“LEGAL REASONING”
Disusun Oleh :
GUSTINI WIDIJANINGSIH
I2B020024
Dosen pengampu :
Prof.DR.Amiruddin, SH,M.Hum
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmatNYA sehingga Penulis
mampu menjalankan tugas makalah ini. Terima kasih kepada dosen pengampu yang telah
memberikan bimbingan kepada penulis dan juga terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
memberikan bantuan sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Akhir kata, penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan apabila terdapat
kesalahan dalam penyusunan Penulis meminta maaf dan jika terdapat kritik dan saran akan
sangat diterima. Terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………………………………….1
Daftar Isi……………………………………………………………………………………..2
BAB I. Pendahuluan…………………………………………………………………………3
• Latar Belakang………………………………………………………………….. 3
• Rumusan Masalah………………………………………………………………. 3
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Term “Legal Reasoning” menurut Golding, dapat digunakan dalam dua arti, yaitu dalam
arti luas dan sempit. Dalam arti luas, legal reasoning berkaitan dengan proses psikologis yang
dilakukan hakim untuk sampai pada putusan atas kasus yang dihadapinya. Sedangkan, legal
reasoning dalam arti sempit, berkaitan dengan argumentasi yang melandasi suatu keputusan.
Artinya, legal reasoning dalam arti sempit ini menyangkut kajian logika dari suatu putusan, yaitu
hubungan antara reason (pertimbangan, alasan) dan putusan, serta ketepatan alasan atau
pertimbangan yang mendukung putusan tersebut.
Sedangkan, menurut B. Arif Sidharta, legal reasoning atau penalaran hukum adalah
kegiatan berpikir problematis dari subjek hukum (manusia) sebagai makhluk individu dan sosial
di dalam lingkaran kebudayaannya. Sekalipun demikian, penalaran hukum tidak mencari
penyelesaian ke ruang-ruang yang terbuka tanpa batas. Ada tuntutan bagi penalaran hukum untuk
juga menjamin stabilitas dan prediktabilitas putusannya dengan mengacu kepada sistem hukum
positif. Demi kepastian hukum, argumentasi yang dilakukan harus mengikuti asas penataan ini,
sehingga putusan-putusan itu (misalnya antara hakim yang satu dengan hakim yang lain dalam
mengadili kasus serupa) relatif terjaga konsistensinya (asas similia similibus). Berdasarkan
pandangan ini, dengan mengutip Ter Heide, B. Arief Sidharta menyebut tipe argumentasi dalam
penalaran hukum sebagai “berpikir problematikal tersistematisasi” (gesystematiseerd
probleemdenken).
Sumaryono mendefinisikan penalaran sebagai sebuah proses mental di mana kita (melalui
akal budi) bergerak dari apa yang telah kita ketahui menuju ke pengetahuan yang baru (hal yang
belum kita kita ketahui). Atau, kita bergerak dari pengetahuan yang telah kita miliki ke
pengetahuan yang baru yang berhubungan dengan pengetahuan yang telah kita miliki tersebut.
Semua bentuk penalaran selalu bertolak dari sesuatu yang sudah ada atau sudah kita ketahui.
Kita tidak mungkin menalar bertolak dari ketidaktahuan. Selalu ada sesuatu yang yang tersedia
yang kita pergunakan sebagai suatu titik tolak untuk menalar. Titik tolak tersebut kita namakan
“yang telah diketahui”, yaitu sesuatu yang dapat dijadikan sebagai suatu premis, evidensi, bukti,
dasar, bahkan alasan-alasan darimana hal “yang belum diketahui”, dapat disimpulkan. Hal yang
dapat disimpulkan itulah yang disebut konklusi. Inilah kiranya yang merupakan alasan mengapa
penalaran dapat juga didefinisikan sebagai “berpikir konklusif”, “berpikir untuk menarik
kesimpulan".
Bagi beberapa ahli hukum formulasi legal reasoning mengandung pengertian yang
ambigu mengenai apakah legal reasoning adalah reasoning tentang hukum, yaitu apakah
reasoning tersebut mengenai reasoning untuk mencari dasar tentang substansi hukum yang ada
saat ini (dalam memutus perkara, hakim harus mencari reasoning dari substansi hukum positif
yang ada mengenai kasus tersebut), ataukah reasoning yang diambil dari substansi hukum yang
ada itu yang harus diterapkan pada putusan yang harus diambil terhadap perkara yang
dihadapkan kepada hakim (harus mempertimbangkan semua aspek yang ada termasuk isu
mengenai moral dan lain-lain). Dengan perbedaan ini para ahli teori hukum mengambil tiga
pengertian tentang legal reasoning, yaitu:
• Reasoning untuk mencari substansi hukum untuk diterapkan dalam masalah yang
sedang terjadi.
