Anda di halaman 1dari 12

Nama : Mirza Mar’Ali

NPM : 110110180183

Tugas : Hukum Acara Perdata (Kelas D) Materi

Pembuktian

Dosen : Aam Suryama, S.H., M.H.

A. Definisi Pembuktian

Definisi pembuktian menurut R.SUbekti adalah suatu proses membuktikan


dan meyakinkan hakim terkait kebenaran dalildalil yang dikemukakan oleh para
pihak dalam suatu persengketaan di muka persidangan. Membuktikan disini berarti
memberi kepastian yang bersifat mutlak karena berlaku bagi setiap orang dan tidak
memungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian bertujuan agar halhal yang ada di
muka persidangan menjadi bahan pertimbangan oleh hakim untuk dapat mengambil
keputusan yang adil.

Disamping pembagian hukum menjadi materiil dan formil, masih dikenal


adanya unsur materiil dari hukum yang mengatur tentang isi dan unsur formil yang
mengatur tentang caranya, hal ini disebut dengan hukum pembuktian positif. Hukum
acara sebagai hukum formil mempunyai unsur materiil maupun formil. Unsur materiil
dari hukum acara adalah ketentuan yang mengatur tentang wewenang, seperti
ketentuan hak dari pihak yang dikalahkan. Sedangkan unsur formil mengatur tentang
tata cara menggunakan wewenang itu, misalnya bagaimana caranya naik banding dan
sebagainya. Hukum Pembuktian positif dalam hukum acara Indonesia diatur dadlam
HIR dan RBg serta BW buku IV.
B. Apa yang Harus Dibuktikan dan Siapa yang harus Membuktikan

Hal yang harus dibuktikan adalah peristiwa dan bukan hukumnya. Hukumnya
tidak harus diajukan dan dibuktikan oleh para pihakm akan tetapi secara es officio
dianggap harus diketahui oleh hakim (Ius curia novit), ketentuan ini dapat
disimpulkan berdasarkan Pasal 178 ayat (1) HIR dan Pasal 189 ayat (1) RBg, juga
pasal 50 ayat (1) RV. Jadi hakim dalam proses perdata harus menemukan dan
menentukan peristiwanya atau hubungan hukumnya dan kemudian memperlakukan
atau menerapkan hukumnya terhadap peristiwa yang telah ditetapkannya itu.

Berdasarkan peristiwa itu yang harus dibktikan adalah kebenarannya, yaitu


kebenaran formil. Mencari kebenaran formil berarti bahwa hakim tidak boleh
melampaui batas-batas yang diajukan dari pihak yang sedang berperkara, jadi tidak
melihat pada bibit atau isi, akan tetapi kepada luasnya pemeriksaan oleh hakim.
Hakim berperan mencari kebenaran dan menetapkan atau mengkonstatir
peristiwanya.

Pihak yang bersengketa dalam persidangan adalah pihak yang wajib


membuktikan atau mengajukan alat-alat bukti demi kepentingannya. Para pihak yang
dimaksud dalam hal ini adalah pihak penggugat dan pihak tergugat. Dasar hukum
terkait siapa pihak yang harus membuktikan dapat dilihat berdasarkan pasal 163 HIR
dan Pasal 283 RBg, juga Pasal 1865 BW.

C. Penilaian Pembuktian

Walaupun terkait dengan peristiwa yang disengketakan sudah diajukan


pembuktian, namun tetap saja pembuktian tersebut harus dinilai. Pada umumhya
sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim memiliki kebebasan
untuk menilai pembuktian. Jadi yang memiliki wewenang menilai pembuktian adalah
Hakim, dan hanya terkait judex facti, sehigga MA tidak dapat mempertimbangkan
dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Berhubungan dengan menilai pembuktian, hakim
dapat bertindak bebas atau diikat dengan Undang-Undang, maka timbul pertanyaan,
sampai berapa jauh hukum positif dapat mengikat hakm atau para pihak dalam
pembuktian di dalam sidang? Maka dari itu terdapat tiga teori sebagai berikut:

1. Teori Pembuktian Bebas


Teori ini tidak menghedaki adanya ketentuanketentuan yang mengikat hakim,
sehingga penilaian pembuktian dapat diserahkan kepada hakim.
2. Teori Pembuktian Negatif
Menurut teori ini harus ada ketentuan-ketentuan yang mengikat dan bersifat
negatif, yaitu bahwa ketentuan ini harus membatasi pada larangan kepada
hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi
hakim dilarang dengan pengecualian yang terdapat di dalam pasal 169 HIR,
306 RBg, dan 1905 BW
3. Teori Pembuktian Positif
Disamping terdapat larangan, menurut teori ini menghendaki adanya perintah
kepada hakim. Hakim disini diwajibkan, tetapi dengan syarat (Pasal 165 HIR,
285 RBg, 1870 BW).

