Anda di halaman 1dari 16

Tugas Teori sosiologi keluarga untuk kesejahteraan sosial

Tentang:

Teori sosiologi tentang masyarakat, perubahan sosial, dan konsep dasar


perubahan sosial
Dikerjakan

NIRMALA KANDI NURHALIZAH

180902027

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2019
Teori Struktural Fungsional
Teori struktural fungsional seringkali disebut sebagai perspektif fungsionalisme
adalah teori yang mengemukakan tentang keseimbangan sosial yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat. Kesimbangan ini diperoleh karena masyarakat dianggap sebagai susunan
organisme yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Organisme yang terbentuk
dalam masyarakat menyebabkan adanya stabiltas tatanan sosial yang di dapatkan dari
berbegai bentuk lembaga sosial masyarakat, baik lembaga ekonomi, lembaga politik,
lembaga hukum, ataupun lembaga pendidikan.

Emile Durkheim
Teori struktural fungsional menurut Emile Durkheim adalah susunan masyarakat
sebagai bagian tatanan sosial yang mengindikasikan bahwa memiliki hidup harmonis.
Fungsionalisme fokus pada struktur sosial yang levelnya makro dalam masyarakat, hal ini
juga ia tegaskan bahwa masyarakat sebagai kenyataan objektif individu-individu yang
merupakan anggota-anggotanya. Menurut Emile Durkheim fungsionalisme struktural sebagai
keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki
seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian
yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng yang bila kebutuhan
tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat “patologis”.
Sebagai contoh dalam masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan
yang harus dipenuhi. Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluturasi yang keras,
maka bagian ini akan mempengaruhi bagian lain dari sistem itu dan akhirnya sistem sebagai
keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat menghancurkan sistem politik, mengubah sistem
keluarga dan menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan. Pukulan yang demikian
terhadap sistem dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang pada akhirnya akan teratasi
dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali dapat dipertahankan.

Coser dan Rosenberg


Coser dan Rosenberg melihat bahwa kaum struktural fungsional berbeda satu sama
lain di dalam mendefenisikan konsep-konsep sosiologi mereka. Sekalipun demikian adalah
mungkin untuk memperoleh suatu batasan dari dua konsep kunci atas kebiasaan sosiologis
standar. Struktur – struktur menunjuk pada “seperangkat unit-unit sosial yang relatif stabil
dan berpola” atau “suatu sistem dengan pola-pola yang relatif abadi”. Contoh dari struktur ini
adalah Lembaga-lembaga sosial seperti keluarga agama atau pemerintahan yang masing-
masing merupakan bagian yang saling bergantungan (norma-norma mengatur status dan
peranan) menurut beberapa pola tertentu yang dibatasi konsekuensi-konsekuensi dari setiap
kegiatan sosial yang tertuju pada adaptasi atau penyesuaian suatu struktur tertentu dari
bagian-bagian komponennya.
Dengan demikian fungsi menunjuk kepada proses dinamis yang terjadi di dalam
struktur. Hal ini menimbulkan masalah tentang bagaimana berbagai norma sosial yang
mengatur status-status, ini memungkinkan status-status tersebut saling berhubungan satu
sama lain dan berhubungan dengan sistem yang lebih luas.
Teori Konflik
Perspektif konflik memahami masyarakat sebagai kelompok-kelompok dengan
berbagai kepentingan yang bersaing dan akan cenderung saling berkonflik. Melalui
persaingan itu, maka kelompok-kelompok dengan kekuasaan yang berlebih akan
menciptakan hukum dan aturan-aturan yang menjamin kepentingan mereka dimenangkan.

Karl Marx
Teori konflik menurut Karl Marx terjadi karena adanya pemisahan kelas di dalam
masyarakat, kelas sosial tersebut antara kaum borjuis dan kaum proletar, di mana kaum
borjuis yang mempunyai modal atas kepemilikkan sarana-sarana produksi sehingga dapat
menimbulkan pemisahan kelas dalam masyarakat. Karl Marx menunjukkan bahwa dalam
masyarakat pada abad ke-19 di Eropa terdiri dari kelas pemilik modal (kaum borjuis) dan
kelas pekerja miskin (kaum proletar). Kedua kelas tersebut tentunya berada dalam struktur
sosial hierarki yang jelas sekali perbedaannya. Dengan jahatnya kaum borjuis kepada kaum
proletar maka kaum borjuis memanfaatkan tenaga dari kaum proletar. Kaum borjuis
melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi, keadaan seperti ini
akan terus berjalan selama beriringnya waktu, karena kaum proletar yang pasrah, menerima
keadaan yang sudah ada, kaum proletar menganggap bahwa dirinya itu sudah takdirnya
menjadi buruh atau kaum pekerja. Dari ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum
borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar yang disebut revolusi, hal ini bisa
terjadi karena adanya kesadaran dari kaum proletar yang dieksploitasi kepada kaum borjuis,
dari kesadaran tersebut menjadikan persaingan yang merebutkan kekuasaan, sehingga lahir
tatanan kelas masyarakat pemenang yang kemudian mampu membentuk tatanan ekonomi dan
peradaban yang maju dalam masyarakat.

Dahrendorf
Teori konflik menurut Dahrendorf dalam setiap kelompok seseorang berada dalam
posisi dominan berupaya mempertahankan status quo yang berarti orang tersebut
mempertahankan keadaan sekarang yang tetap seperti keadaan sebelumnya. Sedangkan
masyarakat yang dalam posisi marginal atau kaum yang terpinggirkan berusaha mengadakan
perubahan. Konflik dapat merupakan proses penyatuan dan pemeliharaan stuktur sosial. Jadi
tidak selamanya konflik itu bersifat negatif ada juga segi positifnya. Konflik dapat saling
menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok, konflik dengan kelompok lain dapat
memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak terpecah ke dalam
dunia sosial sekelilingnya. Misalnya perang yang terjadi di Timur Tengah antara Saudi
Arabia dan Israel yang telah memperkuat identitas kelompok masing-masing negara.

