Anda di halaman 1dari 32

Pendidikan Multikultural

Kajian Tokoh Indonesia (H.A.R Tilaar)

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah

Pendidikan Agama Islam


Dosen Pengampu: Sigit Tri Utomo, M.Pd.I.

LOGO Universitas Tidar

Disusun oleh:

1. Tri Utomo (2120411159)


2. ....
3. ..

KELAS ROMBEL 01

PRODI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TIDAR
2021

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Indonesia dikenal dengan negara majemuk, hal ini dapat dilihat dengan adanya
keragaman suku, budaya, ras, dan bahasa yang ada. Namun kemajemukan itu tidak
membatasi untuk menjadi negara kesatuan, dengan semboyan “Bhinneka Tunggal
Ika” menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang mempunyai keterpaduan
dalam kehidupan dalam bertanah air.
Selain itu, Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia.
Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu
beragam dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai
persoalan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan
lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-
hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme
tersebut.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan strategi khusus untuk
memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial, ekonomi, budaya,
dan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural
menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang
berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada
pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender,
kemampuan, umur, dll. Karena itulah yang terpenting dalam pendidikan multikultural
adalah seorang guru atau dosen tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu
secara profesional mengajarkan mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan.
Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari
pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau
menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-
put yang dihasilkan dari sekolah/universitas tidak hanya cakap sesuai dengan disiplin
ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan
dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan kepercayaan
lain.
2
Bila kita mencermati berbagai kasus terjadinya konflik keagamaan akhir-akhir
ini, salah satu faktor penyebabnya adalah adanya paradigma keberagamaan
masyarakat yang bersifat eksklusif. Karena itu, diperlukan langkah-langkah preventif
untuk mencegah berkembangnya paradigma tersebut, yaitu dengan membangun
pemahaman keberagamaan yang lebih inklusif-pluralis, multikultural, humanis,
dialogis-persuasif, kontekstual melalui pendidikan, media massa, dan interaksi sosial.
Masyarakat indonesia yang plural, dilandasi dengan berbagai perbedaan, baik
horizontal meliputi kesatuan-kesatuan sosial yang berdasarkan suku bangsa, bahasa,
adat istiadat, dan agama. Sementara perbedaan yang vertikal yakni menyangkut
perbedaan-perbedaan lapisan atas dan bawah yang menyangkut bidang politik, sosial,
ekonomi, maupun budaya. Kesadaran bahwa pluralitas keagamaan dimanapun di
dunia ini, kecuali di tempat-tempat tertentu, adalah realitas yang tidak mungkin
diingkari. Kontak-kontak antara komunitas-komunitas yang berbeda budaya semakin
meningkat. Hampir tidak ada di belahan bumi sekarang ini kelompok masyarakat
yang tidak pernah mempunyai kontak dengan kelompok lain yang berbeda
budayanya. Jaringan komunikasi telah menembus tembok-tembok pemisah yang
dahulunya mengisolasi kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.1 Masyarakat
yang mempunyai konsep tersebut sangat jauh dengan peradaban toleransi yang
menghargai perbedaan.
Ulasan mengenai multikulturalisme mengharuskan juga ulasan berbagai
permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu demokrasi, globalisasi, penegakan
hak asasi manusia, dan prinsip etika. Masyarakat yang teguh berpegang pada
pandangan hidup demokratis tentu dengan sendirinya teguh memelihara dan
melindungi lingkup keragaman yang luas,sehingga budaya masing-masing kelompok
yang tergolong minoritas. kalipun dapat mencapai pemberdayaan (empowerment).
Terhadap konflik-konflik sosial yang muncul, sepatutnya dapat disikapi dengan arif,
dan hal ini tentu menuntut moralitas yang tinggi (Henry, 2003:13).2
Sejalan dengan itu kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai
manifestasi dari hasil kemampuan berfikir dan nalar manusia berakibat pada
perubahan sosial yang menyangkut bidang kehidupan yang luas, tidak saja perubahan
dalam tuntutan ekonomi, komunikasi, politik dan lain sebagainya yang selalu aktual

1
Mulyasa, Pendidikan Multikultural: Didaktika Nilai-Nilai Universalitas Kebangsaan (Malang, UIN
Maliki Press, 2012), hlm 1-2.
2
Henry Hazlitt, Dasar-Dasar Moralitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 13-14.

3
bersama dinamika kehidupan. Tapi sektor pendidikan juga ikut bersama-sama
dirancang untuk pembangunan sumber daya manusia seutuhnya, karena dunia
pendidikan merupakan sebuah usaha yang sengaja diadakan, baik secara langsung
maupun tidak langsung, untuk membantu anak didik sebagai bagian dari sumberdaya
manusia bagi Negara Indonesia masa depan yang memerlukan rancang bangunan
secara jelas dan mampu memberikan fasilitas menuju kedewasaan seorang anak didik
untuk lebih berkembang dan berkualitas.
Namun demikian, munculnya globalisasi juga telah menambah masalah baru
bagi dunia pendidikan. Bagaimana tidak, di satu sisi sistem pendidikan yang
diterapkan harus berimplikasi pada pemupukan nasionalisme peserta didik. Namun di
sisi lain hajat pemenuhan kebutuhan pendidikan global harus ditunaikan, agar para
lulusannya dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global. Bahkan
dewasa ini, dalam dunia pendidikan berkembang sebuah pemikiran tentang
pentingnya merubah paradigma pendidikan, karena pendidikan yang ada sekarang
dipandang belum mampu mengantarkan murid menjadi manusia yang sesungguhnya.
Pendidikan yang seharusnya diartikulasikan sebagai upaya memanusiakan manusia,
justru mengarah pada dehumanisasi (tidak berprikemanusiaan), sehingga manusia
seperti kehilangan arah dan tujuan hidup, serta semakin teralienasi dari hakikat
kemanusiaannya, karena pendidikan hanya dimaknai tidak lebih hanya sebagai
transmisi pengetahuan, maka murid gagal menerapkan pengetahuannya di tingkat
praksis kehidupan nyata. Istilah era globalisasi yang biasa kita dengar ternyata bukan
sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan konstruksi sosial yang
dipengaruhi oleh proses panjang perkembangan teknologi informasi yang
menghasilkan relasi sosial yang intensif di berbagai dunia. Era globalisasi itu mau
tidak mau telah datang dan menggeser nilai yang ada. Ini merupakan ancaman,
tantangan, sekaligus sebagai peluang bagi bangsa Indonesia untuk berkreasi dan
berinovasi di segala aspek kehidupan. Globalisasi dalam prakteknya telah
menunjukkan hal individualitas yang tinggi dan materialistis. Hal negatif ini juga
tergambarkan di lingkungan pendidikan. Pendidikan telah berorientasi pada bidang
ekonomi. Sampai akhirnya muncullah wacana untuk meningkatkan kembali
nasionalisme dalam upaya untuk melawan kolonialisme. Pendidikan yang berorientasi
pada bidang ekonomi diubah menjadi pendidikan yang berorientasi pada pendidikan
multikultural.

4
Menurut H.A.R. Tilaar, jenis pendidikan ini dipilih dengan
mempertimbangkan beberapa alasan, yaitu3
1. pendidikan multikultur memberikan penghargaan terhadap pluralitas budaya
2. pendidikan multikultur mengakui harkat manusia dan HAM
3. pendidikan multikultur mengembangkan tanggungjawab masyarakat dunia
4. pendidikan multikultur mengembangkan tanggungjawab manusia terhadap
planet bumi.
Konsep pendidikan multikultural menjadi komitmen global sejalan dengan
rekomendasi UNESCO, Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi UNESCO tersebut
memuat empat seruan, meliputi;
1. pendidikan seyogyanya mengembangkan kesadaran untuk memahami dan
menerima sistem nilai dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, ras, etnik,
dan kultur;
2. pendidikan seyogyanya mendorong konvergensi gagasan yang memperkokoh
perdamaian, persaudaraan dan solidaritas dalam masyarakat;
3. pendidikan seyogyanya membangun kesadaran untuk menyelesaikan konflik
secara damai;
4. pendidikan seyogyanya meningkatkan pengembangan kualitas toleransi dan
kemauan untuk berbagi secara mendalam. Komitmen ingin menjalankan
pendidikan multikultural diperkuat oleh UU.4 Yang mengatur tentang adanya
penghormatan pada wawasan berdemokrasi.

Pada makalah ini penulis akan menguraikan lebih dalam tentang


(judul).............karena menurut penulis......

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Riwayat hidup H.A.R Tilaar?
2. Bagaimanakah konsep pendidikan multikultural?
3. Bagaimanakah arah pengembangan pendidikan multikultural?

