Anda di halaman 1dari 12

PEMBUKTIAN

Diktat Bahan Ajar Administrative Law Procedure

Kelompok 7

Dosen Pengampu:
Pratama Herry Herlambang, S. H., M. H.

Disusun oleh:
Layla Putri Aulya (8111420093)
Zidan Abrar (8111420302)

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


SEMARANG
2022
a. DEFINISI
Pembuktian adalah proses untuk meyakinkan Hakim kebenaran dari dalil ataupun
dalil akan dikemukakan dalam suatu persengketaan1.
Sebelum pengadilan menetapkan atau mengambil keputusan untuk mencari suatu
kebenaran, termasuk kebenaran materiil dan kebenaran formil, dalam menyelesaikan
sengketa/masalah tata usaha negara, hakim terlebih dahulu harus menganalisis alat bukti
yang diberikan oleh para pihak. Alat bukti yang digunakan oleh pengadilan dalam
mengadili sengketa/perkara digunakan untuk menentukan hubungan hukum para pihak
yang sebenarnya. Tidak hanya ada peristiwa atau peristiwa yang dapat ditetapkan, tetapi
juga ada hak yang dapat dibuktikan; Bahkan dalam konflik tata usaha negara, yang
terbukti adalah sahnya perilaku penyelenggara tata usaha negara.
Menurut Teguh Samudera, penting bagi seluruh masyarakat untuk mengetahui
masalah pembuktian, sehingga perlu disebarluaskan agar masyarakat lebih memahami
masalah pembuktian.2 .Secara umum, pembuktian merupakan bagian integral dari hukum
acara; hakim umumnya mencari bukti ketika mengadili kasus. Dengan diselesaikannya
suatu gugatan melalui Pengadilan maka akan tercipta suatu penyelesaian yang pasti
berdasarkan alat bukti, karena dengan adanya pembuktian diharapkan dapat tercapai
suatu kebenaran yang benar yaitu realitas hubungan hukum antara para pihak yang
berperkara. Metode pembuktian akan mengungkapkan siapa yang benar-benar tidak salah
dan dapat menjamin perlindungan hak asasi para penggugat secara seimbang. Akibatnya,
bukti mungkin menunjukkan bahwa suatu masalah sedang diselidiki sesuai dengan
hukum.
Pembuktian adalah penyampaian alat bukti yang sah kepada pengadilan selama
persidangan oleh pihak yang berperkara dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran
dalil mengenai fakta-fakta hukum yang dipermasalahkan, sehingga hakim memperoleh
kepastian untuk dijadikan dasar pertimbangannya. Di Indonesia, Hukum Pembuktian
dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara menganut pembuktian kebenaran
materiil. Artinya, dalam suatu sengketa yang diadili di Peradilan Tata Usaha Negara,
hakim harus mencari kebenaran materil bukan sekedar apa yang diajukan para pihak
dalam persidangan. Hakim dalam hal ini pun diberikan kebebasan untuk menilai
kekuatan pembuktian dari suatu alat bukti yang diajukan di persidangan berdasarkan
Pasal 107 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Pembuktian menurut hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal
100 sampai dengan 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang mengatur tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Selanjutnya, ketentuan tentang alat bukti ditaburkan di
seluruh teks, misalnya tentang alat bukti, saksi dan keterangan ahli, dan ketentuan dalam
Pasal 85 sampai dengan 95. Pengakuan Para Pihak merupakan salah satu alat bukti yang
diatur dalam hukum acara peradilan tata usaha negara. Hal ini sangat tidak biasa,
mengingat penggunaan para pihak sebagai alat bukti telah dikritik oleh para ahli dalam
1
R. Subekti, Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987).
2
Teguh Samudera. Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2004.
wacana hukum acara perdata. Salah satu alasannya adalah bahwa apa yang diakui para
pihak di pengadilan tidak selalu mencerminkan kebenaran, melainkan pernyataan niat
(wilsverklaring) untuk menyelesaikan masalah tersebut.3
Hakim menetapkan apa yang harus ditunjukkan (luas alat bukti), beban pembuktian,
dan penilaian alat bukti, dan untuk sahnya pembuktian, paling sedikit dua alat bukti
diperlukan berdasarkan keyakinan hakim, menurut Pasal 107 Proses pembuktian dimulai
dengan mengidentifikasi ruang lingkup pembuktian. Ini berarti bahwa hakim harus
terlebih dahulu memutuskan fakta mana yang signifikan untuk putusan akhir. Setelah itu,
hakim menilai fakta apa pun yang dia yakini cukup pasti. Kemudian dia menentukan
fakta mana yang masih perlu dibuktikan. Inilah yang dimaksud dengan bukti luas. Dalam
praktiknya, dapat diduga bahwa para pihak akan memberikan fakta-fakta tersebut terlebih
dahulu selama proses persidangan.4
Pembagian beban pembuktian adalah topik yang menantang. Beban pembuktian
mengacu pada persyaratan yang dibebankan pada satu pihak untuk membuktikan suatu
fakta di hadapan hakim yang mengadili perkara tersebut. Dalam hal ini, hakim membuat
keputusan akhir, meskipun para pihak dapat mengajukan ide dan janji untuk
membuktikan fakta-fakta yang dapat mempengaruhi keputusan akhir di masa depan.
Beban pembuktian, bagaimanapun, ditugaskan oleh hakim berdasarkan faktor-faktor
tertentu. Beban pembuktian tidak dipikul oleh para pihak, tetapi siapa pun yang diberi
tugas untuk menunjukkan sesuatu dan tidak melakukannya, berisiko beberapa fakta yang
mendukung posisinya disingkirkan dan dicap tidak terbukti. Akibatnya, beban
pembuktian termasuk risiko pembuktian.
Ada persamaan dan perbedaan antara pemeriksaan sengketa tata usaha negara dan
pemeriksaan perkara pidana; perbedaan dalam pemeriksaan sengketa tata usaha negara
inilah yang dikenal dengan pemeriksaan persiapan. Rapat dipimpin oleh Ketua
Pengadilan Tata Usaha Negara. Hakim akan mengambil keputusan berdasarkan hasil
pemeriksaan ini sesuai dengan norma peraturan perundang-undangan. Sedangkan
pemeriksaan persiapan dalam perkara pidana tidak diketahui karena pihak yang dirugikan
tidak mengajukan permohonan, maka proses persidangan dimulai dengan berita acara
dari kepolisian ke kejaksaan dan dari kejaksaan ke pengadilan khususnya Pengadilan
Negeri.