Coser
Teori konflik menurut Coser dibagi menjadi dua, yang pertama konflik realistis dan
konflik non realistis. Konflik realistis berasal dari kekecewaan terhadap adanya tuntutan-
tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan yang ditujukan kepada obyek yang dianggap
mengecewakan. Contohnya seperti para karyawan perusahaan yang melakukan mogok kerja
supaya gaji mereka dapat dinaikkan oleh atasannya. Sedangkan konflik non realistis berasal
dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan yang paling tidak dari salah satu pihak.
Contohnya pada masyarakat yang buta huruf yang dalam membalaskan dendamnya dengan
pergi ke dukun santet supaya dendam-dendamnya terbayarkan, sedangkan pada masyarakat
maju yang melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan untuk
melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
Max Weber
Teori konflik menurut Max Weber baginya konflik merupakan unsur dasar kehidupan
masyarakat. Di dalam masyarakat tentunya memiliki pertentangan-pertentangan dan
pertentangan tersebut tidak bisa dilenyapkan dari kehidupan masyarakat. Max Weber juga
menyatakan bahwa masalah kehidupan modern dapat dirujuk ke sumber materialnya yang riil
(misalnya struktur kapitalisme). Bagi Max Weber konflik sebagai suatu sistem otoritas atau
sistem kekuasaan, dimana kekuasaan cenderung menaruh kepercayaan kepada kekuatan.
Orang yang kuat itulah yang akan berkuasa. Sedangkan otoritas adalah kekuasaan yang
dilegitimasikan artinya kekuasaan yang dibenarkan. Tindakan manusia itu di dorong oleh
kepentingan-kepentingan bukan saja kepentingan materiil melainkan juga oleh kepentingan-
kepentingan ideal. Oleh karena itu, antara konflik dan integrasi akan terjadi di dalam
masyarakat.

Contoh Teori Konflik


Kemiskinan
Kajian mengenai teori konflik jika dilakukan pendalaman, bisa memberikan kejelasan
mengenai kemiskinan. Kemiskinan melatar belakangi masyarakat untuk melakukan
perubahan sosial ke arah yang lebih baik, perubahan ini terbentuk karena masyarakat miskin
akan berupaya melakukan sesuatu hal yang bisa meningkatkan pendapatannya. Misalnya
orang miskin untuk naik kelas melakukan tindakan kriminalitas, sedangkan orang kaya
bertahan untuk memperluaskan jaringan usahanya agar bisa bertahan dalam kekayaan.
Kondisi ini jika terjadi secara terus menerus akan menyebabkan masyarakat berada dalam
kesenjangan sosial yang lebih tinggi, selama itu pula konflik akan terjadi dalam kehidupan
masyarakat karena berdasarkan fakto ekonomi dan perebutan antara status kaya dan miskin.
Pengangguran
Kajian mengenai teori konflik juga bisa dipergunakan dalam memperdalam
pengangguran, pengangguran menjadi salah satu faktor penentu dalam konflik sosial.
Tingginya angka penganguran dalam masyarakat menyebabkan tingginya angka kriminalitas,
sehingga upaya penyelesaian ini terjadi karena lowongan kerja tidak tersedia atau karena
banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi dan tidak sesuai dengan pendapatkan yang di
hasilkannya.
Buruh dan Majikan
Kasus konflik yang paling kecil dan bisa dilakukan pendalaman dalam teori konflik
ini adalah kasus mengenai buruh dan majiakan, meskipun hal ini sebagai keteraturan sosial
akan tetapi di dalamnya ada hubungan status dan peranan yang dapat memperdalam adanya
jaringan-jaringan konflik masyarakat.
Seorang majikan akan memberikan perintah, sedangkan buruh akan mentatai perintah
yang diinginkan majian, kejadian ini berakibat pada terbentuknya keseimbang, meski dalam
kehidupannya tidak haromonis karena setiap buruh memiliki keinginan untuk menjadi
majikan.
Politik
Teori konflik juga bisa diperdalam melalui politik yang memberikan penguasaan serta
mempertahankan kekuasaan yang diinginkan. Politik yang ada di dalam pemerintahan
menjadi sumber konflik yang paling di takuti, karena hal ini akan memicul adanya konflik
dalam segi kehidupan sosial lainnya, baik eknomi, hukum, dan lainnya.
Perebutan kekuasaan yang ada serta dilakukan pemerintah merupakan salah satu isu
yang bisa dikaji dalam teori konflik, yang berpedapat bahwa kekuasaan hanya akan diberikan
kepada orang yang memiliki uang, yang kondisi ini kita rasakan pada kehidupan saat ini.
Teori Interaksi Simbiolik
Interaksi simbiolik merupakan aliran sosiologi Amerika yang lahir dari tradisi
psikologi. Kaum interaksi simbiolik mengetengahkan dimensi-dimensi yang terabaikan ini ke
dalam analisa sosiologi, yaitu analisa aspek-aspek perilaku manusia yang subyektif dan
interpretatif. Dalam pandangan intraksi simbolik manusia bukan dilihat sebagai produk yang
ditentukan oleh struktur atau situasi obyektif, tetapi paling tidak sebagian merupakan aktor-
aktor yang bebas. Pendekatan kaum interaksionis menelankan perlunya sosiologi
memerhatikan defenisi atau interpretasi subyektif yang dilakukan aktor terhadap stimulus
obyektif, bukannya melihat aksi sebagai tanggapan langsung terhadap stimulus sosial.

