Pada masa demokrasi liberal dalam Indonesia, sistem politik yang dimiliki oleh
Indonesia telah berhasil mendorong munculnya berbagai macam partai politik. Hal
tersebut disebabkan karena dalam sistem kepartaian, sistem politik Indonesia
menganut sistem multipartai. Konsekuensi logis dari pelaksanaan sistem politik
demokrasi liberal parlementer yang memiliki gaya barat dengan sistem multipartai
yang dianut, maka partai-partai politik yang mulai muncul ini lah yang akan
menjalankan pemerintahan Indonesia melalui perimbangan kekuasaan dalam
parlemen dalam tahun 1950 sampai dengan tahun 1959.
Partai-partai politik pada pemerintahan Indonesia mengalami masa
berkiprahnya dalam jangka waktu antara tahun 1950 sampai dengan tahun 1959.
Pada masa tersebut terjadi banyak pergantian kabinet atau sering jatuh bangunnya
kabinet dalam pemerintahan Indonesia karena keadaan pemerintahan Indonesia yang
tidak stabil, sehingga partai-partai politik yang terkuat dapat mengambil alih
kekuasaan pemerintahan Indonesia dengan mudah. Pada masa tersebut partai yang
terkuat dalam DPR adalah PNI dan Masyumi. Dalam jangka waktu kurang lebih
5 tahun (tahun
1950 sampai dengan tahun 1955), PNI dan Masyumi silih berganti untuk memegang
kekuasaan dalam empat kabinet. Pada masa demokrasi liberal dalam Indonesia,
susunan kabinet yang menjalankan roda pemerintahan Indonesia, adalah sebagai
berikut.
E. Pemilu 1955
Pemilihan umum adalah salah satu syarat agar sistem pemerintahan yang demokratis
berfungsi. Pemilihan umum tercantum sebagai salah satu program dari kabinet
parlementer RI pada waktu itu. Persiapan mendasar pemilu dapat diselesaikan di
masa pemerintahan Kabinet Ali-Wongso. Kabinet itu diresmikan pada tanggal 31
Juli 1953.
Salah satu persoalan di dalam negeri yang harus diselesaikan adalah persiapan
pemilihan umum yang rencananya akan diadakan pada pertengahan tahun 1955.
Pada tanggal 31 Juli 1954, Panitia Pemilihan Umum Pusat dibentuk. Panitia
ini diketuai oleh Hadikusumo dari PNI. Pada tanggal 16 April 1955,
Hadikusumo mengumumkan bahwa pemilihan umum untuk parlemen akan diadakan
pada tanggal
29 September 1955. Pengumuman dari Hadikusumo sebagai ketua panitia pemilihan
umum pusat mendorong partai untuk meningkatkan kampanyenya. Mereka
berkampanye sampai pelosok desa. Setiap desa dan kota dipenuhi oleh tanda gambar
peserta pemilu yang bersaing. Masing-masing partai beruasaha untuk mendapatkan
suara yang terbanyak.
Selama masa kepemimpinan Presiden Soekarno (1945-1965), yang melewati
beberapa era seperti Revolusi fisik (1945-1949), Demokrasi parlementer (1950-
1958) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965), hanya sekali terjadi pemilu, yaitu
pemilu
1955. Pemilu 1955 berlangsung pada era demokrasi Parlementer , yakni pada masa
pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dari Masyumi (29 Juli 1955-2
Maret 1956). Akan tetapi, peraturan yang dijadikan landasan dalam pemilu 1955
adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 yang telah disusun pada masa
pemerintahan Perdana Menteri Wilopo dari PNI (30 Maret 1952-2 Juli 1953)
Pada tanggal 29 Juli 1955, Mohammad Hatta mengumumkan 3 orang formatur
untuk membentuk kabinet baru. Ketiga formatur itu terdiri atas Sukiman (Masyumi),
Wilopo (PNI), dan Asaat (nonpartai). Pada waktu itu Presiden Soekarno sedang
pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Kabinet baru itu bertugas
melaksanakan Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan
kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah serta
Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah di tetapkan dan
mempercepat terbentuknya parlemen baru.
Ketiga formatur itu mencapai kesepakatan dan persetujuan menempatkan
Mohammad Hatta sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan. Namun
kesulitan muncul karena Mohammad Hatta menjabat sebagai wakil Presiden.
