Anda di halaman 1dari 12

Tugas MID

HUKUM PIDANA FORENSIK

OLEH :

SUPRAYITNO

H1A1 15 293

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2018
A. Pembuktian Dan Sistem Pembuktian Berdasarkan KUHAP

Pengertian “pembuktian” secara umum adalah ketentuan-ketentuan yang yang berisi

penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang dalam

membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan

ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh

dipergunakan oleh hakim guna membuktikan kesalahan yang didakwakan.

Mengenai pengertian dari kata pembuktian dapat dijumpai dalam pendapat para

sarjana antara lain :

a. R. Soebekti, menyatakan bahwa :

Yang dimaksud dengan “membuktikan” ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran

dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.36

b. Martiman Prodjohamidjojo, menyatakan :

“membuktikan” mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran suatu

peristiwa sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan pembuktian adalah

suatu kebenaran atau dalil yang diajukan ke depan sidang.

Dalil yang dimaksud itu dapat berupa alat bukti yang sah, dan diajukan ke depan

persidangan. Dengan demikian pembuktian merupakan suatu kebenaran dari alat bukti yang

sah, untuk dinyatakan bersalah atau tidaknya terdakwa atas tindak pidana yang didakwakan.

Masalah pembuktian tentang benar tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan yang

didakwakan merupakan bagian terpenting dari acara pidana, karena hak asasi manusia

(terdakwa) akan dipertaruhkan. Dalam hal inilah hukum acara pidana bertujuan untuk

mencari kebenaran materiil, yang berbeda dengan hukum acara perdata yang hanya sebatas
pada kebenaran formal. Senada dengan hal tersebut, Van Bemmelen mengemukakan tiga

fungsi hukum acara pidana yaitu :

 Mencari dan menemukan kebenaran;

 Pemberian keputusan oleh hakim;

 Pelaksanaan keputusan.

Dari ketiga fungsi tersebut, yang paling penting adalah fungsi “mencari kebenaran”

karena hal tersebut merupakan tumpuan kedua fungsi berikutnya. Setelah menemukan

kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan barang bukti, maka hakim akan sampai

kepada putusan yang selanjutnya akan dilaksanakan oleh Jaksa.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum acara pidana, termasuk

KUHAP adalah untuk mencari kebenaran dengan melakukan pembuktian. Secara teoritis,

dikenal empat macam sistem pembuktian dalam perkara pidana, yaitu sebagai berikut :

1. Conviction in time, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada keyakinan hakim

an sich dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan

yang didakwakan kepada terdakwa.

2. Conviction in Raisonee, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada keyakinan

hakim dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang

didakwakan kepada terdakwa. Faktor keyakinan hakim dalam sistem pembuktian ini

harus didasarkan pada alasan-alasan yang logis (reasonable). Hal ini yang membedakan

dengan sistem pembuktian yang pertama.

3. Positief wetelijk stelsel atau yang lebih dikenal dengan sistem pembuktian posiitf, adalah

sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-
undang dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan

yang didakwakan kepada terdakwa.

4. Negatief wetelijk stelsel atau yang lebih dikenal dengan sistem pembuktian negatif,

adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti yang telah ditentukan oleh

undang-undang dan keyakinan hakim dalam memberikan putusan tentang terbukti atau

tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Adapun sistem Pembuktian yang diatur dalam KUHAP tercantum dalam Pasal 183 yang

rumusannya adalah sebagai berikut : ” Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada

seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah

melakukannya.”

Dari rumusan Pasal 183 tersebut, terlihat bahwa pembuktian harus didasarkan sedikitnya

pada dua alat bukti yang sah, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat

bukti tersebut. Artinya, tersedianya minimum dua alat bukti saja, belum cukup untuk

menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Sebaliknya, meskipun hakim sudah yakin terhadap

kesalahan terdakwa, maka jika tidak tersedia minimum dua alat bukti, hakim juga belum

dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Dalam hal inilah penjatuhan pidana terhadap

seorang terdakwa haruslah memenuhi dua syarat mutlak, yaitu alat bukti yang cukup dan

keyakinan hakim. Sistem pembuktian tersebut terkenal dengan nama sistem negative

wettelijk.

Dalam Penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut dinyatakan bahwa Pembentuk Undang

Undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam

kehidupan penegakan hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut undang-


undang secara negatif, semi tegaknya keadilan, kebenaran dan kepastian hukum. Karena

dalam sistem pembuktian ini, terpadu kesatuan penggabungan antara sistem conviction-in

time (sistem pembuktian yang hanya bersandar atas keyakinan hakim) dengan sistem

pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijk stelsel).

Ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP tersebut hampir identik dengan ketentuan dalam

Pasal 6 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu : “Tidak seorang pun

dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut

undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung

jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”

Oleh karena itu, konsep keyakinan hakim tersebut baru dapat terbentuk dengan

didasarkan pada adanya alat bukti yang sah menurut KUHAP. Keyakinan hakim yang akan

terbentuk tersebut pada akhirnya nanti hanya terdiri dari dua macam, yaitu keyakinan bahwa

terdakwa tidak terbukti bersalah atau sebaliknya keyakinan bahwa terdakwa terbukti

bersalah.

