Anda di halaman 1dari 18

Kabinet Demokrasi Liberal

Pada masa demokrasi liberal dalam Indonesia, sistem politik yang dimiliki oleh
Indonesia telah berhasil mendorong munculnya berbagai macam partai politik. Hal
tersebut disebabkan karena dalam sistem kepartaian, sistem politik Indonesia
menganut sistem multipartai. Konsekuensi logis dari pelaksanaan sistem politik
demokrasi liberal parlementer yang memiliki gaya barat dengan sistem multipartai
yang dianut, maka partai-partai politik yang mulai muncul ini lah yang akan
menjalankan pemerintahan Indonesia melalui perimbangan kekuasaan dalam
parlemen dalam tahun 1950 sampai dengan tahun 1959.
Partai-partai politik pada pemerintahan Indonesia mengalami masa
berkiprahnya dalam jangka waktu antara tahun 1950 sampai dengan tahun 1959.
Pada masa tersebut terjadi banyak pergantian kabinet atau sering jatuh bangunnya
kabinet dalam pemerintahan Indonesia karena keadaan pemerintahan Indonesia yang
tidak stabil, sehingga partai-partai politik yang terkuat dapat mengambil alih
kekuasaan pemerintahan Indonesia dengan mudah. Pada masa tersebut partai yang
terkuat dalam DPR adalah PNI dan Masyumi. Dalam jangka waktu kurang lebih
5 tahun (tahun
1950 sampai dengan tahun 1955), PNI dan Masyumi silih berganti untuk memegang
kekuasaan dalam empat kabinet. Pada masa demokrasi liberal dalam Indonesia,
susunan kabinet yang menjalankan roda pemerintahan Indonesia, adalah sebagai
berikut.

Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951)


Kabiet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir
(Masyumi) sebagai perdana menteri. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi yang
dipimpin oleh partai Masyumi. Kabinet ini juga merupakan kabinet koalisi di mana
PNI sebagai partai kedua terbesar dalam parlemen tidak turut serta, karena tidak
diberi kedudukan yang sesuai. Kabinet ini pun sesungguhnya merupakan kabinet
yang kuat formasinya di mana tokoh – tokoh terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri
Sultan Hamengkubuwono IX, Mr. Asaat, Ir. Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:
a. Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
b. Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
c. Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
d. Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
e. Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Keberhasilan yang pernah dicapai oleh Kabinet Natsir antara lain (1) Di bidang
ekonomi, ada Sumitro Plan yang mengubah ekonomi kolonial ke ekonomi nasional
(2) Indonesia masuk PBB, (3) Berlangsung perundingan antara Indonesia-Belanda
untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Sementara kendala/masalah yang dihadapi selama kabinet Natsir adalah (1)
Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan belanda mengalami jalan buntu
(kegagalan) (2) penerapan Sumitro Plan, pengusaha nasional diberi bantuan kredit,
tetapi bantuan itu diselewengkan penggunanya sehingga tidak mencapai sasaran
kemudian (3) Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan
hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis,
Gerakan APRA, Gerakan RMS
Berakhirnya kekuasaan kabinet disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya
dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan
DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD
terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disampaikan kepada parlemen
tanggal 22
Januari 1951 dan memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951
Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.

Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)


Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden, presiden
menunjuk Sartono (Ketua PNI) menjadi formatur. Hampir satu bulan beliau
berusaha membentuk kabinet koalisi antara PNI dan Masyumi. Namun usahanya itu
mengalami kegagalan, sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada presiden
setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret-18 April 1951). Presiden Soekarno
kemudian menunjukan Sidik Djojosukatro (PNI) dan Soekiman Wijosandjojo
(Masyumi) sebagai formatur dan berhasil membentuk kabinet koalisi dari Masyumi
dan PNI. Kabinet ini terkenal dengan nama Kabinet Soekiman (Masyumi)- Soewirjo
(PNI) yang dipimpin oleh Soekiman.
Program pokok Kabinet Sukiman adalah (1) Menjamin keamanan dan
ketentraman,(2) Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum
agraria agar sesuai dengan kepentingan petani, (3) Mempercepat persiapan
pemilihan umum. (4) Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta
memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya, dan (5) Di bidang hukum,
menyiapkan undang
– undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama,penetapan upah
minimum, dan penyelesaian pertikaian buruh. Hasil atau prestasi yang berhasil
dicapai oleh Kabinet Soekiman yaitu tidak terlalu berarti sebab programnya
melanjutkan program Natsir hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam
pelaksanaan programnya, seperti awalnya program menggiatkan usaha keamanan
dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan
ketentraman.
Kendala/ Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini adalah Adanya Pertukaran
Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar
Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer
dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act
(MSA). Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI
karena RI diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika.
Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara
Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah
memasukkan Indonesia ke dalam blok barat. Adanya krisis moral yang ditandai
dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan
kegemaran akan barang-barang mewah. Masalah Irian barat belum juga teratasi.
Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang tegasnya
tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah,
Sulawesi Selatan.
Berakhirnya kekuasaan kabinet disebabkan oleh pertentangan dari Masyumi
dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga mereka menarik dukungannya pada
kabinet tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus
mengembalikan mandatnya kepada presiden.

Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)


Pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno menunjukan Sidik Djojosukarto (
PNI
) dan Prawoto Mangkusasmito ( M asyumi ) menjadi formatur, namun gagal.
Kemudian menunjuk Wilopo dari PNI sebagai formatur. Setelah bekerja selama dua
minggu berhasil dibentuk kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Mentari
Wilopo,sehingga bernama kabinet Wilopo. Kabinet ini mendapat dukungan dari
PNI, Masyumi, dan PSI.
Program pokok dari Kabinet Wilopo di dalam negeri adalah
Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD, Meningkatkan
kemakmuran rakyat, dan Meningkatkan pendidikan rakyat, dan pemulihan
keamanan. Sedangkan untuk program luar ngeri Kabinet Wilopo berfokus pada
Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda, Pengembalian Irian Barat ke
pangkuan Indonesia, hingga menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif
Kabinet ini tidak mempunyai prestasi yang bagus, justru sebaliknya banyak
sekali kendala yang muncul antara lain sebagai berikut.
a. Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-
barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat.
b. Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak
terlebih setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga membutuhkan biaya
besar untuk mengimport beras.
c. Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam
keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat
alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
d. Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Merupakan upaya pemerintah untuk
menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak senang
dikalangan partai politik sebab dipandang akan membahayakan kedudukannya.
Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri yang
berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H Nasution yang ditentang oleh Kolonel
Bambang Supeno sehingga ia mengirim petisi mengenai penggantian KSAD kepada
menteri pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan parlemen sehingga
menimbulkan perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin diperparah dengan
adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam
memulihkan keamanana di Sulawesi Selatan. Keadaan ini menyebabkan muncul
demonstrasi di berbagai daerah menuntut dibubarkannya parlemen. Sementara itu
TNI-AD yang dipimpin Nasution menghadap presiden dan menyarankan agar
parlemen dibubarkan. Tetapi saran tersebut ditolak.
Muncullah mosi tidak percaya dan menuntut diadakan reformasi dan
reorganisasi angkatan perang dan mengecam kebijakan KSAD. Inti peristiwa ini
adalah gerakan sejumlah perwira angkatan darat guna menekan Sukarno agar
membubarkan kabinet.
Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan
di Sumatera Timur (Deli). Sesuai dengan perjanjian KMB pemerintah mengizinkan
pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan memiliki tanah-tanah perkebunan.
Tanah perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan pemiliknya selama masa Jepang
telah digarap oleh para petani di Sumatera Utara dan dianggap miliknya. Sehingga
pada tanggal 16 Maret 1953 muncullah aksi kekerasan untuk mengusir para petani
liar Indonesia yang dianggap telah mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para
petani tidak mau pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Akibatnya terjadi bentrokan
senjata dan beberapa petani terbunuh. Intinya peristiwa Tanjung Morawa
merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar
mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli).
Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat
Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan
mandatnya pada presiden pada tanggal 2 Juni 1953.
Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Kabinet keempat adalah kabinet Ali Sastroamidjojo, yang terbentuk pada tanggal 31
juli 1953. betapapun kabinet ini tanpa dukungan masyumi, namun kabinet Ali ini
mendapat dukungan yang cukup banyak dari berbagai partai yang diikutsertakan
dalam kabinet, termasuk partai baru NU. Kabinet Ali ini dengan Wakil perdana
Menteri Mr. Wongsonegoro (partai Indonesia Raya PIR).
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I adalah Meningkatkan
keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu, Pembebasan
Irian Barat secepatnya, Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali
persetujuan KMB., Penyelesaian Pertikaian politik. Kabinet Ali I memiliki beberapa
program kerja yang hampir seluruhnya berhasil dilaksanakan seperti mempersiapkan
Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada
29 September 1955, Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.,
Konferensi Asia-Afrika I ini disenggarakan di Bandung pada tanggal 18-24 April
1955.
Konferensi dihadiri oleh 29 negara – negara Asia –Afrika terdiri 5 negara
pengundang dan 24 negara yang diundang. KAA I itu ternyata memilikipengaruh
dan arti penting dagi solidaritas dan perjuangan kemerdekaan bangsa – bangsa Asia
– Afrika dan juga membawa akibat yang lain, seperti Berkurangnya ketegangan
dunia, Australia dan Amerika mulai berusaha menghapuskan politik
rasdiskriminasi di negaranya, Belanda mulai repot menghadapi blok afro- asia di
PBB, karena belanda masih bertahan di Irian Barat.
Konferensi Asia – Afrika I ini menghasikan beberapa kesepakatan yaitu :
Basic peper on Racial Discrimination dan basic peper on Radio Activity.
Kesepakatan yang lain terkenal dengan dasa sila bandung, dengan terlaksananya
Konferensi Asia Afrika I merupakan prestasi tersendiri bagi bangsa indonesia.
Kendala/ Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut.
a. Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan,
seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
b. Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang menunjukkan adanya
kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang merupakan
kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng sebagai
Kepala Staf AD
mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh kabinet. Sebagai gantinya
mentri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo tetapi panglima AD
menolak pemimpin baru tersebut karena proses pengangkatannya dianggap tidak
menghiraukan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD. Bahkan
ketika terjadi upacara pelantikan pada 27 Juni 1955 tidak seorangpun panglima
tinggi yang hadir meskipun mereka berada di Jakarta. Wakil KSAD-pun
menolak melakukan serah terima dengan KSAD baru.
c. Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang
menunjukkan gejala membahayakan.
d. Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
e. Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan, NU memutuskan
untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti
oleh partai lainnya.
NU menarik dukungan dan menterinya dari kabinet sehingga keretakan dalam
kabinetnya inilah yang memaksa Ali harus mengembalikan mandatnya pada presiden
pada tanggal 24 Juli 1955.

Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)


Kabinet Ali selanjutnya digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap.
Burhanuddin
Harahap berasal dari Masyumi, sedangkan PNI membentuk oposisi.
Program pokok dari Kabinet Burhanuddin Harahap adalah Mengembalikan
kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan
masyarakat kepada pemerintah, Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana
yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru, Masalah
desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi, Perjuangan pengembalian Irian Barat,
Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Burhanuddin Harahap
yaitu menyelenggarakan pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955
(memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih konstituante). Terdapat 70
partai politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi.
Menghasilkan
4 partai politik besar yang memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi,
dan PKI.
Melakukan Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat dengan
pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Pemberantasan korupsi dengan menangkap
para pejabat tinggi yang dilakukan oleh polisi militer. Terbinanya hubungan antara
Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin. Menyelesaikan masalah peristiwa 27
Juni 1955, yang mana menjadi penyebab kegagalan dari kabinet Ali dengan
mengangkat Kolonel AH Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28 Oktober
1955.
Kendala/ Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini adalah banyaknya mutasi
dalam lingkungan pemerintahan dianggap menimbulkan ketidaktenangan. Dengan
berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu tidak
menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet sehingga kabinetpun jatuh.
Akan dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen yang baru
pula.
Kabinet Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Ali Sastroamijoyo kembali diserahi mandat untuk membentuk kabinet baru
pada tanggal 20 Maret 1956. Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI,
Masyumi, dan NU. Program pokok kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima
Tahun yang memuat program jangka panjang, seperti (a) Perjuangan pengembalian
Irian Barat (b) Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya
anggota-anggota DPRD (c) Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan
pegawai (d) Menyehatkan perimbangan keuangan negara (e) Mewujudkan
perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan
rakyat. Selain hal tersebut Kabinet Ali II Melakukan lobi untuk membatalkan KMB,
Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik
luar negeri bebas aktif, hingga Melaksanakan keputusan KAA.
Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Ali Sastroamijoyo II
adalah kabinet ini mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai
titik tolak dari periode planning and investment, hasilnya adalah Pembatalan seluruh
perjanjian KMB. Kendala/Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut.
a. Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat.
b. Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah
pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer seperti Dewan
Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda
di Sumatra Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan
Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
c. Memuncaknya krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap
mengabaikan pembangunan di daerahnya.
d. Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya
mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha
Belanda yang menjual perusahaannya pada orang Cina karena memang
merekalah yang kuat ekonominya. Muncullah peraturan yang dapat
melindungi pengusaha nasional.
e. Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar
Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan
PNI berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas
demokrasi dan parlementer.
Mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini
jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.