• Reasoning dari substansi hukum yang ada untuk diterapkan terhadap putusan yang
harus diambil atas suatu perkara yang terjadi.
• Reasoning tentang putusan yang harus diambil oleh hakim dalam suatu perkara, dengan
mempertimbangkan semua aspek.
Konsep atau formula untuk menyelami dunia legal reasoning sehingga menjadi lebih
mudah dipahami, terdiri dari formula IRAC dan formula IRFAC. Formula IRAC (Issue, Rule,
Analysis, Conclusion), merupakan bentuk-bentuk dasar dari pembentuk argumentasi hukum,
yang ditawarkan oleh Prof. Peter Suber, dari Philosophy Department, Earlham University.
Terdapat 4 (empat) langkah sederhana Yang harus dilalui oleh setiap hakim dalam membedah
perkara yang diajukan kepadanya, serumit apa pun perkara itu.
• Issue = Fakta-fakta dan keadaan apa saja yang telah membawa para pihak ke pengadilan;
• Rule = Aturan hukum apakah yang berlaku terhadap isu hukum tersebut?
• Conclusion = Bagaimana pengaruh dari sikap atau putusan terhadap penegakan hukum?
Langkah pertama, yaitu menemukan serta mencermati ISSUE hukumnya. Pada saat
mencermati isu hukum ini harus diingat adalah bahwa “Fakta hukum dari suatu perkara
memberikan petunjuk tentang permasalahan atau isu hukum yang dihadapi”. Dan kuncinya
adalah kemampuan hakim untuk mengidentifikasikan fakta hukum apa telah memunculkan isu
hukum apa. Karena pada asasnya isu hukum itu sangat kompleks, maka setiap pembahasan atau
penambahan suatu fakta hukum juga akan mengurangi atau menambah isu hukum dalam perkara
yang bersangkutan, sehingga dapat memunculkan upaya penegakan hukum yang baru pula.
Cara termudah untuk membatasi permasalahan atau isu hukum adalah dengan
mengidentiflkasi isu hukum yang relevan dan isu hukum yang tidak relevan dari perkara yang
bersangkutan. Ketika seorang hakim membaca berkas perkara, hendaknya selalu menyusun
daftar pertanyaan terkait dengan permasalahan atau isu hukum yang sedang dicermati. Dengan
demikian yang bersangkutan akan memiliki semacam database untuk permasalahan atau isu
hukum yang sedang dicermati tersebut. Database ini akan memudahkan hakim konstitusi dalam
melaksanakan tugas serta tanggung jawabnya secara efektif dan efisien. Sebaliknya, manakala
seorang hakim tidak memiliki database yang tertata secara tepat dan cermat, maka terdapat
kemungkinan akan terjadi error dalam upaya untuk menemukan fakta-fakta hukum yang relevan,
sehingga berakibat salah dalam membedah tahapan berikutnya dalam formula IRAC, yaitu
tahapan Rules (menemukan aturan hukumnya).
Langkah kedua, yaitu menemukan Rule (aturan hukum) mana yang diterapkan? pada
saat menemukan rule-nya hal yang harus diyakini adalah bahwa “Permasalahan atau isu hukum
tertentu diatur oleh aturan hukum tertentu pula”. Untuk setiap berkas perkara yang dibaca oleh
hakim misalnya, cobalah untuk membedah penegakan hukumnya dengan mengurai perkara
tersebut menjadi beberapa komponen. Dengan kata lain, tanyakanlah: elemen aturan hukum
manakah yang harus dibuktikan agar penegakan hukum dapat dilaksanakan secara benar? Terlalu
terfokus dan terpaku pada aspek legal formal atau aturan hukum saja sering menjadi kendala bagi
hakim dalam menemukan rulenya. Padahal, sekalipun aturan hukum merupakan hukum yang
harus ditegakkan, sesungguhnya, seni dari berpraktik hukum adalah terletak pada kemampuan
hakim yang bersangkutan dalam membuat analisis hukum.
Langkah keempat, yaitu CONCLUSION. Berangkat dari analisis, maka akan sampai
pada simpulan, misalnya simpulan bahwa aturan hukum yang digunakan dapat diterapkan
terhadap fakta-fakta hukum yang ada. Dengan membuat simpulan berarti seseorang telah
mengambil sikap berdasarkan hasil analisis yang telah dibuatnya. Adakalanya seorang hakim
menjumpai permasalahan atau isu hukum di mana terjadi penafsiran ganda bahwa suatu aturan
hukum dapat dan sekaligus tidak dapat diterapkan terhadap serangkaian fakta hukum. Terhadap
hal demikian, sangat bergantung pada seberapa baik kemampuan hakim dalam menganalisis
permasalahan atau isu hukum yang pelik tersebut. Dalam hal ini hakim harus menentukan sikap
serta menunjukkan seberapa tajam kemampuannya dalam menganalisis suatu perkara.
