. Itu menyebabkan tingginya jumlah suara
dengan porsi hiburan yang kerap lebih ketimbang
yang tidak sah akibat kekeliruan dalam pengisian
penyamapaian pesan politik itu sendiri. Di sisi
surat suara.
lain penyampaian orasi politik masih disam•
paikan dengan cara-cara indoktrinatif dan tidak Argumen lain mengenai penyebab mening•
menggugah. Dalam hal ini kehidupan kampanye katknya jumlah pemilih yang tidak menggunakan
bangsa ini tampak tidak juga beranjak kepada hak pilihnya adalah karena berbagai alasan klasik.
posisi yang lebih baik. Misalnya, pada hari pencontrengan, masyarakat
lebih memilih untuk berlibur atau rekreasi ber•
sama keluarga. Di pedesaan dan daerah terpencil,
Perilaku Memilih
petani misalnya lebih memilih mengurus sawah
Banyak kalangan telah menduga bahwa minat dan ladang, selain karena enggan datang ke lokasi
masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pe• TPS yangjauh dari tempat tinggalnya. Memang,
milu 2009 akan semakin menurun, mengingat ada juga kalangan-terutama di perkotaan-yang
pengalaman pada pemilu dan pemilihan kepala tidak ingin ikut memilih karena merasa memilih
daerah (pemilukada) sebelumnya yang menun• atau tidak memilih maka nasibnya akan sama
jukkan angka pemilih yang cenderung berkurang. saja, atau karena kecewa terhadap kinerja partai
Tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu politik, merasa tidak mengenal caleg, bahkan
kali ini lebih rendah dibandingkan Pemilu 1999 bersikap apatis terhadap kehidupan politik di
dan 2004. Bila pada Pemilu 2004 mereka yang TanahAir.
tidak menggunakan hak pilihnya sebanyak 24,95
Meskipun sebagian besar kalangan meng•
persen, maka pada Pemilu 2009 ini naik menjadi
khawatirkan kecenderungan peningkatan angka
29,01 persen. Dari 171.265.442 jumlah pemi•
golput (yang harus dibedakan lagi mana yang
lih yang terdaftar sebagai pemilih tetap, hanya
golput sebagai upaya protes dan mana yang
121.288.366 orang yang menggunakan hak pilih.
golput karena luput secara administratif), namun
Dengan demikian terdapat 49.677.076 pemilih
tetap dapat dikatakan bahwa voter turn out negara
yang tidak ikut memilih. Sementara jumlah suara
ini masih dalam jumlah yang wajar di negara
sah sebanyak 104.099.785 dan suara tidak sah
demokratis dengan sistem multipartai ini.
sebanyak 17.488.581.176
Mengenai perilaku memilih, kesimpulan
Yang perlu menjadi catatan, tingginya
yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak
pertama, berdasarkan pendekatan sosiologis,
pilihnya bukan semata karena tren golput atau
kecenderungan pemilih di perkotaan relatif
176
tidak lagi terikat dengan latar belakang demo-
Data diambil dari Komisi Pemilihan Umum, 2009.

94 93
177
Keterangan berdasarakan hasil wawancara tim dengan
grafi seperti suku, jenis kelamin, dan agama seorang narasumber ahli di Medan, Sumatra Utara, Juli 2009.
caleg yang dipilihnya. Tidak dapat dimungkiri,
misalnya, ketika respoden baik di kota maupun
di desa ditanyakan apakah akan memilih caleg
dengan latar belakang agama yang sama, maka
bagi penganut agama Islam cenderung menjawab
ingin memilih caleg yang beragama Islam juga.
Berbeda jika pertanyaan yang sama diajukan
kepada responden dari agama lain selain Islam,
maka pada umumnya menjawab caleg yang
dipilihnya bisa dari agama mana saja. Namun,
perbedaan pilihan itu lebih disebabkan karena
Islam adalah agama yang dominan sehingga ada
anggapan wajar saja jika pemilih memilih caleg
dari latar agama yang mayoritas.
Latar belakang demografi lebih menjadi
pertimbangan di wilayah-wilayah tertentu, seperti
di pelosok pedesaan atau di daerah yang ikatan
kulturalnya masih lebih kental. Misalnya di
Sumatra Utara (Sumut) yang terdiri atas bera•
gam suku bangsa, nama marga, dan agama yang
dianut caleg menjadi acuan di beberapa daerah.
Mereka akan memilih caleg dari marga tertentu
dan agama tertentu yang dominan atau memiliki
pengaruh di daerahnya. Faktor kekerabatan dan
kekeluargaan---dalam suatu hubungan yang in•
tens-masih menjadi faktor yang berpengaruh
terhadap pilihan. Namun, di Kota Medan yang
lebih heterogen karena adanya para pendatang
dari J awa dan didominasi etnis Melayu, maka
permasalahan agama dan etnisitas lebih cair se•
hingga tidak terlalu berpengaruh terhadap pilihan
masyarakat. Selain itu, masyarakat di perkotaan
lebih kritis sehingga cukup mempertimbangkan
apa yang akan dipilihnya dalam pemilu. Misal•
nya, jika ada caleg yang meskipun sudah senior
di partainya dan dia punya pengalaman politik
yang panjang dan dia juga orang Sumut namun
dia belum berbuat banyak di Sumut, maka dia
akan sulit memperoleh dukungan massa.!"
Secara sosiologis juga dapat dianalisis ke•
cenderungan bahwa tampaknya politik aliran
akan berbenturan dengan beragam cara penja•
ringan suara yang dilakukan caleg. Jika media
kampanye, cara-cara mobilisasi massa, apalagi
politik uang yang dilakukan caleg tersebut lebih
kuat, maka pemilih relatif akan memilih caleg

96 95
tersebut bukan berdasarkan ideologis atau aliran tampaknya kecil ketika dilakukan penghitungan
secara politis yang dianut caleg itu. Dengan kata suara secara nasional.
lain, pengaruh aliran menjadi bias jika disanding•
kan dengan perangkat mobilisasi dukungan lain•
nya yang bersifat lebih ekonomis dan pragmatis.
Warga NU misalnya, bisa saja loyal terhadap
ke-NU-annya, namun ketika dihadapkan pada
pilihan caleg, maka dimungkinkan mereka juga
akan memilih orang yang bukan dari warga NU
selama secara ekonomis menjanjikan. Apalagi
jika caleg tersebut menggunakan media massa
secara masif dan melakukan politik uang dalam
berbagai bentuk ketika kampanye, maka dapat
dikatakan aliran tidak lagi menjadi pertimbangan
penting para pemilih. Kecuali, jika dalam suatu
masyarakat itu memang terisolasi dari paparan
media massa dan harus tunduk patuh terhadap
tokoh tertentu, maka bisa saja suara aliran tertetu
itu masih relatif signifikan. Namun, tampaknya
pendekatan dengan menggunakan politik aliran
cenderung tidak tampak lagi di permukaan.
Kedua, melalui pendekatan secara ekologis
terlihat kecenderungan perbedaan basis massa
partai politik di beberapa wilayah di Indonesia.
Misalnya, di Jawa Timur, yang menjadi basis
massa PKB yang didukung warga nahdiyin, ter•
dapat penurunan jumlah dukungan yang cukup
signifikan tehadap PKB. Dalam sejarahnya, war•
ga nahdiyin memang tumbuh dan berkembang
di Jawa Timur sehingga suara dukungan untuk
PKB masih cukup signifikan di daerah tersebut.
Meskipun secara nasional PKB cenderung terus
menurun perolehan suaranya, di Jawa, Timur
masih ada massa pendukungnya yang berasal
dari golongan nahdiyin itu.
Contoh lainnya adalah di daerah Nias,
Sumut, Partai Damai Sejahtera (PDS) masih
muncul se• bagai partai yang memperoleh suara
signifikan. Ini karena di wilayah 'tersebut
masyarakatnya didominasi umat kristiani.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
dalam beberapa kasus, partai politik dengan
basis massa.yang lebih spe• sifik (misalnya
agama dan latar belakang sejarah) di wilayah
tertentu masih tetap mendapatkan jumlah
suara yang dapat diperhitungkan jika
dibandingkan dengan partai lain yang lebih
populer lainnya, meskipun partai politik tersebut

96 95
Ketiga, secara psikologis, sumber infor• identifikasi diri mereka terhadap partai (party
masi utama masyarakat pedesaan pada umumnya identification), melainkan lebih karena pencitraan
adalah tokoh-tokoh masyarakat seperti pejabat dan figuritas tokoh besar dalam partai tersebut.
atau kepala desa, ketua lingkungan, ketua adat, Dengan kata lain, identifikasi terhadap partai
atau ulama. Biasanya, masyarakat pedesaan tampaknya juga relatif masih rendah.
akan memilih sesuai dengan ajakan dan pilihan Keempat, melalui pendekatan pilihan ra•
tokoh masyarakat atau orang yang menjadi sional maka pemilih dapat diketahui setidaknya
panutan tersebut. Masyarakat pedesaan belum dari dua sisi, yaitu rasional-idealis dan rasional•
mempunyai ikatan kuat terhadap partai dalam realistis. Pemilih yang rasional idealis pada
hubungan politik, namun beberapa narasumber pemilu kali ini tampak lebih kabur dibandingkan
mengungkapkan kecenderungan masyarakat dengan pemilih yang rasionalis-realistis. Pemilih
sekarang lebih bersifat transaksional ketika ber• tipe pertama-yaitu mereka yang memilih karena
hubungan dengan partai dan caleg. Misalnya, mamahami ideologi, integritas, visi, misi dan
mereka akan meminta imbalan kepada caleg atau program caleg atau partai secara sungguh-sung•
partai tertentu jika caleg atau partai tersebut ingin guh serta mempertimbangkan dampaknya dalam
mendapatkan suaranya dalam pemilu. Fenome• jangka panjang ke depan-tampaknya relatif
na yang terjadi saat ini tampaknya masyarakat tidak banyak. Bisa dikatakan, mungkin pemilih
memang mulai mencari keuntungan dalam masa dengan tipe seperti ini hayalah mereka yang
kampanye, namun pada kenyataannya pilihan menjadi kader dan konstituen yang loyal dari
mereka tetap sulit diprediksi sampai tiba saat partai. Berdasarkan tipe ini, pemilih yang tidak
pencontrengan. menggunakan haknya alias golput adalah karena
Di masyarakat perkotaan, sumber informasi alasan yang kuat secara prinsip, bahwa mereka
instan yang dimanfaatkan adalah televisi, radio, memang tidak akan memilih dalam pemilu se•
dan surat kabar. N amun, pada kenyataannya bagai bentuk protes atau upaya evaluasi untuk
banyaknya iklan caleg dan partai dalam pemilu perbaikan damokrasi bangsa.
tidak menjamin besaran suara yang diperoleh. Berbeda dengan tipe pemilih yang rasional•
Pengaruh iklan tampaknya kurang signifikan ter• idealis, pemilih tipe rasional-realistis cenderung
hadap pilihan atas caleg, namun cukup berpenga• dominan dalam pemilu kali ini. Pemilih tipe ini
ruh terhadap pilihan atas partai. Misalnya, iklan mempertimbangkan kalkulasi untung dan rugi
Partai Demokrat, Gerindra, Hanura, dan Golkar terutama karena alasan ekonomi. Tidak dapat
cukup mencuri perhatian publik, meskipun tidak dihindari, politik uang dalam berbagai rupa yang
menjamin pilihan pada akhirnya. Selain itu, span• menjadi fenomena umum dalam pemilu legislatif
duk, baliho, pamflet, dan media luar ruang lain• turut berpengaruh terhadap pola perilaku memilih
nya yang digunakan secara habis-habisan oleh masyarakat. Apalagi kompetisi dengan sistem su•
para caleg sepertinya tidak berdampak banyak, ara terbanyak menyebabkan persaingan antarca•
bahkan cenderung tidak dihiraukan pemilih. leg bukan lagi persaingan personal antarpartai,
Meskipun dalam pemilu legislatif para caleg melainkan juga perebutan suara antarpersonal
secara personal saling bersaing dengan berbagai dalam satu partai yang sama. Persaingan antarca•
cara, tampaknya pemilih lebih mempertimbang• leg ini menyebabkan masyarakat juga "kecipratan
kan tokoh besar dan atau partai politik yang dici• untung" terutama pada masa kampanye.
trakan positif secara nasional. Dengan demikian, Bagi mereka, caleg atau partai yang mem•
bagi sebagian besar pemilih, sistem suara terban• berikan manfaat paling banyak bagi dirinya
yak tidak terlalu berpengaruh terhadap pilihan, atau lingkungan sekitarnya adalah caleg atau
karena kebanyakan dari mereka hanya memilih partai yang layak dipilih. Setidaknya berdasarkan
partainya saja, bukan calegnya. Berdasarkan pen• pengamatan di lapangan, masyarakat memang
gamatan di lapangan, proses identifikasi terhadap menunggu-nunggu imbalan apa yang akan di•
caleg nyaris tidak tampak. Namun, perlu dicatat berikan oleh caleg atau partai untuk menebus
bahwa bila pada akhirnya pilihan mereka terha• suara mereka di bilik suara. Sering kali mereka
dap partai pun bukan karena tingginya tingkat tampak tidak peduli atau tidak terlalu khawatir

96 95
jika manfaat yang mereka dapat dari caleg atau partai-partai yang sudah eksis di DPR seperti
partai itu mungkin hanya sesaat saja. Banyak ka• PBB, PBR, PDS, PDK, dan PKPI.
langan menyebutnya sebagai pemilih pragmatis Hasil Pemilu 2009 ditandai dengan ke•
atau pemilih yang transaksionalis. Namun, jika menangan Partai Demokrat dengan meraih suara
ditelusuri lebihjauh, mungkin saja berbagai ala• sebanyak 20,85 persen178• Urutan kedua dan
san yang menjadi motif seseorang untuk memilih ketiga ditempati oleh Partai Golkar dan PDIP
itu tetap dapat dikatakan sebagai alasan yang yang berturut-turut meraih suara 14,45 persen
rasional, dalam pemahaman dan versi mereka dan 14,03 persen. Posisi selanjutnya ditempati
sendiri. oleh partai-partai Islam dan berbasis massa Islam,
yaituPKS (7,88%), PAN (6,10%), PPP (5,32%),
Hasil analisis penelitian ini menunjukkan
dan PKB (4,94% ). Sementara itu, posisi kedela•
bahwa faktor situasi ekonomi juga berpengaruh
pan dan sembilan di tempati oleh partai baru,
terhadap pilihan masyarakat. Sebelum pemilu,
yaitu Gerindra (4,46%) dan Hanura (3,77%).
pilihan masyarakat terhadap partai pemerintah,
yaitu Partai Demokrat, cenderung naik turun Tabel 1. Perolehan Partai Politik Hasil Pemilu 2009
sesuai keadaan ekonomi saat itu. Juga kecen• Lolos PT 2,9%
derungan pilihan terhadap Partai Golkar dan
PDIP sebagai rivalnya bergerak dinamis saling
1 Partai Demokrat 21.703.137 20,85%
berkejaran dalam tren pilihan masyarakat saat
2 Partai Golkar 15.037.757 14,45%
survei-survei itu dilakukan.
3 PDIP 14.600.091 14,03%
Pada akhimya, jika Partai Demokrat kemu•
dian menjadi pemenang di mayoritas wilayah di 4 PKS 8.206.955 7,88%

Indonesia, argumen yang sering muncul adalah 5 PAN 6.254.580 6,01%


karena Partai Demokrat adalah partai pemerintah 6 PPP 5.533.214 5,32%
saat ini. Posisi incumbent tersebut sangat men•
7 PKB 5.146.122 4,94%
guntungkan, mengingat sebagian besar pemilih
8 Partai Gerindra 4.646.406 4,46%
adalah mereka yang tampaknya hanya "pasrah",
cukup puas, terhadap keadaan bangsa negara 9 Partai Hanura 3.922.870 3,77%
yang diurus SBY dengan Partai Demokrat-nya Sumber: KPU, 2009
saat ini. Mereka yakin kinerja SBY sudah baik, Seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya,
perlu dilanjutkan, dan wajar jika diberikan satu hasil Pemilu 2009 juga menunjukkan pola yang
kesempatan lagi. Memang, untuk mengetahui sama, yakni pemenang pemilu selalu berganti.
motif para pemilih yang sesunguhnya masih Jika pada Pemilu 1999 pemenang pemilu ada
diperlukan kajian yang lebih mendalam dan pada PDIP, maka Pemilu 2004 yang menjadi pe•
komprehensif, mengingat faktor-faktor yang me• menang pemilu adalah Partai Golkar, sementara
mengaruhi beragam motif dan argumen pemilih pada Pemilu 2009 ini yang keluar sebagai pe•
sering kali saling tumpang tindih dan sangat
menang pemilu adalah Partai Demokrat. Mung•
dinamis dari waktu ke waktu.
kin yang berbeda dari Pemilu 2009 ini adalah
pemenang pemilu dimenangkan oleh partai yang
Konstelasi Politik Hasil Pemilu relatif baru, sedangkan pada dua pemilu sebelum•
Pemilu 2009 diikuti oleh 44 partai, yang terdiri nya dimenangkan oleh partai lama, yaitu partai
atas 38 partai di tingkat nasional dan enam partai yang dibentuk pada masa Orde Barn. Selain
lokal di Aceh. Jurnlah peserta Pemilu 2009 ini itu, tidak seperti pada Pemilu 2004 yang partai
jauh lebih banyak dibandingkan dengan pemilu incumbent mengalami kekalahan, sebaliknya
sebelurnnya yang hanya 24 partai. Dari 38 partai pada Pemilu 2009 ini partai incumbent berhasil
yang ikut pemilu, hanya 9 partai yang lolos par• memenangkan pemilu.
liamentary threshol (PT) dan sisanya sebanyak 178
Di antara faktor penyebab kemenangan Partai Demokrat,
29 partai tidak dapat mengirirnkan wakilnya di yaitu figur Yudhoyono, program pemerintah yang populis,
DPR karena tidak mencapai batas ambang 2,5%. performance partai-partai lama, dan pemilih menginginkan
Di antara partai-partai yang gagal tersebut adalah kesinambungan program.

11 97
1
Ada tiga kecenderungan yang terjadi dari peta kekuatan politik di DPR hasil Pemilu 2009
hasil Pemilu 2009. Pertama, kemenangan bagi menunjukkan bahwa partai-partai politik di Indo•
partai-partai baru. Partai Demokrat yang baru nesia belum kuat dan mengakar di masyarakat.
ikut dua kali pemilu berhasil keluar sebagai pe• Ketiga, pergeseran peta kekuatan politik
menang pemilu mengalahkan partai-partai lama dengan merosotnya tingkat elektoral beberapa
yang sudak eksis terlebih dahulu. Masuknya partai menunjukkan bahwa sesungguhnya alasan
Gerindra dan Hanura, dua partai baru yang baru hidup berdirinya partai tersebut bukan dilandasi
dibentuk menjelang pemilu, yang langsung lolos kepentingan basis massa tetapi lebih pada kepen•
PT merupakan suatu prestasi yang signifikan. tingan elite, yakni kepentingan jangka pendek
Mereka bisa mengalahkan beberapa partai yang para elite untuk menggapai kekuasaan. Keempat,
sudah eksis terlebih dahulu di DPR seperti dise• adanya keberhasilan sejurnlah partai baru meraup
butkan di atas. suara di ajang kontestasi tidak bisa dilepaskan
Kedua, kekalahan partai-partai lama, khusus• dari peran ketokohan pemimpin partai tersebut.
nya PartaiGolkar dan PDIP. Kedua partai warisan Kelima, pudarnya politik aliran. Merosotnya suara
Orde Baru ini gagal meraih kemenangan, padahal partai-partai Islam atau berbasis massa Islam bisa
pada pemilu sebelumnya mereka sebagai pe• jadi menunjukkan telah pudarnya politik aliran,
menang pemilu. Alih-alih bertambah, suara yang khususnya Islam.
mereka peroleh justru turun secara signifikan. Bagaimana dengan prospek DPR hasil Pemilu
Partai Golkar turun suaranya sekitar 7% dari 2009? Dengan kondisi pemenang pemilu legis•
pemilu sebelumnya, sedangkan PDIP sekitar latif dan pilpres dari partai yang sama ditambah
4,5%(lihat Tabel 1). PPP, sebagai satu-satunya dengan koalisi pemerintah di DPR mencapai 75
partai Islam warisan Orde Baru juga mengalami persen, bisa jadi DPR tidak bersikap kritis dan
kegagalan, suara yang diperoleh menurun sekitar mandul. Bila ini terjadi maka kecenderungan
tiga persen. penyalahgunaan kewenangan dan lahimya otori•
Ketiga, terus menurunnya elektabilitas partai• terianisme terbuka lebar.
partai Islam dan berbasis massa Islam. Kecuali Kecenderungan seperti itu akan muncul
PKS, semua partai-partai Islam dan berbasis massa ditambah lagi karena anggota dewan banyak
Islam merosot suaranya. Selain itu, dari tujuh par• diisijuga para anak pejabat baik di tingkat pusat
tai Islam, hanya dua partai Islam yang lolos PT, maupun daerah, para istri pejabat daerah, dan
sisanya sebanyak lima partai Islam (PBB, PBR, para selebritis sehingga muncul kesangsian akan
PMB, PKNU, PPNUI) gagal ke DPR. Sementara kiprah mereka di DPR. Jangan-jangan mereka
partai berbasis massa Islam (PAN dan PKB) juga nanti hanya akan menjadi "etalase" demokrasi
terus menurun dukungan suaranya dari pemilu dan bersikap konservatif pendukung status quo.
ke pemilu. Bahkan perolehan suara PKB pada Harapan kita, DPR akan tetap bersikap kritis.
pemilu ini cukup drastis, dari 10,57% menjadi Apabila tidak, ini kemunduran bagi perjalanan
4,94%.179 demokrasi di Indonesia. Harapan DPR kritis ter•
Terjadinya pergeseran peta kekuatan politik sebut paling tidak dapat dilihat dari komposisi
hasil Pemilu 2009 disebabkan oleh beberapa fak• anggota DPR yang mayoritas wajah-wajah baru,
tor, antara lain: pertama, performa partai lama. berpendidikan tinggi dan berusia muda. Dengan
Seperti diketahui performa partai lama relatif gambaran seperti itu diharapkan mereka akan
buruk di mata publik karena beberapa elite partai tetap memegang teguh idealisme sehingga mereka
ini terlibat kasus suap dan korupsi serta tindakan tidak akan terjebak KKN (kolusi, korupsi, dan
amoral. Meski tindakan ini bukan monopoli nepotisme). Apalagi di antara mereka terdapat
partai lama, tetapi citra buruk dinisbatkan cen• sejurnlah aktivis yang akan menjadi pelopor dan
derung kepada partai lama. Kedua, pergeseran ikon bagi performa DPR yang lebih baik.
179 Memang bukan fenomena partai Islam saja yang menurun

suaranya, partai-partai nasionalis juga mengalami hal yang Kesimpulan dan Rekomendasi
sama. Kecenderungan senada terlihat pada kelompok partai•
partai yang tidak lolos PT, ini bukan hanya fenomena partai Dalam persiapan pemilu, hal yang menimbulkan
Islam saja, melainkan juga menjadi fenomena partai-patai kekisruhan adalah terkait dengan persoalan verifi-
nasionalis.

11 97
2
kasi partai politik, persoalan daftar pemilih tetap berian suara cukup dilakukan dengan menun•
(DPT), pemberian suara dan pemungutan suara, jukkan KTP atau identitas lain. Perubahan atau
tertunda dan berubah-ubahnya penetapan basil penyederhanaanjuga perlu dilakukan atas model
pemilu legislatif. surat suara dan format berita acara penghitungan
suara.
Tekait dengan kampanye pemilu, ada bebe•
rapa aspek kebaharuan: 1) mulai ditonjolkannya Ketiga, perlu konsistensi penyederhanaan
materi yang bersifat program dan ajakan kepada sistem kepartaian sehingga partai peserta pemilu
masyarakat untuk melakukan evaluasi sebelum tidak sebanyak Pemilu 2009. Rendahnya antu•
menentukan pilihannya relatif sudah meluas; 2) siasme masyarakat dikontribusikan pula oleh
partai-partai yang berlandaskan agama maupun terlalu banyaknya jumlah partai yang bertarung.
yang mengandalkan konsituen komunitas religius Untuk itu, ambang batas parlemen (parliamen•
tidak lagi banyak "mengumbar" simbolisasi dan tary threshold) tak hanya perlu dinaikkan persen•
janji-janji yang bersifat keagamaan; dan 3) me• tasenya, tetapi jug a harus diberlakukan di tingkat
luasnya diferensiasi materi kampanye, yang me• DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
nyebabkan tidak saja materi kampanye menjadi Keempat, segenap produk UU bidang politik
makin beragam namun juga menjadi cenderung (UU Parpol, UU Pileg dan Pilpres, UU Susduk,
lebih bersifat individual, spesifik, lokal, dan dan UU Penyelenggara Pemilu) perlu ditinjau
pragmatis. kembali koherensi dan konsistensinya agar
Masalah kecenderungan pemilih, pemilih di melembaga pemilu yang lebih partisipatif, fair,
perkotaan relatif tidak lagi terikat dengan latar be• demokratis, dan juga sederhana atau simpel
lakang demografi seperti suku, jenis kelamin, dan dalam penyelenggaraannya. Penataan kembali
agama caleg yang dipilihnya. Masyarakat cende• sistem pemilu mutlak diperlukan agar energi
rung belum mempunyai ikatan kuat terhadap demokratik bangsa ini tidak habis hanya untuk
partai dalam hubungan politik. Kecenderungan soal teknis-prosedural pemilu. Pemerintah dan
masyarakat sekarang Iebih bersifat transaksional DPR basil Pemilu 2009 semestinya menjadikan
ketika berhubungan dengan partai dan caleg. agenda penataan kembali sistem pemilu sebagai
Tidak dapat dihindari, politik uang dalam ber• prioritas agar kekisruhan serupa tidak terulang
bagai rupa yang menjadi fenomena umum dalam pada Pemilu 2014.
pemilu legislatif turut berpengaruh terhadap pola
perilaku memilih masyarakat.
Daftar Pustaka
Pemilu 2009 menghasilkan pergeseran peta Ambardi, Kuskridho. 2009. Mengungkap Politik Kar•
kekuatan politik di DPR. Pergeseran yang terjadi tel. Jakarta: KPG.
memang bukan dalam bentuk pergeseran peta Ananta, Aris, Evi Nurvidya Arifin dan Leo Suryadi•
ideologi, melainkan pergeseran peta pemenang nata. 2004. Indonesia Electoral Behaviour: A
pemilu dan perolehan kursi yang naik turun dari Statistical Perspective. Singapore: ISEAS.
partai-partai politik dari pemilu ke pemilu. Ada Basalim, Umar. 2002. Pro Kontra Piagam Jakarta
tiga kecenderungan yang terjadi dari basil Pemilu di Era Reformasi. Jakarta: Pustaka Indone•
2009, yaitu: 1) kemenangan bagi partai-partai sia Satu.
baru; 2) kekalahan partai-partai lama, khususnya Budiarjo, Miriam. 2004. "Sistem Pernilu dan Pem•
Partai Golkar dan PDIP; 3) terus menurunnya bangunan Politik", Demokrasi di Indonesia:
elektabilitas partai-partai Islam dan berbasis Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pan•
casila. Jakarta: Gramedia.
massa Islam.
Cetro, "Press Release Putusan MA: KPU Jangan Teri•
Ada beberapa rekomendasi berkaitan dengan ma Begitu Saja", yang dikeluarkan tanggal 24
evaluasi Pemilu 2009. Pertama, sistem stelsel Juli 2009, dalam http://www.cetro.or.id/new•
pasif perlu diberlakukan kembali agar hak politik web/index.php.
warga negara yang dijamin konstitusi terlindungi. Choirie, Effendy. 2002. PKB Jalan TengahNU, Ekspe•
Kedua, perlu dirancang sistem administrasi pe• rimentasi Pemikiran Islam Inklusifdan Gerak•
milu yang menjamin akurasi data pemilih dengan an Kebangsaan Pasca Kembali ke Khittah 1926.
identitas kependudukan tunggal sehingga pem- Jakarta: Pustaka Ciganjur.

