Anda di halaman 1dari 22

Pembuktian dan Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata

Alehandrow Tri Agusto1, Fadlan Syauqi2, Muh. Albadrut Tamam3, Sofiyatul Anisa4

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

05010521004@student.uinsby.ac.id1

05010521008@student.uinsby.ac.id2

05020521029@student.uinsby.ac.id3

05020521036@student.uinsby.ac.id4

Pendahuluan
Hukum adalah salah satu pijakan penting dalam menjaga tatanan sosial dan
keadilan dalam masyarakat. Dalam konteks hukum pidana, pembuktian dan alat bukti
menjadi inti dari proses peradilan yang adil dan objektif. Dalam menjalani studi di bidang
hukum, pemahaman yang mendalam tentang konsep-konsep ini adalah suatu keharusan.
Oleh karena itu, jurnal ini bertujuan untuk menggali lebih dalam mengenai pengertian,
tujuan, teori, dan beban pembuktian, serta alat bukti menurut Pasal 164 Herziene
Indonesisch Reglement (HIR) atau 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
sekaligus menjelaskan strategi penyusunan alat bukti pemeriksaan setempat dan merinci
pandangan para ahli dalam hal ini.

Pembuktian dan alat bukti merupakan aspek utama dalam sistem peradilan yang
melibatkan proses pengumpulan, presentasi, dan evaluasi informasi yang relevan untuk
menentukan kebenaran suatu klaim atau dakwaan. Prinsip dasar dalam pembuktian adalah
bahwa setiap individu dianggap tidak bersalah hingga terbukti sebaliknya. Prinsip ini, yang
diatur dalam Pasal 164 HIR atau 1866 KUHP, menggambarkan pentingnya menjaga hak
asasi individu dan menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berwenang.

Dalam kaitannya dengan alat bukti, Pasal 164 HIR atau 1866 KUHP mengatur
aturan-aturan yang mengatur penggunaan berbagai jenis bukti dalam proses hukum
pidana. Ini mencakup bukti fisik, bukti saksi, bukti dokumenter, dan bukti elektronik, di

1
antara lainnya. Penting untuk memahami bagaimana aturan ini berlaku dan bagaimana alat
bukti ini harus disusun untuk mendukung tuntutan pidana yang kuat.

Selain itu, alat bukti pemeriksaan setempat adalah aspek yang semakin relevan
dalam sistem peradilan modern. Proses ini melibatkan penyelidikan atau pemeriksaan
langsung oleh pihak berwenang di tempat kejadian perkara untuk mengumpulkan bukti
yang relevan. Hal ini memungkinkan penggunaan bukti yang lebih segar dan mendalam
dalam proses peradilan.

Selama perjalanan dalam penyusunan jurnal ini, kami juga akan mengeksplorasi
pandangan para ahli yang telah memberikan kontribusi berharga dalam memahami dan
mengembangkan konsep-konsep yang berkaitan dengan pembuktian dan alat bukti.

Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep-konsep ini, kita dapat
melangkah maju dalam menjaga integritas dan keadilan dalam sistem hukum kita. Dengan
demikian, jurnal ini bertujuan untuk menjadi sumber pengetahuan yang berharga bagi
mahasiswa hukum, praktisi hukum, dan siapa pun yang tertarik pada bidang hukum pidana
dan proses peradilan yang adil.

Pengertian Pembuktian
Kata membuktikan dikenal dalam arti logis. Pembuktian di sini berarti memberikan
kepastian yang mutlak, karena berlaku untuk semua orang dan tidak mungkin – pastikan
ada bukti yang berlawanan. Berdasarkan suatu aksioma, yaitu kaidah-kaidah umum yang
dikenal dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya pembuktian yang bersifat mutlak
yang tidak memungkinkan adanya pembuktian yang menentang.1

Pembuktian sangat berperan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan.


Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah sesuai dengan UU tidak
tercukupi, terdakwa bisa dibebaskan sesuai Pasal 191 (1) KUHPerdata. Sehingga
membuktikan bagi pihak-pihak yang merasa berperkara atau berselisih dan merasa haknya
diambil atau dirugikan, maka tentu harus bisa membuktikan. Membuktikan adalah
meyakinkan hakim dengan kebenaran dalil atau dalil yang dikemukkan dalam suatu
persengketaan. Dengan demikian sesungguhnya bahwa pembuktian pada dasarnya
1
Ahmad Ali, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata (Jakarta: Kencana, 2012), 16.

2
hanyalah diperlukan pada persengketaan dan perkara di muka persidangan atau di
Pengadilan. Jadi perselisihan yang menyangkut hak milik, utang-piutang atau warisan atau
peselisihan tentang hak-hak perdata adalah semata-mata termasuk kekuasaan atau
wewenang hakim dipengadilan untuk memutuskannya, dalam hal ini hakim atau
pengadilan perdata.

Kemudian Pembuktian menurut ilmu hukum adalah suatu upaya penguraian alat
alat bukti yang kongkrit oleh pihak yang bersangkutan terhadap hakim di persidangan,
untuk memberikan kepastian dasar dengan kekuatan dalil dan fakta hukum yang menjadi
pokok sangketa agar jatuhnya putusan hakim. beberapa pendapat ahli tentang pembuktian
sebagai berikut:

a. M. Yahyah Harahap
Pembuktian adalah kemampuan penggugat atau tergugat memanfaatkan hukum
pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa
peristiwa yang didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum yang
diperkarakan.2

b. Subekti
Pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat alat bukti dipergunakan diajuhkan
atau dipertahankan sesuatu hukum acara berlaku.3

c. Sudikno mertokusumo
Pembuktian dalam arti logis berarti memberikan kepastian yang mutlak karena
berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan bukti lawan. Pembuktian dalam
arti konvesional memberi kepastian tetapi bukan kepastian mutlak yang sifatnya
relative dengan beberapa kepastian antara lain (kepastian perasaan conviction
intime, kepastian pertimbangan akal conviction raisoone, kepastian yuridis).4

2
Abd. Rosyid As’ad, “Akta Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perkara Perdata,”
http://fakultashukumdarussalam.blogspot.com/2012/11/akta-elektronik-sebagai-alat-bukti.html,
November 2011.
3
Subekti, Hukum Pembuktian (Jakarta: 1991, t.t.), 7.
4
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2009), 127.