Aktualisasi dari kombinasi kedua konsep dalam ketentuan pasal 183 KUHAP tersebut

dapat dilihat dalam rumusan kalimat baku setiap diktum putusan perkara pidana yang

menyatakan “secara sah dan meyakinkan”. Kata “sah” dalam hal ini berarti bahwa hakim

dalam memberikan putusan tersebut didasarkan pada alat bukti yang sah sebagaimana diatur

dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan kata “meyakinkan”

dalam hal ini berarti bahwa dari alat bukti yang sah tersebut maka terbentuk keyakinan

hakim.

Rumusan sistem pembuktian tersebut tentunya untuk mendukung tujuan dari hukum

acara pidana, yaitu untuk mencari dan memperoleh kebenaran materiil. Dengan tercapainya
kebenaran materiil maka akan tercapai pula tujuan akhir hukum acara pidana, yaitu untuk

mencapai suatu ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan dalam

masyarakat.Adapun yang dimaksud dengan alat-alat bukti yang sah adalah sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu :

1. Keterangan Saksi;

2. Keterangan Ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan Terdakwa.

Dengan demikian, untuk dapat menjatuhkan pemidanaan kepada seseorang haruslah

terdapat minimal dua alat bukti dari lima alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP

yang mengatur secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Hal tersebut

diatas, juga mengisyaratkan bahwa KUHAP juga menganut prinsip Batas Minimum

Pembuktian yang mengatur batas tentang keharusan yang dipenuhi dalam membuktikan

kesalahan terdakwa.

Selain kelima alat bukti tersebut, tidak dibenarkan untuk dipergunakan dalam pembuktian

kesalahan terdakwa. Alat bukti yang dibenarkan dan mempunyai kekuatan pembuktian

hanyalah kelima alat bukti tersebut. Pembuktian dengan alat bukti diluar kelima alat bukti

diatas, tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan yang mengikat. Dalam hal ini,

baik Hakim, Penuntut Umum, terdakwa maupun Penasehat Hukum, semuanya terikat pada

ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.

 Dengan berkembangnya zaman banyak tinggkat kejahatan yang terjadi dengan berbagai

macam motif kejahatan, oleh karna itu selain alat bukti yang terdapan dalam pasal 184
KUHAP sering terjadi pembuktian dengan cara atau pembuktian forensik, salah satunya

yaitu keterangan Ahli forensik.

Dimana salah satu bidangnya yaitu Kedokteran Forensik 

adalah salah satu cabang ilmu kedokteran yang mempelajari dan menerapkan ilmu

pengetahuan dan teknologi kedokteran untuk kepentingan hukum dan peradilan. Namun

ilmu kedokteran forensik memiliki beberapa fungsi atau kegunaan yang dibedakan

menurut bidangnya masing-masing. Berikut kegunaan Ilmu Kedokteran Forensik dibagi

sebagai berikut:

a. Menurut obyek pemeriksaan

 Manusia hidup

 Mayat

 Bagian-bagian tubuh manusia

 Menurut bentuk jasa

 Melakukan pemeriksaan dan mengemukakan pendapat tentang hasil

pemeriksaannya (sebab luka; sebab kematian; benar tidaknya ada darah, air mani,

dan sebagainya)

 Mengemukakan pendapat saja

 Memberi penasihat tentang penyelidikan/penuntutan

b. Menurut tempat kerja

 Rumah sakit atau laboratorium

 Tempat kejadian perkara (TKP)

 Ruang kantor atau sidang

c. Menurut waktu pemeriksaan


 Sewaktu perkara di tangan penyidik

 Sewaktu perkara di tangan jaksa

 Di sidang pengadilan

Kemampuan Kedokteran Kepolisian dalam kegiatan Kedokteran

Forensik meliputi:

a. Olah TKP Aspek Medik;

b. Patologi Forensik;

c. Odontologi Forensik;

d. DNA Forensik;

e. Antropologi Forensik;

f. Forensik Klinik;

g. Psikiatri  Forensik;

h. Kedokteran Lalu Lintas;

i. Database Odontogram;

j. Database DNA;

k. PPT;

l. Toksikologi Forensik;

m. Farmasi Forensik;

n. Kesehatan Tahanan;

o. Hukum Kesehatan; dan

p. Medikolegal

Berhubung seringya di gunakannya pembuktian secara forensik sering muncul

pertanyaan bukti dari forensik memiliki kekuatan atau kepastian hukum? Padaahal dalam
pasal 184 KUHP tidak tertera pembuktian secara forensik. Oleh karna itu saya akan

mencoba menjelaskan kedudukan pembuktian secara forensik yang salah satumya adalah

“KETERANGAN AHLI”

Berada di nomor urut dua dalam daftar alat bukti yang sah menurut KUHAP,

keterangan ahli telah menjadi salah satu ‘kekuatan’ aparat penegak hukum untuk

membuktikan terjadinya suatu tindak pidana. Meskipun ahli tak melihat, mengalami atau

mendengar langsung suatu peristiwa pidana, keterangannya acapkali sangat diandalkan

penegak hukum.

