Anda di halaman 1dari 15

RESUME PEMBUKTIAN

A. Hukum Pembuktian
Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian dalam
perkara perdata. Dalam pembuktian perkara pidana (hukum acara pidana)
adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, yaitu kebenaran sejati
atau yang sesungguhnya, sedangkan pembuktian dalam perkara perdata
(hukum acara perdata) adalah bertujuan untuk mencari kebenaran formil,
artinya hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh para
pihak yang berperkara. Jadi hakim dalam mencari kebenaran formal cukup
membuktikan dengan ‛preponderance of evidence‛, sedangkan hakim pidana
dalam mencari kebenaran materiil, maka peristiwanya harus terbukti (beyond
reasonable doubt).1
Pembuktian secara bahasa (terminologi), menurut kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah suatu proses perbuatan, cara membuktian, suatu usaha
menentukan benar atau salahnya si terdakwa di dalam sidang pengadilan.2
Dalam hal ini pembuktian merupakan salah satu unsur yang penting dalam
hukum acara pidana. dimana menentukan antara bersalah atau tidaknya
seorang terdakwa didalam persidangan.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, bahwa pembuktian adalah
mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah suatu
peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa
tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian adalah dalam rangka
mencari kebenaran materiil dan KUHAP yang menetapkan tahapan dalam
mencari kebenaran sejati yaitu melalui:
1. Penyidikan
2. Penuntutan
3. Pemeriksaan di persidangan
4. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan
1
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar (Yogyakarta: Rangkang Education,
2013),241.
2
Ebta Setiawan, ‚arti atau makna pembuktian‛ dalam http:// KBBI.web.id/arti atau makna
pembuktian
Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase atau
prosedur dalam pelaksanaan hukum acara pidana secara keseluruhan. Yang
sebagaimana diatur didalam KUHAP.3
Menurut J.C.T. Simorangkir, bahwa pembuktian adalah ‛usaha dari yang
berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal
yang berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan agar supaya dapat
dipakai oleh hakim sebagai bahan untuk memberikan keputusan seperti
perkara tersebut‛. Sedangkan menurut Darwan, bahwa pembuktian adalah
‛pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakaukannya, sehingga harus
mempertanggungjawabkannya.4
Menurut Sudikno Mertokusumo menggunakan istilah membuktikan,
dengan memberikan pengertian, sebagai berikut:
a. Kata membuktikan dalam arti logis, artinya memberi kepastian yang
bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak
memungkinkan adanya bukti-bukti lain.
b. Kata membuktikan dalam arti konvensional, yaitu pembuktian yang
memberikan kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak melainkan
kepastian yang nisbi atau relatif, sifatnya yang mempunyai
tingkatantingkatan:
1. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka, maka kepastian
ini bersifat intuitif dan disebut conviction intime.
2. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka disebut
conviction raisonnee.
3. Kata membuktikan dalam arti yuridis, yaitu pembuktian yang
memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu
peristiwa yang terjadi.

Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang


mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang

3
Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti (Jakarta: Ghalia, 1983), 12.
4
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar.op.cit
dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara yang mengajukan bukti
tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai
suatu pembuktian. Adapun sumber-sumber hukum pembuktian adalah,
sebagai berikut:

a. Undang-undang
b. Doktrin atau ajaran
c. Yurisprudensi.5

Kekuatan pembuktian dalam hukum acara pidana terletak didalam Pasal


183 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
yang berbunyi ‚hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada sesorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.‛ Berdasarkan ketentuan
tersebut bahwa seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara pidana harus
berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah. Apabila sebaliknya maka
terdakwa tidak dapat diajutuhi hukuman atas tindakannya.

B. Siapa Yang Membuktikan


Adapun alat bukti yang sah sebagaimana diatur didalam pasal 184 ayat (1)
Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yakni
sebagai berikut:
1. Keterangan sakasi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa

Kelima alat bukti tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sama


dalam persidangan acara pidana. tidak ada pembedaan antar masingmasing

5
Hari Sasongko dan Lili Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan
Praktisi ( Bandung: Mandar Maju, 2003), 10.
alat bukti satu sama lain. Urutan sebagaimana yang diatur didalam pasal
tersebut hanyalah urutan sebagaimana dalam pemeriksaan persidangan.