Psikologi Sosial George Herbert Mead


Mead berpandangan bahwa realitas sosial sebagai proses ketimbang sebagai sesuatu
yang statis. Penjelasan mead ialah bahwa diri atau self menjalani internalisasi atau
interprestasi subyektif atas realitas (obyektif) struktur yang lebih luas. Dir “self” benar-benar
merupakan internalisasi seseorang atas apa yang telah “digeneralisir orang lain” atau
kebiasaan-kebiasaaan sosial komunitas yang lebih luas. Dia merupakan produk dialektis dari
“saya” dan sosiologis “aku”. Diri ini berkembang ketika orang belajar “mengambil peranan
orang lain” atau masuk ke dalam pertandingan (games) ketimbang permainan.
Menurut mead orang tak hanya menyadari orang lain tetaoi juga mampu menyadari
dirinya sendiri. Dengan demikian orang tidak hanya berinteraksi dengan orang lain, tetapi
secara simbolis dia juga berinteraksi dengan dirinya sendiri. Interaksi-simbiolis dilakukan
dengan menggunakan bahasa, sebagai satu-satunya simbol yang terpenting, dan melalui
isyarat. Simbol bukan merupakan fakta-fakta yang sudah jadi, simbol berada dalam proses
kontinu. Proses penyampaian makna inilah yang merupakan subject matter dari sejumlah
analisa kaum interaksi simbiolik. Dalam interaksi orang-orang memahami simbol-simbol
konvensional, dan dalam suatu pertandingan mereka belajar menggunakannya sehingga
mampu memahami peranan aktor-aktor lainnya. Seorang penyanyi misalnya, tahu benar
bahwa tepuk tangan para penonton merupakan cermin rasa senang terhadap penampilannya.

Interaksi Simbiolis: Perspektif dan Metode


Blummer membagi interaksi-simbiolis pada tiga premis yaitu:
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu
itu bagi mereka
2. Makna tersebut berasal dan “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”
3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interkasi berlangsung.

Menurut Blummer individu bukan dikelilingi oleh lingkungan obyek-obyek potensial


yang mempermainkannya dan membentuk perilakunya. Gambaran yang benar ialah dia
membentuk obyek-obyek itu, misalnya berpakaian atau mempersiapkan diri untuk karir
profesional, individu sebenarnya sedang merancang obyek-obyek yang berbeda, memberinya
arti, menilai kesesuaiannya dengan tindakan, dan mengambil keputusan berdasarkan
penilaian tersebut. Inilah yang dimaksud dengan penafsiran atau bertindak berdasarkan
simbol-simbol.
Dengan demikian manusia merupakan aktor yang sadar dan refleksif, yang menyatukan
obyek-obyek yang diketahuinya melalui apa yang disebut Blummer sebagai proses Self
Indication yaitu proses komunikasi yang sedang berjalan di mana individu mengetahui
sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan
makna itu. Proses self indication ini terjadi dalam konteks sosial di mana individu mencoba
“mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana
dia menafsirkan tindakan itu.

Masyarakat sebagai Interaksi Simbiolis


Bagi Blumer keistimewaan pendekatan kaum interaksi simbiolik ialah manusia dilihat
saling menafsirkan atau membatasi masing masing tindakan mereka dan bukan hanya saling
berinteraksi kepada setiap tindakan itu menurut mode stimulus respon. Seseorang tidak
langsung memberi respon pada tindakan orang lain, tetapi didasari oleh pengertian yang
diberikan kepada tindakan itu. Blummer menyatakan dengan demikian interaksi manusia
dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, oleh kepastian makna dari
tindakan-tindakan orang lain.
Blumer tidak mendesakkan prioritas dominasi kelompok atau struktur, tetapi melihat
tindakan kelompok sebagai kumpulan dari tindakan individu. Dalam melihat masyarakat
Blumer menegaskan dua perbedaan kaum fungsional struktural dan interaksi simbiolik yaitu:
1. Pertama, dari sudut interkasi simbiolik. Organisasi masyarakat manusia
merupakan suatu kerangka di mana tindakan sosial berlangsung dan bukan
merupakan penentu tindakan itu.
2. Kedua, organisasi yang demikian dan perubahan yang terjadi di dalamnya adalah
produk dari kegiatan unit-unit yang bertindak dan tidak oleh “kekuatan-kekuatan”
yang membuat unit-unit itu berada di luar penjelasan.

Interaksi simbiolik yang dikemukakan Blumer mengandung sejumlah ide-ide dasar


yang dapat diringkas sebagai berikut:
1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling
bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai
organisasi atau struktur sosial.
2. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan
kegiatan manusia laim. Interaksi-interaksi nonsimbiolik mencakup stimulus
respon yang sederhana, seperti halnya batuk untuk membersihkan tenggorokan
seseorang. Interaksi simbiolik mencakup “penafsiran tindakan”. Bila dalam
pembicaraan seseorang berpura-pura batuk ketika tidak setuju dengan pokok-
pokok yang diajukan oleh si pembicara, batuk tersebut menjadi suatu simbol yang
berarti, yang dipakai untuk menyampaikan penolakan. Bahasa tentu saja
merupakan simbol berarti yang paling umum.
3. Obyek-obyek, tidak mempunyai makna yang intrinsik, makna lebih merupakan
produk interkasi simbiolik. Obyek-obyek dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
kategori yang luas yaitu:
 Obyek fisik, seperti meja, tanaman, atau mobil.
 Obyek sosial seperti ibu, guru, menteri atau teman.
 Obyek abstrak seperti nilai-nilai, hak dan peraturan
Blumer membatasi obyek sebagai “segala sesuatu yang berkaitan dengannya”.
Dunia obyek “diciptakan, disetujui, ditransformir dan dikesampingkan” lewat
interaksi simbiolik. Ilustrasi makna yang diterapkan kepada obyek fisik dapat
dilihat dalam perlakuan yang beda terhadap sapi di Amerika dan di India. Obyek
(sapi) sama, tetapi di Amerika sapi dapat berarti makanan, sedang di India sapi
dianggap sakral. Bila dilihat dari perspektif lintas kultural, obyek-obyek fisik
yang maknanya kita ambil begitu saja bisa dianggap terbentuk secara sosial.
4. Manusia tidak hanya mengenal objek eksternal, mereka dapat melihat dirinya
sebagai obyek. Jadi seorang pemuda dapat melihat dirinya sebagai mahasiswa,
suami, dan seorang yang baru saja menjadi ayah. Pandangan terhadap diri sendiri
ini, sebagaimana dengan semua obyek, lahir di saat proses interaksi simbiolis.
5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu
sendiri. Blumer menulis “Pada dasarnya tindakan manusia terdiri dari
pertimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya dan melahirkan serangkaian
kelakuan atas dasar sebagaimana mereka menafsirkan hal tersebut. Hal-hal yang
dipertimbangkan itu mencakup berbagai masalah seperti keinginan dan kemauan,
tujuan dan sarana yang tersedia untuk mencapainya, serta tindakan yang
diharapkan dari orang lain, gambaran tentang dirinya sendiri, dan mungkin hasil
dari cara bertindak tertentu.
6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggot-anggota
kelompok, hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai
“organisasi sosial dari perilaku tindakan-tindakan berbagai manusia”. Sebagian
besar tindakan bersama tersebut berulang-ulang dan stabil, melahirkan apa yang
disebut para sosiologi sebagai “kebudayaan” dan “aturan sosial”. Sebagian besar
pendekatan teoritis Blumer pada interaksi simbiolik dikembangkan dari
penafsirannya terhadap karya Mead. Akan tetapi Mead lalai mengetengahkan
metode yang tepat bagi penelitian interaksi simbiolik. Pada topik inilah blumer
banyak memberi perhatiannya.