113 99
Croissant, Aurel. 2003. "Pendahuluan", PolitikPemilu Hasil Survai: "Partai Islam Tak akan Menang Pemi•
di Asia Tenggara dan Asia Timur, 9-25. Jakarta: lu",http://www.tempointeraktif.com/hg/nasio•
Friedrich Ebert Stiftung dan Pensil 324. nal/2006/10/15/brk,20061015-86104,id.html
Dahl, Robert A. 1971. Poliarcy: Participation and Op• Hasil survai empat lembaga CSIS, LP3ES, LIPI, dan
position. New Haven: Yale University Press. Puskapol UL "Survei Perilaku Pemilih Menuju
Pemilu 2009", Februari-Maret 2009, laporan
. 1992. Demokrasi dan Para Peng•
tidak diterbitkan.
kritiknya Ji/id II. Jakarta: Yayasan Obor Indo•
nesia. Hasil-hasil Survai Lembaga Survei Indonesia, Ling•
karan Survei Indonesia, Lembaga Riset Infor•
. 2001. Perihal Demokrasi. Jakarta:
masi, Kompas, IPMR, CSIS, LP3ES.
Y ayasan Obor Indonesia.
Held, David. 1960. Models of Democracy. Oxford:
Danial, Akhmad. 2009. lklan Politik TV, Modernisasi
Oxford University Press.
Kampanye Politik Pasca Orde Barn. Yogya•
karta: LK.iS. Hidayat, Dedy N. "Kampanye Pemilu di Tengah
Rezim Pasar", Kompas, 11 Februari 2004.
Fatah, Eep Saefullah. 2004. Masalah dan Prospek
Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Ghalia Hidayat, Syahrul. (Ed.). 2008. Kerangka Penguatan
Indonesia. Partai Politik di Indonesia. Jakarta: Puskapol•
Kemitraan.
.1997. "Pemilu dan Demokratisasi:
Evaluasi terhadap Pemilu-pemilu Orde Baru", Huntington, Samuel P. 1995. Gelombang Demokrati•
Seri Penerbitan Politik. Jakarta: Laboratorium sasi Ketiga. Jakarta: Grafiti Pers.
Politik Universitas lndonesia-Mizan. King. Dwight Y. 2003. Half-hearted Reform: Elector•
Feith, Herbert dan Lance Castle. 1988. Pemikiran al Institution and The Struggle for Democracy
Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES. in Indonesia. Westpoint: Praeger.

Gaffar, Afan. 1992. Javanese Voters. A Case Study Lidie, William. 1992. Pemilu-Pemilu Orde Baru.
ofElection Under a Hegemonic Party System. Jakarta: LP3ES.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mawardi, Irvan. "Anatomi Kekisruhan DPT", dalam
Gazali, Efendi. 2004. "Attack Campaign". Kompas, http://www.jppr. or. id/content/view/ 2 52 5/80/,
4 Maret. 10 April 2009.
Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri Priyayi dalam Mayo, Henry. 1991. An Introduction to Democratic
Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. Theory. Cambridge: Polity Press.
Haris, Syamsuddin. 2004. "General Elections under Muhtadi, Burhanuddin. "Prospek Partai-Partai Islam
the New Order" dalam Hans Antlov dan Sven dalam Pemilu 2009". Diambil dari http.r/islam•
Cederroth, (Ed.), Election in Indonesia: The lib.com/id/artikel/prospek-parta-partai-islam•
New Order and Beyond. London and New dalam-pemilu-2009/
York: RoutledgeCurzon. Nurhasim, Moch. "Menyempurnakan Sistem Pro•
Haris, Syamsuddin (Ed.). 1999. Menggugat Pemilihan porsional", Seputar Indonesia, 27 September
Umum Orde Barn. Jakarta: Yayasan Obor. 2009.
. 2005. Pemilu Langsung di Tengah Pumomo, Sidik. "Menyelamatkan (Penyelenggara)
Oligarki Partai. Jakarta: Gramedia Pustaka Pemilu". Kompas, 2 Oktober 2009.
Utama. Romli, Lili. (Ed.). 2005. Evaluasi Pemilu 2004: Ana•
Haris, Syamsuddin dan Tri Rainny Syafarani. 2005. lisis Proses dan Hasil Pemilu Legislatif. Jakar•
"Pola Kecenderungan Perilaku Pemilih", dalam ta: P2P LIPI.
Lili Romli, (Ed.), Pemilihan Presiden Langsung "Mendorong Partisipasi Politik da•
2004 dan Masalah Konsolidasi Demokrasi di .lam Pilpres 2009", Seputar Indonesia, 7 Juli
Indonesia. Jakarta: LIPI Press. 2009.
Haris, Syamsuddin. "Pemilu 2004: Peluang Konsoli• Rose, Richard dan Ian Mc. Alliser. 1990. The Loyali•
dasi Demokrasi atau Perangkap "Status Quo" ties of Voters: Lifetime Learning Model. Lon•
Politik?", Jurnal Ilmu Politik: Pemilu dan don, Newburry Park, CA: Sage.
Demokrasi, April 2003. Setiyono, Budi. 2008. Iklan dan Politik: Menjaring
. "Menata Ulang Sistem Pemilu", Suara dalam Pemilihan Umum. Jakarta, Ad•
Kompas, 13 April 2009. Goal.com.
Haris, Syamsuudin, dkk. 1997. Pemilihan Umum di Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami I/mu Politik.
Indonesia: Telaah atas Struktur; Proses dan Jakarta: Grasindo.
Fungsi. Jakarta: PPW-LIPI.

114 99
Suwardiman. "Partai Politik:Parpol Baru, yang Ber• Venus, Antar. 2004. ManajemanKampanye. Panduan
tahan dan yang Tersingkir", Kompas, Rabu, 1 Teoritis dan Praktis dalam Mengefektifkan
Juli 2009 Kampanye Komunikasi. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media.
Svandsan, Lars dan Vicky Randal. "Party Institution•
alization in New Democracy". Party Politics,
Vol.8, No.l.

101
ALTERNATIF MODEL PENGELOLAAN KEAMANAN
DI DAERAH KONFLIK*

Sarah Nuraini Siregar

Abstract

In Post New Order era, the security regulation has been rearranged and has caused a conceptual change of
security and defense in Indonesia. This can be seen through the regulation of separation of Polri and ABRI and
accompanied by TAP MPR No. VI on seperation ofTNI and Polri and TAP MPR VII in 2000 on the role ofTNI and
Polri. These regulations have created a model ofsecurity management which arranged authority between TNI and
Polri in conducting security management in conflict area particularly in Ambon, Poso, Aceh and Papua. However,
these regulations have created new problems in the field, especially related to regulation of duty and authority
between Polri and TNI in handling security problems in conflict area. Based on this illustration, this study tries to
analyse the implementation ofstate security management policy in conflict area and to recommend an alternative
ofsecurity management model in conflict area along with other operational regulations in order to regulate strictly
and clearly between function and authority ofTNI and Polri in conducting security management in conflict area.

Latar Belakang acuan saat itu, yakni Undang-Undang (UU) No.


23/Prp/1959 mengenai penanggulangan keadaan
Pada masa Orde Baro (Orba), ABRI menjadi aktor
bahaya. UU ini mengatur mengenai jenis bahaya
tunggal dalam menciptakan stabilitas keamanan
yang diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan
dan stabilitas politik sehingga asas demokrasi
dan penghormatan terhadap Rak Asasi Manu• dan kemudian presiden (Panglima Tertinggi
ABRI) memutuskan regulasi bentuk penangan•
sia (HAM) sama sekali tidak tercipta dalam
sistern politik. Dalam hal pengelolaan keamanan, an keamanan berdasarkan jenis dan tingkatan
ABRI pun memiliki peranan dominan, khusus• bahaya. Bentuk penanganan keamanan itu adalah
nya menangani konflik di beberapa daerah. Ini Darurat Sipil, Darurat Militer, dan Perang dengan
dilakukan oleh ABRI melalui analisis ancaman masa berlaku sesuai keputusan politik presiden.
dengan dua cara, identifikasi sumber ancaman Pasca Orba situasi dan sistem politik meng•
dan identifikasi jenis ancaman. Atas dasar itu, alami perubahan mendasar. Tuntutan agar demo•
ABRI kemudian melakukan analisis atas spek• krasi diterapkan di Indonesia semakin meluas
trum konflik, yaitu mengidentifikasi tiga jenis dan hal ini turut berimplikasi pada pergeseran
konflik: internal, ekstemal dan transnasional, kebijakan pengelolaan keamanan. Regulasi di bi•
lalu membuat skenario probabilitas tiga jenis dang keamanan diatur kembali dan menyebabkan
konflik tersebut. Setelah itu, ABRI kemudian perubahan konsepsi mengenai pertahanan dan
melakukan tiga jenis operasi militer, yaitu Ope• keamanan di Indonesia .. Hal ini terlihat ketika
rasi Penangkalan, Operasi Pemulihan, dan Ope• tanggal 1 April 1999, Panglima ABRI Jenderal
rasi Penindakan.l" TNI Wiranto membuat keputusan pemisahan
Polri dari ABRI. Keputusan tersebut dilanjutkan
Semua tindakan ABRI tadi didasarkan pada
dengan membuat payung hukumnya melalui TAP
kebijakan pengelolaan keamanan yang dijadikan
MPR No. VI tentang Pemisahan TNI dan Polri
dan TAP MPR VII Tahun 2000 mengenai Peran
' Penelitian dengan judul tersebut dilaksanakan oleh Tim
TNI dan Peran Polri. TAP MPR ini dijadikan
Peneliti yang beranggotakan: Sarah Nuraini Siregar (koordina•
tor), Indria Samego, Ikrar Nusa Bhakti, Sri Yanuarti, dan landasan pemberlakuan kebijakan-kebijakan
Hargyaning Tyas. politik di bidang keamanan dan pertahanan
180
Disarikan dari pembahasan laporan penelitian oleh Andi selanjutnya, yaitu UU No. 3 Tahun 2002 ten•
Widjajanto, "OMSP: Analisa Tugas Militer dan Gelar Operasi
Militer", di P2P-LIPI, 29 Oktober 2008.
tang Pertahanan Negara, UU No. 2 Tahun 2002

104 103
182 Bagan model pengelolaan keamanan dapat dilihat
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada ulasan kerangka pemikiran dalam penjelasan
UU TNI No. 34 Tahun 2004 dan dibuatnya Buku selanjutnya.
Putih Pertahanan tahun 2003.181 Semua regulasi
di atas pada akhimya juga menciptakan sebuah
model pengelolaan keamanan182 yang mengatur
kewenangan antara TNI dan Polri dalam melak•
sanakan penanganan keamanan, terutama di
daerah konflik.
Di sisi lain, berbagai regulasi di atas temyata
menyebabkan persoalan barn di lapangan,
terutama mengenai pengaturan tugas dan we•
wenang antara Polri dan TNI saat melakukan
penanganan keamanan di daerah konflik. Di satu
pihak, konflik dianggap dapat mengancam dan
mengganggu stabilitas pemerintahan sehingga
TNI perlu dilibatkan untuk menangani konflik
tersebut. Sementara di pihak lain, konflik juga
menyangkut masalah keamanan masyarakat
dan mengganggu ketertiban umum sehingga
Polri juga perlu terlibat di dalamnya mengingat
fungsi polisi adalah fungsi keamanan. Akibatnya,
muncul persoalan-persoalan baru yang terkait
dengan pengelolaan keamanan, seperti "wilayah
abu-abu" (grey area), kewenangan yang sating
tumpang tindih, rnispersepsi tentang tugas dan
kewenangan masing-masing, rniskoordinasi, dan
sebagainya. Salah satu contohnya adalah ketika
TNI menangani sebuah daerah yang mengalarni
konflik. Muncul pandangan bahwa TNI tidak
berwenang melakukan penanganan keamanan
atas konflik tersebut karena fungsi profesional
TNI hanya berurusan dengan pertahanan negara.
Penanganan keamanan semestinya dilakukan
oleh Polri. Namun, di lain pihak, TNI merasa
merniliki tugas-tugas selain perang, yaitu tugas ke•
amanan dalam negeri yangjuga diatur dalam Buku
Putih Pertahanan. Hal inilah yang mengakibatkan
ketidakjelasan pendefinisian mengenai tugas-tugas
TNI dan Polri. Akibatnya, terjadi tarik-menarik
181 Pasal 2 ayat 3 TAP MPR RI No. VIIMPR RI/ tahun 2000 me•

nyebutkan: "dalam hal terdapat keterkaitan kegiatan pertahanan


dan keamanan, TNI dan Kepolisian Republik Indonesia harus
bekerja sama dan saling membantu.
Pasal 4 ayat 1 TAP MPR No. VII/MPR RI/Tahun 2000:"TNl
memberikan bantuan kepada Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam rangka tugas keamanan atas permintaan yang
diatur dalam undang-undang."
Pasal 9 ayat I: "dalam keadaan darurat, Kepolisian Negara
Republik Indonesia memberikan bantuan kepada TNI yang
diatur dalam undang-undang."

104 103
kepentingan antara mereka. Tarik-menarik
kepentingan ini yang kemudian menimbulkan
"ketidakharmonisan" hubungan TNI-Polri.183
Persoalan tarik-menarik kepentingan antara
TNI dan Polri dapat dilihat melalui implemen• tasi
kebijakan pengelolaan keamanan di daerah konflik
dalam menangani konflik separatis dan konflik
horisontal (komunal) di beberapa daerah, khususnya
di Aceh, Papua, Ambon, dan Poso.184
Berdasarkan review hasil penelitian P2P LIPI dua
tahun sebelumnya (2007 & 2008), pengelolaan
keamanan yang dilakukan oleh pemerintah di
keempat daerah tersebut masih memperlihatkan
berbagai masalah mendasar.
Kasus konflik di Aceh rnisalnya, pengelolaan
keamanan untuk menangani konflik antara GAM
dengan Pemerintah RI selalu menggunakan
kekuatan rniliter melalui berbagai jenis operasi, baik
operasi rniliter, operasi kopkamtib, hingga
penetapan status Aceh sebagai Darurat Militer dan
Darurat Sipil. Dalam operasi-operasi tersebut, aparat
keamanan yang diturunkan mencakup personel
TNI dan Polisi, dengan kewenangan tertentu
sesuai jenis keadaan bahaya yang ditetapkan
(Darurat Militer & Darurat Sipil). Penetapan jenis
operasi, kewenangan penguasa, danjenis keadaan
yang diterapkan di Aceh sangat rnirip dengan
penjabaran pengelolaan keamanan yang termuat
dalam UU No. 23/Prp/1959. Ini memperlihatkan
walaupun Indonesia pasca-Orba telah memiliki
model pengelolaan keamanan yang terumus dalam
Buku Putih Pertahanan, tetapi dalam penjabaran
operasionalnya relatif sama dengan UU No.
23/Prp/1959. Selain itu, dari evaluasi berdasarkan
realitas di lapangan, terjadi rniskoordinasi antara
kewenangan TNI dan Polri yang turut
berimplikasi pula pada masyarakat, seperti
pengungsian besar-besaran,

183
Ikrar Nusa Bhakti, ed., Hubungan TN! POLRI dalam
Penanganan Keamanan Dalam Negeri (2000-2004), (Jakarta: P2P,
2004) him. 170-177.
184
Lihat UU TNI No. 34 tahun 2004 dan UU Kepolisian Negara RI
No. 2 Tahun 2002. Hubungan tersebut menunjukkan masih
bermasalah karena kebijakan pemisahan TNI dan Po1ri tidak di•
siapkan secara matang sehingga mengakibatkan ketidakjelasan
pendefinisian mengenai tugas-tugas TNI dan Po1ri. Di satu sisi TNI
merasa memiliki tugas-tugas yang hanya bukan perang, tetapi juga
tugas lainnya dalam ha! keamanan dalam negeri, seperti menangani
terorisme, konflik komunal, aksi radikalisme, dan lain-lain. Di sisi
lain, Polri ingin mengambil semua tugas yang dulu diemban TNI
AD khususnya dalam penanganan keamanan dalam negeri.

104 103
trauma ketakutan masyarakat, dan banyaknya makin meluas. Aparat keamanan saat itu gagal
korban sipil.185 Selain itu, dalamjangka panjang, melakukan intervensi terhadap konflik, terutama
temyata operasi-operasi yang telah dilakukan pada tahap awal eskalasi konflik. Padahal inter•
tidak mampu menyelesaikan akar konflik. 186 vensi secara cepat dibutuhkan untuk meredam
kekerasan (limited violence) yang saat itu terjadi
Pada kasus Papua, konflik antara Organisasi
dan mencegah terjadinya potensi konflik yang
Papua Merdeka (OPM) dan pemerintah pusat
baru. Karena kegagalan tersebut, timbul potensi
sudah berlangsung sejak tahun 1965. Cara kerja
konflik yang lebih luas dan tipe konfrontasi baru
organisasi OPM bersifat sporadis, seperti menye•
yang lebih kompleks sehingga mengakibatkan
rang pos-pos militer atau polisi, melakukan
jumlah korban semakin meningkat dan menim•
sabotase pada objek-objek vital strategis seperti
bulkan krisis yang bekepanjangan.
Freeport. 187 Pemerintah Orde Baru melakukan
penanganan terhadap organisasi ini melalui bebe• Sementara itu, pengelolaan keamanan di Paso
rapa kebijakan, mulai kebijakan persuasif dan juga dinilai gagal dalam memberikan perlin•
represif. Kebijakan represif dilakukan dalam dungan keamanan kepada warga. Beberapa
bentuk operasi rniliter untuk menghentikan ge• kalangan menilai, penyebab dari berlanjutnya
rakan sporadis, membunuh mereka yang mela• konflik Paso disebabkan aparat keamanan tidak
wan, melakukan penganiayaan atau melakukan segera menanganinya dan terlambat dalam meng•
pembakaran kampung-kampung atau kamp yang atasi konflik Posa. 191 Bahkan ketika diterapkan
menjadi tempat persembunyian OPM. 188 Pola Operasi Pemulihan Keamanan, pihak TNI dan
ini dilanjutkan oleh pemerintah pasca-Orba dan kepolisian tidak dapat berkoordinasi dengan
akhirnya justru menciptakan persoalan baru baik dan cenderung beroperasi sendiri-sendiri.192
dalam pengelolaan keamanan di Papua. Misal• Di sisi lain, respons pemerintah pusat untuk
nya, kesulitan untuk melakukan pengaturan ber• menangani konflik secara cepat juga tidak efektif.
bagai struktur kesatuan yang ada di Papua karena Misalnya pada tahap awal terjadinya konflik, para
wewenang koordinasi yang dapat menjembatani pelaku konflik dari berbagai wilayah dan kota di
berbagai kepentingan seperti Palisi, TNI organik luar Paso (Palu, Parigi, Ampana, atau Tentena)
dan non-organik di Papua masih lemah. 189 sangat mudah masuk ke daerah konflik, semen•
tara aparat keamanan tidak dapat berbuat banyak
Konflik Ambon memperlihatkan potensi
karena lambannya pengiriman bantuan personel
ancaman konflik di Maluku tidak diantisipasi
oleh pemerintah pusat. 193 Fenomena ini menun•
secara cepat, terutama dalam hal pengelolaan
j ukkan bahwa respons pemerintah pusat yang
keamanan. Pada awal terjadinya konflik tahun
lamban berdampak pada penanganan keamanan
1999, pemerintah hanya menurunkan 5.300
di Paso menjadi tidak efektif.
personel keamanan baik dari kepolisian maupun
TNI. Jumlah tersebut dinilai belum mencukupi Hasil review di atas memperlihatkan bahwa
untuk menangani dua juta jiwa masyarakat di pengelolaan keamanan di daerah konflik, baik
Ambon yang tersebar di sekitar 100 pulau.'?" Aki• konflik separatis maupun konflik komunal masih
batnya, konflik tersebut tidak kunjung reda, justru menimbulkan persoalan yang disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain ketidakharmonisan
relasi TNI-Polri, ketidaksiapan pemerintah pusat
185M. Nurhasim, ed., EvaluasiPelaksanaanDarurat Militerdi

Aceh 2003-2004, (Jakarta: P2P LIP!, 2006) him. 9-10.


dan daerah dalam mengantisipasi konflik, koordi•
nasi antarinstitusi keamanan dan pemerintah yang
186Ibid.
187Ikrar Nusa Bhakti, ed., Relasi TN! .. Op. Cit., him. 41-42. 191
Hamdan Basyar, "Relasi TNI-Polri dalam Penanganan Kon•
188
Ibid. flik Komunal di Poso," dalam Ibid. him. 124-125.
189 Moch. 192 Operasi TNI menggunakan nama "Operasi Cinta Damai",
Nurhasim, "Pengelolaan Pertahanan dan Keamanan
di Papua" dalam Sarah NS (ed), Problematika Pengelolaan sedangkan operasi kepolisian bernama "Operasi Sadar Malec."
Pertahanan dan Keamanan di Wilayah Konfiik (Aceh dan Ironisnya, Polda Sulawesi Tengah saat itu menyatakan keti•
Papua), (Jakarta: P2P, 2007) him. 115. daktahuannya tentang operasi yang dilakukan oleh TNI, lihat
Hamdan Basyar, Ibid. him. 126.
190
Sri Yanuarti, "Relasi TNI-Polri dalarn Penanganan Konflik
193Lihat "Analysis of Poso: The Role of The Security Process,"
Komunal di Maluku Tengah dan Ambon: 1999-2004," dalam
Ikrar Nusa Bhakti (ed), Relasi TNI .. Op. Cit.,hlm. 66-67. (Part Three) dalam Human Right Publications, 2002, him. 2.

105
106
masih lemah, dan sebagainya. Persoalan tersebut Bahaya. Padahal, sebelumnya, September 1999
turut dipicu oleh belum adanya penjabaran yang Pemerintahan BJ. Habibie telah menyetujui satu
operasional mengenai tugas, fungsi, wewenang undang-undang tentang Penanggulangan Ke•
TNI dan Polri saat melakukan pengelolaan ke• adaan Bahaya (UU PKB), yang menurut banyak
amanan di daerah konflik yang seharusnya telah kalangan jauh lebih demokratis ketimbang
dirumuskan dalam model pengelolaan keamanan UU No. 23/Prp/1959, yang cenderung bersifat
di Indonesia. represif, dan dalam penerapannya sering diikuti
dengan tindakan excessive dan mengedepankan
Secara umum kajian ini bertujuan untuk
pola militeristik.194
menganalisis kebijakan pengelolaan keamanan
negara yang diterapkan di daerah konflik, serta Kelemahan dari Keppres di atas turut ditam•
membuat rekomendasi altematif model pengelo• bah oleh ketidakjelasan regulasi yang meng•
laan keamanan di daerah konflik. Secara khusus, atur TNI dan Polri. Ketidakjelasan ini terlihat
tujuan kajian iniadalah mengkaji kapabilitas dan dalam tataran implementasi di tingkat lapangan
implementasi pengelolaan keamanan di daerah sehingga mengakibatkan permasalahan tersen•
konflik, serta memberikan rekomendasi altematif diri. Pemisahan TNI yang tidak diikuti dengan
model pengelolaan keamanan di daerah konflik aturan yang sifatnya operasional tentang peran
beserta pilihan-pilihan strategis dan tindakan• dan fungsi mereka dalam pengelolaan konflik di
tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah, Maluku telah mengakibatkan terjadinya rivalitas
khususnya yang terkait dengan kebijakan penge• antarprajurit TNI dan Palisi. Ini terlihat pada saat
lolaan keamanan penyerbuan yang dilakukan oleh Laskar Jihad di
gudang senjata polisi yang terletak Tantui pada
tanggal 21 Juni 1999.
Beberapa Temuan dan Solusi Alternatif Masalah lainnya adalah fragmentasi kelom•
Temuan Empiris pok militer dalam konflik di Ambonjuga terjadi
pada tahun 2001-2002 saat penerapan kebijakan
Pada prinsipnya, pengelolaan keamanan di dae•
darurat sipil. Ini terlihat ketika pasukan YonGap
rah konflik sangat dipengaruhi oleh kebijakan
92 yang merupakan personel gabungan Koppasus
dan strategi yang diterapkan saat itu. Diharapkan
Angkatan Darat, Paskhas, dan Marinir dianggap
dari kebijakan dan strategi yang tepat niscaya
pro komunitas Kristen versus Battaliyon 407 dan
akan menjamin penyelesaian yang cepat bahkan
408 Diponegoro yang dianggap pro komunitas
dapat meminimalisir potensi konflik. N amun,
Islam. Friksi di kalangan militer pada periode
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tim
ini telah mengakibatkan memanasnya kembali
dua tahun sebelumnya (2007 & 2008), pengelo•
konflik di Ambon pada bulan Januari sampai
laan keamanan di daerah konflik (Aceh, Papua,
Juni 2001.
Poso, dan Ambon) dalam berbagai degradasinya
temyata tidak dapat menyelesaikan masalah, bah• Padahal, mengacu pada Dokumen 32 PBB
kan sebaliknya memperluas bentangan konflik tentang International Covenant on Civil and
secara kuantitas maupun kualitas. Akibatnya, Political Right (ICCPR) yang dikaitkan dengan
jaminan atas berlakunya non-dirigible right yang batas negara untuk menanggulangi keadaan
merupakan fungsi negara dalam memberikan darurat dalam artikel (4), dalam situasi darurat
perlindungan hukum kepada rakyatnya pada seperti bencana alam atau bentuk krisis lainnya
kondisi bahaya tidaklah dapat dipenuhi sehingga (konflik internal), negara diharapkan untuk
konflik yang ditimbulkan menjadi dahsyat dan
194
UU PKB muncul sebagai reaksi masyarakat atas penolakan
tidak terkontrol.
RUU Keselamatan dan Keamanan Negara (RUU KKN) dan
Sebagai contoh, penerapan status Darurat RUU Rakyat Terlatih (RUU Ratih), yang diajukan Jenderal
Faisal Tandjung sebagi perwujudan mandat MPR yang ter•
Sipil di Maluku melalui Keppres No. 88 Tahun
maktub dalam TAP MPR No. X/MPR/'1998 tentang Pokok•
2000 maupun Keppres No. 40 Tahun 2002 pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan
dianggap paradoksal. Hal ini disebabkan dasar dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara.
Ketetapan ini dihasilkan dalam Sidang lstimewa MPR, Novem•
hukum pembentukan Keppres tersebut meng•
ber 1998. Dalam SI ini juga disetujui percepatan Pemilu
acu pada UU No.23/Prp/1959 tentang Keadaan 1999.

