Anda di halaman 1dari 13

1.

Pengadilan adat Kalimantan Selatan


a. Sistem peradilan
Sistem peradilan pada masyarakat adat Badamai (Kalimantan Selatan)
jika terjadi persengketaan diantara warga atau terjadi tindak penganiayaan atau
pelanggaran norma (adat) atau terjadi perkelahian ataupun pelanggaran lalu
lintas, maka warga masyarakat berkecenderungan menyelesaikan secara
badamai. Warga masyarakat enggan menyelesaikan sengketa itu melalui
lembaga ligitasi (jalur lembaga peradilan). Adat badamai ini diakui efektif
dalam menyelesaikan pertikaian atau persengketaan.1
b. Struktur peradilan
Struktur peradilan pada masyarakat adat Badamai (Kalimantan Selatan)
dilakukan oleh pejabat Agama yang dinamakan Muft dan Qadhi yang semula
merupakan pejabat dalam struktur Kerajaan untuk menjalankan fungsi
peradilan. Akan tetapi walaupun Kerajaan Banjar sudah dihapuskan pada tahun
1860, namun kedudukan Mufti dan Qadhi dalam masyarakat masih tetap
dominan sampai dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti
sebutan "Surgi Mufti" dan "Tuan Qadli2
c. Sumber Hukum
Sumber hukum yang dipakai pada peradilan adat Badamai (Kalimantan
Selatan) adalah Pasal 21 UUSA sebagai dasar hukum adat badamai.
Pasal 21:3 Tiap kampung kalau ada perbantahan isi kampungnja ija itu
tetuha kampungnja kusuruhkan membitjarakan mupaqat-mupaqat lawan jang
tuha-tuha kampungnja itu lamun tiada djuga dapat membitjarakan ikam bawa
kepada hakim.

1
Daud, Alfani, Islam dan Masyarakat Banjar, Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar (PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1997) h.60
2
Mazhab Fiqih yang berkembang di Kalimantan Selatan, (Banjarmasin: Tim Peneliti Fakultas Syari'ah,
IAIN Antasari, 1990), h. 43
3
Soerjono Soekanto, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia, (Jakarta: Kurnia Esa, 1970), h.
10
Artinya: Tiap-tiap kampung bilamana terjadi sengketa, maka
diperintahkan untuk mendamaikan (mamatut) dengan tetuha kampung,
bilamana tidak berhasil barulah dibawa kepada hakim.
d. Permasalahan/kasus
Istilah Baparbaik dan Bapatut lebih mengarah kepada penyelesaian
perkara pidana seperti terjadinya tindak penganiayaan, perkelahian atau
pelanggaran lalu lintas, namun istilah badamai mengandung pengerian umum
artinya penyelesaian masalah apa saja, termasuk juga di dalamnya penyelesaian
perdata hubungan hukum antar orang perorang. Adapun Suluh lebih dekat
pengertiannya kepada istilah Ishlah menurut konsep agama yang dapat
digunakan dalam pengertian penyelesaian keperdataan semisal pembagian
waris, maupun keperdataan lainnya4

2. Pengadilan adat Rejang Lebong-Bengkulu


a. Sistem Peradilan
Sistem peradilan pada adat Rejang Lebong meliputi semua aspek
kehidupan warganya yang tidak hanya mengatur sangsi tetapi lebih jauh
mengatur hak dan kewajiban baik dengan sesama warga komunitas maupun
dengan kepercayaan tertentu yang biasanya bersipat magis, dengan demikian
Hukum Adat yang terdapat di Rejang Lebong merupakan alam pikiran
tradisional yang umumnya bersifat kosmis dan totaliter tidak ada pemisahan
dari berbagai macam larangan hidup, tidak ada pemisahan antara dunia lahir
dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antar manusia dengan makluk lainnya,
segala sesuatu bercampur baur, bersangkut paut dan saling berpengaruhi yang
paling penting jika dilihat lebih jauh di Jurukalang hokum adapt adalah
manisfestasi dari keseimbangan, keselarasan, keserasian (evenwicht), segala
yang mengangu keseimbangan tersebut merupakan pelangaran Hukum.5
4
Daud, Alfani, Islam dan Masyarakat Banjar, Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, (PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta) 1997.Op Cit
5
Herlambang.” Membangun Asas-Asas Peradilan Adat (Studi tentang Penyelesaian Perkara di Luar
Pengadilan melalui Musyawarah Adat ―Tuie Kutei‖ pada Masyarakat Rejangdan MusyawarahAdat
b. Struktur peradilan
Struktur peradilan adat Rejang Lebong terdiri dari:
1. Adat Sejati, yang disebut dengan Adat sejati adalah Adat peninggalan nenek
moyang atau leluhur yang sering dikatan tidak lapuk kena hujan dan tidak
lekang karena panas adalah Adat yang memahat sepanjang garis, bertarah di
dalam sifat, bertanam di dalam pagar berjalan di hati jalan dan berkata
dalam Adat
2. Adat yang diadatkan adalah Adat tambahan pada sejati Adat baik yang
merupakan suatu peraturan dari Tuai Kutai merupakan hasil kesepakatan
dan musyawarah dalam Kutai maupun kebiasan tertentu yang sudah
menjadi Adat yang teradat, seperti berbagi sama banyak, bermuka sama
terang dan bertanak di dalam periuk, bersumpah bersemanyo, berjanji
bersetio dan yang terpenting adalah kalah Adat karena janji.

