Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

SISTEM PEMERINTAHAN DESA


UPAYA MENINGKATKAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT DI DESA BONISARI
PENGESAHAN MAKALAH

UPAYA MENINGKATKAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT


DI DESA BONISARI

Telah di periksa dan dipersetujui,


Pada Tanggal: 15 Maret 2021

Dosen

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun
isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah
satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca . Harapan kami semoga
makalah ini membantu menambah  pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
sehingga kami dapat memperbaiki  bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengetahuan yang
kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu, kami harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.

Tangerang, 12 Maret 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

PENGESAHAN MAKALAH .................................................................................ii


KATA PENGANTAR..............................................................................................iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..................................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan..............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Desa
2.2 Perbedaan Desa Dengan Kelurahan
2.3 Sejarah Pertumbuhan Desa
2.4 Otonomi Daerah ...............................................................................................3
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran ....................................................................................................................5
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemerintahan Desa adalah lembaga Pemerintah yang bertugas mengelola


wilayah tingkat Desa. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui
dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sekarang banyak sekali permasalahan permasalahan di desa salah satunya


pemberdayaan masyarakat dalam meneningkatkan nilai ekonomi masyarakat desa.
Potens desa menjadi sangat penting saat ini. Memberikan Perhatian yang besar pada
pertumbuhan ekonomi desa merupakan salah satu langkah awal dalam upaya
meningkatakan ekonomi di seluruh pelosok negeri. Caranya melalui beberapa
program yang ditujukan di setiap desa-desa.

Sangat Penting bagi setiap kepala desa untuk mengetahui potensi Ekonomi
desanya. Hal ini sangat erat kaitanya dengan upaya peningkatan kesehjateraan
masyarakat. Kemajuan dan Kemandirian desa sanagt ditentukan oleh sejauhmana
kemapuan pemerintah desa dan keuangan desanya mampu berkolaborasi atau kerja
sama dengan kelembagaan desa serta dukungan kesadaran dan partisipasi masyarakat
untuk dapat mengelola potensi desanya meningkatkan kualiatas hidup masyarakat
desa.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Meningkatkan Perekonomian Masyarakat Di Desa Bonisari
1.3 Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dari pembuatan Makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Sistem Pemerintahan Desa yang di berikan oleh bpk Dr. Muljadi, MM Sekaligus
diharapkan menjadi wawasan bagi penulis dan pembaca.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertan Desa

Desa Menurut Undang Undang di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, desa telah
memiliki tempat khusus dan diatur dalam undang undang, berikut adalah pengertian desa
berdasarkan undang undang yang ada di Indonesia dari tahun ke tahun, sampai yang terbaru
berdasarkan undang undang No. 6 tahun 2014.

1. UU no. 5 tahun 1979

Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat
termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan
terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. UU no. 22 tahun 1999

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat
yang diakui dalam sistem pemerintahan Nasional dan berada di daerah Kabupaten.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat
yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4. UU no. 6 tahun 2014

Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk

3
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desa menurut para Ahli

Selain dalam undang-undang Desa kita dapat memiliki pengertian dari banyak alhi yaitu
diantarnya sebagai berikut:

1. H.A.W. Widjaja

Pengertian Desa dan Kelurahan Menurut Widjaja, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran
dalam Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan
pemberdayaan masyarakat.

2. R. BintartoMenurut Bintarto

Desa adalah perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis, sosial,
ekonomis politik, kultural setempat dalam hubungan dan pengaruh timbal balik dengan daerah
lain.

3. Sutarjo Kartohadikusumo

Menurut Sutadjo Kartohadikusumo, desa merupakan kesatuan hukum tempat tinggal suatu
masyarakat yang berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri merupakan pemerintahan
terendah di bawah camat.

4. Bambang Utoyo

Menurut Bambang Utoyo, desa merupakan tempat sebagian besar penduduk yang bermata
pencarian di bidang pertanian dan menghasilkan bahan makanan.

5. William Ogburn dan MF Nimkoff

Menurut William Ogburn dan MF Nimkoff, desa adalah kesatuan organisasi kehidupan sosial di
dalam daerah terbatas.

4
6. S.D. Misra

Menurut S.D. Misra, desa adalah suatu kumpulan tempat tinggal dan kumpulan daerah pertanian
dengan batas-batas tertentu yang luasnya antara 50 – 1.000 are.

7. Paul H Landis

Menurut Paul H Landis, desa adalah suatu wilayah yang jumlah penduduknya kurang dari 2.500
jiwa dengan cirri-ciri sebagai berikut:

a. Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antra ribuan jiwa

b. Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukuaan terhadap kebiasaan

c. Cara berusaha (ekonomi) aalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam
sekitar seperti iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris
adalah bersifat sambilan.

Memahami Desa Menurut Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014

Saat ini rujukan terbaru mengenai desa adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa, di mana dalam undang undang tersebut disebutkan bahwa bahwa Desa
adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan apa yang terkandung dalam UU No. 6/2014 Desa memiliki empat domain dan
kewenangan yaitu: pemerintahan desa, pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan dan
pemberdayaan masyarakat desa. Dari empat domain inilah yang melahirkan perspektif desa yang
melihat bahwa desa adalah entitas atau kesatuan masyarakat hukum yang menyelenggarakan
pemerintahan yaitu; mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat.

5
Dari undang undang desa ini, kita dapat melihat betapa desa memiliki peranan yang sangat
penting, bahkan kita bisa melihat bagaimana desa memiliki posisi yang ‘istimewa’ sehingga lahir
undang undang yang sangat mendukung desa untuk tumbuh dan berkembang menjadi desa
mandiri. Lantas, seperti apa sejarah desa di Indonesia?

Memahami Perspektif Desa

Secara historis, sebelum lahir pemerintahan NKRI, desa sudah secara mandiri menjalakan
pemerintahan (mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat) seperti air, sawah,
irigasi, hutan, kebun, keamanan, ketenteraman, kekayaan desa, hubungan sosial dan lain-lain.

Perspektif desa (yang melihat pemerintahan dari sisi desa) tentu berbeda dengan perspektif
pemerintahan (yang melihat desa dari sisi pemerintahan), yakni melihat desa sebagai bagian dari
pemerintahan, atau melihat bahwa pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa/
kelurahan merupakan struktur hirarkhis dalam pemerintahan NKRI.

Pemerintahan bekerja di bawah kendali Presiden yang mengalir secara hirarkhies dan top down
dari atas sampai ke tingkat desa. Desa merupakan organisasi pemerintahan yang paling kecil,
paling bawah, paling depan dan paling dekat dengan masyarakat.

Paling “kecil” berarti bahwa wilayah maupun tugas-tugas pemerintahan yang diemban desa
mampunyai cakupan atau ukuran terkecil dibanding dengan organisasi pemerintahan
kabupaten/kota, provinsi maupun pusat. Paling “bawah” berarti desa menempati susunan atau
lapisan pemerintahan yang terbawah dalam tata pemerin tahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).

