Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HUKUM

“LEGAL REASONING”

Disusun Oleh :

GUSTINI WIDIJANINGSIH

I2B020024

Dosen pengampu :

Prof.DR.Amiruddin, SH,M.Hum

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM

2020

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmatNYA sehingga Penulis
mampu menjalankan tugas makalah ini. Terima kasih kepada dosen pengampu yang telah
memberikan bimbingan kepada penulis dan juga terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
memberikan bantuan sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

Makalah yang disusun dengan judul “Legal Reasoning” menjelaskan mengenai


pengertian hingga pemanfaatan hukum dari legal reasoning diharapkan dapat menjadi
pembelajaran bagi seluruh pihak yang ingin menambah ilmu pengetahuan. Penulis pun berharap
dalam penyusunan ini dapat memberikan manfaat yang seluas-luasnya kepada pembaca.

Akhir kata, penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan apabila terdapat
kesalahan dalam penyusunan Penulis meminta maaf dan jika terdapat kritik dan saran akan
sangat diterima. Terima kasih.

Mataram, 04 November 2020

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………………………….1

Daftar Isi……………………………………………………………………………………..2

BAB I. Pendahuluan…………………………………………………………………………3

• Latar Belakang………………………………………………………………….. 3

• Rumusan Masalah………………………………………………………………. 3

BAB II. Pembahasan

2.1 Definisi Legal Reasoning……………………………………………………………... 4

2.2 Pendekatan dalam Legal Reasoning…………………………………………………. 8

2.3 Karakteristik Legal Reasoning yang Baik.……………………………………... 9

2.4 Legal Reasoning dan Kemanfaatan Hukum……………………………………. 9


BAB III. Kesimpulan………………………………………………………………………. 13
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………….14
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Legal Reasoning adalah penelusuran/penalaran tentang hukum yaitu pencarian atau


penelusuran “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang hakim
memutuskan perkara/ kasus hukum, seorang pengacara mengargumentasikan hukum dan
bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum. Pengertian lainnya yang sering diberikan kepada
Legal Reasoning adalah suatu kegiatan untuk mencari atau menelusuri dasar hukum yang
terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan perbuatan hukum (perjanjian,
transaksi perdagangan, dll) ataupun yang merupakan kasus pelanggaran hukum (pidana, perdata,
ataupun administratif) dan memasukkannya ke dalam peraturan hukum yang ada. Bagi para
hakim legal reasoning ini berguna dalam mengambil pertimbangan untuk memutuskan suatu
kasus. Sedangkan bagi para praktisi hukum legal reasoning ini berguna untuk mencari dasar bagi
suatu peristiwa atau perbuatan hukum dengan tujuan untuk menghindari terjadinya pelanggaran
hukum di kemudian hari dan untuk menjadi bahan argumentasi apabila terjadi sengketa
mengenai peristiwa ataupun perbuatan hukum tersebut. Bagi para penyusun undang-undang dan
peraturan, legal reasoning ini berguna untuk mencari dasar mengapa suatu undangundang
disusun dan mengapa suatu peraturan perlu dikeluarkan. Sedangkan bagi pelaksana, legal
reasoning ini berguna untuk mencari pengertian yang mendalam tentang suatu undang-undang
atau peraturan agar tidak hanya menjalankan tanpa mengerti maksud dan tujuannya yang hakiki.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

• Apakah yang dimaksud dengan legal reasoning?

• Bagaimana pendekatan dalam legal reasoning ?

• Bagaimana karakter legal reasoning yang baik?

• Bagaimana kemanfaat hukum dan legal reasoning?

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Legal Reasoning

Term “Legal Reasoning” menurut Golding, dapat digunakan dalam dua arti, yaitu dalam
arti luas dan sempit. Dalam arti luas, legal reasoning berkaitan dengan proses psikologis yang
dilakukan hakim untuk sampai pada putusan atas kasus yang dihadapinya. Sedangkan, legal
reasoning dalam arti sempit, berkaitan dengan argumentasi yang melandasi suatu keputusan.
Artinya, legal reasoning dalam arti sempit ini menyangkut kajian logika dari suatu putusan, yaitu
hubungan antara reason (pertimbangan, alasan) dan putusan, serta ketepatan alasan atau
pertimbangan yang mendukung putusan tersebut.  