b. KRITERIA PEMBUKTIAN
Apa yang kita ketahui bahwa proses pembuktian adalah proses yang sangat penting
dalam hukum Apabila terjadi sengketa dan jika memang sengketa tersebut tidak
membutuhkan pembuktian maka tidak perlu dilakukan pembuktian dan perlu diketahui

3
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2006, hlm. 131.
4
Yogo Pamungkas, PERGESERAN KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA, Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan
Fakultas Hukum Unpad, Volume 3, Nomor 2, Juni, 2020.
bahwa tidak semua peristiwa harus dibuktikan kepada hakim hanya perselisihan yang
dapat dibuktikan5. Dalam pembuktian ada beberapa hal yang harus dibuktikan yaitu:
 Apa yang menjadi titik dari perselisihan sehingga perselisihan tersebut adanya proses
pengertian
 Hal yang telah diketahui oleh umum yang tidak perlu dibuktikan6.

c. SIFAT HAKIM DALAM PEMBUKTIAN


Dalam proses pembuktian di pengadilan Hakim memiliki sifat aktif. Aktif disini
memilik makna bahwa hakim dapat menentukan apa saja yang memang perlu dibuktikan,
beban pembuktiannya seperti apa, alat bukti mana saja yang memang diutamakan untuk
dipergunakan dalam proses pembuktian tersebut beserta penilaian. Walaupun Hakim
bersifat aktif dalam mencari kebenaran secara materiil dan memang sifat pembuktian
yang bersifat bebas, tetapi hal tersebut terbatas dengan adanya ketentuan alat bukti yang
diatur dalam pasal 100 undang-undang PTUN.

