Anda di halaman 1dari 186

A.

AHSIN THOHARI

dan

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jakarta, 2004

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan oleh A. Ahsin Thohari

Editor: Erasmus Cahyadi T.

Desain Sampul:

Layout:

Cetakan Pertama, Oktober 2004

Hak penerbitan ada pada ELSAM

Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia, selain sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.

Penerbit ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jln. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510 Tlp.: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 2519 E-mail: elsam@nusa.or.id, advokasi@indosat.net.id; Web-site: www.elsam.or.id

DAFTAR ISI
Pengantar Penerbit Pengantar Penulis Kata Pengantar oleh Prof. Jimly Asshiddiqie Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Bagan BAB I PENDAHULUAN A. Gagasan Reformasi Peradilan di Indonesia B. Beberapa Permasalahan C. Urgensi Penelitian D. Perspektif Teori dan Beberapa Terminologi E. Asumsi Dasar F. Metode Penelitian dan Bingkai Buku BAB II PEREKRUTAN HAKIM DAN PENEGAKAN

ETIKA PROFESI HAKIM

A. Kekuasaan Kehakiman: Sebuah Tinjauan Umum 1. Pemisahan Kekuasaan (Separation of Powers) 2. Demokrasi 3. Negara Hukum (Rechtsstaat/Rule of Law) 4. Kekuasaan Kehakiman (Judicial Power) 5. Ketentuan-ketentuan Internasional dan Regional tentang Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka B. Mekanisme Perekrutan Hakim dan Intervensi Kekuasaan Politik 1. Ketentuan-ketentuan Internasional tentang Perekrutan Hakim 2. Intervensi Kekuasaan Politik dalam Perekrutan Hakim Agung C. Etika Profesi Hukum dan Penegakan Kode Etik Profesi Hukum BAB III SUSUNAN DAN KEDUDUKAN KOMISI YUDISIAL DI BERBAGAI NEGARA A. Komisi Yudisial di Berbagai Negara 1. Hukum Tata Negara Perbandingan 2. Studi Perbandingan Komisi Yudisial 3. Tujuan Perbandingan Hukum Tata Negara 4. Tujuan Perbandingan Komisi Yudisial

B. Susunan dan Kedudukan Komisi Yudisial di Berbagai Negara: Afrika Selatan, Argentina, Filipina, Prancis, dst. Zimbabwe C. Beberapa Kecenderungan Umum dalam Komisi Yudisial 1. Latar Belakang Pembentukan Komisi Yudisial 2. Tujuan Pembentukan Komisi Yudisial 3. Komisi Yudisial sebagai Solusi BAB IV PELEMBAGAAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA A. Gagasan-gagasan Sebelum Pembentukan Komisi Yudisial di Indonesia 1. Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) 2. Dewan Kehormatan Hakim (DKH) B. Gagasan Komisi Yudisial di Indonesia 1. Undang-Undang PROPENAS dan Perubahan Ketiga UUD 1945 2. Kegagalan Sistem yang Ada Sebelumnya 3. Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial di Indonesia C. Keorganisasian Komisi Yudisial di Indonesia 1. Status Kelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia 2. Keanggotaam Komisi Yudisial di Indonesia 3. Tempat Kedudukan Komisi Yudisial di Indonesia BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran

BIBLIOGRAFI A. Buku B. Artikel C. Majalah Ilmiah D. Disertasi dan Data/Sumber yang Tidak Diterbitkan E. Surat Kabar/Majalah F. Peraturan Dasar dan Peraturan Perundang-undangan G. Internet INDEX

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.1. Empat Perubahan dalam Cabang Kekuasaan Kehakiman setelah Perubahan Ketiga UUD 1945

Tabel 1.2. Perbandingan Pasal-pasal Mengenai Cabang Kekuasaan Kehakiman Sebelum dan Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945 6 Tabel 2.1. Persesuian Antara Ketentuan Kekuasaan Kehakiman dalam The Cairo Declaration on Human Rights in Islam dan Universal Declaration of Human Rights Tabel 2.2. Asas-asas Moralitas Umum Profesi Hukum Tabel 3.1. Komisi Yudisial di Berbagai Negara Tabel 3.2. Keanggotaan Komisi Yudisial di Berbagai Negara Tabel 3.3. Latar Belakang Pembentukan Komisi Yudisial Tabel 3.4. Tujuan Pembentukan Komisi Yudisial Tabel 3.5. Komisi Yudisial sebagai Solusi Tabel 4.1. Tiga Perubahan Penting setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999

103

135

190

202

210

216

218

230

Tabel 4.2. Komisi-komisi yang Terbentuk Pasca-Orba Sampai Tahun 2003


xvi

307

DAFTAR BAGAN Halaman Bagan 4.1. Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung Bagan 4.2. Menjaga Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim Bagan 4.3. Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim Bagan 4.4. Menjaga Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim Agung

247

249

249

253

Bagan 4.5. Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim Agung 253 Bagan 4.6. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Sebelum Perubahan UUD 1945 Bagan 4.7. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945

312

313

xvii

Pengantar Penerbit
Mana lebih dulu: telor atau ayam? Mana lebih penting: pelaku atau struktur (dan sistem)? Para begawan ilmu sosial sebelum Anthony Giddens biasanya terjebak pada pilihan pada salah satu di antara keduanya. Dilengkapi dengan basis argumen yang tentu saja ilmiah. Menurut Giddens, mengkritik fungsionalisme Talcott Parsons dan strukturalisme, pilihan bukan pada salah satu di antara keduanya, juga bukan keduanya. Melainkan pada hubungan antara keduanya. Hubungan antara keduanya ditahtakan dalam watak dualitas, bukan dualistik (bukan dualisme). Singkat cerita, teori inilah yang kemudian kita kenal dengan nama Teori Strukturasi. Apa hubungannya dengan buku yang tengah Anda baca ini? Para ilmuwan hukum kita dan di kebanyakan negara lain, ternyata tidak juga bisa membebaskan diri dari dilema dikotomik pra-Giddens itu. Baik fungsionalisme maupun strukturalisme punya kecenderungan menafikan peran Subjek di dalamnya. Pelaku bertindak sebagai otomaton semata. Seolah tak ada sedikit pun ruang kreativitas bagi Subjek untuk minimal menyadari keterpenjaraannya. Sebentuk determinisme ala Spinoza. Namun, Spinoza sendiri pun bahkan mengakui bahwa kesadaran akan determinisme itu sendirilah kebebasan itu. Spinoza sang determinis toh tetap menyadari adanya peluang Subjek untuk tahu bahwa ia tahu. Dan itulah peretasan diri dari kesadaran palsu. Buku ini tidak masuk dalam perdebatan epistemologis seperti itu. Ia hadir dengan asumsi bahwa peran subjek memang penting dan tidak bisa tidak dalam sistem dan struktur. Bahkan sistem dan struktur itu sendiri kehilangan maknanya tanpa ada pelaku atau Subjek. Seperti kata Giddens, tidak ada struktur tanpa pelaku, demikian juga tidak ada tindakan tanpa struktur. Buku ini mengkaji salah satu lembaga penting (subjek institusional) yang berisikan para pelaku (subjek personal) yaitu Komisi Yudisial. Komisi ini merupakan sebuah institusi yang sangat penting keberadaannya dalam reformasi hukum dan penegakan keadilan di sebuah Negara. Mengapa? Karena, dengan keyakinan akan kebenaran asumsi di atas, orang-orang yang duduk di dalamnya-lah yang akan menentukan aturan main bagi terpilihnya para pendekar hukum di meja hijau di mana keadilan dipertaruhkan pada tahap akhirnya (dari segi proses legal). Berbicara tentang institusi penegak hukum lainnya yaitu Mahkamah Agung tanpa Komisi Yudisial tidak bisa lari jauh dari retorika reformasi hukum yang ompong. Karena para penentu subjek yang duduk di dalam lembaga itu tetap saja berada di bawah pengaruh besar Negara dan kekuasaannya. Sementara, Komisi Yudisial, kendati tidak bisa menafikan sama sekali peran kekuasaan politik Negara, ia bisa meminimalisir kemungkinan itu. Untuk lebih jelasnya bagaimana lembaga ini bekerja, apa sumbangan khasnya dalam reformasi hukum dan penegakan keadilan, dan bagaimana kemungkinan penerapannya di Indonesia, kami persilahkan para pembaca terhormat untuk menyimaknya. Selamat membaca. Lectori salutem! (ERT Elsam)

PENGANTAR PENULIS Saya merasa bersyukur yang sedalam-dalamnya ke hadirat Allah SWT atas selesainya karya ini. Hanya dengan pertolongan dan petunjuk-Nya sajalah, karya ini dapat saya selesaikan. Oleh karena itu, segala puji saya panjatkan tiada henti kepada-Nya, Yang Maha Segalagalanya. Berkaitan dengan topik buku ini, saya memang mempunyai ketertarikan tersendiri dengan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman dalam struktur ketatanegaraan, karena lembaga ini, khususnya di negara-negara yang belum mempunyai kultur demokrasi yang mapan, selalu menjadi target intervensi kekuasaan lain di luarnya, baik kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, maupun masyarakat sendiri. Akibatnya, kekuasaan kehakiman tidak dapat mengimplementasikan gagasan independent and impartial judiciary dengan sebaik-baiknya. Di Indonesia, gagasan tersebut untuk sementara masih dapat dikatakan sebagai wishful thinking belaka, bahkan setelah enam tahun terjadinya reformasi di segala bidang termasuk reformasi peradilan sekalipun. Salah satu lembaga yang dianggap sebagai penopang gagasan independent and impartial judiciary adalah Komisi Yudisial yang merupakan trend baru menjelang pertengahan abad ke-20 di bidang kekuasaan kehakiman. Di Indonesia, Komisi Yudisial ditetapkan secara konstitusional pada tanggal 9 November 2001 setelah Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 mengaturnya secara eksplisit. Ditetapkannya Komisi Yudisial bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi secara umum dimaksudkan untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai salah satu perwujudan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dengan segala keterbatasannya, buku yang ada di tangan pembaca ini berusaha untuk memetakan kompleksitas permasalahan seputar Komisi Yudisial, sebuah lembaga yang masih terdengar asing di Indonesia. Materi buku ini berasal dari naskah Tesis Magister (S-2) Program Pascasarjana Universitas Indonesia di bawah bimbingan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Atas terselesaikannya karya ini, saya ingin menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang selama ini telah ikut membantu dalam proses penyelesaian penelitian tesis yang kemudian menjadi buku ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya saya haturkan kepada: (1) Prof. Dr. Moh. Mahfud M.D., S.H., S.U., (2) Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., (3) Prof. Dr. Dahlan Thaib, S.H., M.Si., (4) Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H., (5) Safri Nugraha, S.H., LL.M., Ph.D., (6) Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H. (7) Indradi Kusuma, S.H., (8) Drs. Munthoha, S.H., M.Ag., (9) Saifuddin, S.H., M.Hum., (10) Muh. Kadar, S.H., M.H., (11) Novianto Murti Hantoro, S.H., M.H., (12) Mujahid A. Latief, S.H., M.H., (13) Imam Syaukani, S.Ag., M.H., dan (14) Abdul Razak Asri, S.H. Kepada teman-teman seperti Bang Rizal, Mama Kesti, Ilham, Mbak Ani, Pak Made, Oting, Fitra, Mustafa, Mbak Nadiyah, Bang Sony, Henny, Bang Sam Jack, Ade, Pak Akhiar, Lina, Mbak Kiki, Mas Arief, Teh Atti, Teh Dewi, Pak Heintje, Jodi, Maryam, Anggi, Siddiq, Pak Rambe, Mujahid, dan Babe Dailami, saya menyampaikan terima kasih atas suasana kekeluargaan yang dihadirkan selama ini. Selain itu, terima kasih juga saya sampaikan kepada Lola Fatmasari Dewi, S.H., M.H. sebuah nama terindah yang selalu mendukung saya, memberikan pertimbangan-pertimbangan, dan diskusi yang intensif, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.

Last but not least, saya juga wajib menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda Umar Ali Mahsun dan Ibunda Nimah yang selalu memberikan bantuan baik materiil maupun moril yang tidak terhingga, memberikan dorongan kuat agar saya segera menyelesaikan studi, yang selalu ihlas, dan selalu mendoakan keberhasilan saya. Juga kepada Kakanda A.M. Fikri, Adinda Rifa Muflihah, dan Adinda Ulfa Fauziyyah yang telah memberikan dukungan baik materiil maupun moril, sehingga saya dapat menyelesaikan perkuliahan dan penelitian dengan baik, saya menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya. Saya juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) yang bersedia menerbitkan naskah penelitian tesis ini. Buku ini tidak akan hadir dalam bentuknya seperti ini tanpa ada bantuan dari nama-nama tersebut. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan yang setimpal. Harapan saya adalah semoga karya ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu hukum. Karya ini tentu banyak mengalami kekurangan-kekurangan baik secara metodologis maupun substantif. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat saya tunggu demi perbaikan buku ini di masa yang akan datang.

Jakarta, Agustus 2004 A. Ahsin Thohari

KATA PENGANTAR Buku yang ditulis oleh Saudara A. Ahsin Thohari ini berasal dari tesis S2-nya yang saya bimbing di Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Topik penelitian yang dipilihnya tergolong sebagai topik aktual dalam diskursus hukum tata negara Indonesia, yaitu Komisi Yudisial. Lembaga ini baru dikenal dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia setelah ditetapkannya Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 9 November 2001. Dengan demikian, penelitian terhadapnya memang sangat diperlukan, khususnya dari aspek hukum tata negara. Maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan dengan sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun dari segi etika. Untuk itu, diperlukan institusi pengawasan yang independen terhadap para hakim itu sendiri. Karena itu, institusi pengawasan itu dibentuk di luar struktur Mahkamah Agung, melalui mana aspirasi warga masyarakat di luar struktur resmi dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan para hakim agung serta dilibatkan pula dalam proses penilaian terhadap etika kerja dan kemungkinan pemberhentian para hakim karena pelanggaran terhadap etika itu. Pengertian independensi di sini haruslah dipahami dalam arti bebas dari intervensi kepentingan para hakim yang kewibawaannya sendiri perlu dijaga oleh Komisi Yudisial ini. Dalam konteks inilah keberadaan Komisi Yudisial juga dikaitkan dengan fungsi pengawasan yang bersifat eksternal terhadap kekuasaan kehakiman. Keberadaan lembaga pengawas eksternal ini penting agar proses pengawasan dapat benar-benar bertindak objektif untuk kepentingan pengembangan sistem peradilan yang bersih, efektif dan efisien. Agar Komisi Yudisial ini dapat benar-benar bersifat independen, maka administrasi komisi ini sebaiknya tidak dikaitkan dengan organisasi Mahkamah Agung. Harus diingat, orang sering salah kaprah seolah-olah independensi selalu harus diartikan berjarak terhadap pemerintah. Padahal, dalam kaitannya dengan fungsi Komisi Yudisial, lembaga ini harus berjarak terutama terhadap Mahkamah Agung yang harus diawasinya, bukan terhadap lembaga lain. Demikian pula mengenai anggaran Komisi Yudisial sebaiknya tidak i

dimasukkan dalam satu pos anggaran Mahkamah Agung, tetapi dalam pos anggaran Komisi Yudisial sendiri. Sebagai lembaga baru yang belum ada presedennya, formulasi terhadap Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia sampai saat ini masih berada pada tahap trial and error. Oleh karena itu, saya menyambut baik usaha Saudara A. Ahsin Thohari menerbitkan naskah tesis S-2-nya yang diharapkan dapat memetakan beberapa persolan yang berkaitan dengan susunan dan kedudukan Komisi Yudisial serta pelembagaannya dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Demikianlah, mudah-mudahan usaha penerbitan buku ini dapat memenuhi tujuannya. Amin. Jakarta, Agustus 2004

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Gagasan Reformasi Peradilan di Indonesia Struktur ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Pertama,1 Kedua,2 Ketiga,3 dan Keempat4 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 berubah secara signifikan, bahkan dalam batas tertentu sangat radikal. Perubahan ini meliputi semua cabang kekuasaan baik kekuasaan legislatif (legislative power/pembuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (executive power/pelaksana undang-undang) maupun kekuasaan yudikatif (judicial power/kekuasaan kehakiman).5 Tujuan Perubahan UUD 1945 tersebut adalah menyempurnakan atau melengkapi aturan dasar sebelumnya (UUD 1945 pra-amendemen) yang dirasakan masih jauh dari sempurna.6

Perubahan Pertama ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2002, hlm. 25-27. Dasar pemikiran yang melatarbelakangi dilakukannya perubahan UUD 1945 adalah (1) UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang sepenuhnya melakukan kedaulatan rakyat; (2) UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden); (3) UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu luwes, sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir); (4) UUD 1945 terlalu banyak memberikan kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang; dan (5) rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia (HAM), dan otonomi daerah. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003, hlm. 11-14. 2 Perubahan Kedua ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar..., op. cit., hlm. 31-37. 3 Perubahan Ketiga ditetapkan pada tanggal 9 November 2001. Ibid., hlm. 41-48. 4 Perubahan Keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Ibid., hlm. 51-56. 5 Dalam bahasa Jimly Asshiddiqie, dengan empat kali perubahan tersebut, pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam UUD 1945 mengalami pergeseran dan perubahan mendasar, sehingga mengubah pula corak dan format kelembagaan serta mekanisme hubungan antara lembaga-lembaga negara yang ada. Ada organ negara yang dihapuskan dari ketentuan UUD 1945, yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA), tetapi ada juga organ negara yang sebelumnya tidak ada, justru diadakan menurut ketentuan UUD 1945 yang baru, seperti Mahkamah Konstitusi (MK), sebagai organ konstitusional baru yang sederajat kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Lihat Kata Pengantar Jimly Asshiddiqie dalam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jendral MK RI, hlm. ii. 6 Tujuan yang ingin dicapai dengan dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945 adalah menyempurnakan atau melengkapi aturan dasar (UUD 1945) yang berkenaan dengan 7 (tujuh) hal penting, yaitu (1) tatanan negara agar dapat lebih mantap dalam mencapai tujuan nasional; (2) jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi; (3) jaminan dan perlindungan HAM agar sesuai dengan perkembangan paham HAM dan peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat suatu negara hukum; (4) penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern; (5) jaminan konstitusional; (6) penyelenggaraan negara yang sangat penting bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum; dan (7) kehidupan bernegara

Pada cabang kekuasaan kehakiman, terdapat empat perubahan penting. Pertama, apabila sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945 jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka hanya terdapat dalam Penjelasannya, maka setelah perubahan jaminan tersebut secara eksplisit disebutkan dalam batang tubuh. Kedua, Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman tidak lagi menjadi satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman (judicial power), karena di sampingnya ada Mahkamah Konstitusi yang juga berfungsi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Ketiga, adanya lembaga baru yang bersifat mandiri dalam struktur kekuasaan kehakiman, yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keempat, adanya wewenang kekuasaan kehakiman dalam hal ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemiliham umum (pemilu).7 Tabel 1.1 di bawah ini akan lebih memperjelas empat perubahan yang terjadi dalam cabang kekuasaan kehakiman setelah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Tabel 1.1. Empat Perubahan dalam Cabang Kekuasaan Kehakiman setelah Perubahan Ketiga UUD 1945 No.
1.

Sebelum Perubahan UUD 1945


Jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka hanya terdapat di dalam Penjelasan UUD 1945. Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menjadi satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman (judicial power).

Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945


Jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka terdapat di dalam Batang Tubuh UUD 1945. Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman tidak lagi menjadi satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman (judicial power), karena di sampingnya ada Mahkamah Konstitusi yang juga berfungsi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman.

2.

dan berbangsa sesuai perkembangan aspirasi, kebutuhan, dan kepentigan bangsa dan negara Indonesia. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan..., op. cit., hlm. 15-17. 7 Perubahan Ketiga UUD 1945 yang melahirkan dua lembaga baru dalam kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, secara umum dimaksudkan untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai salah satu perwujudan ketentuan UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan..., op. cit., hlm. 190-191. Keberadaan Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan Mahkamah Agung. Jimly Asshiddiqie, Perspektif tentang Format Kelembagaan dan Peraturan Republik Indonesia di Masa Depan, Makalah disampaikan dalam Lokakarya Program Legislasi Nasional, yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional bekerja sama dengan Universitas Taruma Negara, Jakarta, 29 Juli 2002, hlm. 5; Jimly Asshiddiqie, Refleksi tentang Konsepsi dan Format Ketatanegaraan Republik Indonesia Pascareformasi, Makalah disampaikan dalam Pidatao Ketatanegaraan di Hadapan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Tokoh-tokoh Masyarakat dan LSM Se-Kabupaten Kendal, Kendal, 8 Nopember 2002, hlm. 15.

3.

Selain Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman tidak ada lembaga lain dalam struktur kekuasaan kehakiman (judicial power).

Adanya lembaga baru yang bersifat mandiri dalam struktur kekuasaan kehakiman, yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Adanya wewenang kekuasaan kehakiman dalam hal ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemiliham umum (pemilu).

4.

UUD tidak mengatur wewenang kekuasaan kehakiman untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemiliham umum (pemilu).

Gagasan yang terdapat dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman setelah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 menjadi jauh lebih kompleks daripada gagasan Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman sebelum terjadinya perubahan terhadap UndangUndang Dasar 1945. Hal ini bukan saja ditunjukkan oleh membengkaknya jumlah pasal dari dua pasal dan dua ayat menjadi lima pasal dan delapan belas ayat , tetapi juga ditunjukkan oleh adanya dua lembaga baru di dalam struktur cabang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.8 Tabel 1.2 di bawah ini akan lebih memperjelas perbandingan antara beberapa ketentuan yang mengatur cabang kekuasaan kehakiman sebelum dan setelah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Tabel 1.2. Perbandingan Pasal-pasal Mengenai Cabang Kekuasaan Kehakiman Sebelum dan Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945

No.

Bab IX Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

Bab IX Kekuasaan Kehakiman Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945

Perubahan Ketiga UUD 1945 mencakup 8 (delapan) materi pokok, yakni (1) Bab tentang Bentuk dan Kedaulatan; (2) Bab tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat; (3) Bab tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara; (4) Bab tentang Dewan Perwakilan Daerah; (5) Bab tentang Pemilihan Umum; (6) Bab tentang Keuangan; (7) Bab tentang Badan Pemeriksa Keuangan; dan (8) Bab tentang Kekuasaan Kehakiman. Arah yang dituju adalah untuk menyempurnakan pelaksanaan kedaulatan rakyat, menyesuaikan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), mengatur pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, mengatur impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden, membentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD); mengatur pemilihan umum; meneguhkan kedudukan dan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); serta meneguhkan kekuasaan kehakiman dengan membentuk Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan..., op. cit., hlm. 143.

1.

Pasal 24 ayat (1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undangundang.

Pasal 24 ayat (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 24 ayat (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal 24 ayat (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Pasal 24A ayat (1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Pasal 24A ayat (2)

2.

Pasal 24 ayat (2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undangundang.

3.

Pasal 25 Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.

4.

Penjelasan Pasal 24 dan 25 Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.

5. -

Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Pasal 24A ayat (3) Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Pasal 24A ayat (4)

6.

7. -

Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung. Pasal 24A ayat (5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta

8.

badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang. Pasal 24B ayat (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pasal 24B ayat (2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Pasal 24B ayat (3)

9.

10.

11. -

Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 24B ayat (4)

12. -

Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undangundang. Pasal 24C ayat (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pasal 24C ayat (2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Pasal 24C ayat (3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi

13.

14.

15.

yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Pasal 24C ayat (4)

16. -

Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. Pasal 24C ayat (5) Hakim Mahkamah Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Pasal 24C ayat (6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang. Pasal 25

17.

18.

19. -

Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.

Yang menjadi perhatian utama penelitian ini adalah amanat Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 tentang pembentukan lembaga yang bernama Komisi Yudisial9. Dalam Pasal tersebut, Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keberadaan Komisi Yudisial menjadi penting dalam upaya pembaruan penradilan, termasuk di dalamnya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keberadaan Komisi Yudisial ini di

Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 hadir karena didasari pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan. Apalagi hakim agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi dalam susunan peradilan. Sebagai negara hukum, masalah kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku seluruh hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham Indonesia adalah negara hukum. Melalui lembaga Komisi Yudisial ini, diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan melalui putusan hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya. Ibid., hlm. 195.

masa yang akan datang diharapkan dapat menjadi salah satu mitra kerja Mahkamah Agung untuk terus melakukan upaya-upaya dalam rangka pembaruan badan peradilan.10 Apabila dilihat dari wewenang Komisi Yudisial yang diatur dalam Pasal 24B ayat (1), yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, maka dapat disimpulkan bahwa selama ini ada dua persoalan mendasar yang mengakibatkan kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak terealisasikan dengan baik, yaitu buruknya perekrutan hakim agung dan kurang atau tidak efektifnya lembaga yang mempunyai tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat diwujudkan, salah satunya apabila sumber daya manusia hakim agung yang mempunyai kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum sebagaimana disebutkan Pasal 24A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dapat direkrut. Artinya, sistem perekrutan yang tersedia harus menjamin terekrutnya pribadi-pribadi terbaik yang mempunyai kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Oleh karena itu, sistem perekrutan yang baik harus dibuat, yaitu sistem perekrutan yang dilakukan oleh pihak yang netral, mempunyai kompetensi, dijalankan secara transparan, adanya pengawasan secara efektif dalam proses perekrutan, dan adanya standar yang tepat.11 Dari sini, kemudian muncul pertanyaan siapakah pihak yang dianggap tepat untuk melakukan perekrutan hakim, khususnya hakim agung. Apakah perekrutan hakim, khususnya hakim agung, tidak boleh melibatkan pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman. Apakah kekuasaan pemerintah diperbolehkan ikut terlibat dalam proses perekrutan hakim (agung). Apabila diperbolehkan, apakah hal ini tidak dikhawatirkan akan menjadi pintu masuk bagi kekuasaan pemerintah untuk melakukan hegemoni dan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman. Ketentuan-ketentuan internasional yang berkaitan dengan gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka (independent judiciary) tidak melarang adanya peran pihak eksekutif (pemerintah) dalam perekrutan hakim (agung) dengan syarat-syarat tertentu. Angka 3 huruf a International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence mengatakan sebagai berikut:
Participation in judicial appoinments and promotions by the Executive or Legislature is not inconsistence with judicial independence, provided that appoinments and promotions of judges

Lihat Kata Pengantar Bagir Manan dalam Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, naskah belum diterbitkan, Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2003, hlm. 1. 11 Dalam hal yang berkaitan dengan perekrutan hakim ini, angka 11 tentang pengangkatan hakim yang terdapat dalam rumusan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region mengatakan, To enable the judiciary to achieve its objectives and perform its functions, it is essential that judges be chosen on the basis of proven competence, integrity and independence. Sedangkan Angka 12 mengatakan, The mode of appoinment of judges must be such as will ensure the appoinment of persons who are best qualified for judicial office. It must provide safeguards against improper influences being taken into account so that only persons or competence, integrity and independence are appointed. Law Asia Region, Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region, as Amended at Manila, 28 August 1997.

10

are vested in a judicial body, in which members of judiciary and the legal profession form a majority.12

Sedangkan Angka 3 Huruf b International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence mengatakan sebagai berikut:
Appoinments and promotions by a non-judicial body will not be considered inconsistent with judicial independence in countries where by long historic and democratic tradition, judicial appoinments and promotion operate satisfactorily.13

Dengan demikian, International Bar Association Code of Minimum Standadrs of Judicial Independence tidak menganggap adanya hal yang dapat mempengaruhi kemerdekaan kekuasaan kehakiman apabila pihak kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif ikut berpartisipasi dalam hal pengangkatan dan promosi hakim asal saja hak untuk melakukan pengangkatan dan promosi hakim ini terletak pada badan kehakiman (judicial body), yang keanggotaannya terdiri dari mayoritas para hakim dan para profesional di bidang hukum. Demikian juga, pengangkatan dan promosi hakim oleh lembaga-lembaga non-yudisial juga tidak dianggap sebagai hal yang dapat mempengaruhi kemerdekaan kekuasaan kehakiman di negara-negara yang telah mempunyai sejarah dan tradisi demokrasi yang panjang dan pengangkatan dan promosi hakim yang ada telah berlangsung dengan memuaskan. Sementara itu, Universal Declaration on the Independence of Justice menegaskan sebagai berikut:
When the statute of a court provides that judges shall be appointed on the recommendation of a government, such appoinment shall not be made in circumstances in which that government may subsequently exert any influence upon the judge.14

Deklarasi Universal tentang Kemerdekaan (Kekuasaan) Kehakiman ini pada prinsipnya tidak melarang adanya keterlibatan pihak kekuasaan pemerintah dalam proses perekrutan hakim. Akan tetapi, hal ini harus dilakukan dengan catatan yang sangat penting, yaitu apabila perundang-undangan tentang lembaga peradilan menetapkan bahwa para hakim harus diangkat atas rekomendasi atau usulan dari pemerintah, maka pengangkatan ini tidak boleh dilakukan dalam keadaan dimana pemerintah dapat menggunakan pengaruhnya untuk mempengaruhi hakim. Salah satu ketentuan internasional yang memberikan apresiasi terhadap kehadiran Komisi Yudisial dalam proses perekrutan hakim adalah :Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region. Angka 15 ketentuan tersebut menyatakan sebagai berikut:

International Bar Association, International Bar Association Code of Minimum Standars of Judicial Independence, The Jerussalem Approved Standards as adpted in the Plenary Session of the 19th IBA Biennial Conference held on Friday, 22nd October 1982, in New Delhi India, Angka 3 Huruf b. 13 Ibid. 14 International Judge, Universal Declaration on the Independence of Justice, unanimously adopted at the final plenary session of the First World Conference on the Independence of Justice held at Montreal, Quebec, Canada on June 10th 1983, Angka 1.13.

12

In some societies, the appoinment of judges, by, with the consent of, or after consultation with Judicial Service Commission has been seen as a means of ensuring that those chosen as judges are appropriate for the purpose. Where a Judicial Service Commission is adopted, it should include representatives of the higher Judiciary and the independent legal profession as a means of ensuring that judicial competence, integrity and independence are maintained.15

Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region menggarisbawahi bahwa di dalam masyarakat yang mengenal Judicial Service Commission, pengangkatan hakim-hakim oleh, dengan persetujuan, atau setelah berkonsultasi terlebih dahulu dengan Judicial Service Commission dianggap sebagai mekanisme untuk menjamin bahwa hakim-hakim yang terpilih adalah hakim-hakim yang pantas atau sesuai untuk tujuan-tujuan yang akan dicapai. Selain itu, juga ditegaskan bahwa keanggotaan Komisi Yudisial harus diisi oleh orang-orang yang mewakili hakim-hakim tertinggi dan orang-orang yang berprofesi hukum yang independen sebagai instrumen untuk menjamin terpeliharanya kompetensi, integritas, dan independensi kehakiman. Sedangkan untuk masyarakat yang tidak mengenal Judicial Service Commission, Angka 16 Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region menegaskan sebagai berikut: In the absence of a Judicial Service Commission, the procedures for appoinment of judges should be clearly defined and formalised and information about them should be available to the public.16 Dengan demikian, di dalam masyarakat yang tidak mengenal lembaga Judicial Service Commission, tata cara pengangkatan hakim-hakim harus ditentukan dan disusun dengan jelas dan informasi tentang hal itu harus tersedia bagi masyarakat luas. Sedangkan promosi hakimhakim harus didasarkan pada penilaian yang objektif terhadap faktor-faktor seperti kompetensi, integritas, independensi, dan pengalamannya. Tentang hal ini, Angka 17 Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region menyatakan, Promotion of judges must be based on an objective assessment of factors such as competence, integrity, independence and experience.17 Beberapa ketentuan di atas, memang tidak melarang adanya peran pihak eksekutif dalam proses perekrutan hakim-hakim yang dibutuhkan dalam suatu negara. Akan tetapi, seluruh ketentuan internasional yang telah disebut di atas lebih merekomendasikan pemberian kekuasaan perekrutan hakim-hakim pada lembaga independen atau pada lembaga peradilan itu sendiri. Hal yang relatif hampir sama berlaku pula dalam hal pengawasan, pendisiplinan, mutasi dan promosi.18 Objek utama penelitian ini adalah lembaga yang di Indonesia dikenal dengan nama Komisi Yudisial.19 Dewasa ini diskursus tentang Komisi Yudisial di berbagai belahan dunia
Law Asia Region, op. cit., Angka 15. Ibid., Angka 16. 17 Ibid., Angka 17. 18 Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Position Paper: Menuju Independensi Peradilan, Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law [ICEL] dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan [LeIP], 1999, hlm. 39. 19 Di Indonesia, penyebutan istilah Komisi Yudisial dimulai pada saat ditetapkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004. Republik Indonesia, Undang-undang tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004, UU No. 25 Tahun
16 15

masih sangat aktual, karena Komisi Yudisial merupakan kecenderungan (trend) yang terjadi di abad ke-20 sebagai bagian dari paket reformasi peradilan.20 Terdapat beberapa asumsi dasar yang dapat diajukan sebagai argumen utama bagi sebab wujudnya (raison detre) Komisi Yudisial di dalam suatu negara hukum21 baik dalam tradisi Rechtsstaat maupun Rule of Law, yaitu pertama, Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsurunsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja22; kedua, Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apa pun juga khususnya kekuasaan pemerintah;23 ketiga, dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal, baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring hakim agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman;24 keempat, terjaganya konsistensi

2000, LN No. 206 Tahun 2000. Komisi Yudisial mendapatkan pengakuan konstitusional setelah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001 mengaturnya dalam Pasal 24B. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara..., op. cit., hlm. 47 dan 72. 20 Paket reformasi di bidang peradilan berkaitan dengan struktur dan administrasi lembaga peradilan. James A. Gazell mengatakan, Reformers have sought to change the structure and administration of state courts for most of the twentieth century. James A. Gazell, The Future of State Court Management, Port Washington, N.Y.: Kennicat Press, 1978, hlm. 5-27. 21 Dalam kepustakaan hukum Indonesia, istilah negara hukum merupakan terjemahan langsung dari istilah Rechtsstaat. Padmo Wahjono, Pembakuan Istilah Hukum, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1975, hlm. 193; O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1970, hlm. 27. 22 Monitoring secara internal dikhawatirkan menimbulkan semangat korps (lesprit de corps), sehingga objektivitasnya sangat diragukan. Hal ini menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas pengembangan profesi hukum. Menurut rekomendasi kebijakan reformasi hukum yang pernah dibuat oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas pengembangan profesi hukum adalah (1) tidak berjalannya sistem kontrol dan pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat; (2) organisasi profesi tidak menyediakan sarana dan prosedur yang mudah diakses oleh masyarakat untuk menyampaikan keluhan, sementara dewan-dewan kehormatan yang ada juga tidak tanggap menerima keluhan masyarakat; (3) rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai substansi kode etik profesi hukum akibat buruknya sosialisasi dan pihak profesi itu sendiri; (4) belum terbentuknya budaya dan kesadaran dari para pengemban profesi hukum itu sendiri untuk menjaga martabat luhur dari profesinya; dan (5) tidak adanya kesadaran etis dan moral di antara para pengemban profesi bahwa mentaati keputusan dewan kehormatan profesi merupakan salah satu faktor penting dalam menjaga martabat profesi. Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Kebijakan Reformasi Hukum (Suatu Rekomendasi), Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003, hlm. 164; National Law Commission of the Republic of Indonesia, Law Reform Policies (Recommendations), Jakarta: National Law Commission of the Republic of Indonesia, 2003, hlm. 147. 23 Kemandirian kekuasaan kehakiman akan terancam apabila kekuasaan kehakiman harus mengurus kepentingannya (khususnya yang berkaitan dengan keuangan) sendiri tanpa ada lembaga lain yang berfungsi sebagai mediator, karena di sini terdapat pola hubungan pertanggungjawaban dan subordinated. Dengan kondisi ini, kekuasaan kehakiman akan tersubordinasi dan terkooptasi oleh kekuasaan lain di luarnya. Alasan ini juga yang tampaknya menjadi salah satu landasan pemikiran pembentukan Komisi Yudisial di berbagai negara. 24 Asumsi yang dapat dikemukakan dalam poin ketiga yang menjadi sebab wujudnya Komisi Yudisial ini adalah kekuasaan kehakiman tidak lagi disibukkan dengan tugas-tugas yang bersifat teknis non-hukum seperti rekruitmen dan monitoring hakim agung serta pengelolaan keuangan. Kekuasaan kehakiman dapat mencurahkan seluruh perhatiannya dengan berkonsentrasi pada penyelesaian-penyelesaian perkara hukum yang masuk, sehingga energi kekuasaan kehakiman tidak habis hanya untuk mengurusi persoalan-persoalan teknis non-hukum,

10

putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan selalu memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi Yudisial); dan kelima, dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (judicial power)25 dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan hakim agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik. Dalam konteks Indonesia, kehadiran lembaga yang mempunyai fungsi dan tugas yang kurang lebih sama dengan Komisi Yudisial sudah lama diperjuangkan oleh beberapa orang yang concern terhadap dunia peradilan. Akan tetapi, perjuangan tersebut selalu menemui kegagalan, karena iklim politik pada saat itu belum terlalu kondusif bagi ide-ide progresif seperti itu. Dalam perkembangannya, perjuangan tersebut kemudian mulai mendapatkan titik terang. Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara26 adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi tonggak utama yang memungkinkan diterimanya gagasan-gagasan progresif dalam dunia peradilan. Bab IX huruf c ketetapan MPR tersebut menyatakan perlunya segera diwujudkan pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi eksekutif dan yudikatif. Akhirnya perjuangan tersebut menemui keberhasilan ketika Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 mengakomodasi gagasan tersebut dengan menyebut secara eksplisit istilah Komisi Yudisial. Setelah itu, Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001 menjadi payung konstitusional bagi eksistensi Komisi Yudisial. Terdapat penyebutan yang berbeda-beda di berbagai negara terhadap lembaga yang kurang lebih sama dengan Komisi Yudisial. Di beberapa negara, istilah Komisi Yudisial disebut secara eksplisit di dalam konstitusinya. Meskipun penyebutan lembaga tersebut berbeda-beda di berbagai negara, tetapi lembaga-lembaga tersebut secara substantif kurang lebih mempunyai tugas dan wewenang yang sama dengan lembaga yang di Indonesia disebut dengan Komisi Yudisial. Perbedaan-perbedaan tersebut diakibatkan adanya perbedaan sirkumstansi politik dan sosio-kultural masing-masing negara yang kemudian memberikan warna yang seringkali tidak sama dan bahkan unik di negara yang bersangkutan. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa munculnya lembaga yang di Indonesia dikenal dengan nama Komisi Yudisial merupakan fenomena ketatanegaraan di bidang kekuasaan kehakiman (judicial power) yang relatif baru. Demikian pula di negara-negara lain, sejarah pembentukan Komisi Yudisial belum terlalu lama. Di Eropa, negara yang pertama kali
tetapi dapat digunakan untuk kepentingan-kepentingan lain yang lebih substantif seperti mengadakan upayaupaya untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya dalam memutus suatu perkara. 25 Yang dimaksud dengan kemandirian kekuasaan kehakiman di sini adalah kemandirian dalam segala bentuknya. Menurut B.J. van Heyst, kemandirian kekuasaan kehakiman dapat dibedakan dalam empat bentuk, yaitu (1) constitutional independence, i.e., independence from executive (the separation of power); (2) personal independence, i.e., the independence of individual members of the judiciary based on the safeguards surrounding their tenure of office and removal from office (they are in principle appointed for life and appointed and receive a salary fixed by law); (3) statutory independence, i.e., the statutory scope which judges have for reaching decisions; and (4) substantive independence, the extent to which judges actually feel themeselves free to arrive at a given decision. B.J. van Heyst, The Netherlands, dalam Shimon Shetreet dan Jules Deschenes, eds., Judicial Independence: The Contemporary Debate, Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers: 1985, hlm. 240. 26 Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hasil Sidang Istimewa Tahun 1998, Jakarta: Sekretariat MPR RI, 1998, hlm. 38.

11

membentuk Komisi Yudisial adalah Prancis pada tahun 1946. Setelah itu, Italia juga membentuk Komisi Yudisial pada 1947, Swedia pada 1975, Irlandia pada 1998, Denmark dan Ceko pada 1999, dan Belanda pada 2002. Dengan demikian, Komisi Yudisial belum memiliki tradisi yang lama seperti lembaga-lembaga negara lainnya.27 Oleh karena itu, belum banyak studi tentang Komisi Yudisial yang dilakukan oleh para ahli. Sepanjang pengetahuan peneliti, baru terdapat satu studi yang cukup komprehensif di bidang Komisi Yudisial, yaitu studi yang dilakukan oleh ahli hukum Belanda Wim Voermans. Pada tahun 1999, Voermans melakukan penelitian terhadap Komisi Yudisial yang terdapat di berbagai negara Uni Eropa. Pada mulanya, penelitian Komisi Yudisial yang dilakukan oleh Voermans merupakan permintaan yang datang dari pemerintah Belanda yang berniat untuk membentuk Komisi Yudisial sebagai bagian dari reformasi di bidang kekuasaan kehakiman (judicial power). Hasil studi Voermans tersebut kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul Council for the Judiciary in EU Countries.28 Buku ini banyak mengelaborasi beberapa temuan yang sangat menarik dan mempunyai tingkat orisinalitas yang cukup tinggi. Terdapat beberapa kesimpulan penting yang menarik dari penelitian Voermans. Pertama, Komisi Yudisial di negara-negara Eropa Selatan seperti Prancis,29 Italia,30 Spanyol,31 dan Potugal32 cenderung

Apabila dibandingkan dengan Mahkamah Konstitusi misalnya, maka akan tampak adanya disparitas tradisi yang cukup nyata. Mahkamah Konstitusi sudah mempunyai tradisi yang lebih panjang daripada Komisi Yudisial. Oleh karena itu, sangat wajar studi tentang Mahkamah Konstitusi sudah cukup banyak dan memadai dibandingkan dengan studi tentang Komisi Yudisial. Negara yang dianggap sebagai pelopor dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah Austria pada tahun 1920. Tentang hal ini, lihat misalnya Mary Ann Glendon, Michael Wallace Gordon, dan Christopher Osakwe, Comparative Legal Traditions: Texts, Material and Cases, St. Paul, Minn.: West Publishing Company, 1985, hlm. 70. Sedangkan di Amerika Serikat tradisi judicial review tidak diserahkan pada lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi, tetapi pada lembaga yang telah ada, yaitu Mahkamah Agung. Tradisi judicial review ini dimulai oleh John Marshall dalam kasus Marbury Versus Madison pada tahun 1803. Lihat misalnya Sylvia Snowiss, Judicial Review and the Law of the Constitution, New Haven: Yale University Press, 1990, hlm. 45 dan seterusnya. Dengan kenyataan singkatnya tradisi Komisi Yudisial tersebut, sangat wajar apabila studi atau sekadar wacana tentang Komisi Yudisial belum banyak dilakukan oleh para ahli. Kondisi ini mengakibatkan referensi di bidang Komisi Yudisial masih sangat langka. 28 Wim Voermans, Council for the Judiciary in EU Countries, translated by Pena Language Services, Brussels: TAIEX-Office of the EU Commission, 1999. Buku ini sudah hadir dalam edisi bahasa Indonesia dengan judul Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa, diterjemahkan oleh Adi Nugroho dan M. Zaki Hussein, Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan-LeIP, 2002. 29 Di Prancis, Komisi Yudisial disebut dengan istilah The Conseil Superieur de la Magistrature. Lembaga ini dibentuk sejak tahun 1946 dengan susunan Presiden sebagai Ketua; Menteri Kehakiman sebagai Wakil Ketua; dan 12 anggota diangkat oleh Kepala Negara. Lembaga ini mempunyai wewenang mengangkat, mengawasi kedisiplinan, dan promosi hakim. Ibid., hlm. 12. 30 Di Italia, Komisi Yudisial disebut Consiglio Superiore della Magistratura, atau dalam bahasa inggris: (The Superior Council of the Judiciary). Lembaga ini mempunyai wewenang yang mirip dengan The Conseil Superieur de la Magistrature di Prancis yang juga diketuai oleh Presiden. Anggota lembaga ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, dan 12 anggota yang diangkat oleh dan dari organisasi hakim serta 10 ahli hukum yang dipilih oleh Parlemen. Wewenang lembaga ini adalah mengangkat hakim, promosi, mutasi, pengangkatan petugas peradilan umum, dan pendisiplinan hakim. Ibid. 31 Di Spanyol, Komisi Yudisial disebut El Consejo General del Poder Judicial, atau dalam bahasa inggris: (The General Council of the Judicial Power). Lembaga ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua dan 20 orang anggota yang diangkat oleh Kepala Negara atas rekomendasi Parlemen untuk masa jabatan lima tahun. 12 orang dari anggota tersebut berasal dari lingkungan hakim dan 8 orang dari pengacara atau ahli hukum lainnya. Wewenangnya adalah menyangkut pengangkatan, promosi, mutasi, dan pengawasan melalui inspeksi dan prosedur pendisiplinan hakim. Ibid.

27

12

mempunyai kewenangan yang terbatas, yaitu meliputi rekruitmen, mutasi, promosi, dan pengawasan serta pendisiplinan hakim. Sementara itu, Komisi Yudisial di negara-negara Eropa Barat seperti Swedia,33 Irlandia,34 dan Denmark35 cenderung mempunyai kewenangan yang cukup luas. Selain mempunyai kewenangan yang meliputi rekruitmen, mutasi, promosi, dan pengawasan serta pendisiplinan hakim, Komisi Yudisial di negara-negara tersebut juga mempunyai kewenangan melakukan pengawasan terhadap administrasi pengadilan, keuangan, dan manajemen perkara. Selain itu, juga mempunyai kewenangan yang berkaitan dengan manajemen yang berkaitan dengan infrastruktur hakim seperti perumahan dan pendidikannya.36 Selain buku yang ditulis oleh Wim Voermanss ini, buku yang berkaitan dengan lembaga yang bernama Komisi Yudisial masih sangat kurang. Kalaupun ada masih berupa makalah-makalah yang disampaikan dalam berbagai kesempatan atau artikel di media massa yang pembahasannya masih belum menggambarkan secara utuh sosok Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan khususnya di bidang cabang kekuasaan yudikatif, sehingga masih ada beberapa persoalan yang tersisa dan belum terelaborasi secukupnya. Kecenderungan
Di Portugal, Komisi Yudisial disebut Coselho Superior da Magistratura atau dalam bahasa inggris: (The Higher Council of the Bench). Lembaga ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua dan 16 anggota yang 2 orang di antaranya diangkat oleh Kepala Negara, 7 orang oleh Parlemen, dan 7 orang lainnya oleh dan dari organisasi peradilan. Di Spanyol, Kejaksaan tidak memiliki wakil dalam Komisi Yudisial. Wewenangnya adalah menyangkut promosi dan mutasi hakim. Ibid., hlm. 13. 33 Di Swedia, Komisi Yudisial disebut Dolmstolsverket yang berdiri sejak tahun 1975. Lembaga ini didirikan sebagai sebuah badan administratif independen yang dipimpin oleh seorang direktur jendral. Wewenang eksekutif lembaga ini terletak pada Ketua yang terdiri dari 4 (empat) orang hakim, 2 (dua) orang anggota parlemen, 1 (satu) orang pengacara, 1 (satu) orang wakil serikat pekerja. Wewenangnya meliputi tugas-tugas administratif yang berkaitan dengan perencanaan dan pengalokasian anggaran nasional untuk pengadilan-pengadilan dan fungsi manajerial lain seperti memberikan dukungan kepada pengadilan dalam bidang manajemen personalia, pelatihan, perumahan, komputerisasi (yang meliputi sistem administrasi bisnis, data base yuriprudensi, dll.), dan bertanggung jawab atas laporan pemakaian anggaran. Selain itu, lembaga ini juga mempunyai wewenang menyangkut promosi dan mutasi hakim. Ibid. 34 Di Irlandia, Komisi Yudisial disebut Courts Service yang berdiri sejak 16 April 1998 yang saat ini masih bersifat sementara. Lembaga ini dipimpin oleh Ketua Pejabat Eksekutif, 9 (sembilan) orang anggota lembaga peradilan, Jaksa Agung, 2 (dua) orang pengacara, anggota eselon administratif, dan staf pengadilan lainnya (panitera dan staf lainnya), 1 (satu) orang jaksa, 1 (satu) orang anggota yang mewakili kepentingan para pengguna jasa pengadilan, dan 1 (satu) orang anggota yang ditunjuk oleh perserikatan hakim dan ahli hukum. Wewenangnya meliputi bidang administrasi dan manajemen pengadilan, termasuk pendistribusian anggaran, pengawasan atas pengeluaran anggaran oleh pengadilan-pengadilan, pengadaan staf pendukung bagi hakim, hubungan eksternal (termasuk informasi publik), tanggung jawab perumahan, pemeliharaan infrastruktur pengadilan, program pelatihan, penyediaan informasi dan bertanggung jawab mengenai data yang berhubungan dengan proses pengadilan, merumuskan laporan tahunan serta rencana kebijakan strategis dan memberi nasihat kepada Menteri Kehakiman mengenai masalah yang berkaitan dengan lembaga peradilan. Ibid., hlm. 14. 35 Di Denmark, Komisi Yudisial disebut dengan Domstolsstyrelsen yang berdiri sejak 26 Juni 1999, dan saat ini masih bersifat sementara. Lembaga ini dipimpin oleh seorang direktur dan sebuah kepengurusan dengan anggota yang berjumlah lima (5) orang dari tingkatan pengadilan yang berbeda, dua (2) orang anggota dari kalangan staf pengadilan, dua (2) orang dari departemen pendukung, satu (1) orang pengacara, dan dua (2) orang yang mempunyai keahlian di bidang manajemen. Lembaga ini, selain membantu The Juridical Appointments Council (suatu lembaga yang terpisah), juga mempunyai wewenang dalam bidang penganggaran, menyusun rencana kebijakan strategis yang berkaitan dengan pengadilan, pendistribusian anggaran kepada pengadilan-pengadiloan, memeriksa pengeluaran, menyusun laporan tahunan, dan wewenang umum lainnya dalam bidang pengelolaan pengadilan. Ibid., hlm. 14-15. 36 Ibid., hlm. 10.
32

13

langkanya penelitian tentang Komisi Yudisial semakin nyata apabila diarahkan ke Indonesia. Di Indonesia, penelitian tentang Komisi Yudisial masih sebatas berbentuk makalah yang disampaikan di berbagai seminar dan artikel berbagai media massa. Hal ini dapat dimengerti mengingat Komisi Yudisial merupakan fenomena ketatanegaraan di bidang kekuasaan kehakiman yang relatif baru. Berdasarkan uraian di atas, terdapat tiga hal yang menjadi titik berat perhatian dan karenanya menjadi masalah yang signifikan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Studi mengenai Komisi Yudisial belum banyak dilakukan oleh para ahli baik asing maupun domestik, padahal Komisi Yudisial mempunyai peran yang sangat penting (significant role) dalam rangka menciptakan efisiensi dan efektivitas kemandirian kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan-kekuasaan lain di luarnya, seperti kekuasaan eksekutif, legislatif, politik, ekonomi atau masyarakat lainnya. Dengan adanya Komisi Yudisial, beberapa persoalan teknis kekuasaan kehakiman yang semula sangat birokratis karena melibatkan banyak institusi seperti Departemen Kehakiman, Parlemen, Presiden, dan Mahkamah Agung dapat diputus mata rantainya, sehingga peluang terjadinya pengaruh-pengaruh tertentu terhadap kemandiriannya dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi. 2. Studi yang telah dilakukan oleh Wim Voermans yang kemudian diterbitkan dengan judul Council for the Judiciary in EU Countries lebih merupakan studi perbandingan yang bersifat deskriptif-normatif. Oleh karena itu, studi tersebut hanya memberikan gambaran umum mengenai Komisi Yudisial di enam negara Uni Eropa yang diteliti, yakni Swedia, Republik Irlandia, Denmark, Prancis, Italia, dan Ceko yang terdapat dalam hukum positif masing-masing negara. Hal ini dapat dipahami, karena studi Voermans terutama sekali bertujuan untuk memperoleh konsep dan gambaran Komisi Yudisial yang dianggap ideal dan kemudian diterapkan di Belanda dengan mempelajari kelemahan dan kelebihan di enam negara tersebut. 3. Studi yang telah dilakukan oleh Wim Voermans masih belum memberikan gambaran umum yang komprehensif tentang trend Komisi Yudisial di dunia karena studi perbandingannya hanya dilakukan di enam negara Uni Eropa sebagai sampelnya. Sedikitnya negara yang diteliti ini mengakibatkan sebagian kesimpulannya patut diverifikasi kembali secara lebih mendalam dengan melibatkan lebih banyak negara yang diteliti. Sebagai contoh, kesimpulannya tentang dikotomi Komisi Yudisial di negara-negara Eropa Selatan dan Eropa Utara. Menurut Wim voermans, Komisi Yudisial di Eropa Selatan seperti Prancis, Italia, Spanyol, dan Potugal cenderung mempunyai kewenangan yang terbatas, sedangkan di Eropa Barat seperti Swedia, Irlandia, dan Denmark cenderung mempunyai kewenangan yang lebih luas.37 Sehubungan dengan uraian latar belakang di atas, penelitian ini akan mengambil tema Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan. Penelitian ini diharapkan mampu memetakan kompleksitas permasalahan Komisi Yudisial dengan mempelajari alasan utama yang menjadi penyebab munculnya Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan suatu negara, peranperan yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam rangka menciptakan kemandirian kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain di luarnya, dan
37

Voermans, op. cit., hlm. 10.

