Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH PEMERIKSAAN PERKARA

PERADILAN PERDATA

NAMA:MUHAMMAD HAFIDZ APRIANSYAH


NIM:20170610217
KELAS:C
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang amat penting 
dan  sangat  komplek  dalam  proses  litigasi.  Keadaan  kompleksitasnya makin rumit, karena
pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekontruksi kejadian atau peristiwa masa lalu
(past event) sebagai suatu kebenaran (truth). Meskipun kebenaran yang dicari dan
diwujudkan dalam proses peradilan perdata, bukan   kebenaran   yang   bersifat   absolut  
(ultimate   absoluth),  tetapi  bersifat kebenaran  relatif  atau  bahkan cukup  bersifat 
kemungkinan (probable),  namun untuk mencari kebenaran yang demikian tetap menghadapi
kesulitan.[1]

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah tahapan pemeriksaan perdata dan perdana ?
2.      Bagaimanakah eksekusi keputusan hakim ?
C.    Tujuan Penulisan
Sebagaimana latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan
penulisan adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui tahapan pemeriksaan Perkara perdata dan pidana.
2.      Mengetahui bagaimana eksekusi keputusan hakim.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pemeriksaan Perdata dan Pidana


a.      Pengertian Pemeriksaan Perdata
Perkara Perdata adalah suatu perkara perdata yang terjadi antara pihak yang satu
dengan pihak yang lainnya dalam hubungan keperdataan.
Pengertian Perkara Perdata tentang hubungan keperdataan antara pihak yang satu
dengan pihak lainnya apabila terjadi sengketa yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak
yang sedang berperkara umumnya diselesaikan melalui pengadilan untuk mendapatkan
keadilan yang seadil-adilnya. Perkara perdata yang di ajukan ke pengadilan pada dasarnya
tidak hanya terhadap perkara-perkara perdata yang mengandung sengketa yang dihadapi oleh
para pihak, tetapi dalam hal-hal tertentu yang sifatnya hanya merupakan suatu permohonan
penetapan ke pengadilan untuk ditetapkan adanya hak-hak keperdataan yang dipunyai oleh
pihak yang berkepentingan agar hak-hak keperdataannya mendapatkan keabsahan. Umumnya
dalam permohonan penetapan tentang hak-hak keperdataan yang diajukan oleh pihak yang
berkepentingan tidak mengandung sengketa karena permohonannya dimaksudkan untuk
mendapatkan pengesahan dari pihak yang berwajib.
Pengertian Perkara Perdata dalam arti luas termasuk perkara-perkara perdata baik
yang mengandung sengketa maupun yang tidak mengandung sengketa, sedangkan pengertian
perkara perdata dalam arti yang sempit adalah perkara-perkara perdata yang di dalamnya
sudah dapat dipastikan mengandung sengketa.
Profesor Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., dalam bukunnya Hukum Acara Perdata
Indonesia menyatakan bahwa Pengertian perkara perdata adalah "meliputi baik perkara yang
mengandung sengketa (contentius) maupun yang tidak mengandung sengketa (voluntair)".[2]

b.      Pengertian Hukum Pidana


a)      Menurut Para Ahli Hukum
“Simon” Hukum acara pidana bertugas mengatur cara-cara negara dengan alat
perlengkapanya mempergunakan wewenangnya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.
“Sudarto” Hukum acara pidana adalah aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa
yang harus dilakukan oleh para penegak hukum dan pihak-pihak lain yang terlibat
didalamnya apabila ada persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar.[3]
Fungsi, Tugas dan Tujuan Hukum Acara Pidana
b)      Fungsi Hukum Acara Pidana
Fungsi hukum acara pidana adalah menegakkan/menjalankan hukum pidana. Hukum
acara pidana beroprasi sejak adanya sangkaan tindak pidana walaupun tanpa adanya
permintaan dari korban kecuali tindakan pidana yang ditentukan lain oleh UU.
c)      Tugas Hukum Acara Pidana
Tugas pokok hukum acara pidana:
1.      Mencari kebenaran materil.(kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana
dengan menerapkan ketetapan-ketetapan hukum acara pidana secara jujur, tepat dengan
tujuan untuk mencari siapa pelaku yang dapat didakwakan melanggar hukum pidana dan
selanjutnya minta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menentukan adakah bukti suatu
tindak pidana telah dilakukan dan apakah pelakunya bisa dipersalahkan.
2.      memeberikan putusan hakim.
3.      melaksanakan putusan hakim.