Sedangkan, menurut B. Arif Sidharta, legal reasoning atau penalaran hukum adalah
kegiatan berpikir problematis dari subjek hukum (manusia) sebagai makhluk individu dan sosial
di dalam lingkaran kebudayaannya. Sekalipun demikian, penalaran hukum tidak mencari
penyelesaian ke ruang-ruang yang terbuka tanpa batas. Ada tuntutan bagi penalaran hukum untuk
juga menjamin stabilitas dan prediktabilitas putusannya dengan mengacu kepada sistem hukum
positif. Demi kepastian hukum, argumentasi yang dilakukan harus mengikuti asas penataan ini,
sehingga putusan-putusan itu (misalnya antara hakim yang satu dengan hakim yang lain dalam
mengadili kasus serupa) relatif terjaga konsistensinya (asas similia similibus). Berdasarkan
pandangan ini, dengan mengutip Ter Heide, B. Arief Sidharta menyebut tipe argumentasi dalam
penalaran hukum sebagai “berpikir problematikal tersistematisasi” (gesystematiseerd
probleemdenken).

Sumaryono mendefinisikan penalaran sebagai sebuah proses mental di mana kita (melalui
akal budi) bergerak dari apa yang telah kita ketahui menuju ke pengetahuan yang baru (hal yang
belum kita kita ketahui). Atau, kita bergerak dari pengetahuan yang telah kita miliki ke
pengetahuan yang baru yang berhubungan dengan pengetahuan yang telah kita miliki tersebut.
Semua bentuk penalaran selalu bertolak dari sesuatu yang sudah ada atau sudah kita ketahui.
Kita tidak mungkin menalar bertolak dari ketidaktahuan. Selalu ada sesuatu yang yang tersedia
yang kita pergunakan sebagai suatu titik tolak untuk menalar. Titik tolak tersebut kita namakan
“yang telah diketahui”, yaitu sesuatu yang dapat dijadikan sebagai suatu premis, evidensi, bukti,
dasar, bahkan alasan-alasan darimana hal “yang belum diketahui”, dapat disimpulkan. Hal yang
dapat disimpulkan itulah yang disebut konklusi. Inilah kiranya yang merupakan alasan mengapa
penalaran dapat juga didefinisikan sebagai “berpikir konklusif”, “berpikir untuk menarik
kesimpulan".  

Dengan demikian pengertian sederhana Legal Reasoning adalah penalaran tentang


hukum yaitu pencarian “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang
hakim memutuskan perkara/kasus hukum, seorang pengacara meng-argumentasikan hukum dan
bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum. Namun pengertian sederhana ini menjadi tidak
lagi sederhana apabila pertanyaan dilanjutkan kepada: apakah yang dimaksud dengan hukum dan
bagaimana sebenarnya atau seharusnya seorang hakim memutuskan suatu perkara/ kasus hukum
dan bagaimana seorang pengacara mengargumentasikan hukum?  

Bagi beberapa ahli hukum formulasi legal reasoning mengandung pengertian yang
ambigu mengenai apakah legal reasoning adalah reasoning tentang hukum, yaitu apakah
reasoning tersebut mengenai reasoning untuk mencari dasar tentang substansi hukum yang ada
saat ini (dalam memutus perkara, hakim harus mencari reasoning dari substansi hukum positif
yang ada mengenai kasus tersebut), ataukah reasoning yang diambil dari substansi hukum yang
ada itu yang harus diterapkan pada putusan yang harus diambil terhadap perkara yang
dihadapkan kepada hakim (harus mempertimbangkan semua aspek yang ada termasuk isu
mengenai moral dan lain-lain). Dengan perbedaan ini para ahli teori hukum mengambil tiga
pengertian tentang legal reasoning, yaitu:  

• Reasoning untuk mencari substansi hukum untuk diterapkan dalam masalah yang
sedang terjadi.  