4
Imam Hanafi, Makalah Transformasi Kultur Pendidikan Islam

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup
Henry Alexis Rudolf (HAR) Tilaar adalah sosok yang sudah sangat familiar
dalam dunia pendidikan nasional di Indonesia. Ia merupakan salah seorang pendidik,
pemikir, praktisi pendidikan yang kini menjadi aset nasional bangsa ini, karena
pemikiran kritisnya dalam menyikapi kinerja pendidikan nasional. Tilaar dilahirkan
pada 16 Juni 1932 di desa yang relatif terpencil di tepi Danau Tondano, Sulawesi
Utara. Profesi mengajar sudah dijalaninya sejak tahun 1952 hingga sekarang. Kini
suami Martha Tilaar ini sebagai guru besar Emeritus pada Program Pascasarjana dan
Direktur Utama Lembaga Manajemen Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Semangat
belajar dan mengajarnya tak pernah padam dari keluarganya, ia adalah anak ketiga
yang berasal dari keturunan atau keluarga guru. Pada 12 Januari 1963, dia menikah
dengan Martha Tilaar, dan dianugerahi empat anak; Bryan David Emil, Pingkan
Engelien, Wulan Maharani, dan Kilala Esran.5 Dalam sejarahnya pendidikan
multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruangan
yang kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi, dan intelektual yang
mendorong kemunculannya. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat
bias dengan negara adidaya yaitu Amerika karena pendidikan multikultural memiliki
akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia ( HAM) dari berbagai kelompok yang
tertindas dinegeri tersebut. Banyak uraian sejarah ataupun asal usul pendidikan
multikultural yang merujuk pada gerakan sosial orang Amerika keturunan afrika dan
kelompok kulit warna lain yang mengalami praktek diskriminasi dilembaga-lembaga
publik. Diantara lembaga-lembaga tersebut adalah lembaga pendidikan. Sekitar tahun
1960-an sampai 1970-an, suara- suara yang menuntut agar lembaga pendidikan lebih
konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang. Mereka
menuntut adanya persamaan kesempatan dibidang pekerjaan dan pendidikan.
Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan
multikultural.
Jenjang pengalaman akademis Tilaar dimulai di tanah kelahirannya sendiri,
yaitu di Louwerier School (Sekolah Rakyat) pada masa kolonial Belanda pada tahun
5
H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Persfektif Abad 21,
(Magelang: Tera Indonesia, 1998), hlm. 298.

6
1946. Seusai menamatkan Sekolah Rakyat Tilaar melanjutkan pendidikannya ke Chr.
Normaal School, Tomohon dan tamat dengan pujian pada tahun 1950. Setelah lulus,
lalu ia meneruskan studinya ke pendidikan tingkat menengah atas di Kweek school,
Tomohon dan tamat dengan pujian pada tahun 1952. Pada tahun 1957-1959, Tilaar
meneruskan pendidikannya di Sekolah Pendidikan Guru B-I dan B-II Ilmu Mendidik
di Bandung dan lulus dengan pujian. Kemudian berkuliah di Universitas Indonesia
dan meraih gelar sarjana pendidikannya dengan yudisium cumlaude pada tahun 1961
Pengalaman pendidikan Tilaar sendiri lebih terkonsentrasi pada jurusan pendidikan. 6
Pendidikan yang bersifat formal.
Kemudian pada tahun 1964, Tilaar mendapatkan kesempatan belajar ke luar
negeri di Amerika Serikat. Selama berada di negeri Paman Sam tersebut (1964-1965),
dia belajar di University of Chicago melalui jalur beasiswa dari USAID. Tilaar
berhasil memperoleh gelar Master of Science of Education dari Indiana University,
Bloomington, Amerika Serikat, pada tahun 1967. Gelar Doctor of Education, Tilaar
peroleh dari universitas yang sama pada tahun 1969. Di samping itu juga, Tilaar
banyak mengikuti berbagai program Post-Graduate di beberapa universitas terkemuka
di dunia, seperti University of Wiscousin at Milwaukee pada tahun 1965, University
of Missouri pada tahun 1966, Michigan State University pada tahun 1969, University
of Sussex, Institute of Development Studies pada tahun 1972, Selain sering mengikuti
pelatihan di kampus-kampus, Tilaar juga banyak mengikuti pelatihan di lembaga-
lembaga dunia; Word Bank, Asian Development Bank (ADB), United Nations (UN),
dan IBRD. Selain itu juga, biografi Tilaar tercantum dalam Who’s Who in The World
yang terbit di Amerika Serikat pada tahun 2000.7 Tillar sangat aktif dan bergelut
dalam bidang ini selama beberapa tahun.
H.A.R. Tilaar meniti karirnya sebagai seorang pendidik, sudah dijalaninya
sejak tahun 1952, tepatnya saat masih duduk di Sekolah Rakyat. Tilaar mengabdikan
dirinya sebagai pendidik selama 45 tahun tepatnya hingga tahun 1997 saat Tilaar
menjadi guru besar pada Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Selain itu, Tilaar juga
pernah menjadi Dekan Fakultas Pasca Sarjana IKIP sekarang (Universitas Negeri
Jakarta) pada tahun 1976-1980. Tilaar juga sebagai guru besar di Universitas
Indonesia dan Universitas Kristen Indonesia Jakarta. Selama bergelut dalam dunia
pendidikan, Tilaar dikenal aktif dengan bergabung di beberapa organisasi profesi di
6
H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan.., hlm. 329.
7
H.A.R. Tilaar Perubahan Sosial dan Pendidikan Pengantar Pedagogik Transformatif untuk
Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2002), hlm 9-10.

7
antaranya Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) sebagai anggota dewan
penasihat, Anggota Ikatan Sarjana dan Pengembangan Sosial Indonesia (ISPPSI).
Selain itu, Tilaar juga tercatat sebagai anggota Himpunan Indonesia untuk
Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS) dan anggota Asosiasi Dosen Indonesia
(ADI).8 Penjelasan dan uraian pada bagian sebelumnya telah mempertebal asumsi
bahwa betapa paradigma pendidikan multikultural sangat bermanfaat untuk
membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara beragamnya etnik, ras,
agama, budaya dan kebutuhan. Paparan diatas juga memberi dorongan dan spirit bagi
institusi pendidikan Islam untuk mengakumulasikan konsep Pendidikan Multikultural
yang diharapkan mampu mengakomodir problematika yang berorientasi pada
pendidikan, agama dan budaya. Selain itu peran institusi pendidikan dalam hal ini
adalah untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai
individu, masyarakat, agama, dan keyakinan yang lain dalam setiap komunitas.
Harapannya adalah, dengan implementasi pendidikan Islam yang berwawasan
multikultural akan membantu peserta didik dalam memahami, mengerti, menerima
dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, agama, nilai dan
kepribadiannya. Melalui penanaman semangat multikulturalisme disekolah, lembaga
pendidikan akan menjadi perantara pelatihan dan penyadaran bagi generasi penerus
untuk dapat menerima perbedaan, keberagaman ras, budaya, keyakinan, agama, etnis
diantara sesama secara damai.
Selain bergelut di dunia pendidikan, Tilaar juga pernah terlibat aktif di
lingkungan birokrasi pemerintahan. Di jajaran birokrasi pemerintah, Tilaar pernah
menjabat sebagai staf ahli Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
tahun 1970-1974. Pada tahun 1984-1991, Tilaar diangkat menjadi Kepala Biro
Pendidikan dan Kebudayaan, BAPPENAS. Kemudian pada tahun 1986-1993, Tilaar
dipercaya sebagai staf inti BAPPENAS sebagai Asisten Menteri Negara Bidang
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Pada tahun 1988, atas  jasa-jasanya kepada
Negara itulah, Tilaar dianugerahi Bintang Jasa Utama Republik Indonesia.
H.A.R. Tilaar juga pernah menjadi konsultan beberapa organisasi dunia seperti
UNDP (Indonesia Country Program pada tahun 1994). Sebagai konsultan Bank Dunia
pada tahun 1996. Kemudian sebagai konsultan Asian Development Bank (ADB) pada
tahun 1995/1997. Tilaar juga tercatat sebagai anggota Dewan Penyantun ASMI

8
Multikulturalisme;Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Tranformasi Pendidikan
Nasional, (Jakarta: PT Grasindo, 2004), hlm. 400.