B.     Proses Pemeriksaan Perkara Perdata dan Pidana


a.      Tahapan pemeriksaan perkara perdata
Perkara perdata ada 2 yaitu perkara gugatan contohnya perkara gugatan sengketa
tanah dan perkara permohonan contohnya permohonan polygami. Dalam hal proses
pemeriksaan perkara gugatan timbul karena adanya gugatan yang diajukan oleh pihak ke
pengadilan.[4]
Adapun proses pemeriksaan perkara gugatan (dalam praktek) biasanya sebagai
berikut :
1.      Diawali karena adanya gugatan masuk ke pengadilan. Gugatan tersebut diproses dahulu di
bagian panitera perdata yaitu mulai dari membayar panjar biaya perkara, penetapan nomor
register perkara, disampaikan ke Ketua Pengadilan, Ketua Pengadilan menetapkan Majelis
Hakim, selanjutnya Majelis Hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan melalui
panitera agar pihak penggugat dan tergugat dipanggil sesuai dengan hari sidang yang telah
ditetapkan.
2.      Pada persidangan pertama jika  Penggugat atau wakilnya tidak pernah hadir setelah
dipanggil secara patut dan sah selama 3 kali berturut-turut maka majelis hakim akan
memberikan putusan gugatan gugur. Sebaliknya jika Tergugat tidak hadir setelah dipanggil
secara patut dan sah selama 3 kali berturut-turut maka majelis hakim akan memberikan
putusan Verstek. Namun demikian jika Penggugat dan Tergugat hadir, maka majelis hakim
akan menanyakan dahulu apakah gugatannya ada perubahan, jika ada diberika kesempatan
untuk merubah dan dicata panitera pengganti. Jika tidak ada perubahan majelis Hakim akan 
melakukan mediasi untuk berdamai paling lama 40 hari.
3.      Jika selama 40 hari tersebut mediasi ataud amai tidak tercapai, maka persidangan
selanjutnya adalah pembacaan gugatan oleh Penggugat. Dalam prakteknya pembacaan
gugatan selalu tidak dilakukan yang terjadi adalah gugatan dianggap dibacakan sepanjang
antara Penggugat dan Tergugat sepakat. Hal ini untuk menghemat waktu. karena pada
dasarnya gugatan tersebut sudah dibaca oleh Tergugat ketika gugatan disampaikan
pengadilan (juru sita) minimal 3 hari  sebelum persidangan pertama dimulai.
4.      Setelah pembacaan gugatan selesai atau dianggap  dibacakan, Majelis Hakim menanyakan
kepada Tergugat apakah ada tanggapan baik lisan maupun tertulis. Apabila lisan majelis
hakim pada persidangan tersebut akan mencatat  dan apabila tertulis biasanya diberi
kesempatan 1 minggu untuk menanggapinya yang disebut dengan Jawaban Tergugat atas
Gugatan Penggugat. Dalam jawaban tergugat ini tergugat dapat melakukan bantahan,
mengakui dan tidak membantah dan tidak mengakui (referte) serta mengajukan eksepsi
(formil dan materil) dan rekonvensi (gugatan balik).
5.      Pada persidangan selanjutnya adalah menyerahkan Jawaban Tergugat. Dalam prakteknya
jawaban tergugat tidak dibacakan tetapi diberi kesempatan kepada Penggugat secara tertulis
untuk menanggapi Jawaban Tergugat  yang disebut dengan Replik Penggugat (Tanggapan
terhadap Jawaban Tergugat). Replik Penggugat isinya sebenarnya harus mempertahankan
dalil-dalil isi gugatan adalah benar sedangkan dalil-dalil dalam  jawaban tergugat adalah
salah. Replik juga bisa lisan tentunya jika lisan jawaban harus dibacakan agar Penggugat tahu
yang mana yang akan ditanggapinya.
6.      Pada persidangan berikutnya adalah menyerahkan Replik Penggugat Dalam prakteknya
Replik Penggugat juga  tidak dibacakan tetapi diberi kesempatan kepada Tergugat secara
tertulis untuk menanggapi Replik Penggugat   yang disebut dengan Duplik Tergugat 
(Tanggapan terhadap Replik Penggugat). Duplik Tergugat isinya sebenarnya harus
mempertahankan dalil-dalil jawaban Tergugat  adalah benar sedangkan dalil-dalil dalam 
Replik Penggugat  adalah salah. Duplik  juga bisa lisan tentunya jika lisan Replik harus
dibacakan agar Tergugat  tahu yang mana yang akan ditanggapinya.
7.      Pada persidangan berikutnya, adalah menyerahkan Duplik Tergugat yaitu tanggapan
terhadap Replik Penggugat. Setelah Duplik, majelis hakim akan melanjutkannya penyerahan
alat-alat bukti tertulis Penggugat. Kemudian Tergugat diminta juga menyerahkan alat-alat
bukti tertulis kepada majelis hakim.
8.      Setelah penyerahan alat bukti tertulis selesai, jika penggugat merasa perlu menghadirkan
saksi-saksi untuk mendukung alat bukti tertulisnya, maka majelis hakim memberikan
kesempatan dan dilakukan pemeriksaan saksi untuk diminta keterangannya sesuai perkara.
Setelah itu baru diberi kesempatan juga pada Tergugat untuk menghadirkan saksi untuk
dimintai keterangannya.
9.      Setelah pemeriksaan alat bukti selesai, dilanjutkan dengan pemeriksaan setempat (PS) yaitu
Majelis Hakim akan datang ke lokasi objek sengketa (tanah) untuk melihat fakta apakah
antara isi gugatan dengan fakta dilapangan mempunyai kesesuaian.
10.  Apabila pemeriksaan setempat selesai, dilanjutnya dengan kesimpulan oleh penggugat
maupun tergugat.
11.  Terakhir adalah putusan hakim (vonis). Jika eksepsi diterima putusannya adalah gugatan
tidak dapat diterima (NO), jika gugatan dapat dibuktikan oleh penggugat putusan hakim
adalah mengabulkan baik seleuruh maupun sebagian serta jika gugatan tidak dapat dibuktikan
oleh Penggugat, putusan hakim adalah menolak gugatan. (catatan : sebelum vonis hakim
dijatuhkan, perdamaian masih dapat dilakukan, bahkan perdamaian tersebut harus selalu
ditawarkan hakim pada setiap tahap persidangan).
12.  Terhadap putusan hakim, jika para pihak merasa keberatan dapat melakukan upaya hukum
Banding ke Pengadilan Tinggi. Pernyataan banding tersebut dapat dilakukan pada saat
putusan dijatuhkan atau pikir-pikir setelah 14 hari sejak putusan dijatuhkan.

b.      Tahapan Pemeriksaan Perkara Pidana


Adapun tahapan pemeriksaan perkara pidana adalah sebagai berikut :