c. Sumber Hukum
1. So Samo Kamo Bamo adalah dasar prinsip yang mengakui adanya hak
bersama, prinsip kekeluargaan dan mengutamakan kepentingan orang
banyak
2. Tiep-tiep ade de do pengenea adat makau te’ang ngen sudo adalah suatu
perbuatan dan penyelesaian sengketa atau perselisihan pada masyarakat
adat tidak boleh kita lakukan secara tersembunyi atau disembunyikan.
3. Adat tulung menulung dan adat Rian Batau Mbatau adalah tindakan
saling tolong menolong dalam hal kebaikan baik didalam keluarga
maupun dengan masyarakat adat lainnya
4. Bebania Inde Beneu Bemulan Inde Jalai adalah kiasan strategi untuk
menemukan pokok sejati persoalan atau masalah dalam usaha untuk
menyelesaiankan sengketa atau perselisihan yang terjadi.

―Mufakat Rajo Penghulu pada Masyarakat Melayudi Propinsi Bengkulu)”. Jurnl Huum; Kanun, Fakultas
Hukum Universitas Syah Kuala.nomor 56/XIV. April 2012.h.17
5. Pendok Dik Sudo Panjang Gik Igai adalah sebutan untuk menyatakan
masalah yang telah diselesaikan melalui peradilan adat tidak akan
menimbukan masalah turunan baik di dunia maupun diakherat
6. Betimbang Samo Benek, Bekilo Samo Kelenganadalahkeputusan hati
nurani dalam memberikan keputusan terhadap suatu permasalahan yang
dihadapi, agar keputusan yang kita ambil selain adil, juga telah
dipertimbangkan secara seksama dan mendalam atas mudarat dan
manfaatnya, serta dapat dipertanggung jawabkan kepada Tuhan.
7. Mu’eak Kakane Ade, Beripit Kakea Ne Coaini adalah azaz pada
penentuan sangsi materil terhadap suatu kasus dengan
mempertimbangkan kemampuan ekonomi para pihak yang bersengketa
8. Bepatet Bekenek, Bejenjang Tu’un menjelaskan proses penyelesaian
sengketa haruslah mengikuti aturan yang telah digariskan seperti
menapaki anak tangga satu persatu, jadi kita tidak boleh terburu-buru
ataupun melangkahi aturan yang ada.

d. Permasalahan/kasus yang dibahas


Perdamaian Adat disebut dengan Mulo Bangun atau Mulo Tepung, sehingga
dalam pelaksanaannya adalah meletakkan, menentukan dan melaksanakannya
atau di istilahkan Mengipar Sayap Menukat Paruh yang artinya menyangupi
membayar atau beban yang ditimpahkan. Ada beberapa hal pokok dalam
system Hukum Adat Rejang di Jurukalang, antara lain;
1. Membunuh membangun
2. Salah Berhutang
3. Gawal Mati
4. Melukai menepung
5. Selang Berpulang
6. Suarang Bagiak
7. Sumbing Titip, Patah Berkipal
8. Kalah Adat Karena Janji
9. Pemberian Habis Saja
10. Buruk Puar Aling Jelupuh, Patah Tumbuh Hilang Berganti