8
Jakarta (1995-2000). Kemudian pada tahun 1996-1999, Tilaar dipercaya sebagai
Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, dan juga tercatat
sebagai anggota Badan Pertimbangan Buku Nasional sejak tahun 1978 hingga
sekarang. Sejak tahun 1984 hingga sekarang, Tilaar juga tercatat sebagai anggota
Pengurus Harian Yayasan Buku Utama, Depdikbud (sekarang Kementerian
Pendidikan Nasional),9 yang merupakan barisan terdepan dalam pemangku
kepentingan kemajuan bangsa.
Setelah pensiun sebagai seorang guru, Tilaar menjadi turis berkeliling dunia
dan melakukan riset tentang pendidikan. Dalam masa pensiunnya, Tilaar menjadi turis
yang melancong ke berbagai negara, mengembangkan kemampuannya dan menulis
berbagai buku tentang pendidikan. Tilaar masuk ke universitas-universitas besar di
dunia dan berteman dengan guru-guru besar di negara maju. Selama puluhan tahun
gagasan pemikiran Tilaar dalam mengembangkan dunia pendidikan Indonesia yang
dituangkan dalam ratusan artikel dan puluhan buku, mengantarkan dirinya
mendapatkan penghargaan bergengsi dari salah satu universitas terkemuka di
Amerika Serikat. Pada 11 September 2009, Tilaar mendapatkan penghargaan
Distinguished Alumni Award dari Indiana University School of Education.
Distinguished Alumni Award merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan setiap
tahunnya oleh Indiana University School of Education. Pada tahun itu penghargaan
tersebut diberikan kepada tiga alumnus yang dinilai telah memberikan kontribusi
besar bagi pengembangan dunia pendidikan di negara mereka masing-masing.
Penghargaan Distinguished Alumni Award sudah diberikan sejak tahun 1977. HAR.
Tilaar adalah warga Indonesia pertama yang menerima penghargaan tersebut dalam
sebuah acara Gala Dinner di kota Bloomington, Indiana. Gala Dinner tersebut di-host
oleh Presiden School of Education Mr. Jack Humphrey dan dipandu oleh Dean
Indiana University Mr. Gerardo M. Gonzales. Selain Tilaar, dua alumnus lain yang
mendapatkan penghargaan sejenis yaitu Dr. Young Hwan Kim dari Korea Selatan
yang dinilai telah membantu pengembangan e-learning di Korea Selatan dan juga di
Asia melalui APEC, serta Dr. Joseph J. Russell yang telah memainkan peran penting
dalam pengembangan pendidikan masyarakat African-American di Amerika Serikat.
HAR. Tilaar bersama Prof. Peg Sutton dari Indiana University telah menulis buku
terbarunya tentang pendidikan Indonesia yang sudah diterbitkan Pada 5 Juli 2010

9
Ikhwanuddin dan Murtadlo (ed), Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia Baru 70 Tahun Prof. Dr.
H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed, Jakarta: Grasindo, 2002), hlm. 354.

9
kemarin, Tilaar kembali mendapatkan penghargaan bergengsi atas karya dan
pemikirannya di dunia pendidikan. Tilaar dinobatkan sebagai seratus tokoh
pendidikan dunia atau Top 100 Educator 2010 dari Cambridge England dalam bidang
Philosophy and Management of Education.10 sehingga beliau sangat terkenal di
universitas ini atas pemikirannya.
Sebagai seorang akademisi, pengamat sekaligus praktisi pendidikan, Tilaar
tentu memiliki banyak gagasan, kritik dan kegelisahan terhadap dunia pendidikan
nasional. Gagasan, kritik dan kegelisahannya kemudian ditorehkan melalui goresan
pena berupa artikel yang diterbitkan di sejumlah media massa dan disampaikan dalam
forum-forum ilmiah baik tingkat nasional maupun internasional. Kini pemikiran
Tilaar sudah tersebar di mana-mana dan diadopsi pemerintah dan berbagai lembaga
pendidikan. Artikel yang pernah di tulis Tilaar jumlahnya lebih dari 200 buah. Selain
rajin menulis artikel, Tilaar juga sudah menulis sejumlah buku tentang pendidikan.
Hingga saat ini Tilaar telah menulis buku pendidikan sebanyak belasan buku yang
sudah dipublikasikan. Buku pertama yang ditulis H.A.R. Tilaar berjudul Pendidikan
dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad XXI, diterbitkan Balai Pustaka
pada tahun 1990.
Dua tahun kemudian pada tahun 1992, Tilaar kembali menerbitkan bukunya
berjudul Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan yang
diterbitkan Rosdakarya. Buku kedua mengkaji tentang manajemen pendidikan
nasional yang sistematis dan terpadu. Gagasan-gagasan yang dikemukakan bersifat
filosofis dan menyangkut masalah yang bersifat praktis, mengingat perlunya manajer-
manajer pendidikan yang terampil agar mampu menghadapi masalah yang serius yang
timbul di tengah-tengah masyarakat dan mampu menanggulanginya dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang. Melalui buku ini Tilaar berkeinginan pengelolaan
dunia pendidikan nasional dilakukan secara efisien dan profesional supaya
menghasilkan manusia yang berkualitas dan bermutu tinggi. Tahun berikutnya, Tilaar
meluncurkan buku ketiganya berjudul Analisis Kebijakan Pendidikan (karya bersama)
yang di terbitkan Rosdakarya (1993). Kemudian pada tahun 1995, Tilaar menulis
buku Lima Puluh Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional: 1945-1995, Suatu
Analisis Kebijakan yang diterbitkan Grasindo. Buku yang mengurai tentang
perkembangan kebijakan pendidikan nasional dalam kurun waktu 1945-1995.

10
http://hamdillahversache.blogspot.com. biografi-prof-dr-har-tilaar diakses pada tanggal 26/10/2013
pukul 14.00 WIB

10
Penulisan buku ini berdasarkan analitik tematis dengan acuan historis, yakni melihat
masalah-masalah prioritas pendidikan yang timbul dalam perkembangan sejarah
kehidupan bangsa Indonesia.
Buku kelima Tilaar berjudul Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam
Era Globalisasi: Visi, Misi, dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju
2020, terbit pada tahun 1997 oleh penerbit Gramedia. Setahun kemudian Tilaar
menulis buku keenamnya berjudul Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional
yang diterbitkan Indonesia Tera pada tahun 1998. Buku ini mengulas tentang suatu
konsep pemikiran yang tajam mengenai sistem pendidikan nasional yang dihadapkan
pada berbagai tantangan fenomena pergerakan abad ini. Buku ini dimaksudkan untuk
menjadi stimulan bagi para cendekiawan agar terus menggelindingkan reformasi di
abad terkini.
Pada tahun 1999, Tilaar menerbitkan buku Pendidikan, Kebudayaan, dan
Masyarakat Madani Indonesia yang diterbitkan Rosdakarya. Melalui buku ketujuh
Tilaar ingin melihat proses pendidikan sebagai proses pembudayaan yang terjadi
dalam interaksi antar manusia dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Selain itu,
dalam buku ini, diuraikan juga bagaimana pendidikan dapat membentuk masyarakat
madani Indonesia dan bagaimana pendidikan nasional dapat menghadapi tantangan-
tantangan kehidupan global.
Buku kedelapan Tilaar berjudul Paradigma Baru Pendidikan Nasional terbit
pada tahun 2000 yang diterbitkan Rineka Cipta. Lalu Tilaar menulis buku dengan
berjudul Ide-ide Besar Oom Sam Ratulangi, diterbitkan Lembaga Manajemen
Universitas Negeri Jakarta pada tahun 2001. Kemudian pada tahun 2002, Tilaar
menulis buku kesepuluhnya dengan judul Membenahi Pendidikan Nasional yang
diterbitkan Rineka Cipta.
Buku ini memaparkan tentang beberapa agenda pembenahan pendidikan
nasional yang tidak dapat ditangguhkan lagi oleh sebab itu perlu mendapat perhatian
masyarakat untuk menggunakan peluang yang terbuka dalam meningkatkan kualitas,
sumber daya manusia. Pada tahun ini juga, Tilaar menulis buku tantang Perubahan
Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia,
diterbitkan Gramedia (2002).
Memasuki tahun 2003, Tilaar menulis buku kedua belasnya dengan judul
Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural,
diterbitkan Indonesia Tera. Di tahun berikutnya, Tilaar meluncurkan buku
11
Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi
Pendidikan Nasional, yang diterbitkan Grasindo (2004). Buku ini membahas tentang
wacana multikulturalisme dan pendidikan multikultural dalam menghadapi tantangan
global.
Buku Tilaar berjudul Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan dari
Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural, merupakan karya keempat belasnya
yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas pada tahun 2005. Buku ini mengulas tentang
seputar manifesto pendidikan nasional dalam menghadapi globalisasi. Selain itu, buku
ini juga membahas mengenai perihal agenda pendidikan tinggi nasional,
konfusianisme sebagai etika global, pendidikan agama dalam perspektif studi kultural,
hingga wawasan kebangsaan.
Selanjutnya pada bulan Oktober 2006, Tilaar kembali menerbitkan buku
dengan judul Standarisasi Pendidikan Nasional: Suatu Tinjauan Kritis yang
diterbitkan oleh PT Rineka Cipta, Jakarta. Buku yang disajikan dalam mengkritisi
kebijakan pemerintah mengenai standarisasi pendidikan nasional, kompetensi yang
dihasilkan, peran dan implikasi ujian nasional serta memuat pendapat-pendapat yang
pro dan kontra dari para pemerhati pendidikan nasional kita terhadap gerakan
standarisasi tersebut.
Sebagai seorang pakar pendidikan, Tilaar merupakan figur yang memiliki ide-
ide cemerlang mengenai bagaimana caranya mengembangkan sebuah sistem
pendidikan yang tidak meninggalkan nilai-nilai budaya lokal keindonesiaan. Tilaar
juga melihat proses pendidikan sebagai sebagai proses pembudayaan yang  terjadi
dalam interaksi antar manusia dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, yang
diarahkan menuju terciptanya suatu masyarakat madani global yang berbasis
masyarakat madani Indonesia dengan ciri khas kebudayaan nasional Indonesia yang
berbhinneka. Pendidikan merupakan kunci dari semua aspek pembangunan manusia.
Seluruh aspek kehidupan baik sosial, ekonomi, politik, dan budaya, memiliki
keterkaitan dengan pendidikan. Perubahaan sosial dan peningkatan kapasitas manusia
hanya bisa terjadi melalui proses pendidikan, tidak bisa dilakukan melalui kekuasaan.
Hal inilah yang diyakini oleh Tilaar dengan terus memperkenalkan pendidikan kritis
dalam upaya untuk mengembangkan pendidikan nasional di Indonesia. Karena
tulisan-tulisan dan karya-karyanya itulah, HAR. Tilaar diminta untuk memberikan
seminar di Harvard University pada tahun 2003. Seminar yang diselenggarakan
sebagai sebuah kritik, saat dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
12
tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengupas tentang bagaimana membangun suatu
sistem pendidikan nasional, namun hal ini tidak diperhatikan oleh bangsa Indonesia.
Padahal hanya orang-orang terbaik dan kompeten di bidangnya dapat mengadakan
seminar di salah satu universitas terbaik dunia tersebut.11 H.A.R Tilaar mendefinisikan
pendidikan multikultural merupakan suatu wacana lintas batas yang mengupas
permasalahan mengenai keadilan sosial, musyawarah, dan hak asasi manusia, isu-isu
politik, moral, edukasional dan agama.
Tilaar merasa tidak diakui oleh bangsanya sendiri, namun keahliannya dalam
bidang pendidikan telah mendapat pengakuan dari dunia internasional. Penulis lebih
dari 200 artikel itu, mendapatkan Ceritificate of Ceremony, World Record for
Achievement in Pedagogy pada tahun 2007. Biografinya tercantum dalam
ensiklopedia pendidikan (2001); Who’s Who in The World, Millenium Edition 2000,
American Bioghrapical Institute, 1000 Great Asean, International Bioghraphical
Center, England, 2003(H.A.R. Tilaar, 401. 2004). Who’s Who in American Education
2006-2007, (http://blog-indonesia.com/b). Sebelumnya telah dikemukakan bahwa
Tilaar juga adalah orang pertama dari Indonesia yang pernah diberikan penghargaan
bergengsi Distinguished Alumni Award dari salah satu universitas terkemuka di
Amerika Serikat.12 Yang merupakan pemberi anugerah kehormatan pada Tilaar.