Kemudian muncul perbedaan pendapat antara PNI dan Masyumi. Formatur
mengusulkan kepada Soekarno untuk mengnonaktifkan Mohammad Hatta dari
jabatan dari jabatan wakil Presiden selama ia menjadi perdana menteri. Dalam
pembahasan masalah itu ketiga
formatur tidak mencapai titik temu. Pada tanggal 3 Agustus 1955, ketiga formatur
mengembalikan mandat. Hatta kemudian menunjuk Mr. Burhanudin Harahap
(Masyumi) untuk membentuk kabinet. Dalam program kabinet Burhanudin Harahap
masalah pemilihan umum masih juga menjadi perhatian. Sesuai dengan rencana
semula, pemilihan umum untuk anggota parlemen akan diselenggarakan pada
tanggal
29 September 1955 dan untuk pemilihan anggota Konstituante pada tanggal 15
desember 1955.
Selama tiga bulan pertama sejak Indonesia merdeka Indonesia hanya
menganut dan mengenal partai tunggal yaitu PNI yang didasarkan pada keputusan
PPKI tanggal
22 Agustus 1945. Selanjutnya pada tanggal 3 November 1945 atas usul BP. KNIP,
pemerintah mengeluarkan maklumat yang pokoknya menganjurkan kepada rakyat
agar mendirikan partai-partai politik. Maka sejak bulan November 1945 sampai
dengan Desember 1945 tidak kurang 9 partai lahir. Maklumat pemerintah tanggal 3
november 1945 itu sendiri mempunyai tujuan sebagai berikut :
a. Ke luar : untuk memajukan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi
b. Ke dalam : sebagai sarana agar segala aliran atau paham dalam masyarakat
dapat dipimpin secara teratur
Dari berbagai banyaknya parpol setelah adanya maklumat 3 November 1945 maka
partai politik tersebut dikelompokkan menjadi empat aliran yaitu (1) Kelompok
Partai Religi/Agama, (2) Kelompok Nasionalis, (3) Kelompok Partai Sosialis, (4)
Kelompok Partai Komunis
Pemilu merupakan salah satu sarana untuk melaksanakan demokrasi guna
mengikutsertakan rakyat dalam kehidupan bernegara, belum dapat dilaksanakan di
tahun-tahun pertama kemerdekaan sekalipun ide tentang itu sudah muncul adapun
latar belakangnya adalah :
a. Revolusi fisik/perang kemerdekaan, menuntut semua potensi bangsa untuk
memfokuskan diri pada usaha mempertahankan kemerdekaan.
b. Pertikaian Internal, baik dalam lembaga politik maupun pemerintah cukup
menguras energi dan perhatian.
c. Belum adanya UU pemilu yang mengatur tentang pelaksanaan pemilu ( UU
pemilu baru disahkan pada tanggal 4 april 1953 yang dirancang dan
disahkan oleh kabinet wilopo)
Di dorong oleh kesadaran untuk menciptakan demokrasi yang sejati, masyarakt
menuntut diadakan pemilu. Pesiapan pemilu dirintis oleh kabinet Ali Sastroamijoyo
I. pemerintah membentuk panitia pemilu pada bulan Mei 1954. Panitia tersebut
merencanakan pelaksanaan pemilu dalam dua tahap. Pemilu tahap pertama akan
dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR. Pemilu
tahap kedua akan dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih
anggota Konstituante (dewan pembuat UUD) (Insan Fahmi siregar, 2012).
Meskipun Kabinet Ali Jatuh, pemilu terlaksana sesuai dengan rncana semasa
kabinet Burhanudin Harahap. Pemilu yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955.
Sekitar 39 Juta rakyat Indonesia datang ke bilik suara untuk memberikan suaranya.
Pemilu saat itu berjalan dengan tertib, disiplin serta tanpa politik uang dan tekanan
dari pihak manapun. Oleh karena itu, banyak pakar politik yang menilai bahwa
pemilu tahun 1955 sebagai pemilu paling demokratis yang terlaksana di Indonesia
sampai sekarang.
Pemilihan umum pertama kali di Indonesia untuk memilih para anggota DPR
dan Konstituante yang diadakan pada tanggal 29 september 1955 untuk pemilihan
anggota DPR dan 15 desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante.
Lima besar Peserta pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan kursi itu
adalah sebagai berikut.
Tabel 2. Lima Besar Perolehan Suara Hasil Pemilu Konstituante
No Nama Partai Julmlah Persentas Jumlah
Suara e Kursi
1. Partai Nasional Indonesia 9.070.218 23,97 119
(PNI)
2. Masyumi 7.789.619 20,59 112
3. Nahdlatul Ulama (NU) 6.989.333 18,47 91
4. Partai Komunis Indonesia 6.232.512 16,47 80
(PKI)
5. Partai Syarikat Islam 1.059.922 2,80 16
Indonesia (PSII)
Banyak penganut politik yang berpendapat bahwa pemilu 1955 telah berlangsung
secara demokratis dengan memenuhi prinsip LUBER ( langsung,umum, bebas,dan
rahasia) dan JURDIL ( jujur dan adil), setidaknya jika dibandingkan dengan pemilu-
pemilu era Orde Baru yang semu dan kurang demokratis karena hasilnya telah
diketahui sebelumnya.
