Disusun Oleh:
Clarrie V. Hutagaol 110110150301
Dosen:
Drs. Asep Iwan Iriawan, S.H., M.H
Hazar Kusmayanti,S.H. M.H.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan diselenggarakannya penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk
mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya mewujudkan cita-cita hukum agar dapat
tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam
lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dengan tujuan mulia tersebut maka salah satu kunci agar terciptanya penagakan hukum
tersebut perlu diimbangi dengan pengasawan dalam lingkungan peradilan.
Peradilan adalah suatu proses yang dijalankan di pengadilan yang berhubungan dengan
tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara. Sedangkan pengadilan adalah badan atau
instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara. Maka untuk menjamin penegakan hukum yang bersih sudah selarasnya
untuk mengawasi praktik dalam lingkungan peradilan, khususnya dalam pengadilan.
Disini pengadilan merupakan salah satu garda terdepan dalam melayani langsung
kebutuhan masyarakat agar terciptanya keadilan dan kepastian hukum itu sendiri, melalui alat
penegak hukum, hakim contohnya. Kepentingan dan kebutuhan masyarakatpun tidak hanya
melulu dalam bidang public, dalam privat-pun tak kalah dalam memiliki peranan yang penting.
Disini hukum acara perdata memiliki andil dalam menegakkan hukum formil di wilayah
yurisdiksi Indonesia.
Untuk itu, tugas laporan analisa mengenai tata cara persidangan pada pengadilan negeri
Bandung penulis buat dalam rangka untuk memenuhi bobot nilai tugas mata kuliah hukum
acara perdata yang sedang penulis ikuti.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana uraian singkat perkara 483/Pdt.G/2018/PN Bdg?
3. Bagiamana analisa mengenai kesesuaian yang diterapkan dalam persidangan?
BAB II
TEORI
1Nyoman A. Martana, SH., M.H.,BUKU AJAR HUKUM ACARA DAN PRAKTEK PERADILAN
PERDATA, 2016, Fakultas Hukum: Universitas Udayana.
2
8. Apabila tidak ada perubahan acara, selanjutnya jawaban dari tergugat; (jawaban berisi
eksepsi, bantahan, permohonan putusan provisionil, gugatan rekonvensi);
9. Apabila ada gugatan rekonvensi tergugat juga berposisi sebagai penggugat rekonvensi;
10. Replik dari penggugat, apabila digugat rekonvensi maka ia berkedudukan sebagai
tergugat rekonvensi;
11. Pada saat surat menyurat (jawab jinawab) ada kemungkinan ada gugatan intervensi
(voeging, vrijwaring, toesenkomst);
12. Sebelum pembuktian ada kemungkinan muncul putusan sela (putusan provisionil,
putusan tentang dikabulkannya eksepsi absolut, atau ada gugat intervensi);
13. Pembuktian
14. Dimulai dari penggugat berupa surat bukti dan saksi;
15. Dilanjutkan dari tergugat berupa surat bukti dan saksi;
16. Apabila diperlukan, Majelis Hakim dapat melakukan pemeriksaan setempat (tempat
objek sengketa);
17. Kesimpulan dari masing-masing pihak;
18. Musyawarah oleh Majelis Hakim;
19. Pembacaan Putusan Majelis Hakim;
20. Isi putusan Majelis Hakim dapat berupa Gugatan dikabulkan (seluruhnya atau
sebagian); Gugatan ditolak, atau Gugatan tidak dapat diterima;
B. Tuntutan Hak
Tuntutan hak dalam pasal 142 ayat (1) Rbg / pasal 118 ayat (1) HIR disebut
tuntutan / gugatan perdata (burgerlijke vordering), merupakan tindakan yang bertujuan
memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah
“eigenrichting”atau main hakim sendiri. Tuntutan hak harus mempunyai kepentingan
yang cukup (point d’interet, pointd’action).
Ada dua macam tuntutan hak, yaitu permohonan dan gugatan, yang bertitik tolak
pada ada atau tidak adanya sengketa. Tuntutan hak yang mengandung sengketa disebut
gugatan, dimana terdapat sekurang-kurangnya dua pihak yaitu penggugat dan tergugat,
dan tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa yang disebut permohonan, dimana
hanya ada satu pihak saja, yaitu pemohon. Sejalan dengan itu, peradilan juga lazim
dibedakan pula menjadi dua, yaitu peradilan sukarela atau peradilan volunter
(voluntaire jurisdictie/jurisdictio voluntaria) atau sering pula disebut peradilan “tidak
sesungguhnya” karena memeriksa dan memutus permohonan yang mana tidak ada
unsur sengketa dan terdiri dari satu pihak saja; dan peradilan contensius (contentieuse
jurisdictie/jurisdictio contentiosa) atau sering pula disebut peradilan “sesungguhnya”
karena sifatnya yang mengadili perkara antara dua pihak atau lebih. Pasal 8 Rv
menentukan bahwa gugatan memuat:
(1). Identitas para pihak; adalah jati diri atau ciri-ciri masing-masing pihak baik
penggugat maupun tergugat, terutama nama dan alamat/tempat tinggal/
domisili/tempat kedudukan. Di samping itu untuk menambah kelengkapan dan
kejelasannya biasanya perlu dicantumkan pula umur, pekerjaan, status perkawinan.
