Anda di halaman 1dari 14

HUKUM PEMBUKTIAN PERDATA

DISUSUN OLEH :
KHANSHA NARITA KATO

00000028379

16L2

TAHUN AJARAN 2016


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
tentang Hukum Pembuktian Perdata ini dengan baik meskipun banyak
kekurangan.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita, Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang
telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang
akan datang.

Medan, 19 Oktober 2018

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah hukum adalah masalah pembuktian di pengadilan. Demikian
yang sering di katakan orang. Oleh karena itu pesan dari pembuktian
dalam suatu proses hukum di pengadilan sangatlah penting. Banyak cerita
ataupun sejarah hukum yang menunjukan kepada kita karena salah dalam
menilai pembuktian, seperti karena saksi berbohong maka pihak
sebenarnya tidak bersalah harus meringkuk di dalam penjara karena
dinyatakan bersalah oleh hakim. Sebaliknya, banyak juga karena salah
dalam menilai alat bukti, atau tidak cukup kuat dalam alat bukti, orang
yang sebenarnya bajingan dan telah melakukan kejahatan bisa diputuskan
bebas oleh pengadilan.
Dengan demikian untuk menghindari atau setidaknya meminimalkan
putusan-putusan pengadilan yang tersesat tersebut, kecematan dalam
menilai alat bukti di pengadilan yang tersesat tersebut, kecermatan dalam
pengadilan sangatla di harapkan, baik dalam kasus pidana maupun
perdata.

B. Rumusan Masalah
1. Apa dan Bagaimana pembuktian dalam Hukum Acara Perdata ?
2. Apa saja alat bukti yang terdapat dalam Hukum Acara Perdata ?

C. T ujuan
Setiap penulisan berdasarkan kepada tujuan, Berdasarkan permasalahan
diatas maka tujuan yang di ciptakan dalam penulisan ini, antara lain :
1. Ingin mengetahui apa dan bagaimana pembuktian dalam hukum acara
perdata.
2. Ingin mengetahui alat bukti yang terdapat dalam hukum acara perdata.
D. Manfaat penelitian
Suatu penelitian dilakukan untuk menambah ilmu pengetahuan,
pengalaman, penenalan, dan pemahaman dari sebuah informasi atau fakta
yang terjadi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut
hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna
memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
dikemukakan.
Dalam hal pembuktian ini pihak-pihak berperkara harus aktif dan
berkewajiban untuk membuktikan peristiwa-peristiwa yang
dikemukakan, sedangkan hakim bersifat pasib. Pihak-pihak yang
berperkara tidak perlumemberitahukan dan membuktikan peraturan
hukumnya, tetapi yang perlu dibuktikan adalah peristiwanya atau
hubungan hukumnya yang menjadi dasar adanya hak perdata pihak-
pihak berperkara. Mengapa demikian?Karena hakim menurut asas
hukum acara perdata dianggap mengetahui akan hukumnya, baik
tertulis maupun tidak tertulis, dan hakimlah yang bertugas
menerapkan hukum perdata (materiil) terhadap perkara yang
diperiksa dan diputuskannya.
Dalam melakukan pembuktian pihak-pihak berperkara dan hakim
yang memimpin pemeriksaan perkara perdata di persidangan, harus
memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum pembuktian yang
mengatur tentang carapembuktian, beban pembuktian, macam-macam
alat bukti, serta kekuatan alat-alat bukti tersebut, dan sebagainya.
Hukum pembuktian ini termuat dalam HIR (Pasal 162 sampai
dengan Pasal 177), RBg (Pasal 282 sampai dengan Pasal 314), Stb.
1867 Nomor 29 (tentang kekuatan pembuktian akta dibawah tangan),
dan BW Buku IV (Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1945).
Dalam Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 BW alat-alat bukti
dalam perkara perdata, yaitu : Tulisan; Saksi-saksi; Persangkaan;
Pengakuan; dan Sumpah.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Prinsip umum pembuktian
Prinsip umum pembuktian adalah landasan penerapan pembuktian.
Semua pihak, termasuk hakim harus berpegangan pada patokan
yang di gariskan prinsip dimasud. Memang di samping itu masih
terdapat lagi prinsip-prinsip khusu yang berlaku untuk setiap jenis
alat bukti, sehingga harus juga di bicarakan dalam prinsip umum,
merupakan ketentuan yang berlaku bagi sistem hukum pembuktian
secara umum.
B. Sumber Data
1. Pembuktian mencari dan mewujudkan kebenaran Formil
a. Tugas dan peran Hakim Bersifat Pasif.
b. Putusan Berdasarkan pembuktian Fakta.
c. Aliran baru menentang Pasif-Total, ke Arab Aktif-
Argumentasi