• Reasoning dari substansi hukum yang ada untuk diterapkan terhadap putusan yang
harus diambil atas suatu perkara yang terjadi.  
• Reasoning tentang putusan yang harus diambil oleh hakim dalam suatu perkara, dengan
mempertimbangkan semua aspek.  

2.2 Pendekatan dalam Legal Reasoning

Konsep atau formula untuk menyelami dunia legal reasoning sehingga menjadi lebih
mudah dipahami, terdiri dari formula IRAC dan formula IRFAC. Formula IRAC (Issue, Rule,
Analysis, Conclusion), merupakan bentuk-bentuk dasar dari pembentuk argumentasi hukum,
yang ditawarkan oleh Prof. Peter Suber, dari Philosophy Department, Earlham University.
Terdapat 4 (empat) langkah sederhana Yang harus dilalui oleh setiap hakim dalam membedah
perkara yang diajukan kepadanya, serumit apa pun perkara itu.  
• Issue = Fakta-fakta dan keadaan apa saja yang telah membawa para pihak ke pengadilan;

• Rule = Aturan hukum apakah yang berlaku terhadap isu hukum tersebut?

• Analysis = Apakah aturan-aturan hukum tersebut dapat diterapkan terhadap fakta-fakta


khusus dari isu hukum tersebut?  

• Conclusion = Bagaimana pengaruh dari sikap atau putusan terhadap penegakan hukum?
Langkah pertama, yaitu menemukan serta mencermati ISSUE hukumnya. Pada saat
mencermati isu hukum ini harus diingat adalah bahwa “Fakta hukum dari suatu perkara
memberikan petunjuk tentang permasalahan atau isu hukum yang dihadapi”. Dan kuncinya
adalah kemampuan hakim untuk mengidentifikasikan fakta hukum apa telah memunculkan isu
hukum apa. Karena pada asasnya isu hukum itu sangat kompleks, maka setiap pembahasan atau
penambahan suatu fakta hukum juga akan mengurangi atau menambah isu hukum dalam perkara
yang bersangkutan, sehingga dapat memunculkan upaya penegakan hukum yang baru pula.  
Cara termudah untuk membatasi permasalahan atau isu hukum adalah dengan
mengidentiflkasi isu hukum yang relevan dan isu hukum yang tidak relevan dari perkara yang
bersangkutan. Ketika seorang hakim membaca berkas perkara, hendaknya selalu menyusun
daftar pertanyaan terkait dengan permasalahan atau isu hukum yang sedang dicermati. Dengan
demikian yang bersangkutan akan memiliki semacam database untuk permasalahan atau isu
hukum yang sedang dicermati tersebut. Database ini akan memudahkan hakim konstitusi dalam
melaksanakan tugas serta tanggung jawabnya secara efektif dan efisien. Sebaliknya, manakala
seorang hakim tidak memiliki database yang tertata secara tepat dan cermat, maka terdapat
kemungkinan akan terjadi error dalam upaya untuk menemukan fakta-fakta hukum yang relevan,
sehingga berakibat salah dalam membedah tahapan berikutnya dalam formula IRAC, yaitu
tahapan Rules (menemukan aturan hukumnya).  
Langkah kedua, yaitu menemukan Rule (aturan hukum) mana yang diterapkan? pada
saat menemukan rule-nya hal yang harus diyakini adalah bahwa “Permasalahan atau isu hukum
tertentu diatur oleh aturan hukum tertentu pula”. Untuk setiap berkas perkara yang dibaca oleh
hakim misalnya, cobalah untuk membedah penegakan hukumnya dengan mengurai perkara
tersebut menjadi beberapa komponen. Dengan kata lain, tanyakanlah: elemen aturan hukum
manakah yang harus dibuktikan agar penegakan hukum dapat dilaksanakan secara benar? Terlalu
terfokus dan terpaku pada aspek legal formal atau aturan hukum saja sering menjadi kendala bagi
hakim dalam menemukan rulenya. Padahal, sekalipun aturan hukum merupakan hukum yang
harus ditegakkan, sesungguhnya, seni dari berpraktik hukum adalah terletak pada kemampuan
hakim yang bersangkutan dalam membuat analisis hukum.  