Prinsip-Prinsip Metedologis Empiris


Jalan kepada kesahihan demikian tidak terletak pada manipulasi metode penelitian, ia
berada pada pengujian dunia sosial empiris. Hal ini tidak dicapai dengan merumuskan dan
menyempurnakan teori-teori yang menarik, melengkapi model-model yang sederhana,
mencoba menyamai prosedur-prosedur ilmu fisika yang maju, menggunakan skema-skema
statistik dan matematik mutakhir, menciptakan konsep-konsep baru, mengembangkan teknik-
teknik kuantitatif yang lebih tepat, atau dengan kepatuhan pada norma-norma rencana
penelitian. Keasyikan seperti itu, tanpa prasangka atas manfaatnya di bidang lain, di sini tidak
diperlukan. Yang dibutuhkan ialah kembali kepada dunia sosial empiris.

Contoh Interaksi Simbolik


Sebagai contoh, tindakan orang yang merokok. Fakta objektif yang ditunjukkan ilmu
medis menyatakan bahwa merokok berakibat buruk bagi organ tubuh. Namun sekelompok
anak muda memilih untuk merokok bukan karena mereka tidak tahu kebenaran objektif yang
menjadi resiko merokok, tetapi karena mereka meyakini bahwa merokok itu meningkatkan
image positif tentang dirinya setidaknya dilingkungan pergaulannya.

Teori Pertukaran Sosial


Teori pertukaran sosial dari Peter Michael Blau muncul pada tahun 60-an sebagai
respons terhadap teori fungsionalis. Salah satu tokoh utama Teori Fungsionalis yang dikritik
oleh Blau adalah Talcott Parsons.Jika Parsons berpendapat bahwa human behavior hanya
dipengaruhi oleh system nila individu, tidak demikian dengan Blau. Blau meyakini bahwa
human behavior dipengaruhi oleh system nilai individu dan system nilai lingkungan
sosialnya (nilai masyarakat). Blau mengatakan bahwa pertukaran sosial dapat diamati dalam
kehidupan keseharian kita. Konsep ini tidak hanya dijumpai dalam market relations namun
juga dalam hubungan pertemanan.Blau menjelaskan bahwa tidak semua perilaku manusia
dibimbing oleh pertimbangan pertukaran sosial, tetapi dia berpendapat kebanyakan memang
demikian.
Dalam masyarakat yang paling sederhana, pertukaran sosial terjadi dalam bentuk
pertukaran gift dan services. Gift yang diterima tidaklah secara sukarela, namun diberikan
dibawah obligation. Lebih jauh lagi, sesuatu yang dipertukarkan tidak hanya dalam bentuk
goods and wealth, real and personal property dan economic values. Namun juga kesopanan,
hiburan dan lain-lain. Dalam teori pertukaran sosial menekankan adanya suatu konsekuensi
dalam pertukaran baik yang berupa ganjaran materiil, misal yang berupa barang maupun
spiritual yang berupa pujian. Selanjutnya untuk terjadinya pertukaran sosial harus ada
persyaratan yang harus dipenuhi. Syarat itu adalah :
1. suatu perilaku atau tindakan harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat
tercapai lewat interaksi dengan orang lain;
2. suatu perilaku atau tindakan harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi
pencapaian tujuan-tujuan yang dimaksud. Adapun tujuan yang dimaksud dapat berupa
ganjaran atau penghargaan intrinsik yakni berupa pujian, kasih sayang, kehormatan
dan lain-lainnya atau penghargaan ekstrinsik yaitu berupa benda-benda tertentu, uang
dan jasa.

Harapan-harapan yang akan diperoleh dalam pertukaran sosial menurut Blau, yaitu :
 ganjaran atau penghargaan;
 lahirnya diferensiasi kekuasaan; * kekuasaan dalam kelompok; dan
 keabsahan kekuasaan dalam kelompok.
Blau berpendapat bahwa
1. individu-individu dalam kelompok-kelompok yang sederhana (mikro) satu sama lain
dalam pertukaran sosial mempunyai keinginan untuk memperoleh ganjaran ataupun
penghargaan; dan
2. tidak semua transaksi sosial bersifat simetris yang didasarkan pada pertukaran sosial
yang seimbang.

Menurut Blau, terdapat empat tipe nilai perantara yaitu :


1. Nilai-nilai yang bersifat khusus berfungsi sebagai media bagi kohesi dan solidaritas
social;
2. Ukuran-ukuran tentang pencapaian dan bantuan sosial yang bersifat umum
melahirkan sistem stratifikasi social;
3. Sebagaimana dapat dilihat, nilai-nilai yang disyahkan itu merupakan medium
pelaksanaan wewenang dan organisasiorganisasi usaha-usaha sosial berskala besar
untuk mencapai tujuan-tujuan kolektif dan ;
4. Gagasan-gagasan oposisi adalah media reorganisasi dan perubahan, oleh karena hal
ini dapat menimbulkan dukungan bagi gerakan oposisi dan memberi legitimasi bagi
kepemimpinan mereka.