105
106
Eastern Europe: Building Professional Armed Forces (Basing•
bertindak cepat dan tegas dan negara idealnya stoke: Palgrave, 2002).
menggunakan prosedur dan kekuatan tertentu
tanpa mempengaruhi prinsip-prinsip dari pemerin•
tahan demokratis.
Oleh karena itu, adalah hal yang penting untuk
mendefinisikan secarajelas mengenai situasi kri•
sis dan keadaan darurat serta peran dan tanggung
jawab institusi-institusi politik dan keamanan
untuk persiapan keadaan darurat dan manajemen
krisis yang akan diambil, termasuk mekanisme
pengawasan atas semua kebijakan dalam masa
darurat atau krisis.
Pengelolaan keamanan dalam situasi krisis
dapat dideklarasikan hanya pada situasi tertentu
dan harus mengikuti beberapa asas kunci yang
rneliputi: 195
a. Asas legalitas-ukuran keadaan darurat harus
sesuai dengan pernyataan keadaan darurat
yang di sisi lain harus sejalan dengan undang•
undang dari negara tersebut. Asas ini selanjut•
nya harus mernastikan bahwa hukurn internal
sejalan dengan hukum intemasional.
b. Asas pengumuman. Suatu keadaan darurat
harus diurnumkan secara luas.
c. Asas komunikasi, yang mengacu pada ke•
wajiban untuk memberi tahu pada negara
lain atas perjanjian yang relevan, begitu juga
laporan khusus ke PBB atas pelaksaaan hak
asasi manusia selama masa darurat.
d. Asas kesementaraan, pernyataan keadadan
darurat harus dalarn situasi pengecualian dan
memiliki batasan waktu.
e. Asas Ancaman yang luar biasa, yang rnenun•
tut bahwa krisis harus nyata, sedang terjadi,
atau setidak-tidaknya benar-benar berbahaya
bagi masyarakat.
f. Asas proporsional, tindakan yang diambil
untuk mengatasi krisis haruslah proporsional
dengan kejadiannya.
g. Asas tidakkasat mata (intangibility), beberapa
hak fundamental tertentu dalam situasi apa•
pun tidak dapat diabaikan.

195 Andrew Cottey, Timothy Edmunds, and Anthony Forster

(eds), Democratic Control of the Military in Post communist


Europe: Guarding the Guards (Basingstoke: Pal grave, 2001);
James Sherr, 'Professionalisation, Civilian Control and Demo•
cracy", dalam Anthony Forster, Timothy Edmunds and Andrew
Cottey, eds., The Challenge ofMilitary Reform in Central and

108 107
Hukum internasional menuntut bahwa
setiap negara harus menerapkan pembenaran
dengan hati-hati, tidak hanya keputusan untuk
menyatakan situasi darurat, tetapi juga tindakan•
tindakan tertentu yang didasarkan atas kenyataan
tersebut. Pengabaian atas hak-hak tertentu dapat
dibenarkan dalam keadaan darurat seperti ke•
merdekaan bergerak atau berkumpul. Namun,
terdapat pengecualian, khususnya yang terkait
dengan hak hidup, melakukan penyiksaan atau
hukuman tidak rnanusiawi, pengobatan atau eks•
perirnen tertentu tanpa izin yang bersangkutan,
rnelakukan perbudakan dan kerja paksa, pemen•
jaraan karena yang bersangkutan tidak memenuhi
kewajiban suatu kontrak, dan asas legalitas dalam
hukum pidana.
Akan tetapi, butir-butir di atas tidak ter•
penuhi pada kasus konflik di Indonesia. Kasus
pengelolaan kearnanan di Poso misalnya, dari
butir a hingga d dan f tidak pernah dilakukan.
Pemberitaan media massa tentang situasi di Poso
telah menunjukkan bahwa sebenarnya telah ter•
jadi situasi krisis. Namun, sepanjang penelitian
ini dilakukan, tidak ada pernyataan dari otoritas
negara tentang kondisi Poso yang sesungguhnya,
dengan kebijakan apa ( dari aspek keamanan)
kondisi tersebut akan diatasi dan hingga kapan
kebijakan pengelolaan keamanan di Poso diber•
lakukan. Bahkan status sebagai daerah konflik
yang mengandung konsekuensi penanganan yang
berbeda dalam situasi darnai hingga saat ini masih
diberlakukan. Review atas kebijakan pertahanan
dan keamanan yang dilakukan oleh negara di
wilayah Poso hingga saat ini tidak pernah ada.
Masalah ini juga terjadi pada pengelolaan
keamanan di daerah konflik vertikal. Seperti di
Aceh, meskipun asas legalitas, pengumuman,
komunikasi, kesetaraan, s�rta31ncaman terpenuhi
sebagai pengelolaan keamanan di masa krisis, na•
mun jika melihat prinsip ICCPR, penerapan asas
proposionalitas dipandang terlalu berlebihan.
Hal ini terlihat bahwa kebijakan-kebijakan yang
terkait dalam penerapan darurat rniliter rnisalnya,
lebih padakebijakan yang ditujukan'dalam situasi
perang. Hal tersebut terlihat dalam berbagai pem•
batasan yang dilakukan terhadap masyarakat
sipil pada masa Pernerintahan Darurat Militer
di satu sisi, dan besarnya otoritas rniliter dalam
mengendalikan segala dinarnika sosial politik

108 107
r
'

warga masyarakat di sisi lain. Di samping itu, daerah konflik horizontal. Padahal, pengguanaan
juga diterapkan prinsip embeddedjournalism di operasi militer dalam konflik sosial perlu dielabo•
mana dalam berbagai negara konsep ini hanya rasi dengan hal-hal yang sangat mendesak untuk
diberlakukan pada situasi perang antamegara jangka pendek dan hal-hal yang bersifat sangat
(konflik ekstemal); bukan pengelolaan keamanan perlu untukjangka panjang.
dalam situasi konflik internal. Oleh karena itu, dalam konteks penyelesai•
Jika pengelolaan keamanan di Aceh meng• an konflik dari sisi keamanan secara universal,
gunakan dasar hukum yang jelas, yakni UU No. doktrin militer pada dekade belakangan ini perlu
23/1959 dengan penerapan darurat militer dan melalui tiga tahapan yang harus dilaksanakan,
sipil, maka tidak demikian dengan pengelolaan yaitu tahap intervensi, tahap stabilisasi dan tahap
keamanan di Papua. Meski sejak zaman Orde normalisasi. Tahap intervensi merupakan tahap
Baru, Papua dikategorikan sebagai daerah kon• pertama dari operasi militer apabila militer dilibat•
flik, namun kebijakan pengelolaan keamanan di kan untuk menangani konflik. Pada tahap ini, mi•
daerah ini tidak: diarahkan secara jelas. Demikian liter dengan kekuatan alutsistanya digelar untuk
juga regulasi yang diterapkan di wilayah ini. mengatasi konflik yang terjadi. Sasaran pokok
Misalnya pada penerapan Operasi Rajawali 011 yang harus dicapai adalah military objective yang
yang praktiknya hampir sama dengan operasi ditetapkan atau memungkinkan pencapaian end
teritorial. Operasi teritorial dilaksanakan untuk state/tujuan nasional.
meningkatkan daya tangkal masyarakat terhadap Selanjutnya, apabila tahapan ini sudah dilak•
ancaman separatis, khususnya di daerah-daerah sanakan, maka operasi militer dilanjutkan dengan
pedalaman. Pada Operasi Rajawali 10 A berhasil tahapan stabilisasi. Tahap stabilisasi merupakan
dibentuk 82 desa binaan dan pada Operasi Raja• tahap untuk mempersiapkan kondisi yang mema•
wali 011 dibentuk 42 desa binaan.196 Padahal, dai agar tahap normalisasi dapat dilaksanakan
pada periode tersebut telah keluar UU No. 2/2000 sehingga tanggungjawab kekuasaan di lapangan
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat dikembalikan sepenuhnya kepada pemerin•
dan UU No. 3/2000 tentang Pertahanan Negara tah daerah. Ukuran kondisi yang memadai adalah
yang secara tegas telah memisahkan tugas dan sistem pemerintahan dan pelayanan terhadap ma•
peran antara TNI dan POLRI. Tetapi di tingkat syarakat telah dapat berfungsi dan dilaksanakan.
lokal, masih terjadi kesenjangan dalam imple• Permasalahannya adalah kapan tahap stabilisasi
mentasi seperti itu karena konsep operasi terito• ini dapat dimulai? Ada beberapa pertimbangan
rial terus berlangsung sebagai salah satu fungsi tentang penentuan waktu untuk memulai tahap
yang masih terus diperankan oleh TNI AD. stabilisasi, antara lain: kepentingan nasional,
Dengan demikian, perubahan yang men• tingkat kekerasan/pelawanan yang sering terjadi,
colok dalam pengelolaan bidang keamanan kesiapan pemerintah daerah, dukungan penduduk
masih belum tampak. Padahal, dari segi aturan, terhadap kondisi damai yang diciptakan, proses
masalah keamanan wilayah menjadi tanggung pemukiman kembali para pengungsi, serta efek•
jawab dari Polri, khusunya satuan kepolisian di tivitas kelanjutan dialog jika diperlukan. Dalam
tingkat daerah Secara struktural, antara TNI dan proses stabilisasi ini, strategi yang dijalankan
Polri berbeda, baik dari segi pendekatan maupun adalah menghilangkan kekerasan yang masih
dari segi kapasitas teknis yang dimiliki. Tidaklah terj adi dengan cara yang bermartabat serta me•
heran apabila kemudian terjadi berbagai kasus yang nyiapkan kembali infrastruktur pemerintahan
berkaitan dengan tugas masing-masing institusi daerah dan pelayanan masyarakat bersama selu•
yang berkaitan dengan isu keamanan di Papua. ruh aktor dan pemuka masyarakat.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa penge• Menghilangkan kekerasan pada tahap stabi•
lolaan keamanan di daerah konflik vertikal sama lisasi dapat dilakukan melalui konsep Disarma•
tidak jelasnya dengan pengelolaan keamanan di ment, Demobilization, dan Reintegration (DDR).
Dalam kasus pengelolaan keamanan di daerah
196Lihat buku Dhanna Bhakti Kodam XVIl!Trikora periode konflik di Indonesia, penyelesaian seperti yang
1990-2001, yang diterbitkan oleh Kodam XBil!Trikora (tidak diuraikan di atas hanya terkadi pada kasus Aceh
diperjualbelikan), him. 47-49.

108 107
197
Lihat bahan FGD dari Kikie Syahnakrie, "AltematifModel
setelah ditandatanginya perjanjian Hensinki pada Pengelolaan Keamanan di Daerah Konflik," dalam makalah
tahun 2005. Berbagai kebijakan pengelolaan yang disampaikan pada FGD P2P-LIPI, Jakarta, 23 Juli 2009.
konflik yang dilakukan pada masa MoU Hensinki
dilandasi oleh prinsip-pinsip yang ada dalam IC•
CPR dan The International Humanitarian Law.
Meski harus diakui bahwa MoU Hensinki bukan
satu-satunya instrumen yang mampu menyele•
saikan konflik Aceh, namun kebijakan-kebijakan
pengelolaan keamanan, khususnya yang terkait
dengan fungsi dan peran TNI dan Polri mampu
meredakan kekerasan yang terjadi selama puluhan
tahun.
Dengan demikian, kelemahan-kelemahan
regulasi sebagaimana diuraikan di atas telah me•
nimbulkan distorsi dalam kebijakan pengelolaan
keamanan di daerah konflik berupa: Pertama,
tidak adanya keterpaduan. Dalam penanganan
konflik yang bersifat vertikal maupun horizontal
masing-masing intsitusi berjalan sendiri-sendiri,
Padahal keberhasilaan pengelolaan keamanan
tidak semata-mata merupakan tanggung jawab
aparat keamanan saja, melainkan harus terdapat
keterpaduan antara operasi keamanan (militer
maupun operasi ketertiban) dengan tindakan
ekonomi, hukum dan diplomasi yang dilakukan
secara proporsional dan seimbang. Dalam penge•
lolaan keamanan di keempat daerah tersebut tidak
memperlihatkan adanya keterpaduan, bahkan
seolah-olah menganggap konflik tersebut hanya
merupakan masalah keamanan semata.197
Selain itu, pengorganisasian di tingkat pusat
maupun daerah dalam pengelolaan keamanan
di daerah konflik selama ini tidak solutif. Peng•
organisasian tersebut harusnya terpadu, lintas
sektoral, serta berada dalam satu garis komando.
Dalam penyelesaian konflik di Aceh misalnya,
di tingkat pusat ada "Desk Aceh" di bawah Pol•
hukam. Meski personel institusi ini terdiri dari
beberapa departemen terkait, namun institusi
ini tidak memiliki kewenangan kodal (komando
pengedalian) ke daerah/lapangan dan badan ini
hanya berfungsi sebagai fasilitas staf bagi Menko
Polhukam sehingga keberadaannnya tidak efektif.
Demikian pula dengan ketidakjelasan hubungan
komando atau fungsional antara Pemda dengan
perangkat dinasnya, Polda, Kodam serta unsur-

110 109
198
unsur perpanjangan tangan BIN di lapangan. Contoh yang paling nyata adalah konflik yang terjadi antara
prajurit TNI dan Polisi pada penyerbuan gudang Tantui di
Bahkan seringkali terjadi persinggungan di antara
Maluku.
unsur-unsur satuan di bawah/lapangan.198
Padahal, setiap pengelolaan keamanan pada
masa damai, perang, maupun darurat harus di•
sertai dengan Rule ofEngagement (RoE). Hal ini
disebabkan RoE mendefinisikan batasan-batasan
untuk menggunakan kekuatan yang mematikan
dalam operasi tertentu. Hal ini harus diputuskan
pada basis individu sebagai upaya untuk rnem•
batasi sebisa mungkin penggunaan kekerasan
sambil setidak-tidaknya juga memperbolehkan
para prajurit memiliki ruang gerak yang cukup
untuk membela diri.
RoE harus selalu berdasarkan pada alasan
utama untuk membela diri dan merupakan fak•
tor pendukung operasional atau parameter taktis.
RoE harus didesain secara hati-hati untuk me•
menuhi kebutuhan operasional maupun politik.
Selain itu, RoE harus memenuhi kriteria yang
jelas yang menggarisbawahi penerapan penggu•
naan kekerasan yang hanya diperuntukan untuk
memberikan keseimbangan terkait dengan kon-
· disi peredaan ketegangan, peningkatan eskalasi,
atau sebaliknya untuk memutuskan konfrontasi.
RoE juga harus didefinisikan sebagai respons
yang berjenjang yang memungkinkan elemen
taktis untuk menerapkan kekuatan yang diperlu•
kan sambil meminimalkan kerusakan dan korban.
Selanjutnya, RoE juga harus memasukkan refe•
rensi tentang jenis senjata yang diperbolehkan
dalam operasi yag terkait pengelolaan keamanan
pada kondisi tertentu, dari tidak menggiinakan
senjata sama sekali sampai senjata berat termasuk
kapal laut dan pesawat terbang.

Problematika
Konseptual
Dari sisi problematika konseptual, tampak bahwa
persoalan pengelolaan keamanan di Indonesia,
khususnya ketika diterapkan di daerah konflik
berawal dari pemahaman terminologi keamanan
yang relatif berbeda; baik antara TNI maupun
Polri. Pemahaman mengenai keamanan nasional,
misalnya, sampai sekarang di Indonesia masih
terjadi perdebatan mengenai konsep keamanan
nasional. Bahkan beberapa analis melihat bahwa

110 109
Indonesia masih belum dapat menemukan format septual yang erat antara keamanan nasional dan
dan pemahaman yang tepat serta selaras menge• pengelolaan keamanan. Prinsip-prinsip tersebut
nai konsep keamanan nasional. Dampaknya antara lain:'?' prinsip pertama terkait dengan
adalah, pada saat di mana praktik-praktik penye• sistem dan dimensi keamanan nasional. Karak•
lenggaraan keamanan nasional seharusnya sudah ter utamanya adalah adanya suatu prosedur dan
mulai terinstitusionalisasi, pada saat yang sama mekanisme baku yang memungkinkan negara
masih terjadi pergulatan dalam perbincangan secara sah dapat menggunakan instrumen ke•
mengenai makna keamanan nasional.199 Hal ini kerasan bersenjata secara sisternis dan terorgani•
menyebabkan pengaturan pengelolaan keamanan sasi. Berdasarkan argumen ini, maka sistem
di Indonesia mengalarni dilematika karena in• keamanan nasional idealnya digunakan oleh
stitusionalisasi keamanan nasional seharusnya negara (pemerintah) untuk mengatasi berbagai
menjadi payung utama dalam operasionalisasi ancaman terhadap pertahanan negara maupun
berbagai regulasi pengelolaan keamanan. keamanan dalam negeri, apalagi jika ancaman
tersebut menggunakan instrumen bersenjata.
Selain itu.juga masih belum ada keseragaman
di level pemerintah maupun aktor keamanan yang Prinsip kedua''" terkait dengan eskalasi
bersangkutan (TNI dan Polri) mengenai konsepsi konflik dan penerapan keadaan darurat. Prinsip
ini. Sementara di sisi lain, walaupun masalah ini perlu dikembangkan agar masalah keamanan
"ketidakseragaman pemahaman" ini belum nasional merniliki eskalasi yang jelas, mulai dari
sepenuhnya terselesaikan, pembahasan mengenai situasi normal ke situasi perang. Eskalasi konflik
konsep keamanan nasional masih berjalan terus. ini meliputi lima tingkatan, dimulai dari situasi
Hal ini dapat dilihat melalui Lampiran poin 4, normal, situasi krisis, konflik terbuka/perang,
Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2008 tentang situasi pemulihan, dan stabilisasi. Sistem ke•
Kebijakan Umum Pertahanan Negara. Di dalam amanan nasional yang baik akan membangun
lampiran ini, dijelaskan bahwa cakupan konsep mekanisme dan prosedur kerja yang spesifik un•
keamanan nasional Indonesia meliputi segala tuk masing-masing tingkatan eskalasi, termasuk
upaya untuk menjaga dan memelihara rasa aman pihak yang mengambil keputusan atau kebijakan
dan damai bangsa Indonesia yang terdiri dari operasional pengelolaan keamanan, khususnya di
pertahanan negara, keamanan negara, keamanan daerah yang mengalarni konflik.
publik, dan keamanan individu.i?' Namun, dalam Prinsip ketiga'?' terkait dengan aktor ke•
lampiran ini masih belum menjelaskan secara amanan nasional. Prinsip ini menegaskan bahwa
menyeluruh beberapa aspek dari keamanan na• pengelolaan keamanan suatu negara yang modem
sional tadi; seperti penjelasan tentang keamanan memerlukan sekaligus diferensiasi struktur, spe•
publik, keamanan individu, keamanan negara, sialisasi fungsi, dan kompetensi instrumen pelak•
dan sebagainya. Padahal penjelasan konsep• sana. Dalam konteks Indonesia rnisalnya, sebagai
konsep ini semestinya diuraikan terlebih dahulu penanggung jawab keamanan nasional adalah
sehingga akan terlihat hubungan yang erat dan presiden yang dibantu oleh beberapa departemen
tidak saling tumpang-tindih, bahkan simplifikasi pemerintahan. Instrumen yang digunakan untuk
di antara konsep-konsep ini pada saat merumus• itu dapat berupa diplomasi, intelijen, penegakan
kan keamanan nasional secara keseluruhan. hukum, hingga kekuatan rniliter.
Oleh karena itu, konsep keamanan nasi• Prinsip keempar=' terkait dengan pengerahan
onal perlu dijelaskan secara komprehensif dan dan penggunaan kekuatan keamanan nasional.
sepenuhnya turut didukung oleh kejelasan ope• Pada konteks ini, sudah semestinya pengerahan
rasionalisasi dari konsep pengelolaan keamanan dan penggunaan rniliter dan kepolisian didasar-
nasional. Untuk itulah diperlukan beberapa 201
"Kerangka Sistemik Keamanan Nasional," dalam Working
prinsip mendasar untuk melihat hubungan kon- Group on Security Sector Reform, (Propatria Institute) hlm.
3.
199 Rizal Sukma (makalah), "Peran Tentara Nasional Indonesia 202
Ibid.
dalam Sistem Keamanan Nasional: Sebuah Kajian Awai," 203
hlm.2. Ibid, him. 4.
204
200
Newsletter IDSPS (Seri 8) tahun 2008. Ibid, him. 7.

110 109
kan pada keputusan politik berdasarkan aturan Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap
keutuhan bangsa dan negara."
perundang-undangan yang berlaku. Aturan ini
juga berlaku dalam konteks pengerahan dan Sementara itu, Kepolisian Negara RI ber•
penggunaan kekuatan militer maupun kepolisian peran memelihara keamanan dan ketertiban
pada saat terjadi konflik. Pengaturan ini diperlu• masyarakat, menegakkan hukum, memberikan
kan untuk memberikan kepastian mengenai pengayoman, dan pelayanan kepada masyara•
forum otorisasi, bentuk otorisasi, waktu dan kat. 207 Untuk lebih meningkatkan efektivitas
situasi pengerahan kekuatan tersebut. Selain itu, dan wibawanya, kedudukan Kepala Kepolisian
pengaturan juga dibutuhkan untuk meletakkan Negara Republik Indonesia berada di bawah
tanggung jawab pengambilan keputusan politik presiden.r" Untuk memperkuat kedudukan
mengenai pengerahan yang seimbang antara Kepolisian Negara RI tersebut, dikeluarkanlah
Presiden dan DPR. Keputusan Presiden RI No 89 Tahun 2000 yang
Prinsip terakhir (kelima) adalah mengenai secara empiris memberi bobot tambahan bagi
keputusan mengenai beragan operasi keamanan lembaga negara ini untuk menjalankan fungsinya.
nasional yang harus digelar untuk mengatasi Regulasi selanjutnya adalah UU No. 3 Tahun
ancaman. Operasi keamanan nasional dapat di• 2002 tentang Pertahanan Negara yang tidak lagi
bagi dalam beberapa jenis operasi, antara lain: menyebutkan Keamanan di dalamnya. Dengan
operasi luar negeri, operasi pertahanan negara, kata lain, konsep "pertahanan keamanan" yang
operasi ketertiban publik, dan operasi keselamat• sebelumnya ibarat kata majemuk satu dan yang
an insani.r" lain tak terpisahkan sekarang tidak dikenal lagi
baik dalam wacana maupun praksis.
Problematika Regulasi Bagi TNI, sesuai dengan amanat Pasal 30
Dari sisi problematika regulasi, terutama regu• UUD 1945, doktrin utama untuk melakukan
lasi pengelolaan keamanan antara TNI dan Polri pengelolaan keamanan adalah melalui konsep
juga memperlihatkan beberapa masalah. Hal ini sishankamrata. Sishankamrata adalah doktrin
dimulai dari TAP MPR No. VI/MPR/2000 yang dan sekaligus strategi pertahanan negara yang
memutuskan pemisahan TNI dan Polri justru me• menggunakan segenap kekuatan dan kemampuan
nyebabkan kerancuan dan tumpang tindih antara komponen militer dan nonmiliter secara menye•
peran dan fungsi TNI sebagai kekuatan pertahan• luruh dan terpadu. Sishankamrata adalah juga
an negara dengan peran dan tugas Kepolisian strategi penangkalan yang bersifat kerakyatan,
RI sebagai kekuatan keamanan dan ketertiban kewilayahan, dan kesemestaan.
masyarakat. 206 Atas dasar itulah maka ancaman yang diha•
Kemudian, untuk lebih menegaskan wewe• dapi bangsa Indonesia diperkirakan lebih besar
nang TNI dan Polri, dikeluarkan pula TAP MPR kemungkinan berasal dari ancaman non-tradis•
No VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasio• ional, baik yang bersifat lintas negara maupun
nal Indonesia dan Peran Kepolisian Negara yang timbul di dalam negeri. Oleh karena itu,
Republik Indonesia. Dalam Pasal 2 ayat ( 1) kebijakan strategis pertahanan Indonesia yang
dinyatakan bahwa Tentara Nasional Indonesia diarahkan untuk menghadapi dan mengatasi
merupakan alat negara yang berperan sebagai alat ancaman non-tradisional merupakan prioritas
pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. dan sangat mendesak. Dalam pelaksanaannya,
Kemudian ayat (2) menegaskan bahwa: TNI menggunakan Operasi Militer Selain Perang
(OMSP) bersama-sama dengan segenap kompo•
"Tentara Nasional Indonesia, sebagai alat per• nen bangsa lain dalam suatu keterpaduan usaha
tahanan negara bertugas pokok menegakkan sesuai tingkat eskalasi ancaman yang dihadapi.
kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Penggunaan kekuatan TNI dalam tugas OMSP
Kesatuan Republik Indonesia serta melindun•
diarahkan untuk kepentingan pertahanan yang
gi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah

207
205 Pasal 6 ayat (1) Tap MPR No.VII/MPR/2000
Ibid., him. 7-9.
208
206 Pasal 7 ayat (2) Tap MPR No.VII/MPR/2000.
Pasal 2 ayat (1) dan (2) Tap MPRNo.VI/MPR/2000.