14

kecenderungan-kecenderungan umum pengaturan-pengaturan di berbagai negara yang mempunyai Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraannya, lebih khusus lagi dalam struktur kekuasaan kehakimannya. B. Beberapa Permasalahan Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang masalah di atas, peneliti membuat kesimpulan bahwa studi terhadap Komisi Yudisial yang dilakukan masih sangat langka atau sekurang-kurangnya belum terlalu banyak menjadi perhatian para ahli hukum khususnya yang mempunyai perhatian khusus di bidang hukum tata negara. Kelangkaan ini merupakan akibat dari setidaknya dua fakta empiris, yaitu pertama, Komisi Yudisial merupakan fenomena ketatanegaraan yang relatif baru atau sekurang-kurangnya belum mempunyai tradisi kemapanan (establishment), sehingga kehadirannya dalam bentuk yang ideal masih terus berada dalam tingkat pencarian formulasi yang sebaik-baiknya; dan kedua, banyak sekali negara yang sistem ketatanegaraannya tidak atau belum mengenal Komisi Yudisial, karena tugas-tugasnya telah ditangani oleh lembaga-lembaga yang telah dikenal sebelumnya seperti Departemen Kehakiman (dalam hal administrasi dan keuangan), Presiden dengan mempertimbangkan usulan Parlemen (dalam hal pengangkatan), dan Mahkamah Agung (dalam hal menjadi dewan kehormatan apabila terjadi tindakan indisipliner yang dilakukan oleh hakim). Dengan merujuk pada keterangan yang telah dijelaskan di atas, peneliti mengemukakan identifikasi masalah yang diteliti sebagai berikut: 1. Apakah alasan utama yang menjadi penyebab munculnya gagasan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan suatu negara? 2. Apakah peran-peran yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam rangka menciptakan kemandirian kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain di luarnya? 3. Bagaimanakah sebaiknya pelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia? Dengan demikian, penelitian ini membatasi diri pada studi tentang sebab-sebab munculnya gagasan Komisi Yudisial di berbagai negara, peran-peran yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam rangka menciptakan kemandirian kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain di luarnya, dan kecenderungan-kecenderungan umum pengaturan-pengaturan di berbagai negara yang mempunyai lembaga yang kurang lebih mempunyai tugas yang sama dengan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraannya. C. Urgensi Penelitian Beberapa permasalahan tersebut di atas menurut peneliti perlu dan mendesak diteliti dengan maksud untuk: 1. Mengetahui alasan utama yang menjadi penyebab munculnya gagasan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan suatu negara; 2. Mengetahui peran-peran yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam rangka menciptakan kemandirian kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain di luarnya; dan

15

3. Mengetahui kecenderungan-kecenderungan umum pengaturan-pengaturan di berbagai negara yang mempunyai Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraannya. Sehubungan dengan 3 (tiga) hal urgen tersebut, setiap usaha-usaha yang terdapat di dalam penelitian ini selalu diarahkan untuk mengetahui: 1. Alasan utama yang menjadi penyebab munculnya gagasan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan suatu negara; 2. Peran-peran yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam rangka menciptakan kemandirian kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain di luarnya; dan 3. Kecenderungan-kecenderungan umum pengaturan-pengaturan di berbagai negara yang mempunyai Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraannya. Keenam maksud dan tujuan tersebut di atas sangat penting dan mendesak untuk diteliti mengingat Komisi Yudisial merupakan lembaga baru yang belum ada presedennya dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, sehingga proses trial and error tidak dapat dihindarkan lagi dalam pelaksanaannya. Penelitian ini diharapkan mampu memetakan kompleksitas permasalahan Komisi Yudisial dengan mempelajari alasan utama yang menjadi penyebab munculnya Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan suatu negara, peran-peran yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam rangka menciptakan kemandirian kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain di luarnya, dan kecenderungankecenderungan umum pengaturan-pengaturan di berbagai negara yang mempunyai Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraannya.38 D. Perspektif Teori dan Beberapa Terminologi 1. Perspektif Teori a. Reformasi di Bidang Hukum dan Peradilan Sebelum membicarakan reformasi di bidang hukum dan peradilan, peneliti terlebih dahulu akan memaparkan sedikit latar belakang sebelum munculnya gagasan tersebut. Dalam khazanah politik Indonesia, ada sebuah era yang disebut dengan era reformasi. Era reformasi ini dipergunakan untuk merujuk pada masa pasca-berhentinya Jendral (Purn.) Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) pada tanggal 21 Mei 1998. Berhentinya Soeharto antara lain karena protes yang bertubi-tubi dan terus-menerus dari rakyat pada umumnya dan para mahasiswa pada khususnya, di tengah-tengah merosotnya keadaan sosial dan ekonomi.39
Proses trail and error semakin tampak nyata apabila melihat Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, khususnya versi Dewan Perwakilan Rakyat yang dapat dikatakan dibuat secara sederhana, sehingga justru mengecilkan arti keberadaan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Lihat Dewan Perwakilan Rakyat, Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002. 39 Tentang hal ini, lihat misalnya Donald K. Emmerson, ed., Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, bekerja sama dengan The Asia Fondation, 2001, hlm. xi.
38

16

Kemudian, Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik sebagai Presiden untuk menggantikan Soeharto. Selanjutnya, era ini kemudian ditandai dengan pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan. Akan tetapi, Kabinet Reformasi Pembangunan ini tidak berlangsung lama, karena tiga belas bulan kemudian, diselenggarakanlah Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 1999 yang dianggap sebagai salah satu pemilu yang paling demokratis selain Pemilu Tahun 1955.40 Setelah satu setengah tahun berkuasa, Presiden B.J. Habibie harus meletakkan jabatannya, karena pertanggungjawabannya ditolak oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam Sidang Umumnya pada tanggal 19 Oktober 1999.41 MPR kemudian mengangkat Abdurrahman Wahid yang menggantikan B.J. Habibie sebagai Presiden RI42 dan Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden RI.43 Hal ini terjadi setelah diadakan penyempurnaan terhadap Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia44 menjadi Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/1999 tentang Tatacara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.45 Menjelang tahun 1998, kata reformasi tiba-tiba menjadi hangat dibicarakan. Reformasi ekonomi, reformasi struktural, dan reformasi politik menjadi bahan diskursus berbagai kalangan, baik kalangan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), kampus, hingga rakyat jelata. Pada intinya, semua pihak mendambakan reformasi yang segera agar dapat keluar dari himpitan krisis ekonomi pada saat itu.46 Seiring dengan gagasan reformasi total, gagasan tentang perlunya reformasi hukum juga tidak kalah serunya. Pelaksanaan reformasi hukum47 telah mendapatkan landasan yang cukup kuat, karena peraturan perundang-undangan yang mengaturnya adalah Ketetapan MPR, yaitu Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun

Uraian tentang era reformasi ini lebih lanjut dapat diperiksa dalam Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Cet. I, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003, hlm. 57-60. 41 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/1999 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999, Jakarta: Sekretariat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 1999, hlm. 45-50. 42 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia dalam Ibid., hlm. 97-101. 43 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VIII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia dalam Ibid., hlm. 103-107. 44 Departemen Penerangan Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1973, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978, hlm. 47-54. 45 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999, op. cit., hlm. 89-96. 46 Satya Arinanto, Reformasi Hukum, Demokrasi, dan Hak-hak Asasi Manusia, Hukum dan Pembangunan, Nomor 1-3, Tahun XXVIII, Januari-Juni 1998, hlm. 124-125. 47 Menurut Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, bentuk-bentuk reformasi hukum dikelompokkan menjadi 7 (tujuh), yaitu (1) kajian dan forum ilmiah; (2) perancangan peraturan; (3) implementasi peraturan; (4) pelatihan hukum (5) advokasi dan kesadaran masyarakat; (6) lembaga hukum; dan (7) penyusunan rencana. Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Peta Reformasi Hukum di Indonesia 1999-2001: Transisi di Bawah Bayang-bayang Negara, Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2002, hlm. 35.

40

17

1999-200448 yang dapat dikatakan lebih maju daripada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 199349 dan GBHN 1998.50 Reformasi hukum dalam pengertian legal policy secara komprehensif memiliki tolok ukur 10 (sepuluh) butir arahan GBHN sebagimana disebutkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004. Kesepuluh butir arahan tersebut adalah: 1) Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum. 2) Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundangundangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi. 3) Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia. 4) Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk undang-undang. 5) Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan serta pengawasan yang efektif. 6) Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak mana pun. 7) Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional. 8) Menyelenggarkan proses peradilan secara tepat, mudah, murah, dan terbuka, serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan kebenaran. 9) Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan perlindungan, penghormatan, dan penegakan hak asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan. 10) Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas. Beberapa aspek yang ditekankan dalam GBHN Tahun 1999-2004 tersebut antara lain, sebagaimana disebutkan dalam Angka 5, berkaitan dengan peningkatan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum, untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999, op. cit., hlm. 64. 49 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan MPR RI Beserta Susunan Kabinet Pembangunan VI, Semarang: Aneka Ilmu, 1993, hlm. 11-133. 50 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1998, op. cit., hlm. 137-142.
48

18

meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan serta pengawasan yang efektif. Sedangkan Angka 6 menunjukkan adanya tekad untuk mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak mana pun. Selain itu, Angka 8 menunjukkan adanya tekad untuk menyelenggarkan proses peradilan secara tepat, mudah, murah, dan terbuka, serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan tetap menunjang tinggi asas keadilan dan kebenaran. Munculnya tiga ketentuan tersebut dalam sepuluh butir arahan GBHN Tahun 19992004 menunjukkan tiga hal, yaitu pertama, integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum selama ini belum sesuai dengan yang diharapkan; kedua, lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak mana pun belum sepenuhnya terwujud; dan ketiga, proses peradilan secara tepat, mudah, murah, dan terbuka, serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme belum terselenggara. Dalam konteks inilah kehadiran Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia dapat memerankan fungsi-fungsi yang berkaitan dengan pengusulan terhadap caloncalaon hakim (agung) yang mempunyai integritas moral dan keprofesionalan, ikut serta dalam proses-proses menuju peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak mana pun, dan berperan dalam mewujudkan gagasan proses peradilan secara tepat, mudah, murah, dan terbuka, serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme b. Perekrutan Hakim Agung Di berbagai negara, perekrutan hakim agung akan selalu mengundang kekuasaan politik untuk ikut serta di dalamnya. Kekuasaan eksekutif dalam hal ini Presiden dan kekuasaan legislatif dalam hal ini DPR selalu berlomba-lomba untuk ikut terlibat di dalam perekrutan hakim agung agar dapat mendudukkan orang-orang yang dikehendaki sebagai hakim agung yang dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingan politiknya di kemudian hari.51 Besarnya pengaruh kekuasaan politik ini dibuktikan dengan adanya keterkaitan antara kalkulasi politik dari Presiden yang berkuasa dengan penominasian hakim agung. Christopher E. Smith mengatakan, All Supreme Court Nominations are determined by the presidens political calculations.52 Hal tersebut tidak terlepas dari kenyataan bahwa hakim agung mempunyai peran yang sangat besar dalam hal memutuskan perkara-perkara besar yang dihadapinya. Oleh karena itu, seorang hakim agung harus mempunyai beberapa kriteria yang tidak mudah untuk dipenuhi. Kriteria-kriteria ideal secara umum misalnya harus memiliki kemampuan di bidang hukum, pengalaman yang memadai, memiliki integritas, moral dan karakter yang baik, dan seterusnya. Hakim yang memiliki kriteria-kriteria ini tidak akan hadir dalam suatu sistem perekrutan yang

Menurut Christopher E. Smith, Nominations for the high court normally generate the greatest political interest and impact of any judicial nomination. Lebih lanjut Smith mengatakan, Presidents have specific political purposes in mind when they nominate an individual to become a Supreme Court justice. Generally, presidents seek to nominate someone whose political ideology and policy preferences comport with theirs. Christopher E. Smith, Critical Judicial Nominations and Political Change, Westport, Connecticut: Praeger, 1989, hlm. 12. 52 Ibid., hlm. 46.

51

19

buruk. Tidak salah apabila dikatakan bahwa good judges are not born but made. Hal ini bisa dicapai apabila sistem rekruitmen, seleksi, dan pelatihan hakim tersedia secara memadai.53 Untuk mencapai kondisi ideal tersebut di atas, proses rekruitmen hakim agung harus sedapat mungkin dijauhkan dari kepentingan-kepentingan politik, sehingga penilain terhadapnya dapat relatif lebih objektif. Kehadiran Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman dapat menjadi instrumen untuk menjauhkan proses rekruitmen hakim agung dari kepentingan-kepentingan politik yang seringkali distorsif dan mengabaikan prinsip-prinsip meritokrasi (meritocracy). Oleh karena itu, F. Andrew Hanssen mengatakan bahwa sistem perekrutan dan promosi seorang hakim dapat menjadi tolok ukur seberapa jauh sebenarnya kekuasaan kehakiman yang merdeka itu dimplementasikan dalam suatu negara, karena secara teknis sistem perekrutan dan promosi hakim dapat membuka ruang terciptanya intervensi kekuasaan politik di dalamnya.54 Dalam konteks proses perekrutan hakim agung di Indonesia, khususnya sebelum gerakan reformasi, dapat dilihat betapa besarnya peran Presiden. Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,55 wewenang untuk mengangkat seorang hakim agung ada pada Presiden selaku Kepala Negara dari daftar nama yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Daftar nama calon tersebut diajukan oleh DPR kepada Presiden selaku Kepala Negara setelah DPR mendengar pendapat Mahkamah Agung dan Pemerintah (Pasal 8 ayat [2]). Pada masa Orde Baru56 proses perekrutan hakim agung biasanya diawali dengan diadakannya forum antara MA dan Pemerintah yang dikenal dengan sebutan Forum Mahkamah Agung-Departemen Kehakiman (Mahdep) yang merupakan forum konsultasi antara MA dan Departemen untuk salah satunya membicarakan daftar para kandidat hakim agung yang akan diajukan oleh MA dan Pemerintah ke DPR. Biasanya MA mempunyai inisiatif untuk memberikan proposal nama-nama kandidat hakim agung terlebih dahulu kepada Departemen Kehakiman.57 Sebelum sampai pada proses mengajukan proposal nama-nama kandidat hakim agung, Ketua MA biasanya melakukan konsultasi dengan Pimpinan MA lainnya yang meliputi Wakil Ketua MA, dan beberapa orang Ketua Muda MA.58 Meskipun demikian, dalam praktiknya Ketua MA seringkali memegang kontrol yang sangat dominan dalam menentukan nama-nama
Odette Buitendam, Good Judges are Not Born but Made: Recruiment, Selection and the Training of Judges in the Netherlands, dalam Marco Fabri and Philip M. Langbroek, eds., The Challenge of Change for Judicial System, Netherlands: IOS Press, 2000, hlm. 211. 54 F. Andrew Hanssen, The Effect of Judicial Institutions on Uncertainty and the Rate of Litihation: the Election Versus Appoinment of States Judges, The Journal of Legal Studies, Vol. XXVIII, January 1999, hlm. 211. 55 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Agung, UU No. 14 Tahun 1985, LN No. 73 Tahun 1985, TLN No. 3316. 56 Pada umumnya diterima kesepakatan bahwa awal kelahiran Orde Baru adalah pada saat diterimanya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Soekarno oleh Soeharto. BP-7 Pusat, Bahan Penataran P4, UUD 1945, GBHN, Jakarta: BP-7 Pusat, 1990. Orde Baru secara resmi didefinisikan sebagai tatanan kehidupan negara dan bangsa yang diletakkan kembali pelaksanaan kemurnian Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Cet. III, Jakarta: Bumi Aksara, 1990, hlm. 149. Lebih jauh tentang istilah ini, lihat misalnya Herbert Feith dan Lance Castle, eds., Pemikiran Politik Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1988, hlm. xvii-xviii; Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, Cet. I, Jakarta: LP3ES, 1998, hlm. 2002001. 57 Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hlm. 9. 58 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
53

20

calon yang dimasukkan dalam proposal. Daftar nama-nama dari MA ini kemudian dipresentasikan dalam Mahdep yang kemudian diserahkan ke DPR dan diangkat oleh Presiden sebagai hakim agung.59 Proses ini tidak jauh berbeda setelah bergulirnya era reformasi selain adanya uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) yang dilakukan oleh DPR terhadap para calon hakim agung. Kelemahan-kelemahan yang ada dalam proses rekruitmen hakim agung tersebut diasumsikan dapat dieliminasi dengan kehadiran lembaga yang disebut dengan Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman. c. Etika Profesi Hukum Istilah etika dalam Bahasa Indonesia diambil dari ethos (bentuk tunggal) Bahasa Yunani yang berarti tempat tinggal, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat; watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Bentuk jamaknya ta etha yang berarti adat istiadat.60 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).61 Sedangkan Blacks Law Dictionary mengartikan ethics sebagai berikut:
Of or relating to moral action, conduct, motive or character; as, ethical emotion; also, treating of moral feeling, duties or conduct; containing precepts of morality; moral. Professionally right or befitting; conforming to professional standards of conduct.62

Sedangkan definisi profesi secara singkat adalah sebuah sebutan untuk jabatan pekerjaan, di mana orang yang menyandangnya dianggap mempunyai keahlian khusus yang diperoleh melalui training dan pengalaman kerja.63 Terminologi profesi paralel dengan profesionalitas yang dicirikan dengan tiga karakter penting. Pertama, keterkaitan profesi tersebut dengan disiplin ilmu yang dipelajarinya dan karenanya bersifat khusus. Kedua, mempunyai kemampuan merealisasikan teori-teori ilmunya dalam ranah praktis dengan baik. Ketiga, mempunyai banyak pengalaman kerja.64 Sedangkan Blacks Law Dictionary mengartikan profession sebagai berikut: A vocation or occupation requiring special, usually advanced, education, knowledge, and skill; e.g. law or medical professions. Also refer to whole body of such profession.65 Profesi secara umum juga dapat diartikan sebagai pekerjaan yang berwujud karya pelayanan yang dijalankan dengan penguasaan dan penerapan pengetahuan di bidang
Uraian lengkap tentang hal ini lihat misalnya Sebastian Pompe, The Indonesian Supreme Court: Fifty Years of Judicial Development, disertasi doktor, Leiden: Van Vollenhoven Institute for Law and Administration in NonWestern Countries, 1996, hlm. 287-313; Daniel S. Lev, Judicial Institutions and Legal Culture in Indonesia, dalam Claire Holt, ed., Culture Politic in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1972. 60 K. Bertens, Etika, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997, hlm. 4. 61 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I, Ed. III, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, hlm. 309. 62 Henry Campbell Black, Blacks Law Dictionary: Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern, St. Paul, Minn.: West Group, 1991, hlm. 384. 63 E. Soemaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-norma bagi Penegak Hukum, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995, hlm. 32. 64 Ibid., hlm. 33-34. 65 Black, op. cit., hlm. 841.
59

21

keilmuan tertentu, yang pengembangannya dihayati sebagai suatu panggilan hidup, dan pelaksanaannya terikat pada nilai-nilai etika tertentu yang dilandasi semangat pengabdian terhadap sesama manusia, demi kepentingan umum, serta berakar pada penghormatan dan upaya untuk menjunjung tinggi martabat manusia.66 Dengan demikian, etika profesi adalah sikap etis sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam menjalani kehidupan sebagai pengemban profesi. Hanya pengemban profesi sendiri yang dapat atau paling mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban profesi memenuhi tuntutan etika profesinya atau tidak.67 Sejalan dengan pengertian ini, profesi hukum dapat dipahami sebagai profesi yang, melalui penguasaan dan penerapan disiplin ilmu hukum di dalam masyarakat, diemban orang untuk menyelenggarakan dan menegakkan ketertiban yang berkeadilan di dalam masyarakat itu.68 d. Kode Etik Profesi Hakim Norma hukum bukan merupakan institusi sosial (social institution) segala-galanya, karena ternyata di samping norma hukum masih diperlukan norma yang lain, yaitu norma etika-moral dan bahkan norma agama untuk keperluan mengatur, mengendalikan, dan mendorong dinamika kehidupan bersama umat manusia.69 Sebagai warga negara, setiap orang diatur dan terikat pada code of law (kode hukum negara), tetapi pada saat yang sama sebagai warga atau anggota organisasi, perilaku organisasinya diikat oleh Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga atau Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga yang berlaku di lingkungan organisasi tertentu. Hal inilah yang disebut dengan code of conduct atau lebih tepat lagi code of organizational conduct.70 Demikian juga dengan profesi hakim yang memerlukan code of conduct yang mempunyai kekuatan mengikat bagi para anggotanya. Kode etik bagi para hakim diperlukan, karena kode etik merupakan kumpulan asas atau nilai moral71 atau norma dan asas yang diterima oleh kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku.72 Kode etik dianggap penting bagi profesi hukum, karena profesi hukum merupakan suatu masyarakat moral (moral community) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama.73 Kode etik adalah sebuah kompas yang menunjuk arah moral bagi profesional hukum dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi hukum di mata masyarakat. Dengan demikian kode etik profesi hukum merupakan
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi, Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003, hlm. 1. 67 Bernard Arif Sidharta, Etika dan Kode Etik Profesi Hukum, Majalah Ilmu Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Padjadjaran, Jilid V No. 3-4, 1974, sebagaimana dikutip oleh Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 8. 68 Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi, op. cit. 69 Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm 32. 70 Ibid., hlm. 33. 71 E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum: Sebuah Pendekatan Sosio-Religius, Cet. I, Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2001, hlm. 12. 72 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, op. cit., hlm. 578. 73 Paul F. Camenish, Grounding Professional Ethics in a Pluralistic Society, New York: Haven Publication, 1983, hlm. 48.
66

22

pengaturan diri (self regulation) bagi profesional hukum dengan tujuan untuk mencegah terjadinya perilaku tidak etis.74 Profesi hakim harus mempunyai kode etik agar nilai-nilai yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan terinternalisasi pada diri seorang hakim. Nilai-nilai tersebut mencakup beberapa hal sebagai berikut: 1. Hakim dalam menjalankan tugasnya harus bebas, tetapi harus menjunjung tinggi keadilan. 2. Hakim harus menjunjung tinggi nilai-nilai keterbukaan dan menemukan hukum melalui metode interpretasi. 3. Hakim harus selalu mempertanggungjawabkan sikap dan tindakannya baik secara vertikal (kepada Tuhan Yang Maha Esa) maupun secara horisontal (masyarakat). 4. Hakim harus bersedia menerima keberatan yang diajukan oleh pihak yang diadili apabila meragukan objektivitas hakim tersebut.75 Kode etik tersebut harus benar-benar ditegakkan, karena arti penting penegakan kode etik adalah kontrol terhadap pelaksanaan nilai-nilai yang dimuat di dalam kode etik tersebut, sekaligus menindak setiap perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Tujuan dari penegakan ini adalah untuk membuat nilai-nilai luhur yang telah dipandang tepat bagi profesi tersebut, benar-benar dipatuhi dan diterapkan. Penegakan kode etik profesi ini merupakan salah satu cara untuk melestarikan nilai-nilai luhur profesi hukum tersebut, sehingga profesi mulia ini dalam pelaksanaannya tidak akan mengalami degradasi moral dan bahkan apabila diperlukan memperoleh peningkatan kualitas kemuliaan dari profesi tersebut. Hal inilah yang menyebabkan kode etik profesi ini senantiasa harus dievaluasi dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu.76 Harus ada proses kontekstualisasi kode etik dengan dinamika sosio-kultural yang kemudian melahirkan tata nilai. 2. Beberapa Terminologi Untuk mendapatkan kesatuan pemahaman terhadap objek penelitian ini, peneliti perlu menjelaskan terlebih dahulu beberapa istilah yang sangat mungkin dipersepsi secara berbeda, sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kesamaan pemahaman terhadap beberapa pengertian terminologi yang terkandung dalam istilah-istilah atau frase-frase; Komisi Yudisial, Pelembagaan Komisi Yudisial, dan Sistem Ketatanegaraan Indonesia. a. Komisi Yudisial Komisi Yudisial adalah lembaga yang baru dikenal setelah Perubahan Ketiga UndangUndang Dasar 1945 dan termasuk ke dalam struktur kekuasaan kehakiman yang bersifat mandiri. Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, dan
74 75

Kanter, op. cit., hlm. 114. Disarikan dari Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi, op. cit., hlm. 38. 76 Soemaryono, op. cit., hlm. 147.

23

mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Setiap anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.77 Maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan serta keluhuran martabat dan perilaku hakim.78 b. Susunan dan Kedudukan Komisi Yudisial Susunan Komisi Yudisial adalah struktur organisasi Komisi Yudisial yang telah tersusun yang menyangkut sidang paripurna, ketua/wakil ketua, sub-sub komisi, sekretariat jendral, biro-biro dan bagian-bagian.79 Dalam hal ini juga menyangkut fungsi, tugas, kewajiban dan wewenang Komisi Yudisial. Kedudukan Komisi Yudisial adalah kedudukannya dalam struktur ketatanegaraan dan juga tempat kedudukan Komisi Yudisial.80 Dalam konteks ini yang menjadi pertanyaan adalah apakah Komisi Yudisial termasuk dalam kekuasaan kehakiman atau tidak dan apakah Komisi Yudisial termasuk ke dalam alat-alat perlengkapan negara dalam struktur ketatanegaraan atau tidak. c. Pelembagaan Komisi Yudisial Pelembagaan Komisi Yudisial adalah perbuatan melembagakan atau 81 mengorganisasikan Komisi Yudisial yang menyangkut susunan dan kedudukannya dan menyangkut sidang paripurna, ketua/wakil ketua, sub-sub komisi, sekretariat jendral, biro-biro dan bagian-bagian. Selain itu, juga menyangkut fungsi, tugas, kewajiban dan wewenang Komisi Yudisial. d. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Van Vollenhoven adalah seorang pakar hukum yang telah memberikan definisi hukum tata negara secara komprehensif. Menurutnya, hukum tata negara adalah rangkaian peraturanperaturan hukum, yang mendirikan badan-badan sebagai alat (orgaan) suatu negara dengan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, op. cit., hlm. 47 dan 72. 78 Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hlm. 42. 79 Pengertian ini diadaptasi dari pengertian kata susunan dalam Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, op.cit., hlm. 1112. 80 Pengertian ini diadaptasi dari pengertian kata kedudukan dalam Ibid., hlm. 278. 81 Pengertian ini diadaptasi dari pengertian kata lembaga, melembagakan, dan pelembagaan dalam Ibid., hlm. 653-654.
77

24

memberikan wewenang-wewenang kepada badan-badan itu, dan yang membagi-bagi pekerjaan pemerintah kepada banyak alat-alat negara, baik yang tinggi maupun yang rendah kedudukannya.82 Sedangkan sistem ketatanegaraan adalah perangkat unsur ketatanegaraan Indonesia yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas83 yang mencakup beberapa hal sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. Pembentukan jabatan-jabatan dan susunannya. Penunjukan para pejabat. Kewajiban-kewajiban, tugas-tugas yang terikat pada jabatan. Wibawa, wewenang hukum, yang terikat pada jabatan. Lingkungan daerah dan personil, atas mana tugas dan wewenang jabatan itu meliputinya. 6. Hubungan wewenang dari jabatan-jabatan antara satu sama lain. 7. Peralihan jabatan. 8. Hubungan antara jabatan dan pejabat.84 Menurut T. Koopmans, yang termasuk ke dalam hukum tata negara adalah ajaranajaran yang berkenaan dengan beberapa hal sebagai berikut: 1. Kekuatan hukum mengikatnya peraturan perundang-undangan. 2. Pembagian tugas di antara lembaga-lembaga negara. 3. Perlindungan terhadap hak-hak individu.85 Sumber hukum materiil tata negara adalah sumber yang menentukan isi kaidah hukum tata negara yang mencakup dua hal, yaitu pertama, dasar dan pandangan hidup bernegara; dan kedua, kekuatan-kekuatan politik yang berpengaruh pada saat merumuskan kaidah-kaidah hukum tata negara. Sedangkan sumber hukum formil tata negara adalah pertama, hukum perundang-undangan ketatanegaraan; kedua, hukum adat ketatanegaraan; ketiga, hukum kebiasaan ketatanegaraan atau konvensi ketatanegaraan; keempat, yurisprudensi ketatanegaraan; kelima, hukum perjanjian internasional ketatanegaraan; dan keenam, doktrin ketatanegaraan.86 3. Asumsi Dasar

Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia, Cet. VI, Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, 1989, hlm. 8. 83 Pengertian ini diadaptasi dari pengertian kata sistem dalam Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, op.cit., hlm. 1076. 84 J.H.A. Logemann, Het Staatsrecht van Indonesie, Het Formele System, Bandung: Uitg. van Hoeve sGravehage, 1952, hlm. 101 sebagaimana dikutip Widodo Ekatjajana dan Totok Sudaryanto, Sumber Hukum Tata Negara Formal di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 5-6. 85 Sri Soemantri Martosoewignjo, Hukum Tata Negara Mempunyai Warna Nasional, Makalah disampaikan pada peringatan Dies Natalis Ke-43 Fakultas Hukum Universitas Andalas pada tanggal 30 Agustus 1994, hal. 4 sebagaimana dikutip Ibid., hlm. 7. 86 Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, Bandung: CV Armico, 1987, hlm. 14-15.

82

25

Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945 yang ditetapkan pada 9 November 2001 dikenal lembaga yang disebut Komisi Yudisial. Formulasi yang tepat terhadap fungsi, tugas, dan wewenangnya sangat diperlukan supaya benar-benar menjadi solusi terhadap buruknya kinerja kekuasaan kehakiman yang terjadi selama ini. Formulasi fungsi, tugas, dan wewenang Komisi Yudisial yang tepat menjadi sangat penting, karena jika tidak hanya akan mengulangi kesalahan-kesalahan sebelumnya, sehingga gagasan kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan kekuasaan lain di luarnya dan tidak memihak (independent and impartial judiciary) hanya menjadi angan-angan kosong belaka. Penelitian ini dilakukan berdasarkan asumsi dasar bahwa ada lima sebab wujud (raison detre) dibentuknya Komisi Yudisial di dalam suatu negara hukum baik dalam tradisi Rechtsstaat maupun Rule of Law, yaitu pertama, dibentuknya Komisi Yudisial adalah agar monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman dapat dilakukan dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja; kedua, Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apa pun juga khususnya kekuasaan pemerintah; ketiga, dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring hakim agung serta pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman; keempat, terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan selalu memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus; dan kelima, dengan adanya Komisi Yudisial, politisasi terhadap perekrutan hakim agung dapat diminimalisasi, karena Komisi Yudisial bukan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik. 4. Metode Penelitian dan Bingkai Buku Peneliti akan mengkaji pokok permasalahan sesuai dengan ruang lingkup dan identifikasi masalah sebagaimana yang telah disebutkan di atas melalui pendekatan yuridisnormatif.87 Selain itu, peneliti juga akan melengkapinya dengan yuridis-historis dan yuridiskomparatif berdasarkan ruang lingkup dan identifikasi masalah yang ada. Hal ini dimaksudkan agar penelitian ini sejauh mungkin dapat mengetahui sosok Komisi Yudisial dalam spektrum yang seluas-luasnya dengan cara menggali informasi tentangnya dari berbagai sudut pandang. Untuk mengkaji pokok permasalahan dalam penelitian ini, peneliti mempergunakan metode penelitian hukum normatif,88 dan metode penelitian hukum empiris89 sekaligus. Akan
Dalam penelitian hukum normatif ini, yang diteliti adalah bahan pustaka atau data sekunder yang mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986, hlm. 10. 88 Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum normatif ini mencakup: (1) penelitian terhadap asas-asas hukum; (2) penelitian terhadap sistematik hukum; (3) penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal; (4) perbandingan hukum; dan (5) sejarah hukum. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Edisi 1, Cet. V, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001, hlm. 13-14. Lihat juga Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di dalam Penelitian Hukum, Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979, hlm. 15.
87

26

tetapi, peneliti akan lebih menitikberatkan pada penelitian hukum normatif, sedangkan penelitian hukum empiris berfungsi sebagai informasi pendukung. Dengan menyesuaikan diri pada ruang lingkup dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, pendekatan yang bersifat yuridis-normatif tersebut akan dilakukan dengan mempergunakan bahan hukum primer,90 bahan hukum sekunder,91 dan bahan hukum tersier.92 Sementara itu, penelitian empiris dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data melalui wawancara dan melakukan berbagai diskusi dengan pihak-pihak yang peneliti anggap memiliki kompetensi dan pengetahuan yang mendalam di bidang hukum tata negara, khususnya yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Dalam penelitian ini, peneliti akan mempergunakan jenis data yang meliputi data sekunder dan data primer yang berkaitan dengan hukum tata negara, khususnya di bidang kekuasaan kehakiman. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama melalui penelitian lapangan. Sedangkan data sekunder antara lain mencakup dokumendokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan lain-lain.93 Data yang berkaitan dengan pokok permasalahan, ruang lingkup, dan identifikasi masalah sebagaimana yang telah disebutkan di atas yang telah diperoleh akan disajikan dengan pendekatan deskriptif-analitis dan preskriptif-analitis. Peneliti akan menguraikan materi penelitian dengan sistematika sebagai berikut: a. Bab I Pendahuluan akan menguraikan latar belakang penelitian yang menyangkut gagasan reformasi peradilan di Indonesia, beberapa permasalahan, urgensi penelitian, perspektif teori dan beberapa terminologi, asumsi dasar, metode penelitian dan bingkai buku. b. Bab II Perekrutan Hakim dan Penegakan Etika Profesi Hakim akan menguraikan beberapa aspek tinjauan umum kekuasaan kehakiman, seperti pemisahan kekuasaan (separation of powers), demokrasi (democracy), negara hukum (rechtsstaat/rule of law), dan kekuasaan kehakiman (judicial power), dan ketentuan-ketentuan internasional tentang kekuasaan kehakiman, yang dilanjutkan dengan mekanisme perekrutan hakim agung dan intervensi kekuasaan politik, etika profesi hukum dan penegakan kode etik profesi hakim. c. Bab III Susunan dan Kedudukan Komisi Yudisial di Berbagai Negara akan menguraikan hukum tata negara perbandingan, studi perbandingan Komisi Yudisial, tujuan
Penelitian hukum empiris adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti data-data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat. Penelitian hukum empiris ini disebut juga dengan penelitian hukum sosiologis. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian..., op. cit., hlm. 12 dan 14. 90 Bahan hukum primer adalah bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir ataupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan (ide). Bahan ini mencakup: (a) buku; (b) kertas kerja konferensi, lokakarya, seminar, simposium, dan seterusnya; (c) laporan penelitian; (d) laporan teknis; (e) majalah; (f) disertasi atau tesis; dan (g) paten. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian..., op. cit., hlm. 29. 91 Bahan hukum sekunder adalah bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer, yang antara lain mencakup: (a) abstrak; (b) indeks; (c) bibliografi; (d) penerbitan pemerintah; dan (e) bahan acuan lainnya. Ibid. 92 Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, pada dasarnya mencakup: (1) bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang telah dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum. Contohnya adalah abstrak perundang-undangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum, dan seterusnya; dan (2) bahan-bahan primer, sekunder dan penunjang (tersier) di luar bidang hukum, misalnya, yang berasal dari bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik, filsafat dan lain sebagainya, yang oleh para peneliti hukum dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data penelitiannya. Ibid., hlm. 33. 93 Soerjono Soekanto, op. cit., hlm. 12.
89

27

perbandingan hukum tata negara, tujuan perbandingan Komisi Yudisial, susunan dan kedudukan Komisi Yudisial di 197 (seratus sembilan puluh tujuh) negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan beberapa kecenderungan umum latar belakang, tujuan pembentukan Komisi Yudisial, dan keberadaan Komisi Yudisial sebagai solusi terhadap buruknya sistem peradilan. d. Bab IV Pelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia akan menguraikan aspek-aspek keindonesiaan Komisi Yudisial, seperti gagasan-gagasan sebelum pembentukan Komisi Yudisial di Indonesia, gagasan Komisi Yudisial di Indonesia, keorganisasian Komisi Yudisial di Indonesia, dan sumber daya manusia Komisi Yudisial di Indonesia. e. Bab V Penutup akan menyimpulkan hasil-hasil penelitian yang telah dituangkan dalam bab-bab sebelumnya dan mengajukan saran sebagai implikasi teoretis maupun praktis penelitian ini.

28

BAB II PEREKRUTAN HAKIM DAN PENEGAKAN ETIKA PROFESI HAKIM

A. Kekuasaan Kehakiman: Sebuah Tinjauan Umum Sebelum membicarakan perekrutan hakim dan penegakan etika profesi hakim lebih lanjut, peneliti terlebih dahulu akan membicarakan beberapa hal yang mempunyai kaitan erat dengan keduanya, yaitu gagasan pemisahan kekuasaan (separation of power), gagasan demokrasi (democracy), gagasan negara hukum (baik dalam pengertian rechtsstaat maupun rule of law), dan gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka (independent judiciary).1 Keempat gagasan tersebut baik secara langsung maupun tidak kangsung, akan selalu berpengaruh terhadap perekrutan hakim dan penegakan etika profesi hakim. Baik dan buruknya perekrutan hakim dan penegakan etika profesi hakim dalam suatu negara tidak jarang ditentukan oleh baik dan buruknya implementasi gagasan pemisahan kekuasaan, demokrasi, negara hukum, dan kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak yang diterapkan dalam suatu negara. Gagasan-gagasan tersebut di atas mempunyai kaitan yang sangat erat satu sama lain, sehingga peneliti menganggap penting untuk mengetengahkan gagasan-gagasan tersebut sebelum membahas perekrutan hakim dan penegakan etika profesi hakim. 1. Pemisahan Kekuasaan (Separation of Powers)

Pada mulanya teori pemisahan kekuasaan2 ini diintrodusir oleh John Locke (16321704). Menurutnya, kemungkinan munculnya negara dengan konfigurasi politik totaliter3 bisa
Kekuasaan negara mempunyai keterkaitan erat dengan dengan sistem demokrasi, negara hukum dan kemudian gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Uraian tentang hal ini lihat Jimly Asshiddiqie, Perimbangan Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif dalam Rangka Perubahan UUD 1945, dalam A. Muhammad Asrun, ed., 70 Tahun Ismail Suny, Bergelut dengan Ilmu Berkiprah dalam Politik, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000, hlm. 79. Satya Arinanto bahkan mengatakan bahwa adanya sistem peradilan yang bebas ini sekaligus menunjukkan bahwa dalam tataran teoretis maupun praktis terdapat jalinan yang erat antara hukum dan demokrasi. Satya Arinanto, Hukum dan Demokrasi, Cet. I, Jakarta: Ind-Hill-Co., 1991, hlm. v. Demokrasi itu sendiri dilandaskan pada adanya kepercayaan bahwa akal, kebijaksanaan, dan karakter dari sebagian besar masyarakat akan membawa pada keadaan yang lebih baik dan lebih memuaskan. Satya Arinanto, Mempersoalkan Kebebasan Pers, dalam Denny J.A., Jonminofri, dan Rahardjo, (eds.), Menegakkan Demokrasi: Pandangan Sejumlah Tokoh dan Kaum Muda Mengenai Demokrasi di Indonesia, Jakarta: Kelompok Studi Indonesia bekerja sama dengan The Asia Foundation, 1989, hlm. 92. 2 Sir Ivor Jennings membedakan pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam arti material dan formal. Pemisahan kekuasaan dalam arti material ialah pemisahan kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam fungsi tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu pada tiga badan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah apabila pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas. Sir Ivor Jennings, The Law and the Constitution, 4th edition, London: The English Language Book Society, 1976, hlm. 22. Robert M. McIver mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material disebut dengan pemisahan kekuasaan (separation of powers), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal disebut dengan pembagian kekuasaan (division of powers). Robert M. McIver, The Modern State, Oxford: Oxford University Press, 1950, hlm. 364. Berkaitan dengan kekuasaan ini, Ossip K. Flechtheim mengatakan, Social power is the sum total of all those capacities, relationship and process by which compliance of others is secured... for ends determined by the power holder. Ossip K. Flechtheim, Fundamentals of Political
1

dihindari dengan membatasi kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Menurut Locke, hal ini dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power).4 Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat undang-undang dan peraturanperaturan hukum fundamental lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga dan aliansi antarnegara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing. Ketiga cabang kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain baik yang berkenaan dengan tugas maupun fungsinya dan mengenai alat perlengkapan yang menyelenggarakannya.5 Dengan demikian, tiga kekuasaan tersebut tidak boleh diserahkan kepada orang atau badan yang sama untuk mencegah konsentrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.6 Dengan adanya kekuasaan yang telah terbatasi, pemegang kekuasaan tidak dapat dengan mudah menyalahgunakan kekuasaannya, karena ada mekanisme kontrol yang harus dilaluinya. Pembatasan tersebut juga dimaksudkan agar hak-hak asasi warga negara lebih terjamin.7

Science, New York: Ronald Press Co., 1952, hlm. 16. Sedangkan menurut Robert M. McIver, Social power is the capacity to control the behaviour of others either directly by fiat or indirectly by the manipulation of available means. Robert M. McIver, The Web of Government, New York: The MacMillan Company, 1961, hlm. 22. Dalam perspektif yang agak berbeda, Miriam Budiardjo mengatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. XVII, Jakarta:Gramedia, 1996, hlm. 35. 3 Dalam konsep negara modern, totaliter ini merupakan kebalikan dari demokrasi. Sidney Hook, Democracy [Demokrasi: Sebuah Tinjauam Umum], dalam Denny J.A., Jonminofri, Rahardjo, eds., Menegakkan Demokrasi: Pandangan Sejumlah Tokoh dan Kaum Muda Mengenai Demokrasi di Indonesia, Jakarta: Kelompok Studi Indonesia bekerja sama dengan The Asia Foundation, 1989, hlm. 33; Gwendolen M. Carter dan John H. Herz, Demokrasi dan Totaliterisme: Dua Ujung dalam Spektrum Politik, dalam Miriam Budiardjo, Masalah Kenegaraan, Cet. III, Jakarta: Gramedia, 1980, hlm. 88. 4 John Locke, Two Treatises of Government, New Edition, London: Everyman, 1993, hlm. 188. 5 Ibid. 6 Abad ke-20 merupakan awal terjadinya kecenderungan semakin leluasanya kekuasaan eksekutif. Penyebabnya adalah (1) gelombang dekolonisasi dan terbentuknya negara-negara baru dengan tahap-tahap konsolidasi awal yang memerlukan pemusatan kekuatan di tangan pemerintah; (2) munculnya era perang dingin yang membelah dunia ke dalam dua blok; Barat dan Timur, yang diikuti persaingan perebutan pengaruh antarblok; (3) timbulnya fenomena perang antarnegara yang memacu peningkatan anggaran militer di berbagai negara; (4) semakin kompleksnya lingkup tugas-tugas pemerintahan seiring dengan perkembangan jaman; dan (5) munculnya ketidakpuasan umum terhadap praktik multipartai yang dianggap sebagai biang keladi instabilitas internal di berbagai negara. Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta: UI-Press, 1996, hlm. 106-116; Jimly Asshiddiqie, UndangUndang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal 13 Juni 1998, hlm. 10. 7 Tentang pernyataan ini lihat misalnya C.F. Strong, Modern Political Constitution, London: Sidwick & Jackson, 1973, hlm. 245-247.

Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Montesquieu yang membagi kekuasaan ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.8 Kekuasaan yudikatif sangat ditekankan oleh Montesquieu, karena pada titik inilah letak kemerdekaan individu dan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia. Montesquieu sangat menekankan kebebasan kekuasaan yudikatif, karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja. 9 Uraian di atas memperlihatkan bahwa Montesquieu menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kemedekaan kekuasaan yudikatif. Argumentasi yang dikemukakan pemikiran ini adalah bahwa kekuasaan yudikatif yang merdeka, secara maksimal dapat melindungi hakhak warga negara dari kekuasaan yang despotis. Menurut C.F. Strong, kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif inilah yang secara teknis disebut dengan istilah Government (Pemerintah) yang merupakan alat-alat perlengkapan negara.10 Dalam doktrin Trias Politica, baik dalam pengertian pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan, prinsip yang harus dipegang adalah kekuasaan yudikatif dalam negara hukum harus bebas dari campur tangan badan eksekutif.11 Hal ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara sewajarnya demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia.12 Melalui asas kebebasan kekuasaan yudikatif diharapkan keputusan yang tidak memihak dan semata-mata berpedoman pada norma-norma hukum dan keadilan serta hati nurani hakim dapat diwujudkan.13 Dengan demikian, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman mempunyai peran yang sangat penting, karena memegang kekuasaan untuk menangani dan menyelesaiakan konflik yang terjadi dalam kehidupan suatu negara dalam segala derivasinya. 2. Demokrasi

Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, maka tidak ada saling campur tangan di antara ketiga cabang kekuasaan tersebut. Oleh karena itu, dalam ajaran Trias Politica terdapat suasana checks and balances. Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Edisi II, Cet. I, Yogyakarta: Liberty, 1993, hlm. 19. 9 Montesquieu, Membatasi Kekuasaan: Telaah Mengenai Jiwa Undang-undang [The Spirit of the Laws], Jakarta: Gramedia, 1993, hlm. 44-55. Kenyataan bahwa Montequieu berprofesi sebagai hakim ikut mempengaruhi cara berpikirnya yang sangat mementingkan kekuasaan yudikatif. Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Cet. IV, Jakarta: Aksara Baru, 1985, hlm.2. 10 Menurut Strong, In order to make and enforce laws the state must have a supreme authority. This is called the Government. Government is the states machinery: without it the state could not exist, for government is, in last analysis, organised force. Government is, therefore, that organisation in which is vested... the right to exercise sovereign powers. Strong, op. cit., hlm. 6. 11 Budiardjo, op. cit., hlm. 227. 12 Tentang pemisahan kekuasaan ke dalam tiga cabang ini, khususnya yang berkenaan dengan independensi kekuasaan yudikatif di Eropa, Pasquale Pasquino mengatakan, In Europe, one of the central functions of the separation of the judiciary from the legislative and executive powers has always been to limit or prevent the arbitrary axercise of judicial power by the monarch who was already endowed with the two other powers. Pasquale Pasquino, One and Three: Separation of Powers and the Independence of the Judiciary in the Italian Constitution, dalam John Ferejohn, Jack N. Rakove, dan Jonathan Riley, eds., Constitutional Culture and Democratic Rule, Cambridge: Cambridge University Press, 2001, hlm. 210. 13 Budiardjo, op. cit.

Demokrasi14 merupakan gagasan yang dinamis (dynamic concept) dan tidak bermula dari ruang yang hampa.15 Demokrasi juga merupakan istilah yang ambiguous.16 Pengertiannya tidak bersifat monolitik, sebab negara-negara yang mengklaim diri sebagai negara demokrasi tidak mempunyai bentuk aplikasinya yang seragam. Apa yang dianggap sebagai demokratis di negara-negara tertentu belum tentu dianggap demokratis di negara lain dan begitu pula sebaliknya. Negara17 dengan corak totaliter dan negara dengan corak liberal, misalnya, mempunyai perbedaan-perbedaan yang signifikan dalam mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi. Konsep demokrasi seringkali mengalami manipulasi dan distorsi,18 khususnya di negara-negara totaliter, sehingga pemaksaan, penyiksaan, dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia dianggap sebagai dosa kecil saja tanpa mengurangi tingkat kedemokratisannya, karena ditujukan untuk menyelamatkan rakyat secara keseluruhan.19 Dengan demikian, sekali lagi, meskipun asas demokrasi secara substantif telah disepakati,20 tetapi tidak ada konsep tunggal yang bersifat monolitik pada tingkat implementasinya.21 Meskipun tidak ada konsep tunggal, tetapi demokrasi mempunyai elemen-elemen fundamental yang dapat digunakan sebagai parameter untuk mengukur dan menentukan
Demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) dan archein (memerintah). Demokrasi adalah pemerintahan rakyat, Harun Alrasid, Prof. Mr. Djokosutono: Ilmu Negara, Cet. II, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, hlm. 33; Max Boli Sabon, Ilmu Negara, Cet. I, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992, hlm. 167. Ada juga yang berpendapat bahwa demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) dan cratein (memerintah). Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1986, hlm. 203; Sri Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara, Cet. I, Bandung: Alumni, 1992, hlm. 10; Sri Soemantri M., Tentang Lembaga-lembaga Negara, Cet. VII, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1993, hlm. 1. Ada juga yang mengatakan demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) dan cratos (kekuasaan). Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, Cet. II, Bandung - Jakarta: PT Eresco, hlm. 22-23. 15 David Beetham, Democracy: Key Principles, Institutions and Problems dalam Democracy: its Principles and Achievement, Geneva: Inter-Parliamentary Union, 1998, hlm. 21. 16 Budiardjo, op. cit., hlm. 50. Asas demokrasi yang hampir sepenuhnya disepakati sebagai modal terbaik bagi dasar penyelenggaraan negara ternyata memberikan implikasi yang berbeda. Hal ini bisa dilihat dari munculnya revolusi borjuis (di Prancis dan Inggris) dan revolusi petani (di Rusia dan China). Moh. Mahfud M.D., Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, ed. I, cet. I, Yogyakarta: Liberty, 1993, hlm. 18. Asas demokrasi adalah sistem pemerintahan negara yang dipegang oleh rakyat atau setidak-tidaknya rakyat diikutsertakan dalam pembicaraan masalah pemerintahan negara. Abdul Bari Azed, Hukum Tata Negara Indonesia (Kumpulan Tulisan), Cet. I, Jakarta: Ind-Hill-Co, 1991, hlm. 3. 17 Negara merupakan organisasi yang terdiri atas jabatan-jabatan yang tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan satu sama lain untuk mewujudkan tujuan negara. Jabatan yang satu terikat dengan jabatan yang lain. Oleh karena itu, negara adalah ikatan jabatan-jabatan. Harun Alrasid, Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999, hlm. 6. 18 Afan Gaffar, Politik, Demokrasi, dan Faham Integralistik, dalam Bagir Manan, ed., Kedaulatan Rakyat, Hakhak Asasi Manusia dan Negara Hukum, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996, hlm. 236. 19 Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, Cet. I, Jakarta: LP3ES, 1998, hlm. 16. 20 Menurut Giovanni Sartori, sejak Perang Dunia II, demokrasi semakin diterima sebagai simbol peradaban dunia. Giovanni Sartori, Democracy, dalam Davis L. Shills, ed., The International Encyclopedia of the Social Science, vol. iv, New York: The Free Press, 1972, hlm. 117. 21 Berkaitan dengan hal ini, telah banyak terbit buku yang menjadikan demokrasi dan implementasinya sebagai diskursus utamanya dengan berbagai varian titik berat pembahasannya. Misalnya, Robert A. Dahl, Democracy and Its Critics, New Haven: Yale University Press, 1989; Benjamin R. Barber, Strong Democracy: Participatory Politics for a New Age, Los Angeles: University of California Press, 1984; Samuel P. Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, Norman: University of Oklahoma Press, 1991; Henry W. Ehrmann, ed., Democacy in a Changing Society, New York: Frederick A. Praeger Publisher, 1964; Robert D. Behn, Rethinking Democratic Accountability, Washington, D.C.: Brooking Institution Press, 2001; Douglas Greenberg, et. al., ed., Constitutionalism & Democracy: Transition in the Contemporary World, New York/Oxford: Oxford University Press, 1993, dll.
14

tingkat implementasi nilai-nilai demokrasi dalam suatu negara, sehingga dapat menilai dan menentukan apakah sistem yang dibangun di dalam suatu negara dapat dikatakan domakratis atau tidak. Sedikitnya ada lima hal yang harus ada dalam negara yang menganut sistem demokrasi, yaitu pertama, pemerintahan yang bertanggung jawab; kedua, dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat dan yang dipilih melalui pemilu yang bebas dan rahasia; ketiga, terdapat lebih dari satu partai politik yang terus menerus mengadakan hubungan dengan masyarakat; keempat, terdapat pers dan media massa yang bebas menyatakan pendapat; dan kelima, terdapat sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan mempertahankan keadilan.22 Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberikan pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang berkaitan dengan kehidupannya23 termasuk dalam menilai kebijakan negara yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan rakyat.24 Berkaitan dengan hal ini, Henry B. Mayo mengatakan bahwa sistem politik yang demokratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan berpolitik.25 Yang ingin ditekankan dalam penelitian ini adalah bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka (independent judiciary) yang bertujuan untuk menjamin hak-hak asasi dan mempertahankan keadilan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam demokrasi.26 Dengan demikian, apabila kekuasaan kehakiman dalam suatu negara telah
Budiardjo, Dasar-dasar..., op. cit., hal. 63-64. Dalam rumusan lain, Kongres Amerika Serikat pada tahun 1989 membuat suatu kriteria yang bisa dijadikan sebagai parameter untuk menilai apakah suatu negara demokratis atau tidak, yaitu (1) didirikannya sistem politik yang sepenuhnya demokratis dan representatif berdasarkan pemiliham umum yang bebas dan adil; (2) diakuinya secara efektif kebebasan-kebebasan fundamental dan kemerdekaankemerdekaan pribadi termasuk kebebasan berbicara, beragama, dan berkumpul; (3) dihilangkannya peraturan perundang-undangan yang menghalangi berfungsinya pers yang bebas dan terbentuknya partai-partai politik; (4) diciptakannya suatu badan kehakiman yang bebas; dan (5) didirikannya kekuatan-kekuatan militer, kemanan, dan kepolisian yang tidak memihak. Lihat Kata Pengantar A. Rahman Zainuddin dalam Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengritiknya [Democracy and its Critics], diterjemahkan A. Rahman Zainuddin, Edisi I, Cet. I, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992, hlm. xxv. 23 Menurut Jimly Asshiddiqie, demokrasi yang mengharuskan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi di tangan rakyat dapat mencakup bidang politik atau bidang ekonomi. Apabila kekuasaan itu berkenaan dengan bidang politik, maka sistem kekuasaan rakyat itu disebut demokrasi politik. Begitu juga apabila menyangkut bidang ekonomi, maka disebut demokrasi ekonomi. Dengan demikian, istilah demokrasi di sini, yakni demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, harus dipahami sebagai konsep mengenai kedaulatan rakyat yang meliputi aspek politik dan ekonomi. Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994, hlm. 25. 24 Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, Cet. I, Jakarta: Rajawali, 1983, hlm. 207. 25 Selengkapnya Henry B. Mayo mengatakan, A democratic political system is one which public policies are made on a majority basis, by representative subject to effective popular control at periodic elections which are conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom. Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, Oxford: Oxford University Press, 1960, hlm. 70. 26 Tentang hubungan antara kekuasaan kehakiman yang merdeka dan demokrasi ini, dikatakan bahwa ...independence judiciary is a fundamental requirement for democracy. Within this understanding is the notion that judicial independence must first exist in relation to the executive and in relation to the parties. It must also involve independence in relation to the legislative power, as well as in relation to political, economic, or social pressure groups. R. St. J. Macdonald, F. Matscher, dan H. Petzold, The European System for the Protection of Human Rights, The Hague: Kluwer Academic Publishers, 1993, hlm. 397.
22

terkooptasi oleh kekuasaan lain di luarnya atau telah memihak, maka dapat dipastikan negara tersebut tidak demokratis. 3. Negara Hukum (Rechtsstaat/Rule of Law)

Negara Hukum27 merupakan gagasan modern yang multi-perspektif dan selalu aktual. Istilah Negara Hukum merupakan terjemahan langsung dari istilah Rechtsstaat.28 Dalam memberikan pengertian mengenai gagasan Negara Hukum ini,29 setiap orang dapat memberikan bobot penilaian yang berlebihan baik terhadap kata negara maupun kata hukum.30 Setidaknya terdapat dua tradisi besar gagasan Negara Hukum di dunia, yaitu Negara Hukum dalam tradisi Eropa Kontinental yang disebut Rechtsstaat dan Negara Hukum dalam tradisi Anglo Saxon yang disebut dengan Rule of Law.31 Salah satu ahli yang sering dirujuk ketika membicarakan topik Negara Hukum (Rechtsstaat) dalam tradisi Eropa Kontinental adalah Friedrich Julius Stahl. Pandangannya tentang Rechtsstaat merupakan perbaikan dari pandangan Immanuel Kant.32 Unsur-unsur yang harus ada pada negara hukum dalam pengertian Rechtsstaat33 adalah pertama, pengakuan hakhak asasi manusia (grondrechten); kedua, pemisahan kekuasaan (scheiding van machten); ketiga, pemerintahan berdasar atas undang-undang (wetmatigheid van het bestuur); dan
Padmo Wahjono dengan mengutip pernyataan Oemar Seno Adji dalam Indonesia Negara Hukum menyimpulkan bahwa penerapan prinsip-prinsip umum negara yang berdasar atas hukum terletak pada dua hal, yaitu (1) teori Rechtsstaat yang dicirikan dengan adanya pengakuan hak-hak asasi manusia, adanya Trias Politica, adanya pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dan adanya peradilan administratif; dan (2) teori Rule of Law yang dicirikan dengan adanya konstitusi yang bersumber pada hak-hak asasi manusia, adanya persamaan menurut hukum bagi semua orang dan adanya prinsip bahwa hukum mengatasi segala-galanya. Padmo Wahjono, Indonesia ialah Negara yang Berdasarkan atas Hukum, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal 17 Nopember 1979. 28 Lihat catatan kaki nomor 21. 29 Baik konsep Rule of Law maupun Rechtsstaat selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga pengertian keduanya pada masa kini mempunyai beberapa perbedaan-perbedaan dengan pengertian keduanya pada masa lalu. Tentang hal ini lihat misalnya Jimly Asshiddiqie, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Cet. I, Jakarta: Ind Hill-Co., 1997, hlm. 4. 30 Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga, 1985, hlm. 11. 31 Menurut Wolfgang Friedmann, gagasan Negara Hukum tidak selalu identik dengan Rule of Law. Sedangkan istilah Rechtsstaat mengandung pengertian adanya pembatasan kekuasaan negara oleh hukum. Wolfgang Friedmann, Legal Theory, London: Steven & Son Limited, 1960, hlm. 456. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, di Inggris sebutan untuk istilah Negara Hukum adalah Rule of Law, sedangkan di Amerika Serikat Government of Law, But Not of Man. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1976, hlm. 8. 32 Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ind-Hill Co, 1989, hlm. 30. 33 Gagasan mengenai Rechtsstaat ini berkembang dalam suasana liberalisme dan kapitalisme yang sedang tumbuh pesat di Eropa pada sekitar abad ke-18 yang dipelopori oleh Immanuel Kant yang mengidealkan paham laissez faire laissez aller dan gagasan negara jaga malam (nachwachtersstaat). Dalam gagasan ini setiap warga negara dibiarkan menyelenggarakan sendiri usaha-usaha untuk kemakmurannya. Negara tidak perlu ikut campur dalam urusan-urusan yang dapat ditangani sendiri oleh masyarakat. Negara cukup berfungsi sebagai penjaga pada malam hari yang melindungi seluruh rakyat agar tetap merasa aman dan hidup tenteram. Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum Nasioanal di Abad Globalisasi, Cet. I, Jakarta: Balai Pustaka, 1998, hlm. 90. Tentang wawasan-wawasan yang terkandung di dalam Rechtsstaat, lihat A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Mengenai Analisis Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV, Disertasi doktor, Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990, hlm. 139.
27

keempat, peradilan administrasi (administratieve rechtspraak).34 Sedangkan unsur-unsur yang harus terdapat pada negara hukum dalam pengetian Rule of Law35 adalah pertama, supremasi hukum (supremacy of law); kedua, persamaan di depan hukum (equality before the law); ketiga, konstitusi yang berdasarkan atas hak-hak asasi manusia (constitution based on human rights).36 Syarat-syarat dasar bagi pemerintahan yang demokratis di bawah konsep Rule of Law adalah pertama, perlindungan konstitusional; kedua, kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;37 ketiga, pemilihan umum yang bebas; keempat, kebebasan menyatakan pendapat; kelima, kebebasan berserikat dan beroposisi; dan keenam, pendidikan kewarganegaraan.38 Sekali lagi ingin ditekankan di sini bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas menjadi pilar yang sangat penting baik dalam Negara Hukum tradisi Rechtsstaat maupun dalam tradisi Rule of Law. Dengan kata lain, keberadaan kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak menjadi syarat yang penting bagi kedua tradisi negara hukum tersebut. Sementara itu, Franz Magnis Suseno menyebut empat syarat dalam gagasan Negara Hukum yang saling berhubungan satu sama lain, yaitu pertama, adanya asas legalitas yang berarti pemerintah bertindak semata-mata atas dasar hukum yang berlaku; kedua, adanya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dalam fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan; ketiga, adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak

Lihat misalnya dalam Robert Mohl, Two Concepts of the Rule of Law, Indianapolis: Liberty Fund Inc., 1973, hlm. 22. Pada titik ini, biasanya negara hukum dikaitkan dengan paham konstitusionalisme yang mengidealkan hukum sebagai alat yang membatasi kekuasaan dan pertanggungjawaban politik pemerintah kepada yang diperintah. C.H. McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, Ithaca, New York: Cornell University Press, 1974, hlm. 146. Sebagai pendalaman gagasan konstitusionalisme di Indonesia, lihat misalnya Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 [The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: A Sosio-Legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959], diterjemahkan oleh Sylvia Tiwon, Cet. II, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2001; J.C.T. Simorangkir, Penetapan UUD Dilihat dari Segi Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1984; Moch. Tolchah Mansoer, Pembahasan Beberapa Aspek Kekuasaan-kekuasaan Eksekutif dan Legislatif di Indonesia, Cet. II, Jakarta: Pradnya Paramita, 1977; Daniel S. Lev, The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957-1959, Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1966. 35 Menurur Richard H. Fallon, Jr., sebenarnya tidak ada pengertian yang pasti tentang Rule of Law . Richard H. Fallon, Jr., The Rule of Law as a Concept in Constitutional Discourse, dalam Columbia Law Review, Volume 97, No. 1, 1997, hlm. 1-2. 36 A.V. Dicey, An Introduction to Study of the Law of the Constitution, 10th edition, London: English Language Book Society and MacMillan, 1971, hlm. 223-224. Untuk pendalaman perbandingan konsep Rechtsstaat, Rule of law, dan Negara Hukum Indonesia dapat dibaca dalam Azhary, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, Jakarta: UI-Press, 1995. Untuk perbandingannya dengan negara hukum dalam Islam, lihat Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. 37 Menurut A.W. Bradley, pengadilan mempunyai peran penting dalam tradisi Rule of Law, karena penafsiranpenafsirannya terhadap peraturan perundang-undangan akan sangat menentukan bagi keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu negara. A.W. Bradley, The Sovereignty of Parliament Form or Substance?, dalam Jeffrey Jowell dan Dawn Oliver, eds., The Changing Constitution, 4th edition, Oxford: Oxford University Press, 2000, hlm. 34. 38 South-East Asian and Pacific Conference of Jurist, Bangkok, February 15-19, 1965, The Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age, Bangkok: International Commission of Jurist, 1965, hlm. 39-45.