Dalam pemilu 1955, politik aliran (ideology) masih sangat mewarnai atau
dominan sebagai basis untuk mendapatkan dukungan rakyat. Sehubungan dengan
itu, kendatipun pemilu 1955 telah berjalan secara LUBER JURDIL, namun hasilnya
tidak memberikan dampak yang bagus pada panggung politik nasional ketika itu.
Hal ini karena pemilahan politik aliran telah memicu timbulnya fragmentasi politik,
seperti tampak pada perdebatan dua kubu di Dewan Konstituante (antara kubu
nasionalis islam yang memonitori oleh partai-partai islam semisal Masyumi dan
NU, dengan kubu Nasionalis Sekuler yang dipimpin oleh partai-partai abangan
semisal PNI dan PKI). Kubu Nasionalis islam menginginkan beberapa rumusan dari
piagam Jakarta dimasukkan kembali dalam konstitusi Negara RI, sementara kubu
Nasionalis Sekuler menolaknya. Ketegangan kedua kubu yang mengarah pada
proses jalan buntu (deadlock) di Dewan Konstitante inilah yang memicu Presiden
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menandai dimulainya era
Demokrasi Terpimpin.
Setelah pemilu tahun 1955, terjadi ketegangan dalam pemerintahan.
Ketegangan tersebut akibat banyaknya mutasi yang dilakukan di beberapa
kementrian, seperti kementrian dalam negeri, dan kementrian perekonomian. Hal itu
menjadi salah satu faktor adanya desakan agar perdana mentri mengembalikan
mandatnya. Akhirnya, pada tanggal 8 maret 1956, kabinet Burhanuddin Harahap
jatuh. Presiden Soekarno pada tanggal 8 maret 1956 menunjuk Ali Sastroamijoyo
untuk membentuk kabinet baru. Kabinet yang dibentuk itu adalah kabinet Koalisi
tiga partai, yaitu PNI, Masyumi, NU, dan beberapa partai kecil lainnya.
Pada tanggal 20 Maret 1956, secara resmi diumumkan terbentuknya kabinet
baru yang disebut kabinet Ali Sastroamijoyo II. Kabinet ini mendapat tentangan
dario PKI dan PSI karena kedua partai itu tidak di ikut sertakan. Tentangan dari
partai lainnya tidak begitu besar. Jumlah mentri dalam kabinet Ali Sastroamijoyo II
adalah
24 orang. Program kabinet itu disebut dengan rencana lima tahunan yang memuat
program jangka panjang, misalnya memperjuangkan masalah Irian Barat ke wilayah
republik Indonesia, melaksanakan pembentukan daerah otonom, mempercepat
pemilihan anggota DPRD, mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai,
menyehatkan keuangan negara sehingga tercapai keseimbangan anggaran belanja,
serta berusaha untuk mewujudkan pergantian ekonomi kolonial menjadi ekonomi
nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Kabinet yang baru berdiri itu mendapat kepercayaan penuh dari Presiden
Soekarno. Hal itu terlihat dari pidatonya di depan parlemen pada tanggal 26 Maret
1956 yang menyebutkan bahwa kabinet itu sebagai titik tolak periode planning dan
investment. Namun, pada saat kabinet Ali Sastroamijoyo berkobar semangat anti
cina di masyarakat dan kekacauan di beberapa daerah.
Sementara itu dengan dibatalkannya undang-undang pembatalan KMB oleh
Presiden Soekarno pada tanggal 3 Mei 1956, timbul persoalan baru yaitu tentang
nasib modal belanda yang ada di Indonesia. Ada anjuran untuk menasionalisasikan
atau mengindonesianisasi perusahaan milik belanda yang ada di Indonesia. Ada
anjuran untuk mengindonesiasikan atau menasionalisasikan perusahan milik
belanda. Namun, sebagian besar anggota kabinet menolak tindakan tersebut. Pada
waktu itu banyak orang belanda yang menjual perusahannya terutama para orang
cina. Karena merekalah yang memiliki uang. Orang-orang Cina rata-rata sudah
memiliki ekonomi yang kuat di Indonesia. Itulah sebabnya tanggal 19 Maret 1956,
Mr. Assat di depan Kongres Nasional Importir Indonesia di Surabaya menyatakan
bahwa pemerintah perlu mengeluarkan peraturan yang dapat melindungi pengusaha
nasional. Hal itu penting karena pengusaha Indonesia tidak mampu bersaing
dengan pengusaha
nonpribumi, khususnya Cina. Pernyataan Asaat itu mendapat sambutan hangat dari
masyarakat. Kemudian lahirlah gerakan Asaat di mana-mana. Pemerintah
menanggapi gerakan itu dengan dikeluarkannya pernyataan dari mentri
perekonomian Burhanudin (NU) bahwa pemerintah akan memberi bantuan terutama
kepada perusahaan yang seratus persen milik orang Indonesia.