Langkah ketiga, yaitu ANALYSIS. Untuk membentuk analisis hukum, bandingkan dan


cermatilah fakta hukum yang telah ditemukan dengan aturan hukum yang akan diterapkan.
Untuk setiap fakta hukum yang relevan, hakim harus dapat menjawab apakah fakta hukum yang
ditemukan tersebut dapat membantu dalam membuktikan atau tidak dapat membuktikan sesuatu.
Kesalahan yang sering terjadi yaitu terdapat kecenderungan untuk hanya menyoroti
permasalahan atau isu hukumnya saja kemudian mengutip aturan-aturan hukum yang hendak
diterapkan, tanpa membuat atau melakukan analisis sama sekali. Padahal, yang terpenting
bukanlah sekadar menemukan hukumnya saja, melainkan juga menerapkan aturan hukum
tersebut terhadap serangkaian fakta atau keadaan yang dijumpai. Analisis merupakan bagian
terpenting dari formula IRAC, karena di sinilah terjadi proses berpikir atau penalaran (reasoning)
yang sesungguhnya.  

Langkah keempat, yaitu CONCLUSION. Berangkat dari analisis, maka akan sampai
pada simpulan, misalnya simpulan bahwa aturan hukum yang digunakan dapat diterapkan
terhadap fakta-fakta hukum yang ada. Dengan membuat simpulan berarti seseorang telah
mengambil sikap berdasarkan hasil analisis yang telah dibuatnya. Adakalanya seorang hakim
menjumpai permasalahan atau isu hukum di mana terjadi penafsiran ganda bahwa suatu aturan
hukum dapat dan sekaligus tidak dapat diterapkan terhadap serangkaian fakta hukum. Terhadap
hal demikian, sangat bergantung pada seberapa baik kemampuan hakim dalam menganalisis
permasalahan atau isu hukum yang pelik tersebut. Dalam hal ini hakim harus menentukan sikap
serta menunjukkan seberapa tajam kemampuannya dalam menganalisis suatu perkara.  

Kesalahan yang sering terjadi adalah membuat simpulan tanpa memberikan landasan atau
dasar yang kuat bagi pendapat yang dituangkan dalam simpulan tersebut. Dengan kata lain,
praktisi hukum atau hakim hanya sekadar menyoroti suatu isu hukum, menyebutkan aturan
hukum yang diterapkan dan kernudian membuat simpulan tanpa memberikan analisis yang
memadai dan baik.  Pada prinsipnya, IRAC merupakan alur pembentukan legal reasoning dalam
mencermati setiap permasalahan hukum. Keistimewaan IRAC ini adalah bahwa keduanya
memungkinkan para hakim untuk menyederhanakan kompleksitas permasalahan hukum menjadi
sebuah rumus atau formula sederhana. Kompleksitas teknik pembentukan argumentasi hukum
atau legal reasoning yang bersifat abstrak dapat disederhanakan menjadi sebuah formula
sederhana yang mudah diingat, dipahami, dan dipraktikkan para hakim.  

