Disusun Oleh :
Kelompok 3
UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS HUKUM
2019
GUGATAN
1. PENGERTIAN
1
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2004,
hlm.126.
2
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah, Sinar Grafika
Offset, Jakarta 2017, hlm. 80.
3
Darwan Prints, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, (Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 1992), 1
perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah tindakan
main hakim sendiri (eigenrichting)4. Sementara itu, dalam bahasa Arab,
gugatan dinamakan dengan da'wa, yang secara istilah berarti pengaduan
yang dapat diterima hakim dan dimaksudkan untuk menuntut suatu hak
kepada pihak lain.28 Dari berbagai gambaran di atas, dapat diketahui
bahwa gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada
pengadilan yang berwenang tentang suatu tuntutan terhadap pihak lain
agar diperiksa sesuai dengan prinsip keadilan.
4
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 2002)
5
jeremeis lemek, Penuntun Membuat Gugatan, (Yogyakarta ; Liberty, 1993), 7
6
Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 6
a. Identitas para pihak
Yang dimaksud dengan identitas adalah ciri-ciri dari
penggugat dan tergugat, yaitu:
1) Nama (beserta bin/binti dan aslinya)
2) Umur
3) Agama
4) Pekerjaan
5) Tempat tinggal
6) Kewarganegaraan (jika perlu)7
7
Abdul Manan, Praktek Perkar Perdata, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 40.
8
Pasal 193 HIR (283 RBg, 1865 BW).
9
Ahmad Mujahiddin, Pembaharuan Hukum Acara…, hal 84
materi gugatan agar dapat melakukan seleksi atau analisis fakta
rill yang ada. Fakta mana yang harus dikesampingkan atau
cukup disampaikan melalui keterangan saksi di depan sidang. 10
c. Petitum (tuntutan)
10
Sophar Maru,Praktik Peradilan.., hal 20
11
Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata.,hal 17.
12
ibid, hal 22
3) Tuntutan subsidair atau pengganti13
13
Ibid, hal 84
c) Merupakan suatu sengketa
Gugatan secara tertulis harus disusun dalam surat gugatan
yang dibuat secara cermat dan terang, jika tidak maka akan
mengalami kegagalan dalam sidang pengadilan. Surat gugatan
harus jelas, artinya tidak boleh kabur baik mengenai pihak-pihak
yang berperkara, obyek sengketa, dan dasar hukum yang
dijadikan sebagai dasar gugatan. Terutama dalam membuat surat
gugatan perkara waris, diperlukan ketelitian yang seksama,
apabila salah dalam pencantuman pihak-pihak yang berperkara,
obyek sengketa yang tidak sesuai dapat menyebabkan gugatan
tersebut tidak diterima oleh pengadilan karena dianggap
gugatannya kabur.
d) Memahami hukum formil
Dalam membuat gugatan harus memahami tentang
hukum formil dan materiil, sebab kedua hukum tersebut
berkaitan erat dengan seluruh isi gugatan yang akan
dipertahankan dalam sidang pengadilan. Dengan menguasai
hukum formil dan materiil secara baik maka akan mudah
mempertahankan dalil gugatan yang dijadikan dasar gugatan
kepada pengadilan, terutama dalam jawab menjawab dan
pembuktian.
GUGATAN REKONVENSI
1. PENGERTIAN
Gugatan rekonvensi adalah gugatan balasan dari penggugat
terhadap tergugat. Gugatan balasan ini haris di kemukakan bersama
dengan jawaban. Menurut yuris prudensi gugatan rekonfrensi masih
dapat di ajukan bersama dengan duplik. Akan tetapi suatu tuntutan yang
baru di kemukakan di tingkat kasasi tidak dapat di terima. Dengan di
mungkinkan pihak tergugat mengajukan gugatan kembali kepada
penggugat, maka tergugat tidak perlu mengajukan gugatan baru.
Gugatan rekonfrensi ini cukup di ajukan bersama dengan jawaban,
terhadap gugatan penggugat, oleh karena itu dalam perkara itu akan
terdapat dua gugatan, yaitu gugatan konvensi dan gugatan rekonvensi.
Dalam gugatan konvensi penggugat adalah penggugat asal dan
tergugatnya adalah penggugat asal yang biasa di sebut penggugat dalam
gugatan konfrensi dan tergugat dalam konvrensi. Sementara dalam
gugatan rekonfrensi penggugatnya adalah tergugat, salah seorang dari
tergugat asal, yang di sebut penggugat dalam rekonvressi, dan
tergugatnya adalah penggugat salah seorang penggugat dalam konvensi
dan di sebut penggugat dalam rekonvensi.
Dalam ketentuan Pasal 157 ayat 1 / Pasal 132 a ayat (1) HIR,
hanya memberikan pengertian singkat yaitu menurut Pasal tersebut
maknanya adalah: Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan Tergugat
sebagai Gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan Penggugat
kepadanya, dan gugatan rekonvensi diajukan Tergugat kepada
pengadilan pada saat berlansungnya proses pemeriksaan gugatan yang
diajukan Penggugat kepada Tergugat.