Namun “bawah” bukan berarti desa merupakan bawahan kabupaten/kota, atau kepala desa bukan
bawahan bupati/walikota. Desa tidak berkedudukan sebagai pemerintahan yang berada dalam
sistem pemerintahan kabupaten/kota sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 200 UU No. 32/2004.
Menurut UU No. 6/2014, desa berkedudukan dalam wilayah kabupaten/kota. Hal ini sama
sebangun dengan keberadaan kabupaten/kota dalam wilayah provinsi.

6
Perspektif masyarakat dalam melihat atau memandang Desa. Dalam buku REGULASI
BARU,DESA BARU karya Sutoro Eko disebutkan bahwa selama ini ada sejumlah perspektif
desa yang cenderung bias Jakarta, yang meminggirkan, meremehkan dan melemahkan desa.
Perspektif tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, perspektif yang melihat desa sebagai kampung halaman. Ini muncul dari banyak orang
yang telah merantau jauh dari desa kampung halamannya, baik melalui jalur urbanisasi,
transmigrasi atau mobilitas sosial. Para petinggi maupun orang-orang sukses di kota-kota besar
begitu bangga menyebut dirinya “orang desa” dan bangga bernos talgia dengan cara bercerita
tentang kampung halamannya yang tertinggal dan bersahaja.

Fenomena mudik lebaran yang hingar bingar, tetapi juga membawa korban jiwa yang tidak
sedikit, setiap tahun juga menjadi contoh terkemuka tentang nostalgia para perantau terhadap
kampung halamannya dan sanak saudaranya.

Cara pandang ini tidak salah. Tetapi di balik cara pandang personal itu tentu ada yang salah
dalam pembangunan, mengapa urbanisasi terus mengalir, mengapa pembangunan bias kota,
mengapa desa tidak mampu memberikan kehidupan dan penghidupan.

Kedua, perspektif desa sebagai wilayah. Perspektif ini tidak mengenal desa, melainkan
wilayah/kawasan perdesaan, sebagai area untuk pelayanan publik dan pembangunan ekonomi.
Pendekatan ini mengabaikan entitas lokal seperti desa yang berada dalam wilayah perdesaan.

Karena itu wajar jika setiap jenis pembangunan kawasan perdesaan – mulai dari industri,
perkebunan, pertambangan dan lainlain – selalu menghadirkan konflik antara desa dengan
pemerintaha atau dengan swasta.

Ketiga, perspektif desa sebagai pemerintahan. Perspektif ini mengatakan bahwa pemerintahan
mengalir secara hirrakhis dan top down dari tangan Presiden sampai ke desa. Desa adalah unit
pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas adminitratif dan membantu program-program
pemerintah yang masuk ke desa.

7
2.2 Perbedaan Desa Dengan Kelurahan

Secara umum perbedaan desa dan kelurahan secara prinsip terletak pada tata manajemen atau
tata pengelolaan wilayah dan jenjang kepemimpinan yang ada. Kita ketahui bersama bahwa, desa
umumnya akan dipimpin oleh seorang kepala desa yang mana merupakan pilihan dari
masyarakat, yaitu melalui pemilihan kepala desa (Pilkades), sedangkan di dalam kelurahan akan
dipimpin oleh seorang lurah, lurah ini secara otomatis ditunjuk langsung oleh bupati atau
walikota.Lebih detail, mari kita ulas satu persatu perbedaan dari desa dan kelurahan, melalui
penjelasan poin demi poin di bawah ini; pebedaan desa dan kelurahan.

1. Perbedaan Status Kepegawaian

Perbedaan antara desa dan kelurahan dapat dilihat dari status kepegawaian atau perangkat
administratif yang mengatur jalannya pemerintahan. Jika Desa maka; Kepala desa bersama staf
yang memimpin desa bukanlah berstatus pegawai negeri (kecuali sekertaris desa yang
merupakan pegawai negeri), pada umumnya perangkat desa masih bekerja secara swadaya, Jika
kelurahan maka, Lurah dan stafnya pada umumnya adalah Pegawai Negeri Sipil, karenanya akan
digaji oleh APBD kabupaten atau kota.

2. Perbedaan Proses Pengangkatan Pemimpin

Dalam proses pengangkatan pemimpin ada perbedaan antara desa dan kelurahan, hal ini menjadi
salah satu perbedaan yang cukup terlihat dan mendasar antara desa dan kelurahan. Jika di desa,
pemimpin atau kepala desa ditunjuk melalui proses pemilihan kepala desa yang dilakukan
dengan setiap warga desa memilih seperti halnya pemilu secara demokratis. Sedangkan di
kelurahan, pemimpinnya atau lurah akan ditunjuk secara langsung oleh wali kota atau bupati.

3. Perbedaan Secara Sosiologi

Desa dan Kelurahan memiliki perbedaan secara Sosiologi yaitu, jika Kelurahan umumnya berada
di wilayah perkotaan hingga masuk pada wilayah sub-urban. Kemudian secara sosiologi, warga
dalam satu kelurahan pada umumnya tidak saling memiliki ikatan batin yang kuat satu sama lain,
karena dihuni dari warga yang beragam latar belakang, dan juga biasanya dari berbagai daerah
yang berbeda karena adanya urbanisasi.

8
Berbeda dengan desa, Desa biasanya terletak jauh dari kota atau urban, selain itu warga di
pedesaan masih saling memiliki ikatan batin, dan memiliki prinsip gotong royong dan
kebersamaan umumnya masih lekat dimiliki masyarakatnya.

4. Perbedaan Dari Sumber Dana Pembangunan

Dilihat dari Sumber Dana Pembangunan maka akan terlihat Perbedaan desa dan kelurahan, jika
ditilik dari asal atau sumber dana pembangunan yang digunakan untuk desa dan kelurahan maka;
Jika di kelurahan memperoleh dana pembangunan yang bersumber dari APBD kabupaten/kota
masing-masing. Sedangkan Desa, saat ini memperoleh sumber dana pembangunan dari APBN
melalui adanya dana desa.

5. Perbedaan Periode atau Masa Jabatan

Dilihat dari periode atau lama masa jabatan antara kepala desa dan lurah, maka dapat dengan
jelas terlihat perbedaannya. Masa jabatan lurah dapat memimpin wilayah kelurahan dalam masa
yang tidak terbatas, tergantung dari keputusan bupati atau wali kota. Masa kepemimpinan lurah
hanya dibatasi oleh masa pensiunnya sebagai seorang pegawai negeri sipil, yakni sekitar usia 55
tahun.

Sedangkan Desa, masa jabatan kepala desa berdasarkan undang-undang terbatas hanya dalam 2
periode yang masing-masing lamanya 5 tahun.

6. Perbedaan Pada badan Perwakilan

Badan perwakilan menjadi pembeda antara desa dan kelurahan, di desa kita mengenal adanya
Badan Perwakilan Desa di kelurahan juga sama memiliki sistem perwakilan sebagai kontrol dari
setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemimpinnya. Akan tetapi, badan perwakilan ini
memiliki sebutan yang berbeda antara desa dan kelurahan.