2.3 Karakteristik Legal Reasoning yang Baik

Mengacu pada pemikiran filsafat praktis dari Aristoteles, Brett G. Scharffs


mengemukakan bahwa legal reasoning yang baik itu tersusun dari tiga gagasan atau konsep,
yaitu:  Pertama, practical wisdom atau phronesis (tindakan dan aksi) Kedua, craft atau techne
atau keterampilan (cipta atau produksi) Ketiga, rhetorica.   Practical wisdom adalah memberikan
pertimbangan mendalam tentang tindakan atau aksi apa yang harus dilakukan. Practical wisdom
bukanlah semata-mata menerapkan dan mengikuti aturan perundang-undangan. Practical wisdom
bukan pula semata-mata mengetahui tentang apa yang benar dan apa yang salah, artinya practical
wisdom terkait erat dengan memberikan pertimbangan yang mendalam (deliberation/ bouleusis),
menentukan pilihan (choice/proairesis) dari serangkaian pilihan yang ada, dan pada akhirnya
menentukan tindakan (action/praxis) terbaik yang harus dilakukan.  
Menurut Aristoteles, sebagaimana dikutip oleh Scharffs, bahwa practical wisdom itu
terbentuk dari komponen intelektualitas dan komponen karakter. Seorang hakim yang memiliki
pratical wisdom senantiasa dapat melakukan pertimbangan mendalam secara baik. Pertimbangan
mendalam tersebut mencakup bagaimana menemukan sarana-sarana terbaik untuk mencapai
tujuan tertentu termasuk menentukan tujuan yang tepat yang hendak dicapai. Sosok hakim yang
demikian ini dikatakan sebagai hakim yang memiliki intelektualitas yang tinggi.  
Komponen kedua yang membentuk practical wisdom adalah karakter.   Terdapat
beberapa karakter yang dapat memfasilitasi terbentuknya practical wisdom, yaitu simpati dan
ketulusan. Selain kedua karakter, terdapat pula beberapa karakter lainnya yang harus dimiliki
seorang hakim agar dapat dikatakan sebagai pribadi hakim yang memiliki practical wisdom,
yaitu: adil, pemaaf, dan rendah hati.   Craft, merupakan kemampuan atau kapasitas yang tinggi
untuk membuat atau menciptakan sesuatu. Berbeda dengan practical wisdom yang memiliki
beberapa komponen pembentuk, craft hanya memiliki satu komponen, yaitu intelektualitas. Craft
terbentuk dari pemanfaatan materi-materi dan sarana-sarana secara terampil. Dalam bidang
hukum, materi-materi dimaksud meliputi sumber-sumber hukum (seperti: konstitusi dan
ketentuan perundang-undangan), prinsip-prinsip dan pemikiran-pemikiran dasar tentang hukum
(termasuk prinsip kemerdekaan, kesetaraan, keadilan, dan proses hukum yang adil), serta
berbagai rangkaian peraturan dan pedoman Seorang hakim yang baik sekaligus adalah seorang
pembuat (putusan) yang baik. Ia tidak hanya belajar peraturan perundang-undangan dan teori
melainkan juga senantiasa mengembangkan pengetahuannya. Ia juga selalu berupaya untuk
mengembangkan sikap dan kebiasaan yang baik melalui proses belajar.  Rhetoric, adalah
persuasi. Aristoteles mendefinisikan retorika sebagai “kemampuan untuk menemukan sarana-
sarana persuasi yang tersedia". Definisi yang diberikan oleh Aristoteles ini menarik karena
Aristoteles membedakan antara tujuan eksternal dan tujuan internal dari retorika. Tujuan
eksternal dari suatu retorika adalah untuk memenangkan atau berhasil membujuk (successfully
persuading) audiensinya. Keberhasilan upaya persuasi ini diukur dari hasil yang diperoleh dari
argumen yang telah dibangunnya. Sedangkan, tujuan internal berkaitan erat dengan penyusunan
argumentasi terbaik yang mungkin dibuat dalam suatu keadaan tertentu dan dengan
memanfaatkan sarana-sarana persuasi yang tersedia.  
Legal reasoning yang baik menurut Scharffs adalah hasil kombinasi antara practical
wisdom, craft dan rhetoric. Hakim yang baik adalah hakim yang dapat mengombinasikan skill
atau karakter practical wisdom (kearifan dalam berpraktik hukum) , keterampilan dan retorika.
Masing-masing dari ketiga konsep tersebut merupakan komponen esensial dari suatu legal
reasoning yang baik. Ketiganya memiliki signifikansi dan arti penting yang setara. Berikut
penjelasan dari ketiga komponen tersebut.   Tugas hakim dalam membuat putusan sangat
tedrkait dengan tujuan atau fokus dari practical wisdom, craft maupun rethoric. Dalam membuat
putusan hakim membutuhkan pertimbangan yang mendalam (practical wisdom), menentukan
pilihan dari serangkaian pilihan yang tersedia (craft), dan pada akhirnya menentukan tindakan
atau aksi yang akan diambilnya (rethoric). Pendapat hukum (Legal Opinion) yang kemudian
dituangkan hakim dalam putusannya pun merupakan sesuatu yang dapat dikritisi dan dipuji
sebagai pendapat hukum yang baik, tegas serta memiliki kemanfaatan yang tinggi. 

