dan komunikasi tersebut. Dalam konteks inilah kemudian muncul konsep politik
yang terkait dengan sistem kepartaian.
Maurice Duverger (1967:207) memberikan arahan mengenai sistem
kepartaian yang muncul dan berkembang saat itu. Sistem kepartaian yang
dimaksudkannya itu adalah one party system (sistem satu partai), two party
system (sistem dua partai) serta multy party system (sistem banyak partai).
Kategorisasi sistem kepartaian berdasarkan jumlah parta dikemukakan pula oleh
Rokkan (1968) yang kemudian berkembang pada variabel distribusi kekuatan
minoritas dalam partai (distribution of minority party strength).
Dalam menjelaskan sistem partai, tidak cukup hanya memperhitungkan
jumlah partai yang eksis dalam dinamika politik sebuah bangsa. Masalah jumlah
partai politik merupakan hal penting, namun ada aspek lain yang perlu
dipertimbangkan. Dalam konteks ini, Giovanni Sartori (1976) mengutarakan
bahwa jarak idiologis antar partai dalam sistem itu menjadi sangat penting artinya
untuk memahami perilaku partai politik. Dengan adanya jarak ideologi antar
partai ini menyebebkan munculnya polirasisasi khusus mengenai partai politik
(Surbakti, 1992:127). Berdasarkan pertimbangan ini dia mengelompokkan sistem
kepartaian ke dalam tiga kelompok yaitu
Kutub Idiologi
Bipolar
Bipolar
Multipolar
Polaritas
Tidak ada
Kecil
Arah
Sentrifugal
Sentripetal
Besar
sentrifugal
Pertama, sistem satu partai. Istilah sistem partai tunggal merupakan satu
konsep yang contradictio in terminis (Mirriam Budiarjo, 1992:167). Maka sistem
tunggal merupakan kata paradok, sebab konsep sistem mempersyaratkan ada
beberapa bagian yang memadu dalam sebuah kerangka sistem. Oleh karena itu,
sistem satu partai atau sistem partai tunggal tidaklah layak disebut sebagai sistem,
dan lebih tepat disebut bentuk kepartaian tunggal.
Bentuk partai tunggal mirip dengan sistem politik komunis atau totaliter.
Dalam sistem politik seperti ini, kehadiran dan peran partai dikooptasi oleh elit
penguasa. Para penguasa tidak berharap ada dan muncul pemikiran atau
pandangan yang berbeda dengan pemerintah. Oleh karena itu, bentuk partai
tunggal merupakan model yang efektif untuk pemerintah melakukan kontrol atau
pengawasan terhadap aktivitas politik masyarakatnya.
Menurut Marcuse (1974) mengatakan bahwa dalam sistem politik totaliter
rezim berkuasa berusaha membangun bentuk-bentuk kontrol yang baru. Bentukbentuk kontrol baru tersebut dapat berupa keputusan politik yang berperspektif
elit atau penguasa, lingkungan politik yang digerakkan oleh keinginan-keinginan
elit dan bukan kebutuhan publik dan seterusnya.
Pada lingkungan masyarakat teknokratis, totalitas perilaku hidupnya baik
dalam konteks berpikir maupun bertindak senantiasa diproduksi dan bahkan
direproduksi oleh penguasa. Para penguasa berusaha keras untuk menciptakan
sistem dan kerangka yang relevan dengan kepentingan politisnya sendiri. Oleh
karena itu, rezim penguasa memaksa aparatur atau perangkat negara serta publik
untuk menunjukkan perilaku dan cara pandang yang sesuai dengan penguasa.
Dengan munculnya masyarakat teknokratis yang diproduki rezim
penguasa, maka tertutuplah ruang-ruang politik. Semesta politik yang tertutup
menjadi penyebab awal terkuburnya ruang tawar-menawar antara elit dan publik.
Tertutupnya semesta polilik merupakan salah satu
penahanan kekuasaan demi rezim yang tengah berkuasa. Oleh karena itu, sistem
politik seperti ini cenderung totaliter. Sistem partai tunggal pun menyebabkan
desublimasi represi negara. Perundangan yang dihasilkan dari sistem politik yang
tidak membuka ruang bagi tawar-menawar tentu saja melahirkan kebijakan5
membangun
tatanan
sosial
politiknya.
