Anda di halaman 1dari 63

PERATURAN JABATAN NOTARIS

“TANGGUNGJAWAB NOTARIS
SELAKU PEJABAT UMUM”
(NICO, S.H., M.kn.)

Dosen:
Dr Habib Adjie, SH., Mhum

Encep Cahyadi
2021010462027

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIV.JAYABAYA
2022
BAB I
TENTANG PEMBUKTIAN DAN NOTARIAT

A . T i n j a u a n U m um T e n t a n g P e m b u k t i a n

1. Pengertian Pembuktian

Pembuktian merupakan titik sentral dari keseluruhan proses


pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, baik perkara perdata
maupun perkara pidana karena dari sinilah akan ditarik suatu
kesimpulan yang dapat mempengaruhi keyakinan Hakim dalam
menilai perkara yang diajukan . Hakim tidak boleh menjatuhkan
putusan dalam memeriksa suatu perkara tanpa melakukan
pembuktian terlebih dahulu.
Undang-undang hanya menentukan seluk -beluk pembuktian
antara lain, cara pembuktian, macam -macam alat bukti, ketentuan
pembuktian dan beban pembuktiannya, sedangkan definisi
pembuktian terdapat dalam doktrin yang dikemukakan oleh para
ahli hukum, misalnya sebagimana yang dikemukakan oleh
R.Subekti (1980:5), dikatakan bahwa pembuktian adalah
meyakinkan hakim tentang keberaran dalil -dalil yang dikemukakan
dalam suatu persengketaan yang diajuka n ke pengadilan.
Pengertian pembuktian secara luas adalah membenarkan
hubungan hukum, lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut :
“...misalnya, apabila hakim mengabulkan tuntutan pengugat,
pengabulan itu mengandung arti bahwa hakim menarik
kesimpulan yatitu apa yang dikemukakan oleh penggugat
sebagai hubungan hukum antara penggugat dan tergugat
adalah benar. Berhubungn dengan itu pem buktian
membuktikan dalam arti yang luas adalah memperkuat
kesimpulan Hakim dengan syarat -syarat bukti yang sah”
(Soepomo, 1972 : 62-63)

Definisi pembuktian yang dikemukakan oleh kedua ahli hukum


di atas meninjau secara yuridis atau pendefinisian diberik an
menurut hukum. Definisi membuktiakn juga dapat ditinjau dalam
beberapa pengertian, yaitu dalam arti logis, konvensional dan
yuridis.
1. Dalam arti logis
Membuktikan berarti memberikan kepastian yang bersifat
mutlak berlaku bagi setiap orang dan tidak memun gkinkan
adanya bukti lawan. Pembuktian demikian berlaku di lapangan
ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada aksioma, yaitu
suatu dalil atau ketentuan yang sudah nyata dan tidak dapat
dibantah kebenarannya.

2. Dalam arti konvensional


Memberikan kepastian hanya sajabukan kepastian mutlak
melainkan kepastian nisbi atau relatif sifatnya dan mempunyai
tingkatan-tingkatan, yaitu kepastian yang didasarkan atas
perasaan belaka (conviction intime) dan kepastian yang
didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonee).
3. Dalam arti yuridis
Membuktikan adalah memberi dasar -dasar yang cukup kepada
hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan, guna
memberikan kepastian tentang kebenaran dalil yang
dikemukakan dalam sidang perkara dipengadilan
(mertokusumo, 1988 : 103-104).

2. Asas-asas pembuktian
a. Asas Verhandlungsmaxime
Hakim terikat dan peristiwa yang menjadi sengketa yang
diajukan oleh para pihak dan para pihaklah yang diwajibkan
untuk membuktikan. Bukan Hakim.
b. Asas Pembagian Peban Pembuktian
Asas pembagian beban pembuktian tercantu, dalam pasal
1865 KUHPerdata (Pasal 163 HR, Pasal 283 Rbg).
Bunyi pasal 1865 KUHPerdata adalah sebagai berikut :
“Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau yang
medasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan
haknya itu atau untuk menyangkal hak orang lain, harus
membuktikan adanya hak atu peristiwa itu”
c. Asas Untersuchungsmaxime
Di mana dalam mengumpulkan bebban pembuktian undang -
undang mewajibkan kepada hakim.

3. Tujuan Pembuktian
Sudah menjadi Communis Opini bahwa membuktikan berarti
memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa -
peristiwa tertentu secara tidak langsung bagi hakim, karena
hakim yang harus mengkonstatir peristiwa,
mengkualifikasikannya yang kemudian mengkonstituir, maka
tujuan pembuktian adalah putusan Hakim yang didasarkan atas
pembuktian tersebut (Mertokusumo 1993 : 108)
4. Penilaian Pembuktian
Suatu bukti dinilai sempurna, apabila Hakim berpendapat
bahwa berdasarkan bukti yang telah diajukan, peristiwa yang
harus dibuktikan itu harus dianggap sudah pasti atau benar.
Suatu bukti yang sempurna berarti bahwa is sudah tidak
memerlukan suatu penambahan pembuktian (Subekti, 1989:27).
Pembukian lawan adalah setiap pembuktian yang bertujuan
untuk menyangkal akibat hukum yang dikehendaki oleh pihak
lawan atau untukmembuktikan ketidakbenaran peristiwa yang
diajukan oleh pihak lawan.

Menurut R. Sudikno Mertokusumo ada tiga (3) teori


pembuktian yaitu sebagai berikut :
a) Teori Pembuktian Bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan -ketentuan
yang mengikat Hakim, sehingga penilaian pembuktian
seberapa dapat diserahkan kepadanya.
b) Teori Pembuktian Negatif
Menurut teori ini harus ada ketentuan -ketentuan yang
mengikat yang bersifat negatif, yaitu bahwa ketentuan
ini harus membatasi pada laranga n kepada hakim untuk
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan
pembuktian. Jadi hakim dalam ini dilarang dengan
pengecualian didalam pasal 1905 KUHPerdata
menyebutkan bahwa “keterangan seorang saksi saja,
tanpa suatu alat bukti lain di muka pengadilan tida k
boleh dipercaya”.
c) Teori Pembuktian Positif
Teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim, di
sini Hakim diwajibkan tetapi dengan syarat Pasal 1870
KUHPerdata yang berbunyi :
Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak
beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang -orang yang
mendapat hak daripada mereka, suatu bukti yang
sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.

Terhadap akta otentik sebagai bukti tulisan, hakim


terikat dalam penilaiannya hanya pada akta otentik,
sedangkan pada akta di bawah tangan hakim tidak terikat,
artinya hakim diberikan kebebasan dalam memberikan
penilian. Karena akta di bawah tangan tidak memiliki kekuatan
pembuktian lahir yang mana tanda tangannya masih dapat
dipungkiri, akta di bawah tangan juga di buat oleh para pihak,
sehingga Hakim tidak wajib mempercayainya.
5. Alat-alat Pembuktian
Alat-alat bukti terdiri atas: bukti tulisan, bukti dengan saksi -
saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan, sumpah, segala
sesuatunya dengan mengindahkan aturan-aturan yang
ditetapkan dalam bab -bab yang berikut.
Selain alat-alat pembuktian yang disebut di atas, HIR masih
mengenal alat pembuktian lainnya yaitu hasil pemeriksaan
setempat dan keterngan ahli, sebagaimana yang ditentukan
dalam pasal-pasal berikut:
Pasal 153 ayat (1) HIR menyatakan bahwa :
“jika ditimbang perlu atau ada faedahnya, maka ketua boleh
mengangkat satu atau dua orang komisaris darpada dewan itu,
yang dengan bantuan panitera pengadilan akan melihatn
keadaan tempat atau menjalankan pemeri ksaan di tempat itu,
yang dapat mejadi keterangan kepada hakim”

Pasal 154 HIR menyatakan bahwa:


“ jika pengadilan negeri meninmbang, bahwa perkara itu dapat
lebih terang, jika diperiksa atau dilihat oleh orang ahli, maka
dapatlah ia mengangkat ahli itu baik atas permintaan kedua
belah pihak, maupun karena jabatannya”

Surat yang merupakan akta menurut bentuknya dapat dibagi


menjadi dua (2) yaitu sebagai berikut:
1) Akta Otentik
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang
diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan -
ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanap
bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang
dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang
berkepentingan.

2) Akta di bawah tangan


Akta di bawah tangan adalah suatu akta yang dibuat oleh para
pihak tanpa bantuan pejabat umum, dengan maksud untuk
dipergunakan sebagai alat bukti.

Fungsi akta di bawah tangan adalah sebagai berikut:


1) Sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan
hukum (formalitas causa);
2) Sebagai alat pembuktian (probationis causa);
3) Selain memiliki fungsu sebagaimana tersebut di atas, akta di
bawah tangan juga memiliki kekuatan pembuktian.
Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan adalah sebagai berikut:
a) Kekuatan pembuktian lahir atau keluar
Karena tanda tangan pad akta di bawah tangan dapat
dipungkiri, maka hakim harus memerintahkan agar
kebenaran akta itu diperiksa yang diatur di dalam pasal 3
staatsblad 1867 Nomor 29 atau pasal 290 Rbg atau pasal
1877 KUHPerdata.
b) Kekuatan pembuktian formil
Kalau tanda tangan akta di bawah tangan telak diakui,
berarti keterangan atau pernyataan di atas tanda tangan itu
adalah keterangan atau pernyataan dari si
penandatanganan. Kekuatan pembuktian formil dari akta di
bawah tangan ini sama dengan kekuatan pembuktian formil
dari akta otentik. Jadi telah pasti bagi siapapun, bahwa si
penandatanganan menyatakan seperti yang terdapat di atas
penandatanganannya.
c) Kekuatan pembuktian materiil
Menurut pasal 1875 KUHPerdata, menyatakan bahwa: suatu
akta di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa
akta itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut
undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan
terhadap orang-orang yang menandatanganinya serta para
ahli warisnya dan orang -orang yang mendapat hak daripada
mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik,
dan demikina pula berlakulah ketentuan pasal 1871 untuk
tulisan itu.

B . T i n j a u a n U m um T e n t a n g N o ta r i a t

1. Sejarah Notariat
Notaris berasal dari kata Notarius, yaitu nama yang pada
jaman romawi diberikan kepada orang -orang yang
menjalankan pekerjaan menulis. Fungsi Notarius pada saat itu
sangat berbeda dengan fungsi Notaris pada waktu sekarang.
ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama Notarius itu
berasal dari perkataan “nota literaria”, yaitu yang menyatakan
sesuatu perkataan. Kemudian dalam abad kelima dan keenam
sebutan Notarius, mejemuknya Notarii, diberikan kepada
penulis atau sekertaris pribadi dari raja, sedangkan pada
akhir abad kelima sebutan tersebut diberikan kepada pegawai -
pegawai istana yang melaksanakan pekerjaan -pekerjaan
administratif. Adapun pejabat -pejabat yang dinamakan Notarii
ini merupakan pejabat yang menjalankan tugas untuk
pemerintah dan tidak melayani publik, yang melayani publik
dinamakan Tabelliones, yaitu pejabat yang menjalankan
pekerjaan sebagai penulis untuk publik yang membutuhkan
keahliannya. Pada dasarnya fungsi dari pejabat ini sudah
hampir mirip dengan Notaris pada masa sekarang, hanya saja
tidak mempunyai sifat Ambtelijk, sehingga akta-akta yang
dibuatnya tidak mempunyai sifat otentik. Kemudian pada
tahun 537 mengenai pekerjaan dan kedudukan dari
Tabelliones ini diatur dalam suatu constitutie, akan tetapi
pejabat ini juga tetap tidak mempunyai sifat Ambtelijk.

Notariat tidak hanya berkembang di italia, melainkan


berkembang juga di perancis yaitu tepatnya pada tahun 1270
ketika raja Lodewijk mengangkat Notaris sebagai pejabat
(Ambtenaar), tetapi hal ini hanya berlaku untuk kota paris
saja, kemudian pada tahun 1304 Raja Phil ips mengangkat
para notaris di seluruh negara sebagai pejabat dan
menetapkan suatu peraturan perundang -undangan tentang
Notarist. Baru pada abad ketiga belas masehi akta yang dibuat
oleh Notaris memiliki sifatnya sebagai akta umum yang diakui
dan untuk selanjutnya dalam abad kelima belas barulah akta
notaris memiliki kekuatan pembuktian, akan tetapi hal ini tidak
pernah diakui secara umum dan meskipun demikina para ahli
berpendapat, bahwa akta notaris dapat diterima dalam sidang
di pengadilan sebagai alat b ukti yang mutlak mengenai isinya,
tetapi terhadap akta itu masih dapat diadakan penyangkalan
dengan bukti sebaliknya oleh para saksi. Kemudian dengan
amanat (decreet) Raja tertanggal 8 November 1810, maka
undang-undang 25 ventose an XI (Ventose Wet) yang memuat
peraturan tentang Notariat di perancis di berlakukna di
belanda. Di dalam perkembangannya Hukum Notariat yang
berlaku di belanda selanjutnya menjadi dasar dari peraturan
perundang-undangan Notariat yang diberlakukan di indonesia.

Pada tahun 1813 meskipun Nederlands telah merdeka,


tetapi peraturan mengenai Notaris dari Ventose Wet yang
berasal dari perancis masih tetap berlaku.lambat laun rakyat
menghendaki supaya dalam bidang Notariat juga diadakan
perundang-undangan nasional dan usaha ini berhasil yaitu
dengan diberlakukannya De Wet op het Notarisambt, pada
tanggal 9 juli 1842 (Nederlands Staatsblad Nomor 20). Di
dalam penjelasan (toelichting) pemerintah pada waktu
membuat undang-undang Notariat tahun 1842 tersebut,
Ventose Wet tidak dikesampingkan, melainkan sebaliknya
yaitu apa yang dianggap berguna dan bermanfaat selanjutnya
diakomodir oleh undang-undang Notariat Belanda.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, Ventose Wet 25 an XI
dari perancis yang memuat peraturan tentang Notariat secara
definitif dengan nama Loi organique du Notariat
sesungguhnya merupakan sumber dari De Wet op het
Notarisambt dari tahun 1842, yang selanjutnya atas dasar
asas concordantie melahirkan Reglement op het Notarisambt
in Nederlands Indie atau lebih dikenal sekarang dengan nama
Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia, yang mulai berlaku
pada tahun 1860 dengan sraatsblad 1860 Nomor 3. Ketentuan
yang tertuang dalam pasal 1, baik yang terdapat dalam Loi
organique du Notariat maupun di dalam De Wet op het
Notarisambt dan Reglement op het Notarisambt in Nederlands
Indie sama-sama memberikan ketentuan tentang apa yang
dinamakan dengan Notaris, kewajiban dan wewenangnya serta
fungsi Notaris itu.

Sebelum diberlakukannya ketentuan yang mengatur


tentang Notariat tersebut di atas, pada dasarnya Notaris di
indonesia sudah ada dalam permulaan abad ketujuh belas,
yaitu yang dibawa oleh orang -orang belanda dan yang
pertama kali diangkat sebagai Notaris pada saat itu a dalah
Melchior Kerchem pada tanggal 27 agustus 1620, sesudah
pengangakatan yang dilakukan oleh gubernur Jan Pieterszoon
Coen, berhubung kebutuhan akan jasa notaris ini sangat
dibutuhkan yaitu tidak hanya di kota jakarta melainkan juga di
luar jakata, selanjutnya diangkat Notaris -notaris oleh
penguasa-penguasa setempat, dengan demikian mulailah
Notaris berkembang di wilayah Indonesia.

2. Pengertian Notaris
Lembaga notariat telah dikenal di negar aindonesia,
yaitu sejak indonesia dijajah oleh bel anda, semula lembaga
ini diperuntukan bagi golongan eropa terutama dalam bidang
hukum perdata, yaitu Burgerlijk Wetboek. Keberadaan Profesi
Notaris merupakan profesi yang sangat penting dan
dibutuhkan dalam masyarakat, mengingat fungsi dari Notaris
adalah sebagai pembuat alat bukti tulis tertulis mengenai
akta-akta otentik sebagaimana yang tercantum dalam pasal
1868 KUHPerdata.akta otentik berdasarkan Pasal 1868
KUHPerdata adalah :
Suatu akta otentik adalah suantu akta yang di dalam
bentuk yang ditentukan o leh undang-undang dibuat oleh
atau di hadapan pegawai -pegawai umum yang berkuasa
untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.
Kewenangan tersebut selanjutnya dijabarkan oleh
pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris, Ordonansi Staatsblad
1860 Nomor 3 yang mulai berlaku tanggal 1 juli 1860. Adapun
bunyi dari pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris adalah
sebagai berikut :

Notaris adalah pejabat umum yang satu -satunya


berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh
suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik,
menjamin kepastian tanggalnya,, meyimpan aktanya dan
memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya
sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum
tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau
orang lain.

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 1868


KUHPerdata adalah sebagai berikut :
1. Bahwa akta itu dibuat dan diresmikan dalam bentuk
menurut hukum;
2. Bahwa akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum;
3. Bahwa akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang
berwenang untuk membuatnya di tempat dimana akta itu
dibuat.