(Menurut Prof. Eddy O.S.Hierij terkait alat bukti ada kesamaan dengan


Hukum Acara Pidana Belanda,hanya perbedaan Indonesia alat bukti 
petunjuk, sedangkan Belanda alat bukti Pengamatan/ pengetahuan Ha     

Dalam perkembangan Hukum acara pidana di Indonesia masalah


ketentuan alat bukti terjadi perbedaan antara satu dengan
lain.Misalnya Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (MK) menyebutkan
bahwa:

 surat atau tulisan,


 keterangan saksi.
 Keterangan ahli,
 keterangan para pihak,
 petunjuk dan
 alat bukti lain berupa: informasi yang diucapkan,dikirim, diterima
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu.

C. Bobot Pembuktian
Bila mana salah satu pihak yang bersengketa membantah keaslian alat
bukti surat yang diajukan oleh pihak lawan, maka hakim dapat melakukan
pemeriksaan terhadap bantahan itu dan kemudian mempertimbangkan dalam
putusan akhir mengenai nilai pembuktiannya. Apabila dalam pemeriksaan
persidangan ternyata ada alat bukti tertulis tersebut ada pada badan atau
pejabat TUN, maka hakim dapat memerintahkan badan atau pejabat TUN
tersebut untuk segera menyediakan alat bukti tersebut. Masing-masing alat
bukti yang berupa surat atau tulisan itu mempunyai bobot kekuatan
pembuktian sendiri-sendiri dan hakim yang akan menentukan bobot atau nilai
pembuktian tersebut.
Pada prinsipnya, kekuatan bukti suatu alat bukti surat terletak pada akta
aslinya. Tindasan, foto copy, dan salinan akta yang aslinya masih ada, hanya
dapat dipercaya apabila tindasan, foto copy dan salinan itu sesuai dengan
aslinya. Dalam hubungan ini, hakim dapat memerintahkan kepada para pihak
agar memperlihatkan aslinya sebagai bahan perbandingan, tetapi apabila
lawan mengakui atau tidak membantahnya maka tindasan, foto copy, dan
salinan akta tersebut mempunyai kekuatan pembukti seperti yang asli.

D. Penilaian Pembuktian

Menurut Andi Hamzah, teori dalam sistem pembuktian, yakni sebagai


berikut:

a. Sistem atau teori berdasarkan berdasarkan Undang-undang secara


psoitif (positive wetteljik bewijstheorie) 6
b. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja
(conviction intime)
c. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas
alasan yang logis (laconviction raisonnee)
d. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-undang secara
negatif (negatief wettellijk bewijs theotrie)
Adapun pembahasan lebih lanjut mengenai keempat teori dalam sistem
pembuktian hukum acara pidana, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
pakar ahli hukum pidana, yakni sebagai berikut:
a. Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positive wetteljik
bewijstheorie).
Menurut Simons, bahwa sistem atau teori pembuktian berdasar
undang-undang secara positif (positif wettelijke bewijs theorie). ‚untuk
menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat
hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang keras‛.
b. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja (conviction intime)

6
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar.op.cit
Merupakan suatu pembuktian dimana proses-proses menentukan
salah atau tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian
keyakinan hakim. Seorang hakim tidak terikat oleh macam-macam alat
bukti yang ada, hakim dapat memakai alat bukti tersebut untuk
memperoleh keyakinan atas kesalahan terdakwa, atau mengabaikan
alat bukti dengan hanya menggunakan keyakinan yang disimpulkan
dari keterangan saksi dan pegakuan terdakwa.7
c. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim secara logis (conviction
raisonnee)
Bahwa suatu pembuktian yang menekankan kepada keyakinan
seoranng hakim berdasarkan alasan yang jelas. Jika sistem pembuktian
conviction intime memberikan keluasan kepada seorang hakim tanpa
adanya pembatasan darimana keyakinan tersebut muncul, sedangkan
pada sistem pembuktian conviction raisonnee merupakan suatu
pembuktian yang memberikan pembatasan keyakinan seorang hakim
haruslah berdasarkan alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan
menjelaskan atas setiap alasa-alasan apa yang mendasari keyakinannya
atas kesalahan seorang terdakwa.8
d. Pembuktian berdasarkan Undang-undang secara negatif (negatief
wettellijk bewijs theotrie)
Merupakan suatu percampuran antara pembuktian conviction
raisonnee dengan system pembuktian menurut undang-udanng secara
psoitif. Rumusan dari sitem pembuktian ini adalah, salah atau tidaknya
seorang terdakwa ditentukan keyakinan hakim yang didasarkan kepada
cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.9