3
Pembuktian merupakan suatu hal pokok dalam pengadilan untuk memberikan
kejelasan dalam suatu peristiwa atau adanya suatu hak hukum, yang menjadikan suatu
penggugat untuk memberikan gugatan ke pengadilan, pada tahap pembuktian pihak
tergugat mempunyai hak wewenang dalam membantah suati dalil yang diajukan oleh pihak
penggugat, dengan itu alat alat bukti digunakan hakim untuk memperoleh dasar dasar
dalam menjatuhkan suatu keputusan perkara.

Sampai sekarang di Indonesia hukum pembuktian acara perdata tetap menggukan


ketentuan HIR (herziene indonesiche reglemen), RBG (rechtsregement voor de
buitengewesten), BW (burjelijk wetboek), dan KUHPerdata. Hukum pembuktian dalam acara
perdata adalah suatu usaha mendapatkan kebenaran formil. Didasarkan oleh pokok hukum
sehingga akta otentik mempunyai pembuktian yang sempurna dan mengikat, (sempurna)
diartikan hakim tidak memerlukan bukti lain dalam utusan perkara kecuali bukti otentik
yang dimaksud. (mengikat) diartikan hakim terikat oleh bukti otentik yang tertuai dalam
pasal 1868 KUH perdata “suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk
yang ditentukan undang undang atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu
akta dibuat”.5

Adapun perbedaan hukum pembuktian secara yurisdis dan ilmiah, pembuktian


yurisdis bersifat historis sesuatu yang terjadi dimasa lampau sedangkan ilmiah bersifat
eksakta yang terjadi di masa sekarang, dalam pembuktian ilmiah tidak membedakan antara
pihak yang mengajukan pembuktian (penggugat) kepada pihak yang menilai keabsahan
pembuktian (hakim). Lain halnya dengan pembuktian yurisdis yang memisahkan antara
yang mengajukan pembuktian (penggugat) dan yang menilai pembuktian (hakim). Contoh
dari perbedaan yurisdis dan ilmiah dapat dilihat dari sistem pengadilan angli saks seperti
di negara common law dan sistem pengadilan continental yang dianut oleh Indonesia
dikarenakan warisan penjajah belanda, berikut beberapa ringkasan tentang perbedaan
sistem pengadilan.

a) Dalam sistem anglo saks di bagi menjadi dua katagori yaitu; pertama hakim
hanya memeriksa segi hukumnya dan selanjutnya hanya mengcover masalah
5
“Mengenal Jenis Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata,” diakses 2 September 2023,
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-lahat/baca-artikel/15189/Mengenal-Jenis-Alat-Bukti-dalam-
Hukum.

4
hukumnya, kedua juri menanggani dari segi fakta dan peristiwa selanjutnya
juri hanya menyatakan putusan bersalah atau tidaknya.

b) Dalam sistem continental hakim yang memeriksa semuanya, baik peristiwa


maupun hukumnya dan juga segala putusan berpegang terhadap hakim.

Hasil dari paparan di atas bahwa pembuktian secara ilmiah lebih pasti dan efektif
dibandingkan dengan pembuktian yurisdis, misalnya dalam suatu pembuktian yurisdis
seorang tergugat mengakui berhutang terhadap penggugat maka sekalipun tergugat
berdusta, oleh hakim maka hal itu harus diterima sebagai terbukti benar telah berhutang.6

Tujuan Pembuktian
Memberikan sebuah keputusan yang bersifat kompleks dengan dasar pembuktian
dan uraian hukum yang berlaku, dan memliki akibat hukum. Penulis membedakan tujuan
pembuktian menurut prespektif beberapa pihak yang bersangkutan dalam pengadilan
adalah sebagai berikut:

I. Bagi penuntut umum pembuktian bertujuan untuk meyakinkan hakim yakni


bersandar terhadap bukti yang sudah dikumpulkan untuk menyatakan
terdakwa bersalah atas catatan surat yang berlaku
II. Bagi terdakwa dan penasehat hukum pembuktian bertujuan untuk
meyakinkan hakim dengan dasar bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa
dibebaskan dari tuntutan hukum, maka untuk itu harus menunjukan bukti
bukti yang dapat menringankan atau menguntungkannya.
III. Bagi hakim atas dasar pembuktian bertujuan mengambil keputusan atas
pengajuan dari penuntut umum dan penasehathuku/terdakwa.7

Teori Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata


Pembuktian merupakan tahap yang penting dalam proses hukum acara perdata.
Dalam konteks hukum, pembuktian digunakan untuk memperkuat atau membantah klaim
atau pernyataan yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pembelaan
perdata. Teori pembuktian hukum acara perdata melibatkan aturan dan prinsip yang
6
Ali, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, 24–25.
7
Subekti, Hukum Pembuktian, 11.

5
mengatur bagaimana bukti-bukti dapat diterima atau ditolak dalam konferensi. Tujuannya
adalah untuk mencari kebenaran materiil dan memastikan keadilan bagi semua pihak yang
terlibat.8

Prinsip dasar dari teori pembuktian dalam hukum acara perdata adalah bahwa
pihak yang mengajukan klaim atau tuntutan memiliki beban pembuktian. Artinya, pihak
yang menggugat harus membuktikan bahwa klaimnya memiliki dasar yang kuat dan dapat
diterima oleh pengadilan. Beban pembuktian ini dapat berbeda tergantung pada sifat klaim
yang diajukan.9 Misalnya, dalam kasus perdata biasa, beban pembuktian yang dikenakan
pada pihak penggugat adalah "bukti meyakinkan", sedangkan dalam kasus perdata yang
lebih serius, seperti tuntutan ganti rugi dalam kasus kecelakaan, beban pembuktian yang
dikenakan pada pihak penggugat adalah "bukti yang meyakinkan".10