2. DASAR HUKUM
Setiap perlakuan memiliki dasar hukum atas pelaksanaannya. Sama
halnya dengan gugatan cerai, gugatan rekonvensi ini memiliki dasar
hukum yang jelas. Berdasarkan ketekapan dalam pasal 16 ayat 1 UU
No. 4 Tahun 2004 yang berbunyi: “Pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa, dan memutus sesuatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya”. Dengan demikian gugatan rekonvensi
pada hakekatnya merupakan komulasi atau gabungan dua gugatan
dimana yang digabungkan adalah gugatan dari penggugat dan gugatan
dari tergugat yang bertujuan untuk menghemat biaya, waktu, tenaga,
mempermudah prosedur pemeriksaan dan menghindari putusan yang
bertentangan satu sama lain. Bagi tergugat rekonvensi, gugatan
rekonvensi ini berarti menghemat ongkos perkara sesuai UU No.4
Tahun 2004, Tentang kekuasaan kehakiman serta tidak diwajibkan
membayar biaya perkara dalam gugatan rekonvensi. Hal itu dikarenakan
pengajuan gugatan rekonvensi merupakan suatu hak istimewa yang
diberikan oleh hukum acara perdata kepada tergugat untuk mengajukan
suatu kehendak untuk menggugat dari pihak tergugat kepada pihak
penggugat secara bersama-sama dengan gugat asal (konvensi). Tetapi
keduanya haruslah mempunyai dasar hubungan hukum yang sama.
Gugatan rekonvensi juga terkandung dalam Pasal 244 B.Rv hampir
sama dengan yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 157 R.Bg / Pasal
132 a ayat (1) HIR, yang mengatakan bahwa gugatan rekonvensi adalah
gugatan balik yang diajukan Tergugat terhadap Penggugat dalam suatu
proses perkara yang sedang berjalan14
14
M. Yahya Harahap, Perlawanan terhadap Grose Akta serta Putusan Pengadilan dan
Arbitrase dalam hukum eksekusi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm 198.
berwenang untuk menyatakan bahwa gugatan rekonvensi “tidak dapat
diterima” atau N.O.
b) Pihak yang boleh digugat balik hanya Penggugat.
Gugatan rekonvensi atau gugatan balik hanya boleh menggugat balik
penggugat asal (konvensi) dan tidak boleh menggugat selain dari pada
penggugat asal seperti misalnya menggugat Tergugat konvensi lainnya atau
bahkan dari luar para pihak Konvensi
c) Gugat Balik harus diajukan bersama-sama dengan Jawaban.
Gugatan rekonvensi harus diajukan bersama-sama dan pada saat
Tergugat konvensi memberikan jawaban atas gugatan yang diajukan oleh
Penggugat. Sehingga gugatan rekonvensi yang diajukan setelah memasuki
tahap Pembuktian, maka harus dinyatakan “tidak dapat diterima”. Hal ini
untuk menjaga hukum acara dapat berjalan dengan tertib dan menghindari
adanya iktikad tidak baik dari pihak Tergugat yang ingin mengulur-ulur
jalannya persidangan.
d) Adanya Koneksitas.
Pasal 132 a dan 132 b HIR maupun pasal 157 dan 158 R.Bg tidak
menjelaskan apakah gugatan rekonvensi harus memiliki hubungan erat
dengan gugatan konvensi atau tidak, sehingga menimbulkan dua kelompok
pendapat yang pro dan yang kontra dengan syarat koneksitas. Namun dalam
buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Peradilan mensyaratkan bahwa gugatan
rekonvensi hanya dapat diterima jika memiliki keterkaitan erat dengan
gugatan konvensi.
16
5M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 472-474.
17
Soepomo, Hukum Acara Perdata, Pradya Paramita, Jakarta, 1993, hlm. 37.
rekonvensi, biaya dapat dihemat lebih kurang 50%, karena biaya
rekonvensi menjadi nol (Zero cost), diabsorbsi oleh biaya perkara
konvensi.
Menghemat Waktu
Apabila proses pemeriksaan gugatan rekonvensi berdiri sendiri,
maka sudah harus memerlukan waktu yang berbeda dan terpisah
untuk masing-masing gugatan. Gugatan konvensi memerlukan jatah
waktu tersendiri dan begitu pula sebaliknya dengan gugatan
rekonvensi, akan tetapi sesuai dengan ketentuan Pasal 158 ayat 3 /
Pasal 132 b ayat (3) HIR, yang memerintahkan pemeriksaan antara
keduanya dalam satu proses dan dalam satu putusan, menyelesaikan
kedua perkara menjadi lebih singkat, jangka waktu yang
dipergunakan dapat dihemat setengah dari semestinya.
Memperhatikan efektifitas dan efisiensi biaya dan waktu yang
dihasilkannya, Pelembagaan Sistem Rekonvensi sangat menopang
asas yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004
yaitu asas Peradilan “SEDERHANA,CEPAT dan BIAYA
RINGAN”
Menghindari Putusan Yang Saling Bertentangan
Hal lain yang dapat diperoleh dari system rekonvensi adalah
untuk menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan,
terutama akan muncul dalam kasus gugatan rekonvensi yang
benar-benar saling berkaitan atau berhubungan (innerlijke semen
hangen) dengan gugatan konvensi. Jika pemeriksaan antara
keduanya terpisah dan berdiri sendiri, besar kemungkinan
putusan yang dijatuhkan saling bertentangan antara putusan
gugatan konvensi dengan putusan gugatan rekonvensi maka
terjadi innerlijke, apalagi perkara tersebut diperiksa oleh Majelis
yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
1. Harahap, M. Yahya, 2011, Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar
Grafika.
2. Manan, Abdul, 2008, Penerapan Hukum Acara Perdata Dilingkungan
Peradilan Agama, Jakarta: Kencana,