Anda di halaman 1dari 6

PERTEMUAN KE 4

KEDUDUKAN DAN KETENTUAN

(LANJUTAN)

A. TUJUAN PERKULIAHAN
1. Setelah proses perkuliahan diharapkan dapat Mahasiswa dapat mejelaskan Kedudukan
Hukum Pembuktian. Perlunya Hukum Pembuktian dalam proses hukum acara.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur.

B. DESKRIPSI MATERI
3. Yang dapat dan tidak dapat dibuktikan.

Membuktikan menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar FH-UGM
mengandung beberapa pengertian:
1. Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan
tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
2. Membuktikan dalam arti konvensionil
Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai
tingkatan-tingkatan:
· kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime)
· kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)
3. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis
Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang
berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan.
Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam
arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak
dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada
kebenaran mutlak.

Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu
atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan.
Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian “historis” yang mencoba menetapkan
apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah,
maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa
peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup
kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian
tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh
dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan buki-bukti yang
sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata
untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim.
Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut
hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan
perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.
Tidak semua fakta harus dibuktikan. Fokus pembuktian ditujukan kepada kejadian atas
peristiwa hubungan hukum yang menjadi pokok persengketaan sesuai dengan yang didalilkan
gugatan pada satu sisi dan apa yang disangkal tergugat pada sisi lain.
Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan sebagai berikut:
a. hukum positif tidak perlu dibuktikan, yang bertitik tolak dari doktrincuria novit jus, yakni
pengadilan dianggap mengetahui segala hukum positif dan hukum yang hidup di
masyarakat (living law);
b. fakta yang diketahui umum tidak dibuktikan, yang ditemukan di doktrin hukum
pembuktian terminus notoir feiten, yaitu hukum menganggap berlebihan membuktikan
sesuatu keadaan yang telah diketahui masyarakat umum (Vide H.R, 24 Maret 1022, W.
10913 dan Pasal 184 ayat (2) KUHAP);
c. fakta yang tidak dibantah, tidak perlu dibantah karena secara logis dianggap telah
terbukti kebenarannya yang dilakukan pihak lawan dengan mengakui secara
tegas (expressis verbis) dalil dan fakta atau bantahan yang diajukan tanpa dasar alasan;
d. fakta yang ditemukan selam proses persidangan tidak perlu dibuktikan, karena fakta
sudah diketahui, dialami, dilihat atau didengar hakim selama proses pemeriksaan
persidangan berlangsung.
4. Aturan-aturan yang mengatur.

1. Hukum Acara Perdata

Pada dasarnya, aturan tentang pembuktian dalam masalah perdata diatur lebih terperinci
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), bukan dalam Hukum Acaranya.
Mengapa hal ini bisa terjadi, para pakar hukum masih memperdebatkan masalah tersebut.
Sebenarnya pembuktian merupakan bagian dari hukum acara perdata. Diaturnya pembuktian
dalam KUHPer karena masih adanya kerancuan dari makna hukum formil dan hukum
materiel.

Di satu sisi hukum materiel diartikan sebagai hukum dalam suasana damai dan hukum formil
adalah hukum dalam suasana pertentangan. Dalam hal ini pembuktian termasuk dalam
hukum formil. Di sisi lain hukum materiel diartikan sebagai suatu aturan yang berkaitan
dengan isi, sedangkan hukum formil adalah suatu aturan yang berkaitan dengan bentuk luar.
Dalam pengertian yang kedua ini pembuktian termasuk dalam hukum materiel karena
merupakan bagian dari hukum gugatan. Inilah yang menjadikan adanya unsur tarik ulur
dalam menempatkan pembuktian pada Hukum Perdata atau Hukum Acaranya .

2. Hukum Acara Pidana

Yang dimaksud dengan “membuktikan” adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil
atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan-persengketaan. Dengan
demikian nampaklah bahwa pebuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau
“perkara” dimuka hakim atau pengadilan. Memang, pembuktian itu hanya diperlukan, apabila
timbul suatu perselisihan.

Dasar hukum tentang pembuktian dalam hukum acara pidana mengacu pada pasal 183-189
KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana). Menurut pasal 183 KUHAP
menyatakan bahwa “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, kadilan dan kepastian hukum bagi
seseorang. Selain itu alat bukti harus dapat menyakinkan hakim (notoir feit) “negatief
wettelijk bewijs theorie”. Menurut Narendra Jatna, SH., bahwa dalam persidangan satu bukti
sudah cukup dengan catatan bahwa bukti tersebut dapat menyakinkan hakim dalam
mengambil keputusan. Dalam pasal tersebut dijelaskan sekurang-kurangnya dua bukti. Hal
ini dikarenakan KUHAP menggunakan asas konkordasi dengan hukum “KUHAP” Belanda.