Kabinet Djuanda ( 9 April 1957- 5 Juli 1959)


Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang
ahli dalam bidangnya. Dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam menyusun
Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950. Serta terjadinya perebutan kekuasaan
antara partai politik. Dipimpin oleh Ir. Juanda.
Program Kabinet Djuanda disebut Panca Karya sehingga sering juga disebut
sebagai Kabinet Karya, programnya yaitu Membentuk Dewan Nasional, Normalisasi
keadaan Republik Indonesia, Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB,
Perjuangan pengembalian Irian Jaya, Mempergiat/mempercepat proses
Pembangunan
Semua itu dilakukan untuk menghadapi pergolakan yang terjadi di daerah,
perjuangan pengembalian Irian Barat, menghadapi masalah ekonomi serta keuangan
yang sangat buruk. Prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Djuanda yaitu (1)
Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda,
yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial. Melalui deklarasi ini
menunjukkan telah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia dimana lautan dan
daratan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat. (2) Terbentuknya Dewan
Nasional sebagai badan yang bertujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan
kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Sebagai
titik tolak untuk menegakkan sistem demokrasi terpimpin. (3) Mengadakan
Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah.
Musyawarah ini membahas masalah pembangunan nasional dan daerah,
pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah RI. (4) Diadakan
Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam negeri
tetapi tidak berhasil dengan baik.
Kendala/ Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut.
a. Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah
semakin meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi
terhambat. Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
b. Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program
pemerintah sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.
c. Terjadi peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap
Presiden Sukarno di depan Perguruan Cikini saat sedang menghadir pesta
sekolah tempat putra-purinya bersekolah pada tanggal 30 November 1957.
Peristiwa ini menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena
mengancam kesatuan negara.
Kabinet Djuanda berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5
Juli
1959 dan mulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.