Notaris hanya diperkenankan untuk menjalankan


jabatannya di dalam daerah yang telah ditentukan dan
ditetapkan dalam Peraturan Jabatan Notaris dan di dalam
hukum tersebut Notaris mempunyai wewenang. Apabila
ketentuan itu tidak diindahkan, akta yang dibuat oleh notaris
menjadi tidak sah. Adapun wewenang yang dimiliki oleh
notaris meliputi empat (4) hal yaitu sebagai berikut:
1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta
yang dibuat itu;
2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang -
orang, untuk kepentingan siapa akta itu dibuat;
3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat,
dimana akta itu dibuat;
4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu
pembuatan akta itu.

Keempat pointers tersebut di atas akan diuraikan, yaitu


sebagai berikut:
1. Tidak semua pejabat umum dapat membuat semua akta,
akan tetapi seorang pejabat umum hanya dapat membuat
akta-akta tertentu, yaitu yang ditugaskan atau dikecualikan
kepadanya berdasarkan peraturan peru ndang-undangan;
2. Notaris tidak berwenang membuat akta untuk kepentingan
setiap orang. Pasal 20 ayat (1) Peraturan Jabatan Notaris,
misalnya telah ditentukan bahwa notaristidak
diperbolehkan membuat akta,di dalam mana notaris sendiri,
isterinya, keluarga sedarah atau keluarga semenda dari
notaris itu, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat
ketiga, baik secara pribadi maupun melalui kuasa, menjadi
pihak. Maksud dan tujuan dari ketentuan ini adalah untuk
mencegah terjadinya tindakan memihak dan
penyalahgunaan jabatan;
3. Bagi setiap notaris ditentukan daerah hukumnya atau
daerah jabatannya dan hanya di dalam daerah yang
ditentukan tersebut, notari sberwenang untuk membuat
akta otentik. Akta yang dibuat oleh notaris di luar daerah
jabatanya adalah tidak sah;
4. Notaris tidak boleh membuat akta selama notaris tersebut
masih menjalankan cuti atau dipecat dari jabatanya.
Notaris juga tidak bolehmembuat akta sebelum memangku
jabatannya atau sebelum diambil sumpahnya.

Apabila salah satu persyaratan di atas tidak dipenuh i, maka


akta yang dibuat oleh notaris itu adalah tidak otentik dan
hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di bawah
tangan.

3.Akta-akta Notaris
Di atas diterangkan, bahwa wewenang serta pekerjaan
pokok dari notaris adalah membuat akta otentik, baik yang
dibuat di hadapan (partij akten) maupun oleh notaris (selaas
akten), apabila orang mengatakan akta otentik, maka pada
umumnya yang dimaksudkan ter sebut tidak lain adalah akta
yang dibuat oleh atau di hadapan notaris.

Berbagai akta yang biasa dibuat atau sering dibuat di


hadapan atau oleh Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya adalah sebagai berikut :
1. Akta-akta yang menyangkut hukum perorangan (personen
recht), Burgerlijk Wetbook Buku I;
2. Akta-akta yang menyangkut hukum kebendaan (zaken
recht), Burgerlijk Wetbook Buku II;
3. Akta-akta yang menyangkut hukum perikatan
(verbintenissen recht), Burgerlijk Wetbook Buku III;
4. Akta-akta yang menyangkut hukum dagang/perusahaan
(Wetboek van Koophandel dan lain-lain);
5. Akta-akta yang menyangkut badan -badan sosial atau
kemanusiaan (zedelijke lichamen), seperti perkumpulan
yayasan dan wakaf.

4. Kekuatan Akta Notaris Sebagai Alat Bukti


Sebagaimana telah disebutkan bahwa tujuan pembuktian
adalah memberikan keyakinan kepada hakim mengenai
peristiwa yang diajukan, untuk selanjutnya hakim diharapkan
mengeluarkan putusan atas dasar pembuktian yang diajukan
itu.
Mengenai alat bukti yang diajukan itu, dalam perkara
perdata alat tulis merupakan alat bukti yang utama. Hal ini
tertuang dalam pasal 1866 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa :
Alat-alat bukti terdiri atas:bukti tulisan, bukti dengan
saksi-saksi, persangkaan -persangkaan, pengakuan,
sumpah, segala sesuatunya denga n mengindahkan
aturan-aturan yang ditetapkan dalam bab -bab yang
berikut.

Berdasarkan alat-alat bukti dalam pasal di atas, jelas


bahwa alat bukti tulisanlebih diutamakan daripada alat bukti
lainnya. Akta ini dapat dibedakan menjadi dua (2) macam,
yaitu akat otentik dan akta di bawah tangan.
Berdasarkan pasal 1868 KUHPerdata, akta otentik
adalah:
Suatu akta di dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai -
pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana
akta dibuatnya.

Akta-akta lainnya selain akta otentik dinamakan akta di


bawah tangan, akta otentik yang dibuat oleh notaris itu ada
dua macam, yaitu : akta yang dibuat ole h Notaris (ambtelijk
akten, procesverbaal akten), akta yang dibuat di hadapan
Notaris (partij akten) atau yang sering disebut dengan akta
para pihak.

Bahwa suatu akta notaris lahir dan tercipta karena 2 hal,


yaitu :
1. Atas dasar permintaan atau dikehendaki oleh yang
berkepantingan, agar perbuatan hukum mer eka itu
dinyatakan atau dituangkan dalam bentuk akta otentik.
2. Atas dasar undang -undangyang menentukan agar untuk
perbuatan hukum tertentu mutlak harus dibuat dalam
bentuk akta otentik dengan diancam kebatalan jika tidak,
misalnya dalam mendirikan suatu per seroan terbatas, harus
dengan akta otentik.

Akta yang dibuat notaris adalah akta otentik dan


otentisitasnya itu bertahan terus , bahkan sampai sesudah ia
meninggal dunia. Tanda tangannya pada akta itu tetap
mempunyai kekuatan, walaupun ia tidak dapat lagi
menyampaikan keterangan mengenai kejadian -kejadian pada
saat pembuatan akta itu.
Berdasarkan pasal 1872 KUHPerdata menyebutkan
bahwa, apabila sesuatu akta otentik yang berbentuk apapun
juga dituduh sebagai barang palsu, maka pelaksanan akta
tersebut dapat ditangguhkan sesuai dengan ketentuan -
ketentuan yang terdapat dalam Hukum Acara Perdata .
Sebagaimana bunyi pasal 1872 KUHPerdata bahwa
suatu akta otentik dapat di tentang berdasarkan kepalsuan
dan mengenai kepalsuan itu dapat berupa dua (2) macam yaitu
sebagai berikut:
1. Pejabat yang melakukan pemalsuan terhadap akta,
misalnya menguraikan di dalam suatu surat waisat
mengenai hibah, yan oleh pewaris tidak diperintahkan
kepadanya. Pemalsuan ini disebut sebagai pemalsuan
intelektual. Pejabat yang memalsukan suat u akta, tidak
dapat melakukannya dengan cara lain kecuali dengan
tujuan jahat.
2. Orang mengubah isi sesuatu akta setelah akta tersebut
dibuat.

Dengan dibuatnya akta otentik oleh pihak -pihak yang


berkepentingan, maka mereka akan memperoleh bukti tertulis
dan kepastian hukum berupa :
1. Pihak yang berkpentingan oleh undang -undang dinyatakan
mempunyai alat bukti yang lengkap atau sempurna dan akta
itu telah membuktikan dirinya sendiri. Dengan kata lain
apabila di dalam suatu perkara salah satu pihak
mengajukan alat bukti berupa akta otentik, maka hakim
dalam perkara itu tidak boleh memerintahkan kepada yang
bersangkutan untuk menambah alat bukti lain untuk
menguatkan akta otentik tadi.
2. Akta-akta notaris tertentu dapat dikeluarkan turunan yang
istimewa yang dalam bentuk grosee akta yang mempunyai
kekuatan eksekutorial, sebagaimana halnya putusan hakim
di pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dan pasti untuk dijalankan.

Berkaitan dengan grosee akta notaris, R. Subekti


menegaskan pendapatnya :
“menurut undang-undang suatu akta resmi mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya apabila
suatu pihak memajukan suatu akta resmi, maka hakim
harus menerimanya dan menganggap bahwa apa yang
dituliskan di dalam akta itu sungguh -sungguh telah
terjadi, sehingga hakim itu tidak boleh memerintahkan
penambahan pembuktian lagi”

Berkatian dengan kekuatan pembuktian akta notaris


sebagai alat bukti, menurut p endapat yang umum diantu dapat
dikatakan bahwa pada setiap akta otentik demikian juga kata
notaris, dibedakan menjadi tiga (3) macam kekuatan
pembuktian yaitu sebagai berikut :
1. Kekuatan pembuktian lahiriah (Uitwendige Bewijskracht);
2. Kekuatan pembuktian formal (Formale Beweijskracht);
3. Kekuatan pembuktian material (Materiele Bewijskracht ).

5. Pengawasan Terhadap Notaris


Diadakannya pengawasan terhadap para notaris adalah
sangat beralasan, mengingat bahwa notaris menjalankan
suatu fungsi sosial yang snagat penting, meliputi bidang yang
luas dari apa yang sebenarnya diuraikan di dalam pasal 1
Peraturan Jabatan Notaris, karena pasal 1 Peraturan Jbatan
Notaris tidak memberikan uraian yang lengkap mengani tugas
dan pekerjaan notaris ini. Dengan tegas dapa t dikatakan
bahwa inti dari tugas notaris ialah mengatur secara tertulis
dan otentik hubungan -hubungan hukum di antara para pihak
yang secara mufakat meminta jasa -jasa Notaris.

Adapun tujuan dari pengawasan yang dilakukan oleh


badan peradilan terhadap Not aris adalah supaya Notaris
sebanyak mungkin memenuhi persyaratan -persyaratan yang
dituntut kepadanya. Persyaratan -persyaratan yang dituntut itu
tidak hanya oleh hukum atau undang -undang saja, akan tetapi
juga berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh Client
terhadap Notaris tersebut.
Selain dari adanya tanggung jawab dan etika profesi
yang tinggi, juga adanya integritas dan moralitas yang baik,
hal ini merupakan persyaratan yang harus dimiliki oleh setiap
Notaris. Apabila notaris memenuhi persyaratan -persyaratan
diatas, maka dapat diharapkan notaris akan melakukan
tugasnya dengan baik, sesuai dengan tuntutan hukum dna
kepentinganmasyarakat.

Adapun tujuan dari diadakannya pengawasan terhadap


protokol notaris adalah untuk menghindari terjadinya hal -hal
yang tidak sesuai sebagaimana telah diatur di dalam undang -
undang. Protokol notaris ini diatur dalam pasal 36, 36a, dan
pasal 46 dari Peraturan Jabatan Notaris . berdasarkan pasal-
pasal tersebut, protokol notaris terdiri dari:
1. Bundel-bundel minuat sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 36 Peraturan Jabatan Notaris;
2. Daftar surat wasiat, yaitu yang disebut dalam pasal 1
Ordonantieop het centraal Testamentenregister,
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 36a Peraturan
Jabatan Notaris;
3. Repertorium sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 45
Peraturan Jabatan Notaris, yang dimaksud dalam pasal 45
Peraturan Jabatan Notaris, yang di dalamnya dicantumkan
dari hari ke hari akta -akta yang dibuat oleh atau di hadapan
Notaris, baik yang dibuat dalam minuta maupun yang dibuat
dalam origina;
4. Daftar-daftar sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 99
Invoering en Overgang tot de Nieuwe Wetgeving, yang telah
dicabut dengan lembaran Negara1916 Nomor 42, diganti
dengan Lembaran Negara 1916 Nomor 46 jis 43 dan
Lembaran Negara 1919 Nomor 773, yakni untuk
pendaftaran surat-surat di bawah tangan yang dilegalisir
atau diwaarmerken;
5. Daftar-daftar sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 143
huruf c dan pasal 218 huruf c KUHDagang, pasal 45
Peraturan Jabatan Nota ris untuk pencatatan tentang
penyerahan salinan akta -akta protest van non betaling dan
non acceptatie;
6. Klapper-klapper untuk repertorium dan daftar-daftar
sebagaimana yang dimaksud pada butir 4, sedangkan untuk
daftar-daftar sebagaimana yang dimaksu dalam butir 5
tidak diadakan klapper.

Di dalam hubungannya dengan pengawasan ini, akan


dikemukakan pula peraturan perundang -undangan yang
mengatur tentang pengawasan terhadap diri notaris. Adapun
peraturan perundang -undangan tentang pengawasan terhadap
diri notaris tersebut adalah sebagai berikut:
1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beled der
Justitie in indonesia (Lembaran Negara 1847 Nomor 57
junto Lembaran Negara 1848 Nomor 57).
Di dalam undang-undang ini terdapat 3 pasal yang ada
hubungannya dengan pengawasan terhadap notaris, yaitu
pasal 99, pasal 140 dan pasal 178.
2. Rechtsreglement Buitengewesten (Lembaran Negara 1927
Nomor 227), Dengan pasal 96.
3. Peraturan Jabatan Notaris (Lembaran Negara 1860 Nomor
3).
Di dalam peraturan jabatan notaris, yang mengatur
tentang pengawasan terhadap para notaris dan akta -
aktanya tertuang dalam Bab IV Pasal 50 sampai pasal
56.
4. Ordonantie Buitengerechtelijke Verrichtingen (Lembaran
Negara 1946 Nomor 135), pasal yang ada kaitannya yaitu
pasal 3.
5. Undang-undang Nomor 13 TAHUN 1965 Tentang
Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan
Mahkamah Agung.
Terdapat dua (2) pasal yeng memiliki keterkaitan dengan
pengawasan terhadap notaris, yaitu pasal 32 dan pasal 54.
6. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Susunan
dan Kekuasaan Mahkamah Agung.
Pasal 36 memiliki keterkaitan tentang pengawasan
terhadap notaris.
7. Undang-undang Nomor 2 tahun 1986 tentnag peradila n
umum.
Pasal 54 lah yang memiliki keterkaitan tentang pengawasan
terhadap notaris.

6. Bentuk Formal Suatu Akta Notaris


Notaris adalah pejabat umum sebagaimana yang diatur
oleh pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris, sebelum menjalankan
tugas jabatannya Notaris harus mengangkat sumpah. Sumpah
jabatan ini diatur dalam pasal 17 Peraturan Jabatan Notaris,
konsekuensi dengan tidak diangkatnya sumpah tersebtu
adalah tidak diperkenankan untuk melakukan pekerjaan -
pekerjaan yang termasuk dalam bidang t ugas profesi Notaris.
Dalam hal demikian merupakan keharusan yang ditentukan
oleh pasal 18 Peraturan Jabatan Notaris.
Demi kepentingan dan perlindungan hukum dari Notaris
di dalam menjalankan tugasnya, maka ia harus menguasai
segala Peraturan yang berkaita n dengan tugas jabatannya,
hal ini tidak lain adalah agar aktayang dibuat Notaris tidak
cacat hukum, yang mengakibatkan akta tersebut batal demi
hukum atau dapat dibatalkan.
Dalam sub bahasan ini akan dikemukakan juga mengenai
bentuk formal dari suatu akta notaris. Adapun tujuannya
adalah agar akta yang dibuat Notaris tetap mempunyai
kekuatan pembuktian yang mengikat dan berlaku sebagai alat
bukti yang sempurna, jika di kemudian hari akta tersebut
diperkarakan di sidang pengadilan.
Mengenai bentuk formal su atu akta notaris, hal ini telah
diatur oleh pasal-pasal yang terdapat dalam Bab III dari
Peraturan Jabatan Notaris, yang mengatur tentang akta,
bentuk, minuta, salinannya dan repertorium. Adapun pasal-
pasal dari Peraturan Jabatan Notaris yang sangat erat
kaitannya dengan bentuk formal dari suatu akta notaris dapat
dikemukakan sebagai berikut, yaitu Pasal 20, Pasal 21, Pasal
22, pasal 23, pasal 24, pasal 25, pasal 26, pasl 27, pasal 28,
pasal 29, pasal 30, pasal 31, pasal 32, pasal 33, pasal 34 dan
pasal 35.
B AB I I

T AN G G U N G J A W AB N O T AR I S
S E L AK U P E J AB AT U MU M

A. Ruang Lingkup Tanggung Jawab Notaris Terhadap


Kebnaran Materiil Dalam Akta Yang dibuatnya

Segala hal yang dilakukan oleh individu yang merupakan


bagian dalam suatu tatanan masyarakat sosial tidak akan
lepas dari apa yang dinamakan dengna tanggung jawab. Siap
dan dimana saja keberadaanya baik yang akan, sedang
maupun telah dilakukan tidak lepas dari suatu tanggung
jawab. Pada dasarnya segala sesuatu yang dikerjakan ol eh
seseorang baik dengna sengaja maupun tidak, harus dapat
dimintakan pertanggungjawaban terlebih lagi yang berkaitan
dengna etika profesi dari seorang profesi hukum.
Dengan adanya suatu amanah yang menyangkut
perlindungan nasib seseorang, maka tanggung ja wab yang
berat diletakan di atas bahu anggota profesi hukum yang
bersangkutan. Hal ini tidak hanya menyangkut kepentingan
pribadi tetapi juga kepentingan umum. Tanggung jawab yang
harus dibebankan kepada seorang profesi hukum dalam
menjalankan tugad dan ja batan profesinya tidaklah ringan.
Oleh karena itu terhadap tanggung jawab profesi hukum
diperlukan suatu ruang lingkup yang jelas, agar segala
perbuatan yang dilakukan karena jabatannya dapat
dipertanggung-jawabkan.