Jika di Desa maka; Badan perwakilan di desa dinamai BPD (Badan Perwakilan Desa) sedangkan
badan perwakilan di kelurahan dinamai DK (Dewan Kelurahan). Baik BPD maupun DK,
keduanya memiliki anggota yang mewakili dusun atau RW, yang mana sebagai bagian dari
perwakilan suara atau partisipasi masyarakat yang tinggal dalam lingkup desa atau kelurahan.

9
7. Perbedaan Kehidupan Masyarakat

Kehidupan masyarakat antara desa dan kelurahan memiliki perbedaan yang cukup mendasar.
Perbedaan Kehidupan Masyarakat dapat dilihat; di desa umumnya mengandalkan sektor agraris;
pertanian dan peternakan sebagai mata pencaharian utama yang menopang kehidupan ekonomi
mereka. Sedangkan masyarakat kelurahan umumnya mengandalkan sektor non-agraris, seperti
menjadi buruh, karyawan, pegawai, pengusaha, dan lain sebagainya.

Perbedaan kehidupan dan ekonomi ini, tentu tidak lepas dari letak keduanya, sebab kelurahan
terletak di daerah perkotaan yang sudah padat dan memiliki banyak pabrik atau tempat kerja dan
sudah tidak memiliki lahan pertanian, makan mereka kebanyakan bergerak di bidang
perdagangan, industri atau sebagai karyawan.

8. Perbedaan Pada Sebut Pemimpin

Seperti telah disinggung berkali kali bahwa pemimpin dari desa dan kelurahan berbeda, hal ini
pun pada penyebutannya yang berbeda. Dalam hal penyebutan untuk Pemimpin menjadi
perbedaan mendasar dan menjadi ciri dari desa dan kelurahan terletak pada sebutan untuk
pemimpin wilayahnya.Jika di Desa dipimpin oleh kepala desa dan disebut sebagai kepala desa
atau kades, sedangkan di kelurahan dipimpin oleh seorang lurah dan disebut sebagai lurah.

2.3 Sejarah Pertumbuhan Desa

“Desa” di Indonesia pertama kali ditemukan oleh Mr. Herman Warner Muntinghe, seorang
Belanda anggota Raad van Indie pada masa penjajahan kolonial Inggris, yang merupakan
pembantu Gubernur Jenderal Inggris yang berkuasa pada tahun 1811 di Indonesia. Dalam sebuah
laporannya tertanggal 14 Juli 1817 kepada pemerintahnya disebutkan tentang adanya desa-desa
di daerah-daerah pesisir utara Pulau Jawa. Dan di kemudian hari ditemukan juga desa-desa di
kepulauan luar Jawa yang kurang lebih sama dengan desa yang ada di Jawa (Soetardjo, 1984:36).

Kata “desa” sendiri berasal dari bahasa India yakni “swadesi” yang berarti tempat asal, tempat
tinggal, negeri asal, atau tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup, dengan satu
kesatuan norma, serta memiliki batas yang jelas (Soetardjo, 1984 : 15, Yuliati, 2003 : 24).

10
Padanan kata “desa” dalam bahasa asing antara lain seperti dorp, dorpsgemeente, village, village
community, rural area, rural society, dan sebagainya (Ndraha, 2010:154). Fakta empirik masa
lalu di Indonesia dapat ditemui banyak kesatuan masyarakat dengan peristilahannya masing-
masing seperti Dusun dan Marga bagi masyarakat Sumatera Selatan, Dati di Maluku, Nagari di
Minang atau Wanua di Minahasa. Pada daerah lain masyarakat setingkat desa juga memiliki
berbagai istilah dan keunikan sendiri baik mata pencaharian maupun adat istiadatnya.

Definisi tentang desa sendiri sampai sekarang masih perlu dikaji karena batasannya menjadi
perdebatan panjang di kalangan para ahli. Desa dibentuk berdasarkan kebutuhan masyarakat di
daerah tertentu yang satu dengan daerah lain berbeda kulturnya. Beberapa ahli atau pakar
mengemukakan pendapatnya dari tinjauannya masing-masing.

Bintarto (1983) yang memandang desa dari segi geografi, mendefenisikan desa sebagai :

“Suatu hasil dari pewujudan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya. Hasil
dari perpaduan itu ialah suatu ujud atau penampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-
unsur fisiografi, sosial ekonomis, politis dan kultural yang saling berinteraksi antar unsur
tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah lain.“

Kebanyakan orang memahami desa sebagai tempat dimana bermukim penduduk dengan
peradaban yang lebih terbelakang daripada kota. Biasanya dicirikan dengan bahasa ibu yang
kental, tingkat pendidikan yang relatif rendah, mata pencaharian yang umumnya di sektor
pertanian. Bahkan terdapat kesan kuat bahwa desa merupakan tempat tinggal para petani.

Namun demikian pengertian desa dapat juga dilihat dari pergaulan hidup, seperti yang
dikemukakan oleh Bouman (dalam Beratha, 1982 : 26) yang mendefenisikan desa :

“Sebagai salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir
semuanya saling mengenal; kebanyakan yang termasuk di dalamnya hidup dari pertanian,
perikanan dan sebagainya, usaha yang dapat dipengaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Dan
dalam tempat tinggal itu terdapat banyak ikatan-ikatan keluarga yang rapat, ketaatan pada tradisi
dan kaidah-kaidah sosial.”

Definisi di atas memberikan berbagai gambaran tentang desa, Dalam istilah yang berbeda
sebutan untuk desa dapat dilihat dari tinjauan sudut pandang suatu daerah misalnya : di Aceh

11
dipakai nama “Gampong” atau “Meunasah” buat daerah hukum yang paling bawah. Di daerah
Batak, daerah hukum setingkat desa disebut “Kuta” atau “Huta”. Di daerah Minangkabau daerah
hukum yang demikian dinamakan Nagari, di Sumatera Timur daerah hukum ini dinamakan
“Dusun” atau “Tiuh”, di daerah Minahasa diberi nama “wanua”, di daerah Ujung Pandang diberi
nama “Gaukang”.

Sebutan Kepala Desa juga menggunakan istilah yang berbeda-beda pada tiap-tiap bagian daerah
seperti di daerah Tapanuli Kepala desa disebut Kepala Nagari, di Sumatera Selatan disebut
dengan nama Pesirah, di daerah Jawa disebut dengan Lurah, di daerah Bali disebut Tembukung,
di daerah Sulawesi Utara disebut Hukum Tua, di daerah Maluku disebut Kepala Nagari dan di
berbagai daerah di Papua disebut Kurano. Masih banyak lagi sebutan yang bercorak ragam
menurut istilah-istilah daerah setempat yang sebenarnya mempunyai pengertian yang sama.