112 111
bersifat mendesak, antara lain melawan teroris• struktur dan konsekuensi anggaran serta berbagai
me, menghadapi kelompok separatis Aceh dan persoalan hukum yang mengatur keterlibatan
Papua, menghadapi gangguan kelompok radikal, atau perbantuan TNI dalam masalah-masalah
mengatasi konflik komunal, mengatasi perompak ketertiban umum (rule of engagement).
dan pembajak, mengatasi imigrasi ilegal dan
pencemaran laut, mengatasi penebangan kayu Rumusan Alternatif Model Pengelolaan
ilegal, mengatasi penyelundupan, membantu Keamanan di Daerah Konflik
pemerintahan sipil dalam mengatasi dampak Berdasarkan analisis di atas, maka berbagai
bencana alam, penanganan pengungsi, bantuan permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan
pencarian dan pertolongan (search and rescue), keamanan, khususnya keamanan di daerah kon•
pengamanan obyek vital, serta melaksanakan flik perlu diatur dalam sebuah model penge•
tugas-tugas perdamaian dunia.i" lolaan keamanan yang terumus dengan baik.
Regulasi-regulasi di atas menciptakan per• Alternatif model pengelolaan keamanan tidak
bedaan perspektif, terutama antara Polri dan TNI harus berbeda seratus persen dari apa yang telah
dalam memahami keamanan hingga berujung dilakukan di masa lalu, melainkan tetap meng•
pada pengelolaan keamanan itu sendiri. Menurut acu pada kesinambungan dan perubahan yang
Polri, keamanan merupakan suatu konsep yang perlu dijalankan agar tujuan dari pengelolaan
berhubungan dengan rasa aman (security), kepas• keamanan benar-benar tercapai. Ini mencakup
tian (surety), keselamatan (safety), dan damai kebijakan penanganan keamanan, strategi yang
(peace). Kesemuanya menjadi syarat mutlak diambil, dan operasionalisasi dari kebijakan dan
bagi terbinanya keamanan di dalam negeri, baik strategi tersebut.
warga negara dan negara. Sebagai alat negara,
Polrijelas menjadi lembaga yang paling bertang• Kebijakan Penanganan Masalah Keamanan
gung jaw ab dalam menciptakan ketertiban umum
Kebijakan keamanan nasional bukan sernata•
(public order).
mata menangani masalah keamanan, melainkan
Sementara TNI berpandangan bahwa per• juga bagaimana akar persoalan keamanan terse•
soalan keamanan tidak dapat dilihat dalam pers• but dapat ditiadakan. Ada beberapa langkah yang
pektif statis dan geografis, melainkan juga dina• harus dilakukan negara: pertama, secara konkret
mis. Ketika masih pada batas-batas ketertiban pembangunan harus ditujukan pada peningkatan
masyarakat, memang Polri yang bertanggung harkat hidup rakyat Indonesia dan martabatnya
jawab. Akan tetapi, bila eskalasi konflik mulai sebagai manusia. Di sini persoalan keamanan
mengganggu kedaulatan wilayah, integritas manusia lebih ditangani melalui peningkatan
bangsa dan persatuan nasional, maka TNI harus kesejahteraan rakyat dan pemerataan pemban•
terlibat di dalamnya. gunan secara vertikal dan horizontal. Hal ini bu•
Oleh karena itulah interpretasi keamanan kan merupakan ranah TNI maupun Polri, tetapi
dan rasa aman bisajadi sangat subjektif di antara justru tugas pemerintah sebagai langkah awal
para personel Polri dan TNI di lapangan. Oleh untuk meminimalisir potensi-potensi konflik
karena begitu subjektifnya penafsiran, tidak yang mungkin dapat terjadi karena alasan keti•
jarang telah mengundang berbagai benturan dakadilan ekonomi.
tersendiri di antara anggota Polri dan TNI di Kedua, untuk mencegah munculnya persoal•
lapangan. Atau sebaliknya, seolah telah terjadi an keamanan, langkah awal yang dilakukan ialah
"pembiaran" oleh para anggota TNI bila mene• upaya preventif-persuasif. Dalam hal ini intelijen
mukan kasus yang mengganggu ketertiban memegang peranan penting untuk mencegah
umum karena dianggapnya sebagai tugas Polri, terjadinya pendadakan strategis dan memberikan
bukan tugas pertahanan TNI. Kalaupun masalah peringatan dini kepada pengambil keputusan.
tersebut dapat diselesaikan, persoalan berikutnya Langkah persuasif diambil agar gangguan atas
adalah soal rentang kendali, tanggung jawab keamanan tidak muncul.

209Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21 Indonesia,


2003, hlm. ix-x

112 111
Ketiga, jika langkah persuasif tak mampu melakukan analisis dan evaluasi terkait dengan
membendung konflik horizontal atau vertikal, substansi konflik sekaligus mengetahui (kelom•
dilakukan langkah represif yang amat terbatas, pok) pelaku, tetapi tidak mengumumkannya demi
proporsional, dan dilakukan secara profesional pertimbangan strategis. Baik dari sisi rniliter dan
oleh aparat keamanan negara sesuai dengan kepolisian, dalam konteks strategi ini yang dibu•
koridor hukum dan penghormatan atas HAM. tuhkan adalah peran nyata dari intelijen.
Jika terjadi pelanggaran oleh aparat TNI/Polri, Kedua, berbagai operasi ekonomi, politik,
diambil tindakan tegas sesuai dengan hukum sosial, budaya, dan hukum dijalankan terlebih
yang berlaku dan kode etik TNI dan Polri."? dahulu sebelum berbagai operasi militer atau
Pada tahap ini, pilar pertama yakni Polri melalui kepolisian dijalankan. Hal ini membutuhkan
kekuatan Brimob dapat difungsikan sebagai.first skala prioritas yang tajam atas pelaksanaan ope•
responder untuk mengatasi gangguan ketertiban rasi-operasi tersebut serta kriteria yang jelas dari
masyarakat. Apabila kekuatan Brimob tidak keberhasilan maupun ketidakberhasilan operasi
cukup, maka di sinilah butuh bantuan dari TNI, ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya.
yang tentu harus diatur secarajelas oleh UU dan Ketiga, perlu ditekankan asas proporsiona•
atas dasar otoritas politik dari presiden sebagai litas dan profesionalisme dalam berbagai operasi
pemegang kekuatan militer dan kepolisian yang intelijen, teritorial, tempur, pemulihan keamanan
tertinggi di Indonesia. baik yang dilakukan TNI maupun Polri. Oleh
Keempat, keterpaduan dalam penanganan karena itu, dalam jangka panjang perlu diper•
masalah keamanan harus berjalan dalam koor• siapkan pendidikan dan latihan khusus bagi
dinasi dan manajemen operasi yang baik, bukan satuan atau personel yang akan dilibatkan dalam
saja padajajaran TNI dan Polri, melainkanjuga menangani masalah keamanan di daerah konflik.
pada tugas dan tanggungjawab instansi pemerin• Jika hal ini dapat dipersiapkan maka pengelolaan
tah pusat dan daerah lainnya khususnya di bidang keamanan dapat semakin terarah dengan baik.
ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan Keempat, perlunya kerja sama antara sipil
hukum. Tahap keempat ini biasanya dilakukan dan militer. Kerja sama ini dapat terlihat dari
dalam kondisi daerah yang mengalami konflik tingkat daerah hingga ke pusat. Misalnya di
berkepanjangan dan memerlukan perkiraan daerah, pemberdayaan muspida dapat digalakkan
waktu cukup lama untuk penyelesaiannya. dalam konteks untuk menyeragamkan perspesi
atas situasi dan kondisi yang dihadapi ketika
Strategi daerah tersebut mengalami konflik. Sikap ini
Penjabaran dari kebijakan tersebut ke dalam diperlukan guna mendapatkan koordinasi yang
strategi penanganannya dapat diterjemahkan da• lebih efektif ketika daerah merninta barituari ke•
lam empat aspek: pertama, melakukan penangan• pada pusat. Kesinergian ini akan terlihat ketika
an masalah keamanan akibat konflik manakala misalnya Kapolres meminta bantuan kepada
ancaman masih bersifat embrional atau potensial Kapolda, dan dari Kapolda meminta bantuan ke
dan belum menjadi ancaman yang nyata. Dari pusat, hingga akhimya diputuskan perbantuan
sisi militer, dapat dilakukan dengan adanya TNI kepada kepolisian untuk menangani konflik
upaya pemetaan konflik yang bermuatan sumber tersebut. Begitu juga dengan pimpinan daerah,
konflik, potensi, serta daerah konflik termasuk dari mulai bupati yang memiliki kesamaan per•
perumusan tindakan preventif dan persuasifnya. sepsi dengan jajaran keamanan di daerahnya,
Sedangkan dari sisi kepolisian, polisi dapat sehingga ia dapat melaporkan kepada gubemur
menggunakan tindakan kepolisian yang memper• mengenai situasi di daerahnya, dan gubemur
hitungkan banyak hal ( calculative policing). 211 Ini meneruskannya kepada Mendagri dan sampai
merupakan suatu kegiatan yang dipilih dengan kepada presiden.
Kelima, adanya keterpaduan kebijakan dan
210
Kiki Syahnakri dalam makalah diskusi terbatas, 23 Juli strategi dalam penanganan masalah keamanan
2009., him. 6.
sehingga masing-masing institusi dan masyarakat
211
Adrianus Meliala, "Polisi dan Konflik Poso," dalam www. sipil dapat berpartisipasi dengan baik tanpa
kemitraan.or.id, (diakses tanggal 20 Juli 2009).

114 113
adanya perasaan siapa di bawah komando siapa ketiga, atas dasar Juklap itu dibuat Rencana
dan siapa yang berhak melakukan apa. Jika Operasi (Renop) terpadu dan terencana untuk
mengacu kepada aspek keempat di atas, hal ini setiap bentuk, variasi, atau spektrum konflik yang
dapat saja terjadi jika ada kerja sama yang baik diperkirakan akan terjadi di daerah konflik; keem•
antara sipil dan militer, baik di tingkat daerah pat, dibuat Prosedur Tetap (Protap) yang memuat
maupun di tingkat pusat, dan semuanya berjalan tindakan-tindakan teknis yang baku yang hams
dalam kerangka amanat UU yang jelas dan tegas dilakukan oleh institusi sipil, TNI, dan Polri baik
mengenai pengaturan kedua insitusi keamanan untuk keperluan organisasi maupun perorangan
tersebut (TNI dan Polri). personel aparat keamanan dan pertahanan negara;
kelima, latihan rutin bagi semua personel dan in•
Keenam, perlunya terus-menerus mening•
stitusi perlu terns dilakukan untuk menjaga profe•
katkan profesionalisme TNI dan Polri dengan
sionalisme mereka dalam melaksanakan operasi
latihan dan pemberian alutsista serta gaji yang
individu, kelompok dan gabungan antarinstitusi;
memadai ba�i para personel TNI/Polri. Perlu pula
keenam, terakhir tetapi penting, perlu dipersiap•
dilakukan penyesuaian kapabilitas TNI dan Polri
kan anggaran yang memadai guna pelaksanaan
sesuai dengan meluasnya spektrum gangguan
semua rencana dan operasi nyata pengelolaan
keamanan negara.
keamanan tersebut.
Berdasarkan penjabaran mengenai altematif
Operasionalisasi Model Pengelolaan
Keamanan model pengelolaan keamanan dan strategi yang
diperlukan di atas, maka perumusan altematif
Demi kepentingan operasionalisasi konsep
model pengelolaan keamanan di daerah konflik
pengelolaan keamanan di daerah konflik tersebut,
dapat dilihat melalui bagan di bawah ini.
beberapa prasyarat di bawah ini perlu dilakukan:
pertama, jika UU yang mengatur TNI dan Polri Dari perumusan gambar terlihat bahwa rumus•
dianggap cukup untuk menangani keamanan dan an altematif model pengelolaan keamanan di dae•
pertahanan negara, maka Peraturan Pemerintah rah konflik relatif lebih sederhana dibandingkan
(PP) atas kedua UU tersebut perlu dibuat. Selama dengan model sebelumnya. Secara umum, pada
ini amanah UU tidak pemah dilakukan, yakni situasi damai, aktor keamanan yang berperan
UU tidak dijabarkan ke dalam PP atau peraturan adalah Polri dan TNI berada dalam fungsi idle
lainnya. Jika masih dianggap kurang, seperti capacity. Sebaliknya, pada situasi damrat perang,
belum adanya aturan tegas mengenai bantuan maka sesuai dengan UU yang berlaku, aktor
TNI maka perlu dibuat regulasi dalam bentuk keamanan yang berada di garis depan adalah
UU atau regulasi lainnya; kedua, setelah UU
TNI. Sedangkan tugas kepolisian tetap menjaga
dan PP atau Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) telah
keamanan dalam negerinya. Realitas ini pada
dibuat, langkah berikutnya adalah pembuatan
Petunjuk Lapangan (Juklap) yang mengatur apa dasamya juga terjadi di hampir tiap negara.
yang hams dilakukan dan tidak boleh dilakukan Penjelasan atas Model Pengelolaan Keaman•
oleh aktor-aktor keamanan di lapangan; termasuk an dapat dilihat bahwa permasalahan yang kerap
langkah evaluasi atas berbagai tindakan tersebut; kali terjadi dalam pengelolaan keamanan adalah
ketika suatu daerah mengalami situasi krisis

Alternatif Model Pengelolaan Keamanan

KONDISI-PER.ANG
... ··

KONDISI DARURAT
.,.,.,.K,.O, ND,.I,SI DAMAI (Konflik Vertika_,l::&.Hoi:iz��tal) .
Aktor Keamanan: Polri I Aktor Keamanan: TNI & Polri Aktor: TNI
......................................... , ················································.

114 113
r'

I
atau darurat; khususnya dalam konteks konflik dengan baik sehingga model di atas dapat dijabar•
vertikal dan konflik horizontal. Masalah tersebut kan melalui beberapa elemen dengan fokus utama
terjadi karena dua aktor keamanan terlibat dalam yang dijadikan analisis adalah pada bagian situasi
pengelolaan keamanan di daerah yang mengalami darurat, seperti yang terlihat dalam Tabel 1.
konflik dan berada dalam situasi krisis, yaitu Dari Tabel 1, ada beberapa persoalan yang
TNI dan Polri. Di sinilah perlu digarisbawahi saat ini perlu dicermati, seperti regulasi, bentuk
beberapa aspek yang menjadi hal penting agar ancaman, eskalasi konflik, jenis operasi yang
pengelolaan keamanan di daerah konflik dapat digelar, koordinasi antar institusi, anggaran,
berjalan secara tepadu, terkoordinasi, dan terarah serta akuntabilitas. Dalam hal persoalan regulasi,

c c
'
""O "'
""O

c
QJ
c
QJ
""O ""O
"vi a::: ·v=; a:::
QJ 0.. � 0..
a: Cl 0.. Cl

c:
�ra o<l
a.a z zo
a.a co co co
c: 0..
<(
0.. 0..
ct <( <(

"iii
ra
c: 'iii
·- :::s
"0E -.�..
� ..!:
0"'

116 115
116 115
(Jakarta: Propatria, 2004), hlm. 83-84.
hingga saat ini regulasi yang menjembatani an•
tara UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Ke•
polisian RI yang belum ada, yakni UU Keamanan
Nasional dan UU Perbantuan yang mengatur ten•
tang tugas perbantuan TNI.212 Padahal, kerangka
hukum ini dibutuhkan untuk mengatur tugas
perbantuan TNI kepada polisi untuk mengatasi
adanya eskalasi ancaman tersebut. Aspek ini
terkait dengan perbantuan yang dibutuhkan oleh
kedua belah pihak, seperti tugas perbantuan TNI
kepada Polri; dalam situasi apa perbantuan TNI
dapat dilakukan; dan siapa yang mengambil
keputusan tersebut, Selain itu, di dalam regulasi
juga dicantumkan batasan waktu dari operasi•
operasi yang akan digelar untuk menangani suatu
konflik. Misalnya, kebijakan untuk menerapkan
operasi Darurat Militer memiliki batasan waktu
maksimal enam bulan, setelah itu dapat dievalu•
asi kembali. Inilah yang menjadi catatan penting
dalam bab ini bahwa UU Keamanan Nasional dan
UU Perbantuan dibutuhkan untuk memperjelas
koordinasi fungsi dan tugas di antara keduanya.
Tentunya semua keputusan atas pengelolaan
keamanan di daerah konflik tentu berdasarkan
prinsip demokrasi di mana otoritas sipil-lah yang
membuat keputusan tersebut.
Persoalan berikutnya adalah kriteria bentuk
ancaman. Keputusan bentuk ancaman adalah
berdasarkan otoritas politik tertinggi setelah
mendapatkan masukan dan rekomendasi dari
semua jajaran di bawahnya, termasuk jajaran
keamanan di daerah dan di pusat. Setelah hal ini
dilakukan, maka bisa saja disusun sebuah rencana
darurat atau rencana dadakan untuk menghadapi
sesuatu yang tidak diharapkan terjadi tapi di•
prediksikan akan terjadi. Ini yang biasa disebut
dengan contingency plan. 213 Jika dilihat dari sisi
regulasi, terbuka kemungkinan TNI untuk masuk
ke semua bentuk ancaman. Misalnya, di masa
damai, TNI dapat saja berperan sebagai kekuatan
penangkal (deterrence). Ketika terjadi de-eska•
lasi dalam pasca konflik, TNI bisa berperan untuk
menjadi semacam peace keepers atau melakukan
strategi-strategi peace building. Sementara itu,

212
Ibid.
213 Stanley, ed., Keamanan, Demokrasi, dan Pemilu 2004,

116 115
fungsi kepolisian tetap berada dalam area meng•
atasi keamanan dalam negeri.
Selanjutnya adalah eskalasi konflik. Krite• ria
ini betul-betul dibutuhkan untuk mengambil suatu
keputusan mengenai berbagai hal yang terkait
dengan pengelolaan keamanan di daerah konflik,
seperti penambahan pasukan, jenis pa• sukan yang
diturunkan, atau jenis operasi yang digelar.
Analisis atas eskalasi konflik diperlukan dari hasil
koordinasi para jajaran pimpinan di daerah,
termasuk di dalamnya kepolisian guna menjadi
masukan di tingkat pasukan mengenai kebijakan
yang diambil selanjutnya. Di sisi lain, otoritas
politik di pus at (presiden) pun jug a patut tanggap
secara cepat atas kondisi-kondisi yang relatif
sering berubah berdasarkan eskalasi kon• flik tadi.
Misalnya, analisis atas eskalasi konflik bisa
berupa: apakah konflik yang terjadi sudah berada
pada tahap bentuk ancaman dengan
pemakaian senjata yang dapat mengancam
kehidupan masyarakat dan sudah memakan kor•
banjiwa, atau apakah konflik yang terjadi masih
berada dalam tahap perkelahian antarkelompok
dengan unsur kekerasan, namun belum menjadi
ancaman yang lebih besar. Atau lebih dari itu,
apakah konflik sudah membahayakan kehidupan
bangsa; menghambat atau mengurangi kinerja
dan kapasitas pemerintah, atau lebih dari itu,
telah mengancam integritas bangsa. Jika ini
dapat dilakukan dengan baik, maka penentuan
kebijakan dari otoritas sipil mengenai langkah
penanganan keamanan selanjutnya juga dapat
secara cepat diambil.
Berikutnyajenis operasi yang digelar. Kepu•
tusan akanjenis operasi yang digelar adalah ber•
dasarkan pertimbangan dua aspek sebelumnya,
yakni kriteria eskalasi ancaman dan eskalasi
konflik. Jenis operasi inilah yangjuga mencakup
jenis pasukan yang diturunkan, jenis senjata apa
yang digunakan, termasuk juga kriteria keber•
hasilan dan ketidakberhasilan operasi sebagai
bagian dari evaluasi atas operasi tersebut.
Dalam hal koordinasi antarinstitusi juga
perlu diperhatikan karena di sinilah akan terlihat
bagaimana keterpaduan penanganan dalam penge•
loaan keamanan, khususnya di daerah konflik.
Oleh karena itu, koordinasi antara pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah juga menjadi
kunci keberhasilan dalam mengelola keamanan
pada saat daerah tersebut mengalami konflik.

116 115
Akhirnya, setiap bentuk pengelolaan ke• pengurangan jumlah pasukan, dan melakukan
amanan memerlukan anggaran dan akuntabilitas proses reintegrasi dengan pihak yang berkon•
(pertanggungjawaban). Dalam usulan alternatif flik. Sementara itu, dalam konflik horizontal,
model ini, anggaran yang digunakan untuk tahap stabilisasi dapat dilakukan melalui perun•
mengelola keamanan pada konflik vertikal dari dingan atau negosiasi dengan pihak-pihak yang
APBN, dan konflik horizontal dapat dari APBN berkonflik. Kemudian tahap ketiga adalah nor•
dan APBD melalui penyediaan dana di aspek malisasi. Tahap normalisasi pada konflik vertikal
contingency plan. Namun, yang menjadi catatan bertujuan menciptakan peace keeping di mana
adalah pada saat dana APBD untuk menangani peran TNI diarahkan untuk melakukan operasi
konflik horizontal tidak mencukupi, maka ang• bantuan kepada Pemerintah Daerah agar pihak
garan diambil dari APBN. Ini untuk menjaga Pemda secara perlahan dapat menjalankan fungsi
akuntabilitas keuangan yang penggunaannya pemerintahannya dengan normal. Sementara itu,
memang sesuai dengan sektor-sektor yang telah tahap normalisasi pada konflik vertikal mengarah
ditetapkan, yakni sektor dana contingency plan. pada penciptaan konsep peace building yang
Jadi, jangan sampai terjadi pengambilan ang• sasarannya adalah mengembalikan fungsi ke•
garan di sektor dana selain contingency plan, polisian dalam situasi normal (sebagai penjaga
tetapi pertanggungjawabannya bukan untuk ketertiban umum dan keamanan publik), serta
sektor itu. Polri membantu Pemda agar bisa menjalankan
fungsinya seperti semula melalui bantuan ope•
Selanjutnya, untuk tingkatan yang lebih ope•
rasi kepolisian.
rasional, dapat dilihat pula tahap-tahap pengelola•
an keamanan di daerah konflik melalui Tabel 2.
Tahapan pengeloaan keamanan di daerah
Rekomendasi
konflik-seperti yang telah diuraikan secara 1. Diperlukan keterpaduan kebijakan (regulasi)
teoritik pada bab sebelumnya-meliputi tiga dan strategi dalam penanganan masalah ke•
tahap. Pertama adalah tahap intervensi, yang amanan secara umum;
berarti kekuatan militer (TNI) dan kepolisian 2. Keterpaduan dalam penanganan masalah
(Polri) masuk ke dalam konflik-baik konflik keamanan harus berj alan dalam koordinasi
vertikal maupun horizontal-dan melakukan dan manajemen operasi yang jelas, bukan
gelar pasukan untuk menghentikan kekerasan saja pada jajaran TNI dan Polri, melainkan
yang berlangsung saat itu. Masuknya kekuatan juga pada tugas dan tanggung jawab instansi
pemerintah pusat dan daerah lainnya, khu•
militer maupun kekuatan kepolisian didasarkan
susnya di bidang ideologi, politik, ekonomi,
atas keputusan pemerintah (presiden) sebagai
sosial, budaya dan hukum;
keputusan otoritas politik yang tertinggi. Setelah
kekerasan dapat dihentikan, maka tahap kedua 3. Urgensi UU Perbantuan TNI perlu ditindak•
yang dilakukan oleh TNI dan Polri adalah ta• lanjuti secara mendalam karena sifat kebutuh•
an akan UU tersebut amat mendesak;
hap stabilisasi. Dalam konflik vertikal, tahap
stabilisasi dilakukan oleh TNI melalui konsep 4. Regulasi yang terkait dengan pengelolaan
DDR, yakni pelucutan dan peniadaan senjata, keamanan pada situasi krisis selayaknya

Tabel 2. Tahapan Pengelolaan Keamanan di Daerah Konflik


No. Tahapan Konflik Vertikal Konflik Horizontal
1. lntervensi Gelar Pasukan Gelar Pasukan .
2. Stabilisasi Disarmament (pelucutan & peniadaan Negosiasi (perundingan) dengan
senjata), Demobilization, dan Reinte- pihak-pihak yang berkonflik.
gration (DOR)

3. Normalisasi Peace Keeping, melalui: Peace Building, melalui:


- demiliterisasi, - pengembalian fungsi kepolisian
- operasi bantuan untuk Pemda oleh - operasi bantuan kepada Pemda

118 117
TNI oleh Polisi

118 117
Military in Post communist Europe: Guarding
memuat prinsip-prinsip aturan internasional
the Guards Basingstoke: Pal grave.
dan harus mengikuti beberapa asas kunci,
antara lain Asas legalitas, asas pengumuman, Dharma Bhakti Kodam XVII/Trikora periode 1990-
2001.
asas komunikasi, asas kesementaraan, asas
ancaman yang luar biasa, asas proporsional, Forster, Anthony. 2002. Timothy Edmunds and An•
drew Cottey (ed). The Challenge of Military
dan asas tidak kasat mata (intangibility);
Reform in Central and Eastern Europe: Build•
5. Jika langkah persuasif sudah tak mampu ing Professional Armed Forces. Basingstoke:
membendung konflik horizontal atau vertikal, Palgrave.
langkah represif yang dilakukan sifatnya juga Human Right Publications, 2002.
amat terbatas, proporsional, dan dilakukan
Newsletter IDSPS (Seri 8) tahun 2008.
secara profesional oleh aparat keamanan
Nurhasim, Moch (Ed.). 2006. Evaluasi Pelaksanaan
negara sesuai dengan koridor hukum dan
Darurat Militer di Aceh 2003-2004. Jakarta:
penghormatan atas HAM. Jika terjadi pelang• P2P LIPI.
garan oleh aparat TNI/Polri, diambil tindakan
Propatria Institute. "Kerangka Sistemik Keamanan
tegas sesuai dengan hukum yang berlaku dan Nasional." Makalah dalam Working Group on
kode etik TNI dan Polri; Security Sector Reform.
6. Perlunya asas proporsionalitas dan profe• Siregar, Sarah Nuraini (Ed.). 2007. Problematika
sionalisme dalam berbagai operasi intelijen, Pengelolaan Pertahanan dan Keamanan di
teritorial, tempur, pemulihan keamanan, Wilayah Konjlik (Aceh dan Papua). Jakarta:
baik yang dilakukan TNI maupun Polri. P2P LIPI.
Oleh karena itu, dalamjangka panjang perlu Stanley (Ed.). 2004. Keamanan, Demokrasi, dan Pe•
dipersiapkan pendidikan dan latihan khusus milu 2004, Jakarta: Propatria.
bagi satuan atau personel yang akan dilibat• Sukma, Rizal, "Peran Tentara Nasional Indonesia da•
kan dalam menangani masalah keamanan di lam Sistem Keamanan Nasional : Sebuah Ka•
daerah konflik; jian Awal", Makalah tidak diterbitkan.
7. Prasyarat dalam model pengelolaan keaman• Syahnakrie, Kikie. Alternatif Model Pengelolaan
an perlu segera dirumuskan dengan jelas, dari Keamanan di Daerah Konflik. Makalah dalam
FGD P2P LIPI, 23 Juli 2009.
mulai penjabaran regulasi, petunjuk lapangan,
rencana operasi, prosedur tetap, serta kebutuh• TAP MPR No. VIIIMPR RI! tahun 2000.
an anggaran yang memadai. TAP MPR RI No. VIIMPR RI/ tahun 2000.
UU Kepolisian Negara RI No. 2 Tahun 2002
Daftar Pustaka UU TNI No. 34 tahun 2004
Bhakti, Ikrar Nusa (Ed.). 2004. Hubungan TN! POLRI Widjajanto, Andi. 2008. OMSP: Analisis Tugas Mili•
dalam Penanganan Keamanan Dalam Negeri ter dan Gelar Operasi Militer. Makalah dalam
(2000-2004). Jakarta: P2P LIPI. diskusi P2P-LIPI, 29 Oktober 2008.
Cottey, Andrew, Timothy Edmunds and Anthony www.kemitraan.or.id.
Forster (ed.). 2001. Democratic Control of the

118 117
r
lI
I
I
I
MASALAH PERBATASAN WILAYAH LAUT INDONESIA DI LAUT
ARAFURA DAN LAUT TIMOR*

Japanton Sitohang

Abstract
As an archipelago, Indonesia has problem concerning maritime borders with its neighbours such as Australia,
Papua New Guinea, and Timar Leste. In Arafura sea, Indonesia has no problems concerning maritime boundaries
with Papua New Guinea, however the Indonesian-Australian maritime boundaries concerning continental shelf
and economic exclusive zone have not finished yet. In Timar sea, Indonesia has problems with Timar Leste con•
cerning territorial sea as well as with Australia concerning with continental shelf and economic exclusive zone.
lnspite of unfinished maritime boundaries agreements with the neighbours, Indonesia still tries to negotiate with
its neighbours to solve the problems.