B. Pengertian Multikulturalisme
Secara sederhana multikulturalisme berarti “keberagaman budaya”.13
Sebenarnya, ada tiga istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk
menggambarkan masyarakat yang terdiri keberagaman tersebut –baik keberagaman
11
Standarisasi Pendidikan Nasional, Suatu Tinjauan Kritis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hlm 11.
12
Standarisasi Pendidikan Nasional, Suatu Tinjauan Kritis.., hlm 12.
13
Scott Lash dan Mike Featherstone (ed.), Recognition And Difference: Politics, Identity, Multiculture
(London: Sage Publication, 2002), hlm. 2-6.

13
agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda-yaitu pluralitas (plurality), keragaman
(diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi itu sesungguhnya tidak
merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya
’ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas mengandaikan adanya ’hal-hal yang lebih dari
satu’ (many); keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang ’lebih dari satu’ itu
berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Dibandingkan dua konsep
terdahulu, multikulturalisme sebenarnya relatif baru. Secara konseptual terdapat
perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural. Inti dari
multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai
kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun
agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang
lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala
perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme
menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain,
adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting
adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Oleh karena
itu, multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of
recognition) terhadap semua perbedaan sebagai entitas dalam masyarakat yang harus
diterima, dihargai, dilindungi serta dijamin eksisitensinya.14
Istilah pendidikan multikultural secara etimologis berasal dari dua term yakni
pendidikan dan multikulturtal. Pendidikan dapat diartikan sebagai proses
pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan
cara-cara yang mendidik. Sedangkan istilah multikultural sebenarnya merupakan kata
dasar yang mendapat awalan. Kata dasar itu adalah kultur yang berarti kebudayaan,
kesopanan, atau pemeliharaan sedang awalannya adalah multi yang berarti banyak,
ragam, aneka. Dengan demikian multikultural berarti keragaman budaya, aneka,
kesopanan, atau banyak pemeliharaan. Namun dalam tulisan ini lebih diartikan
sebagai keragaman budaya sebagai ejawantah dari keragaman latar belakang
seseorang. Sebelum membicarakan pendidikan multikultural terlebih dahulu kita
harus paham mengenai tinjauan studi kultural mengenai pendidikan yang melihat
proses pendidikan tidak terlepas dari proses pembudayaan. Tinjauan kultural adalah
sebuah alur pemahaman yang mengacu pada konsep budaya dan permaslahannya.
14

14
Oleh karena itu dalam memahami apa dan bagaimana pendidikan multikultural,
paling tidak kita harus tahu batasan yang masuk dalam wilayah budaya. Pendidikan
multikultural adalah sebuah tawaran model pendidikan yang mengusung ideologi
yang memahami, menghormati, dan menghargai harkat dan martabat manusia di
manapun dia berada dan dari manapun datangnya ( secara ekonomi, sosial, budaya,
etnis, bahasa, keyakinan, atau agama, dan negara ). Pendidikan multikultural secara
inhern merupakan dambaan semua orang, lantaran keniscayaannya konsep “
memanusiakan manusia”. Pasti manusia yang menyadari kemanusiaanya dia akan
sangat membutuhkan pendidikan model pendidikan multikultural ini.
Sebagai sebuah gerakan, menurut Bhikhu Parekh, baru sekitar 1970-an
multikulturalisme muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di
Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Bikhu Parekh menggarisbawahi tiga
asumsi mendasar yang harus diperhatikan dalam kajian tentang multikulturalisme,
yaitu: Pertama, pada dasarnya manusia akan terikat dengan struktur dan sistem
budayanya sendiri dimana dia hidup dan berinteraksi. Keterikatan ini tidak berarti
bahwa manusia tidak bisa bersikap kritis terhadap sistem budaya tersebut, akan tetapi
mereka dibentuk oleh budayanya dan akan selalu melihat segala sesuatu berdasarkan
budayanya tersebut. Kedua, perbedaan budaya merupakan representasi dari sistem
nilai dan cara pandang tentang kebaikan yang berbeda pula. Oleh karena itu, suatu
budaya merupakan satu entitas yang relatif sekaligus partial dan memerlukan budaya
lain untuk memahaminya. Sehingga, tidak satu budaya-pun yang berhak memaksakan
budayanya kepada sistem budaya lain.15 Ketiga, pada dasarnya, budaya secara internal
merupakan entitas yang plural yang merefleksikan interaksi antar perbedaan tradisi
dan untaian cara pandang. Hal ini tidak berarti menegasikan koherensi dan identitas
budaya, akan tetapi budaya pada dasarnya adalah sesuatu yang majemuk, terus
berproses dan terbuka.16 Yang merupakan tonggak yang menjunjung nilai-nilai yang
ada pada diri manusia.

C. Multikulturalisme dalam Pendidikan


Sebagai sebuah cara pandang sekaligus gaya hidup, multikulturalisme menjadi
gagasan yang cukup kontekstual dengan realitas masyarakat kontemporer saat ini.
15
Raz J.. The Morality of Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1986), hlm. 375.
16
Bikhu Parekh. “What is Multiculturalism?” dalam Jurnal India Seminar, Desember 1999. Raz J..
Ethics in Public Domain: Essays in the Morality of Law and Politics (Oxford: Clarendon Press, 1996), hlm.
177.