6
Ketiga,
rezim
penguasa
menggunakan
setiap
elemen
atau
aparatur
negara
untuk
kepentingan
menyediakan ruang bagi dua partai untuk bersaing guna mendapatkan dan/atau
mempertahankan otoritasnya dalam suatu sistem politik. Implikasi dari kondisi
ini, maka akan terbentuk satu partai sebagai partai penguasa dan kelompok lain
sebagai partai oposisi.
Partai politik yang memenangkan suara terbanyak dalam pemilihan umum
secara otomatis menjadi partai berkuasa selama waktu yang ditetapkan oleh
konstitusi. Sedangkan partai yang kalah menjadi partai oposisi (loyal) yang
memberikan antitesisi atau counterpart pada setiap kebijakan dan/atau keputusan
politik yang dihasilkan oleh pemerintah. Perlu dicatat bahwa oposisi loyal bukan
hanya melakukan kritik terhadap pemerintah berkuasa tetapi juga membedakan
dukungan atas kebijakan dan keputusan pemerintahan yang memang berkiblat
pada kepentingan publik. Ini artinya pada saat pemerintah berkuasa memformulasi
kebijakan publik yang tidak berorientasi pada kebutuhan mayoritas publik, maka
partai oposisi akan melakukan peran dan fungsinya sebagai antitesis atas
kebijakan-kebijakan pemerintah berkuasa. Yang perlu dicatat dalam sistem seperti
ini ialah bahwa kontrol partai oposisi pada partai berkuasa tidak didasarkan pada
upaya untuk melakukan perubahan sistem politik. Tetapi lebih dilandaskan pada
orientasi kepentingan warga masyarakat secara luas (khususnya konstituen partai).
Sehingga, di sisi lain, apabila terdapat keputusan-keputusan politik pemerintah
yang memang bernuansa tuntutan publik, maka partai oposisi akan sangat
mendukung atas diberlakukannya keputusan tersebut.
Pada sistem dua partai ini tampak jelas perbedaan tugas pokok dan fungsi
dari sebuah partai. Partai penguasa akan berbeda fungsi dengan partai oposisi.
Kehadiran dua kelompok partai seperti ini, secara teoritik diarahkan untuk
membangun keseimbangan kekuasaan dan kekuatan dalam masyarakat, sehingga
proses pemerintahan akan berjalan dengan baik.
Sistem dua partai akan berjalan dan berkembang dengan baik bila ada
prakondisi yang mendukungnya, seperti (1) tersedianya homogenitas sosiokultural warga masyarakat; (2) tegaknya konsensus pada pembangunan politik
8
yang beradab dan berkualitas dalam diri setiap warga masyarakat; (3) adanya
kontinuitas sejarah, sehingga mempermudah pelembagaan pembangunan politik
yang berkelanjutan, serta (4) terdapat mekanisme pengaturan dan penyelesaian
konflik yang mapan.
Selain ketiga jenis sistem kepartaian tersebut, ada model keempat yang
disebut sistem multipartai. Dalam bentuk ini ada dua atau lebih partai politik yang
dominan. Sistem multipartai merupakan produk dari struktur masyarakat yang
pluralis atau majemuk, baik dari sisi religiositas, etnisitas, maupuan sosioekonomi. Ada dua hipotesis yang terbentuk dalam sistem multipartai. Pertama,
sistem banyak partai agak sukar untuk menghasilkan pemenang pemilihan umum
yang mutlak atau absolut. Kondisi ini potensial memperumit pembangunan politik
pemerintahan yang stabil dan kuat. Karena setiap partai politik dapat mengklaim
memiliki massa yang kuat dan sama pentingnya dalam proses pembangunan
politik.
koalisi. Dengan adanya koalisi antar partai dengan partai penguasa, pemerintah
harus mampu menjaga koalisi agar tercipta pembangunan.
Sistem multipartai, apalagi bila disandingkan dengan pemerintahan
parlementer akan cenderung pada kekuasaan badan legislatif (Budiarjo,
1992:169), karena eksekutif tidak bersatu kuat dalam menjalankan administratur
pemerintahan maka yang perlu menjaga stabilitas politik dalam negeri adalah
institusi legislatif.