1.      Pemeriksaan Tersangka
Sebelum penyidik melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang disangka
melakukan tindak pidana, maka penyidik wajib memberitahukan tentang hak untuk
mendapatkan bantuan hukum atau dalam perkara tersebut ia wajib didampingi penasehat
hukum (Pasal 144 KUHAP).[5]
Perkara yang wajib mendapatkan bantuan hukum, yaitu :
Ø  Perkara yang tersangkanya diancam dengan pidana mati atau pidana lima belas tahun atau
lebih.
Ø  Perkara yang tersangkanya tidak mampu yang diancam dengan lima tahun atau lebih, tetapi
kurang dari lima belas tahun.
Selanjutnya dalam hal tersangka ditahan, maka dalam waktu satu (1) hari setelah
perintah penahanan itu dijalankan, ia harus mulai diperiksa (Pasal 122 KUHAP).
Menurut Pasal 115 KUHAP ditentukan, bahwa pada waktu penyidik sedang
melakukan pemeriksaan, penasehat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan
melihat dan mendengar (wihtin sight and within hearing), sedangkan dalam kejahatan
terhadap keamanan Negara, penasehat hukum dapat melihat jalannya pemeriksaan tapi tidak
bisa mendengar (within sight but not within hearing).
Perlu ditekankan bahwa kata “dapat” dalam kalimat penasehat hukum dapat
mengikuti jalannya pemeriksaan merupakan hak atau wewenang penasehat hukum untuk
mengikuti jalannya pemeriksaan. Penasehat hukum dapat mempergunakannya dan dapat pula
melepasnya menurut pertimbangannya sendiri.
Pemberian bantuan hukum dalam proses perkara pidana adalah suatu prinsip Negara
hukum bahwa setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan persiapan
pembelaan perkaranya penasehat hukum berhak menghubungi dan berbicara dengan
tersangka (Pasal 70 KUHAP).
Ketentuan tersebut berkaitan erat dengan asas “praduga tak bersalah” yang dapat
diwujudkan dalam ketentuan bahwa, adalah hal dari seseorang yang tersangkut dalam perkara
pidana untuk dapat mengadakan persiapan bagi pembelaannya.
Tujuan inilah yang hendak dicapai Undang-undang Hukum Acara Pidana dalam
menetapkan ketentuan-ketentuan tentang bantuan hukum. Untuk itu tersangka atau terdakwa
diberi kesempatan untuk mengadakan hubungan dengan orang yang memberikan bantuan
hukum dengan anggota keluarga ataupun dengan teman sejawatnya (Pasal 60 KUHAP).
Pada waktu memeriksa tersangka atau terdakwa, penyidik harus menanyakan apakah
ia menghendaki didengar saksi yang dapat menguntungkan baginya (saksi a decharge) dan
dicatat dalam berita acara. Dalam hal demikian maka penyidik wajib memanggil dan
memeriksa saksi tersebut.
Dalam hukum acara pidana, pemeriksaan terharap tersangka maupun saksi
dimaksudkan untuk menemukan kebenaran dalam peristiwa pidana yang bersangkutan.
Dalam hal tersangka memberi keterangan tentang apa yang sebenarnya sehubungan
tindak pidana yang disangkakan kepadanya, penyidik mencatat dalam berita acara setelitinya
sesuai kata yang dipergunakan tersangka. Hasil pemeriksaan tersangka dicatat dalam berita
acara yang ditandatangani penyidik dan tersangka setelah ia menyetujui isinya (pasal 118
KUHAP).
Apabila tersangka dipersangkakan melakukan tindakan tindak pidana memenuhi
rumusan Pasal 21 KUHAP, maka ia dikenakan penahanan. Terhadap penahanan ini,
tersangka, keluarga atau penasehat hukum dapat mengajukan keberatan atas jenis penahanan
tersebut kepada penyidik yang melakukan penahanan dengan disertai alasannya.
Untuk itu penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan
mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya tersangka tersebut tetap ditahan atau tetap
ada dalam jenis penahanan tertentu. Apabila dalam waktu tiga hari permintaan tersebut tidak
dikabulkan oleh penyidik, tersangka, keluarga atau penasehat hukum dapat mengajukan
keberatan atas jenis penahanan tersebut disertai alasannya.
Permintaan atau permohonan ini, penyidik maupun atasan penyidik dapat menolak
atau mengabulkan permintaan dengan atau tanpa syarat (Pasal 123 KUHAP).
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang amat penting 
dan  sangat  komplek  dalam  proses  litigasi.  Keadaan  kompleksitasnya makin rumit, karena
pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekontruksi kejadian atau peristiwa masa lalu
(past event) sebagai suatu kebenaran (truth). Meskipun kebenaran yang dicari dan
diwujudkan dalam proses peradilan perdata, bukan   kebenaran   yang   bersifat   absolut  
(ultimate   absoluth),  tetapi  bersifat kebenaran  relatif  atau  bahkan cukup  bersifat 
kemungkinan (probable),  namun untuk mencari kebenaran yang demikian tetap menghadapi
kesulitan.[1]

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah tahapan pemeriksaan perdata dan perdana ?
2.      Bagaimanakah eksekusi keputusan hakim ?

C.    Tujuan Penulisan
Sebagaimana latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan
penulisan adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui tahapan pemeriksaan Perkara perdata dan pidana.
2.      Mengetahui bagaimana eksekusi keputusan hakim.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pemeriksaan Perdata dan Pidana