D. Beban Pembuktian

Pembuktian dilakukan oleh para pihak dan bukan oleh hakim. Hakim
memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat buktii dan hakim
membebani para pihak dengan pembuktian (Bewijslast, burden of proof). Pembagian
beban pembuktian tercantum di dalam pasal 163 HIR, Pasal 283 RBg, dan Pasal 1865
BW, yaitu “Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau mendasarkan pada
suatu peristiwa untuk menguatkan hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa
untuk menguatkan haknya itu atau menyangkut hak orang lain, harus membuktikan
adanya hak atau peristiwa itu”. Hal ini menegaskan, bahwa beban pembuktian berada
pada kedua belah pihak yang bersengketa.
Selain itu terdapat juga teori strict liability pada kasus pencemaran lingkungan hidup,
dimana kesalahan pencemar tidak harus dibuktikan karena dianggap mutlak
melakukan kesalahan. Selain itu, terdapat pembuktian terbalik pada sengketa
perlindungan konsumen yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999,
dimana pelaku usaha yang merupakan tergugat dapat membuktikan di dalam
persidangan. Selain hal yang tercantum dalam pasal 163 HIR, ada beberapa ketentuan
khusus mengenai pembuktian yaitu:

1. Pasal 533 BW

Orang yang menguasai barang tidak perlu membuktikan itikad baiknya. Siapa
yang mengemukakan adanya itikad buruk, harus membuktikannya.

2. Pasal 535 BW

Kalau seseorang telah memulai menguasai sesuatu untuk orang lain, maka
selalu dianggap meneruskan penguasaan tersebut, kecualu apabila terbukti
sebaliknya.

3. Pasal 1244 BW

Kreditur dibebaskan dari pembuktian kesalahan dari debitur dalam hal adanya
wanprestasi.

Selain itu, terdapat juga teori-teori terkait beban pembuktian, yaitu sebaga berikut:

1. Teori Pembuktian yang Bersifat Menguatkan Belaka (Blood affirmatief)

Berdasarkan teori ini, siapa yang mengemukakan sesuatu harus


membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau menyangkalnya. Dasar
hukum dari teori ini adalah pendapat bahwa hal-hal negatif tidak mungkin
dibuktikan. Peristiwa negatif tidak menjadi dasar dari suatu hak, sekalipun
pembuktiannya mungkin, hal ini tidaklah penting dan oleh karena itu tidak dapat
dibebankan kepada seseorang.

2. Teori Hukum Subjektif

Menurut teori ini, suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan
hukum subjektif atau bertujuan mempertahankan hukum subjektif, dan siapa yang
mengemukakan atau mengaku mempunyai suatu hak harus membuktikannya.
Dalam hal demikian ini, penggugat tidak perlu membuktikan semuanya. Selain
itu, untuk mengetahui peristiwa mana yang harus dibuktikan, dibedakan menjadi
peristiwa umum dan peristiwa khusus. Teori ini didasari pada ketentuan yang
terdapat di dalam Pasal 1865 BW. Teori ini hanya dapat memberi jawaban
apabula gugatan penggugat didasarkan atas hukum subjektif.

3. Teori Hukum Objektif

Menurut teori ini, pengajuan tuntutan hak atau gugatan berarti bahwa
penggugat meminta kepada hakim agar hakim dapat menerapkan ketentuan-
ketentuan hukum objektif terhadap peristiwa yang diajukan. Oleh karena itu,
penggugat harus membuktikan kebenaran dari peristiwa yang diajukannya dan
kemudian mencari hukum objektifnya untuk diterapkan pada peristiwa trsebut.

4. Teori Hukum Publik

Menurut teori ini, mencari kebenaran suatu peristiwa di dalam peradilan


merupakan kepentingan publik. Maka dari itu, hakim harus diberikan wewenang
yang lebih besat guna mencari kebenaran. Selain itu, para pihak memiliki
kewajiban yang sifatnya hukum publik untuk membuktikan dengan segala macam
alat bukti, dan keajiban ini harus disertai dengan sanksi pidana.

5. Teori Hukum Acara


Terdapat asas hukum acara yang mengatakan audi et alteram partem atau asas
kedudukan prosesuil yang sama dari para pihak di muka hakim merupakan asas
pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim harus membagi beban
pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak. Asas ini membawa
akibat bahwa terdapat kemungkinan untuk menang bagi para pihak harus sama.
Maka dari itu, hakim harus membebani para pihak dengan pembuktian secara
seimbang atau patut.