Pendapat ahli acap dijadikan rujukan untuk menetapkan seseorang tersangka,

membebaskan atau menghukum terdakwa. Begitu pentingnya kedudukan seorang ahli,

sehingga dalam perkara-perkara pidana yang menarik perhatian publik, kehadiran ahli

sering dinantikan.

Salah satu contoh tindak pidana pembunuhn yang menggunakan keterangan saksi

ialah Sidang pembunuhan Wayan Mirna Salihin, yang sedang disidangkan di PN Jakarta

Pusat, bisa dijadikan contoh terbaru bagaimana keterangan ahli begitu penting. Hingga

pekan ke dua di bulan Agustus, sudah enam orang ahli yang dimintai keterangan.

Penuntut umum, pengacara, dan majelis berupaya menggali informasi sebanyak mungkin

pendapat ahli, sesuai kepentingan yang bertanya.

Untuk membuktikan penyebab kematian Mirna, penuntut umum menghadirkan ahli

forensik dokter Slamet Purnomo dan ahli racun (toksikolog) Nursamran Subandi. Dokter

Slamet mengatakan ada tanda kerusakan yang berasal dari zat korosif. Bagian bibir dalam

berwarna kehitaman. Di lambung korban juga ditemukan bercak berwarna hitam.


Keterangan Nursamran Subandi semakin mempertegas penyebab kematian Mirna adalah

racun sianida. Kadar sianida dalam tubuh korban melebihi dosis. Artinya, mematikan.

Sampai di sini, masih ada pertanyaan yang harus dijawab: siapakah yang menaruh

racun ke dalam gelas es kopi vietnam yang diminum korban? Polisi dan jaksa

mengandalkan CCTV kafe Olivier Jakarta. Tetapi untuk meyakinkan hakim pada hasil

rekaman itu, penuntut umum menghadirkan dua ahli digital forensik dan teknologi

informasi, M. Nuh dan Christopker Hariman Rianto. Ahli menguraikan detik per detik

gerakan terdakwa Jessica Kumala Wongso yang terekam CCTV selama di dalam kafe.

Detik-detik saat memasukkan sianida ke dalam minuman yang dikonsumsi korban

menjadi kunci penting mengungkap siapa yang membunuh Mirna. Terdakwa Jessica

menyatakan keberatan terhadap keterangan ahli digital.

Dalam teks KUHAP disebutkan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan

oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat

terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. KUHAP tak memberikan

penjelasan lebih lanjut makna ‘keahlian khusus’.

KUHAP memang tak mengatur secara rinci persyaratan untuk menjadi ahli dalam

perkara pidana. Yang ada hanya frasa ‘keahlian khusus’ tadi. Pertanyaan mengenai

kapasitas ahli antara lain muncul dalam perkara pembunuhan Mirna.

Pasal 179 ayat (1) berbunyi “Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli

kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli

demi keadilan.” Sedangkan dalam Pasal 186 menyatakan bahwa “Keterangan ahli adalah

apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.”


Ahli yang dihadirkan di persidangan umumnya adalah ahli yang telah dimintai

keterangan oleh penyidik dalam proses penyidikan. Dalam perkara pidana pembunuhan,

misalnya, ahli yang dihadirkan seringkali dokter forensic yang juga bekerja di rumah

sakit Polri. Apakah dalam konteks itu terjadi konflik kepentingan, sehingga ahli akan

selalu membela kepentingan penyidik.

Pengaturan dalam KUHAP juga tidak ada yang menyebutkan mengenai forensik.

Yang diatur dalam KUHAP adalah terkait ahli kedokteran. Merujuk pada macam-macam

forensik yang telah disebutkan di atas, ahli forensik dapat dikatakan sebagai ahli

kedokteran. Mengenai ahli kedokteran, Pasal 133 ayat (1) KUHAP memberi wewenang

kepada penyidik untuk mengajukan permintaan keterangan kepada ahli kedokteran

kehakiman jika penyidikan menyangkut korban luka, keracunan, atau mati. Permintaan

keterangan ahli ini dilakukan secara tertulis.

Namun dalam hal penggunaannya banyal yang menggunaka forensik walaupun

banyak yang tidak tau bahwa “KETERANGAN AHLI” merupakan pembuktian yang sah.

Dengan diperkuat dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan

Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang

Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

menjadi dasar pembuktian secara forensik.


DAFTAR PUSTAKA

http://lp3madilindonesia.blogspot.com/2011/01/pembuktian-system-berdasarkan-

kuhap.html

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57bc379b6a154/kedudukan-ahli-dan-

pendapatnya-dalam-perkara-pidana

Handoko Tjondroputranto dan Rukiah Handoko. Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas

Hukum Universitas Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Depok: 2000/2001.

Anda mungkin juga menyukai