a.      Pengertian Pemeriksaan Perdata
Perkara Perdata adalah suatu perkara perdata yang terjadi antara pihak yang satu
dengan pihak yang lainnya dalam hubungan keperdataan.
Pengertian Perkara Perdata tentang hubungan keperdataan antara pihak yang satu
dengan pihak lainnya apabila terjadi sengketa yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak
yang sedang berperkara umumnya diselesaikan melalui pengadilan untuk mendapatkan
keadilan yang seadil-adilnya. Perkara perdata yang di ajukan ke pengadilan pada dasarnya
tidak hanya terhadap perkara-perkara perdata yang mengandung sengketa yang dihadapi oleh
para pihak, tetapi dalam hal-hal tertentu yang sifatnya hanya merupakan suatu permohonan
penetapan ke pengadilan untuk ditetapkan adanya hak-hak keperdataan yang dipunyai oleh
pihak yang berkepentingan agar hak-hak keperdataannya mendapatkan keabsahan. Umumnya
dalam permohonan penetapan tentang hak-hak keperdataan yang diajukan oleh pihak yang
berkepentingan tidak mengandung sengketa karena permohonannya dimaksudkan untuk
mendapatkan pengesahan dari pihak yang berwajib.
Pengertian Perkara Perdata dalam arti luas termasuk perkara-perkara perdata baik
yang mengandung sengketa maupun yang tidak mengandung sengketa, sedangkan pengertian
perkara perdata dalam arti yang sempit adalah perkara-perkara perdata yang di dalamnya
sudah dapat dipastikan mengandung sengketa.
Profesor Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., dalam bukunnya Hukum Acara Perdata
Indonesia menyatakan bahwa Pengertian perkara perdata adalah "meliputi baik perkara yang
mengandung sengketa (contentius) maupun yang tidak mengandung sengketa (voluntair)".[2]

b.      Pengertian Hukum Pidana


a)      Menurut Para Ahli Hukum
“Simon” Hukum acara pidana bertugas mengatur cara-cara negara dengan alat
perlengkapanya mempergunakan wewenangnya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.
“Sudarto” Hukum acara pidana adalah aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa
yang harus dilakukan oleh para penegak hukum dan pihak-pihak lain yang terlibat
didalamnya apabila ada persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar.[3]
Fungsi, Tugas dan Tujuan Hukum Acara Pidana
b)      Fungsi Hukum Acara Pidana
Fungsi hukum acara pidana adalah menegakkan/menjalankan hukum pidana. Hukum
acara pidana beroprasi sejak adanya sangkaan tindak pidana walaupun tanpa adanya
permintaan dari korban kecuali tindakan pidana yang ditentukan lain oleh UU.
c)      Tugas Hukum Acara Pidana
Tugas pokok hukum acara pidana:
1.      Mencari kebenaran materil.(kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana
dengan menerapkan ketetapan-ketetapan hukum acara pidana secara jujur, tepat dengan
tujuan untuk mencari siapa pelaku yang dapat didakwakan melanggar hukum pidana dan
selanjutnya minta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menentukan adakah bukti suatu
tindak pidana telah dilakukan dan apakah pelakunya bisa dipersalahkan.
2.      memeberikan putusan hakim.
3.      melaksanakan putusan hakim.