Meski interaksi yang dilakukan dalam pertukaran sosial relative sama dengan
interaksi bisnis dalam pertukaran ekonomi, namun amat berbeda dalam hal kewajiban. Jika
kewajiban dalam pertukaran ekonomi lebih spesifik, maka kewajiban dalam pertukaran sosial
tidak spesifik.Ini hal mendasar yang membedakan pertukaran sosial dengan pertukaran
ekonomi. Dalam konteks asosiasi dan interkasi, blau berpendapat bahwa interaksi sosial
berkembang pertama kali dalam kelompok sosial. Dalam kelompok kecil, interkasi yang
terjadi bersifat face to face. Namun pada kelompok yang lebih besar amat jarang.Teori Blau
sangat jelas melihat hubungan-hubungan dalam pilihan. Seperti dikatakan oleh Blau bahwa
seorang individu merasa tertarik satu sama lain kalau dia mengharapkan sesuatu yang
bermanfaat bagi dia sendiri karena hubungan itu.

Proses pertukaran dalam kelompok kecil memang cenderung bersifat sederhana


dibandingkan dengan kelompok yang lebih besar, sebab dalam kelompok yang lebih besar
banyak sekali pertukaran yang bersifat tidak langsung dan bersifat lebih komplek.Proses
internalisasi akan nilai-nilai dan norma-norma yang cocok, menjadi jauh lebih penting dalam
membentuk perilaku dan pola interaksi dari persetujuan pertukaran yang dirembukkan untuk
suatu tujuan tertentu.Pertukaran sosial yang terjadi dalam bentuk formil maupun tidak, akan
sulit diprediksi kewajibannya secara tepat karena cenderung diffuse. Dan sifat dari
pembayaran kewajiban tersebut tidak ditawar namun merupakan keleluasaan dari orang yang
membuatnya. Oleh karena tidak ada jalan untuk jamin pengembalian kewajiban yang pantas
sebagai pilihan, maka dalam pertukaran sosial mutlak diperlukan trust.

Dengan demikian, proses pertukaran sosial terjadi berawal dari self interest,
menumbuhkan kepercayaan dalam relasi sosial melalui pengembangan karakter yang
bertahap dan berulang (secara teratur). Blau berpendapat bahwa asosiasi dapat menawarkan
rewards yang highly attractive. Selanjutnya dari rewards tersebut akan memperkuat ikatan
sosial. Hubungan sosial dapat dikategorikan dalam dua kategori umum yang didasarkan pada
apakah reward yang ditukarkan itu bersifat instrinsik atau ekstrinsik. Reward yang intrinsik
berasal dari hubungan itu sendiri. Hubungan ekstrinsik berfungsi sebagai alat bagi suatu
reward yang lain dan bukan reward untuk hubungan itu sendiri.

Untuk jelasnya dapat dikemukakan bahwa interaksi sosial dapat digolongkan dalam
dua kategori, yaitu didasarkan pada ganjaran atau penghargaan yang bersifat intrinsik dan
ekstrinsik.Perbedaan antara pertukaran instrinsik dan ekstrinsik sejajar dengan perbedaan
antara pertukaran sosial dan pertukaran ekonomi. Dalam beberapa aspek yang penting kedua
tipe ini berbeda secara kontras. Salah satu perbedaan utamanya ialah bahwa pertukaran sosial
tidak tunduk pada negosiasi dan tawar menawar yang disengaja seperti dalam ekonomi. Pada
sosial reward banyak berjalan dengan sistem ketidak sengajaan dibicarakan dahulu. Ikatan
sosial secara intrinsik mendatangkan penghargaan yang dimanifestasikan dalam suatu
persahabatan intim, menggambarkan perihal reward yang intrinsik dan ekstrinsik yang
bersifat ekstrim. Namun pembeda antara yang intrinsik dan ekstrinsik harus dilihat dalam
suatu continum.

Reward yang intrinsik muncul dalam hubungan pada waktu pihak-pihak yang terlibat
di dalamnya secara bertahap masuk suatu pertukaran reward yang lebih banyak macamnya
dan ini akan menampakkan keunikan dari pola interaksi yang ditampilkan. Dalam banyak hal
pada tahap-tahap awal dalam banyak hubungan intrinsik orang sering mengadakan
perbandingan antara satu teman dengan teman lainnya yang potensial untuk pertukaran.

Hal ini menunjukkan bahwa pada tahap-tahap awal daya tarik untuk mengadakan
pertukaran lebih bersifat ekstrinsik.Artinya, reward yang diinginkan tidak secara intrinsik
melekat pada seorang teman tertentu. Transformasi hubungan dari daya tarik ekstrinsik ke
daya tarik intrinsik akan paling jelas diterapkan oleh individu manakala mereka memiliki
tingkat kebebasan tertentu dalam memilih alternatif beberapa teman yang ada.

Pada akhirnya proses dari social attraction menuju pada proses pertukaran sosial, dengan
tahapan sebagai berikut :

1. Individu yang menerima layanan dari orang lain merasa memiliki hutang dan
berkewajiban untuk membayar kembali.
2. Pelayanan bermanfaat yang diterima oleh seseornag dari pihak lain adalah pelayanan
yang membuatnya merasa kewajiban untuk membalasnya.
3. Wujud penghormatan dari pihak yang menerima layanan adalah dalam bentuk
pelayanan yang memiliki keuntungan sebagai ganti pada pihak pemberi layanan
4. Kedua pihak masing-masing memberikan supplay layanan yang nilainya lebih dari
yang diterima untuk menyediakan insentif (meningkatkan supplay mereka) dan
hindarkan diri dari utang.
5. Sebagaimana sejumlah keuntungan besar yang diterima masing-masing pihak, maka
mereka butuh upaya lebih jauh untuk mencegah pertukaran sosial tersebut berhenti.