Pendahuluan Sampai berakhirnya Perang Dunia II, pelak•


Pada zaman Romawi dikatakan bahwa laut adalah sanaan hukum laut yang dilakukan oleh masyara•
"res communis" (milik bersama) yang berarti kat intemasional masih berdasarkan pada hukum
bahwa siapa saja bebas berlayar dan menangkap kebiasaan (customary law). Hukum kebiasaan
ikan di laut. Setelah kekuasaan Romawi runtuh, itu hanya mengakui tiga wilayah di laut. Per•
muncul dua kekuatan yang baru yaitu Spanyol tama, laut teritorial di mana setiap negara pantai
dan Portugis. Menurut pandangan kedua negara hanya memiliki kedaulatan secara penuh (full
ini, laut adalah wilayah "res nullius" (tidak ber• sovereignty) sejauh tiga mil dari garis air surut
tuan) dan bisa dimiliki oleh siapa saja yang mam• di sepanjang pantai di setiap daratan yang dimi•
pu menguasainya. Kemudian keduanya sepakat liki oleh negara tersebut. Kedua,jalur tambahan
untuk membagi laut di antara keduanya melalui selebar laut teritorial, di mana negara pantai
Perjanjian Tordesilas tahun 1494. Dengan per• memiliki hale berdaulat (sovereign right) untuk
janjian ini maka laut disebut menjadi wilayah melakukan pengejaran seketika (hot pursuit)
tertutup atau "mare clausum". apabila terjadi pelanggaran di laut teritorialnya.
Setelah kekuasaan Spanyol dan Portugis Selebihnya dianggap sebagai laut lepas (high
menurun maka muncullah kekuatan maritim seas), di mana berlaku doktrin laut bebas (mare
baru, yaitu Inggris dan Belanda. Terdapat per• liberum) sebagaimana yang sudah dikemukakan
bedaan pemikiran antara tokoh lnggris dan oleh Grotius pada tahun 1625. Menurut doktrin
Belanda. Belanda dengan ahli hukum lautnya, ini, semua potensi yang ada di laut dapat diman•
Hugo de Groot, mengajukan gagasan mare li• faatkan oleh siapa saja, tetapi tidak dapat dimiliki
berum (kebebasan laut) tahun 1609. Pandangan oleh siapapun jug a. Hukum kebiasaan seperti itu
ini menekankan berlakunya freedom of the sea pulalah yang dianut oleh pemerintah kolonial Be•
dan freedom of navigation di semua bagian laut landa di Indonesia dengan dikeluarkannya "Ter•
di dunia. Sementara tokoh Inggris, William ritoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie"
Welbood dan John Selden, dengan paradigma pada tahun 1939.
yang berbeda menentangnya pada tahun 1635 Hukum kebiasaan itu diubah oleh Amerika
dengan mengajukan gagasan mare clausum (laut Serikat (AS) sebagai salah satu negara pemenang
tertutup). Konsep ini jelas hanya menguntungkan perang melalui Proklamasi Truman tentang Lan•
bagi negara yang kuat. das Kontinen AS yang dikeluarkan pada tanggal
28 September 1945. Proklamasi ini mengklaim
'Penelitian dengan judul tersebut dilakukan oleh tim peneliti
yang beranggotak:an Japanton Sitohang (koordinator), Syam• dasar laut dan tanah di bawah laut (seabed and
sumar Dam, Awani Irewati, Indriana Kartini, Rosita Dewi, dan subsoil) sampai kedalaman 100 fatoms (200
C.P.F. Luhulima.

120 119
meter) yang berada di Teluk Meksiko sebagai dalam KHL II yang diadakan di Jenewa tahun
kedaulatan penuh AS, sedangkan di permu• 1960. Malahan KHL II ini tidak menghasilkan
kaan laut di luar laut teritorialnya kebebasan satu konvensi pun. Indonesia sebagai salah satu
masyarakat internasional masih tetap terjamin. peserta konverensi tersebut ingin meratifikasi
Temyata Benua Amerika di sebelah timurnya keempat konvensi dengan persyaratan sesuai
memiliki Landas Kontinen, sedangkan di se• dengan Konsepsi Negara Kepulauan yang dianut•
belah barat tidak terdapat Landas Kontinen itu nya, namun persyaratan seperti itu tidak dibenar•
karena di sepanjang pantainya langsung curam kan oleh konvensi sehingga hanya Konvensi
ke laut. Berdasarkan kondisi geologis itu pula, tentang Laut Lepas saja yang dapat diratifikasi
pada tahun 1947 Chili, Peru dan Ekuador yang oleh Indonesia.
terletak di Amerika Selatan mengumumkan Bagi Indonesia, kendala utama perjuangan
diberlakukannya lebar Laut Teritorial sejah 200 Wawasan Nusantara pada fase pertama itu tampak•
mil dari pantainya. nya banyak dipengaruhi oleh Politik Luar Negeri
Semal<ln banyaknya negara yang telah mem• Bebas Aktif yang dianutnya sejak berakhimya
peroleh kemerdekaan setelah perang, meningkat Pemberontakan PKI pada tahun 1948 dan politik
pula kepentingan berbagai negara terhadap luar negeri Indonesia yang tidak sejalan dengan
wilayah laut di sekitamya. Oleh karena itu, PBB politik pembendungan (containment policy)
menyelenggarakan Konferensi Hukum Laut Amerika Serikat. Peluang untuk melanjutkan
(KHL) I di Jenewa pada tahun 1958. KHL I ini perjuangan wawasan nusantara mulai terbuka
telah berhasil mengeluarkan empat konvensi, setelah terj adinya pergantian pemerintahan
yaitu Konvensi tentang Laut Teritorial dan Jalur dari Presiden Sukarno yang sangat anti AS ke
Tambahan, sesuai dengan hukum kebiasaan yang Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Suharto
berlaku tanpa menetapkan lebar maksimumnya. yang sangat antikomunis. Kebijakan Suharto
Konvensi tentang Landas Kontinen dengan itu terlihat dengan dihentikannya Konfrontasi
menerima usul AS sesuai dengan Proklamasi Malaysia, aktifnya Indonesia kembali di PBB
Truman 1945. Konvensi tentang Konservasi serta dibentuknya ASEAN pada tahun 1967
Perikanan sejauh 200 mil dari pantai (yang me• sehingga hubungan Indonesia dengan negara•
nampung kepentingan negara-negara yang tidak negara tetangganya semakin membaik. Hubung•
memiliki Landas Kontinen), dan Konvensi ten• an baik itu pulalah yang telah dimanfaatkan untuk
tang Laut Lepas sebagaimana yang berlaku dalam merundingkan wilayah perbatasan maritim RI
hukum kebiasaan selama ini. berdasarkan wawasan nusantara dengan semua
negara tetangganya. Setelah melalui perundingan
Sebelum berlangsungnya KHL I tersebut,
maka penandatanganan perjanjian garis batas
Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 se•
maritim secara bilateral maupun trilateral di•
bagai negara yang terdiri dari kepulauan ( outly•
lakukan. Semua perjajian tersebut dimaksudkan
ing archipelagos states) sudah mengeluarkan
untuk membentuk hukum kebiasaan, yang pada
pernyataan sepihak tentang diberlakukannya
gilirannya dapat mendukung perjuangan RI
Negara Kepulauan. Laut Teritorial selebar 12 mil
dalam berbagai forum multilateral. Perjuangan
ditetapkan sejajar dengan garis dasar lurus yang
wawasan nusantara ini ternyata barn berhasil
menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pu•
diperjuangkan melalui KHL III (1974-1982)
lau terluar milik Indonesia. Cara penetapan garis
dengan disepakatinya Konvensi Hukum Laut
dasar lurus seperti ini pertama kali dilakukan oleh
1982, sebagai "law making treaties " yang lebih
Norwegia sebagai negara yang memiliki kepulau•
mengikat.
an di sepanjang pantainya (coastal archipelagos
state) pada tahun 1935. Mahkamah Internasional
pada tahun 1951 dalamAnglo-Nmwegian Fishe• Makna Strategis Laut
ries Case, cara yang ditempuh oleh Norwegia itu Arafura dan Laut Timor
tidak bertentangan dengan hukum internasional. Indonesia adalah negara kepulauan yang paling
Meskipun demikian, masalah negara kepulauan luas di dunia. Dari sebanyak 17.508 pulau ber•
tidak berhasil dibahas baik dalam KHL I maupun dasarkan perhitungan Jawatan Hidro-Oceano-

120 119
grafi TNI-AL, pulau-pulau tersebut sudah ber• jenis ikan dan dalam jumlah yang sangat besar.
nama dan terdaftar di PBB. Akan tetapi, dari Kekayaan yang ada ini lebih banyak dinikmati
sebanyak itu tidak semua pulau tersebut dihuni oleh para illegalfishing.
penduduk, hanya sekitar 6.000 pulau yang dihuni Ada empat hal penting yang menjadikan
penduduk. Luas wilayah Indonesia kurang lebih Laut Arafura diperebutkan sepanjang masa, yaitu

9 juta km2, terbagi atas 3 juta km2 daratan pu• lokasinya, fungsinya, kekayaan alam yang dikan•
lau-pulau, 3 juta km2 perairan laut kedaulatan Iskandar, eds., Tepian Tanah Air 92 Pulau Terluar Indone•
sia-Indonesia Bagian Barat, (Jakarta: PT. Kompas Media
(sovereignty) di antara dan di sekeliling pulau-pu•
Nusantara, 2009).
lau itu, serta 3 juta km2 perairan laut, yaitu Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang mengelilingi laut
kedaulatan itu sebagai sabuk selebar 200 mil laut
dengan hak berdaulat (sovereign rights) atas sum•
ber day a alamnya di atas dan di bawah permukaan
dan di lapisan bawah dasar lautnya. 214 Garis pan•
tai terpanjang di dunia adalah Kanada dan kedua
Indonesia yang mencapai 95.161 km2 •
Indonesia sebagai negara kepulauan secara
geografis berbatasan dengan delapan negara mari•
tim, yaitu dengan negara Malaysia, Singapura,
Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, Palau, India,
Thailand, Vietnam, dan Australia. Sementara
perbatasan wilayah Indonesia dengan Filipina,
Palau, India, Thailand, hanya menyangkut ZEE
saja, tetapi dengan Vietnam, Malaysia dan Aus•
tralia, di samping berbatasan dengan ZEE juga
menyangkut landas kontinen.
Setiap pulau pada hakikatnya merupakan
sebuah tonggak yang menyambungkan tonggak•
tonggak lainnya menjadi "pagar keliling rumah
kita". Pulau-pulau ini adalah pagar terdepan
sekaligus beranda depan wilayah kehidupan
bangsa dan negara Indonesia.215 Dengan ber•
pindahnya Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi
wilayah Malaysia maka Pemerintah Indonesia
mulai memperhatikan keberadaan pulau-pulau
terdepan tersebut.
Laut Arafura atau Laut Timor adalah
wilayah perairan yang dikelilingi oleh Pulau
Papua di sebelah timurnya, Australia sebelah
selatannya, Australia dan Laut Timor sebelah
baratnya. Luas Laut Arafura adalah 650.000
km2 dan kedalaman maksimalnya adalah 3,68
km. Laut Arafura sangat kaya akan berbagai
214
Wahyono S.K., Indonesia Negara Maritim, (Jakarta: Teraju,
2009), hlm. 1.
215
H. Susilo Bambang Yudhoyono, "Sambutan Presiden Re•
publik Indonesia", dalam Arif Djohan Pahlawan dan Irwanto

121
122
dungnya, sosial budaya kehidupan masyarakat
bahari, dan ditambah alur laut kepulauan seba•
gai lalu lintas pelayaran internasional (ALKI).
Berkaitan dengan lokasinya, laut sangat menen•
tukan dalam pencapaian kepentingan nasional,
dalam memenangkan peperangan atau dalam
mempertahankan diri dari serangan musuh. Se•
lat Malaka misalnya yang menghubungkan dua
samudra yaitu Samudra Hindia dan Samudra
Pasifik merupakan "chockingpoints" bagi kapal•
kapal yang merapat sehingga sangat strategis
dari sudut ekonomi dan militer. Selat-selat di
Indonesia yang merupakan alur-alur laut yang
menghubungkan kedua samudra dan kedua
benuajumlahnya tidakkurang dari sembilanjalur
dan semuanya menjadi bagian dari Sea Line of
Communication (SLOC) pelayaran intemasional
yang sangat strategis. 216 Wilayah Indonesia ter•
letak pada posisi silang antara Benua Asia dan
Benua Australia dan antara Samudra Pasifik dan
Samudra Hindia sehingga dengan posisinya yang
strategis itu menjadikan wilayah laut Indonesia
sebagai lintasan perdagangan dunia.
Berkaitan dengan fungsinya, seperti halnya
juga laut lainnya, Laut Arafura dan Laut Timor
sangat menentukan kepentingan Indonesia. Laut
tersebut menjadi penghubung antarpulau atau
sebagai media pemersatu antarpulau bagi Indo•
nesia dan bahkan sebagai penghubung dengan
negara-negara di bagian selatan Indonesia. Laut
Arafura dan Laut Timor di samping berfungsi
sebagai SLOC yang bersifat internasional, juga
berperan penting sebagai pengaman atau safety
belt atau safety cordon terhadap serangan musuh
dari luar.217
Deng an kekayaan alam,' Laut Timor yang
merupakan beranda Samudra Hindia terletak
antara Pulau Timor dan Australia Bagian Utara
(Northern Territory) dan di sisi timurnya di•
himpit oleh Laut Arafura yang menjadi beranda

216
Wahyono S.K., Op.Cit.,hlm. 22.
217
Ibid., hlm. 23.

122
122
219Wahyono S.K., Op.Cit., him.
Samudra Pasifik. Luas Laut Timor sekitar 3.000 23.
miF. Laut yang terdalam adalah Palung Timor
yang terletak di bagian utara yang mencapai
3,3 km. Bagian lainnya agak dangkal, rata-rata
kedalamannya kurang dari 200 meter. Laut ini
merupakan tempat utama munculnya badai tropis
dan topan. Meskipun demikian, laut ini merupa•
kan surga bagi ikan-ikan di mana sejak <lulu kala
para nelayan dari Pulau Rote, Flores, Alor, Buton,
Sabu, Madura, Timor dan Maluku telah melaut
ke perairan ini.218 Dari hasil-hasil laut yang telah
dimanfaatkan ini menandakan Laut Timor sangat
kaya akan ikan seperti pelangis besar (ikan tuna,
cakalang, tongkol, tenggiri), ikan demersal ( kerapu,
kakap, ekor kuning, napoleon wrasse, nonikan
(lobster, udang putih, dan cumi-cumi).
Mengingat wilayah laut Indonesia yang cu•
kup luas tersebut, maka kekayaan alam laut tidak
hanya berupa kekayaan hayati dan nabati yang
ada dalam massa air laut, seperti ikan dan tum•
buh-tumbuhan laut, tetapi juga bahan tambang
mineral yang dikandung air laut, lapisan dasar
laut lepas pantai dan laut dalam. Termasuk dalam
kekayaan alam laut adalah energi listrik yang
dapat ditimbulkan oleh tenaga gelombang air laut
dan embusan angin di atas laut.219 Laut Timor
kaya akan bahan tambang. Pulau Melville yang
berada di Laut Timor memiliki unsur bebatuan
yang mengandung berlian. Akan tetapi sumber
kekayaan yang lebih besar lagi yaitu cadangan
min yak dan gas bumi yang cukup besar jumlah•
nya yang terdapat di dasar Laut Timor.
Berkaitan dengan sosial budaya, kehidupan
sosial budaya masyarakat bahari ciri utamanya
adalah berdagang lewat laut. Bangsa kita sudah
dikenal sebagai bangsa pelaut yaitu bangsa yang
penuh keberanian dan keteguhan hati yang su•
dah terlatih dalam mengarungi badai yang besar
karena mereka menggantungkan hidupnya di laut.
Kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia
dalam sejarahnya telah menjadi landasan bagi
berkembangnya peri kehidupan penduduk pulau•
pulaunya, budayanya, tradisi dan motivasi peng•
gerak pembangunan kekuatan dan kemampuan
maritim yang didukung oleh lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang memajukan kehidupan
masyarakat maritim.
218 Kupang (Antara News). 30 September 2009.

123
122
Begitu mudah bangsa luar mencuri kekayaan
ikan kita dan tidak bisa diawasi secara rutin
karena biayanya terlalu mahal. Penangkapan ikan
yang dilakukan oleh kapal-kapal asing yang
memasuki Perairan Indonesia secara ilegal (il•
legal fishing) selama periode 2002-2007 terns
meningkat secara tajam. Setiap tahun kapal yang
diduga mencuri ikan di Perairan Indonesia di•
perkirakan mencapai 1000 kapal. Berdasarkan data
dari Departemen Kelautan dan Perikanan RI
bahwa kapal asing yang dapat ditangkap baru
sebanyak 12 buah tahun 2002, berikutnya
40 buah tahun 2003, 85 buah tahun 2004, 112
buah tahun 2005, 132 buah tahun 2006 dan 184
buah tahun 2007. Sementara itu, jumlah kapal
pengawas yang dimiliki oleh departemen tersebut
pada tahun 2007 baru sebanyak 20 buah. Laut
Arafura, Perairan Natuna, dan Perairan Sulawesi
Utara merupakan kawasan yang paling rawan
terhadap "illegal fishing" yang sebagian besar
pelakunya berasal dari China, Thailand, Vietnam,
dan Filipina. Banyak kapal ikan asing ilegal yang
ikut memanfaatkan subsidi bahan bakar minyak
dan membayar pungutan perikanan dengan tarif
kapal Indonesia.22° Kemudian tindakan Operasi
Gurita empat di Laut Arafuru pada tanggal 25
Maret 2008 telah menangkap tujuh kapal asing,
yaitu dari Cina yang berisi 250 ton gurita dan
diperkirakan seharga 4,5 miliar rupiah. Kemu• dian
sebanyak 24 kapal ditangkap di perairan
Kabupaten Merauke dengan total ikan sebanyak
472 ton dengan harga 8,5 miliar rupiah. Kapal
Cina yang ditangkap itu sudah beroperasi selama
empat bulan di Laut Arafura. Mereka menebar• kan
pukat yang panjangnya beberapa kilometer.
Banyak anak buah kapal bekerja di perusahaan
illegal fishing itu yang mana kapalnya tetap
menggunakan bendera Indonesia. W alaupun
undang-udang tentang pencegahan pencurian
ikan ini sudah ada, yaitu UU No. 31 Tahun 2004,
aktivitas illegal fishing masih tetap terjadi.
Laut Arafura dan Laut Timar menjadi pintu
masuk bagi kapal-kapal asing yang berasal dari
Timur Tengah lewat Samudra Hindia dan yang
berasal dari wilayah Pasifik Barnt Daya untuk
menuju negara-negara sekitar Laut Cina Selatan
dan Pasifik hams melewati ALKI III. ALKI
220
Lihat artikel Lukita Grahadyarini "Ruwetnya Menangani
Penangkapan Ikan Ilegal", dalam Harian Kompas tanggal 5
Maret 2008.

124
122
·,;
. -.-
•"

III ini menghubungkan Laut Arafuru dan Laut perairan pedalaman, perairan kepulauan dan
Timor yang harus melalui banyak selat. Oleh laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di
karena itu ,untuk memudahkan pengaturannya bawahnya, serta ruang udara di atasnya, terma•
maka j alur laut ini dikelompokkan ke dalam tiga suk seluruh sumber kekayaan yang terkandung
bagian, yaitu pertama, ALKI III-A melalui Laut di dalamnya222merupakan satu kesatuan wilayah
Sawu-Ombai, Laut Banda (bagian barat Pulau negara Republik Indonesia.
Buru), Laut Seram, Laut Maluku, dan Samudra Sebelum lahimya Konvensi Jenewa 1982
Pasifik; kedua, ALKI III-B melalui Laut Timor, tentang hukum laut, Deklarasi Djuanda tanggal 13
Selat Leti, Laut Banda (bagian barat Pulau Buru), Desember 1957 secara unilateral telah diumum•
Laut Seram, Laut Maluku, Samudra Pasifik; dan kan Pemerintah Indonesia yang menegaskan
ketiga, ALKI III-C, yaitu yang melalui Laut Ara• tentang penyatuan wilayah Indonesia itu. Ke•
furu, Laut Banda (bagian barat Pulau Buru), Laut mudian Undang-Undang No. 4/ Prp Tahun 1960
Seram, Laut Maluku, dan Samudra Pasifik. menentukan secara juridis tentang laut wilayah
Keberadaan ALKI III sangat berdampak Indonesia selebar 12 mil laut dari garis pangkal
positif bagi Indonesia karena di lintasan alur lurus. Dengan demikian, maka perairan Kepu•
laut tersebut dapat dibangun fasilitas pelabuhan lauan Indonesia adalah yang dikelilingi oleh garis
untuk melayani kebutuhan kapal-kapal asing dan pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik
perbaikan kapal. Akan tetapi sebaliknya, keterba• terluar dari pulau terluar Indonesia.
tasan kemampuan aparat keamanan untuk meng• Deklarasi Djuanda bisa dikatakan sebagai
awasi sepanjang alur laut tersebut masih dihadapi pilar kebangsaan yang ketiga dalam sejarah Indo•
Indonesia. Ini terkait dengan pembuangan limbah nesia yang menegakkan batas hukum wilayah
kapal secara sembarangan yang dapat merusak negara Indonesia. Tonggak pertama diikrarkan•
lingkungan laut, adanya kegiatan illegal fishing nya Sumpah Pemuda yang menyatakan kesepaka•
dan kejahatan seperti penyelundupan senjata atau tan pada keindonesiaan. Kemudian tonggak yang
barang-barang lainnya. kedua adalah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agus•
Laut Arafura dan Laut Timor sangat pen• tus 1945 menandai berdirinya negara kebangsaan
ting bagi negara-negara Pasifik Barnt Daya. Indonesia.223 Mewujudkan Negara Kesatuan
Posisi kedua laut tersebut dari segi waktu dan Republik Indonesia (NKRI) sebagai satu negara
jarak akan mempersingkat lalu lintas pelayaran kepulauan (archipelagic state), yang merupakan
negara-negara tersebut menuju negara-negara satu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi,
di Asia Tenggara khususnya dan Asia Pasifik satu kesatuan sosial budaya, dan satu kesatuan
umumnya. Dari segi pertahanan laut, Australia pertahanan dan keamanan negara, dalam rangka
sangat membutuhkan laut yang dalam dan itu mencapai cita-cita perjuangan bangsa-Indonesia
berarti membutuhkan wilayah laut Indonesia melalui pembangunan nasional segenap potensi
yang ada di Laut Arafura dan Laut Timor.221 darat, laut, dan angkasa secara terpadu224, seperti
Pertahanan Australia yang tadinya menekankan
pada pertahanan kontinental kemudian menjadi 222
Hadi Setia Tunggal, SH, Undang-Undang Wilayah Negara
pertahanan yang mengutamakan maritim dan hal (Undang-Undang R.I. No. 43/2008), Harvarindo, 2009, him.
iii.
ini jelas berkaitan dengan laut Indonesia yang ada
223
Jusman Sjafii Djamal, "Napak Tilas Deklarasi Djuanda",
di utara negaranya.
Prolog dalam Tepian Tanah Air 92 Pulau Terluar Indonesia•
lndonesia Bagian Barat, (Jakarta: PT Kompas Media Nusan•
tara, 2009).
Masalah Perbatasan Wilayah
224
Laut Indonesia Suryo Sakti Hadiwijoyo, op.cit., him. 59. Dalam Pasal 6 UU
No. 43 tahun 2008 menyebutkan:
Presiden Republik Indonesia telah mengesah• 1. Batas wilayah sebagaimana yang dimaksudkan dalam
kan dan memberlakukan Undang-Undang No. pasal 5 itu meliputi: a) di darat berbatasan dengan wilayah
Negara: Malaysia, Papua Nugini, dan Timar Leste; b) di
43 Tahun 2000 tentang wilayah negara, di mana laut berbatasan dengan wilayah Negara: Malaysia, Papua
beberapa unsur negara yaitu wilayah daratan, Nugini, Singapura, dan Timar Leste; tidak termasuk dalam
undang-undang ini bahwa wilayah perairan laut Indonesia
221
Dalam Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan yang terpanjang adalah dengan wilayah laut Australia; dan
di Jawatan Hidro-Oceanografi, Oktober 2009. c) di udara mengikuti batas kedaulatan negara di darat dan

125
122
telah ditetapkan oleh GBHN 1973-1978. Prinsip luas dan batasnya semakin dekat dengan wilayah
geopolitik Indonesia berkaitan dengan pengelo• Indonesia226•
laan, penataan maupun penegasan batas wilayah Dal am rangka memahami persepsi Australia
negara sebagai salah satu bentuk pembangunan maka perlu kiranya menelusuri sejarah perjanjian
nasional dan upaya pencapaian tujuan Negara batas wilayah laut yang dilakukan Pemerintah
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Australia dengan Indonesia sejak awal 1970-an
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 didu• hingga lepasnya Timor Timur, serta Australia
kung oleh UNCLOS 1982. Namun, perbatasan dengan Timor Timur, di mana hal ini membentuk
wilayah laut Indonesia masih harus diselesaikan persepsi Australia. Persepsi Pemerintah Australia
dengan negara tetangga. salah satunya dibangun dari keyakinan bahwa
wilayah laut di Laut Arafura dan Laut Timor
Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia memiliki makna strategis bagi kepentingan nasi•
dan Persepsi Australia: onal Australia. Di Laut Timor khususnya, mereka
meyakini di wilayah tersebut (Celah Timor)
Berkaitan dengan batas kawasan laut, Indone•
mengandung kekayaan alam berupa minyak dan
sia dan Australia sudah melakukan perjanjian
gas alam yang besar sehingga Australia memiliki
empat kali225 Berkaitan dengan butir ke-t-nya,
political will yang kuat untuk menyelesaikan
Persetujuan garis batas dan Dasar Laut Tertentu
perjanjian batas wilayah laut di Laut Timor
antara Pemerintah Indonesia dan Australia di
dengan Indonesia dan Timor Leste, termasuk
Canberra tanggal 16 Maret 1997 yang belum di•
upaya penguasaan kekayaan alam di Celah Timor
ratifikasi yaitu daerah yang batasnya terletak di
tersebut. N amun, persepsi pemerintah Australia
Kawasan Samudra Hindia sebelah selatan Pulau
berseberangan dengan persepsi NGO di Australia
Roti dan kawasan timur antara Pulau Jawa dan
yang memandang bahwa penguasaan kekayaan
Pulau Christmas. Menyangkut persetujuan per•
alam di Celah Timor oleh pemerintah Australia
janjian tentang Batas-Batas Dasar Laut tertentu
justru merupakan sebuah pengkhianatan terhadap
antara Australia dan temyata akibatnya tidak adil
rakyat Timor Leste.
karena yang diuntungkan adalah pihak Pemerin•
tah Australia di mana wilayah lautnya semakin Interpretasi pertama bagi Australia adalah
wilayah Laut Arafura, di sebelah timur garis
longitudinal Timur 133°14', di mana eksplorasi
minyak dibolehkan terletak di sebelah timur garis
di laut, dan batasnya dengan angkasa luar ditetapkan ber• equidistance antara Australia dan Provinsi Papua
dasarkan perkembangan hukum internasional. dan Pulau Aru. Menurut interpretasi Australia,
2. Batas wilayah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
termasuk titik-titik koordinatnya ditetapkan berdasarkan
'the shelf' (batas) di wilayah ini dianggap sama
perjanjian bilateral dan/ atau trilateral. Dalam ha! wilayah bagi Australia dan Indonesia. Interpretasi kedua
negara tidak berbatasan dengan negara lain, Indonesia me• berkaitan dengan wilayah di sebelah barat garis
netapkan batas wilayah negara secara unilateral berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
longitudinal, di mana eksplorasi yang diizinkan
225
terletak di sebelah timur Palung Timor. Signifi•
Lihat Willem Wetan Songa mengatakan:
a. Pada tahun 1971, Indonesia dan Australia telah membuat kansi Palung Timor berdasarkan interpretasi
kesepakatan tentang "Batas-batas Dasar Laut Tertentu" kedua ini diungkapkan oleh Menlu Australia,
antara kedua negara yang kemudian dilanjutkan lagi pada William McMahon kala itu sebagai dasar morfol•
tahun 1972.
c. Pada tahun 1974, Indonesia dan Australia membuat per• ogis yang tepat bagi klaim Australia atas wilayah
janjian tentang "Hak Perikanan Tradisional" (Traditional tersebut. McMahon menyatakan bahwa:
Fishing Right) di kawasan Pulau Pasir (Ashmore Reef>
d. Tahun 1989, Indonesia dan Australia membuat suatu per• The Timar Trough thus breaks the continental
janjian tentang zona kerjasama antara kedua negara yang shelfbetween Australia and Timar, so that there
dikenal dengan nama "Perjanjian Celah Timor" (Timor are two distinct shelves, separating the two op•
Gap Treaty). posite coasts.i"
e. Pada tahun 1997, kembali Indonesia dan Australia me•
nyepakati batas wilayah negara antara kedua negara di
kawasan Laut Timor melalui suatu perjanjian yang dikenal
226 Wawancara Lapangan di Kupang, Mei 2009.
dengan nama "Perjanjian tentang Batas Zona Ekonomi
Eksklusif dan Batas-batas Dasar Laut Tertentu", Perjanjian 227 Loe.Cit, Robert J. King, hlm. 4.
mana hingga saat ini belum diratifikasi oleh kedua negara.