2. Pengakuan Mengakhiri Pemeriksaan Perkara


Pada prinsipnya, pemeriksaan perkara sudah berakhir apabila
ada salah satu pihak memberikan pengakuan yang bersifat
menyeluruh terhadap materi pokok perkara. Apabila tergugat
mengakui secara murni dan bulat atas materi pokok yang
didalilkan penggugat, dianggap perkara yang disengketakan
telah selesai, karena dengan pengakuan itu telah dipastikan
atau diselelsaikan hubungan hukum yang terjadi antara para
pihak.

3. Pembuktian perkara tidak bersifat logis


a. Hukum Pembuktian dalam perkara tidak Selogis
Pembuktian Ilmu Pasif.
b. Kebenaran yang Diwujudkan Bersifat Kemasyarakatan.
4. Fakta – Fakta yang tidak perlu Dibuktikan
Pada prinsipnya, pemeriksaan perkara sudah berakhir apabila
ada salah satu pihak memberikan pengakuan yang bersifat
menyeluruh terhadap materi pokok perkara. Apabila tergugat
mengakui secara murni dan bulat atas materi pokok yang
didalilkan penggugat, dianggap perkara yang disengketakan
telah selesai, karena dengan pengakuan itu telah dipastikan
atau diselelsaikan hubungan hukum yang terjadi antara para
pihak.
5. Bukti Lawan (tegenbewijs)
Salah satu prinsip umum pembuktian, memberi hak kepada
pihak lawan untuk mengajukan bukti lawan. Pada akhir
kalimat pasal 1918 KUH Perdta,memberi hak kepada pihak
lawan untuk mengajukan pembuktian sebaliknya terhadap
pembuktian yang melekat pad putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap.
6. Persetujuan Pembuktian
Dalam kalusul arbitrase, para pihak dapat menyepakati jenis
alat bukti yang dapat diajukan. Bahkan dapat menyepakati
nilai kekuatan yang melekat pada alat bukti yang
bersangkutan.
C. Beban Pembuktian
1. Prinsip beban Pembuktian
a. Tidak bersikap berat sebelah
b. Menegakan risiko alokasi pembenaan
2. Penerapan Beban Berat Sebelah
Penerapan beban pembuktian atau bagian beban pembuktian
merupakan pembuktian itu telah dipertimbangkan dalam
putusan MA No. 578 k 1984 yang artinya Pt telah salah satu
menerapkan hukum pembuktian kepada masing- masing pihak.
3. Pedoman Pembagian Beban Pembuktian
a. Pedoman umum berdasarkan Undang-undang
b. Pembebanan pembuktian berdasarkan keputusan
c. Beban pembuktian berdasarkan teori hak
d. Beban pembuktian berdasarkan hukum
e. Beberapa prinsip yang berkembang pada penerapan
pembebanan pembuktian.
4. Hukum Materiil Sendiri Menentukan Beban Pembuktian
a. Pasal 1244 KUH perdata
b. Pasal 1365 KUH perdata
c. Pasal 1394 KUH perdata
d. Pasal 1769 KUH perdata
e. Pasal 489 KUH perdata
f. Pasal 533 KUH perdata
g. Pasal 1977 KUH perdata
h. Pasal 44 ayat (1) uu No.1 Tahun 1974
D. Batas Minimal Pembuktian
Sebagai pengantar atas permaslahan ini, akan dikemukakan
putusan MA No. 1444/pdt/1985. Dalam putusan ini ditegaskan,
ternyata penggugat hanya mengajukan bukti yang terdiri dari:
a. Alat bukti yang di Ajukan Berkualitas Alat Bukti
Permulaan
b. Patokan menentukan batas minimal
c. Tidak digantukan pada faktor kualitas
d. Patokannya berdasarkan Faktor kualitas
E. Alat Bukti
Alat-alat bukti dalam perkara perdata disebutkan dalam
pasal 164 HIR 286 RBg/1866 BW yaitu :
1. Tulisan
2. Saksi-saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Undang-undang sendiri dalam beberapa hal malah masyarakat “hanya dapat