Social Exchange yang dimaksudkan dalam teori Blau ialah terbatas pada tindakan-
tindakan yang tergantung pada reaksi-reaksi penghargaan dari orang lain dan berhenti apabila
reaksi-reaksi yang diharapkan itu tidak kunjung muncul. Bentuk pertukaran yang
dimaksudkan oleh blau dapat bersifat pertukaran sosial langsung maupun pertukaran sosial
tidak langsung. Dalam konteks pertukarna social langsung maka orang melakukan pertukaran
didasarkan pada transaksi-transaksi pertukaran sosial yang seimbang (simetris) maupun tidak
seimbang (asimetris).

Sedangkan dalam konteks pertukaran sosial tidak langsung, cenderung tidak terlihat dan
berdampak langsung, sebab sangat tergantung pada interrnalisasi norma. Blau berpendapat
bahwa hasil pertukaran sosial adalah spesialisasi peran yang dikembangkan (Diferensiasi
Sosial), yang memerlukan sumbangan-sumbangan yang sangat bervariasi. Setiap orang
mengiginkan adanya penghargaan dan kekuasaan. Demi memperolehnya, mereka
membuktikan dirinya menarik dan mempunyai kemampuan yang tidak disadari yang
dipertukarkan dengan kekayaan yang sangat penting. Disamping itu, adanya persaingan untuk
memperoleh sumber-sumber yang langka menyebabkan munculnya diferensiasi sosial.

Sisi lain pertukaran sosial meningkatkan integrasi sosial, membangun kepercayaan,


mendorong keberanian, memaksa konformitas dengan norma – norma kelompok, dan
mengembangkan nilai – nilai kolektif. Misal: dua orang sahabat memutuskan untuk
bekerjasama dengan dibimbing oleh logika kepercayaan, pertukaran sosial, kemungkinan
besar hal – hal yang dianggap sulit akan dilewati bersama dengan mudah. Pengendalian diri
yang bersifat interpersonal adalah sangat penting dalam masyarakat modern, sedangkan
sumber dasar untuk membendung perilaku interpersonal tersebut adalah kekuasaan,
hubungan antara ketergantungan dan kekuasaan : Pelayanan yang baik, Pelayanan diperlukan
dimana-mana, Perminataan akan pelayanan dapat dipaksakan, Penarikan diri dapat dilakukan
tenpa mengharapkan layanan.

Blau percaya bahwa kompleksitas pola-pola kehidupan sosial yang dijembatani oleh nilai-
nilai bersama itu akan melembaga. Lembaga-lembaga demikian akan abadi bilamana
dipenuhi tiga persayaratan :

1. Prinsip-prinsip yang di organisir harus merupakan bagian dari prosedur-prosedur yang


difornalisir (konstitusi atau dokumen lainnya), sehingga setiap saat bebas dari orang
yang melaksanakannya;
2. Nilai-nilai sosial yang mengesahkan banyak bentuk institusional itu harus diwariskan
kepada generasi selanjutnya melalui proses sosialisasi dan :
3. Kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat harus menganut nilai-nilai itu serta
harus meminjamkan kekuasaanya untuk mendukung lembaga-lembaga yang
memasyarakatkan nilai-nilai tersebut.

Ide utama Blau mengenai kelompok sosial yang bersifat Emergen. Dalam hubungan
pertukaran yang elementer, orang yang tertarik satu sama lain melalui berbagai kebutuhan
dan kepuasan timbal balik. Asumsinya : bahwa orang yang memberikan ganjaran, melakukan
hal itu sebagai pembayaran bagi nilai yang diterimanya.Pertukaran demikian mudah sekali
berkembang menjadi hubunganhubungan persaingan dimana setiap orang harus menunjukkan
ganjaran yang diberikannya dengan maksud menekan orang lain dan sebagai usaha untuk
memperoleh ganjaran yang lebih baik.

Persaingan tersebut melahirkan asal mula sistem stratifikasi di mana individu-individu


dibedakan atas dasar kelangkaan sumber-sumber yang dimilikinya. Di sini kita melihat akar-
akar dari konsep Emergen tentang kekuasaan. Kekuasaan dapat bersifat syah (wewenang)
atau bersifat memaksa, wewenang tumbuh berdasarkan nilai-nilai yang syah, yang
menunjukkan berbagai kelompok dan organisasi yang bersifat ―emergent‖ berfungsi tanpa
mendasarkan dan di atas hubungan tatap muka.Blau menekankan pentingnya dukungan sosial
sebagai suatu kebutuhan yang bersifat egoistik untuk dipikirkan sebaik-baiknya oleh orang
lain, tetapi untuk memperoleh penghargaan serupa ini individu harus dapat mengatasi
dorongan egoistik yang sempit dan memperhitungkan kebutuhan dan keinginan orang lain.

Kepercayaan mendalam akan nilai dan norma yang abstrak dan proporsi yang meningkat
dalam pertukaran yang tidak langsung, dapat dilihat sebagai gejala yang muncul (emergent
phenomena) artinya, karakteristik-karakteristik ini mungkin hanya dikembangkan secara
minimal dalam semua sistem pertukaran yang kecil, tetapi karakteristik itu sangat penting
untuk pekerjaan rutin dalam sistem pertukaran yang besar. Ini merupakan tekanan yang
penting dalam teori Blau.Meskipun perkumpulan-perkumpulan yang besar itu berlandaskan
pada proses pertukaran dasar, mereka juga memperlihatkan sifat-sifat atau karakteristik-
karakteristik yang muncul (emergent properties), yang pengaruhnya mungkin kelihatan lebih
besar dari pada dinamika-dinamika dalam proses-proses kecil yang terjadi dalam transaksi
pertukaran langsung antar individu.

Kekuasaan yang dijelaskan Blau tidak lepas dari pertukaran sosial . Dalam hubungan dua
orang atau lebih selalu terdapat hubungan dimana pihak satu mendominasi pihak lain. Blau
menjelaskan mengenai Cognitive Dissonance yang disebabkan struktur kepimpinan yang
tidak baik akan melahirkan gerakan – gerakan oposisi. Jika terdapat pertukaran sosial antara
dua kelompok atau lebih dengan persepsi ataupun kelebihan yang berbeda kemungkinan
hubungan masih bisa dilanggengkan. Namun, jika terdapat pertukaran sosial yang tidak
seimbang, maka dominasi pun berperan lebih penting.