d. ALAT BUKTI
1. Surat atau tulisan
Tulisan dibagi menjadi tiga yaitu:
o Akta Otentik
Dimana surat ini dibuat pejabat umum yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan memang berwenang dalam membuat surat tersebut
dengan tujuan untuk dipergunakan sebagai alat bukti hukum yang tercantum
di dalamnya.
o Akta dibawah tangan
Surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan maksud
untuk dipergunakan alat bukti tentang peristiwa hukum yang terkandung di
dalamnya.
o Surat-surat lain yang bukan akta
Untuk mengajukan alat bukti surat dapat dilakukan dengan cara:
a. Dari surat yang akan diajukan sebagai bukti tersebut difotokopi kemudian
fotokopinya kemudian dileges oleh panitera pengadilan
b. Bukti surat yang telah di leges diberi kode gugat menjadi P1 sampai
dengan P-sekian, sedangkan untuk tergugat diberi kode T-1 sampai
dengan T-sekian serta tergugat intervensi diberi kode T.int sampai dengan
T.int-sekian
c. Kemudian dibuat dasar alat bukti surat yang berisi kode bukti dan
penjelasan alat bukti

5
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata (Alumni bandung, 1992).
6
M. Hum Dr. Budi Sastra Panjaitan, SH., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cetakan pe. (Medan, 2016).
d. Berikut dengan fotokopinya yang telah di leges dibawa ke persidangan
untuk diperlihatkan kepada hakim yang nantinya Hakim akan memberi
disposisi terhadap alat bukti surat yang diajukan Apakah sesuai dengan
asing atau tidak.

2. keterangan ahli
Keterangan ahli adalah Pendapat yang dikemukakan di bawah sumpah dalam
persidangan mengenai hal yang berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya
keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh juru taksir.

3. keterangan saksi
Keterangan saksi nantinya akan berisi berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat,
didengar oleh saksi sendiri. Keterangan yang diketahui karena diberitahu oleh orang
lain keterangannya tidak dapat dijadikan keterangan saksi yang sah. Secara garis
besar apa yang disampaikan oleh saksi haruslah berkenaan dengan apa yang benar-
benar terjadi pada dirinya sendiri7. Dalam sebuah kasus apabila ditemukan seorang
saksi yang tidak dapat diajak bekerja sama walaupun telah dipanggil dengan patut dan
hakim cukup mempunyai alasan untuk menyangkal bahwa saksi sengaja tidak datang,
maka hakim ketua sidang dapat memberi Perintah agar saksi dibawa Polisi ke
persidangan. Atau apabila dalam prakteknya terdapat saksi yang tidak bermukim atau
bertempat tinggal di daerah hukum pengadilan yang bersangkutan maka saksi tidak
diwajibkan untuk datang ke pengadilan tersebut tetapi nantinya saksi akan melakukan
pemeriksaan tempat yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman saksi.
Biasanya hal-hal yang ditanyakan oleh Hakim kepada saksi adalah mengenai
nama lengkap,tempat lahir, umur, atau tanggal lahir, jenis kelamin, kewarganegaraan,
tempat tinggal, agama, atau kepercayaannya, pekerjaan, derajat hubungan keluarga
dan hubungan kerja dengan penggugat atau tergugat. Sebelum memberikan
keterangan, saksi biasanya akan disumpah dan hal ini adalah proses yang sangat
wajib dilakukan sebelum saksi mengutarakan apa yang ia ketahui dan apa yang ia
rasakan.
Hal yang ditanyakan kepada saksi adalah hal yang memang berkenan dengan
sengketa apabila konteks yang ditanyakan kepada saksi ini ada tidak kaitannya maka
pertanyaan tersebut akan ditolak oleh Hakim. Terdapat beberapa hal yang tidak boleh
didengar oleh saksi yaitu:
a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus atau ke bawah
sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa
b. Kata suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai
c. Anak yang belum berusia 17 tahun
d. Orang yang sakit Ingatan

7
Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 1999).
Kemudian apabila saksi ini tidak paham atau tidak cukup fasih dalam
menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi maka nantinya hakim ketua
sidang akan mengangkat dan menyediakan alih-alih bahasa.