E. Pemilu 1955
Pemilihan umum adalah salah satu syarat agar sistem pemerintahan yang demokratis
berfungsi. Pemilihan umum tercantum sebagai salah satu program dari kabinet
parlementer RI pada waktu itu. Persiapan mendasar pemilu dapat diselesaikan di
masa pemerintahan Kabinet Ali-Wongso. Kabinet itu diresmikan pada tanggal 31
Juli 1953.
Salah satu persoalan di dalam negeri yang harus diselesaikan adalah persiapan
pemilihan umum yang rencananya akan diadakan pada pertengahan tahun 1955.
Pada tanggal 31 Juli 1954, Panitia Pemilihan Umum Pusat dibentuk. Panitia
ini diketuai oleh Hadikusumo dari PNI. Pada tanggal 16 April 1955,
Hadikusumo mengumumkan bahwa pemilihan umum untuk parlemen akan diadakan
pada tanggal
29 September 1955. Pengumuman dari Hadikusumo sebagai ketua panitia pemilihan
umum pusat mendorong partai untuk meningkatkan kampanyenya. Mereka
berkampanye sampai pelosok desa. Setiap desa dan kota dipenuhi oleh tanda gambar
peserta pemilu yang bersaing. Masing-masing partai beruasaha untuk mendapatkan
suara yang terbanyak.
Selama masa kepemimpinan Presiden Soekarno (1945-1965), yang melewati
beberapa era seperti Revolusi fisik (1945-1949), Demokrasi parlementer (1950-
1958) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965), hanya sekali terjadi pemilu, yaitu
pemilu
1955. Pemilu 1955 berlangsung pada era demokrasi Parlementer , yakni pada masa
pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dari Masyumi (29 Juli 1955-2
Maret 1956). Akan tetapi, peraturan yang dijadikan landasan dalam pemilu 1955
adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 yang telah disusun pada masa
pemerintahan Perdana Menteri Wilopo dari PNI (30 Maret 1952-2 Juli 1953)
Pada tanggal 29 Juli 1955, Mohammad Hatta mengumumkan 3 orang formatur
untuk membentuk kabinet baru. Ketiga formatur itu terdiri atas Sukiman (Masyumi),
Wilopo (PNI), dan Asaat (nonpartai). Pada waktu itu Presiden Soekarno sedang
pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Kabinet baru itu bertugas
melaksanakan Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan
kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah serta
Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah di tetapkan dan
mempercepat terbentuknya parlemen baru.
Ketiga formatur itu mencapai kesepakatan dan persetujuan menempatkan
Mohammad Hatta sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan. Namun
kesulitan muncul karena Mohammad Hatta menjabat sebagai wakil Presiden.
Kemudian muncul perbedaan pendapat antara PNI dan Masyumi. Formatur
mengusulkan kepada Soekarno untuk mengnonaktifkan Mohammad Hatta dari
jabatan dari jabatan wakil Presiden selama ia menjadi perdana menteri. Dalam
pembahasan masalah itu ketiga
formatur tidak mencapai titik temu. Pada tanggal 3 Agustus 1955, ketiga formatur
mengembalikan mandat. Hatta kemudian menunjuk Mr. Burhanudin Harahap
(Masyumi) untuk membentuk kabinet. Dalam program kabinet Burhanudin Harahap
masalah pemilihan umum masih juga menjadi perhatian. Sesuai dengan rencana
semula, pemilihan umum untuk anggota parlemen akan diselenggarakan pada
tanggal
29 September 1955 dan untuk pemilihan anggota Konstituante pada tanggal 15
desember 1955.
Selama tiga bulan pertama sejak Indonesia merdeka Indonesia hanya
menganut dan mengenal partai tunggal yaitu PNI yang didasarkan pada keputusan
PPKI tanggal
22 Agustus 1945. Selanjutnya pada tanggal 3 November 1945 atas usul BP. KNIP,
pemerintah mengeluarkan maklumat yang pokoknya menganjurkan kepada rakyat
agar mendirikan partai-partai politik. Maka sejak bulan November 1945 sampai
dengan Desember 1945 tidak kurang 9 partai lahir. Maklumat pemerintah tanggal 3
november 1945 itu sendiri mempunyai tujuan sebagai berikut :
a. Ke luar : untuk memajukan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi
b. Ke dalam : sebagai sarana agar segala aliran atau paham dalam masyarakat
dapat dipimpin secara teratur

Dari berbagai banyaknya parpol setelah adanya maklumat 3 November 1945 maka
partai politik tersebut dikelompokkan menjadi empat aliran yaitu (1) Kelompok
Partai Religi/Agama, (2) Kelompok Nasionalis, (3) Kelompok Partai Sosialis, (4)
Kelompok Partai Komunis
Pemilu merupakan salah satu sarana untuk melaksanakan demokrasi guna
mengikutsertakan rakyat dalam kehidupan bernegara, belum dapat dilaksanakan di
tahun-tahun pertama kemerdekaan sekalipun ide tentang itu sudah muncul adapun
latar belakangnya adalah :
a. Revolusi fisik/perang kemerdekaan, menuntut semua potensi bangsa untuk
memfokuskan diri pada usaha mempertahankan kemerdekaan.
b. Pertikaian Internal, baik dalam lembaga politik maupun pemerintah cukup
menguras energi dan perhatian.
c. Belum adanya UU pemilu yang mengatur tentang pelaksanaan pemilu ( UU
pemilu baru disahkan pada tanggal 4 april 1953 yang dirancang dan
disahkan oleh kabinet wilopo)
Di dorong oleh kesadaran untuk menciptakan demokrasi yang sejati, masyarakt
menuntut diadakan pemilu. Pesiapan pemilu dirintis oleh kabinet Ali Sastroamijoyo
I. pemerintah membentuk panitia pemilu pada bulan Mei 1954. Panitia tersebut
merencanakan pelaksanaan pemilu dalam dua tahap. Pemilu tahap pertama akan
dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR. Pemilu
tahap kedua akan dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih
anggota Konstituante (dewan pembuat UUD) (Insan Fahmi siregar, 2012).
Meskipun Kabinet Ali Jatuh, pemilu terlaksana sesuai dengan rncana semasa
kabinet Burhanudin Harahap. Pemilu yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955.
Sekitar 39 Juta rakyat Indonesia datang ke bilik suara untuk memberikan suaranya.
Pemilu saat itu berjalan dengan tertib, disiplin serta tanpa politik uang dan tekanan
dari pihak manapun. Oleh karena itu, banyak pakar politik yang menilai bahwa
pemilu tahun 1955 sebagai pemilu paling demokratis yang terlaksana di Indonesia
sampai sekarang.
Pemilihan umum pertama kali di Indonesia untuk memilih para anggota DPR
dan Konstituante yang diadakan pada tanggal 29 september 1955 untuk pemilihan
anggota DPR dan 15 desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante.