34

asasi manusia; dan keempat, adanya pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi atau hukum dasar.39 4. Kekuasaan Kehakiman (Judicial Power)

Sebagaimana telah disebutkan di atas, kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu pilar bagi negara yang berlandaskan sistem demokrasi dan negara hukum.40 Kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak tidak hanya diartikan bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif, tetapi juga bebas dari gangguan dalam melaksanakan tugasnya.41 Sebagaimana telah disinggung di atas, kekuasaan kehakiman merupakan instrumen
Franz Magnis-Suseno memberikan catatan khusus berkaitan dengan ciri adanya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman. Menurutnya, dengan adanya asas kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman dari cabang kekuasaan negara lainnya, maka diharapkan badan yudikataif dapat melakukan kontrol segi hukum terhadap kekuasaan negara di samping untuk mencegah dan mengurangi kecenderungan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan. Tidak adanya kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dari pengaruh kekuasaan pemerintah (eksekutif), akan membuka peluang pada penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian hak-hak asasi manusia oleh penguasa, karena kekuasaan kehakiman yang secara konstitusional memiliki wewenang untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan pemerintah sulit menjalankan fungsinya tersebut. Franz MagnisSuseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, 1993, hlm. 298-301. Sementara itu, menurut Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, ciri-ciri negara hukum ada tiga, yaitu (1) pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; (2) peradilan yang bebas; (3) legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya. Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Cet. VI, Jakarta: Gramedia, 1989, hlm. 27; lihat juga Dahlan Thaib, Pancasila Yuridis Ketatanegaraan, Edisi Revisi, Cet. I, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 1994, hlm. 87. 40 Tentang hal ini lihat misalnya Ismail Suny, Mencari Keadilan: Sebuah Otobiografi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hlm. 262. P. N. Bhagwati mengatakan, There are a few institutions which are vital to the maintenance of democracy and the rule of law. They constitute the life breath of the democratic way of life and the supremacy of law. Drain away this life breath, and democracy will perish, the rule of law will end.... The judiciary is one such institution on which rests the noble edifice of democracy and the rule of law. It is to the judiciary that is entrusted the task of keeping every organ of the State within the limits of power conferred upon it by the Constitution and the laws and, thereby, making the rule of law meaningful and effective. Most countries have a written constitution which provides the structure allocating and regulating power relations amongst the different organs of the State. The Constitution confers power on the various organs of the State and also lays down the limits within which such power may be exercised. P. N. Bhagwati, Independence of the Judiciary in a Democracy, <http://www.ahrchk.net/hrsolid/mainfile.php/1997vol07no02/275/>, di-akses 29 Maret 2003. 41 E.C.S. Wade dan G. Godfrey Philips, Constitutional Law: An Outline of the Law and Practice of the Constitution, Including Central and Local Government, the Citizen and the State and Administrative Law, 7th edition, London: Longmans, 1965, hlm. 255. Menurut Sir Anthony Mason, Common to all the forms of judicial function is independent, impartial and neutral adjudication, though there is a question as to the possibility of achieving completely neutral adjudication. Independent and impartial adjudication denies the notion that the judge will bring to bear a view which represents that of a particular section of the community. Sir Anthony Mason, The Appointment and Removal of Judges, <http://www.jc.nsw.gov.au/fb/fbmason.htm>, diakses tanggal 24 Maret 2003. Sementara itu, Stephen G. Breyer mempunyai pendapat yang menarik berkaitan dengan kemandirian kekuasaan kehakiman di Amerika Serikat. Menurutnya, In the United States, judicial independence has developed into a set of institutions that assure that judges decide according to law, rather than according to their own whims or to the will of others, including other branches of the government. The five components of judicial independence are: the constitutional protections that judges in the United States have; the independent administration of the judiciary by the judiciary; judicial disciplinary authority over the misconduct of judges; the manner in which conflicts of interest are addressed; and the assurance of effective judicial decisions. Stephen G. Breyer, Judicial Independence in the US, <http://usinfo. state.gov/journals/itdhr/1296/ijde/breyer.htm>, diakses tanggal 29 Maret 2003. Untuk pendalaman tentang judicial independence di Amerika Serikat ini, lihat
39

penting untuk menjamin hak-hak asasi dan mempertahankan keadilan42 yang merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam demokrasi. Pernyataan berikut ini dapat mendukung proposisi tersebut. Dikatakan bahwa:
... independence judiciary is a fundamental requirement for democracy. Within this understanding is the notion that judicial independence must first exist in relation to the executive and in relation to the parties. It must also involve independence in relation to the legislative power, as well as in relation to political, economic, or social pressure groups. 43

Dengan demikian, apabila kekuasaan kehakiman dalam suatu negara telah terkooptasi oleh kekuasaan lain di luarnya atau telah memihak pada pihak-pihak tertentu, maka dapat dipastikan negara tersebut tidak demokratis.44 Dalam konteks ini, harus dibedakan antara apa yang disebut dengan kemerdekaan kekuasaan kehakiman (judicial independence) dengan ketidakberpihakan para hakim (impartiality of judges).45 Kemerdekaan kekuasaan kehakiman merujuk pada kemerdekaannya dari campur tangan pemegang kekuasaan lain dalam persoalan-persoalan kehakiman. Sedangkan ketidakberpihakan para hakim berkaitan dengan kemampuan seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara tanpa adanya keberpihakan terhadap perseorangan dan melawan orang lain. Berkaitan dengan hal ini, Adel Omar Sherif mengatakan sebagai berikut:
The court first made clear the distinction between judicial independence and the impartiality of judges. Judicial independence, the Court state, refers to freedom from interference in judicial affairs by other powers, whereas judicial impartiality pertains to the judges own ability to adjudicate a case without any personal bias against any of the parties.46

Oleh karena itu, lembaga peradilan yang independen dipahami sebagai tidak adanya pengaruh yang datang dari pihak ketiga atau lembaga lain di luar kekuasaan kehakiman dalam proses

American Bar Assossiation, An Independence Judiciary, <http://www.abanet.org/ govaffairs/judiciary/rhistory.html>, diakses 29 Maret 2003. 42 Berkaitan dengan hal ini, Padmo Wahjono mengatakan bahwa gagasan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka dimaksudkan agar kekuasaan kehakiman dapat berfungsi seadil-adilnya. Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Cet. II, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, hlm. 76. 43 R. St. J. Macdonald, F. Matscher, and H. Petzold, The European System for the Protection of Human Rights, The Hague: Kluwer Academic Publishers, 1993, hlm. 397. 44 Demokrasi dan hukum tidak dipahami sebagai dua entitas yang contradictio in terminis. Keduanya bisa berada dalam suasana hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) tanpa salah satunya lebih diunggulkan daripada yang lain, karena semuanya penting dalam kerangka gagasan negara modern. A. Ahsin Thohari, Demokrasi Sekaligus Nomokrasi, Harian Kompas, Edisi Jumat, 7 November 2003, hlm. 4. 45 Hans Kelsen menyebut ini dengan istilah independence of judges. Lebih jauh dikatakan, The judges are, for instance, ordinarily independent, that is, they are subject only to the laws and not to the orders (instructions) of superior judicial or administrative organs. Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York: Russel & Russel, 1973, hlm. 275. 46 Adel Omar Sherif, Separation of Powers and Judicial Independence in Constitutional Democracies: The Egyptian and American Experiencies, dalam Eugene Cotran and Adel Omar Sherif, eds., Democracy, The Rule of Law and Islam, CIMEL Book Series V. 6, London-The Hague-Boston: Kluwer Law International, 1999, hlm. 29-30.

peradilan dimana putusan hakim lahir hanya atas dasar korelasi fakta-fakta yang muncul dalam persidangan dan keterkaitannya dengan hukum yang berlaku.47 Ketidakberpihakan (impartiality) kekuasaan kehakiman tidak hanya ketiadaan bias atau kecurigaan tertentu terhadap hakim saja, melainkan juga berlaku bagi hal-hal yang berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan lain seperti pandangan politik dan agama yang dianut oleh hakim.48 Oleh karena itu, berkaitan dengan hal ini, J.A.G. Griffith mengatakan:
Impartiality means not merely absence of personal bias or prejudice in the judge, but also the exclusion of relevant considerations, such as his political or religious views. Individual litigants expect to be heard fairly and fully and to receive justice. Essentially, this view rests on an assumption of judicial neutrality.49

Kekuasaan kehakiman memang bukan merupakan entitas yang hampa dari kepentingan-kepentingan politik, karena energi politik bahkan memiliki potensi dan kecenderungan yang sangat besar untuk melakukan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman. Boleh dikatakan bahwa politik mempunyai derajat determinasi yang tinggi terhadap independensi kekuasaan kehakiman.50 Oleh karena itu, setiap keinginan untuk melakukan reformasi51 agar kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak dapat direalisasikan

A.V. Cristopher M. Larkins, Judicial Independence and Democratization: a Theoretical and Conceptual Analysis, dalam The American Comparative Law, Volume XLIV, No. 4, Fall, 1996, hlm. 605. 48 Persoalan yang dihadapi dalam kemerdekaan dan kebebasan hakim bukan sekedar manjamin kemerdekaan dan kebebasan pada saat menjalankan fungsi yudisiil tertentu (kasuistik). Inti persoalan adalah menghindari pengaruh kekuasaan tersebut secara umum yang akan melindungi hakim pada setiap saat menjalankan fungsi yudisiilnya. Hal ini menyangkut sistem kekuasaan kehakiman secara keseluruhan. Khusus mengenai kemerdekaan dan kebebasan hakim menyangkut sejak seseorang diangkat sampai pemberhentiannya sebagai hakim. Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Nagara Indonesia, Cet. I, Bandung: Alumni, 1997, hlm. 79. 49 J.A.G. Griffith, The Politics of the Judiciary, 4th edition, London: The Fontanta Press, 1991, hlm. 269. Dengan demikian, kesamaan pandangan politik atau agama seorang hakim dengan pihak yang berperkara tidak boleh menjadikan hakim untuk berpihak. Hakim harus tetap independen dalam menjatuhkan putusannya dan tidak boleh dilandasi oleh kesamaan pandangan politik atau agama. 50 Konfigurasi politik mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, model konfigurasi politik tertentu secara otomatis akan melahirkan karakter kekuasaan kehakiman yang tertentu pula. Apabila dalam suatu negara diterapkan konfigurasi politik yang demokratis, maka karakter kekuasaan kehakiman yang dihasilkan adalah independen atau otonom. Akan tetapi, apabila dalam suatu negara diterapkan konfigurasi politik yang otoriter atau totaliter, maka kekuasaan kehakiman tidak otonom atau tidak bebas. Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman, Cet. I, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat-ELSAM, 1997, hlm. 313-314. Oleh karena itu, Independence of the judiciary is a permanent topic... but as a political issue with a murky content. This vagueness creates the impression that the real objective is not to outline a solid framework for an independent judiciary, but to be content with making it a rhetorical issue and to intervence in the judicial process. Cengiz Ilhan, Independence of the Judiciary, <http://www.tusiad. org/yayin/private/autumn97/html/ilhan.html>, diakses tanggal 29 Maret 2003. 51 Reformasi di bidang kekuasaan kehakiman akan selalu berhadapan dengan persoalan-persoalan politik yang sangat pelik. Pengalaman reformasi peradilan di negara-negara Amerika Latin seperti Peru, Kolombia, Costa Rica, dan El Salvador selalu tidak mudah. Untuk pendalaman tentang reformasi kekuasaan kehakiman di negaranegara Amerika Latin ini lihat Linn Ann Hammergren, The Politics of Justice and Justice Reform in Latin America: The Peruvian Case in Comparative Perspective, New York: Westview Press, 1998. Lihat juga Linn Ann Hammergren, The Judicial Career in Latin America: an Overview of Theory and Experience, <http://www1.worldbank.org/publicsector/ legal/Jcareer.doc>, diakses tanggal 26 Maret 2003.

47

10

selalu akan berhadapan dengan kepentingan-kepentingan politik yang seringkali menghadangnya.52 Oleh karena itu, kekuasaan kehakiman sangat dianjurkan untuk menghindari hal-hal yang sangat terkait dengan kepentingan politik.53 Kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak hanya akan dapat terwujud apabila hanya tunduk pada aturan-aturan hukum yang berlaku dan penegakannya. Apabila kekuasaan kehakiman tidak menjaga jarak yang tepat dengan lembaga-lembaga politik54 yang ada dalam sebuah negara, maka akan kehilangan legitimasinya dan kehadirannya dalam suatu negara menjadi tidak bermakna.55 Satu hal yang patut dicatat di sini adalah bahwa adanya jaminan kemandirian kekuasaan kehakiman akan membuat para hakim merasa lebih nyaman dalam melaksanakan tugas-tugasnya.56 Kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak ini mempunyai sedikitnya lima segi, yaitu pengangkatan terhadap pejabat lembaga peradilan yang tidak bersifat politik, masa jabatan dan gaji yang terjamin, tidak ada intenvensi dari kekuasaan eksekutif dan legislatif terhadap proses peradilan dan pengadilan, dan adanya otonomi secara administratif, dan
Tentang kaitan yang erat antara kekuasaan kehakiman dan politik ini lihat misalnya Henry R. Glick, The Politics of State Court Reform, dalam Philip L. DuBois, ed., The Politics of Judicial Reform, Lexington, Mass.: Lexington Books, 1982, hlm. 17-33. Lihat juga Christine M. Durham, The Judicial Branch in State Government: Parables of Law, Politics, and Power, dalam New York University Law Review, vol. 76, Number 6, December 2001, hlm. 1601 dan seterusnya. 53 Sir Anthony Mason mengatakan, Judiciary should avoid involving themselves in issues located directly within the policy making function of executive government. This protocol is based on the philosophy that insulation from controversy requires that yourself do not invite it. Sir Anthony Mason, "Judicial Independence and the Separation of Powers Some Problems Old and New", dalam University of New South Wales Law Journal, Vol. 13, No. 2, 1990, hlm. 181. Lihat juga Helen Cunningham, The Role of the Judiciary in a Modern Democracy, paper presented at Judicial Conference of Australia Symposium, New South Wales, 8-9 November 1997 atau lihat Helen Cunningham, The Role of the Judiciary in a Modern Democracy, <http://www.jca.asn.au/cunningham. html>, diakses tanggal 24 Maret 2003. 54 Hal ini mengingat bahwa hukum, termasuk penegak hukumnya, merupakan produk politik yang sangat lemah yang seringkali digunakan sebagai kendaraan politik oleh pihak-pihak tertentu. Tentang hal ini, Cristopher E. Smith mengatakan, Law is malleable product of politics, and its malleability is one vehicle for the infusion of political interests into the functions of the judicial branch. Cristopher E. Smith, Courts, Politics, and the Judicial Process, Chicago: Nelson-Hall Publisher Inc., 1993, hlm. 10. Dengan demikian, pengaruh kekuatan politik akan dapat menentukan sistem hukum dalam suatu negara. Sistem hukum di sini mencakup tiga hal (the three elements of legal system), sebagaimana disebutkan oleh Lawrance M. Frieman, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan kultur hukum (legal culture). Lawrance M. Friedman, American Law: an Introduction, New York: W.W. Norton, 1998, hlm. 19-22. Untuk pendalaman mengenai sistem hukum (legal system) ini, lihat misalnya Josep Raz, The Concept of Legal System: an Introduction to the Theory of Legal System, Oxford: Oxford University Press, 1978. Sementara itu, untuk pendalaman tentang tradisi besar sistem hukum yang ada di dunia, lihat misalnya Rene David dan John E.C. Brierly, Major Legal System in the World Today, Third Edition, London: Steven & Sons, 1985. 55 Berkaitan dengan hal ini, Joel Grossman and Richard Wells mengatakan, [T]he legitimacy of courts rest in their fidelity to the law and its enforcement.... If courts do not preserve their distinctiveness from other political bodies, if they cease being courts, than their claim to legitimacy and their power will erode. Joel Grossman and Richard Wells, Constitutional Law and Judicial Policy Making, 3rd edition, New York: Longman, 1988, hlm. 11. 56 Oleh karena itu, kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan gagasan yang sangat penting. Tentang hal ini, Daryl Williams mengatakan, The rule of law and indepence of judiciary are terms with which lawyers feel comfortable. Daryl Williams, Independence of the Judiciary Some Federal Government Initiatives, <http://www.jc.nsw.gov.au/fb/ fbwillam.htm>, diakses tanggal 24 Maret 2003.
52

11

anggaran belanja.57 Kelima hal tersebut menjadi semacam tonggak yang dapat dijadikan parameter kemerdekaan kekuasaan kehakiman.58 5. Ketentuan-ketentuan Internasional dan Regional tentang Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka (Independent Judiciary)

Keberadaan gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka (independent judiciary) telah dijustifikasi oleh ketentuan-ketentuan baik dalam scope yang bersifat internasional maupun regional. Tidak bisa dibantah lagi bahwa gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan gagasan yang telah diakui secara global dan universal sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Pengingkaran terhadap gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka sama saja dengan pengingkaran terhadap nilai-nilai HAM yang telah diakui secara universal. Pengakuan terhadap pentingnya gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut bahkan dapat ditemukan sejak generasi HAM yang pertama. Menurut ahli hukum Perancis Karel Vasak, HAM dibagi ke dalam tiga generasi.59 Generasi pertama adalah HAM yang tergolong dalam hak-hak sipil dan politik, khususnya yang berasal dari teori-teori kaum reformis yang dikemukakan pada awal abad ke-17 dan ke18 yang berkaitan dengan revolusi-revolusi yang terjadi di Inggris, Amerika, dan Prancis. Generasi kedua adalah HAM yang tergolong dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang berakar pada tradisi sosialis yang merupakan respon terhadap pelanggaran-pelanggaran dan penyelewengan dari perkembangan kapitalis. Contohnya adalah Pasal 22-27 Universal Declaration of Human Rights tentang hak keamanan sosial, hak untuk bekerja, hak untuk memperoleh standar hidup yang memadai, hak pendidikan, dan hak kehidupan budaya.60 Generasi ketiga adalah hak-hak solidaritas yang merupakan rekonseptualisasi dari kedua generasi HAM sebelumnya. Contohnya adalah Pasal 28 Universal Declaration of Human Rights yang meliputi enam hak, yaitu pertama, the right to political, economic, social, and cultural self-determination; kedua, the right to economic and social-development; ketiga, the right to participate in and benefit from the common heritage of human kind; keempat, the
Menurut P.H. Lane, The constitutional aspects of judicial independence refers to an independence in at least five ways in non-political appoinments to a court, in a guaranteed tenure and salary for the judges, in executive and legislative non-interference with court proceedings or office holders, in budgetary and administrative authonomy. P.H. Lane, Constitutional Aspects of Judicial Independence, dalam Helen Cunningham, ed., Fragile Bastion Judicial Independence in the Nineties and Beyond, Sidney: Judicial Commission of New South Wales, 1999, hlm. 4. Dalam bahasa Yash Vyas, ...judicial independence encompasses not only independence from other branches of government, but also from political and private pressures and influences. Yash Vyas, The Independence of the Judiciary: A Third World Perspective, <http://wbln0018.world bank.org/Network/PREM/PREMDocLib.nsf/b9d50320baa37e8f852566c60075b51b/0a13406b1bc4384a8525689 0006fb1b3?OpenDocument>, diakses tanggal 29 Maret 2003. 58 Peradilan yang mandiri merupakan salah satu sendi tegaknya paham negara berdasarkan konstitusi (constitutionalism) yang menghendaki agar kekuasaan negara dibatasi. Hanya peradilan yang mandiri yang dapat menegakkan aturan dan keadailan dalam rangka mengendalikan tindakan negara atau pemerintah yang melampaui wewenang atau tidak sesuai dengan tertib hukum yang berlaku. Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia: Catatan dan Gagasan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, Jakarta: Sekretariat Jendral Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2002, hlm. 13. 59 Burns H. Weston, Human Rights dalam Richard Pierre Claude dan Burns H. Weston, eds., Human Rights in the World Community, Issues and Action, Philadephia: University of Pennsylvania, 1992, hlm. 18. 60 Ibid., hlm. 19.
57

12

right to peace; kelima, the right to a healthy and balanced environment; dan keenam, the right to humanitarian disaster relief.61 Sementara itu, Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa pengertian konseptual HAM dalam sejarah instrumen hukum internasional telah melampaui empat generasi perkembangan. Generasi pertama adalah pemikiran mengenai konsepsi HAM yang sejak lama berkembang di Eropa setelah era Enlightenment telah meningkat menjadi dokumen-dokumen hukum internasional. Generasi kedua adalah konsepsi HAM mencakup pula upaya menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Generasi ketiga adalah konsepsi HAM yang mencakup pengertian hak atas pembangunan (right to development). Generasi keempat adalah adanya pemikiran bahwa persoalan HAM tidak cukup hanya dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, tetapi mencakup pula hubungan-hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal.62 a. Ketentuan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dalam Universal Declaration of Human Rights

Salah satu ketentuan hukum internasional yang sangat fundamental dan mempunyai pengaruh global adalah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 10 Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Umum tentang Hak-hak Asasi Manusia) yang disetujui dan diproklamasikan dengan Resolusi Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 217 A (III) pada 10 Desember 1948 (Adopted and Proclaimed by General Assembly Resolution 217 A (III) of 10 December 1948). Pasal tersebut menyebutkan sebagai berikut:
Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunal, in the determination of his rights and obligations and of any criminal charge against 63 him.

Pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa setiap orang dalam persamaan penuh untuk keadilan dan pengawasan publik diberikan hak atas peradilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam menentukan ha-hak dan kewajiban-kewajibannya, dan setiap tuntutan pidana terhadapnya. Keberadaan peradilan yang merdeka dan tidak memihak (independent and impartial tribunal) dalam suatu negara sangat penting sebagai salah satu hak asasi manusia
Ibid., hlm. 19-20. Jimly Asshiddiqie, Dimensi Konseptual dan Prosedural Pemajuan Hak Asasi Manusia Dewasa Ini (Pengertian ke Arah Pengertian Hak Asasi Manusia Generasi Keempat), Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas tentang Perkembangan Pemikiran Mengenai Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan oleh Institute for Democracy and Human Rights, The Habibie Center, Jakarta, April 2000, hlm. 8. Lebih jauh lagi, Asshiddiqie menegaskan bahwa ketiga generasi konsepsi hak asasi manusia tersebut pada pokoknya mempunyai karakteristik yang sama, yaitu dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, antara rakyat dengan pemerintahan dalam suatu negara. Setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia mulai dari generasi pertama sampai ketiga selalu melibatkan peran pemerintah yang biasa dikategorikan sebagai crime by government yang termasuk ke dalam pengertian political crime (kejahatan politik) sebagai lawan dari pengertian crime against government (kejahatan terhadap kekuasaan resmi). Oleh karena itu, yang selalu dijadikan sasaran perjuangan hak asasi manusia adalah kekuasaan represif negara terhadap rakyatnya. Akan tetapi, dalam perkembangan zaman sekarang dan di masa-masa yang akan datang, dimensi-dimensi hak asasi manusia itu akan berubah menjadi semakin kompleks sifatnya. 63 Universal Declaration of Human Rights, adopted and proclaimed by General Assembly resolution 217 A (III) of 10 December 1948.
62 61

13

yang diakui secara universal dan diproklamasikan melalui instrumen hukum internasional. Dengan dimasukkannya gagasan peradilan yang merdeka dan tidak memihak ke dalam Pasal 10 Universal Declaration of Human Rights membuktikan bahwa hak tersebut, sesuai dengan pembagian HAM Karel Vasak, tergolong sebagai generasi pertama, yaitu yang tergolong dalam hak-hak sipil dan politik.64 b. Ketentuan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dalam International Covenant on Civil and Political Rights

Selain Pasal 10 Universal Declaration of Human Rights, ketentuan internasional lainnya adalah International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR - Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) yang disetujui oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1976. Di dalam Pasal 14 ICCPR disebutkan sebagai berikut:
All persons shall be equal before the courts and tribunals. In the determination of any criminal charge against him, or of his rights and obligations in a suit at law, everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a competent, independent and impartial tribunal established by law. The press and the public may be excluded from all or part of a trial for reasons of morals, public order (order public) or national security in a democratic society, or when the interest of the private lives of the parties so requires, or to the extent strictly necessary in the opinion of the court in special circumstances where publicity would prejudice the interests of justice; but any judgement rendered in a criminal case or in a suit at law shall be made public except where the interest of juvenile persons otherwise requires or the proceedings concern matrimonial disputes 65 or the guardianship of children.

Pasal 14 ICCPR tersebut menyatakan bahwa setiap orang adalah sama di depan hukum dan pengadilan. Dalam penentuan setiap tuntutan pidana terhadapnya atau setiap hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dalam gugatan hukum, setiap orang demi keadilan dan pengawasan publik diberikan hak atas peradilan yang berwenang, merdeka, dan tidak memihak yang ditetapkan dengan hukum. Pers dan masyarakat dilarang memasuki seluruh atau sebagian pemeriksaan pengadilan dengan alasan moral, ketertiban masyarakat atau keamanan nasional dalam masyarakat demokratis, atau apabila kepentingan kehidupan pribadi dari beberapa pihak sangat membutuhkannya, atau untuk kebutuhan yang sangat luas menurut pendapat pengadilan dalam keadaan di mana pemberitaan akan merugikan kepentingan peradilan; di sisi lain setiap putusan yang telah dibuat dalam tindak pidana atau dalam gugatan hukum harus dibuat untuk umum kecuali dalam hal kepentingan anak-anak yang dipersyaratkan sebaliknya, atau laporanlaporan yang berkaitan dengan sengketa perkawinan atau perwalian terhadap anak. Dengan dimasukkannya gagasan peradilan yang merdeka dan tidak memihak ke dalam Pasal 14 International Covenant on Civil and Political Rights membuktikan bahwa hak tersebut, sesuai dengan pembagian HAM Karel Vasak, tergolong sebagai generasi pertama,

Weston, loc. cit. HAM yang tergolong dalam hak-hak sipil dan politik ini contohnya adalah Pasal 2-21 Universal Declaration of Human Rights. Lihat juga Gudmundur Alfredson dan Asbjrn Eide, eds., The Universal Declaration of Human Rights: A common Standard of Achievement, The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1999, hlm. 75-451. 65 United Nations, International Covenant on Civil and Political Rights, New York: The Secretary-General of the United Nations, 1976.

64

14

yaitu yang tergolong dalam hak-hak sipil dan politik.66 Keberadaannya semakin memantapkan perlunya gagasan peradilan yang merdeka dan tidak memihak sebagai bagian dari HAM generasi pertama. c. Ketentuan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dalam Basic Principles on the Independence of the Judiciary

Selain Pasal 10 Universal Declaration of Human Rights, dan Pasal 14 International Covenant on Civil and Political Rights tersebut di atas, Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Prinsip-prinsip Dasar tentang Kemerdekaan Kehakiman) juga memberikan beberapa ketentuan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Prinsip-prinsip ini disetujui oleh Kongres Persatuan Bangsa-Bangsa Ketujuh tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Penjahat (Adopted by the Seventh United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders) yang diadakan di Milan, Italia pada tanggal 26 Agustus 1985 sampai dengan 6 September 1985 dan telah disahkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 40/32 pada tanggal 29 November 1985 dan Nomor 40/146 pada tanggal 13 Desember 1985. Berbeda dengan Universal Declaration of Human Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights yang tidak terlalu panjang lebar membahas tentang gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak, Basic Principles on the Independence of the Judiciary secara panjang lebar membahas aspek-aspek gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak secara komprehensif.67 Ketentuan-ketentuan yang ada dalam Basic Principles on the Independence of the Judiciary dirumuskan untuk membantu negara-negara di dunia mengaplikasikan gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak.68 Khusus mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman ada 9 (sembilan) Pasal yang diatur dalam Basic Principles on the Independence of the Judiciary. Pasal 1 menyatakan bahwa kemerdekaan kekuasaan kehakiman harus dijamin oleh negara yang ditetapkan di dalam konstitusi atau undang-undang negara. Tugas penghormatan dan pengamatan terhadap kemerdekaan kehakiman merupakan tugas pemerintah dan lembagalembaga lainnya. Pasal 2 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman harus memutuskan suatu perkara dengan tanpa sikap memihak, berdasarkan fakta-fakta sesuai dengan peraturan perundangIbid. Konsideran kedua Basic Principles on the Independence of the Judiciary menyatakan, Whereas the Universal Declaration of Human Rights enshrines in particular the principles of equality before the law, of the presumption of innocence and of the right to a fair and public hearing by a competent, independent and impartial tribunal established by law. Basic Principles on the Independence of the Judiciary, adopted by the Seventh United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders held at Milan from 26 August to 6 September 1985 and endorsed by General Assembly resolutions 40/32 of 29 November 1985 and 40/146 of 13 December 1985. 68 Dalam konsideran juga dinyatakan, The following basic principles, formulated to assist Member States in their task of securing and promoting the independence of the judiciary should be taken into account and respected by Governments within the framework of their national legislation and practice and be brought to the attention of judges, lawyers, members of the executive and the legislature and the public in general. The principles have been formulated principally with professional judges in mind, but they apply equally, as appropriate, to lay judges, where they exist. Ibid.
67 66

15

undangan, tanpa pembatasan apa pun juga, tanpa pengaruh-pengaruh yang tidak benar, tanpa bujukan, tanpa tekanan, tanpa ancaman atau campur tangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari bagian apa pun atau untuk alasan apa pun. Pasal 3 meyatakan bahwa kekuasaan kehakiman harus mempunyai yurisdiksi terhadap semua perkara yang berkaitan dengan sifat dasar pengadilan dan harus mempunyai kewenangan untuk memutuskan apakah perkara-perkara yang diajukan untuk diputuskan tersebut berada dalam kompetensinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 4 menyatakan bahwa tidak boleh ada campur tangan terhadap proses peradilan dalam bentuk apa pun, juga putusan-putusan pengadilan tidak boleh direvisi. Prinsip ini tidak memasukkan judicial review atau peringanan yang dibuat oleh otoritas pembuat hukuman yang mempunyai kompetensi yang dijatuhkan oleh pengadilan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 5 menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk diselidiki dan diputus oleh pengadilan biasa atau pengadilan yang menggunakan prosedur-prosedur hukum yang telah ditetapkan. Pengadilan yang tidak menggunakan prosedur-prosedur hukum yang telah ditetapkan sebagaimana mestinya tidak boleh dibuat untuk meninggalkan yurisdiksi pengadilan biasa atau pengadilan lain. Pasal 6 menyatakan bahwa prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman membutuhkan pengadilan yang dapat menjamin bahwa proses peradilan dilaksanakan secara jujur dan hakhak dari para pihak dihormati. Pasal 7 menyatakan bahwa Negara Anggota mempunyai tugas untuk menyediakan sumber daya-sumber daya yang memadai untuk memungkinkan kekuasaan kehakiman dapat melakukan fungsi-fungsinya secara sebagaimana mestinya. d. Ketentuan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dalam Vienna Declaration and Programme of Action

Ketentuan hukum internasional berikutnya adalah Vienna Declaration and Programme of Action (Deklarasi Vienna dan Program untuk Aksi). Deklarasi ini disetujui oleh World Conference on Human Rights yang diadakan di Vienna, Austria pada tanggal 14 sampai dengan 25 Juni 1993. Dalam Pasal 27 Vienna Declaration and Programme of Action dikatakan:
The administration of justice, including law enforcement and prosecutorial agencies and, especially, an independent judiciary and legal profession in full conformity with applicable standards contained in international human rights instruments, are essential to the full and nondiscriminatory realization of human rights and indispensable to the processes of democracy and sustainable development. In this context, institutions concerned with the administration of justice should be properly funded, and an increased level of both technical and financial assistance should be provided by the international community. It is incumbent upon the United Nations to make use of special programmes of advisory services on a priority basis for the achievement of a strong and independent administration of justice.69

69

Secretariat of World Conference on Human Rights, Vienna Declaration and Programme of Action, World Conference on Human Rights on 25 June 1993, in Vienna, Austria.

16

Pada dasarnya, Vienna Declaration and Programme of Action ini menekankan bahwa administrasi pengadilan, termasuk penegakan hukum dan lembaga penuntutan, khususya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan profesi hukum yang sepenuhnya sesuai dengan dengan ukuran-ukuran yang dapat dilaksanakan yang terdapat dalam instrumen HAM internasional adalah suatu hal yang mendasar untuk memenuhi dan merealisasikan HAM tanpa diskriminasi dan sangat diperlukan dalam proses demokrasi dan pembangunan yang berkelanjutan. Dalam konteks ini, lembaga-lembaga yang berkaitan dengan administrasi pengadilan harus dibiayai secara memadai, serta bantuan finansial dan teknik yang meningkat harus disediakan oleh masyarakat internasional. Hal ini merupakan kewajiban PBB untuk membuat bergunanya program-program pelayanan laporan dalam memprioritaskan dasar untuk mencapai administrasi pengadilan yang merdeka dan kuat. Dengan demikian, Vienna Declaration and Programme of Action melihat persoalan yang berkaitan dengan gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka ini tidak hanya dari sudut pandang (perspektif) negara yang bersangkutan saja, melainkan juga melihatnya dari sisi internasional. e. Ketentuan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dalam Universal Declaration on the Independence of Justice

Ketentuan internasional lain yang berkaitan dengan gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah Universal Declaration on the Independence of Justice (Deklarasi Umum tentang Kemerdekaan Peradilan) yang disetujui dalam sidang paripurna terakhir First World Conference on the Independence of Justice (Konferensi Dunia Pertama tentang Kemerdekaan Peradilan) yang diadakan di Montreal (Quebec, Kanada) pada tanggal 10 Juni 1983. Beberapa ketentuan tentang kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang terdapat di dalam Universal Declaration on the Independence of Justice cukup komprehensif. Menurut deklarasi ini, hakim yang berada di dalam suatu negara mempunyai tujuan-tujuan dan fungsifungsi sebagai berikut: 1) 2) 3) Untuk melaksanakan hukum secara tidak memihak antara warga negara dan warga negara, dan antara warga negara dengan negara; Untuk memajukan ketaatan dan pencapaian hak-hak asasi manusia dalam batasbatas yang semestinya dari fungsi-fungsi peradilan; Untuk menjamin bahwa semua orang dapat hidup secara aman di bawah aturan hukum (rule of law).70

Sementara itu, yang berkaitan dengan kemerdekaan kekuasaan kehakiman terdapat berbagai ketentuan sebagai berikut: 1) Hakim harus bebas secara individual, dan tugasnya adalah memutuskan setiap perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya secara tidak memihak (imparsial), sesuai dengan penilaiannya terhadap fakta-fakta dan pemahamannya terhadap

70

Angka II International Judges, Universal Declaration on the Independence of Justice, unanimously adopted at the final plenary session of the First World Conference on the Independence of Justice held at Montreal Quebec, Canada on June 10th, 1983.

17

2)

3) 4)

hukum tanpa ada beberapa pembatasan, pengaruh, bujukan, tekanan, ancaman atau campur tangan, baik langsung maupun tidak langsung, dari bagian mana pun atau alasan apa pun; Di dalam proses pembuatan putusan, para hakim harus merdeka vis-a-vis para kolega dan hakim atasannya. Setiap tingkatan organisasi peradilan dan setiap perbedaan tingkatan atau pangkat tidak boleh ada campur tangan dengan hak dari para hakim untuk menjatuhkan hukumannya secara bebas; Kekuasaan kehakiman harus merdeka dari kekuasaan eksekutif dan legislatif; dan Kekuasaan kehakiman harus mempunyai yurisdiksi terhadap semua persoalan yang mempunyai sifat dasar peradilan.71

f.

Ketentuan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dalam International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence

International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence (Kode Standar Minimum Asosiasi Pengacara Internasional tentang Kemerdekaan Peradilan) ditetapkan di New Delhi, India pada tanggal 22 Oktober 1982. Di dalamnya terdapat beberapa ketentuan penting berkaitan dengan gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Bagian pertama kode standar minimum yang ditetapkan dalam konferensi tersebut menyatakan sebagai berikut: a) b) Individual judges should enjoy personal independence and substantive independence; Personal independence means that the terms and conditions of judicial service are adequately secured, so as to ensure that individual judges are not subject to executive control; Substantive independence means that in the discharge of his judicial function, a judge is subject to nothing but the law and the commands of his conscience. The judiciary as a whole should enjoy autonomy and collective independence vis-a-vis the Executive.72

c) d)

g.

Ketentuan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dalam The Cairo Declaration on Human Rights in Islam

The Cairo Declaration on Human Rights in Islam (Deklarasi Kairo tentang Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam) ditetapkan dalam forum The Nineteenth Islamic Conference of Foreign Ministers dalam Sesi yang bertema Peace, Interdependence, and Development yang diselenggarakan di Kairo, Mesir pada tanggal 31 Juli-5 Agustus 1990 atau bertepatan dengan

Ibid., angka II National Judges angka 2.02-2.05. International Bar Association, International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence, The Jerussalem Approved Standards of the 19th IBA Biennial Conference held on Friday, 22nd October 1982, in New Delhi, India.
72

71

18

9-14 Muharram 1411 Hijriah yang dituangkan dalam Resolusi Nomor 49/19-P.73 Menurut Ismail Suny, pasal-pasal dari The Cairo Declaration on Human Rights in Islam dapat diperbandingkan dengan pasal-pasal yang terdapat di dalam Universal Declaration of Human Rights.74 Perbandingan ini dilakukan terhadap 25 pasal yang terdapat dalam The Cairo Declaration on Human Rights in Islam dan 30 pasal dalam Universal Declaration of Human Rights.75 Penelitian ini mengkhususkan diri pada pasal-pasal yang berkaitan baik langsung maupun tidak langsung dengan gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka yang terdapat dalam The Cairo Declaration on Human Rights in Islam. Dalam Pasal 19 The Cairo Declaration on Human Rights in Islam disebutkan sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5) All individuals are equal before the law, without distinction between the ruler and the ruled. The right to resort to justice is guaranteed to everyone. Liability is in essence personal. There shall be no crime or punishment except as provided for in the Shariah. A defendant is innocent until his guilt is proven in a fair trial in which he shall be given all the guarantees of defence.76

Pasal-pasal tersebut berkaitan erat dengan prinsip-prinsip persamaan di depan hukum, hak untuk mendapatkan keadilan, pertanggungjawaban personal, tidak ada kejahatan atau hukuman kecuali yang telah ditetapkan Syariah, dan terdakwa dianggap tidak bersalah sampai pengadilan yang fair telah membuktikannya. Pasal 19 huruf e di atas menegaskan bahwa terdakwa dapat dikatakan bersalah apabila telah dibuktikan dalam persidangan yang jujur (fair) yang memberikan jaminan kepada terdakwa untuk melakukan pembelaan. Pasal ini menurut Suny mempunyai persesuaian dengan pasal 7, 10, dan 11 Universal Declaration of Human Rights77 yang berkaitan dengan prinsip-prinsip persamaan di depan hukum, peradilan yang fair, praduga tidak bersalah, dan asas legalitas. Khusus pasal-pasal yang berkaitan dengan hukum dan kekuasaan kehakiman, terdapat persesuian sebagai berikut: Tabel 2.1. Persesuian Antara Ketentuan Kekuasaan Kehakiman dalam The Cairo Declaration on Human Rights in Islam dan Universal Declaration of Human Rights The Cairo Declaration on Human Rights in Islam Universal Declaration of Human Rights

Lihat misalnya Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights Genewa, Human Rights: A Compilation of International Instruments, Volume II: Regional Instruments, New York: United Nations, 1997, hlm. 477. 74 Ismail Suny, The Organization of the Islamic Conference, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000, hlm. 119-150. 75 Ibid., hlm. 151-152. 76 Organization of the Islamic Conference. The Cairo Declaration on Human Rights in Islam. The Nineteenth Islamic Conference of Foreign Ministers, Adopted and Issued at the Nineteenth Islamic Conference of Foreign Ministers in Cairo on 5 August 1990 77 Ibid.

73

19

Article 19 All individuals are equal before the law, without distinction between the ruler and the ruled. The right to resort to justice is guaranteed to everyone. Liability is in essence personal. There shall be no crime or punishment except as provided for in the Shariah. A defendant is innocent until his guilt is proven in a fair trial in which he shall be given all the guarantees of defence.

Article 7 All are equal before the law and are entitled without any discrimination to equal protection of the law. All are entitled to equal protection against any discrimination in violation of this Declaration and against any incitement to such discrimination. Article 10 Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunal, in the determination of his rights and obligations and of any criminal charge against him. Article 11 Everyone charged with a penal offense has the right to be presumed innocent until proved guilty according to law in a public trial at which he has had all the guarantees necessary for his defence. No one shall be held guilty of any penal offence on account of any act or omission which did not constitute a penal offence, under national or international law, at the time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time the penal offence was committed.

The Cairo Declaration on Human Rights in Islam memang tidak memberikan keterangan lebih lanjut mengenai fair trial sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 (e). Akan tetapi, hal itu sudah memberikan suatu petunjuk bahwa The Cairo Declaration on Human Rights in Islam memberikan perhatian khusus terhadap lembaga peradilan. Meskipun The Cairo Declaration on Human Rights in Islam merupakan instrumen HAM di Tingkat Regional,78 tetapi mempunyai pengaruh yang sangat luas dan bersifat global mengingat populasi umat Islam yang sangat besar di dunia. Oleh karena itu, sangat tidak lengkap kalau penelitian ini tidak menyinggung pasal-pasal dalam The Cairo Declaration on Human Rights in Islam yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka. h. Ketentuan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dalam Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region

Sebagaimana The Cairo Declaration on Human Rights in Islam yang merupakan instrumen hukum internasional di tingkat regional, demikian juga Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region (Pernyataan Beijing tentang Prinsip-prinsip Kemerdekaan Kehakiman dalam Wilayah Hukum Asia) yang ditujukan untuk wilayah hukum di Asia. Pernyataan tersebut antara lain sebagai berikut: 1)
78

The judiciary is an institution of the highest value in every society;

Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Cet. I, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003, hlm. 5 dan 86.

20

2)

3)

The Universal Declaration of Human Rights (Art. 10) and The International Covenant on Civil and Political Rights (Art. 14 [1]) proclaim that everyone should be entitled to a fair and public hearing by a competence, independence and impartial tribunal established by law. An independent Judiciary is indispensable to the implementation of this rights; Independence of the Judiciary requires that: a) the judiciary shall decide matters before it in accordance with its impartial assessment of the facts and its understanding of the law without improper influences, direct or indirect, from any source: and the Judiciary has jurisdiction, directly or by way of review, over all justiciable nature;

b)

4)

5)

6)

7) 8)

9)

The maintenance of the independence of the Judiciary is essential so the attainment of its objectives and the proper performence of its functions in a free society obeserving the Rule of Law. It is essential that such independence be guaranteed by the State and enshrined in the Constitution or the law; It is the duty of the Judiciary to respect and observe the proper objectives and functions of the other institutions of government. It is the duty of those institution to respect and observe the proper objectives and functions of the Judiciary. In the decision-making process, any hierarchical organisation of the Judiciary and any difference in grade or rank shall in no way interfere with the duty of the judge, exercising jurisdiction individually or judges acting collectively to pronounce judgment in accordance with article 3 (a). The Judiciary, on its part, individually and collectively, shall exercise its functions in accordance with the Constitution and the law; Judges shall uphold the integrity and independence of the Judiciary by avoiding impropriety and the appearance of impropriety in all their activities; To the extent consistent with their duties as members of the Judiciary, judges, like other citizens, are entitled to freedom of expression, belief, association and assembly; Judges shall be free subject to any applicable law to form and join an association of judges to represent their interests and promote their professional training and to take such other action to protect their independence as may be apropriate.79

Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region mempunyai beberapa kesamaan dengan ketentuan-ketetntuan kekuasaan kehakiman yang merdeka yang terdapat dalam Basic Principles on the Independence of the Judiciary sebagaimana telah dikemukakan di atas.

Law Asia Region, Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region, as amended at Manila, 28 August 1997.

79

21

B. Mekanisme Perekrutan Hakim dan Intervensi Kekuasaan Politik 1. Ketentuan-Ketentuan Internasional tentang Perekrutan Hakim

Berbagai ketentuan hukum internasional memberikan persyaratan-persyaratan umum tentang perekrutan hakim. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya penciptaan standar umum dalam membentuk kekuasaan kehakiman yang merdeka di dalam suatu negara, sehingga dapat dikualifikasikan mana negara yang telah memenuhi syarat dalam menegakkan gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mana negara yang belum memenuhi syarat tersebut. Dengan demikian, gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak dengan mudah direduksi dan didistorsi oleh negara-negara tertentu dengan menggunakan paradigmanya sendiri di dalam mengimplementasikan gagasan tersebut. Dalam konteks Indonesia, khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan Orde Baru (1966-1998), gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka pernah direduksi dan didistorsi sedemikian rupa, sehingga secara substantif dan dalam batas tertentu apa yang disebut dengan kemerdekaan kekuasaan kehakiman sesungguhnya tidak ada. a. Ketentuan-ketentuan Perekrutan Hakim dalam Basic Principles on the Independence of the Judiciary

Salah satu ketentuan hukum internasional yang menentukan persyaratan perekrutan hakim adalah Pasal 10 Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Prinsip-prinsip Dasar tentang Kemerdekaan Kehakiman) yang memberikan beberapa ketentuan yang meskipun tidak terlalu komprehensif, tetapi cukup memberikan gambaran umum yang cukup jelas mengenai persyaratan perekrutan hakim. Pasal 10 mengatakan sebagai berikut:
Persons selected for judicial office shall be individuals of integrity and ability with appropriate training or qualifications in law. Any method of judicial selection shall safeguard against judicial appointments for improper motives. In the selection of judges, there shall be no discrimination against a person on the grounds of race, colour, sex, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or status, except that a requirement, that a candidate for judicial office must be a national of the country concerned, shall not be considered discriminatory.80

Ketentuan-ketentuan di atas memberikan beberapa persyaratan penting yang mengandung beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses perekrutan hakim, yaitu: 1) Adanya integritas, kecakapan, dan kualifikasi calon hakim; 2) Metode seleksi hakim harus memberikan perlindungan bagi pengangkatan hakim dari motivasi-motivasi yang tidak layak. 3) Tidak boleh ada diskriminasi terhadap para calon hakim. b. Ketentuan-ketentuan Perekrutan Hakim dalam Universal Declaration on the Independence of Justice

Pasal 10 Basic Principles on the Independence of the Judiciary Basic Principles on the Independence of the Judiciary, op. cit.

80

22

Universal Declaration on the Independence of Justice (Deklarasi Umum tentang Kemerdekaan Peradilan) memberikan beberapa persyaratan perekrutan hakim sebagai berikut: 1) 2) Candidates for judicial office shall be individuals of integrity and ability, welltrained in the law. They shall give have equality of access to judicial office; In the selection of judges, there shall be no discriminations on the grounds of race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or status, subject however to citizenship requirements; The process and standards of judicial selections shall give due consideration to ensuring a fair reflection by the judiciary of the society in all its aspects; (a) There is no single proper methode of judicial selection provided it safeguards against judicial appoinments for improper motives; (b) Participation in judicial appoinments by the Executive or Legislature is consistent with judicial independence, so long as appoinments of judges are made in cosultation with members of the judiciary and the legal profession, or by a body in which members of the judiciary and the legal profession participate; Continuing education shall be available to judges.81

3) 4)

5) c.

Ketentuan-ketentuan Perekrutan Hakim dalam International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence

International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence (Kode Standar Minimum Asosiasi Pengacara Internasional tentang Kemerdekaan Peradilan) memberikan ketentuan tentang perekerutan hakim sebagai berikut: 1) Participation in judicial appointments and promotions by the Executive or Legislature is not inconsistent with judicial independence, provided that appointments and promotions of judges are vested in a judicial body, in which members of judiciary and the legal profession form a majority; Appoinments and promotions by a non-judicial body will not be considered inconsistent with judicial independence in countries where by long historic and democratic tradition, judicial appointments and promotion operate satisfactorily.82

2)

d.

Ketentuan-ketentuan Perekrutan Hakim dalam Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region

Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region (Pernyataan Beijing tentang Prinsip-prinsip Kemerdekaan Kehakiman dalam Wilayah Hukum Asia) memberikan ketentuan tentang perekrutan hakim sebagai berikut:

81 82

Angka 2.11-2.14 Universal Declaration on the Independence of Justice. International Judges, op. cit. Pasal 3 (a) International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence. International Bar Association, op. cit.

23

1)

2)

3)

4)

5)

6)

7)

To enable the judiciary to achieve its objectives and perform its function, it is essensial that judges be chosen on the basis of proven competence, integrity and independence; The mode of appoinment of judges must be such as will ensure the appoinment of persons who are best qualified for judicial office. It must provide safeguards against improper influences being taken into account so that only persons of competence, integrity and independence are appointed In the selection judges there must be no discrimination against a person on the basis of race, colour, gender, religion, political or other opinion, national or social origin, marital status, sexual orientation, property, birth or status, except that a requirement that a candidate for judicial office must be a national of the country concerned shall not be considered discriminatory; The structure of the legal profession, and the sources from which judges are drown within the legal profession, differ in different societies. In some societies, the judiciary is a career service; in other, judges are chosen from the practicing profession. Therefore, it is accepted that in different societies, different procedures and safeguards may be adopted to ensure the proper appoinment of judges; In some societies, the appoinment of judges, by, with the consent of, or after consultation with Judicial Service Commission has been seen as a means of ensuring that those chosen as judges are appropriate for the purpose. Where a Judicial Service Commission is adopted, it should include representatives of the higher Judiciary and the independent legal profession as a means of ensuring that judicial competence, integrity and independence are maintained; In the absence of a Judicial Service Commission, the procedures for appoinment of judges should be clearly defined and formalised and information about them should be available to the public; Promotion of judges must be based on an objective assessment of factors such as competence, integrity, independence and experience.83

2. Intervensi Kekuasaan Politik dalam Perekrutan Hakim Agung a. Kekuasaan Politik dan Nominasi Hakim Agung

Sebagaimana telah disinggung di dalam Bab I, di berbagai negara, perekrutan hakim, khususnya hakim agung, akan selalu mengundang kekuasaan politik untuk ikut serta di dalamnya.84 Sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab I, kekuasaan eksekutif dalam hal ini Presiden dan kekuasaan legislatif dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selalu berlomba-lomba untuk ikut terlibat di dalam perekrutan hakim agung agar dapat
Pasal 11-17 Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region. Law Asia Region, op. cit. 84 Intervensi kekuasaan politik tersebut jauh lebih buruk pada negara-negara dengan corak otoriter. Hal ini disebabkan karena di negara-negara otoriter, kontrol kekuasaan politik (khususnya eksekutif) terhadap kekuasaan kehakiman sangat besar. Tentang hal ini lihat misalnya Fernando Henrique Cardozo, On the Characterization of Authoritarian Regimes in Latin America, Cambridge: Center of Latin American Studies, University of Cambridge, 1978, hlm. 12.
83

24

mendudukkan orang-orang yang dikehendaki sebagai hakim agung yang dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingannya di kemudian hari.85 Dari asumsi tersebut, Christopher E. Smith mengatakan, Nominations for the high court normally generate the greatest political interest and impact of any judicial nomination. Dengan demikian, di Amerika Serikat, penominasian hakim agung biasanya selalu memunculkan kepentingan dan dampak politik yang luas.86 Hal ini dikarenakan kekuasaan kehakiman dapat dijadikan sebagai alat politik bagi kekuasaan politik, sehingga diharapkan dapat memperjuangkan atau membela kepentingan-kepentingan politiknya. Lebih lanjut Smith mengatakan sebagai berikut:
Presidents have specific political purposes in mind when they nominate an individual to become a Supreme Court justice. Generally, presidents seek to nominate someone whose political ideology and policy preferences comport with theirs.87

Kekuasaan politik mempunyai energi yang cukup besar untuk melakukan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman.88 Besarnya pengaruh kekuasaan politik ini dibuktikan bahwa setiap penominasian hakim agung akan selalu mempunyai keterkaitan dengan kalkulasi politik

Christopher E. Smith, Critical Judicial Nominations and Political Change, Westport, Connecticut: Praeger, 1989, hlm. 12. 86 Berkaitan dengan hal tersebut, telah terbit beberapa buku yang membahas keterkaitan politik dengan lembaga peradilan, seperti Theodore L. Becker, Comparative Judicial Politics: The Political Functionings of Courts, Chicago: Rand McNally & Company, 1969; Ivan Bernier dan Andree Lajoie, The Supreme Court of Canada as an Instrument of Political Change, Toronto: University of Toronto Press, 1945; Eugene W. Hickok dan Gary L. McDowell, Justice vs. Law, Courts and Politics in American Society, New York: The Free Press, 1972, dll. Dalam konteks Indonesia, telah terbit buku yang mengaitkan konfigurasi politik dengan kekuasaan kehakiman, yaitu Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman, Cet. I, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat-ELSAM, 1997, dan disertasi A. Muhammad Asrun, Pemerintahan Otoriter dan Independensi Peradilan: Kajian Fenomena Keadilan Personal dalam Peradilan di Tingkat Mahkamah Agung (1967-1998), Disertasi doktor dalam Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003. Uraian mengenai keterkaitan politik dengan lembaga peradilan ini lihat misalnya Winarno Yudho, Ilmu Politik dan Hukum, dalam Soerjono Soekanto dan R. Otje Salman, eds., Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial (Bahan Bacaan Awal), Ed. I, Cet. II, Jakarta: Rajawali, 1988, hlm. 103. 87 Ibid. 88 Di Indonesia, ahli yang banyak meneliti tentang adanya intervensi politik terhadap hukum adalah Moh. Mahfud M.D. Beberapa penelitiannya mengungkapkan adanya fakta empiris yang lebih menujukkan bahwa politik mempunyai derajat determinasi yang lebih tinggi daripada hukum. Beberapa karyanya yang mengupas keterkaitan yang erat antara politik dan hukum ini adalah Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, Cet. I, Jakarta: LP3ES, 1998 sebagaimana telah beberapa kali dikutip di atas dalam penelitian ini; Moh. Mahfud M.D., Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tatanegara, Yogyakarta: UII Press, 1999; Moh. Mahfud M.D., Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 1993; Moh. Mahfud M.D., Hukum dan Pilarpilar Demokrasi, Jakarta: CV Gama Media, 1999; Moh. Mahfud M.D., Karakter Produk Hukum Zaman Kolonial, Yogyakarta: UII Press, 1993; Moh. Mahfud M.D., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Jakarta: CV Gama Media, 1999; Moh. Mahfud M.D., Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, ed. I, cet. I, Yogyakarta: Liberty, 1993; dan Moh. Mahfud M.D., Pergulatan Politik Hukum Zaman Kolonial, Yogyakarta: UII Press, 1999. Pada tataran lain yang lebih khusus, politik juga ikut memberikan pengaruh terhadap perubahan tafsir atas konstitusi. Yusril Ihza Mahendra, Politik dan Perubahan Tafsir atas Konstitusi, Pidato Pengukuhan pada Upacara Penerimaan Jabatan sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Kampus Baru Universitas Indonesia, Depok, 25 April 1998.

