Anda di halaman 1dari 16

TUGAS KELOMPOK 1

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara


Pembuktian Dalam Sengketa Peradila Tata Usaha Negara

Oleh :
Dyfha salsabila 1610111101
Wahyu Diko Tri Wicaksono 17101102032
Anggri Defentri Putra 1710112153
Suci Prima Sari 1810113091
Sherin Dinda Muthia 1910111002
Rania Nabila 1910111009

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
A.PENDAHULUAN

Pada setiap proses sengketa/perkara yang penyelesaiannnya melalui pengadilan

pada daasrnya diperlukan pembuktian baik itu terjadi dalam proses penyelesaian

sengketa tata usaha negara, perkara perdata dan perkara pidana. Hukum

Pembuktian dalam hukum acara sangat penting karena tugas pembuktian

menentukan kebenaran dalam suatu pertentangan kepentingan. Dan dengan

dasar pembuktian tersebut hakim memberikan putusan untuk mengadili mencari

kebenaran, dalam penyelesaian sengketa tata usaha

negara/ dalam hukum acara peradilan tata usaha negara ada asas praduga

rechtmatieg yang sama maknannya dengan presumption of innoncent dalam

hukum acara pidana.Dalam mengambil putusan oleh hakim setelah pemeriksaan

alat-alat bukti ada perbedaan oleh hakim peradilan tata usaha negara dalam

penyelesaian sengketa tata usaha negara dan hakim pengadilan negeri dalam

penyelesaian perkara pidana, dalam sengketa tata usaha hakim boleh

memberikan putusan minimal ada dua alat bukti menurut keyakinan hakim dan

tidak ada alat bukti mutlak sedangkan perkara pidana putusan hakim harus cukup
alat bukti menurut undang-undang mutlak ada keterangan saksi dan keyakinan

hakim.

Dalam menyelesaikan sengketa / perkara tata usaha negara sebelum hakim

menjatuhkan atau mengambil putusan untuk mencari suatu kebenaran baik

kebenaran materil maupun kebenaran formil bahwa hakim terlebih dahulu harus

memeriksa alat-alat bukti yang diajukan para pihak. Pembuktian yang dilakukan

oleh hakim dalam mengadili sengketa/perkara adalah

untuk menentukan hubungan hukum yang sebenarnya terhadap pihak-pihak.

Tidak hanya kejadian atau peristiwa saja yang dapat dibuktikan tetapi ada sesuatu

hak juga yang dibuktikan malahan dalam sengketa tata usaha negara yang

dibuktikan adalah suatu keabsahan dari perbuatan pejabat tata usaha negara.

Menurut Teguh Samudera , bahwa masalah pembuktian penting sekali

diketahui oleh seluruh masyarakat masyarakat dan oleh karena itu perlu pula

untuk disebar luaskan agar masyarakat lebih jelas memahahi masalah pembuktian

dengan alasan pertimbangan :

a. Pada dasarnya pembuktian adalah merupakan bagian yang penting dalam

hukum acara.

b. Baik dalam mengadili perkara hakim selalu memerlukan pembuktian

c. Dengan diselesaikannnya suatu perkara melalui Pengadilan maka akan

dicapai suatu penyelesaian yang pasti berdaarkan alat-alat pembuktian.


d. Karena dengan pembuktian dimaksudkan akan dapat dicapai suatu

kebenaran yang sesungguhnya yaitu kebenaran dari hubungan hukumapihak-

pihak yang berperkara.

e. Dan dengan jalan pembuktian maka akan dapat diketahui siapa

sebenarnya yang benar.

f. Dan dengan adanya pembuktian maka akan dapat dijamin adanya

perlindungan terhadap hak-hak asasi para pihak yang berperkara secara

seimbang.

g. Oleh karena dengan pembuktian dapat memberikan gambaran bahwa

pemeriksaan suatu perkara adalah pemeriksaan yang benar menurut hukum.

h. Adanya alat alat pembuktian itu dapat menjamin bahwa hakim dalam

melakukan pembuktian tidak mengada-ada karena telah ditentukan dalam

undang-undang.

i. Adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada

sarjana hukum yang belum tahu bagaimana cara membuktikan suatu hal

yang didalilkan

Pokok bahasan mengenai pembuktian mengundang perbedaan pendapat

diantara ahli hukum dalam mengklasifikasikannya apakah termasuk ke dalam

hukum perdata atau hukum acara perdata. Prof. Subekti, S.H. mantan ketua MA
dan guru besar hukum perdata pada Universitas Indonesia berpendapat bahwa

sebenarnya soal pembuktian ini lebih tepat diklasifikasikan sebagai hukum acara

perdata (procesrecht) dan tidak pada tempatnya di masukkan dalam B.W., yang

pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil. Begitu juga

dengan pembuktian dalam hukum acara PTUN.

Sebagaimana diketahui bersama, tugas seorang Hakim ialah menetapkan

hukum untuk suatu keadaan tertentu, atau menerapkan hukum atau undang-

undang, menetapkan apakah yang “hukum” anatara dua pihak yang bersangkutan

itu. Dalam sengketa yang berlangsung di muka Hakim itu, masing-masing pihak

mengajukan dalil-dalil (posita) yang saling bertentangan. Hakim harus memeriksa

dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan dalil-dalil manakah yang tidak

benar. Berdasarkan duduk perkara yang ditetapkan sebagai yang sebenarnya itu,

Hakim dalam amar atau “dictum” putusannya, memutuskan siapakah yang

dimenangkan dan siapakah yang dikalahkan. Dalam melaksanakan pemerikasaan

itu tadi, Hakim harus mengindahkan aturan-aturan tentang pembuktian.

Kesewenang-wenangan (willekeur) akan timbul apabila Hakim dalam

melaksanakan tugasya itu, diperbolehkan menyandarkan putusannya hanya atas

keyakinannya, biarpun itu sangat kuat dan sangat murni. Keyakinan Hakim itu

harus didasarkan pada sesuatu, yang oleh undang-undang dinamakan alat

bukti. Dengan alat bukti ini, masing-masinng pihak berusaha membuktikan


dalilnya atau pendiriannya yang dikemukakan kepada Hakim yang diwajibkan

memutusi perkara mereka.

Dalam makalah ini kami mencoba menjelaskan tentang Pembuktian, teori-

teorinya dan alat-alat bukti dalam pengadilan PTUN

B.PEMBAHASAN

II. Pembuktian dalam Pengadilan Tata Usaha Negara

Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh

pihak berperkara kepada Hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk

memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa,

sehingga Hakim memperoleh kepastian untuk dijadikan dasar putusannya.[2]

Pembuktian di atas adalah dalam pengertian yuridis, yang bersifat

kemasyarakatan, selalu mengandung ketidakpastian dan tidak akan pernah

mencapai kebenaran mutlak. Jadi pembuktian yuridis sifatnya relatif, dalam arti

hanya berlaku bagi pihak-pihak berperkara dan pengganti-penggantinya, dan

memungkinkan pula terjadinya perbedaan penilaian hasil pembuktian di antara

sesama Hakim.[3]
· Tujuan pembuktian adalah berusaha memberikan kepastian tentang kebenaran

fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, kepada Hakim.

· Guna pembuktian adalah sebagai dasar keputusan Hakim

· Yang dibuktikan ialah fakta hukum yang menjadi pokok sengketa

Ketentuan mengenai pembuktian dalam hukum acara PTUN diatur dalam

pasal 100 sampai dengan pasal 107 UU PTUN.[4]

III. Teori Pembuktian

Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus

membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan

siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan

bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas

disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan

memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim

harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa

dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya. Sebagai

pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865BW, bahwa:

” Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu

hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa

mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan

juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu”


Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan

pembuktian, namun pembuktian itu masih harus dinilai. Berhubungan dengan

menilai pembuktian, hakim dapat bertindak bebas [contoh: hakim tidak wajib

mempercayai satu orang saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai kesaksiannya

(ps. 1782 HIR, 309 Rbg, 1908 BW)] atau diikat oleh undang-undang [contoh:

terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya

(ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW)].

Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah

hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa

didalam sidang, yaitu:

a) Teori Pembuktian Bebas

Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat

hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim.

Teori ini dikehendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan

kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.

Teori ini menghendaki agar penilaian Hakim sedapat mungkin mendekati

keadilan, sehingga hakim tidak terlalu terikat dengan alat bukti yang diajukan

pihak yang berperkara. Misalnya hakim tidak terikat dengan keterangan saksi,

walaupun di persidangan diajukan 100 saksi, dapat saja hakim menilai masih

belum terbukti.
Dalam hal ini tidak mustahil adanya perbedaan penilaian hasil pembuktian

antara sesama hakim, sehingga teori ini mengandung kelemahan, yaitu tidak

menjamin adanya kepastian hukum dalam hal penilaian terhadap hasil

pembuktian.[5]

b) Teori Pembuktian Terikat

Artinya hakim terikat dengan alat pembuktian yang diajukan oleh pihak

berperkara, jadi harus memberikan putusan selaras dengan alat-alat bukti yang

diajukan di persidangan.

Teori ini menghendaki agar penilaian hakim sedapat mungkin memberikan

kepastian hukum, misalnya hakim terikat dengan alat bukti sumpah (utamanya

sumpah pemutus), artinya apabila pihak sudah bersumpah, maka ia dimenangkan

perkaranya, sedangkan bila ia menolak sumpah maka ia dikalahkan. Demikian pula

alat bukti surat otentik hanya bisa digugurkan karena terdapat kepalsuan. Juga

dalam menilai keterangan seorang saksi saja sebagai “Unus Testis Nullus Testis”.

Kelemahan teori ini adalah tidak menjamin adanya keadilan. Teori ini dibagi

menjadi 2 macam:

· Teori Pembuktian Negatif

Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-

larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan


pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306

Rbg, 1905 BW).

· Teori Pembuktian Positif

Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada

hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870

BW).

· Teori Pembuktian Gabungan

Artinya Hakim bebas dan terikat dalam menilai hasil pembuktian, misalnya

Hakim bebas menilai suatu alat bukti permulaan, sehingga hakim masih perlu

adanya sumpah tambahan. Bila sumpah tambahan dilakukan, maka hakim terikat

menilainya, apabila tidak disertai sumpah tambahan maka hakim bebas menilai alat

bukti permulaan itu.

IV. Alat Bukti dalam PTUN

Dalam proses pembuktian, maka yang mendapat kesempatan

membuktikan alat-alat bukti yang dimiliki adalah pihak penggugat terlebih

dulu, dan giliran selanjutnya adalah pihak

Tergugat.[6] Dalam sistem PTUN masalah pembuktian, alat bukti yang dapat

digunakan ditentukan jenis-jenisnya yaitu sebagaimana diatur dalam

Pasal 100 UU PTUN sebagai berikut:

a. Surat atau tulisan


b. Keterangan ahli

c. Keterangan saksi

d. Pengakuan para pihak

e. Pengetahuan Hakim

V. Keterangan Saksi Sebagai Alat Bukti

Keterangan saksi, adalah keterangan mengenai sesuatu yang dialami,

dilihat serta didengar oleh saksi sendiri. Setiap orang pada prinsipnya wajib untuk

memberikan ke saksian, apabila dibutuhkan oleh pengadilan, tetapi tidak semua

orang dapat menjadi saksi.[7]

Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan

mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi

itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain.

Selanjutnya tidak boleh pula keterangan saksi itu merupakan kesimpulan-

kesimpulan yang ditariknya dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya, karena

hakimlah yang berhak menarik kesimpulan-kesimpulan itu.

Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan mengikat

hakim, tetapi terserah pada hakim untuk menerimanya atau tidak. Artinya,

hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang

saksi.
Seorang saksi yang sangat rapat hubungan kekeluargaan dengan pihak yang

berperkara, dapat ditolak oleh pihak lawan, sedangkan saksi itu sendiri dapat

meminta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian.