Selain itu, dalam hukum acara perdata, terdapat pula prinsip "presumsi kebenaran"
yang berlaku dalam pembuktian. Presumsi kebenaran ini menyatakan bahwa fakta yang
telah terbukti dalam suatu persidangan memiliki kekuatan hukum dan harus diterima
sebagai kebenaran oleh pengadilan, kecuali ada bukti yang kuat yang menunjukkan
sebaliknya. Prinsip ini memberikan kepastian hukum dan menghindari perlunya
membuktikan fakta yang sudah umum diketahui secara berulang-ulang.11

Dalam proses pembuktian, terdapat beberapa prinsip yang harus dipatuhi. Salah
satunya adalah prinsip kebebasan pembuktian, yang memberikan hak kepada setiap pihak
untuk mengajukan bukti-bukti yang relevan dan sah sebagai alat pembuktian. Namun,
bukti-bukti tersebut harus memenuhi kriteria kecukupan, kejelasan, dan keabsahan yang
ditetapkan oleh hukum acara perdata.12

Prinsip lain yang harus diperhatikan adalah prinsip kredibilitas bukti. Bukti yang
dikemukakan harus dapat dipercaya dan memiliki hubungan yang kuat dengan klaim atau

8
Ahamad Santoso, “Teori Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata,” Singaperbangsa Law Review
(SILREV), 2, 15, no. Jurnal Hukum dan Keadilan (2020): 123–45.
9
Santoso.
10
Ahmad Nursyamsi dan S. Widiantoro, Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 2018).
11
Nursyamsi dan Widiantoro.
12
Nursyamsi dan Widiantoro.

6
pernyataan yang dikemukakan. Kredibilitas bukti bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor,
seperti kecermatan dalam pengumpulan bukti, sumber bukti, dan keabsahan bukti
tersebut.13

Beban Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata


Hukum acara perdata adalah cabang hukum yang mengatur proses penyelesaian
sengketa antara individu atau entitas hukum di pengadilan. Dalam setiap proses hukum
acara perdata, beban pembuktian memainkan peran penting untuk menegakkan keadilan.
Beban pembuktian dalam hukum acara perdata adalah suatu prinsip yang menentukan
siapa yang bertanggung jawab untuk memenuhi persyaratan pembuktian dalam suatu
persidangan. Dalam konteks hukum perdata, beban pembuktian merupakan tanggung
jawab pihak yang mengajukan klaim atau menyanggah klaim dalam suatu kasus hukum.1415

Dalam sistem hukum Indonesia, prinsip beban pembuktian diatur dalam Pasal 186
Hukum Acara Perdata.16 Pasal ini menyatakan bahwa "pihak yang mengajukan tuntutan
atau menyangkal tuntutan harus membuktikan fakta-fakta yang menjadi dasar tuntutan
atau penyangkalan tersebut". Dengan kata lain, pihak yang mengajukan klaim harus
memberikan bukti yang cukup untuk mendukung klaimnya.

Namun, beban pembuktian tidak selalu berlaku secara mutlak. Dalam beberapa
kasus, terdapat pembagian beban pembuktian antara kedua belah pihak. Misalnya, dalam
kasus perdata yang melibatkan pihak yang memiliki posisi yang lebih kuat secara ekonomi
atau informasi, beban pembuktian dapat dialihkan kepada pihak yang memiliki akses lebih
besar terhadap bukti yang diperlukan.17

Selain itu, dalam beberapa kasus, terdapat juga prinsip pembalikan beban
pembuktian. Prinsip ini diterapkan ketika terdapat asumsi tertentu yang membuat sulit

13
Nursyamsi dan Widiantoro.
14
Mahkamah Agung, “Tata Cara Pengajuan Permohonan Kasasi dan Tata Cara Penyusunan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1,” 2013.
15
R. Subekti, Hukum Acara Perdata: Suatu Pengantar (Jakarta: Sinar Grafika, 2017).
16
Undang-Undang Pasal 924-1037, “Reglemen Acara Perdata (buku keempat)” (Mahkamah Agung, t.t.),
38, https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/images/peraturan/undang-undang/rv_reglement%20op
%20de%20rechtvordering.pdf.
17
H. Santoso, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Badan Penerbit F. Hukum Universitas Indonesia, 2015).

7
bagi pihak yang seharusnya membuktikan suatu fakta untuk melakukannya. Misalnya,
dalam kasus kecelakaan lalu lintas, ada asumsi bahwa pengemudi mobil yang menabrak
dari belakang bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya.18

Dalam hukum acara perdata, beban pembuktian dapat dibagi menjadi dua kategori,
yaitu beban pembuktian awal (prima facie) dan beban pembuktian substansial.19

1. Beban Pembuktian Awal (Prima Facie): Beban pembuktian awal adalah


kewajiban bagi pihak yang mengajukan gugatan untuk menyajikan bukti yang
cukup untuk memunculkan dugaan yang wajar terhadap tuntutan mereka.
Dalam hal ini, pihak yang mengajukan gugatan harus menyajikan bukti yang
cukup kuat untuk meyakinkan hakim bahwa tuntutan mereka memiliki dasar
yang sah. Jika pihak yang mengajukan gugatan tidak dapat memenuhi beban
pembuktian awal ini, perkara dapat ditolak oleh hakim.
2. Beban Pembuktian Substansial: Beban pembuktian substansial adalah
kewajiban bagi pihak yang mengajukan gugatan atau pembelaan untuk
menyajikan bukti yang meyakinkan untuk membuktikan fakta yang mereka
klaim. Pihak yang mengajukan gugatan harus dapat membuktikan fakta yang
menjadi dasar tuntutannya dengan bukti yang cukup kuat dan meyakinkan.
Pihak yang menyampaikan gugatan juga memiliki beban pembuktian
substansial untuk membuktikan pembelaan mereka. Hakim akan memutus
perkara berdasarkan bukti yang disajikan oleh pihak-pihak yang terlibat.