Pola multipartai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan perwakilan
berimbang (proporsional representation) yang memberi kesempatan luas bagi
pertumbuhan partai-partai lain dan golongan-golongan kecil.
Melalui sistem
perwakilan berimbang ini, diharapkan akan terbangun kualitas dan sistem politik
yang stabil dan dinamis. Di balik itu semua, dalam konteks sistem multipartai ada
tendensi kuat dari setiap elemen masyarakat atau elit politiknya untuk tetap
menjaga kemajemukan. Karena itu, mewadahi kepentingan yang beraneka-rupa
dalam satu atau dua partai saja mengakibatkan tidak berkembangnya kelompok
sosio-kultur, agama, atau kelompok ekonomi tertentu.
laksana
administrasi,
berjalannya
birokrasi,
hingga
tumbuh
dan
berkembangnya civil society di dalam sistem itu selanjutnya. Maka dari itu,
sejatinya, pemilihan sistem pemilihan umum menjadi pekerjaan yang tidak mudah
dan sesederhana seperti yang diwacanakan oleh banyak pihak. Bila boleh jujur,
jarang sekali sistem pemilihan umum dipilih secara sadar (rasional) dan disengaja
oleh elite-elite politik di banyak negara. Seringkali pemilihan sistem tersebut
10
2.
Pemilihan umum secara langsung bagi calon anggota legislatif dan partai
politik, diperlukan untuk meningkatkan kualitas akuntabilitas, para elit
politik.
3.
4.
menurut
Smith,
adalah
dalam
kerangka
pelatihan
dan
kepemimpinan nasional.
5. Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat, akan lebih meningkatkan
kualitas partisipasi rakyat di satu pihak dan keterwakilan elite di lain
pihak, karena masyarakat dapat menentukan sendiri siapa yang di anggap
pantas dan layak yang akan menjadi calon anggota legislatif dan partai
13
Diamond
(2005:
135),
menyebutkan
bahwa
demokrasi
liberal
membutuhkan paling tidak ada tiga prasyarat yakni : Pertama, menolak kehadiran
kekuasaan militer maupun aktor-aktor lain (seperti birokrasi dan oligarkhi yang
secara langsung maupun tak langsung tidak memiliki akuntabilitas pada pemilih).
Kedua, selain akuntabilitas vertikal para penguasa horizontal di antara para
penguasa kepada rakyat, demokrasi liberal membutuhkan akan stabilitas
horizontal di antara penguasa. Ketiga, demokrasi liberal mencakup ketentuanketentuan yang luas bagi pluralitas sipil dan politik serta kebebasan individu dan
kelompok. Aspek penting lain di dalam demokrasi yang tidak sekedar prosedural
adalah adanya hak masyarakat untuk memperebutkan kekuasaan atau membela
kepentingannya di luar kendali para pejabat terpilih secara terbatas.
Selain itu, tentu saja sistem pemilihan umum berusaha untuk dapat
mempengaruhi hubungan antara warga negara dan pemimpin mereka (seperti
pertanggungjawaban politik, keterwakilan dan daya tanggap). Dengan demikian
sistem pemilihan umum memiliki banyak akibat jangka panjang bagi
14
pemerintahan yang beradab dan berkualitas. Setidaknya, ada tiga tugas utama dari
suatu sistem pemilihan umum (Internasional IDEA, 2002: 24):
1. Menerjemahkan suara-suara yang dipungut dari, voters untuk menjadi kursi
yang dimenangkan dalam badan legislatif,
2. Bertindak
sebagai
saluran
yang
memungkinkan
rakyat
meminta
sepak-terjang
pemerintah
apabila
memang
16
pemilihan umum yang dapat dikatakan sebagai sistem "terbaik" yang dapat fit
serta cocok untuk semua negara. Pastinya ada kelebihan dan kekurangan atas
sistem-sistem yang ditawarkan untuk setiap negara. Pilihan atas sistem pemilihan
umum perlu dibuat secara rasional dan sadar dengan mengingat tujuan-tujuan
yang diinginkan oleh elite dan publik di suatu negara, sehingga dampak negatif
dari sistem yang digunakan dapat dieliminir. Oleh karena itu, pada akhirnya
sistem pemilihan umum sangatlah bersifat kontekstual dan tergantung pada teknis
pemisahan dan pembagian wilayah tertentu dalam suatu masyarakat. Meski
disadari bahwa sistem pemilihan umum "tertentu" memang lebih baik
dilaksanakan di negara tertentu, tetapi belum tentu hasil pemilihan umum dengan
menggunakan sistem yang sama berdampak paralel dengan negara-negara yang
mengikutinya. Ketika mengkaji sistem pemilihan umum, Pertimbangan penting
yang perlu diperhatikan ialah apakah aliran-aliran politik, religiositas, dan etnis di
suatu negara terfragmentasi secara tajam, dan apakah kaum minoritas diwakili
secara adil.
