Anda di halaman 1dari 15

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Asas Beban Pembuktian Terbalik Sebagai Upaya


Penyelesaian Perkara Kesalahan Dan/Atau Kelalaian Yang
Dilakukan Oleh Dokter.

Pembuktian Pidana merupakan inti persidangan perkara pidana

dalam sistem peradilan umum di Indonesia, untuk mencari kebenaran

materiil. Pembuktian Pidana tersebut telah dimulai sejak tahap

penyelidikan guna menemukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan

dalam rangka membuat terang suatu tindak pidana dan menemukan

tersangka dari tindak pidana tersebut.

Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan

berarti memberikan atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu

kebenaran, melaksanakan, menandakan menyaksikan dan meyakinkan,

Pembuktian (bewijs) dalam bahasa Belanda memiliki dua arti, bisa

diartikan sebagai perbuatan dengan mana diberikan suatu kepastian,

bias juga diartikan sebagai akibat dari perbuatan tersebut yaitu

terdapatnya suatu kepastian. Pembuktian secara bahasa (terminologi),

menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu proses perbuatan,

cara membuktian, suatu usaha menentukan benar atau salahnya si

terdakwa di dalam sidang pengadilan.1

1
Ebta Setiawan, ‚arti atau makna pembuktian‛ dalam http:// KBBI.web.id/arti
atau makna pembuktian. diakses pada 10 Maret 2020.
Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian

dalam perkara perdata. Dalam pembuktian perkara pidana (hukum acara

pidana) adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, yaitu

kebenaran sejati atau yang sesungguhnya, sedangkan pembuktian

dalam perkara perdata (hukum acara perdata) adalah bertujuan untuk

mencari kebenaran formil, artinya hakim tidak boleh melampaui batas-

batas yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Jadi hakim dalam

mencari kebenaran formal cukup membuktikan dengan ‛preponderance

of evidence‛, sedangkan hakim pidana dalam mencari kebenaran

materiil, maka peristiwanya harus terbukti (beyond reasonable doubt).2

Pembuktian merupakan salah satu unsur yang penting dalam

hukum acara pidana. dimana menentukan antara bersalah atau tidaknya

seorang terdakwa didalam persidangan.

Menurut Martiman Prodjohamidjojo, bahwa pembuktian adalah

mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah

suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran

peristiwa tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian adalah

dalam rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP yang menetapkan

tahapan dalam mencari kebenaran sejati yaitu melalui:

a. Penyidikan

b. Penuntutan

c. Pemeriksaan di persidangan
2
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar (Yogyakarta: Rangkang
Education, 2013),hal 241.
d. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan

Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu

fase atau prosedur dalam pelaksanaan hukum acara pidana secara

keseluruhan sebagaimana diatur didalam KUHAP.3

Menurut J.C.T. Simorangkir, bahwa pembuktian adalah ‛usaha

dari yang berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak

mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan

agar supaya dapat dipakai oleh hakim sebagai bahan untuk memberikan

keputusan seperti perkara tersebut‛. Sedangkan menurut Darwan ,

bahwa pembuktian adalah ‛pembuktian bahwa benar suatu peristiwa

pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakaukannya,

sehingga harus mempertanggungjawabkannya.4

Menurut Sudikno Mertokusumo menggunakan istilah

membuktikan, dengan memberikan pengertian, sebagai berikut5:

a. Kata membuktikan dalam arti logis, artinya memberi kepastian yang

bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak

memungkinkan adanya bukti-bukti lain.

b. Kata membuktikan dalam arti konvensional, yaitu pembuktian yang

memberikan kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak

3
Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti (Jakarta:
Ghalia, 1983), hal. 12.
4
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta :
Prenadamedia group. 2014, hal. 242.
5
Ibid, hal. 242.
melainkan kepastian yang nisbi atau relatif, sifatnya yang

mempunyai tingkatantingkatan:

1. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka, maka

kepastian ini bersifat intuitif dan disebut conviction intime.

2. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka

disebut conviction raisonnee.

3. Kata membuktikan dalam arti yuridis, yaitu pembuktian yang

memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu

peristiwa yang terjadi.

Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara

pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut

hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata

cara yang mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk

menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. Adapun sumber-

sumber hukum pembuktian adalah, sebagai berikut:

a. Undang-undang

b. Doktrin atau ajaran

c. Yurisprudensi.

Kekuatan pembuktian dalam hukum acara pidana terletak didalam

Pasal 183 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana, yang berbunyi ‚hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada

sesorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-


benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa seorang hakim dalam

memutuskan suatu perkara pidana harus berdasarkan minimal dua alat

bukti yang sah. Apabila sebaliknya maka terdakwa tidak dapat diajutuhi

hukuman atas tindakannya.

Menurut Andi Hamzah, teori dalam sistem pembuktian, yakni

sebagai berikut:

a. Sistem atau teori berdasarkan berdasarkan Undang-undang secara

psoitif (positive wetteljik bewijstheorie)

b. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja

(conviction intime)

c. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas

alasan yang logis (laconviction raisonnee)

d. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-undang secara

negatif (negatief wettellijk bewijs theotrie)

Adapun pembahasan lebih lanjut mengenai keempat teori dalam

sistem pembuktian hukum acara pidana, sebagaimana yang telah

dijelaskan oleh pakar ahli hukum pidana, yakni sebagai berikut:

a. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim

Semata (Conviction In Time).

Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya-tidaknya

terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung

pada penilaian "keyakinan" hakim semata-mata. Jadi bersalah


tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya

tergantung pada keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak harus

timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada. Sekalipun alat

bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh

menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada

tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan

bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi

subyektif sekali. Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu

banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada ken-

kesan perseorangan sehingga sulit untuk melakukan

pengawasan. Hal ini terjadi di praktik Peradilan Prancis yang

membuat pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak

mengakibatkan putusan bebas yang aneh.6

b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas

Alasan yang Log is (Conviction In Raisone)

Sistem pembuktian Conviction In Ralsone masih juga

mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-

satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi

keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang

nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat.

Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena

memang tidak diisyaratkan, Meskipun alat-alat bukti telah

6
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghana
Indonesia, 1985, hal. 241
ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan

alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Yang perlu

mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut

harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis. Keyakinan

hakim dalam sistem pembuktian convition in raisone harus

dilandasi oleh "reasoning" atau alasan-alasan dan alasan itu

sendiri harus 'reasonable" yakni berdasarkan alasan-alasan

yang dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata

berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini

sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.7

c. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Positif (Positif

Wettwlijks theode).

Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan sistem

pembuktian conviction in time, karena sistem ini menganut

ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada

ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang

dapat dipakai membuktikan kesalahanterdakwa.Teori positif

wetteljik sangat mengabaikan dan sama sekali tidak

mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim

yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi

dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan

terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-

7
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata, Citra Aditya,
Bandung, 2006, hal. 56
undang maka terdakwa harus dibebaskan. Umumnya bila

seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan

alat bukti yang sah menurut undang-undang Maka terdakwa

tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan

sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan

kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga

benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti

yang di tentukan oleh undang-undang kelemahannya terletak

bahwa dalam sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada

ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan

dengan prinsip hukum acara pidana. Sistem pembuktian positif

yang dicari adalah kebenaran format, oleh karena itu sistem

pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Positief

wettelijk bewijstheori systeem di benua Eropa dipakai pada

waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat Inquisitor.

Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek

pemeriksaan belaka; dalam hal ini hakim hanya merupakan alat

perlengkapan saja.8

d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif

(negative wettelijk).

Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana

apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan

8
Darwin Prinst, Op.Cit. hal. 65
undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim

yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Dalam pasal 183

KUHAP menyatakan sebagai berikut : "hakim tidak boleh

menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah Ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan

bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Atas dasar ketentuan Pasar 183 KUHAP ini, maka dapat

disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut

undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian

harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang

didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang

(minimal dua alat bukti) dan kalau ia cukup, maka baru dipersoalkan

tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa.

Teori pembuktian menurut undang-undang negative tersebut

dapat disebut dengan negative wettelijk istilah iniberarti : wettelijk

berdasarkan undang-undang sedangkan negative, maksudnya adalah

bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai

dengan undang-undang,maka hakim belum boleh menjatuhkan

hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa.

Dalam sistem pembuktian yang negatif alat-alat bukti limitatief di

tentukan dalam undang-undang dan bagaimana cara

mempergunakannya hakim juga terikat pada ketentuan undang-undang.


Dalam sistem menurut undang-undang secara terbatas atau disebut

juga dengan system undang-undang secara negative sebagai intinya

yang dirumuskan dalam Pasal 183, dapat disimpulkan sebagai berikut :

a) Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang

jika memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana;

b) Standar tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana.

Kelebihan sistem pembuktian negatif (negative wettelijk) adalah

dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana

yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan

alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-

undang, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah

melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini harus

berdasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari gat bukti yang

ditentukan dalam undang-undang. Sehingga dalam pembuktian benar-

benar mencari kebenaran yang hakiki,jadi sangat sedikit kemungkinan

terjadinya salah putusan atau penerapan hukum yang digunakan.9

Dari beberapa teori pembuktian diatas, ketentuan hukum acara

yang dianut di Negara Indonesia adalah (Negatief Wettelijke Bewijs

Theorie) hal ini sesuai dengan ketentuan yang menyatakan bahwa

“Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang

kecualoi dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan ia

9
Supriyadi Widodo Eddyono, Catatan Kritis Terhadap Undang-Undang No 13
tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban , Elsam, Jakarta. hal 3
memperoleh suatu keyakinan yang sah bahwa tindak pidana telah

benar-benar terjadi.