Alat Bukti Menurut pasal 164 HIR / 1866 KUHP


Dalam hal pembuktian suatu peristiwa ada beberapa cara yang dapat ditempuh,
antara lain dengan Membuktikan adalah memberi suatu dasar-dasar yang cukup kuat
kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan untuk memberi kepastian
tentang kebenaran peristiwa yang telah diajukan. Dalam hal ini membuktikan suatu

18
Santoso.
19
Santoso.

8
peristiwa, cara yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan alat bukti. Alat bukti
adalah suatu yang digunakan untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau peradilan
dalam hukum acara perdata, alat bukti diatur dalam pasal 164, 153, 154 HIR dan pada
pasal 284, 180, 181 sebagaimana diatur dalam pasal 164 alat-alat bukti yang sah menurut
hukum acara perdata terdiri dari: alat bukti tulisan atau surat, alat bukti saksi, alat bukti
persangkaan alat bukti pengakuan dan alat bukti sumpah.20

a) Alat Bukti Tertulis (Surat)


Pada pasal 1866 KUHP urutan pertama alat bukti disebut bukti tulisan
ada juga yang menyebutkan bahwa alat bukti surat, seperti yang kita ketahui
dalam hukum acara perdata bukti tulisan merupakan alat bukti yang penting
dan paling utama dibanding dengan yang lain apalagi pada masa sekarang
yang mana semua tindakan hukum dicatat atau dituliskan dalam berbagai
bentuk surat yang sengaja dibuat untuk itu.21 Suatu alat bukti termasuk
sebagian alat bukti tertulis atau surat harus memenuhi tiga unsur yakni:
1. Harus memuat tanda-tanda bacaan.
2. Bermaksud untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan
buah pikiran seseorang.
3. Sengaja dibuat hanya untuk pembuktian.

Alat bukti tertulis atau surat ini dapat dibagi menjadi tiga golongan yakni
akta autentik atau di bawah tangan, surat-surat lain yang bukan akta. Secara
lebih umumnya dapat dipersempit menjadi dua bagian yakni akta dan bukan
akta. Akta adalah suatu alat bukti yang tertulis serta diberi tanda tangan dan
memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu pertikaian atau
menjadi dasar dari suatu hak dengan ketentuan bahwa sejak semula akte ini
sengaja dibuat hanya untuk menjadi pembuktian. Jadi ada tiga poin yang
harus ada pada surat akta, entah itu otentik maupun akta di bawah tangan
yakni:

1) Harus ada tanda tangan.

20
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, 149.
21
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), 633.

9
2) Harus memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu
permasalahan atau menjadi dasar dari suatu hak.
3) Harus sejak awal dibuatnya sengaja ditujukan hanya untuk
menjadi pembuktian.

Akta sendiri terbagi lagi atas dua macam yakni akta autentik dan akta
di bawah tangan. Akta autentik memiliki makna akte yang dibuat oleh atau
dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu seperti notaris dan pencatatan
sipil. Untuk Akta di bawah tangan yakni akta yang sengaja dibuat untuk
pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari pejabat yang berwenang.

Pengertian Surat yang bukan akta


Yang termasuk dalam surat-surat yang bukan akta ialah semua alat
bukti tertulis yang memenuhi unsur untuk adanya alat bukti tertulis tetapi
tidak memenuhi unsur-unsur untuk diakuinya sebagai suatu akta.
Fungsi tulisan atau akta dari segi hukum pembuktian
1. Berfungsi sebagai formalitas kausa, maksudnya surat atau akta
tersebut berfungsi sebagai syarat atas keabsahan suatu tindakan
hukum yang dilakukan. Apabila perbuatan atau tindakan hukum yang
dilakukan tidak dengan surat atau akta, tindakan itu merupakan
hukum yang tidak sah karena tidak memenuhi formalitas kausa.
Terdapat beberapa tindakan atau perbuatan hukum yang menjadikan
surat atau akta sebagai syarat pokok keabsahannya. surat atau akta
oleh hukum dijadikan sebagai formalitas kausa atas keabsahan
perbuatan itu.
2. Berfungsi sebagai alat bukti. Fungsi utama surat atau akta ialah
sebagai alat bukti pada pasal 1864 KUHP sendiri telah
menetapkannya sebagai alat bukti pada urutan pertama, memang
tujuan utama membuat akta diperuntukkan dan ditujukan sebagai
alat bukti dalam transaksi jual beli para pihak menuangkannya dalam
bentuk AFTA dengan tujuan sebagai alat bukti tertulis tentang
perjanjian itu apabila suatu ketika timbul permasalahan sengketa,

10
sejak semula telah tersedia akta untuk pembuktian kebenaran
transaksi.
3. Fungsi probationis kausa, maksudnya dalam hal ini surat atau apa
yang bersangkutan merupakan satu-satunya alat bukti yang dapat dan
sah membuktikan suatu hal atau peristiwa. Jadi keperluan Atau fungsi
dari akta itu merupakan dasar untuk membuktikan suatu hal atau
peristiwa tertentu. Kedudukan dan fungsi akta itu bersifat spesifik.22
b) Alat Bukti Saksi
Tidak selamanya sengketa perdata dapat dibuktikan dengan alat-alat
bukti tulisan atau akta dalam kenyataannya bisa terjadi, penggugat sama
sekali tidak memiliki alat bukti tulisan atau membuktikan dalil gugatan
ataupun dalam permasalahan alat bukti tulisan yang ada namun tidak
mencukupi batas minimal pembuktian karena alat bukti tulisan yang ada
hanya berkualitas sebagai permulaan pembuktian tulisan. Maka dalam
permasalahan yang demikian jalan keluar yang dapat ditempuh penggugat
untuk membuktikan dalil gugatannya adalah dengan menghadirkan saksi-
saksi yang kebetulan melihat memahami atau mendengar sendiri kejadian
yang diperkarakan.23 Kesaksian adalah alat bukti yang diberitahukan secara
lisan dan pribadi oleh saksi, yang bukan pihak dalam perkara tersebut, untuk
memberikan kepastian kepada hakim di muka persidangan tentang peristiwa
yang dipersengketakan. Dengan hal itu unsur yang harus ada pada alat bukti
saksi adalah:
1. Keterangan kesaksian itu harus diucapkan sendiri oleh saksi
secara lisan di muka persidangan.
2. Tujuannya untuk memberi kepastian kepada hakim tentang
peristiwa yang dipersengketakan.
3. Saksi itu bukan salah satu dari pihak yang berperkara.