Untuk perkara perkara tertentu, perlu pula dicantumkan agama, seperti dalam
perkara perceraian.
(2). Posita (fundamentum petendi, middelen van eis) ; adalah dalil dalil dari
penggugat yang menjadi dasar-dasar atau alasan alasan gugatan penggugat. Posita
ini memuat dua hal pokok dalam uraiannya, yaitu: 1) Dasar-dasar atau alasan alasan
yangmenguraikanmengenai fakta-fakta atau peristiwa peristiwa atau kejadian
kejadian yang medeskripsikan duduknya masalah. 2) Dasar-dasar atau alasan-
alasan yang menguraikan mengenai hukumnya, yaitu memuat hubungan hukum
antara pengugat dengan tergugat, hubungan hukum penggugat dan / atau tergugat
dengan materi atau obyek sengketa.
(3).Petitum (tuntutan, onderwerp van den eis met een didelijke en bepaalde
conclutie). adalah apa yang dimohonkan atau dituntut supaya diputus demikian
oleh pengadilan. Dalam putusan pengadilan, petitum ini mendapat jawaban dalam
amar atau dictum putusan pengadilan. Petitum gugatan haruslah dirumuskan
dengan jelas dan cermat karena berimplikasi luas baik dalam proses persidangan
maupun nanti setelah putusan dimohonkan eksekusi. Perumusan petitum harus
mempunyai keterkaitan yang jelas dengan perumusan posita. Setiap tuntutan dalam
petitum haruslah dapat dicarikan dasarnya dalam posita. Dengan kata lain tidak ada
3
bagian dari tuntutan dalam petitum yang tidak ada uraiannya dalam posita.
Tuntutan/petitum dibedakan menjadi tuntutan primer dan tuntutan subsider /
tuntutan pengganti/tuntutan alternatif.
C. Sita Jaminan
Ketentuan sita jaminan terdapat pada pasal 227 HIR (RIB-S.1941 No. 44). Pada ayat
(1) pasal 227 tersebut, dinyatakan bahwa: Jika terdapat persangkaan yang beralasan,
bahwa seorang yang berhutang, selagi belum dijatuhkan keputusan atasnya, atau selagi
putusan yang mengalahkannya belum dapat dijalankan, mencari akal akan menggelapkan
atau membawa barangnya baik yang tidak tetap maupun yang tetap dengan maksud akan
menjauhkan barang barang itu dari penagih hutang, maka atas surat permintaan orang yang
berkepentingan ketua pengadilan negeri dapat memberi perintah, supaya disita barang itu
untuk menjaga hak orang yang memasukkan permintaan itu, dan kepada peminta harus
diberitahukan akan menghadap persidangan pengadilan negeri yang pertama sesudah itu
untuk memajukan dan menguatkan gugatannya. Ada banyak jenis sita, namun secara
umum dikenal dua jenis:
a) Sita terhadap harta benda milik tergugat (conservatoir beslag)
Sita ini dilakukan terhadap harta benda milik debitor. Kata conservatoir sendiri berasal
dari conserveren yang berarti menyimpan, dan conservatoir beslag menyimpan hak
seseorang. Maksud sita jaminan ini adalah agar terdapat suatu barang tertentu yang
nantinya dapat dieksekusi sebagai pelunasan utang tergugat.
Perihal sita conservatoir beslag ini diatur dalam pasal 227 (1) HIR, intisari dari
ketentuannya adalah sebagai berikut :4
Harus ada sangkaaan yang beralasan, bahwa tergugat sebelum putusan dijatuhkan
atau dilaksanakan mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang-
barangnya;
Barang yang disita itu merupakan barang kepunyaan orang yang terkena sita,
artinya bukan milik penggugat;
Permohonan diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara
yang bersangkutan;
3 Ibid.
4 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan
Praktek, (Bandung : CV.Mandar Maju, 2002), hal. 100
Permohonan harus diajukan dengan surat tertulis;
Sita conservatori dapat dilakukan atau diletakkan baik terhadap barang yang
bergerak dan tidak bergerak.