dibuktikan dengan tulisa” artinya tidak diperkanankan pempergunakan dengan
alat-alat bukti lain. Misalnya perjanjian pendirian suatu firma diantara para
persero itu sendiri harus dibuktikan dengan akta notaris pada
(pasal 22 KUHD) perjanjian pertangung (asuransi) hanya dapat dibuktikan
dengan polisi, meskipun ditambah dengan tulisan, alat bukti lain boleh
dipergunaan ( pasal 258 KUHD). Kemudian mengenai perjanjian penetapan
besarnya bunga uang pinjaman harus di buktikan secara tertulis (pasal 1757
ayat (3) BW) dan sebagainya.

Alat bukti tulisan secara yuridis merupakan alat bukti yang memuat tanda-
tanda bacaan yang disusun menjadi suatu kalimat dengan tujuan untuk
mengungkapkan suatu pernyataan, ditulis dalam/ pada bahan tulis dimana para
pihak yang membuat memberi tanggal pembuatan tulisan tersebut dan
menandatanganinya.
Menurut Sudikno alat bukti tertulis adalah "segala sesuatu yang memuat
tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau
menyampaikan buah pikiran seseorang dan digunakan sebagai pembuktian" .
Sedangkan menurut Pitlo, alat bukti tertulis adalah "segala sesuatu yang
mengandung buah pikiran atau isi hati seseorang. Dengan demikian potret
atau gambar tidak dapat dikatakan sebagai surat (tulisan) karena tidak
memuat tanda-tanda bacaan atau buah pikiran." Jadi dapat disimpulkan
bahwa Alat Bukti Tulisan harus memuat unsur-unsur:
Secara umum Alat bukti Tulisan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu
Akta dan Bukan Akta. yang dimaksud Akta, menurut Sidikno adalah surat
yang diberi tanda tangan yang memuat peistiwa-peristiwa yang menjadi dasar
daripada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja
untuk pembuktian.
1. Akta
sendiri dapat diklasifikasikan lagi menjadi Akta otentik, Akta Bawah Tangan,
dan Akta Pengakuan Sepihak. Akta Otentik sendiri diatur dalam Pasal 1868
KUH Perdata yang menyatakan bahwa "Suatu Akta Otentik ialah akta yang
didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau
dihadapan pegawai-pegawai umum yang bekuasa untuk itu ditempat dimana
akta dibuatnya" yang intinya menyatakan bahwa akta otentik adalah akta yang
dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan undang-undang oleh atau
dihadapan pejabat umum yang berwenang ditempat akta dibuat. Contohnya
seperti berita acara penyidikan, KTP, SIM, Sertifikat Tanah dan lain
sebagainya. Akta Otentik sendiri mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang
sempurna (Volledig) dan mengikat (bidende), dimana suatu Akta Otentik
memiliki 3 jenis daya kekuatan pembuktian sebagai berikut:

1. Kekuatan Bukti Luar/Lahir, artinya suatu akta otentik yang diperlihatkan


harus dianggap sebagai akta otentik sejak dilahirkanya/dibuatnya sampai
ada pembuktian yang menyatakan sebaliknya.
2. Kekuatan Bukti Formil, artinya suatu isi akta otentik harus sesuai dengan
apa yang dituturkan/dinyatakan dan dikehendaki para pihak yang
bersangkutan.
3. Kekuatan Pembuktian Materiil, bahwa segala apa yang tercantum dalam
akta otentik harus sesuai dengan kejadian/apa yang telah dilakikan para

2. Akta Bawah Tangan, dalam Pasal 1874 KUH Perdata dijelaskan bahwa
tulisan-tulisan dibawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani
dibawah tangan, surat-surat, register-register, surat surat urusan rumah
tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa peantaraan seorang pegawai
umum. Berdasarkan Pasal 1874 KUH Perdata, Pasal 286 RBG, Akta
Bawah Tangan merupakan:pihak yang bersangkutan.

 tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan.


 tidak dibuat dan ditandatangani di hadapan pejabat yang
berwenang (Pejabat Umum), tetapi dibuat sendiri oleh seseorang
atau para pihak.
 secara umum terdiri dari segala jenis tulisan yang tidak dibuat
oleh atau dihadapan pejabat meliputi surat-surat, register-register,
surat-surat urusan rumah tangga, tulisan lain yang dibuat tanpa
pemintaan pejabat umum.