2.4 Legal Reasoning dan Kemanfaatan Hukum


Ajaran Cita Hukum (Idee des Recht) menyebutkan adanya tiga unsur cita hukum yang
harus ada secara proporsional, yaitu kepastian hukum (rechtssicherkeit) , keadilan hukum
(gerechtigkeit) dan kemanfaatan hukum (zweckmasigkeit). Sekiranya dikaitkan dengan teori
penegakan hukum sebagaimana disampaikan oleh Gustav Radbruch dalam idee des recht yaitu
penegakan hukum harus memenuhi ketiga asas tersebut.  

Peranan pengadilan (hakim) dalam mewujudkan kepastian hukum, keadilan dan


kernanfaatan antara lain dapat dilihat dari putusan-putusan yang telah dijatuhkan. Proses
peradilan sangat tergantung pada hakim di pengadilan berkaitan dengan bagaimana hakim
melaksanakan tugas dan fungsinya. Peranan hakim sangat mulia dan terhormat dalam
masyarakat dan negara.  Hakim sebagai salah satu pejabat kekuasaan kehakiman yang
melaksanakan proses peradilan tentunya mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap
lahirnya putusan. Putusan yang dihasilkan oleh hakim di pengadilan idealnya tidak menimbulkan
masalah-masalah baru di kemudian hari dalam masyarakat. Hal ini berarti bahwa kualitas
putusan hakim berpengaruh penting pada lingkungan masyarakat dan berpengaruh pada
kewibawaan dan kredibilitas lembaga pengadilan itu sendiri.  
Hakim dalam membuat putusan tidak hanya melihat kepada hukum (system denken)
tetapi juga harus bertanya pada hati nurani dengan cara memerhatikan keadilan dan kemanfaatan
ketika putusan itu telah dijatuhkan (problem denken). Akibat putusan hakim yang hanya
menerapkan pada hukum tanpa menggunakan hati nuraninya akan berakibat pada kegagalan
menghadirkan keadilan dan kemanfaatan.  
Hasil survei yang dilakukan oleh International Transpararency berkaitan dengan realitas
praktik hukum di lapangan ternyata dicirikan dengan ketidakpuasan masyarakat terhadap
putusan-putusan pengadilan yang dinilai tidak adil, tidak jujur, memihak, tidak sesuai dengan
hukum yang ada. Ketidakpuasan masyarakat ini mengakibatkan merosotnya wibawa hukum dan
lembaga peradilan di Indonesia dan adanya semacam sikap kurang percaya masyarakat terhadap
aparat penegak hukum yang berdampak pada keengganan untuk menyerahkan persoalan dan
perlindungan kepentingan mereka kepada proses dan institusi hukum (pengadilan).  
Berbagai kritik yang muncul menunjukkan ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum
yang dilakukan oleh hakim dalam melahirkan putusan di pengadilan. Putusan hakim seringkali
memunculkan tudingan sinis dari masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya keluhan
tentang putusan yang dianggap belum mencerminkan kepastian hukum, keadilan dan
kemanfaatan. Putusan hakim harus dapat diterima oleh masyarakat. Pengertian dapat tidaknya
diterima suatu putusan yaitu bahwa hendaknya jangan diartikan secara murni dan faktual karena
hakim bukan corong undang-undang (bouche de la loi) dan juga bukan corong masyarakat
(bouche de la société).  
Putusan hakim adalah merupakan cerminan kemampuan seorang hakim dalam
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Putusan yang baik harus disusun dari fakta
peristiwa dan fakta hukum yang lengkap, rinci, jelas, dan akurat yang diperoleh dalam
persidangan yang termuat dalam Berita Acara Sidang (BAS). Putusan yang disusun secara runtut
dan sistematis dengan bahasa yang baik dan benar berisi argumentasi hukum yang jelas, tepat,
dan benar mencerminkan keprofesionalan seorang hakim, putusan demikian setidaknya dapat
memberikan informasi yang jelas dan akurat dan mudah-mudahan pula memberikan kepuasan
kepada para pihak, sehingga para pihak merasa puas dan menerima putusan tanpa melakukan
upaya hukum lainnya yang menimbulkan penyelesaian perkara menjadi berlarut-larut.