Sementara untuk delik pidana adat sering dikenal dengan iram berdarah
(kasus yang mengelurkan darah) dan iram tiado berdarah (tidak mengelurkan
darah), Bayar bangun untuk kasus yang meghilangkan nyawa seseorang dan
cepalo untuk penyebutan kasus-kasus asusila, dalam pelaksanaan hukum adat
ini peran ketua Sukau sering bertindak sebagai pembela terhadap komunitas
atau clannya proses penetapan hukum tetap adat dimana sangsi social sangat
dominant biasanya diputuskan oleh Kepala Kutai atau Ketua Adat setelah
proses peradilan atau damai adat dilakukan dengan meminta pendapat dari
elemen kampong seperti cerdik pandai, alim ulama, dukun, tukang, ini
menunjukan penyelesian kasus yang holistic melibatkan para pihak dalam
menuju keseimbangan akibat dari suatu pecalo yang dilakukan seseorang dan
berdampak kepada semua elemen yang ada di komunitas tersebut, bukti
penyelesaian kasus dan penetapan hasil damai desa adalah sirih dan pinang
yang disertai dengan serawo dan melaksanakan Tepung Setawar.

3. Pengadilan adat Maluku Utara


a. Sistem peradilan
Sistem peradilan di mauluku utara dikenal dengan istilah sistem bobato
dunia dan bobato akhirat sebagai pengatur dan pengarah undang-undang adat
dan hukum adat agama. Bobato dunia artinya bagian yang mengatur hal ihwal
kepentingan dan pengurusan keduniaan meliputi; komisi ngaruha yaitu yang
diberi tugas tertentu sebagai lembaga eksekutif, serta komisi kapita yaitu
lembaga pemerintahan yang bergerak dalam bidang kemiliteran. Adapun bobato
akhirat yaitu lembaga yang mengatur tentang pelaksanaan yang menyangkut
dengan kepentingan agama Islam yang terdiri dari: (1) jo kalem (qadhi), (2)
imam terdiri dari imam Jiko, imam Jawa, imam Sangaji, imam Moti dan imam
Bangsawan, (3) khatib terdiri dari khatib Jiko, khatib Jawa, khatib Sangaji,
khatib bangsawan dan khatib Jo tulis dan (4) modem6

b. Struktur peradilan
Struktur peradilan dalam adat Maluku utara terdiri dari dua yaitu peradilan
dunia dan agama.
c. Sumber hukum yang dipakai
Dalam pelaksanaan adat istiadat Maluku utara dikenal dengan sistem
bobato dunia dan bobato akhirat sebagai pengatur dan pengarah undang-undang
adat dan hukum adat agama
d. Permasalahan/kasus yang dibahas
Permasalahan atau kasus yang bahasa pun seputar boboto

4. Pengadilan Adat Bali


a. Sistem peradilan
Sebagian besar desa di Bali telah mempunyai awig-awig tertulis sebagai
pedoman dalam menyelenggarakan kehidupan sosial religius masyarakatnya.
Walaupun tidak ditemukan satu pun awigawig desa yang menyebutkan istilah
“peradilan adat” di dalam pasal-pasalnya (pawos), namun awig-awig desa
dengan jelas mengatur mekanisme penyelesaian masalah-masalah hukum yang
terjadi di lingkungan desa pakraman, yang secara teknis awig-awig disebut
dengan istilah wicara (Ind.: masalah/perkara).7

6
Sagaf S. Pettalongi, “ADAT SEGULAHA DALAM TRADISI MASYARAKAT KESULTANAN TERNATE”. el
Harakah Vol.14 No.2 Tahun 2012. Hal 167
7
Sudantra, I.K. dan Sukerti. 2014. “Pengaturan Peradilan Adat dalam Awig-awig Desa Pakraman: Studi
Pendahuluan tentang Eksistensi Peradilan Adat dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Desa
Pakraman”, Jurnal Magister Hukum Udayana, Vol. 3 (Vol 6) No. 2., h.310-326
b. Struktur peradilan
Walaupun wilayah Bali ini kecil, dengan jumlah desa pakraman
sebanyak 1480 desa (Bappeda Bali, 2013:V.1)8, struktur peradilan adatnya juga
beragam. Pada desa-desa pakraman yang termasuk kategori desa apanage dan
desa anyar (baru) pada umumnya dianut sistem peradilan tunggal.
c. Sumber hukum yang dipakai
Dari rumusan pengertian peradilan adat dapat dipahami bahwa
keberadaan peradilan adat didasarkan pada hukum adat yang berlaku pada
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat setempat. Dengan demikian, secara
normatif hukum yang dijadikan dasar untuk mengadili setiap perkara yang
ditanganinya adalah hukum adat. Dalam kesatuan masyarakat hukum adat desa
pakraman Bali, aturan-aturan hukum adat yang dijadikan pedoman dalam setia
aktivitas warganya disebut awig-awig desa pakraman Bali.9
d. Permasalahan/kasus yang dibahas
Bahwa perkara-perkara yang terjadi di wilayah desa pakraman Bali
beragam kwalifikasinya, meliputi perkara adat murni, yaitu perkara yang
semata-mata hanya berupa sengketa adat atau pelanggaran terhadap hukum
adat; perkara-perkara campuran yaitu sengketa adat yang sekaligus sengketa
keperdataan pada umumnya ataupun pelanggaran adat sekaligus pelanggaran
terhadap hukum negara; dan perkara-perkara non-adat, yaitu perkara yang sama
sekali tidak ada kaitannya dengan masalah adat.10