Susunan desa - desa membentuk persekutuan masyarakat hukum dikategorikan atas 3 (tiga) tipe
(Unang Sunaryo, 1984) yaitu:

1. Tipe kesatuan masyarakat hukum berdasarkan kepada teritorial/wilayah tempat bersama


sebagai dasar utama;

2. Tipe kesatuan masyarakat umum berdasarkan persamaan keturunan/genetik (suku, warga atau
calon) sebagai dasar utama untuk dapat bertempat tinggal dalam suatu wilayah tersebut;

3. Tipe kesatuan hukum berdasarkan atas campuran (teritorial dan keturunan).

Demikian pula yang dikemukakan Soetardjo (1984), bahwa bentuk Desa didasarkan atas 3 (tiga)
sifat, yakni:

1. Berdasarkan geneologis/keturunan (genealogische rechtgemeenscbappen) yang melahirkan


keterikatan suku (stamverband);

2. Berdasarkan teritorial/wilayah (territorialle rechtgemeenschappen);

3. Campuran antara geneologis dan teritorial.

Tentang pengertian Desa tersebut, lebih lanjut Unang Sunardjo mejelaskan bahwa :

12
Desa adalah suatu kesatuan masyarakat hukum berdasarkan Adat dan Hukum Adat yang
menetap dalam suatu wilayah tertentu batas-batasnya; memiliki ikatan lahir bathin yang sangat
kuat, baik karena seketurunan maupun karena sama-sama memiliki kepentingan politik,
ekonomi, sosial dan kemanan; memiliki susunan pengurus yang dipilih bersama; memiliki
kekayaan dalam jumlah tertentu dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.

Desa-desa tersebut atau dengan nama aslinya yang setingkat adalah suatu kesatuan masyarakat
hukum dengan karakteristik :

a. Berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya menurut adat kebiasaan
setempat, menurut peraturan negara atau peraturan daerah yang berlaku;

b. Desa wajib melaksanakan tugas dan kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah;

c. Untuk melaksanakan tugas dan kewenangan tersebut kepala desa dapat diberikan sumbangan
atau bantuan;

Selain itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan tentang unsur-unsur desa. Menurut Bintarto
(1983 : 13) unsur-unsur yang harus ada dalam suatu desa adalah:

a. Daerah, dalam arti tanah-tanah yang produktif dan yang tidak produktif beserta
penggunaannya, termasuk juga unsur lokasi, luas dan batas yang merupakan lingkungan
geografis setempat.

b. Penduduk, adalah hal yang meliputi jumlah, pertambahan, kepadatan, persebaran dan mata
pencaharian penduduk desa setempat;

c. Tata Kehidupan, dalam hal ini pola tata pergaulan dan ikatan-ikatan pergaulan warga desa.
Jadi menyangkut seluk beluk kehidupan masyarakat desa (rural society).

Ketiga unsur ini tidak terpisah melainkan ada keterikatan satu dengan yang lain sebagai satu
kesatuan yang utuh. Unsur Daerah, penduduk dan tata kehidupan merupakan suatu kesatuan
hidup atau “living unit”. Maju mundurnya desa tergantung pada tiga unsur ini yang dalam
kenyataan ditentukan oleh faktor usaha manusia (human effort) dan tata geografis (geographical
setting). Suatu daerah dapat berarti bagi penduduk apabila ada “human effort” untuk
memanfaatkan daerahnya. Tiap-tiap daerah mempunyai “geographical setting” dan “human

13
effort” yang berbeda-beda, sehingga tingkat kemakmuran dan tingkat kemajuan penduduk tidak
sama.

Unsur lain yang termasuk unsur desa yaitu, unsur letak. Letak suatu desa pada umumnya selalu
jauh dari kota atau dari pusat-pusat keramaian. Peninjauan ke desa-desa atau perjalanan ke desa
sama artinya dengan menjauhi kehidupan di kota dan lebih mendekati daerah-daerah yang
monoton dan sunyi. Desa-desa yang letaknya pada perbatasan kota mempunyai kemungkinan
berkembang lebih pesat di banding daripada desa-desa di pedalaman.

Unsur letak menentukan besar kecilnya isolasi suatu daerah terhadap daerah-daerah lainya. Desa
yang terletak jauh dari perbatasan kota merupakan lahan pertanian yang luas. Ini disebabkan
karena penggunaan lahannya lebih banyak dititikberatkan pada tanaman pokok dan beberapa
tanaman perdagangan daripada untuk perumahan.

Penduduk merupakan unsur yang penting bagi desa. “Potential man power” terdapat di desa
yang masih terikat hidupnya dalam bidang pertanian. Di beberapa desa terdapat tenaga-tenaga
yang berlebihan di bidang pertanian, sehingga timbul apa yang disebut dengan istilah
pengganguran tak kentara atau “disguised unemployment”, sehingga memerlukan penyaluran.

Corak kehidupan di desa didasarkan pada ikatan kekeluargaan yang erat. Masyarakat merupakan
suatu “gemeinschaft” yang memiliki unsur gotong royong yang kuat. Hal ini dapat dimengerti
karena penduduk desa merupakan “face to face group” dimana mereka saling mengenal betul
seolah-olah mengenal dirinya sendiri. Faktor lingkungan geografis memberi pengaruh terhadap
kegotong-royongan ini misalnya :

a. Faktor geografi setempat yang memberikan suatu ajang hidup dan suatu bentuk adaptasi
kepada penduduk.

b. Faktor iklim yang dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif terhadap penduduk
terutama petani-petaninya.

c. Faktor bencana alam seperti letusan gunung merapi, gempa bumi, banjir, dan sebagainya yang
harus dihadapi dan dialami bersama.

14
Disini persamaan nasib dan pengalaman mempunyai peran yang akan menimbulkan hubungan
sosial yang akrab. Unsur-unsur desa merupakan sesuatu yang penting, sehingga tidaklah
berlebihan jika desa telah diberi predikat sebagai sendi negara.

1. Desa Dilihat dari Sudut Pandang Ekonomi

Ditinjau dari sudut pandang bidang ekonomi, desa berfungsi sebagai lumbung bahan mentah
(raw material) dan tenaga kerja (man power) yang tidak kecil artinya. Desa-desa di Jawa banyak
berfungsi sebagai desa agraris yang menunjukan perkembangan baru yaitu timbulnya industri-
industri kecil di daerah pedesaan yang merupakan “rural industries”.

Menurut Sutopo Yuwono (dalam Bintarto, 1983 : 17) salah satu peranan pokok desa terletak
pada bidang ekonomi. Daerah pedesaan merupakan tempat produksi pangan dan produksi
komoditi ekspor. Peranan pentingnya menyangkut produksi pangan yang akan menentukan
tingkat kerawanan dalam rangka pembinaan ketahanan nasional. Oleh karena itu, peranan
masyarakat pedesaan dalam mencapai sasaran swasembada pangan adalah penting sekali.
Masyarakat desa perkebunan adalah produsen komoditi untuk ekspor.

Peranan mereka untuk meningkatkan volume dan kualitas komoditi seperti kelapa sawit, lada,
kopi, teh, karet, dan sebagainya tidak kalah pentingnya dilihat dari segi usaha untuk
meningkatkan ekspor dan memperoleh devisa yang diperlukan sebagai dana guna mempercepat
proses pembangunan. Peningkatan hasil dari ekspor komoditi nonminyak berarti mengurangi
ketergantungan kita dari hasil ekspor minyak, yang pada giliranya akan memperkuat ketahanan
ekonomi dalam rangka pembinaan ketahanan nasional.