E. Teori Pembuktian

7
Tolib Effendi, Dasar Dasar Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan Pembaharuan di Indonesia)
(Malang: Setara Press, 2014), 171.
8
Ibid 171
9
Ibid171
a. Teori pembuktian obyektif murni
Teori ini dianut oleh hukum gereja Katholik (canoniek recht) dan
disebut juga aliran ini ajaran positif menurut hukum positif wettelijke. 10
Menurut teori ini hakim sangat terikat pada alat bukti serta dasar
pembuktian yang telah ditentukan oleh undang-undang, yakni dengan
menyatakan bahwa sesuatu perbuatan-perbuatan yang didakwakan telah
terbukti haruslah didasarkan kepada hal-hal yang telah disimpulkan dari
sekian jumlah alat-alat pembuktian yang semata-mata berdasarkan
undang-undang.
Sedangkan keyakinan hakim berdasarkan dan berasal dari hati
nuraninya yang paling dalam sekalipun tidak boleh ikut memegang
peranan dalam pengambilan keputusan tersebut. Menurut D. Simons
sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif
(positief wettelijke) ini berusaha untuk menyingkirkan semua
pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut
peraturan pembuktian yang keras.11
Dengan demikian ajaran ini disandarkan hanya semata-mata kepada
alat-alat bukti yang telah diatur atau ditetapkan oleh undang-undang, tanpa
adanya unsur keyakinan hakim dalam menentukan kesalahan terdakwa.
Jadi meskipun ia tidak yakin akan tetapi karena kasus tersebut telah
diperiksa dua orang saksi yang menyatakan bahwa terdakwalah yang
melakukan, maka hakim harus menghukum. Teori pembuktian ini terlalu
banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang berdasarkan undang-
undang,sehingga putusan hakim tidak mungkin obyektif.
Sehubungan dengan hal ini Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa
sistem melulu menurut undang-undang atau positief wettelijke ini sama
sekali tidak mengandung suatu kepercayaan kepada kesan-kesan
perorangan dari hakim sebetulnya bertentangan dengan prinsip bahwa
10
Lihat juga bandingkan Eddy OS.Hiarieej,2012,Teori dan Hukum Pembuktian,Penerbit
Erlangga,Jakarta,hal 15 bahwa Positief bewijstheori yang mana hakim terikat secara positif
kepada
11
Andi Hamzah, 1984,Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, Penerbit Chalia Indonesia,
Jakarta, hal. 229
dalam acara pidana suatu putusan hakim harus didasarkan atas
kebenaran.12

b. Teori pembuktian subyektif murni


Teori pembuktian subyektif murni (conviction in time atau bloot
gemoedelijk over tuiging) ini bertolak belakang dengan teori pembuktian
obyektif murni karena dalam teori pembuktian subyektif murni didasarkan
kepada keyakinan hakim belaka (Keyakinan semata).
Jadi prinsip pembuktiannya kepada penilaian hakim atas dasar
keyakinan menurut perasaannya semata-mata, dan tidak menyandarkan
kepada pembuktian menurut undang-undang tetapi memberikan kebebasan
yang mutlak kepada hakim. Keyakinan hakim dalam aliran ini sangat
subyektif (perseorangan) dalam menentukan apakah terdakwa terbukti
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.
Prof Andi Hamzah, berpendapat bahwa sistem ini memberikan
kebebasan kepada hakim terlalu besar sehingga sulit diawasi, di samping
itu terdakwa atau penasehat hukumnya sulit melakukan pembelaan.13
Hal yang sama dikemukakan pula oleh Prof.Wirjono Prodjodikoro
bahwa : terkandung di dalamnya suatu kepercayaan yang terlalu besar
kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan belaka dari hakim.
Pengawasan terhadap putusan-putusan hakim seperti ini sukar untuk
dilakukan, oleh karena badan pengawas tidak dapat tahu pertimbangan-
pertimbangan hakim yang mengalirkan pendapat hakim ke arah putusan.14
c. Teori pembuktian yang bebas
Teori pembuktian yang bebas (conviction rainsonce) atau vrije
bewijsleer adalah merupakan ajaran/sistem pembuktian yang menghendaki
agar hakim dalam menentukan keyakinannya secara bebas tanpa dibatasi

12
Wirjono Prodjodikoro,1974, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Penerbit Sumur, Bandung, hal
92
13
Andi Hamzah, Op. Cit, hal 231
14
Wirjono, Op. Cit, hal. 90
oleh undang-undang, akan tetapi hakim wajib mempertanggungjawabkan
cara bagaimana hakim tersebut memperoleh keyakinan dan selanjutnya
hakim wajib menguraikan alasan-alasan yang menjadi dasar putusannya
yakni semata-mata dengan keyakinan atas dasar ilmu pengetahuan dan
logika serta hakim tidak terikat pada alat-alat bukti yang ditetapkan oleh
undang-undang. Dalam sistem ini hakim dapat menggunakan alat bukti
lain di luar ketentuan perundang-undangan.
Sehubungan dengan teori ini Martiman Prodjohamidjojo mengatakan
bahwa :
ajaran ini disandarkan semata-mata atas dasar pertimbangan akal
(pikiran) dan hakim tidak dapat terikat kepada alat-alat bukti yang
ditetapkan oleh undang-undang dengan demikian hakim dapat
mempergunakan alat-alat bukti lain yang di luar ketentuan perundang-
undangan15

F. Teori Pembuktian Yang Bersifat Menguatkan


Menurut teori ini siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya
dan bukan yang mengingkari atau yang menyangkalnya. Teori ini telah
ditinggalkan.