4. Pengakuan
Keterangan dari para pihak ini sebagai alat bukti tidak dapat ditarik kembali
kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Hakim pengakuan baru
akan dapat dianggap sebagai alat bukti apabila disampaikan di hadapan persidangan
jika di luar itu sekalipun diucapkan di hadapan Hakim dan para pihak tidak dapat
dinilai sebagai alat bukti.

5. Pengetahuan Hakim
Pengetahuan Hakim merupakan hal yang diketahui dan diyakini kebenarannya
oleh Hakim. Pada faktanya hal ini adalah sebagai contoh ada saksi yang diperiksa
memberikan keterangan yang saling berbeda maka nantinya hakim atas dasar
pengetahuan yang dapat menentukan keterangan saksi mana yang diyakininya
sebagai keterangan yang benar dan keterangan saksi mana pun yang dapat yakininya
salah.
Antara bukti dan pengetahuan Hakim haruslah berjalan sejajar artinya tidak
mungkin apabila Hakim akan memutus suatu perkara berdasarkan pengetahuannya
saja padahal buktinya tidak cukup sebaliknya tidak mungkin juga Hakim dapat
memutus perkara hanya berdasarkan bukti tanpa adanya pengetahuan yang yang
dimiliki oleh Hakim tersebut.

e. BEBAN PEMBUKTIAN
Beban pembuktian pada hukum acara PTUN diatur dalam pasal 107 undang-undang
PTUN yang berbunyi “Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian
beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-
kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim”. Dalam pasal tersebut diatur
mengenai ketentuan dalam rangka menemukan kebenaran secara material. Dalam
sistematika beban pembuktian Hakim dapat menentukan sendiri:

 Apa yang harus dibuktikan


Yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang
berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri
 Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian
 Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan8