Mengenai keterangan yang diberikan oleh saksi itu atau yang


dinamakan keterangan kesaksian haruslah mengenai apa yang telah dilihat
22
Ali, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, 90.
23
Harahap, Hukum Acara Perdata, 701–2.

11
komedi dengar dan dialami sendiri oleh saksi. Sehingga keterangan yang
diperoleh dari pihak ketiga pada umumnya tidak diperkenankan satu saksi
yang artinya jika hanya ada satu kesaksian maka tidak boleh diterima sebagai
alat bukti minimal harus ada dua kesaksian. Terkecuali jika suatu keterangan
satu orang saksi tersebut dapat dipercayai oleh Hakim barulah dapat menjadi
alat bukti sempurna jika dilengkapi dengan alat bukti yang lain.

c) Alat Bukti Persangkaan


Pasal 164 hir menyebut sebagai alat bukti setelah saksi adalah
persangkaan-persangkaan (Vermoedens, Presumtions). Tentang pengertian
persangkaan banyak banyak yang salah dalam mengartikan persangkaan.
Adakalanya persangkaan itu dianggap sebagai alat bukti yang berdiri sendiri
atau sebagai suatu dasar pembuktian atau suatu pembebasan pembebanan
pembuktian.
Menurut pasal 1915 BW maka persangkaan adalah kesimpulan-
kesimpulan yang oleh undang-undang ataupun Hakim ditarik dari suatu
peristiwa yang terang nyata ke arah peristiwa yang belum terang
kenyataannya jadi menurut pasal 1915 BW ada 2 persangkaan, yaitu yang
didasarkan atas undang-undang dan yang merupakan kesimpulan-
kesimpulan yang ditarik oleh Hakim.24
Pasal 164 HIR menyebut sebagai alat bukti setelah saksi adalah
persangkaan-persangkaan (Vermoedens, Presumtions). Prasangkaan-
persangkaan itu adalah merupakan alat bukti yang tidak langsung, karena
dengan persangkaan-persangkaan kita menarik kesimpulan dari peristiwa
yang telah terbukti ke arah peristiwa yang belum terbukti. Dan menurut Ch. J.
Enschede, persangkaan-persangkaan ini merupakan pembuktian yang
bersifat sementara. Menurut ilmu pengetahuan persangkaan merupakan
bukti yang tidak langsung dan dibedakan menjadi dua jenis yakni:
1. Persangkaan berdasarkan kenyataan, dalam hal ini hakimlah
yang memutuskan berdasarkan kenyataannya, apakah

24
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, 181.

12
mungkin dan sampai berapa jauhkah kemungkinannya untuk
membuktikan suatu peristiwa tertentu dengan membuktikan
peristiwa lain. Kalau misalnya peristiwa a yang diajukan, maka
Hakim memutuskan apakah peristiwa B ada hubungannya
yang cukup erat dengan peristiwa a untuk menganggap
peristiwa a terbukti dengan terbuktinya peristiwa B.
2. Persangkaan berdasarkan hukum, dalam hal inilah maka
undang-undang lah yang menetapkan hubungan antara
peristiwa yang diajukan dan harus dibuktikan dengan
peristiwa yang tidak diajukan persangkaan berdasarkan
hukum ini dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu: prasumptions
juristantum, maksudnya persangkaan berdasarkan hukum
yang memungkinkan adanya pembuktian lawan.
Presumptions juris et de jure, artinya persangkaan
berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan pembuktian
lawan.

Kekuatan pembuktian persangkaan berdasarkan kenyataan


diserahkan kepada pertimbangan Hakim, yang mana hanya boleh
memperlihatkan persangkaan yang penting kau masuk sama tentu dan ada
hubungannya satu sama lain. Berbeda dengan persangkaan menurut undang-
undang maka di sini Hakim bebas dalam menentukan persangkaan
berdasarkan kenyataan setiap peristiwa yang telah dibuktikan dalam
persidangan dapat digunakan sebagai persangkaan.25

d) Alat Bukti Pengakuan


Pengertian pengakuan yang bernilai sebagai alat bukti menurut pasal
1923 KUHP dan pasal 174 HIR adalah sebuah pernyataan atau keterangan
yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses
pemeriksaan suatu perkara, pernyataan atau keterangan itu dilakukan
dimuka Hakim atau di dalam sidang pengadilan, keterangan itu merupakan

25
Ali, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, 94.

13
pengakuan bahwa apa yang diadakan atau apa yang dikemukakan pihak
lawan benar untuk keseluruhan atau sebagian
Pada pasal 174 hir menentukan bahwa pengakuan merupakan bukti
sempurna terhadap yang dilakukannya baik secara pribadi maupun
diwakilkan secara khusus dalam hal ini pengakuan bukan hanya sekedar
merupakan alat bukti yang sempurna saja namun juga merupakan alat bukti
yang bersifat menentukan, oleh-oleh karena itu maka kalau tergugat
mengakui tuntutan penggugat maka Hakim harus mengabulkan tuntutan
penggugat ia tidak boleh menyandarkan pada keyakinannya pengakuan
tergugat membebaskan penggugat untuk membuktikan lebih lanjut.26
Dalam hal ini ilmu pengetahuan membagi pengakuan menjadi tiga
yaitu pengakuan murni, pengakuan dengan kualifikasi dan pengakuan dengan
clausukal.
Yang dimaksud pengakuan murni yaitu pengakuan tergugat mengenai
seluruh isi gugatan penggugat, misalnya si A menggugat si B, bahwa si B
telah berhutang kepadanya sejumlah Rp.100.000 kemudian si B mengakui
bahwa ia benar telah berhutang sejumlah 100.000 kepada si A. Pada
permasalahan yang seperti ini tidak ada alasan bagi Hakim untuk memisah-
misahkan pengakuan, karena tidak ada yang perlu dipisahkan.
Pengakuan Berkualifikasi, Yaitu pengakuan tergugat tetapi disertai
dengan sangkalan terhadap sebagian gugatan. Contoh si A menggugat si B,
bahwa si B telah membeli rumahnya seharga 45 juta dan belum dibayar oleh
si B. Kemudian B mengakui telah membeli rumah si A akan tetapi bukan
seharga rp45.000.000 melainkan hanya 30 juta. Pada dasarnya pengakuan
dengan kualifikasi ini tidak lain adalah jawaban tergugat yang sebagian
terdiri dari pengakuan dan sebagian terdiri dari sangkalan.
Pengakuan dengan clausul, adalah suatu pengakuan yang disertai
dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan, misalnya: si A
menggugat bahwa si B telah membeli rumah seharga 50 juta dan belum
dibayar oleh si B. Kemudian si B mengakui bahwa ia memang benar telah
26
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, 186.