G. Pasal Pembuktian Yang Ada Di Dalam Bw


1. Pasal 1866
Alat pembuktian meliputi:
a. Bukti Tertulis
b. Bukti Saksi
c. Persangkaan
d. Sumpah
2. Pasal 1867

15
Martiman Prodjohamidjojo , 1983, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Penerbit Chalia
Indonesia.op.cit
Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan
tulisan dibawah tangan
3. Pasal 1868
Suatru akta otentik ialah sauatu akta yang dibentuk dalam bentuk undang-
undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang akta itu
dibuat
4. Pasal 1869
Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, baik
karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang
bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai
kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditandangani oleh para
pihak
5. Pasal 1870
Bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahlinya ataupun bagi
orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta otentik memberikan
suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat didalamnya.

H. Teori Hukum Publik dan Objektif


Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu pristiwa dalam peradilan
merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberi
wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu para
pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan
dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.

I. Alat Bukti
Menurut M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya Hukum Acara Perdata
menyatakan bahwa alat bukti (bewijsmiddel) adalah suatu hal berupa bentuk
dan jenis yang dapat membantu dalam hal memberi keterangan dan
penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim
di dalam pengadilan. Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat
membuktikan kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan maupun fakta-fakta
yang mereka kemukakan dengan jenis atau bentuk alat bukti tertentu. Hukum
pembuktian yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih berpegang
kepada jenis dan alat bukti tertentu saja.16
Sebelum kami membahas sesuai dengan tema sub-bab kali ini, kami ingin
memaparkan terlebih dahulu perbedaan alat bukti dalam perkara pidana dan
perdata. Tidak sama jenis ataupun bentuk alat bukti yang diakui dalam
perkara pidana dan perdata. Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara
perdata diatur dalam undang-undang Perdata Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal
164 HIR sedangkan dalam acara pidana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Untuk lebih jelasnya agar dapat membandingkan antar alat bukti perdata dan
pidana sebagai berikut:17

Alat Bukti Hukum Acara Perdata Alat Bukti Hukum Acara Pidana

(Pasal 164 HIR, 1866 BW) Pasal 184 KUHAP

1.   Tulisan/Surat 1.   Ket. Saksi

2.   Saksi-saksi 2.   Ket. Ahli

3.   Persangkaan 3.   Surat

4.   Pengakuan 4.   Petunjuk

5.   Sumpah 5.   Ket. Terdakwa

Untuk itu, disini kami akan menjelaskan satu persatu alat bukti Hukum
Acara Perdata yang tercantum dalam Pasal 1866 B.W, sebagai berikut : 
a. Alat Bukti Tertulis (Surat).
Orang yang melakukan hubungan hukum perdata, tentulah dengan
sengaja ataupun tidak membuat alat bukti berbentuk tulisan dengan
maksud agar kelak dapat digunakan atau dijadikan bukti kalau sewaktu-
16
Harahap, M. Yahya, 2012, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika.
17
Bambang Sugeng A.S., S.H., M.H., dan Sujayadi, S.H., Hukum Acara Perdata dan Dokumen
Litigasi Perkara Perdata (Jakarta: Kencana).op.cit
waktu dibutuhkan. Sebagai contoh: sewa menyewa, jual beli tanah dengan
menggunakan akta, jual beli menggunakan kuitansi, dan lain sebagainya.
Sebelum kami membahas secara mendalam, perlulah dilihat bentuk
kerangka surat atau alat bukti tertulis dibawah ini:
Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-
peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan dan dibuat
di depan ataupun oleh pegawai umum atau pejabat pembuat akta tanah itu
sendiri, yang dibuat sejak pemula dengan sengaja untuk pembuktian.
Unsur paling penting terkait dengan pembuktian adalah tanda tangan.
Barang siapa yang telah menandatangani suatu surat dianggap mengetahui
isinya dan bertanggung jawab. Syarat penandatanganan dapat kita lihat
pada pasal 1874 B.W..
Akta autentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
undang-undang oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu
ditempat akta dibuat’ (ps. 1868 KUH Perdata).
Sedangkan akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk
pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi
semata-mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan.18
Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata,
yang mana menurut pasal diatas, akata dibawah tangan ialah:
1. Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan,
2. Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang.
3. Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang
dibuat oleh paling sedikit dua pihak.
Dari penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik
dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat
umum. Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap – tidak
berwenang atau bentuknya cacat maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata:
akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta

18
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta) Ed. 7, 2006,
otentik; namun akta yang demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai
akta dibawah tangan19

b. Alat Bukti Saksi


Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim
dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan
pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu
pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.20 Jadi keterangan
yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah ia alami
sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir
tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.
Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895
KUH Perdata yang berbunyi”pembuktian dengan saksi-saksi
diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-
undang”. Jadi prinsipnya, alat bukti saksi menjangkau semua bidang dan
jenis sengketa perdata, kecuali apabila UU sendiri menentukan sengketa
hanya dapat dibuktikan dengan akta, barulah alat bukti saksi tidak dapat
diterapkan.
Alat bukti saksi yang diajukan pada pihak menurut Pasal 121 ayat (1)
HIR merupakan kewajiban para pihak pihak yang berperkara. Akan tetapi
apabila pihak yang berkepentingan tidak mampu menghadirkan secara
sukarela, meskipun telah berupaya dengan segala daya, sedang saksi yang
bersangkutan sangat relevan, menurut Pasal 139 ayat (1) HIR hakim dapat
menghadirkannya sesuai dengan tugas dan kewenangannya, yang apabila
tidak dilaksanakan merupakan tindakan unproffesional conduct.
c. Bukti Persangkaan
Menurut Prof. Subekti, S.H., persangkaan adalah suatu kesimpulan
yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. 21 Hal ini
19
M. Yahya Harahap, S.H., Op. cit, h. 566
20
Sudikno Mertokusumo, Op. cit, h. 166
21
Prof. Subekti, S.H., Op. cit, h. 181
sejalan dengan pengertian yang termaktub dalam pasal 1915 KUH Perdata
“Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh
hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu
peristiwa yang tidak diketahui umum”. Persangkaan dapat dibagi menjadi
dua macam sebagaimana berikut:
1. Persangkaan Undang-undang (wattelijk vermoeden)
Persangkaan undang-undang adalah suatu peristiwa yang oleh undang-
undang disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal
pembayaran sewa maka dengan adanya bukti pembayaran selama tiga
kali berturut-turut membuktikan bahwa angsuran sebelumnya telah
dibayar.
2. Persangkaan Hakim (rechtelijk vermoeden)
Yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan
peristiwa lain. Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan
alasan perselisihan yang terus menerus. Alasan ini dibantah tergugat
dan penggugat tidak dapat membuktikannya. Penggugat hanya
mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan
tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama
bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa
telah terjadi perselisihan terus menerus karena tidak mungkin keduanya
dalam keadaan rukun hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama
bertahun-tahun.
3. Persangkaan Hakim (rechtelijk vermoeden)
Yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan
peristiwa lain. Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan
alasan perselisihan yang terus menerus. Alasan ini dibantah tergugat
dan penggugat tidak dapat membuktikannya. Penggugat hanya
mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan
tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama
bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa
telah terjadi perselisihan terus menerus karena tidak mungkin keduanya
dalam keadaan rukun hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama
bertahun-tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, 1984,Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, Penerbit Chalia


Indonesia, Jakarta, hal. 229
Andi Sofyan (2013) , Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar (Yogyakarta
Rangkang Education, 241.
Bambang Sugeng A.S., S.H., M.H., dan Sujayadi, S.H., Hukum Acara Perdata
dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata (Jakarta: Kencana), 2011, h. 66.
Ebta Setiawan (2014), arti atau makna pembuktian dalam (2014). http://
KBBI.web.id/arti atau makna pembuktian
Harahap, M. Yahya, 2012, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika.
Hari Sasongko dan Lili Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana untuk
Mahasiswa dan Praktisi ( Bandung: Mandar Maju, 2003), 10.
Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti (Jakarta:
Ghalia, 1983), 12.
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia,
(Yogyakarta: Liberty Yogyakarta) Ed. 7, 2006
Tolib Effendi, Dasar Dasar Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan
Pembaharuan di Indonesia) (Malang: Setara Press, 2014), 171.\
Wirjono Prodjodikoro,1974, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Penerbit Sumur,
Bandung, hal 92

Anda mungkin juga menyukai