124 125
Bagi Australia, Palung Timar mernisahkan yang dilakukan Timar Leste atas wilayah Indo•
dua landas kontinen, yakni batasan sempit yang nesia seluas 50 mil laut di bagian selatan Kabu•
memanjang dari Timar dan batasan besar yang paten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
memanjang dari garis pantai Australia hingga Penyerobotan wilayah laut Indonesia menjadi
dasar Palung Timar. Mengingat Konvensi Jenewa Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Timar Leste itu
1958 tidak secara eksplisit menjelaskan situasi di sudah berlangsung sejak tahun 2002. Parlemen
mana terdapat dua batas landas kontinen, Pemerin• Timar Leste pada tahun 2002 telah mengesahkan
tah Australia menginginkan "kondisi spesial" Undang-Undang tentang Batas Wilayah Timar
dari Artikel 6.1 Konvensi Jenewa. Sementara itu, Leste sekaligus menetapkan perluasan wilayah
seperti yang dijelaskan oleh McMahon bahwa maritim Republik Timar Leste setengah pulau
garis tengah antara dua pantai yang ditentukan Timar itu secara sepihak.228
pada saat ketiadaan perjanjian tidak berlaku Penentuan wilayah perbatasan laut Indonesia
apabila tidak terdapat wilayah bersama untuk dengan Timar Leste dibutuhkan terlebih dahulu
delirnitasi. penentuan titik-titik dasar/garis-garis pangkal ke•
Persepsi Australia mengenai perbatasan pulauan di Pulau-Pulau seperti Batek, Pantar, Alor,
wilayah laut di Laut Arafura dan Laut Timor me• Limn, Wetar Kisar Leti, dan titik dasar sekutu di
miliki makna strategis bagi kepentingan nasional Pulau Timar. Penentuan batas laut antara kedua
Australia. Bagi Australia, perbatasan wilayah negara bisa ditentukan melalui dua mekanisme,
laut di Laut Arafura lebih mudah dinegosiasikan yaitu di Laut Timar ditentukan dengan prinsip
dengan Indonesia dan Papua Nugini ketimbang sama jarak [equidistance], sedangkan di Laut
di Laut Timar antara Australia dengan Indonesia Sawu, Selat Ombai, Selat Wetar sampai Selat Leti
dan Timar Leste. Masalah perbatasan wilayah penentuan batas-batas lautnya berdasarkan garis
laut di Laut Arafura telah diselesaikan melalui tengah [median line], yang biasanya digunakan
perjanjian antara Australia dengan Indonesia dan pada dua negara yang berhadapan.
Papua Nugini pada tahun 1971. Sementara itu, per• Mengenai pembahasan perbatasan laut an•
batasan wilayah laut di Laut Timar merupakan tara Indonesia dan Timar Leste mencakup dua
satu-satunya area yang masih menjadi kendala wilayah yang berbeda, yaitu wilayah perbatasan
bagi Australia dalam penentuan batas landas laut di sebelah Utara Pulau Timar [Selat Ombai
kontinen. dan Selat Wetar], dan wilayah perbatasan di sebe•
lah Selatan Pulau Timar [Laut Timor]. Penentuan
Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia batas laut di kedua wilayah tersebut tampaknya
dan Persepsi Timor Leste kurang lebih memiliki tingkat kompleksitas yang
Dalam masa lebih dari 20 tahun, perjalanan "inte• sama. Dengan kata lain, perundingan, pehgukuran
grasi" Timar Timur ke dalam Negara Kesatuan batas-batas maritim di sebelah Utara Pulau Timar
Republik Indonesia tidak mulus meskipun telah di mana batas kedua negara ini dipisahkan oleh
banyak pengorbanan untuk mempertahankannya. Selat Ombai dan Selat Wetar akan menghadapi
Akhimya Timar Timur dapat melepaskan diri tingkat kedetailan yang tinggi karena wilayah
dari NKRI melaluijajak pendapat yang didasar• darat Oekussi [rnilik Timor Leste] yang bersifat
kan pada New York Agreement 1999. enclave berada di dalam wilayah NTT [NKRIJ.
Perlu ditentukan penetapan titik-titik dasar di pu•
Beberapa tahun setelah berpisah dari Indo•
lau-pulau sebelah Utara Timar Leste yaitu Pulau
nesia, Timar Leste menghadapi permasalahan,
Alor, Pulau Wetar, Pulau Kisat, Pulau Serwatu.
salah satunya niat pemerintahnya untuk mem•
Sementara itu, perundingan, pengukuran batas•
perluas wilayah maritim Timar Leste. Hal ini
batas maritim di sebelah selatan Pulau Timar
menjadi hambatan penyelesaian perbatasan
tidak hanya melibatkan kepentingan maritim
kedua negara. Batas wilayah laut dengan Timar
antara Indonesia dan Timar Leste saja, tetapijuga
Leste belum dilakukan karena masih terganjal
oleh penyelesaian batas darat yang belum tuntas
228
Salim Said dkk, (Ed.), "Konflik antara Indonesia vs Timor
(tinggal 4%). Konflik yang bisa mengganggu
Leste dan Ancaman terhadap Keutuhan NKRI", Nasion, Vol.
hubungan kedua negara adalah klaim sepihak 2 No. 2, Desember 2008, him. 25.

124 125
230
Wawancara Lapangan di Kupang, Mei 2009.
harus mempertimbangkan persentuhan dengan
kepentingan Australia. Di samping perbatasan
darat (4%) belum terselesaikan, pekerjaan rumah
lain bagi Indonesia dan Timor Leste adalah di
wilayah laut, yaitu lima titik batas antara Indo•
nesia dan Timor Leste, juga belum terselesaikan,
yakni lmbate, Sumkaen, Haumeniana, Nilulat,
dan Tubana yang di dalamnya termasuk Naktuka
yang berbatasan dengan Oecusse dan Kabupaten
Timor Tengah Utara. Masalah penentuan batas
wilayah laut itu masih belum dirundingkan
hingga kini. Namun, survei maupun studi lapang•
an atas pengukuran untuk perbatasan laut sudah
mulai dilakukan oleh kedua belah pihak. 229
Berdasarkan persepsi Timor Leste, negara ini
tampaknya akan mengambil sikap hati-hati sehu•
bungan dengan pentingnya dukungan moral dari
Indonesia dalam menghadapi masalah "Timar
Gap" di Laut Timor dengan Australia'". Persepsi
maupun kepentingan Timor Leste [ dari kaca•
mata pemerintah] terhadap perbatasan maritim
di wilayah utara ini [berbatasan dengan Selat
Ombai dan Selat Wetar dan pulau-pulau kecil
milik Indonesia] akan senantiasa dijaga dengan
mengutamakan kepentingan masyarakatnya yang
secara tradisional memiliki ikatan kuat dengan
masyarakat Indonesia.
Negara Timor Leste yang begitu kecil dikeli•
lingi oleh wilayah laut Indonesia. Posisi Negara
Timor Leste agak terjepit oleh wilayah Indonesia
yang cukup luas. Walaupun Timor Leste memi•
liki sebagian dari Laut Timor, tetapi kemudian
wilayah lautnya dibatasi wilayah laut Timor
Indonesia. Timor Leste juga membutuhkan
transportasi laut lewat wilayah laut Indonesia
untuk mengangkut kepentingannya, baik impor
maupun ekspor.

Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia


dan Persepsi Papua Nugini
Perbatasan Wilayah Darat antara RI-Papua Nu•
gini sudah ditetapkan oleh Belanda dan lnggris
sebagai pemilik koloni kedua wilayah itu pada
tanggal 19 Mei 1895. Sementara itu, garis batas

229
"Tim Bakosurtanal Survey, Batas RI-Timar Leste",
Kupang [TVone] diunduh dari http://www.borderstu•
dies.info/?p=788

126 127
Laut Teritorial RI-Papua Nugini di Laut Ara•
fura dan Samudra Pasifik baru ditandatangani
melalui perjanjian bilateral di Jakarta pada tang•
gal 21 Februari 1973, di mana Papua Nugini
diwakili oleh Australia, yang baru memperoleh
kemerdekaan pada tahun 1975. Perjanjian Garis
Batas Laut Teritorial bilateral di Laut Arafura
ini telah menghubungkan titik yang berada di
perbatasan darat (Titik B.3), dengan Titik B.2
dan Titik B.l (20,444 mil) yang berada di laut,
kemudian dihubungkan dengan Tititk A.1 yang
sudah ditetapkan dalam Perjanjian Garis Batas
DasarLautRI-Australia 1972 di atas. Dalamper•
janjian ini juga sudah ditetapkan Garis Batas Laut
Teritorial kedua negara di Samudra Pasifik yang
dimulai dari Titik C.1 yang berada di garis perba•
tasan darat ke arah utara sampai ke Titik C.5 yang
panjangnya 27, 1 mil. Dengan demikian, panjang
garis batas Landas Kontinen dan Laut Teritorial
RI dengan ketiga negara tetangga itu yang dimu•
lai di Laut Arafura sebelah timur di perbatasan
RI-Papua Nugini sampai ke Laut Timor di sebe•
lah Barat yang berada di sebelah selatan Pulau
Rote adalah sepanjang 1.145, 8 mil.
Setelah perjanjian garis batas dasar laut
antara RI-Australia (pemegang mandat PNG)
disepakati pada tahun 1971 maka dilanjutkan lagi
dengan mengadakan perjanjian pada tanggal 12
Februari 1973231• Kemudian setelah PNG merdeka
pada tahun 1975, kedua negara menyempumakan
perjanjian 1973 itu melalui suatu perjanjian yang
ditandatangani pada tanggal 13 Desember 1980.
Isi pokok kedua perjanjian itu adalah penentuan
garis batas wilayah laut kedua negara di Laut
Arafura, dengan menyambung Titik A 1 (Indo•
nesia-Australia) sampai ke titik B 1 (1973), yang
dilanjutkan tahun 1980 oleh Indonesia-Papua
Nugini dengan menetapkan Titik B2 dan Titik
B3 (yang terletak di titik perbatasan darat kedua
negara). Selain itu, kedua perjanjian itu juga su•
dah menetapkan garis batas wilayah laut kedua
negara di Samudra Pasifik (sebelah utara kedua
negara). Dalam perjanjian tahun 1973 ditetapkan
Titik Cl (di batas darat) dan Titik C2 di sebelah
utara, yang kemudian tahun 1980 dilanjutkan
menjadi Titik C3, C4 sampai ke Titik C5 yang
berada pada garis batas ZEE 200 mil.
231
PerjanjianAntara Indonesia Dan Australia Mengenai Garis•
garis Batas Tertentu Antara Indonesia Dan Papua New Guinea,
ditandatangani di Jakarta tanggal 12 Februari 1973.

126 127
Boundary", The Jakarta Post, 23 Mei 2007
Persepsi PNG mengenai masalah perbatasan
wilayah lautnya hanya berkaitan dengan Laut
Arafura saja. Dengan memperhatikan perjanjian•
perjanjian perbatasan laut yang dilakukan antara
Pemerintah PNG dengan pemerintah Indonesia
kemudian akan dilihat permasalahan-permasalah•
an yang timbul sebagai dampak dari kelemahan
perjanjian yang telah disetujui. Beranjak dari
permasalahan yang timbul ini kemudian akan
dilihat bagaimana reaksi pemerintahan PNG
untuk menyelesaikan masalah tersebut. Tingkat
responsivitas dari pemerintah PNG terhadap per•
masalahan tersebut akan memperlihatkan level
prioritas dalam penanganan masalah perbatasan
yang secara tidak langsung akan memperlihatkan
persepsi pemerintahan PNG terhadap permasalah•
an perbatasan, terutama perbatasan lautnya di
Laut Arafura. Perhatian Pemerintah PNG terha•
dap perbatasan wilayah lautnya di Laut Arafura
kurang menonjol dibandingkan dengan perhatian
terhadap perbatasan daratnya. Pemerintah lebih
mengutamakan perbatasan daratnya karena per•
batasan tersebut menjadi tempat penyeberangan
penduduk dari Indonesia dan juga menjadi tem•
pat perdagangan obat-obat terlarang. Meskipun
demikian, kelemahan pengawasan di laut dapat
menjadijalur penyeberangan dari Indonesia atau
yang berasal dari negara lain untuk memasuki
wilayah Australia.

Hubungan Kerja Sama Antarnegara di Laut


Arafura dan Laut Timor
Kerja Sama Australia-Timor Leste
Pada 2002, Australia dan Timar Leste menanda•
tangani Traktat Laut Timar (Timor Sea Treaty)
tentang pembangunan Joint Petroleum Develop•
ment Area (JPDA) di Laut Timar di antara dua
negara itu. Walaupun traktat itu dianggap sebagai
suatu tanda kemajuan yang signifikan, banyak
kalangan menganggap bahwa pembangunan
zona kerja sama itu belum menyelesaikan per•
batasan maritim di antara kedua negara itu yang
merugikan Timor Leste. 232 Walaupun negosiasi
tentang kepemilikan minyak dan gas bumi di da•
sar laut Laut Timar antara kedua negara sudah
dilakukan, tetapi penyelesaian perbatasan belum
diselesaikan.
232
I Made Andi Arsana, "Timor Leste Must Settle Maritime

126 127
Sebelum perjanjian ini, Timar Leste me•
mang menghendaki penyelesaian batas maritim
secara permanen di Laut Timar dengan pene•
kanan pada penentuan garis median di antara
Timar Leste dan Australia. Apabila Australia
setuju dengan tuntutan Timar Leste itu maka
sebagian besar dari ladang-ladang minyak dan
gas bumi yang berada di wilayah JPDA itu,jatuh
ke dalam wilayah kedaulatan Timar Leste. Akan
tetapi, Australia hanya menuntut pembentukan
JPDA dengan pembagian eksploitasi minyak dan
gas-dan pendapatannya-yang sama di wilayah
itu. JPDA mencakup wilayah yang sama seperti
"Wilayah A" yang dibentuk antara Australia
dan Indonesia di tahun 1989 sebagai Timar Gap
Treaty. Perusahaan-perusahaan minyak Australia
dan intemasional dituduh menekan Timar Leste
untuk menerima suatu formula pembagian hasil
minyak tetapi menunda penyelesaian masalah
perbatasan maritim ini dengan Australia.
Traktat ini menempatkan Timar Leste di tem•
pat Indonesia dalam Traktat Timar Gap 1989 itu,
kecuali bahwa rasio pembagian revenue dalam
JPDA itu yang dikenal sebagai Zone ofCoopera•
tion di dalam traktat 1989 itu, diubah menjadi
90: 10 untuk Timar Leste. Traktat 2002 mengatur
'unitization' masa depan dalam memberlakukan
suatu daerah minyak atau gas yang mengangkang
salah satu atau berbagai batas sebagai suatu
unit lapangan gas Greater Sunrise, yang hanya
20 persen terletak di JPDA, sedangkan sisanya
dianggap berada di wilayah Australia. Di mata
Timar Leste, pembagian ini dapat dipersengketa•
kan karena ia tidak mengakui garis perbatasan
yang ditarik antara Australia dan Indonesia, yang
menempatkan sebagian besar Greater Sunrise itu
dalam teritorium Australia.233
Pada 20 Februari 20_07, parlemen Timor
Leste setuju untuk meratifikasi perjanjian dengan
Australia tentang pengelolaan sumber daya
minyak dan gas di lapangan Greater Sunrise di
Laut Timar. Pemerintah Australia dan Timar
Leste saling bertukar nota kesepahaman secara
formal di Dili pada 23 Februari 2007 yang
memberlakukan kedua traktat yang memberikan

233
"Sunrise International Unitization Agreement",
http:l!www.absoluteastronomy.com/topics/Sunrise_
International_ Unitization_Agreement.;

126 127
anu.edu.au/apem/boats/pdf/chul .pdf
kerangka hukum dan fiskal untuk pengembangan
ladang gas Greater Sunrise dan Troubadour.
Kedua nota itu mencakup Sunrise Interna•
tional Unitization Agreement (Sunrise IUA) dan
Treaty on Certain Maritime Arrangements in the
Timar Sea (CMATS). Persetujuan ini dikenal
sebagai Agreement between the Government of
Australia and the Government ofthe Democratic
Republic of Timor-Leste Relating to the Unitisa•
tion of the Sunrise and Troubadour Fields. Per•
janjian itu menganggap 20, 1 persen dari sumber
daya Greater Sunrise terletak di dalam JPDA,
dan menyumbang 20, 1 persen produksinya ke
JPDA dan 79,9 persen. Dengan Timor Leste
mendapatkan 90 persen dari penghasilan JPDA,
secara efektif negara itu hanya akan menerima
18, 1 persen dari pendapatan lapangan itu. Setelah
adanya tekanan yang kuat, rasio pembagian ini
diubah bagi Australia dan Timor Leste. Keduanya
mendapat basil yang sama dari pendapatan up•
stream dari lapangan itu dengan penandatangan
Treaty on Certain Maritime Arrangements in
the Timar Sea (CMATS) di tahun 2006. Karena
itu, persetujuan ini "dibaca bersamaan" dengan
CMATS dan Traktat Laut Timor. Perjanjian ini
mulai berlaku pada 23 Februari 2007.

Kerja Sama Indonesia-Australia


Pemberlakuan batas maritim antara Indonesia
dan Australia menciptakan suatu situasi konflik
antara kelompok nelayan Indonesia yang me•
masuki wilayah penangkapan ikan tradisional
yang kini merupakan wilayah teritorial Australia
dengan Pemerintah Australia. Konflik ini terlihat
dari berbagai kapal penangkap ikan Indonesia
yang ditangkap karena memasuki wilayah pe•
rairan Australia. Selama kurang lebih tiga abad.
Nelayan-nelayan Indonesia, baik yang berasal
dari penduduk Sulawesi Selatan maupun Nusa
Tenggara Timur telah melakukan penangkapan
ikan di perairan pantai di pulau-pulau di Laut
Timor dan Arafura dekat pantai Australia Utara.
Kegiatan ini dilakukan untuk mengumpulkan
berbagai produk kelautan, termasuk teripang,
shark fin, rumah penyu, kerang-kerangan, dan
sebagainya. Beberapa di antaranya dapat dijual
dengan harga tinggi.234

234
Chapter 1: Contested Rights of Access, http://epress.

128 129
Khususnya sejak tahun 1950-an Australia
melakukan perluasan wilayah lautnya yang men•
capai puncaknya dalam pembentukan Australian
Fishing Zone (AFZ) seluas 200 mil laut (nautical
miles) yang diakui di bawah UNCLOS 1982.
Klaim ini berangsur-angsur melanggar wilayah
yang merupakan wilayah perikanan tradisional
nelayan-nelayan Indonesia dengan akibat bahwa
nelayan-nelayan itu dianggap melanggar dan
dengan demikian merupakan penangkap ikan
ilegal di wilayah itu.
Pemerintah Australia mengambil tindakan
untuk mengakui suatu bentuk hak penangkapan
ikan di wilayah itu dan mengatur akses berkelan•
jutan bagi penangkap ikan Indonesia di perairan
itu. Dalam suatu Memorandum of Understanding
yang ditandatangani dengan Indonesia pada 1974,
Pemerintah Australia membolehkan penangkap
ikan tradisional Indonesia ini untuk menangkap
ikan di suatu wilayah yang mencakup sejumlah
karang (reefs) dan pulau di daerah barat Laut
Timor, yang terletak di bagian luar AFZ. Sesuai
dengan notulen pertemuan bilateral antara Indo•
nesia dan Australia pada 1989, akses ke daerah
ini terbatas pada:

"Indonesian traditional fishermen using tradi•


tional methods and traditional vessels consistent
with the tradition over decades of time, which
does not includefishing methods or vessels utili•
sing motors or engines ".

Sebagai bagian dari negosiasi tentang deli•


neasi batas-batas landas kontinen Indonesia dan
Australia maka ditandatanganilah suatu MoU
yang mengakui hak-hak nelayan tradisional
Indonesia di perairan bersama di sebelah utara
Australia. Akses ini diperoleh sebagai pengakuan
dari sejarah yang panjang nelayan Indonesia di
perairan Australia. MoU ini memberikan Austra•
lia suatu mekanisme untuk mengelola akses ke
perairan Australia yang memungkinkan nelayan
tradisional Indonesia melanjutkan kebiasaan•
nya untuk menangkap teripang, trochus, tiram
(abalone), dan bunga karang (sponges). Wilayah
pemberlakuan MoU ini kemudian dikenal sebagai
MoU Box.235 Setelah itu, ada peningkatan kerja

235"Indonesia dan Australia Tingkatkan Kerja Sama Kelautan


dan Perikanan", Departemen Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia, No.B.33/PDSI/HM.310/IIV2009, http.i/www.dkp.
go.id/. Pembahasan selanjutnya mengacu pada dokumen ini.

