Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum perdata memuat seperangkat aturan tentang hak dan kewajiban


perorangan, seperangkat aturan tersebut berdasarkan ilmu hukum diklasifikasikan
menjadi beberapa bagian, 1) Hukum tentang diri seseorang; 2) Hukum keluarga; 3)
Hukum kekayaan; dan 4) Hukum warisan. Hukum perdata juga memiliki
pembagian yang berbeda jika ditinjau berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, pembagiannya diklasifikasikan menjadi empat, yaitu 1) Buku I memuat
perihal orang, didalamnya membahas hukum diri seseorang dan hukum keluarga;
2) Buku II memuat perihal kebendaan yang membahas hukum perbendaan dan
hukum kewarisan; 3) Buku III memuat perihal perikatan dalam pembahasannya
memuat hukum kekayaan yang terkait dengan hak-hak dan kewajiban setiap orang
atau pihak-pihak tertentu; 4) Buku IV memuat perihal pembuktian dan daluwarsa,
bagian ini memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu
terhadap hubungan hukum.

Bagian pembahasan hukum perdata berdasarkan Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata yang ke-IV tentang pembuktian dan daluwarsa merupakan hal
yang urgen untuk dipahami, sebab ini merupakan sebagian pengetahuan yang
terdapat dalam hukum acara perdata, artinya dengan mempelajari serta mengetahui
hukum pembuktian dan daluwarsa kita telah mengetahui dasar-dasar pelaksanaan
hukum acara perdata. Hal inilah yang melatar belakangi disusunnya makalah ini.

B. Rumusan Masalah

Mengetahui dasar-dasar hukum pembuktian dan hukum daluwarsa akan


mempermudah dalam memahami serta mengkaji lebih jauh tentang hukum

1
pembuktian dan daluwarsa tersebut. Untuk itu masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengertian serta teori-teori yang menjelaskan tentang


pembuktian?
2. Apa-apa saja alat yang digunakan dalam perkara pembuktian?
3. Bagaimanakah pengertian, syarat, serta bentuk daluwarsa?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pembuktian

Pembuktian (Inggris: evidentiary, Belanda: bewijs) berasal dari kata bukti,


yang berarti keterangan nyata; sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa
(KBBI, 1999:151). Menurtu beberpa ahli diantaranya R. Subekti (1975:5)
pembuktian adalah upaya meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-
dalil yang dikemukakan dengan persengketaan. Kemudian Nashr Farid Washil
(2004:26) mengartikan pembuktian sebagai upaya atau kegiatan menampilkan
alat-alat bukti yang sah berdasar hukum kepada hakim yang memeriksa suatu
perekara guna mentapkan apakah seseorang itu memiliki hak atau tidak.

Pembuktian memiliki dasar yang dituangkan dalam Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata. Dasar ini terdapat dalam pasal 1865 yang berbunyi “Setiap orang
yang mendalikan bahwa dia mempunyai suatu hak atau, guna meneguhkan haknya
sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjukan kepada suatu
peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”
( Tjitrosudibio, 2006:475). Dari pasal tersebut dapat dipahami bahwa tuntutan
untuk mendapatkan hak, meneguhkan, atau pun membantah hak orang lain
terhadap sesuatu, pihak yang menuntut, meneguhkan, atau pun melakukan
pembelaan harus memiliki bukti atas hak tersebut.

Pembuktian dalam hukum perdata juga dianggap sebagai sebagian dari


perkara hukum acara perdata. Dalam hal ini hukum pembuktian hanya berlaku
dalam perkara sengketa yang sering diselesaikan dalam acara perdata. Dengan
adanya hukum pembuktian inilah hakim dapat menentukan pihak mana yang
menang dan kalah (Wansyah, 2014:10). Menang atau kalah merupakan
konsekuensi seberapa kuat atau pun lemah bukti yang diajukan oleh beberapa

3
pihak dalam menyelesaikan perkara sengketa, untuk itu adanya pembuktian dalam
menyeleseaikan perkara sangat diorientasikan.