3. Akta Pengakuan Sepihak.


Akta ini diatur dalam Pasal 1878 KUH Perdata, Pasal 291 RBG yang
menyatakan "Perikatan utang sepihak dibawah tangan untuk membayar
sejumlah uang tunai atau memberikan barang yang dapat dinilai dengan
suatu harga tertentu, harus ditulis seluruhnya dengan tangan si penanda
tangan sendiri, setidak tidaknya, selain tanda tangan haruslah ditulis
dengan tanga si penanda tangan sendiri suatu tanda setuju yang menyebut
jumlah uang atau banyaknya barang yang terutang, jika hal ini tidak
diindahkan, maka bila perkataan dipungkiri, akta yag ditandatangani itu
hanya dapat diterima sebagai suatu permualaan pembuktian dengan
tulisan." dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa akta pengakuan
sepihak merupakan perikatan utang sepihak yang bentuk aktanya bawah
tangan dan berisi (obyeknya) adalah pengakuan utang. Sedangkan untuk
nilai pembukyianya sendiri tergantung pada dipenuhi atau tidaknya syarat
seperti yang tercantum dalam Pasal 1878 KUH Perdata, dipungkiri atau
tidaknya isi akta oleh pihak yang bersangkutan, dan disangkal atau
tidaknya tanda tangan dalam akta sepihak tersebut. Jika syarat tidak
dipenuhi dan isi dipungkiri maka akta pengakuan sepihak tersebut hanya
dapat digunakan sebagai bukti permulaan. Jika syarat terpenuhi dan isi
tidak dipungkiri maka nilai pembuktianya menjadi sempurna dan
mengikat. Sedangkan jika tanda tangan disangkal namun pihak lawan
dapat membuktikan orosinalitas akta tersebut, maka kekuatan
pembuktianya menjadi sempurna dan mengikat. namun jika tidak dapt
membktikan keorisinalitasanya mak nilai kekuatan pembuktianya turun
menjadi bukti permulaan.

1. BUKAN AKTA

 Surat lain bukan akta

merupakan bentuk surat pada umumnya seperti surat yang lebih bersifat
pribadi, sepert contoh surat cinta, pengumuman, selebaran gelap, petisi
damn lain sebagainya. surat ini tidak dibuat dihadapan pejabat yang
berwenang dan tidak harus dibubuhi tanda tangan. sehingga surat biasa
tidak bisa denga sendirinya menjadi alat bukti yang sah menurut undang-
undang. karena surat ini baru mempunyai nila pembuktian apabila
mempunyai hubungan dengan alat bukti yang lain.

 Salinan

dalam Pasal 1888 KUH Pedata atau Pasal 301 RBG yang dirumuskan ada
ayat 1 bahwa "kekuatan pembuktian suatu tulisan adalah pada akta
aslinya". dengan begitu salinan hanya dapat dipercaya atau diakui
kebenaranya apabila sesauai dengan aslinya dengan kata lain apabila telah
ditunjukan akta aslinya maka nilai kekuatan pembuktian salinan sama
dengan akta aslinya. namun dalam Pasal 1889 KUH Perdata terdapat
pengecaualian jika para pihak tidak dapat menunjukan akta aslinya,
salinan tersebut tetap mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna
dan mengikat apabila memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal
tesebut seperti salinan pertama yang sama dengan aslinya, salinan yang
dibuat atas perintah hakim, salinan yang dibuat oleh notaris atau pejabat
yang berwenang, dan grosse akta yang dibuat oleh notaris dari salinan
pertama.