Tugas hakim menurut Hakim Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes Jr., bahwa
memutus bukan semata-mata proses silogisme matematis dan mekanis, namun sebuah makna
yang sangat luas “... the life of the law has not been logic; it is has been expperience. The felt
necessities of the time, the prevalent moral and political theories, institution of public policy
avomed or unconscious, even the prejudices which judges share with their fellow ...” Holmes
juga mengatakan, “The law embodies the story of a nation’s development through many
centuries, and it can not be dealt with as if it contained only the axioms and corollaries of a book
of mathematics”. Dengan demikian, putusan hakim merupakan cerrmin dari sikap, moralitas,
serta penalaran.  
Di sinilah peranan penting dari logika hukum (legal reasoning) yang merupakan
pencarian “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang hakim
memutuskan perkara/kasus hukum, seorang pengacara mengargumentasikan hukum dan
bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum. Logika hukum dikatakan sebagaj suatu kegiatan
untuk mencari dasar hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan
perbuatan hukum (perjanjian, transaksi perdagangan, dll.) ataupun yang merupakan kasus
pelanggaran hukum (pidana, perdata, ataupun administratif) dan memasukkannya ke dalam
peraturan hukum yang ada.  
Logika hukum berfungsi sebagai suatu metode untuk meneliti kebenaran atau ketepatan
dari suatu penalaran, sedangkan penalaran adalah suatu bentuk dari pemikiran. Penalaran
tersebut bergerak dari suatu proses yang dimulai dari penciptaan konsep (conceptus), diikuti oleh
pembuatan pernyataan (propositio), kemudian diikuti oleh penalaran (ratio cinium, reasoning).  
Bagi para hakim logika hukum ini berguna dalam mengambil pertimbangan untuk memutuskan
suatu kasus agar putusan yang dijatuhkan mengandung kemanfaatan. Kemanfaatan hukum perlu
diperhatikan karena semua orang mengharapkan adanya mamfaat dalam pelaksanaan penegakan
hukum. Jangan sampai penegakan hukum justru menimbulkan keresahan masyarakat. Karena
kalau kita berbicara tentang hukum kita cenderung hanya melihat pada peraturan perundang-
undangan, yang terkadang aturan itu tidak sempurna, mengandung penafsiran ganda dan tidak
aspiratif dengan kehidupan masyarakat.  
Prof. Satjipto Raharjo, yang menyatakan bahwa: keadilan memang salah satu nilai utama, tetapi
tetap di samping yang lain-lain, seperti kemanfaatan (utility, doelmatigheid). Olehnya itu di
dalam penegakan hukum, perbandingan antara manfaat dengan pengorbanan harus proporsional.
Mahkota Hakim yang terukir dalam putusan seyogianya harus memenuhi unsur nilai
dasar kemanfaatan selain juga harus memenuhi unsur kepastian hukum dan keadilan, artinya
putusan yang dijatuhkan harus bermanfaat bagi seluruh pihak dan tidak berpihak kepada siapa
pun sehingga dapat dijadikan referensi oleh hakim lain untuk memutuskan suatu perkara dalam
materi yang sama (yurisprudensi).  
Banyaknya keluhan-keluhan terhadap putusan hakim yang sekarang ini terjadi dan sangat ramai
diperbincangkan dalam masyarakat, putusan yang tidak memenuhi rasa keadilan, kepastian dan
kemanfaatan maupun putusan-putusan yang “kontroversial”. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya putusan hakim yang dibanding karena ketidakpuasan terhadap putusan hakim.  Legal
Reasoning memiliki peran sangat penting dalam memandu hakim untuk menentukan makna
efektif dari hukum, karena Legal Reasoning memiliki posisi sentral yang sangat penting bagi
hakim dalam menafsirkan hukum, bahkan merupakan roh dari setiap upaya penafsiran hukum
yang dilakukan oleh hakim dalam menghasilkan suatu putusan. Putusan yang memberikan nilai
manfaat akan sangat bergantung kepada penafsiran hakim melalui Legal Reasoning. 