A. Pitlo (1968:3) mengatakatan bahwa acuan yang digunakan oleh orang-


orang dalam mengartikan hukum pembuktian menggunakan dua macam
pendekatan yang berbeda, yaitu:

1. Hukum materil adalah hukum dalam suasana damai, dan hukum formil
adalah suasana pertentangan. Hukum pembuktian sebagai bagian dari
hukum acara, dan dalam hukum acara terdapat pertentangan-pertentangan,
untuk itu menurut pandangan pertama ini hukum pembuktian diartikan
sebagai hukum formil dikarenakan sebuah indikator, yaitu adanya
pertentangan
2. Hukum materil adalah suatu aturan mengenai isi aturan, dan hukm formil
adala suatu aturan yang mengenai bentuk luar. Berbeda dengan pendekatan
yang pertama pendekatan ini mengetikan hukum pembuktian termasuk
dalam hukum materil, pendekatan ini menggunakan gugatan sebagai
indikator utama dalam mengartikan hukum pembuktian. Artinya adalah
hukum gugatan merupakan kumpulan-kumpulan yang melukiskan hukum
materil.
B. Teori-teori Pembuktian

Ilmu pasti memandang pembuktian harus logis dan seksama. Sebagai contoh
ilmu pasti dapat membuktikan secara pasti bahwa tiga ditambah dengan dua
ditambah tiga hasilnya tetap akan sama, dan dua garis yang sejajar tidak akan
pernah bertemu merupakan hal yang tak dapat diperdebatkan lagi validitas dan
kebenaran pembuktiannya.

4
Pembuktian prespektif ilmu hukum tidak seperti pembuktian prespektif ilmu
pasti. Ilmu hukum menolak pembuktian dari penalaran logis yang menurut ilmu
pasti akan menghasilkan kepastian, hal ini berbeda dengan anggapan ilmu hukum
bahwa pembuktian baik banyak maupun sedikit tidak memiliki kepastian. Asumsi
ilmu hukum tentang hal ini adalah jika bukti itu sempurna, maka bukti sangkalan
tidak mungkin diberikan (Pitlo,1968:8).

A.Pitlo (1968:45) mengatakatan bahwa terdapat teori-teori pembuktian dalam


ilmu hukum, diantaranya sebagai berikut:

1. Teori hak (Teori hukum subjektif)

Teori ini mengajarkan bahwa suatu perkara selalu mengenai hal


mempertahankan hak. Siapa yang mengemukakan suatu hak, mesti
membuktikan haknya. Tetapi tidak perlu membuktikan segala apa yang
diperlukan untuk membuktikan haknya.

Tuntutan untuk membuktikan dalam mempertahankan hak apakah


benar adanya akan memberikan keabsahan atas hak yang dimiliki tersebut.
pada dasarnya setiap manusia memiliki hak atas apa yang dimiliki, untuk
membuktikan kepemilikan tersebut sudah pasti harus dibuktikan terlebih
dahulu, agar supaya hak tersebut diakui oleh hukum.

2. Teori hukum (Teori hukum objektif)

Siapa yang datang kepada hakim, maka perbuatannya tidak lain dari
pada meminta kepada hakim untuk melaksanakan peraturan hukum atas
fakta-fakta yang penuntut kemukakan. Untuk itu, perlu fakta tersebut
dibuktikan kebenarannya, yang akan mengesahkan pelaksanaan peraturan
hukum termaksud hakim bersifat pasif. Hakim mengambil undang-
undang, kemudian membacanya disana (apabila seorang datang kepadanya
dengan tagihan karena jual-beli) apa pembeliannya itu, dilihatnya apakah

5
yang dibuktikan oleh penuntut memenuhi syarat undang-undang, dan
berdasarkan pemeriksaan ini mengabulkan tagihan itu, atau menolaknya.

3. Teori hukum acara dan teori kepatutan

Praktek peradilan mengajarkan kita, bahwa hakim dalam taraf terakhir


selalu menyisihkan aturan-aturan tentang beban pembuktian, apabila aturan
itu dalam hal yang konkrit membawa kepada hal yang tidak patut. Apabila
pelaksanaan aturan membawa kepada hal yang tidak patut, maka ia
mengikkuti perasaan kepatutannya dan mewajibkan beban pembuktian,
menurut perasaannya itu. ia boleh berbuat demikian.