Gambar 1. Surat Suara Pemilu 1955


Pada tanggal 29 September 1955 lebih dari 39 juta rakyat Indonesia memberikan
suararanya dikotak-kotak suara. Hasil pemilihan Umum I yang diikuti 172 kontestan
Pemilu 1955, hanya 28 kontestan (tiga diantaranya perseorangan) yang berhasil
memperoleh kursi. Empat partai besar secara berturut-turut memenangkan kursi:
Partai Nasional Indonesia (57 kursi/22,3%), Masyumi (57 kursi/20,9%), Nahdlatul
Ulama (45 kursi/18,4%), dan Partai Komunis Indonesia (39 kursi/15,4%)
(Poesponegoro, 2010)
Keseluruhan kursi yang diperoleh adalah sebesar 257 kursi. Tiga kursi sisa
diberikan pada wakil Irian Barat yang keanggotaannya diangkat Presiden. Selain itu
diangkat juga 6 anggota parlemen mewakili Tonghoa dan 6 lagi mewakili Eropa.
Dengan demikian keseluruhan anggota DPR hasil Pemilu 1955 adalah 272 orang.
Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat
yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514.
Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan
PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang
kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh
dalam pemilihan anggota DPR.
Tabel 1. Lima Besar Perolehan Suara Hasil Pemilu DPR
No Nama Partai Julmlah Persentas Jumlah
Suara e Kursi
1. Partai Nasional Indonesia 8.434.653 22,32 57
(PNI)
2. Masyumi 7.903.886 20,92 57
3. Nahdlatul Ulama (NU) 6.955.141 18,41 45
4. Partai Komunis Indonesia 6.179.914 16,36 39
(PKI)
5. Partai Syarikat Islam 1.091.160 2,89 8
Indonesia (PSII)

Lima besar Peserta pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan kursi itu
adalah sebagai berikut.
Tabel 2. Lima Besar Perolehan Suara Hasil Pemilu Konstituante
No Nama Partai Julmlah Persentas Jumlah
Suara e Kursi
1. Partai Nasional Indonesia 9.070.218 23,97 119
(PNI)
2. Masyumi 7.789.619 20,59 112
3. Nahdlatul Ulama (NU) 6.989.333 18,47 91
4. Partai Komunis Indonesia 6.232.512 16,47 80
(PKI)
5. Partai Syarikat Islam 1.059.922 2,80 16
Indonesia (PSII)