BAB III
KESIMPULAN

Term “Legal Reasoning” menurut Golding, dapat digunakan dalam dua arti, yaitu dalam
arti luas dan sempit. Dalam arti luas, legal reasoning berkaitan dengan proses psikologis yang
dilakukan hakim untuk sampai pada putusan atas kasus yang dihadapinya. Sedangkan, legal
reasoning dalam arti sempit, berkaitan dengan argumentasi yang melandasi suatu keputusan.
Artinya, legal reasoning dalam arti sempit ini menyangkut kajian logika dari suatu putusan, yaitu
hubungan antara reason (pertimbangan, alasan) dan putusan, serta ketepatan alasan atau
pertimbangan yang mendukung putusan tersebut.  Konsep atau formula untuk menyelami dunia
legal reasoning sehingga menjadi lebih mudah dipahami, terdiri dari formula IRAC dan formula
IRFAC. Formula IRAC (Issue, Rule, Analysis, Conclusion), merupakan bentuk-bentuk dasar dari
pembentuk argumentasi hukum, yang ditawarkan oleh Prof. Peter Suber, dari Philosophy
Department, Earlham University. Legal reasoning yang baik menurut Scharffs adalah hasil
kombinasi antara practical wisdom, craft dan rhetoric. Tugas hakim dalam membuat putusan
sangat tedrkait dengan tujuan atau fokus dari practical wisdom, craft maupun rethoric. Dalam
membuat putusan hakim membutuhkan pertimbangan yang mendalam (practical wisdom),
menentukan pilihan dari serangkaian pilihan yang tersedia (craft), dan pada akhirnya
menentukan tindakan atau aksi yang akan diambilnya (rethoric). Legal Reasoning memiliki
peran sangat penting dalam memandu hakim untuk menentukan makna efektif dari hukum,
karena Legal Reasoning memiliki posisi sentral yang sangat penting bagi hakim dalam
menafsirkan hukum, bahkan merupakan roh dari setiap upaya penafsiran hukum yang dilakukan
oleh hakim dalam menghasilkan suatu putusan. Putusan yang memberikan nilai manfaat akan
sangat bergantung kepada penafsiran hakim melalui Legal Reasoning. 

DAFTAR PUSTAKA

Edi Riadi, Dr., S.H.,M.H. Penalaran Hukum dalam Penyelesaian Kasus Perdata Agama
(Faktor Peristiwa, Fakta Hukum dan Perumusan Fakta Hukum). Majalah Varia Peradilan Nomor
325, Jakarta, Edisi Desember 2002. 

Eman Suparman, dalam Makna Hukum dan Tugas Hakim (Problematik Hukum dan
Etika-Sebuah Pendekatan Konseptual). Konggres llmu Hukum “Refleksi dan Rekonstruksi llmu
Hukum Indonesia”, tanggal 1920 Oktober 2012, Semarang. 

J.A. Pontier. 2008. Penemuan Hukum. Penerjemah B. Arief Sidharta. Bandung: Jendela
Mas Pustaka. 

Mertokusumo, Prof.Dr., S.H. 2007. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Edisi Kelima.
Cet. Kedua. Yogyakarta: Liberty.

H.M. Soerya Respationo. “Putusan Hakim: Menuju Rasionalitas Hukum Ref|eksif Dalam
Penegakan Hukum”. Jurnal Hukum Yustisia, No. 86 Th. XXII Mei-Agustus 2013. 
Satjipto Rahardjo. 1997. llmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. 

Sudikno Mertokusumo. 2003. Mengenal Hukum, Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Surajivo, dkk. 2007. Dasar-Dasar Logika. Jakarta: Bumi Aksara. 

Anda mungkin juga menyukai