Sehubungan dengan ketentuan pasal 227 ayat (1) HIR, Mahkamah Agung dalam salah
satu putusannya menyatakan bahwa conservatoir beslag yang diadakan bukan atas
alasan-alasan yang disyaratkan dalam pasal dimaksud adalah tidak dibenarkan.5
b) Sita terhadap harta benda milik penggugat sendiri
Berbeda dari conservatoir beslag, dikenal juga sita terhadap harta benda
penggugat/pemohon sendiri yang ada dalam kekuasaan orang lain
(termohon/tergugat). Sita jaminan ini bukanlah untuk menjamin suatu tagihan berupa
uang, melainkan untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon. Sita ini terbagi
menjadi dua bagian, yaitu sita revindicatoir (Pasal 226 HIR / 260 RBg) dan sita
marital (Pasal 823-823j Rv). Revindicatoir berarti mendapatkan, dan kata sita
revindicatoir mengandung pengertian menyita untuk mendapatkan kembali (barang
yang memang miliknya). Pihak yang berhak untuk mengajukan permohonan sita
adalah:
1) Untuk pemohon sita revindicatoir:
Pemilik benda bergerak yang barangnya berada di tangan orang lain;
Pemegang hak reklame;
2) Untuk pemohon sita conservatoir adalah kreditor;
3) Untuk pemohon sita marital adalah istri.
Di negara yang menganut tradisi common law, sita jaminan (security for costs) lebih
sering diminta oleh tergugat. Artinya, jaminan berupa uang atau aset lain yang
diserahkan oleh pengugat ke pengadilan yang dapat dipakai untuk mengganti biaya
yang diderita oleh termohon jika ternyata permohonan tersebut tidak beralasan. Di
Indonesia, instrumen ini dipakai dalam permohonan penetapan sementara.6
Sesuai dengan Pasal 226 HIR / 260 RBg, untuk mengajukan permohonan sita
revindicatoir, pemohon dapat langsung mengajukan permohonan, tanpa perlu ada
dugaan yang beralasan bahwa tergugat akan mencoba untuk menggelapkan atau
melarikan barang yang bersangkutan selama proses persidangan.
5
Putusan Mahkamah Agung Nomor 597/K/Sip/1983 tanggal 8 Mei 1984, termuat dalam Yurisprudensi
Indonesia 1984-I, hal. 165.
6
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia (Yogyakarta : Liberty, 1998), hal. 178
Sedangkan pada sita jaminan conservatoir, sesuai Pasal 227 HIR / 261 RBg,
elemen dugaan yang beralasan, merupakan dasar pembenar utama dalam pemberian
sita tersebut. Apabila penggugat tidak memiliki bukti kuat, maka sita jaminan tidak
akan diberikan. Syarat ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan agar tidak
diadakan penyitaan secara sembarangan, yang akhirnya hanya merupakan tindakan
sia-sia yang tidak mengenai sasaran (vexatoir). Sehingga dalam sita ini, tersita harus
didengar untuk mengetahui kebenaran dugaan tersebut.
7 http://sipp.pn-bandung.go.id/list_jadwal_sidang/search/2/14/05/2019
Kidul, Kota Bandung, Jawa Barat, termasuk namun tidak terbatas pada barang-barang
yang berada didalam tanah dan bangunan tersebut.
6. Menyatakan sah dan berharga Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) atas 1 (satu) unit
mobil kondisi baru, Merk/Type: Datsun/Panca Go T Aktif 1.2; Tahun: 2016; Warna:
Abu-Abu Tua Metalik; Nomor Rangka: MHBJ2CH2FGJ014942; Nomor Mesin:
HR12759032T; Nomor Polisi: D 1264 AEE, sebagai Objek Jaminan Fidusia dalam
perkara ini.
7. Menyatakan putusan dalam perkara ini ‘Dapat Dijalankan Terlebih Dahulu
(Uitvoerbaar Bij Voorraad).
8. Menghukum masing-masing Tergugat 1 (Pertama) dan Tergugat 2 (Kedua) untuk
mentaati dan tunduk terhadap isi putusan dalam perkara ini.
9. Menghukum Tergugat 1 (Pertama) untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam
perkara ini.
10. Atau, apabila Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berpendapat
lain, maka Penggugat mohon untuk berkenan memberikan putusan Yang Bijaksana
Dan Seadil-adilnya Menurut Hukum Dan Keadilan (Ex Aequo Et Bono) sesuai dengan
kepatutan.
Analisis saya dalam kasus ini prosedur persidangan dilakukan sebagaimana yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ialah sebenarnya telah sesuai ditempatkan
pada tempatnya, berawal dari permulaan perkara ini dengan gugatan wanprestasi atas kelalaian
klausul perjanjian untuk membayarkan angsuran sehingga dengan tidak dibayarkannya
menimbulkan kerugian bagi pihak penggugat, selanjutnya kekhawatiran atas harta kekayaan
tergugat 1 berupa benda tak bergerak berupa rumah dan juga benda bergerak yakni sebuah
mobil sebagai jaminan fidusia dalam perjanjian tersebut, untuk permintaan hakim atas softcopy
tak terlepas dari perkembangan teknologi yang mengharuskan untuk mengetik kembali atas
hardcopy yang telah diserahkan sebelumnya sehingga softcopy dari berkas persidangan para
pihak merupakan kebiasaan yang dimaksudkan untuk mempermudah panitera membuat berita
acara persidangan hingga dalam majelis hakim membuat putusan nantinya.
DAFTAR PUSTAKA
http://sipp.pn-bandung.go.id/list_jadwal_sidang/search/2/14/05/2019