f. PENILAIAN ATAS ALAT BUKTI

8
Dr. Budi Sastra Panjaitan, SH., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Setelah pemeriksaan terhadap semua alat bukti yang terkait dengan sengketa,
tibalah waktunya untuk proses analisa terhadap alat bukti yang berkaitan dengan
penilaian hakim terhadap alat bukti tersebut. menilai suatu hasil pembuktian dengan
syarat sekurang-kurangnya dua alat bukti (bukti yang ditentukan dalam pasal 100)
diperlukan untuk sahnya pembuktian berdasarkan keyakinan hakim Karena setiap alat
bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 mempunyai derajat bobot yang sama, apa
yang dimaksud dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti adalah alat bukti yang terdapat
dalam pasal tersebut. Meskipun ada dua alat bukti yang diajukan, ini tidak berarti bahwa
hakim harus menerima fakta-fakta yang ditetapkan oleh dua alat bukti itu sebagai
kebenaran. Karena keyakinan hakim bahwa fakta-fakta yang ditetapkan oleh kedua alat
bukti itu akurat masih diperlukan untuk keabsahan alat bukti.
Secara teori, semua alat bukti yang disebutkan dalam pasal 100 memiliki nilai
yang sama. Namun, setiap alat bukti memiliki nilai pembuktian yang berbeda dari yang
lain. Jadi, terlepas dari bagaimana hakim menilai bobot pembuktian suatu alat bukti yang
diajukan sebelum pemeriksaan, penilaian hakim terhadap hasil alat bukti tidak hanya
didasarkan pada keyakinannya. Tidak dapat dituntut bahwa suatu bukti sempurna, tanpa
celah.
Sebenarnya, meskipun ada batasan jumlah alat bukti yang harus ada dua alat bukti
dan jenis alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 100 yang tidak dapat diberikan nilai alat
bukti, karena semuanya tergantung pada keyakinan hakim, itu berarti alat bukti berupa
pengetahuan hakim juga dapat menunjang proses penilaian alat bukti karena segala
sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan dan persidangan termasuk dalam pengetahuan
hakim, maka sebenarnya menilai sepotong bukti memerlukan penentuan bobot yang
ditempatkan pada bukti serta kualitas bukti yang ditawarkan oleh bukti, yang
menyiratkan bahwa sepotong bukti yang diajukan akan memiliki nilai bukti dalam
kaitannya dengan fakta yang diperebutkan oleh pihak yang berselisih. Penilaian
pembuktian berkaitan dengan pertimbangan dan kesimpulan yang dituangkan dalam
bagian putusan, artinya sebelum mengambil keputusan, majelis memeriksa jalannya
pemeriksaan dan menetapkan segala hal yang berkaitan dengan proses pemeriksaan.9
Pada umumnya karena ia adalah seorang hakim perdata, maka hakim dalam
penilaiannya tidak akan membatasi fakta-fakta yang dikemukakan oleh para pihak.
Hakim secara eksklusif bertanggung jawab untuk menilai apakah putusan hukum yang
digugat itu melanggar hukum atau tidak. Ini sebagian besar tentang fakta-fakta yang
menurut hakim penting untuk penilaian akhir yang harus dia buat nanti. Jika aturan dasar
harus diikuti, pengadilan harus mengidentifikasi fakta yang relevan dengan kerangka
peraturan, bahkan jika para pihak tidak memberikannya. Fakta-fakta selanjutnya yang
tidak diungkapkan oleh para pihak tetapi memiliki arti penting bagi kesimpulan akhir
yang akan diputuskan oleh pengadilan dapat muncul selama proses berlangsung. Hakim
9
Muhammad Adiguna Bimasakti, Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Oleh Pemerintah / Onrechtmatige
Overheidsdaad (OOD) Dari Sudut Pandang Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Yogyakarta: Deepublish,
2018.
menilai alat bukti, baik surat, saksi, maupun pengakuan dari kedua belah pihak, dengan
menilai kedua alat bukti tersebut. Tes ini dilakukan selama prosedur pemeriksaan di
pengadilan dan hanya untuk tujuan hukum.
Proses pembuktian di sidang sengketa PTUN mengikuti ketentuan Pasal 107 yang
mengatur tentang apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, dan penilaian
pembuktian. Berdasarkan keyakinan hakim, keabsahan alat bukti setidaknya
membutuhkan dua alat bukti. Surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi,
pengakuan para pihak, pengetahuan hakim, dan kondisi yang diketahui masyarakat,
menurut Pengadilan Tata Usaha Negara, tidak perlu dibuktikan.
Ketika alat bukti dihadirkan di persidangan, ia memiliki nilai variabel atau bobot
pembuktian tergantung pada distribusi beban pembuktian, yang dalam praktik berarti
masing-masing pihak memiliki beban pembuktian untuk mendukung argumen yang
ditawarkan dengan menghasilkan bukti atau fakta yang terkait. untuk hal yang
dibebankan. Sedangkan penilaian alat bukti berkaitan dengan penilaian alat bukti secara
keseluruhan, dimana hakim memiliki kebebasan untuk menilai alat bukti yang diajukan
dengan berpandangan bahwa alat bukti tersebut memberikan petunjuk penyelesaian
sengketa, sehingga hakim pada saat menilai hasil suatu pembuktian tidak hanya
berdasarkan keyakinannya tetapi didukung oleh bukti-bukti lain.
Karena UU PTUN telah mengatur berbagai jenis alat bukti yang berkaitan dengan
sengketa PTUN, maka diharapkan dalam proses pemeriksaan para pihak dan kuasa
hukumnya hadir di persidangan dan memberikan alat bukti yang diperlukan oleh hakim
untuk penyelesaian sengketa. Hakim harus menentukan pembagian beban pembuktian
karena hakimlah yang menentukan jalannya persidangan, tetapi bagi para pihak yang
diberi beban pembuktian layak untuk dilaksanakan dengan menghadirkan fakta-fakta dan
alat-alat bukti yang relevan dengan topik. dibahas oleh para pihak. Karena setiap orang
yang mengajukan klaim atau memiliki kepentingan harus dapat memverifikasinya. Hal
ini untuk memberi petunjuk kepada hakim agar mengetahui apa yang harus dibuktikan
oleh penggugat dan tergugat. Hakim juga harus dapat menerapkan keyakinannya dengan
tepat saat meninjau fakta selama prosedur pembuktian.

