NPM : 110110180183
Pembuktian
A. Definisi Pembuktian
Hal yang harus dibuktikan adalah peristiwa dan bukan hukumnya. Hukumnya
tidak harus diajukan dan dibuktikan oleh para pihakm akan tetapi secara es officio
dianggap harus diketahui oleh hakim (Ius curia novit), ketentuan ini dapat
disimpulkan berdasarkan Pasal 178 ayat (1) HIR dan Pasal 189 ayat (1) RBg, juga
pasal 50 ayat (1) RV. Jadi hakim dalam proses perdata harus menemukan dan
menentukan peristiwanya atau hubungan hukumnya dan kemudian memperlakukan
atau menerapkan hukumnya terhadap peristiwa yang telah ditetapkannya itu.
C. Penilaian Pembuktian
D. Beban Pembuktian
Pembuktian dilakukan oleh para pihak dan bukan oleh hakim. Hakim
memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat buktii dan hakim
membebani para pihak dengan pembuktian (Bewijslast, burden of proof). Pembagian
beban pembuktian tercantum di dalam pasal 163 HIR, Pasal 283 RBg, dan Pasal 1865
BW, yaitu “Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau mendasarkan pada
suatu peristiwa untuk menguatkan hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa
untuk menguatkan haknya itu atau menyangkut hak orang lain, harus membuktikan
adanya hak atau peristiwa itu”. Hal ini menegaskan, bahwa beban pembuktian berada
pada kedua belah pihak yang bersengketa.
Selain itu terdapat juga teori strict liability pada kasus pencemaran lingkungan hidup,
dimana kesalahan pencemar tidak harus dibuktikan karena dianggap mutlak
melakukan kesalahan. Selain itu, terdapat pembuktian terbalik pada sengketa
perlindungan konsumen yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999,
dimana pelaku usaha yang merupakan tergugat dapat membuktikan di dalam
persidangan. Selain hal yang tercantum dalam pasal 163 HIR, ada beberapa ketentuan
khusus mengenai pembuktian yaitu:
1. Pasal 533 BW
Orang yang menguasai barang tidak perlu membuktikan itikad baiknya. Siapa
yang mengemukakan adanya itikad buruk, harus membuktikannya.
2. Pasal 535 BW
Kalau seseorang telah memulai menguasai sesuatu untuk orang lain, maka
selalu dianggap meneruskan penguasaan tersebut, kecualu apabila terbukti
sebaliknya.
3. Pasal 1244 BW
Kreditur dibebaskan dari pembuktian kesalahan dari debitur dalam hal adanya
wanprestasi.
Selain itu, terdapat juga teori-teori terkait beban pembuktian, yaitu sebaga berikut:
Menurut teori ini, suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan
hukum subjektif atau bertujuan mempertahankan hukum subjektif, dan siapa yang
mengemukakan atau mengaku mempunyai suatu hak harus membuktikannya.
Dalam hal demikian ini, penggugat tidak perlu membuktikan semuanya. Selain
itu, untuk mengetahui peristiwa mana yang harus dibuktikan, dibedakan menjadi
peristiwa umum dan peristiwa khusus. Teori ini didasari pada ketentuan yang
terdapat di dalam Pasal 1865 BW. Teori ini hanya dapat memberi jawaban
apabula gugatan penggugat didasarkan atas hukum subjektif.
Menurut teori ini, pengajuan tuntutan hak atau gugatan berarti bahwa
penggugat meminta kepada hakim agar hakim dapat menerapkan ketentuan-
ketentuan hukum objektif terhadap peristiwa yang diajukan. Oleh karena itu,
penggugat harus membuktikan kebenaran dari peristiwa yang diajukannya dan
kemudian mencari hukum objektifnya untuk diterapkan pada peristiwa trsebut.
E. Alat-Alat Bukti
Menurut sistem HIR, dalam acara perdata hakim terikat dengan alat-alat bukti
yang sah, hal ini berarti hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-
alat bukti yang ditentukan oleh Undang-Undang saja. alat-alat bukti dalam acara
perdata yang disebutkan di dalam Pasal 164 HIR, 284 RBg, 1866 BW adalah alat
bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan, dan
sumpah. Sedangkan apabila mengacu pada pasal 164 HIR, terdapat 7 alat bukti yang
dapat diajukan di persidangan, yaitu:
1) Bukti Surat
2) Bukti Saksi
3) Persangkaan
4) Pengakuan
5) Sumpahan
6) Pemeriksaan Setempat
7) Keterangan Ahli
Persangkaan merupakan alat bukti yang diatur di dalam Pasal 172 HIR, Pasal
310 RBg, dan Pasal 1915-1922 BW.
4) Pengakuan
Terdapat dasar hukum terkait alat bukti pengakuan, seperti Pasal 174-
176 HIR, Pasal 311-313 RBg, dan Psal 1923-1928 BW. Pengakuan dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu di muka hakim di persidangan atau di luar
persidangan. Pengakuan merupakan keterangan sepihak karena tidak
memerlukan persetujuan dari pihak lawan yang sedang bersengketa.