85

25

dari seorang Presiden yang berkuasa. Christopher E. Smith mengatakan, All Supreme Court nominations are determined by the presidens political calculations.89 Pernyataan tersebut tidak terlepas dari kenyataan bahwa hakim agung mempunyai peran yang sangat besar dalam hal memutuskan perkara-perkara besar yang dihadapi. Oleh karena itu, seorang hakim agung harus mempunyai beberapa kriteria yang tidak mudah untuk dipenuhi. Kriteria-kriteria ideal secara umum misalnya harus memiliki kemampuan di bidang hukum, pengalaman yang memadai, memliki integritas, moral dan karakter yang baik, dan seterusnya. Hakim yang memiliki kriteria-kriteria ini tidak akan hadir dalam suatu sistem perekrutan yang buruk. Tidak salah apabila dikatakan bahwa good judges are not born but made. Hal ini bisa dicapai apabila sistem rekruitmen, seleksi dan pelatihan hakim tersedia secara memadai.90 Kondisi ideal tersebut di atas bisa dicapai salah satunya apabila proses perekrutan hakim khususnya hakim agung harus sedapat mungkin dijauhkan dari kepentingankepentingan politik, sehingga penilaian terhadapnya relatif lebih objektif. Kehadiran Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman dapat menjadi instrumen untuk menjauhkan proses rekruitmen hakim agung dari kepentingan-kepentingan politik yang seringkali distorsif. Oleh karena itu, F. Andrew Hanssen mengatakan bahwa sistem perekrutan dan promosi seoarang hakim dapat menjadi tolok ukur seberapa jauh sebenarnya kekuasaan kehakiman yang merdeka itu dimplementasikan dalam suatu negara, karena secara teknis sistem perekrutan dan promosi hakim dapat membuka ruang terciptanya intervensi kekuasaan politik ke dalamnya.91 Salah satu gagasan yang kemudian muncul dan akhirnya diterapkan di beberapa negara adalah didirikan sebuah lembaga yang mempunyai peran signifikan dalam perekrutan hakim (agung). Lembaga ini sifatnya non-politik, sehingga kepentingan-kepentingan politik diharapkan tidak ikut melakukan determinsai terhadap perekrutan hakim (agung). Lembaga yang dimaksud adalah Komisi Yudisial. Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region (Pernyataan Beijing tentang Prinsip-prinsip Kemerdekaan Kehakiman dalam Wilayah Hukum Asia) menyatakan bahwa pengangkatan hakim (agung) yang melalui persetujuan atau konsultasi terlebih dahulu dengan Komisi Yudisial (Judicial Service Commission) dilihat sebagai instrumen untuk menjamin bahwa para hakim yang diangkat sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Apabila di dalam suatu negara tidak dikenal lembaga semacam Komisi Yudisial, maka prosedur pengangkatan harus ditentukan secara tegas dan publik harus mendapatkan informasi secukupnya mengenai calon-calon hakim yang dipersiapkan.92 Hal ini
Ibid., hlm. 46. Sebagai pendalaman terhadap hubungan antara hakim, kekuasaan kehakiman, dan politik ini, lihat misalnya Henry J. Abraham, Justices and Presidents: A Political History of Appoinments to the Supreme Court, 2nd Edition, New York/Oxford: Oxford University Press, 1985; Herman Schwartz, Packing the Courts: The Conservative Campaign to Rewrite the Constitution, New York: Charles Scribners Sons, 1988; William Lasser, The Limits of Judicial Power: The Supreme in American Politics, Chapel Hill & London: University of North Carolina Press, 1988. 90 Odette Buitendam, Good Judges are Not Born but Made: Recruiment, Selection and the Training of Judges in the Netherlands, dalam Marco Fabri dan Philip M. Langbroek, eds., The Challenge of Change for Judicial System, Netherlands: IOS Press, 2000, hlm. 211. 91 F. Andrew Hanssen, The Effect of Judicial Institutions on Uncertainty and the Rate of Litihation: the Election Versus Appoinment of States Judges, The Journal of Legal Studies, Vol. XXVIII, January 1999, hlm. 211. 92 Pasal 15-16 Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region. Law Asia Region, op. cit.
89

26

membuktikan bahwa Komisi Yudisial mempunyai peran yang sangat penting dalam proses perekrutan hakim, khususnya hakim agung. Kehadiran Komisi Yudisial menjadi semacam jaminan bahwa para hakim yang diangkat sesuai dengan gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka. b. Nominasi Hakim dan Ancaman terhadap Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman

Proses perekrutan atau pencalonan (penominasian) seorang hakim khususnya hakim agung di setiap negara harus sedapat mungkin menjamin tidak adanya motivasi-motivasi tertentu yang tidak bisa dibenarkan, seperti motivasi politik.93 Oleh karena itu, terdapat beberapa ketentuan untuk menghindari terjadinya campur tangan kekuasaan politik terhadap perekrutan hakim yang dapat mengancam terciptanya gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka.94 Pasal 10 Basic Principles on the Independence of the Judiciary Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Prinsip-prinsip Umum tentang Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman) menegaskan, Any method of judicial selection shall safeguard against judicial appointments for improper motives.95 Motivasi-motivasi yang tidak bisa dibenarkan atau yang tidak layak ini memasukkan motivasi-motivasi yang bersifat politik. Artinya motivasi politik tidak boleh dijadikan alasan utama untuk menominasikan sesorang menjadi kandidat hakim, apalagi hakim agung. Nominasi hakim yang melalui pintu kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif bisa menjadi ancaman bagi kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, keterlibatan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif di dalam perekrutan hakim harus melalui konsultasi dengan anggota badan kehakiman atau profesi hukum lainnya, atau sebuah lembaga tertentu yang keanggotaannya terdiri dari badan kehakiman atau profesi hukum. Komisi Yudisial termasuk ke dalam lembaga dengan kriteria tersebut. Universal Declaration on the Independence of Justice (Deklarasi Umum tentang Kemerdekaan Peradilan) masih memberikan ruang yang cukup bagi kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif di dalam perekrutan hakim, tetapi dengan syarat harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan pihak atau lembaga lain.96

Berkaitan dengan hal ini telah terbit beberapa buku yang di antaranya membicarakan mekanisme perekrutan hakim, seperti Neil D. McFeeley, Appoinment of Judges: The Johnson Presidency, Austin: University of Texas Press, 1987; Henry J. Abraham, The Judicial Process, 7th Edition, New York/Oxford: Oxford University, 1993; Christopher E. Smith, Judicial Self-interset: Federal Judges and Court Administration, Westport, Connecticut/London: Praeger Publisher, 1995. Sedangkan buku yang membicarakan mekanisme perekrutan hakim konstitusi di antaranya adalah Alec Stone, The Birth of Judicial Politics in France: The Constitutional Council in Comparative Perspective, New York/Oxford: Oxford University Press, 1992; Donald P. Kommers, Judicial Politics in West Germany: A Study of the Federal Constitutional Court, Beverly Hills, California: SAGE Publication, 1976; Donald P. Kommers, The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany, Second Edition, Durham and London: Duke University Press, 1997, hlm. 21-22.. 94 Keterkaitan lembaga peradilan dengan aspek-aspek politik ini kemudian menimbulkan adanya studi terhadap lembaga peradilan dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Rosemary J. Erickson dan Rita J. Simon, The Use of Social Science Data in Supreme Court Decisions, Urbana and Chicago: University of Illinois Press, 1998, hlm. 12-18. 95 Pasal 10 Basic Principles on the Independence of the Judiciary Basic Principles on the Independence of the Judiciary, op. cit. 96 Angka 2.14 (b) Universal Declaration on the Independence of Justice. International Judge, op. cit.

93

27

International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence (Asosiasi Kode Standar Minimum Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman Peradilan Internasional) juga masih memberikan kemungkinan terlibatnya kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif di dalam perekrutan hakim. Akan tetapi, kewenangan untuk melakukan pengangkatan dan promosi terletak pada lembaga peradilan.97 Pengangkatan dan promosi hakim dapat dilakukan oleh lembaga non-yudisial dengan syarat hal ini terjadi di negara yang telah mempunyai tradisi demokrasi yang panjang dan pengangkatan dan promosi hakim yang telah berlangsung sebelumnya berjalan secara memuaskan.98 Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region (Pernyataan Beijing tentang Prinsip-prinsip Kemerdekaan Kehakiman dalam Wilayah Hukum Asia) juga mengharuskan pola pengangkatan yang berlaku dapat menjamin terekrutnya orang-orang yang memenuhi syarat sebagai hakim.99 Komisi Yudisial diharapkan bisa menjadi lembaga yang tidak terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan politik, karena lembaga ini diidealkan tidak mempunyai kepentingan yang bersifat politik, sehingga setiap pilihan-pilihan pertimbangan yang diambilnya lebih berdimensi kepentingan pemajuan lembaga peradilan. Hal yang berbeda terjadi pada kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif yang mempunyai derajat kepentingan politik yang sangat tinggi, sehingga setiap tindakan yang diambilnya selalu dapat dibaca sebagai bagian dari aktivitas politik yang seringkali distorsif dan mengabaikan prinsip-prinsip meritokrasi.

C. Etika Profesi Hukum dan Penegakan Kode Etik Profesi Hukum Sebagaimana telah disinggung di dalam Bab I, istilah etika dalam Bahasa Indonesia diambil dari ethos (bentuk tunggal) Bahasa Yunani yang berarti tempat tinggal, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat; watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Bentuk jamaknya ta etha yang berarti adat istiadat.100 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).101 Sedangkan Blacks Law Dictionary mengartikan ethics sebagai berikut:
Of or relating to moral action, conduct, motive or character; as, ethical emotion; also, treating of moral feeling, duties or conduct; containing precepts of morality; moral. Professionally right or befitting; conforming to professional standards of conduct.102

Sementara itu, definisi profesi secara singkat adalah sebuah sebutan untuk jabatan pekerjaan, dimana orang yang menyandangnya dianggap mempunyai keahlian khusus yang

Pasal 3 (a) International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence. International Bar Association, op. cit. 98 Ibid. 99 Pasal 11-17 Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region. Law Asia Region, op. cit. 100 K. Bertens, Etika, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997, hlm. 4. 101 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I, Ed. III, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, hlm. 309. 102 Henry Campbell Black, Blacks Law Dictionary: Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern, St. Paul, Minn.: West Group, 1991, hlm. 384.

97

28

diperoleh melalui training dan pengalaman kerja.103 Terminologi profesi paralel dengan profesionalitas yang dicirikan dengan tiga karakter penting. Pertama, keterkaitan profesi tersebut dengan disiplin ilmu yang dipelajarinya dan karenanya bersifat khusus. Kedua, mempunyai kemampuan merealisasikan teori-teori ilmunya dalam ranah praktis dengan baik. Ketiga, mempunyai banyak pengalaman kerja.104 Sedangkan Blacks Law Dictionary mengartikan profession sebagai berikut: A vocation or occupation requiring special, usually advanced, education, knowledge, and skill; e.g. law or medical professions. Also refer to whole body of such profession.105 Selain itu, profesi secara umum juga dapat diartikan sebagai pekerjaan yang berwujud karya pelayanan yang dijalankan dengan penguasaan dan penerapan pengetahuan di bidang keilmuan tertentu, yang pengembangannya dihayati sebagai suatu panggilan hidup, dan pelaksanaannya terikat pada nilai-nilai etika tertentu yang dilandasi semangat pengabdian terhadap sesama manusia, demi kepentingan umum, serta berakar pada penghormatan dan upaya untuk menjunjung tinggi martabat manusia.106 Secara sederhana dapat diperoleh kesimpulan bahwa etika profesi adalah sikap etis sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam menjalani kehidupan sebagai pengemban profesi. Hanya pengemban profesi yang bersangkutan sendiri yang dapat atau paling mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban profesi memenuhi tuntutan etika profesinya atau tidak.107 Sejalan dengan pengertian ini, profesi hukum dapat dipahami sebagai profesi yang, melalui penguasaan dan penerapan disiplin ilmu hukum di dalam masyarakat, diemban orang untuk menyelenggarakan dan menegakkan ketertiban yang berkeadilan di dalam masyarakat itu.108 1. Moralitas Profesi Hukum a. Nilai-nilai Moralitas Umum Profesi Hukum

Menurut Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi yang dibuat oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia (KHN RI) Tahun 2003, profesi hukum dipahami sebagi profesi yang, melalui penguasaan dan penerapan disiplin ilmu hukum di dalam masyarakat, diemban orang untuk menyelenggarakan dan menegakkan ketertiban yang berkeadilan di dalam masyarakat itu. Oleh karena itu, selalu ada tuntutan agar pengembanan profesi hukum senantiasa didasarkan pada nilai-nilai moralitas umum (common morality) sebagai berikut:

E. Soemaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-norma bagi Penegak Hukum, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995, hlm. 32. 104 Ibid., hlm. 33-34. 105 Black, op. cit., hlm. 841. 106 Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi, Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003, hlm. 1. Sebagai perbandingan lihat misalnya Cristopher E. Smith, Courts, Politics, and the Judicial Process, Chicago: Nelson-Hall Publisher Inc., 1993, hlm. 57-85. 107 Bernard Arif Sidharta, Etika dan Kode Etik Profesi Hukum, Majalah Ilmu Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Padjadjaran, Jilid V No. 3-4, 1974, sebagaimana dikutip oleh Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 8. 108 Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, op. cit.

103

29

1) 2) 3)

4)

5)

6) 7)

Nilai-nilai kemanusiaan (humanity), dalam arti penghormatan pada keluhuran martabat kemanusiaan; Nilai-nilai keadilan (justice), dalam arti dorongan untuk selalu memberikan kepada orang apa yang menjadi haknya; Nilai-nilai kepatutan arau kewajaran (reasonableness), dalam arti bahwa upaya mewujudkan keadilan dalam masyarakat selalu diwarnai oleh kesadaran untuk selalu memperhatikan dan memperhitungkan rasionalitas situasi dan rasa keadilan individual anggota masyarakat; Nilai-nilai kejujuran (honesty), dalam arti dorongan kuat untuk selalu memelihara kejujuran dan penghindaran diri dari perbuatan-perbuatan yang curang; Keharusan untuk memiliki kualitas keahlian dan keilmuan (professional and knowledge credibility) yang tinggi dalam disiplin ilmu hukum pada para pengembannya; Kesadaran untuk selalu menghormati dan menjaga integritas dan kehormatan profesinya; dan Nilai-nilai pelayanan dan kepentingan publik (to serve public interest), dalam pengertian bahwa di dalam pengembanan profesi hukum telah melekat semangat keberpihakan pada hak-hak dan kepuasan masyarakat pencari keadilan yang merupakan kosekuensi langsung dari dipegang teguhnya nilainilai keadilan, kejujuran, dan kredibilitas profesional dan keilmuan.109

b.

Standar Profesi Hukum

Dengan mengadaptasi paradigma standar profesi hukum yang telah dikembangkan di Amerika Serikat, penelitian yang dilakukan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia berusaha menjelaskan standar profesi hukum dengan langkah-langkah berpikir sebagai berikut: 1) Dari nilai-nilai moralitas umum (common morality) pada hakikatnya masih dapat dan perlu diturunkan berbagai norma dan pedoman perilaku lain yang, walaupun masih bersifat abstrak, tetapi sudah secara khusus dapat diterima sebagai asas moral/asas etik profesi hukum (moral/ethical axioms of the legal profession). Asas-asas moralitas/etik profesi hukum adalah pernyataanpernyataan moral (moral statements) yang merupakan norma-norma aksiomatik dalam wujud prinsip-prinsip etika yang mendasar (fundamental principles of ethics) yang mengekspresikan secara umum standar perilaku profesional yang dituntut dari semua dan setiap pengemban profesi hukum dalam relasinya dengan masyarakat, dengan tata hukum, dan dengan sesama pengemban profesi hukum. Asas-asas moral ini adalah konsep-konsep umum yang menjadi sumber dari pedoman etik dan aturan disiplin profesi hukum. Asas-asas moral/etik itu pada tingkat berikutnya harus dielaborasi lebih lanjut menjadi seperangkat pedoman etik yang berlaku bagi pengemban profesi hukum pada umumnya. Pedoman etik ini bersifat aspirasional dan hanya

2)

109

Ibid., hlm. 1-2.

30

3)

menunjuk ke arah asas-asas yang dapat dijadikan pegangan oleh setiap pengemban profesi hukum sebagai pedoman perilaku dalam situasi-situasi tertentu. Pedoman etik harus sekaligus menjadi tujuan dan pedoman (objective and guidance) bagi setiap pengemban profesi hukum dalam setiap situasi yang dihadapinya ketika menjalankan profesinya. Seperti halnya aksioma-aksioma yang disebut pada angka 1) di atas, pedoman etik ini tampaknya bersifat aspirasional dan penegakannya sangat tergantung pada hati nurani (conscience) individu pengemban profesi hukum. Pedoman etik ini seharusnya dimuat di dalam kode-kode etik sub-sub profesi hukum dan menjadi nilai umum yang dielaborasi lebih lanjut ke dalam aturan-aturan disiplin sub profesi hukum yang bersangkutan. Pada tingkat yang lebih konkrit, pedoman-pedoman etik itu dapat dijabarkan lebih lanjut dan lebih khusus ke dalam aturan-aturan disiplin (disciplinary rules) yang dapat disetarakan dengan kode-kode etik sub-sub profesi hukum yang sudah ada pada saat ini di Indonesia. Aturan disiplin memiliki sifat yang memaksa (mandatory character) dan dimaksudkan untuk menetapkan batasbatas perilaku minimum yang tidak dapat dilanggar oleh seorang pengemban profesi hukum tanpa mengakibatkan adanya tindakan disipliner terhadapnya, walaupun tidak tertutup kemungkinan bahwa terdapat beberapa aturan yang bersifat umum untuk semua jenis profesi hukum. Pada tingkat ini, prinsipprinsip perilaku profesi hukum lebih banyak mewujudkan diri dalam prinsipprinsip berperilaku yang erat kaitannya dengan kompetensi teknis (technical competence), suatu jenis profesi hukum tertentu dan pentaatannya sangat berkaitan erat dengan karakteristik dari profesi itu, misalnya jaksa, hakim, notaris, dan lain-lain.110

c.

Asas-Asas Moralitas Umum Profesi Hukum

Selain nilai-nilai moralitas umum profesi hukum, Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi yang dibuat oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia (KHN RI) Tahun 2003 juga membuat formulasi 12 (dua belas) Asas-asas Moralitas Umum Profesi Hukum yang cukup komprehensif. Pertama, seorang pengemban profesi hukum berkewajiban untuk senantiasa menjalankan profesinya dengan integritas yang tinggi dan untuk menegakkan serta melaksanakan keadilan (the duty to uphold justice and the administration of justice). Kedua, seorang pengemban profesi hukum akan selalu menjalankan profesinya dengan penuh rasa pengabdian kepada masyarakat berdasarkan kejujuran, keterbukaan, kepatutan (principle of honesty, candor, and reasonableness). Ketiga, seorang pengemban profesi hukum berkewajiban untuk hanya menangani persoalan-persoalan hukum di mana ia memiliki kompetensi untuk menanganinya, dan harus melaksanakan semua dan setiap pelayanan jasa hukum yang disanggupinya untuk diberikan demi kepentingan klien atau pihak lain (principle of competence). Keempat, seorang pengemban profesi hukum harus senantiasa memberikan pelayanan jasa hukum, melaksanakan keahlian hukumnya, termasuk pengakhiran pelayanan jasa
110

Ibid., hlm. 10-12.

31

hukumnya dengan penuh kehati-hatian, kerajinan, efisiensi, dan cara yang beradab, demi tingkat kualitas pelayanan yang diyakini setara dengan apa yang umumnya diharapkan dari seorang pengemban profesi hukum yang kompeten dalam situasi yang serupa (principle of prudence and reasonable belief) dan senantiasa menghindarkan diri dari perilaku atau tindakan yang tidak sesuai dengan kepantasan dan atau standar profesional (duty to avoid professional impropriety and indecency). Kelima, seorang pengemban profesi hukum harus melaksanakan profesinya dengan penuh kejujuran dan keterbukaan (principle of honesty and candor), serta mendukung setiap upaya untuk mencegah praktik hukum yang tidak sah (the duty of prevantion of unauthorized legal practice). Keenam, seorang pengemban profesi hukum harus memelihara dan menjaga kepercayaan dan rahasia yang menyangkut urusan dan kepentingan yang sah dari klien dan/atau pihak pencari keadilan lain yang mempercayakan urusan dan kepentingan kepadanya (principle of trust and confidentiality). Ketujuh, seorang pengemban profesi hukum harus senantiasa membuat keputusankeputusan profesional yang bebas demi kepentingan klien atau pencari keadilan lainnya, dan menghindarkan diri dari timbulnya perbenturan antara kepentingan klien dengan kepentingan pribadinya, klien lain, dan/atau pihak-pihak ketiga (principle of impartiality and avoidance of conflict of interests). Kedelapan, seorang pengemban profesi hukum memiliki kewajiban untuk tidak berupaya memperoleh bisnis pelayanan jasa hukum atau pelaksanaan tugas-tugasnya dengan cara-cara sebagai berikut: 1) 2) 3) yang tidak sejalan dengan kepentingan publik; yang tidak sejalan dengan kewajiban untuk mempertahankan integritas dan kehormatan profesi hukum; dan menyalahgunakan atau memanfaatkan kedudukan hukum dan/atau noh-hukum yang lemah dari seseorang.

Prinsip ini disebut dengan the duty to avoid the use of improper and unreasonable means of business solicitation. Kesembilan, seorang pengemban profesi hukum harus mewakili dan mengupayakan kepentingan-kepentingan serta tujuan-tujuan yang sah dari klien atau pihak lain yang direpresentasikannya dengan semaksimal mungkin, namun tetap dalam batasan-batasan norma-norma hukum yang berlaku (principle of lawful partisanship). Kesepuluh, Seorang pengemban profesi hukum harus selalu berupaya dan mendukung setiap upaya untuk memajukan dan mengembangkan sistem hukum dan sistem peradilan (duty of continuous effort to improve the legal system and justice system). Kesebelas, Seorang pengemban profesi hukum, dalam melaksanakan profesinya harus selalu ikut menghormati dan mengawasi pelaksanaan tugas pengembanan profesi hukum, baik oleh pengemban profesi hukum yang memiliki bidang karya yang sama atau yang berbeda, demi mempertahankan integritas dan kehormatan profesi hukum pada umumnya (principle of mutual respect and incessant consciousness to preserve honor and integrity amongst members of the legal profession). Keduabelas, seorang pengemban profesi hukum berkewajiban untuk senantiasa menghormati dan mentaati setiap keputusan dan/atau tindakan indisipliner yang dimaksudkan 32

untuk menegakkan prinsip-prinsip moral umum dan kode etik profesi yang berlaku terhadapnya (the duty to honor and respect justified and reasonable disciplinary rulings and decisions endorsed by the profession). Kedua belas asas-asas Moralitas Umum Profesi Hukum tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel 2.2. Asas-asas Moralitas Umum Profesi Hukum111 No.
1.

Asas-asas Moralitas Umum Profesi Hukum


Seorang pengemban profesi hukum berkewajiban untuk senantiasa menjalankan profesinya dengan integritas yang tinggi dan untuk menegakkan serta melaksanakan keadilan (the duty to uphold justice and the administration of justice). Seorang pengemban profesi hukum akan selalu menjalankan profesinya dengan penuh rasa pengabdian kepada masyarakat berdasarkan kejujuran, keterbukaan, kepatutan (principle of honesty, candor, and reasonableness). Seorang pengemban profesi hukum berkewajiban untuk hanya menangani persoalan-persoalan hukum di mana ia memiliki kompetansi untuk menanganinya, dan harus melaksanakan semua dan setiap pelayanan jasa hukum yang disanggupinya untuk diberikan demi kepentingan klien atau pihak lain (principle of competence). Seorang pengemban profesi hukum harus senantiasa memberikan pelayanan jasa hukum, melaksanakan keahlian hukumnya, termasuk pengakhiran pelayanan jasa hukumnya dengan penuh kehati-hatian, kerajinan, efisiensi, dan cara yang beradab, demi tingkat kualitas pelayanan yang diyakini setara dengan apa yang umumnya diharapkan dari seorang pengemban profesi hukum yang kompeten dalam situasi yang serupa (principle of prudence and reasonable belief) dan senantiasa menghindarkan diri dari perilaku atau tindakan yang tidak sesuai dengan kepatasan dan atau standar profesional (duty to avoid professional impropriety and indecency). Seorang pengemban profesi hukum harus melaksanakan profesinya dengan penuh kejujuran dan keterbukaan (principle of honesty and candor), serta mendukung setiap upaya untuk mencegah praktik hukum yang tidak sah (the duty of prevantion of unauthorized legal practice). Seorang pengemban profesi hukum harus memelihara dan menjaga kepercayaan dan rahasia yang menyangkut urusan dan kepentingan yang sah dari klien dan/atau pihak pencati keadilan lainyang mempercayakan urusan dan kepentingan kepadanya (principle of trust and confidentiality). Seorang pengemban profesi hukum harus senantiasa membuat keputusan-keputusan profesional yang bebas demi kepentingan klien atau pencari keadilan lainnya, dan menghindarkan diri dari timbulnya perbenturan antara kepentingan klien dengan kepentingan pribadinya, klien lain, dan/atau pihak-pihak ketiga (principle of impartiality and avoidance of conflict of interests).

2.

3.

4.

5.

6.

7.

111

Ibid., hlm. 32-34.

33

8.

9.

10.

11.

12.

Seorang pengemban profesi hukum memiliki kewajiban untuk tidak berupaya memperopleh bisnis pelayanan jasa hukum atau pelaksanaan tugas-tugasnya dengan cara-cara: yang tidak sejalan dengan kepentingan publik; yang tidak sejalan dengan kewajiban untuk mempertahankan integritas dan kehormatan profesi hukum; menyalahgunakan atau memanfaatkan kedudukan hukum dan/atau noh-hukum yang lemah dari seseorang. (The duty to avoid the use of improper and unreasonable means of business solicitation). Seorang pengemban profesi hukum harus mewakili dan mengupayakan kepentingan-kepentingan serta tujuan-tujuan yang sah dari klien atau pihak lain yang direpresentasikannya dengan semaksimal mungkin, namun tetap dalam batasan-batasan norma-norma hukum yang berlaku (principle of lawful partisanship). Seorang pengemban profesi hukum harus selalu berupaya dan mendukung setiap upaya untuk memajukan dan mengembangkan sistem hukum dan sistem peradilan (duty of continuous effort to improve the legal system and justice system). Seorang pengemban profesi hukum, dalam melaksanakan profesinya harus selalu ikut menghormati dan mengawasi pelaksanaan tugas pengembanan profesi hukum, baik oleh pengemban profesi hukum yang memiliki bidang karya yang sama atau yang berbeda, demi mempertahankan integritas dan kehormatan profesi hukum pada umumnya (principle of mutual respect and incessant consciousness to preserve honor and integrity amongst members of the legal profession). Seorang pengemban profesi hukum berkewajiban untuk senantiasa menghormati dan mentaati setiap keputusan dan/atau tindakan indisipliner yang dimaksudkan untuk menegakkan prinsip-prinsip moral umum dan kode etik profesi yang berlaku terhadapnya (the duty to honor and respect justified and reasonable disciplinary rulings and decisions endorsed by the profession).

Penelitian ini mengkhususkan diri pada profesi hakim, sesuai dengan topik yang dipilih. Hakim merupakan profesi hukum yang mempunyai fungsi startegis dalam proses penegakan hukum (law enforcement) untuk menemukan keadilan dan kebenaran suatu perkara. Selain itu, putusan seorang hakim, sebagai sebuah yurisprudensi, menjadi salah satu sumber hukum di mana hukum ditemukan di dalamnya.112 Hakim yang akan memutus suatu perkara di pengadilan harus mengkombinasikan tiga hal secara simultan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum. Tugas ini tentu saja tidak mudah dilaksanakan. Unsur kepastian hukum dalam penegakan hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan seseorang terhadap orang lain, karena hukum telah dianggap sebagai rujukan terakhir untuk mengatasi konfik yang terjadi dalam mayarakat.113 Hakim juga mempunyai fungsi untuk memeriksa, menilai, dan menetapkan nilai perilaku manusia tertentu dan menentukan nilai yang harus berlaku dalam masyarakat dalam suatu sistuasi konkrit.114 Lebih dari itu, putusan seorang hakim sebagai sebuah yurisprudensi menjadi sumber hukum. Oleh karena itu, ada dua asas yang selalu melekat pada diri seorang
112

Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Laporan Akhir Standar Pengujian Profesi Hukum, Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003, hlm. 11. 113 A. Ahsin Thohari, Dari Law Enforcement ke Justice Enforcement, Harian Kompas, Rabu, 3 Juli 2002, hlm. 31. Lihat juga dalam <http://www.kompas.com/kompas %2Dcetak/0207/03/opini/dari31.htm>, diakses 3 Juli 2002. 114 Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi, op. cit., hlm. 2-3.

34

hakim, yaitu ius curia novit (larangan untuk menolak memeriksa perkara disebabkan aggapan bahwa hakim tidak tahu akan hukumnya)115 dan audi et alteram partem (kedua belah pihak harus didengar).116 Kedua asas ini selalu inheren dalam diri hakim dalam menjalankan tugasnya.117 Menurut Pasal 1 butir 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara 118 Pidana, Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Sedangkan Pasal 1 butir 9 menyatakan sebagai berikut:
Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Dengan demikian, hakim mempunyai peran yang signifikan (significant role) dalam serangkaian proses penegakan hukum, karena semua perkara hukum bermuara pada putusanputusannya. Dengan fungsi sepenting ini, sebenarnya hakim juga menjadi pencipta normanorma yang dapat bersifat baru, karena setiap putusan-putusannya dapat dianggap sebagai yurisprudensi yang merupakan salah satu dari sumber hukum.119 Hakim juga bertugas mempertahankan tertib hukum (legal order) dengan cara memberikan putusan terhadap setiap perkara yang dihadapkan kepadanya. Dengan peran dan tugas strategis ini, seorang hakim harus merupakan pribadi-pribadi yang memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati secara internasional sebagaimana telah disinggung di atas. 2. Penegakan Disiplin Profesi Hakim a. Kode Etik Profesi Hakim

Sebagaimana telah disinggung di dalam Bab I, norma hukum bukan merupakan institusi sosial (social institution) segala-galanya, karena ternyata di samping norma hukum masih diperlukan norma yang lain, yaitu norma etika-moral dan bahkan norma agama untuk keperluan mengatur, mengendalikan, dan mendorong dinamika kehidupan bersama umat

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Edisi IV, Cet. I, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hal.10 dan 104. Ibid., hlm. 14, 80, dan 82. 117 Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Laporan Akhir Standar Pengujian Profesi Hukum, op. cit., hlm. 11. 118 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No.76 Tahun 1981, TLN No. 3209. 119 Sumber hukum formal adalah undang-undang; yurisprudensi; doktrin; traktat; dan kebiasaan. Lihat misalnya Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Edisi III, Cet. I, Yogyakarta: Liberty, 1991, hlm. 63-100; Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Edisi III, Cet.I, Yogyakarta: Liberty, 1993, hlm. 9-17. Hakim setidaknya mempunyai lima tanggung jawab, yaitu (1) melakukan justisialisasi hukum, yaitu setiap putusan hakim harus memperhitungkan kemanfaatan dan keadilan; (2) penjiwaan hukum, yaitu dalam membuatu putusan, hakim harus tampil sebagai jiwa pembela hukum; (3) pengintegrasian hukum, yaitu putusan yang diambil hakim harus mengintegrasikan sistem hukum yang sedang berkembang; (4) totalisasi hukum, yaitu putusan hakim harus mampu ditempatkan dalam keseluruhan kenyataan; dan (5) personalisasi hukum, yaitu putusan hakim harus berpijak pada kepribadian para pihak pencari keadilan. Nanda Agung Dewantara, Masalah Kebebasan Hakim dalam Menangani suatu Perkara Pidana, Cet. I, Jakarta: Penerbit Aksara Persada Indonesia, 1987, hlm. 149-151.
116

115

35

manusia.120 Sebagai warga negara, setiap orang diatur dan terikat pada code of law (kode hukum negara), tetapi pada saat yang sama sebagai warga atau anggota organisasi, perilaku organisasinya diikat oleh Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga atau Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga yang berlaku di lingkungan organisasi tertentu. Hal inilah yang disebut dengan code of conduct atau code of organizational conduct.121 Profesi hakim juga memerlukan code of conduct yang mempunyai kekuatan mengikat bagi para anggotanya. Kode etik bagi para hakim diperlukan, karena kode etik merupakan kumpulan asas atau nilai moral122 atau norma dan asas yang diterima oleh kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku.123 Kode etik dianggap penting bagi profesi hukum, karena profesi hukum merupakan suatu masyarakat moral (moral community) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama.124 Kode etik adalah sebuah kompas yang menunjuk arah moral bagi profesional hukum dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi hukum di mata masyarakat. Dengan demikian kode etik profesi hukum merupakan pengaturan diri (self regulation) bagi profesional hukum dengan tujuan untuk mencegah terjadinya perilaku tidak etis.125 Oleh karena itu, profesi hakim harus mempunyai kode etik agar nilai-nilai yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan terinternalisasi pada diri seorang hakim. Nilai-nilai tersebut mencakup beberapa hal sebagai berikut: 1. 2. 3. Hakim dalam menjalankan tugasnya harus bebas, tetapi harus menjunjung tinggi keadilan. Hakim harus menjunjung tinggi nilai-nilai keterbukaan dan menemukan hukum melalui metode interpretasi. Hakim harus selalu mempertanggungjawabkan sikap dan tindakannya baik secara vertikal (kepada masyarakat) maupun secara horisontal (kepada Tuhan Yang Maha Esa). Hakim harus bersedia menerima keberatan yang diajukan oleh pihak yang diadili apabila meragukan objektivitas hakim tersebut.126

4.

Kode etik tersebut harus benar-benar ditegakkan, karena makna penegakan kode etik adalah pengontrolan terhadap pelaksanaan nilai-nilai yang dimuat di dalam kode etik tersebut, sekaligus melakukan tindakan terhadap setiap perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Tujuan dari penegakan ini adalah untuk membuat nilai-nilai luhur yang telah
120

Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm. 32. 121 Ibid., hlm. 33. 122 E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum: Sebuah Pendekatan Sosio-Religius, Cet. I, Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2001, hlm. 12. 123 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I, Ed. III, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, hlm. 578. 124 Paul F. Camenish, Grounding Professional Ethics in a Pluralistic Society, New York: Haven Publication, 1983, hlm. 48. 125 Kanter, op. cit., hlm. 114. 126 Disarikan dari Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi, op. cit., hlm. 38.

36

dipandang tepat bagi profesi tersebut, benar-benar dipatuhi dan diterapkan. Penegakan kode etik profesi ini merupakan salah satu cara untuk melestarikan nilai-nilai luhur dari dalam profesi hukum tersebut, sehingga profesi mulia ini dalam pelaksanaannya tidak akan mengalami degradasi moral dan bahkan apabila diperlukan memperoleh peningkatan kualitas kemuliaan dari profesi tersebut. Hal inilah yang menyebabkan kode etik profesi ini senantiasa harus dievaluasi dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu.127 b. Penegakan Kode Etik Profesi Hakim

Pada dasarnya, pengemban profesi hukum merupakan salah satu komponen yang sangat penting yang akan dapat menentukan baik dan buruknya pelaksanaan dan penegakan hukum. Untuk mengoptimalkan partisipasi pengemban profesi hukum dalam menegakkan hukum diperlukan adanya suatu sarana pemaksa yang membuat pengemban profesi hukum melaksanakan tugasnya dengan baik. Salah satu sarana penting tersebut adalah batasanbatasan nilai-nilai moral profesinya yang termuat di dalam kode etik profesi hukum.128 Demikian juga dengan hakim sebagai salah satu bagian dari pengemban profesi hukum. Organisasi profesi hukum yang menaungi para pengemban profesi hukum merupakan organisasi yang bersifat pengaturan diri (self-regulation) bagi profesional hukum dengan tujuan untuk mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis.129 Selain pengaturan diri, menurut Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, juga harus ada self-governing. Artinya, organisasi profesi hukum berwenang untuk menentukan aturan yang akan digunakan untuk mengatur tata tertib dan perilaku anggotanya dalam menjalankan tugasnya; pada saat yang sama organisasi profesi tersebut juga harus melaksanakan dan menegakkan standar etika profesi yang ditentukannya.130 Profesi hakim tentu saja juga termasuk di dalamnya, sehingga profesi hakim harus mengatur tata tertib dan perilaku anggotanya dalam menjalankan tugasnya dan pada saat yang sama organisasi profesi tersebut juga harus melaksanakan dan menegakkan standar etika profesi yang ditentukannya. Pengemban profesi hukum, termasuk profesi hakim, harus menjalankan tugasnya dengan mengutamakan perlindungan terhadap kepentingan umum dan jaminan bahwa pengemban profesi hukum akan menjalankan profesinya secara bertanggung jawab tanpa melanggar hak-hak orang lain.131 Untuk memperoleh jaminan tersebut, organisasi profesi
127 128

Soemaryono, op. cit., hlm. 147. Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi, op. cit., hlm. 228. 129 Kode etik menjadi sarana kontrol sosial dalam pelaksanaan profesi sebagai pelayanan dan pengabdian kepada mesyarakat. Kanter, op. cit. Kode etik juga berisi beberapa ketentuan wajib lapor tentang pelanggaran yang dilakukan anggota profesi hukum. Bertens, op. cit., hlm. 279-283; Jenny Teichman, Etika Sosial, Yogyakarta: Kanisius, 1998, hlm. 119-132. 130 Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi, op. cit. 131 Soemaryono, op. cit., hlm. 148. Pada tingkat selanjutnya, etika profesi adalah sikap etis sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam menjalani kehidupan sebagai pengemban profesi. Kepatuhan pada etika profesi bergantung pada akhlak pengemban profesi yang bersangkutan, karena awam tidak bisa menilai. Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Cet. III, Bandung: CV Mandar Madju, 2002, hlm. 87. Nilai-nilai etis tidak bermuatan sanksi hukum sejauh tidak dipositifkan sebagai suatu kaidah hukum yang mengikat. Akan tetapi, apabila nilai-nilai etis tersebut telah dipositifkan (dalam pengertian menjadi suatu kaidah hukum yang mengikat), maka pengemban profesi harus tunduk pada nilai-nilai etis tersebut dengan segala konsekuensi hukumnya apabila melanggarnya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai etis tersebut telah menjadi hukum yang, sebagaimana dikatakan Hans Kelsen, dipahami sebagai suatu perintah yang bersifat memaksa (a coercive

37

hukum, termasuk profesi hakim, memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi bagi setiap anggotanya yang melanggar kode etik profesi.132

order). Hans Kelsen, Pure Theory of Law [Reine Rechtslehre], translated from the second German edition by Max Knight, Berkeley: University of California Press, 1978, hlm. 33. 132 Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi, op. cit., hlm. 229.

38

BAB III SUSUNAN DAN KEDUDUKAN KOMISI YUDISIAL DI BERBAGAI NEGARA A. Komisi Yudisial di Berbagai Negara Sebagaimana telah disebutkan dalam Bab I, penelitian ini mempergunakan metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris. Akan tetapi, peneliti akan lebih menitikberatkan penelitian ini pada penelitian hukum normatif, sedangkan penelitian hukum empiris berfungsi sebagai informasi pendukung. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum normatif ini salah satunya dilakukan dengan cara perbandingan hukum,1 yang merupakan salah satu metode2 dari berbagai macam metode penelitian.3 Penelitian terhadap Komisi Yudisial, dengan harapan dapat memberikan sumbangan pikiran terhadap pelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia, akan lebih tepat setelah melakukan perbandingan dengan pelembagaan Komisi Yudisial di negara lain. Harapan ini muncul karena telah mengetahui kelemahan dan kelebihan pelembagaan Komisi Yudisial di negara lain. Tentu saja pelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia yang akan direkomendasikan peneliti tidak semata-mata didasarkan atas hasil-hasil perbandingan dengan negara lain, tetapi juga harus melihat aspek-aspek partikular struktur ketatanegaraan Indonesia. 1. Hukum Tata Negara Perbandingan Sekali lagi peneliti menegaskan bahwa penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang salah satunya menggunakan metode perbandingan hukum. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum normatif ini mencakup beberapa hal sebagai berikut: a. Penelitian terhadap asas-asas hukum; b. Penelitian terhadap sistematik hukum; c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal; dan d. Sejarah hukum.4 Perbandingan hukum dalam penelitian ini adalah perbandingan hukum tata negara.5 Menurut Van Vollenhoven hukum tata negara adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum,
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Edisi 1, Cet. V, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001, hlm. 13-14; Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di dalam Penelitian Hukum, Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979, hlm. 15. 2 Soekanto dan Mamudji, Penelitian..., op. cit., hlm. 86. 3 Khusus pendalaman tentang perbandingan hukum (comparative law) ini, lihat misalnya Kondrad Zweigert dan Hein Ktz, Introduction to Comparative Law, 3rd Revised Edition, Oxford: Clarendon Press, 1998. 4 Soekanto dan Mamudji, Penelitian Hukum..., op. cit., hlm. 13-14. Lihat juga Soekanto dan Mamudji, Peranan..., op. cit., hlm. 15. 5 Di kalangan para ahli hukum tata negara terjadi perbedaan pendapat tentang penggunaan istilah yang berasal dari bahasa Inggris comparative constitutional law dan bahasa Belanda vergelijkende staatsrechtswetenschap. Sri Soemantri M. menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah perbandingan antar hukum tata
1

yang mendirikan badan-badan sebagai alat (orgaan) suatu negara dengan memberikan wewenang-wewenang kepada badan-badan itu, dan yang membagi-bagi pekerjaan pemerintah kepada banyak alat-alat negara, baik yang tinggi maupun yang rendah kedudukannya.6 Hal ini sangat berkaitan erat dengan sistem ketatanegaraan yang diartikan sebagai perangkat unsur ketatanegaraan Indonesia yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas7 yang mencakup beberapa hal sebagai berikut: a. Pembentukan jabatan-jabatan dan susunannya. b. Penunjukan para pejabat. c. Kewajiban-kewajiban, tugas-tugas yang terikat pada jabatan. d. Wibawa, wewenang hukum, yang terikat pada jabatan. e. Lingkungan daerah dan personil, atas mana tugas dan wewenang jabatan itu meliputinya. f. Hubungan wewenang dari jabatan-jabatan antar satu sama lain. g. Peralihan jabatan. h. Hubungan antara jabatan dan pejabat.8 Menurut T. Koopmans, termasuk ke dalam hukum tata negara adalah ajaran-ajaran yang berkenaan dengan beberapa hal sebagai berikut: a. Kekuatan hukum mengikatnya peraturan perundang-undangan. b. Pembagian tugas di antara lembaga-lembaga negara. c. Perlindungan terhadap hak-hak individu.9 Hukum tata negara memiliki beberapa sumber yang menentukan isi kaidah hukum tata negara yang mencakup dua hal, yaitu dasar dan pandangan hidup bernegara; dan kekuatankekuatan politik yang berpengaruh pada saat merumuskan kaidah-kaidah hukum tata negara. Sedangkan sumber hukum formil tata negara adalah pertama, hukum perundang-undangan ketatanegaraan; kedua, hukum adat ketatanegaraan; ketiga, hukum kebiasaan ketatanegaraan atau konvensi ketatanegaraan; keempat, yurisprudensi ketatanegaraan; kelima, hukum perjanjian internasional ketatanegaraan; dan keenam, doktrin ketatanegaraan.10 Sistem ketatanegaraan yang dibangun di dalam negara yang satu tidak selalu sama dengan sistem ketatanegaraan yang dibangun di negara lainnya, bahkan dalam batas tertentu perbedaan tersebut sering bersifat diametral antara satu dengan lainnya. Pada titik inilah

negara. Sri Soemantri M., Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Jakarta: PT Rajawali, 1981. Sementara itu, Sjahran Basah menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah hukum tata negara perbandingan. Sjahran Basah, Hukum Tata Negara, Bandung: Alumni, 1994. 6 Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia, Cet. VI, Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, 1989, hlm. 8. 7 Pengertian ini diadaptasi dari pengertian kata sistem dalam Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I, Ed. III, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, hlm. 1076. 8 J.H.A. Logemann, Het Staatsrecht van Indonesie, Het Formele System, Bandung: Uitg. van Hoeve sGravehage, 1952, hlm. 101 sebagaimana dikutip dalam Widodo Ekatjajana dan Totok Sudaryanto, Sumber Hukum Tata Negara Formal di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 5-6. 9 Sri Soemantri Martosoewignjo, Hukum Tata Negara Mempunyai Warna Nasional, Makalah disampaikan pada peringatan Dies Natalis Ke-43 Fakultas Hukum Universitas Andalas pada tanggal 30 Agustus 1994, hlm. 4 sebagaimana dikutip Ibid., hlm. 7. 10 Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, Bandung: CV Armico, 1987, hlm. 14-15.

perbandingan hukum tata negara menjadi suatu metode penelitian yang sangat penting.11 Hukum tata negara perbandingan dapat dilakukan dengan cara membandingkan beberapa hukum tata negara yang ada atau hanya mengadakan perbandingan antara beberapa hukum tata negara positif saja.12 Apabila telah diterima bahwa hukum tata negara tidak hanya mencakup teknik interpretasi teks atau rumusan, asas-asas, aturan-aturan, dan tolok ukur-tolok ukur sistem hukum, tetapi juga penemuan model-model untuk mencegah konflik-konflik sosial, maka metode penelitian hukum tata negara perbandingan dapat memperluas cakrawala, sehingga dapat memberikan lebih banyak model-model penyelesaian daripada kalau hanya mempelajari hukum tata nagara satu negara saja.13 Aspek-aspek yang dapat diperbandingkan dalam hukum tata negara meliputi beberapa hal sebagai berikut: a. Konstitusi baik yang tertulis maupun tidak tertulis; b. Bentuk negara: kesatuan atau federal; c. Lembaga-lembaga perwakilan yang mempunyai fungsi legislasi; d. Bentuk pemerintahan: kabinet presidensial atau kabinet parlementer; e. Kekuasaan Kehakiman; f. Pemilihan umum; g. Hak asasi manusia.14 Dari ketujuh aspek yang dapat diperbandingkan dalam hukum tata negara tersebut, penelitian ini lebih mengkhususkan diri pada yang pertama, yaitu konstitusi dan yang kelima, yaitu kekuasaan kehakiman.15 Dengan demikian, penelitian ini akan diarahkan untuk memperbandingkan dua hal. Pertama, memperbandingkan konstitusi khususnya yang mengatur susunan dan kedudukan Komisi Yudisial di berbagai negara. Kedua,
Beberapa buku yang membahas mengenai hukum tata negara perbandingan di antaranya adalah Robert O. Neuman, European and Comparative Government, 3rd Edition, New York: McGraw Hill Book Company, Inc., 1960; S.E. Finer, Comparative Government, Harmondsworth: Pelican Books, 1974. Sedangkan beberapa buku yang membahas mengenai hukum tata negara perbandingan di Indonesia di antaranya adalah Moh. Nasroen, Ilmu Perbandingan Pemerintahan, Jakarta: Penerbit Ichtiar, 1966; Sri Soemantri M., Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Jakarta: PT Rajawali, 1981; Sjahran Basah, Hukum Tata Negara, Bandung: Alumni, 1994; A.S.S. Tambunan, Hukum Tata Negara Perbandingan, Jakarta: Puporis Publishers, 2001. 12 Ibid., hlm. 1. 13 Tentang hal ini, lihat misalnya Zweigert dan Ktz, op. cit., hlm. 15 dan seterusnya. 14 Tambunan, op. cit., hlm. 6. 15 Dalam perkembangannya, kekuasaan kehakiman ini selain yang berkaitan dengan Mahkamah Agung juga berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi. Menurut Asshiddiqie, struktur kekuasaan kehakiman di berbagai negara, khususnya yang berkaitan dengan fungsi Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, dapat dibedakan dalam enam model, yaitu (1) model Jerman yang memiliki Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai dua organ yang sederajat dan terpisah; (2) model Perancis yang menyebut lembaga Mahkamah Konstitusi dengan Dewan Konstitusi (Counseil Constitutionnel) di samping struktur Mahkamah Agung yang tersendiri; (3) model Belgia yang menyebut lembaga ini dengan nama Constitutional Arbitrage di samping Mahkamah Agung yang tersendiri; (4) model Venezuela yang melembagakan Mahkamah Konstitusi ke dalam struktur Mahkamah Agung; (5) model Amerika Serikat yang tidak mempunyai Mahkamah Konstitusi, tetapi fungsinya dijalankan langsung oleh Mahkamah Agung; dan (6) model negara-negara yang menganut sistem supremasi parlemen yang sama sekali tidak mengenal Mahkamah Konstitusi dan juga tidak mengakui adanya fungsi judicial review atas konstitusionalitas undang-undang. Pengantar Jimly Asshiddiqie dalam Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhri, Mahkamah Konstitusi: Kompilasi Ketentuan Konstitusi, Undang-Undangan dan Peraturan di 78 Negara, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, t.t., hlm. 4-5.
11

memperbandingkan kekuasaan kehakiman di berbagai negara yang di dalamnya juga mencakup keberadaan Komisi Yudisial. Dengan memperbandingkan dua hal tersebut, diharapkan dapat diperoleh suatu kesimpulan yang ideal tentang prinsip-prinsip umum Komisi Yudisial, sehingga keberadaannya yang sesuai dengan tujuan-tujuannya dapat dicapai dengan sebaik-bakinya. Dalam konteks Indonesia, hasil perbandingan Komisi Yudisial di beberapa negara dapat bermanfaat sebagai pembanding dalam rangka pelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia dengan mengambil aspek-aspek positifnya dan menghindari aspek-aspek negatifnya. 2. Studi Perbandingan Komisi Yudisial Komisi Yudisial, sebagaimana lembaga-lembaga negara lainnya, didirikan dengan berlandaskan pada gagasan-gagasan yang seringkali berbeda antara negara yang satu dengan negara yang lain. Di sisi lain, setelah Perubahan Ketiga UUD 1945, Indonesia diharuskan membentuk lembaga yang bernama Komisi Yudisial. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 24B UUD 1945. Rencana pembentukan lembaga ini jelas tidak boleh dilakukan secara trial and error dengan tanpa melihat realitas pengaturan Komisi Yudisial di negara-negara lain. Pada titik inilah penelitian perbandingan hukum tata negara di bidang Komisi Yudisial menemukan titik urgensinya. Trial and error mungkin tidak dapat dihindarkan sama sekali dalam proses pelembagaannya di Indonesia, tetapi harus diminimalisasi sedapat mungkin, sehingga Komisi Yudisial yang notabene merupakan lembaga penting dalam kekuasaan kehakiman dapat hadir dalam wujudnya yang sekurang-kurangnya mendekati ideal. 3. Tujuan Perbandingan Hukum Tata Negara Donald P. Kommers meyakini bahwa metode perbandingan biasanya dilakukan dengan cara mencari persamaan dan perbedaan antara dua objek atau lebih, sehingga dapat diketahui adanya prinsip-prinsip umum yang berlaku universal sebagai hasil dari kegiatan perbandingan antar-hukum tata negara.16 Sementara itu, Gunter Frankenberg justru sebaliknya, cenderung bersikap skeptis mengenai kemungkinan adanya universalitas prinsip-prinsip konstitusi sebagai hasil perbandingan tersebut, karena persepsi pembanding yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu sangat menentukan corak penafsiran yang dihasilkan oleh orang yang membandingkan.17 Dua pendapat ini tampak sekali masing-masing berada dalam dua kutub ekstrem yang berseberangan. Kommers melihat bahwa perbandingan antar hukum tata negara dapat bermanfaat untuk menemukan adanya titik persamaan dan perbedaan dalam perbandingan antar hukum tata negara, sehingga dari sini dapat ditarik adanya prinsip-prinsip yang berlaku secara universal. Di sisi lain, Frankenberg justru menolak adanya kemungkinan universalitas prinsip-prinsip perbandingan antar hukum tata negara sebagai hasil perbandingan. Pendapat

Donald P. Kommers, The Value of Comparative Constitutional Law, John Marshall Journal of Practice and Procedure, 689, hlm. 9, 1976. 17 Gunter Frankenberg, Critical Comparations: Rethinking Comparative Law, Harverd Law Journal, 411, hlm. 26, 1985.