g. TAHAPAN PEMBUKTIAN
Dalam pembuktian ada beberapa tahapan, yaitu:
1. proses peradilan hakim menentukan apa yang dibuktikan, beban pembukatian, beserta
penilaian pembukatian. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 107 UU PTUN
2. hakim secara aktif mencari bukti-bukti yang ada di tangan pejabat tata usaha negara.
Hal ini diatur dalam Pasal 85 UU PTUN yang berbunyi:
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dan apabila Hakim Ketua Sidang memandang
perlu ia dapat memerintahkan pemeriksaan terhadap surat yang dipegang oleh
Pejabat Tata Usaha Negara, atau pejabat lain yang menyimpan surat, atau
meminta penjelasan dan keterangan tentang sesuatu yang bersangkutan dengan
sengketa.
(2) Selain hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim Ketua Sidang dapat
memerintahkan pula supaya surat tersebut diperlihatkan kepada Pengadilan dalam
persidangan yang akan ditentukan untuk keperluan itu.
(3) Apabila surat itu merupakan bagian dari sebuah daftar, sebelum diperlihatkan
oleh penyimpannya, dibuat salinan surat itu sebagai ganti yang asli selama surat
yang asli belum diterima kembali dari Pengadilan.
(4) Jika pemeriksaan tentang benarnya suatu surat menimbulkan persangkaan
terhadap orang yang masih hidup bahwa surat itu dipalsukan olehnya, Hakim
Ketua Sidang dapat mengirimkan surat yang bersangkutan ini kepada penyidik
yang berwenang, dan pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dapat ditunda
dahulu sampai putusan perkara pidananya dijatuhkan.
3. Tahap selanjutnya tahap membuat kesimpulan yang dibuat oleh masing-masing
pihak. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 97 ayat (1) sampai dengan ayat (5) yang
berbunyi:
(1) Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, kedua belah pihak diberi
kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan
masing-masing.
(2) Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), maka Hakim Ketua Sidang menyatakan bahwa sidang ditunda
untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim bermusyawarah dalam
ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa
tersebut.
(3) Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis
merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika setelah diusahakan dengan
sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat, putusan diambil dengan
suara terbanyak.
(4) Apabila musyawarah majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat
menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majelis
berikutanya.
(5) Apabila dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara
terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan.

Dalam tahapan ini hakim harus memberikan kesempatan yang sama antara kedua
belah pihak yang bersengketa.

6. Tahap berikutnya adalah tahap terakhir, yakni pengambilan putusan yang diatur
dalam Pasal 97 ayat (6) sampai dengan ayat (11) yang berbunyi
(6) Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang terbuka
untuk umum, atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada kedua
belah pihak.
(7) Putusan Pengadilan dapat berupa : a. gugatan ditolak; b. gugatan dikabulkan; c.
gugatan tidak diterima; d. gugatan gugur.
(8) Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.
(9) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa: e. pencabutan
Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau f. pencabutan Keputusan
Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha
Negara yang baru; atau g. penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal
gugatan didasarkan pada Pasal 3.
(10) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan
ganti rugi.
(11) Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8)
menyangkut kepegawaian, maka di samping kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi.