Pengakuan merupakan pernyataan yang tegas karena pengakuan secara diam-
diam tidaklah memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu
peritiwa, padahal alat bukti dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada
hakim terkait kebenaran suatu persitiwa.
Pengakuan di muka hakim di persidangan merupakan keterangan
sepihak, baik secara tertulis maupun lisan, yang tegas dan dinyatakan oleh
salah satu pihak dalam perkara di persidangan. Pengakuan ini sebagai bentuk
membenarkan baik seluruhnya ataupun sebagian dari suatu peristiwa, hak atau
hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya. Hal ini mengakibatkan
pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak diperlukan kembali.
Sedangkan pengakuan di luar sidang merupakan keterangan yang
diberikan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata di luar
persidangan untuk membenarkan pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh
lawannya. Pengakuan di luar persidangan diatur di dalam Pasal 175 HIR,
Pasal 312 RBg, dan Pasal 1928 BW, yang mengatakan bahwa kekuatan
pebuktian daripada pengakuan lisan di luar sidang diserahkan kepada
pertimbangan hakim yang menangani kasus tersebut. Sedangkan menurut
Pasal 1927 BW menentukan bahwa suatu pengakuan lisan di luar persidangan
tidak dapat digunakan selain dalam hal-hal dimana diizinkan membuktikan
dengan saksu.
5) Sumpah
Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat dan
diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan
mengiingat akan sifat maha kuasa dari Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang
memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehNya. Jadi
pada hakikatnya, sumpah merupakan tindakan yang bersifat sacral dan
religious yang digunakan dalam peradilan. Alat bukti sumpah diatur di dalam
Pasal 155-15, 177 HIR, Pasal 182-185, 314 RBg, dan Pasal 1929-1945 BW.
Terdapat dua macam sumpah, yaitu sumpah untuk berjanji melakukan
atau tidak melakukan sesuatu, yang disebut dengan sumpah promissoir dan
sumpah yang memberi keterangan guna meneguhkan bahwa suatu hal itu
benar demikian atau tidak, yang disebut dengan sumpah assesoir atau
consimatoir. Sedangkan HIR menyebutkan ada tiga macam sumpah sebagai
alat bukti, yaitu:
1. Sumpah Pelengkap atau Suppletoir (Pasal 155 HIR, Pasal
182 RBg, dan Pasal 1940 BW)
Sumpah ini adalah sumpah yang diperintahkan oleh
hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk
melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi dasar sengketa
sebagai dasar putusannya..
2. Sumpah Penaksiran atau Eastimatoir(Pasal 155 HIR, Pasal
182 RBg, dan Pasal 1940 BW)
Sumpah ini adalah sumpah yang diperintahkan oleh
hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan
jumlah uang ganti rugi akibat kerugian.
3. Sumpah Pemutus atau Decisoir (Pasal 156 HIR, Pasal 183
HIR, dan Pasal 1930 BW)
Sumpah ini adalah sumpah yang dibebankan atas
permintaan salah satu pihak kepada lawannya dalam
persengketaan. Pihak yang meminta lawannya untuk
mengucapkan sumpah disebut deferent, sedangkan pihak yang
harus bersumpah disebut delaat.
6) Pemeriksaan Setempat
Pemeriksaan setempat adalah metode yang digunakan majelis hakim
untuk mengetahui secara jelas dan tepat terkait keberadaan objek sengketa
gugatan sebelum majelis hakim membacakan putusan akhir. Pemeriksaan
setmpat dilakukan oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan di luar
gedung pengadilan, agar hakim dapat melihat sendiri dan memperoleh
gambaran atau keterangan yang memberikan kepastian tentang peristiwa-
peristiwa yang menjadi sengketa. Tujuan dari pemeriksaan setempat adalah
memastikan bagi pencari keadilan untuk melakukan eksekusi atau suatu objek
sengketa barang-barang tidak bergerak. Ketentuan mengenai pemeriksaan
setempat dapat ditemui di dalam Pasal 153 HIR.
7) Keterangan Ahli (Expertise)
Keterangan ahli merupakan keterangan yang berasal dari pihak ketiga
yang memiliki keahlian berkaitan dengan apa yang akan dimintai keterangan
kepadanya, dimana keterangan itu bersifat objektif dan berguna sebagai
pembantu hakim dalam mengambil keputusan yang tepat. Keterangan ahli
sendiri diatur di dalam Pasal 154 HIR, Pasal 181 RBg, dan Pasal 215 RV,
yang menentukan apabila pengadilan berpendapat bahwa perkaranya dapat
dijelaskan oleh seorang ahli atas permintaan salah satu pihak atau karena
jabatannya, pengadilan dapat mengangkat seorang ali. Ahli itu sendiri
diangkat oleh hakim untuk dimintakan pendapatnya sesuai dengan keahlian
yang dimiliki, dan pengangkatan ini berlangsung hanya selama persidangan.
Daftar Pustaka
Buku