Ada beberapa saksi yang dilarang atau tidak

diperbolehkan didengar keterangannya sebagai saksi, sebagaimana diatur dalam

Pasal 88 UU PTUN sebagai berikut:[8]

Yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah:

a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke

bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa

b. Istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai

c. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun

VI. Kekuatan Pembuktian Saksi

Alat bukti saksi mempunyai kekuatan pembuktian bebas, artinya Hakim

bebas memberikan penilaiannya atas kesaksian seseorang/beberapa orang yang

diajukan di persidangan.

Dalam menilai kesaksian saksi ini, hakim diharuskan memperhatikan pasal

172 HIR/309 RBg yang menentukan kriteria penilaian yaitu:[9]

a. hubungan kesaksian-kesaksian apakah berdiri sendiri atau ada hubungan

(kecocokannya)
b. perikehidupan, adat dan martabat saksi

c. alasan apa sehingga kesaksian itu diberikan

Sedangkan cara memeriksa saksi di depan persidangan telah ditentukan oleh

pasal 144 HIR/171 RBg dan pasal 147 HIR/175 RBg, yaitu:[10]

a) pasal 144 HIR/171 RBg menentukan:

- saksi diperiksa satu persatu

- ditanya identitas, nama, pekerjaan, umur, dan tempat tinggal

- ditanya apakah saksi ada hubungan keluarga/pekerjaan dengan pihak-pihak

berperkara

b) pasal 147 HIR/175 RBg menentukan:

- ditanya kesediaannya sebagai saksi atau minta dibebaskan menjadi saksi bagi

mereka yang termasuk pasal 146 HIR/174 RBg

- saksi disumpah atau berjanji sebelum memberikan keterangannya. Apabila saksi

tidak mau disumpah atau tidak mau memberi keterangannya makaatas permintaan

dan biaya pihak berperkara, Hakim dapat memerintahkan saksi disandera paling

lama 3 bulan (HIR) atau sampai putusan dijatuhkan (RBg)

c) pasal 150 HIR/178 RBg menentukan:[11]

- para pihak beperkara dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi melalui hakim,

yakni hal-hal yang relevan dengan pokok perkara.

- hakim sendiri dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi


Selanjutnya, undang-undang menetapkan bahwa keterangan satu saksi

tidak cukup. Artinya, hakim tidak boleh mendasarkan putusan tentang kalah

menangnya suatu pihak atas keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu

harus ditambah dengan suatu alat pembuktian lain.[12]

VII. Analisis

Di dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis

dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan

adanya bukti lawan. Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang

bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak

yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian

pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak.

Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak

benar atau palsu atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan.

Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian ”historis” yang mencoba

menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis

maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti

mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap

benar. Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar

yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna

memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Berbeda dengan


azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh

dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan bukti-

bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam

hukum acara PTUN untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan

hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-

alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang

dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum acara PTUN, cukup

dengan kebenaran formil saja.

C.PENUTUP

Demikianlah pemaparan yang sangat singkat mengenai Teori Pembuktian

dalam PTUN. Pemakalah menyadari bahwa terdapat banyak kesalahan dalam

makalah ini baik kesalahan gramatikal maupun kesalahan dalam substansi.

Selanjutnya pemakalah mengharap saran dan kritik yang membangun dari semua

pihak guna perbaikan kedepannya. Akhir kata, semoga dari makalah ini dapat

diambil manfaatnya.
DAFTAR PUSTAKA

Effendie, Bachtiar, Surat Gugatan dan Hukum Pembuktian dalam Perkara

Perdata, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991.

Subekti, R., Hukum Pembuktian, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1995, cet.

XI.

Harahap, Zairin, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 1997.

Situmorang, Victor, Pokok-Pokok Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta:

Bina Aksara, 1987.

Anda mungkin juga menyukai