F. Rangkuman
Setelah saudara membaca uraian mater sebagaimana tersebut diatas, maka diapat
disarikan simpulan – simpulan sebagai berikut.
a. Periode tahun 1950-1959 dalam sejarah Indonesia disebut sebagai sistem
Demokrasi Palementer yang memperlihatkan semangat belajar berdemokrasi.
Oleh karena itu, sistem pemerintahan yang dibangun mengalami kendala yang
mengakibatkan jatuh bangun kabinet. Periode ini disebut oleh Wilopo, salah
seorang Perdana Menteri di era tersebut (1952-1953) sebagai zaman
pemerintahan partai-partai. Banyaknya partaipartai dianggap sebagai salah satu
kendala yang mengakibatkan kabinet/ pemerintahan tidak berusia panjang dan
silih berganti.
b. Pada masa tersebut terjadi pasang surut keadaan politik dan ekonomi sehingga
menimbulkan ketidakpuasan pada perdana menteri yang tengah menjabat,
sehingga hampir setiap tahun terjadi pergantian kabinet. Jatuh bangunnya
kabinet ini membuat program-program kabinet tidak dapat dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Kondisi inilah yang menyebabkan stabilitas nasional
baik di bidang politik, ekonomi, sosial dan keamanan terganggu. Kondisi ini
membuat Presiden Soekarno, dalam salah satu pidatonya mengatakan bahwa
“sangat gembira apabila para pemimpin partai berunding sesamanya dan
memutuskan bersama untuk mengubur partai-partai”. Soekarno bahkan dalam
lanjutan pidatonya menekankan untuk melakukannya sekarang juga. Pernyataan
Soekarno membuat hubungan dengan Hatta semakin renggang yang akhirnya
dwi tunggal menjadi tanggal ketika Hatta mengundurkan diri sebagai wakil
presiden. (Anhar Gonggong,
2005). Sistem pemerintahan parlementer adalah suatu sistem pemerintahan
dimana presiden hanya berkedudukan sebagai kepala negara apabila negara itu
berbentuk republik dan raja apabila negara berbentuk monarki. Sedangkan
kepala
pemerintahan dipegang oleh seorang perdana mentri yang terpilih berdasarkan
pemilu, meskipun demikian perdana mentri yang diangkat pada sistem parlementer
di Indonesia diangkat melalui dewan formatur.
c. Pada era ini, Indonesia menjalankan pemilihan umum pertama yang diikuti oleh
banyak partai politik. Pemilu 1955 merupakan tonggak demokrasi pertama di
Indonesia. Pemilu ini dilaksanakan untuk memilih anggota Parlemen dan anggota
Konstituante. Rencana pemilu di Indonesia sudah diprogramkan pada masa Kabinet
Ali Sastroamidjoyo I. Pada masa ini pemilu baru dalam persiapan pelaksanaan.
Pelaksanaan pemilu dilakukan pada masa Kabinet Burhanudin Harahap yaitu pada
tahun 1955, dalam pemilu tersebut memilih anggota DPR dan anggota Konstituante.
Hasil pemilu 1955 menghasilkan lima besar partai yang mendapatkan suara
terbanyak, yaitu partai Islam yang terwakili oleh Masyumi dan NU, partai Nasionalis
terwakili oleh PNI, partai Sosialis terwakili oleh PSI dan Partai komunis terwakili
oleh PKI. Konstituante diberi tugas untuk membentuk UUD baru menggantikan
UUD sementara. Sayangnya beban tugas yang diemban oleh Konstituante tidak dapat
diselesaikan. Kondisi ini menambah kisruh situasi politik pada masa itu sehingga
mendorong Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
Dekrit tersebut membawa Indonesia mengakhir masa demokrasi parlementer dan
memasuki Demokrasi Terpimpin.
______________________________________________________________________
Sumber: Materi PPG 2018, Hamdan Tri Atmadja