Banyak penganut politik yang berpendapat bahwa pemilu 1955 telah berlangsung
secara demokratis dengan memenuhi prinsip LUBER ( langsung,umum, bebas,dan
rahasia) dan JURDIL ( jujur dan adil), setidaknya jika dibandingkan dengan pemilu-
pemilu era Orde Baru yang semu dan kurang demokratis karena hasilnya telah
diketahui sebelumnya.
Dalam pemilu 1955, politik aliran (ideology) masih sangat mewarnai atau
dominan sebagai basis untuk mendapatkan dukungan rakyat. Sehubungan dengan
itu, kendatipun pemilu 1955 telah berjalan secara LUBER JURDIL, namun hasilnya
tidak memberikan dampak yang bagus pada panggung politik nasional ketika itu.
Hal ini karena pemilahan politik aliran telah memicu timbulnya fragmentasi politik,
seperti tampak pada perdebatan dua kubu di Dewan Konstituante (antara kubu
nasionalis islam yang memonitori oleh partai-partai islam semisal Masyumi dan
NU, dengan kubu Nasionalis Sekuler yang dipimpin oleh partai-partai abangan
semisal PNI dan PKI). Kubu Nasionalis islam menginginkan beberapa rumusan dari
piagam Jakarta dimasukkan kembali dalam konstitusi Negara RI, sementara kubu
Nasionalis Sekuler menolaknya. Ketegangan kedua kubu yang mengarah pada
proses jalan buntu (deadlock) di Dewan Konstitante inilah yang memicu Presiden
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menandai dimulainya era
Demokrasi Terpimpin.
Setelah pemilu tahun 1955, terjadi ketegangan dalam pemerintahan.
Ketegangan tersebut akibat banyaknya mutasi yang dilakukan di beberapa
kementrian, seperti kementrian dalam negeri, dan kementrian perekonomian. Hal itu
menjadi salah satu faktor adanya desakan agar perdana mentri mengembalikan
mandatnya. Akhirnya, pada tanggal 8 maret 1956, kabinet Burhanuddin Harahap
jatuh. Presiden Soekarno pada tanggal 8 maret 1956 menunjuk Ali Sastroamijoyo
untuk membentuk kabinet baru. Kabinet yang dibentuk itu adalah kabinet Koalisi
tiga partai, yaitu PNI, Masyumi, NU, dan beberapa partai kecil lainnya.
Pada tanggal 20 Maret 1956, secara resmi diumumkan terbentuknya kabinet
baru yang disebut kabinet Ali Sastroamijoyo II. Kabinet ini mendapat tentangan
dario PKI dan PSI karena kedua partai itu tidak di ikut sertakan. Tentangan dari
partai lainnya tidak begitu besar. Jumlah mentri dalam kabinet Ali Sastroamijoyo II
adalah
24 orang. Program kabinet itu disebut dengan rencana lima tahunan yang memuat
program jangka panjang, misalnya memperjuangkan masalah Irian Barat ke wilayah
republik Indonesia, melaksanakan pembentukan daerah otonom, mempercepat
pemilihan anggota DPRD, mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai,
menyehatkan keuangan negara sehingga tercapai keseimbangan anggaran belanja,
serta berusaha untuk mewujudkan pergantian ekonomi kolonial menjadi ekonomi
nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Kabinet yang baru berdiri itu mendapat kepercayaan penuh dari Presiden
Soekarno. Hal itu terlihat dari pidatonya di depan parlemen pada tanggal 26 Maret
1956 yang menyebutkan bahwa kabinet itu sebagai titik tolak periode planning dan
investment. Namun, pada saat kabinet Ali Sastroamijoyo berkobar semangat anti
cina di masyarakat dan kekacauan di beberapa daerah.
Sementara itu dengan dibatalkannya undang-undang pembatalan KMB oleh
Presiden Soekarno pada tanggal 3 Mei 1956, timbul persoalan baru yaitu tentang
nasib modal belanda yang ada di Indonesia. Ada anjuran untuk menasionalisasikan
atau mengindonesianisasi perusahaan milik belanda yang ada di Indonesia. Ada
anjuran untuk mengindonesiasikan atau menasionalisasikan perusahan milik
belanda. Namun, sebagian besar anggota kabinet menolak tindakan tersebut. Pada
waktu itu banyak orang belanda yang menjual perusahannya terutama para orang
cina. Karena merekalah yang memiliki uang. Orang-orang Cina rata-rata sudah
memiliki ekonomi yang kuat di Indonesia. Itulah sebabnya tanggal 19 Maret 1956,
Mr. Assat di depan Kongres Nasional Importir Indonesia di Surabaya menyatakan
bahwa pemerintah perlu mengeluarkan peraturan yang dapat melindungi pengusaha
nasional. Hal itu penting karena pengusaha Indonesia tidak mampu bersaing
dengan pengusaha
nonpribumi, khususnya Cina. Pernyataan Asaat itu mendapat sambutan hangat dari
masyarakat. Kemudian lahirlah gerakan Asaat di mana-mana. Pemerintah
menanggapi gerakan itu dengan dikeluarkannya pernyataan dari mentri
perekonomian Burhanudin (NU) bahwa pemerintah akan memberi bantuan terutama
kepada perusahaan yang seratus persen milik orang Indonesia.