Dalam KUHAP Belanda pasal 342 mejelaskan asas “unus testis nullus testis”, namun asas ini
sudah berkurang petingnya, karena Mahkamah Agung Belanda beranggapan bahwa
pembuktian mengenai semua tuduhan terhadap tertuduh tidak boleh didasarkan pada
pernyataan seorang saksi, namun pernyataan oleh seorang saksi cukup sebagai bukti bagi
masing-masing unsur secara terpisah.

Alat bukti yang dimaksud di sini adalah sesuai dengan pasal 184 KUHAP ayat 1, yaitu:
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan Terdakwa atau Pengakuan Terdakwa.

Barang bukti adalah benda bergerak atau tidak berwujud yang dikuasai oleh penyidik sebagai
hasil dari serangkaian tindakan penyidik dalam melakukan penyitaan dan atau penggeledahan
dan atau pemeriksaan surat untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan,
dan peradilan.

Secara material, barang bukti yang ada bermanfaat bagi hakim untuk memperkuat keyakinan
hakim dalam proses persidangan. Bahkan sering kali hakim dapat membebaskan seorang
terdakwa berdasarkan barang bukti yang ada dalam proses persidangan (setelah melewati
proses yang arif, bijaksana, teliti, cermat dan saksama). Jika dicermati, pembuktian dalam
proses perkara pidana tidak mudah. Oleh karena itu, jika terjadi kasus pidana dalam
pelaksanaan PPK, sebaiknya terlebih dahulu dimanfaatkan berbagai alternatif penanganan
yang mudah, murah dan praktis untuk lebih mempercepat penyelesaian masalah. Proses
hukum dapat dipilih sebagai alternatif terakhir apabila ditemui jalan buntu dalam
penyelesaian masalah PPK.
Menurut pasal 180 KUHAP, keterangan seorang ahli dapat saja ditolak untuk menjernihkan
duduk persoalan. Baik oleh hakim ketua sidang maupun terdakwa/penasehat hukum.
Terhadap kondisi ini, hakim dapat memerintahkan melakukan penelitian ulang oleh instansi
semula dengan komposisi personil yang berbeda, serta instansi lain yang memiliki
kewenangan. Kekuatan keterangan ahli ini bersifat bebas dan tidak mengikat hakim untuk
menggunakannya apabila bertentangan dengan keyakinan hakim. Dalam hal ini, hakim masih
membutuhkan alat bukti lain untuk mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya.

Menurut pasal 188 KUHAP, Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang diduga
memiliki kaitan, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu
sendiri, yang menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk
hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu,
petunjuk juga merupakan alat bukti tidak langsung. Penilaian terhadap kekuatan pembuktian
sebuah petunjuk dari keadaan tertentu, dapat dilakukan oleh hakim secara arif dan bijaksana,
setelah melewati pemeriksaan yang cermat dan seksamaberdasarkan hati nuraninya.

Menurut pasal 194 KUHAP, yang dimaksud keterangan terdakwa itu adalah apa yang telah
dinyatakan terdakwa di muka sidang, tentang perbuatan yang dilakukannya atau yang
diketahui dan alami sendiri. Pengertian keterangan terdakwa memiliki aspek yang lebih luas
dari pengakuan, karena tidak selalu berisi pengakuan dari terdakwa. Keterangan terdakwa
bersifat bebas (tidak dalam tekanan) dan ia memiliki hak untuk tidak menjawab. Kekuatan
alat bukti keterangan terdakwa, tergantung pada alat bukti lainnya (keterangan terdakwa saja
tidak cukup) dan hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

LATIHAN
1. Apakah arti kata membuktikan menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru
besar FH-UGM?
2. Jelaskan mengenai bunyi pasal 194 KUHAP?
3. Sebutkan alat bukti yang sesuai dengan pasal 184 KUHAP ayat 1!
4. Seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila
berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan
terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya
keyakinan hakim. Bagaimana tanggapan saudara?

DAFTAR PUSTAKA
1. Hamrat Hamid, dan Harun M. Husein. Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang
Penuntutan dan Eksekusi Dalam Bentuk Tanya Jawab. Jakarta: Sinar Grafika. 1992.
2. Hari Sasangka. Penuntutan dan Teknik Membuat Surat Dakwaan. Surabaya : Darma
Surya Berlian. 1996
3. HMA Kuffal. Penerapan KUHAP dalam Praktek Hukum. Malang: UMM Press. 2007.

4. Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (Staatblad 1847 No. 23);
5. 2. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
6. H. A. Mukti Arto. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2008.H.
7. Bambang Waluyo. Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika. 1996.
8. Leden Merpaung.Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. 1995.

Anda mungkin juga menyukai