E. Alat-Alat Bukti

Menurut sistem HIR, dalam acara perdata hakim terikat dengan alat-alat bukti
yang sah, hal ini berarti hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-
alat bukti yang ditentukan oleh Undang-Undang saja. alat-alat bukti dalam acara
perdata yang disebutkan di dalam Pasal 164 HIR, 284 RBg, 1866 BW adalah alat
bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan, dan
sumpah. Sedangkan apabila mengacu pada pasal 164 HIR, terdapat 7 alat bukti yang
dapat diajukan di persidangan, yaitu:

1) Bukti Surat
2) Bukti Saksi
3) Persangkaan
4) Pengakuan
5) Sumpahan
6) Pemeriksaan Setempat
7) Keterangan Ahli

Penulis akan mencoba menjabarkan masing-masing alat bukti tersebut, sebagai


berikut:

1) Alat Bukti Tertulis atau Bukti Surat


Terkait alat bukti tertulis diatur di dalam Pasal 138, 164, 165, 167
HIR, Pasal 164, 285305 RBg, dan Pasal 1867-1894 BW. Alat bukti tertulis
atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang
dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah
pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Surat sebagai alat
bukti tertulis dibagi menjadi dua, pertama surat merupakan akta yang meliputi
akta otentik dan akta dibawah tangan, kedua suratsurat lain yang merupakan
bukan akta.
Akta merupakan surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan,
memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang dibuat
sejak semula degan sengaja untuk pembuktian. Jadi untuk dapat digolongkan
menjadi akta harus adanya pembubuhan tanda tangan. Keharusan pembubuan
tanda tangan ini ditekankan di dalam Pasal 1869 BW.

2) Pembuktian dengan Saksi atau Bukti Saksi


Alat bukti kesaksian diatur dalam Pasal 139-152, 158-172 HIR, Pasal
165-179 RBg, Pasal 1895 dan Pasal 1902-1912 BW. Kesaksian merupakan
kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang suatu peristiwa
yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh
orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di
persidangan. Jasi, keterangan yang diberikan oleh saksi harus tentang
peristiwa atau kejadian yang dialaminya sendiri (Melihat, merasakan, dan
mendengar), sedangkan dugaan yang diperoleh secara berfikir bukan suatu
kesaksian.
Keterangan saksi harus diberikan secara lisan dan pribadi d muka
persidangan, maka harus disampaikan secara sendiri dan tidak diwakilkan
serta tidak boleh dibuat secara tertulis. Pihak yang dapat didengar sebagai
saksi merupakan pihak ketiga dan bukan salah satu dari pihak yang brperkara,
baik itu pihak formil maupun materiil tidak boleh didengar sebagai saksi.
3) Persangkaan
Pada hakikatnya yang dimaksud dengan persangkaan merupakan alat
bukti yang bersifat tidak langsung, misalnya pembuktian dari ketidakhadiran
seseorang pada suatu waktu di tempat tertentu dengan membuktikan
kehadirannya pada waktu yang sama di tempat lain. Dengan demikian, setiap
alat bukti dapat menjadi persangkaan, bahkan hakim dapat menggunakan
peristiwa prosesuil maupun peristiwa notoir sebagai persangkaan.
Persangkaan memiliki beberapa perbedaan, baik itu menurut ilmu
pengetahuan maupun menurut Pasal 1915 BW. Menurut ilmu pengetahuan,
persangkaan dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Persangkaan berdasarkan kenyataan;
2. Persangkaan berdasarkan hukum.

Sedangkan menurut Pasal 1915 BW, persangkaan merupakan


kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau hakim ditarik dari
suatu peristiwa yang nyata dan terang kearah peristiwa yang lain dan belum
terang kenyataanya., Terdapat dua macam persangkaan, yaitu:

1. Persangkaan yang didasarkan atas Undang-Undang;


2. Persangkaan yang didasarkan pada kenyataan-kenyataan.

Persangkaan merupakan alat bukti yang diatur di dalam Pasal 172 HIR, Pasal
310 RBg, dan Pasal 1915-1922 BW.