5. Hukum ekonomi adat Aceh

8
Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Pemerintah Provinsi Bali, 2013, Data Bali
Membangun 2012
9
Sudantra, I.K.. Pengakuan Peradilan Adat dalam Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman, (Denpasar:
Swasta Nulus,2016) h.89
10
Çantika, I Wayan Koti. , ”Tatacara Penerapan Pamidanda”, dalam: I Ketut Sudantra dan AA Gede Oka
Parwata (ed), Wicara lam Pamidanda, Pemberdayaan Desa Pakraman dalam Penyelesaian Perkara di
Luar Pengadilan, hlm. 93 – 113, (Denpasar: Udayana University Press, 2010)
Dalam masyarakat Aceh, ada sejumlah kegiatan hukum ekonomi yang sudah
biasa dipraktikkan dari dulu. Kita mengenal sistem mawah, gala, muge dan bloe di
bak (beli buah di pohon). Selain itu ada juga sistem perkreditan pakaian yang biasa
dilakukan oleh kaum ibu. Masalah ibadah juga sebagiannya masuk ke dalam ranah
ekonomi yang dipraktikkan oleh masyarakat Aceh secara sengaja atau tidak.
Namun,
dalam paper ini penulis hanya memfokuskan kajian pada sistem mawah dan gala.11
Contoh dalam sektor pertanian, misalnya, jika pengelola menanggung segala
biaya atas tanaman yang ditanami seperti pupuk, upah pekerja, air, dan lain-lain,
maka bagi hasilnya mungkin 2/3 untuk pengelola dan 1/3 pemilik modal. Jika lahan
tersebut berada jauh dari perkampungan penduduk, bagi hasil yang biasa berlaku
dalam masyarakat adalah satu bagian untuk pemilik tanah, tiga bagian untuk
penggarap.

6. Hukum ekonomi adat Bali


Sistem ekonomi Hindu seyogianya dilandasi oleh konsepsi Tri Warga (dharma,
artha, kama) dijadikan pemdoman masyarakat adat Bali. Konsepsi ini telah
mencakup rangsangan ekonomi, sosial, dan moral. Ciri kedua, perwujudan
pemerataan sosial ekonomi dan keadilan ekonomi untuk tujuan hidup yang berupa
moksaartham jagadhita yang merupakan tujuan sekaligus landasan dari sistem
ekonomi Hindu.