Demikian pula sama pentingnya peranan dari masyarakat desa pantai sebagai produsen bahan
pangan protein tinggi. Peranan mereka berupa ikan dan udang tidak hanya melayani kebutuhan
konsumsi dalam negeri, tetapi juga untuk ekspor. Keberhasilan dalam menggali dan
mengembangkan potensi di daerah pedesaan yang bermacam-macam itu akan memperkuat
ketahanan secara nasional.

Menurut Suhartono (2000 : 12) desa mengandung arti sebagai tempat orang hidup dalam ikatan
keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan yang besar di bidang

15
sosial ekonomi. Desa biasanya terdiri dari rumah tangga petani dengan kegiatan produksi,
konsumsi dan investasi sebagai hasil keputusan keluarga secara bersama.

2. Desa Dilihat dari Sudut Pandang Sosiologis

Desa digambarkan sebagai suatu bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang
bertempat tinggal dalam suatu lingkungan dimana mereka saling mengenal Corak kehidupan
mereka relatif homogen serta banyak bergantung kepada alam, mempunyai sifat yang sederhana
dengan ikatan sosial, adat, dan tradisi yang kuat. Dari sudut pandang ini, desa mempunyai makna
positif dan negatif. Makna positif yang melekat di desa antara lain seperti kebersamaan dan
kejujuran. Sedangkan makna negatifnya seperti kebodohan dan keterbelakangan.

Secara sosiologis, masyarakat Desa memiliki karakteristik tertentu yang membedakannya dengan
kelompok masyarakat lainnya. Boeke (1971 : 9) misalnya memberikan gambaran bahwa yang
dimaksud dengan Desa adalah persekutuan hukum pribumi yang terkecil dengan kekuasaan
sendiri; daerah sendiri; dan kekayaan atau pendapatan sendiri.

Selanjutnya Boeke mengemukakan bahwa persekutuan hukum pribumi terkecil dapat diartikan
bahwa di dalamnya tercakup pengertian :

a. Persekutuan hukum adat yang tumbuh dengan sendirinya di dalam masyarakat pribumi dan
mempunyai dasar tradisional;

b. Persekutuan hukum, dimana hanya penduduk pribumi atau setidak-tidaknya sebagian besar
dari pada penduduk pribumi yang menjadi anggota-anggotanya.

Lebih lanjut menurut Maschab (dalam Suhartono, 2000 : 11) dalam pengertian sosiologis desa
digambarkan sebagai suatu bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang
bertempat tinggal dalam suatu lingkungan dimana mereka saling mengenal dan corak kehidupan
mereka relatif homogen serta banyak bergantung alam.

Kemudian Desa diasosiasikan dengan suatu masyarakat yang hidup sederhana, pada umumnya
hidup dari lapangan pertanian, ikatan sosial, adat dan tradisi masih kuat, sifat jujur dan bersahaja,
pendidikan relatif rendah dan sebagainnya.

3. Desa Dilihat dari Sudut Pandang Politik dan Administrasi Pemerintahan

16
Pandangan ini lebih menekankan kepada tata aturan yang menjadi dasar dalam kehidupan
masyarakat, adanya wewenang atau kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan desa.
Pengertian ini menekankan adanya otonomi untuk membangun tata kehidupan desa bagi
kepentingan penduduk.

Desa dipahami sebagai suatu daerah kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat
yang berkuasa (memiliki wewenang) mengadakan pemerintahan sendiri (Soetardjo, 1984 : 16;
Wiradi, 1988). Pengertian ini menekankan adanya otonomi untuk membangun tata kehidupan
desa bagi kepentingan penduduk. Dalam pengertian ini terdapat kesan yang kuat, bahwa
kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa, hanya dapat diketahui dan disediakan oleh
masyarakat desa dan bukan pihak luar.

Keberadaan desa secara yuridis formal diakui dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah juncto PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Menurut ketentuan
ini desa diberi pengertian sebagai berikut :

”Desa adalah suatu masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.”

Ketentuan ini pada dasarnya merupakan pengejawantahan terhadap UUD 1945 khususnya Pasal
18B (Amandemen II) dan Tap MPR No. IV/MPR/2000 (Rekomendasi No.7). Dalam Pasal 18B
UUD 1945 disebutkan bahwa :

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Dapat dikatakan bahwa yang termuat dalam undang-undang secara jelas menempatkan desa
sebagai suatu organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan, yang secara politis memiliki
wewenang tertentu untuk mengatur warga atau anggota komunitasnya. Baik sebagai akibat posisi

17
politisnya yang merupakan bagian dari negara atau hak asal usul dan adat istiadat yang
dimilikinya. Namun demikian dalam pengertian ini masih belum tergambarkan secara jelas
mengenai kualitas otoritas yang dimiliki desa, terutama berkaitan dengan kekuatan politik di
atasnya, yakni negara.

Munculnya otoritas politik di dalam suatu komunitas yang disebut dengan desa secara internal
mudah dipahami, dengan melihat sejarah perkembangannya. Secara faktual jumlah penduduk
bertambah dan masalah-masalah berkait dengan kepentingan masyarakat bertambah. Kenyataan
tersebut sudah barang tentu mendorong munculnya suatu otoritas yang diharapkan dapat
mengatasi berbagai persoalan yang merealisasi aspirasi yang berkembang. Dari situ lahir
kesatuan masyarakat hukum yang mandiri dan pemimpin mereka biasanya adalah yang tertua
atau memiliki kemampuan paling tinggi di antara mereka (Maschab, 1992).

Dari berbagai pengertian desa sebagiamana di atas, maka dapat ditarik ciri desa secara umum :

1. Desa umumnya terletak di atau sangat dekat dengan pusat wilayah usaha tani (sudut pandang
ekonomi);

2. Dalam wilayah itu perekonomian merupakan kegiatan ekonomi dominan.

3. Faktor-faktor penguasaan tanah menentukan corak kehidupan masyarakatnya;

4. Tidak seperti di kota ataupun kota besar yang penduduknya sebagian besar merupakan
pendatang populasi penduduk desa lebih bersifat “terganti oleh dirinya sendiri”;

5. Kontrol sosial lebih bersifat informal dan interaksi antar warga desa lebih bersifat personal
dalam bentuk tatap muka; dan

6. Mempunyai tingkat homogenitas yang relatif tinggi dan ikatan sosial yang realitf lebih ketat
daripada kota (Wiradi dalam Suhartono, 2000 : 16).