B. Bentuk-Bentuk Pelaksanaan Asas Beban Pembuktian Terbalik


Sebagai Upaya Penyelesaian Perkara Kesalahan Dan/Atau
Kelalaian Yang Dilakukan Oleh Dokter

Dalam perkembangannya, muncul sistem pembuktian baru yang

digunakan dalam tindak pidana korupsi, yang disebut sebagai sistem

pembebanan pembuktian terbalik dan beban pembuktian seimbang


atau beban semi terbalik. Beban pembuktian terbalik biasa disebut

sebagai asas pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik

(Indonesia) yaitu shifting of burden of proof atau reversal burden of

proof (Inggris), omkering van de bewijslast (Belanda), dan onus of proof

(Latin) yang diartikan sebagai pembalikan beban pembuktian yang

dibebankan kepada terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak

melakukan tindak pidana .

Dasar lahirnya konstruksi beban pembuktian terbalik dalam

sistem hukum acara pidana di Indonesia pada awalnya dilatarbelakangi

dari problem penegakan hukum dalam kasus korupsi. Karena korupsi

kerap dilakukan secara sistematis, terencana oleh oknum yang

berpendidikan, birokrat dan pengusaha yang secara politis dan ekonomi

amat kuat, sehingga gampang mempengaruhi jalannya proses

peradilan. Akibatnya, pembuktian kasus tindak pidana korupsi di

Indonesia sulit dilakukan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, salah

satu upayanya adalah memformulasikan ulang pemenuhan beban

pembuktian dalam proses peradilan.

Pembalikan beban pembuktian bermula dari sistem pembuktian

yang dikenal dari negara penganut rumpun Anglo-Saxon dan hanya

terbatas pada “certain cases” khususnya terhadap tindak pidana

“gratification” atau pemberian yang berkorelasi dengan “bribery” (suap).

Hal ini dimungkinkan karena hampir tidak mungkin kejahatan tersebut

dibuktikan dengan menggunakan sistem pembuktian biasa.


konsekuensi logis dari hukum pembuktian tersebut berkolerasi

dengan eksistensi terhadap asas beban pembuktian. dikaji dari

perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana yang dikenal ada 3 (tiga)

teori tentang beban pembuktian. secara universal ketiga teori beban

pembuktian tersebut hakikatnya terdapat di negara Indonesia maupun

beberapa negara, seperti Malaysia, Inggris, Hongkong, mapun

disingapura. yaitu :

a. Beban pembuktian pada penuntut umum.

konskekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa penuntut

umum harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti

secara akurat, sebab jikalau tidak demikian akan susah

menyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. konsekuensi

logis beban pembuktian ada pada penuntut umum berkolerasi

asas praduga tidak bersalah dan aktualisasi manivestasi dari Fith

Amandement Konstitusi Amerika Serikat yang menyatakan

bahwa, No person. . . shall be complled in any criminal cases to

be a witness against him self … Teori beban pembuktian ini

dikenal di Indonesia, dimana ketentuan pasal 66 KUHAP dengan

tegas menyebutkan bahwa, “tersangka atau terdakwa tidak

dibebani kewajiban pembuktian”. Pembuktian seperti merupakan

pembuktian biasa atau Convensional.


b. Beban pembuktian pada terdakwa

berkenaan dengan konteks ini, terdakwa berperan aktif

menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana.

oleh karena itu maka terdakwalah didepan sidang pengadilan

yang akan menyiapkan segala beban pembuktian dan bila tidak

dapat membuktikan maka terdakwa dinyatakan bersalah

melakukan tindak pidana. Pada asas teori pembuktian jenis ini

dinamakan teori “pembalikan beban pembuktian” (Omkering van

het Bewijslast atau Reversal of Burden of Proof), dikaji dari

perspektif teoritik dan praktik teori beban pembuktian ini dapat

diklasifikasikan lagi menjadi pembalikan beban pembuktian yang

bersifat murni maupun bersifat terbatas (Limited burden of proof).

Pada hakikatnya pembalikan beban pembuktian tersebut

merupakan suatu penyimpangan asas hukum pembuktian dan

juga merupakan suatu tindakan luar biasa terhadap suatu tindak

pidana.

Konsekuensi logis dengan diterapkannya asas Pembuktian

Terbalik yang bersifat murni atau absolute/mutlak, asas yang

dipergunakan adalah asas praduga bersalah atau presumption

of guilt, berarti seseorang dianggap bersalah telah melakukan

suatu hal tindak pidana sampai dengan yang bersangkutan dapat

membuktikan dirinya tidak bersalah melakukan tindak pidana.


c. Beban pembuktian berimbang.

konkretiasasi asas ini baik Jaksa Penuntut Umum maupun

terdakwa dan/atau penasehat Hukumnya saling membuktikan

didepan persidangan. Lazimnya Jaksa Penuntut Umum akan

membuktikan kesalahan terdakwa sebaliknya terdakwa bersama

Penasehat Hukumnya akan membuktikan sebaliknya bahwa

terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana yang didakwakan.

Dalam pembuktian terbalik, hakim berangkat dari praduga bahwa

terdakwa telah bersalah melakukan suatu pelanggaran hukum

sehingga terdakwalah kemudian yang harus membuktikan

bahwa dirinya tidak bersalah, dan jika dia tidak dapat

membuktikan hal itu, maka ia dinyatakan bersalah tanpa perlu

pembuktian lagi dari pihak penuntut umum.

Anda mungkin juga menyukai