15
Prinsip mendasar tentang kesetaraan, keadilan, keterbukaan, pengakuan terhadap
perbedaan adalah prinsip nilai yang dibutuhkan manusia di tengah himpitan budaya
global. Oleh karena itu, sebagai sebuah gerakan budaya, multikulturalisme adalah
bagian integral dalam pelbagai sistem budaya dalam masyarakat yang salah satunya
dalam pendidikan, yaitu melalui pendidikan yang berwawasan multikultural.
Pendidikan dengan wawasan mutlikultural dalam rumusan James A. Bank
adalah konsep, ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe)
dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di
dalam membentuk membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi,
kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara. 17
Sementara menurut Sonia Nieto, pendidikan multikultural adalah proses pendidikan
yang komperhensif dan mendasar bagi semua peserta didik. Jenis pendidikan ini
menentang bentuk rasisme dan segala bentuk diskriminasi di sekolah, masyarakat
dengan menerima serta mengafirmasi pluralitas (etnik, ras, bahasa, agama, ekonomi,
gender dan lain sebagainya) yang terefleksikan di antara peserta didik, komunitas
mereka, dan guru-guru. Menurutnya, pendidikan multikultur ini haruslah melekat
dalam kurikulum dan strategi pengajaran, termasuk juga dalam setiap interaksi yang
dilakukan di antara para guru, murid dan keluarga serta keseluruhan suasana belajar-
mengajar.
Karena jenis pendidikan ini merupakan pedagogi kritis, refleksi dan menjadi
basis aksi perubahan dalam masyarakat, pendidikan multikultural mengembangkan
prisip-prinsip demokrasi dalam berkeadilan sosial.18 Sementara itu, Bikhu Parekh
mendefinisikan pendidikan multikultur sebagai “an education in freedom, both in the
sense of freedom from ethnocentric prejudices and biases, and freedom to explore
and learn from other cultures and perpectives”. 19 Konsep Pendidikan multikultural
dalam perjalannya mulai melebarkan sayapnya kelompok kawasan yang secara
khusus memiliki keragaman etnis, ras, agama dan budaya seperti halnya Indonesia.
Sekarang ini, pendidikan multikultural secara umum mencakup ide pluralisme
budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargan budaya
dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.
17
James A.Bank dan Cherry A. McGee (ed). Handbook of Research on Multicultural Education (San
Francisco: Jossey-Bass, 2001), hlm. 28.
18
Sonia Nieto. Language, Culture and Teaching (Mahwah, NJ: Lawrence Earlbaum, 2002), hlm. 29.
19
Bikhu Parekh. Rethingking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge:
Harvard University Press, 2000), hlm. 230.

16
Dalam konteks keIndonesiaan, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural
semakin memeperoleh momentum pasca runtuhnya rezim yang diasumsikan dengan
otoriter-militeristik Orde Baru karena hempasan badai reformasi yang dimotori oleh
mahasiswa. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa namun
juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu,
dirasakan perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultural untuk menangkal
semangat primordialisme tersebut.
Dari beberapa dua definisi di atas, hal yang harus digarisbawahi dari diskursus
multikulturalisme dalam pendidikan adalah identitas, keterbukaan, diversitas budaya
dan transformasi sosial. Identitas sebagai salah satu elemen dalam pendidikan
mengandaikan bahwa peserta didik dan guru merupakan satu individu atau kelompok
yang merepresentasikan satu kultur tertentu dalam masyarakat. Identitas pada
dasarnya inheren dengan sikap pribadi ataupun kelompok masyarakat, karena dengan
identitas tersebutlah, mereka berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain,
termasuk pula dalam interaksi antar budaya yang berbeda.
Dengan demikian dalam pendidikan multikultur, identitas-identitas tersebut
diasah melalui interaksi, baik internal budaya (self critic) maupun eksternal budaya.
Oleh karena itu, identitas lokal atau budaya lokal merupakan muatan yang harus ada
dalam pendidikan multikultur.

Dalam masyarakat ditemukan berbagai individu atau kelompok yang berasal


dari budaya berbeda, demikian pula dalam pendidikan, diversitas tersebut tidak bisa
dielakkan. Diversitas budaya itu bisa ditemukan di kalangan peserta didik maupun
para guru yang terlibat -secara langsung atau tidak- dalam satu proses pendidikan.
Diversitas itu juga bisa ditemukan melalui pengayaan budaya-budaya lain yang ada
dan berkembang dalam konstelasi budaya, lokal, nasional dan global. Oleh karena itu,
pendidikan multikultur bukan merupakan satu bentuk pendidikan monokultur, akan
tetapi model pendidikan yang berjalan di atas rel keragaman. Diversitas budaya ini
akan mungkin tercapai dalam pendidikan jika pendidikan itu sendiri mengakui
17
keragaman yang ada, bersikap terbuka (openess) dan memberi ruang kepada setiap
perbedaan yang ada untuk terlibat dalam satu proses pendidikan.
Dalam pelaksanaannya, Banks menjelaskan lima dimensi yang harus ada
yaitu, pertama, adanya integrasi pendidikan dalam kurikulum (content integration)
yang di dalamnya melibatkan keragaman dalam satu kultur pendidikan yang tujuan
utamanya adalah menghapus prasangka. Kedua, konstruksi ilmu pengetahuan
(knowledge construction) yang diwujudkan dengan mengetahui dan memahami secara
komperhensif keragaman yang ada. Ketiga, pengurangan prasangka (prejudice
reduction) yang lahir dari interaksi antarkeragaman dalam kultur pendidikan.
Keempat, pedagogik kesetaraan manusia (equity pedagogy) yang memberi ruang dan
kesempatan yang sama kepada setiap elemen yang beragam. Kelima, pemberdayaan
kebudayaan sekolah (empowering school culture). Hal yang kelima ini adalah tujuan
dari pendidikan multikultur yaitu agar sekolah menjadi elemen pengentas sosial
(transformasi sosial) dari struktur masyarakat yang timpang kepada struktur yang
berkeadilan.20
Ketika pendidikan berperan sebagi proses individualisasi, yaitu suatu
perpaduan yang menteluruh dari dinamika individu dan partisipasinya di dalam
kehidupan masyarakat dan kebudayaannya, seperti pemikiran Berger dan Luckman,
bahwa dalam memahami kehidupan (life world) selalu proses dialektik antara the self
(individu) dan dunia sosio kultural. 21 Bagaimanapun untuk menganalisis internalisasi
nilai budaya, perlu dipertimbangkan mekanisme sosial itu berlangsung.22 Sehingga
keberagaman dipandang suatu keunikan yang menimbulkan persatuan dalam
berinteraksi sosial.
Memaknai multikultural dalam konteks pendidikan memilki implikasi bahwa,
secara operasional pendidikan multikultural dasarnya adalah program pendidikan
yang menyediakan sumber belajar yang beragam bagi peserta didik (multiple learning
environment). Penerapannya disesuaikan dengan kebutuhan akademik peserta didik.
Beberapa ahli pendidikan semisal Hilda Hernandez yang dikutip dari karyanya yang
berjudul: “Multicultural Education, A Teacher Guide to linking context, proses and
content”, menjelaskan bahwa multicultural education adalah suatu proses pendidikan
20
James A. Banks. “Multicultural Education: Historical Development.., hlm. 3-24.
21
Berger dan Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (Jakarta:
LP3ES, 1990).
22
A. Khozin dkk., Buku Penunjang Berpikir Teoritis Merancang Proposal, (Surabaya, Program
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2006), hlm 136.

18
yang memungkinkan individu untuk mengembangkan diri dengan cara merasa,
menilai, dan berperilaku dalam sistem budaya yang berbeda dengan budaya mereka.23
Ahli pendidikan seperti Gollnick menyebutkan adanya unsur yang mendasari
prinsip-prinsip multikultural yaitu, kelas sosial, etnik, gender, agama bahasa, umur
dan pendidikan. Gallnick juga menjelaskan bahwa konsep multicultural education
berdasarkan budaya mempunyai keyakinan dan asumsi sebagai berikut:
1. Perbedaan budaya mempunyai kekuatan nilai.
2. Sekolah harus dibentuk untuk mengekspresikan makna dan hak asasi manusia dan
menghormati hak asasi manusia.
3. Keadilan sosial dan persamaan hak bagi seluruh masyarakat harus menjadi puncak
kepentingan dalam mendesain dan melaksanakan kurikulum.
4. Sikap dan nilai-nilai penting yang dapat membentuk masyarakat, demkorasi perlu
untuk dipromosikan di sekolah.
5. Para pendidik seharusnya bekerja sama dengan keluarga dan masyarakat untuk
menciptakan lingkungan yang mendukung multikulturalisme.24