7. Hukum ekonomi adat Jawa


Hukum ekonomi di adat Jawa dikenal dengan istilah “Sambatan” aartinya tolong
menolong. Sebagai contoh masyarakat kalagan atas harus memberi bantua kepada
masyarakat bawah di di adat Jawa12
11
Azharsyah Ibrahim, “PRAKTIK EKONOMI MASYARAKAT ACEH DALAM KONTEKS EKONOMI ISLAM:
Kajian Terhadap Sistem Mawah dan Gala”. International Islamic University Malaysia, (March 26 – 28,
2012). H, 444
12
Pengertian hukum perekonomian adat dan subjek hukum adat (on line). Tersedia di:
https://butew.com/2018/03/16/pengertian-hukum-perekonomian-adat-dan-subjek-hukum-adat/ (3 Mei
2020)
8. Delik adat Aceh
Beberapa asas dasar dalam pelaksanaan peradilan adat atau delik di Aceh
diantarannya adalah:
1. Terpercaya atau amanah, maksudnya peradilan adat didasari pada
kepercayaan masyarakat terhadap para tokoh-tokoh adatnya.
2. Tanggungjawab, maksudnya pelaksanaan peradilan adat didasari
tanggungjawab dalam pelaksanaannya kepada para pihak, masyarakat dan
Allah swt.
3. Kesetaraan di depan hukum, maksunya peradilan adat tidak boleh
membeda-bedakan jenis kelamin, status sosial, umur ddan lain-lain. Semua
orang mempunyai kedudukan dan hak yang sama di depan hukum adat.
4. Cepat, murah dan mudah, maksudnya proses peradilan adat dilaksanakan
secara cepat, tidak boleh mengulur-ngulur waktu, dan mudah. Putusannya
harus terjangkau untuk dilaksanakan oleh masyarakat.
5. Ikhlas dan sukarela, artinya para tokoh adat tidak boleh memaksa para pihak
untuk menyelesaiakn perkaranya melalui peradilan adat.
6. Penyelesaian damai, maksudnya peradilan adat ini dimaksudkan untuk
benar-benar menyelesaiakn masalah yanag ada, guna mengembalikan
keseimbangan dann kerukunan hidup masyarakat.
7. Musyawarah atau mufakat, maksudnya keputusan yang diambil dalam
peradilan adat didasari pada hasil musyawarah mufakat yang berlandaskan
hukum adat dan agama Islam.
8. Keterbukaan dan umum, maksudnya semua proses peradilan adat
dilaksanakan secara terbuka (kecuali untuk kasus tertentu, seperti perkara
keluarga).
9. Jujur, artinya pelaksanaan peradilan adat dilakukan secara jujur. Setiap
pemimpin adat tidak boleh mengambil keuntungan dalam bentuk apapun
baik materil maupun non materil dalam penanganan perkara.
10. Keberagaman artinya peradilan adat menghargai keberagaman ketentuan
adat dalam berbagai sub system hukum adat yang berlaku dalam
masyarakat.
11. Praduga tidka bersalah, maksdunya hukum adat tidak membenarkan adanya
tindakan main hakim sendiri. Dalam proses peradilan para pihak harus
dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan.
12. Berkeadilan, maksudnya putusan peradilan adat harus bersifat adil dan
putusannya diterapkan dengan kualitas perkara dan tingkat ekonomi para
pihak.
Hukum adat atau delik mengatur segala hal yang berhubungan dengan pergaulan
dalam masyarakat, meliputi hukum adat tentang tanah, hukum adat tentang
transaksi tanah, hukum adat tentang perutangan, hukum adat tentang status badan
pribadi, hukum adat tentang kekerabatan, hukum adat tentang perkawinan, hukum
adat tentang waris dan hukum adat tentang delik data.13
Contoh kasus Seorang pencuri sepatu dan sandal di masjid dikenakan sanksi
adat setelah ditangkap. Pelaku sempat diserahkan ke polisi tapi kemudian diproses
oleh pihak desa.

9. Delik adat Madura


Dalam terminologi hukum di Indonesia, hukum aday atau delik mengacu pada
peraturan-peraturan tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan
dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Bagi Suku Madura,
beberapa hukum adat atau delik yang dikenal masih berlaku hingga sekarang adalah
carok dan pernikahan.
Contoh kasus Zina, dikalangan Madura pengertian zina tidak seperti dalam kuhp
yang berlaku dalam hukum positif. Zina diartikan sesuai dengan hukum agama
islam. Dimana zina tidak hanya diberlakukan bagi yang salah satunya sudah terikat
dalam suatu perkwinan. Maka hukum atau sanksi yang diberlakukan dalam

13
Majelis Adat Aceh Negeri Gayo (MAANGO), Prinsip-prinsip Dasar Pelaksanaan Peradilan Adat (1),(Aceh
tengah, 2008) hal 3.
perzinahan yaitu pengganti kerugian dalam berbagai rupa. Seperti paksaan
menikahi atau mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Dari sanksi tersebut bertujuan untuk:14
a. untuk menghindari dari cemohan atau segala kotoran aib
b. Penutup malu dan permintaan maaf

10. Delik adat Palembang


Delik adat Palembang teridiri dari 2 macam yaitu Sundi Suni dan Mengkak
Mingkul.15
1. Sundi Suni
Sundi Suni dilakukan dalam delik kekeluargaan. Contoh ketika sang kaka
hendak makan maka sang adik harus mempersiapkan makanan.
2. Mengkak Mincul
Delik adat ini biasa terjadi sengketa pada anak-anak dan remaja. Jika terjadi
keluar darah perkelahian, tinju, memukul kayu atau dengan batu.
3. Cempale mulut
4. Pencurian
Jika terjadi pencurian seorang pencuri tertangkap oleh oleh petugas, maka
pencuri haru mengganri rugi sesuai dengan harga ytang di curi. Jika tidak mau
pencuri akan dikeluarkan dari dusun laman.