Kesalahan yang sering terjadi adalah membuat simpulan tanpa memberikan landasan atau
dasar yang kuat bagi pendapat yang dituangkan dalam simpulan tersebut. Dengan kata lain,
praktisi hukum atau hakim hanya sekadar menyoroti suatu isu hukum, menyebutkan aturan
hukum yang diterapkan dan kernudian membuat simpulan tanpa memberikan analisis yang
memadai dan baik. Pada prinsipnya, IRAC merupakan alur pembentukan legal reasoning dalam
mencermati setiap permasalahan hukum. Keistimewaan IRAC ini adalah bahwa keduanya
memungkinkan para hakim untuk menyederhanakan kompleksitas permasalahan hukum menjadi
sebuah rumus atau formula sederhana. Kompleksitas teknik pembentukan argumentasi hukum
atau legal reasoning yang bersifat abstrak dapat disederhanakan menjadi sebuah formula
sederhana yang mudah diingat, dipahami, dan dipraktikkan para hakim.
BAB III
KESIMPULAN
Term “Legal Reasoning” menurut Golding, dapat digunakan dalam dua arti, yaitu dalam
arti luas dan sempit. Dalam arti luas, legal reasoning berkaitan dengan proses psikologis yang
dilakukan hakim untuk sampai pada putusan atas kasus yang dihadapinya. Sedangkan, legal
reasoning dalam arti sempit, berkaitan dengan argumentasi yang melandasi suatu keputusan.
Artinya, legal reasoning dalam arti sempit ini menyangkut kajian logika dari suatu putusan, yaitu
hubungan antara reason (pertimbangan, alasan) dan putusan, serta ketepatan alasan atau
pertimbangan yang mendukung putusan tersebut. Konsep atau formula untuk menyelami dunia
legal reasoning sehingga menjadi lebih mudah dipahami, terdiri dari formula IRAC dan formula
IRFAC. Formula IRAC (Issue, Rule, Analysis, Conclusion), merupakan bentuk-bentuk dasar dari
pembentuk argumentasi hukum, yang ditawarkan oleh Prof. Peter Suber, dari Philosophy
Department, Earlham University. Legal reasoning yang baik menurut Scharffs adalah hasil
kombinasi antara practical wisdom, craft dan rhetoric. Tugas hakim dalam membuat putusan
sangat tedrkait dengan tujuan atau fokus dari practical wisdom, craft maupun rethoric. Dalam
membuat putusan hakim membutuhkan pertimbangan yang mendalam (practical wisdom),
menentukan pilihan dari serangkaian pilihan yang tersedia (craft), dan pada akhirnya
menentukan tindakan atau aksi yang akan diambilnya (rethoric). Legal Reasoning memiliki
peran sangat penting dalam memandu hakim untuk menentukan makna efektif dari hukum,
karena Legal Reasoning memiliki posisi sentral yang sangat penting bagi hakim dalam
menafsirkan hukum, bahkan merupakan roh dari setiap upaya penafsiran hukum yang dilakukan
oleh hakim dalam menghasilkan suatu putusan. Putusan yang memberikan nilai manfaat akan
sangat bergantung kepada penafsiran hakim melalui Legal Reasoning.
DAFTAR PUSTAKA
Edi Riadi, Dr., S.H.,M.H. Penalaran Hukum dalam Penyelesaian Kasus Perdata Agama
(Faktor Peristiwa, Fakta Hukum dan Perumusan Fakta Hukum). Majalah Varia Peradilan Nomor
325, Jakarta, Edisi Desember 2002.
Eman Suparman, dalam Makna Hukum dan Tugas Hakim (Problematik Hukum dan
Etika-Sebuah Pendekatan Konseptual). Konggres llmu Hukum “Refleksi dan Rekonstruksi llmu
Hukum Indonesia”, tanggal 1920 Oktober 2012, Semarang.
J.A. Pontier. 2008. Penemuan Hukum. Penerjemah B. Arief Sidharta. Bandung: Jendela
Mas Pustaka.
Mertokusumo, Prof.Dr., S.H. 2007. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Edisi Kelima.
Cet. Kedua. Yogyakarta: Liberty.
H.M. Soerya Respationo. “Putusan Hakim: Menuju Rasionalitas Hukum Ref|eksif Dalam
Penegakan Hukum”. Jurnal Hukum Yustisia, No. 86 Th. XXII Mei-Agustus 2013.
Satjipto Rahardjo. 1997. llmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.