D. Multikulturalisme Membangun Kesadaran Etik Kebangsaan


Wacana multikulturalisme yang menghangat akhir-akhir ini kurang terwadahi
dalam ruang diskusi di masyarakat. Hal ini menyebabkan masyarakat kurang begitu
yakin dam sering kali memunculkan berbagai kontroversi dalam merumuskan seputar
paham multikulturalisme. Apalagi, masih saja terus berlangsung penolakan dari
sebagian rapuhnya tata nilai kehidupan dalam tataran praktis. 25 Posisi Islam dalam
membangun dialog dengan masyarakat sedemikian strategis. Ini yang menjadikan
Islam memiliki peran besar dalam rangka membangun kerjasama yang saling
23
Amin Abdullah, “Pengembangan Kajian Keislaman: Metode dan Pendekatannya, (Makalah
disampaikan pada Annual Conference pada Program Pascasarjana UIN/ IAIN/ STAIN/ se-Indonesia di padang
pada tanggal 26-29 desember 2002), hlm 1-2.
24
Donna M.Gollnick dan Philip C.Chin dalam “ Multicultural Education in a Pluralistic Society” (New
Jersey: Pearson Education Inc, 2002).
25
J.P Kontter dan J.L. Heskett, Dampak Budaya Perusakan Terhadap Kinerja (Jakarta: Prenhalindo,
1992)

19
menguntungkan dan menghargai antar elemen masyarakat dari berbagai karakter dan
latar belakangnya melalui lembaga pendidikan keagamaan.
Seperti yang dikutip Zubaedi dari James A. Banks, tujuan pendidikan
multikultural adalah sebagai berikut :
“The goal of Multicultural education for freedom, Multicultural education should help
student to develop the knowledge, attitude, and skills to participate in a democratic
and free society…Multicultural education promotes the freedom, abilities and skills to
cross ethnic and cultural boundries to participation in other cultures and group.”

Artinya: “Tujuan pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk keebebasan.


Pendidikan multikultural dimaksudkan untuk membantu para siswa dalam
mengembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan untuk berpartisipasi dalam
masyarakat yang bebas dan demokratis. Pendidikan multikultural mengembnagkan
kebebasan, kemampuan dan keterampilan dalam menerobos batas-batas budaya dan
etnis agar dapat berpartisipasi dengan kebudayan dan kelompok lain.”26 Jika
dijabarkan lebih detail , Pendidikan Multikultural paling tidak memiliki lima tujuan,
Pertama, menigkatkan pemahaman diri dan konsep diri secara baik. Kedua,
menigkatkan kepekaan dalam memahami orang lain, termasuk terhadap berbagai
kelompok budaya di negaranya sendiri dan negara lain. Ketiga, meningkatkan
kemampuan untuk merasakan dan memahami kemajemukan, interpretasi kebangsaan
dan budaya yang kadangkadang bertentangan, meyangkut sebuah peristiwa, nilai dan
prilaku. Keempat, membuka pikiran ketika merespon isu.
Kelima, memahami latar belakang munculnya pandangan klise atau kuno, menjauhi
pandangan streotipe dan mau menghargai semua orang. Karena pendidikan
multikultural memiliki dua tujuan yakni tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awal
merupakan tujuan sementara karena tujuan ini hanya berfungsi sebagai perantara agar
tujuan akhirnya dapat dicapai dengan baik. Tujuan awal pendidikan multikultural
yaitu membangun wacana pendidikan multikultural dikalangan guru, dosen, ahli
pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan dan mahasiswa jurusan
ilmu pendidikan maupun mahasiswa umum. Harapannya adalah apabila mereka
mempunyai wacana pendidikan multikultural yang baik maka kelak mereka tidak
hanya mampu untuk membangun kecakapun dan keahlian siswa terhadap mata

26
Zubaedi, “Telaah konsep Multikulturalisme dan implementasinya dalam dunia pendidikan”,
Hermenia Vol.3 No.1, januari-Juni, 2004, hal. 1-2

20
pelajaran yang diajarkannya. Akan tetapi juga mampu untuk menjadi transformator
pendidikan multikultural yang mampu menanamkan nilai-nilai pluralisme,
humanisme dan demokrasi secara langsung disekolah kepada para peserta didik.
Adapun tujuan akhir pendidikan multikultural adalah, peserta didik tidak
hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya akan
tetapi diharapkan juga bahwa para peserta didik akan mempunyai karakter yang kuat
untuk selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis.27 Singkatnya paradigma
pendidikan multikultural diharapkan mampu menghapus stereotip, sikap dan
pandangan egoistik, individualistik dan eklusif dikalangan anak didik. Sebaliknya, dia
senantiasa dikondisikan kearah tumbuhnya pandangan yang mengakui bahwa
keberadaan dirinya tidak bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan lingkungan
sekeliling yang realitasnya terdiri atas pluralitas, ernisitas, rasis, agama, budaya. Oleh
karena itu, cukup proporsional jika proses pengenalan anak didik khususnya pada
pendidikan Islam terhadap budaya, suku bangsa, dan masyarakat global. Pengenalan
kebudayaan artinya anak dikenalkan dengan berbagai jenis tempat ibadah, lembaga
kemasyarakatan dan sekolah. Pengenalan suku bangsa artinya anak dilatih untuk bisa
hidup sesuai kemampuannya dan berperan positif sebagai salah seorang warga dari
masyarakatnya. Sementara lewat pengenalan secara global diharapkan siswa memiliki
sebuah pemahaman tentang bagaimana mereka bisa mengambil peran dalam
percaturan kehidupan global yang akan dihadapi.

Sementara itu pendidikan Islam yang selama ini identik dengan pendidikan
agama paling tidak diharapkan akan mampu mengakumulasikan nilai-nilai agama
baik yang bersifat tekstual ataupun faktual. Selain itu pendidikan agama semestinya
diarahkan untuk mengajak orang menerima dan terbuka terhadap pluralisme. Dengan
begitu peserta pendidikan diberikan kesempatan untuk mencerna "rasa
keberagamaannya" dengan bahasanya sendiri dan menumbuhkan kesadaran
keberagamaan itu di tengah-tengah komunitas lain di luarnya. Di sini peserta
pendidikan tidak dipaksa memahami pemahaman dan pengalaman lain dalam bahasa
sang guru. Peserta pendidikan dilatih untuk menggunakan kepekaan atas pluralitas
dan memahaminya dengan bahasa batinnya sendiri. Dengan demikian rasa toleransi
akan mulai tertata dalam sisi benak peserta didik, sehingga akan menimbulkan efek

27
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural ; Cross Cultural Understanding untuk Demokrasi dan
Keadilan , (Yogyakarta, Pilar Media, 2005), hal. 26

21
positif dan cita-cita dan tujuan pendidikan multikultural akan kita petik hasilnya.
Dalam imlementasinya pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang
merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
2. Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada
penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
3. Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut
pandang kebudayaan yang berbeda.
4. Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinsip pokok dalam
memberantan pandangan skeptis tentang ras, budaya, dan agama.
5. Menyiapkan kurikulum pendidikan agama yang harus bisa memberikan jaminan
bagi terselenggaranya dialog, dengan menyajikan berbagai kearifan masing-
masing ajaran dan pengalaman religius masing-masing individu.
Sedangkan implementasinya dalam pendidikan Islam pendidikan multikultural
paling tidak harus mampu mengintegrasikan antara nilai-nilai agama, budaya,
pendidikan ( Islam dan umum). Selain mengintegrasikan nilai-nilai juga diharapkan
mampu memberikan solusi terhadap problem yang selama ini menyelubungi antara
pendidikan umum dengan pendidikan agama, paling tidak pendidikan multikultural
bisa menjadi mediator dalam merangkul kedua sistem pendidikan yang berbeda itu.

Mainstream dalam pemabahasan pendidikan multiklutural merupakan sesuatu


yang sangat komplek, sifat universalitas yang melekat pada sisi pendidikan
multikultural merupakan arah yang harus dibidik. Adapun yang menjadi bidikan
pendidikan multikultural adalah :
1. Budaya
Menurut Edward B. Tylor seperti dikutip H.A.R. Tilaar dalam bukunya
Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Budaya adalah suatu
keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum,
adat-istiadat, serta kemmapuankemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat.28 Sedang menurut menurut Emil Durkheim