Adapun bentuk dan isi putusan dalam perkara sengketa TUN diatur dalam Pasal 109
ayat (1) dan ayat (2) UU PTUN yang berbunyi

(1) Putusan Pengadilan harus memuat:


a. Kepala putusan yang berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan
para pihak yang bersengketa;
c. ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d. pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi
dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan; amar putusan tentang sengketa dan
biaya perkara; g.
f. amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
g. hari, tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama Panitera, serta
keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
(2) Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan10.

h. TEORI PEMBUKTIAN
Dalam pembuktian yang berada dalam lingkup Hukum Acara Tata Usaha Negara,
terdapat beberapa teori:

10
MH. Dr. Fence M. Wantu, SH., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Pertama. (Gorontalo: REVIVA
CENDEKIA UNG Pres, 2014).
1. Teori Beban Pembuktian Afirmatif
Teori ini memeiliki keterkaitan dengan adagium “Ei Probtio gui dicit negat” artinya
beban pembuktian itu dibebankan kepada pihak yang mendalilkan sesuatu, bukan
yang mengingkari sesuatu, sekalipun bahwa sesuatu yang negatif seperti yang di
dalilkan itu dalam keadaan-keadaan tertentu bukan suatu hak yang bisa terjadi.
2. Teori hukum subjektif
Teori ini lahir dari teori beban pembuktian afirmatif yang terletak pada pihak yang
meminta kepada hakim. Tujuannya adalah agar hak subjektif yang didalilkan nya
dapat diakui. Teori ini pada prakteknya sangat sulit untuk diterapkan dalam
berikanlah pengertian dari hak subjektif ini sulit dirumuskan.
3. Teori hukum objektif
Menurut teori ini peneliti dalam peraturan hukum material yang diterapkan unsur-
unsur apa saja yang harus ada agar nantinya dapat menimbulkan akibat hukum seperti
yang diberikan oleh penggugat11
4. Teori keadilan
Teori ini akan memberikan jawaban umum atas pertanyaan mengenai pembagian
beban pembuktian dengan memperhatikan keadaan keadaan yang ada secara konkret
dalam pemeriksaan atas dasar keadaan-keadaan nyata. Ini memiliki kekurangan
adanya ketidakpastian bagi para pihak untuk menyiapkan diri tentang apa saja yang
harus dibuktikan dalam proses pembuktian12.

11
Indroharto, Usaha-Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta: Sinar
Grafika, 1996).
12
Johansyah Johansyah, “PEMBUKTIAN DALAM SENGKETA TATA USAHA NEGARA,” Solusi 17, no. 3 (September 1,
2019): 336–357, http://jurnal.unpal.ac.id/index.php/solusi/article/view/221.
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Budi Sastra Panjaitan, SH., M. Hum. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Cetakan
pe. Medan, 2016.
Dr. Fence M. Wantu, SH., MH. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Pertama.
Gorontalo: REVIVA CENDEKIA UNG Pres, 2014.
Indroharto. Usaha-Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
Johansyah, Johansyah. “PEMBUKTIAN DALAM SENGKETA TATA USAHA NEGARA.”
Solusi 17, no. 3 (September 1, 2019): 336–357.
http://jurnal.unpal.ac.id/index.php/solusi/article/view/221.
Rasaid, Nur. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 1999.
Samudera, Teguh. Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata. Alumni bandung, 1992.
Subekti, R. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita, 1987.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2006,
hlm. 131.

Yogo Pamungkas, PERGESERAN KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA,


Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan Fakultas Hukum Unpad, Volume 3, Nomor 2, Juni, 2020.

Muhammad Adiguna Bimasakti, Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Oleh Pemerintah /


Onrechtmatige Overheidsdaad (OOD) Dari Sudut Pandang Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan, Yogyakarta: Deepublish, 2018.

Anda mungkin juga menyukai