C. Alat-alat Pembuktian

Subekti,R,Tjitrosudibio,R (2006:475) berpendapat bahwa alat-alat yang digunakan


dalam pembuktian sebagaiman yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (B.W) dalam pasal 1866 terdiri atas:

1. Bukti tulisan;
2. Bukti dengan sakasi-saksi;
3. Persangkaan-persangkaan;
4. Pengakuan;
5. Sumpah;

Berikut uraian dari alat-alat yang digunakan dalam hukum pembuktian:

1. Bukti Tulisan

Selanjutnya berkaitan dengan bukti tulisan undang-undang B.W


mengatur cara-caranya, dalam hal ini terdapat dalam pasal 1867
“pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan yang otentik
maupun dengan tulisan-tulisan di bawa tangan”. Akta otentik dalam pasal
1869 undang-undang B.W ialah suatu akta yang didalam bentuk yang

6
ditentukan oleh undang-undan, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-
pegawai umum yang berkuasa. Selanjutnya yang dimaksudkan dengan
tulisan dibawah tangan pasal 1874 undang-undang B.W menyebutkan
bahwa tulisan yang ditandatangani diberi suatu pernyataan dari seorang
notaries atau seorang pegawai lain yang ditunjuk oleh undang-undang dari
mana bahwa ia mengenal sipenanda tangan atau bahwa orang yang
diperkenalkan kepdannya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepda si
penandatangan, dan bahwa setelah itu penanda tangan telah dilakukan
dihadapan pegawai tersebut.

2. Bukti Saksi-saksi

Sesudah pembuktian dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksian


merupakan cara pembuktian yang terpenting dalam perkara yang sedang
diperiksa didepan hakim. Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-
peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh
seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang
adanya peristiwa dari orang lain. Selanjutnya tidak boleh pula keterangan
saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari peristiwa
yang dilihat atau dialaminya, karena hakimlah yang berhak menarik
kesimpulan-kesimpulan itu.

Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan


mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk menerimanya atau tidak.
Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai
keterangan seorang saksi. Seorang saksi yang sangat rapat hubungan
kekeluargaan dengan pihak yang berperkara, dapat ditolak oleh pihak
lawan, sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta dibebaskan dari
kewajibannya untuk memberikan kesaksian.Selanjutnya, undang-undang
menetapkan bahwa keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak

7
boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas
keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah
dengan suatu alat pembuktian lain.

Perlu diketahui juga bahwa terdapat golongan orang yang tidak dapat
dijadikan sebagai saksi, yaitu orang yang belum berumur 15 tahun, orang
yang dungu, sakit jiwa, mata gelap yang berada di bawah pengampuan,
orang yang lemah ingatannya (pitlo, 1968:115).

Hal ini ditentukan dikarenakan tidak adanya kemampuan dari


golongan orang-orang tersebut, yang apabila dijadikan sebagai saksi,
kesaksiannya tidak valid bahka bisa melenceng dari kebenaran.

3. Persangkaan-persangkaan

Persangkan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa


yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini
ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang dibuktikan juga telah
terjadi. lebih jelasnya lagi bahwa Persangkahan adalah jika dari fakta-fakta
di ketahui di simpulkan dari kearah kepastian, tentang adanya suatu
pemikiran yang sebelumnya tidak di ketahui. Jadi dalam persangkaan. Kita
berhbungan dengan bukti langsung, jadi saya membuktikan bahwa saya
pada suatu hari tertentu tidak di A untuk itu saya membuktikan bahwa saya
pada hari itu berada di B, dari kenyataan, bahwa saya berada di B, orang
(hakim) menarik kesimpulan, bahwa saya tidak ada di A, hakim akan
berbuat demikian, apabilah undang-undang tidak menyinggung
persangkaan tampa memakai persangkaan orang hamper tidak mungkin
melaksanakan pembuktian (pitlo,1968:123).

Dalam pembuktian, ada dua macam persangkaan, ada persangkaan


yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri (watterlijk vermoeden) dan

8
persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden).
Persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang (watterlijk vermoeden),
pada hakekatnya merupakan suatu pembebasan dari kewajiban
membuktikan suatu hal untuk keuntungan salah satu pihak yang
berperkara. Misalnya, adanya tiga kwitansi pembayaran sewa rumah yang
berturut-turut. Menurut UU menimbulkan suatu persangkaan, bahwa uang
sewa untuk waktu yang sebelumnya juga telah dibayar olehnya.
Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden), terdapat
pada pemeriksaan suatu perkara dimana tidak terdapat saksi-saksi yang
dengan mata kepalanya sendiri telah melihat peristiwa itu. Misalnya, dalam
suatu perkara dimana seorang suami mendakwa istrinya berbuat zina
dengan lelaki lain. Hal ini tentunya sangat sukar memperoleh saksi-saksi
yang melihat dengan mata kepalanya sendiri perbuatan zina itu. Akan
tetapi, jika ada saksi-saksi yang melihat si istri itu menginap dalan satu
kamar dengan seorang lelaki sedangkan didalam kamar tersebut hanya ada
satu buah tempat tidur saja, maka dari keterangan saksi-saksi itu hakim
dapat menetapkan suatu persangkaan bahwa kedua orang itu sudah
melakukan perbuatan zina. Dan memang dalam perbuatan zina itu
lazimnya hanya dapat dibuktikan dengan persangkaan.
4. Pengakuan
A.Pitlo (1968:150) berpendapat bahwa Pengakuan adalah keterangan
dari salasatu pihak dalam satu perkara, dimana ia mengakui dimana apa
yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang di
kemukakan dari pihak lawan. Sebenarnya pengakuan bukan suatu alat
pembuktian, karena jika suatu pihak mengakui sesuatu hal, maka pihak
lawan dibebaskan untuk membuktikan hak tersebut, sehingga tidak dapat
dikatakan pihak lawan ini telah membuktikan hal tersebut. Sebab
pemeriksaan didepan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian.