14
membeli rumah si A seharga 50 akan tetapi ia mengaku telah membayarnya
lunas.
Baik pengakuan dengan kualifikasi maupun dengan klausul haruslah
diterima bulat dan tidak boleh dipisah-pisahkan dari keterangan
tambahannya, pengakuan yang seperti itulah yang disebut sebagai
pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan. Jadi terhadap pengakuan yang
tidak boleh dipisah-pisahkan itu pembuktiannya dibebankan kepada
penggugat. Penggugat harus dibebani dengan pembuktian seakan-akan
jawaban tergugat seluruhnya merupakan sangkalan terhadap gugatan
penggugat. Si penggugat harus membuktikan ketidakbenarannya keterangan
tambahan dari tergugat.27
e) Alat Bukti Sumpah
Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang
diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan
mengingat akan sifat Maha kuasa dari Tuhan dan percaya bahwa siapa yang
memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehnya.
Singkatnya yakni suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas
nama Tuhan. Jadi pada hakikatnya sumpah merupakan tindakan yang
bersifat religius yang digunakan dalam peradilan. 28 HIR menyebutkan ada
tiga macam sumpah sebagai alat bukti yaitu sumpah pelengkap sumpah
pemutus yang bersifat menentukan dan sumpah penaksiran.
1) Sumpah pemutus, sumpah ini adalah sumpah yang dibebankan
kepada salah satu pihak atas permintaan salah satu pihak
lainnya, jadi semisal si penggugat meminta agar tergugat
bersumpah maka sumpah putusan ini dapat dibebankan
walaupun tidak ada pembuktian sama sekali dan pembebanan
sumpah pemutus ini dapat dilakukan pada setiap saat selama
pemeriksaan di persidangan. Sumpah ini mempunyai kekuatan
pembuktian yang menentukan. Jadi tidak memungkinkan lagi

27
Ali, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, 95.
28
Harahap, Hukum Acara Perdata, 833.

15
pembuktian lawan. Isi sumpah putusan ini harus mengenai hal
yang pokok dan bersifat menyelesaikan persengketaan.
2) Sumpah pelengkap. sumpah ini adalah sumpah yang bersifat
melengkapi alat bukti yang sudah ada tetapi belum cukup,
sumpah pelengkap ini diperintahkan oleh Hakim karena
jabatannya. Jadi misalnya hanya ada satu saksi saja padahal ada
asas yang mengharuskan adanya dua saksi maka untuk
melengkapinya pihak yang mengajukan satu saksi saja,
diperintahkan oleh Hakim untuk bersumpah. Hakim dapat
memilih dan mempertimbangkan dari pihak mana yang akan
diperintahkan untuk sumpah pelengkap, sumpah ini masih
memungkinkan pembuktian lawan.
3) Sumpah penaksiran, sumpah penaksiran ini adalah sumpah
yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatannya kepada
penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti rugi yang
dituntutnya. Sumpah ini akan dibebankan ketika penggugat
telah berhasil membuktikan haknya atas ganti kerugian akan
tetapi jumlahnya masih simpang siur. Kekuatan pembuktian
sumpah ini sampai sama dengan sumpah pelengkap yang mana
masih memungkinkan untuk pembuktian lawan.29

Agar sumpah sebagai alat bukti yang sah, adanya keharusan untuk
memenuhi syarat formil berikut:

 Ikrar diucapkan dengan lisan, hal ini sudah sangat jelas


sumpah sebagai alat bukti dalam acara perdata yakni ikrar
yang diucapkan oleh yang bersumpah ikrar tidak mungkin
dilakukan selain diucapkan lisan oleh karena itu sumpah
sebagai alat bukti mesti berbentuk lisan yaitu diucapkan dan
tidak sah dilakukan apabila dalam bentuk tulisan.

29
Ali, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, 96–97.

16
 Diucapkan di depan Hakim dalam persidangan, syarat yang
kedua ini telah ditegaskan dalam pasal 1929 KUHP. Apapun
macam sumpah yang diucapkan harus dilakukan di depan
Hakim dalam persidangan.
 Dilakukan di hadapan pihak lawan, syarat yang ketiga ini telah
diatur dalam pasal 1945 ayat 4 KUHP yang menjelaskan
sumpah hanya boleh dilakukan di hadapan orang lain dengan
demikian dimanapun pengucapan sumpah dilakukan dalam
ruang sidang maupun di rumah, di masjid, di gereja ataupun di
klenteng pelaksanaan pengucapannya harus dihadiri pihak
lawan. Apabila ketentuan ini dilanggar mengakibatkan
sumpah sebagai alat bukti tidak sah dan tidak mempunyai nilai
kekuatan pembuktian.
 Tidak ada alat bukti lain, dalam hal ini penerapan alat bukti
sumpah yang menentukan baru memenuhi syarat formil
apabila sama sekali tidak ada bukti lain atau tidak ada upaya
lain. Secara total para pihak tidak mampu mengajukan alat
bukti tulisan, saksi, maupun persangkaan dan pihak tergugat
tidak mengakui dalil gugatan berarti persidangan berada
dalam keadaan berhenti dalam tahap proses pemeriksaan
pembuktian, karena para pihak tidak mengajukan bukti
apapun barulah diperbolehkan menerapkan pembuktian
sumpah menentukan.30

Penyusunan Alat Bukti


Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata disebut juga Hukum Perdata formil,
yang mengatur tentang bagaimana melaksanakan hak dan kewajiban keperdataan
sebagaimana diatur dalam Hukum Perdata materiil. Burgerlijk Wetboek voor Indonesiae
yang disingkat BW dalam Buku Keempat dan Aturan Pencatatan Sipil, juga memuat aturan

30
Harahap, Hukum Acara Perdata, 834–37.

17
tentang Hukum Acara Perdata yang asasnya sejak semula hanya berlaku bagi golongan
masyarakat tertentu, di mana berlaku Hukum Perdata barat.