B.     Proses Pemeriksaan Perkara Perdata dan Pidana


a.      Tahapan pemeriksaan perkara perdata
Perkara perdata ada 2 yaitu perkara gugatan contohnya perkara gugatan sengketa
tanah dan perkara permohonan contohnya permohonan polygami. Dalam hal proses
pemeriksaan perkara gugatan timbul karena adanya gugatan yang diajukan oleh pihak ke
pengadilan.[4]
Adapun proses pemeriksaan perkara gugatan (dalam praktek) biasanya sebagai
berikut :
1.      Diawali karena adanya gugatan masuk ke pengadilan. Gugatan tersebut diproses dahulu di
bagian panitera perdata yaitu mulai dari membayar panjar biaya perkara, penetapan nomor
register perkara, disampaikan ke Ketua Pengadilan, Ketua Pengadilan menetapkan Majelis
Hakim, selanjutnya Majelis Hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan melalui
panitera agar pihak penggugat dan tergugat dipanggil sesuai dengan hari sidang yang telah
ditetapkan.
2.      Pada persidangan pertama jika  Penggugat atau wakilnya tidak pernah hadir setelah
dipanggil secara patut dan sah selama 3 kali berturut-turut maka majelis hakim akan
memberikan putusan gugatan gugur. Sebaliknya jika Tergugat tidak hadir setelah dipanggil
secara patut dan sah selama 3 kali berturut-turut maka majelis hakim akan memberikan
putusan Verstek. Namun demikian jika Penggugat dan Tergugat hadir, maka majelis hakim
akan menanyakan dahulu apakah gugatannya ada perubahan, jika ada diberika kesempatan
untuk merubah dan dicata panitera pengganti. Jika tidak ada perubahan majelis Hakim akan 
melakukan mediasi untuk berdamai paling lama 40 hari.
3.      Jika selama 40 hari tersebut mediasi ataud amai tidak tercapai, maka persidangan
selanjutnya adalah pembacaan gugatan oleh Penggugat. Dalam prakteknya pembacaan
gugatan selalu tidak dilakukan yang terjadi adalah gugatan dianggap dibacakan sepanjang
antara Penggugat dan Tergugat sepakat. Hal ini untuk menghemat waktu. karena pada
dasarnya gugatan tersebut sudah dibaca oleh Tergugat ketika gugatan disampaikan
pengadilan (juru sita) minimal 3 hari  sebelum persidangan pertama dimulai.
4.      Setelah pembacaan gugatan selesai atau dianggap  dibacakan, Majelis Hakim menanyakan
kepada Tergugat apakah ada tanggapan baik lisan maupun tertulis. Apabila lisan majelis
hakim pada persidangan tersebut akan mencatat  dan apabila tertulis biasanya diberi
kesempatan 1 minggu untuk menanggapinya yang disebut dengan Jawaban Tergugat atas
Gugatan Penggugat. Dalam jawaban tergugat ini tergugat dapat melakukan bantahan,
mengakui dan tidak membantah dan tidak mengakui (referte) serta mengajukan eksepsi
(formil dan materil) dan rekonvensi (gugatan balik).
5.      Pada persidangan selanjutnya adalah menyerahkan Jawaban Tergugat. Dalam prakteknya
jawaban tergugat tidak dibacakan tetapi diberi kesempatan kepada Penggugat secara tertulis
untuk menanggapi Jawaban Tergugat  yang disebut dengan Replik Penggugat (Tanggapan
terhadap Jawaban Tergugat). Replik Penggugat isinya sebenarnya harus mempertahankan
dalil-dalil isi gugatan adalah benar sedangkan dalil-dalil dalam  jawaban tergugat adalah
salah. Replik juga bisa lisan tentunya jika lisan jawaban harus dibacakan agar Penggugat tahu
yang mana yang akan ditanggapinya.
6.      Pada persidangan berikutnya adalah menyerahkan Replik Penggugat Dalam prakteknya
Replik Penggugat juga  tidak dibacakan tetapi diberi kesempatan kepada Tergugat secara
tertulis untuk menanggapi Replik Penggugat   yang disebut dengan Duplik Tergugat 
(Tanggapan terhadap Replik Penggugat). Duplik Tergugat isinya sebenarnya harus
mempertahankan dalil-dalil jawaban Tergugat  adalah benar sedangkan dalil-dalil dalam 
Replik Penggugat  adalah salah. Duplik  juga bisa lisan tentunya jika lisan Replik harus
dibacakan agar Tergugat  tahu yang mana yang akan ditanggapinya.
7.      Pada persidangan berikutnya, adalah menyerahkan Duplik Tergugat yaitu tanggapan
terhadap Replik Penggugat. Setelah Duplik, majelis hakim akan melanjutkannya penyerahan
alat-alat bukti tertulis Penggugat. Kemudian Tergugat diminta juga menyerahkan alat-alat
bukti tertulis kepada majelis hakim.
8.      Setelah penyerahan alat bukti tertulis selesai, jika penggugat merasa perlu menghadirkan
saksi-saksi untuk mendukung alat bukti tertulisnya, maka majelis hakim memberikan
kesempatan dan dilakukan pemeriksaan saksi untuk diminta keterangannya sesuai perkara.
Setelah itu baru diberi kesempatan juga pada Tergugat untuk menghadirkan saksi untuk
dimintai keterangannya.
9.      Setelah pemeriksaan alat bukti selesai, dilanjutkan dengan pemeriksaan setempat (PS) yaitu
Majelis Hakim akan datang ke lokasi objek sengketa (tanah) untuk melihat fakta apakah
antara isi gugatan dengan fakta dilapangan mempunyai kesesuaian.
10.  Apabila pemeriksaan setempat selesai, dilanjutnya dengan kesimpulan oleh penggugat
maupun tergugat.
11.  Terakhir adalah putusan hakim (vonis). Jika eksepsi diterima putusannya adalah gugatan
tidak dapat diterima (NO), jika gugatan dapat dibuktikan oleh penggugat putusan hakim
adalah mengabulkan baik seleuruh maupun sebagian serta jika gugatan tidak dapat dibuktikan
oleh Penggugat, putusan hakim adalah menolak gugatan. (catatan : sebelum vonis hakim
dijatuhkan, perdamaian masih dapat dilakukan, bahkan perdamaian tersebut harus selalu
ditawarkan hakim pada setiap tahap persidangan).
12.  Terhadap putusan hakim, jika para pihak merasa keberatan dapat melakukan upaya hukum
Banding ke Pengadilan Tinggi. Pernyataan banding tersebut dapat dilakukan pada saat
putusan dijatuhkan atau pikir-pikir setelah 14 hari sejak putusan dijatuhkan.

b.      Tahapan Pemeriksaan Perkara Pidana


Adapun tahapan pemeriksaan perkara pidana adalah sebagai berikut :