28
H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, ( Bandung, Remaja
Rosda Karya, 2000), hal. 39

22
seperti dikutip ainul Yaqin kultur adalah sekelompok masyarakat yang menganut
sekumpulan symbol-simbol yang mengikat di dalam sebuah masyarakat untuk
diterapkan. Masih dikutip Ainul Clifford Geertz mendefinisikan kultur adalah
sebuah cara yang dipakai semua anggota dalam sebuah kelompok masyarakat
untuk memahami siapa diri mereka dan untuk memberi arti pada kehidupan
mereka.
Memang, hingga saat ini belum ada kesepakatan baku tentang arti apa
yang dinamakan budaya dikalangan para ilmuwan. Kondisi ini disebabkan karena
makna kultur itu sendiri sangat luas. Oleh sebab itu, langkah pertama yang perlu
dilakukan untuk memahami arti kultur di dalam pendidikan multikultural adalah
membangun pemahaman kita terlebih dahulu tentang karakteristik kultur.
Memahami karakter kultur ini memang sangat penting agar pemahaman tentang
kultur tidak sempit. Pada umumnya, kita sering mengartikan kultur hanya sebatas
pada budaya dan kebiasaan sekelompok orang pada daerah tertentu Kebudayan
merupakan suatu proses pemanusiaan artinya di dalam kehidupan berbudaya
terjadi perubahan, perkembangan, motivasi. Di dalam proses pemanusiaan
tersebut yang terpenting bukan hanya prosedur dan teknologi tetapi juga jangan
dilupakan isi atau materi dari perubahan dan perkembangan.
Dalam perspektif multikultural budaya memiliki fungsi sebagai
transformasi nilai-nilai budaya dalam upaya memberikan pemahaman kepada
masyarakat Secara langsung. Karena, Manusia memiliki kecenderungan menjadi
fanatis dan chauvinis apabila sudah berbicara tentang perbedaan dan keunggulan
masing-masing terlebih dalam urusan budaya. Hal itu perlu dicegah agar tidak
berlarut. Antara pendidikan dan kebudayaan memiliki keterkaitan yang sangat erat
dalam arti keduanya berkenan dengan suatu hal yang sama ialah nilai-nilai. Nilai-
nilai budaya pada dasarnya mulai tertanam dalam masyarakat dan akan
memasyarakat dalam lingkungan yang lebih besar, sehingga konsep
multikulturalisme akan dipandang memiliki makna bahwa pendidikan
multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan
apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak
didik. Selain sebagai transformasi nilai-nilai budaya, budaya juga memiliki peran
yakni sebagai bentuk-bentuk transformatif proses pendekatan manusia pada
kedudukan tuhan atau Taqarrub Illallah.

23
Pengertian demikian akan mendorong pengembangan kebudayaan secara
terus menerus kearah kualifikasi ilahiah, sehingga secara tidak langsung akan
mempertingi martabat kemanuisiaannya. Inilah basis etis dari seluruh gerak
berbagai bidang kehidupan manusia dibidang social, ekonomi, politik dan iptek.29
2. Pendidikan
Pendidikan menurut Afifi Al Hadi seperti dikutip Syamsul Ma’arif dalam
bukunya Pendidikan Pluralisme di Indonesia adalah Usaha sadar, terarah, dan
disertai dengan pemahaman yang baik untuk menciptakan perubahan-perubahan
yang diharapkan pada perilaku individu, dan selanjutnya pada perilaku komunitas
dimana individu itu tetap hidup. Pendidikan dalam perspektif multikultural adalah
sebagai mediator paradigma pendidikan multikultural melalui kurikulum yang ada
dibangku sekolah. Keberadaan pendidikan sangat dirasa vital oleh masyarakat.
Selain transfer of knowledge, pendidikan juga memiliki fungsi transfer of value
yakni sebagai pengembang nilai norma kemasyarakatan. Seperti halnya sikap
dapat memahami pluralitas, kebhinekaan, dan keragaman. Sehingga, seeorang
akan dapat berinteraksi sekaligus mampu menciptakan hubungan harmonis
dengan sesamanya, meskipun berbeda etnis, agama, dan kebudayaan.30
Pendidikan yang sebenarnya adalah tidak hanya mengukur pada aspek
keberhasilan siswa dalam memperoleh nilai yang bagus. Tetapi lebih pada aspek
pemahaman pada mentalitas siswa melalui keteladanan dan kesungguhan.
Barangkali pendidikan yang lebih mampu menjawab problematika yang demikian
adalah pendidikan multikultural. Pendidikan model ini mengusung ideologi yang
memahami, menghormati dan menghargai harkat dan martabat manusia di
manapun dia berada dan dari manapun datangnya ( secara ekonomi, social,
budaya, etnis, bahasa, keyakinan), sehingga konsep memanusiakan manusia akan
terakumulasi. Pendidikan seharusnya mengajarkan kepada setiap anggota
masyarakat untuk dapat menghargai kemajemukan dan membekali mereka dengan
kemampuan untuk hidup bersama secara rukun sebagai sesama umat manusia.
Seperti halnya pendidikan multikultural.
Dalam pendidikan multikultural konsep “memanusiakan manusia” inilah
yang menjadi langkah utama dalam mengakumulasikan pendidikan model
multikultural ini pasti manusia yang menyadari kemanusiaannya akan sangat

29
Abdul Munir Mulkhan, Strategi Sufistik Semar, ( Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2003), hal. 273
30
Syamsul ma’arif , Pendidikan Pluralisme di Indonesia, ( Yogyakarta, Logung, 2005), hal.1

24
membutuhkan model pendidikan seperti halnya pendidikan multikultural.
Sebenarnya, antara pendidikan dan kebudayaan pada dasarnya memiliki hubungan
yang saling berkaitan.
Tidak ada kebudayaan tanpa pendidikan dan begitu pula tidak ada praksis
pendidikan didalam vakum tetapi selalu berada didalam lingkup kebudayaan yang
konkret. Apabila kita ingin membangun kembali masyarakat Indonesia dari krisis,
maka tugas tersebut merupakan suatu tugas pembangunan kembali budaya bangsa.
Pendidikan dewasa ini telah terlempar dari kebudayaan. Selain itu, perubahan
kebudayaan tanpa didukung oleh praksis pendidikan, akan menyebabkan berbagai
bentuk reformasi kebudayaan yang sia-sia berkesinambungan adalah reformasi
yang didukung oleh proses pendidikan sebagai proses pembudayaan.31
Pemahaman tentang arti agama ini penting karena dapat membedakan dan
memahami apa yang disebut agama.
Nama sebuah agama adalah memberikan pengertian adalah sebagai wadah
bagi pemeluknya untuk menyembah tuhannya. Nama agama adalah nama dari
institusi religius seperti Islam, Kristen, Budha, Hindu dan lain-lain adalah pesan-
pesan yang harus dilakukan dan ditinggalkan oleh semua penganut agama. Ini
juga yang menjadi realitas macam-macam agama di Indonesia. Di Indonesia
agama sering menjadi alat dalam upaya pemecah belah dan tidak heran jika agama
juga menjadi bahan permusuhan dan akhirnya menjadi pertentangan.

Di Indonesia, kasus pertentangan antar agama kerap juga terjadi. Agama


juga sering kali dapat menjadi pemicu timbulnya percikan api yang dapat
menyebabkan konflik horizontal antar pemeluk agama. Setelah adanya kenyataan
pahit yang demikian itu, maka sangat perlu untuk membangun upaya-upaya
preventif agar masalah pertentangan agama tidak akan terulang lagi dimasa yang
akan datang. Selain itu, menyelenggarakan dialog antar agama juga dapat
meminimalisir kemungkinan terburuk yang akan terjadi dalam konflik
keagamaan. Untuk itu dalam mengembangkan sayapnya pendidikan multikultural,
seorang guru atau dosen tidak hanya dituntut mampu secara professional
mengajarkan mata pelajaran yang diajarkannya. Akan tetapi mereka juga
diharapkan mampu menanamkan nilai-nilai keberagamaan inklusif pada siswa.
3. Etnis dan Ras
31
H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, ( Jakarta, Rieneka Cipta, 2000), hal.6

25
Dalam pendidikan multikultural, membangun pemahaman kritis tentang
makna etnis dan ras adalah penting, karena hal ini dapat membangun dan
menumbuhkan pemahaman positif guru dan peserta didik terhadap kelompok etnis
dan ras lainnya. Sering kali pengertian etnis dan ras terlihat saling tumpang tindih
ketika menyebutkan kedua istilah tersebut. Padahal keduanya, antara etnis dan ras
mempunyai makna yang berbeda. Kata etnis berasal dari kata “ethnos” yang
dalam bahasa yunani berarti masyarakat yang didefinisikan secara sosial
berdasarkan berbagai macam karakteristik kulturnya. Artinya, karakteristik-
karakteristik kultur ini dapat berupa bahasa, suku. Sedangkan ras dapat diartikan
sebagai kelompok dari pada populasi yang bercampur dari beberapa spesies.32
Dalam kaca mata multikultural ras dan etnis merupakan sesuatu yang harus
dipahami, karena sering orang salah memahami dan selalu menganggap ras,
etnisnyalah yang paling unggul. Sehingga ketika hal itu menjadi patokan semua
populasi ras atau etnis akan terjadi pertentangan. Dalam hal ini peran pendidikan
multikultural adalah sebagai fasilisator dalam mengupayakan menyepahamkan
kesamaan kedudukan diantara sesama.