Lebih lanjut menurut Roucek dan Warren (1962) sebagaimana dikutip dalam Suhartono (2000)
menyebutkan karakteristik desa sebagai berikut :

1. Besarnya peranan kelompok primer;

2. Faktor geografik yang menentukan dasar pembentukan kelompok/ asosiasi;

18
3. Hubungan lebih bersifat intim dan awet;

4. Homogen;

5. Mobilitas sosial rendah;

6. Keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi;

7. Populasi anak dalam proporsi yang besar.

Karakteristik yang disebutkan di atas, pada dasarnya merupakan karakteritik yang sebagian besar
menjadi ciri desa tradisional. Desa masa kini pada dasarnya telah mengalami sejumlah
perubahan, sejalan dengan bekerjanya kekuatan eksternal yang mendorong perubahan sosial di
desa. Ikatan sosial yang ketat sebagai contoh telah mulai dilihat memudar dan sering munculnya
industrialisasi yang memasuki desa, pada saat ini desa telah bergerak mencapai tingkat kemajuan
tertentu yang kemudian dapat berkembang menjadi kota yang tentu saja dengan ciri yang
berbeda.

B. Perkembangan Desa dari Aspek Peraturan Perundang-undangan

Berdasarkan aspek yuridis formal, maka perkembangan Desa di Indonesia dapat ditelusuri
melalui implementasi berbagai produk perundang-undangan yang mengatur tentang Desa, mulai
dari Pemerintahan Kolonial Belanda sebelum masa kemerdekaan hingga produk hukum
Pemerintah Republik Indonesia setelah masa kemerdekaan.

1. Pemerintahan Kolonial Belanda

Ketentuan yang mengatur khusus tentang Desa pertama kali terdapat dalam Regeringsreglement
(RR) tahun 1854 yaitu Pasal 71 yang mengatur tentang Kepala Desa dan Pemerintah Desa.
Sebagai pelaksanaan dari ketentuan tersebut, kemudian Pemerintah Kolonial mengeluarkan
peraturan Inlandse Gemeente Ordonantie (IGO) pada tahun 1906, yaitu peraturan dasar
mengenai Desa khusus di Jawa dan Madura. IGO pada dasarnya tidak membentuk Desa,
melainkan hanya memberikan landasan sebagai bentuk pengakuan atas adanya Desa
sebelumnya.

19
IGO Stbl. 83 tahun 1906 yang berlaku untuk Desa-desa di Jawa dan Madura mengalami
perubahan sebanyak 3 (tiga) kali yakni Stbl. 1910 No. 591, Stbl. 1913 No. 235 dan Stbl. 1919
No. 217. Peraturan RR sendiri kemudian diganti dengan Indische Staatsregelling (IS) 1925,
dimana pasal 71 yang mengatur tentang Desa diganti dengan Pasal 128 IS. Untuk Desa-desa di
luar Jawa dan Madura sendiri diatur antara lain dengan :

1. Stbl. 1914 No. 629, Stbl. 1917 No. 223 juncto Stbl. 1923 No. 471 untuk Amboina;

2. Stbl. 1918 No. 677 untuk Sumatera Barat;

3. Stbl. 1919 No. 453 untuk Bangka;

4. Stbl. 1919 No. 1814 untuk Palembang;

5. Stbl. 1922 No. 574 untuk Lampung;

6. Stbl. 1923 No. 469 untuk Tapanuli;

7. Stbl. 1924 No. 75 untuk Belitung;

8. Stbl. 1924 No. 275 untuk Kalimantan;

9. Stbl. 1931 No. 6 untuk Bengkulu;

10. Stbl. 1931 No. 138 untuk Minahasa.

Peraturan-peraturan tersebut dirangkum dalam Inlandse Gemeente Ordonantie Buitengewesteen


(IGOB) yang artinya IGO untuk luar Jawa dan Madura, disingkat IGOB Tahun 1938 No. 490.

Sebagai peraturan (pranata) tentang Pemerintahan Desa IGO Stbl. 1906 No. 83 yang berlaku
untuk Jawa dan Madura, dan IGOB Stbl. 1938 No. 490 untuk daerah di luar Jawa dan Madura
merupakan landasan pokok bagi ketentuan-ketentuan tentang susunan organisasi, rumah tangga
dan tugas kewajiban, kekuasaan dan wewenang Pemerintah Desa, Kepala Desa dan anggota
Pamong Desa (Saparin, 1986 : 31).

Adapun perbedaan mendasar antara kedua peraturan ini menurut Saparin (1986 : 31-2) adalaha
antara lain :

20
1) Adanya ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah Desa untuk setiap akhir triwulan membuat
anggaran belanja. Dalam IGO, hal ini tidak dijumpai;

2) Ketentuan mengenai kerja bakti bagi warga desa untuk kepentingan umum. Di dalam IGOB
warga desa yang tidak melaksanakan kerja bakti diwajibkan membayar ganti rugi dengan
membayar sejumlah uang yang disetor ke kas desa;

3) Mengenai tanah bengkok, di dalam IGOB tidak dijumpai. Hal ini disebabkan karena di luar
Jawa dan Madura tersedia banyak tanah yang bisa diusahakan oleh siapa saja.

2. Pendudukan Militer Jepang

Berdasar pada Undang Undang No. 1 Tahun 1942 yang dikeluarkan oleh Penguasa Militer
Jepang pada waktu itu, mengamanatkan tidak adanya perubahan yang berarti terhadap peraturan
yang ada sebelumnya mengenai Desa sepanjang tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan
militer Jepang.

Satu-satunya peraturan mengnai desa yang dikeluarkan oleh Penguasa Milter Jepang adalah
Osamu Seirei No. 7 Tahun 2604 (1944). Peraturan ini hanya mengatur dan merubah Pemilihan
Kepala Desa (Ku-tyoo) yang menetapkan masa jabatan Kepala Desa menjadi 4 (empat) tahun.

3. Pasca Kemerdekaan

1. UUD Tahun 1945

Sejak awal kemerdekaan Pemerintah Indonesia telah memberikan pengakuan terhadap


kedudukan dan keberadaan Desa. Dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945 nomor romawi II
disebutkan bahwa :

Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbestuurundelandschappen dan
Volksgemeenschappen seperti Desa di Jawa dan Bali. Daerah-daerah itu mempunyai susunan
asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik
Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara
yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak asal-usul daerah tersebut.

21
Pengakuan UUD 1945 tersebut terhadap eksistensi Desa tidak segera diikuti dengan aturan
pelaksanaan lebih lanjut, utamanya menyangkut kedudukan Desa dalam sistem pemerintahan
nasional. Bahkan dengan adanya amandemen UUD 1945 yang hingga saat ini telah diubah
sebanyak empat kali, Desa sama sekali tidak termaktub di dalam salah satu pasal pun dari
konstitusi tersebut. UUD 1945 Amandemen IV hanya mengatur tentang kesatuan masyarakat
hukum adat, dimana pada Pasal 18B ayat (4) berbunyi :

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat yang memilik hak-hak tradisional tersebut
tentunya tidak serta merta mengakui kedudukan Desa sebagai unit pemerintahan sebagai bagian
dari susunan sistem pemerintahan nasional. Hal in dapat dilihat pada Pasal 18 UUD 1945
(Amandemen IV) yang mengatur bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-
undang”. Berdasarkan ketentuan tersbut, maka secara tidak langsung Desa ditempatkan dalam
rezim pemerintahan kabupaten/kota karena secara administratif teritorial Desa berada dalam
wialayah kabupaten/kota.