1.      Pemeriksaan Tersangka
Sebelum penyidik melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang disangka
melakukan tindak pidana, maka penyidik wajib memberitahukan tentang hak untuk
mendapatkan bantuan hukum atau dalam perkara tersebut ia wajib didampingi penasehat
hukum (Pasal 144 KUHAP).[5]
Perkara yang wajib mendapatkan bantuan hukum, yaitu :
Ø  Perkara yang tersangkanya diancam dengan pidana mati atau pidana lima belas tahun atau
lebih.
Ø  Perkara yang tersangkanya tidak mampu yang diancam dengan lima tahun atau lebih, tetapi
kurang dari lima belas tahun.
Selanjutnya dalam hal tersangka ditahan, maka dalam waktu satu (1) hari setelah
perintah penahanan itu dijalankan, ia harus mulai diperiksa (Pasal 122 KUHAP).
Menurut Pasal 115 KUHAP ditentukan, bahwa pada waktu penyidik sedang
melakukan pemeriksaan, penasehat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan
melihat dan mendengar (wihtin sight and within hearing), sedangkan dalam kejahatan
terhadap keamanan Negara, penasehat hukum dapat melihat jalannya pemeriksaan tapi tidak
bisa mendengar (within sight but not within hearing).
Perlu ditekankan bahwa kata “dapat” dalam kalimat penasehat hukum dapat
mengikuti jalannya pemeriksaan merupakan hak atau wewenang penasehat hukum untuk
mengikuti jalannya pemeriksaan. Penasehat hukum dapat mempergunakannya dan dapat pula
melepasnya menurut pertimbangannya sendiri.
Pemberian bantuan hukum dalam proses perkara pidana adalah suatu prinsip Negara
hukum bahwa setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan persiapan
pembelaan perkaranya penasehat hukum berhak menghubungi dan berbicara dengan
tersangka (Pasal 70 KUHAP).
Ketentuan tersebut berkaitan erat dengan asas “praduga tak bersalah” yang dapat
diwujudkan dalam ketentuan bahwa, adalah hal dari seseorang yang tersangkut dalam perkara
pidana untuk dapat mengadakan persiapan bagi pembelaannya.
Tujuan inilah yang hendak dicapai Undang-undang Hukum Acara Pidana dalam
menetapkan ketentuan-ketentuan tentang bantuan hukum. Untuk itu tersangka atau terdakwa
diberi kesempatan untuk mengadakan hubungan dengan orang yang memberikan bantuan
hukum dengan anggota keluarga ataupun dengan teman sejawatnya (Pasal 60 KUHAP).
Pada waktu memeriksa tersangka atau terdakwa, penyidik harus menanyakan apakah
ia menghendaki didengar saksi yang dapat menguntungkan baginya (saksi a decharge) dan
dicatat dalam berita acara. Dalam hal demikian maka penyidik wajib memanggil dan
memeriksa saksi tersebut.
Dalam hukum acara pidana, pemeriksaan terharap tersangka maupun saksi
dimaksudkan untuk menemukan kebenaran dalam peristiwa pidana yang bersangkutan.
Dalam hal tersangka memberi keterangan tentang apa yang sebenarnya sehubungan
tindak pidana yang disangkakan kepadanya, penyidik mencatat dalam berita acara setelitinya
sesuai kata yang dipergunakan tersangka. Hasil pemeriksaan tersangka dicatat dalam berita
acara yang ditandatangani penyidik dan tersangka setelah ia menyetujui isinya (pasal 118
KUHAP).
Apabila tersangka dipersangkakan melakukan tindakan tindak pidana memenuhi
rumusan Pasal 21 KUHAP, maka ia dikenakan penahanan. Terhadap penahanan ini,
tersangka, keluarga atau penasehat hukum dapat mengajukan keberatan atas jenis penahanan
tersebut kepada penyidik yang melakukan penahanan dengan disertai alasannya.
Untuk itu penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan
mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya tersangka tersebut tetap ditahan atau tetap
ada dalam jenis penahanan tertentu. Apabila dalam waktu tiga hari permintaan tersebut tidak
dikabulkan oleh penyidik, tersangka, keluarga atau penasehat hukum dapat mengajukan
keberatan atas jenis penahanan tersebut disertai alasannya.
Permintaan atau permohonan ini, penyidik maupun atasan penyidik dapat menolak
atau mengabulkan permintaan dengan atau tanpa syarat (Pasal 123 KUHAP).

2.      Penangguhan Penahanan
Untuk menjaga supaya tersangka atau terdakwa yang ditahan tidak dirugikan
kepentingannya karena tindakan penahanan yang mungkin akan berlangsung untuk beberapa
waktu, diadakan kemungkinan untuk tersangka atau terdakwa mengajukan permohonan agar
penahanannya ditangguhkan.
Berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam HIR yang menetapkan, satu-satunya
pejabat yang berwenang menangguhkan penahanan adalah “hakim”, maka menurut Pasal 31
KUHAP yang berhak menentukan apakah suatu penahanan perlu ditangguhkan atau tidak
adalah penyidik atau penuntut umum atau hakim sesuai kewenangannya masing-masing.
Sebab pejabat-pejabat inilah yang mengetahui betul alasan pertimbangan untuk penangguhan
tersebut, yaitu apabila tersangka atau terdakwa tidak akan mempersulit atau merugikan
pemeriksaan perkara, dengan menghilangkan bukti, atau melarikan diri atau akan melakukan
kejahatan lagi. Hal ini dapat dilihat pada pemeriksaan perkara dan pribadi dari tersangka atau
terdakwa.
Penentuan penangguhan penahanan (schorsing) dapat diberikan dengan atau tanpa
jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan. Yang dimaksud
syarat-syarat yang telah ditentukan disini adalah wajib lapor, tidak keluar rumah atau kota.
Penyidik, penuntut umum dan hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan
penahanan apabila tesangka atau terdakwa melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan.
Perlu ditekankan bahwa masa penangguhan penanganan itu tidak termasuk masa status
tahanan. Ini berarti selama tersangka atau terdakwa berada di luar tahanan, tidak dapat
diperhitungkan sebagai masa tahanan sehingga tidak dapat dipotong dengan pidana yang
dijatuhkan hakim. Apabila tersangka atau terdakwa telah diberi penangguhan tersebut tidak
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan maka penangguhan penanganannya dapat
dicabut (Pasal 31 Ayat 2 KUHAP).

3.      Penyelesaian dan Penghentian Penyidikan


Tugas penyidikan sangat erat hubungannya dengan tugas penuntut umum karena
tugas penyidikan itu dimaksudkan untuk mempersiapkan tugas penuntut umum. Berdasarkan
hasil penyidikan oleh penyidik, yang kemudian dibuat suatu penuntutan oleh penuntut umum
kepada hakim guna mendapatkan keputusan.
Dalam tahap penyidikan ini, sifat pemeriksaan masih merupakan usaha-usaha mencari
dan meraba-raba. Penyidik menyimpulkan alat-alat bukti yang dapat dipakai sebagai bahan
pembuktian taraf pertama, yang harus memberikan keyakinan kepada penuntut umum tentang
apa yang sebenarnya terjadi. Untuk itu penyidik menyerahkan berkas perkara kepada
penuntut umum.
Cara menyerahkan berkas perkara adalah sebagai berikut :
Ø  Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara.
Ø  Dalam hal penyidikan sudah di anggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas
tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum (Pasal 8 KUHAP).