16

Frankenberg ini didasarkan pada realitas bahwa persepsi pembanding seringkali dipengaruhi oleh ruang dan waktu yang menentukan corak penafsiran yang dihasilkan. Untuk menengahi dua pendapat yang ekstrem ini, Jimly Asshiddiqie memperkenalkan suatu pendapat yang sangat penting berkaitan dengan perbandingan dalam hukum tata negara. Menurutnya, tujuan dikembangkannya studi perbandingan hukum tata negara (comparative constitutional law) adalah bermanfaat untuk dua hal sebagai berikut: a. Menemukan prinsip-prinsip yang berlaku umum atau prinsip-prinsip universal; dan/atau b. Mendalami pengertian atau pemahaman mengenai sesuatu objek dengan menggunakan objek lain sebagai pembanding.18 Sesuatu yang hendak dicapai dalam perbandingan hukum tata negara (comparative constitutional law) adalah penemuan prinsip-prinsip konstitusi dan konstitusionalisme yang bersifat universal dan/atau pendalaman pemahaman atau pengertian mengenai prinsip-prinsip konstitusi dan konstitusionalisme negara sendiri dengan menggunakan konstitusinya atau konstitusi-konstitusi negara lain sebagai pembanding.19 Hal ini bisa dijalankan dengan terlebih dahulu menentukan variabel-variabel yang mempengaruhi. 4. Tujuan Perbandingan Komisi Yudisial Penelitian ini menggunakan pendapat Asshiddiqie di atas, yang menyatakan bahwa perbandingan antar-hukum tata negara dilakukan untuk menemukan prinsip-prinsip konstitusi dan konstitusionalisme yang bersifat universal dan/atau mendalami pemahaman atau pengertian mengenai prinsip-prinsip konstitusi dan konstitusionalisme negara sendiri dengan menggunakan konstitusinya atau konstitusi-konstitusi negara lain sebagai pembanding. Sesuai pendapat Asshiddiqie, penelitian yang melakukan perbandingan Komisi Yudisial di berbagai negara ini perlu dilakukan untuk mencapai dua hal sebagai berikut: a. Menemukan prinsip-prinsip yang berlaku umum atau prinsip-prinsip universal tentang pengaturan Komisi Yudisial di berbagai negara; dan/atau b. Mendalami pengertian atau pemahaman mengenai Komisi Yudisial di Indonesia dengan menggunakan Komisi Yudisial di negara lain sebagai pembanding.20 Di dalam melakukan perbandingan Komisi Yudisial di berbagai negara, peneliti hanya melihat pengaturannya pada tingkat konstitusi saja, tidak pada tingkat peraturan perundangundangan lain di bawahnya. Meskipun banyak sekali negara yang struktur ketatanegaraannya telah mengenal Komisi Yudisial, tetapi tidak semuanya diatur di dalam konstitusinya. Untuk keperluan tersebut, peneliti telah menelaah seratus sembilan puluh tujuh (197) konstitusi negara anggota PBB. Keseratus sembilan puluh tujuh negara yang dimaksud adalah Afrika Selatan, Afganistan, Albania, Aljazair, Andorra, Angola, Antigua dan Barbuda, Argentina, Armenia, Australia, Austria, Azerbaijan, Bahamas, Bahrain, Bangladesh, Barbadosa, Belarusia, Belgia, Belize, Benin, Bolivia, Bosnia dan Herzegovina, Botswana,
Jimly Asshiddiqie, Catatan tentang Perbandingan Hukum Tata Negara (Comparative Constitutional Law), naskah tidak diterbitkan, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2002, hlm. 1. 19 Ibid. 20 Diadaptasi dari Asshiddiqie, Catatan tentang..., op. cit.
18

Brazil, Brunei Darussalam, Bulgaria, Burkina Faso, Burundi, Kamboja, Kamerun, Kanada, Cape Verde, Centrafrique, Chad, Chechnya, Chili, China, Kolombia, Komores, Kongo, Kosta Rika, Pantai Gading, Kroasia, Kuba, Cyprus, Ceko, Republik Demokratik Kongo, Denmark, Djibouti, Dominika, Republik Dominika, Ekuador, El Salvador, Equatorial Guinea, Eritrea, Estonia, Etiopia, Fiji, Finlandia, Gabon, Georgia, Jerman, Ghana, Yunani, Grenada, Guatemala, Guinea Bissau, Guinea, Guyana, Haiti, Hawai, Honduras, Hong Kong, Hungaria, Islandia, India, Indonesia, Iran, Irak, Republik Irlandia, Israel, Italia, Jamaika, Jepang, Yordania, Kazakhstan, Kenya, Kiribati, Korea Selatan, Korea Utara, Kuwait, Kirgistan, Laos, Latvia, Lebanon, Lesotho, Liberia, Libya, Liechtenstein, Lithuania, Luxemburg, Makao, Makedonia, Madagaskar, Malawi, Malaysia, Maladewa, Mali, Malta, Marshall Islands, Mauritania, Mauritius, Mesir, Mexico, Mikronesia, Monako, Mozambik, Myanmar, Namibia, Nauru, Nepal, Belanda, Selandia Baru, Nikaragua, Niger, Nigeria, Norwegia, Oman, Pakistan, Palau, Panama, Papua Nugini, Paraguay, Prancis, Peru, Filipina, Polandia, Portugal, Puerto Riko, Qatar, Moldova, Republik Demokratik Kongo, Rumania, Rusia, Rwanda, Samoa, San Marino, Sao Tome & Principe, Saudi Arabia, Senegal, Seychelles, Sierra Leone, Singapura, Slowakia, Slovenia, Solomon Islands, Somalia, Spanyol, Sri Lanka, St. Kitts and Nevis, St. Lucia, St. Vincent, Sudan, Suriname, Swaziland, Swedia, Swiss, Syria, Taiwan, Tajikistan, Tanzania, Thailand, Tibet, Timor Timur, Togo, Tonga, Trinidad dan Tobago, Tunisia, Turki, Turkmenistan, Tuvalu, Uganda, Uni Emerat Arab, United Kingdom, Ukraina, Amerika Serikat, Uruguay, Uzbekistan, Vanuatu, Vatikan, Venezuela, Vietnam, Yaman, Serbia dan Montenegro, Zambia, dan Zimbabwe.

B. Susunan dan Kedudukan Komisi Yudisial di Berbagai Negara Sebagaimana telah dijelaskan di atas, tidak semua negara yang mengenal Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraannya mengaturnya dalam konstitusi. Setelah meneliti seratus sembilan puluh tujuh (197) konstitusi berbagai negara anggota PBB, ternyata ada empat puluh tiga (43) negara yang mengatur Komisi Yudisial di dalam konstitusinya. Berikut ini akan dijelaskan empat puluh tiga (43) negara yang konstitusinya mengatur Komisi Yudisial. 1. Afrika Selatan Komisi Yudisial di Afrika Selatan bernama Judicial Service Commission yang diatur di dalam Section 174 Konstitusinya.21 Komisi ini berfungsi memberikan advis kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung, dan hakim di semua lembaga peradilan.22 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari beberapa jabatan, yaitu Ketua Mahakamah Agung sebagai Ketua; Ketua Mahakamah Konstitusi; 1 orang hakim pilihan; anggota kabinet yang bertanggung jawab terhadap administrasi pengadilan; dua (2) orang advokat yang dinominasikan organisasinya dan diangkat oleh presiden; dua (2) orang jaksa yang dinominasikan organisasinya dan diangkat oleh presiden; satu (1) orang pengajar fakultas hukum yang dipilih dari universitas21 22

The Constitution of South Africa, amended on 11 Oct 1996 in foce since: 7 Feb 1997. Ibid., Article 174 (3) dan (6); 177 (3).

universitas di Afrika Selatan; tujuh (7) orang yang dibentuk oleh National Assembly di mana tiga (3) di antaranya harus dari partai oposisi; empat (4) orang yang mewakili provinsi; dan empat (4) orang yang dipilih presiden setelah melalui persetujuan National Assembly.23 2. Argentina Komisi Yudisial di Argentina bernama Council of Magistracy yang diatur di dalam Article 114 Konstitusinya.24 Dewan ini berfungsi mengajukan calon hakim agung kepada Senat dan diangkat oleh Presiden;25 bertanggung jawab terhadap seleksi hakim dan administrasi kekuasaan kehakiman;26 mengembangkan pemilihan kandidat hakim tingkat bawah melalui kompetisi publik;27 mengeluarkan usulan tiga nama kandidat hakim tingkat bawah;28 mengurus sumber daya untuk administrasi pengadilan;29 melakukan tindakan pendisiplinan terhadap hakim;30 memutuskan pemberhentian hakim;31 dan mengeluarkan peraturan tentang organisasi pengadilan untuk menjamin independensi hakim dan efisiensi administrasi pengadilan.32 Konstitusi tidak mengatur keanggotaan Dewan ini. 3. Bulgaria Komisi Yudisial di Bulgaria bernama Supreme Judicial Council yang diatur di dalam Article 129 (2) Konstitusinya.33 Komisi ini berfungsi mengusulkan kepada Presiden tentang pengangkatan dan pemberhentian Ketua Mahkamah Agung Kasasi, Ketua Mahkamah Agung Administratif, dan Jaksa Agung.34 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari dua puluh lima (25) orang. Tiga orang duduk dalam Komisi ini secara ex officio, yaitu Ketua Mahkamah Agung Kasasi, Ketua Mahkamah Agung Administratif, dan Jaksa Agung.35 4. Etiopia Komisi Yudisial di Etiopia bernama State Judicial Administration Council yang diatur di dalam Article 81 (4) Konstitusinya.36 Komisi ini berfungsi merekomendasikan kepada State Council tentang pengangkatan Hakim Agung, Hakim Tinggi, dan Hakim Tingkat Pertama.37
Untuk melengkapai beberapa ketentuan yang terdapat di dalam Konstitusi Afrika Selatan, telah ditetapkan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial atau Judicial Service Commission Act. Office of the President of Republic of South Africa, Judicial Service Commission Act, No. 1235 13 July 1994 No. 9 of 1994. 24 The Constitution of Argentina, all amendments up to 22 Aug 1994. 25 Ibid., Article 99 (4). 26 Ibid., Article 114 (1). 27 Ibid., Article 114 (3). 28 Ibid. 29 Ibid. 30 Ibid. 31 Ibid. 32 Ibid. 33 The Constitution of Bulgaria, all amendments up to 12 July 1991. 34 Ibid. 35 Ibid., Article 130 (1) 36 The Constitution of Ethiopia, Adopted: 8 Dec 1994. 37 Ibid., Article 81 (1-5).
23

5. Fiji Komisi Yudisial di Fiji bernama Judicial Service Commission yang diatur di dalam Section 131 dan 132 Konstitusinya.38 Komisi ini berfungsi merekomendasikan kepada Presiden tentang pengangkatan Hakim Agung dan Hakim Banding.39 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Ketua Public Service Commission; dan Ketua Fiji Law Society. 6. Filipina Komisi Yudisial di Filipina bernama Judicial and Bar Council yang diatur di dalam Section 8 dan 9 Konstitusinya.40 Komisi ini berfungsi merekomendasikan pengangkatan para hakim. Komisi ini dibentuk di bawah supervisi Mahkamah Agung yang keanggotaannya terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Sekretaris Mahkamah Agung; perwakilan dari Anggota Kongres; perwakilan organisasi pengacara; perwakilan guru besar fakultas hukum; pensiunan Mahkamah Agung; dan perwakilan sektor privat.41 7. Gambia Komisi Yudisial di Gambia bernama Judicial Service Commission yang diatur di dalam Section 145 Konstitusinya.42 Akan tetapi, Konstitusi Gambia hanya menyatakan bahwa anggota-anggota pengadilan diangkat oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan Judicial Service Commission.43 Selain hal itu, Konstitusi tidak mengatur lebih lanjut. 8. Ghana Komisi Yudisial di Ghana bernama The Judicial Council yang diatur di dalam Section 144 Konstitusinya.44 Komisi ini berfungsi memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan Hakim Agung, Hakim Banding, dan Hakim Tingkat Pertama.45 Selain itu, The Judicial Council juga berfungsi mengusulkan pertimbangan tentang pemerintahan, perbaikan administrasi dan efisiensi peradilan; menjadi forum untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan fungsi peradilan; dan menyelenggarakan fungsi lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.46 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Jaksa Agung; Hakim Agung yang dicalonkan para Hakim Agung; Hakim Tinggi yang dicalonkan oleh para Hakim Tinggi; dua (2) orang perwakilan Ghana Bar Association; perwakilan Ketua Pengadilan regional yang dicalonkan dari para Ketua Pengadilan Negeri;
The Constitution of Fiji, Adopted on: 23 September 1988 Last Amendment on: 25 July 1997 Effective since: 28 July 1998. 39 Ibid., Article 132 (2). 40 The Constitution of Philippines, shall take effect on the February 2, 1987. 41 Ibid., Section 8 (1). 42 The Constitution of The Republic of The Gambia, 1997 (Amendment) Bill, 2000. 43 Ibid. 44 The Constitution of Ghana, date of gazette notification: 15th May 1992. 45 Ibid., Section 144 (1) dan (3). 46 Ibid., Section 154 (1).
38

perwakilan pengadilan yang lebih rendah; Hakim Pengadilan Militer; Kepala Direktorat Hukum Pelayanan Kepolisian; Editor Laporan tentang Hukum Ghana; perwakilan Asosiasi Staf Pelayanan Kehakiman; Ketua National House of Chiefs; dan empat orang bukan lawyer yang diangkat Presiden.47 9. Guyana Komisi Yudisial di Guyana bernama Judicial Service Commission yang diatur di dalam Section 128 (1) Konstitusinya.48 Komisi ini berfungsi memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan para hakim, pejabat hukum lain, dan Ketua Mahkamah Agung.49 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari pejabat hukum sebagai Ketua Komisi; Ketua Mahkamah Agung; Ketua Public Service Commission; dan anggota-anggota lain.50 10. Indonesia Komisi Yudisial di Indonesia diatur dalam Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 yang hadir karena didasari pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan. Apalagi hakim agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi dalam susunan peradilan. Sebagai negara hukum, masalah kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku seluruh hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham Indonesia adalah negara hukum. Melalui lembaga Komisi Yudisial ini, diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan melalui putusan hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya.51 Pasal 24B ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan, Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.52 Pasal 24B ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan, Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.53 Pasal 24B ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan, Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.54
Ibid., Section 153. The Constitution of Guyana, adopted on: 23rd February, 1970. 49 Ibid., Article 128 (1). 50 Ibid. 51 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003, hlm. 195. 52 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2002, hlm. 47 dan 72. 53 Ibid.
48 47

Pasal 24B ayat (4) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan, Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.55 11. Italia Komisi Yudisial di Italia bernama The Superior Council of the Judiciary yang diatur di dalam Section 105 Konstitusinya.56 Komisi ini mempunyai hak mengangkat, memberhentikan, memutasikan, dan mempromosikan anggota badan peradilan dan memberikan tindakan pendisiplinan terhadapnya.57 Konstitusi Italia tidak mengatur keanggotaan Komisi ini. 12. Kazakhstan Komisi Yudisial di Kazakhstan bernama Higher Judicial Council yang di dalam Konstitusi hanya disebut sekali saja, yakni pada Article 44 (20).58 Konstitusi tidak mengatur lebih lanjut. 13. Kamerun Komisi Yudisial di Kamerun bernama Higher Judicial Council yang diatur di dalam Section 37 (3) Konstitusinya.59 Dewan ini berfungsi mendampingi Presiden dan memberikan opininya dalam hal pengangkatan para anggota hakim dan departemen kehakiman serta memberikan opininya tentang para calon hakim dan mengambil tindakan pendisiplinan terhadap aparat hukum dan pengadilan. Keanggotaannya diatur dengan undang-undang.60 14. Kongo Komisi Yudisial Kongo bernama High Council of the Magistrate yang diatur di dalam Article 134 dan 135 Konstitusinya.61 Dewan yang dipimpin oleh Presiden ini berfungsi mengadakan jabatan hakim;62 menjamin kemerdekaan kekuasan kehakiman;63 dan harus membentuk Dewan Kedisiplinan (Disciplinary Council) sebagai lembaga yang mengurusi kareir para hakim.64 Keanggotaan dewan ini terdiri dari Ketua Mahkamah Konstitusi, anggota, dan para hakim yang dipilih oleh Parlemen dengan syarat-syarat yang diatur dengan undangundang.65
Ibid. Ibid. 56 The Constitution of Italia, the translation of the later amendments by Bernard E. DeLury, Jr., published in 1994. 57 Ibid., Article 105. Untuk pendalaman kekuasaan kehakiman di Italia, lihat misalnya Pasquale Pasquino, One and Three: Separation of Powers and the Independence of the Judiciary in the Italian Constitution, dalam John Ferejohn, Jack N. Rakove, dan Jonathan Riley, eds., Constitutional Culture and Democratic Rule, Cambridge: Cambridge University Press, 2001, hlm. 205-222; M. Cappeletti, John Henry Merryman, dan J.M. Perillo, The Italian System, Stanford: Stanford University Press, 1967. 58 The Constitution of Kazakhstan, Article 44 (20). 59 The Constitution of Cameroon, Law No. 96-06 of 18 January 1996 to amend the Constitution of 2 June 1972. 60 Ibid., Article 37 (3). 61 The Constitution of Congo, adopted on: 15 March 1992. 62 Ibid., Article 134. 63 Ibid., Article 135. 64 Ibid., Article 136. 65 Ibid., Article 134.
55 54

10

15. Kroasia Komisi Yudisial di Kroasia bernama National Judicial Council yang diatur di dalam Article 123 Konstitusinya.66 Dewan ini berfungsi mengangkat dan memberhentikan hakim dan memutuskan segala hal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban kedisiplinannya.67 Keanggotaan Dewan ini terdiri dari sebelas (11) orang yang dipilih oleh Parlemen Kroasia dari para hakim, advokat, dan guru besar fakultas hukum.68 16. Kenya Komisi Yudisial di Kenya bernama Judicial Service Commission yang diatur di dalam Article 61 (2) Konstitusinya.69 Komisi ini berfungsi memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan hakim.70 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Jaksa Agung; dua (2) orang hakim yang mewakili Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi; dan Ketua Public Service Commission.71 17. Lesotho Komisi Yudisial di Lesotho bernama Judicial Service Commission yang diatur di dalam Article 132 Konstitusinya.72 Dewan ini berfungsi memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan hakim agung.73 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Jaksa Agung; Ketua Public Service Commission; dan satu (1) orang yang diangkat Raja.74 18. Makedonia Komisi Yudisial di Makedonia bernama The Republican Judicial Council yang diatur di dalam Article 104 dan 105 Konstitusinya.75 Komisi ini berfungsi mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian para hakim; memutuskan pertanggungjawaban kedisiplinan para hakim; memberikan penilaian kompetensi dan etika para hakim dalam menjalankan jabatannya; dan mengusulkan dua (2) orang hakim untuk duduk dalam Mahkamah Konstitusi Makedonia.76 Keanggotaan Dewan ini terdiri dari tujuh (7) anggota yang dipilih oleh Majelis (The Assembly).77
The Constitution of Croatia, Official Gazette No. 28/2001. Ibid., Article 123. 68 Ibid. 69 The Constitution of Kenya, 1992. 70 Ibid., Article 61 (2). 71 Ibid., Article 68 (1). 72 The Constitution of Lesotho, dated 25th March, 1993. 73 Ibid., Article 132. 74 Ibid., Article 132. 75 The Constitution of Macedonia, adopted on: 17 Nov 1991, effective since: 20 Nov 1991, amended on: 6 Jan 1992. 76 Ibid., Article 105. 77 Ibid., Article 104.
67 66

11

19. Malawi Komisi Yudisial di Malawi bernama Judicial Service Commission yang diatur di dalam Article 116 dan 118 Konstitusinya.78 Komisi ini mempunyai otoritas mencalonkan seseorang untuk menduduki jabatan kehakiman; menjalankan kekuasaan pendisiplinan terhadap pejabat peradilan; merekomendasikan pemberhentian seseorang dari jabatan kehakiman; dan menjalankan kekuasaan lain yang diperlukan sesuai dengan konstitusi.79 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Ketua Civil Service Commission; Hakim Banding; dan praktisi hukum.80 20. Malaysia Komisi Yudisial di Malaysia bernama Judicial and Legal Service Commission yang diatur di dalam Article 138 Konstitusinya.81 Konstitusi Malaysia tidak mengatur secara eksplisit kewenangan lembaga ini. Hanya dikatakan bahwa Judicial and Legal Service Commission mempunyai yurisdiksi setiap anggota peradilan dan pelayanan hukum.82 Keanggotaan lembaga ini terdiri dari Ketua Public Service Commission sebagai ketua; Jaksa Agung; dan satu (1) orang atau lebih anggota yang diangkat oleh Yang di-Pertuan Agong setelah berkonsultasi dengan Ketua Mahkamah Agung.83 21. Marshall Islands Komisi Yudisial di Marshall Islands bernama Judicial Service Commission yang diatur di dalam Article VI Section 5 Konstitusinya.84 Komisi ini berfungsi membuat rekomendasi tentang pengangkatan hakim atas inisiatif sendiri atau atas permintaan Kabinet; merekomendasikan atau mengevaluasi kriteria dan kualifikasi para hakim; mengangkat atau memberhentikan para hakim dari pengadilan rendah; dan menjalankan fungsi dan kekuasaan lain yang diatur dengan undang-undang. Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Jaksa Agung; dan warga negara Marshall Islands.85 22. Namibia Komisi Yudisial di Namibia bernama Judicial Service Commission yang diatur di dalam Chapter IX Article 85 dan Chapter XX Article 139 Konstitusinya.86 Komisi ini berfungsi merekomendasikan kepada Presiden tentang pengangkatan Ketua Mahkamah
78

The Constitution of Malawi, passed in Parliament this sixteenth day of May, one thousand, nine hundred and ninety-four. 79 Ibid., Article 118. 80 Ibid., Article 117. 81 The Constitution of Malaysia. 82 Ibid., Article 138 (1). 83 Ibid. 84 The Constitution of Marshall Islands, the effective date of this Constitution shall be May 1, 1979. 85 Ibid., Article VI Section 5. 86 The Constitution of Namibia, shall take effect on the Feb 1990.

12

Agung, Hakim Agung, dan Hakim Pengadilan Tinggi; Ombudsman; dan Jaksa Agung.87 Selain itu, Komisi juga harus melakukan investigasi untuk menentukan apakah seorang hakim perlu diberhentikan atau tidak.88 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung; hakim yang diangkat oleh Presiden; Jaksa Agung; dan dua (2) orang anggota dari profesi hukum.89 23. Nepal Komisi Yudisial di Nepal bernama Judicial Council yang diatur di dalam Article 91 Konstitusinya.90 Komisi ini berfungsi merekomendasikan dan memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan, pemindahan (mutasi), tindakan pendisiplinan, dan pemberhentian para hakim serta hal-hal lain yang berkaitan dengan administrasi pengadilan. Keanggotaan Dewan ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung yang secara ex officio sebagai Ketua Dewan; Menteri Kehakiman; dua (2) orang Hakim Agung paling senior; dan satu (1) orang juri yang dicalonkan oleh Raja.91 24. Nigeria Komisi Yudisial di Nigeria bernama Judicial Service Commission yang diatur di dalam Article 202 Konstitusinya.92 Akan tetapi, Konstitusi tidak mengatur secara tegas fungsi dan keanggotaan Judicial Service Commission. 25. Papua Nugini Komisi Yudisial di Papua Nugini bernama Judicial and Legal Services Commission yang diatur di dalam Article 170 Konstitusinya.93 Komisi ini berfungsi mengangkat Wakil Ketua Mahkamah Agung dan Hakim Agung (selain Ketua Mahkamah Agung);94 dan mengangkat Ketua Hakim;95 mengangkat Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda.96 Konstitusi tidak mengatur keanggotaan Komisi ini. 26. Prancis Komisi Yudisial di Prancis bernama Conseil Superieur de la Magistrature yang diatur di dalam Title VIII Article 64 Konstitusinya.97 Komisi ini berfungsi membantu Presiden sebagai penjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman;98 mengusulkan pengangkatan Hakim
87 88

Ibid., Article 32. Ibid., Article 84 (3). 89 Ibid., Article 85 (1). 90 The Constitution of Namibia, shall take effect on the Feb 1990. 91 Article 91 (1). 92 The Constitution of Nigeria, 1999. 93 The Constitution of Papua New Guinea, 1975. 94 Ibid., Article 170 (2). 95 Ibid., Article 171 (2). 96 Ibid., Article 171 (3). 97 The Constitution of France, amended on 26 July 1995. 98 Ibid., Article 64 (1) dan (2).

13

Agung dan pimpinan Hakim Banding;99 dan bertindak sebagai Dewan Pendisiplinan Hakim.100 Keanggotaan Dewan ini terdiri dari Presiden yang secara ex officio sebagai Ketua Dewan; Menteri Kehakiman sebagai Wakil Ketua Dewan.101 Sedangkan anggotanya terdiri dari sembilan (9) orang yang diangkat oleh Presiden.102 27. Saint Christopher and Nevis Komisi Yudisial di Saint Christopher and Nevis bernama Judicial and Legal Service Commission yang diatur secara tersebar diberbagai pasal dalam konstitusinya.103 Komisi ini berfungsi sebagai pihak yang harus diajak konsultasi dalam pengangkatan seseorang untuk menduduki jabatan publik di bidang kehakiman.104 Seseorang yang menduduki jabatan publik di bidang kehakiman tidak bisa diberhentikan kecuali atas persetujuan Judicial and Legal Service Commission.105 Konstitusi tidak mengatur keanggotaan Komisi ini. 28. Saint Lucia Komisi Yudisial di Saint Lucia bernama Judicial and Legal Service Commission yang hanya disebut sekali saja di dalam Konstitusinya, yaitu di dalam Article 91 (3).106 Komisi ini berfungsi melakukan kontrol kedisiplinan terhadap pejabat publik di bidang kehakiman dan memberhentikannya.107 Konstitusi tidak mengatur keanggotaan Komisi ini. 29. Saint Vincent Komisi Yudisial di Saint Vincent bernama Judicial and Legal Service Commission yang diatur di dalam beberapa pasal Konstitusinya108 Komisi ini berfungsi memberikan konsultasi kepada Gubernur Jendral tentang pemberhentian pejabat publik di bidang kehakiman;109 menyetujui pemberhentian pejabat publik di bidang kehakiman;110 mengangkat orang untuk menduduki jabatan dalam Kejaksaan Agung;111 dan memberikan advis kepada Gubernur Jendral tentang pengangkatan Jaksa Agung.112 Konstitusi tidak mengatur keanggotaan Komisi ini. 30. Samoa

99

Ibid., Article 65 (3). Ibid., Article 65 (4). 101 Ibid., Article 65 (1). 102 Ibid., Article 65 (2). 103 The Constitution of Saint Christopher and Nevis, made 22nd June 1983. 104 Ibid., Article 87 (7). 105 Ibid., Article 87 (8). 106 The Constitution of Saint Lucia. 107 Ibid., Article 91 (3). 108 The Constitution of Saint Vincent, made 26th July 1979 Coming into Operation 27th Oct. 1979. 109 Ibid., Article 78 (6). 110 Ibid., Article 78 (7). 111 Ibid., Article 80 (1). 112 Ibid., Article 81 (1).
100

14

Komisi Yudisial di Samoa bernama Judicial Service Commission yang diatur di dalam Article 72 Konstitusinya.113 Komisi ini berfungsi memberikan advis kepada Kepala Negara mengenai pengangkatan, promosi, dan mutasi pejabat pengadilan (selain Ketua Mahkamah Agung); dan pemberhentian setiap pejabat peradilan (selain Hakim Agung).114 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Jaksa Agung; dan satu (1) orang yang dicalonkan oleh Menteri Kehakiman.115 31. Sierra Leone Komisi Yudisial di Sierra Leone bernama Judicial and Legal Service Commission yang diatur di dalam Article 140 (1) Konstitusinya.116 Komisi ini berfungsi memberikan advis kepada Ketua Mahkamah Agung dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi administratif dan lainlain;117 mengangkat, mempromosikan, memutasikan, memberhentikan, dan mendisiplinkan orang-orang yang menduduki jabatan kehakiman.118 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Hakim Banding paling senior; Jaksa Agung; seorang praktisi hukum; Ketua Public Service Commission; dan (2) dua orang yang diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Parlemen.119 32. Slovenia Komisi Yudisial di Slovenia bernama Judicial Council yang diatur di dalam Article 130 Konstitusinya.120 Komisi ini berfungsi memberikan rekomendasi kepada National Assembly dalam pemilihan para hakim.121 Keanggotaan Dewan ini terdiri dari sebelas (11) anggota. Lima (5) orang anggota dipilih melalui pemungutan suara National Assembly yang dicalonkan Presiden dari kalangan praktisi hukum, guru besar fakultas hukum, dan lawyer; enam (6) orang anggota dipilih dari kalangan hakim. Ketua Komisi dipilih oleh para anggotanya.122 33. Solomon Islands Komisi Yudisial di Solomon Islands bernama Judicial and Legal Service Commission yang diatur di dalam Article 117 (1) Konstitusinya.123 Komisi ini berfungsi mengangkat, memberhentikan, dan melakukan pendisiplinan para hakim.124 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Jaksa Agung; Ketua Public Service
113 114

The Constitution of Samoa. Ibid., Article 72 (3). 115 Ibid., Article 72 (1). 116 The Constitution of Sierra Leone, 1991. 117 Ibid., Article 140 (1) dan (2). 118 Ibid., Article 141 (1). 119 Ibid., Article 140 (1). 120 The Constitution of Slovenia, Adopted on: 23 Dec 1991, amendment: 14 July 1997, introducing Paragraph 2 into Article 68, amendment: 25 July 2000, introducing Paragraph 5 into Article 80. 121 Ibid., Article 130. 122 Ibid., Article 131. 123 The Constitution of Solomon Islands, 1996. 124 Ibid., Article 118 (1).

15

Commission, dan anggota tambahan yang diangkat Gubernur Jendral sesuai dengan advis dari Perdana Menteri.125 34. Spanyol Komisi Yudisial di Spanyol Islands bernama General Council of the Judicial Power yang diatur di dalam Article 122 Konstitusinya.126 Komisi ini menentukan organ administrasi pengadilan khususnya yang berkaitan dengan pengangkatan, promosi, inspeksi, dan pendisiplinan.127 Keorganisasian Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi, dan dua puluh (20) orang hakim, empat (4) orang di antaranya diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat; empat (4) orang oleh Senat yang diambil dari lawyer dan ahli hukum.128 35. Sri Lanka Komisi Yudisial di Sri Lanka bernama Judicial Service Commission yang diatur di dalam Article 156 (1) Konstitusinya.129 Komisi ini berfungsi mengangkat, mempromosikan, memutasikan, memberhentikan, dan mengontrol kedisiplinan pejabat pengadilan.130 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung; dan dua (2) orang Hakim Agung yang diangkat oleh Presiden. 36. Thailand Komisi Yudisial di Thailand bernama Judicial Commission of the Court of Justice yang diatur di dalam beberapa pasal Konstitusinya131 Komisi ini berfungsi memberikan persetujuan pengangkatan dan pemberhentian Hakim Agung sebelum diajukan kepada Raja;132 dan memberikan persetujuan tentang promosi, kenaikan gaji dan menghukum Hakim Agung.133 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; dua belas (12) orang anggota dari setiap tingkatan pangadilan; dan dua (2) orang anggota di luar hakim yang dipilih oleh Senat. 37. Timor Timur Komisi Yudisial di Timor Timur bernama Superior Council for the Judiciary yang diatur di dalam Section 128 Konstitusinya.134 Dewan ini berfungsi sebagai pengelola dan
Ibid., Article 117 (1). The Constitution of Spain, shall take effect on the and 29 Dec 1978 consolidated up to the amendment of 27 Aug 1992. 127 Ibid., Article 122 (1) dan (2). 128 Ibid., Article 122 (3). 129 The Constitution of Sri Lanka, dated: August 03, 2000. 130 Ibid., Article 158 (1). 131 The Constitution of Thailand, adopted in 1997. 132 Ibid., Article 273. 133 Ibid. 134 The Constitution of the Democratic Republic of East Timor, adopted in 22nd of March 2002.
126 125

16

pendisiplinan para hakim pengadilan; dan mengangkat, memberhentikan, memutasikan, dan mempromosikannya.135 Kenggotaan Dewan ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Dewan; satu (1) orang ditunjuk oleh Presiden; satu (1) orang dipilih oleh Parlemen; satu (1) orang ditunjuk oleh Pemerintah; dan satu (1) orang dipilih oleh para hakim.136 38. Trinidad dan Tobago Komisi Yudisial di Trinidad and Tobago bernama Judicial and Legal Service Commission yang diatur di dalam beberapa pasal Konstitusinya.137 Komisi ini berfungsi memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan Hakim Agung.138 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Ketua Public Service Commission; dan anggota-anggota lain yang diangkat.139 39. Tunisia Komisi Yudisial di Tunisia bernama Superior Council of the Magistrature yang sedikit disinggung dalam Article 66 dan 67 Konstitusinya.140 Dewan ini berfungsi merekomendasikan kepada Presiden tentang pencalonan hakim;141 mengawasi hakim dalam hal pelaksanaan pencalonan, kemajuan, pemutasian, dan kedisiplinan.142 Konstitusi menyerahkan pengaturan lebih lanjut tentang Dewan ini pada undang-undang. 40. Vanuatu Komisi Yudisial di Vanuatu bernama Judicial Service Commission yang disebutkan dalam Article 47 Konstitusinya.143 Komisi ini berfungsi memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan hakim;144 dan memberikan advis kepada Presiden tentang promosi dan mutasi anggota kehakiman.145 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Menteri yang bertanggung jawab terhadap kehakiman; dan Ketua Public Service Commission; dan perwakilan National Council of Chiefs.146 41. Venezuela Komisi Yudisial di Venezuela bernama The Council on the Judiciary yang disebutkan dalam Article 47 Konstitusinya.147 Dewan ini berfungsi mengatur penjaminan independensi,

135 136

Ibid., Article 128 (1). Ibid., Article 128 (2). 137 The Constitution of the Trinidad and Tobago, assented to 23rd September, 1980. 138 Ibid., Article 104 (1). 139 Ibid., Article 110 (1). 140 The Constitution of Tunisia. 141 Ibid., Article 66. 142 Ibid., Article 67. 143 The Constitution of Vanuatu, adopted in 1983. 144 Ibid., Article 47 (2). 145 Ibid., Article 47 (4). 146 Ibid., Article 48 (1). 147 The Constitution of Venezuela, adopted in January, 16, 1961.

17

efisiensi, disiplin, dan kepatutan pengadilan; dan menjamin hal-hal yang berkaitan dengan kareir seorang hakim.148 Konstitusi tidak mengatur keanggotaan Dewan ini. 42. Zambia Komisi Yudisial di Zambia bernama Judicial Service Commission yang disebutkan dalam Article 98 Konstitusinya.149 Komisi ini berfungsi memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan Hakim Agung; dan fungsi lain yang berkaitan dengan pelayanan publik atau pelayanan hukum atau pengadilan.150 Konstitusi tidak mengatur keanggotaan Komisi ini. 43. Zimbabwe Komisi Yudisial di Zimbabwe bernama Judicial Service Commission yang disebutkan dalam Article 98 Konstitusinya.151 Komisi ini berfungsi memberikan konsultasi kepada Presiden tentang pengangkatan Jaksa Agung,152 Deputi Jaksa Agung, 153 dan Ketua Mahkamah Agung.154 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung; Ketua Public Service Commission; Jaksa Agung; dan dua anggota yang diangkat.155 Empat puluh tiga (43) negara yang mengatur Komisi Yudisial di dalam konstitusinya menyebut lembaga tersebut secara beragam, meskipun tidak jarang terjadi kesamaan antara negara satu dengan negara lainnya. Demikian juga yang berkaitan dengan pengaturan terhadap fungsi utama Komisi Yudisial, terdapat beberapa perbedaan fungsi antara negara satu dengan negara lainnya, meskipun tidak jarang juga terdapat beberapa kesamaan fungsi antara negara satu dengan negara lainnya. Hal yang sama juga berlaku untuk jumlah anggota Komisi Yudisial di berbagai negara yang seringkali terjadi perbedaan antara satu dengan yang lain. Hal ini dapat dipahami karena, sebagaimana ditegaskan oleh Wim Voermans, Komisi Yudisial ditentukan oleh konteks sosial dan ketatanegaraan suatu negara dan perkembangan kultural yang telah dilalui oleh negara tersebut.156 Oleh karena itu, Komisi Yudisial di suatu negara merupakan produk dari pemahaman kultur ketatanegaraan negara tersebut. Selain itu, pemahaman terhadap implementasi konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka seringkali tidak sama antara negara satu dengan negara lainnya, sehingga konsep pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman yang salah satunya dimanifestasikan melalui pembentukan Komisi Yudisial juga tidak sama antara negara satu dengan lainnya.157 Untuk keperluan teknis kemudahan pemahaman Komisi Yudisial di empat puluh tiga (43) negara, peneliti akan mengetengahkan tabel yang memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan nama Komisi Yudisial di empat puluh tiga (43) negara, fungsi utama Komisi Yudisial

148 149

Ibid., Article 217. The Constitution of Zambia, 1991. 150 Ibid., Article 109 (1). 151 The Constitution of Zimbabwe, 1993. 152 Ibid., Article 76 (2). 153 Ibid., Article 76 (10). 154 Ibid., Article 84 (1). 155 Ibid., Article 90. 156 Wim Voermans, Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa [Council for the Judiciary in EU Countries], diterjemahkan oleh Adi Nugroho dan M. Zaki Hussein, Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan-LeIP, 2002, hlm. 133. 157 Selain hal-hal tersebut, faktor sejarah dari suatu negara juga ikut mempengaruhi perbedaan pembentukan struktur Komisi Yudisial di berbagai negara. Ibid.

18

di empat puluh tiga (43) negara, dan jumlah anggota Komisi Yudisial di empat puluh tiga (43) negara, sebagai berikut: Tabel 3.1. Komisi Yudisial di Berbagai Negara No.
1.

Negara
Afrika Selatan

Nama
Judicial Service Commission

Fungsi Utama
Memberikan advis kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung, dan hakim di semua lembaga peradilan Mengajukan calon hakim agung kepada Senat dan diangkat oleh Presiden; bertangung jawab terhadap seleksi calon hakim dan administrasi kekuasaan kehakiman; mengembangkan pemilihan kandidat hakim tingkat bawah melalui kompetisi publik; mengeluarkan usulan tiga (3) orang kandidat hakim tingkat bawah; mengurus sumber daya untuk administrasi pengadilan; melakukan tindakan pendisiplinan terhadap hakim; memutuskan pemberhentian hakim; dan mengeluarkan peraturan tentang organisasi pengadilan untuk menjamin independensi hakim dan efisiensi administrasi pengadilan. Mengusulkan kepada Presiden tentang pengangkatan dan pemberhentian Ketua Mahkamah Agung Kasasi, Ketua Mahkamah Agung Administratif, dan Jaksa Agung. Merekomendasikan kepada State Council tentang pengangkatan Hakim Agung, Hakim Tinggi, dan Hakim Tingkat Pertama Merekomendasikan kepada Presiden tentang pengangkatan Hakim Agung dan Hakim Banding.

Jumlah Anggota
19 orang

2.

Argentina

Council of Magistracy

Tidak diatur di dalam Konstitusi

3.

Bulgaria

Supreme Judicial Council

25 orang

4.

Etiopia

State Judicial Administration Council

Tidak diatur di dalam Konstitusi

5.

Fiji

Judicial Service Commission

Tidak diatur di dalam Konstitusi

19

6. 7.

Filipina Gambia

Judicial and Bar Council Judicial Service Commission

8.

Ghana

Judicial Council

9.

Guyana

Judicial Service Commission

10.

Indonesia

Komisi Yudisial

11.

Italia

Superior Council of the Judiciary

12.

Kazakhstan

Higher Judicial Council Higher Judicial Council

Merekomendasikan pengangkatan para hakim. Memberikan konsultasi kepada Presiden tentang anggotaanggota pengadilan yang akan diangkat Memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan Hakim Agung, Hakim Banding, dan Hakim Tingkat Pertama. Selain itu, juga berfungsi mengusulkan pertimbangan tentang pemerintah, perbaikan administrasi dan efisiensi peradilan; menjadi forum untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan fungsi peradilan; dan menyelenggarakan fungsi lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan para hakim, pejabat hukum lain, dan Ketua Mahkamah Agung Mengusulkan pengang-katan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegak-kan kehormatan, keluhu-ran martabat, serta perilaku hakim. Berhak mengangkat, memberhentikan, memutasikan, dan mempromosikan anggota badan peradilan dan memberikan tindakan pendisiplinan terhadapnya Tidak diatur di dalam Konstitusi. Mendampingi Presiden dan memberikan opininya dalam hal pengangkatan para anggota hakim dan departemen kehakiman serta memberikan opininya tentang para calon hakim dan mengambil tindakan pendisiplinan terhadap aparat hukum dan pengadilan. Mengadakan jabatan hakim;

6 orang Tidak diatur di dalam Konstitusi 17 orang

Tidak diatur di dalam Konstitusi

Tidak diatur di dalam Konstitusi

Tidak diatur di dalam Konstitusi

13.

Kamerun

Tidak diatur di dalam Konstitusi Tidak diatur di dalam Konstitusi

14.

Kongo

High Council of

Tidak diatur

20

the Magistrate

15.

Kroasia

National Judicial Council

16.

Kenya

Judicial Service Commission Judicial Service Commission The Republican Judicial Council

17.

Lesotho

18.

Makedonia

19.

Malawi

Judicial Service Commission

20.

Malaysia

Judicial and Legal Service Commission

21.

Marshall Islands

Judicial Service Commission

menjamin kemerdekaan kekuasan kehakiman; dan harus membentuk Dewan Kedisiplinan (Disciplinary Council) sebagai lembaga yang mengurusi kareir para hakim. Mengangkat dan memberhentikan hakim dan memutuskan segala hal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban kedisiplinannya. Memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan hakim Memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan hakim agung. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian para hakim; memutuskan pertanggungjawaban kedisiplinan para hakim; memberikan penilaian kompetensi dan etika para hakim dalam menjalankan jabatannya; dan mengusulkan dua (2) orang hakim untuk duduk dalam Mahkamah Konstitusi Makedonia. Mencalonkan seseorang untuk menduduki jabatan kehakiman; menjalankan kekuasaan pendisiplinan terhadap pejabat peradilan; merekomendasikan pemberhentian seseorang dari jabatan kehakiman; dan menjalankan kekuasaan lain yang diperlukan sesuai dengan konstitusi Di dalam Konstitusi hanya dikatakan bahwa Komisi mempunyai yurisdiksi setiap anggota badan peradilan dan pelayanan hukum. Membuat rekomendasi tentang pengangkatan kehakiman atas inisiatif sendiri atau atas permintaan Kabinet; merekomendasikan atau mengevaluasi kriteria dan kualifikasi para hakim; mengangkat atau memberhentikan para hakim

di dalam Konstitusi

11 orang

5 orang

4 orang

7 orang

Tidak diatur di dalam Konstitusi

Tidak diatur di dalam Konstitusi

Tidak diatur di dalam Konstitusi

21

22.

Namibia

Judicial Service Commission

23.

Nepal

Judicial Council

24.

Nigeria

Judicial Service Commission Judicial and Legal Services Commission

dari pengadilan rendah; dan menjalankan fungsi dan kekuasaan lain yang diatur dengan undang-undang. Membuat rekomendasi tentang pengangkatan hakim atas inisiatif sendiri atau atas permintaan Kabinet; merekomendasikan atau mengevaluasi kriteria dan kualifikasi para hakim; mengangkat atau memberhentikan para hakim dari pengadilan rendah; dan menjalankan fungsi dan kekuasaan lain yang diatur dengan undang-undang. Merekomendasikan dan memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan, pemindahan (mutasi), tindakan pendisiplinan, dan pemberhentian para hakim serta hal-hal lain yang berkaitan dengan administrasi pengadilan. Tidak diatur di dalam Konstitusi. Mengangkat Wakil Ketua Mahkamah Agung dan Hakim Agung (selain Ketua Mahkamah Agung); dan mengangkat Ketua Hakim; mengangkat Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda. Membantu Presiden sebagai penjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman; mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan pimpinan Hakim Banding; dan bertindak sebagai Dewan Pendisiplinan Hakim. Sebagai pihak yang harus diajak konsultasi dalam pengangkatan seseorang untuk menduduki jabatan publik di bidang kehakiman. Seseorang yang menduduki jabatan publik di bidang kehakiman tidak bisa diberhentikan kecuali atas persetujuannya. Melakukan kontrol

5 orang

5 orang

25.

Papua Nugini

Tidak diatur di dalam Konstitusi Tidak diatur di dalam Konstitusi

26.

Prancis

Conseil Superieur de la Magistrature

11 orang

27.

Saint Christopher and Nevis

Judicial and Legal Service Commission

Tidak diatur di dalam Konstitusi

28.

Saint Lucia

Judicial and

Tidak diatur

22

Legal Service Commission 29. Saint Vincent Judicial and Legal Service Commission

30.

Samoa

Judicial Service Commission

31.

Sierra Leone

Judicial and Legal Service Commission

32.

Slovenia

Judicial Council

33.

Solomon Islands Spanyol

34.

Judicial and Legal Service Commission General Council of the Judicial Power

35.

Sri Lanka

Judicial Service Commission

36.

Thailand

Judicial Commission of the Court of Justice

kedisiplinan terhadap pejabat publik di bidang kehakiman dan memberhentikannya. Berkonsultasi dengan Gubernur Jendral tentang pemberhentian pejabat publik di bidang kehakiman; menyetujui pemberhentian pejabat publik di bidang kehakiman; mengangkat orang untuk menduduki jabatan dalam Kejaksaan Agung; dan memberikan advis kepada Gubernur Jendral tentang pengangkatan Jaksa Agung. Memberikan advis kepada Kepala Negara mengenai pengangkatan, promosi, dan mutasi pejabat pengadilan (selain Ketua Mahkamah Agung); dan pemberhentian setiap pejabat peradilan (selain Hakim Agung). Memberikan advis kepada Ketua Mahkamah Agung dalam penyelenggaraan fungsifungsi administratif dan lainlain; mengangkat, mempromosikan, memutasikan, memberhentikan, dan mendisiplinkan orang-orang yang menduduki jabatan kehakiman. Memberikan rekomendasi kepada National Assembly dalam pemilihan para hakim. Mengangkat, memberhentikan, dan melakukan pendisiplinan para hakim. Menentukan organ administrasi pengadilan khususnya yang berkaitan dengan pengangkatan, promosi, inspeksi, dan pendisiplinan. Mengangkat, mempromosikan, memutasikan, memberhentikan, dan mengontrol kedisiplinan pejabat pengadilan. Memberikan persetujuan pengangkatan dan pemberhentian Hakim Agung sebelum diajukan kepada Raja; dan memberikan persetujuan

di dalam Konstitusi Tidak diatur di dalam Konstitusi

3 orang

7 orang

11 orang

4 orang

22 orang

3 orang

15 orang

23

37.

Timor Timur

Superior Council for the Judiciary

38.

Trinidad dan Tobago Tunisia

39.

Judicial and Legal Service Commission Superior Council of the Magistrature

40.

Vanuatu

Judicial Service Commission

41.

Venezuela

The Council on the Judiciary

42.

Zambia

Judicial Service Commission

43.

Zimbabwe

Judicial Service Commission

tentang promosi, kenaikan gaji dan menghukum Hakim Agung. Mengelola dan mendisiplin-kan para hakim pengadilan; dan mengangkat, member-hentikan, memutasikan, dan mempromosikannya. Memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan Hakim Agung. Merekomendasikan kepada Presiden tentang pencalonan hakim; mengawasi hakim dalam hal pelaksanaan pencalonan, kemajuan, pemutasian, dan kedisiplinan. Memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan hakim; dan memberikan advis kepada Presiden tentang promosi dan mutasi anggota kehakiman. Mengatur penjaminan independensi, efisiensi, disiplin, dan kepatutan pengadilan; dan menjamin halhal yang berkaitan dengan karier seorang hakim. Memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan Hakim Agung; dan fungsi lain yang berkaitan dengan pelayanan publik atau pelayanan hukum atau pengadilan. Memberikan konsultasi kepada Presiden tentang pengangkatan Jaksa Agung, Deputi Jaksa Agung, dan Ketua Mahkamah Agung.

5 orang

Tidak diatur di dalam Konstitusi Tidak diatur di dalam Konstitusi

3 orang

Tidak diatur di dalam Konstitusi

Tidak diatur di dalam Konstitusi

Tidak diatur di dalam Konstitusi

Setelah melihat nama, fungsi utama, dan jumlah anggota Komisi Yudisial di empat puluh tiga (43) negara tersebut, ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil sebagai berikut: 1. Judicial Service Commission adalah nama yang paling banyak dipakai oleh negaranegara yang mengatur Komisi Yudisial di dalam Konstitusinya, yaitu lima belas (15) negara;158

158

Kelima belas negara tersebut adalah Afrika Selatan, Fiji, Gambia, Guyana, Kenya, Lesotho, Malawi, Marshall Islands, Namibia, Nigeria, Samoa, Sri Lanka, Vanuatu, Zambia, dan Zimbabwe.

24

2. Komisi Yudisial adalah lembaga yang diharapkan dapat merekomendasikan nama Ketua Mahkamah Agung terbaik bahkan di beberapa negara juga Hakim Agung dan hakim lain di bawahnya tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak terkait dengan kecakapan; 3. Komisi Yudisial adalah lembaga yang diharapkan dapat melakukan tindakan pendisiplinan terhadap para hakim; 4. Keberadaan Komisi Yudisial terkait dengan masalah gagasan kemerdekaan kekuasaan kehakiman di dalam suatu negara; dan 5. Keberadaan Komisi Yudisial terkait dengan masalah administrasi pengadilan, termasuk promosi dan mutasi hakim. Sementara itu, hal lain yang patut dicatat adalah susunan keanggotaan Komisi Yudisial di empat puluh tiga (43) negara tersebut seringkali berbeda satu sama lain. Dalam hal keanggotaan Komisi Yudisial ini memang kadang-kadang terjadi persamaan antara satu negara dengan negara lainnya. Akan tetapi, perbedaan bahkan secara diametral juga kadangkadang terjadi, karena memang Komisi Yudisial seringkali ditentukan oleh konteks sosial dan ketatanegaraan suatu negara serta perkembangan kultural yang telah dilalui oleh negara tersebut.159 Perbedaan keanggotaan yang terjadi di berbagai negara dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut: Tabel 3.2. Keanggotaan Komisi Yudisial di Berbagai Negara No.
1.

Negara
Afrika Selatan

Nama
Judicial Service Commission

Keanggotaan
Ketua Mahakamah Agung sebagai Ketua; Ketua Mahakamah Konstitusi; satu (1) orang hakim pilihan; anggota kabinet yang bertanggung jawab terhadap administrasi pengadilan; dua (2) orang advokat yang dinominasikan organisasinya dan diangkat oleh presiden; dua (2) orang jaksa yang dinominasikan organisasinya dan diangkat oleh presiden; satu (1) orang pengajar fakultas hukum yang dipilih dari universitasuniversitas di Afrika Selatan; tujuh (7) orang yang dibentuk oleh National Assembly dimana tiga (3) di antaranya harus dari partai oposisi; empat (4) orang yang mewakili provinsi; dan empat (4) orang yang dipilih presiden setelah melalui persetujuan National Assembly Tidak diatur di dalam Konstitusi. Dua puluh lima (25) orang. Tiga (3) orang duduk secara ex officio, yaitu Ketua Mahkamah Agung Kasasi, Ketua Mahkamah Agung Administratif, dan Jaksa Agung. Tidak diatur di dalam Konstitusi.

2. 3.

Argentina Bulgaria

Council of Magistracy Supreme Judicial Council

4.

Etiopia

State Judicial Administration Council

159

Voermans, op. cit.

25

5.

Fiji

Judicial Service Commission Judicial and Bar Council

6.

Filipina

7. 8.

Gambia Ghana

Judicial Service Commission Judicial Council

Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Ketua Public Service Commission; dan Ketua Fiji Law Society. Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Sekretaris Mahkamah Agung; perwakilan dari Anggota Kongres; perwakilan organisasi pengacara; perwakilan guru besar hukum; pensiunan Mahkamah Agung; dan perwakilan sektor privat Tidak diatur di dalam Konstitusi. Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Jaksa Agung; Hakim Agung yang dicalonkan para Hakim Agung; Hakim Tinggi yang dicalonkan oleh para Hakim Tinggi; dua (2) orang perwakilan Ghana Bar Association; perwakilan Ketua Pengadilan regional yang dicalonkan dari para Ketua Pengadilan Negeri; perwakilan pengadilan yang lebih rendah; Hakim Pengadilan Militer; Kepala Direktorat Hukum Pelayanan Kepolisian; editor Laporan tentang Hukum Ghana; perwakilan Asosiasi Staf Pelayanan Kehakiman; Ketua National House of Chiefs; dan empat (4) orang bukan lawyer yang diangkat Presiden. Pejabat hukum sebagai Ketua Komisi; Ketua Mahkamah Agung; Ketua Public Service Commission; dan anggota-anggota lain Tidak diatur di dalam Konstitusi. Tidak diatur di dalam Konstitusi. Tidak diatur di dalam Konstitusi. Tidak diatur di dalam Konstitusi. Ketua Mahkamah Konstitusi, anggota, dan para hakim yang dipilih oleh Parlemen dengan syarat-syarat yang diatur dengan undangundang. Sebelas (11) orang yang dipilih oleh Parlemen Kroasia dari para hakim, advokat, dan guru besar fakultas hukum. Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Jaksa Agung; dua (2) orang hakim yang mewakili Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi; dan Ketua Public Service Commission. Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Jaksa Agung; Ketua Public Service Commission; dan satu (1) orang yang diangkat Raja. Tujuh (7) orang anggota yang dipilih oleh Majelis (The Assembly).

9.

Guyana

Judicial Service Commission Komisi Yudisial Superior Council of the Judiciary Higher Judicial Council Higher Judicial Council High Council of the Magistrate

10. 11. 12. 13. 14.

Indonesia Italia Kazakhstan Kamerun Kongo

15.

Kroasia

National Judicial Council Judicial Service Commission

16.

Kenya

17.

Lesotho

Judicial Service Commission

18.

Makedonia

The Republican Judicial Council

26

19.

Malawi

Judicial Service Commission Judicial and Legal Service Commission

20.

Malaysia

21.

Marshall Islands Namibia

Judicial Service Commission Judicial Service Commission Judicial Council

22.

23.

Nepal

24. 25.

Nigeria Papua Nugini

26.

Prancis

27.

28.

Saint Christopher and Nevis Saint Lucia

29.

Saint Vincent

30.

Samoa

Judicial Service Commission Judicial and Legal Services Commission Conseil Superieur de la Magistrature Judicial and Legal Service Commission Judicial and Legal Service Commission Judicial and Legal Service Commission Judicial Service Commission Judicial and Legal Service Commission

Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Ketua Civil Service Commission; Hakim Banding; dan praktisi hukum. Ketua Public Service Commission sebagai ketua; Jaksa Agung; dan satu (1) orang atau lebih anggota yang diangkat oleh Yang diPertuan Agong setelah berkonsultasi dengan Ketua Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Jaksa Agung; dan warga negara Marshall Islands. Ketua Mahkamah Agung; hakim yang diangkat oleh Presiden; Jaksa Agung; dan dua (2) orang anggota dari profesi hukum. Ketua Mahkamah Agung yang secara ex officio sebagai Ketua Dewan; Menteri Kehakiman; dua (2) orang Hakim Agung paling senior; dan satu (1) orang juri yang dicalonkan oleh Raja. Tidak diatur di dalam Konstitusi. Tidak diatur di dalam Konstitusi.

Sembilan (9) orang yang diangkat oleh Presiden. Tidak diatur di dalam Konstitusi.

Tidak diatur di dalam Konstitusi.

Tidak diatur di dalam Konstitusi.

31.

Sierra Leone

32.

Slovenia

Judicial Council

Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Jaksa Agung; dan satu (1) orang yang dicalonkan oleh Menteri Kehakiman. Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Hakim Banding paling senior; Jaksa Agung; satu (1) orang praktisi hukum; Ketua Public Service Commission; dan dua (2) orang yang diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Parlemen. Lima (5) orang anggota dipilih melalui pemungutan suara National Assembly yang dicalonkan Presiden dari kalangan praktisi hukum, guru besar hukum, dan lawyer; enam (6) orang anggota dipilih dari kalangan hakim. Ketua Komisi dipilih oleh para anggotanya.

27

33.

Solomon Islands

Judicial and Legal Service Commission

34.

Spanyol

General Council of the Judicial Power

35. 36.

Sri Lanka Thailand

37.

Timor Timur

Judicial Service Commission Judicial Commission of the Court of Justice Superior Council for the Judiciary

38.

Trinidad dan Tobago Tunisia

39.

40.