2. UU Nomor 22 Tahun 1948

UU Nomor 22 Tahun 1948 sebenarnya telah mengarahkan Desa (dan kota kecil) negeri, marga
dan sebagainya, menjadi Daerah Otonom Tingkat III. Hal ini termaktub dalam pasal 1 Undang
Undang tersebut :

“Negara Indonesia disusun dalam 3 tingkatan yaitu propinsi, kabupaten (kota besar) dan Desa
(kota kecil) negeri, marga dan sebagainya yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri.”

Lebih lanjut menurut Aturan Peralihan (Pasal 46) dari Undang Undang tersebut menyebutkan
bahwa segala daerah yang berhak mengatur dan dan mengurus rumah tangganya sendiri yang

22
telah berdiri menurut menurut UU No. 1 Tahun 1945 tanggal 23 Nopember 1945 di antaranya
Desa, Marga, Nagari, dan sebagainya berjalan terus sehingga diadakan pemben-tukan
pemerintahan baru untuk daerah-daerah itu.

Dalam penjelasannya disebutkan bahwa daerah otonom yang terbawah, yaitu Desa, Marga,
Nagari, dan sebagainya, dianggap sendi negara, dan sendi negara itu harus diperbaiki, segala-
galanya diperluas dan didinamisir supaya dengan demikian Negara bisa mengalami kemajuan.

3. UU Nomor 1 Tahun 1957

Meskipun di dalam Undang Undang yang mengatur tentang Pokok Pokok Pemerintahan di
Daerah ini disebutkan tentang kemungkinan dibentuknya Daerah Otonom III, namun tidak ada
rincian yang jelas yang mengatur tentang hal tersebut. Sedangkan menyangkut hal yang
berkaitan dengan Desa, tidak diatur sama sekali.

4. UU Nomor 19 Tahun 1965

Undang Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja dikeluarkan bersamaan dengan
dikeluarkannya Undang Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah. UU No.
19 Tahun 1965 merupakan UU pertama yang khusus mengatur tentang Desa, namun dalam
prakteknya belum sempat diimplementasikan dan kemudian dicabut dengan alasan politis.

Hal-hal yang diatur tentang Desa dalam UU ini adalah antara lain : Bab I memuat Ketentuan
Umum, Bab II memuat Bentuk, Susunan dan Alat Kelengkapan Desapraja, Bab III tentang Tugas
dan Kewenangan Desapraja, Bab IV tentang Harta Benda, Keuangan dan Penghasilan Desapraja,
Bab V tentang Pengawasan dan Bimbingan atas Desapraja, Bab VI tentang Peningkatan
Desapraja menjadi Daerah Tingkat III, Bab VII memuat Peraturan Peralihan, Bab VIII Aturan
Tambahan, dan Bab IX Ketentuan Penutup.

Lebih lanjut Pasal 1 UU tersebut menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Desapraja adalah
“kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta bendanya
sendiri”. Substansi terpenting dari materi UU ini adalah tentang peningkatan Desapraja menjadi
Daerah Tingkat III. Berdasarkan usul Pemerintah Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat I kepada

23
Menteri Dalam Negeri untuk meningkatkan satu atau beberapa Desapraja dalam daerahnya untuk
menjadi Daerah Tingkat III.

5. UU Nomor 5 Tahun 1979

UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa merupakan produk hukum Pemerintah
Orde Baru yang yang dipandang sangat condong menopang Orde Baru dengan politik stabilitas
dan sentralisasinya, sehingga menghambat demokratisasi masyarakat Desa. Demikian juga
kebijakan pengaturan tentang Desa pada masa itu, sejauh mungkin diatur secara seragam dan
sentralistis, dengan tujuan untuk kepentingan politik pemerintah. Hal ini secara jelas disebutkan
dalam konsideran menimbang dalam UU No. Tahun 1979 bahwa “…..sesuai dengan sifat Negara
Kesatuan Republik Indonesia, maka kedudukan Desa sejauh mungkin diseragamkan, dengan
mengindahkan keragaman keadaan Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku”.

Namun upaya penyeragaman pengaturan masyarakat desa justru menghambat tumbuhnya


kreativitas dan partisipasi masyarakat dalam memenuhi kehidupan dan penghidupannya secara
mandiri, sehingga akhirnya hanya membuatnya tertinggal dibanding masyarakat lainnya.
Pengalaman menunjukkan bahwa pengaturan terhadap pemerintah desa yang kurang berdasar
pada karakteristik masyarakatnya, hanya akan menimbulkan ketidakberdayaan dan
ketergantungan.

6.UU Nomor 22 Tahun 1999

Dalam pasal 1 huruf (o) Undang Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
disebutkan bahwa :

“Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem
Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.”

Seiring dengan tuntutan reformasi, salah satu agendanya adalah desentralisasi pemerintahan
yang tidak hanya menyangkut Desentralisasi Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah),

24
melainkan juga pada tataran tingkat desa (Otonomi Desa). Ada keinginan politik (political will)
yang kuat untuk mengembalikan desa dengan pemerintahannya (atau dengan nama lain yang
sejenis) ke habitatnya semula. Pada masa sebelumnya, Desa melalui Undang Undang Nomor 5
Tahun 1979 - dengan pendekatan penyeragaman - telah tercerabut dari akar-akarnya. Desa lebih
banyak diposisikan sebagai instrumen pengumpul suara untuk melestarikan hegemoni kekuasaan
pada satu tangan.

2.4 Otonomi Dearah

1. Konsep Otonomi Daerah

Otonomi daerah berasal dari istilah Autos berarti sendiri dan nomos berarti pemerintahan. Jadi
otonomi daerah berarti pemerintahan sendiri. Secara filosofis otonomi daerah dapat diartikan
sebagai sebuah mekanisme yang memberikan kewenangan kepada masyarakat di daerah untuk
berpartisipasi secara luas dan mengekpresikan diri dalam bentuk kebijakan-kebijakan lokal tanpa
tergantung kepada kebijakan pemerintah pusat. Selanjutnya, bahwa daerah otonom adalah daerah
yang diberi wewenang atau kekuasaan oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus
urusan-urusan tertentu.

Josep Riwu Kaho menyebutkan bahwa suatu daerah dapat dikatakan otonomi apabila memiliki
atribut sebagai berikut:

1. Mempunyai urusan tertentu yang disebut urusan rumah tangga daerah: urusan rumah tangga
daerah ini merupakan urusan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah.

2. Untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah tersebut, maka daerah
memerlukan aparatur sendiri yang terpisah dari aparatur pemerintah pusat, yang mampu
menyelenggarakan urusan rumah tangga daerahnya

3. Urusan rumah tangga daerah itu diatur dan diurus/diselenggarakan atas inisiatif/prakasa dan
kebijaksanaan daerah itu sendiri

4. Mempunyai sumber keuangan sendiri yang dapat membiayai segala kegiatan dalam rangka
menyelenggarakan urusan rumah tangga daerahnya (Abdul Aziz Hakim, 2006: 73)

2. Teori Otonomi Daerah

25
Sebelum reformasi, kekuasaan dan kekuasaan pemerintah pusat terhadap daerah sangat besar dan
menentukan. Berbagai urusan dan kepentingan daerah ditentukan oleh pusat tanpa cukup
mendengarkan dan mengakomodasi aspirasi dan kepentingan daerah. Banyak daerah merasakan
ketidakadilan dalam pemanfaatan sumber daya yang bersumber dari daerahnya. Maka melalui
gerakan reformasi, paradigma pengelolaan negara yang sentralistik, tidak demokratis dan kurang
menunjukan nilai-nilai keadilan dan kerakyatan mulai dikritisi. Hasilnya desentralisasi dipilih
sebagai pengaturan pengelolaan negara. Secara universal, keberadaan pemerintahan daerah atau
daerah otonom berfungsi untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini didasarkan
pada kenyataan bahwa pemerintahan daerah adalah unit organisasi pemerintahan yang paling
dekat dengan masyarakat, sehingga dinilai paling mampu menyerap aspirasi, kebutuhan dan
kepentingan warga masyarakat. Bowman dan Hampton (Koirudin, 2005: 2) menyatakan bahwa
tidak ada suatu pemerintahan dari suatu negara dengan wilayah yang sangat luas dapat
menentukan kebijakan secara efektif ataupun dapat melaksanakan kebijakan secara efektif
ataupun dapat melaksanankan kebijakan dan program-programnya secara efisien melalui sistem
sentralisasi.

3. Perkembangan Otonomi Daerah dan Dinamika Politik Lokal

Dalam era reformasi ini pemerintah telah mengeluarkan dua kebijakan tentang otonomi daerah.
Pertama adalah UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU no. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Untuk kemudian direvisi
dan diperbarui dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah. Sejalan dengan
perkembangan proses demokratisasi yang berjalan di semua lapisan masyarakat, termasuk juga
ditingkat lokal maka akan berimbas pada tingginya dinamika politik di tingkat lokal. Hal itu
menjadi bertambah kuat lagi sejalan dengan meningkatnya kebebasan baik kebebasan
berpendapat dan kebebasan berserikat, atapun kebebasan pers. Kehadiran undang-undang
tersebut merupakan peluang untuk mewujudkan aspirasi daerah yaitu keinginan untuk memiliki
pemimpin lokal yang disepakati oleh rakyat melalui Pilkada langsung. Pilkada sebagai salah satu
akibat dari adanya otonomi daerah harapanya dapat menciptakan kondisi dan situasi politik lokal
yang mantap dan stabil sehingga dapat menguatkan sistam politik ditingkat nasional.

26
2.5 Permasalah Di Desa Boni Sari

Desa bonisari yang terletak di Kel. Pakuhaji Kec. Pakuhaji di kepala desai oleh H
Mulyadi. Desa bonisari dalam meningkatkan UMKM dan merealisasikan dana desa yang
gunakan untuk mendorong masyarakat dalam meningkatkan pendapatan daerah baik dari
pedagang kecil/makanan khas kampung, warung kelontong dan desa bonisari dalam
pemberdayaan masyarakat memiliki produk utama yang di hasilkan dari dalam daerah yakni
pembuatan tali tambang yang berbahan dasar pelastik. Namun dalam melaksanakan program
desa ada beberapa kendala seperti kurangnya kesadaran masyarakat dan dampak COVID-19
sehingga di lakukan PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) yang
mengakibatkan berkurangnya akses serta kegiatan masyarakat dalam memajukan program
UMKM yang di kembangkan oleh pemerintah Daerah.

Bantuan dari pemerintah dalam bentuk BLT yang di peruntukan untuk keluarga yang
membutuhakn dan mendorong program UMKM pembuatan tali tambang dengan memberi
peralatan serta bahan untuk di kelola oleh masyarakat setempat yang mendukung program
UMKM di desa bonisari sehingga masyarakat masih dapat melakukan kegiatan UMKM.

27
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Beragam peraturan perundang-undangan tentang Desa sudah berlaku di


Indonesia, baik masa sebelum kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan. Pemerintahan
kolonial Belanda dan masa pendudukan Jepang di Indonesia sudah menempatkan Desa
sebagai komunitas yang memiliki kewenangan asli untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri. Masa setelah kemerdekaan hingga awal lahirnya masa Orde Baru,
tidak banyak perubahan format pengaturan tentang Desa dan masih dominan berpedoman
pada aturan peninggalan Belanda dan Jepang. Dalam perkembangan selanjutnya sebagai
konsekuensi negara hukum, perubahan format politik dan sistem pemerintahan kemudian
ditindaklanjuti dengan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang politik dan
pemerintahan dengan dilakukannya perubahan peraturan pelaksanaan yang mengatur
tentang Desa.
Proses transformasi atau perubahan pada pemerintahan desa sebagai akibat
berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, berdampak terhadap
perubahan terhadap struktur dan perubahan terhadap tindakan sosial yang dilakukan oleh
komunitas di dalam struktur pemerintahan. Jadi, perubahan sebagaimana yang
diharapkan oleh kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah harus didukung secara
insitusional maupun secara individual dan sosial. Hal tersebut terkait dengan kedudukan
pemerintahan desa sebagai salah satu unsur dari sistem sosial.
Arah yang diharapkan dari proses transformasi pemerintahan desa pada
hakekatnya seiring dengan landasan pemikiran pengaturan mengenai desa yaitu; (1)
Keanekaragaman, (2) Partisipasi, (3) otonomi asli, (4) Demokratisasi, (5) Pemberdayaan
masyarakat. Landasan pemikiran tersebut sejalan pula dengan paradigma
penyelenggaraan pemerintahan yang berkembang dewasa ini, yaitu antara lain konsepsi
good governance. Diharapkan ke depan desa sebagai ujung tombak penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia, mampu menerapkan prinsip-prinsip good governance agar
mampu mewujudkan tujuan yang dicita-citakan.
3.2 Saran

Saran dari kami Mahasiswa UMT Program peningkatan UMKM yang di laksanakan Pemerintah
Desa sangat bagus karena dapat mengurangi limbah pelastik terlebih dari itu Kami sebagai
Mahasiswa mnyarankan agar pemerintah Desa Memanfaatkan Media media online untuk
memasarkan hasil Produksi masyarakat dengan jangkauan yang lebih luas`

28
29
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.ipdn.ac.id/526/
https://eprints.uny.ac.id/23435/4/BAB%20II.pdf
https://sedesa.id/pengertian-desa-dan-kelurahan-serta-perbedaan-desa-dan-
kelurahan/
http://journal.unhas.ac.id/index.php/government/article/view/1118/pdf
https://sejarahlengkap.com/lembaga-pemerintah/sejarah-terbentuknya-desa
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/download/1621/1573
https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/criksetra/article/download/4804/2550

30
LAMPIRAN

31

Anda mungkin juga menyukai