129 129
sama kedua negara misalnya dalam pengawasan nya. Perbatasan dengan Australia tidak ada ma•
atas dan penanggulangan illegal fishing di per• salah kecuali dalam penentuan Landas Kontinen
batasan ZEE. Hal ini disepakati antara kedua setelah merdekanya Timor Leste dan penentuan
negara pada 6th Working Group on Marine and ZEE. Dengan PNG tidak terdapat masalah dalam
Fisheries (WGMAF) Indonesia and Australia penentuan batas wilayah laut kedua negara. Akan
yang berlangsung pada 19-20 Maret 2009 di tetapi yang menjadi masalah adalah untuk me•
Nusa Dua, Bali. nyepakati perbatasan wilayah maritim antara
Indonesia dan Timor Leste.
Kerja Sama Indonesia-Timor Leste Di samping keberadaan ALKI III di Laut Ara•
fura dan Laut Timor sebagai lintasan pelayaran
Tiga lokasi utama bagi penentuan batas-batas
intemasional, wilayah laut ini merupakan surga
maritim telah diidentifkasi oleh Indonesia dan
bagi habitat ikan-ikan sehingga sejak dahulu kala
Timar Leste. Lokasi itu adalah di sebelah utara
para nelayan dari Pulau Rote, Pulau Flores, Pulau
Oecussi Enclave (Selat Ombai), sebelah utara
Alor, Pulau Buton, Pulau Sabu, Pulau Madura,
Pulau Timar (Selat Wetar), dan sebelah selatan
Pulau Timor, dan Pulau Maluku telah melaut
Pulau Timar (Laut Timor). Sebagaimana dikemu•
untuk menangkap ikan di perairan ini.236 Akan
kakan International Boundary Research Unit,
tetapi, adanya illegal fishing di laut kita sangat
"governments across the world agree that clear•
tidak menguntungkan bagi Indonesia.
ly-defined maritime boundaries are essentialfor
good international relations and effective ocean Persepsi Australia mengenai perbatasan
management". wilayah laut di Laut Arafura dan Laut Timor
terbentuk dari keyakinan bahwa kedua wilayah
Tiga pertimbangan harus diperhatikan bagi
tersebut memiliki makna strategis bagi kepen•
Selat Ombai, terrnasukEnclave ofOecussi, termi•
tingan nasional Australia. Dalam perundingan
nal Noel Besi dan Noel Meto serta Pulau Batek.
batas dasar laut (seabed boundary) dengan
Oecussi terletak di sebelah barat Pulau Timor,
Indonesia pada tahun 1972, Australia berhasil
kurang lebih 70 km dari Timor Leste. Oecussi
memaksakan persepsinya sehingga Indonesia
mencakup suatu wilayah seluas 2.700 km2, de•
menerima penentuan batas landas kontinen di
ngan penduduk kurang lebih 58.521 jiwa, yaitu
Laut Timor. Dalam perundingan ini, Indonesia
6,3 persen dari jumlah penduduk Timor Leste.
tidak menyadari akan potensi minyak dan gas
Letak Oecussi di Timor Barnt, kecuali pantai
bumi di wilayah Laut Timor.
sebelah utaranya, mempunyai titik batas darat,
di Noel Besi di sebelah barat dan Noel Meto di Kendala teknis yang berkaitan dengan ma•
sebelah timur. Kedua titik ini menjadi titik mula salah identifikasi kondisi perbatasan di lapangan
pembuatan batas laut antara Oecussi dan Timor berdasarkan Konvensi 1904 dan putusan �bitrasi
Barat Indonesia. 1914 yang dipakai Timor Leste dan perubahan
topografi karena faktor alam menjadi kendala
dalam perundingan batas wilayah antara Timor
Kesimpulan
Leste dan Indonesia. Sementara itu, kendala non•
Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas
teknis biasanya adanya penolakan dari masing•
menjadi penghubung penting antara Samudra
masing pihak karena melihat suatu daerah yang
Hindia dan Samudra Pasifik dan juga meng•
diperebutkan adalah daerah yang sumber daya
hubungkan Benua Asia dan Benua Australia.
Wilayah Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau alamnya melimpah [ekonomi], warisan tanah
itu tidak lagi merupakan sekumpulan pulau, tetapi leluhur [sejarah], terkait dengan 'ritual setempat

[sosial budaya].237 Sampai kini, upaya penyele•


lebih tepat apabila disebut "a body ofwater dot•
ted by islands", bahkan ada yang menyebutnya litkannya dalam mencapai kesepakatan dalam
"a maritime continent". Keadaan negara sebagai penentuan batas wilayah laut dengan negara lain-
negara kepulauan itu dari satu sisi menempatkan•
nya menjadi strategis tetapi di sisi lain menyu•

130 129
saian masalah perbatasan itu belum juga men•
capai hasil. Timor Leste agaknya sangat mem•
pertahankan segmen yang masih dalam kondisi

236
Antara News, 30 September 2009.
237
Ibid., him. 86-96.

131 129
2006, him.
sengketa seperti Des a N aktuka, Kecamatan 56.
Amfoang Timur, Kabupaten Kupang NTT, yang
diklaim Timar Leste sebagai bagian dari Distrik
Oecusse. 238 Harapan penyelesaian perbatasan
Indonesia-Timar Leste diserahkan kepada: a]
Joint Border Committee [JBC] Republik Indo•
nesia-Republik Demokratik Timar Leste, yang
dikoordinasi oleh Departemen Dalam Negeri;
b] Sub komisi Teknis Border Demarcation
and Regulation Republik Indonesia-Republik
Demokratik Timar Leste, yang dikoordinasi oleh
MABES TNI dan BAKOSURTANAL.239
Penentuan perbatasan laut antara PNG
dengan Indonesia di Laut Arafura sudah dilak•
sanakan sejak tahun 1971 dan 1973, yaitu ketika
PNG masih berada di bawah Australia melalui
perjanjian dasar laut dan landas kontinen di laut
tersebut. Perairan Arafura ini merupakan perairan
yang sangat rentan terhadap berbagai ancaman,
seperti tempat gangguan separatis Organisasi
Papua Merdeka (OPM), tindakan-tindakan pe•
nyelundupan, penangkapan ikan secara ilegal
maupun sebagai jalur migran ilegal yang bertu•
juan ke Australia yang telah membentuk persepsi
PNG bahwa perbatasan dengan Indonesia men•
jadi kurang aman. Untuk mengatasi kerawanan
tersebut maka Indonesia, Australia dan PNG
mengadakan perjanjian mengenai batas-batas
perairan negara yang dilaksanakan antara 1971
hingga 1974. Perjanjian ini kemudian disusul
dengan Perjanjian antara Australia dengan PNG
ketika PNG menjadi sebuah negara merdeka
pada 16 September 1975 yang menyangkut ma•
salah laut teritorial, landas kontinen, dan zona
penangkapanikan.
Hubungan dan kerja sama tiga negara yang
berbatasan di Laut Timar dan Laut Arafura
bergantung pada berbagai masalah perbatasan
238
Lihat Amril Amarullah, "Timor Leste Juga U sik Perbatasan
di NTT, Ratusan warga Timor Leste membangun pemukiman
di tanah sengketa kedua negara''. http://nasional.vivanews.com/
news/read! 65 l 42tak_hanya_malaysia_timor_leste_yun_bi•
kin_ulah Di sini dilaporkan bahwa Pembangunan pemukiman
di tanah seluas lebih dari 1069 meter persegi ini, berada persis
di wilayah perbatasan kedua negara, sebelumnya masuk dalam
wilayah Des a Naktuka Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten
Kupang, Nusa Teggara Timur, namun di klaim Timor Leste
sebagai bagian dari Distrik Oecusi.
239
Mahendra Putra Kumia, "Upaya Penanganan Permasalahan
Perbatasan Maritim Republik Indonesia", Risalah Hukum
Vol. 2, No. 1, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Juni

130 131
bilateral, antara Indonesia dan Timar Leste dan
Australia dan Timar Leste dan antara Indonesia
dan Australia di wilayah ini masih banyak perma•
salahannya. Pada 2002 misalnya, Australia dan
Timor Leste menandatangani Traktat Laut Timar
(Timor Sea Treaty) tentang pembangunan Joint
Petroleum Development Area (JPDA) di Laut
Timar walaupun traktat kerja sama itu belum
menyelesaikan perbatasan maritim di antara ke
dua negara itu.24° Kemudian negosiasi tentang
kepemilikan minyak dan gas bumi di dasar laut
Laut Timar yang bemilai milyaran dolar sudah
dilakukan.
Batas Indonesia-Australia merupakan batas
maritim sebelah barat, dari perbatasan kedua
negara dengan Papua New Guinea di jalur barat
ke Selat Torres melalui Laut Arafura dan Laut
Timar sampai ke Samudra Hindia. Batas laut
ini dipatahkan oleh "Timar Gap", di mana laut
teritorial Australia dan Timar Leste bertemu dan
dimana kedua negara mempunyai klaim bersama
atas dasar laut (seabed). Indonesia dan Australia
juga berbatasan di laut di Samudra Hinda di an•
tara pulau Christmas dan pulau J awa.
Suatu ciri yang menarik dari batas maritim
di antara kedua negara ini ialah pemisahan kepe•
milikan dasar laut ( atau lebih tepat landas kon•
tinen) dan kepemilikan zona ekonomi eksklusif,
masing-masing dengan batasnya sendiri-sendiri.
Kepemilikan landas kontinen memberikan ke•
pada negara hak-hak atas sumber daya mineral
di dasar laut itu, sedangkan kepemilikan atas air
di atasnya memberikan negara hak atas penang•
kapan ikan dan sumber daya lain di perairan
wilayah spesifik itu. Traktat yang menetapkan
hal ini dan bagian-bagian barat perbatasan serta
perbatasan antara Pulau Christmas dan Pulau J
awa yang ditandatangani pada tahun 1997 belum
diratifikasi dan dengan demikian belum berlaku.
Hal ini disebabkan karena kemerdekaan Timor
Leste menuntut perbaikan atas traktat 1999 itu
dan persetujaun tentang hal itu masih belum
dicapai oleh kedua pihak.

240
I Made Andi Arsana, Timor Leste Must Settle Maritime
Boundary, The Jakarta Post, May 23, 2007.

131 131
"Indonesia dan Australia Tingkatkan Kerja Sama
Daftar Pustaka
Kelautan dan Perikanan", Departemen Kelaut•
Arsana, I Made Andi. Batas Maritim Antarnegara. an dan Perikanan Republik Indonesia, No. B.
2007. Yogyak:arta: Gadjah Mada University 33/PDSI/HM.310/IIl/2009. http://www.dkp.
Press. go.id/
Australia (Papua New Guinea) and Indonesia Agree• Jawatan Hidro-Oceanografi TNI AL. 2006. Batas
ment. Diakses dari http://untreaty.un.org I Maritim Republik Indonesia dengan Negara
unts/1_60000/28/9/00054420.pdf pada 25 Tetangga. Jakarta, Makas Besar Angkatan Laut,
Mei 2009. 26 Juni 2006.
Brennan, Frank SJ. 2004. Closing the Timar Gap
------- .2006. Pulau-Pulau Kecil Terluar
and in a Timely Manner. The Australian, Sep• Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta,
tember. Markas Besar Angkatan Laut, 26 Juni 2006.
Charney, Jonathan I. 1996. International Maritime Jolliffe, Jill. 2003. "NT Offers to Help Save East
Boundaries (volume I). Netherlands. Martinus Timor Gas Deal". The Sydney Morning Herald,
Nijhoff Publishers. 11 Februari 2003.
Dault, Adhyaksa. 2008. Pemuda dan Kelautan. Khamsi, Kathryn. 2005. "A Settlement to the Timor
Jakarta: Pustak:a Cidesindo. Sea Dispute?". Harvard Asia Quarterly, Volu•
Djamal, Jusman Syafii. 2009. "Napak Tilas Deklarasi me IX, No. 4, 2005.
Djuanda: Prolog ", dalam Tepian Tanah Air: King, Robert J. 2002. The Timar Gap 1972-2002, Juli
92 Pulau Terluar Indonesia-Indonesia Bagian 2002, diakses dari http://www.timorseaoffice.
Barat. Jakarta: Kompas Media Nusantara. gov. tplbrennan.pdf, pada 3 Oktober 2006.
Dokumen Perjanjian Antara Indonesia dan Australia Maritime Arrangements between Australia, Papua
tentang Penetapan batas-batas Dasar Laut Ter• New Guinea, and Indonesia in the Arafura Sea
tentu, tanggal 18 Mei 1971. and Torres Strait. Diakses dari http://www.afina.
Dokumen Perjanjian Antara Indonesia dan PNG gov. au/management/compliance/ illegalleng_
mengenai Garis-Garis Batas Tertentu, Jakarta east.pdf pada 26 Agustus 2009.
12 Februari 1973. "Minutes of the Timor Sea Treaty Ministerial Mee•
Dokumen UU No. 1/1991, "Treaty Between the ting", 27 November 2002, Council of Ministers
Republic of Indonesia and Australia on The Meeting Room, Dili, Timor-Leste. http://www.
Zone of Cooperation in an Area Between the crikey. com. au/politics.
Indonesian Province of East Timor and North• Office of The Geographer. 1979. Limits in the Sea
ern Australia". http://ilmea.depperin.ga. id/ski No. 87, Territorial Seas and Continental Shelf
uu199101.htm. Boundaries: Australia andPapua New Guinea•
ETAN. 2005. Plain Facts about Australia and East Indonesia. Bureau oflntelligence and Research,
Timar 's Boundary, Maret 2005. Diakses dari US Department of State, 1979.
http ://www. etan. orgletanpdj!pdj3/boundaries2. Papua New Guinea Hydrographic Service, '9th_So�th
pdf, pada 3 Oktober 2006. West Pacific Hydrographic Commission
Focus Group Discussion dengan Jawatan Hidro• (Swphc) Meeting. Port Moresby, Papua New
Oceanografi, Oktober 2009. Guinea, 10-11 Maret 2009.
Forbes, Vivian Louis. 2000. Conflict and Cooperation Papua New Guinea Defence Force, diakses dari http:�/
in Managing Maritime Space in Semi Enclosed www.defence.gav.pg/core_services/ cs_marz•
Seas. Hawaii: East west Centre. time_patrol. html, .pada 5 September 2009.
Greenlees, Don. 2002. "Downer: No Change to Timor Parliament of The Commonwealth of The Australia.
borders". The Australian, 25 Mei 2002. 1997. Australia-Indonesia Maritime Delimita•
tion Treaty, Commonwealth of Australia, No-
Hadiwijoyo, Suryo Sak:ti. 2009. Batas Wilayah Neg•
vember 1997. '
ara Indonesia: Dimensi, Permasalahan, dan
Strategi Penanganan. Yogyakarta: Penerbit Presscot, Victor, Question ofEast Timar 's Maritime
Gava Media. Boundary, IBRU Boundary and Security Bulle•
Hastings, Peter. 1972. "Whose Riches Under The Sea?". tin, Winter 1999-2000, diakses dari http://www.
dur. ac. uk/resources/ibrul publications/full/
The Sydney Morning Herald, 3 Juni 1972.
bsb7-4_prescott.pdf, pada 27 Februari 2008.
Head, Mike. 2002. "Australia Menggertak Timor
S.K, Wahyono. 2009. Indonesia Negara Maritim.
Timur Merdeka atas Minyak dan Gas". Http://
www.wsws.org/id/2002/mei2002/timo-m30_ Jakarta: Teraju.
prn.shtml.

132 131
"Timor Sea Maritime Boundary: Still Not Settled!",
Salindeho.Winsulangi dan Petres Sombowadile. 2008.
Kawasan Sangihe-Talaud-Sitaro: Daerah Per• A briefing paper from La 'o Hamutuk, Agustus
batasan Keterbatasan Pembatasan. Diambil 2009, diambil dari http://www.laohamutuk.org/
dari Korolus Kopang Medan, ed. Hukum Per• reports/09bgnd/FronteiraEn.pdf
janjian Internasional. Kupang: Undana Press. Tunggal, Hadi Setia. 2009. Undang-Undang Wilayah
Shanahan, Dennis, and Nigel Wilson. 2004. "Latham Negara (Undang-Undang R.I. No. 43/2008),
'Threat' to East Timor". The Australian, 28 Harvarindo, 2009.
Juli 2004. "The CMATS Treaty", The La'o Hamutuk Bulletin,
Sutisna, Sobar. 2006. Aspek Permasalahan Batas Vol. 7, No.I, April 2006.
maritim Indonesia. Cibinong: Pusat Pemetaan "Unlawful Exploitation: Timor Leste Sun", 21 to 27
Batas Wilayah, Bakosurtanal. May 2004, Http:!!www.easttimorsurl.com/eng•
lish/regional_newsj21504/unlawfuLexploita•
Surya, Oentoro. 2009. "Politik Kemaritiman ".
tion.htm.
dalam Biografi Politik, For Democracy And
Change, Vol. 2, No. 16. Jakarta, Latofi, 16 Wilson, Nigel. 2002. "Downer 'abuse' claims", The
Maret 2009. Australian, 13 December 2002.
Timar Gap Oil, diakses dari http://wwwjorceten.org. . 2004. "Australia warns Timor on
au/Sharing2004/pdfe/Timor_Gap_oil.pdf, pada gas claim", The Australian, 30 Juli 2004.
3 Oktober 2006.

132 133
PEMILUKADA DAN PROBLEMA TATA KELOLA
PEMERINTAHAN YANG BAIK

Yogi Setya Permana

Resensi Buku:
Judul : Evaluasi Kritis Penyelenggaraan Pemilukada di Indonesia
Penulis : Gregorius Sahdan dan Muhtar Haboddin
Penerbit : Indonesia Power for Democracy (IPD), 2009
Tebal : xii + 362 hlm.

Abstract

Pemilukada is an instrument to develop local good governance. Local election creates a spacefor democratic
development that includes strengthening of civil society, economic, and cultural. The assumption here is that good
governance is able to transform deepening democracy into deepening prosperity. This review discusses evaluation
ofPemilukada process and its obstacles.

Pendahuluan Pemilukada merupakan kontes politik yang hanya


Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah) melibatkan masyarakat sebagai objek kumpulan
secara langsung disadari atau tidak telah men• suara dan bukan warga negara yang berdaulat
jadi mitos yang dipercaya banyak pihak seba• secara politik.
gai arena dalam usaha mewujudkan tata kelola Pemilukada telah disepakati sebagai meka•
pemerintahan yang baik di tingkat lokal (local nisme yang dipilih dalam usaha pembaharuan
good governance), yang sejalan dengan seman• tatanan politik pemerintahan yang muaranya
gat desentralisasi serta otonomi daerah. Ini be• adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat.
rangkat dari asumsi bahwa pemilukada mengon• Akan tetapi, diskursus terhadap koreksi penyeleng•
disikan kekuasaan bersifat sentrifugal sehingga garaan pemilukada perlu terus dibangun �ecara
tidak terpusat pada satu tangan (personalisasi sehat sehingga menghasilkan masukan-masukan
kekuasaan) atau kelompok ( oligarki). Sirkulasi yang solutif dan aplikatif di ranah praksis. Gre•
elite menjadi sesuatu yang wajar dan terjang• gorius Sahdan dan Muhtar Haboddin melalui
kau bagi setiap warga sehingga ramah terhadap buku ini ingin mengajak para pembaca untuk
inovasi-inovasi baru, di lain pihak akuntabilitas mengevaluasi secara kritis pelaksanaan pemilu•
pemerintahan pun lebih terjamin dan responsif kada di banyak daerah sejak 2005 hingga 2009,
terhadap kepentingan kesejahteraan masyara• disertai dengan data empirik dan data demografi
kat, sementara pendalaman demokrasi menjadi politik provinsi-provinsi di Indonesia sehingga
sebuah keniscayaan. menjadikannya sebagai bah.an pembelajaran
Akan tetapi, pengalaman empirik menggam• yang kaya.
barkan bahwa pemilukada memiliki wajah gelap Buku yang terdiri atas 11 bab ini menyoroti
pula. Ini terkait dengan terbuka kemungkinan tentang beberapa aspek dari pemilukada yang
dibajaknya arena pemilukada oleh kelompok krusial dalam kaitannya mewujudkan tata kelola
dominan sehingga meminggirkan kepentingan pemerintahan yang baik. Pertama, aspek penye•
yang universal, sehingga membuat rezim poli• lenggara pemilukada di mana KPUD memiliki
tik yang terbentuk pasca-pilkada pun kemudian beberapa keterbatasan yang fundamental, antara
dipertanyakan akuntabilitas dan transparansinya. lain pemahaman terhadap regulasi, kelembagaan

132 133
penyelenggaraan pemilukada, dan tata kelola adalah sistem pemilihan memengaruhi wujud
pemilukada. Kedua, aspek pengawasan dengan partisipasi dalam masyarakat. Namun, ada hal
panwas pemilukada yang seharusnya berkontri• lain yang penting disadari bahwa desain sistem
busi mengawal pemilukada-pun dalam beberapa pemilukada turut menentukan besaran ongkos
kasus malah menjadi sumber permasalahan itu atau dana yang digunakan oleh semua pihak se•
sendiri. Ketiga, aspek electoral process dengan lama perhelatan pemilukada berlangsung.
sistem dua putaran dalam pemilukada (two round Tim penulis membuka diskusi tentang eva•
system) cenderung memunculkan fenomena high luasi sistem pemilukada dengan menyoroti
cost democracy (demokrasi berbiaya tinggi). penggunaan two round system karena disinyalir
Keempat, partai politik belum menunjukkan cenderung menghasilkan high cost democracy
fungsinya sebagai instrumen rekrutmen pemim• dan beberapa implikasi negatif lainnya. Seperti
pin namun lebih metampakkan wajahnya yang yang bisa dilihat pada Tabel 1, bahwa penyeleng•
pragmatis tanpa memiliki preferensi politik yang garaan pemilukada semestinya tidak menelan
jelas sehingga mudah sekali tersandera oleh biaya sampai sebesar itu. Nominal yang amat
pemilik modal. Kelima, aspek konflik dan ke• besar tersebut semestinya dialokasikan ke pas
kerasan politik dalam pemilukada serta politisasi anggaran yang lebih mendesak demi kesejah•
birokrasi. Keenam, tingkat partisipasi publik di teraan masyarakat.
mana pemilukada menghadirkan fenomena penu•
Tabet 1. Biaya Pemilukada Dua Putaran di
runan tingkat partisipasi pemilih dan kenaikan
Beberapa Daerah 2005-2008
angka golput.
Tahun
Biaya Pemilu-
Aspek penyelenggaraan dan pengawasan
Daerah Pemilu-
kada (Rp) kada
pemilukada dipilih untuk dibedah dalam review
ini karena amat krusial dalam menentukan ke• pemilukada berpengaruh terhadap tingkat kohesi
suksesan pemilukada. Koreksi terhadap aspek partai-partai dalam pemilukada. Kedelapan
penyelenggaraan dan pengawasan pemilukada
merupakan aksi preventif dalam mengurangi
risiko konflik pasca-pemilukada. Penguatan
kapasitas institusi lembaga penyelenggara dan
pengawas pemilukada merupakan langkah yang
dapat dikerjakan secara maksimal.

Sistem Pemilukada Dua Putaran:


Sebuah Catatan
Evaluasi terhadap sistem pemilukada penting
untuk dilakukan karena beberapa hal, pertama,
sistem pemilukada berpengaruh terhadap propor•
sionalitas basil pemiihan. Kedua, sistem pemilu•
kada berpengaruh terhadap jenis pemerintahan
yang akan terbentuk. Ketiga, sistem pemilukada
memengaruhi corak dan karakter partai politik.
Keempat, sistem pemilukada juga berpengaruh
terhadap corak kompetisi. Kelima, pemilihan
sistem pemilukada cukup menentukan terhadap
karakter pemerintahan yang akan dihasilkan.
Keenam, sistem pemilukada terkait dengan
akuntabilitas pemerintahan atau kepemimpin•
an yang nanti akan terbentuk. Ketujuh, sistem

134 135
Kabupaten Aceh Barat 15 miliar 2007

Kabupaten Aceh Barat Daya 14 miliar 2007

Kabupaten Aceh Tamiang 16 miliar 2007

Kabupaten Belu, NTI 9 miliar 2008

Provinsi Jawa Timur 222 miliar 2008

Kabupaten Dairi, Sumut 16 miliar 2008

Kabupaten Garut 9,2 miliar 2008

Provinsi Kalimantan Timur 33 miliar 2008


Kabupaten Pontianak 12,2 miliar 2008

Kabupaten Langkat 10,5 miliar 2008


Kabupaten Sanggau 9,5 miliar 2008

Kabupaten Tapanuli Utara 5,1 miliar 2008

Kabupaten Bandar Lampung 8,5 miliar 2008

Kabupaten Timur 5 miliar 2008

Kabupaten Pidie Jaya 10,5 miliar 2008


Provinsi Bengkulu 33,5 miliar 2005

Anggaran pemilukada Provinsi J awa Timur,


sebagai contoh, menelan biaya 222 miliar ru•
piah atau setara dengan sekitar 27% dari total
anggaran belanjaAPBD tahun 2008.241 Anggaran
pemilukada sebesar 16 miliar rupiah untuk Kabu•
paten Aceh Tamiang pada 2007 setara dengan

241
http ://infokorups i. com/id/apbn-apbd.php? ac=apbn•
apbd&/=432.

134 136
242http://bappedatamiang.go.id/index.php?option=com_conte
sekitar 25 % dari total pendapatan APBD. 242 Lebih nt&task=view&id=43&Itemid=40.
ironisnya lagi ialah bila pemilukada yang sudah
dibiayai dengan dana yang teramat besar justru
memunculkan konflik lokal dan meniadakan
rezim pemerintahan yang bertata kelola dengan
baik.
Terdapat sejumlah persoalan yang ditimbul•
kan oleh sistem pemilukada dua putaran. Sistem
pemilukada dua putaran lebih menguntungkan
kontestan yang memilki dana besar sehingga
mampu mengikuti keseluruhan proses pemilu•
kada. Sistem ini juga cenderung menguntungkan
incumbent karena pasti telah lebih dulu memper•
siapkan modal dengan baik. Kecuali itu, angka
partisipasi pemilih cenderung menurun sehingga
meningkatkan jumlah golput lantaran masyara•
kat sudah lelah dengan kompetisi politik yang
berkepanjangan. Panjangnya proses pemilihan
ini sekaligus menyuburkan risiko fragmentasi
sosial yang meluas sehingga menghambat laju
konsolidasi pasca pemilukada. Di balik sejumlah
kelemahan, panjangnya proses pemilukada justru
tidak menjamin akan menghasilkan rezim politik
yang stabil.
Buku ini mengusulkan penggunaan simple
majority ataufirstpast the postuntuk mengganti•
kan two round system. Menurut kedua penulis
tersebut ada beberapa keunggulan dari simple
majority system antara lain, pertama, mampu
membatasi demokrasi berbiaya tinggi (high cost
democracy) karena mengurangi pos anggaran
untuk putaran pemilukada. Kedua, mendorong
peningkatan partisipasi pemilih yang lebih tinggi
dengan diiringi penurunan tingkat golput. Ketiga,
mengurangi fragmentasi sosial akibat pemilukada
dan divided government sehingga akan terbentuk
pemerintahan yang lebih efektif. Keempat, mem•
persempit ruang bagi incumbentuntuk mengguna•
kan fasilitas publik yang dimanfaatkan untuk
kampanye dan modal dalam pemilihan.
Namun, tawaran penggantian two round
system dengan simple majority atau first past
the post juga perlu dikaji terlebih dahulu secara
mendalam dengan didukung oleh data empiris.
Argumen bahwa simple majority system mampu
mereduksi high cost democracy masih diragukan
karena pemilukada terlanjur berkonotasi pekat

134 137
dengan politik uang di mana uang menjadi faktor
determinan dalam sistem politik, baik pada fase
input, proses, maupun output. "Biaya" dalam
hal ini bukan hanya dibaca sebagai dana dari
pemerintah untuk penyelenggaraan pemilukada,
namun seluruh dana yang keluar dari pihak•
pihak yang berkepentingan sehingga demokrasi
menjadi milik kelompok dominan yang memiliki
sumber daya. Demokrasi (lewat pemilukada)
telah dibajak oleh pihak yang bermodal sehingga
meminggirkan kepentingan kolektif yang lebih
besar. Dengan demikian, prasyarat untuk mem•
batasi high cost democracy harus berangkat dari
semua lini dimensi politik kita. Aturan pendanaan
kampanye dan partai politik misalnya perlu lebih
dipertegas dengan adanya sanksi yang efektif.
Selain itu, pengawasan pemilukada bukan hanya
tanggungjawab Panwaslu an sich, namun merupa•
kan tugas kolektif masyarakat.
Yang tidak kalah pentingnya ialah bagai•
mana semua pihak harus mengubah paradigma
di dalam memandang pemilukada bukan hanya
sebuah seremoni penghamburan uang dan
pemuasan hasrat material jangka pendek semata,
melainkan pemilukada benar-benar dimanfaatkan
sebagai sebuah sarana untuk deepening demo•
cracy (pendalaman demokrasi) yang nanti muara•
nya adalah deepening prosperity (pendalaman
kemakmuran).
Tingkat partisipasi yang tinggi dan menurun•
nya angka golput juga bukan hanya disebabkan
oleh penggantian sistem pemilukada. Tingkat
partisipasi dalam pemilukada berrmiara 'pada
kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik.
Ketika demokrasi yang diderivasikan melalui
pemilukada mampu diakses oleh masyarakat dan
bukan lagi dibajak atau dimonopoli oleh pihak
bermodal atau elite makapelan-pelan kepercaya•
an akan sistem politik pun terbangun.
Selain itu, usulan penulis untuk menerapkan
simple majority system atau first past the post
membawa konsekuensi bahwa' the winner takes
all (pemenang mendapatkan semuanya). Hal
ini, justru mengarah pada terbukanya peluang
terciptanya tirani minoritas, lantaran persentase
suara pemenang pemilukada lebih sedikit bila
dibandingkan jumlah keseluruhan suara yang
diraup oleh pasangan-pasangan kandidat yang
kalah. Justru situasi yang semacam ini di lain