9
Menurut undang-undang, suatu pengakuan di depan hakim,
merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang kebenaran hal atau
peristiwa yang diakui. Ini berarti, hakim terpaksa untuk menerima dan
menganggap, suatu peristiwa yang telah diakui memang benar-benar telah
terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa peristiwa itu
sungguh-sungguh telah terjadi. Adakalanya, seorang tergugat dalam suatu
perkara perdata mengakui suatu peristiwa yang diajukan oleh penggugat,
tetapi sebagai pembelaan mengajukan suatu peristiwa lain yang
menghapuskan dasar tuntutan. Misalnya, ia mengakui adanya perjanjian
jual beli, tetapi mengajukan bahwa ia sudah membayar harganya barang
yang telah ia terima dari penggugat.

Menurut UU suatu pengakuan yang demikian, oleh hakim tidak boleh


dipecah-pecah hingga merugian kedudukkan pihak tergugat didalam proses
yang telah berlangsung itu. Dengan kata lain, suatu pengakuan yang
disertai suatu peristiwa pembebasan oleh UU tidak dianggap sebagai suatu
pengakuan (onplitsbare bekentenis). Jadi dalam praktek, si penjual barang
masih harus membuktikan adanya perjanjian jual beli dan terjadinya
penyerahan barang yang telah dibelinya itu pada si pembeli. Perlu
diterangkan, bahwa dalam suatu hal UU melarang dipakai pengakuan
sebagai alat pembuktian dalam suatu proses, yaitu dalam suatu perkara
yang diajukan oleh seorang istri terhadap suaminya untuk mendapatkan
pemisahan kekayaan.

5. Sumpah

Tidak semua orang suka pada kebenaran. Hal ini berlaku secara
menonjol apabila kepentingannya dipertaruhkan. Selain dari itu ilmu
spikologi mengajarkan kepada kita, bahwa tidak berkata benar tidak selalu
disebabkan oleh karena kita tidak berkehendak untuk mengatakan

10
sebenarnya, akan tetapi oleh karena kita tidak sanggup mengatakan hal
yang sebenarnnya, tidak ada sesuatu keterangan pun yang dapat diastikan,
bahwa tidak berisikan kebenaran, wakapun, tergantung dari orang yang
memberikan keterangan itu dan dari keadaan keliling dimana ini telah
terjadi, keterangan yang satu lebih dapat dipercaya dari pada yang lain
(pitlo,1968:172).

Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang


”menentukan” (decissoire eed) dan ”tambahan” (supletoir eed). Sumpah
yang ”menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan
oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud
untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak
lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak
yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan,
sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia
akan dikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah,
mempunyai hak untuk ”mengembalikan” perintah itu, artinya meminta
kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja
perumusan sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan
semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : ”Saya bersumpah
bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan
sumpah yang dikembalikan akan berbunyi ”Saya bersumpah bahwa
sungguh-sungguh Saya tidak menerima barang”. Jika sumpah
dikembalikan, maka pihak yang semula memerintahkan pengangkatan
sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim apabila ia mengangkat sumpah
itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia menolak pengangkatan
sumpah itu. Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan
pengangkatan suatu sumpah yang menentukan, hakim harus
mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan perintah

11
mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah hal yang
disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-sungguh mengenai suatu
perbuatan yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang mengangkat
sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh pihak itu.
Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan
terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti perselisihan antara kedua pihak
yang berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa
sumpah itu sungguh-sungguh ”menentukan” jalannya perkara. Suatu
sumpah tambahan, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim
pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa
didalam suatu perkara sudah terdapat suatu ”permulaan pembuktian”, yang
perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang
memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang
terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah
tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan
pembuktian.

Pihak yang mendapat perintah untuk mengangkat suatu sumpah


tambahan, hanya dapat mengangkat atau menolak sumpah itu. Tetapi ia tak
dapat ”mengembalikan” sumpah tersebut kepada pihak lawan. Sebenarnya,
terhadap sumpah tambahan ini pun dapat dikatakan, bahwa ia menentukan
juga jalannya perkara, sehingga perbedaan sebenarnya dengan suatu
sumpah decissoir ialah, bahwa yang belakangan diperintahkan oleh suatu
pihak yang beperkara kepada pihak lawannya, sedangkan sumpah
tambahan diperintahkan oleh hakim karena jabatannya, jadi atas kehendak
hakim itu sendiri.
Tidak semua orang suka pada kebenaran. Hal ini berlaku secara
menonjol apabila kepentingannya dipertaruhkan. Selain dari itu ilmu
spikologi mengajarkan kepada kita, bahwa tidak berkata benar tidak selalu

12
disebabkan oleh karena kita tidak berkehendak untuk mengatakan
sebenarnya, akan tetapi oleh karena kita tidak sanggup mengatakan hal
yang sebenarnnya, tidak ada sesuatu keterangan pun yang dapat diastikan,
bahwa tidak berisikan kebenaran, wakapun, tergantung dari orang yang
memberikan keterangan itu dan dari keadaan keliling dimana ini telah
terjadi, keterangan yang satu lebih dapat dipercaya dari pada yang lain.
D. Pengertian Daluwarsa

Salah satu fungsi dari hukum objektif adalah melindungi keadaan yang ada.
Apa yang ada seyogiyanyalah dilindungi. Tata masyarakat menghendakinya.
Pemlik dari sebidang tanah dalam melawan orang yang memakai sebagian dari
tanahnya tanpa izinnya. Seorang kreditur dapat menggugat debiturnya yang lalai
membayar. Bagaimana caranya orang mempertahankan haknya diatur oleh
undang-undang.

Orang yang haknya dilanggar dapat juga bersifat pasiv. Pemilik tanah
membiarkan orang menyerobot tanahnya. Kreditur membiarkan saja debiturnya
membayar. Hal ini bisa terjadi, oleh karena orang tidak mengetahui, bahwa ada
pelanggaran hak. Bisa juga terjadi oleh karena ia tidak cekatan, suka mengalah,
atau oleh suatu sebab lain apapun maka terjadilah sesuatu yang nyata yang
berlawanan dengan keadaan menurut hukum. Pemerintah tidak dengan sendirinya
mencampuri hal ini, karena tidak berada dibidang hukum perdata. Hakim
menunggu sampai orang yang dirugikan meminta jasanya.

Tata masyarakat menghendaki, bahwa keadaan yang baru ini, apabila sudah
lama berjalan menjadi suatu keadaan hukum, suatu tuntutan yang diladeni oleh
hukum. Adalah tidak patut apabila pemilik tanah selama 50 atau 100 tahun
membiarkan saja penyerobot dan ahli warisnya, kemudan tiba-tiba mengusr
mereka itu. Demikian juga tidak dapat dibenarkan juga apabla seorang kreditur,

13
sesuadah 50 atau 100 membiarkan saja debiturnya yang lalai itu, kemudian
menuntut debitur itu (Pitlo,1968:211).

E. Syarat-syarat Daluwarsa

Daluwarsa yang berlaku tidak hanya dilihat dari waktu yang telah lewat
sebagai akibat hukum. Akan tetapi terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi agar
supaya hukum daluwarsa ini berlaku. Dalam hal ini terdapat dua syarat yang harus
terpenuhi pertama yaitu kedudukan atau kekuasaan yang jelas terhadap suatu objek
daluwarsa tersebut, dan beritikad baik bagi orang yang telah mendapatkan
kekuasan terhadap benda tersebut.

Untuk menjadi orang yang berhak, diperlukan orang yang menguasai benda
dari orang lain selama waktu yang diperlukan untuk daluwarsa, menguasai benda
itu bagi dirinya sendiri. Kemudian orang yang mendapatkan kekuasaan terhadapp
benda tersebut harus beritikad baik, agar supaya terhindar dari situasi yang dapat
merugikan orang lain (Pitlo,1968:214).

F. Bentuk-bentuk Daluwarsa

Ada dua macam Daluarsa atau Verjaring :

1. Acquisitieve Verjaring
Acquisitieve Verjaring Adalah lampau waktu yang menimbulkan hak.
Syarat adanya kedaluarsa ini harus ada itikad baik dari pihak yang
menguasai benda tersebut. Daluwarsa bentuk ini juga disebut sebagai
daluwarsa memperoleh.(Pitlo,1968:214)

Pasal 1963 KUH Perdata: Pasal 2000 NBW “ Siapa yang dengan itikad
baik, dan berdasarkan suatu alas hak yang sah, memperoleh suatu benda
tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar
atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan daluarsa , dengan

14
suatu penguasaan selama dua puluh tahun “. Dan “ Siapa yang dengan
itikad baik menguasainya selama tiga puluh tahun, memperoleh hak milik
dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukkan alas haknya”.

Seorang bezitter yang jujur atas suatu benda yang tidak bergerak lama
kelamaan dapat memperoleh hak milik atas benda tersebut. Dan apabila ia
bisa menunjukkan suatu title yang sah, maka dengan daluarsa dua puluh
tahun sejak mulai menguasai benda tersebut. Misalnya: Nisa menguasai
tanah perkarangan tanpa adanya title yang sah selama 30 tahun. Selama
waktu itu tidak ada gangguan dari pihak ketiga, maka demi hukum, tanah
pekarangan itu menjadi miliknya dan tanpa dipertanyakannya alas hukum
tersebut.

2. Extinctieve Verjaring

A.Pitlo (1968:214) berpendapat bahwa Extinctieve Verjaring atau


daluwarsa membebaskan Adalah lampau waktu lampau yang
melenyapakan atau membebaskan terhadap tagihan atau kewajibannya.
Misalnya: Dheya telah meminjam uang kepada Syamsul sebesar
Rp.10.000.000,00 . Dalam jangka waktu 30 tahun, uang itu tidak ditagih
oleh Syamsul, maka berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, maka
Dheya dibebaskan untuk membayar utangnya kepada Syamsul.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum pembuktian merupakan sebuah hukum yang digunakan untuk


menyelesaikan sebuah perkara sengketa. Hukum ini juga termasuk sebagai
pembahasan hukum acara perdata, sebab dalam perkara acara perdata
dibutuhkannya bukti-bukti oleh hakim dalam menyelesaikan perkara yang terjadi.
Teori-teori yang menjelaskan hukum pembuktian secara umum terbagi menjadi
tiga, yaitu teori hak (Teori hukum subjektif), teori hukum (Teori hukum objektif),
dan teori hukum acara dan teori kepatutan. Alat-alat yang digunakan sebagai
pembuktian dalam penyelesaian sengketa atau pun perkara diantaranya adalah
bukti tertulis, bukti saksi, bukti persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Masing-
masing dari setiap alat bukti tersebut memiliki kekuatan hukum untuk digunakan
dalam menyelesaikan perkara.

Hukum daluwarsa mengatur tentang tatacara masyarakat dalam menyelesaikan


perkara kekuasaan terhadap suatu benda. Dalam menyelasaikan perkara tersebut
para pihak harus memenuhi dua syarat, yaitu memiliki kekuasaan atau kedudukan
atas benda yang diperkarakan dan harus memiliki iktikad baik bagi orang yang
mendapatkan kekuasaan bagi benda tersebut. Perkara daluwarsa juga terbagi
menjadi beberapa bentuk yaitu daluwarsa memperoleh (Acquisitieve Verjaring)
dan daluwarsa membebaskan (Extinctieve Verjaring)

16
DAFTAR PUSTAKA

Pitlo, A. 1968. Pembuktian dan Daluwarsa menurut Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata Belanda. Nederlannd: H.D. Tjeenk willink & Zoon, NV Haarlem.

Subekti, R, Tjitrosudibio, R. 2006. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.


Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Wansyah, Riyo. “Pembuktian dan Daluwarsa”. diambil pada tanggal 15 juni 2017.
Dari http://riyowansyah.blogspot.co.id/2014/10/makalah-pembuktian-dan-
daluarsa.htm, 2014.

Tim Penyusun, 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua, Jakarta: Balai
Pustaka.

Subekti, R. 1975. Hukum Pembuktian. Jakarta: Padnya Paramita.

Anshoruddin. 2004. Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum
Positif. Jakarta: Pustaka Pelajar.

17

Anda mungkin juga menyukai