Vanuatu

Judicial and Legal Service Commission Superior Council of the Magistrature Judicial Service Commission

Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Jaksa Agung; Ketua Public Service Commission; anggota tambahan yang diangkat Gubernur Jendral sesuai dengan advis dari Perdana Menteri. Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; dan dua puluh (20) orang hakim, empat (4) orang di antaranya diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat; empat (4) oleh Senat yang diambil dari lawyer dan ahli hukum. Ketua Mahkamah Agung; dan dua (2) orang Hakim Agung yang diangkat oleh Presiden. Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; dua belas (12) orang anggota dari setiap tingkatan pangadilan; dan dua (2) orang anggota di luar hakim yang dipilih oleh Senat. Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Dewan; satu (1) orang ditunjuk oleh Presiden; satu (1) orang dipilih oleh Parlemen; satu (1) orang ditunjuk oleh Pemerintah; dan (1) satu orang dipilih oleh para hakim. Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Ketua Public Service Commission; dan anggota-anggota lain yang diangkat. Tidak diatur di dalam Konstitusi.

41. 42. 43.

Venezuela Zambia Zimbabwe

The Council on the Judiciary Judicial Service Commission Judicial Service Commission

Menteri yang bertanggung jawab terhadap kehakiman; dan Ketua Public Service Commission; dan perwakilan National Council of Chiefs. Tidak diatur di dalam Konstitusi. Tidak diatur di dalam Konstitusi. Katua Mahkamah Agung; Ketua Public Service Commission; Jaksa Agung; dan dua (2) orang anggota yang diangkat.

C. Beberapa Kecenderungan Umum dalam Komisi Yudisial Setelah melihat beberapa ketentuan Komisi Yudisial di beberapa negara tersebut di atas, peneliti akan memaparkan beberapa hal penting berkaitan dengan keberadaan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan suatu negara dan khususnya struktur kekuasaan kehakimannya, seperti kecenderungan umum yang menjadi latar belakang dan tujuan pembentukan Komisi Yudisial di berbagai negara Beberapa kecenderungan ini diharapkan dapat mengelaborasi dengan jelas fenomena pengaturan Komisi Yudisial, sehingga dapat bermanfaat bagi pelembagaan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan Indonesia dan lebih khusus dalam struktur kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, Komisi Yudisial yang diidealkan Pasal 24B UUD 1945 dapat

28

direalisasikan dan sedapat mungkin menghindarkan proses trial and error dalam pelembagaanya. 1. Latar Belakang Pembentukan Komisi Yudisial Di bebarapa negara, Komisi Yudisial muncul sebagai akibat dari salah satu atau lebih dari lima hal sebagai berikut: a) Lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja; b) Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dalam hal ini Departemen Kehakiman dan kekuasaan kehakiman (judicial power); c) Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalanpersoalan teknis non-hukum; d) Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus. e) Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen. Kesimpulan tentang lima (5) latar belakang pembentukan Komisi Yudisial di berbagai negara tersebut di atas kurang lebih dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel 3.3. Latar Belakang Pembentukan Komisi Yudisial No.
1.

Latar Belakang
Lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dalam hal ini Departemen Kehakiman dan kekuasaan kehakiman (judicial power). Kekuasaan Kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalanpersoalan teknis non-hukum. Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus.

Solusi

2.

3.

Membentuk Komisi Yudisial

4.

29

5.

Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.

Sekurang-kurangnya salah satu atau lebih dari lima persoalan yang berkaitan dengan lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dalam hal ini Departemen Kehakiman dan kekuasaan kehakiman (judicial power), rendahnya efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis non-hukum, inkonsistensi putusan lembaga peradilan, dan politisasi rekruitmen hakim, menjadi latar belakang yang memunculkan gagasan pembentukan Komisi Yudisial di berbagai negara. 2. Tujuan Pembentukan Komisi Yudisial Kehadiran Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan modern merupakan suatu perkembangan yang sangat menarik dalam cabang kekuasaan kehakiman (judicial power). Keberadaannya juga merupakan trend yang terjadi pada abad ke-20 dalam sejarah negara demokrasi modern yang mengharuskan adanya lembaga peradilan yang bebas dari campur tangan kekuasaan lain di luarnya. Antara negara satu dengan negara lainnya tidak selalu sama dalam mengaplikasikan gagasan pembentukan Komisi Yudisial. Fungsi, struktur organisasi, dan penamaan lembaga tersebut tidak selalu sama antara satu dengan lainnya.160 Hal ini telah disinggung pada bab sebelumnya. Setelah mempelajari keberadaan Komisi Yudisial di berbagai negara, dapat disimpulkan bahwa dibentuknya Komisi Yudisial sekurang-kurangnya mempunyai salah satu atau lebih dari empat alasan yang sangat strategis dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pertama, dibentuknya Komisi Yudisial adalah agar dapat melakukan monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja.161
160

Sebagaimana telah disinggung di atas, pembentukan Komisi Yudisial di berbagai negara sangat ditentukan oleh konteks sosial dan ketatanegaraan suatu negara serta perkembangan kultural yang telah dilalui oleh negara tersebut. Setiap sistem memiliki mekanisme keseimbangannya sendiri melalui mekanisme check and balance tertentu. Situasi dan sejarah dari negara tertentu yang memberikan pengaruh terhadap nilai dan signifikansi suatu sistem. Keseimbangan antara jaminan konstitusional untuk independensi peradilan dan kontrol publik terhadap kekuasaan yudikatif mempunyai keterkaitan yang erat. Voerman, op. cit., hlm. 133. 161 Menurut Jimly Asshiddiqie, maksud dibentuknya Komisi Yudisial adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan serta keluhuran martabat dan perilaku hakim. Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hlm. 42. Sementara itu, Komisi Yudisial di New South Wales (salah satu negara bagian di Australia) mempunyai beberapa fungsi penting dalam rangka membantu peradilan untuk mencapai konsistensi putusan, pendidikan dan pelatihan pejabat peradilan, dan eksaminasi terhadap pengaduan masyarakat atas pejabat peradilan. Dikatakan bahwa The Judicial Commission, an independent statutory corporation, is part of the judicial arm of government. It was established by the Judicial Officers Act 1986. The Commission's principal functions are to: (1) assist the courts

30

Kedua, Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apa pun juga khususnya kekuasaan pemerintah.162 Ketiga, dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring hakim agung serta pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman.163 Keempat, dibentuknya Komisi Yudisial adalah untuk menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Di sini diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi.164 Kelima, meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekruitmen hakim, karena lembaga yang mengusulkan adalah lembaga hukum yang bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan lembaga politik lagi, sehingga diidealkan kepentingankepentingan politik tidak lagi ikut menentukan rekruitmen hakim yang ada. Tujuan
to achieve consistency in sentencing; (2) organise and supervise an appropriate scheme of continuing education and training of judicial officers; (3) examine complaints against judicial officers. The Commission may also give advice to the Attorney General on such matters as the Commission thinks appropriate; and liaise with persons and organisations in connection with the performance of any of its functions. Lihat Judicial Commission of New South Wales, Principal Function, <http://www.judcom.nsw.gov.au/>, diakses tanggal 20 Maret 2003. Tentang susunan kekuasaan kehakiman di Australia, lihat Poltak Partogi Nainggolan, ed., Bunga Rampai Kajian RUU Tahun 2002, Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jendral Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002. 162 Kemandirian kekuasaan kehakiman akan terancam apabila kekuasaan kehakiman harus mengurus kepentingannya (khususnya yang berkaitan dengan keuangan) sendiri tanpa ada lembaga lain yang berfungsi sebagai mediator, karena di sini terdapat pola hubungan pertanggungjawaban dan subordinated. Dengan kondisi ini, kekuasaan kehakiman akan tersubordinasi dan terkooptasi oleh kekuasaan lain di luarnya. Alasan ini juga yang menjadi landasan pemikiran pembentukan Komisi Yudisial di Belanda yang disebut Raad van de Rechtspraak. Lihat Kata Pengantar Rifqi Sjarief Assegaf dalam buku Voerman, op. cit., hlm. viii-ix. 163 Sebagaimana disebutkan dalam catatan kaki nomor 24, asumsi yang dapat dikemukakan dalam poin empat yang menjadi sebab wujudnya Komisi Yudisial ini adalah agar kekuasaan kehakiman tidak lagi disibukkan dengan tugas-tugas yang bersifat teknis non-hukum seperti rekruitmen dan monitoring hakim agung serta pengelolaan keuangan. Kekuasaan kehakiman dapat mencurahkan seluruh perhatiannya dengan berkonsentrasi pada penyelesaian-penyelesaian perkara hukum yang masuk, sehingga energi kekuasaan kehakiman tidak habis hanya untuk mengurusi persoalan-persoalan teknis non-hukum, tetapi dapat digunakan untuk kepentingankepentingan lain yang lebih substantif seperti mengadakan upaya-upaya untuk kepentingan peningkatan terhadap kemampuan intelektualitasnya dalam memutus suatu perkara. 164 Kemandirian kekuasaan kehakiman di sini adalah kemandirian dalam segala bentuknya, baik yang menyangkut independensi konstitusional, independensi personal, independensi yang dijamin dalam undang-undang, maupun independensi substantif. Menurut B.J. van Heyst, kemandirian kekuasaan kehakiman dapat dibedakan dalam empat bentuk, yaitu (1) constitutional independence, i.e., independence from executive (the separation of power); (2) Personal independence, i.e., the independence of individual members of the judiciary based on the safeguards surrounding their tenure of office and removal from office (they are in principle appointed for life and appointed and receive a salary fixed by law); (3) statutory independence, i.e., the statutory scope which judges have for reaching decisions; and (4) substantive independence, the extent to which judges actually feel themeselves free to arrive at a given decision. B.J. van Heyst, The Netherlands, dalam Shimon Shetreet dan Jules Deschenes, (eds.), Judicial Independence: The Contemporary Debate, Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers: 1985, hlm. 240.

31

dibentuknya Komisi Yudisial tersebut di atas secara singkat dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel 3.4. Tujuan Pembentukan Komisi Yudisial No.
1.

Tujuan Pembentukan Komisi Yudisial


Melakukan monitoring yang intensif terhadap lembaga peradilan dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja. Monitoring secara internal dikhawatirkan menimbulkan semangat korps (lesprit de corps), sehingga objektivitasnya sangat diragukan. Menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen Kehakiman. Dengan demikian, lembaga peradilan tidak perlu lagi mengurus persoalan-persoalan teknis non-hukum, karena semuanya telah ditangani oleh Komisi Yudisial. Sebelumnya, lembaga peradilan harus melakukan sendiri hubungan tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya hubungan pertanggungjawaban dari lembaga peradilan kepada Departemen Kehakiman. Hubungan pertanggungjawaban ini menempatkan lembaga peradilan sebagai subordinasi Departemen Kehakiman yang membahayakan independensinya. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek, karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan aspek hukum seperti rekruitmen dan monitoring hakim serta pengelolaan keuangan lembaga peradilan. Dengan demikian, lembaga peradilan dapat lebih berkonsentrasi untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya yang diperlukan untuk memutus suatu perkara. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Di sini diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi. Meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekruitmen hakim, karena lembaga yang mengusulkan adalah lembaga hukum yang bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan lembaga politik lagi, sehingga diidealkan kepentingan-kepentingan politik tidak lagi ikut menentukan rekrutmen hakim yang ada.

2.

3.

4.

5.

Di beberapa negara yang mengenal lembaga Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraannya, salah satu atau lebih dari lima hal di atas dapat ditemukan, karena pada umumnya persoalan yang dihadapi oleh berbagai lembaga peradilan di seluruh dunia berkaitan dengan kurang atau tidak berjalannya monitoring terhadap lembaga peradilan, tidak adanya lembaga penghubung antara kekuasaan kehakiman dan kekuasaan pemerintah, kekuasaan kehakiman terlalu disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis non-hukum, buruknya kualitas dan konsistensi putusan, dan perekrutan hakim selalu dipolitisasi oleh lembagalembaga politik. 3. Komisi Yudisial sebagai Solusi Penelitian ini ingin menegaskan bahwa keberadaan Komisi Yudisial di dalam struktur kekuasaan kehakiman suatu negara adalah untuk keluar dari latar belakang permasalahan kurang atau tidak berjalannya monitoring terhadap lembaga peradilan, tidak adanya lembaga

32

penghubung antara kekuasaan kehakiman dan kekuasaan pemerintah, kekuasaan kehakiman terlalu disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis non-hukum, buruknya kualitas dan konsistensi putusan, dan perekrutan hakim selalu dipolitisasi oleh lembaga-lembaga politik. Kehadiran Komisi Yudisial diidealkan akan mampu mengatasi persoalan-persoalan tersebut dengan cara melakukan monitoring secara intensif terhadap lembaga peradilan, menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen Kehakiman, meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek (karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan aspek hukum), menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, dan meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekrutmen hakim. Tabel di bawah ini akan lebih memperjelas pernyataan tersebut: Tabel 3.5. Komisi Yudisial sebagai Solusi No.
1.

Latar Belakang
Lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja.

Tujuan
Melakukan monitoring secara intensif terhadap lembaga peradilan dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spek-trum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja. Monitoring secara internal dikhawatirkan menimbulkan semangat korps (esprit de corps), sehingga objektivitasnya diragukan. Menjadi perantara (mediator) antara lem-baga peradilan dengan Departemen Kehaki-man. Dengan demikian, lembaga peradilan tidak perlu lagi mengurus persoalanpersoalan tek-nis nonhukum, karena semuanya telah dita-ngani oleh Komisi Yu-disial. Sebelumnya, lembaga peradilan harus melakukan sendiri hubungan tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya hubungan pertanggungjawaban dari lembaga peradilan kepada Departemen Kehakiman. Hubungan pertanggungjawaban ini menempatkan lembaga peradilan sebagai subordinasi Departemen Kehakiman yang

Solusi
Membentuk Komisi Yudisial

2.

Tidak adanya lembaga yang menjadi penghu-bung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dalam hal ini Departemen Kehakiman dan kekuasaan kehakiman (judicial po-wer).

Membentuk Komisi Yudisial

33

3.

Kekuasaan Kehakiman dianggap tidak mempu-nyai efisiensi dan efektivitas yang mema-dai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan per-soalan-persoalan teknis non-hukum.

4.

Buruknya kualitas dan tidak adanya konsis-tensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang mempe-roleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus.

5.

Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan mere-krutnya adalah lem-baga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.

membahayakan independensinya. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek, karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan aspek hukum seperti rekruit-men dan monitoring hakim serta pengelolaan keuangan lembaga pera-dilan. Dengan demikian, lembaga peradilan dapat lebih berkonsentrasi un-tuk meningkatkan kemampuan intelektu-alitasnya yang diper-lukan untuk memutus suatu perkara. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, ka-rena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Di sini diharapkan inkon-sistensi putusan lem-baga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi. Meminimalisasi terja-dinya politisasi terhadap rekruitmen hakim, ka-rena lembaga yang me-ngusulkan adalah lem-baga hukum yang ber-sifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan lem-baga politik lagi, sehingga diidealkan ke-pentingankepentingan politik tidak lagi ikut menentukan rekruitmen hakim yang ada.

Membentuk Komisi Yudisial

Membentuk Komisi Yudisial

Membentuk Komisi Yudisial

34

Lima latar belakang dan tujuan yang ingin dicapai dengan membentuk Komisi Yudisial tidak selalu sama antara negara satu dengan negara lainnya.165 Akan tetapi, lima hal di atas sekurang-kurangnya dapat memberikan suatu kecenderungan umum pembentukan Komisi Yudisial di berbagai negara. Artinya, pembentukan lembaga Komisi Yudisial di berbagai negara tidak akan lepas dari lima latar belakang dan lima tujuan tersebut. Satu benang merah yang dapat ditarik dari semua hal yang telah disebutkan di atas adalah kehadiran Komisi Yudisial di berbagai negara dimaksudkan untuk memajukan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Untuk dapat menjalankan tugasnya tersebut, keberadaan Komisi Yudisial harus dinaungi oleh suatu payung hukum yang kuat, sehingga dapat menjadi lembaga yang berwibawa. Oleh karena itu, pengaturan terhadapnya di dalam sebuah konstitusi suatu negara sangat penting bagi keberadaannya dalam struktur ketatanegaraan suatu negara. Komisi Yudisial juga merupakan salah satu instrumen penting yang dapat menjamin bahwa sistem rekrutmen hakim dapat menjamin terekrutnya para hakim yang sesuai dengan tujuan. Oleh karena itu, sangat tepat kalau Pasal 15 Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region menyatakan:
In some societies, the appoinment of judges, by, with the consent of, or after consultation with Judicial Service Commission has been seen as a means of ensuring that those chosen as judges are appropriate for the purpose.166

Menurut Voermans, Komisi Yudisial merupakan produk perkembangan budaya dari suatu sistem hukum yang berakar pada perkembangan historis, kultural, dan sosial dari negara-negara tertentu. Oleh karena itu, stiap Komisi Yudisial bersifat unik dan tidak bisa dilihat di luar konteks negaranya. Voermans, op. cit., hlm. 133. 166 Pasal 15 Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region, as amended at Manila, 28 August 1997. Law Asia Region, Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region, as amended at Manila, 28 August 1997.

165

35

BAB IV PELEMBAGAAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA

A. Gagasan-Gagasan sebelum Pembentukan Komisi Yudisial di Indonesia Kekuasaan kehakiman bukan suatu lembaga yang dapat menuntaskan segala persoalan yang menyangkut kekuasaan kehakiman. Beberapa aspek yang sering menjadi persoalan di dalam kekuasaan kehakiman adalah menyangkut pengangkatan, promosi, mutasi, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman terhadap hakim. Beberapa aspek tersebut sering tidak terkelola dengan baik, sehingga mempunyai pengaruh yang besar terhadap kinerja kekuasaan kehakiman secara keseluruahan.1 Persoalan semakin menjadi pelik apabila aspek-aspek tersebut menyangkut hakim agung. Hal ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa jabatan hakim agung adalah jabatan yang sangat strategis, sehingga beberapa kepentingan sering ingin memanfaatkannya. Persolan ini telah dikemukakan pada Bab II. Perekrutan hakim, khususnya hakim agung, akan selalu mengundang pemegang kekuasaan politik ikut serta di dalamnya.2 Kekuasaan eksekutif dalam hal ini Presiden dan kekuasaan legislatif dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selalu berlombalomba untuk ikut terlibat di dalam perekrutan hakim agung agar dapat mendudukkan orangorang yang dikehendaki sebagai hakim agung yang dapat memperjuangkan kepentingankepentingannya di kemudian hari.3 Oleh karena itu, untuk menghindarkan kekuasaan kehakiman dari beberapa persoalan tersebut, berbagai lembaga pernah mewacanakannya kepada publik di Indonesia. 1. Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) Perlunya suatu lembaga khusus yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sesungguhnya bukan merupakan gagasan yang benar-benar baru di Indonesia. Pada tahun 1968, ketika dilaksanakan pembahasan Rancangan Undang-Undang

Padahal, menurut Transparency International (TI), lembaga peradilan menjadi salah satu dari 21 (dua puluh satu) bidang yang menjadi indikator penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Selengkapnya, kedua puluh satu bidang tersebut adalah (1) Legislature, (2) Executive, (3) Judiciary, (4) Ombudsman, (5) Anticorruption Agencies, (6) Public Service, (7) Local Government, (8) Media, (9) Civil Society, (10) Private Sector, (11) International Agencies, (12) Elections, (13) Administrative Law, (14) Public Service Ethnics, (15) Conflict of Interests, (16) Public Procurement, (17) Good Financial Managements, (18) Acces to Information, (19) Citizens Voice, (20) Competition Policy, dan (21) Fighting Corruption. Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Cet. I, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003, hlm. 273-274. 2 Intensitas intervensi kekuasaan politik terhadap kekuasaan kehakiman tersebut jauh lebih buruk di dalam negaranegara otoriter. Tentang hal ini, lihat misalnya Fernando Henrique Cardozo, On the Characterization of Authoritarian Regimes in Latin America, Cambridge: Center of Latin American Studies, University of Cambridge, 1978, hlm. 12. 3 Christopher E. Smith, Critical Judicial Nominations and Political Change, Westport, Connecticut: Praeger, 1989, hlm. 12.

(RUU) tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH).4 Majelis ini mempunyai fungsi untuk memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran atau usul-usul yang berkaitan dengan pengangkatan, promosi, mutasi, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan hakim, yang diajukan baik oleh Mahkamah Agung maupun Departemen Kehakiman.5 Akan tetapi, gagasan tersebut tidak menjadi kenyataan, karena setelah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,6 rumusan MPPH tidak muncul dalam satu pasal pun. 2. Dewan Kehormatan Hakim (DKH) Gagasan untuk membentuk lembaga khusus yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tidak pernah padam. Gagasan kembali muncul dan kali ini memperoleh akomodasi yang cukup dan memberikan harapan ketika UndangUndang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman disahkan.7 Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 dinyatakan sebagai berikut:
Untuk meningkatkan check and balance terhadap lembaga peradilan antara lain perlu diusahakan agar putusan-putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka dan transparan oleh masyarakat dan dibentuk Dewan Kehormatan Hakim yang berwenang mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi dan mutasi hakim serta menyusun kode etik (code of conduct) bagi para hakim.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 berisi beberapa ketentuan yang sangat progresif apabila dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya. Undang-undang ini sebenarnya merupakan bagian dari kesadaran bahwa
4

Abdul Rahman Saleh, Status, Komposisi, Jumlah serta Beberapa Masalah Komisi Yudisial Indonesia di Bidang SDM, Makalah disampaikan dalam Workshop Penyusunan Policy Paper dan Draft Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, di Hotel Borobudur, Jakarta, 28 Agustus 2002, hlm. 2; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Draft I Policy Paper dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, Makalah tidak diterbitkan, Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan-LeIP, hlm. 1. 5 Ibid. 6 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 14 tahun 1970, LN No.74 tahun 1970, TLN No. 2951. Undang-Undang ini telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 35 tahun 1999, LN No. 147 tahun 1999, TLN No. 3879. Lima tahun kemudian, Undang-undang ini juga diubah, karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi peradilan. Salah satu ketentuan penting adalah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 34 yang berisi tiga ketentuan, yaitu (1) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dengan undang-undang; (2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim diatur dalam undang-undang; (3) Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 4 tahun 2004, LN No. 8 tahun 2004, TLN No. 4358. 7 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, op. cit.

persoalan pembinaan lembaga peradilan yang selama ini dilakukan oleh eksekutif dianggap memberi peluang bagi kekuasaan (eksekutif) melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktik-praktik negatif dalam proses peradilan.8 Kata kunci yang sangat penting dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut adalah perintah bahwa untuk meningkatkan check and balance terhadap lembaga peradilan antara lain perlu diusahakan agar putusan-putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka dan transparan oleh masyarakat dan dibentuk Dewan Kehormatan Hakim yang berwenang mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi dan mutasi hakim serta menyusun kode etik (code of conduct) bagi para hakim.9 Dengan demikian, kesadaran tentang pentingnya transparansi dan Dewan Kehormatan Hakim sudah mulai terbentuk yang kemudian diikuti dengan menuangkannya ke dalam sebuah undang-undang. Beberapa perubahan yang terjadi saat berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 yang merubah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 meliputi beberapa hal sebagai berikut: a. Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari badan-badan peradilan yang semula berada di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan menjadi berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung; b. Pengalihan kewenangan dari Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman kepada Ketua Mahkamah Agung dalam menentukan badan peradilan yang berwenang memeriksa perkara koneksitas; c. Penambahan ketentuan mengenai: 1) Penugasan jangka waktu yang berkaitan dengan pelaksanaan pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari badan-badan peradilan yang dilakukan secara bertahap dan dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun, namun untuk Peradilan Agama tidak ditentukan waktunya; 2) Penegasan mengenai peraturan perundang-undangan yang masih tetap berlaku sebagai akibat perubahan Pasal 11 dan Pasal 22 . Pernyataan tentang perubahan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 seperti disebut di atas, dapat diperjelas dengan tabel sebagai berikut: Tabel 4.1. Tiga Perubahan Penting setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 No.
8

UU No. 14 Tahun 1970

UU No. 35 Tahun 1999

Penjelasan Umum UU No. 35 Tahun 1999. Uraian mengenai intervensi kekuasaan eksekutif di Indonesia ini lihat misalnya Daniel S. Lev, Hukum dan Politik Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan, diterjemahkan oleh Nirwono dan AE Priyono,Jakarta: LP3ES, 1990, hlm. 391-411; A. Muhammad Asrun, Analisis Legal-Historis terhadap Pembelengguan Kekuasaan Kehakiman di Masa Pemerintahan Soeharto, dalam A. Muhammad Asrun dan Hendra Nurtjahjo, 70 Tahun Prof. Dr. Harun Alrasid: Integritas, Konsistensi Seorang Sarjana Hukum, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2000, hlm. 244-252; Suadi Tasrif, Menegakkan Rule of Law di Bawah Orde Baru, Jakarta: Peradin, 1971. 9 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, op. cit.

1.

2.

Organisasi, administrasi, dan finansial dari badan-badan peradilan di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan. Kewenangan dalam menen-tukan badan peradilan yang berwenang memeriksa perkara koneksitas ada pada Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman.

Organisasi, administrasi, dan finansial dari badan-badan peradilan berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kewenangan dalam menen-tukan badan peradilan yang berwenang memeriksa perkara koneksitas ada pada Ketua Mahkamah Agung. Ada dua penugasan baru: a. Penugasan jangka waktu yang berkaitan dengan pelaksanaan pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari badan-badan peradilan yang dilakukan secara bertahap dan dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun, namun untuk Peradilan Agama tidak ditentukan waktunya; dan b. Penegasan mengenai peraturan perundang-undangan yang masih tetap berlaku sebagai akibat perubahan Pasal 11 dan Pasal 22.

3.

Dengan demikian, setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 yang mengubah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, pendulum kekuasaan kehakiman berubah secara radikal. Kalau semula Mahkamah Agung tidak mempunyai kekuasaan yang signifikan sejauh menyangkut organisasi, administrasi, dan finansial dari badan-badan peradilan karena menjadi kewenangan departemen, maka setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 kewenangan ini justru berpindah kepada Mahkamah Agung. Pada tahap selanjutnya, ternyata gagasan ini menimbulkan kekhawatiran baru, yaitu terjadinya monopoli kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung,10 karena kewenangannya bertambah besar dengan mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan organisasi, administrasi, dan finansial dari badan-badan peradilan. Padahal, selama ini Mahkamah Agung sudah disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis seperti perekrutan hakim, mutasi dan promosi serta pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan, pengawasan dan lain-lain.11
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit. Padahal, sebagaimana disebutkan di dalam pertimbangan pertama UU Nomor 35 Tahun 1999, semangat yang dibawa ketika undang-undang ini dibentuk adalah adanya pemisahan yang tegas antarfungsi-fungsi dari eksekutif. Republik Indonesia, UndangUndang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, op. cit. 11 Pasal 32 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan, (1) Mahkamah Agung melakukakan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman; (2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya; (3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan; (4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, tegoran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan; dan (5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Agung, UU No. 14 tahun 1985, LN No.73
10

Selain itu, yang juga merupakan semacam pintu awal bagi terbukanya gagasan dibentuknya Komisi Yudisial di Indonesia adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Kebijakan reformasi pembangunan di bidang hukum meliputi dua hal sebagai berikut:12 a. Penanggulangan krisis di bidang hukum bertujuan untuk tegak dan terlaksananya hukum dengan sasaran terwujudnya ketertiban, ketenangan, dan ketentraman masyarakat. Agenda yang harus dijalankan adalah: 1) Pemisahan secara tegas fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum, agar dapat dicapai proporsionalitas, profesionalitas, dan integritas yang utuh. 2) Meningkatkan dukungan perangkat, sarana, dan prasarana hukum yang lebih menjamin kelancaran dan kelangsungan berperannya hukum sebagai pengatur kehidupan nasional. 3) Memantapkan penghormatan dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia melalui penegakan hukum dan peningkatan kesadaran hukum bagi seluruh masyarakat. 4) Membentuk Undang-undang Keselamatan dan Keamanan Negara sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi yang akan dicabut. b. Pelaksanaan reformasi di bidang hukum dilaksanakan adalah untuk mendukung penanggulangan krisis di bidang hukum. Agenda yang harus dijalankan adalah: 1) Pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi yudikataif dan eksekutif. 2) Mewujudkan sistem hukum nasional melalui program legislasi nasional secara terpadu. 3) Menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 4) Terbentuknya sikap dan perilaku anggota masyarakat termasuk para penyelenggara negara yang menghormati dan menjunjung tinggi hukum yang berlaku.13
tahun 1985, TLN No. 3327. Semua hal tersebut merupakan tugas yang sangat berat dan selama ini ada kecenderungan Mahkamah Agung kewalahan dalam menangani persoalan-persoalan di atas. Logikanya kinerja Mahkamah Agung akan semakin buruk apabila dibebani dengan tugas-tugas tambahan yang berkaitan dengan persoalan organisasi, administrasi, dan finansial dari badan-badan peradilan. 12 Secara umum, kebijakan reformasi pembangunan di bidang hukum yang ditawarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 ini mengalami kemajuam apabila dibandingkan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang meliputi materi hukum, aparatur hukum, sarana dan prasarana hukum, budaya hukum, dan hak asasi manusia. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Himpunan Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960 S/D 1998, Jakarta: Sekretariat MPR RI, 1999, hlm. 1243-1247. Kemajuan tersebut sangat berkaitan erat dengan gelombang reformasi di segala bidang yang membuat pemerintahan otoritarian Presiden Soeharto dipaksa jatuh. 13 Di bidang hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 ini menyatakan bahwa selama tiga puluh tahun pemerintahan Orde Baru, pembangunan hukum, khusunya yang menyangkut peraturan perundang-undangan organik tentang pembatasan kekuasaan Presiden belum memadai. Kondisi ini memberi peluang terjadinya praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme serta memuncak pada penyimpangan berupa penafsiran yang hanya sesuai dengan selera penguasa. Telah terjadi penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, pengabaian rasa keadilan, kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses

B. Gagasan Komisi Yudisial di Indonesia 1. Undang-Undang PROPENAS dan Perubahan Ketiga UUD 1945 Setelah gagasan pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) dan Dewan Kehormatan Hakim (DKH), disusul sebuah wacana baru yang kemudian dikenal dengan sebutan Komisi Yudisial, suatu istilah yang sebelumnya tidak dikenal.14 Penyebutan istilah Komisi Yudisial secara eksplisit dimulai pada saat ditetapkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 20002004.15 Program pemberdayaan lembaga peradilan dan penegak hukum lainnya menjadi perhatian undang-undang ini. Kegiatan pokok16 yang dilakukan antara lain pertama, meningkatkan pengawasan dalam proses peradilan secara transparan untuk memudahkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan terhadap sistem manajemen dan administrasi peradilan17 secara terpadu; kedua, menyusun sistem rekriutmen dan promosi yang lebih ketat dan pengawasan terhadap proses rekruitmen dan promosi dengan memegang asas kompetensi, transparansi dan partisipasi baik bagi hakim maupun bagi aparat penegak hukum lainnya; ketiga, meningkatkan kesejahteraan hakim dan aparat penegak hukum lainnya seperti jaksa, polisi dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) melalui peningkatan gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya sampai pada tingkat pemenuhan kebutuhan
peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktek-praktek negatif dalam proses peradilan. Penegakan hukum belum memberi rasa keadilan dan kepastian hukum pada kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah atau pihak yang kuat dengan rakyat, sehingga menempatkan rakyat pada posisi yang lemah. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hasil Sidang Istimewa Tahun 1998, Jakarta: Sekretariat MPR RI, 1998, hlm. 38; Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Himpunan Ketetapan..., op. cit., hlm. 1320. 14 Setelah terjadi penyatuatapan kekuasaan kehakiman kepada Mahkamah Agung, Komisi Yudisial semakin mendesak dibentuk untuk menghindari terjadinya tirani yudikatif. Tentang hal ini lihat misalnya Vin, Keberadaan Komisi Yudisial Semakin Mendesak, Harian Kompas, 6 Januari 2004, hlm. 7; Bur, Komisi Yudisial Perlu Masuk dalam Revisi RUU MA, Harian Kompas, 1 Mei 2002, hlm. 7; Bdm, MA Bisa Jadi Tirani Yudikatif, Harian Kompas, 5 Januari 2004, hlm. 7; Bdm, Pengangkatan 18 Hakim Agung Baru Tak Akan Banyak Membawa Perubahan Berarti, Harian Kompas, 17 Juni 2003, hlm. 7; Sie/Bdm, Peradilan Satu Atap Mulai 30 Maret 2004, Harian Kompas, 8 Desember 2003, hlm. 7; Vin/Bdm, MA Bentuk Panitia Pemilihan Wakil Ketua MA, Harian Kompas, 23 Juni 2002, hlm. 7; Bdm, Perlu Tim Ad Hoc untuk Jaring Calon Hakim Agung, Harian Kompas, 4 Mei 2002, hlm. 7; Bdm, RUU Bidang Hukum Harus Satu Paket, Harian Kompas, 15 Februari 2003, hlm. 7; Son, RUU Komisi Yudisial Sudah Mendesak, Harian Kompas, 23 Maret 2004, hlm. 7. 15 Republik Indonesia, Undang-undang tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 20002004, UU No. 25 Tahun 2000, LN No. 206 Tahun 2000. 16 Kegiatan pokok yang berkaitan dengan pemberdayaan lembaga peradilan dan penegak hukum lainnya seluruhnya ada 24 macam. 17 Berkaitan dengan masalah administrasi peradilan yang berpotensi mengancam independensinya ini, Arthur Rosett mengatakan, Court administration by professional managers plays a paradoxical role, for court management is a part of the solution to the difficulties facing judges. At the same time, administration creates new problems for an autonomous judiciary. Without improved administration, it is doubtful that courts can cope with a growing and increasingly complex case load. But when management concerns dominate the judiciary, individual judges are gradually reduced from independent community leaders to civil servant technicians. Arthur Rosett, The Judicial Career in the United States and its Influence on the Substance of American Law, <http://soi.cnr.it/~crd-cs/crdcs/ frames3.htm>, diakses tanggal 26 Maret 2003.

hidup yang disesuaikan dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawab kerja yang diemban; dan keempat, membentuk Komisi Yudisial atau Dewan Kehormatan Hakim untuk melakukan fungsi pengawasan.18 Komisi Yudisial atau Dewan Kehormatan Hakim bersifat independen dan susunan keanggotaannya dipilih dari orang-orang yang memiliki integritas yang teruji. Setelah melihat latar belakang tersebut, dapat disimpulkan bahwa munculnya Komisi Yudisial barangkat dari beberapa keinginan sebagai berikut: a. Meningkatkan pengawasan proses peradilan secara transparan; b. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan sistem manajemen dan administrasi peradilan secara terpadu; c. Menyusun sistem rekruitmen dan promosi yang lebih ketat; d. Mengembangkan pengawasan terhadap proses rekruitmen dan promosi; e. Meningkatkan kesejahteraan hakim melalui peningkatan gaji dan tunjangantunjangan lainnya; dan f. Membentuk Komisi Yudisial atau Dewan Kehormatan Hakim untuk melakukan fungsi pengawasan.19 Komisi Yudisial atau Dewan Kehormatan Hakim bersifat independen dengan keanggotaan yang dipilih dari orang-orang yang memiliki integritas yang teruji. Dengan demikian, Komisi Yudisial di Indonesia dipola sebagai lembaga yang mempunyai fungsi pengawasan, bertindak sebagai dewan kehormatan hakim, dan bersifat independen. Setelah itu, rumusan Komisi Yudisial secara eksplisit muncul dalam rumusan Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945.20 Sampai saat penelitian ini sedang dilakukan, undangundang yang mengaturnya belum ditetapkan. Munculnya Komisi Yudisial di Indonesia merupakan fenomena ketatanegaraan yang baru, sehingga membutuhkan kehati-hatian dalam membuat cetak biru (blueprint) terhadapnya agar tujuan pembentukannya dapat tercapai dengan baik sesuai dengan amanat Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945. Pasal 24B ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 menegaskan, Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta

Sebelum ada Komisi Yudisial, tugas melakukan pengawasan (controlerende functie) dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (4) UU No. 14/ 1970. Selengkapnya tentang pengawasan ini lihat misalnya Soedirjo, Mahkamah Agung: Uraian Singkat tentang Kedudukan, Susunan, dan Kekuasaannya Menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Edisi I, Cet. I, Jakarta: Media Sarana Press, 1986, hlm. 45-52. 19 Sebelum ada Komisi Yudisial, tugas melakukan pengawasan (controlerende functie) dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (4) UU Nomor 14 Tahun 1970. Selengkapnya tentang fungsi pengawasan Mahkamah Agung ini lihat misalnya Soedirjo, Mahkamah Agung: Uraian Singkat tentang Kedudukan, Susunan, dan Kekuasaannya Menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Edisi I, Cet. I, Jakarta: Media Sarana Press, 1986, hlm. 45-52. 20 Pasal ini berisi empat ayat, yaitu (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; (2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; (3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; (4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang. Republik Indonesia, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2002), hlm. 47 dan 72.

18

perilaku hakim. Sedangkan ayat (4) menyatakan, Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang. Peraturan perundang-undangan (baik pada tingkat Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah) yang berkaitan dengan keberadaan Komisi Yudisial perlu secara tegas mengatur fungsi, tugas, dan wewenangnya.21 Peraturan perundang-undangan tersebut harus menegaskan beberapa hal penting, yakni pertama, dalam rangka apa Komisi Yudisial dibentuk (fungsi); kedua, hal-hal apa yang wajib dilakukan oleh Komisi Yudisial (tugas) untuk dapat mencapai fungsi yang diharapkan; dan ketiga, hak-hak apa saja yang harus dimiliki oleh Komisi Yudisial untuk dapat menunaikan tugasnya dengan baik (wewenang). Pengaturan yang tegas terhadap fungsi, tugas, dan wewenang Komisi Yudisial perlu dirumuskan secara eksplisit, sehingga tidak akan terjadi overlapping dengan lembaga lain.22 Fungsi, tugas, dan wewenang23 Komisi Yudisial yang diformulasikan secara tepat akan memberikan kontribusi yang besar terhadap peran Komisi Yudisial. Oleh karena itu, sekali lagi perlu ditegaskan bahwa Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial harus dibuat secara teliti dan hati-hati. 2. Kegagalan Sistem yang Ada Sebelumnya Salah satu hal yang mendorong timbulnya pemikiran mengenai pentingnya pembentukan Komisi Yudisial adalah kegagalan sistem yang ada sebelumnya untuk menciptakan sistem peradilan yang lebih baik.24 Sebagaimana diketahui, untuk memperbaiki kondisi peradilan, dipilihlah cara mengalihkan kewenangan pembinaan aspek administrasi, keuangan, dan organisasi dari Departemen Kehakiman (dan HAM) kepada MA. Cara ini dianggap tidak akan mampu menyelesaikan persoalan tersebut, bahkan pada tingkat tertentu bisa berakibat buruk.25 Ada beberapa hal yang mendukung kesimpulan tersebut, yaitu: a. Penyatuan atap dengan tanpa mengubah sistem rekruitmen, mutasi, promosi, dan pengawasan hakim berpotensi untuk melahirkan monopoli kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung; b. Mahkamah Agung tidak akan mampu menjalankan tugas barunya itu dan hanya mengulang kelemahan yang selama ini dilakukan oleh Departemen Kehakiman (dan HAM). Hal ini didasari pada pertimbangan bahwa selama ini Mahkamah Agung dianggap tidak mampu menjalankan tugas dan wewenangnya, seperti rekruitmen hakim, mutasi, promosi termasuk pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan; dan

Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 6. Ibid. 23 Tentang wewenang Komisi Yudisial ini lihat Lies Sugondo, Pokok-pokok Pikiran tentang Struktur Organisasi Komisi Yudisial, makalah disampaikan pada Workshop Penyusunan Policy Paper dan Draft Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, di Hotel Borobudur, Jakarta, 28 Agustus 2002, hlm. 3. 24 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, naskah belum diterbitkan, Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2003, hlm. 6; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 7. 25 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, op. cit., hlm. 6.; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 7.
22

21

c. Mahkamah Agung mempunyai permasalahan organisasional yang sampai sekarang belum dapat diperbaiki, misalnya kelemahan manajemen organisasi dan perkara, integritas personal dan lain-lain.26 Kekhawatiran di atas dilandasi oleh kenyataan bahwa pada masa yang lalu Mahkamah Agung tidak pernah menggunakan ukuran-ukuran yang objektif dalam menentukan mutasi dan promosi hakim.27 Demikian juga dengan pengawasan terhadap hakim,28 Mahkamah Agung tidak dapat melakukannya secara efektif. Kemampuan manajemen sumber daya manusia, keuangan dan manajemen perkara masih mempunyai beberapa kelemahan. Selain beberapa permasalahan di atas, kualitas dan integritas personal di Mahkamah Agung masih diragukan.29 Dengan demikian, adanya kekhawatiran bahwa penyatuan atap akan mengakibatkan terjadinya monopoli kekuasaan kehakiman mempunyai pijakan argumentasi yang tidak lemah. Padahal, tujuan utama penyatuan atap sebenarnya adalah untuk membuat lembaga peradilan menjadi lebih independen dari campur tangan politik. Artinya, hipotesis yang muncul di sini adalah penyatuan atap akan menjadikan pengadilan lebih independen, karena tidak lagi berkaitan dengan kekuasaan eksekutif.30 Pemikiran ini muncul karena ternyata dalam perkembangannya pengadilan selalu mendapatkan intervensi dari departemennya masingmasing, sehingga mengancam kemandiriannya.31
Ibid.; Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, op. cit. 27 Dalam hal ini Mahkamah Agung hanya memiliki kewenangan yang terbatas dalam hal mutasi dan promosi hakim. Hal ini bisa dilihat dalam rumusan-rumusan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; Undang-undang Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 28 Di dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 terdapat ketentuan yang berkaitan dengan pengawasan. Yaitu: ayat (1), Ketua Pengadilan mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Jurusita di daerah hukumnya; (2) Selain tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan Tinggi di daerah hukumnya melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat Pengadilan Negeri dan menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan sekasama dan sewajarnya; (3) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimasud dalam ayat (1) dan ayat (2), Ketua Pengadilan dapat memberikan petunjuk, teguran, dan peringatan yang dipandang perlu; dan (4) Pengawasan tersebut dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim memeriksa dan memutus perkara. Republik Indonesia, Undang-undang tentang Peradilan Umum, UU No. 2 Tahun 1986, LN No. 20 Tahun 1986, TLN No. 3327. 29 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, op. cit.; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit. 30 Pasal yang dianggap sebagai penyebab dari kegagalan sistem peradilan di masa lalu adalah Pasal 11 UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, (1) Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat (1) organisatoris, administratif fan finansial ada di bawah kekuasaan masing-masing Departemen bersangkutan; (2) Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan tersendiri. Ayat (2) ini diberi penjelasan, Hal demikian berarti bahwa organisasi, administrasi dan keuangan tersebut terpisah dari administrasi dan keuangan Departemental. Walaupun demikian, penentuan organisasi, administrasi dan keuangan Sekreteriat Mahkamah Agung itu dilakukan oleh Pemerintah dengan bahan-bahan yang disampaikan. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, op. cit. 31 Untuk pendalaman tentang hal ini lihat misalnya Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman, Cet. I, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat-ELSAM, 1997; J.C.T. Simorangkir dan B. Mang Reng Say, Tentang dan Sekitar Undang-Undang Dasar 1945, Cet. XI, Jakarta: Hastama, 1987.
26

Pada tahun 1966, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) sering menentang kebijakan yang dibuat oleh Ketua Mahkamah Agung Soejadi yang dianggap membiarkan kepentingan politik melakukan intervensi terhadap lembaga peradilan.32 Penentangan ini33 kemudian menyebabkan para pimpinan IKAHI mengalami pemutasian dari Jakarta ke daerah. Pimpinan IKAHI yang dimutasi adalah Asikin Kusumaatmadja, Sri Widyowati, dan Busthanul Arifin. Pada waktu itu Soejadi meminta Menteri Kehakiman Seno Adji agar usulan mutasi ketiga hakim tersebut disetujui. Dengan beberapa alasan, Seno Adji menolak permintaan tersebut. Ini dianggap sebagai kasus pertama penolakan Departemen Kehakiman terhadap permintaan Mahkamah Agung.34 Dalam hal ini, ternyata dualisme kekuasaan kehakiman menyelamatkan independensi peradilan.35 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kewenangan mutasi atau promosi hakim yang tidak ditopang oleh sistem yang baik berpotensi untuk disalahgunakan. Oleh karena itu, Komisi Yudisial yang akan dibentuk di Indonesia harus belajar dari sejarah tersebut. Fungsi Komisi Yudisial yang akan dibentuk di Indonesia harus mempertimbangkan aspek-aspek kesiapan sistem yang baik terlebih dahulu, sehingga keberadaannya tidak hanya mengulang kegagalan yang pernah terjadi pada masa lalu. Dengan latar belakang seperti itu, Tim Kerja Terpadu mengenai Pengkajian Pelaksanaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara (Tim Kerja Terpadu) mengusulkan agar Dewan Kehormatan Hakim36 harus mempunyai fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim, memberikan rekomendasi yang mengikat mengenai rekruitmen, promosi dan mutasi hakim serta menyusun code of conduct bagi hakim. Akan tetapi, setelah ditetapkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, dengan sendirinya istilah resmi yang dipakai adalah Komisi Yudisial yang menurut Pasal 24B mempunyai dua fungsi, yaitu pertama, mengusulkan pengangkatan hakim agung; dan kedua, kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.37 Hadirnya Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 ini seperti membatalkan gagasan

Untuk pendalaman tentang intervensi kekuasaan pemerintah terhadap independensi lembaga peradilan di Indonesia ini, lihat Daniel S. Lev, Judicial Institutions and Legal Culture ini Indonesia, dalam Claire Holt, (ed.), Culture Politic in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1972, hal 266-280; Todung Mulya Lubis, In Search of Human Rights: Legal-Political Dilemmas of Indonesias New Order 1966-1990, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm. 97. 33 Momen bersejarah yang dianggap sebagai bagian penting bagi perjuangan penegakan kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah Musyawarah Nasional IKAHI Kelima di Yogyakarta pada 18-20 Oktober 1968. Luhut Pangaribuan dan Paul S. Baut, (ed.), Loekman Wiradinata, Keindependenan Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989, hlm. 70. 34 Sebastian Pompe, The Indonesian Supreme Court: Fifty Years of Judicial Development, disertasi doktor Leiden: Van Vollenhoven Institute for Law and Administration in Non-Western Countries, 1996, hlm. 65-66. 35 Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 8. 36 Istilah yang digunakan bukan Komisi Yudisial, tetapi Dewan Kehormatan Hakim. Tim Kerja Terpadu mengenai Pengkajian Pelaksanaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor X/MPR/1998, hlm. 3. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, istilah Komisi Yudisial muncul pertama kali dalam UU PROPENAS. 37 Dengan rumusan ini, terlihat kewenangan Komisi Yudisial agak minimalis apabila dibandingkan dengan usulan-usulan yang muncul dalam persidangan. Salah satu fraksi, misalnya, mengusulkan agar Komisi Yudisial yang akan dibentuk harus mempunyai wewenang tidak saja terlibat dalam rekruitmen hakim agung, melainkan juga hakim dalam setiap tingkatan, termasuk merekomendasikan pengangkatan hakim konstitusi. Majelis Permusyawaratan Rakyat, Buku Kedua Jilid 3 A Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI Ke-36

32

10

tentang Dewan Kehormatan Hakim yang telah ada sebelumnya dan memantapkan gagasan yang semula terdapat dalam Undang-Undang PROPENAS.38 Gagasan yang dapat ditangkap dari Pasal 24B adalah Komisi Yudisial dibentuk dengan kewenangan untuk (1) mengusulkan pengangkatan hakim agung (Bagan 4.1.); dan (2) menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Oleh karena itu, untuk mengemban dua amanat tersebut, Komisi Yudisial harus bersifat mandiri atau independen dari pengaruh-pengaruh di luarnya khususnya kekuasaan kehakiman.39 Bagan 4.1. Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung Komisi Yudisial
Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung

Sementara itu, khusus yang berkaitan dengan kewenangan yang kedua, yaitu menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, terdapat dua persolan yang sangat krusial sebagai berikut: a. apabila kata hakim ditafsirkan secara generik, maka berarti mencakup seluruh hakim di semua jenis dan tingkatan peradilan, yaitu Hakim Agung, hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, dan Hakim Konstitusi;40 dan b. apabila melihat konteks pembahasan yang memunculkan pasal tersebut, maka tampaknya yang dimaksud adalah Hakim Agung saja dan tidak memasukkan Hakim Konstitusi, Hakim Pengadilan Tinggi, dan Hakim Pengadilan Negeri.41
s/d Ke-39 Tanggal 26 September s/d 22 Oktober 2001 Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001, Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2001. 38 Menurut catatan Mahkamah Agung, munculnya gagasan Komisi Yudisial ini sebenarnya tidak disertai dengan diskusi yang mendalam. Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan UndangUndang tentang Komisi Yudisial, op. cit., hlm. 7; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 9. 39 Disarikan dari hasil wawancara peneliti dengan Jimly Asshiddiqie di Sekretariat Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Selasa, 8 April 2003. 40 Penafsiran kata hakim secara generik tersebut tampaknya dipakai dalam rumusan Rancangan UndangUndang tentang Komisi Yudisial yang telah mendapatkan persetujuan bersama antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (5) RUU tersebut menyatakan, Hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini dipertegas dengan ketentuan Pasal 1 ayat (6) RUU tersebut yang menyatakan, Lingkungan peradilan adalah badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara, serta pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. 41 Munculnya ketentuan Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 didasari pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan dalam perjuangan penegakan hukum dan keadilan. Apalagi hakim agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi (puncak) dalam susunan peradilan di Indonesia. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003, hlm. 195.

11

Apabila penafsiran pertama yang dipakai, maka akan menimbulkan konsekuensi yang sangat besar, yakni tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim mencakup seluruh hakim, yaitu Hakim Agung, hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, dan Hakim Konstitusi. Hal ini dapat dilihat dalam bagan sebagai berikut: Bagan 4.2. Menjaga Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim

Kehormatan

Hakim: 1. Hakim Agung

Komisi Yudisial

Menjaga

Keluhuran Martabat

2. Hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung 3. Hakim Konstitusi

Perilaku

Bagan 4.3. Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim

Kehormatan

Hakim: 4. Hakim Agung

Komisi Yudisial

Menegakka n

Keluhuran Martabat

5. Hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung 6. Hakim Konstitusi

Perilaku

12

Dengan demikian, menurut penafsiran yang pertama, sepanjang berkaitan dengan fungsi mengusulkan pengangkatan hakim, hanya hakim agung saja yang dapat diusulkan oleh Komisi Yudisial. Sedangkan pengusulan pengangkatan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, dan Hakim Konstitusi tidak menjadi kewenangan Komisi Yudisial. Hal ini karena rumusan Pasal 24A ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 secara eksplisit menyatakan: Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.42 Akan tetapi, menurut penafsiran yang pertama, yang berkaitan dengan tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, tugas yang diemban Komisi Yudisial cukup luas.43 Hal ini karena kata hakim yang disebut dalam Pasal 24B ayat (1) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 mencakup semua jenis dan tingkatan hakim, yaitu Hakim Agung, hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, dan Hakim Konstitusi. Pada titik ini, terdapat persoalan krusial yang patut dikemukakan, yaitu Komisi Yudisial harus mempunyai cabang-cabang di daerah untuk menjalankan tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.44 Perdebatan seru sempat terjadi dalam sidang Panitia Ad Hoc I (PAH I) Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (BP MPR) saat membahas pasal tersebut. Sempat muncul usulan agar Komisi Yudisial tidak hanya terlibat dalam rekruitmen hakim agung saja, tetapi juga rekruitmen hakim pada setiap jenis dan tingkatan pengadilan serta merekomendasikan pengangkatan hakim konstitusi. Selain itu, juga sempat muncul usulan agar Komisi Yudisial juga diberikan peranan dalam rekruitmen jabatan-jabatan penting dan juga mempunyai peran dalam mutasi dan promosi hakim.45 Akan tetapi, usulan ini kemudian kandas. Secara umum, kedua fungsi Komisi Yudisial yang diatur di dalam Pasal 24B UUD 1945 tersebut relatif lebih
Ketentuan ini dimaksudkan agar rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kewenangan untuk menentukan siapa-siapa yang tepat menjadi hakim agung sesuai aspirasi dan kepentingan rakyat untuk memperoleh kepastian dan keadilan. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan..., op. cit., hlm. 194. 43 Khusus mengenai pengawasan dari Komisi Yudisial ini, Ketua Muda Urusan Pengawasan Mahkamah Agung Marianna Sutadi mengkhawatirkan terjadinya terjadinya overlapping antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Marianna Sutadi, Fungsi, Tugas, dan Wewenang Komisi Yudisial dalam Bidang Pengawasan, (Makalah disampaikan pada Workshop Penyusunan Policy Paper dan Draft Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, di Hotel Borobudur, Jakarta, 28 Agustus 2002), hlm. 3-4. Lihat juga Tra, Kewenangan Komisi Yudisial Dikhawatirkan Tumpang Tindih, Harian Kompas, 31 Agustus 2002, hlm. 7. 44 Pasal 3 ayat (1) dan (2) Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial Versi Dewan Pewakilan Rakyat mengatakan (1) Komisi Yudisial berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2) Apabila dipandang perlu dapat dibentuk Perwakilan Komisi Yudisial di daerah. Dewan Pewakilan Rakyat, Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial Versi Dewan Pewakilan Rakyat, Jakarta, 6 November 2002. Lihat juga Pasal 4 ayat (2) Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial Versi LeIP. Keberadaan Perwakilan Komisi Yudisial di daerah ini sangat penting mengingat luasnya wilayah Indonesia dan besarnya jumlah hakim yang harus diawasi serta pentingnya peran daerah dalam rangka proses pemilihan hakim agung. Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) dan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Ringkasan Eksekutif Draft II Policy Paper dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, Jakarta, tt. 45 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Buku Kedua Jilid 3 A... op. cit.; Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Buku Kedua Jilid 8 A Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI Ke-36 s/d Ke-39 Tanggal 26 September s/d 22 Oktober 2001 Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001, Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2001, hlm. 8.
42

13

sempit apabila dibandingkan dengan gagasan yang dikembangkan oleh Tim Kerja Terpadu Mengenai Pangkajian Pelaksanaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999.46 Akan tetapi, apabila kata hakim yang terdapat dalam Pasal 24B ayat (1) tersebut diartikan sesuai dengan konteks pembahasannya, maka yang dimaksud adalah hanya Hakim Agung, dan bukan hakim yang lain. Hal ini terkait dengan kewenangan pertama Komisi Yudisial, yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung saja, bukan hakim lain. Oleh karena itu, sebagai logika hukumnya, sangat wajar apabila Komisi Yudisial berwenang menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim agung saja, karena memang lembaga ini berwenang mengusulkan pengangkatan hakim hanya untuk Hakim Agung saja, bukan hakim yang lain. Dua bagan di bawah ini akan memperjelas pernyataan tersebut: Bagan 4.4. Menjaga Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim Agung
Kehormatan

Komisi Yudisial

Menjaga

Keluhuran Martabat

Hakim Agung 3.

Perilaku

Bagan 4.5. Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim Agung
Kehormatan

Komisi Yudisial

Menegakkan

Keluhuran Martabat

Hakim Agung

Perilaku

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, op. cit., hlm. 8; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 9.

