Anda di halaman 1dari 9

SISTEM dan TEORI PEMBUKTIAN

HUKUM ACARA PIDANA


(Alat-alat bukti dan Kekuatannya)

Rahmad Meysuari (160104055)
Zulfikar (160104127)
Ar Ureb Zaki Yaman (160104059)
Roni Hussandi (160104139)
Nazarul Munzir (160104028)
Syarafuddinil Uqaili (160104108)
Ali mu’iza (160104047)
A. Teori pembuktian dalam Hukum Acara Pidana.
1. Pembutkian menurut Hukum Acara Pidana.
Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian dalam perkara
perdata. Dalam pembuktian perkara pidana (hukum acara pidana) adalah bertujuan
untuk mencari kebenaran materiil, yaitu kebenaran sejati atau yang sesungguhnya,
sedangkan pembuktian dalam perkara perdata (hukum acara perdata) adalah
bertujuan untuk mencari kebenaran formil, artinya hakim tidak boleh melampaui
batas-batas yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Jadi hakim dalam
mencari kebenaran formal cukup membuktikan dengan ‛preponderance of
evidence‛, sedangkan hakim pidana dalam mencari kebenaran materiil, maka
peristiwanya harus terbukti (beyond reasonable doubt).
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar (Yogyakarta: Rangkang
Education, 2013),241.
Pembuktian secara bahasa (terminologi), menurut kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah suatu proses perbuatan, cara membuktian, suatu usaha
menentukan benar atau salahnya si terdakwa di dalam sidang pengadilan. Dalam
hal ini pembuktian merupakan salah satu unsur yang penting dalam hukum acara
pidana. dimana menentukan antara bersalah atau tidaknya seorang terdakwa
didalam persidangan.
Yang dimaksudkan dengan membuktikan ialah meyakinkan hakim
tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu
persengketaan di muka pengadilan. Hakim di dalam melaksanakan
tugasnya diperbolehkan menyandarkan putusannya hanya atas
keyakinannya, biarpun itu sangat kuat dan murni, keyakinan hakim itu
harus didasarkan pada sesuatu, yang dinamakan oleh undang-undang
ialah alat bukti (R. Subekti, 1985 : 12).

Sistem atau teori-teori pembuktian Indonesia sama dengan Belanda


dan negara- negara eropa kontinental yang lain, yaitu menganut bahwa
hakimlah yang menilai alat bukti yang diajukan dengan keyakinannya
sendiri bukan juri, seperti di Amerika Serikat dan negara-negara anglo
saxon, juri umumnya terdiri dari orang awam. Juri-juri tersebutlah yang
menentukan salah atau tidaknya guilty or not guilty seorang terdakwa,
sedangkan hakim hanya memimpin sidang dan menjatuhkan pidana
(sentencing).
Ada beberapa teori atau sistem pembuktian yang dianut dalam Hukum
Acara Pidana :
1. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-undang secara
positif (Positief Wettelijk Bewitjstheorie).
2. 2. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan atas keyakinan hakim saja.
Teori ini disebut juga conviction intime.
3. 3. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim logis (La
conviction Raisonee).
4. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief
wettelijk)

Sistem pembuktian yang dianut di indonesia di atur didalam Kitab


Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal 183, berbunyi
:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, bahwa pembuktian adalah mengandung
maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah suatu peristiwa, sehingga
dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Dalam hukum acara
pidana, acara pembuktian adalah dalam rangka mencari kebenaran materiil dan
KUHAP yang menetapkan tahapan dalam mencari kebenaran sejati yaitu melalui:
a. Penyidikan
b. Penuntutan
c. Pemeriksaan di persidangan
d. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan

Menurut Sudikno Mertokusumo menggunakan istilah membuktikan, dengan


memberikan pengertian, sebagai berikut:
a. Kata membuktikan dalam arti logis, artinya memberi kepastian yang bersifat
mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti-
bukti lain.
b. Kata membuktikan dalam arti konvensional, yaitu pembuktian yang memberikan
kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak melainkan kepastian yang nisbi atau
relatif, sifatnya yang mempunyai tingkatantingkatan
Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang
mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang
dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara yang mengajukan bukti
tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu
pembuktian. Adapun sumber-sumber hukum pembuktian adalah, sebagai
berikut:
a. Undang-undang
b. Doktrin atau ajaran
c. Yurisprudensi.
Kekuatan pembuktian dalam hukum acara pidana terletak didalam Pasal 183
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang
berbunyi ‚hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada sesorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.‛ Berdasarkan ketentuan tersebut
bahwa seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara pidana harus
berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah. Apabila sebaliknya maka terdakwa
tidak dapat diajutuhi hukuman atas tindakannya.
Menurut J.C.T. Simorangkir, bahwa pembuktian adalah ‛usaha dari yang
berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal yang
berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan agar supaya dapat dipakai oleh
hakim sebagai bahan untuk memberikan keputusan seperti perkara tersebut‛.
Sedangkan menurut Darwan , bahwa pembuktian adalah ‛pembuktian bahwa benar
suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakaukannya,
sehingga harus mempertanggungjawabkannya.
Menurut Andi Hamzah, teori dalam sistem pembuktian, yakni sebagai berikut:
a. Sistem atau teori berdasarkan berdasarkan Undang-undang secara psoitif
(positive wetteljik bewijstheorie)
b.Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja (conviction
intime)
c. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis
(laconviction raisonnee)
d. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-undang secara negatif
(negatief wettellijk bewijs theotrie)
Menurut Simons, bahwa sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang
secara positif (positif wettelijke bewijs theorie). ‚untuk menyingkirkan semua
pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan
pembuktian yang keras‛.
Adapun alat bukti yang sah sebagaimana diatur didalam pasal 184 ayat (1) Undang
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yakni sebagai berikut:
a. Keterangan sakasi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
Kelima alat bukti tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sama dalam
persidangan acara pidana. tidak ada pembedaan antar masingmasing alat bukti
satu sama lain. Urutan sebagaimana yang diatur didalam pasal tersebut hanyalah
urutan sebagaimana dalam pemeriksaan persidangan.
kekuatan alat bukti, hakim mempunyai keyakinan atas kebenaran alat bukti
yang ada. Maksudnya alat bukti yang ada berupa keterangan saksi, keterangan
ahli, surat, petunjuk, maupun keterangan terdakwa harus diyakini hakim berkaitan
dengan peristiwa atau kejahatan yang sudah terjadi atau berkas-berkas perkara
yang ada. Dengan kata lain harus sesuai dengan fakta bukan rekayasa.
oleh karena itu, kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk harus didasari
pengamatan hakim untuk menilai persesuaian antara fakta-fakta yang ada dengan
tindak pidana yang didakwakan dan juga persesuaian antara alat-alay bukti,
artinya dapat disimpulkan bahwa sekurang-kurangnya harus ada dua petunjuk
untuk mendapat bukti yang sah.

Anda mungkin juga menyukai