14
Umi Rozah, Erlyn Indarti “DELIK ZINA : UNSUR SUBSTANSIAL DAN PENYELESAIANNYA DALAM
MASYARAKAT ADAT MADURA”. Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No.4, (Oktober2019), Halaman 366-
375
15
Santun, D.I.M., Murni, & Supriyanto. Iliran dan Uluan ; Dikotomi dan Dinamika dalam Sejarah
Palembang. (Yogyakarta: Eja Publisher,2010)
DAFTAR PUSTAKA

Azharsyah Ibrahim, “PRAKTIK EKONOMI MASYARAKAT ACEH DALAM


KONTEKS EKONOMI ISLAM: Kajian Terhadap Sistem Mawah dan Gala”.
International Islamic University Malaysia, March 26 – 28, 2012. H, 444
Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Pemerintah Provinsi Bali, 2013,
Data Bali Membangun 2012
Çantika, I Wayan Koti. , ”Tatacara Penerapan Pamidanda”, dalam: I Ketut Sudantra dan
AA Gede Oka Parwata (ed), Wicara lam Pamidanda, Pemberdayaan Desa
Pakraman dalam Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan, hlm. 93 – 113,
Denpasar: Udayana University Press, 2010
Daud, Alfani, Islam dan Masyarakat Banjar, Deskripsi dan Analisa Kebudayaan
Banjar Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada, 1997h.60
Herlambang.” Membangun Asas-Asas Peradilan Adat (Studi tentang Penyelesaian
Perkara di Luar Pengadilan melalui Musyawarah Adat ―Tuie Kutei‖ pada
Masyarakat Rejangdan MusyawarahAdat ―Mufakat Rajo Penghulu pada
Masyarakat Melayudi Propinsi Bengkulu)”. Jurnl Huum; Kanun, Fakultas
Hukum Universitas Syah Kuala.nomor 56/XIV. April 2012.h.17
---------Mazhab Fiqih yang berkembang di Kalimantan Selatan, (Banjarmasin: Tim
Peneliti Fakultas Syari'ah, IAIN Antasari, 1990), h. 43
Majelis Adat Aceh Negeri Gayo (MAANGO), Prinsip-prinsip Dasar Pelaksanaan
Peradilan Adat (1) Aceh tengah, 2008. hal 3.
Pengertian hukum perekonomian adat dan subjek hukum adat (on line). Tersedia di:
https://butew.com/2018/03/16/pengertian-hukum-perekonomian-adat-dan-
subjek-hukum-adat/ (3 Mei 2020)
Sagaf S. Pettalongi, “ADAT SEGULAHA DALAM TRADISI MASYARAKAT
KESULTANAN TERNATE”. el Harakah Vol.14 No.2 Tahun 2012. Hal 167
Santun, D.I.M., Murni, & Supriyanto. Iliran dan Uluan ; Dikotomi dan Dinamika
dalam Sejarah Palembang. Yogyakarta: Eja Publisher,2010
Soerjono Soekanto, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia, Jakarta: Kurnia
Esa, 1970, h. 10
Sudantra, I.K. dan Sukerti. 2014. “Pengaturan Peradilan Adat dalam Awig-awig Desa
Pakraman: Studi Pendahuluan tentang Eksistensi Peradilan Adat dalam Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat Desa Pakraman”, Jurnal Magister Hukum Udayana,
Vol. 3 (Vol 6) No. 2., h.310-326
Sudantra, I.K. Pengakuan Peradilan Adat dalam Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman,
Denpasar: Swasta Nulus,2016 h.89
Umi Rozah, Erlyn Indarti “DELIK ZINA : UNSUR SUBSTANSIAL DAN
PENYELESAIANNYA DALAM MASYARAKAT ADAT
MADURA”.Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No.4, Oktober2019. H.366-375

Anda mungkin juga menyukai