46

14

Berdasarkan pembahasan di dalam sidang Tim Kerja Terpadu, ada beberapa tugas lain yang bisa dikategorikan sebagai bagian dari menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim yang dapat disimpulkan dalam empat hal sebagai berikut: a. Tugas memperjuangkan peningkatan kesejahteraan hakim; b. Tugas merekomendasikan penghargaan, gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lain kepada hakim; c. Memberikan pelayanan informasi mengenai perilaku hakim yang diperkenankan atau tidak berdasarkan undang-undang; d. Memberikan masukan dan pertimbangan kepada Mahkamah Agung dan lembaga negara lainnya dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.47 Yang bisa menjadi contoh dari tugas pelayanan informasi mengenai perilaku hakim di atas adalah menyebarluaskan peraturan perundang-undangan mengenai perilaku hakim yang diperkenankan atau menyediakan pelayanan informasi (hotline service) bagi pihak yang ingin mengetahui lebih jauh apakah suatu tindakan tertentu dapat dikategorikan sebagai tindakan yang dapat atau boleh dilakukan hakim atau tidak.48 Sedangkan contoh memberikan masukan dan pertimbangan kepada Mahkamah Agung dan lembaga negara lainnya adalah masukan atau pertimbangan untuk mengubah mekanisme kerja internalnya yang dianggap membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.49 3. Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial di Indonesia Membicarakan tugas Komisi Yudisial di Indonesia sudah pasti harus merujuk pada ketentuan Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945. Apalagi sampai saat ini Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial belum ditetapkan sebagai undang-undang. Oleh karena itu, konstitusi menjadi rujukan utama dalam melihat Komisi Yudisial di Indonesia. Pasal 24B berisi empat ayat, yaitu (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; (2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; (3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; (4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang. Dari keempat ketentuan tersebut, ada dua (2) hal yang berkaitan dengan tugas Komisi Yudisial, yaitu: mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan keluhuran martabat, serta perilaku hakim. a. Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung Hakim adalah aktor utama penegakan hukum (law enforcement) di pengadilan yang mempunyai peran lebih apabila dibandingkan dengan jaksa, pengacara, dan panitera. Pada saat
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, op. cit., hlm. 8 48 Ibid. 49 Ibid.
47

15

ditegakkan, hukum mulai memasuki wilayah das sein (yang senyatanya) dan meninggalkan wilayah das sollen (yang seharusnya). Hukum tidak lagi sekedar barisan pasal-pasal mati yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan, tetapi sudah dihidupkan oleh living interpretator yang bernama hakim.50 Hakim yang akan memutus suatu perkara di pengadilan harus mengkombinasikan tiga hal secara simultan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum. Tugas ini tentu saja tidak mudah dilaksanakan. Unsur kepastian hukum dalam penegakan hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan seseorang terhadap orang lain, karena hukum telah dianggap sebagai rujukan terakhir untuk mengatasi konfik yang terjadi dalam mayarakat.51 Unsur kemanfaatan hukum dalam penegakan hukum bermakna filosofis yang sangat mendalam, yaitu karena hukum ditujukan untuk manusia, maka harus memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi manusia. Kemanfaatan ini terutama berbentuk terlindunginya kepentingan satu pihak dari perampasan yang dilakukan oleh pihak lain. Sedangkan unsur keadilan dalam penegakan hukum merupakan sesuatu yang seharusnya paling genuine dan hakiki dari hukum itu sendiri. Aliran etis dalam hukum berpendapat bahwa hukum dibuat dengan tujuan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.52 Hakim yang ideal seperti digambarkan di atas tentu saja tidak akan lahir dari sistem yang buruk,53 tetapi lahir dari sebuah sistem yang memadai bagi terciptanya kondisi ideal tersebut. Odette Buitendam meyakini bahwa hakim yang baik itu tidak dilahirkan, tetapi diciptakan melalui suatu sistem rekruitmen, seleksi, dan pelatihan yang baik.54 Rekruitmen55 dan seleksi yang baik dapat dimanifestasikan dengan mengedepankan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, the right man on the right place, objektivitas, dan sebagainya.56 Baik dalam tradisi common law system maupun dalam tradisi civil law system, masalah perekrutan hakim ini menjadi persoalan yang selalu mengemuka.57 Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung58 memberikan kewenangan untuk memilih hakim agung kepada Presiden berdasarkan daftar
A. Ahsin Thohari, Dari Law Enforcement..., loc. cit.. Lihat juga. A. Ahsin Thohari, Dari Law Enforcement ke Justice Enforcement, <http://www.kompas. com/kompas%2Dcetak/0207/03/opini/dari31. htm>, diakses 3 Juli 2002. 51 Ibid. 52 Ibid. 53 Odette Buitendam, Good Judges are Not Born But Made: Recruitment, Selection and the Training of Judges in the Netherlands dalam Marco Fabri dan Philip M. Langbroek, (ed.), The Challenge of Change for Judicial Systems, Netherlands: IOS Press, 2000, hlm. 211. 54 Ibid. 55 Berkaitan dengan hal ini, Mahkamah Agung telah membuat kertas kerja yang berjudul Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pembinaan SDM Hakim, naskah belum diterbitkan, Jakarta: Mahakamah Agung Republik Indonesia, 2003. 56 Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 11. 57 Tentang sisi positif dan negatif dari kedua sistem hukum tersebut dalam perekrutan hakim, lihat misalnya John Henry Merryman, The Civil Law Traditions: An Introduction to the Legal System of Western Europe and Latin America, Second Edition, Chicago: Stanford University Press, 1996, hlm. 35 dan seterusnya. 58 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung ini telah diubah. Rancangan UndangUndang tentang Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung telah mendapat persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah pada tanggal 18 Desember 2003. Perubahan tersebut meliputi Pasal 7 ayat (1) dan (2) yang mengatur persyaratan hakim agung; Pasal 8 yang mengatur pengangkatan hakim agung, Ketua Mahkamah Agung, dan Wakil Ketua Mahkamah Agung; Pasal 11
50

16

nama yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam mengusulkan nama calon kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat wajib mendengarkan pendapat Mahkamah Agung dan Pemerintah.59 Akan tetapi, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tersebut dianggap memiliki beberapa kelemahan prisipil. Kelemahan ini mencakup tiga hal sebagai berikut: 1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat terdiri dari barbagai macam latar belakang keilmuan. Padahal, materi tanya-jawab dalam proses tersebut berkaitan erat dengan materi hukum, sehingga beberapa pertanyaan yang diajukan seringkali kurang tepat sasaran dan memiliki kualitas yang rendah; 2) Tugas pokok anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menyangkut fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan sudah dirasakan cukup berat. Oleh karena itu, apabila Dewan Perwakilan Rakyat dibebani tugas lagi untuk menyeleksi hakim agung, maka hal ini dapat menyebabkan rendahnya kualitas seleksi yang dilakukan; 3) Dewan Perwakilan Rakyat adalah lembaga politik, bukan lembaga hukum, sehingga proses persidangan yang berlangsung tidak terlepas dari kepentingan politik. Meskipun hal ini wajar, tetapi sebaiknya proses pemilihan atas dasar pertimbangan politik dilakukan setelah ada proses screening terhadap integritas dan kualitas calon hakim agung yang dilakukan oleh lembaga non-politik.60 1) Mekanisme Perekrutan Hakim Agung pada Masa Orde Baru Pada masa Orde Baru,61 proses rekruitmen hakim agung diawali dengan diadakannya forum yang melibatkan Mahkamah Agung dan Pemerintah yang biasanya dikenal dengan sebutan Forum Mahkamah Agung-Departemen (MahDep). MahDep merupakan forum yang digunakan sebagai ajang konsultasi antara Mahkamah Agung dan Departemen dalam membicarakan daftar kandidat hakim agung yang akan diajukan oleh Mahkamah Agung dan

yang mengatur pemberhentian hakim agung; Pasal 26 yang mengatur tugas dan tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja serta administrasi dan finansial Mahkamah Agung; Pasal 30 yang mengatur wewenang Mahkamah Agung membatalkan putusan atau penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan; penyisipan Pasal 79A yang mengatur pengecualian perkara yang diperbolehkan kasasi atau peninjauan kembali; dan penyisipan Pasal 80A yang mengatur bahwa sebelum Komisi Yudisial terbentuk, pencalonan hakim agung dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 59 Selengkapnya Pasal 8 menyatakan (1) Hakim Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara dari daftar nama calon yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat; (2) Daftar nama calon sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden selaku Kepala Negara setelah Dewan Perwakilan Rakyat mendengar pendapat Mahkamah Agung dan Pemerintah; (3) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara di antara Hakim Agung yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat; (4) Ketua Muda Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara di antara Hakim Agung yang diusulkan oleh oleh Ketua Mahkamah Agung; dan (5) Untuk mengisi lowongan jabatan Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung, diusulkan masing-masing 2 (dua) orang calon. 60 Disarikan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, op. cit., hlm. 10-11; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 13. 61 Tentang istilah ini, lihat catatan kaki nomor 56.

17

Pemerintah ke Dewan Peerwakilan Rakyat. Biasanya, Mahkamah Agung berinisiatif memberikan proposal nama-nama ke Departemen terlebih dahulu.62 Ketua Mahkamah Agung biasanya melakukan konsultasi dengan pimpinan Mahkamah Agung sebelum mengajukan proposal nama ke Departemen. Meskipun demikian, Sebastian Pompe mencatat bahwa dalam praktiknya Ketua Mahkamah Agung seringkali memegang kontrol yang dominan dalam menentukan nama-nama calon yang dimasukkan dalam proposal.63 Selanjutnya, nama-nama calon dipresentasikan dalam MahDep. Pada saat presentasi, biasanya Departemen mengusulkan beberapa perubahan, misalnya dengan memasukkan namanama dari militer maupun kejaksaan. Setelah usulan nama-nama kandidat hakim agung dibahas, kemudian nama-nama tersebut diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat yang kemudian diangkat sebagai hakim agung oleh Presiden.64 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran MahDep dalam rekruitmen hakim agung jauh lebih signifikan apabila dibandingkan dengan peran Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini terkait dengan lemahnya posisi Dewan Perwakilan Rakyat dibandingkan dengan kekuasaan pemerintah (eksekutif).65 Menurut catatan Mahkamah Agung, proses rekruitmen hakim agung selama Orde Baru menunjukkan adanya sejumlah kelemahan terutama pada aspek mekanisme pemilihan serta penentuan kriteria. Kelemahan-kelemahan tersebut meliputi empat hal sebagai berikut:

Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit.; Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, op. cit., hlm. 9. 63 Pompe, op. cit., hlm. 308. 64 Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit. 65 Pada masa Orde Baru, Dewan Perwakilan rakyat hanya menjadi stempel karet (rubber stamp) dari kekuasaan pemerintah. Akan tetapi, setelah era reformasi, Dewan Perwakilan Rakyat menjelma menjadi lembaga yang sangat kuat (superbody). Ada tiga pintu yang menjadi akses utama DPR untuk menancapkan hegemoninya di era reformasi. Pertama, fungsi legislasi DPR sering digunakan sebagai instrumen untuk memproduksi undangundang yang mengukuhkan supremasi DPR dan bukan dilandasi kebutuhan rasional, sehingga DPR menjelma menjadi superbody. Persetujuan DPR atas Rancangan Undang-Undang (RUU) Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD adalah bukti bahwa DPR telah memanfaatkan fungsi legislasinya untuk memperkuat kedudukannya. Padahal, RUU ini berisi ketentuan-ketentuan kontroversial seperti kewenangan recalling anggota DPR oleh partai politik, adanya lembaga sandera (gijzeling), dan hak subpoena (kewenangan memanggil suatu pihak dan memeriksa) yang dimiliki DPR. Kedua, DPR sering membuat undang-undang yang dilatarbelakangi kepentingan politik sesaat yang berjangka pendek tanpa memikirkan akibat serius yang mungkin ditimbulkannya di masa depan. Undang-undang seringkali hanya dijadikan sebagai alat perjuangan politik dari partai politik dan bukan sebagai kristalisasi dari nilai-nilai yang dikehendaki publik. Hilangnya pasal yang melarang seorang terdakwa mencalonkan diri dari Undang-Undang Pemilihan Langsung Presiden dan Wakil Presiden menunjukkan adanya kepentingan politik sesaat yang berjangka pendek dengan mengabaikan aspek-aspek substantif yang jauh lebih penting. Ketiga, ini sebagai akibat dari yang pertama dan kedua, DPR menjadi lembaga yang liar dan tidak dapat dikendalikan, sehingga dapat melakukan apa pun tanpa perlu melakukan konfirmasi memadai kepada publik. DPR dapat menciptakan undang-undang apa saja tanpa perlu lagi mendengar aspirasi publik. Undangundang yang amat kontroversial pun akan dapat lolos bila deal politik beberapa partai politik telah menyepakatinya. Hal ini tidak terlepas dari sistem perwakilan kita yang cenderung menempatkan seorang anggota DPR sebagai representasi dari partai politiknya. Kepentingan partai politik adalah primer, sedangkan kepentingan publik adalah sekunder. A. Ahsin Thohari, Membaca Perubahan Ekstrem DPR, Dari Rubber Stamp ke Superbody, Harian Kompas, Edisi Jumat, 25 Juli 2003, hlm. 4. Lihat juga A. Ahsin Thohari, Membaca Perubahan Ekstrem DPR, Dari Rubber Stamp ke Superbody, <http://www.kompas.com/kompascetak /0307/25/opini/444392.htm>, diakses tanggal 25 Juli 2003.

62

18

a) Hakim agung yang berhasil dipilih umumnya didasarkan pada kualitas yang tidak jelas; b) Adanya indikasi praktek dropping nama dengan cara hakim agung biasanya akan memberikan usulan nama kepada Ketua Mahkamah Agung dengan harapan Ketua Mahkamah Agung akan memberikan perhatian kepada kandidat dan memasukkan namanya dalam daftar; c) Adanya indikasi jaringan, pertemanan, hubungan keluarga, dan sebagainya yang mengakibatkan pemilihan dilakukan tidak secara objektif. Beberapa hakim ada yang memiliki hubungan satu sama lain, misalnya memiliki latar belakang sosial atau keluarga yang sama. Hubungan seperti ini seringkali mempengaruhi proses penentuan daftar nama yang disusun Ketua Mahkamah Agung; dan d) Adanya indikasi praktik-praktik suap dengan cara memberikan hadiah atau membayar sejumlah uang yang dilakukan oleh seseorang yang ingin dicalonkan.66 2) Mekanisme Perekrutan Hakim Agung pada Masa Reformasi Konfigurasi proses rekruitmen hakim agung di atas segera berubah setelah era reformasi67 yang ditandai dengan keadaan di mana Dewan Perwakilan Rakyat tampil sebagai lembaga yang sangat kuat (powerful). Apabila pada masa Orde Baru kekuasaan pemerintah begitu kuat dan Dewan Perwakilan Rakyat lemah, maka setelah era reformasi keadaan menjadi sebaliknya, kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi lebih kuat daripada kekuasaan pemerintah. Perubahan peta politik tersebut berdampak pula terhadap mekanisme perekrutan hakim agung dan pimpinan Mahkamah Agung. Dewan Perwakilan Rakyat pada masa reformasi ini praktis mengambil alih peran Pemerintah dan Mahkamah Agung dalam proses rekruitmen hakim agung. Setelah era reformasi, proses pencalonan bakal calon hakim agung yang dikenal dengan fit and proper test jauh lebih demokratis, partisipatif, obyektif, dan transparan daripada era Orde Baru.68 Pada era reformasi ini masyarakat dapat mengajukan nama bakal calon, melaporkan informasi tentang bakal calon atau bahkan mengajukan pertanyaan kepada bakal calon melalui anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat menjaring pandangan publik tentang bakal calon melalui pembuatan iklan layanan masyarakat di media cetak berskala nasional.69 Proses rekruitmen juga lebih objektif, karena terdapat tim yang dibentuk untuk menyusun aturan main dalam proses seleksi, dibuatnya persyaratan yang harus dipenuhi bakal
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, op. cit., hlm. 8; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 12. 67 Era reformasi merujuk pada masa setelah berhentinya kekuasaan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Tentang istilah ini lihat Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Cet. I, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003, hlm. 57-60. Buku ini diangkat dari disertasi Satya Arinanto yang berjudul Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik: Upaya Pencarian Konsepsi Keadilan Transisional di Indonesia dalam Era Reformasi, Disertasi untuk Memperolah Gelar Doktor dalam Ilmu Hukum pada Universitas Indonesia, 2003. 68 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, op. cit., hlm. 10; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 12. 69 Ibid.
66

19

calon apabila berkeinginan mengikuti proses seleksi atau meluangkan waktu di luar waktu kerja normal untuk melakukan fit and proper test dan sebagainya. Proses rekruitmen semakin terlihat serius dengan digunakannya tiga kriteria sebagai parameter untuk menilai kelayakan bakal calon, yakni integritas, pemahaman hukum serta visi dan misi selain penilaian aspek formal sebagaimana diatur dalam undang-undang. Meskipun demikian, proses rekrutmen di era reformasi ini juga mengalami dua kelemahan utama, yaitu pertama, siapa yang melakukan proses seleksi; dan kedua, bagaimana proses seleksi itu dilakukan.70 Peraturan perundang-undangan yang tersedia tidak memberikan ketentuan yang jelas mengenai bagaimana proses seleksi hakim agung seharusnya dilakukan. Hal ini menjadi persoalan yang sangat serius, karena dapat menimbulkan perbedaan penafsiran terhadap bagaimana seharusnya seleksi dilakukan. Fit and proper test yang dilakukan mengandung beberapa kelemahan, yaitu: a) Masih tertutupnya beberapa proses dan informasi yang seharusnya terbuka. Misalnya tahap klarifikasi awal terhadap segi administratif dan integritas bakal calon dilakukan secara tertutup dan publik tidak dapat mengetahui apa yang menjadi parameter seorang calon dapat lulus atau tidak lulus;71 b) Tidak atau kurang maksimalnya partisipasi publik dalam proses perekrutan. Laporan dari masyarakat yang telah diterima tidak atau kurang ditelusuri lebih jauh oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat. c) Minimnya metode pengukuran yang objektif untuk menilai calon. Meskipun Dewan Perwakilan Rakyat telah membuat klasifikasi untuk menilai kelayakan bakal calon, tetapi sama sekali tidak memadai;72 d) Seringkali calon yang dipilih mempunyai keahlian yang tidak sesuai dengan kebutuhan di Mahkamah Agung;73 e) Pengusulan untuk perekrutan hakim agung dapat dikatakan lambat;74 f) Dalam proses fit and proper test, anggoata DPR kurang memberikan penghargaan sepatutnya kepada bakal calon.75 Setelah mempertimbangkan berbagai macam kelemahan yang terdapat dalam pola rekruitmen selama ini, rumusan Pasal 24B hadir pada saat yang tepat untuk memperbaikinya.76
Ibid.; Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, op. cit. 71 Selain itu, penilaian DPR terhadap bakal calon juga dilakukan secara tertutup, sehingga masyarakat tidak mengetahui barapa banyak anggota DPR yang memberi nilai tinggi atau rendah terhadap aspek integritas, pemahaman hukum atau visi dan misi bakal calon. Hal ini mengakibatkan anggota DPR memilih berdasarkan selera pribadi. Ibid.; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 13-14. 72 DPR memang telah membuat klasifikasi untuk menilai kelayakan bakal calon yang meliputi integritas, pemahaman hukum serta visi dan misi. Ibid., hlm. 14; Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, op. cit., hlm. 11. 73 Ibid., hlm. 12; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 15. 74 Ibid., hlm. 11-12; Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, op. cit., hlm. 12. 75 Ibid.; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit. 76 Meskipun demikian, proses perubahan terhadap UUD 1945 dalam batas tertentu mempunyai beberapa kelemahan yang meliputi aspek yuridis, sosiologis, dan filosofis. A. Ahsin Thohari, Membayangkan Living Constitution, Harian Kompas, Edisi Kamis, 1 Agustus 2002, hlm. 28. Lihat juga A. Ahsin Thohari, Membayangkan Living Constitution, <http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0208/01/opini/ memb28. htm>, diakses tanggal 1 Agustus 2002.
70

20

Pemberian wewenang tersebut kepada lembaga khusus yang bersifat mandiri serta beranggotakan orang-orang yang mempunyai kompetensi di bidang hukum diharapkan dapat menutupi kelemahan Pemerintah, Mahkamah Agung, dan Dewan Perwakilan Rakyat selama ini. Pada intinya, kehadiran Komisi Yudisial harus menjadi solusi. 3) Mekanisme Perekrutan Hakim Agung oleh Komisi Yudisial Gagasan Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 dapat dianggap sebagai suatu pilihan yang tepat apabila melihat beberapa kelemahan perekrutan hakim agung sebagaimana telah dipaparkan di atas.77 Di dalam Pasal 24A ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 dikatakan sebagai berikut: Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Sementara itu, di dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung disebutkan sebagai berikut:78
Masalah perekrutan hakim ini juga menjadi perhatian sebuah penelitian yang diadakan oleh Bank Dunia. Menurut penelitian tersebut, perlu diadakan reformasi kebijaksanaan jangka pendek dengan merekomendasikan (1) peninjauan seleksi dan perekrutan hakim dan personalia pengadilan; (2) pengawasan yang lebih baik atas penerapan yudisial di semua lingkaran peradilan dan pengawasan yang lebih baik atas sumber daya manusia peradilan; (3) suatu tinjauan atas prosedur untuk memilih/merekrut hakim dan prosedur evaluasi untuk promosi dan mutasi; dan (4) penyempurnaan dalam pemilihan para sarjana hukum yang akan menduduki jabatan resmi di bidang hukum: hakim, jaksa penuntut umum, penasehat hukum, pengacara, dan konsultan hukum, dan dalam hal pemilihan lulusan pendidikan notariat untuk menjadi notaris. Firoz Gaffar dan Ifdhal Kasim, ed., Reformasi Hukum di Indonesia: Hasil Studi Perkembangan Hukum Proyek Bank Dunia [Diagnostic Assessment of Legal Development in Indonesia], diterjemahkan oleh Niar Reksodiputro dan Imam Pambagyo, Jakarta: CYBERconsult, 1999, hlm. 135. 78 Sebagaimana telah disebutkan di atas, Undang-Undang ini telah mendapat persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dalam Rapat Paripurna 18 Desember 2003. Undang-Undang ini lahir dari Rancangan UndangUndang (RUU) usul inisiatif dari anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam surat pengantarnya kepada pimpinan dewan (surat tertanggal 27 Juni 2002) para pengusul menyampaikan bahwa pokok pikiran yang menjadi dasar pengajuan RUU ini ialah: (1) Bahwa untuk melakukan pembenahan pada badan peradilan perlu adanya kebijakan untuk penyatu-atapan lembaga peradilan secara organisatoris, administratif dan finansial berada dibawah Mahkamah Agung; (2) Bahwa pembenahan lembaga peradilan perlu dilakukan dengan peningkatan integritas moral dan profesionalitas para hakim khususnya para hakim agung agar memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum; (3) Bahwa untuk mendapatkan para hakim agung yang berintegritas moral yang tinggi, perlu pembaharuan mekanisme pengajuan pemilihan, pengajuan calon dan pengawasan hakim yang melibatkan Komisi Yudisial sebagai lembaga yang independen; (4) Bahwa untuk mengurangi tunggakan perkara di Mahkamah Agung perlu diadakan pembatasan dalam hal pengajuan Kasasi atau Peninjauan Kembali berdasarkan syarat-syarat tertentu. Pembahasan RUU ini dilakukan dalam satu paket pembahasan lima RUU oleh satu Panitia Khusus di bawah Badan Legislasi DPR. Paket lima RUU ini biasa disebut dengan istilah paket RUU Integrated Justice System, yaitu RUU Tentang Perubahan Atas UU No 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, RUU Tentang Perubahan Atas No 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, RUU Tentang Perubahan Atas No 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan RUU Tentang Perubahan Atas UU No 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Secara umum, RUU Mahkamah Agung ini memuat enam materi pokok, mulai dari pembenahan sumber daya manusia, hingga soal pembatasan kasasi. Materi perubahan yang diusulkan adalah (1) Syarat untuk menjadi hakim agung, khususnya dari hakim karier dipersamakan dengan non-karier, walaupun dengan tambahan syarat khusus yaitu sudah menjadi hakim tingkat banding; (2) Umur pensiun menjadi 70 (tujuh puluh) tahun dengan tetap mempertimbangkan kesehatan jasmani dan rohani; (3) Adanya penetapan jangka waktu untuk setiap proses
77

21

(1) Hakim agung diangkat oleh Presiden dari nama calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. (3) Pemilihan calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari sidang sejak nama calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat. (4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung dan diangkat oleh Presiden. (5) Ketua Muda Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden di antara hakim agung yang diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung. (6) Keputusan Presiden mengenai pengangkatan Hakim Agung, Ketua dan Wakil Ketua, dan Ketua Muda Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (4), dan ayat (5) ditetapkan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak pengajuan calon diterima Presiden.79

pencalonan, pengangkatan, dan pemberhentian hakim agung; (4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung; (5) Adanya pembatasan perkara-perkara yang dapat diajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali. Perkara-perkara yang tidak memenuhi syarat formal dapat langsung dinyatakan tidak dapat diterima oleh pengadilan tingkat pertama dan tidak perlu dikirim berkasnya kepada Mahkamah Agung. Eryanto Nugroho, RUU tentang Mahkamah Agung, <http://www.parlemen.net/ind/packagedetails.php?view=paket&guid=6257a66fdb6f9ae24cdbebead9831072&do cprofile=paket>, diakses tanggal 29 Desember 2004. Lihat Dewan Perwakilan Rakyat, Rancangan Undang Undang Tentang Perubahan Atas Undang Undang No. 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002; Dewan Perwakilan Rakyat, Rancangan UndangUndang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002; Dewan Perwakilan Rakyat, Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002; Dewan Perwakilan Rakyat, Rancangan Undang Undang tentang Perubahan atas Undang Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002; Dewan Perwakilan Rakyat, Rancangan Undang Undang tentang Perubahan atas Undang Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002. 79 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1985 tentang Mahkamah Agung, UU No. 5 Tahun 2004, LN No. 9 Tahun 2004, TLN No. 4359. Bandingkan dengan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebelum perubahan yang menentukan: (1) Hakim Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara dari daftar nama calon yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat; (2) Daftar nama calon sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden selaku Kepala Negara setelah Dewan Perwakilan Rakyat mendengar pendapat Mahkamah Agung dan Pemerintah; (3) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara di antara Hakim Agung yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat; (4) Ketua Muda Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara di antara Hakim Agung yang diusulkan oleh oleh Ketua Mahkamah Agung; dan (5) Untuk mengisi lowongan jabatan Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung, diusulkan masing-masing 2 (dua) orang calon. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Agung, UU No. 14 Tahun 1985, LN No. 73 Tahun 1985, TLN No. 3316.

22

Ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 24A ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyiratkan bahwa Komisi Yudisial telah mengambil alih fungsi-fungsi yang selama ini diperankan oleh MA, Pemerintah, dan DPR sebagaimana diatur di dalam Pasal 8 UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Sedangkan DPR menggantikan peran Presiden sebagai pihak yang kepadanya diajukan calon hakim agung. Sementara itu, Presiden hanya sebagai pihak yang mengangkat hakim agung dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, untuk menjalankan wewenang mengusulkan hakim agung, Komisi Yudisial harus diberi tiga tugas sebagai berikut: a) Menjaring nama-nama bakal calon hakim agung; b) Melakukan proses seleksi bakal calon hakim agung; dan c) Memberikan usulan nama calon hakim agung kepada DPR.80 Dalam rangka menjalankan tiga tugas tersebut di atas, Komisi Yudisial harus diberikan seperangkat kewajiban dan wewenang yang berkaitan dengan mengundang partisipasi masyarakat, menjaring nama bakal calon hakim agung, publikasi nama bakal calon hakim agung, dan klarifikasi track record bakal calon hakim agung. a) Mengundang Partisipasi Masyarakat Dalam proses perkrutan hakim agung, partisipasi masyarakat harus mendapat perhatian secara serius.81 Dalam rangka menjalankan kewajiban mengundang partisipasi masyarakat dalam proses perekrutan hakim agung ini, Komisi Yudisial harus mengumumkan kepada masyarakat luas secara resmi tentang perekrutan hakim yang akan dilaksanakan dan meminta masyarakat untuk memberikan masukan nama bakal calon. Pengumunan tersebut juga harus menjelaskan jumlah hakim agung yang akan direkrut serta keahlian bakan calon hakim agung sesuai dengan kebutuhan yang ada.82 Meskipun demikian, adanya calon yang terlalu banyak harus dihindarkan agar efektifitas dan efisiensi perekrutan hakim agung tetap terjaga. Menurut Mahkamah Agung, untuk menghindarkan terjadinya pembengkakan bakal calon hakim agung harus dibuat pembatasan-pembatasan dengan cara, misalnya, Komisi Yudisial hanya mempunyai kewajiban untuk memproses lebih lanjut usulan dari masyarakat yang disertai data pribadi pengusul secara jelas dan alasan-alasan pengusulannya.83
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, op. cit., hlm. 13. 81 Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, misalnya, partisipasi masyarakat dalam proses seleksi hakim federal dilakukan secara intens dan memiliki dampak positif dalam proses rekruitmen. Peran ini misalnya dilakukan oleh American Bar Association. Tentang hal ini lihat misalnya Henry J. Abraham, Justices and Presidents: A Political History of Appoinments to the Supreme Court, 2nd Edition, New York/Oxford: Oxford University Press, 1985, hlm. 25-30; Joel B. Grossman, Lawyer and Judge: The Politics of Judicial Selection, New York: John Wiley & Sons, 1965, hlm. 87-92; Larry C. Berkson dan Susan B. Carbon, The United States Circuit Judge Nominating Commission: Its Membes, Procedures, and Candidates, Chicago: American Judicature Society, 1980, hlm. 49. 82 Keahlian ini mencakup hukum pidana, hukum perdata, hukum tata usaha negara, dan lain-lain. Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, op. cit., hlm. 14. 83 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, op. cit., hlm. 14; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 17.
80

23

b) Menjaring Nama Bakal Calon Hakim Agung Komisi Yudisial harus secara proaktif menjaring nama bakal calon hakim agung sesuai dengan pemantauan yang telah dilakukan sebelumnya dari berbagai kalangan baik dari kalangan hakim, pengacara, akademisi, aktivis lembaga non-pemerintah, dan lain-lain.84 Dalam proses penjaringan nama bakal calon hakim agung, Komisi Yudisial juga harus meminta kesediaan bakal calon yang telah dijaring tersebut agar memenuhi persyaratan administratif sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 7 Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.85 Syarat-syarat untuk dapat menjadi hakim agung yang ditentukan dalam undang-undang tersebut sebagai berikut: (1) Warga negara Indonesia; (2) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (3) Berijazah Sarjana Hukum atau Sarjana lain dan mempunyai pengalaman dalam bidang profesi hukum dan/atau akademisi, atau Hakim Tinggi yang berpengalaman sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun sejak diangkat menjadi Hakim tingkat pertama; (4) Berumur serendah-rendahnya 45 (empat puluh lima) tahun; (5) Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun penjara, kecuali jika dipidana dengan alasan pertentangan politik dan ideologi.86 Syarat-syarat dasar tersebut di atas dapat dikatakan kurang lengkap. Oleh karena itu, Mahkamah Agung mengusulkan adanya beberapa persyaratan administratif lain yang perlu diatur di dalam Undang-Undang tentang Komisi Yudisial yang meliputi beberapa hal sebagai berikut: (1) Daftar seluruh harta kekayaan bakal calon dan dan keluarga inti serta penjelasan mengenai pemasukan bakal calon dan keluarga intinya; (2) Riwayat hidup, termasuk riwayat pekerjaan, pendidikan dan pengalaman organisasi; (3) Paper atau tulisan dengan topik tertentu;

Ibid., hlm. 17; Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, op. cit. 85 Uraian mengenai hal ini lihat Nugroho, op. cit. 86 Bandingkan dengan syarat-syarat yang ditentukan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebelum perubahan, yaitu (1) Warga negara Indonesia; (2) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (3) Setia kepada Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional, kepada Proklamasi 17 Agustus 1945, Undang-Undang Dasar 1945 serta kepada revolusi kemerdekaan bangsa Indonesia untuk mengemban amanat penderitaan rakyat; (4) Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan seorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam Gerakan Kontra Revolusi G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya; (5) Berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; (6) Berumur serendah-rendahnya 50 (lima puluh) tahun; dan (7) Berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (tahun) sebagai Ketua Pengadilan Tingkat Banding atau 10 (sepuluh) tahun sebagai Hakim Tingkat Banding. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Agung, op. cit.

84

24

(4) Beberapa pembelaan atau tuntutan atau karya ilmiah atau hasil kerja intelektual lain yang dibuat bakal calon, bagi bakal calon yang berasal dari advokat, jaksa, dan akdemisi atau profesi hukum lainnya; dan (5) Hal-hal lain yang dianggap perlu.87 c) Publikasi Nama Bakal Calon Hakim Agung Komisi Yudisial harus melakukan seleksi terhadap pemenuhan persyaratan administrasi yang diberikan oleh bakal calon hakim agung, misalnya kesediaan bakal calon untuk mengikuti rangkaian proses rekruitmen, kelengkapan data-data yang disyaratkan, dan lain-lain. Setelah seleksi administratif dilakukan, Komisi Yudisial harus mempublikasaikan nama-nama bakal calon hakim agung yang lolos seleksi tersebut kepada masyarakat luas untuk mendapatkan penilaian dan tanggapan. Hal ini merupakan suatu tahapan penting, karena penilaian masyarakat yang biasanya berbentuk pandangan, laporan, atau pengaduan atas kualitas, integritas, dan kepribadian bakal calon dapat menjadi bahan awal untuk melakukan klarifikasi terhadap calon.88

d) Klarifikasi Track Record Bakal Calon Hakim Agung Setelah beberapa proses di atas telah dilakukan, Komisi Yudisial kemudian melakukan proses klarifikasi terhadap integritas dan kualitas bakal calon hakim agung melalui berbagai metode. Untuk mengetahui integritas bakal calon, Komisi Yudisial harus melakukakan klarifikasi integritas bakal calon kepada pihak-pihak yang mengenalnya. Sedangkan yang berkaitan dengan harta kekayaan, Komisi Yudisial harus melakukan klarifikasi kepada bakal calon dan keluarga intinya yang disesuaikan dengan sumber pendapatan yang dimiliki bakal calon dan keluarganya. Dalam melakukan klarifikasi tersebut, Komisi Yudisial dapat membandingkannya dengan data perpajakan, perbankan, pertanahan, dan lain-lain.89 Khusus yang berkaitan dengan kualitas bakal calon, Komisi Yudisial harus mengkaji hasil pemikiran bakal calon baik yang berupa putusan-putusan yang pernah dihasilkan (apabila bakal calon seorang hakim), tuntutan yang pernah dilakukan (apabila bakal calon seorang jaksa), pembelaan yang pernah dilakukan (apabila bakal calon seorang advokat) atau karyakarya ilmiah yang telah dihasilkan (apabila bakal calon seorang akademisi). Selain itu, Komisi Yudisial juga harus mengkaji tulisan yang dibuat oleh bakal calon dengan topik tertentu yang diminta oleh Komisi Yudisial. Selain itu, Komisi Yudisial juga harus melakukan uji konsistensi pemikiran, visi dan misi, dan pandangan bakal calon. Komisi Yudisial harus melacak beberapa pemikiran yang pernah dikemukakan oleh para bakal calon dengan teliti.90 Berbagai pengaduan dan laporan dari masyarakat harus diklarifikasi oleh Komisi Yudisial. Oleh karena itu, Komisi Yudisial perlu diberikan wewenang untuk meminta bantuan
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, op. cit., hlm. 14; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 18. 88 Ibid., hlm. 18-19; Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, op. cit., hlm. 15. 89 Ibid.; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 19. 90 Ibid., hlm. 19-20; Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, op. cit.
87

25

dan memanggil atau meminta informasi dari pihak-pihak yang dianggap memiliki informasi tentang bakal calon.91 e) Melakukan Fit and Proper Test Secara Terbuka Tahapan selanjutnya, Komisi Yudisial harus melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) secara terbuka. Tahapan ini berupa proses tanya-jawab antara Komisi Yudisial dan bakal calon terhadap aspek-aspek integritas dan kualitas bakal calon hakim agung berdasarkan laporan masyarakat yang telah diklarifikasi atau temuan dari Komisi Yudisial sendiri. Komisi Yudisial menguji kualitas para bakal calon dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan putusan, tuntutan, pembelaan, karya ilmiah dan persoalan-persoalan hukum.92 f) Memberikan Penilaian Terhadap Bakal Calon Hakim Agung Secara Terbuka dan Mengajukannya kepada DPR Berdasarkan klarifikasi dan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) yang telah dilakukan, semua anggota Komisi Yudisial secara individual memberikan penilaian terhadap masing-masing bakal calon dengan mencantumkan alasan-alasannya yang dilakukan secara terbuka sebagai bagian dari implementasi asas transparansi dan akuntabilitas publik dan menghindarkan penilaian yang bersifat subjektif. Penilaian individual tersebut kemudian dibahas dan disepakati dalam rapat pleno Komisi Yudisial. Setelah itu, Komisi Yudisial mengusulkan nama bakal calon yang lulus dalam proses rekruitmen kepada DPR.93 Dalam hasil penelitiannya, Mahkamah Agung mengusulkan agar jumlah bakal calon yang diajukan oleh Komisi Yudisial kepada DPR minimal 2 (dua) kali dari jumlah yang dibutuhkan. Misalnya jumlah hakim agung yang harus dipilih oleh DPR 3 (tiga) orang, maka Komisi Yudisial paling kurang harus mengajukan 6 (enam) nama bakal calon. Penyusunan daftar nama bakal calon hakim agung ini berdasarkan peringkat (ranking).94 Selain itu, yang harus digarisbawahi adalah nama-nama bakal calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial ini bersifat mengikat. Artinya, DPR tidak punya pilihan lain selain harus memilih dari nama-nama bakal calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. Kemungkinan penolakan DPR terhadap nama-nama sangat dimungkinkan, karena Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 menggunkan istilah mengusulkan pengangkatan hakim agung. Istilah mengusulkan ini dipahami sebagai dapat diterima atau tidak. Akan tetapi, seyogyanya Pasal 24B tersebut diartikan bahwa DPR tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus menentukan pilihannya dari nama-nama bakal calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. Tahap selanjutnya DPR memilih hakim agung dari nama-nama yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. Proses pemilihan ini harus dilakukan secara terbuka siapa memilih siapa untuk memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas publik serta meniadakan pertimbanganpertimbangan yang bersifat politik. Hasil pembahasan ini kemudian disepakati oleh sidang
Ibid., hlm. 15-16; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit. Ibid., hlm. 20-21; Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, op. cit., hlm. 16. 93 Ibid.; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit. 94 Ibid.; Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, op. cit.
92 91

26

pleno DPR. Setelah itu, daftar nama-nama bakal calon diserahkan kepada Presiden untuk dimintakan pengangkatan. Presiden wajib mengangkat seluruh calon hakim agung yang diajukan oleh DPR untuk menjadi hakim agung.95 b. Menjaga dan Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat, serta Perilaku Hakim Selain mempunyai wewenang dalam rekruitmen hakim agung, Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 juga memberikan wewenang kepada Komisi Yudisial untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Ada sebagian kalangan yang menafsirkan bahwa pasal ini juga memberikan wewenang kepada Komisi Yudisial untuk melakukan promosi dan mutasi hakim,96 pendidikan dan pelatihan hakim,97 dan manajemen keuangan hakim98 sebagaimana dipraktikkan di beberapa negara. Selain itu, juga berkembang pemikiran bahwa fungsi utama Komisi Yudisial adalah menyusun code of conduct bagi profesi hakim.99 Ini berarti bahwa sebenarnya masih belum ada kata sepakat dalam melihat wewenang yang dapat diperankan oleh Komisi Yudisial. Meskipun demikian, penafsiran yang paling dekat adalah Komisi Yudisial mempunyai fungsi yang sangat penting dalam hal pengawasan kepada hakim, yang di beberapa negara, fungsi ini tidak dianggap penting, karena praktik peradilannya sudah dianggap memenuhi standar, sehingga hakim yang terpilih memang benarbenar memenuhi persyaratan.100 Dalam konteks ini, Komisi Yudisial hadir sebagai lembaga yang melakukan rekruitmen dengan cara menjaring orang-orang terbaik untuk menjadi hakim. Melihat kondisi peradilan Indonesia yang masih carut marut oleh budaya korupsi atau yang dikenal dengan judicial corruption, sudah sewajarnya apabila Komisi Yudisialnya mempunyai kewenangan yang ekstensif, sehingga hanya orang yang terbaik saja yang dapat menjadi hakim dan proses pengawasan juga dapat dilaksanakan sengan sebaik-baiknya untuk menuju kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari campur tangan kekuasaan lain di luarnya. Dengan kewenangan pengawasan yang dimiliki Komisi Yudisial, maka akan ada beberapa hal positif yang dapat diraih sebagaimana telah dikemukakan dalam bab-bab terdahulu, yaitu:
Ibid.; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 21-22. Untuk keperluan fungsi melakukan promosi dan mutasi hakim ini, Mahkamah Agung telah membuat kertas kerja yang berjudul Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pembinaan SDM Hakim, naskah belum diterbitkan, Jakarta: Mahakamah Agung Republik Indonesia, 2003. 97 Untuk keperluan fungsi pendidikan dan pelatihan hakim ini, Mahkamah Agung telah membuat kertas kerja yang berjudul Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pendidikan dan Pelatihan Hakim, naskah belum diterbitkan, Jakarta: Mahakamah Agung Republik Indonesia, 2003. 98 Untuk keperluan fungsi manajemen keuangan hakim ini, Mahkamah Agung telah membuat kertas kerja yang berjudul Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pengelolaan Keuangan Pengadilan, naskah belum diterbitkan, Jakarta: Mahakamah Agung Republik Indonesia, 2003. 99 Di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dikatakan, Untuk meningkatkan check and balance terhadap lembaga peradilan antara lain perlu diusahakan agar putusan-putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka dan transparan oleh masyarakat dan dibentuk Dewan Kehormatan Hakim yang berwenang mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi dan mutasi serta menyusun kode etik (code of conduct) bagi para hakim. Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, op. cit. 100 Ibid.
96 95

27

1) Adanya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, dan monitoring ini tidak dilakukan secara internal saja untuk menjaga objektivitasnya. 2) Adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dalam hal ini Departemen Kehakiman (dan HAM) dan kekuasaan kehakiman (judicial power); 3) Adanya efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila tidak disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis non-hukum; 4) Adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan akan dinilai dan diawasi secara ketat oleh sebuah lembaga khusus; dan 5) Pola rekrutmen hakim tidak bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya bukan lembaga politik.101 Dengan demikian, kewenangan pengawasan terhadap para hakim oleh Komisi Yudisial dirancang untuk memperoleh beberapa aspek yang sangat penting,102 yakni pertama, monitoring secara intensif terhadap lembaga peradilan dapat dilakukan dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja. Monitoring secara internal dikhawatirkan menimbulkan semangat korps (esprit de corps), sehingga objektivitasnya sangat diragukan; kedua, adanya perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen Kehakiman. Dengan demikian, lembaga peradilan tidak perlu lagi mengurus persoalan-persoalan teknis nonhukum, karena semuanya telah ditangani oleh Komisi Yudisial. Sebelumnya, lembaga peradilan harus melakukan sendiri hubungan tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya hubungan pertanggungjawaban dari lembaga peradilan kepada Departemen Kehakiman. Hubungan pertanggungjawaban ini menempatkan lembaga peradilan sebagai subordinasi Departemen Kehakiman yang membahayakan independensinya; ketiga, meningkatnya efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek, karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan aspek hukum seperti rekruitmen dan monitoring hakim serta pengelolaan keuangan lembaga peradilan. Dengan demikian, lembaga peradilan dapat lebih berkonsentrasi untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya yang diperlukan untuk memutus suatu perkara; keempat, terjaganya kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Di sini diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi,103
A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dalam Ketatanegaraan Indonesia, Majalah Pakar, Volume II, No. 6, Juni 2003, hlm. 42-43. 102 Hal-hal positif tersebut sekaligus menjustifikasi bahwa munculnya gagasan pembentukan Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman merupakan bagian dari paket reformasi peradilan yang mengharuskan perombakan struktur dan administrasi lembaga peradilan yang selama ini dianggap tidak maksimal. Urgensi pembentukan Komisi Yudisial semakin nyata dalam negara yang baru lepas dari rezim otiritarian dan sedang menapaki era demokrasi seperti Indonesia, karena kekuasaan kehakimannya belum menunjukkan kinerja yang maksimal. Kehadiran Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman telah diterima sebagai gagasan yang tepat untuk menangani sebagian problem-problemnya. Karena itu, keberadaan Komisi Yudisial di banyak negara diatur dalam konstitusinya. Ini membuktikan, keberadaan Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman dinilai mempunyai makna strategis. A. Ahsin Thohari, Membangun Komisi Yudisial, Harian Kompas, Edisi Jumat, 23 Januari 2004, hlm. 4. 103 Hal ini juga menjadi latar belakang dibentuknya Komisi Yudisial (Judicial Servive Commission) di New South of Wales, salah satu negara bagian Australia. Pembentukan Judicial Servive Commission dilatarbelakangi adanya tuduhan bahwa seorang hakim bersikap terlalu lunak dalam menjatuhkan putusan atas sejumlah terdakwa yang
101

28

karena setiap putusan akan dinilai dan diawasi dengan ketat oleh Komisi. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi; dan kelima, menjauhkan pola rekruitmen hakim dari bias politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya bukan lembaga politik. Dengan demikian, politisasi terhadap pencalonan hakim agung dapat diminimalisasi, kalau bukan dieliminasi.104 Pada tahap selanjutnya, apabila fungsi pengawasan hakim dari Komisi Yudisial berjalan dengan baik, maka akan diperoleh beberapa capaian positif seperti beberapa hal sebagai berikut: 1) Meningkatnya pengawasan proses peradilan secara transparan; 2) Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan terhadap sistem manajemen dan administrasi peradilan secara terpadu; 3) Tersusunnya sistem rekruitmen dan promosi yang lebih ketat; 4) Berkembangnya pengawasan terhadap proses rekruitmen dan promosi; dan 5) Meningkatnya kesejahteraan hakim melalui peningkatan gaji dan tunjangantunjangan lainnya. Oleh karena itu, proses pelembagaan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan Indonesia harus dilakukan secermat mungkin agar kehadirannya benar-benar menjadi jalan keluar bagi buruknya sistem peradilan Indonesia yang telah berlangsung cukup lama. Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial yang sampai saat ini belum ditetapkan sebagai undang-undang harus dibuat sebaik dan seideal mungkin. Komisi Yudisial yang ideal akan menjadi jalan keluar terbaik bagi terciptanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain di luarnya.
diwakili oleh pengacara tertentu. Tuduhuan tersebut mengungkapkan adanya ketidakadilan dalam penjatuhan putusan. Selanjutnya, bocornya sebuah laporan yang berkaitan dengan administrasi peradilan semakin meresahkan masyarakat. Laporan ini kemudian dikenal dengan The Vinson Report. Di samping berkaitan erat dengan tuduhan terhadap pejabat kehakiman tersebut, laporan yang kemudian dikenal dengan The Vinson Report juga merekomendasikan beberapa hal, yaitu (1) pembentukan sebuah sistem informasi peradilan yang seimbang; (2) pembentukan sebuah dewan putusan untuk mengawasi praktek-praktek penghukuman dan pengembangan panduan penghukuman meskipun sifatnya tidak mengikat khususnya atas putusan dan pemidanaan yang sering terjadi; (3) pembentukan sebuah dewan etik yang mengatur dan menjalankan audit sistematis terhadap pelaksanaan peradailan pidana; dan (4) pengembangan metode pengumpulan dan penyebaran statistik peradilan. Ernest Schmatt, Implementation of Judicial Commission in New South Wales as a Comparative Perspective for the Establishment of Judicial Commission in Indonesia, Makalah disampikan dalam Seminar Sehari Komisi Yudisial, diselenggarakan kerja sama antara Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI dengan Australian Legal Resources International, Jakarta, 24 Juli 2002, hlm. 1-2. Oleh karena itu, Komisi Yudisial di New South of Wales mempunyai fungsi sebagai pemberi bantuan kepada pengadilan-pengadilan untuk menjaga konsistensi putusan, mengkoordinir pelaksanaan pendidikan dan latihan bagi para hakim, menerima dan memproses pengaduan atau laporan tentang perbuatan pejabat pengadilan, dan memberikan masukan-masukan kepada Jaksa Agung. Ernest Schmatt, The Role and Functions of the Judicial Commission in New South Wales, Makalah disampikan dalam Judicial Commission Workshop, Jakarta, 20 Maret 2001, hlm. 1. Oleh karena itu, dalam Judicial Officers Act 1986 No 100 Article 8 Sentencing disebutkan, (1) The Commission may, for the purpose of assisting courts to achieve consistency in imposing sentences: (a) monitor or assist in monitoring sentences imposed by courts, and (b) disseminate information and reports on sentences imposed by courts; (2) Nothing in this section limits any discretion that a court has in determining a sentence; (3) In this section, sentence includes any order or decision of a court consequent on a conviction for an offence or a finding of guilt in respect of an offence. Parliamentary Counels Office, New South Wales, Judicial Officers Act 1986 No. 100. 104 Thohari, Komisi Yudisial..., loc. cit.; Thohari, Membangun..., loc. cit.

29

1) Pengawasan dan Pendisiplinan Hakim Dalam hukum positif Indonesia, ada dua lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap hakim. Pertama, Menteri yang terkait dengan hakim tersebut, yaitu Menteri Kehakiman (dan HAM),105 Menteri Pertahanan,106 dan Menteri Agama.107 Beberapa undang-undang yang mengaturnya menyatakan bahwa pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan dilakukan oleh menteri terkait atau Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk Pengadilan Militer. Kedua, Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Mahkamah Agung memegang kewenangan tertinggi di bidang pengawasan atas peradilan dan tingkah laku hakim dalam menjalankan tugas di seluruh tingkatan peradilan. Aspek yang diawasi oleh Mahkamah Agung biasa disebut sebagai aspek teknis yudisial. Dalam melakukan kewenangannya, Mahkamah Agung dapat melakukan tindakan-tindakan seperti meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan, memberi petunjuk, teguran atau peringatan yang dianggap perlu, dan lain-lain.108

Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, op. cit.; Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Republik Indonesia, Undang-undang tentang Peradilan Umum, op. cit. ; Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Republik Indonesia, Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 5 Tahun 1986, LN No. 77 Tahun 1986, TLN No. 3344. Rancangan Undang-Undang tentang perubahan terhadap Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; Undangundang tentang Peradilan Umum; Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Undang-Undang tentang Kejaksaan; dan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung telah dipersiapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 106 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Republik Indonesia, Undangundang tentang Peradilan Militer, UU No. 31 Tahun 1997, LN No. 84 Tahun 1997. 107 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Republik Indonesia, Undang-undang tentang Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989, LN No. 49, Tahun 1989, TLN No. 3400. 108 Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyatakan, Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan yang lain, menurut ketentuan yang ditetapkan dengan undang-undang. Pasal ini diberi penjelasan bahwa Pengawasan tertinggi terhadap pengadilan dalam semua lingkungan peradilan ditetapkan dalam undang-undang tersendiri. Ratio untuk menentukan ini adalah aspek-aspek khusus dari masing-masing lingkungan peradilan baik dalam bidang persoalan maupun dalam bidang mengenai orang-orangnya, baik dalam hukum materiil maupun formil yang diterapkannya. Kesemuanya itu perlu mendapatkan perhatian dari masing-masing undang-undang yang berlaku. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, op. cit. Sedangkan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan: (1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman; (2) Mahakamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para Hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya; (3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua Lingkungan Peradilan; (4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, tegoran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan di semua lingkungan Peradilan; dan (5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Agung, op. cit.

105

30

Menurut catatan Mahkamah Agung, sistem pengawasan terhadap hakim dan hakim agung serta aparat pengadilan lainnya yang dijalankan oleh Mahkamah Agung pada masa lalu memiliki sejumlah kelemahan sebagai berikut: a) Kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Kesimpulan ini diambil dari tidak adanya mekanisme yang memberikan hak bagi pelapor untuk mengetahui progress report dari laporan yang dimasukkan. Selain itu, akses masyarakat terhadap proses serta hasil pengawasan juga sulit dilakukan. Kenyataan ini jelas bertentangan dengan beberapa ketentuan internasional; b) Adanya semangat korps yang menyebabkan pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung tidak efektif. Keengganan korps hakim untuk mengangkat kasus-kasus yang melibatkan anggotanya secara tidak langsung telah menyuburkan praktik-praktik tidak baik di peradilan.109 c) Kurang lengkapnya metode pengawasan dan tidak dijalankannya metode pengawasan yang ada secara efektif; d) Lemahnya sumber daya manusia (SDM). Penentuan seseorang menjadi pengawas tidak diatur dalam mekanisme yang jelas. Di dalam Mahkamah Agung, seluruh Ketua Muda dan Hakim Agung secara ex officio menjadi pengawas. Selain itu, pengawas hanya bekerja paruh waktu saja, karena tugas utamanya adalah memutus perkara; e) Pengawasan yang berjalan selama ini kurang melibatkan partisipasi masyarakat. Meskipun sebenarnya Mahkamah Agung memiliki sarana untuk merangsang partisipasi masyarakat, tetapi, Mahakamah Agung belum mengoptimalkan sarana tersebut, misalnya keberadaan Kotak Pos 1992 yang tidak disosialisasikan dengan baik; dan f) Rumitnya birokrasi yang harus dilalui untuk melaporkan atau mengadukan perilaku hakim yang menyimpang. Setiap surat pengaduan dari masyarakat harus melalui Bagian Tata Usaha Mahakamah Agung yang kemudian diteruskan kepada pihak terkait. Selain itu, tidak ada sistem prioritas dalam menangani surat pengaduan masyarakat.110 Semenjak tahun 2001, sempat mengemuka beberapa pemikiran dan langkah yang diambil Mahkamah Agung untuk melakukan pembenahan terhadap sistem pengawasan. Beberapa pemikiran tersebut meliputi beberapa hal sebagai berikut: a) Dibentuknya organ baru, yaitu Ketua Muda MA RI Urusan Pengawasan dan Pembinaan (TUADA WASBIN) untuk menggantikan organ pengawasan yang lama. b) Memperbaiki sistem pengawasan, misalnya dengan mengedepankan prinsip transparansi, lebih memperhatikan hak-hak pelapor, memberitahukan kepada pelapor secepatnya atas hasil pemeriksaan dan pemberian batas waktu pemeriksaan (tiga bulan), perbaikan metode pengawasan, menerapkan sistem reward and
Sinyalemen ini pernah disebutkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Lihat Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan, 1999. 110 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, op. cit., hlm. 21-22; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 26-27.
109

31

punishment, pemberian kesempatan kepada kalangan non-hakim untuk duduk di lembaga pengawas internal, dan lain-lain; c) Pembentukan Tim Ad Hoc yang melibatkan pihak luar untuk memeriksa kasuskasus tertentu yang kontroversial; dan d) Penerapan aturan yang lebih ketat bagi hakim agung, hakim, dan pegawai Mahkamah Agung dalam menerima tamu yang terkait dengan perkara kecuali urusan administratif.111 Terdapat kelemahan fundamental pada masa lalu berkaitan dengan pendisiplinan hakim yang meliputi: a) Adanya dugaan membela semangat korps, karena komposi Majelis Kehormatan Hakim dan Majelis Kehormatan Hakim Agung hanya terdiri dari kalangan hakim saja; b) Kurang lengkapnya hukum acara mengenai proses pemeriksaan dalam Majelis Kehormatan Hakim dan Majelis Kehormatan Hakim Agung, sehingga menimbulkan ketidakjelasan pada tingkat implementasinya; c) Kurangnya transparansi dan akuntabilitas publik hasil-hasil yang diperoleh Majelis Kehormatan Hakim dan Majelis Kehormatan Hakim Agung.112 2) Fungsi, Tugas, Wewenang, dan Kewajiban Komisi Yudisial dalam Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial Setelah melihat beberapa kelemahan pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman yang terjadi selama ini, Komisi Yudisial diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan tersebut.113 Untuk melaksanakan tugas-tugasnya, Komisi Yudisial diberikan seperangkat kewajiban dan wewenang. Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung membedakan beberapa istilah, seperti Fungsi, Tugas, Kewajiban, dan Wewenang Komisi Yudisial. Empat istilah tersebut akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini.114 a) Fungsi Komisi Yudisial
Ibid., hlm. 27-28; Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, op. cit., hlm. 22-23. Selain itu, tidak ada kewajiban bagi Majelis Kehormatan Hakim dan Majelis Kehormatan Hakim Agung untuk mempublikasikan hasil pemeriksaannya. Hal ini bertentangan dengan beberapa ketentuan internasional sebagaiman telah dikemukakan dalam Bab II. 112 Ibid. 113 Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas para hakim agung, perlu diatur adanya dua jenis pengawasan, yaitu pengawasan internal yang dilakukan oleh Badan Pengawas pada Mahkamah Agung. Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas ini bersifat internal dan berfungsi sebagai pengawas terhadap pelaksanaan tugas-tugas peradilan di semua tingkatan dan di seluruh wilayah hukum peradilan Republik Indonesia. Sedangkan pengawasan yang bersifat eksternal dilakukan oleh sebuah komisi independen yang dinamakan Komisi Yudisial. Keberadaan lembaga pengawas eksternal ini penting agar proses pengawasan benarbenar objektif untuk kepentingan pengembangan sistem peradilan yang bersih, efektif dan efisien. Agar Komisi Yudisial ini dapat benar-benar bersifat independen, maka administrasi komisi ini sebaiknya tidak dikaitkan dengan organisasi Mahkamah Agung, tetapi sebaiknya dengan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian pula mengenai anggaran Komisi Yudisial sebaiknya tidak dimasukkan dalam satu pos anggaran Mahkamah Agung, tetapi dalam pos anggaran Dewan Perwakilan Rakyat. Jimly Asshiddiqie, Kekuasaan Kehakiman di Masa Depan <http://www.theceli.com/ dokumen/jurnal/jimly/j002.shtml>, diakses pada 29 Januari 2004. 114 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis..., op. cit., hlm. 71.
111

32

Pasal 5 Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung menyebutkan bahwa Komisi Yudisial mempunyai dua fungsi utama, yaitu (1) mengusulkan pengangkatan hakim agung; dan (2) menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Ketentuan ini tampaknya langsung diadopsi dari ketentuan Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 tanpa memerinci lagi istilah wewenang lain yang terdapat di dalamnya.115 b) Tugas Komisi Yudisial Pasal 6 ayat (1) Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung menyebutkan bahwa Komisi Yudisial dalam rangka menjalankan fungsi mengusulkan pengangkatan hakim agung mempunyai tugas sebagai berikut: (1) Menjaring usulan nama-nama bakal calon hakim agung yang berasal dari Mahkamah Agung, masyarakat, dan Komisi; (2) Melakukan proses seleksi terhadap nama-nama bakal calon hakim agung yang diusulkan; dan (3) Menetapkan dan mengusulkan nama-nama bakal calon hakim agung yang telah lolos seleksi kepada Dewan Perwakilan Rakyat.116 Sementara itu, dalam rangka menjalankan fungsi menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas sebagai berikut: (1) Melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim di dalam dan di luar kedinasan dan merekomendasikan atau menjatuhkan sanksi terhadap hakim yang melakukan pelanggaran berdasarkan Undang-Undang ini; (2) Memberikan rekomendasai kepada instansi yang berwenang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan hakim serta pemberian penghargaan, gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan kepada hakim; (3) Memberikan pelayanan informasi mengenai aturan perilaku hakim berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan (4) Memberikan masukan dan pertimbangan kepada MA serta lembaga negara lainnya dalam rangka menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.117 c) Kewajiban Komisi Yudisial Pasal 8 ayat (1) Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung menyatakan bahwa dalam rangka menjalankan tugas menjaring usulan nama-nama bakal calon hakim agung yang berasal dari Mahkamah Agung, masyarakat, dan Komisi Yudisial sebagimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, Komisi Yudisial berkewajiban untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut: (1) Mengundang partisipasi masyarakat dan meminta Mahkamah Agung untuk mengusulkan bakal calon hakim agung;
115 116

Ibid. Ibid. 117 Ibid., Pasal 7.