B. Tanggung Jawab Notaris Secara Perdata Terhadap


Kebenaran Materiil Dalam Akta Yang Dibuatnya

Pertama kali yang dikemukakan dalam sub bahasan


penulisan ini adalah berkaitan dengan pertanggungjawaban
secara Perdata. Pertanggungjawaban ini merupakan
konsekuensi loghis yang harus dimintakan kepad a seseprang
profesi hukum di dalam melaksanakan tugasnya, adapun
pertanggungjawaban tersebut tidak hanya berdasarkan moral
tetapi juga berdasarkan hukum.
Menurut R. Wirjono Prodjodikoro dikatakan bahwa
pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang biasanya
praktis baru ada arti apabila orang itu melakukan perbuatan
yang tidak diperbolehkan oleh hukum dan sebagian besar dari
perbuatan-perbuatan seperti ini me rupakan suatu perbuatan
yang di dalam KUHPerdata dinamakan dengan perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatige daad). Onrechtmatige daad
atau perbuatan melawan hukum diatur dalam KUHPerdata
Buku III BaB III tentang perikatan -perikatan yang dilahirkan
demi undang0undang, Pasal 1365 sampai dengan Pasal 1380.

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dikemukakan


undur-unsurnya yaitu sebagai berik ut :
1. Perbuatan yang melawan hukum;
2. Harus ada kesalahan;
3. Harus ada kerugian yang ditimbulkan;
4. Adanya hubungan causal antara perbuatan dan kerugian.

Para ahli hukum dalam menggunakan istilah


onrechtmatige daad ini pun saling berbeda pendapat seperti
terlihat sebagai berikut: R. Wirjono Prodjodikoro
menterjemahkan istilah ini dengan “perbuatan melanggar
hukum”, E. Utrecht memakai istilah “perbuatan yang
bertentangan dengan asas-asas hukum”, Sudiman
Kartohadiprodjo mengemukakan istrilah “tindakan melawan
hukum”, sedangkan yang memakai istilah “perbuatan melawan
hukum” adalah M.A. Moegni Djojodirdjo dan Sri Soedewi
Masjchoen Sofwan.

Istilah perbuatan melawan hukum sebagaimana yang


dikemukakan oleh M.A. Moegni Djojodirdjo. Lebih lanjut dapat
diterangkan sebagai berikut:
“bahwa istilah “melawan” melekat kedua sifat aktif dan
pasif. Kalau ian dengan sengaja melakukan sesuatu
perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain,
jadi sengaja melakukan gerakan, maka tampaklah
dengan jelas sifat aktifnya dari istilah “ melawan” itu.
Sebaliknya kalau ia dengansengaja diam saja,
sedangkan ia sudah mengetahui bahwa ia harus
melakukan sesuatu perbuatan untuk tidak merugikan
orang lain, atau dengan kata lain, apabila dengan sikap
pasif saja, bahwa apabila ia tidak mau melakuk an
keharusan sudah melanggar sesuatu keharusan,
sehingga menimbulkan karugian terhadap orang lain,
maka ia telah “melawan” tanpa harus menggerakan
badannya.inilah sifat pasif dari istilah “melawan”
(Djojodirdjo, 1979:13).
Berdasarkan pendapat yang dikemuk akan oleh M.A.
Moegni Djojodirdjo di atas, apabila dikaitkan dengan profesi
Notaris, maka dapat dikatakan bahwa apabila Notaris di dalam
menjalankan tugas jabatannya dengan sengaja melakukan
suatu perbuatan yang merugikan salah satu atau kedua belah
pihak yang menghadap di dalan pembuatan suatu akta dan hal
itu benar dapat diketahui, bahwa sesuatu yang dilakukan oleh
notaris misalnya bertentangan dengan undang -undang, maka
notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban berdasarkan
pasal 1365 KUHPerdata. Begitu juga sebaliknya, apabila
notaris yang tugasnya juga memberikan pelayanan kepada
masyarakat atau orang-orang yang membutuhkan jasanya
dalam pengesahan atau pembuatan suatu akta, kemudian di
dalam akta itu terdapat suatu klausula yang bertentangan
misalnya dengan undang-undang, sehingga menimbulkan
kerugian terhadap orang lain, sedangkan para pihak yang
menghadap sama sekali tidak mengetahuinya, maka dengan
sikap pasif atau diam itu notaris yang bersangkutan dapat
dikenakan pasal 1365 KUHPerdata.

Penafsiran Perbuatan Melawan Hukum Dalam arti sempit


adalah bahwa suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan
hukum apabila:
1. ada pelanggaran terhadap hak subyektif
seseorang;
2. perbuatan tersebut bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku.

Maksud dari hak subyektif dalam arti sempit ini adalah


hak subyektif seseorang yang diberikan oleh undang -undang
dengan mengecualikan semua orang lain. Dengan adanya kata
yang diberikan oleh undang -undang ini, berarti bahwa hak
tersebut harus diatur dalam undang -undang.
Berkaitan dengan hal ini menurut simon sebagaimana
yang dikutip oleh J.Satrio (1993:151), memberikan alasan
bahwa apabila perbuatan melawan hukum diberikan
penafsiran yang luas, meliputi pelanggaran terhadap norma
kesusilaan dan tata krama, maka kepastian h ukum akan
menjadi hilang, karena dengan itu akan banyak sekali masalah
perbuatan melawan hukum diserahkan kepada penilaian
subyektif para hakim.
Apabila dari perbuatan seseorang menimbulkan kerugian
kepada orang lain dan tidak terdapat dalam undang -undang,
maka tidak akan menimbulkan kewajiban hukum untuk
menuntut ganti kerugian. Pandangan demikian ini disebabkan
oleh pengaruh dari aliran legisme yang menyatakn bahwa
tidak ada hukum di luar undang -undang, sehingga orang tidak
dapat memberikan penafsiran di luar kaidah tertulis.
Yurisprudensi di negeri belanda sebelum tahun 1919
menganut pendirianbahw amelanggar hukum adalah
bertentangan dengan undang -undang. Adapun putusan -
putusan Hoge Raad yang demikian dapat dilihat dari
beberapa crrestnya, yaitu sebagai berikut:
1. Arrest Hoge Raad tanggal 6 januari 1905 dalam
perkara Mesin Jahit Singer;
2. Arrest Hoge Raad tanggal 10 juni 1910 dalam perkara
Pipa Air Ledeng.

Penafsiran perbuatan melawan hukum dalam arti Luas


ini diawali dengan Arrest Hoge Raad Tanggal 31 januari 1919
yaitu dalam perkara Cohen melawan Lindebaum. Setelah
dijatuhkannya putusan tersebut, maka Hoge Raad dan
pengadilan-pengadilan rendahan lainnya menganut penafsiran
dalam arti luas, yaitu terdapat perbuatan melawan hukum
diberikan pengertian yang lebih luas sebagaimana telah
disebutkan di atas, yaitu bahwa perbuatan melawan hukum
adalah berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang
lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
atau bertentangan dengan kesusilaan atau kepatutan dalam
masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang lain.
Beberapa penafsiran perbuatan melawan hukum dalam
arti luas, apabila perbuatan tersebut:
1. Melanggar hak orang lain;
2. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
3. Bertentangan dengan kesusilaan;
4. Bertentangan dengan kepatutan dala memperhatikan
kepentingan didi dan harta orang lain dalam pergaulan
hidup.

Keempat macam perbuatan tersebut merupakan syarat


alternatif untuk terjadinya suatu perbuatan melawan hukum,
artinya apanila terjadi suatu perbuatan yang memenuhi salah
satu dari keempat perbuatan tersebut di atas, maka sudah
cukup untuk dikatakan adanya perbuatan melawan hukum.
Namun untuk adanya perbuatan melawan hukum yang berupa
perbuatan yang pertama harus ada ketentuan hukumposotif
yang bersifat mela ranhg, sedangkan untuk perbuatan yang
kedua, ketiga dankeempat harus ada berturut -turut yaitu :
ketentuan hukumpositif, ketentuan kesusilaan dan kepatutan
yang bersifat mewajibkan atau melarang.
Menurut R.Wirjono Prodjodikoro, bahwa akibat umum
dari perbuatan melawan hukum adalah kekotoran dalam tubuh
masyarakat, kegincangan dalam neraca keseimbangan
masyarakat, dengan kata lain dinamakan suatu keganjilan.
Keganjilan ini dapat mengenaiberbagai hubungan hukum
dalam masyarakat dan berbagai hubungan hukum yang akan
menemui keganjilan ini dapat mengenai berbagai kepentingan
seorang manusia seperti misalnya, kepentingan atas harta
benda, tubuh jiwa dan kehormatan seseorang. Pada dasarnya
mengenai kerugian akibat yang ditimbulkan dari perbuatan
melawan hukum itu ada dua (2) macam, yaitu sebagai berikut:
1. Kerugian kekayaan atau materil yaitu ke rugian-
kerugian yang sejak semula dapat dinilai dengan
sejumlah uang;
2. Kerugian moril atau immateril yaitu kerugian -kerugian
yang sejak semula tidak dapat dikatakan mempunyai
nilai uang.

Suatu perbuatan melawan hukum itu dapat lenyap


melawan hukumnya karena aanya alasan pembenar yatitu
alasan yang menghapus sifat melawan hukumnya suatu
perbuatan.
Dasar-dasar pembenar menurut M.A. Moegni Djojodirdjo
adalah sebagai berikut:
1. Keadaan memaksa;
2. Pembelaan terpaksa;
3. Melaksanakan undang -undang;
4. Perintah jabatan.

Menurut Hermien Hadiati Koeswadji, dikatakan bahwa


secara umum hubungan perikatan antara notaris dan
Clientnya diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata yang berbunyi
sebagai berikut:
Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat
syarat:
1. Sepakat mereak yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.

Lebih lanjut dikatakan juga bahwa dalam hubungan


tersebtu pihak yang mengikatk an diri adalah notarsi dan
Client, mereka diikat supaya masing -masing memenuhi apa
yang telah menjadi hak dan kewajiban mereak berupa
prestasi, apabila hak dna kewajiban ini tidak dipenuhi oleh
salah satu pihak, maka dapat dikatakan bahwa pihak yang
tidak memenuhi kewajibannya itu telah melakukan
wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Hakim tinggi
pada pengadilan tinggi tanjung karang, S.Soetrisno
berpendapat bahwa suatu kesalahan dalam melaksanakan
profesi dapat disebabkan oleh karena:
1. Kekurangan pengetahuan (onvoldoende kennis);
2. Kekurangan pengalaman (onvoldoende ervaring);
3. Kekurangan pengertian (onvoldoende inzicht).

Menurut Rachmat Setiawan ada tiga (3) bentuk ingkar


janji atau wanprestasi yaitu sebagai berikut:
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
2. Terlambat memenuhi prestasi;
3. Memenuhi prestasi secara tidak baik.

Marthalena Pohan berpendapat:


“bahwa tuntutan terhadap wanprestasi biasanya
diadakan perbedaan yaitu tergantung kepada apakah
wanprestasi karena tidak memenuhi suatu
resultaatsverbintenis yaitu suatu perikatan di mana
suatu hasil tertentu dijanjikan atau
inspanningsverbintenis yaitu di mana debitur hanya
berjanji akan berusaha untuk mencapai sutu hasil
tertentu”.

Ingkar janji atau wanprestasi yang dilakukan oleh salah


satu pihak di dalam perjanjian dakan membawa dampak yang
merugikan kepada pihak lain, atas perbuatan itu pihak yang
dirugikan dapat menuntut ganti kerugian yang ditimbulkan dan
adapun tuntutan itu berupa :
1. Pemenuhan perikatan;
2. Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi;
3. Ganti rugi;
4. Pembatalan persetujuan timbal balik;
5. Pembatalan dengan ganti rugi.

Berdasarkan atas uraian yang dikemukakan di atas, jika


dikaitkan dengan pembuatan partij akten, notaris tidak dapat
dituntut berdasarkan wanprestasi terhadap pelanggaran atau
kesalahan yang dilakukannya. Lebih lanjut Ketua Ikatan
Notaris Indonesia Pengurus Daerah Istimewa Yogyakarta
mengatakan, bahwa Notaris yang melakukan pelanggaran
dalam pembuatan akta para pihak, tidak dapat digugat
berdasarkan wanprestasi, tetapi dapat dig ugat berdasarkan
perbuatan melawan hukum.
Dengan demikina dapat dikatakan bahwa meskipun
terjadi kesalahan yang dilakukan oleh notaris dalam
pembuatan akta, bukan berarti notaris telah melakukan
wanprestasi terhadap Client yang datang menghadap, karena
pembuatan partij akten bukan atas perjanjian antara para
pihak dengan notaris, melainkan kewajiban yang lahir dari
adanya perintah undang -undang terhadap notaris tersebut.
Terhadap kebenaran materiil dan partij akten, jika terjadi
kesalahan atau bertentangan dengna yang sebenarnya
tertuang dalam akta, notaris tidak dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Ketua Majelis
Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia Pengurus Daerah Jawa
Barat, menegaskan :

“bahwa sesungguhnya Notaris dalammenjalankan tugas


jabatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan
sepanjang Notaris yang bersangkutan telah mengatahui
berdasarkan ilmu pengetahuan dan sifat kehatia -hatian
yang dimilikinya. Namun demikian, apabila Notaris
melakukan suatu kesalahan atau kelalaian dalam
pembuatan akta tersebut, maka terhadap akta yang
dibuat itu dapat batal demi hukum atau dapat dimintakan
pembatalan. Atas kebatalan tersebut Notaris yang
bersangkutan dapat dikenakan sanksi sebagaimana yang
tertuang dalam Peraturan Jabatan Notaris”

Peraturan Jabatan Notaris telah mengatur mengenai


sanksi yang dapat dikenakan terhadap notaris, misalnya
sanksi atas pembuatan akta yang tidak memenuhi syarat -
syarat formal suatu akta notaris, yaitu tertuang sebagaimana
tertuang dalam pasal 20, 2 1, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29,
30, 31, 32, 33, 34 dan 35. Selain sanksi tersebut Notaris juga
dapat dikenakan sanksi berdasarkan pasal 50 dan 60
Peraturan Jabatan Notaris.

Ada beberapa perbedaan penuntutan karena wanprestasi


dan penuntutan karena onrechtmatige daad. Perbedaan
penuntutan ini menurut M.A. Moegni Djojodirdjo sebagaimana
dikutip oleh Agnes M. Toar dapat dikemukakan sebagai
beirikut:
1. Dalam perbuatan karena onrecht matige daad, maka
si penuntut harus membuktikan semua unsur -unsur,
yaitu antara lain bahwa ia harus membuktikan adanya
kesalahan kepada si pelaku, sedangkan dalam
perbuatan karena wanprestasi, maka si penunut cukup
menunjukan adanya wanprestasi. Untuk pembuktian
bahwa tentang tidak adanya wanprestasi dibebankan
kepada si pelaku.
2. Tuntutan pengambilan terhadap keadaan semula
hanya dapat dilakukan bilamana terjadi tuntutan
karena onrechtmatige daad, sedangkan dalam
tuntutan karena wanprestasi tidak dapat dituntut
pengambilan kepada keadaan semula.
3. Bilamana terdapat beberapa orang debitur, maka
dalam hal terjadi tuntutan ganti kerugian karena
onrechtmatige daad , masing-masing debitur tersebut
bertanggung jawab untuk keseluruhan ganti kerugian
itu.

Berkaitan dengan hal ini menurut Marthalena Pohan


disebutkan bahwa:

“sebagai perbedaan terpenting antara


pertanggungjawaban atas wanprestasi dengan
onrechtmatige daad, disebut perbedaan dalam posisi
penentuan dan pembuktian. Mengenai siapa di antara
para pihak yang berperkara berkewajiban menentukan
fakta-fakta dan pada penyangkalan, harus
membuktikannya, merupakan sesuatu yang sangat
penting untuk penyelesaian suatu perkara. Kalau
seandainya kita menerima bahwa penggugat harus
membuktikan bahwa tergugat bersalah, maka penggugat
akankalah dalam perkara apab ila ia tidak memberikan
bukti-bukti, tetapi apabila ia tidak bersalah, maka tidak
mamlunya tergugat untuk membuktikannya akan
mengakibatkan penggugat menang dalam perkara”.

Lebihlanjut dijelaskan juga bahwa:

“secara teoritis beban pembuktian dalam suatu keadaan


karena onrechtmatige daad berlainan keadaannya, di
mana sesungguhnya penggugat harus membuktikan,
bahwa tergugat yang bersalah dan di dalan suatu
tuntutan yang didasarkan pada onrechtmatige daad,
apabila suatu bentuk yang keliru itu sudah jelas, ma ka
hakim akan dapat menerima, bahwa itu kesalahan si
pelaku, kecuali apabila si pelaku itu mampu
membuktikan bahwa kesalahan tidak dapat dituduhkan
kepadanya, jadi atas dasar fakta -fakta yang
dikemukakan itu hakim akan sampai kepada dugaan
bahwa adanya kesalahan”
Berkaitan dengan pertanggungjawaan secara perdata
terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuat di
hadapan Notaris, oleh hakim pengadilan negeri Yogyakarta
dikatakan, walaupun ada pendapat yang mengatakan bahwa
pada dasarnya Notaris tidak bertanggung jawab dan tidak
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum terhadap
kebenaran materiil dalam akta yang dibuat di hadapannya,
bukan berarti Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya
dapat dengan sekehendaknya dan tidak dengan sungguh -
sungguh dalam melakukan pembuatan suatu akta otentik.
Lebih lanjut dijelaskan juga bahwa ada hal lain yang juga
harus diperhatikan oleh notaris, yaitu yang berkaitan dengan
perlindungan hukum dai notaris itu sendiri. Berdasarkan pada
pendapat tersebut dapat disimpulkan b ahwa dengna adanya
ketidakhati-hatian dan kesungguhan yang dilakukan oleh
notarism sebenarnya notaris telah membaw dirinya pada suatu
perbuatan yang oleh undang -undang harus
dipertanggungjawabkan. Jika suatu kesalahan yang dilakukan
oleh notaris dapat dibu ktikan, maka notaris dapat dikenakan
sanksi berupa ancaman hukuman sebagaimana telah ditentuka
dalam undang-undang. Tentunya dalam keadaan seperti ini
notaris yang bersangkutan dengan sendirinya sudah tidak lagi
memberikan perlindungan terhadap dirinya.
Di dalam hubungannya dengan hal ini, jika diperhatikan
lebih lanjut sebagaimana bunyi putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia dalam putusannya Reg. No. 2510
K/PDT/1991, yaitu suatu putusan yang berkaitan dengan akta
notaris yang dibuat Proforma dan bertentangan dengan
kebearan materiil, maka dapat dikemukakan, bahwa walaupun
notaris yang bersangkutan oleh penggugat tidak dimasukan
dalam gugatannya, akan tetapi penggugat dalam hal ini
menuntut agar supaya akta yang dibuat oleh notaris tersebut
batal demi hukum. Setelah melakukan pemeriksaan atas
perkara itu, kemudian lebih lanjut diputuskan bahwa akta
notaris yang telah dibuat itu adalah batal demi hukum
terhitung sejak akta itu diterbitkan. Meskipun notaris yang
bersangkutan tidak dikenakan sanksi dal am perkara yang
diajukan, namun dalam hal ini Mahkamah Agung memberikan
peringatan dalam pertimabngan hukumnya bahwa demi
perlindungan hukum, adalah sudah waktunya terhadap para
notaris secara sungguh -sungguh dan seksama bahwa akta
notaris yang dibuatnya itu berisi atau berdasarkan pada fakta
kebenaran meteriil.
C. Tanggung jawab Notaris Secara Pidana Terhadap
Kebenaran Materiil Dalam Akta Yang Dibuatnya .

Notaris merupakan suatu profesi yang mempunyai tugas


berat dan bersifat altruistik, sebab ia harus menempatkan
pelayanan terhadap masyarakat di atas segala -galanya. Di
samping itu notaris juga merupakan expertis, oleh karenanya
rasa tanggung jawab baik sec ara individual maupun sosial,
terutama ketaatan terhadap norma -norma hukum positif dan
kesediaan untuk tunduk pada kode Etik profesi merupakan
suatu hal yang wajib, sehingga akan memperkuat norma
hukum positif yang sudah ada.
Unsur-unsur dari perbuatan pidana itu adalah sebagai
berikut:
1. Perbuatan (manusia);
2. Yang memenuhi rumusan dalam undang -undang (ini
merupaka syarat formil);
3. Bersifat melawan hukum (inimerupakan syarat materiil)

Ketiga unsur di atas lebih lanjut akan dikemukakan


sebagai berikut :
1. Perbuatan (manusia)
Menurut Moeljatno (1983:56), yang dimaksud dengan
perbuatan manusia dalam unsur-unsur tindak pidana adalah
kelakuan plus kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan,
dengan pendek kata sama dengan kelakuan plus akibat dan
bukan kelakuan saja.
2. Yang memenuhi rumusan dalam undang0undang (ini
merupakan syarat formi )
Suatu perbuatan untuk dapat disebut tidakk pidana harus
memenuhi rumusan dalam undang0undang. Hal ini
merupakan konsekuensi dari adanya asas legalitas, yaitu
suatu asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan
yang tidak dilarang dan diancam dengan pidana, apabila
tidak ditentukan terlebih dahulu dalam peraturan
perundang-undangan.
Selanjutnya asas ini sepanjang sejarah hukum mengandung
empat (4) ajaran, yaitu sebagai berikut :
a. Asas legalitas hukum pidana yang menekankan pada
perlindungan individu untuk memperoleh kepastian dan
persamaan hukum di hadapan penguasa agar tidak
sewenang-wenang.
b. Asas legalitas hukum pidana yang menekankan dasar
dan tujuan pemidanaan. Masyarakat haru s mengetahui
terlebih dahulu rumusan peraturan yang membuat
tentang perbuatan pidana dan ancaman pidananya.
c. Asas legalitas hukum pidana yang menekankan adanya
peraturan tentang perbuatan pidana sekaligus mengenai
rumusan ancaman pidananya.
d. Asas legalitas hukum pidana yang menekankan
perlindungan hukum terutama bagi negas dan
masyarakat

Pengertian yang terkandung dalam asas legalitas ini adalah


sebagai berikut:
a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan di ancam dengan
pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan
dalam suatu aturan undang -undang;
b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh
digunakan analogi(kiyas);
c. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut

Menurut D. Schaffmeister, Nico Keijzer dan E. PH. Sutorius


(1995:6-7), mengemukakan bahwa:
“ada tujuh (7) aspek asas legalitas yang dapay dibedakan
yaitu sebagai berikut:
a. Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan
pidana menurut undang-undang;
b. Tidak ada penerapan undang -undang pidana
berdasarkan analogi;
c. Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan;
d. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas
(syarat lexcerta);
e. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana;
f. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang -
undang;
g. Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditent ukan
undang-undang”.

di dalam KUHPidana , asas legalitas tercantum dalam


pasal 1 ayat (1) yang berbunyi sebagai beriktu:

Tiasa suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas


kekuatan aturan pidana dalam perundang -undangan
yang telah ada sebelum perbu atan dilakukan.

Arti penting dari adanya asas legalitas ini adala h untuk


menjamin adanya kepastian hukum, hal ini oleh simons
sebagaimana dikutip P.A.F Lamintang (1984:124)
dikemukakan sebagai berikut :
“ketentuan yang terdapat dalam pasal 4Code penal itu
tetap dipertahankan dalam pasal 1 ayat (1) dari
KUHPidana kita. menurut pendapat saya peraturan
tersebut hingga kini tetap dapat dipandang sebagai
suatu pengakuan terhadap adanya suatu kepastian
hukum bagi pribadi-pribadi orang yang harus dijami n,
yaitu sejauh peraturan tersebut mensyaratkan bahwa
peraturan yang bersifat mengharuskan atau yang
bersifat melarang itu harus ada lebih dahylu dan sejauh
ia mensyaratkan bahwa ancaman hukuman itu harus
telah ada terlebih dahulu daripada perbuatann ya itu
sendiri”.

3. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil)


selain harus memenuhi rumusan dalam undang -undang,
suatu perbuatan untuk dapat disebut sebagai tindak pidana
juga harus memenuhi unsur ketiga dari tindak pidana, yaitu
unsur bersifat melawan hukum, unsur ini merupakan unsur
ketiga dari tindak pidana, yaitu unsur bersifat melawan
hukum, unsur ini merupakan unsur mutlak dari tindak
pidana.

Atas dasar pertimbangan di atas, kiranya di indonesia


secara tegas telah menganut ajaran sifat melawan hukum
materiil dalam fungsinya yang negatif. Hal ini dapat disimak
dari putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam
keputusan register Nomor 72 K/Kr/1970 tertanggal 27 mei
1970. Di dalam pertimbangan putusan tersebut terdapat
pernyataan bahwa meskipun apa yang dituduhkan adalah
suatu delik formil, namun hakim secara materiil harus
memperhatikan juga adanya kemungkinan keadaan dari
terdakwa atas dasar mana mereka tidak dapat dihukum,
sehingga terdakwadilepas dari segala tuntutan hukum
(Emong.S, 1998:87).

Berkaitan dengan hal di atas, dikemukakan juga


beberapa kutipan yurisprudensi indonesia yang
menunjukan danutnya ajaran sifat melawan hukum maretiil
yaitu sebagai berikut:
a. Putusan Mahkamah Agung Tanggal 8 Januari 1966
Nomor 42 K/Kr/1965 . di dalam pertimbangan putusan
disebutkan sebagai berikut:
“suatu perbuatan pada umumnya dapat hilang sifat
melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu
ketentuan dalam perundang -undangan, melainkan
juga berdasarkan asas -asas hukum yang tidak tertulis
dan bersifat umum: dalam perkara ini misalnya faktor -
faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum
dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapatkan
untunf” (Emong. S, 1995 : 177).
b. Putusan Mahkamah Agung Tanggal 23 juli 1973 Nomor
43 K/Kr/1973 Tentang Komisi Dokter Hewan yang
menguatkan Putusan pengadilan tinggi nusa tenggara
di denpasar tanggal 20 januari 1972 Nomor
7/PTD/1971/Pid. di dalam nutir pertimbangan hukum
berbunyi sebagai berikut
“ bahwa apabila berpedoman pada sifat melawan
hukum yang formal (formeele wederrechtlijkheid),
perbuatan terdakwa tersebut formal memang melawan
hukum oleh karena bertentangan dengan undang -
undang i.c. KUHPidana, sedangkan di dalam hukum
positif yang berlaku tidak dapat dikemukakan dasar
pengecualiannya”

sifat melawan hukumnya suatu perbuatan dapat


hapus karena adanya beberapa alasan. Di dalam teori
hukum pidana biasanya alasan -alasan yang
menghapuskan pidana ini dibedakan menjadi dua (2)
yaitu sebagai berikut :
1. Alasan pembenar yaitu alasan yang
menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh
terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan
benar.
2. Alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan
kesalahan terdakwa. perbuatan yang dilakukan
oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum,
jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi
dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan .

Alasan penghapusan pidana dapat berupa alasan


pembenar dan alasan pemaaf (alasan penghapus
kesalahan), misalnya:
1. hak dari orang tua, guru untuk mener tibkan
anak-anak atau anak didiknya (tuchtrecht);
2. hak yang timbul dari pekerjaan ( beroepsrecht)
seorang dokter, apoteker,bidan dan penyelidik
ilmiah;
3. ijin atau persetujuan dari orang yang dirugikan
kepada orang lain mengenai suatu perbuatan
yang dapat dipidana, apabila dilakukan tanpa ijin
atau persetujuan (cinsent of the victim;
4. mewakili urusan orang lain (zaakwaarneming);
5. tidak ada unsur sifat melawan hukum yang
materiil
6. tidak adanya kesalahan sama sekali.

Alasan-alasan penghapus pidana yang ters ebut


pada nomor satu (1) sampai dengan nomot lima (5)
merupakan alasan pembenar, sedangkan yang tersebut
pada nomor enam (6) adalah alasan pemaaf yaitu
penghapus kesalahan.
Di dalam KUHPidana Buku Pertama Titel III
disebutkan adanya alasan-alasan yang dapat menghapus
pidana. alasan-alasan tersebut dapat dibedakan menjadi
dua(2), yaitu alasan pemaaf dan pembenar.
1. alasan pembenar
adalah alasan yang menghapuskan sifat
melawan hukumnua perbuatan, sehingga apa
yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi
perbuatan yang patut dan benar. adapun pasal -
pasal dalam KUHPidana yang biasa dipandang
sebagai alasan pembenar adalah sebagai berikut
a. pasal 48 KUHPidana yang mengatur tentang
daya paksa dalam arti keadaan darurat.
b. pasal 49 ayat (1) KUHPidana yang mengatur
tentang pembelaan terpaksa.
c. pasal 50 KUHPidana yang mengatur tentang
melaksanakan peraturan perundang -
undangan.

2. alasan pemaaf
adalah alasan yang menghapuskan kesalahan
terdakwa. perbuatan yang di lakukan oleh
terdakwa tetap bersifat melawan hukum. jadi
tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia
tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.
adapun pasal-pasal yang merupakan alasan
pemaaf dalam KUHPidana adalah sebagai
berikut:
a. pasal 44 KUHPidana yang mengatur tentang
tidak mampu bertanggung ja wab.
b. pasal 49 ayat (2) KUHPidana yang mengatur
tentang pembelaanterpaksa yang melampaui
batas.
c. pasal 51 ayat (2) KUHPidana yang mengatur
tentang perintah yang tidak sah yang
dipandang sah.
untuk lebih jelasnya apa yang dimaksud dengan
kesalahan, dalam pembahasan ini akan dikemukakan
beberapa pengertian kesalahan dari para ahli hukum
pidana, seperti Pompe dan Simon. menurut Pmpe
kesalahan adalah :
“mempunyai tanda yang tercela (verwijtbaarheid) yang
pada hakikatnya mencegah (vermmijdbaarheid)kelakuan yang
bersifat melawan hukum (derwederrechtelijke gedraging) .
kemudian dijelaskan juga tentang tidak mencegah kelakuan
yang bersifat melawan hukum positif, di situ berarti
mempunyai kesengajaan dan kealpaan (opzet en
onachtzaamheid) yang mengarah kepada sifat melawan hukum
(wederrechtelijkheid) dan kemampuan bertanggung jawab
(toerekenbaarheid)”.

sedangkan pengertian kesalahn menurut Simons dapat


dikemukakan bahwa kesalahan adalah adanya keadaan bathin
yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana,
dan adanya hubungan antara keadaan bathin tersebut dengan
perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, seh ingga orang
itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi .
adanya kesalahn harus memenuhi dua(2) syarat yaitu
sebagai berikut:
1. adanya keadaan bathin yang tertentu;
2. adanya hubungan antara keadaan bathin tersebut
dengan perbuatan yang dilakukan, sehin gga dapat di
cela.

adapun syarat-syarat yang hartus dipenuhi untuk adanya


celaan dari kesalahan itu adalah sebagai berikut:
1. Pelaku harus dapat menginsyafi atas kekeliruannya;
2. Pelaku harusnya dapat menghindari perbuatan yang
keliru tersebut;
3. Perbuatan yang keliru tersebut bersifat melawan
hukum.

Menurut Moeljatno bahwa seseorang yang melakukan


kesalahan dapat dipertanggungjawabkan, maka dia harus
melakukan perbuatan pidana yang bersifat melawan hukum, di
atas umur tertentu mampu bertanggung jawab, mem punyai
bentuk kesalahn yang berupa kesengajaan atau kealpaan dan
tidak ada alasan pemaaf.
Berdasarkan pada pendapat yang dikemukakan oleh
Moeljatno ini dapat diketahui bahwa kesalahan itu terdiri atas
dua (2) bentuk, yaitu kesengajaan (dolus) dan kealpaan
(culpa)
1. kesengajaan
Pengertian kesengajaan dalam hukum pidana ada dua
(2) teori, yaitu :
a. Teori kehendak
b. Teori pengetahuan

Lebih lanjut dikatakan bahwa kehendak adalah arah,


hal ini berhubungan dengan motif dan tujuannya.
adapun konsekuensinya adalah untuk membuktikan
suatu perbuatan yang dikehendaki oleh pelaku, yaitu
berupa:
a. Harus membuktikan bahwa perbuatan itu sesuai
dengan motifnya untuk berbuat dan tujuan yang
hendak dicapai.
b. Antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada
hubungan kausal dalam bathin pelaku.

2. Kealpaan
Mustofa Abdullah dan Ruben Achmad memberikan
pengertian kealpaan, yaitu suatu ancaman sebagai
akibat kurang berhati -hati, sehingga secara tidak
sengaja sesuatu terjadi, sementara menurut Van
Hammel sebagaimana dikutip oleh Moeljatno,
dikatakan bahwa kealpaan harus mengandung dua (2)
syarat yaitu :
syarat kealpaan yang pertama, bahwa mengadakan
penduga-duga terhadap akibat dari si pelaku, naka di
sini harus diletakan hubungan antara bathin pelaku
dengan bathin yang ditimbulkan dari perbuatannya.
syarat kealpaan yang kedua, tereltak pada bidang
perbuatan pidana.
Mengenai kurang atau tidak mengadakan penghati -
hati dari apa yang diperbuat itu, oleh Vos dirinci
menjadi dua(2) hal yang diperlukan, yaitu:
a. Pembuat tidak berbuat secara hati -hati menurut
yang semestinya.
b. Pembuat telah berbuat dengan hati -hati, akan
tetapi perbuatannya pada pokoknya tidak boleh
dilakukan.

Di dalam praktik yang sering digunakan adalah syarat


yang kedua, karena dalam penerapannya juga termasuk syarat
yang pertama. Apabila syaray yang ke dua ini ada, maka
dengan sendirinya syarat yang pertama juga ada.
Berkaitan dengan pembagian kealpaan, hal ini tidak
diatur dalam KUHPidana, tetapi dapat disimpulkan dalam hal
pelanggaran dan kejahatan, yaitu kelalaian ringan (culpa
levissima) dan kelalaian berat (culpa lata). yang dimaksud
culpa levissima adalah kealpaan yang ringan yang dapat
dijumpai pada jenis pelanggaran yang diatur dalam buku
ketiga KUHPidana, sedangkan culpa lata adalah kealpaan
yang berat yang dapat disimpulkan dalam kejahatan karena
kealpaan, sebagaimana yang diatur dalam buku kedua
KUHPidana.
Selanutnya dalam pembahasan ini juga akan
dikemukakan beberapa pasal dalam KUHPidana yang dapat
dikenakan terhadap profesi Notaris D allas menjalankan tugas
jabatannya. adapun pasal -pasal tersebut adalah Pasal 55,
pasal 224, Pasal 242, pasal 263, pasal 264, pasal 266, pasal
310, pasal 322, pasal 378, pasal 415, pasal 416,

Akta Notaris, lahir dan tercipta karena:


1. Atas dasar permintaan atau dikehendaki oleh yang
berkepentingan, agar perbuatan hukum mereka itu
berkepentingan, agar perbuatan hukum mereka itu
dinyatakan atau dituangkan dalam bentuk akta
otentik.
2. Selain karena permintaan atau dikehendaki oleh yang
berkepentingan, juga karena undang-undang
menentukan agar untuk perbuatan hukum tertentu,
mutlak harus dibuat dalam bentuk akta otentik.

Di dalam pembahasan ini, yang adakn dikemukakan


adalah mengenai tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana
yang tertuang dalam KUHPida na, karena dari beberapa contoh
kasus yang pernah dijumpai dalam literatur adalah berkaitan
dengan dakwaan jaksa penuntut umum, yang hubungannya
dengan tugas jabatan Notaris dan sebagai contoh oleh Liliana
Tedjosaputro dikemukakan sebagai berikut:

“Seorang Notaris dituduh melakukan tindak pidana


pemalsuan akta berdasarkan pasal 263 KUHPidana, padahal
akta tersebut adalah partij akten yang merupakan akta yang
dibuat oleh para pihak sendiri dan notaris hanya membuat alat
bukti yang berupa akta atas per buatan hukum yang dilakukan
di hadpannya, sehingga tidak mungkin memalsukan akta,
kecuali Notaris memang sebagai aktor intelektualnya dan
merencanakan hal tersebut. lain halnya kalau akata tersebut
merupakan relaas akten seperti akta berita acara rapat atau
berita acara undian. akta ini adalahakata yang dibuat oleh
Notaris”.
Apabila Notaris dalam menjalankan jabatannya dengan
sengaja membuat akta palsu, dalam ketentuan pidana dapat
dianggap pemalsuan surat, dalam ketentuan pidana dapat
dianggap sebagai suatu tindakan pidana pemalsuan surat dan
ketentuan tersebut tertuang dalam pasal -pasal yang mengatur
tentang tindak pidana pemalsuan surat, yaitu pasal 263
KUHPidana, pasal 264 KUHPidana dan pasal 266 KUHPidana.
pasal-pasal tersebut untuk selan jutnya akan dikemukakan dan
diuraikan sebagai berikut:

pasal 263 ayat (1) KUHPidana menyatakan:


Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan
surat, yang dapat menimbulkan sesuatau hak, sesuatu
perikatan atau pembebasan hutang,atau yang diperuntukan
sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk
memekai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut
seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika
pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena
pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam
tahun.

Pasal 264 ayat (1) dan (2) KUHPidana menyatkan:


1. pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara
paling lama delapan tahun , jika dilakukan terhadap;
a. akat-akta otentik
b. surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu
negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga
umum;
c. surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau
hutang dari suatu perkumpulan, yayasan,
perseroan atau maskapai;
d. talon, tanda bukti deviden atau bunga dari salah
satu surat yang diterangkan dalam 2 da n 3, atau
tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti
surat-surat itu;
e. surat kredit atau surat dagang yang diperuntukan
untuk diedarkan.
2. Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa
dengan sengaja memekai surat tersebut dalam ayat
pertama, yang isinya tidak sengaja atau yang
dipalsukan seolah -olah benar dan tidak palsu,jika
pemalsuan itu dapat menimbulkan kerugian.

selanjutnya adalah pasal 266 KUHPidana. Didalam pasal


266 ayat (1) dan (2) KUHPidana mengatur juga masalah tindak
pidana pemalsuan surat, yaitu menyuruh memasukan
keterangan palsu ke dalam akta otentik. Adapun bunyi dari
pasal 266 ayat (1) dan (2) tersebut adalah sebagai berikut:
1. Barangsiapa menyuruh memasukan keterangan palsu
ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal
yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu,
dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang
lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya
sesuai dengan kebenaran, dipidana, jika pemakaian
itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun;
2. Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa
dengan sengaja memekai akta tersebut seolah -olah
isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena
pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.

Berdasarkan atas penjelasan yang telah dikemukakan,


tentunya Notaris selaku pejabat umum juga dapat dikenakan
tuntutan pidana, baik berdasarkan pasal -pasal tentang
pemalsuan surat, maupun pasal -pasal lain yang berkaitan
dengan tugas jabatannya sebagai Notaris, bahkan dapat juga
dijatuhi hukuman pidana penjara, asalkan saja perbuatan itu
memenuhi unsur-unsur dari perbuatan pidana yang tertuang
dalam pasal-pasal yang dituduh kan. Biasanya pasal-pasal
yang sering digunakan untuk menuntut Notaris adalah pasal -
pasal yang mengatur mengenai pemalsuan surat atau pasal
lain yang memungkinkan untuk menuntut Notaris yang
bersangkutan, misalnya pasal 55 KUHPidana yang mengatur
tentang turut sertanya seseorang dalam melakukan tindak
pidana yang dilakukan dan pasal ini tentunya tidak dapat
berdisi sendiri, artinya pasal ini harus digandengkan dengan
pasal lain, misalnya pasal 55 KUHPidana junto pasal 415
KUHPidana. lebih jelasnya pasal 55 KUHPidana ini berbunyi
sebagai berikut:
1. Dipidana sebagai pelaku pidana:
a. Mereka yang melakukan, yang menyuruh
melakukan, dan yang turut serta melakukan
perbuatan;
b. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan
sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau
martabat, dengan kekerasan, ancaman, atau
penyesatan, atau dengan menganjurkan orang lain
supaya melakukan perbuatan.
2. Terhadap Penganjur, hanya perbuatan yang disengaja
anjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat -
akibatnya.
Pasal 322 KUHPidana menye btukan :
1. Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang
wajib disimpannya karena jabatan tau pencariannya,
baik yang sekarang, maupun yang dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan
atau pidana denda paling banyak sembilan ribu
rupiah;
2. Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu,
maka perbutan itu hanya dapat dituntut atas
pengaduan orang itu.

Berkaitan dengan hal ini G.H.S Lumban Tobing,


disebutkan bahwa apabila Notaris membuka rahasia yang
disimpannya berdasarkan suatu kete ntuan umum, dan
ketentuan umum tersebut merupakan ketentuan eksepsional
dari pasal 40 Peraturan Jabatan Notaris, maka pasal 322
KUHPidana tidak dapat diterapkan, karena kewajiban
merahasiakan tersebut telah digugurkan oleh ketentuan
eksepsional tadi dan te rhadap perbuatan yang dilakukan oleh
Notaris berdasarkan ketentuan eksepsional tadi dan terhadap
perbuatan yang dilakukan oleh Notaris berdasarkan ketentuan
eksepsional tersebut adalah perbuatan yang tidak ada unsur
perbuatan melawan hukum, jika terhadap a kta yang dibuat
dihadapannya, Notaris harus diminta untuk memberikan
kesaksian dalam persidangan, maka berdasarkan KUHAP,
Notaris dapat meminta untuk dibebaskan sebagai saksi,
dengan mengemukakan alasan -alasan yang dapat diterima
oleh Hakim. Hal ini tepatnya diatur oleh pasal 170 KUHAP,
yang berbunyi sebagai berikut:
1. Meraka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat
minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi
keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang
dipercayakan kepada meraka;
2. Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan
untuk permintaan tersebut.

ketentuan pasal 170 KUHAP di atas bukan merupakan


perkecualian dari ketentuan sebagaimna yang dimaksud oleh
pasal 40 Peraturan Jabatan Notaris, melain kan karena adanya
mekanisme dala persidangan itu sendiri. Di dalam menentukan
sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan oleh Notaris di
persidangan, Hakim akan mempertimbangkan dan tentunya
pertimbangan tersebut untuk kepentingan yang lebih tinggi.
Apabila Hakim tetap mewajibkan Notaris untuk memberikan
kesaksian atas akta yang dibuatnya, maka secara yurudis
Notaris yang bersangkutan tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban. sebenarnya Pasal 170 KUHAP ini
berhubungan dengan hak ingkar dari Notaris dan yang menjadi
dasar untuk hak ingkar tersebut terletak pada jabatan -jabatan
kepercayaan. Menurut Van Bemmelen ada tiga (3) dasar untuk
dapat menuntut penggunaan hak ingkar, yaitu sebagai berikut:
1. Hubungan keluarga yang sangat dekat;
2. Bahaya dikenakan hukuman pidana;
3. Kedudukan pekerjaan dan rahasia jabatan.

Mengenai hak ingkar ini telah diatur dalam pasal 1909


KUHPerdata, pasal 146 dan pasal 277 HIR, yang pada intinya
memberikan kepada seseorang yang karena
martabat,pekerjaan atau jabatannya untuk dap at
mengundurkan diri dari pemberian kesaksian dalam
persidangan pengadilan.
Beberapa catatan-catatan tentang Notaris yang
kemungkinan dikenakan dakwaan, antara lain sebagai berikut:
1. Notaris tersebut telah memenuhi rumusan delik dalam
undang-undang yang sifat melwan hukum formil, sebagai
dampak kriminalisasi dan penalisasi yang telah dilakukan
oleh penguasa, dalam rangak reaksi kemungkinan
terjadinya penyimpanan;
2. Dalam rangka menentukan ada tau tidak adanya tindak
pidana kepada yang bersangkutan, maka prose s peradilan
umum akan menguji seberapa jauh syarat -syarat penentuan
delik telah dipenuhi;
3. Sifat melawan hukum materiil tersebut dapat digali baik dari
ketentuan Kode Etik (intern tuchtrecht) maupun dari
ketentuan Peraturan Jabatan Notaris (extern tuchtrecht).
Kode Etik yang seharusnya ditegakan oleh peradilan
disiplin Profesi yang sampai saat ini belum kelihatan
aktivitasnya dan Peraturan Jabatan Notaris ditegakan oleh
Peradilan Administrasi. Keputusan yang telah diambil oleh
salah satu dari peradi lan tersebut tidak menghalangi
keputusan peradilan umum, bahkan sifatnya saling
melangkapi atau komplementer.
4. Kemudian baru dipersoalkan, adakah alasan pembenar baik
di dalam undang-undang maupun di luar undang -undang.

jika tahapan ini sudah dapat dipenu hi, maka keputusan


hakim untuk memberikanjaminan kepastian dan keadilan dapat
diwujudkan, terutama kepada profesi Notaris.
D. Tanggung jawab Notaris Berdasarkan Peraturan Jabatan
Notaris Terhadap Kebenaran Materiil Dalam Akta
yangDIbuatnya

Notaris adalahh pejabat umum yang satu -satunya


berwenang membuat akta otentik, kecuali apabila terdapat
undang-undang lain ynag juga menunjuk pejabat lain atau
terhadap perbuatan hukum tertentu dikecualikan atau
dikhususkan kepada pejabat lain selain Notaris, maka haru s
dapat diterima bahwa selama tidak adanya penunjukan itu,
hanya Notaris yang berwenang untuk membuat akta otentik.
pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris telah secara tegas
menyebutkan bahwa:

“Notaris adalah pejabat umum yang satu -sataunya


berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan
oleh suatu peraturan umum atau oleh yang
berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam
suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya,
menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan
kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu
oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat atau orang lain”.

keberadaan dan hadirnya Notaris senantiasa diperlukan


oleh masyarakat, terlebih masyarakat yang sedang
membangun bahkan setiap individu memerlukan jasa Notaris.
Notaris diangkat oleh penguasa, bukan hanya untuk
kepentingan Notaris itu sendiri, melainkan juga untuk
kepentingan masyarakat yang dilayaninya, oleh karena itu
undang-undang memebrikan suatu kepercayaan yang besar
kepada Notaris.
Notaris tidak mungkin membuat akta tanpa keterlibatan
para pihak dan yang berkepentingan dalam akta tersebut
adalah mereka yang meminta untuk dibuatkan akta. Notaris
tidak pernah membuat ak ta tanpa adanya para pihak yang
menghadap, apalagi dalam membuat isi akta tidak seperti
yang diinginkan oleh para pihak, maka jangan diartikan bahwa
akta itu adalah akatanya Notaris, akan tetapi akta itu masih
tetap sebagai akta pihak -pihak yang berkepenti ngan.
Telah dikemukakan oleh Ketua Ikatan Notaris Indonesia
yang pada waktu itu dijabat oleh Notaris Wawan Setiawan,
dikatakan bahwa:
“dalam hal terjadi sengketa dari perjanjian yang termuat
dalam akta notaris yang dibuat bagi mereka yang
mengadakan perjanjian itu sendiri, sedangkan Notaris
tidak terikat untuk memenuhi janji atau kewajiban
apapun seperti yang tertuang dalam akta notaris yang
dibuat di hadapannya dan Notaris sama sekali di luar
mereka yang menjadi pihak -pihak”.

Pada dasarnya apabila terjadi sengketa di antara para


pihak yang berkepentingan langsung pada akta notaris,
termasuk juga para ahli waris mereka, maka persengketaan
itu bukan antara para pihak dengan notaris yang membuat
akta, akan tetapi sengketa itu hanya di antara para pihak itu
sendiri. Berdasarkan ketentuan Kode Etik Notaris Indonesia
dan kepribadian Notaris, pasal 2 ayat (1) menerangkan
bahwa:
Notaris dalam melakukan tugas jabatannya menyadari
kewajibannya, bekerja sendiri, jujur, tidak berpihak dan
penuh rasa tanggung jawab.

Berdasarkan ketentuan di atas kiranya dapat dijadikan


sebagai gembaran awal bahwa Notaris dalam melaksanakan
tugasnya dilandasi dengan kejujuran dan penuh rasa tanggung
jawab. Ketentuan tersebut tentunya demi menjamin kepastian
hukum dan perlindungan hukum baik terhadap Client yang
membutuhkan jasanya maupun terhadap diri notaris itu
sendiri.
pasal 1868 KUHPerdata berbunyi sebagai berikut:
“suatu akta otentik adalah suatu akta yang di dalam
bentuk yang ditentukan oleh undang -undang, dibuat oleh
atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa
untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya”.
Menurut definisi akta otentik sebagaimana yang
dimaksud oleh pasal di atas, dapat dikemukakan beberapa
syarat untuk dapat dikatakan sebagai akta otentik yaitu
sebagai berikut:
1. syarat pertama yang harus terpenuhi adalah bahwa
akta otentik harus dibuat dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, khususnya Peraturan
Jabatan Notaris.
2. syarat kedua akta otentik adalah keharusan
pembuatannya di hadapan atau ole hpejabat u mum.
3. syarat ketiga adalah bahwa pejabatnya harus
berwenang untuk maksud itu di tempat dimana akta
tersebut dibuat. Berwenang dalam hal ini khususnya
menyangkut:
a. jabatannya dan jenis akta yag dibuatnya;
b. Hari dan Tanggal pembuatan akta;
c. Tempat dimana akta d ibuat.

Syarat dari Peraturan Jabatan Notaris untuk


terbentuknya suatu akta otentik tercantum di dalamnya.
Adapun pasa-pasal tersebut adalah pasal 22, pasal 24, pasal
25 dan pasal 28 Peraturan Jabatan Notaris.
Sejalan dengan dasar pemikiran di ata s,
berdasarkan ketentuan -ketentuan yang tertuang dalam
peraturan jabatan notaris dapat diketahui bahwa para notaris
bertanggung jawab terhadap para pihak yang berkepentingan
pada akta yang dibuatnya, yaitu dalam hal -hal sebagai
berikut:
1. Di dalam hal-hal yang secara tegas ditentukan oleh
peraturan jabatan notaris;
2. jika suatu akta karena tidak memenuhi syarat -syarat
mengenai bentuk (gebrek in de vorm), dibatalkan di
muka pengadilan atau dianggap hanya dapat berlaku
sebagai akta yang dibuat di bawah tanga n;
3. Di dalam segala hal, di mana menurut ketentuan -
ketentuan dalam pasal 1365, pasal 1366 , pasal 1367,
KUHPerdata terdapat kewajiban untuk membayar
ganti kerugian.

G.H.S. lumban Tobing dikemukakan sebagai berikut:


“bahwa di dlaam peraturan jabatan notaris terdapat
berbagai pasal, di antaranya pasal 26, pasal 27, pasal
32, pasal 33 dan pasal 34 yang beriisikan peraturan -
peraturan yang mengatur bentuk dari akta notaris.
semua peraturan-peraturan tersebut dimaksudk an tidak
lain untuk meningkatkan kejelasan dari akta itu dan
untuk mencegah pemalsuannya, sehingga dengan itu
terjamin kepastian hukum”

Berdasarkan pandangan di atas, dapat diketahui bahwa


suatu akta yang dibuat di hadapan notaris berdasarkan
kehendak para pihak dan dibuat sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, khususnya peraturan jabatan notaris, maka kata
itu tetap otentik dan mempunyai kekuatan bukti sempurna,
Notaris tidak perlu menjadi saksi tentang aktanya , karena apa
yang tertuang dalam akta itu merupakan pembuktian yang sah
terhadap para pihak yang membuat akta, kecuali terdapat
pembuktian sebaliknya.
dengan dibuatnya akta otentik oleh pihak -pihak yang
berkepentingan, maka mereka memperoleh bukti tertulis dan
kepastian hukum yang serupa:
1. pihak yang berkepentingan oleh undang -undang
dinyatakan mempunyai alat bukti yang lengkap atau
sempurna dan akta itu telah membuktikan dirinya
sendiri.
2. akta-akta notaris tertentu dapat dikeluarkan turunan
yang istimewa yaitu dalam bentuk grosse akta yang
mempunyai kekuatan eksekutorial, sebagaimana
halnya purtusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dan pasti untuk dijalankan.

dengan demikian, untuk permasalahan di atas dapat


disimpulkan bahwa kesalahan yang nyata -nyata dilakukan
oleh notaris dalam pembuatan akta para pihak, sepanjang
melanggar ketentuan -ketentuan yang tertuang dalam
peraturan jabatan notaris maka ancaman hukuman ynag dapat
dikenakan terhadapnya adalah ancaman hukuman
sebagaimana telah ditentukan oleh peraturan jabatan notaris.
perlu dikemukakan secara sederhana mengenai suatu
akta yang dibuat di hadapan notaris. suatu akta otentik yang
dibuat di hadapan notaris merupakan suatu akta yang dibuat
berdasarkan kehendak para pihak yang datang menghadap
dan dalam hal ini notaris hanya bersifat pasif, artinya notaris
hanya mencatat segala sesuatu dalam akta berdasarkan
keinginan dari para pihak. Lain halnya apabila akta itu
merupakan akta pejabat, maka dalam pembuatan akta ini yang
bertindak aktif adalah notaris, misalnya dalam hal notaris
menghadiri dan membuat berita acara rapat umum pemegang
saham dalam suatu perseroan. kembali pada partij akten,
sebelum notaris mencatat keinginan dari para pihak yang
menghadap, maka notaris harus kenal dengan penghadap dan
untuk kenal tersebut notaris dapat meminta kepada para
penghadap, agar menunjukan tanda bukti diri. Di samping itu
dalam partij akten sebenarnya dapat dikatakan, bahwa selain
mengemukakan apa yang menjadi keinginan para pihak untuk
dituangkan dalam akta.
Berdasarkan uraian di atas, maka tuduhan dalam perkara
di atas tidak tepat, karena pada dasarnya yang memalsukan
itu adalah para pihak yang telah memberikan identitas kepada
notaris tidak seperti yang sebenarnya . hal ini oleh A.Kohar
dijelaskan:
“Tuntutan satu (1) tahun pe njara oleh jaksa kepada
notaris merupakan suatu hal yang keliru, karena seluruh
pelanggaran dari notaris beserta sanskinya telah
ditentukan dalam peraturan jabatan notaris. oleh karena
itu tidak dapat diperlukan peraturan -peraturan lainnya.
umpamanya notaris menulis kenal, tetapi kemudian
ternyata tidakk kenal. maka hal ini merupakan suatu
pelanggaran, dan tidak dapat dikenakan pasal
pemalsuan seperti yang diatur di dalam KUHPidana.
hukumannya dena Rp 25,00. bukan dikenakan pasal 263
KUHPidana karena pemalsuan akta, yang ancaman
hukumannya paling lama enam (6) tahun penjara”

Salah satu pasal yang menjadi syarat terbentuknya akta


notaris untuk dapat dikatakan sebagai akta otentik, yaitu
pasal 24 Peraturan Jabatan Notaris. adapun bunyi dari pasal
ini adalah sebagai berikut :
“Para penghadap harus dikenal oleh notaris atau
diperkenalkan kepadanya oleh dua orang saksi yang
memenuhi syarat untuk memberikan kesaksian tentang
kebenaran di muka pengadilan, dengan pengertian
bahwa kekeluargaan sedarah atau semenda tidak
menjadi alasan untuk pengecualian”.

jika seorang notaris mengabaikan keluhuran dari


martabat atau tugas jabatannya atau melakukan pelanggaran
terhadap peraturan umum atau melakukan kesalahan -
kesalahan lain, baik di dalam maupun d i luar menjalankan
jabatannya sebagai notaris, hal itu oleh penuntut umum pada
pengadilan Negeri, yang di dalam daerah hukumnya terletak
tempat kedudukannya, dilaporkan kepada pengadilan negeri
itu.
Di luar hal-hal di mana untuk itu dalam peraturan ini
ditentukan hukuman-hukuman tertentu, pengadilan negeri
yang berapat di kamar sidang, berwenang untuk mengenakan
hukuman sebagai berikut:
1. Penegoran;
2. Pemecatan sementara selama tiga sampai enam bulan.

Untuk memberikan kejelasan menganai alasan -alasan


penolakan oleh notaris dalam pembuatan partij akten
sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka di bawah ini
akan dikemukakan beberapa alasan yang dapat dipakai oleh
notaris, yaitu sebagai berikut:
1. Dalam hal notaris berhalangan karena sakit atau karena
pekerjaan jabatan lain;
2. Apabila para pengahadap tidak dikenal oleh notaris atau
identitasnya tidak dapat diterangkan kepada notaris;
3. Apabila para pihak tidak dapat menerangkan kemauan
mereka dengan jelas kepada Notaris;
4. Apabila para penghadap menghendaki sesuatu yang
bertentangan dengan undang -undang;
5. Apabila karenanya Notaris akan melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan pasal 20 dan pasal 21 Peraturan
Jabatan Notaris.

Menurut pasal 25 Peraturan Jab atan Notaris, Notaris


harus memuat dalam akta, nama kecil dan nama, pekerjaan
atau kedudukan dan tempat tinggal dari masing -masing
penghadap. G.H.S Lumban tobing, menegaskan bahwa lebih
dari itu tidak diharuskan oleh undang -undang kepada notaris.
Artinya bahwa dalam hal demikian, apabila notaris tidak
bertindak sebagaimana telah diatur, maka Notaris telah
melanggar pasal 25 Peraturan Jabatan Notaris dan legal
effects dari perbuatan tersebut, Notaris dapat dikenakan
sanksi berupa denda untuk tiap-tiap pelanggaran dan selain
itu, apabila tidak disebutkan di dalamnya tempat, tahun bulan
atau harinya, maka akta tersebut hanya mempunyai kekuatan
seperti akta di bawah tangan, apabila ditandatangani oleh
para penghadap.
G.S.H Lumban Tobing, juga me ngemukakan beberapa
contoh mengenai hal-hal yang dapat terjadi dalam praktik
Notaris, yaitu sebagai berikut:

1. Para penghadap dikenal oleh notaris, hal mana oleh notaris


dinyatakan dalam akta yang dibuatnya itu. Di dalam hal
sedemikian tidak terdapat sesuat u pelanggaran. orang -
orang yang disebut dalam akta itu dianggap benar -benar
ada hadir di hadapan Notaris, sampai dapat dibuktikan
sebaliknya.
2. Di dalam akta dinyatakan, bahwa para penghadap dikenal
oleh notaris, akan tetapi ternyata bahwa notaris dalam hal
ini melakukan kekhilafan mengenai identitas dari para
penghadap, jadi artinya Notaris tidak mengenal para
penghadap.
3. Notaris tidak mengenal para penghadap, akan tetapi
diperkenalkan kepadanya sesuai dengan cara yang
ditentukan dalam undang -undang dan hal mana juga
dinyatakan dalam akta itu, dalam hal ini tidak terdapat
suatu pelanggaran.
4. Notaris tidak mengenal para penghadap dan mereka ini
diperkenalkan kepada notaris oleh dua (2) orang saksi
pengenal, yang tidak memenuhi persyaratan yang
ditentukan oleh undnag-undang untuk menjadi saksi,
akibatnya adalah bahwa akata itu tidak mempunyai
kekuatan otentik.
5. Di dalam akta tidak ada disebutkan tentang pengenalan
maupun mengenai adanya dilakukan perbuatan
memperkenalkan. Di dalam hal sedemikian harus terlebih
dahulu diterima, bahwa Notaris mengenal para penghadap,
oleh karean notaris menerengkan dalam akta : kepada saya
datang menghadap Tuan A. Di dalam pada itu Notaris
dikenakan denda uang berdasarkan ketentuan pasal 25
Peraturan Jabatan Notaris, oleh karena Notar is tidak
menyebtukan dalam akta mengenai pengenalan.

E. Tanggung Jawab Notaris Dalam Menjalankan Tugas


Jabatannya Berdasarkan Kode Etik Notaris

Untuk mencapai tujuan pembangunan di bidang hukum,


diperlukan adanya penegakan disiplin dan penegakan hukum,
salah satu penegakan itu dapat dilakukan di lingkungan
profesi hukum. Adapun profesi hukum yang dimaksud dalam
sub bahasan penulisan ini adalah profesi hukum dari Notaris
itu. Tentunya persinggungan dari kepentingan itu akan
menjadi permasalhan hukum , jika perbuatan yang dilakukan
oleh orang tersebut melanggar kepentingan orang lain. Atas
dasar pemikiran di atas, apa bila dikaitkan dengan profesi
Notaris, maka atas perbuatan itu dapat dimintakan
pertanggungjawaban dan pertanggungjawaban tersebut tidak
hanya secara hukum, tetapi juga berdasarkan kode etik
profesinya. Inti dan arti penegakan hukum pada dasarnya
menurut Soerjono Soekanto, adalah terletak pad akegiatan
menyerasikan hubungan nilai -nilai yang terjabarkan di dalam
kaidah-kaidah yang mantap dan meng enjawantah dalam sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk
menciptakan, memelihara dan memepertahankan kedamaian
pergaulan hidup.

Menurut R. Sudikno Mertokusumo yang dikutip dari


Encyclopedia Americana, disebutkan sebagai The Principle of
Morality atau The Field of Study or Morals or Right Conduct.
kata etika memiliki banyak pengertian, bahkan dari segi
etimologi,etika berasal dari bahasa Latin, yang disebut
dengan Ethicus dan dalam bahasa Yunani disebut dengan
Ethios yang secara umum diartikan sebagai kebiasaan.
pengertian ini lambat laun berubah d an untuk selanjutnya
yang disebut dengan etika adalah suatu ilmu yang
membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia
tentang mana yang dapat dinilai baik dan yang dapat dinilai
tidak baik.
Adapun kata profesi dalam kamus besar Bahasa
Indonesia, diartikan sebagai bidang pekerjaan yang dilandasi
pendidikan keahlian (keterampilan, kejujuran, dan
sebagainya) tertentu. Lebih lanjut profesi ini dapat dibagi
menjadi dua (2) yaitu, profesi pada umumnya dan profesi
luhur. Pengertian Profesi pada umumnya a dalah pekerjaan
yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan
nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian yang
khusus, sedangkan pengertian profesi yang luhur adalah
profesi yang pada hakikatnya merupakan suatu pelayanan
kepada manusia atau masyarakat. Mengenai etika Profesi itu
sendiri oleh Liliana Tedjosaputro, dijelaskan sebagai berikut:

“Etika Profesi adalah keseluruhan tuntutann moral yang


terkena pada pelaksanaan suatu profesi, sehingga etika
profesi memperhatikan masalah ideal d an praktik-praktik
yang berkembang karena adanya tanggung jawab dan
hak-hak istimewa yang melekat pada profesi tersebut,
yang merupakan ekspresi dari usaha untuk menjelaskan
keadaan yang belum jelas dan masih samar -samar dan
merupakan penerapan nilai -nilai moral yang umum dalam
bidang khusus yang lebih dikonkritkan lagi dalam Kode
Etik”.

Apabila diperhatikan tujuan di adakannya Kode Etik oleh


Para pengabdi profesi atau organisasi profesi, maka menurut
R.Subekti, hal ini dijelaskan, bahwa tujuna men gadakan kode
etik dalam kalangan profesi adalah menjungjung tinggi
martabat profesi dan menjaga atau memelihara kesejahteraan
para anggotanya dengan mengadakan larang -larangan untuk
melakukan perbuatan -perbuatan yang akan merugikan
kesejahteraan materiil para anggotanya.
Untuk mencapai tujuan sebagaimana yang dimaksud
R.Subekti di atas, maka seseorang profesi harus memiliki
unsur-unsur sebagai berikut:
1. Di dalam menjalankan tugas profesi, Notaris harus
mempunyai integritas moral yang mantap dan
pertimbangan moral harus melandasi pelaksanaan
tugas profesinya, walaupun akan memperoleh imbalan
jaminan tinggi, namun sesuatu yang bertentangan
dengan yang baik harus dihindarkan. Pertimbangan
moral dalam melaksanakan tugas profesi harus
memperhatikan nilai budaya, sodial dan agama yang
berlaku dalam msyarakat.
2. Notaris harus jujur tidak saja pada Clientnya, tetapi
juga pada dirinya sendiri. ia harus mengetahui akan
batas-batas kemampunanya, tidak memberi janji -janji
sekedar untuk menyenagkan clientnya atau agar si
Client tetap mau memakai jasanya.
3. Notaris harus menyadari akan batas -batas
kewenangnya. ia harus mentaati ketentuan -ketentuan
hukum yang berlaku tetntang seberapa jauh ia dapat
bertindak dan apa yang boleh serta apa yang tidak
boleh dilakukan.

a. Kode Etik Notaris


Ikatan Notaris Indonesia merupakan salah satu
organisasi profesi di indonesia bagi kelompok profesi Notaris,
mempunyai kode etik yang ditetapkan dan disahkan oleh
Kongres Ikatan Notaris Indonesia yang diadakan di surabaya
pada tahun 1972, kemudian diubah dan disusun kembali dalam
Kongres Ke-XIII di bandung pada akhir bulan oktober 1987
dan terakhir Kongres Ke -XIV di denpasar-bali pada akhir
bulan Oktober 1990.
Kode Etik Notaris telah diatur dan ditetapkan secara
hukum melalui Peraturan Jabata n Notaris.Sebagai profesi
hukum, Notaris harus profesional dalam melayani masyarakat
yang membutuhkan jasanya, Notaris sebagai pejabat umum
yang diberikan kepercayaan, baik oleh negara melalui
peraturan perundang -undangan maupun oleh masyarakat yang
membutuhkan jasanya, harus berpegang teguh tidak hanya
pada undang-undang, tetapi juga pad Kode Etik Profesinya,
karena tanpa adanya Kode Etik, harkat dan martabat dari
profesinya akan hilang.

Pada pasal 1 Kode Etik Notaris Indonesia dan


keprobadian Notaris menegaskan:

Notaris sebagai pejabat umum dalam melaksanakan


tugasnya dijiwai Pancasila, sadar dan taat kepada
hukum Peraturan Jabatan Notaris, sumpah jabatan, kode
etik notaris dan berbahasa indonesia yang baik. Notaris
dalam melakukan profesinya harus memiliki perilaku
profesional dan ikut serta dalam pembangunan nasional,
khususnya pembangunan di bidang hukum. Notaris
berkepribadian baik dan menjungjung tinggi martabat
dan kehormatan, baik di dalam maupun di luar tugas
jabatannya.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa


Notaris di dalam menjalankan tugas jabatannya, selain harus
tunduk kepada Peraturan Jabatan Notaris dan Kode Etik
profesinya, ia juga harus berperan dalam pembangunan di
bidang hukum. Bagir Manan, selaku direktur Perunda ng-
undangan Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang -
undangan Departemen Kehakiman Republik Indonesia, yang
pad intinya dikatakan bahwa notaris tidak hanya sekedar
bertugas sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1
Peraturan Jabatan Notaris, tetapi juga mem berikan
penyuluhan hukum kepada masyarakat yang membutuhkan
jasanya. Dengan adanya penyuluhan hukum ini, dapat
diartikan bahwa notaris sebenarnya telah menjalankan
perannya sebagaimana yang dimaksudkan di atas.

Adanya hubungan antara Kode Etik dengan Peraturan


Jabatan Notaris semakin memberi arti terhadap profesi
notaris itu sendiri, karena kedua ketentuan itu menghendaki
supaya Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai
pejabat umum, selain harus taat kepada Peraturan Jabatan
Notaris, harus juga taat kepada Kode Etik profesi serta harus
bertanggungjawab baik terhadap masyarakat yang
dilayaninya, ikatan profesi notaris itu sendiri maupun
terhadap negara. Di samping itu dengan adanya hubungan ini,
maka terhadap Notaris yang telah mengaba ikan keluhuran dari
martabat jabatannya selain dapat dikenakan sanski moril,
ditegur dan dipecat dari keanggotaan profesinya, juga dapat
dipecat dari jabatannya sebagai Notaris. Oleh karena itu,
dalam menjalankan tugas jabatannya:
1. Notaris dituntut melakuka n pembuatan akta dengan
baik dan benar. artinya akta yang dibuat itu memenuhi
kehendak hukum dan permintaan pihak -pihak yang
berkepentingan karena jabatannya.
2. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu.
artinya akta yang dibuatnya itu sesuai dengan at uran
hukum dan kehendak pihak -pihak yang
berkepentingan dalam arti sebenarnya, bukan
mengada-ngada.
3. Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui
akta notaris itu mempunyai kekuatan bukti sempurna.

Ada beberapa yang digolongkan sebagai perbuatan


mengabaikan tugas jabatannya, tetapi tidak diancam dengan
hukuman sebagaimana yang diatur oleh Peraturan Jabatan
Notaris adalah sebagai berikut :
1. Menolak memberikan bantuan tanpa alasan yang
berdasar, sebagaimana diatur dalam pasal 7
Peraturan Jabatan Notaris;
2. Melakukan tugas jabatan Notaris di luar daerah
jabatannya, sebagai mana diatur dalam pasal 9
Peraturan Jabatan Notaris;
3. Pelanggaran terhadap atau tidak memenuhi
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 20, 21, 35, 37, 39
dan Pasal 61 Peraturan Jabatan Notaris.

Dengan demikian, demi tetap terjaganya kepastian dan


perlindungan hukumbaik terhadap masyarakat yang dilayani
maupun terhadap Notaris perlu terus ditingkatkan, karena
perkembangan masyarakat dan kegiatan dunia usaha semakun
pesat. Permintaan pelayanan jasa Notaris semakin bervariasi
sehingga Notaris harus mempunyai pengetahuan hukum yang
luas, terlebih lagi dalam menghadapi perkembangan,
perubahan dan gejolak internasional

b. Pelanggaran Kode Etik Notaris


Notaris dalam menjalankan tugas jabatanny a tidak
hanyaharus taat dan patuh pada ketentuan peraturan
perundang-undangan, tetapi juga pada ketentuan yang
telah disepekati bersama, yaitu ketentuan yang tertuang
dalam Kode Etik profesinya dan ketentuan ini hanya berlaku
bagi kalangan anggota profesi Notaris yang bersangkutan.
Di dalam Peraturan Jabatan Notaris menganai hal ini telah
diatur oleh pasal 50 sebagaimana telah disebutkan di atas
adapun ketentuan yang tertuang dalam Kode Etik Notaris
Indonesai dan kepribadian Notaris, tidak secara tegas
mengatur mengenai sanksi -sanksi yang harus dilakukan
terhadap pelanggaran yang dilakukan itu. Namun. Di dalam
Keputusan Kongres Ikatan Notaris Indonesai Ke-IX di
surabaya pada tahun 1974 dan keputusan Kongres ikatan
Notaris Indonesia ke-XIV di Bandung pada tahun 1987,
kemudian Komisi D Bidang Kode Etik Ikatan Notaris
Indonesia Periode 1990 -1993, telah membuat suatu
ketetapan mengenai larangan -larangan dan ketentuan -
ketentuan tentang perilaku Notaris dalam menjalankan
tugas jabatannta. Berdasarkan Pasal 5 dari R umusan
Komisi D ini dinyatakan bahwa:

Tanpa mengurangi ketentuan mengenai tata cara


maupun pengenaan tingkatan sanksi-sanksi berupa
peringatan dan teguran, maka pelanggaran -pelanggaran
yang oleh pengurus pusat secaramutlak harus dikenakan
sansi pemberhentian sementara sebagai anggota ikatan
notaris indonesia, disertai usul pengurus pusat kepada
kongres untuk memecat anggota yang bersangkutan
sebagai anggota ikatan notaris indonesia, ialah
pelanggaran-pelanggaran yang disebut dalam:
1. Pasal 1 ayat (6), ayat (7), ayat (10) dan ayat (12);
2. Peraturan Jabatan Notaris yang berakibat, bahwa
anggota yang bersangkutan dinyatakan bersalah
berdasarkan keputusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum pasti.

Menurut Notaris Wawan Setiawan, disebutkan ada tiga


(3) kategori pelanggaran dengan konsekuensi yang harus
dipikul sebagai akibat dari perbuatan yang telah
dilakukannya yaitu sebagai berikut:
1. Notaris dalam menjalankan jabatannya tidak lagi
mengindahkan etika profesi. Apabila didasarkan
kepada kepatuhan, segi moral dan keagamaan serta
menurut kata hati nurani, seharusnya tidak dilakukan
oleh notaris yang menyandang dan mengemban
jabatan terhormat, apalagi sebagai pemegang
amanat, baik amanat menurut undang -undang, ikrar
dan sumpah janjinya maupu n secara langsung amanat
yang didapat dari masyarakat yang dilayaninya.
2. Pelanggaran terhadap Kode Etik, artinya pelanggaran
yang dilakukan oleh notaris terhadap etika profesi
yang telah dibukukan atau aturan -aturan yang telah
disusun secara tertulis dan me ngikat serta wajib
ditaati oleh segenap anggota kelompok profesi untuk
ditaati dan dapat dikenakan sanksi bagi yang
melanggar ketentuan itu.
Organisasi Ikatan Notaris Indonesia telah menyusun
aturan-aturan tertulis dari hasil kesepakatan dan ikrar
bersama sebagai aturan main, yaitu berupa perangkat
peraturan :
a. Anggaran Dasar;
b. Anggaran Rumah Tangga;
c. Kode Etik Notaris.
Adapun upaya dan tindakan yang dapat dilakukan oleh
organisasi profesi ikatan notaris indonesia, kepada
mereka yang melakukan tindak pelangga ran kode etik
dapat ditempuh melalui jalur:
a. Pembinaan termasuk penyelenggaraan Pendidikan;
b. Diadakan ujian kode etik;
c. Pemanggilan yang melakukan pelanggaran;
d. Dijadikan bahan pembahasan di dalam musyawarah
daerah secara terbuka;
e. Dilakukan peneguran secara lisan kepada yang
bersalah;
f. Dilakukan peneguran atau peringatan secara
tertulis;
g. Pemecatan sementara dari keanggotaan organisasi
profesi;
h. Pemberhentian dari keanggotaan yang dapat
dilanjutkan dengan penyampaian laporan kepada
instansi yang berwenang/pengawa s;
i. Dicabut rekomendasi dari enggota profesi dengan
akibat dapat diberhentikan dari jabatannya dan
tidak menutup kemungkinan lebih berat daripada
itu.
3. Pelanggaran terhadap Kode Etik yang terdapat dalam
peraturan perundang -undangan.
Notaris yang melakukan pelanggaran terhadap Kode
Etik sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan, maka penyelesaiannya
berdasarkan ketentuan itu sendiri, sehingga kepastian
hukum terhadap profesi Notaris lebih terjamin.
Adapun peraturan perundang -undangan lain yang
mengatur tentang tindakan yang dapat dilakukan oleh
yang berwenang terhadap notaris yang melakukan
pelanggaran, adalah sebagai berikut:

a. Pasal 36 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985


Tentang Susunan dan kekuasaan mahkamah
Agung, ditegaskan bahwa:
1. Pada umumnya pembinaan dan pengawasan
terhadap Notaris adalah tanggung jawab
pemerintah;
2. khusus dalam menyelenggarakan tugas -
tugasnya yang menyangkut peradilan, Notaris
di bawah pengawasan Mahkamah Agung;
3. Dalam hal diperlukan penindakan t erhadap
diri seorang Notaris yang berupa pemecatan
dan pemberhentian, termasuk pemberhentian
sementara, organisasi masing -masing
terlebih dahulu didengarkan pendapatnya.
b. Pasal 54 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986
Tentang peradilan umum, ditegaskan bahwa:
1. Ketua pengadilan Negeri melakukan
pengawasan atas pekerjaan notaris, dan
melaporkan hasil pengawasannya kepada Ketua
pengadilan tinggi, ketua Mahkamah Agung dan
Menteri Kehakiman;
2. Bahwa Menteri Kehakiman dapat melakukan
penindakan terhadap Notaris yang melan ggar
peratruan perundang -undangan yang mengatur
jabatan yang bersangkutan, setelah mendengar
usul atau pendapat Ketua Mahkamah Agung dan
organisasi profesi yang bersangkutan.
Di dalam Kode Etik profesi Notaris terhadap Client yang
dilayaninya, yaitu yang terdapat dalam pasal 3 Kode Etik
Notaris indonesia dan kepribadian Notaris yang berbunyi
sebagai berikut:
Notaris dalam melakukan tugas jabatannya memberikan
pelayanan hukum kepada masyarakat yang memerlukan
jasanya dengan sebaik-baiknya.
Notaris dalam melakukan tugas jabatnnya memberikan
penyuluahn hukum untuk mencapai kesadaran hukum yang
tinggi dalam masyarakat agar masyarakat menyadari dan
menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan
anggota masyarakat dan Notaris juga harus memberikan
jasanya kepada anggota masyarakat ynag kurang mampu
dengan Cuma-Cuma.
Pelanggaran-pelanggaran yang dapat dilakukan oleh
anggota, selain ynag disebut dalam pasal 1, dan yang pada
umumnya dapat dikenakan sanksi, ialah pelanggaran yang
secara umum disebut pelan ggaran terhadap Kode Etik Notaris,
yang antara lain meliputi pelanggaran -pelanggaran terhadap:
1. Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Jabatan Notaris;
2. Apa yang oleh setiap anggota diucapkan pada waktu
mengangkat sumpah jabatan;
3. Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga harus/wajib dilakukan oleh
anggota, antara lain membayar iuran dan lain sebagainya,
dan atau hal0hal yang menurut anggaran dasar dan atau
anggaran rumah tangga ikatan notaris indonesia tidak
boleh dilakukan;
4. Kewajiban membayar uang duka dalam meninggalnya
Notaris/mantan Notaris dan kewajiban mentaati ketentuan
tentang tarif minimum.

Pada dasarnya Kode Etik yang terdapat dalam setiap


profesi mencerminakn etika profesi dari profesi yang
bersangkutan. Kode Etik tidak hanya sekedar merupakan
rumusan norma moral manusia yang mengemban profesi itu,
tetapi juga menjadi tolok ukur perbuatan anggota profesi.
Kode Etik merupakan upaya pencegahan, agar enggota dari
profesi yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan yang
tidak etis. Oleh sebab itu perlu ditekankan sekali lagi, bahwa
Notaris sebagai pejabat umum harus memiliki integritas dan
moralitas yang tinggi dalam menjalankan tugas jabatannya,
Notaris hendaknya mencapai hidup yang bermakna, karena
hal tersebut sudah merupakan kodrat manusia. Notaris harus
memiliki sifat idealisme yang tinggi, karena sifat ini tidak
hanya memberikan cerminan terhadap pribadi notaris yang
bersangkutan, tetapi juga terhadap profesi yang sedang
dijalankannya. Hal ini oleh Ignatius Ridwan Widyadh arma,
diartikan bahwa yang diharapkan oleh manusia dalam arti
bermakna adalah diartikan dan dilahirkan serta digerakan oleh
nilai, karena nilai inilah kemudian merupakan batu landasan
dalam menentukan pilihan manusia. lebih lanjut Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, mengemukakan bahwa
sudah menjadi kodrat manusia untuk mencapai hidup yang
bermakna. Kadar makna kehidupan itu sendiri ditentukan oleh
jalinan nilai yang telah mengendap dalam diri manusia yang
bersangkutan. Dengan demikian, jalinan nilai itu merupakan
pula kriteria bagi manusia untuk memilih tujuan -tujuan di
dalam kehidupannya.
Setiap profesi harus menjalankan profesinya dengan
satu ketulusan hati dan beritikad baik, karena kedudukan
seorang profesional dalam suatu profesi pada dasarnya
merupakan suatu kedudukan yang terhormat. Hak demikian
seharusnya juga dapat diaktualisasikan oleh profesi Notaris
sebagai pejabat umum dalam menjalankan tugas jabatannya.
Etika setiap profesi merupakan pilar dan ukuran terhadap
setiap profesional termasuk juga profesi Notaris, dengan
harapan supaya Notaris selalu bersikap dan bekerja secara
etis, tidak hanya etis menurut Peraturan Jabatan Notaris,
tetapi juga dengan mematuhi kaidah -kaidah yang telah
tercantum dalam sumpah jabatan dan Kode Etik pro fesinya.
B AB I I I

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam
penulisan ini, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada dasarnya Notaris tidak bertanggung jawab secara
perdata terhadap kebenaran materiil dalam akta yang
dibuat di hadapannya. Namun demikian, apabila melakukan
pelanggaran, maka Notaris hanya dapat dituntut
berdasarkan wanprestasi tidak dapat dilakukan. A dapun
dasar dari tuntutan perbuatan melawan hukum adalah Pasal
1365 KUHPerdata.
2. Notaris juga tidak bertanggung jawab secara pidana
terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuat di
hadapannya. Akan tetapi, apabila terdapat penipuan yang
dilakukan oleh Notaris dalam pembuatan partij akten, maka
Notaris dapat dituntut berdasarkan pasal 263 KUHPidana.
Adapun pasal lain yang dapat dikenakan terhadap Notaris
adalah pasal 55 KUHPidana, sedangkan tuntutan atas
dasar Pasal 415 KUHPidana tidak dapat dikenakan
terhadap Notaris.
3. Berdasarkan Peraturan Jabatan Notaris, Notaris tidak
bertanggung jawab terhadap kebenaran materiil dalam akta
yang dibuat di hadapannya. Namun apabila terjadi
pelanggaran, maka akta ituhanya mempunyai kekuatan
seperti akta yang dibuat di ba wah tangan jika
ditandatangani oleh para pihak yang menghadap, tanpa
mengurangi kewajiban terhadap Notaris untuk membayar
biaya, ganti kerugian dan bunga serata denda kepada
pihak-pihak yang berkepentingan. jika dari perbuatan itu
telah mengabaikan keluhuran dari martabat atau tugas
jabatannya, maka berdasarkan Pasal 50 Peraturan Jabatan
Notaris, Notaris dapak dikenakan sanksi berupa peneguran
atau pemecatan sementara selama tiga (3) sampai enam
(6) bulan dan apabila salah satu hukuman itu tidak memadai
berhubung beratnya sifat perbuatan yang dilakukan,
dipecat dari jabatannya
4. Berdasarkan Kode Etik ikatan profesi, setiap pelanggaran,
kesalahan maupun kelalaian yang dilakukan, selain
mendapatkan sanksi moril, maka berdasarkan pasal 5
Rumusan Komisi D Bidang Kode Etik Ikatan Notaris
Indonesia, Notaris dapat diberhentikan dari keanggotaan
profesi Ikatan Notaris Indonesia dan berdasarkan Kode Etik
yang diatur dalam Peraturan Jabatan Notaris, Notaris dapat
dikenakan sanksi berupa peneguran, pemberhentian
sementara selama tiga (3) samapi enam (6) bulan atau
bahkan dapat dipecat dari jabatannya.

B. Saran-Saran
1. Hendaknya Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya
selain harus berlandaskan pada moralitas dan integritas
yang tinggi, juga dapat menyesuaikan dengan ketentu an
yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang -undangan,
khususnya Peraturan Jabatan Notaris. Apabila hal ini
dilanggar, maka tidak hanya menimbulkan kerugian bagi
diri Notaris itu sendiri, tetapi juga bagi para pihak yang
menghadap, sehingga kepercayaa n para pemcari keadilan
terhadap itikad baik pelaksanaan tugas jabatan Notaris
akan mengalami krisis kepercayaan.
2. Bagi pra pihak yang menghadap hendaknya dapat
membantu Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya.
Bantuan tersebut dapat berupa menceritakan hal
sesungguhnya yang berkaitan dengan keterangan dalam
pembuatan suku akta, dengan berlandaskan pada itikad
baik dan penuh kejujuran, supaya akta itu dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya dan tidak merugikan
kepentingan para pihak. Oleh sebab itu, jadi lah seorang
penghadap yang baik. jangan menutup -nutupi dan jangan
pula melakukan perbuatan pura -pura.
3. Diperlukan peningkatan kesaaran hukum, moral dan etika,
baik dari para pihak yang menghadap maupun dari diri
Notaris itu sendiri, supaya segala sesuatu yang diharapkan
oleh masing-masing pihak dapat terwujud dan tercapai
sesuai dengan tujuannya.
4. Hendaknya Hakim dalam menangani dan memutuskan suatu
perkara yang tergugat atau terdakwanya adalah Notaris,
agar lebih memahami dan mengerti ketentuan -ketentuan
yang mengatur mengenai jabatan Notaris, khususnya
Peraturan Jabatan Notaris, karena hal ini sangat berkaitan
dengan kepastian dan perlindungan hukum terhadap diri
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya.
KODE ETIK
N O T AR I S I N D ON E S I A
D AN K E P R I B AD I AN N O T AR I S

Pasal 1
1.1. Notaris sebagai pejabat umum dalam melaksanakan tugasnya
dijiwai Pancasila, sadar dan taat kepada hukum Peraturan
Jabatan Notaris, sumpah jabatan, Kode Etik Notaris dan
berbahasa Indonesia yang baik.
1.2. Notaris dalam melakukan profesinya harus memiliki perilaku
profesional dan ikut serta dalam pembangunan Nasional
khususnya di bidang hukum.
1.3. Notaris berkepribadian baik dan menjungjung tinggi martabat
dan kehormatan Notaris, baik di dalam maupun di luar
jabatannya.

NOTARIS DALAM MENJALANKAN TUGAS


Pasal 2

2.1. Notaris dalam melakukan tugas jabatannya menyadari


kewajibannya, bekerja sendiri, jujur, tidak berpihak dab
dengan penuh rasa tanggung jawab.
2.2. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya menggunakan
satu kantornya yang telah ditetapkannya sesuai dengan
undang-undang dan tidak mengadakan Kantor Cab ang
Perwakilan dan tidak menggunakan perantara -perantara.
2.3. Notaris dalam melakukan tugas jabatannya tidak
mempergunakan mass media yang bersifat promosi.

