Anda di halaman 1dari 29

Makalah Hukum Acara Perdata

Pembuktian dan Alat Bukti

Nama : Aninda Sekar Parindrastiti


(110110160283)

Afif Rizaldi Muhammad Tjahjono

(110110160290)

Matkul : Hukum Acara Perdata

Dosen : Prof. Dr. Efa Laela Fakhriah, S.H.,


M.H.

Sherly Ayuna Putri, S.H., M.H.

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran


2019

i
Pembahasan

1.1 Pembuktian, Sistem, dan Asas

A. Pembuktian

Pembuktian adalah suatu perbuatan untuk membuktikan, yang berarti memberikan


atau memperlihatkan bukti-bukti sebagai alat untuk menguatkan suatu kebenaran.

Hukum pembuktian dalam Hukum Acara Perdata secara formal mengatur cara
mengadakan pembuktian seperti yang terdapat di dalam RBg dan HIR. Secara materiil,
hukum pembuktian mengatur dapat atau tidak dapatnya sebuah pembuktian itu diterima
dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktian dari alat-alat
tersebut.

Prof. Dr. Eddy O.S Hiarej menyimpulkan bahwa kata evidence berdekatan dengan
pengertian alat bukti menurut Hukum Positif, sedangkan kata proof dapat diartikan
sebagai pembuktia yang mengarah kepada suatu proses.

Dalam muka persidangan, para pihak yang berperkara dapat menjabarkan


peristiwa-peristiwa yang dapat dijadikan dasar untuk menguatkan hak perdatanya
atauapun untuk membantah hak perdata yang dikeluarkan pihak lain. Peristiwa-peristiwa
tersebut belum cukup dikemukakan begitu saja baik secara tertulis ataupun secara lisan.
Bukti-bukti harus mengiringi suatu klaim yang telah dikeluarkan oleh para pihak untuk
diketahui kebenarannya. Bukti-bukti tersebut juga harus dikumpulkan menurut cara yang
sah menurut hukum. Dengan kata lain, harus disertai pembuktian secara yuridis.

Suatu pembuktian diperlukan dalam perkara yang mengadili suatu sengketa di


muka pengadilan (juridicto contentiosa) maupun dalam perkara permohonan yang
menghasilkan suatu penetapan (jurudicto voluntair). Dalam suatu proses perkara perdata,
salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki ada atau tidaknya suatu hubungan
hukum yang menjadi dasar gugatan tersebut. Jika terbukti ada hubungan hukum, maka
hal itulah yang bisa membuat seorang penggugat memenangkan suatu perkara. Jika
penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalil yang menjadi dasar untuk menggugat,
maka gugatannya akan ditolak.1

1Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek,
Alumni, Bandung, 1983, hlm. 53.
1
Pasal 283 RBg / 163 HIR menyatakan: “Barangsiapa mengatakan mempunyai
suatu hak atau mengemukakan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain,
haruslah membuktikan adanya perbuatan itu.”

Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan suatu
kebenaranannya, dalil-dalil yang tidak disangkal, yang diakui sepenuhnya oleh pihak
lawan adalah dalil-dalil yang tidak perlu dibuktikan kebenarannya. Dalam hal pembuktian
pihak penggugat tidak selalu menjadi pihak yang harus membuktikan dalilnya. Hakim
yang memeriksa suatu perkara akan menentukan siapat diantara kedua belah pihak yang
berperkara yang diawjibkan memberikan bukti, baik itu pihak penggugat ataupun pihak
tergugat. Dengan kata lain, hakim yang berwenang membenankan kepada para pihak
untuk mengajukan suatu pembuktian dengan cara yang seadil mungkin.2

B. Sistem Pembuktian menurut KUHAP

KUHAP yang sekarang berlaku mengnaut sistem negatief wettelijke yaitu sistem
menurut UU sampai suatu batas yang tersebut dalam pasal 183 yang berbunyi “hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-
benar terjadi dan terdakwa yang bersalah melakukannya”.

Dalam Pasal 183 KUHAP telah diatur syarat-syarat hakim untuk menghukum
terdakwa (sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah) yang ditetapkan oleh UU
disertai keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang melakukannya.

Alat bukti sah yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP:

1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan dakwa

Alat bukti dalam persidangan MK

2 Ibid., hlm. 53.


2
1. Surat atau tulisan

2. Keterangan saksi

3. Keterangan ahli

4. Keterangan para pihak

5. Petunjuk

6. Alat bukti lain (informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara
elektronik)

Sistem pembuktian yang dianut hukum acara perdata, tidak bersifat stelsel negatif
menurut undang-undang ( negatief wettelijk stelsel ), seperti dalam proses . pemeriksaan
pidana yang menuntut pencarian kebenaran. Kebenaran yang dicari dan diwujudkan
dalam proses peradilan pidana, selain berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai
batas minimal pembuktian, kebenaran itu harus diyakini hakim. Prinsip inilah yang
disebut beyond reasonable doubt. Kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan
bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai
kebenaran hakiki.

Sistem pembuktian  negatief wettelijke  tersebut dalam KUHAP dikaitkan dengan


Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 6 ayat (2)
menyatakan bahwa ”tiada seorang juapun dapat dipidana, kecuali apabila pengadilan,
karena alat bukti yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa
seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang
didakwakan atas dirinya.

Pasal ini secara eksplisit menghendaki jaminan hak-hak asasi manusia yang
mendapat perlindungan dalam negara berdasarkan Pancasila.  Wirjono Prodjodikoro,
mengatakan bahwa dalam praktek, menurut pengalaman saya sendiri sebagai hakim,
seringkali kejadian hakim mulai dengan menentukan keyakinannya tentang terbukti atau
tidaknya suatu kejadian dan baru kalau hakim yakin betul, bahwa terdakwa bersalah,
maka diusahakan supaya ada alat-alat bukti yang mencukupi syarat-syarat yang
ditentukan oleh undang-undang agar dapat menjadi dasar keyakinan hakim itu.

Meskipun dalam Pasal 183 KUHAP telah disebutkan bahwa KUHAP menganut
sistem pembuktian Negatief Wetelijke, namun masih perlu kita lihat beberapa perbedaan
3
pokok tata cara yang terdapat antara acara pemeriksaan biasa singkat dan cepat. Bila
diperhatikan pasal-pasal maupun penjelasan pasal-pasalnya dalam KUHAP tidak ada
ditemui apa yang dimaksud atau pengertian acara pemeriksaan biasa. Pengertian acara
pemeriksaan biasa dapat diketahui apabila kita telaah Pasal 203 dan 205 KUHAP.

Menurut Pasal 203 ayat (1) KUHAP bahwa :

         yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau
pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut umum
pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana, sedangkan Pasal
205 ayat (1) bahwa yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah
perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan
dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,- dan penghinaan ringan kecuali yang
ditentukan dalam acara pemeriksaan lalu lintas jalan

Menurut  A. Karim, SH  bahwa perkara yang diperiksa dalam acara pemeriksaan
biasa menyebutkan bahwa perkara tolakan  (vordering)  yaitu perkara-perkara sulit dan
besar diajukan oleh jaksa dengan surat tolakan.