4. Bahasa
Secara umum bahasa adalah sebuah kumpulan dari bermacam-macam
symbol yang dibentuk dengan menggunakan aturan-aturan yang kemudian
digunakan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Dalam definisi yang
lain bahasa adalah instrumen dari logika yang berfungsi sebagai media
komunikasi dan berinteraksi dalam bentuk bertukar fikiran, perasaan antara satu
dan yang lainnya. Secara lahiriyah kondisi masyarakat Indonesia adalah
masyarakat yang majemuk ( Pluralistic Society), memiliki berbagai keragaman
diantaranya bahasa ( Multilingual). Keragaman bahasa ini juga menjadi
keragaman masyarakat. Di Indonesia terdapat kurang lebih 250 macam bahasa.
Bahkan bias jadi lebih dari jumlah tersebut apabila dihitung sekaligus dengan
aksen dan dialek yang juga sangat beragam.33

32
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural.., hlm. 98.
33
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural.., hlm. 72-74.

26
Sebenarnya, pendidikan multikultural merupakan sebuah istilah yang
sudah lama muncul dalam dunia pendidikan. Hanya saja, sebagaimana telah
dinyatakan oleh Ainurrafiq Dawam dalam bukunya Emoh Sekolah, gaung dan
peranannya kurang begitu meyakinkan bagi masyarakat yang seharusnya
mengapresiasi secara maksimal terhadap diskursus ini. Masyarakat yang harus
mengapresiasi pendidikan multikultural adalah masyarakat yang secara obyektif
memiliki anggota yang heterogenitas dan pluralitas. Paling tidak pluralitas dan
heterogenitas anggota masyrakat tersebut bias dilihat pada eksistensi keragaman
suku, ras, agama dan budaya.
Istilah Multikultural itu sendiri berakar darai kata kultur yang berarti
budaya atau peradaban. Dalam wacana pendidikan multikultural muncul key word
yakni pluralitas dan kultural. Sebab, pemahaman terhadap pluralitas mencakup
segala peradaban dan keragaman. Sedang kultur itu sendiri tidak bisa terlepas dari
empat tema penting yaitu agama, ras, suku dan budaya. 34 Sebenarnya masyarakat
Indonesia telah lama akrab dengan diktum Bhineka Tunggal Ika, sebagaimana
telah penulis jelaskan panjang lebar diatas. Namun sayangnya, semboyan tersebut
selama ini hanya menempati kesadaran kognitif masyarakat mayoritas dan
menjadi jargon lip service penguasa belaka, tidak diimplementasikan secara nyata
dan tepat dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari.

Dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural dalam kehidupan


bermasyarakat, paling tidak ada beberapa jalur yang kita tempuh diantaranya
adalah pendidikan. Pendidikan yang selama ini dipercaya masyarakat adalah
mampu mengadakan perubahan baik dari fiscal ataupun pola fikir manusia.
Dengan berasumsi bahwa pendidikan akan mampu membawa perubahan pada diri
manusia, maka wacana multikultural dapat dianalogkan dengan pendidikan itu
sendiri. Artinya, Pendidikan multikultural menolak sebuah sistem bisnis dalam
dunia pendidikan. Atas dasar inilah maka pendidikan multikultural sangat
menekankan orientasi pendidikan pada siswa atau komunitas tertentu, yang
memungkinkan seorang guru memahami keyakinan serta nilai-nilai sosiobudaya
siswa dalam konteks kurikulum dan kebudayaan masyarakat ketika merancang
subuah model pembelajarannya. Dalam hal ini para pendidik diharapkan mampu
untuk mengakumulasikan metode-metode secara antropologis untuk
34
Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme Di Indonesia, ( Yogyakarta, Logung: 2005), hal. 90-91.

27
mengidentifikasi kelompok sosio-budaya, nilai-nilai serta praktiknya yang
mempengaruhi proses keberlangsungan sistem tersebut. Dengan ini paling tidak
peminat pendidikan akan mencari alternatif yang dianggap paling mampu untuk
menjawab kegelisahan-kegelisahan sistem yang dianggap perlu dimarginalkan.
M Hasby Ash Shidiqie dalam tafsir An Nur bahasa yang beragam itu
adalah proses imitasi suara yang terdengar oleh sekelompok manusia. Pendapat ini
logis, karena kekuatan meniru pada manusia adalah anugerah yang Allah berikan
kepada mahluknya.35 Sedang dalam tafsir Ibnu Katsir disana disebutkan bahasa
adalah sebagai tanda khusus pada setiap manusia. Tanda ini berbeda dari tanda
yang dimiliki oleh manusia lain.36

Manusia dan pendidikan adalah dua hal yang secara substansial tidak dapat
dipisahkan. Keduanya hanya dapat dipisahkan secara teoritis dan analisis.
Manusia selama proses kehidupannya senantiasa menjalani proses yaitu
pendidikan. Bila pendidikan bertujuan membina manusia yang utuh dalam semua
segi kemanusiaanya, maka pendidikan yang bertujuan untuk membantu generasi
muda menjadi manusia haruslah menyangkut semua dimensi manusia.
Kemunculan pendidikan multikultural merupakan celah yang membawa nilai
tersendiri. Karena selain memiliki cita-cita luhur, pendidikan multikultural juga
mengorientasikan pendidikan dengan pendidikan untuk semua.

35
TM. Hasby Ash Shidiqie, Tafsir Al Quranul Majid An Nur, ( Semarang, Pustaka Rizki Putra,
2000), hal. 3170.
36
Muhammad Nasib Arrifai,Taisiru al-Aliyyul qadir li Ikhtisari tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta, Gema
Insani Press, 1999), hal. 760

28
BAB III

Penutup

A. Kesimpulan
H.A.R Tilaar menyatakan bahwa pendidikan multikultural tidak bertujuan
menghilangkan perbedaan akan tetapi menghilangkan prasangka, menimbulkan
dialog, mengenal perbedaan sehingga timbul rasa saling menghargai dan
mengapresiasi. Dari sinilah akan muncul modal kultural akan sangat rawan
pepecahan. Modal kultural ini lahir dari kekayaan kearifan lokal bangsa yang jika
diangkat bisa menjadi Pendidikan multikultural sebaiknya memberikan kontribusi

29
dalam kemajuan bangsa. Karena dengan bangsa yang kehilangan modal kultural akan
sangat rawan pepecahan. Modal kultural ini lahir dari kekayaan kearifan lokal bangsa
yang dikenal majemuk, pendidikan multikultural ini sangat strategis dapat mengelola
kemajemukan secara kreatif.

Daftar Pustaka

A. Khozin dkk., Buku Penunjang Berpikir Teoritis Merancang Proposal, (Surabaya, Program
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2006).
Abdullah, Amin. “Pengembangan Kajian Keislaman: Metode dan Pendekatannya, (Makalah
disampaikan pada Annual Conference pada Program Pascasarjana UIN/ IAIN/
STAIN/ se-Indonesia di padang pada tanggal 26-29 desember 2002).
Berger dan Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan
(Jakarta: LP3ES, 1990).

30
Bikhu Parekh. “What is Multiculturalism?” dalam Jurnal India Seminar, Desember 1999.
Raz J.. Ethics in Public Domain: Essays in the Morality of Law and Politics (Oxford:
Clarendon Press, 1996).
Donna M.Gollnick dan Philip C.Chin dalam “ Multicultural Education in a Pluralistic
Society” (New Jersey: Pearson Education Inc, 2002).

Hanafi, Imam. Makalah Transformasi Kultur Pendidikan Islam.


Ikhwanuddin, dkk.), Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia Baru 70 Tahun Prof. Dr.
H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed, Jakarta: Grasindo, 2002).
J.P Kontter dan J.L. Heskett, Dampak Budaya Perusakan Terhadap Kinerja (Jakarta:
Prenhalindo, 1992).
James A.Bank dan Cherry A. McGee (ed). Handbook of Research on Multicultural
Education (San Francisco: Jossey-Bass, 2001).

Mulyasa, Pendidikan Multikultural: Didaktika Nilai-Nilai Universalitas Kebangsaan


(Malang, UIN Maliki Press, 2012).
Nieto, Sonia. Language, Culture and Teaching (Mahwah, NJ: Lawrence Earlbaum, 2002).
Parekh, Bikhu. Rethingking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory
(Cambridge: Harvard University Press, 2000).
Raz J.. The Morality of Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1986).
Scott Lash dan Mike Featherstone (ed.), Recognition And Difference: Politics, Identity,
Multiculture (London: Sage Publication, 2002).
Tilaar, H.A.R Standarisasi Pendidikan Nasional, Suatu Tinjauan Kritis, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2006).
Tilaar, H.A.R. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Persfektif Abad 21,
(Magelang: Tera Indonesia, 1998).

Hazlitt, Henry. Dasar-Dasar Moralitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).


http://hamdillahversache.blogspot.com. biografi-prof-dr-har-tilaar diakses pada tanggal
26/10/2013 pukul 14.00 WIB.

31
32

Anda mungkin juga menyukai