Secara umum, sistem pemilu tersebut dapat dikelompokkan sebagai
berikut, yaitu sistem pemilihan mayoritas plural, sistem pemilihan semiproporsional, dan sistem pemilihan perwakilan proporsional.
17
walau istilah sistem itu sendiri Two Round Sistem. Hal ini dikarenakan oleh telah
terpenuhinya aspek suara mayoritas-absolut. Tetapi, jika tidak ada calon anggota
parlemen yang mendapatkan suara mayoritas-absolut, maka putaran kedua wajib
dilaksanakan dan dalam putaran kedua diupayakan muncul pemenang utama,
sehingga dinyatakan terpilih. Salah satu metode yang dapat digunakan agar
tercipta
pemenang
yang
bersuara
mayoritas-absolut
adalah
dengan
mengisyaratkan bahwa peserta yang mendapatkan suara pada posisi paling bawah
atau berada pada ranking-ranking bawah (yang ditetapkan oleh panitia pemilihan
tentunya), maka mereka tidak diikutsertakan lagi pada putaran kedua. Dengan
berkurangnya calon-calon anggota legislatif yang menjadi peserta pemilihan
diasumsikan dapat memunculkan pemenang yang absolut (lima puluh persen
ditambah satu pemilih).
b. Sistem Pemilihan (Representasi) Proporsional
Bagaimana pemberian suara rakyat disebarkan diantara partai-partai yang
berkompetisi? Semua sistem politik dengan pemilihan, baik kompetitif maupun
tidak, harus mempunyai sistem pemilihan, jika partai-partai itu seperti pepohonan
di hutan, maka sistem pemilihannya adalah hutannya; pepohonan itu tumbuh
ditengah-tengahnya, dan kita hampir selalu mengira hutan itu sebagai pohonnya.
Sebagian warga negara, baik ia hidup dibawah pemerintahan otoriter maupun
demokrasi, dapat mengenali dengan benar sistem pemilihan yang, sebetulnya
mempunyai pengaruh besar pada pilihan politik yang ada. Lalu, apakah sistem
pemilihan itu?.
Terdapat tiga variable model sistem pemilihan dalam kubu sistem
pemilihan representasi proporsional, yakni : Sistem Pemilihan List Proportional
Representation (List PR), Sistem Pemilihan Mixed Member Proportional (MMP),
serta Sistem Pemilihan SingleTransferableVote (STV).
Pertama, Sistem Pemilihan List Proportional Representation (Lisf PR)
Dalam bentuk yang paling sederhana. List PR biasanya meliputi kegiatan, sebagai
berikut, setiap partai dipersilahkan untuk membuat daftar (atau list) nama-nama
calon legislatif yang ditawarkan pada pemilih pada suatu wilayah representasi
19
tertentu, yang mana kemudian para pemilih (voters) memilih gambar partai dan
atau gambar anggota calon yang tertera dalam daftar nama-nama calon yang
ditawarkan tersebut. Pemilih hanya diperkenankan memilih satu calon saja (yang
berbeda dengan Sistem Pemilihan Preferensial, misalnya). Seringkali Gambar
partai telah dianggap mewakili pilihan pemilih pada calon yang bernomor kecil,
sehingga kemungkinan untuk tidak ada anggota legislatif yang tidak terpilih
dalam sistem ini amat kecil. Karena dengan hanya mencoblos tanda gambar
partai, biasanya pemilihan itu dianggap sah; namun tidak untuk sebaliknya. Para
pemenang (calon anggota terpilih) adalah mereka.-mereka yang berhasil meraih
suara tertentu sesuai dengan jumlah mandat yang ditetapkan oleh Panitia
Pemilihan umum (biasanya berdasar pada jumlah kepadatan penduduk di suatu
wilayah).