NOTARIS DENGAN KLIEN


Pasal 3

3.1. Notaris dalam melakukan jabatannya memberikan pelayanan


hukum kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan
sebaik-baiknya.
3.2. Notaris dalam melakukan tugas jabatannya memberikan
penyuluhan hukum untuk mencapai kesadaran hukum yang
tinggi dalam masyarakat agar ma syarakat menyadari dan
menghayati hak dan kewajiban sebagai warga negara dan
anggota masyarakat.
3.3. Notaris memberikan jasanya kepada anggota masyarakat yang
kurang mampu, dengan Cuma -Cuma.
NOTARIS DENGAN SESAMA REKAN NOTARIS
Pasal 4

4.1. Notaris dengan sesama rekan Notaris hendaklah hormat


menghormati dalam suasana kekeluargaan.
4.2. Notaris dalam melakukan tugas jabatannya tidak melakukan
perbuatan ataupun persaingan yang merugikan sesama rekan
Notaris, baik moril maupun materiil dan menjauhkan diri dari
usaha-usaha untuk mencari keuntungan dirinya semata -mata.
4.3. Notaris harus saling menjaga dan membela kehormatan dan
nama baik korp Notaris atas dasar rasa solidaritas dan sikap
tolong menolong secara konstruktif.

PENGAWASAN
Pasal 5

5.1. Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik Notaris ini dilakukan


oleh Majelis Kehormatan Daerah Ikatan Notaris Indonesia dan/
atau Majelis Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia Pusat.
5.2. Tata cara mengenai pelaksanaan Kode Etik dan ketentuan -
ketentuan menganai sanksi -sanksi Kode Etik dan ketentuan-
ketentuan menganai eksekusi dari sanksi -sanksi Kode Etik
diatur dalam stu peraturan tersendiri, yang merupakan
lampiran dari Kode Etik Notaris ini.

P E N J E L AS AN
ATAS
K O D E E T I K N O T AR I S I N D O N ES I A
UMUM

Notaris dalam melakukan tugasnya melaksanakan jabatannya


dengan penuh tanggung jawab dengan menghayati keseluruhan
martabat jabatannya dan dengan keterampilannya melayani
kepentingan masyarakat yang meminta jasanya dengan selalu
mengindahkan ketentuan undang -undnag, etika, keteriban umum
dan berbahasa Indonesia yang baik.
Pasal Demi Pasal
Pasal 1
1.1. Antara lain termasuk menertibkan diri sesuai dengan fungsi,
kewenangan serta kewajiban sebagaimana ditentukan dalam
Peraturan Jabatan Notaris.
1.2. Seorang Notaris harus memiliki perilaku pro fesional
(profesional behavior). Unsur-unsur perilaku propesiaonal
adalah:
Pertama, perilaku profesional harus menunjuk pada keahlian
yang didukung oleh Pengetahuan dan penga laman tinggi.
Kedua, dalam melakukan tugas profesionalnya harus
mempunyai integritas moral, dalam arti segala pertimbangan
moral harus melandasi pelaksanaan tugas -tugas
profesionalnya. Sesuatu yang bertentangan dengan yang baik
harus dihindarkan walaupun dengan melakukannya, ia akan
memperoleh imbalan jasa yang tinggi. Pertimbangan moral
dalam melaksanakan tugas profesi tersebut, harus
diselaraskan dengan nilai -nilai kemasyarakatan, nilai-nilao
sopan santun dan agama yang berlaku. Tidak penting bahwa
seorang hanya memiliki kem ampuan profesional, adalah
seorang yang bermoral.
ketiga, harus jujur, tidak saja pada pihak kedua atau pihak
ketiga, tetapi juga pada dirinya sendiri.
keempat, sekalipun sebenarnya keahlian seorang tenaga
profesional Notaris dapat dimanfaatkan sebagai upa ya untuk
mmendapatkan uang, namun dalam melaksanakan tugas
profesionalnya ia tidakk boleh semata0mata didorong oleh
pertimbangan uang. Andaikata seseorang mengharapkan
bantuannya dan orang itu tidak dapat membayar karena tidak
mampu, demi profesinya ia harus memberikan jasanya
semaksimal mungkin dengan Cuma -Cuma. Ia tidak boleh
bersikap diskriminatif, membedakan antara orang yang mampu
dan orang tidak mampu.
Kelima, ia harus memegang teguh etik profesi.
Memegang teguh Etik profesi sangat erat hubungannya
dengan pelaksanaan tugas profesi dengan baik, karena dalam
Kode Etik profesi itulah ditentukan segala perilaku yang harus
dimiliki oleh seorang Notaris.
Notaris yang melakukan profesinya di bidang hukum dengan
sebaik-baimhya haruslah juga berbahasa indonesia yang
sempurna, sesuai dengan perkembangan bahasa Indonesia
dan Nasional.
1.3. Notaris di dalm dan di luar jabatannya bertata kehidupan yang
baik dan menyesuaikan diri dengan norma -norma kebiasaan
yang baik di tempat di mana ia bertugas.

Pasal 2
2.1. Cukup jelas.
2.2. Notaris juga harus memasang tanda papan nama menurut
ukuran yang berlaku
2.3. Cukup jelas.
Pasal 3
3.1. Notaris dalam melakukan tugas jabatannta tidak menerima
strooman.
3.2. Notaris sebagai warna negara Indonesia dan ahli hukum wajib
ikut serta meningkatkan penyuluhan hukum yang berguna bagi
masyarakat sesuai dengan pembangunan nasional khususnya
di bidang hukum.

Pasal 4
4.1. Notaris tidak mengkritik, menyalahkan akta -akta yang dibuat
rekan Notaris lainnya di hadapan klien atau masyarakat.
Notaris tidak memberikan rekannya berbuat salam dalam
jabatannya dan seharusnya memberitahukan kesalahan
rekannya dan menolong memperbaikinya.
Notaris yang ditolong janganlah bersifat curiga. Notaris
tidakmenarik karyawan Notaris lainnya secara tidak wajar.
4.2. Notaris dalam menjalankan pekerjaanya tidak dibenarkan
mempergunakan calo (perantara) yang mendapatkan upah
daripadanya.
Notaris dilarang mengadakan persaingan tidak sehat dengan
jalan merendahkan tarif/ongkos jasa dan setelah diadakan
konsensus di Cabang dan Dae rah Tingkat I menganai tarif/
ongkos jasa akta, setiap Notaris wajib mentaatinya.
4.3. Notaris dilarang mencampurkan usaha lain dengan
mempergunakan jabatan Notaris.
Contoh:
Notaris membuka Kantor Administrasi dan bertindak sebagai
yang menyewakan dan penagih s ewa rumah orang lain atas
nama Notaris.
Rasa solidaritas dan sikap tolong menolong.
Contoh:
Memberikan informasi/masukan dari klien -klien yang nakal
setempat.
RUMUSAN KOMISI D
BIDANG KODE ETIK
IKATAN NOTARIS INDONESIA
(INI)
PERIODE 1990-1993

MEMUTUSKAN:

Tanpa mengurangi ketentuan Kode Etik Notaris yang telah


diputuskan terdahulu yaitu keputusan Kongres INI Ke -IX di
Surabaya Tahun 1974 dan Kongres INI ke -XIV di Bandung Tahun
1987.

MENETAPKAN:

Larangan-larangan dan ketentuan-ketentuan tentang perilaku


Notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai berikut:

LARANGAN-LARANGAN
Pasal 1

Anggota Ikatan Notaris Indonesia, untuk selanjutnya disingkat


INI, yaoitu anggota yang masik aktif menjalankan jabatannya
sebagai Notaris, untuk selanjutnya “anggota”, dilarang:
1. Melakukan tindakan -tindakan yang pada hakikatnya
mengiklankan diri antara lain tetapi tidak terbatas pada
tindakan berupa memasang iklan untuk keperluan pemasaran
atau propoganda, antara lain:
a. Memasnag iklan dalam surat kabar, majalah, berkala,
terbitan perdana suatu kantor, perusahaan, biro jasa iklan,
baik berupa pemuatan nama, alamat , nomor telepon,
maupun berupa ucapan -ucapan selamat, dukungan,
sumbangan uang atau apapun. Pemuaran dalam buku -buku
yang disediakan untuk pemasangan iklan dan atau promosi;
b. Mengirim karangan bunga atau kejadian apapun kepada
siapapun yang dengan itu nama anggota terpampang kepad
aumum, baik umum terbatas maupun tak terbatas;
c. Mengirim orang-orang selaku “salesman” ke berbagai
tempat/lokasi untuk mengumpulkan klien atau akta.
2. Memasang papan nama yang besarnya /ukurnanya melewati
batas kewajaran, atau memasang papan nama di beberapa
tempat di luar lingkungan kantor anggota yang bersangkutan;
3. Menjaga permohonan baik lisan maupun tertulis kepada
instansi-instansi, perusahaan -perusahaan, lembaga -lembaga
untuk ditetapkan manjadi Notaris dari instansi, perusahaan,
atau lembaga tersebut, baik tanpa apalagi disertai penurunan
tarif yang jumlahnya/besarnya lebih rendah dari tarif yang
dibayar oleh instansi tersebut kepada Notarisnya;
4. Menerima/memenuhi permintaan dari seorang unyuk memuat
akta rancangan yang rancangannya telah disiapkan oleh
Notaris lain.
Dalam hal demikian anggota yang bersangkutan wajib
menolak permintaan itu atau, anggota boleh memenuhi
permintaan itu setelah mendapat izin dari Notaris pembuat
rancangan;
5. Dengan jalan apapun berusaha atau berupaya agar seseorang
berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu
ditunjukan langsung kepada klien yang bersangkutan, maupun
melalui perantara orang lain;
6. Menempatkan pegawai atai pegawai/asisten di satu atau di
beberapa tempat di luar kantor anggota yang bersangkutan,
baik di kantor cabang yang sengaja dan khusus dibuka untuk
keperluan itu, maupun di dalam kantor instansi atau
lembaga/klien anggota yang bersangkutan, di mana
pegawai/asisten tersebut bertugas untuk menerima klien -klien
yang akan membuat akta baik klien itu dari dalam dan atau
dari luar instansi itu, kemudian pegawai/asisten tersebut
membuat akta-akta itu, membacakannya atau tidak
membacakannya kepada klien, dan menyuruh klien yang
bersangkutan menandatanganinya di tempat pegawai/asisten
itu berkantor di instansi atau lembaga tersebut.
Akta-akta yang dibuat oleh (para) pegawai?asisten tersebut
kemudian dikumpulkan untuk ditandatangani oleh anggota
(Notaris Majikan) di kantornya atau di rumahnya;
7. Mengirim minuta kepada klien atau klien -klien untuk
ditandtangani oleh klien-klien;
8. menjelek-jelekan rekan Notaris atau mempermasalahkan akta
yang dibuat oleh rekan Notaris :
a. Apabila seorang anggota menghadapi suatu akta buatan
rekannya yang ternyata terdapat kesalahan -kesalahan yang
serius atau yang membahaykan klien, maka ia wajib
memberitahukan rekan yang membuat kesalahan itu akan
kesalahan yang dibuatnya, tidak dengan nada /suara untuk
menggurui rekan itu, melainkan untuk menjaga agar tidak
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan menimpa rekan
tersebut;
b. Apabila dijumpai keadaan termaksud dalam ayat (8) huruf
a di atas, maka setelah berhubungan dengan rekan Notaris
yang bersangkutan, kepada klien yang bersangkutan dapat
dan hendaknya dijelaskan apa yang merupakan kesalahan
dan bagaimana memperbaikinya.
9. Menahan berkas seseorang dengan maksud “memaksa” orang
itu agar membuat akta pada Notaris yang men ahan berkas
tersebut;
10. Memberikan orang lain membuat atau menyuruh orang lain
membuat akta dan menandatangani akta itu sebagai aktanya
sendiri, tanpa ia mengetahui/memahami isi akta itu, apalagi
kalau ia menuruti permintaan orang lain itu untuk tidak
mengadakan perubahan sedikitpun pada akta yang dibuat
orang lain tetapi ditandatangani anggota tersebut, dengan lain
perkataan anggota INI dilarang menjadi alat orang atau pihak
lain untuk semata -mata menandatangani akta buatan orang
lain sebagai akta anggota itu;
11. Membujuk-bujuk atau dengan cara apapun memaksa klien
membuat akta padanya atau membujuk -bujuk seseorang agar
pindah dari Notaris lain;
12. Dilarang membuat kelompok di dalam tubuh INI (yang tidak
merupakan salah satu seksi dari organisasi INI) dengan tujuan
untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga
secara khusus/eksklusif, apalagi menutup kemungkinan bagi
anggota lain untuk berpastisipasi.

TIDAK TERMASUK LARANGAN


Pasal 2

1. Tidak termasuk larang ialah :


a. Pengiriman kartu pribadi dari anggota beri si ucapan
selamat pada kesempatan ulang tahun, kelahiran anak,
keagamaan adat atau ucapan itu berduka cita dan lain
sebagainya yang bersifat pribadi;
b. Pemuatan nama anggota oleh Perum Telkom atau Badan
yang ditugasinya, dalam lembaran kuning dari buku telep on
yang disusun menurut kelompok -kelompok jenis usaha,
tanpa pembuatan nama anggota dalam bos -bos iklan
lembaran kuning buktu telepon itu;
c. Pembuatan nama anggota dalam buku petunjuk Faksimile
dan atau Teleks.
2. Anggota tidak dilarang untuk menggunakan kalima t, pasalnya
rumusan yang terdapat dalam akta anggota lain, asal saja
aktanya itu sudah selesai dibuat dan menjadi milik klien.

KEWAJIBAN ANGGOTA
Pasal 3
Anggota Wajib :
a. Memberikan penyuluhan kepada klien, sejauh mungkin
sehingga klien itu dapat menangkap/memahami penyuluhan
tersebut, walaupun dengan diberikannya penyuluhan orang itu
urung membuat akta atau urung menjadi klien dari anggota
yang bersangkutan;
b. Memberi isyarat kepada rekan yang membuat kesalahan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 aya t (8) huruf a;
c. Menjaga agar klien yang tidak makin terjerumus dalam
kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (8);
d. Menyelesaikan akta PT., CV., Firma, Yayasan, Perkumpulan
sampai tahap pendaftaran pada Pengadilan Negeri dan
Pengumuman dalam Berita Negara, apabila klien yang
bersangkutan dengan tegas-tegas menyatakan akan
menyerahkan pengurusannya kepada anggota yang
bersangkutan dan klien telah memenuhi syarat -syarat yang
diperlukan;
e. Kalau pendaftaran pada Pengadilan Negeri dan Pengumuman
dalam Berita Negara itu sudah selesai, anggota wajib
memberikan kepada klien perihal selesainya
pendaftaran/pengumuman itu dan atau mengirim kepada atau
menyuruh mengambil akta yang sudah didaftar atau Berita
Negara yang sudah selesai dicetak tersebut oleh klien yan g
bersangkutan.

PELANGGARAN-PELANGGARAN LAIN
Pasal 4

Pelanggaran-pelanggaran yang dapat dilakukan oleh anggota,


selain yang disebut dalam pasal 1, dan yang pada umumnya dapat
dikenakan sanksi, ialah pelanggaran yang secara umum disebut
pelanggaran terhadap kode etik Notaris, yang antara lain meliputi
pelanggaran-pelanggaran terhadap:
a. Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Jabatan Notaris;
b. Apa yang oleh setiap anggota diucapkan pada waktu
mengangkat Sumpah Jabatan;
c. Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga harus/wajib dilakukan oleh anggota,
antara lain membayar iuran dan lain sebagainya, dan atau hal -
hal yang menurut An ggaran Dasar dan atau anggaran rumah
tangga INI tidak boleh dilakukan;
d. Kewajiban membayar uang dalam meninggalnya
Notaris/mantan Notaris dan kewajiban mentaati ketentuan
tentang tarif minimum.

PEMBERHENTIAN SEMENTARA ANGGOTA INI


Pasal 5
Tanpa mengurangi ketentuan mengenai tata cara maupun
pengenaan tingkatan sanksi -sanksi berupa peringatan dan teguran,
maka pelanggaran -pelanggaran yang oleh Pengurus Pusat secara
mutlak harus dikenakan sanksi pemberhentian sementara sebagai
anggota INI, disertai usul Pengurus Pusat kepada kongres untuk
memecat anggota yang bersangkutan sebagai anggota INI ialah
pelanggaran-pelanggaran yang disebut dalam:
a. Pasal 1 ayat (6), ayat (7), ayat (10), dan ayat (12);
b. Peraturan Jabatan Notaris yang berakibat bahwa anggota
yang bersangkutan dinyatakan bersalah berdasarkan
keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
pasti.

KETENTUAN PENUTUP
Pasal 7

1. Semua anggota INI diwajibkan, menyesuaikan praktiknya


maupun perilaku dalam menjalankan jabatannya dengan apa
yang ditemukan dalam keputusan ini;
2. Hanya Pengurus Pusat atau unit organisasi INI atau anggota
yang ditunjuk olehnya dengan cara yang dipandang baik
olehnya pula, berhak untuk memberikan penerangan
sepelunya kepada masyarakat tentang seluk beluk dan hal
ikhwal mengenai Kode Etik Notaris dan atau Majelis
Kehormatan INI dengan maksud dan tujuan agar dengan
penerangan itu masyarakat terlindungi dari hal -hal yang tidak
diinginkan yang disebabkan oleh pelanggaran -pelanggaran
Kode Etik Notaris;
3. Keputusan ini disebut Keputusan Kongres INI Ke -XIV Tentang
Kode Etik Notaris;
4. Keputusan ini mulai berlaku pada hari penutupan Kongres INI
Ke-XIV.

Penulis

(Encep Cahyadi)

Anda mungkin juga menyukai