Pertukaran sosial yang tidak seimbang akan menyebabkan adanya perbedaan dan
diferensiasi kekuasaan karena dalam pertukaran tersebut ada pihak yang merasa lebih
berkuasa dan mempunyai kemampuan menekan dan di lain pihak ada yang dikuasai serta
merasa ditekan. Kekuasaan menurut Blau adalah kemampuan orang atau kelompok untuk
memaksakan kehendaknya pada pihak lain. Adapun strategi atau cara yang dapat digunakan
untuk mendapatkan kekuasaan terhadap orang lain yaitu memberikan sebanyak mungkin
kepada pihak lain yang membutuhkan, sebagai suatu upaya menunjukkan statusnya yang
lebih tinggi dan berkuasa, agar mereka yang dikuasai merasa berutang budi dan mempunyai
ketergantungan.

Dalam pertukaran sosial menunjukkan adanya gejala munculnya kekuasaan yang terjadi
pula dalam suatu kelompok. Dalam kelompok akan terjadi persaingan antar individu, dan tiap
individu akan berusaha memperoleh kesan lebih menarik jika dibanding dengan yang lain.
Agar orang itu terkesan lebih menarik dari orang lain syaratnya dapat menarik perhatian
orang lain. Dalam persaingan itu nantinya akan nampak adanya pihak atau orang yang dapat
menarik perhatian orang-orang yang dalam kelompok yang bersangkutan. Kelebihan orang
yang bersangkutan dapat menarik perhatian orang lain kemungkinan karena kepandaiannya,
kejujurannya, kesopanannya ataupun kebijaksanaannya.

Dari tiap-tiap kelompok akan ada yang menonjol dan yang menonjol itu akhirnya akan
muncul satu orang yang paling menarik perhatian orang dalam kelompok-kelompok tersebut
maka muncullah kekuasaan, dalam arti ada pemimpin dan ada yang dipimpin.Dalam hal ini,
pemimpin (pemegang kekuasaan) akan memperoleh penghargaan sebagai akibat tanggung
jawab yang dapat dipenuhinya. Sementara orang yang dipimpin akan mendapat penghargaan
karena ketaatannya, baik karena tugas yang diselesaikan maupun kesediaannya mematuhi
peraturan-peraturan yang ada. Perintah yang dipatuhi adalah perintah yang diberikan oleh
pemimpin yang sah.

Agar perintah dipatuhi maka pemimpin (pemegang kekuasaan) harus mempunyai


wewenang. Wewenang yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan digunakan untuk merekrut
anggota dalam kelompok. Walaupun Blau sangat dipengaruhi oleh teori fungsionalisme dan
teori pertukaran, akan tetapi Blau menyadari akan bekerjanya proses – proses dinamis yang
membentuk struktur.

Kekuatan – kekuatan dialektis tersebut hubungannya dengan:


1. Dilema
Dilema merupakan kekuatan dialektis dari perubahan sosial yang membutuhkan
pilihan diantara berbagai alternatif yang sama –sama diinginkan.
2. Diferensiasi
Diferensiasi dimana pertukaran menyatakan adanya persaingan untuk memperoleh
sumber – sumber langka.
3. Dinamika
Dinamika kehidupan sosial yang teroranisir bersumber dari kekuatan – kekuatan
penantang.
4. Proses Dialektis
Dialektika adalah kekuatan kontadiktoris yang terdapat dalam kehidupan sosial.
Kelebihan dan Kekurangan Teori Social Exchange
Menurut Katherine Miler (2005), teori pertukaran sosial memiliki beberapa kelebihan
dan kekurangan.

a. Kelebihan
Teori pertukaran sosial memiliki kelebihan, diantaranya adalah sebagai berikut :
 Teori pertukaran sosial sangat sederhana sehingga memungkinkan bagi sebagian
besar orang untuk memahami asumsi-asumsi umum yang terkait.
 Teori pertukaran sosial membantu menjelaskan beragam permasalahan dalam
komunikasi keluarga.
 Pengetahuan yang baik tentang teori pertukaran sosial dapat memberikan
keseimbangan dalam hubungan.

b. Kekurangan
Selain kelebihan, teori pertukaran sosial juga memiliki beberapa kekurangan,
diantaranya adalah sebagai berikut :
 Teori pertukaran sosial dipandang sebagai proses yang berlangsung satu arah.
 Asumsi yang menyatakan bahwa orang siap untuk menghentikan hubungannya
dengan orang lain manakala biaya lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan yang
diperoleh dinilai tidak selalu akurat.
 Teori pertukaran sosial menempatkan hubungan ke dalam struktur yang linear ketika
beberapa hubungan melewatkan tahapan-tahapan kedekatan.

Contoh Teori Social Exchange


Sebagai contoh seseorang tidak mau lagi cukur rambut dengan model undercut karena
kecewa CR7 pindah klub. Padahal ia fans berat Real Madrid. Alasan tersebut lebih relevan
dipahami secara emosional ketimbang rasional.