Perkara yang diperiksa dengan cara pemeriksaan biasa ditentukan syarat-syarat sebagai
berikut :

a. Penuntut umum membuat surat pelimpahan perkara ke pengadilan yang


berwenang (Vide Pasal 143 ayat (1) KUHAP).

b. Penuntut umum membuat surat dakwaan (acte van verwij zing) (Vide Pasal 143
ayat (2) KUHAP)

c. Putusan dibuat secara khusus (Vide Pasal 200 KUHAP)

d. Dibuat berita acara sidang (Vide Pasal 202 ayat (1), (2), (3), (4) KUHAP)

Membahas sistem pembuktian dalam acara pemeriksaan biasa berarti


membicarakan sistem pemeriksaan di sidang Pengadilan Negeri dan kaitannya dengan
pemeriksaan alat-alat bukti serta kekuatan pembuktiannya.

Ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat kita temui pada KUHAP Bab XVI
bagian ketiga acara pemeriksaan biasa dimulai dari Pasal 152 sampai dengan Pasal 182,

4
sedangkan yang mengatur tentang alat pembuktian serta putusan dalam acara
pemeriksaan biasa pada bagian keempat pada Bab XVI  Pasal 183-202 KUHAP.

Proses dalam sistem peradilan menurut KUHAP adalah asas langsung (onmiddelijk
heidsbeginsel); pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung
kepada terdakwa dan para saksi ini berbeda dengan acara perdata, dimana tergugat
dapat diwakili oleh kuasanya, pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan artinya
bukan secara tertulis antara hakim dan terdakwa.

C. Asas-asas Hukum Pembuktian

Suatu sistem hukum merupakan suatu kesatuan aturan hukum yang berhubungan
satu dengan lainnya, dan telah diatur serta disusun berdasarkan asas-asas. Asas-asas
hukum adalah aturan pokok yang tidak dapat lagi dijabarkan lebih lanjut, diatasnya tidak
lagi ditemukan aturan yang lebih tinggi lagi. Asas hukum merupakan dasar bagi aturan-
aturan hukum yang lebih rendah.3

Perbedaan antara asas hukum dengan peraturan yang lebih rendah ialah asas
hukum lebih abstrak, jika asas hukum tidak dimasukkan dalam UU, maka asas tersebut
bersifat hanya sebagai pedoman saja. Tetapi, bila asas itu secara tegas dituangkan dalam
UU, maka asas tersebut mempunyai kekuatan mengikat sebagai UU sehingga hakim
berkewajiban untuk menerapkan asas tersebut secara langsung terhadap semua kasus
yang atasnya tidak terdapat aturan khusus4

Asas-asas dalam Hukum Pembuktian:

a) Asas ius curia novit – hakim dianggap mengetahui akan hukum, hal ini berlaku juga
dalam pembuktian, karena dalam membuktikan, tentang hukumnya tidak harus
diajukan atau dibuktikan oleh para pihak, tetapi dianggap harus diketahui dan
diterapkan oleh hakim.

b) Asas audi et altera partem – kedua belah pihak yang bersengketa harus
diperlakukan sama (equal justice under law). Kedudukan prosesual yang sama bagi
para pihak di muka hakim. Ini berarti bahwa hakim harus membagi beban

3 J.H.P. Bellefroid dalam buku Efa Laila Fakhriah, Op.cit. hlm. 44.

4 ibid
5
pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak secara seimbang.
Dengan demikian kemungkinan untuk menang bagi para pihak harus sama.

c) Asas actor sequitur forum rei – gugatan harus diajukan pada pengadilan dimana
tergugat bertempat tinggal. Asas ini dikembangkan dari asas presumption of
innocence yang dikenal dalam hukum pidana.

d) Asas affirmandi incumbit probatio – siapa yang mengaku memiliki hak maka ia
harus membuktikannya.

e) Asas acta publica probant sese ipsa – berkaitan dengan pembuktian suatu akta
otentik, yang berarti suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta
memenuhi syarat yang telah ditetntukan, akta itu berlaku atau dianggap sebagai
akta otentik sampai terbutki sebaliknya. Beban pembuktiannya terletak pada siap
yang mempersoalkan otentik tidaknya akta tersebut.5

f) Asas testimonimum de auditu – merupakan asas dalam pembuktian dengan


menggunakan alat bukti kesaksian, dengan kata lain adalah keterangan yang saksi
peroleh dari orang lain, saksi tidak mendengar atau mengalaminya sendiri
melainkan mendengar dari orang lain tentang kejadian tersebut. Pada umumnya,
kesaksian berdasarkan pendengaran ini tidak diperbolehkan dikarenakan
keterangan yang diberikan bukanlah keterangan yang dialaminya sendiri. Hal ini
sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 15 Maret 1972 No. 547
K/Sip?1971, yang menentukan bahwa keterangan saksi de auditu bukan
merupakan alat bukti.

g) Asas unus testis nullus testis – yang berarti satu saksi bukanlah saksi, artinya
bahwa satu alat bukti saja tidaklah cukup untuk membuktikan kebenaran suatu
peristiwa atau adanya hak. Pasal 169 HIR dan Pasal 306 RBg menyebutkan bahwa
keterangan seorang saksi saja tanpa alat bukti lainnya tidak dapat dianggap
sebagai pembuktian yang cukup. Hal ini sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah
Agung RI No. 665 K/Sip/1973, yang menentukan “satu surat bukti saja tanpa
dikuatkan oleh alat bukti lain tidak dapat diterima sebagai pembuktian”.

5 Sudikno Mertokusumo, Op.cit. hlm. 153


6
1.2 Beban Pembuktian, Kekuatan Pembuktian, dan Jenis-jenis Alat
Bukti

A. Beban Pembuktian

Definisi dan Siapa yang Menanggung Beban Pembuktian

Beban pembuktian diatur dalam Pasal 163 HIR yang berbunyi sebagai berikut:

“ Barang siapa yang menyatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan sesuatu


perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain,
maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.”

Dari uraian tersebut, dapat kita simpulkan bahwa menurut Pasal tersebut, siapa yang
mendalilkan sesuatu, maka ialah yang harus membuktikannya.

Hal ini juga dapat diartikan bahwa kedua belah pihak, baik penggugat maupun
tergugat, dapat dibebankan dengan pembuktian. Penggugat wajib membuktikan
peristiwa yang diajukannya, sedangkan tergugat wajib membuktikan kebenaran
bantahannya. Penggugat tidak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran bantahan
tergugat dan tergugat juga tidak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran perkara yang
diajukan oleh penggugat.

Apabila salah satu pihak yang dibebankan dengan pembuktian tidak dapat
membuktikannya, maka ia akan dikalahkan (risiko pembuktian). Hal ini dilakukan untuk
menjaga keadilan agat risiko dalam beban pembuktian tidak berat sebelah. Maka dari itu,
hakim harus berhati-hati dalam melakukan pembagian beban pembuktian karena dapat
menentukan jalannya peradilan.

Pembagian beban pembuktian harus dilaksanakan secara adil dan tidak berat
sebelah. Pembagian beban pembuktian merupakan suatu persoalan yuridis yang dapat
diperjuangkan hingga ke tingkat kasasi dimana Mahkamah Agung mengamini bahwa
melakukan pembagian beban pembuktian yang tidak adil dianggap sebagai suatu
pelanggaran hukum, dan merupakan alasan MA untuk membatalkan putusan hakim atau
pengadilan lebih rendah yang bersangkutan.6

6Sunge, Maisara. “Beban Pembuktian Dalam Perkara Perdata.” Jurnal INOVASI, vol. 9, no. 2, June 2012, p.
5.
7
Prodjodikoro dalam bukunya berpendapat bahwa untuk mencegah kepentingan
kedua belah pihak dirugikan, maka beban pembuktian semestinya diserahkan pada pihak
yang sekiranya paling sedikit dirugikan.7 Sehubungan dengan pendapat Prodjodikoro
tersebut, Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 15 Maret 1972 No. 547 K/SIP/
1971 memutuskan bahwa pembuktian yang diletakkan kepada pihak yang membuktikan
sesuatu yang negatif adalah lebih berat pada beban pembuktian pihak yang harus
membuktikan sesuatu yang positif, yang tersebut terakihr ini termasuk pihak yang lebih
mampu untuk membuktikan.8

Disamping asas beban pembuktian yang terdapat dalam Pasal 163 HIR,
pembuktian juga diatur dalam beberapa pasal lain yang menyebutkan ketentuan-
ketentuan khusus dalam pembuktian, yaitu Pasal 533, 535, dan1244 BW, serta Pasal
1244, 1365, 1394, dan 1977 KUHPerdata.9

Teori Beban Pembuktian

Terdapat beberapa teori mengenai beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi
Hakim dalam memberikan beban pembuktian, yaitu:

Penerimaan suatu kuasa dapat terjadi dengan:

1. Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affermatief)

Menurut teori ini, siapa yang mengemukakan sesuatu harus


membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau menyangkalnya. Namun, teori
ini telah ditinggalkan.

2. Teori Hukum Subjektif

Menurut teori ini, suatu proses perdata selalu merupakan pelaksanaan


hukum subjektif atau bertujuan mempertahankan hukum subjektif, dan siapa yang
mengemukakan atau mengaku memiliki suatu hal harus membuktikannya. Dalam
hal ini penggugat tidak perlu membuktikan semuanya. Teori ini didasarkan oleh
Pasal 1865 BW.

7 Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Bandung, Sumur, 1978, p. 107.

8 Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta, Liberty, 1999, p. 15.

9 Subekti. Hukum Acara Perdata. Bandung, Bina Cipta, 1989, p. 17.


8
3. Teori Hukum Objektif

Menurut teori ini, mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti bahwa
penggugat meminta kepada hakim untuk menerapkan ketentuan-ketentuan
hukum objektif terhadap peristiwa yang diajukan. Maka dari itu penggugat harus
membuktikan kebenaran dari peristiwa yang diajukannya dan lalu mencari hukum
objektifnya untuk ditetapkan pada peristiwa tersebut.

4. Teori Hukum Publik

Menurut teori ini, mencari kekuasaan suatu peristiwa di dalam peradilan


merupakan kepentingan publik. Maka dari itu, Hakim harus diberi wewenang lebih
besar untuk mencari kebenaran. Di samping itu para pihak memiliki kewajiban
yang sifatnya publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti.
Kewajiban ini harus juga disertai dengan sanksi pidana.

5. Teori Hukum Acara

Menurut teori ini, asas audi et alteram partem atau asas kedudukan
prosesuil yang sama dati pada para pihak di muka Hakim merupakan asas
pembagian beban pembuktian. Hakim harus membagi beban pembuktian
berdasarkan kesamaan dari para pihak. Asas kedudukan prosesuil yang sama dari
para pihak mengakibatkan bahwa kemungkinan untuk menang bagi para pihak
harus sama. Maka dari itu, Hakim harus membebani para pihak dengan
pembuktian secara seimbang atau patut.

B. Kekuatan Pembuktian

Definisi

Kekuatan pembuktian dari sebuah alat bukti tidak sama rata, dan semua diatur
dalam undang-undang. Pasal 1918 KUHPerdata memberikan hak kepada kedua pihak
yang berlawanan untuk saling memberi pembuktian sebaliknya terhadap pembuktian
lawannya yang bertujuan untuk membantah dan melumpuhkan kebenaran pihak lawan
dan pembuktiannya.10

10 Asikin, Zainal. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Jakarta, Prenadamedia, 2015, p. 111-112.
9
Namun tidak semua alat bukti dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan. Hal
tersebut bergantung pada penilaian undang-undang mengenai ketentuan nilai kekuatan
pembuktian yang melekat pada alat bukti tersebut. Apabila nilai kekuatan pembuktian
pada alat bukti itu bersifat menentukan atau memaksa, maka alat bukti tersebut tidak
dapat dibantah maupun dilumpuhkan dengan bukti lawan.

Jadi kita mengetahui bahwa setiap jenis alat bukti memiliki kekuatan pembuktian
yang berbeda-beda, dan kekuatan tersebut mempengaruhi penggunaannya dalam
persidangan saat melawan pembuktian pihak lawan.

Jenis-jenis Kekuatan Alat Bukti

Beberapa jenis kekuatan alat bukti adalah:11

1. Bukti lemah

Terkadang alat bukti yang diajukan oleh suatu pihak sangat lemah, sehingga
tidak memberikan sedikit pun pembuktian, serta tidak memenuhi syarat yang
dibutuhkan untuk menerima dalil-dalil gugatan. Alat bukti lemah ini hanya memiliki
daya bukti permulaan.

Karena nilai kualitatif alat bukti yang ditampilkan belum tercapai, maka itu
gugatan harus ditolak dan penggugat sebagai pihak yang kalah. Jelas bahwa
bukti permulaan saja tidak akan dapat menjadi dasar hakim untuk menerima suatu
gugatan.

2. Bukti sempurna

Jika dalam suatu perkara salah satu pihak memiliki dan mengajukan alat
bukti berupa akta autentik yang dibuat oleh notaris atau misalkan mengajukan
sertifikat hak milik tanah atas namanya, maka bukti-bukti autentuk tersebut dapat
dikategorikan sebagai alat bukti yang sempurna.

Alat bukti sempurna berarti pihak yang memiliki surat autentik tersebut tidak
perlu lagi melengkapi pembuktiannya dengan alat bukti lain yang lebih lemah
dibandingkan dengan dokumen autentik tersebut.

Alat bukti sempurna dapat membantu Hakim dan menambah keyakinan


yang cukup baginya untuk menjatuhkan putusan. Dengan demikian, adanya bukti
sempurna mengakibatkan suatu pendapat hakim bahwa tuntutan penggugat

11 Sasangka, Hari. Op. cit., p. 19-20.


10
benar adanya dan harus diterima, kecuali tergugat berhasil mengajukan alat bukti
yang memiliki kekuatan pembuktian yang lebih untuk menyangkal apa yang
dianggap oleh hakim sebagai benar.

3. Bukti pasti/menentukan (Beslissend Bewijs)

Jenis alat bukti yang pasti/menentukan itu hampir mirip dengan alat bukti
yang sempurna. Jika dengan alat bukti sempurna pihak lawan masih bisa
mengadakan penyangkalan, maka dalam alat bukti pasti ini tidak ada upaya untuk
mengajukan sangkalan.

Pembuktian dengan alat bukti pasti/menentukan mengakibatkan suatu


posisi yang tidak dapat diganggu gugat lagi antara penggugat dan tergugat.
Dengan demikian, tuntutan yang diajukan dianggap benar, beralasan, dan dapat
diterima. Peluang pihak lawan untuk bahkan hanya mengajukan bukti sangkalan
menjadi tidak ada lagi.

4. Bukti yang mengikat (Verplicht Bewijs)

Dengan adanya alat bukti yang memiliki daya mengikat, maka Hakim wajib
untuk menyesuaikan keputusannya dengan pembuktian tersebut, misalkan dalam
hal adanya sumpah pemutus atau sumpah decissoir.

5. Bukti sangkalan (Tengen Bewijs)

Bukti sangkalan adalah bukti yang dipergunakan dalam bantahan terhadap


pembuktian yang diajukan oleh lawan dalam persidangan. Pembuktian ini
bertujuan untuk menggagalkan gugatan pihak lawan. Pada prinsipnya, segala
bukti dapat dilemahkan dengan bukti sangkalan, kecuali undang-undang secara
tegas melarang diajukannya suatu alat bukti sangkalan, misalkan terhadap
sumpah pemutus sebagaimana diatur dalam Pasal 1936 KUHPerdata.

C. Jenis-jenis Alat Bukti

Alat bukti dalam persidangan perkara perdata tercantum dalam Pasal 164 HIR/284
RBg dan Pasal 1866 BW yaitu antara lain:

1. Surat/Tulisan

2. Saksi

11
3. Persangkaan

4. Pengakuan

5. Sumpah

Dalam perkara perdata, alat bukti surat/tulisan merupakan alat bukti yang utama.
Hal ini dikarenakan perbuatan perdata itusengaja dilakukan dan untuk menguatkan
berbuatan perdata diperlukan bukti yang jelas dan pasti, sehingga alat bukti yang paling
mudah untuk membuktikan terjadinya suatu perbuatan perdata adalah dalam bentuk
tulisan.

Jika pihak yang diwajibkan tidak memiliki bukti-bukti yang berupa tulisan, maka
yang bersangkutan diwajibkan mendapatkan orang-orang yang mengetahui dan telah
melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang akan dibuktikan tersebut. Orang-orang
tersebut di muka hakim diajukan sebagai saksi.

Jika pihak yang diwajibkan tidak dapat juga mendapatkan saksi, maka ia akan
beralih ke alat bukti persangkaan, dan seterusnya hingga ia mencapai alat bukti
sumpah.12

1.3 Alat Bukti Surat dan Saksi

A. Alat Bukti

Menurut sistem HIR, dalam acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang
sah, artinya hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang
ditentukan dalam UU. Alat-alat bukti yang dapat diperkenankan dalam persidangan
disebutkan dalam Pasal 164 HIR yang terdiri dari:

• Bukti surat

• Bukti saksi

• Persangkaan

• Pengakuan

12 Asikin, Zainal. Op. cit., p. 117-119.


12
• Sumpah

Dari urutan alat-alat bukti dalam hukum acara perdata, maka alat bukti tulisan
(surat) merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara perdata. Berbeda dengan
alat bukti dalam perkara pidana dimana alat bukti yang paling utama adalah keterangan
saksi. Hal ini dikarenakan dalam praktek perdata misalnya dalam perjanjian jual-beli,
tukar-menukar, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, penghibahan, perwasiatan,
pengangkutan, asuransi, dan sebagainya orang-orang yang melakukan perbuatan-
perbuatan tersebut umumnya dengan sengaja membuat bentuk tulisan untuk keperluan
pembuktian di kemudian hari jika diperlukan, misalnya apabila satu ketika timbul
sengketa atas perbuatan tersebut maka dapat dibuktikan permasalahan dan
kebenarannya dengan akta yang bersangkutan. Atas kenyataan tersebut, dalam perkara
perdata alat bukti yang dianggap paling dominan dan determinan adalah alat bukti tulisan
atau surat

B. Alat Bukti Tulis/Surat

Bukti tulisan dalam perkara perdata merupakan bukti yang utama dalam lalu lintas
keperdataan. Pada masa sekarang ini, orang-orang yang terlibat dalam suatu perjanjian
dengan sengaja membuat atau menyediakan alat-alat bukti dalam bentuk tulisan, dengan
maksud bahwa bukti-bukti tersebut dapat dipergunakan dikemudian hari terutama
apabila timbul suatu perselisihan sehubungan dengan perjanjian tersebut.

Alat bukti tertulis dapat dibedakan dalam akta dan tulisan bukan akta, yang
kemudian akta masih dibedakan lagi dalam akta otentik dan akta dibawah tangan. Jadi
dalam hukum pembuktian alat bukti tulisan terdiri dari:

1. Akta

Suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang
suatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya. Dengan demikian, unsur-
unsur yang penting untuk digolongkan dalam pengertian akta adalah kesengajaan
untuk membuatnya sebagai suatu bukti tulisan untuk dipergunakan oleh orang
untuk keperluan siapa surat itu dibuat, dan harus ditandatangani. Maka tidak
setiap surat dapat dikatakan sebagai akta.

Fungsi utama akta ialah sebagai alat bukti. Artinya tujuan utama membuat
akta memang diperuntukkan dan dipergunakan sebagai alat bukti. Dalam
13
masyarakat sekarang, segala aspek kehidupan dituangkan dalam bentuk akta.
Misalnya, dalam perjanjian jual-beli para pihak menuangkannya dalam bentuk akta
dengan maksud sebagai alat bukti tertulis tentang perjanjian tersebut. Bila timbul
sengketa, sejak semula telah tersedia akta untuk membuktikan kebenaran
transaksi.

Macam-macam akta:

o Akta otentik

▪ Pasal 285 RBg / 165 HIR menyebutkan bahwa “akta otentik, yaitu
suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang- undang oleh
atau di hadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat
itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli
warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya,
tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga tentang
yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja ; tetapi
yang tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung
berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut.“

▪ Pasal 1868 KUHPerdata menyatakan “suatu akta otentik ialah suatu


akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,
dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa
untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”

▪ Pejabat yang berwenang membuat akta otentik adalah notaris,


camat, panitera, pegawai pencatat perkawinan, dan lain sebagainya

o Akta di bawah tangan

▪ Akta di bawah tangan untuk Jawa dan Madura diatur dalam Stb.
1867 NO. 29, tidak dalam HIR. Sedangkan untuk daerah diluar itu
diatur dalam Pasal 28-305 RBg

▪ Pasal 286 ayat (1) RBg menyatakan “sebagai tulisan-tulisan di bawah


tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan,
surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan

14
lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai
umum.”

▪ Jadi, akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk
pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan pejabat umum. Misalnya
kwitansi, perjanjian penyewaan, dan lain sebagainya.

2. Tulisan bukan akta

Tulisan bukan akta ialah setiap tulisan yang tidak sengaja dijadikan bukti
tentang suatu peristiwa dan/atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya.
Walaupun tulisan atau surat-surat yang bukan akta ini sengaja dibuat oleh yang
bersangkutan, tapi pada dasarnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian di
kemudian hari.

C. Alat Bukti Saksi

Pembuktian dengan saksi dalam praktek lazim disebut kesaksian. Dalam hukum
acara perdata alat bukti saksi diatur dalam Pasal 165 RBg/139 HIR sampai dengan Pasal
179 RBg/152 HIR tentang pemeriksaan saksi, Pasal 306 RBg/169 HIR sampai dengan
Pasal 309 RBg/172 HIR tentang keterangan saksi, serta dalam Pasal 1895, Pasal 1902
sampai dengan Pasal 1912 KUHPerdata.

Pembuktian dengan alat bukti saksi diperbolehkan dalam segala hal, ini diatur
dalam Pasal 165 RBg/139 HIR dan Pasal 1895 KUHPerdata, kecuali bila undang-undang
menentukan lain. Misalnya, mengenai perjanjian pendirian perseroan firma di antara para
persero firma itu sendiri yang harus dibuktikan dengan akta notaris ( Pasal 22 KUHD ),
mengenai perjanjian pertanggungan/asuransi hanya dapat dibuktikan dengan polis ( Pasal
258 KUHD).

Orang-orang yang tidak dapat didengar sebagai saksi adalah :

1. Keluarga sedarah atau keluarga karena perkawinan menurut keturunan lurus


dari salah satu pihak;

2. Suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai;

3. Anak-anak yang belum berusia 15 ( lima belas ) tahun;

15
4. Orang-orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat.

Alasan pembentuk undang-undang menentukan mereka tidak dapat didengar


sebagai saksi adalah :

1. Mereka pada umumnya dianggap tidak cukup objektif apabila didengar


sebagai saksi;

2. Untuk menjamin hubungan kekeluargaan yang baik, yang mungkin akan


retak apabila mereka memberikan kesaksian;

3. Untuk mencegah timbulnya tekanan batin bagi mereka setelah memberikan


kesaksian.

Saksi dapat digolongkan menjadi 2:

1. Saksi tidak disengaja, yaitu saksi yang secara kebetulan melihat atau
mendengar ataupun mengalami sendiri perbuatan atau peristiwa hukum
yang menjadi perkara. Dengan kata lain, saksi tersebut bukan diminta atau
dipersiapkan oleh para pihak pada saat peristiwa tersebut dilakukan.
Misalnya, A pada saat datang ke rumah B secara kebetulan melihat B dan C
mengadakan transaksi jual beli.

2. Saksi yang disengaja, yaitu saksi yang pada saat perbuatan hukum tersebut
dilakukan telah diminta dengan sengaja oleh para pihak untuk menyaksikan
perbuatan hukum tersebut. Misalnya, orang-orang yang diminta untuk ikut
serta menyaksikan perjanjian jual beli, pembagian warisan, dan lain-lain.

  Kesaksian yang harus diberikan oleh saksi di muka persidangan adalah


tentang adanya perbuatan atau peristiwa hukum yang saksi lihat, dengar dan alami
sendiri serta alasan atau dasar yang melatarbelakangi pengetahuan tersebut.
Dalam hal ini saksi tidak boleh menyimpulkan, membuat dugaan ataupun
memberikan pendapat tentang kesaksiannya, karena hal ini bukan dianggap
sebagai kesaksian ( Pasal 308 RBg/171 ayat ( 2 ) HIR dan Pasal 1907
KUHPerdata ). Kesaksian juga harus dikemukakan dengan lisan dan secara pribadi
di muka persidangan. Dengan demikian, saksi harus memberitahukan sendiri apa
yang diketahuinya, tidak boleh secara tertulis dan diwakilkan oleh orang lain.
Ketentuan ini ditafsirkan dari Pasal 166 ayat ( 1 ) RBg/140 ayat ( 1 ) HIR dan Pasal

16
176 RBg/148 HIR yang menentukan bahwa terhadap saksi yang telah dipanggil
dengan patut dan tidak datang diberi sanksi dan terhadap saksi yang telah datang
di persidangan tetapi enggan memberikan keterangan juga dapat diberi sanksi.

1.4 Alat Bukti Persangkaan dan Pengakuan

A. Alat Bukti Persangkaan

Alat bukti ini diatur dalam Pasal 173 HIR, Pasal 310 RBG, dan Pasal
1915-1922 KUH Perdata. dalam Pembahasan tentang alat bukti perdata sebelumnya,
telah dijelaskan bahwa alat bukti persangkaan termasuk dalam Alat Bukti Tidak Langsung
(Indirect Evidence) karena alat bukti tersebut tidak diajukan scara fisik melainkan
diperoleh dengan cara menyimpulkan atau menarik/mengambil kesimpulan dari peristiwa-
peristiwa hukum yang terjadi dalam persidangan.

Dalam Pasal 1915 KUH Perdata di jelaskan bahwa Persangkaan-persangkaan ialah


kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditariknya suatu
peristiwa yang terkenal ke arah suatu yang tidak terkenal. dari Pasal tersebut dapat
dibedakan bahwa persangkaan terdiri dari dua macam, yaitu:

1. Persangkaan Undang-Undang

2. Persangkaan Hakim

Persangkaan oleh hakim sangat potensial menimbulkan perdebatan di lapangan.


Apalagi jika dianut pandangan bahwa alat bukti persangkaan hakim mempunyai kekuatan
yang bebas. Kebebasan hakim melakukan persangkaan bukan tanpa syarat. Pasal 1922
BW misalnya mengatur bagaimana cara hakim menarik persangkaan. Pasal ini, plus Pasal
173 HIR, memberi warning kepada hakim agar berhati-hati menarik persangkaan.

Persangkaan Undang-Undang

Persangkaan undang-undang berdasarkan Pasal 1916 KUH Perdata adalah


persangkaan berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang berkenaan atau
berhubungan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu. Persangkaan undang-
undang sendiri diklasifikasikan lagi menjadi 2 macam, yaitu persangkan undang-undang
yang dapat dibantah (rebuttable presumtion of law) dan persangkaan undang-undang
17
yang tidak dapat dibantah (irrebuttable presumtion of law) . Persangkaan undang-
undang yang dapat dibantah berarti memungkinkan adanya pembuktian dari pihak lawan,
contohnya adalah Pasal 159, 633, 658, 662, 1394, dan 1439 KUH Perdata. Sedangkan
persangkaan undang-undang yang tidak dapat dibantah berarti pihak lawan tidak
memungkinkan untuk melakukan pembuktian terhadap persangkaan tersebut. Contohnya
dalam Pasal 184, 911, 1681 KUH Perdata.

Persangkaan Hakim

  Persangkaan ini diatur dalam Pasal 1922 KUH Perdata, kekuatan pembuktianya
bebas dengan kata lain terserah pada penilaian hakim. Dalam contoh kasus diatas,
Persangkaan yang diadapatkan dalam menyimpulkan peristiwanya adalah persangkaan
hakim, jadi dapat dilihat bahwa dalam hal ini Hakim bebas dalam menemukan
persangkaan berdasarkan kenyataan. persangkaan yang dimaksud adalah setiap
peristiwa yang telah dibuktikan di persidangan. 

 Satu persangkaan tidaklah cukup, agar dapat dikatakan sebagai alat bukti harus
saling berhubungan denga persangkaan lai atau alat bukti lainya.Namun menurut
pendapat Pitlo yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, hal tersebut sudah tidak dianut
sehingga 1 peristiwa/persangkaan saja sudah cukup.

B. Alat Bukti Pengakuan

Pasal 1866 KUH Perdata dan Pasal 164 HIR meletakkan pengakuan pada urutan
keempat mengenai alat bukti. Pengakuan yang bernilai sebagai alat bukti berdasarkan
Pasal 1923 BW dan Pasal 174 HIR ialah (i) pernyataan atau keterangan yang disampaikan
salah satu pihak kepada pihak lain dalam pemeriksaan suatu perkara; (ii) pernyataan atau
keterangan tersebut diucapkan di muka hakim atau dalam persidangan; atau (iii)
keterangan itu bersifat pengakuan (confession) bahwa apa yang dilakukan pihak lawan
benar untuk sebagian atau seluruhnya.

Jika salah satu pihak sudah mengakui fakta tertentu, menurut Yahya Harahap
dalam bukunya, hakim tidak lagi dapat dibenarkan untuk memberi pendapat tentang
masalah atau objek pengakuan. ‘Hakim tidak boleh lagi menyelidiki kebenaran
pengakuan itu’.

Pengakuan bisa dilakukan secara lisan atau secara tertulis. Pengakuan yang
disampaikan para pihak langsung di depan hakim akan sangat kuat. Tetapi pengakuan
18
lewat kuasa hukum juga dibenarkan. Pasal 174 HIR menyebutkan: ‘Pengakuan yang
diucapkan di hadapan hakim cukup menjadi bukti yang memberatkan orang yang
mengaku itu, baik yang diucapkan sendiri maupun dengan bantuan orang lain yang khusus
dikuasakanuntuk itu’.

Syarat dan Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Pengakuan



         Dalam Pasal 1923 dan Pasal 1925 KUH Perdata, serta Pasal 174 HIR diatur syarat
formil dal mengajukan pengakuan agar dapat dikatakan sah sebagai alat bukti, yaitu
pengakuan harus dikemukakan dimuka Hakim dalam proses pemeriksaan di persidangan.
jadi dapat disimpulkan bahwa pengakuan yang dilakukan tidak dimuka hakim dan diluar
persidangan tidak sah dan tinak mempunyai nilai sebagai alat bukti seperti yang diatur
dalam Pasal 1927 KUH Perdata dan Pasal 175 HIR. Pengakuan yang dilakukan di muka
hakim dalam proses pemeriksaaan di sidang pengadilan dapat dikatakan sebagai alat
bukti yang sah, sehingga mempunyai nilai kekuatan pembuktian, diantaranya adalah:


• daya mengikatnya, menjadi bukti ang memberatkan bagi pihak yang


mengeluarkan/melakukan pengakuan.

• nilai kekuatan pembuktianya sempurna bahgi phak yang telah melakukan


pengakuan tersebut

• apabila pengakua yang dikeluarkan merupakan pengakuan murni, maka kualitas


nilai pembuktianya yang sempurna itu juga meliputi daa kekauatan yang mengikat
(bindende) dan menentukan (beslissende)

Pengakuan yang sah sebagai alat bukti tidak dapat ditarik kembali, hal ini diatur
dalam Pasal 1926 KUH Perdata. Pasal ini menjelaskan bahwa suatu pengakuan yang
telah dilakukan dimuka hakim tidak dapat ditarik kembali kecuali dapat dibuktikan
bahwa pengakuan tersebut disebabkan karena alasan kekhilafan pihak yang
mengaku.

Macam Pengakuan

1. Pengakuan murni – salah satu pihak (penggugat / tergugat) membenarkan seluruh


dalil yang dikemukakan pihak lawannya secara utuh (bulat) tanpa adanya

19
pengingkaran atau penyangkalan atas dalil yang telah dikemukakan pihak lawan
tersebut. Akibat hukum dari adanya pengakuan semacam ini adalah:

a. Pihak lawan dibebaskan dari segala beban pembuktian yang harus


ditanggung pihak lawan dibebaskan (beban pembuktian gugur).

b. Setelah adanya pengakuan murni, maka secara otomatis perkara juga


selesai.

c. Hakim langsung dapat menjatuhkan putusan untuk mengakhiri perkara.

2. Pengakuan dengan kualifikasi – pengakuan terhadap suatu dalil-dalil yang


dikemukakan namun pengakuan tersebut tidak membenarkan secara keseluruhan
dalil-dalil yang telah telah dikemukakan pihak lawan (tidak secara utuh diterima).
Contoh; A mengemukakan dalil bahwa B telah membeli tanahnya seluas 10 hektar
pada 9 September 2009, lalu B dalam persidangan melakukan pengakuan bahwa
memang benar pada tanggal 9 September 2009 ia membeli tanah dari A, namun
hanya seluas 5 hektar, bukan 10.

3. Pengakuan dengan klausul – dalam pengakuan ini, para pihak yang mengaku
membenarkan dalil-dalil yang dikemukakan, namun disertai dengan tambahan
klausul yang bersifat membebaskan. Contoh; A menyatakan bahwa B meminjam
uangnya sebesar 10 juta pada 5 Oktober 2010. B kemudian melakukan pengakuan
bahwa ia meminjam uang kepada A sebesar 10 juta pada 5 Oktober 2010 namun
ia telah melunasinya pada 15 Oktober 2010.

Pengakuan Tidak Boleh Diterima Secara Terpisah-pisah 


         Hal ini diatur dalam Pasal 1924 KUH Perdata, Pasal 176 HIR. Dimana dalam Pasal
1924 dikatakan bahwa:

“Suatu pengakuan tidak boleh dipisah-pisah untuk kerugian orang yang melakukannya.

namun Hakim adalah leluasa untuk memisah-misah pengakuan itu manakala si berutang
didalam melakukanya, guna membebaskan dirinya, telah mengajukan peristiwa-peristiwa
yang ternyata palsu.”

          Arti dari pasal diatas adalah bahwa hakim tidak boleh menerima hanya sebagian
pengakuan dari pihak yang melakukan pngakuan, karena hal tersebut dapat menimbulkan
kerugia bagi pihak yang melakukan pengakuan. Akan tetapi hakim berwenang untuk
20
memisah-misahkan pengakuan tersebut, apabila  ternyata pengakuan yang diberikan
ternyata palsu dan hanya untuk membebaskan pihak yang melakukan pengakuan.

1.5 Alat Bukti Sumpah dan Keterangan Ahli

A. Alat Bukti Sumpah

Pengertian dan Pengaturan Sumpah

Sumpah sebagai alat bukti adalah berbeda dari sumpah yang biasa dijumpai
dalam kehidupan sehari-hari. Arti sumpah dalam konteks sebagai alat bukti adalah
dimana sebelumnya ada suatu keterangan yang diucapkan oleh salah satu pihak, dan
keterangan tersebut kemudian diperkuat dengan sumpah.

Definisi sumpah sebagai alat bukti tidak dirumuskan secara terang dalam undang-
undang yang mengaturnya, namun beberapa ahli memberikan definisi sumpah
berdasarkan pengertiannya masing-masing, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Menurut Sudikno Mertokusumo, sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan


yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau
keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa daripada Tuhan, dan percaya
bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum
oleh-Nya.

2. Menurut Krisna Harahap, sumpah adalah pernyataan untuk memastikan sesuatu,


yang disampaikan atas nama Yang Maha Kuasa.

3. Menurut M. H. Tirtaamidjaja, sumpah adalah suatu keterangan yang diucapkan


dengan khidmat, bahwa jika orang yang mengangkat sumpah itu memberi
keterangan yang tidak benar, ia bersedia dikutuk oleh Tuhan.

Dari definisi oleh para ahli tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa sumpah
adalah suatu pernyataan untuk memastikan sesuatu yang diucapkan atas nama Tuhan,
dimana orang yang memberi sumpah tersebut percaya bahwa jika ia memberi keterangan
yang tidak benar maka ia akan dihukum oleh Tuhan.

21
Alat bukti sumpah diatur dalam beberapa pasal, yaitu Pasal 155 - 158 HIR/182 -
185 RBg, Pasal 177 HIR/314 RBg, dan Pasal 1929 - 1945 KUHPerdata.

Jenis-jenis Sumpah

Sumpah sebagai alat bukti memiliki dua jenis, yaitu:

1. Sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak pada pihak lawannya untuk
menggantungkan putusan perkara kepadanya, yaitu adalah sumpah pemutus
(decissoir)

2. Sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya, kepada salah astu
pihak yang berperkara, yaitu adalah sumpah penambah/pelengkap (suppletoir)
dan sumpah penaksir (taxatoir/aestimatoir)

Kedua jenis sumpah tersebut bertujuan untuk menyelesaikan perkara, maka dari
itu dalam Pasal 177 HIR/314 RBg dinyatakan bahwa apabila salah satu pihak telah
mengucapkan sumpah, baik sumpah penambah maupun sumpah pemutus, terhadap
pihak tersebut tidak boleh diminta alat bukti lain untuk menguatkan sumpah yang telah
diucapkan. Sehubungan dengan itu, praktik alat bukti sumpah baru dapat dilakukan juka
kedua pihak atau hakim telah putus asa dalam mencari alat-alat bukti lainnya untuk
meneguhkan keterangan dari kedua pihak.

Sumpah Pemutus (Decissoir)

Sumpah pemutus adalah sumpah yang diajukan oleh salah satu pihak yang
berperkara kepada lawannya. Sumpah pemutus ini diatur dalam Pasal 156 HIR/183 RBg
dan Pasal 1930 KUHPerdata.

Inisiatif untuk membebani sumpah pemutus adalah dari salah satu pihak yang
berperkara dan dia pula lah yang harus menyusun rumusan sumpahnya.

Sumpah pemutus harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak
yang diperintahkan untuk bersumoah. Jika perbuatan tersebut dilakukan oleh kedua
pihak, maka pihak yang diperintahkan untuk bersumpah namun tidak bersedia, dapat
mengembalikan sumpah tersebut kepada lawannya. Menurut Pasal 156 HIR/183 RBg dan
Pasal 1932 KUHPerdata, seseorang yang diperintahkan untuk bersumpah namun
menolak mengangkatnya atau menolak mengembalikannya, dan seseorang yang
menolak sumpah yang dikembalikan padanya, maka orang tersebut harus dikalahkan.

22
Jika pihak yang dikalahkan menuduh bahwa sumpah yang diangkat oleh pihak
lawannya palsu, maksa ia dapat mengajukan pengaduan kepada aparat berwenang dan
meminta agar pihak yang mengangkat sumpah itu dituntut dalam perkara pidana atas
dakwaan bersumpah palsu yang terdapat dalam Pasal 242 KUHPidana.13

Sumpah Penambah/Pelengkap (Suppletoir)

Sumpah penambah/pelengkap adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim


karena jabatannya, kepada salah satu pihak yang berperkara untuk mendambahkan a tau
melengkapo pembuktian suatu peristiwa yang dinilai belum lengkap. Maka dari itu,
sumpah penambah hanya dapat diperintahkan jika sudah ada permulaan pembuktian,
tetapi masih belum mencukupi dan tidak ada alat bukti lain. Sumpah penambah tidak
dapat diperintahkan apabila tidak ada alat bukti sama sekali ataupun jika alat bukti sudah
dinilai cukup. Sumpah penambah diatur dalam Pasal 155 HIR/182 RBg dan Pasal 1940
KUHPerdata.

Untuk perihal pihak mana yang ditunjuk Hakim untuk melakukan sumpah
penambah merupakan kebijaksanaan dari Hakim yang memeriksa itu sendiri, dengan kata
lain Hakim bebas memilih pihak manapun dari yang berperkara yang akan dibebani
sumpah. Dalam pertimbangannya, Hakim harus memperhatikan pihak mana yang dengan
sumpah penambah itu akan menjamin kebenaran peristiwa yang menjadi perkara.

Berdasarkan Pasal 155 HIR/182 RBg ayat (1) dan Pasal 1941 KUHPerdata, Hakim
dapat memerintahkan sumpah penambah jika ia berpendapat bahwa tuntutan atau
tangkisan tidak terbukti dengan sempirna, atau tuntutan dan tangkisan tersebut sama
sekali tidak terbukti.14

Pihak yang diperintahkan oleh hakim untuk mengangkat sumpah penambah tidak
boleh mengembalikan sumpah tersebut pada pihak lawan, pin apa yang dinyatakan
dalam sumpah penambah tidak harus berhubungan degan perbuatan yang dilakukan
secara pribadi oleh orang yang bersumpah. Pihak lawan juga diberi kesempatan untuk
membuktikan bahwa sesuatu yang diteguhkan oleh sumpah tersebut adalah tidak benar.

Sumpah Penaksir (Aestimatoir/Taxatoir)

13 Syahrani, Riduan. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung, Citra Aditya Bakti, 2004, p. 199.

Sasangka, Hari. Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung,
14

Mandar Maju, 2005, p. 116.


23
Sumpah penaksir adalah sumpah yang diperintahkan hakim karena jabatannya,
kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang pengganti kerugian. Pasal 155 HIR/
182 RBg ayat (2) dan Pasal 1942 KUHPerdata, sumpah penaksir diperintahkan oleh
hakim jika jumlah uang pengganti kerugian yang dibebankan pada pihak tergugat tidak
jelas, sehingga dibutuhkan kepastian dengan menggunakan pembuktian. Dalam hal
tersebut, Hakim harus menetapka harga tertinggi. Sumpah penaksir diatur dalam Pasal
155 HIR/182 RBg dan Pasal 1940 KUHPerdata.

Sumpah penaksir hanya dapat dibebankan pada penggugat apabila pihak


penggugat telah membuktikan haknya atas pembayaran kerugian. Sumpah tersebut
dapat digunakan oleh Hakim bila ia berpendapat bahwa alat bukti yang telah ada tidak
dapat menetapkan besarnya kerugian tersebut.15

Perbedaan dan Persamaan Jenis-jenis Sumpah

Dari ketiga jenis-jenis sumpah yang telah diuraikan, terdapat persamaan dan
perbedaan di antaranya. Di antaranya adalah perbedaan utama dari sumpah pemutus
dan sumpah penambah, yaitu:16

1. Sumpah pemutus dibebankan oleh hakim atas inisiatif dari para pihak dalam
perkara, sedangkan sumpah penambah merupakan atas inisiatif Hakim sendiri

2. Sumpah pemutus hanya boleh dilakukan apabila tidak ada suatu bukti apapun,
sedangkan sumpah penambah hanya boleh dilakukan juka sudah ada permulaan
pembuktian

3. Sumpah pemutus dapat dikembalikan kepada pihak lawan, sedangkan sumpah


penambah tidak dapat dikembalikan atau dialihkan ke pihak lain

4. Sumpah palsu tidak dapat mempengaruhi akibat dari sumpah pemutus,


sedangkan sumpah penambah dapat dipengaruhi dengan adanya sumpah palsu

5. Yang menjadi objek dalam sumpah pemutus harus mengenai perbuatan pribadi
(walau dalam keadaan khusus dimungkinkan juga perbuatan orang lain),
sedangkan dalam sumpah penambah yang menjadi objek adalah perbuatan orang
lain

15 Ibid, p. 120.

16 Ibid, p. 128.
24
6. Sumpah pemutus memberikan bukti yang menentukan, sedangkan sumpah
penambah memberikan bukti sementara yang dapat dilawan dengan bukti lain

Sedangkan itu, terdapat beberapa kesamaan yang terdapat di antara ketiga jenis
sumpah.

Baik sumpah pemutus, sumpah penambah maupun sumpah penaksir harus


dijalankan sendiri oleh pihak yang dibebankan sumpah tersebut. Namun, berdasarkan
Pasal 157 HIR/184 RBg, Pengadilan Negero memberi ijin kepada salah satu pihak
sebagai pengecualian dikarenakan hal yang penting, untuk melakukan sumpah kepada
seorang wakil berdasarkan surat kuasa yang berupa surat otentik yang menyebutkan
bunyi lafal sumpah tersebut secara seksama.17

Pengangkatan sumpah harus dilakukan di dalam persidangan, dengan


pengecualian apabila ada halangan yang sah (Pasal 158 HIR/185 RBg), dan pelaksanaan
sumpah harus dilakukan di hadapan pihak yang lain, setelah pihak tersebut dipanggil
secara patut. Jika tidak dipanggil secara patut maka sumpat tersebut menjadi batal.

Karena ketiga jenis sumpah semua bertujuan untuk menyelesaikan perkara, maka
dalam Pasal 177 HIR/314 RBg menyatakan apa yang sekiranya diartikan bahwa apabila
sumpah sudah dilakukan oleh salah satu pihak, maka pihak tersebut tidak dapat
diperintahkan untuk mengadakan bukti lain demi meneguhkan apa yang sudah
dibenarkannya dalam sumpah tersebut. Pada esensinya, apabila sumpah telah dilakukan
maka pemeriksaan perkara dianggap selesai dan Hakim tinggal menjatuhkan putusannya.

B. Alat Bukti Keterangan Ahli

Pengertian Ahli dan Keterangan Ahli

Secara umum, definisi dari seorang ahli menurut KBBI adalah seseorang yang
mahir dan atau paham sekali dalam suatu ilmu atau kepandaian. Dengan kata lain,
seorang ahli adalah orang yang sangat mengetahui seluk beluk suatu ilmu atau topik,
dimana opininya berdasarkan pengetahuannya akan suatu bidang tertentu itu memiliki
kekuatan sebagai bukti dalam persidangan.

Undang-undang tidak secara spesifik menjelaskan apakah keterangan ahli


tersebut, namun keterangan ahli diatur dalam Pasal 154 HIR/181 RBg/215 Rv.

17 Ibid. p. 126.
25
Kedudukan dan Kekuatan Keterangan Ahli sebagai Alat Bukti

Sebelumnya sudah kita tetapkan bahwa keterangan ahli diatur dalam Pasal 154
HIR/181 RBg/215 Rv. Namun, pasal tersebut sebetulnya bukan mengatur keterangan ahli
sebagai alat bukti yang sesungguhnya, melainakn hanya sebagai pembantu Hakim dalam
memperkuat pertimbangannya untuk menjatuhkan putusan. Mengapa demikian, karena
jika kita lihat dalam Pasal 164 HIR yang menyebutkan bentuk-bentuk alat bukti, kita tidak
akan menemukan keterangan ahli di antaranya.

Dalam Pasal 154 ayat (4) HIR disebutkan bahwa Hakim tidak wajib mengikuti
pendapat ahli jika pendapat tersebut berlawanan dengan keyakinannya. Dengan
demikian, undang-undang memberi kebebasan pada hakim untuk mengikuti atau tidak
pendapat seorang ahli, dimana kalau Hakim mengikuti pendapat ahli maka ia mengambil
alih pendapat ahli tersebut menjadi pendapatnya sendiri dan dijadikan sebagai alat
pertimbangan dalam putusan. Hal ini dikarenakan pendapat ahli bukan merupakan alat
bukti formil menurut Pasal 164 HIR, maka Hakim menjadikan pendapat hakim sebagai
pendapatnya sendiri. Sebaliknya, jika Hakim tidak mengikuti pendapat tersebut, maka
pendapat itu disingkirkan dan dianggap tidak ada.

Kekuatan keterangan ahli tidak begitu jelas diatur dalam undang-undang namun
diperkuat oleh Yurisprudensi Putusan MA tanggal 10 April 1957 No. 213 K/Sip/1955
dimana dikatakan

“Bagi Hakim Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri tidak ada keharusan
untuk mendengar seorang saksi ahli berdasarkan Pasal 138 ayat (1) jo. Pasal 164
HIR.

Pengelihatan Hakim di sidang tentang adanya perbedaan antara dua buah


tanda tangan dapat dipakai oleh Hakim sebagai pengetahuannya sendiri dalam
usaha pembuktian.”18

Perbedaan Antara Saksi dan Ahli

Seorang saksi tidaklah sama dengan seorang ahli, tentunya. Perbedaan antara
saksi dan ahli adalah:19

1. Dapat tidaknya diganti

18Soeroso. Hukum Acara Perdata Lengkap & Praktis HIR, RBg, dan Yurisprudensi. Jakarta, Sinar Grafika,
2010, p. 123.

19 Abdulkadir, Muhammad. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000, p. 142.
26
Seorang ahli dapat diganti dengan ahli lainnya dalam bidang keahlian yang
sama karena seorang ahli memberikan keterangan berdasarkan pengetahuannya
mengenai bidang keahliannya tersebut, bukan berdasarkan pengalamannya
langsung dengan perkara yang dipermasalahkan. Sedangkan saksi tidak dapat
diganti karena keterangannya mengenai apa yang dilihat, didengar dan dirasakan
oleh saksi itu sendiri, walaupun ada pengecualian ketika suatu kejadian disaksikan
oleh orang banyak, maka dapat digantikan seorang saksi dengan saksi lain yang
mengalami hal yang sama.

2. Keterangan yang diperlukan

Seorang ahli diminta keterangan mengenai hal-hal yang dapat dilihatnya


dalam persidangan saja, sedangkan seorang saksi diminta keterangan mengenai
peristiwa yang terjadi sebelum perkara disidangkan.

3. Alat yang digunakan

Seorang ahli memberikan keterangan berdasarkan ilmu pengetahuan yang


dimilikinya mengenai suatu bidang tertentu, sedangkan seorang saksi memberikan
keterangan berdasarkan panca inderanya di saat terjadinya peristiwa yang
bersangkutan dengan perkara.

4. Tujuan prosesual

Seorang ahli dipanggil ke persidangan untuk memberi pertimbangan


mengenai suatu peristiwa, sedangkan seorang saksi sipanggil untuk memberikan
bahan bukti baru untuk menambah atau melengkapi bahan yang sudah ada.

Keterangan Ahli dalam Persidangan

Tidak semua orang dapat diangkat menjadi ahli. Selain harus memiliki suatu
pengetahuan yang dalam mengenai sebuah topik atau bidang, topik dan bidang yang kita
kuasai tersebut harus pula sesuai dengan bidang perkara yang disengketakan.

Sebelum seorang ahli memberikan keterangan atau pendapatnya, ia terlebih


dahulu harus mengucapkan sumpah promisor, sehingga keterangan atau pendapat yang
ia berikan adalah keterangan di bawah sumpahyang sah menurut undang-undang.
Keterangan tersebut dapat ia berikan baik secara lisan di persidangan, maupun secara
tertulis yang diserahkan kepada Hakim.

27
Meskipun undang-undang memberikan kebebasan kepada Hakim untuk mengikuti
atau tidak pendapat ahli, dari segi hukum pembuktian, pendapat ahli tidak dapat berdiri
sendiri sebagai alat bukti dan kedudukannya hanya berfungsi untuk menambah atau
memperjelas atau memperkuat permasalahan perkara.

28

Anda mungkin juga menyukai