1
Daud, Alfani, Islam dan Masyarakat Banjar, Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar (PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1997) h.60
2
Mazhab Fiqih yang berkembang di Kalimantan Selatan, (Banjarmasin: Tim Peneliti Fakultas Syari'ah,
IAIN Antasari, 1990), h. 43
3
Soerjono Soekanto, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia, (Jakarta: Kurnia Esa, 1970), h.
10
Artinya: Tiap-tiap kampung bilamana terjadi sengketa, maka
diperintahkan untuk mendamaikan (mamatut) dengan tetuha kampung,
bilamana tidak berhasil barulah dibawa kepada hakim.
d. Permasalahan/kasus
Istilah Baparbaik dan Bapatut lebih mengarah kepada penyelesaian
perkara pidana seperti terjadinya tindak penganiayaan, perkelahian atau
pelanggaran lalu lintas, namun istilah badamai mengandung pengerian umum
artinya penyelesaian masalah apa saja, termasuk juga di dalamnya penyelesaian
perdata hubungan hukum antar orang perorang. Adapun Suluh lebih dekat
pengertiannya kepada istilah Ishlah menurut konsep agama yang dapat
digunakan dalam pengertian penyelesaian keperdataan semisal pembagian
waris, maupun keperdataan lainnya4
c. Sumber Hukum
1. So Samo Kamo Bamo adalah dasar prinsip yang mengakui adanya hak
bersama, prinsip kekeluargaan dan mengutamakan kepentingan orang
banyak
2. Tiep-tiep ade de do pengenea adat makau te’ang ngen sudo adalah suatu
perbuatan dan penyelesaian sengketa atau perselisihan pada masyarakat
adat tidak boleh kita lakukan secara tersembunyi atau disembunyikan.
3. Adat tulung menulung dan adat Rian Batau Mbatau adalah tindakan
saling tolong menolong dalam hal kebaikan baik didalam keluarga
maupun dengan masyarakat adat lainnya
4. Bebania Inde Beneu Bemulan Inde Jalai adalah kiasan strategi untuk
menemukan pokok sejati persoalan atau masalah dalam usaha untuk
menyelesaiankan sengketa atau perselisihan yang terjadi.
―Mufakat Rajo Penghulu pada Masyarakat Melayudi Propinsi Bengkulu)”. Jurnl Huum; Kanun, Fakultas
Hukum Universitas Syah Kuala.nomor 56/XIV. April 2012.h.17
5. Pendok Dik Sudo Panjang Gik Igai adalah sebutan untuk menyatakan
masalah yang telah diselesaikan melalui peradilan adat tidak akan
menimbukan masalah turunan baik di dunia maupun diakherat
6. Betimbang Samo Benek, Bekilo Samo Kelenganadalahkeputusan hati
nurani dalam memberikan keputusan terhadap suatu permasalahan yang
dihadapi, agar keputusan yang kita ambil selain adil, juga telah
dipertimbangkan secara seksama dan mendalam atas mudarat dan
manfaatnya, serta dapat dipertanggung jawabkan kepada Tuhan.
7. Mu’eak Kakane Ade, Beripit Kakea Ne Coaini adalah azaz pada
penentuan sangsi materil terhadap suatu kasus dengan
mempertimbangkan kemampuan ekonomi para pihak yang bersengketa
8. Bepatet Bekenek, Bejenjang Tu’un menjelaskan proses penyelesaian
sengketa haruslah mengikuti aturan yang telah digariskan seperti
menapaki anak tangga satu persatu, jadi kita tidak boleh terburu-buru
ataupun melangkahi aturan yang ada.
Sementara untuk delik pidana adat sering dikenal dengan iram berdarah
(kasus yang mengelurkan darah) dan iram tiado berdarah (tidak mengelurkan
darah), Bayar bangun untuk kasus yang meghilangkan nyawa seseorang dan
cepalo untuk penyebutan kasus-kasus asusila, dalam pelaksanaan hukum adat
ini peran ketua Sukau sering bertindak sebagai pembela terhadap komunitas
atau clannya proses penetapan hukum tetap adat dimana sangsi social sangat
dominant biasanya diputuskan oleh Kepala Kutai atau Ketua Adat setelah
proses peradilan atau damai adat dilakukan dengan meminta pendapat dari
elemen kampong seperti cerdik pandai, alim ulama, dukun, tukang, ini
menunjukan penyelesian kasus yang holistic melibatkan para pihak dalam
menuju keseimbangan akibat dari suatu pecalo yang dilakukan seseorang dan
berdampak kepada semua elemen yang ada di komunitas tersebut, bukti
penyelesaian kasus dan penetapan hasil damai desa adalah sirih dan pinang
yang disertai dengan serawo dan melaksanakan Tepung Setawar.
b. Struktur peradilan
Struktur peradilan dalam adat Maluku utara terdiri dari dua yaitu peradilan
dunia dan agama.