Teori Etmetodologi
Teori etnometodolgi ialah suatu teori dalam sosiologi yang berisikan sekumpulan
pengetahuan, serangkaian prosedur dan sejumlah pertimbangan atau metode tentang
kehidupan alamiah masyarakat sehari-hari, yang ditandai dengan bahasa yang digunakan, di
mana masalah-masalah kemasyarakatan ini diartikan sebagai masalah yang diselesaikan
secara rutin, praktis dan beelanjut tanpa banyak menggunakan pikiran. Dalam kehidupan
sehari-hari dengan teori etnometodologi, anggota masyarakat menggunakan penalaran
praktis, logika sendiri dan sifatnya abstrak teoritis, hidup dan berkembang dalam suatu
tatanan masyarakat alamiah yang merupakan produk masyarakat setempat.
Etnometodologi mempelajari dan berusaha menangkap arti dan makna kehidupan
sosial suatu masyarakat berdasarkan ungkapan-ungkapan atau perkataan-perkataan yang
mereka ucapkan baik secara eksplisit maupun implisit. Garfinkel menekankan, pokok
masalah etnometodologi tidak lain adalah pertukaran komunikasi yang di dalam penelitian
etnometodologis yang disebut proses-proses komunikasi menuju saling memahami di antara
para pelaku komunikasi (dalam Anthony Giddens dan Jonathan H. Turner, 2008: 27).
Menurut teori ini, seorang sosiolog tidak perlu memberikan arti atau makna kepada apa yang
dibuat oleh orang lain atau kelompok, tetapi tugas sosiolog adalah menemukan bagaimana
individu atau masyarakat mengonstruksi kehidupan sosialnya dan mencoba menemukan
bagaimana mereka memberi arti atau makna kepada dunia sosialnya sendiri. Pada
pengaplikasian teori etnometodogi, Grafinkel berusaha menekankan pada kekuatan
pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi.
Salah satu pendirian kunci Garfinkel mengenai etnometodologi adalah bahwa mereka
“dapat dijelaskan secara reflektif”. Penjelasan adalah cara actor malakukan sesuatu seperti
mendeskripsikan, mengkritik, dan mengidealisasikan situasi tertentu. Penjelasan
(accounnting) adalah proses yang dilalui actor dalam memberikan penhelasan untuk
memahami dunia. Pakar etnometodologi menekankan perhatian untuk menganalisis
penjelasan actor maupun cara-cara penjelasan diberikan dan diterima atau ditolak oleh orang
lain. Inilah salah satu alasan mengapa pakar etnometodologi memustkan perhatian dalam
mengalisis percakapan. Satu contoh, ketika seorang mahasiswa menerangkan kepada
dosennya mengapa ia gagal mengambil ujian, ia sebenarnya memberikan suatu penjelasan.
Mahasiswa itu mencoba mengemukakan pemikiran mengenai suatu peristiwa kepada
dosenrnya. Dalam mengembangkan pemikiran tentang penjelasan ini, pakar etnometodologi
berusaha keras untuk menunjukkan bahwa sosiolog, seperti orang lain, memberikan
penjelasan. Jadi, laporan hasil studi sosiologi dapat sebagai penjelasan dan dengan cara yang
sama semua penjelasan lainnya dipelajari.
Kita dapat mengatakan bahwa penjelasan adalah cerminan pemikiran dalam arti
bahwa penjelasan itu masuk ke keadaan yang dapat diamati dan dijelaskan. Jadi, dalam upaya
melukiskan apa yang dilakukan orang, kita mengubah sifat yang mereka lakukan itu. Apa
yang dilakukan sosiolog ini sama dengan yang dilakukan orang awam. Dalam mempelajari
dan melaporkan tentang kehidupan sosial, sosiolog dalam prosesnya, mengubah apa yang
mereka pelajari itu. Artinya, subjek mengubah perilaku mereka akibat menjadi subjek
penelitian dan sebagai respon terhadap deskripsi perilaku tersebut. Pakar etnometodologi
tertarik pada sifat dasar panjelasan itu, dan lebih umum lagi, pada praktek penjelasan di mana
mahasiswa memberikan penjelasan dan dosen menerima atau menolaknya. Dalam
menganalisis penjelasan, pakar etnometodologi menganut pendirian ketidakacuhan
metodologis (ethnomethodological indifference). Artinya mereka tidak menilai sifat dasar
penjelasan, tetapi lebih menganalisis penjelasan itu dilihat dari sudut pandang bagaimana cara
penjelasan itu digunakan dalam tindakan praktis.
Hal-hal yang dikaji dalam etnometodologi adalah studi institusional analisis
percakapan. Tujuan studi institusional etnometodologi adalah memahami cara orang, dalam
setting institusional, melaksanakan tugas kantor mereka dan proses yang terjadi dalam
institusi tersebut. Studi ini memusatkan perhatian pada strukturnya, aturan formal, dan
prosedur resmi untuk menerangkan apa yang dilakukan orang di dalamnya. Dalam hal ini
orang menggunakan prosedur yang berguna bukan hanya untuk kehidupan sehari-hari, tetapi
juga untuk menghasilkan produk institusi. Hal yang dikaji etnometodologi berikutnya adalah
analisis percakapan. Tujuan analisis percakapan adalah untuk untuk memahami secara rinci
struktur fundamental interaksi melalui percakapan, dan mempelajari cara menata percakapan
yang dianggap benar. Analisis percakapan lebih memusatkan pada hubungan antara ucapan
dalam percakapan ketimbang hubungan pembicara dan pendengar. Percakapan sebagai unsur
dasar dalam etnometodologi adalah aktivitas interaksi yang menunjukkan aktivitas yang
stabil dan teratur yang merupakan kegiatan yang dapat dianalisis. Sasaran analisis percakapan
terbatas pada apa yang dikatakan dalam percakapan itu sendiri.

Contoh  teori etnometodologi dalam kehidupan sehari-hari


Percakapan telepon (pengenalan dan pengakuan)
Emanuel A. Schegloff memandang pengujiannya tentang cr membuka percakapan
telepon sebagai bagian upaya lebih besar untuk memahami ciri keteraturan sosial, yang
ditekankan pada perhatiannya terhadap berbagai macam fenomena teratur dalam proses
interaksi seperti pengaturan giliran berbicara dan cara orang memperbaiki pelanggaran yang
dilakukan dalam prosedur percakapan biasa yang diantaranya termasuk pembukaan,
penutupan, dan keteraturan urutan berbicara.
Daftar Pustaka

Margaret M Poloma.2000. Sosiologi Kontenporer. Jakarta: Raja Grafindo

Michael Peter Blau, Exchange and Power in Social Life, New York: Wiley & Sons, 1964

Ritzer, George. 2009. Teori Sosiologi Modern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Nanang Martono. 2012. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai