1. Ada asumsi bahwa hukum tidak dapat berperan bahkan menghambat perubahan
masyarakat.
Tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya,
menurut masyarakat dan jamannya. Selanjutnya untuk mencapai ketertiban diusahakan
adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin
manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya
secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban. Fungsi hukum dalam
masyarakat Indonesia yang sedang membangun tidak cukup untuk menjamin kepastian dan
ketertiban. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum diharapkan agar berfungsi lebih
daripada itu yakni sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” dengan pokok-pokok pikiran
sebagai berikut: “Mengatakan hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat didasarkan
kepada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan dan
pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan atau dipandang (mutlak) perlu. Anggapan
lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan adalah bahwa
hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat
(pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang
dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan”.
Berdasarkan tolok ukur konteks di atas menunjukkan ada 2 (dua) dimensi sebagai inti Teori
Hukum Pembangunan yang diciptakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, yaitu:
2. Hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi sebagai alat
pengatur atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia yang
dikehendaki ke arah pembaharuan.
Kegiatan masyarakat Indonesia mulai berubah sejak pandemic Covid 19 ditambah
lagi pemberlakuan PSBB semua kegiatan baik sekolah, kerja, keagamaan, sosial dan budaya
dilakukan di rumah bahkan operasional transportasi umum dibatasi, pembaharuan tersebut
dilakukan untuk memntus rantai Covid 19. Dalam mazhab Hukum sebagai sarana
pembangunan bahwa untuk melakukan pembaharuan di dalam masyarakat perlu dilakukan
nya aturan. Mazhab tersebut di implementasikan dalam pandemic ini pada PP Nomor 1
Tahun 2020 pasal 1 bahwa Pembatasn Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan pembatasan
kegiatan terentu dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid 19. Sebelum dilakukan
nya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSSB) beberapa himbauan dari pemerintah untuk
mengatasi pandemic Covid 19 dengan cara social distancing, melakukan kegiatan dirumah
dan lain-lain masih diharukan masyarakat Indonesia Menurut penulis dengan
diberlakukannya Peraturan Pemerintah tersebut dapat membuat masyarakat Indonesia taat
akan aturan tersebut dan menerapkan protocol kesehatan saat melakukan kegaiatn di luar
rumah, karena takut akan sanksi yang diterima ketika melakukan pelanggaran PSBB.
Walaupun fakta dilapangan masih banyak ditemukan masyarakat yang melanggkan Peraturan
Pemerintah Nomo 1 Tahun 2020 tersebut dan setidaknya aturan tersebut meminimalisir
angka penyebaran Covid 19.
Berdasarkan analisis diatas, Pembatasan Skala Sosial Bersakala Besar (PSBB) yang
dilakukan oleh pemerintah sangat tepat dengan tujuan untuk pemutus rantai penyebaran
pandemi Covid 19 ini dan sesuai apa yang dikatakan dalam mahzab Hukum sebagai sarana
pembangunan bahwa dalam melakukan pembaharuan di masyarakat perlu dilakukan nya
aturan untuk mengikat pembaharuan terebut.
Kritik yang terbesar yang ditujukan bagi Sociological Jurisprudence adalah dengan
pendekatan ini hukum dapat kehilangan”taringnya” dan tidak ajeg. Masyarakat dianggap
telah mampu menentukan hukumnya sendiri, dan mengecilkan kedaulatan dari penguasa hal
tersebut dirasakan dalam penerapan PSBB di Indonesia ini, ketika para penguasa atau
pemerintah membuat Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2020 tersebut banyak diabaikan
oleh masyarakat Indonesia karena faktor ekonomi. Sebagai contoh toko yang tidak
diperbolehkan buka menurut PP No 1 Tahun 2020 tersebut juga banyak yang buka dimasa
PSBB, kegaiatan keagamaan masih dibuka untuk ibadah, para pekerja masih bekerja secara
offfline di tempat bekerja dll. Menurut penulis itulah akibat dari mazhab Sociological
Jurisprudence karena masyrakat dapat menentukan hukumnya sendiri, sehingga hukum yang
telah ada menjadi kehilangan taringnya atau tidak ajeg.
DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. 1999. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama
Mochtar Kusumaatmadja (20020. Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan Nasional.
Bandung: Penerbit Alumni. Hal 7
Putro, Dwi Widodo (2013). The Paradigm Conflict Between Sociological Jurisprudence And
The History School Of Law In ‘Merarik’ Case. Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 1 April
2013: 48 - 63