 Foto copy

beda halnya dengan salinan biasa yang pada umumnya menggunakan


peralatan konvensional secara manual, Foto Copy merupakan salinan yang
dibuat menggunakan sistem dan peralatan elektronik yang canggih.
Dimana hasil dari foto copy jauh lebih tinggi dan lebih baik kemiripan
orisinalitasnya dibandingkan dengan salinan dengan cara konvensional,
namun Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata menyatakan
bahwa penilaian dan penghargaan yang diberikan hukum pembuktian
kepada salinan jauh lebih tinggi dibanding foto copy, seperti apa yang
telah tertuang dalam Psal 1889 KUH Perdata yang mengakomodasi
tingginya derajat salinan dimana salinan dianggap identik dengan aslinya,
yaitu salinan pertama (grosse pertama) yang nilai pembuktianya sama
dengan akta aslinya.

 Kutipan,

diatur dalam Pasal 1890 KUH Perdata, Pasal 303 RBG. dimana menurut
Pasal tersebut Salinan merupakam pengambilan tertulis beberapa bagian
dari akta aslinya , dimana kutipan yang diambil dari bagian tertentu dari
akta aslinya, harus persis kata demi kata. Untuk nilai kekuatan pembuktian
kutipantidak diatur dalam undang-undang. dalam buku Hukum Acara
Perdata karangan Yahya Harahap, nilai kekuatan pembuktian kutipan
berpatokan pada prinsip atau asas umum dengan acuan nilai kekuatan
pembuktian suatu akta sesuai Pasal 1888 KUH Perdata, melekat pada
aslinya. dengan kata lain jika kutipa tersebut diambil dari Akta Otentik
maka nilai kekuatan pembuktianya melekat/sama dengan akta aslinya
yaitu sempurna dan mengikat.
BAB V

PENUTUPAN
A. Kesimpulan
1. Hukum pembuktian positif kita dalam acara perdata di atur dalam
HIR dan Rbg serta KUHPerdata buku IV. Yang tercantum dalam HIR
DAN Rbg adalah hukum pembuktian baik yang materiil maupun formil
Apa yang tercantum dalam KUHPerdata bukan buku IV itu disusun khusu
untuk acara contradictoir atau peradilan voluntoir atau peradilan volunter
pada azasnya tidak berlaku hukum pembuktian dari KUHPerdata buku IV
tetap di perlukan secara Analog.
2. Yang wajib membuktikan atau mengajukan alat-alat bukti adalah
yang membuktikan peristiwa yang disengketa dan bukan hakim. Hal ini
dapat kita baca dalam pasal 163 HIR
(PASAL 283 Rbg) dan 1865 BW. “barang siapa yang mengaku
mempunyai hak harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu” (pasal
178 ayat 1 Rbg, 50 ayat 1 Rv)
Jadi dalam hal ini dipisahkan antara yang harus membuktikan atau yang
harus mengajukan alat-alat bukti, yaitu para pihak, dan harus menyatakan
terbukti atau tindakan suatu pristiwa.

Dasar Hukum Pembuktian


1. Hierziene Inlandse Reglement
(HIR)
Stb. 1941 No. 44 (untuk jawa dan Madura)
2. Rechtreglement Buitengewesten (RBg)
Stb. 1927 No. 227 (untuk luar jawa dan Madura)
3. Reglement op de Burgelijke Rechtvordering (Rv)
Stb. 1847 No. 52 dan Stb. 1848 No. 63
4. Buku ke-4 KUHPerdata (Stb. 1847 No. 23)
5. Ketentuan setelah Proklamasi Kemerdekaan seperti :
a. UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
b. UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum.
c UU No. 14/1985 tentang MA. RI

Dalam proses pembuktian, tentu saja diperlukan alat bukti untuk


mendukung dalil para pihak. Hukum acara perdata, mengatur dalam pasal
164 HIR, bahwa terdapat 5 alat bukti yang dikenal, yaitu:
1. Surat, diatur dalam Pasal 165 – 169
2. Saksi, diatur dalam Pasal 169 – 172
3. Persangkaan, diatur dalam Pasal 1734.

B. SARAN
Yang di perlukan oleh pembaca adalah perlunya menganalisi
seluruh materi yang dipaparkan oleh penuli dengan cara meneliti
ulang pada referensi yang menjadi sumber pengambilan materi
maupun dengan menelaah materi yang disampaikan itu dalam
sumber lain yang belum di cantumkan dalam makalh ini. Karena
dengan demikian pembaca akan menganalisi dengan sangat telisi
apakah masih berlaku dan masih diterapkan dalam hukum di
indonesia pada masa sekarang.

Anda mungkin juga menyukai