Dua (2) kemungkinan untuk mengatakan bahwa penyidikan sudah selesai, yaitu :
Ø  Penyidikan dianggap selesai apabila dalam waktu tujuh hari setelah penuntut umum menerima
hasil penyelidikan dari penyidik, ada pemberitahuan dari penuntut umum bahwa penyidikan
sudah selesai dan merupakan kewajiban bagi penuntut umum yang diatur dalam Pasal 138
KUHAP.
Ø  Penyidikan dianggap selesai jika dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan
kekeliruan tafsir. Atas dasar Pasal 110 dan 138 KUHAP dapat menimbulkan kekeliruan
penafsiran dalam pelaksanaannya, oleh karena itu perlu ada keseragaman tafsir ataupun
bahasa.
Namun adakalanya suatu perkara yang telah dilakukan penyidikan dilakukan
penghentian, sebab menurut pendapat penyidik tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut bukan merupakan peristiwa pidana. Untuk itu penyidik mengeluarkan surat
penetapan penghentian penyidikan dan memberikan hal itu kepada penuntut umum, tersangka
atau keluarganya. Pemberitahuan itu sangat penting, khususnya kepada penuntut umum
berhubungan dengan ketentuan Pasal 109 Ayat (1) KUHAP dan sangat erat kaitannya dengan
Pasal 77 dan 80 KUHAP.

4.      Penyidikan Perkara Koneksitas


Perkara koneksitas adalah tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka
yang termasuk juridiksi peradilan umum dan peradilan militer. Penyelidikannya dilakukan
oleh suatu tim tetap.
Untuk menetapkan apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau
peradilan militer yang mengadili perkasa koneksitas ini, maka diadakanlah penelitian oleh
jaksa tinggi dan oditur militer tinggi atas dasar hasil penyidikan.
Adapun yang menjadi faktor penentu dalam penelitian bersama itu adalah titik berat
yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum atau
kepentingan militer dan jika perlu dipertimbangkan faktor-faktor tambahan, yaitu sifat tindak
pidana, peranan dan jumlah pelaku pada masing-masing pihak.
Menurut Pasal 92 KUHAP, apabila perkara diajukan ke pengadilan negeri, maka
berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh tim penyidik dibubuhi cacatan oleh penuntut
umum yang mengajukan perkara bahwa berita acara tersebut diambil alih olehnya, begitu
sebaliknya.
Adapun mengenai persidangan perkara koneksitas menurut Pasal 94 KUHAP
dilaksanakan sebagai berikut :
Ø  Dalam hal perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum,
majelis hakim terdiri dari ketua dan hakim anggota terdiri dari gabungan peradilan umum dan
peradilan militer secara berimbang.
Ø  Dalam hal perkara pidana tersebut di adili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
Militer, maka susunan majelis hakim terdiri dari hakim ketua dan hakim anggota secara
berimbang diberi pangkat Militer Tituler.
Ø  Ketentuan mengenai susunan majelis hakim tersebut berlaku juga bagi pemeriksaan tingkat
banding.
Perlu ditekankan, pemeriksaan perkara koneksitas ini pada hakikatnya merupakan suatu
pengecualian atau penyimpangan dari ketentuan, bahwa seseorang seharusnya dihadapkan ke
depan pengadilannya masing-masing. Namun dalam hal ini kepentingan dari yustisiabel tetap
mendapat perhatian sepenuhnya, sebab susunan majelis hakim yang bersidang terdiri dari
gabungan antara hakim peradilan umum dan peradilan militer.
Akhirnya dapat dikemukakan bahwa koneksitas yang diatur dalam pasal 89 sampai pasal
94 KUHAP ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 22 Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman (UU 14 Tahun 1970).

c.       Eksekusi Keputusan Hakim Perkara Perdata dan Pidana


a)Pengertian Eksekusi
Pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalankan putusan” (ten uitvoer
legging van vonnissen), yakni melaksanakan “secara paksa” putusan pengadilan   dengan  
bantuan   kekuatan   umum,   apabila   pihak   yang   kalah (tereksekusi atau pihak tergugat)
tidak mau menjalankannya secara sukarela. Dengan kata lain, eksekusi (pelaksanaan putusan)
adalah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara.[6]
Dalam   pengertian   lain,   eksekusi   adalah   hal   menjalankan   putusan pengadilan
yang sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang dieksekusi adalah putusan
yang mengandung perintah kepada salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang atau juga
pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap, sedangkan  pihak
yang kalah tidak mau melaksanakan putusan itu secara sukarela sehingga memerlukan upaya
paksa dari pengadilan untuk melaksanakannya.[7]
Dari   pengertian diatas, maka eksekusi diartikan sebagai upaya untuk merealisasikan
kewajiban dari pihak yang kalah dalam perkara guna memenuhi
prestasi  sebagaimana  ditentukan  dalam  putusan  hakim,  melalui  perantaraan
panitera/jurusita/jurusita pengganti pada pengadilan tingkat pertama dengan cara paksa
karena tidak dilaksanakannya secara sukarela.
Pelaksanaan putusan hakim tersebut merupakan proses terakhir dari proses
penyelesaian perkara perdata dan pidana yang sekaligus juga merupakan prestise dari
lembaga peradilan itu sendiri.

b)         Dasar Hukum Eksekusi


            Sebagai realisasi dari putusan hakim terhadap pihak yang kalah dalam perkara, maka
masalah eksekusi telah diatur dalam berbagai ketentuaan :
Ø  Pasal 195 - Pasal 208 HIR dan Pasal 224 HIR/Pasal 206 - Pasal 240 R.Bg dan Pasal 258 R.Bg
(tentang tata cara eksekusi secara umum);
Ø  Pasal 225 HIR/Pasal 259 R.Bg (tentang putusan yang menghukum tergugat untuk melakukan
suatu perbuatan tertentu);
Ø  Sedangkan Pasal 209 - Pasal 223  HIR/Pasal 242  - Pasal 257 R.Bg,  yang mengatur tentang
”sandera” (gijzeling) tidak lagi di berlakukan secara efektif.
Ø  Pasal 180 HIR/Pasal 191 R.Bg, SEMA Nomor 3 Tahun 2000 dan SEMA Nomor 4 Tahun
2001 (tentang pelaksanaan putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu
serta merta (Uitvoerbaar bij voorraad dan provisi);
Ø  Pasal 1033 Rv (tentang eksekusi riil);
Ø  Pasal  54  dan  Pasal  55  Undang-undang  Nomor  48  Tahun  2009  (tentang pelaksanaan
putusan pengadilan).