134 138
pihak rawan pula melahirkan pemerintahan yang efek yang berimplikasi serius bagi pelaksanaan
terbelah pasca-pemilukada serta meningkatkan pemilukada. Kapasitas regulatif KPUD yang
fragmentasi sosial. Legitimasi dari kepemimpin• lemah seperti dalam penyusunan data pemilih
an politik pemerintahan yang terbentuk akan merupakan preseden buruk yang musti dikoreksi.
lebih modah goyah. Sistem first past the post Ada 32 provinsi yang pelaksanaan pemilukada•
lebih lazim digunakan dalam pemilihan anggota nya mengalami kekisruhan dalam hal DPT.
parlemen berdasarkan sistem distrik. Sistem.first Selain indikator regulatif, indikator distribusi
past the post cukup jarang dipakai untuk pemilih• dapat digunakan untuk menilai kinerja KPUD.
an kepala pemerintahan. 243 Kapasitas distributif pemilukada maksudnya
adalah bagaimana kerj a KPUD dalam mendistri•
Catatan Untuk Penyelenggaran: KPUD busikan, baik berbagai alat kelengkapan pemilu•
kada maupun alokasi sumber daya manusia dalam
Keberhasilan pemilukada dalam kaitannya
pelaksanaan pemilukada. Logistik pemilukada
dengan pendalaman demokrasi membutuhkan
amatlah penting karena turut menentukan keber•
entitas penyelenggara yang kredibel, profesional,
langsungan dari pemilukada di suatu daerah.
dan dipercaya. KPUD akhimya menjadi aktor
penting penentu kesuksesan pemilukada. Ada Tabel 3. Daerah Pernilukada Bermasalah Akibat
tiga indikator yang digunakan oleh tim penulis Ketidaknetralan KPUD
untuk menilai kinerja KPUD berdasarkan data Daerah Pemilu-

empiris di lapangan: (i) kemampuan regulatif, No. Masalah lndependensi KPUD


kada

(ii) kemampuan distributif, dan (iii) tata kelola 1 Sumatera Selatan KPUD dituduh memihak ke
pemilukada. pasangan Nordin-Eddy Yusuf

Beberapa permasalahan muncul akibat 2 NTI KPUD dituduh berpihak ke


pasangan Frans Leburaya
ketidakpahaman KPUD terhadap aturan regulasi
pemilukada itu sendiri (kemampuan regulatif). 3 Maluku Utara KPUD dituduh berpihak ke
pasangan Thaib Armaiyn-Abdul
Aspek ini tidak jarang berkaitan dengan sikap Ghani Kasuba dan Abdul Gafur-
KPUD yang tidak netral dan memihak kepada A. Rahim Fabanyo
salah satu kontestan, yang membuat prinsip 4 Gorontalo KPUD dicap dekat dengan Fadel
independensi dilanggar dan politisasi terhadap Muhammad-Gusnar Ismail

regulasi pemilukada dilakukan untuk mengun• 5 Maluku KPUD dituduh kepanjangan ta-
tungkan salah satu kontenstan tertentu. Di sam• ngan dari Karel Albert Ralahalu-
Said Assegaf
ping itu, pendanaan pemilukada yang diambil
dari anggaran daerah dan disahkan oleh legislator 6 Lampung KPUD dicap dekat dengan Sjah-
roedin ZP-MS Joko Umar S
lokal memancing pertanyaan akan independensi
7 Jawa Timur KPUD dianggap dekat dengan
KPUD.244 Beberapa permasalahan independensi Soekarwo-Syaifullah Yusuf
dari KPUD dapat dicermati dari Tabel 3 berikut
ini. dan Maribeth Erb, Ed., Deepening Democracy in Indonesia?
Selain itu, permasalahan yang berkaitan Direct Elections for Local Leaders (Pemilukada). (Singapore:
dengan teknis prosedural seperti kisruh Daftar !SEAS, 2009), hlm. 19.
Pemilih Tetap (DPT). Hal yang bersifat teknis
administratif seperti DPT mampu menghasilkan

243
Syamsuddin Haris. "Mencari Model Pemilihan Langsung
Kepala Daerah Bagi Indonesia", dalam Agung Djojosoekarto
dan Rudi Hauter, Ed., Pemilihan Langsung Kepala Daerah:
Transformasi Menuju Demokrasi Lokal, (Jakarta: Asosiasi
DPRD Kota Seluruh Indonesia, tanpa tahun), him. 107.
244
Priyambudi Sulistiyanto dan Maribeth Erb, "Indonesia and
The Quest for Democracy", dalam Priyambudi Sulistiyanto

136 139
Dari hasil penelusuran, terdapat beberapa
masalah yang berkaitan dengan kapasitas di•
stributif KPUD, antara lain; pertama, peralatan
kelengkapan pemilukada tidak didistribusikan
sesuai dengan waktu dan tempat seperti yang
terjadi dalam pemilukada NTT, Maluku, Papua,
dan Maluku Utara. Kedua, KPUD kurang cermat
dalam melakukan verifikasi penetapan pasangan
calon yang ikut berkompetisi dalam pemilukada
seperti yang terjadi pada kasus pemilukada Sula•
wesi Tenggara. Ketiga, terjadi banyak kasus
pada tahap penyelenggaraan pemilukada, tidak
sesuai dengan jadwal, seperti pengunduran

136 140
waktu pernungutan suara, ketidakjelasan jadwal sehingga hanya memperlihatkan kinerja yang
rekapitulasi, dan penetapan basil suara yang bersifat sporadis. Keempat, rnasalah transparansi
kesernuanya didasarkan atas preferensi pribadi pengelolaan keuangan atau anggaran pernilukada
anggota KPUD. Fenornena sernacarn ini terjadi oleh KPUD. Diternukan beberapa kasus di rnana
pada pernilukada Maluku Utara, Sumatra Selatan, anggaran pernilukada bocor dan dinikrnati oleh
danNTT. angggota KPUD sendiri seperti yang terjadi pada
KPUD Lurnajang, KPUD Tegal, KPUD Karo,
Untuk tata kelola pernilukada, ada beberapa
KPUD Provinsi Riau, KPUD Kab. Mentawai,
hal rnendasar yang perlu dibenahi. Pertama,
KPUD Banten, KPUD Batang, dan KPUD Kab.
kinerja KPUD kerap terganjal dengan aspek
Bandung (halaman 50-54).
akuntabilitas yang hal ini acap kali rnenyebab•
kan konflik dengan DPRD yang kernudian Berdasarkan catatan tirn penulis, KPUD
rnengakibatkan penurunan kepercayaan terhadap rnenjadi salah satu aktor yang rnelakukan pelang•
basil pernilukada. Salah satu contoh adalah kasus garan dalarn pernilukada selain calon kepala
Pernilukada Maluku Utara, KPUD dianggap tidak daerah, tirn sukses dan pendukung, partai politik,
bertanggungjawab. Kedua, KPUD dinilai larnban dan pengawas lapangan (lihat Tabel 4). KPUD
dalarn rnerespons dinarnika politik lokal yang sebagai institusi yang rnengernban tugas sebagai
berkaitan dengan penyelenggaraan pernilukada se• fasilitator pernilukada narnun justru menjadi
perti pada KPUD NTT, KPUD Surnatera Selatan, pihak yang rnelanggar sehingga rnengakibatkan
dan KPUD Sulawesi Tenggara. Ketiga, rnasalah efek berantai yang kontraproduktif di rnasyara•
efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pe• kat seperti konflik dan arnuk serta rnerendahkan
rnilukada karena terlihat dalarn beberapa kasus derajat legitirnasi rezirn politik yang terpilih,
kerja KPUD jauh dari sisternatis dan terencana

Tabel 4. Aktor yang Melakukan Pelanggaran Dalam Pemilukada

Aktor Bentuk Pelanggaran Daerah Pemilukada

KPUD 1. Berpihak kepada pasangan calon tertentu Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sulawesi
2. Melakukan kecurangan dalam verifikasi Tenggara, Maluku Utara, NTI
dan penetapan calon
3. Melakukan kecurangan dalam perhitungan,
rekapitulasi, dan penetapan suara

Pasangan Calon Kepala 1. Kampanye negatif Jawa Timur, Maluku Utara, Maluku, Papua,
Dae rah 2. Kampanye hitam NTI, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara
3. Curi start kampanye
4. Membagi sembako, kaos, dsb menjelang .
pemilukada
5. Memobilisasi massa untuk tujuan tertentu

Partai Politik 1. Dualisme pencalonan NTI, Maluku Utara, Jambi, Lampung,


2. Curi start kampanye Sumatera Selatan
3. Kampanye hitam dan kampanye negatif
4. Melibatkan anak-anak
5. Bagi sembako . ..
6. Mobilisasi birokrasi

Tim Sukses dan Massa 1. Menyerbu kantor KPUD Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, Jambi,
Pendukung 2. Memaki-maki calon pasangan kepala dae-
rah tertentu .
Maluku Utara, NTT, Sumatera Utara

3. Bentrok dengan massa pendukung yang


lain
4. Menerima duit, sembako, dan kaos dari
pasangan tertentu

Pengawas Lapangan 1. Menerima duit dari pasangan tertentu Jawa Timur, NTI, Maluku Utara, Papua, lrian
2. Terlambat datang ke TPS Jaya Barat, Maluku, Lampung, Sulawesi
3. Tidak memperhatikan perhitungan suara Tenggara
4. Bekerja berdasarkan suruhan dari kelorn-

136 141
pok tertentu

136 142
Memang patut disesalkan bahwa dengan dari ketidaktegasan pemerintah dalam mengatasi
melimpahnya data empirik, tim penulis kurang permasalahan di masyarakat, antara lain ketidak•
menyodorkan solusi yang lebih aplikatif. mampuan pemerintah dalam menyelesaikan
Tawaran untuk membenahi kapasitas distributif, konflik, kurang terjaminnya public goods, per•
regulatif, dan tata kelola pemilukada dari KPUD tumbuhan ekonomi yang lambat dengan stabilitas
masih bersifat normatif dan umum. Mungkin ada keamanan yang kurang terjamin.
satu refleksi yang pantas diapresiasi ialah usulan Ketiga, fenomena weak state di mana lemah•
agar KPUD bukan hanya mengedepankan aspek nya kapasitas pemerintah dalam penyediaan
teknokratis yang tunduk pada aturan serbakaku public goods dan pembuatan kebijakan pereko•
dalam kinerjanya, namun juga mengadopsi politi• nomian yang efektif sehingga menurunkan
calfeeling. KPUD perlu menggunakan political tingkat kepercayaan masyarakat. Fenomena
feeling sehingga lebih peka dalam merespon pemerintahan yang lemah muncul di beberapa
dinamika politik lokal yang terjadi. KPUD-pun daerah seperti Labuhan Batu, Kapuas Hulu, dan
tidak terjebak dalam permainan politik yang me• Bandar Lampung.
nyesatkan dan mampu lebih tepat menempatkan Keempat, fenomena failed state (negara
diri sebagai regulator dan fasilitator pemilukada. gagal) seperti yang terjadi di Manggarai Barat,
Akan tetapi, akan lebih baik pula jika tim penulis Poso, dan Temate. Sindromfailed state ditandai
merumuskan langkah konkret yang bisa diambil oleh gagalnya pemerintah dalam menyediakan
oleh KPUD dalam mengondisikan political pelayanan publik seperti listrik, air, dan pemeli•
feeling pada setiap pertimbangan pengambilan haraanjalan raya. Transparansi dan akuntabilitas
kebijakan. pemerintahan pun merosot sehingga jauh dari
prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good
Tata Kelola Pemerintahan Pascapemilu• governance).
kada Kelima, adalah kemunculan gejala collapsed
Dengan berbagai catatan yang muncul ketika state karena adanya konflik yang berkepanjangan
pelaksanaan pemilukada, baik berdasarkan per• sehingga perekonomian masyarakat pun beranta•
timbangan sistem elektoral hingga kapabilitas kan. Kemiskinan meningkat, tiadanya akses
pihak penyelenggara, pemilukada memuncul• kesehatan yang memadai bagi masyarakat dan
kan beragam tipe karakter kepemimpinan politik tertutupnya pintu pendidikan (sekolah) bagi gene•
pemerintahan. Dari data empirik yang berserak rasi muda. Situasi seperti ini terjadi di Papua,
di lapangan, diperoleh beberapa gambaran ten• NTT, dan beberapa kabupaten di Maluku.
tang karakter kepemimpinan politik dan pemerin• Keenam adalah shadow state (negara
tahan yang terbentuk pascapemilukada. Tim bayangan) di mana pemerintah formal yang
Penulis di halaman 264-267 menginvestigasi terpilih pascapemilukada dikendalikan oleh
ada tujuh karakter pemerintahan yang muncul kekuatan politik informal di luar pemerintahan.
pascapemilukada. Manipulasi regulasi dan kebijakan publik demi
Pertama, fenomenastrong state (negarakuat) keuntungan segelintir orang menjadi hal yang
seperti yang terjadi di DKI Jakarta, Kaur, Suko• wajar danjamak terlihat dalam praktik kesehari•
harjo, Surabaya, dan Gowa. Fenomena negara an. Fenomena semacam ini terjadi di Banten dan
kuat diindikasikan oleh adanya peran pemerintah Lombok Timur.
yang sangat dominan diiringi dengan lemahnya Ketujuh adalah fenomenafragmented state
masyarakat sipil, kebijakan pembangunan meng• (negara yang terpecah) karena terjadi perpecahan
abaikan partisipasi masyarakat yang hanya di lingkaran internal koalisi pemenang pemilu•
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan kada. Kepala daerah dan wakil kepala daerah
penyediaan public goods. terpilih hanya sibuk bertikai satu sama lain
Kedua, fenomena soft state (negara lembek) sehingga abai terhadap tugas utamanya untuk
seperti yang terjadi di Dompu, Binjai, Sumba menyejahterakan masyarakat sehingga banyak
Timur, Barn, Tanah Toraja, dan Manggarai. agenda kebijakan publik yang terlupakan. Konflik
Fenomena soft state ini diyakini sebagai akibat kepemimpinan politik tersebut kontraproduktif

138 139
dengan semangat membentuk pemerintahan langsung atau tidak. Cukup banyak wilayah di
yang efektif. negara-negara maju yang stabilitas demokrasinya
tinggi tidak menggunakan pemilukada sebagai
Akan tetapi, karakterrezim yang muncul pasca•
cara untuk memilih pimpinan politik pemerin•
pilkada-pun tidak seluruhnya gagal. Pemilukada
tahannya.
di beberapa daerah turut andil dalam usaha men•
ciptakan pemerintahan dengan tata kelola yang Chain of equivalence (rantai persamaan)
baik. Akan lebih adil jika penulis juga mencan• harus terbentuk di seluruh elemen bangsa di
tumkan daerah-daerah yang tergolong berhasil mana pemilukada merupakan suatu kepenting•
tata kelola pemerintahannya pasca pemilukada an kolektif guna menuju deepening prosperity
seperti Yogyakarta, Purbalingga, Blitar, Solo, dan (pendalaman kemakmuran).245 Hegemoni bot•
lain-lain. Dengan adanya contoh daerah dengan tom up diperbolehkan di mana masyarakat dan
kepemimpinan politik pemerintahan yang baik komponen pemerintah dengan penuh kesadaran
pasca pemilukada tentunya menambah bobot isi bersepakat untuk mengawal pemilukada sebagai
buku karena terdapat ruang untuk mengomparasi• instrumen untuk menciptakan tata kelola pemerin•
kan kebaikan dan kekurangan dari pemilukada tahan yang baik.
yang sudah berjalan.
Kritik berikutnya ialah terlihat bahwa ada Daftar Pustaka
tumpang-tindih antara kategori weak state,failed Djojosoekarto, Agung dan Rudi Hauter (Ed.). (2003).
state, dan collapsed state. Indikator di masing• Pemilihan Langsung Kepala Daerah:
masing kategori ini bukan monopoli satu kategori Transformasi Menuju Demokrasi Lokal. Jakarta: Aso•
siasi DPRD Kota Seluruh Indonesia dan Kon•
saja melainkan bisa ditempatkan pada kategori
rad Adenauer-Stiftung.
yang lain sehingga pembaca tidak bisa dengan
Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe. 2008. Hege•
jelas membedakan mana weak state,failed state,
moni dan Strategi Sosialis. Yogyakarta: Res•
dan collapsed state. Untuk itu, perlu ada kata sist Book.
kunci yang menjadi pembeda tiap kategori. Sahdan, Gregorius, et. al. (Ed.). 2008. PolitikPemilu•
kada, Tantangan Merawat Demokrasi. Yogya•
Penutup karta: IPD.
Pemilukada tidak bisa disamakan sebagai per• Sulistiyanto, Priyambudi dan Maribeth Erb (Ed.).
2009. Deepening Democracy in Indonesia?
wujudan keseluruhan dari nilai demokrasi. Pe•
milukada hanya merupakan salah satu alat atau Direct Elections for Local Leaders (Pemilukada).
Singapore: ISEAS.
instrumen menuju pendalaman demokrasi (deep•
http://bappedatamiang.go.id/index.php?opfion=:com_
ening democracy). Deraj at demokrasi suatu dae•
content&task=view&id=43&Jtemid=40
rah tidak bisa diukur dengan apakah daerah yang
http://infokorupsi.com/id/apbn-apbd.php?ac=apbn•
bersangkutan mengadopsi sistem pemilukada
apbd&l=432

c45Ernesto Laclau dan Chantal Moffe, Hegemoni dan


Strategi Sosialis, (Ressist Book, 2008), hlm. 192

138 139
TENTANG PENULIS

Syarif Hidayat R. Siti Zuhro


Adalah peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Peneliti senior Pusat Penelitian Politik-LIPI dan
Indonesia (LIPI). Menyelesaikan Ph.D. dalam the Habibie Center. Menyelesaikan studi S 1 ju•
bidang Politik Pemerintahan Daerah pada the rusan Hubungan Intemasional FIS IP Universitas
Department of Asian Studies, Flinders Univer• Jember. Mendapatkan gelar M.A. Ilmu Politik
sity, Adelaide, Australia. Di antara karya yang dari the Flinders University, Adelaide, Australia;
telah dipublikasi dalam bentuk buku adalah sementara Ph.D. Ilmu Politik dari Curtin Univer•
"Hidden Autonomy: Understanding the Nature sity, Perth, Australia. Menulis buku Konflik dan
of Indonesian Decentralisation on a day-to-day Kerja Sama Antar-Daerah: Studi Kasus Penge•
Basis", dalam Erb, Maribeth, et.al. (Eds.), Re• lolaan kewenangan Pusat-Daerah yang Aplika•
gionalism in Post-Suharto Indonesia, (London: tif-Demokratis (Jakarta: LIPI, 2005), Profesiona•
Routledge Curzon (2005); Too Much Too Soon: litas dan Netralitas Birokrasi: Menuju Daya
Local State-Elites Perspective on and the Puzzle Saing Ekonomi Daerah, Studi di Empat Provinsi
of Contemporary Indonesia s Regional Autono• (Jakarta: the Habibie Center dan Hanns Seidel
my, (Rajawali Press, 2007), "Pernilukada, Money Foundation, 2007).
Politics and the Dangers of 'Informal Gover•
nance' Practices", in Martibeth Erb and Priyam• Mardyanto Wahyu Tryatmoko
budi Sulistiyanto (Eds), Deepening Democracy Memperoleh gelar sarjana Ilmu Politik dari
in Indonesia? Direct Election for Local Leaders Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
(Pemilukada), (Singapore: Institute of Southeast Gaj ah Mada pada tahun 2001. Semenj ak 2002, ia
Asia Studies/ISEAS, 2009). merupakan peneliti pada bidang Perkembangan
Politik Lokal, Pusat Penelitian Politik Lembaga
Abdul Malik Gismar Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI). Pada
Memperoleh gelar S 1 dari Fakultas Psikologi 2009, ia mendapatkan dua gelar master, yaitu
Universitas Indonesia (UI). Dengan beasiswa Magister Administrasi Publik dari Fakultas Ilmu
Fulbright ia melanjutkan studi di The Gradu• Adrninistrasi Universitas Brawijaya dan Master
ate Faculty of Political and Social Science, New of Public Policy dari National Graduate Insti•
School for Social Research, New York di mana tute for Policy Studies (GRIPS) Tokyo, Jepang.
ia mendapatkan gelar M.A. dan Ph.D., dalam Hingga saat ini, ia menekuni kajian otonorni dae•
bidang Psikologi Sosial. Minat utamanya adalah rah dan konflik.
psikologi sosial politik, yang mencakup antara
lain, isu-isu identitas nasional dan kewarga• Kisno Hadi
negaraan, hubungan dan konflik antarkelompok, Lahir di Kalahien, Barito Selatan, Kalimantan
demokrasi dan budaya demokrasi, serta gover• Tengah. Orang Dayak Dusun i�i menyelesaikan
nance. Pada saat ini menjabat sebagai Kepala S-1 pada Ilmu Pemerintahan, Sekolah Tinggi
Governance Research and Resource Center, pada Pembangunan Masyarakat Desa ''APMD" Yogya•
Partnership for Governance Reform, Jakarta. Ia karta pada tahun 2004. Semenjak 2007 ia tercatat
adalah peneliti utama dalam penyusunan Part• sebagai peneliti dan pengajar pada Pusat Kajian
nership Governance Index (PGI). Di antara karya Politik dan Pemerintahan Lokal, Jurusan Sosial
dalam bentuk buku yang akan segera terbit adalah Politik, Fakultas Ekonorni, Universitas Palangka•
Gismar, A. Malik dan Hiday at, Syarif (Eds.), Re• raya. Kecuali itu, pemah menjadi peneliti tamu
formasi Setengah Matang?(Mizan, 2010). di Institute Dayakologi, Pontianak, dan peneliti

142 141
tamu di Lembaga Studi Realino (LSR), Yogya• Universitas Indonesia. Sejak tahun 2004 sampai
karta. Hingga kini antara lain menekuni kajian sekarang menjadi salah satu peneliti di bidang
pernerintahan dan demokrasi lokal serta politik Perkernbangan Politik Nasional, Pu sat penelitian
postkolonialitas. Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(P2P-LIPI). Iajuga aktif sebagai salah satu staf
pengajar di jurusan Ilrnu Politik FIS IP UI sedari
Rozidateno Putri Hanida
2002 hingga sekarang. Beberapa tulisannya ter•
Kelahiran Talang, Solok (Sumatera Barat) ini muat dalarn buku-buku antara lain Problematika
rnenyelesaikan S 1 dan S2 di jurusan Adminis• Pengelolaan Keamanan di Wilayah Konflik:
trasi Negara, Fisipol Universitas Gadjah Mada, Aceh dan Papua, Model Kaji Ulang Pertahanan
Yogyakarta. Ia kini tercatat sebagai staf pengajar Indonesia: Supremasi Sipil dan Transformasi
dijurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Pertahanan, Evaluasi Penerapan Darurat Mili•
Andalas. Selain rnengajar, iajuga aktif melaku• ter di Aceh (2003-2004), Hubungan Sipil-Mili•
kan penelitian tentang kebijakan dan analisis ke• ter Era Megawati, Beranda Perdamaian: Aceh
bijakan. Selain itu, juga menulis di jurnal-jurnal Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki, serta kontri•
di antaranya mengenai Pergeseran Kekuasaan busi tulisannya di jurnal ilmiah, seperti Evalu•
dan Kepemimpinan pada Nagari di Sumatera asi IO Tahun Reformasi Polri (Jurnal P2P UPI,
Baral. Kesibukan lain, yaitu aktif melakukan ke• 2008).
giatan advokasi, terutama yang mendorong parti•
sipasi warga dan pemerintahan dalam mewujud•
kan pemerintahan yang baik dan bersih, melalui
Japanton Sitohang
perumusan kebijakan anggaran yang berpihak Kelahiran Pematang Siantar ini memperoleh
kepada rakyat. gelar S 1 jurusan Hubungan Internasional dari
Universitas Parahyangan Bandung pada 1978,
sementara S2 dari the Flinders University Austra•
Lili Romli
lia tahun 1992. Ia merupakan peneliti pada Pusat
la putrakelahiran Serang-Banten. Saatini rnerupa• Penelitian Politik Lernbaga Ilmu Pengetahuan
kan peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI. Se• Indonesia. Riset-riset yang telak dilakukannya
lain itu, ia juga mengajar di almamaternya, pada antara lain mengenai kajian Eropa, Asia Pasifik,
Jurusan Ilmu Politik Fisip UL Ia menyelesaikan Afrika, Australia, dan Perbatasan.
program doktor ilmu politik di Universitas Indo•
nesia. Ia menulis di beberapa jurnal ilmiah dan
Yogi Setya Permana
aktif rnelakukan penelitian yang berkaitan dengan
pemilu, partai politik, lembaga perwakilan, dan Lahir di Yogyakarta. Meraih gelar sarjana pada
otonorni daerah. jurusan Ilrnu Politik dan Pemerintahan Fakultas
Ilrnu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah
Mada pada tahun 2009. Saat ini merupakan kan•
Sarah Nuraini Siregar
didat peneliti pada Puslit Politik Lembaga Ilmu
Menyelesaikan studi di tingkat sarjana (2002) Pengetahuan Indonesia. Menjadi salah satu kon•
dan Pascasarjana (2005) pada jurusan Ilmu tributor dalam buku Kekuasaan dan Agama (Yog•
Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yakarta: Grafindo Litera Media, 2009).

142 141
BEBERAPA KARYA PENELITI P2P-LIPI

Selain karya tersebut masih terdapat karya-karya lain. Untuk informasi lebih lanjut hubungi
Pusat Dokumentasi dan Informasi P2P-LIPI, Gd. Widya Graha Lt. III.
Jln. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta
Naskah Redaksi Jurnal Penelitian Politik menerima kiriman naskah dengan
ketentuan berikut:
1. Tulisan yang dimuat harus merupakan kajian ilmiah atas isu dan peristiwa
yang berkaitan dengan politik dalam negeri dan intemasional, baik dalam
bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.
2. Tulisan merupakan karya sendiri, bukan saduran atau terjemahan dan
belum pemah dipublikasikan dalam bentuk dan bahasa apa pun.
3. Tulisan mengandung data atau pemikiran yang barn dan orisinal.
4. Tulisan yang dimuat sepenuhnya menjadi tanggungjawab pribadi penulis
yang bersangkutan.
5. Persyaratan teknis:
a. Panjang naskah untuk artikel, 20-25 halaman A4, spasi 1,5; book
review, 10-15 halamanA4, spasi 1,5.
b. Diketik dengan menggunakan hurufTimes New Roman, Font ukuran
12 dengan 1,5 spasi.
c. Naskah dilengkapi dengan daftar pustaka dan abstraksi (100-200
kata).
d. Naskah ditulis dengan format tulisan ilmiah (dilengkapi dengan :
catatan kaki dan daftar pustaka)
e. Naskah dikirim dalam bentuk printout beserta softcopy ke alamat re•
daksi atau dapat dikirirnkan melalui email redaksi (penerbitan.p2p@
gmail.com).
f. Redaksi memberikan honorarium untuk setiap artikel yang dimuat.
g. Artikel yang diterima setelah deadline akan dipertimbangkan untuk
dimuat pada edisi berikutnya.

Langganan Harga Pengganti ongkos cetak Rp50.000,- per eksemplar sudah termasuk
ongkos kirim biasa. Untuk berlangganan dan surat menyurat langsung
hubungi bagian sirkulasi Redaksi Jumal Penelitian Politik.

Alamat P2P-LIPI, Widya Graha LIPI, Lantai XI


Jln. Jend. Gatot Subroto No. 10
Jakarta 12710
Telp. (021) 525 1542, ext. 757, 763; Faks. (021) 520 7118

Anda mungkin juga menyukai