4) Pengakuan
Terdapat dasar hukum terkait alat bukti pengakuan, seperti Pasal 174-
176 HIR, Pasal 311-313 RBg, dan Psal 1923-1928 BW. Pengakuan dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu di muka hakim di persidangan atau di luar
persidangan. Pengakuan merupakan keterangan sepihak karena tidak
memerlukan persetujuan dari pihak lawan yang sedang bersengketa.
Pengakuan merupakan pernyataan yang tegas karena pengakuan secara diam-
diam tidaklah memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu
peritiwa, padahal alat bukti dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada
hakim terkait kebenaran suatu persitiwa.
Pengakuan di muka hakim di persidangan merupakan keterangan
sepihak, baik secara tertulis maupun lisan, yang tegas dan dinyatakan oleh
salah satu pihak dalam perkara di persidangan. Pengakuan ini sebagai bentuk
membenarkan baik seluruhnya ataupun sebagian dari suatu peristiwa, hak atau
hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya. Hal ini mengakibatkan
pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak diperlukan kembali.
Sedangkan pengakuan di luar sidang merupakan keterangan yang
diberikan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata di luar
persidangan untuk membenarkan pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh
lawannya. Pengakuan di luar persidangan diatur di dalam Pasal 175 HIR,
Pasal 312 RBg, dan Pasal 1928 BW, yang mengatakan bahwa kekuatan
pebuktian daripada pengakuan lisan di luar sidang diserahkan kepada
pertimbangan hakim yang menangani kasus tersebut. Sedangkan menurut
Pasal 1927 BW menentukan bahwa suatu pengakuan lisan di luar persidangan
tidak dapat digunakan selain dalam hal-hal dimana diizinkan membuktikan
dengan saksu.
5) Sumpah
Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat dan
diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan
mengiingat akan sifat maha kuasa dari Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang
memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehNya. Jadi
pada hakikatnya, sumpah merupakan tindakan yang bersifat sacral dan
religious yang digunakan dalam peradilan. Alat bukti sumpah diatur di dalam
Pasal 155-15, 177 HIR, Pasal 182-185, 314 RBg, dan Pasal 1929-1945 BW.
Terdapat dua macam sumpah, yaitu sumpah untuk berjanji melakukan
atau tidak melakukan sesuatu, yang disebut dengan sumpah promissoir dan
sumpah yang memberi keterangan guna meneguhkan bahwa suatu hal itu
benar demikian atau tidak, yang disebut dengan sumpah assesoir atau
consimatoir. Sedangkan HIR menyebutkan ada tiga macam sumpah sebagai
alat bukti, yaitu:
1. Sumpah Pelengkap atau Suppletoir (Pasal 155 HIR, Pasal
182 RBg, dan Pasal 1940 BW)
Sumpah ini adalah sumpah yang diperintahkan oleh
hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk
melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi dasar sengketa
sebagai dasar putusannya..
2. Sumpah Penaksiran atau Eastimatoir(Pasal 155 HIR, Pasal
182 RBg, dan Pasal 1940 BW)
Sumpah ini adalah sumpah yang diperintahkan oleh
hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan
jumlah uang ganti rugi akibat kerugian.
3. Sumpah Pemutus atau Decisoir (Pasal 156 HIR, Pasal 183
HIR, dan Pasal 1930 BW)
Sumpah ini adalah sumpah yang dibebankan atas
permintaan salah satu pihak kepada lawannya dalam
persengketaan. Pihak yang meminta lawannya untuk
mengucapkan sumpah disebut deferent, sedangkan pihak yang
harus bersumpah disebut delaat.

6) Pemeriksaan Setempat
Pemeriksaan setempat adalah metode yang digunakan majelis hakim
untuk mengetahui secara jelas dan tepat terkait keberadaan objek sengketa
gugatan sebelum majelis hakim membacakan putusan akhir. Pemeriksaan
setmpat dilakukan oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan di luar
gedung pengadilan, agar hakim dapat melihat sendiri dan memperoleh
gambaran atau keterangan yang memberikan kepastian tentang peristiwa-
peristiwa yang menjadi sengketa. Tujuan dari pemeriksaan setempat adalah
memastikan bagi pencari keadilan untuk melakukan eksekusi atau suatu objek
sengketa barang-barang tidak bergerak. Ketentuan mengenai pemeriksaan
setempat dapat ditemui di dalam Pasal 153 HIR.
7) Keterangan Ahli (Expertise)
Keterangan ahli merupakan keterangan yang berasal dari pihak ketiga
yang memiliki keahlian berkaitan dengan apa yang akan dimintai keterangan
kepadanya, dimana keterangan itu bersifat objektif dan berguna sebagai
pembantu hakim dalam mengambil keputusan yang tepat. Keterangan ahli
sendiri diatur di dalam Pasal 154 HIR, Pasal 181 RBg, dan Pasal 215 RV,
yang menentukan apabila pengadilan berpendapat bahwa perkaranya dapat
dijelaskan oleh seorang ahli atas permintaan salah satu pihak atau karena
jabatannya, pengadilan dapat mengangkat seorang ali. Ahli itu sendiri
diangkat oleh hakim untuk dimintakan pendapatnya sesuai dengan keahlian
yang dimiliki, dan pengangkatan ini berlangsung hanya selama persidangan.
Daftar Pustaka

Buku

Azhmad Ali, Hukum Pembuktian Perdata, Jakarta: Kencana, 2012.


Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek, Bandung:Mandar Maju, 2009.
Sudikno Mertukusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka, 2013.

Anda mungkin juga menyukai