c)Asas Eksekusi
                        Untuk menjalankan eksekusi, perlu memperhatikan berbagai asas, yaitu:
1.      Putusan hakim yang akan di eksekusi haruslah telah berkekuatan hukum yang tetap (in
kracht van gewijsde).
      Maksudnya, pada putusan hakim itu telah terwujud hubungan hukum yang pasti antara
para pihak yang harus ditaati/dipenuhi oleh tergugat, dan sudah tidak ada lagi upaya hukum
(Rachtsmiddel), yakni:

Ø  Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding;


Ø  Putusan Makamah Agung (kasasi/PK);
Ø  Putusan verstek yang tidak diajukan verzet.

Sebagai pengecualian dari asas di atas adalah:


Ø  Putusan serta merta (Uitvoerbaar bii voorraad);
Ø  Putusan provisi;
Ø  Putusan perdamaian;
Ø  Grose akta hipotik/pengakuan hutang.

2.        Putusan   hakim   yang   akan   dieksekusi   haruslah   bersifat   menghukum


(condemnatoir).
Maksudnya,  pada  putusan  yang bersifat menghukum  adalah terwujud  dari adanya perkara
yang berbentuk yurisdictio contentiosa (bukan yurisdictio voluntaria), dengan bercirikan,
bahwa perkara bersifat sengketa (bersifat partai) dimana ada pengugat dan ada tergugat,
proses pemeriksaannya secara berlawanan antara penggugat dan tergugat  (Contradictoir).
Misalnya amar putusan yang berbunyi :
Ø  Menghukum atau memerintahkan “menyerahkan“ sesuatu barang;
Ø  Menghukum  atau  memerintahkan    “pengosongan“  sebidang tanah  atau rumah;
Ø  Menghukum atau memerintahkan “melakukan“ suatu perbuatan tertentu;
Ø  Menghukum  atau  memerintahkan  “penghentian“  suatu  perbuatan  atau keadaan;
Ø  Menghukum  atau  memerintahkan  “melakukan“  pembayaran  sejumlah uang.[8]

3.    Putusan hakim itu tidak dilaksanakan secara sukarela


              Maksudnya, bahwa tergugat sebagai pihak yang kalah dalam perkara secara nyata
tidak bersedia melaksanakan amar putusan dengan sukarela. Sebaliknya apabila tergugat
bersedia melaksanakan amar putusan secara sukarela, maka dengan sendirinya tindakan
eksekusi sudah tidak diperlukan lagi.

4.      Kewenangan eksekusi hanya ada pada pengadilan tingkat pertama [Pasal 195 Ayat (1)
HIR/Pasal 206 Ayat (1) HIR R.Bg]
            Maksudnya,  bahwa  pengadilan  tingkat  banding dengan  Mahkamah  Agung
tidaklah mempunyai kewenangan untuk itu, sekaligus terhadap putusannya sendiri, sehingga
secara ex officio (ambtshalve) kewenangan tersebut berada pada ketua pengadilan tingkat
pertama (pengadilan agama/pengadilan negeri) yang bersangkutan dari sejak awal hingga
akhir (dari aanmaning hingga penyerahan barang kepada penggugat).

5.      Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan.


            Maksudnya, apa yang dibunyikan oleh amar putusan, itulah yang akan dieksekusi.
Jadi tidak boleh menyimpang dari amar putusan. Oleh karena itu keberhasilan eksekusi
diantaranya ditentukan pula oleh kejelasan dari amar putusan itu sendiri yang didasari
pertimbangan hukum sebagai argumentasi hakim.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Adapun yang menadi kesimpulan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
Ø  Pengertian Perkara Perdata dalam arti luas termasuk perkara-perkara perdata baik yang
mengandung sengketa maupun yang tidak mengandung sengketa, sedangkan pengertian
perkara perdata dalam arti yang sempit adalah perkara-perkara perdata yang di dalamnya
sudah dapat dipastikan mengandung sengketa.
Ø  Hukum acara pidana adalah aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa yang harus
dilakukan oleh para penegak hukum dan pihak-pihak lain yang terlibat didalamnya apabila
ada persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar.
Ø  Perkara perdata ada 2 yaitu perkara gugatan contohnya perkara gugatan sengketa tanah dan
perkara permohonan contohnya permohonan polygami. Dalam hal proses pemeriksaan
perkara gugatan timbul karena adanya gugatan yang diajukan oleh pihak ke pengadilan.
Ø  prestasi  sebagaimana  ditentukan  dalam  putusan  hakim,  melalui  perantaraan
panitera/jurusita/jurusita pengganti pada pengadilan tingkat pertama dengan cara paksa
karena tidak dilaksanakannya secara sukarela.
Ø  Pelaksanaan putusan hakim tersebut merupakan proses terakhir dari proses penyelesaian
perkara perdata dan pidana yang sekaligus juga merupakan prestise dari lembaga peradilan
itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
M. Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet. Kedua,.Jakarta : Sinar Grafika, hal. 498
M. Yahya Harahap, 1988 : 5
M. Yahya Harahap, 1988: 13
Sarwono, 2012. HUKUM ACARA PERDATA Teori dan Praktik. Sinar Grafika: Jakarta.
http://riky-wisaka.blogspot.co.id/2012/01/makalah-hukum-acara-pidana.html
https://tiarramon.wordpress.com/2013/05/15/proses-pemeriksaan-perkara-perdata-gugatan/
http://dunia-blajar.blogspot.co.id/2015/12/tahap-tahap-pemeriksaan-dalam-hukum.html

Anda mungkin juga menyukai