Bagaimana melaksanakan hak dan kewajiban keperdataan sebagaimana diatur


dalam Hukum Perdata materiil. Burgerlijk Wetboek voor Indonesiae yang disingkat BW
dalam Buku Keempat dan Aturan Pencatatan Sipil, juga memuat aturan tentang Hukum
Acara Perdata yang asasnya sejak semula hanya berlaku bagi golongan masyarakat tertentu,
di mana berlaku Hukum Perdata barat. Hukum Acara Perdata sering juga disebut Hukum
Perdata formil.31

Proses pembuktian suatu perkara perdata di pengadilan dapat dilakukan oleh hakim
dengan menyelidiki apakah hubungan hukum yang mendasari gugatan itu benar-benar ada
atau tidak. Hubungan hukum inilah yang harus dibuktikan jika penggugat ingin
memenangkan suatu perkara. Apabila penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil yang
menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya ditolak, sedangkan bila berhasil maka
gugatannya dikabulkan. Tidak semua dalil-dalil yang menjadi dasar suatu gugatan harus
dibuktikan kebenarannya, karena dalil-dalil yang tidak disangkal apalagi diakui sepenuhnya
oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan. Dalam soal pembuktian, tidak selalu penggugatlah
yang perlu membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara tersebut akan
menentukan pihak mana dalam gugatan yang wajib memberikan bukti, apakah penggugat
atau tergugat.

Penggunaan alat bukti dalam perkara perdata di pengadilan meliputi 5 jenis alat
bukti yaitu;32 alat bukti surat, keterangan saksi, praduga, pengakuan dan sumpah. Dalam
prakteknya masih ada alat bukti lain yang sering digunakan yaitu pengetahuan hakim yaitu
suatu perkara atau keadaan yang diketahui oleh hakim sendiri dalam persidangan,
misalnya hakim melihat sendiri dalam pemeriksaan setempat bahwa benar barang
penggugat dirusak oleh tergugat dan besarnya kerusakan.

Berikut adalah cara penyusunan alat bukti dalam hukum acara perdata:

31
Deasy Soeikromo, “Proses Pembuktian Dan Penggunaan Alat-Alat Bukti Pada Perkara Perdata Di
Pengadilan,” Jurnal Hukum Unsrat 2, no. 1 (2014): 125.
32
Dewa Gde Rudy, “Keabsahan Alat Bukti Surat Dalam Hukum Acara Perdata Melalui Persidangan Secara
Elektronik,” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha 9, no. 1 (2021): 171.

18
1) Alat bukti surat dapat dikumpulkan dengan meminta salinan dokumen yang
relevan dari pihak yang memiliki dokumen tersebut.
2) Alat bukti saksi dapat dikumpulkan dengan memanggil saksi-saksi yang
memiliki informasi atau pengetahuan tentang perkara yang sedang
diperselisihkan.
3) Alat bukti persangkaan dapat dikumpulkan dengan mengumpulkan bukti-
bukti yang mendukung dugaan atau asumsi yang dibuat oleh salah satu
pihak.
4) Alat bukti pengakuan dapat dikumpulkan dengan meminta pengakuan dari
pihak yang terlibat dalam perkara.
5) Alat bukti sumpah dapat dikumpulkan dengan meminta pihak yang
bersumpah untuk mengucapkan sumpah atas kebenaran pernyataannya.
6) Selain itu, alat bukti juga dapat dikumpulkan melalui penyitaan barang bukti
yang relevan dengan perkara yang sedang diperselisihkan

Pemeriksaan Setempat dan Pendapat Ahli


A. Pemeriksaan Setempat
Pemeriksaan setempat (descente) atau dalam bahasa Belanda disebut Gerechtelijke
Plaatsopneming adalah pemeriksaan suatu perkara oleh Hakim karena
kedudukannya di luar gedung tempat sidang, sehingga Hakim dapat memperolehnya
dengan melihat sendiri. gambar atau keterangan yang memberikan kepastian
mengenai peristiwa yang disengketakan.33
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada dasarnya pemeriksaan setempat
adalah pemeriksaan suatu perkara di pengadilan, tetapi pemeriksaan suatu perkara itu
dilakukan di luar gedung pengadilan tempat obyek sengketa itu berada. Pada umumnya
yang diperiksa adalah benda-benda berupa tanah, bangunan, kendaraan, dan lain-lain
yang menjadi sengketa dalam suatu perkara.
B. Tujuan dari Pemeriksaan Setempat
Dalam pemeriksaan perkara mempunyai tujuan sebagai berikut:

33
Maria Rosalina, “Pengaturan Pemeriksaan Setempat (Decentee) Dalam Peraturan Perundang-
Undangan Di Indonesia,” Jurnal Hukum Kaidah Media Komunikasi Dan Informasi Hukum Dan Masyarakat 18,
no. 1 (2018): 1.