c. Sumber hukum yang dipakai
Dalam pelaksanaan adat istiadat Maluku utara dikenal dengan sistem
bobato dunia dan bobato akhirat sebagai pengatur dan pengarah undang-undang
adat dan hukum adat agama
d. Permasalahan/kasus yang dibahas
Permasalahan atau kasus yang bahasa pun seputar boboto
6
Sagaf S. Pettalongi, “ADAT SEGULAHA DALAM TRADISI MASYARAKAT KESULTANAN TERNATE”. el
Harakah Vol.14 No.2 Tahun 2012. Hal 167
7
Sudantra, I.K. dan Sukerti. 2014. “Pengaturan Peradilan Adat dalam Awig-awig Desa Pakraman: Studi
Pendahuluan tentang Eksistensi Peradilan Adat dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Desa
Pakraman”, Jurnal Magister Hukum Udayana, Vol. 3 (Vol 6) No. 2., h.310-326
b. Struktur peradilan
Walaupun wilayah Bali ini kecil, dengan jumlah desa pakraman
sebanyak 1480 desa (Bappeda Bali, 2013:V.1)8, struktur peradilan adatnya juga
beragam. Pada desa-desa pakraman yang termasuk kategori desa apanage dan
desa anyar (baru) pada umumnya dianut sistem peradilan tunggal.
c. Sumber hukum yang dipakai
Dari rumusan pengertian peradilan adat dapat dipahami bahwa
keberadaan peradilan adat didasarkan pada hukum adat yang berlaku pada
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat setempat. Dengan demikian, secara
normatif hukum yang dijadikan dasar untuk mengadili setiap perkara yang
ditanganinya adalah hukum adat. Dalam kesatuan masyarakat hukum adat desa
pakraman Bali, aturan-aturan hukum adat yang dijadikan pedoman dalam setia
aktivitas warganya disebut awig-awig desa pakraman Bali.9
d. Permasalahan/kasus yang dibahas
Bahwa perkara-perkara yang terjadi di wilayah desa pakraman Bali
beragam kwalifikasinya, meliputi perkara adat murni, yaitu perkara yang
semata-mata hanya berupa sengketa adat atau pelanggaran terhadap hukum
adat; perkara-perkara campuran yaitu sengketa adat yang sekaligus sengketa
keperdataan pada umumnya ataupun pelanggaran adat sekaligus pelanggaran
terhadap hukum negara; dan perkara-perkara non-adat, yaitu perkara yang sama
sekali tidak ada kaitannya dengan masalah adat.10
8
Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Pemerintah Provinsi Bali, 2013, Data Bali
Membangun 2012
9
Sudantra, I.K.. Pengakuan Peradilan Adat dalam Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman, (Denpasar:
Swasta Nulus,2016) h.89
10
Çantika, I Wayan Koti. , ”Tatacara Penerapan Pamidanda”, dalam: I Ketut Sudantra dan AA Gede Oka
Parwata (ed), Wicara lam Pamidanda, Pemberdayaan Desa Pakraman dalam Penyelesaian Perkara di
Luar Pengadilan, hlm. 93 – 113, (Denpasar: Udayana University Press, 2010)
Dalam masyarakat Aceh, ada sejumlah kegiatan hukum ekonomi yang sudah
biasa dipraktikkan dari dulu. Kita mengenal sistem mawah, gala, muge dan bloe di
bak (beli buah di pohon). Selain itu ada juga sistem perkreditan pakaian yang biasa
dilakukan oleh kaum ibu. Masalah ibadah juga sebagiannya masuk ke dalam ranah
ekonomi yang dipraktikkan oleh masyarakat Aceh secara sengaja atau tidak.
Namun,
dalam paper ini penulis hanya memfokuskan kajian pada sistem mawah dan gala.11
Contoh dalam sektor pertanian, misalnya, jika pengelola menanggung segala
biaya atas tanaman yang ditanami seperti pupuk, upah pekerja, air, dan lain-lain,
maka bagi hasilnya mungkin 2/3 untuk pengelola dan 1/3 pemilik modal. Jika lahan
tersebut berada jauh dari perkampungan penduduk, bagi hasil yang biasa berlaku
dalam masyarakat adalah satu bagian untuk pemilik tanah, tiga bagian untuk
penggarap.
13
Majelis Adat Aceh Negeri Gayo (MAANGO), Prinsip-prinsip Dasar Pelaksanaan Peradilan Adat (1),(Aceh
tengah, 2008) hal 3.
perzinahan yaitu pengganti kerugian dalam berbagai rupa. Seperti paksaan
menikahi atau mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Dari sanksi tersebut bertujuan untuk:14
a. untuk menghindari dari cemohan atau segala kotoran aib
b. Penutup malu dan permintaan maaf
14
Umi Rozah, Erlyn Indarti “DELIK ZINA : UNSUR SUBSTANSIAL DAN PENYELESAIANNYA DALAM
MASYARAKAT ADAT MADURA”. Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No.4, (Oktober2019), Halaman 366-
375
15
Santun, D.I.M., Murni, & Supriyanto. Iliran dan Uluan ; Dikotomi dan Dinamika dalam Sejarah
Palembang. (Yogyakarta: Eja Publisher,2010)
DAFTAR PUSTAKA