F. Rangkuman
Setelah saudara membaca uraian mater sebagaimana tersebut diatas, maka diapat
disarikan simpulan – simpulan sebagai berikut.
a. Periode tahun 1950-1959 dalam sejarah Indonesia disebut sebagai sistem
Demokrasi Palementer yang memperlihatkan semangat belajar berdemokrasi.
Oleh karena itu, sistem pemerintahan yang dibangun mengalami kendala yang
mengakibatkan jatuh bangun kabinet. Periode ini disebut oleh Wilopo, salah
seorang Perdana Menteri di era tersebut (1952-1953) sebagai zaman
pemerintahan partai-partai. Banyaknya partaipartai dianggap sebagai salah satu
kendala yang mengakibatkan kabinet/ pemerintahan tidak berusia panjang dan
silih berganti.
b. Pada masa tersebut terjadi pasang surut keadaan politik dan ekonomi sehingga
menimbulkan ketidakpuasan pada perdana menteri yang tengah menjabat,
sehingga hampir setiap tahun terjadi pergantian kabinet. Jatuh bangunnya
kabinet ini membuat program-program kabinet tidak dapat dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Kondisi inilah yang menyebabkan stabilitas nasional
baik di bidang politik, ekonomi, sosial dan keamanan terganggu. Kondisi ini
membuat Presiden Soekarno, dalam salah satu pidatonya mengatakan bahwa
“sangat gembira apabila para pemimpin partai berunding sesamanya dan
memutuskan bersama untuk mengubur partai-partai”. Soekarno bahkan dalam
lanjutan pidatonya menekankan untuk melakukannya sekarang juga. Pernyataan
Soekarno membuat hubungan dengan Hatta semakin renggang yang akhirnya
dwi tunggal menjadi tanggal ketika Hatta mengundurkan diri sebagai wakil
presiden. (Anhar Gonggong,
2005). Sistem pemerintahan parlementer adalah suatu sistem pemerintahan
dimana presiden hanya berkedudukan sebagai kepala negara apabila negara itu
berbentuk republik dan raja apabila negara berbentuk monarki. Sedangkan
kepala
pemerintahan dipegang oleh seorang perdana mentri yang terpilih berdasarkan
pemilu, meskipun demikian perdana mentri yang diangkat pada sistem parlementer
di Indonesia diangkat melalui dewan formatur.
c. Pada era ini, Indonesia menjalankan pemilihan umum pertama yang diikuti oleh
banyak partai politik. Pemilu 1955 merupakan tonggak demokrasi pertama di
Indonesia. Pemilu ini dilaksanakan untuk memilih anggota Parlemen dan anggota
Konstituante. Rencana pemilu di Indonesia sudah diprogramkan pada masa Kabinet
Ali Sastroamidjoyo I. Pada masa ini pemilu baru dalam persiapan pelaksanaan.
Pelaksanaan pemilu dilakukan pada masa Kabinet Burhanudin Harahap yaitu pada
tahun 1955, dalam pemilu tersebut memilih anggota DPR dan anggota Konstituante.
Hasil pemilu 1955 menghasilkan lima besar partai yang mendapatkan suara
terbanyak, yaitu partai Islam yang terwakili oleh Masyumi dan NU, partai Nasionalis
terwakili oleh PNI, partai Sosialis terwakili oleh PSI dan Partai komunis terwakili
oleh PKI. Konstituante diberi tugas untuk membentuk UUD baru menggantikan
UUD sementara. Sayangnya beban tugas yang diemban oleh Konstituante tidak dapat
diselesaikan. Kondisi ini menambah kisruh situasi politik pada masa itu sehingga
mendorong Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
Dekrit tersebut membawa Indonesia mengakhir masa demokrasi parlementer dan
memasuki Demokrasi Terpimpin.

______________________________________________________________________
Sumber: Materi PPG 2018, Hamdan Tri Atmadja

Anda mungkin juga menyukai