19
1. Mengetahui secara jelas dan pasti mengenai obyek sengketa meliputi letak, luas,
batas-batas serta mutu dan kuantitas obyek sengketa.
2. Mencocokkan alat bukti tertulis di pengadilan dengan keadaan nyata (objektif)
dimana objek sengketa berada.
3. Untuk menghindari kesulitan dalam mengimplementasikan objek yang dimaksud,
jangan menyatakannya tidak dapat dieksekusi.
C. Waktu Pelaksanaan
Pemeriksaan wilayah diatur dalam KUHAP pasal 180 Rbg, dalam hal ini
pengaturannya adalah ketika pemeriksaan perkara sudah memasuki tahap
verifikasi, artinya pelaksanaan pemeriksaan daerah dimulai setelah pemeriksaan
daerah. pemeriksaan awal terhadap bukti-bukti. Para hakim mengadakan
pertemuan untuk mengambil keputusan. Pemeriksaan setempat adalah sidang pada
tingkat pembuktian yang dilaksanakan di luar pengadilan, oleh karena itu dalam
pemeriksaan setempat dapat diperiksa keterangan saksi dan alat bukti lain yang
dapat langsung dicocokkan dengan obyek yang diperiksa. Apabila dipandang perlu,
apabila pemeriksaan setempat disertai dengan pengukuran oleh kantor Badan
Pertanahan Nasional (BPN), maka dokumen pengukuran tersebut menjadi bukti
otentik mengenai luas dan batas benda yang diperiksa.
D. Tata Cara Pelaksaan Pemeriksaan setempat
Pemeriksaan setempat dapat dilaksanakan dengan berbagai macam :
1) Sidang dibuka di ruang sidang Pengadilan, kemudian dilanjutkan menuju
lokasi objek sengketa.
2) Sidang pemeriksaan setempat dibuka terlebih dahulu di Kantor Lurah/
Kepala Desa, kemudian dilanjutkan menuju lokasi objek sengketa.
3) Sidang pemeriksaan setempat dibuka langsung di tempat dimana objek
sengketa.34
E. Pendapat Ahli
Ahli dalam hukum acara perdata memiliki kedudukan yang hanya berfungsi
untuk memperkuat atau memperjelas permasalahan perkara. Pendapat ahli tidak

34
Dalih Effendy, “Periksaan Setempat Di Pengadilan Agama,” Mahkamah Agung Republik Indonesia
(blog), Januari 2023.

20
dapat berdiri sendiri sebagai alat bukti, sehingga hakim atau pengadilan negeri tidak
wajib mengikuti pendapat ahli jika pendapat tersebut berlawanan dengan
keyakinannya. Meskipun undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk
mengikuti pendapat ahli, pendapat ahli hanya berfungsi menambah atau
memperkuat atau memperjelas permasalahan perkara. Ahli dalam hukum acara
perdata dapat memberikan keterangan atau penjelasan tentang hal tertentu yang
diperlukan untuk mengungkap kebenaran atau memberikan landasan pembenar
bagi keyakinan hakim.

Kesimpulan
Pembuktian menurut ilmu hukum adalah suatu upaya penguraian alat alat bukti
yang kongkrit oleh pihak yang bersangkutan terhadap hakim di persidangan, untuk
memberikan kepastian dasar dengan kekuatan dalil dan fakta hukum yang menjadi pokok
sangketa agar jatuhnya putusan hakim. Prinsip dasar dari teori pembuktian dalam hukum
acara perdata adalah bahwa pihak yang mengajukan klaim atau tuntutan memiliki beban
pembuktian. Artinya, pihak yang menggugat harus membuktikan bahwa klaimnya memiliki
dasar yang kuat dan dapat diterima oleh pengadilan. Beban pembuktian ini dapat berbeda
tergantung pada sifat klaim yang diajukan.

Beban pembuktian dalam hukum acara perdata adalah suatu prinsip yang
menentukan siapa yang bertanggung jawab untuk memenuhi persyaratan pembuktian
dalam suatu persidangan. Dalam konteks hukum perdata, beban pembuktian merupakan
tanggung jawab pihak yang mengajukan klaim atau menyanggah klaim dalam suatu kasus
hukum. Sedangkan, Alat bukti adalah suatu yang digunakan untuk meyakinkan akan
kebenaran suatu dalil atau peradilan dalam hukum acara perdata, alat bukti diatur dalam
pasal 164, 153, 154 HIR dan pada pasal 284, 180, 181 sebagaimana diatur dalam pasal 164
alat-alat bukti yang sah menurut hukum acara perdata terdiri dari: alat bukti tulisan atau
surat, alat bukti saksi, alat bukti persangkaan alat bukti pengakuan dan alat bukti sumpah.

Daftar Pustaka
Ali, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata. Jakarta: Kencana, 2012.

21
As’ad, Abd. Rosyid. “Akta Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perkara Perdata.”
Http://fakultashukumdarussalam.blogspot.com/2012/11/akta-elektronik-sebagai-
alat-bukti.html, November 2011.
Effendy, Dalih. “Periksaan Setempat Di Pengadilan Agama.” Mahkamah Agung Republik
Indonesia (blog), Januari 2023.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2017.
Mahkamah Agung. “Tata Cara Pengajuan Permohonan Kasasi dan Tata Cara Penyusunan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1,” 2013.
“Mengenal Jenis Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata.” Diakses 2 September 2023.
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-lahat/baca-artikel/15189/Mengenal-
Jenis-Alat-Bukti-dalam-Hukum.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2009.
Nursyamsi, Ahmad, dan S. Widiantoro. Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 2018.
Rosalina, Maria. “Pengaturan Pemeriksaan Setempat (Decentee) Dalam Peraturan
Perundang-Undangan Di Indonesia.” Jurnal Hukum Kaidah Media Komunikasi Dan
Informasi Hukum Dan Masyarakat 18, no. 1 (2018).
Rudy, Dewa Gde. “Keabsahan Alat Bukti Surat Dalam Hukum Acara Perdata Melalui
Persidangan Secara Elektronik.” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha 9, no.
1 (2021).
Santoso, Ahamad. “Teori Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata.” Singaperbangsa Law
Review (SILREV), 2, 15, no. Jurnal Hukum dan Keadilan (2020): 123–45.
Santoso, H. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Badan Penerbit F. Hukum Universitas Indonesia,
2015.
Soeikromo, Deasy. “Proses Pembuktian Dan Penggunaan Alat-Alat Bukti Pada Perkara
Perdata Di Pengadilan.” Jurnal Hukum Unsrat 2, no. 1 (2014).
Subekti. Hukum Pembuktian. Jakarta: 1991, t.t.
Subekti, R. Hukum Acara Perdata: Suatu Pengantar. Jakarta: Sinar Grafika, 2017.
Undang-Undang Pasal 924-1037. “Reglemen Acara Perdata (buku keempat).” Mahkamah
Agung, t.t. https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/images/peraturan/undang-
undang/rv_reglement%20op%20de%20rechtvordering.pdf.

22

Anda mungkin juga menyukai