Kedua, Sistem Pemilihan Mixed-Member Proportional (MMP) Sistem
pemilihan ini mencoba menggabungkan ciri-ciri positif baik dari sistem pemilihan
umum model mayoritas maupun dari sistem pemilihan Representasi Proporsional
Sebagian anggota parlemen dipilih berdasarkan metode Plural-majority, biasanya
dengan sistem distrik wakil tunggal, sementara sisanya lagi dipilih berdasarkan
List PR. Sekilas sistem ini mirif dengan sistem pemilihan Paralel yang sudah
dijelaskan sebelumnya, namun perbedaan utamanya adalah bahwa dalam Sistem
pemilihan Mixed Member Proportional kursi yang berdasarkan List PR dapat
mengompensasi disproporsionalitas yang tidak dihasilkan melalui Sistem PluralMajority. Secara teoretik pengalihan seperti tersebut di atas setidaknya mengambil
tiga model mekanisme turunan dari Sistem Pemilihan
Mixed-Member
Proportional ini (Kartawidjaya dan Kusuma, TT: 63-47). yang pertama disebut
dengan Sistem Pemilihan Kombinasi Paralel. Sistem ini menggabungkan atau
mengkombinasikan perolehan suara atas perolehan kursi melalui Sistem
Proporsional dan melalui Sistem Distrik.
Kedua, Sistem Kombinasi Proporsional Non Personal. Sistem ini amat
berbeda, secara penghitungan suara, dengan sistem pemilihan Sistem Pemilihan
Kombinasi Paralel.
20
Jumlah Suara
1
Jumlah Suara 1
calon legislatif terpilih (yakni suara di atas kuota) dibagikan lagi menurut
preferensi kedua pada kertas suara. Agar adil, semua kertas suara calon legislatif
dibagi lagi tetapi masing-masing menurut persentase dari satu suara, sehingga
jumlah total suara yang dibagikan sama dengan sisa surplus suara. Sebagai
contoh, jika seorang calon legislatif memperoleh 100 suara, dan surplus suaranya
sepuluh suara, maka setiap kertas suara akan dibagikan dengan nilai 1/10 suara.
Proses ini diteruskan sampai semua kursi untuk sebuah daerah pemilihan terisi.
c. Sistem Pemilihan Semi-Proporsional
Sistem Pemilihan Semi-Proporsional merupakan sistem yang mengonversi
suara menjadi kursi dengan hasil yang berada diantara Sistem Pemilihan
Proporsional dengan mayoritarian dari Sistem Plural-Majority. Tiga macam varian
sistem pemilihan umum dalam kelompok Sistem Semi-Proporsional yang dapat
digunakan untuk memilih calon-calon anggota legislatif, adalah: Sistem Pemilihan
Palalel, Sistem Pemilihan Limited Vote (LV), dan Sistem Pemilihan Single Non
Transferable Vote (SNTV).
Varian sistem yang pertama turunan dari Sistem Semi-Proporsional adalah
Sistem Pemilihan Parallel Sistem (PS). Sistem ini menggunakan daftar-daftar
calon seperti pada Sistem Representasi Proporsional yang digabungkan dengan
sistem distrik plural-majority, sehingga seringkali sistem ini juga disebut Sistem
Pemilihan Campuran. Pengguanan Sistem Representasi Proporsional atau
menggunakan perwakilan distrik, seperti terpapar di atas, sangat ditentukan oleh
panitia pemilihan umum.
Kedua, Sistem Pemilihan Limited Vote (LV). Pada dasarnya, Sistem
Pemilihan Limited Vote adalah sistem campuran antara Sistem Pemilihan Single
Non-Transverable Vote (SNTV) dengan Sistem Pemilihan Block Vote (BV),
karena menyertakan distrik wakil majemuk dan calon legislatif, Di mana yang
akan menjadi anggota legislatif terpilih ialah mereka-mereka yang memperoleh
suara terbanyak. Sistem ini merupakan salah satu dari sistem yang paling jarang
digunakan dewasa ini, tetapi masih tetap disukai karena sistem ini memberikan
jalan bagi terpilihnya calon Iegislatif yang kuat dari kaum minoritas.
22
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
23