33

(2) Meminta kesediaan bakal calon untuk memenuhi persyaratan administratif yang ditentukan; (3) Menseleksi pemenuhan persyaratan administratif bakal calon dan mempublikasikan nama-nama bakal calon yang telah memenuhi syarat administratif tersebut kepada masyarakat.118 Kewajiban tersebut dilakukan dengan cara mengumumkan perihal seleksi hakim agung melalui media massa berskala nasional, disertai dengan jumlah dan spesifikasi keahlian calon hakim agung yang dibutuhkan sesuai dengan sistem kamar (Pasal 8 ayat [2]).119 Dalam rangka menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, Komisi Yudisial juga mempunyai kewajiban untuk: (1) melakukan klarifikasi terhadap integritas dan kualitas bakal calon berdasarkan persyaratan yang diajukan bakal calon, informasi yang dimiliki Komisi Yudisial sendiri, serta laporan masyarakat dalam waktu yang memadai; dan (2) Menyelenggarakan uji kelayakan dan kepatutan secara terbuka terhadap bakal calon dalam waktu yang memadai (Pasal 9).120 Dalam rangka menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, Komisi Yudisial berkewajiban untuk memberikan penilaian secara terbuka terhadap masing-masing calon hakim agung dengan disertai alasan yang jelas (Pasal 10).121 Komisi Yudisial juga wajib untuk: (1) Melakukan pengamatan secara rutin terhadap perilaku hakim; (2) Mengundang, menerima, dan memproses laporan masyarakat; (3) Menginformasikan perkembangan laporan kepada pelapor; (4) Menjamin kerahasiaan identitas pelapor berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (5) Menindaklanjuti segala temuan atau informasi yang berkaitan dengan pelanggaran perilaku hakim dengan pencarian fakta; dan (6) Mengadakan pemeriksaan terhadap hakim yang diduga melakukan pelanggaran (Pasal 11 ayat [1]).122 Pengamatan dilakukan oleh Komisi Yudisial melalui kunjungan ke pengadilan, pengamatan pemberitaan dan laporan periodik pengadilan serta meminta informasi dari pengguna jasa pengadilan (Pasal 11 ayat [2]). Komisi Yudisial berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana pendukung dalam menerima laporan dari masyarakat (Pasal 11 ayat [3]). Laporan masyarakat harus disertai dengan alasan dan identitas pelapor yang mengusulkan secara jelas (Pasal 11 ayat [4]).123 d) Wewenang Komisi Yudisial Pasal 12 Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung menyatakan bahwa Komisi Yudisial berwenang menseleksi usulan nama-nama bakal calon hakim agung dari masyarakat berdasarkan persyaratan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 8 ayat (4). Sedangkan Pasal 13 menyatakan sebagai berikut: Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, Komisi berwenang untuk:
118 119

Ibid. Ibid. 120 Ibid. 121 Ibid. 122 Ibid. 123 Ibid.

34

(1) Meminta kesediaan bakal calon untuk menyerahkan persyaratan administrasi sebagai berikut: (a) Daftar seluruh harta kekayaan bakal calon dan keluarga inti serta penjelasan mengenai sumber pemasukan bakal calon dan keluarga intinya; (b) Riwayat hidup, termasuk riwayat pekerjaan, pendidikan dan pengalaman organisasi; (c) Salinan putusan bakal calon yang berasal dari hakim setidaknya 5 (lima) putusan yang terakhir diputus; (d) Seluruh pembelaan atau tuntutan atau karya ilmiah atau hasil kerja intelektual lain yang dibuat bakal calon selama dua (2) tahun terkhir, yaitu bagi bakal calon yang berasal dari advokat, jaksa, dan akademisi atau profesi di bidang hukum lainnya; (e) Paper atau tulisan dengan topik tertentu; (f) Hal-hal lain yang dianggap perlu selama tidak bertentangan dengan undang-undang. (2) Memanggil dan meminta keterangan kepada pihak lain untuk mendapatkan informasi mengenai bakal calon; (3) Memeriksa dan mengklarifikasi kekayaan bakal calon dihubungkan dengan sumbersumber pendapatan, data perpajakan, data perbankan, data Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), data pertanahan, dan data-data lain yang dianggap perlu; (4) Mengkaji hasil kerja dan pemikiran bakal calon; (5) Memanggil bakal calon yang bersangkutan untuk mengklarifikasi integritas bakal calon; (6) Mengajukan pertanyaan pada tahap uji kelayakan dan kepatutan mengenai integritas, kualitas, dan pandangan bakal calon terhadap isu-isu hukum dan keadilan tertentu dengan tetap menghargai harkat dan mertabat bakal calon.124 Sedangkan Pasal 14 menyatakan bahwa dalam rangka menjalankan tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim, Komisi Yudisial berwenang untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut: (1) Memanggil dan meminta keterangan dari pelapor; (2) Menilai kelayakan suatu laporan dari masyarakat; (3) Memanggil dan meminta keterangan dari pihak-pihak yang dianggap memiliki informasi yang mendukung upaya pencarian fakta; (4) Melakukan tindakan penjebakan ; (5) Meminta data laporan periodik pengadilan; (6) Membuka catatan persidangan; (7) Menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertutup dan terbuka beserta alasannya; (8) Mengusulkan penjatuhan sanksi sedang dan berat kepada pejabat yang berwenang beserta alasannya.125

C. Keorganisasian Komisi Yudisial di Indonesia 1. Status Kelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia


124 125

Ibid. Ibid.

35

Persoalan status kelembagaan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan Indonesia sampai saat penelitian ini dilakukan belum sepenuhnya jelas. Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 hanya menyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri. Hal ini tidak memberikan pengertian yang berarti pada status kelembagaannya. Oleh karena itu, sebaiknya Undang-Undang Komisi Yudisial di masa yang akan datang memberikan kejelasan terhadap status kelembagaan Komisi Yudisial. Akan tetapi, tampaknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung tidak memberikan kejelasan status kelembagaan Komisi Yudisial.126 Struktur ketatanegaraan Indonesia setelah terjadi perubahan terhadap UUD 1945 berubah secara radikal apabila dibandingkan dengan sebelum perubahan.127 Oleh karea itu, sebelum membahas status kelembagaan Komisi Yudisial lebih lanjut, peneliti terlebih dahulu akan membahas struktur kekuasaan kehakiman Indonesia setelah perubahan terhadap UUD 1945 yang sampai empat kali. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, Bab IX UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman setelah Perubahan Ketiga berubah secara mendasar. Ada empat perubahan penting dalam struktur kekuasaan kehakiman di Indonesia setelah Perubahan Ketiga UUD 1945. Pertama, apabila sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945 jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka hanya terdapat dalam Penjelasannya, maka setelah perubahan jaminan tersebut secara eksplisit disebutkan dalam batang tubuh. Kedua, Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman tidak lagi menjadi satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman (judicial power), karena di sampingnya ada Mahkamah Konstitusi yang juga berfungsi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Ketiga, adanya lembaga baru yang bersifat mandiri dalam struktur kekuasaan kehakiman, yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan128 hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keempat, adanya wewenang kekuasaan kehakiman dalam hal ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemiliham umum (pemilu). Menurut Jimly Asshiddiqie, Komisi Yudisial memang tidak menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, tetapi keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan kehakiman. Keberadaannya terkait dengan jabatan hakim yang merupakan jabatan kehormatan yang harus
126

Sejauh yang berkaitan dengan status kelembagaan Komisi Yudisial, tampaknya Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung tidak memberikan ketantuan yang komprehensif. Pasal 3 hanya menyatakan, Komisi adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam menjalankan tugasnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Menurut peneliti, ketentuan ini kurang memberikan penjelasan terhadap status kelembagaan Komisi Yudisial. Oleh karena itu, sebaiknya pasal ini memberi ketentuan yang tegas bahwa Komisi Yudisial merupakan lembaga tinggi negara setingkat Presiden. Penegasan ini dapat berfungsi sebagai penafsiran atas Pasal 24B UUD 1945 yang tidak membuat rumusan komprehensif tentang status kelembagaan Komisi Yudisial. 127 Setelah disahkannya Perubahan Keempat UUD 1945 pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2002, agenda reformasi konstitusi Indonesia untuk kurun waktu sekarang ini dipandang telah tuntas. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan..., op. cit., hlm. 74. 128 Pengangkatan hakim agung oleh lembaga non-politik, yaitu Komisi Yudisial, sejalan dengan pernyataan K. Marks, Ideally, appoinment should be by politically neutral bodies who consider the training and suitability of candidates for judicial office.... K. Marks, Judicial Independence, dalam Australian Law Journal, Vol. 68, No. 94, hlm. 173.

36

dijaga dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang bersifat mandiri yang bernama Komisi Yudisial.129 Dewasa ini terjadi suatu perkembangan yang menarik dalam ketatanegaran modern, yaitu munculnya lembaga-lembaga negara mandiri (state auxiliaries institutions) dalam struktur ketatanegaraannya. Lembaga-lembaga ini biasanya namanya diawali dengan kata komisi. Dalam konteks Indonesia, ada beberapa lembaga yang diawali dengan nama komisi selain Komisi Yudisial (KY), yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN),130 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), Komisi Kepolisian Nasional (KKN), Komisi Konstitusi (KK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Anak).131 Akan tetapi, peraturan-perundang-undangan tidak mengatur lebih lanjut status kelembagaan komisi-komisi tersebut dalam struktur ketatanegaraan. Selanjutnya peneliti akan mengkaji status kelembagaan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Untuk memperoleh kejelasan status kelembagaan Komisi Yudisial ada baiknya mengikuti alur pemikiran Jimly Asshiddiqie mengenai struktur hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia setelah terjadinya perubahan terhadap UUD 1945. Menurut Asshiddiqie, struktur hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia setelah terjadinya perubahan terhadap UUD 1945 dibagi sebagai berikut: a. Peraturan Perundang-undangan yang Bersifat Umum: 1) Undang-Undang Dasar dan Perubahan Undang-Undang Dasar. 2) Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang serta peraturan lain yang setingkat Undang-Undang, yaitu Ketetapan MPR dan MPRS yang bersifat mengatur (regels). 3) Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. 4) Peraturan Menteri atau Pejabat Setingkat Menteri. 5) Peraturan Daerah Provinsi. 6) Peraturan Gubernur. 7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 8) Peraturan Bupati/Walikota. b. Peraturan Perundang-undangan yang Bersifat Khusus: 1) Peraturan Lembaga-lembaga Negara (Lembaga Tinggi Negara) Setingkat Presiden: a) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat. b) Peraturan Dewan Perwakilan Daerah. c) Peraturan Mahkamah Konstitusi. d) Peraturan Mahkamah Agung.
129

Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm. 32. 130 Dalam perkembangannya, karena satu dan lain hal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) ini dilikuidasi seiring dengan kemunculan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). 131 Tentang hal ini lihat K02/Bdm, Eksistensi Komisi di tengah Lemahnya Kepemimpinan, Harian Kompas, Rabu, 28 Januari 2004.

37

e) Peraturan Komisi Yudisial. f) Peraturan Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan. 2) Peraturan Lembaga Pemerintahan yang Bersifat Khusus (Independen): a) Peraturan Bank Indonesia. b) Peraturan Kejaksaan Agung. c) Peraturan Tentara Nasional Indonesia. d) Peraturan Kepolisian Republik Indonesia. 3) Peraturan Lembaga Khusus yang Bersifat Independen. 1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU). 2) Peraturan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). 3) Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). 4) Dll.132 Dengan keterangan di atas, menjadi jelas bahwa Komisi Yudisial termasuk ke dalam lembaga tinggi negara setingkat Presiden dan bukan lembaga pemerintahan yang bersifat khusus atau lembaga khusus yang bersifat independen yang dalam istilah lain disebut lembaga negara mandiri (state auxiliary institution). Dengan demikian, status kelembagaan Komisi Yudisial adalah sebagai lembaga tinggi negara yang setingkat dengan Presiden. Komisi Yudisial tidak sama dengan, misalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan komisi-komisi lainnya, karena dua alasan sebagai berikut: a. Berbeda dengan komisi-komisi yang lain, kewenangan Komisi Yudisial diberikan langsung oleh UUD 1945, yaitu Pasal 24B;133 dan b. Berbeda dengan komisi-komisi yang lain, Komisi Yudisial secara tegas dan tanpa keraguan merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman, karena pengaturannya ada dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman yang terdapat dalam UUD 1945.134

132

Ibid.; Jimly Asshiddiqie, Perspektif tentang Format Kelembagaan dan Peraturan Republik Indonesia di Masa Depan, Makalah disampaikan dalam Lokakarya Program Legislasi Nasional, diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional bekerja sama dengan Universitas Taruma Negara, Jakarta, 29 Juli, 2002, hlm. 6-7. Struktur hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang dikemukakan Asshiddiqie ini tampak lebih logis, komprehensif, dan teratur apabila dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Ketetapan MPR Nomor XX/MPRS/1966 yang diperbaiki dengan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Uraian mengenai peraturan perundang-undangan di Indonesia sebelum adanya perubahan terhadap UUD 1945 dapat dibaca dalam Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Peraturan Perundang-undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: CV Armico, 1987; Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, disunting oleh Mashudi dan Kuntana Magnar, Cet. I, Bandung: CV Mandar Maju, 1995, hlm. 17-41; Rusminah, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam Padmo Wahjono, ed., Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 143-154. 133 Komisi pemilihan umum juga mempunyai kewenangan yang diberikan langsung oleh UUD 1945, yaitu Pasal 22E ayat (5), tetapi komisi pemilihan umum yang dimaksud dalam pasal tersebut bukan sebuah nama permanen. Buktinya penulisannya tidak dengan huruf kapital, yang menunjukkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum apa pun nama lembaganya. 134 Selain Komisi Yudisial, semua lembaga yang diawali dengan kata komisi belum jelas status kelembagaannya, karena peraturan perundang-undangan memang tidak memberikan keterangan mengenai hal ini. Oleh karena itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa komisi-komisi tersebut berada dalam ranah kekuasaan yang semi eksekutif sekaligus semi legislatif. Akan tetapi, komisi-komisi yang dibentuk dengan sebuah Keputusan Presiden

38

Oleh karena itu, setelah terjadi perubahan UUD 1945 struktur ketatanegaraan Indonesia berubah secara signifikan, karena ada lembaga-lembaga baru, seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY), tetapi ada juga lembaga yang dibubarkan yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Sebelum terjadi perubahan terhadap UUD 1945 struktur ketatanegaraan Indonesia biasanya digambarkan dalam bagan sebagai berikut:

Bagan 4.6. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Sebelum Perubahan UUD 1945135


MPR

BPK

DPR

Presiden

DPA

MA

Keterangan: MPR (Majeleis Permusyawaratan Rakyat), BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPA (Dewan Pertimbangan Agung), MA (Mahkamah Agung). Bagan di atas menunjukkan bahwa struktur ketatanegaraan Indonesia menurut UUD 1945 (sebelum perubahan) terdiri dari beberapa fungsi, yaitu pertama, legislatif yang dijalankan oleh DPR dan Presiden; kedua, eksekutif yang dijalankan oleh Presiden; ketiga, yudikatif yang dijalankan oleh MA; keempat, inspektif yang dijalankan oleh MA; dan kelima, konsultataif yang dijalankan oleh DPA. Bagan di atas juga menunjukkan adanya hubungan kekuasaan dan hubungan tata kerja antara Mejelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara (supreme body) dengan lembaga tinggi negara yang terdiri dari Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan Mahkamah Agung (MA) di satu pihak; dan hubungan antarlima lembaga-lembaga tinggi negara.136 Setelah terjadi perubahan terhadap UUD 1945, struktur ketatanegaraan Indonesia berubah secara radikal. Secara lengkap struktur ketatanegaraan Indonesia setelah terjadi perubahan UUD 1945 dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:

sebenarnya lebih dekat untuk dikatakan sebagai bagian dari ranah kekuasaan eksekutif meskipun barangkali mempunyai tugas-tugas yang bersifat legislatif juga. 135 Lihat misalnya Sri Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara, Cet. I, Bandung: Alumni, 1992, hlm. 94. 136 Ibid.

39

Bagan 4.7. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945

UUD 1945

BPK

DPR

MPR

DPD

Presiden
Wakil Presiden

MK

MA

KY

Keterangan: BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), DPD (Dewan Perwakilan Daerah), MK (Mahkamah Konstitusi), MA (Mahkamah Agung), dan KY (Komisi Yudisial). Setelah terjadi perubahan UUD 1945, terdapat tiga lembaga baru yang sebelumnya tidak dikenal, yaitu Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.137 Sementara itu, Dewan Pertimbangan Agung yang sebelum perubahan UUD 1945 termasuk lembaga tinggi negara, kini setelah perubahan UUD 1945 eksistensinya dihilangkan sama sekali dari struktur ketatanegaraan Indonesia.138

2. Keanggotaan Komisi Yudisial di Indonesia Pasal 15 (ayat) Rancangan Undang-Undang tentang Komis Yudisial versi Mahkamah Agung menyatakan bahwa Komisi Yudisial terdiri dari seorang Ketua merangkap anggota,
137

Menurut Jimly Asshiddiqie, dibentuknya Komisi Yudisial ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan keluhuran martabat, kewibawaan dan kehormatan hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun dari segi etika. Untuk itu, diperlukan institusi pengawasan yang independen terhadap para hakim itu sendiri. Karena itu, institusi pengawasan itu dibentuk di luar struktur Mahkamah Agung, melalui mana aspirasi warga masyarakat di luar struktur resmi dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan para hakim agung serta dilibatkan pula dalam proses penilaian terhadap etika kerja dan kemungkinan pemberhentian para hakim karena pelanggaran terhadap etika itu. Karena itu, pengertian independensi di sini haruslah dipahami dalam arti bebas dari intervensi kepentingan para hakim yang kewibawaannya sendiri perlu dijaga oleh Komisi Yudisial ini. Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Cet. II, Jakarta: Yarsif Watampone, 2003, hlm. 5455. 138 Sebelum perubahan UUD 1945 dilakukan, wacana mengenai penghapusan Dewan Pertimbangan Agung ini pernah dikemukakan oleh Harun Alrasid. Menurutnya, berdasarkan praktik ketatanegaraan Indonesia sejak tahun 1945 sampai tahun 1949, dapat ditarik kesimpulan bahwa Dewan Pertimbangan Agung merupakan lembaga negara yang tidak diperlukan. Munculnya Dewan Pertimbangan Agung sejak 1959 disebabkan berlakunya UUD baru, yaitu UUD 1945, yang tidak berdasarkan kondisi tahun 1959, tetapi berdasarkan kondisi lima belas (15) tahun sebelumnya. Lihat misalnya Harun Alrasid, Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR, Revisi Cet. I, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesian [UI-Press], 2003, hlm. 44.

40

seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 5 (lima) orang anggota. Sedangkan ayat (2) menyatakan Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh anggota yang kemudian ditetapkan oleh Presiden. Dengan demikian, anggota Komisi Yudisial menurut Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial tersebut terdiri dari 7 orang anggota. Jumlah ini tergolong kecil apabila dibandingkan dengan negara-negara yang telah disebut dalam Bab III. Tidak jelas mengapa angka ini yang menjadi pilihan dari perancang Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial tersebut. Padahal, kalau melihat di beberapa negara Uni Eropa, jumlah anggota Komisi Yudisial berkisar antara 8 (delapan) anggota sampai 24 (dua lupuh empat) anggota. Swedia tercatat sebagai negara yang jumlah anggota Komisi Yudisialnya paling sedikit, yaitu 8 (delapan) anggota. Sementara itu, Italia merupakan negara yang tercatat sebagai negara yang anggota Komisi Yudisialnya terbanyak, yaitu 24 (dua puluh empat) anggota.139 Menurut peneliti, sebaiknya jumlah anggota Komisi Yudisial di Indonesia tidak jauh berbeda dengan negara-negara yang telah disebut di atas, karena telah mempunyai pengalaman dan sejarah yang lebih panjang daripada Indonesia. Tentu saja dalam hal ini harus mempertimbangkan aspek-aspek partikular sesuai dengan kebutuhan yang sedang dihadapi Indonesia. 3. Tempat Kedudukan Komisi Yudisial di Indonesia Pasal 3 Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung menyatakan bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam menjalankan tugasnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Menurut peneliti, ketentuan ini kurang memberikan penjelasan terhadap status kelembagaan Komisi Yudisial. Oleh karena itu, sebaiknya pasal ini memberi ketentuan yang tegas bahwa Komisi Yudisial merupakan lembaga tinggi negara setingkat Presiden sebagaimana telah dikemukakan di atas. Sementara itu, Pasal 3 ayat (2) Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung menyatakan bahwa Komisi Yudisial berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia140 dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsinya di daerah, Komisi Yudisial dibantu oleh perwakilan Komisi Daerah. Menurut peneliti, tidak ada yang perlu dikritisi dari ketentuan ini, karena idealnya memang Komisi Yudisial harus mempunyai perwakilan di daerah mengingat wewenangnya
Lihat Wim Voermans, Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa [Council for the Judiciary in EU Countries], diterjemahkan oleh Adi Nugroho dan M. Zaki Hussein, Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan-LeIP, 2002, hlm. 11-15. 140 Menurut Jimly Asshiddiqie, Komisi Yudisial sebaiknya berkedudukan hanya di Jakarta, dan keanggotaannya ditentukan hanya berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri atas 3 orang mantan hakim agung, 2 orang advokat, 2 orang tokoh masyarakat/tokoh agama, dan 2 orang akademisi. Akan tetapi, melihat lingkup wewenangnya, ditambah kompleksitas permasalahan yang dihadapi serta luasnya wilayah Indonesia yang memerlukan pengawasan oleh Komisi ini, perlu dipertimbangkan bahwa Komisi Yudisial ini tidak hanya dibentuk di Jakarta untuk mengawasi para Hakim Agung, tetapi juga dibentuk di daerah-daerah tempat kedudukan Pengadilan Tinggi, sehingga Komisi Yudisial ini benar-benar dapat difungsikan sebagai lembaga pengawas eksternal yang efektif terhadap tugas-tugas peradilan di semua tingkatan. Seperti halnya di tingkat pusat, di daerah-daerah keberadaan Komisi Yudisial ini juga dikaitkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Jimly Asshiddiqie, Kekuasaan Kehakiman..., loc. cit.
139

41

dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, mencakup hakim di semua jenis dan tingkatan peradilan. Oleh karena itu, sangat tidak mungkin kalau Komisi Yudisial tidak mempunyai perwakilan di daerah. Apalagi menurut catatan Mahakamah Agung, jumlah hakim kurang lebih 6000 (enam ribu) orang.141

141

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, loc. cit., hlm. 33.

42

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan identifikasi masalah dan analisis yang telah dikemukakan, peneliti mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Alasan-alasan utama sebagai penyebab munculnya gagasan Komisi Yudisial di berbagai negara adalah: a. Lemahnya monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja; b. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dalam hal ini Departemen Kehakiman dan kekuasaan kehakiman (judicial power); c. Kekuasaan Kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis non-hukum; d. Rendahnya kualitas dan tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena tidak diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen.; dan e. Pola rekruitmen hakim yang dilakukan terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen. 2. Peran-peran yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial di berbagai negara dalam rangka menciptakan kemandirian kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain di luarnya adalah: a. Melakukan monitoring yang intensif terhadap lembaga peradilan dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja, sebab dikhawatirkan menimbulkan semangat korps (esprit de corps), sehingga objektivitasnya diragukan; b. Menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen Kehakiman. Dengan demikian, lembaga peradilan tidak perlu lagi mengurus persoalan-persoalan teknis non-hukum, karena semuanya telah ditangani oleh Komisi Yudisial. Sebelumnya, lembaga peradilan harus melakukan sendiri hubungan tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya hubungan pertanggungjawaban dari lembaga peradilan kepada Departemen Kehakiman. Hubungan pertanggungjawaban ini menempatkan lembaga peradilan sebagai subordinasi Departemen Kehakiman yang membahayakan independensinya; c. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek, karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan aspek hukum seperti rekruitmen dan monitoring hakim serta pengelolaan keuangan lembaga peradilan. Dengan demikian, lembaga peradilan

dapat lebih berkonsentrasi untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya yang diperlukan untuk memutus suatu perkara; d. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Di sini diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi; dan e. Meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekruitmen hakim, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga hukum, bukan lembaga politik lagi. 3. Pelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia dengan mengadopsi aspek-aspek positif pengaturan Komisi Yudisial di negara lain yang telah disesuaikan dengan kondisi di Inonesia harus mempertimbangkan dan mengakomodasikan dua hal sebagai berikut: a. Lima alasan utama (sebagaimana telah disebut dalam kesimpulan angka 1) yang menjadi penyebab munculnya gagasan Komisi Yudisial di berbagai negara; dan b. Lima peran (sebagaimana telah disebut dalam kesimpulan angka 2) yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial di berbagai negara. B. Saran Sebagai lembaga baru yang hadir di Indonesia di tengah-tengah keterpurukan lembaga peradilan dan krisis kepercayaan masyarakat terhadapnya, Komisi Yudisial mengemban tugas yang tidak mudah untuk memenuhi amanat konstitusi. Komisi Yudisial harus memperhatikan dan menyelesaikan beberapa persoalan krusial yang dihadapi lembaga peradilan di Indonesia, yaitu lemahnya monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman, tidak adanya lembaga yang berfungsi sebagai penghubung antara kekuasaan pemerintah dan kekuasaan kehakiman, tidak adanya efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman, rendahnya kualitas dan adanya inkonsistensi putusan lembaga peradilan, dan politisasi perekrutan hakim (agung).

324 BIBLIOGRAFI A. Buku Abraham, Henry J. Justices and Presidents: A Political History of Appoinments to the Supreme Court. 2nd Edition, New York/Oxford: Oxford University Press, 1985. ________. The Judicial Process. 7th Edition, New York/Oxford: Oxford University, 1993. Adji, Oemar Seno. Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta: Erlangga, 1985. Alfredson, Gudmundur dan Asbjrn Eide, eds. The Universal Declaration of Human Rights: A common Standard of Achievement. The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1999. Alrasid, Harun. Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR. Revisi Cet. I, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesian [UI-Press], 2003. ________. Pengisian Jabatan Presiden. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999. ________. Prof. Mr. Djokosutono: Ilmu Negara. Cet. II, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985. Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Cet. I, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003. ________. Hukum dan Demokrasi. Cet. I, Jakarta: Ind-Hill-Co., 1991. ________. Mempersoalkan Kebebasan Pers, dalam Denny J.A., Jonminofri, dan Rahardjo, (eds.), Menegakkan Demokrasi: Pandangan Sejumlah Tokoh dan Kaum Muda Mengenai Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Kelompok Studi Indonesia bekerja sama dengan The Asia Foundation, 1989. Asrun, A. Muhammad. Analisis Legal-Historis terhadap Pembelengguan Kekuasaan Kehakiman di Masa Pemerintahan Soeharto, dalam A. Muhammad Asrun dan Hendra Nurtjahjo, 70 Tahun Prof. Dr. Harun Alrasid: Integritas, Konsistensi Seorang Sarjana Hukum. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2000. Asshiddiqie, Jimly. Agenda Pembangunan Hukum Nasioanal di Abad Globalisasi. Cet. I, Jakarta: Balai Pustaka, 1998.

325 ________. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994. ________. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002. ________. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat. Cet. II, Jakarta: Yarsif Watampone, 2003. ________. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. Jakarta: UI-Press, 1996. ________. Perimbangan Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif dalam Rangka Perubahan UUD 1945, dalam A. Muhammad Asrun, ed., 70 Tahun Ismail Suny, Bergelut dengan Ilmu Berkiprah dalam Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000. ________. Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara. Cet. I, Jakarta: Ind Hill-Co., 1997. Azed, Abdul Bari. Hukum Tata Negara Indonesia (Kumpulan Tulisan). Cet. I, Jakarta: Ind-Hill-Co, 1991. Azhary. Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif tentang Unsurunsurnya. Jakarta: UI-Press, 1995. Azhary, Muhammad Tahir. Negara Hukum: Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan. Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan, 1999. Barber, Benjamin R. Strong Democracy: Participatory Politics for a New Age. Los Angeles: University of California Press, 1984. Basah, Sjahran. Hukum Tata Negara. Bandung: Alumni, 1994. Becker, Theodore L. Comparative Judicial Politics: The Political Functionings of Courts. Chicago: Rand McNally & Company, 1969. Beetham, David. Democracy: Key Principles, Institutions and Problems, dalam Democracy: Its Principles and Achievement. Geneva: InterParliamentary Union, 1998.

326 Behn, Robert D. Rethinking Democratic Accountability. Washington, D.C.: Brooking Institution Press, 2001. Berkson, Larry C., dan Susan B. Carbon. The United States Circuit Judge Nominating Commission: Its Membes, Procedures, and Candidates. Chicago: American Judicature Society, 1980. Bernier, Ivan dan Andree Lajoie. The Supreme Court of Canada as an Instrument of Political Change. Toronto: University of Toronto Press, 1945. Bertens, K. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997. Black, Henry Campbell. Blacks Law Dictionary: Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern. St. Paul, Minn.: West Group, 1991. BP-7 Pusat. Bahan Penataran P4, UUD 1945, GBHN. Jakarta: BP-7 Pusat, 1990. Buitendam, Odette. Good Judges are Not Born but Made: Recruiment, Selection and the Training of Judges in the Netherlands, dalam Marco Fabri and Philip M. Langbroek, eds., The Challenge of Change for Judicial System. Netherlands: IOS Press, 2000. Bradley, A.W. The Sovereignty of Parliament Form or Substance?, dalam Jeffrey Jowell dan Dawn Oliver, eds., The Changing Constitution. 4th edition, Oxford: Oxford University Press, 2000. Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cet. XVII, Jakarta:Gramedia, 1996. Camenish, Paul F. Grounding Professional Ethics in a Pluralistic Society. New York: Haven Publication, 1983. Cappeletti, M., John Henry Merryman, dan J.M. Perillo. The Italian System. Stanford: Stanford University Press, 1967. Cardozo, Fernando Henrique. On the Characterization of Authoritarian Regimes in Latin America. Cambridge: Center of Latin American Studies, University of Cambridge, 1978. Carter, Gwendolen M., dan John H. Herz. Demokrasi dan Totaliterisme: Dua Ujung dalam Spektrum Politik, dalam Miriam Budiardjo, Masalah Kenegaraan. Cet. III, Jakarta: Gramedia, 1980.

327 Dahl, Robert A. Demokrasi dan Para Pengritiknya [Democracy and its Critics]. Diterjemahkan A. Rahman Zainuddin, Edisi I, Cet. I, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992. David, Rene dan John E.C. Brierly. Major Legal System in the World Today. Third Edition, London: Steven & Sons, 1985. Dewantara, Nanda Agung. Masalah Kebebasan Hakim dalam Menangani suatu Perkara Pidana. Cet. I, Jakarta: Penerbit Aksara Persada Indonesia, 1987. Dicey, A.V. An Introduction to Study of the Law of the Constitution. 10th edition, London: English Language Book Society and MacMillan, 1971. Ehrmann, Henry W., ed. Democacy in a Changing Society. New York: Frederick A. Praeger Publisher, 1964. Ekatjajana, Widodo dan Totok Sudaryanto. Sumber Hukum Tata Negara Formal di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001. Emmerson, Donald K., ed.. Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan The Asia Fondation, 2001. Erickson, Rosemary J., dan Rita J. Simon. The Use of Social Science Data in Supreme Court Decisions. Urbana and Chicago: University of Illinois Press, 1998. Feith, Herbert dan Lance Castle, ed. Pemikiran Politik Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1988. Finer, S.E. Comparative Government. Harmondsworth: Pelican Books, 1974. Flechtheim, Ossip K. Fundamentals of Political Science. New York: Ronald Press Co., 1952. Friedman, Lawrance M. American Law: an Introduction. New York: W.W. Norton, 1998. Friedmann, Wolfgang. Legal Theory. London: Steven & Son Limited, 1960. Gaffar, Afan. Politik, Demokrasi, dan Faham Integralistik, dalam Bagir Manan, ed., Kedaulatan Rakyat, Hak-hak Asasi Manusia dan Negara Hukum. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996. Gaffar, Firoz dan Ifdhal Kasim, ed. Reformasi Hukum di Indonesia: Hasil Studi Perkembangan Hukum Proyek Bank Dunia [Diagnostic Assessment of Legal Development in Indonesia]. Diterjemahkan oleh Niar Reksodiputro dan Imam Pambagyo. Jakarta: CYBERconsult, 1999.

328 Gazell, A. The Future of State Court Management. Port Washington, N.Y.: Kennicat Press, 1978. Glendon, Mary Ann, Michael Wallace Gordon, dan Christopher Osakwe. Comparative Legal Traditions: Texts, Material and Cases. St. Paul, Minn.: West Publishing Company, 1985. Glick, Henry R. The Politics of State Court Reform, dalam Philip L. DuBois, ed., The Politics of Judicial Reform. Lexington, Mass.: Lexington Books, 1982, hal. 17-33. Greenberg, Douglas, et. al., ed. Constitutionalism & Democracy: Transition in the Contemporary World. New York/Oxford: Oxford University Press, 1993. Griffith, J.A.G. The Politics of the Judiciary. 4th edition, London: The Fontanta Press, 1991. Grossman, Joel B. Lawyer and Judge: The Politics of Judicial Selection. New York: John Wiley & Sons, 1965. Grossman, Joel B., and Richard Wells. Constitutional Law and Judicial Policy Making. 3rd edition, New York: Longman, 1988. Hadisoeprapto, Hartono. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Edisi III, Cet.I, Yogyakarta: Liberty, 1993. Hammergren, Linn Ann. The Politics of Justice and Justice Reform in Latin America: The Peruvian Case in Comparative Perspective. New York: Westview Press, 1998. Harman, Benny K. Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman. Cet. I, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat-ELSAM, 1997. Heyst, B.J. van. The Netherlands, dalam Shimon Shetreet dan Jules Deschenes, eds.. Judicial Independence: The Contemporary Debate. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers: 1985. Hickok, Eugene W. dan Gary L. McDowell. Justice vs. Law, Courts and Politics in American Society. New York: The Free Press, 1972. Hook, Sidney. Democracy [Demokrasi: Sebuah Tinjauam Umum], dalam Denny J.A., Jonminofri, Rahardjo, eds., Menegakkan Demokrasi: Pandangan Sejumlah Tokoh dan Kaum Muda Mengenai Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Kelompok Studi Indonesia bekerja sama dengan The Asia Foundation, 1989.

329 Huntington, Samuel P. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Norman: University of Oklahoma Press, 1991. Jennings, Sir Ivor. The Law and the Constitution. 4th edition, London: The English Language Book Society, 1976. Joeniarto. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Cet. III, Jakarta: Bumi Aksara, 1990. Kanter, E.Y. Etika Profesi Hukum: Sebuah Pendekatan Sosio-Religius. Cet. I, Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2001. Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. New York: Russel & Russel, 1973. ________. Pure Theory of Law [Reine Rechtslehre]. Translated from the second German edition by Max Knight, Berkeley: University of California Press, 1978. Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia. Kebijakan Reformasi Hukum (Suatu Rekomendasi). Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003. ________. Peta Reformasi Hukum di Indonesia 1999-2001: Transisi di Bawah Bayang-bayang Negara. Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2002. Kommers, Donald P. Judicial Politics in West Germany: A Study of the Federal Constitutional Court. Beverly Hills, California: SAGE Publication, 1976. ________. The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany. Second Edition, Durham and London: Duke University Press, 1997. Kusnardi, Moh., dan Bintan R. Saragih. Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945. Cet. VI, Jakarta: Gramedia, 1989. Kusnardi, Moh., dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1976. Lane, P.H. Constitutional Aspects of Judicial Independence, dalam Helen Cunningham, ed., Fragile Bastion Judicial Independence in the Nineties and Beyond. Sidney: Judicial Commission of New South Wales, 1999.

330 Lasser, William. The Limits of Judicial Power: The Supreme in American Politics. Chapel Hill & London: University of North Carolina Press, 1988. Lev, Daniel S., Hukum dan Politik Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan, diterjemahkan oleh Nirwono dan AE Priyono, Jakarta: LP3ES, 1990. ________. Judicial Institutions and Legal Culture in Indonesia, dalam Claire Holt, ed.. Culture Politic in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1972. ________. The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 19571959. Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1966. Locke, John. Two Treatises of Government. New Edition, London: Everyman, 1993. Lubis, Suhrawardi K. Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2002. Lubis, Todung Mulya. In Search of Human Rights: Legal-Political Dilemmas of Indonesias New Order 1966-1990. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993. Macdonald, R. St. J., F. Matscher, and H. Petzold. The European System for the Protection of Human Rights. The Hague: Kluwer Academic Publishers, 1993. Mahfud M.D., Moh. Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tatanegara. Yogyakarta: UII Press, 1999. ________. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 1993. ________. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Ed. I, cet. I, Yogyakarta: Liberty, 1993. ________. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. Jakarta: CV Gama Media, 1999. ________. Karakter Produk Hukum Zaman Kolonial. Yogyakarta: UII Press, 1993. ________. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Jakarta: CV Gama Media, 1999. ________. Pergulatan Politik Hukum Zaman Kolonial. Yogyakarta: UII Press, 1999. ________. Politik Hukum di Indonesia. Cet. I, Jakarta: LP3ES, 1998.

331 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Buku Kedua Jilid 3 A Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI Ke-36 s/d Ke39 Tanggal 26 September s/d 22 Oktober 2001 Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001. Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2001. ________. Buku Kedua Jilid 8 A Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI Ke-36 s/d Ke-39 Tanggal 26 September s/d 22 Oktober 2001 Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001. Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2001. ________. Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003. Manan, Bagir. Konvensi Ketatanegaraan. Bandung: CV Armico, 1987. ________. Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara. Disunting oleh Mashudi dan Kuntana Magnar, Cet. I, Bandung: CV Mandar Maju, 1995. Manan, Bagir, dan Kuntana Magnar. Beberapa Masalah Hukum Tata Nagara Indonesia. Cet. I, Bandung: Alumni, 1997. ________. Peraturan Perundang-undangan Nasional. Bandung: CV Armico, 1987. dalam Pembinaan Hukum

Mansoer, Moch. Tolchah. Pembahasan Beberapa Aspek Kekuasaan-kekuasaan Eksekutif dan Legislatif di Indonesia. Cet. II, Jakarta: Pradnya Paramita, 1977. Mayo, Henry B. An Introduction to Democratic Theory. Oxford: Oxford University Press, 1960. McFeeley, Neil D. Appoinment of Judges: The Johnson Presidency. Austin: University of Texas Press, 1987. McIlwain, C.H. Constitutionalism: Ancient and Modern. Ithaca, New York: Cornell University Press, 1974. McIver, Robert M. The Modern State. Oxford: Oxford University Press, 1950. ________. The Web of Government. New York: The MacMillan Company, 1961. Merryman, John Henry. The Civil Law Traditions: An Introduction to the Legal System of Western Europe and Latin America. Second Edition, Chicago: Stanford University Press, 1996.

332 Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata. Edisi IV, Cet. I, Yogyakarta: Liberty, 1993. ________. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Edisi III, Cet. I, Yogyakarta: Liberty, 1991. Mohl, Robert. Two Concepts of the Rule of Law. Indianapolis: Liberty Fund Inc., 1973. Montesquieu. Membatasi Kekuasaan: Telaah Mengenai Jiwa Undang-undang [The Spirit of the Laws]. Jakarta: Gramedia, 1993. Nainggolan, Poltak Partogi, ed. Bunga Rampai Kajian RUU Tahun 2002. Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jendral Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002. Nasroen, Moh. Ilmu Perbandingan Pemerintahan. Jakarta: Penerbit Ichtiar, 1966. Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 [The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: A Sosio-Legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959]. Diterjemahkan oleh Sylvia Tiwon, Cet. II, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2001. National Law Commission of the Republic of Indonesia. Law Reform Policies (Recommendations). Jakarta: National Law Commission of the Republic of Indonesia, 2003. Neuman, Robert O. European and Comparative Government. 3rd Edition, New York: McGraw Hill Book Company, Inc., 1960. Noer, Deliar. Pengantar ke Pemikiran Politik. Cet. I, Jakarta: Rajawali, 1983. Notohamidjojo, O. Makna Negara Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1970. Pangaribuan, Luhut dan Paul S. Baut, (ed.). Loekman Wiradinata, Keindependenan Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989. Pasquino, Pasquale. One and Three: Separation of Powers and the Independence of the Judiciary in the Italian Constitution, dalam John Ferejohn, Jack N. Rakove, dan Jonathan Riley, eds., Constitutional Culture and Democratic Rule. Cambridge: Cambridge University Press, 2001.

333 Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Ilmu Negara dan Politik. Cet. II, Bandung Jakarta: PT Eresco. ________. Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia. Cet. VI, Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, 1989. Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi. Pengantar Filsafat Hukum. Cet. III, Bandung: CV Mandar Madju, 2002. Raz, Josep. The Concept of Legal System: an Introduction to the Theory of Legal System. Oxford: Oxford University Press, 1978. Rusminah. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam Padmo Wahjono, ed., Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984. Sabon, Max Boli. Ilmu Negara. Cet. I, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992. Sartori, Giovanni. Democracy, dalam Davis L. Shills, ed., The International Encyclopedia of the Social Science. Vol. iv, New York: The Free Press, 1972. Schwartz, Herman. Packing the Courts: The Conservative Campaign to Rewrite the Constitution. New York: Charles Scribners Sons, 1988. Sherif, Adel Omar. Separation of Powers and Judicial Independence in Constitutional Democracies: The Egyptian and American Experiencies, dalam Eugene Cotran and Adel Omar Sherif, eds., Democracy, The Rule of Law and Islam. CIMEL Book Series No. 6, London-The HagueBoston: Kluwer Law International, 1999. Simorangkir, J.C.T. Penetapan UUD Dilihat dari Segi Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Gunung Agung, 1984. Simorangkir, J.C.T. dan B. Mang Reng Say. Tentang dan Sekitar UndangUndang Dasar 1945. Cet. XI, Jakarta: Hastama, 1987. Smith, Cristopher E. Courts, Politics, and the Judicial Process. Chicago: Nelson-Hall Publisher Inc., 1993. ________. Critical Judicial Nominations and Political Change. Westport, Connecticut: Praeger, 1989. ________. Judicial Self-interset: Federal Judges and Court Administration. Westport, Connecticut/London: Praeger Publisher, 1995. Snowiss, Sylvia. Judicial Review and the Law of the Constitution. New Haven: Yale University Press, 1990.

334 Soedirjo. Mahkamah Agung: Uraian Singkat tentang Kedudukan, Susunan, dan Kekuasaannya Menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985. Edisi I, Cet. I, Jakarta: Media Sarana Press, 1986. Soehino. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 1986. Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1982. Soekanto, Soejono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Edisi 1, Cet. V, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001. ________. Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di dalam Penelitian Hukum. Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979 Soemantri M., Sri. Bunga Rampai Hukum Tata Negara. Cet. I, Bandung: Alumni, 1992. ________. Perbandingan Antar Hukum Tata Negara. Jakarta: PT Rajawali, 1981. ________. Tentang Lembaga-lembaga Negara. Cet. VII, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1993. Soemaryono, E. Etika Profesi Hukum, Norma-norma bagi Penegak Hukum. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995. South-East Asian and Pacific Conference of Jurist. The Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age. Bangkok: International Commission of Jurist, 1965. Strong, C.F. Modern Political Constitution. London: Sidwick & Jackson, 1973. Stone, Alec. The Birth of Judicial Politics in France: The Constitutional Council in Comparative Perspective. New York/Oxford: Oxford University Press, 1992. Suny, Ismail. Mencari Keadilan: Sebuah Otobiografi. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982. ________. Pembagian Kekuasaan Negara. Cet. IV, Jakarta: Aksara Baru, 1985. ________. The Organization of the Islamic Conference. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000. Suseno, Franz Magnis. Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia, 1993.

335 Tambunan, A.S.S. Hukum Tata Negara Perbandingan. Jakarta: Puporis Publishers, 2001. Tasrif, Suadi. Menegakkan Rule of Law di Bawah Orde Baru. Jakarta: Peradin, 1971. Teichman, Jenny. Etika Sosial. Yogyakarta: Kanisius, 1998. Thaib, Dahlan. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945. Edisi II, Cet. I, Yogyakarta: Liberty, 1993. ________. Pancasila Yuridis Ketatanegaraan. Edisi Revisi, Cet. I, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 1994. Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI. Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia: Catatan dan Gagasan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra. Jakarta: Sekretariat Jendral Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2002. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. I, Ed. III, Jakarta: Balai Pustaka, 2001. Voermans, Wim. Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa. Diterjemahkan oleh Adi Nugroho dan M. Zaki Hussein, Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan-LeIP, 2002. Wade, E.C.S., dan G. Godfrey Philips. Constitutional Law: An Outline of the Law and Practice of the Constitution, Including Central and Local Government, the Citizen and the State and Administrative Law. 7th edition, London: Longmans, 1965. Wahjono, Padmo. Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum. Cet. II, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986. ________. Pembakuan Istilah Hukum. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1975. ________. Pembangunan Hukum di Indonesia. Jakarta: Ind-Hill Co, 1989. Weston, Burns H. Human Rights dalam Richard Pierre Claude dan Burns H. Weston, eds., Human Rights in the World Community, Issues and Action. Philadephia: University of Pennsylvania, 1992. Yudho, Winarno. Ilmu Politik dan Hukum, dalam Soerjono Soekanto dan R. Otje Salman, eds., Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial (Bahan Bacaan Awal), Ed. I, Cet. II, Jakarta: Rajawali, 1988.

336 Zweigert, Kondrad dan Hein Ktz. Introduction to Comparative Law. 3rd Revised Edition, Oxford: Clarendon Press, 1998. B. Artikel Asshiddiqie, Jimly. Dimensi Konseptual dan Prosedural Pemajuan Hak Asasi Manusia Dewasa Ini (Pengertian ke Arah Pengertian Hak Asasi Manusia Generasi Keempat). Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas tentang Perkembangan Pemikiran Mengenai Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan oleh Institute for Democracy and Human Rights, The Habibie Center, Jakarta, April 2000. ________. Perspektif tentang Format Kelembagaan dan Peraturan Republik Indonesia di Masa Depan. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Program Legislasi Nasional, yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional bekerja sama dengan Universitas Taruma Negara, Jakarta, 29 Juli 2002. ________. Refleksi tentang Konsepsi dan Format Ketatanegaraan Republik Indonesia Pascareformasi. Makalah disampaikan dalam Pidatao Ketatanegaraan di Hadapan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Tokoh-tokoh Masyarakat dan LSM Se-Kabupaten Kendal, Kendal, 8 Nopember 2002. ________. Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945. Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003. Cunningham, Helen. The Role of the Judiciary in a Modern Democracy. Paper presented at Judicial Conference of Australia Symposium, New South Wales, 8-9 November 1997. Saleh, Abdul Rahman. Status, Komposisi, Jumlah serta Beberapa Masalah Komisi Yudisial Indonesia di Bidang SDM. Makalah disampaikan pada Workshop Penyusunan Policy Paper dan Draft Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, di Hotel Borobudur, Jakarta, 28 Agustus 2002. Schmatt, Ernest. Implementation of Judicial Commission in New South Wales as a Comparative Perspective for the Establishment of Judicial Commission in Indonesia. Makalah disampikan dalam Seminar Sehari Komisi Yudisial, diselenggarakan kerja sama antara Puslitbang Hukum

337 dan Peradilan Mahkamah Agung RI dengan Australian Legal Resources International, Jakarta, 24 Juli 2002. ________. The Role and Functions of the Judicial Commission in New South Wales. Makalah disampikan dalam Judicial Commission Workshop, Jakarta, 20 Maret 2001. Sugondo, Lies. Pokok-pokok Pikiran tentang Struktur Organisasi Komisi Yudisial. Makalah disampaikan pada Workshop Penyusunan Policy Paper dan Draft Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, di Hotel Borobudur, Jakarta, 28 Agustus 2002. Sutadi, Marianna. Fungsi, Tugas, dan Wewenang Komisi Yudisial dalam Bidang Pengawasan. Makalah disampaikan pada Workshop Penyusunan Policy Paper dan Draft Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, di Hotel Borobudur, Jakarta, 28 Agustus 2002. C. Majalah Ilmiah Arinanto, Satya. Reformasi Hukum, Demokrasi, dan Hak-hak Asasi Manusia, Hukum dan Pembangunan. Nomor 1-3, Tahun XXVIII, Januari-Juni 1998. Durham, Christine M. The Judicial Branch in State Government: Parables of Law, Politics, and Power, dalam New York University Law Review, vol. 76, Number 6, December 2001. Fallon, Jr., Richard H. The Rule of Law as a Concept in Constitutional Discourse, dalam Columbia Law Review. Volume 97, No. 1, 1997. Frankenberg, Gunter. Critical Comparations: Rethinking Comparative Law, Harverd Law Journal. 411, 1985. Hanssen, F. Andrew. The Effect of Judicial Institutions on Uncertainty and the Rate of Litihation: the Election Versus Appoinment of States Judges, The Journal of Legal Studies. Vol. XXVIII, January 1999. Kommers, Donald P. The Value of Comparative Constitutional Law. John Marshall Journal of Practice and Procedure, 689, 1976. Larkins, A.V. Cristopher M. Judicial Independence and Democratization: a Theoretical and Conceptual Analysis, dalam The American Comparative Law. Volume XLIV, No. 4, Fall, 1996. Marks, K. Judicial Independence, dalam Australian Law Journal. Vol. 68, No. 94

338 Mason, Sir Anthony. "Judicial Independence and the Separation of Powers Some Problems Old and New", dalam University of New South Wales Law Journal. Vol. 13, No. 2, 1990. D. Disertasi dan Data/Sumber yang Tidak Diterbitkan Satya Arinanto. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik: Upaya Pencarian Konsepsi Keadilan Transisional di Indonesia dalam Era Reformasi. (Disertasi untuk Memperolah Gelar Doktor dalam Ilmu Hukum pada Universitas Indonesia, 2003. Asrun, A. Muhammad. Pemerintahan Otoriter dan Independensi Peradilan: Kajian Fenomena Keadilan Personal dalam Peradilan di Tingkat Mahkamah Agung (1967-1998). Disertasi doktor dalam Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003. Asshiddiqie, Jimly. Catatan tentang Perbandingan Hukum Tata Negara (Comparative Constitutional Law). Naskah tidak diterbitkan, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2002. ________. Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal 13 Juni 1998. Asshiddiqie, Jimly, dan Mustafa Fakhri. Mahkamah Konstitusi: Kompilasi Ketentuan Konstitusi, Undang-Undangan dan Peraturan di 78 Negara. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, t.t. Attamimi, A. Hamid S. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Mengenai Analisis Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV. Disertasi doktor dalam Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990. Dewan Perwakilan Rakyat. Rancangan Undang Undang Tentang Perubahan Atas Undang Undang No. 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002. ________. Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002.

339 ________. Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002. ________. Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002. ________. Rancangan Undang Undang tentang Perubahan atas Undang Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002. ________. Rancangan Undang Undang tentang Perubahan atas Undang Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002. Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia. Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi. Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003. ________. Laporan Akhir Standar Pengujian Profesi Hukum. Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003. Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Position Paper: Menuju Independensi Peradilan. Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law [ICEL] dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan [LeIP], 1999. Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Draft I Policy Paper dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial. Makalah tidak diterbitkan, Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan-LeIP, t.t. Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) dan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Ringkasan Eksekutif Draft II Policy Paper dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial. Jakarta, tt. Mahendra, Yusril Ihza. Politik dan Perubahan Tafsir atas Konstitusi. Pidato Pengukuhan pada Upacara Penerimaan Jabatan sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Kampus Baru Universitas Indonesia, Depok, 25 April 1998.

340 Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pendidikan dan Pelatihan Hakim. Naskah belum diterbitkan, Jakarta: Mahakamah Agung Republik Indonesia, 2003. ________. Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pembinaan SDM Hakim. Naskah belum diterbitkan, Jakarta: Mahakamah Agung Republik Indonesia, 2003. ________. Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pengelolaan Keuangan Pengadilan. Naskah belum diterbitkan, Jakarta: Mahakamah Agung Republik Indonesia, 2003. ________. Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial. Naskah belum diterbitkan, Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2003. Pompe, Sebastian. The Indonesian Supreme Court: Fifty Years of Judicial Development. Disertasi doktor, Leiden: Van Vollenhoven Institute for Law and Administration in Non-Western Countries, 1996. Wahjono, Padmo. Indonesia ialah Negara yang Berdasarkan atas Hukum. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal 17 Nopember 1979. E. Surat Kabar/Majalah Bdm. MA Bisa Jadi Tirani Yudikatif, Harian Kompas, 5 Januari 2004. ________. Pengangkatan 18 Hakim Agung Baru Tak Akan Banyak Membawa Perubahan Berarti, Harian Kompas, 17 Juni 2003. ________. Perlu Tim Ad Hoc untuk Jaring Calon Hakim Agung, Harian Kompas, 4 Mei 2002. ________. RUU Bidang Hukum Harus Satu Paket, Harian Kompas, 15 Februari 2003. Bur. Komisi Yudisial Perlu Masuk dalam Revisi RUU MA, Harian Kompas, 1 Mei 2002. K02/Bdm. Eksistensi Komisi di tengah Lemahnya Kepemimpinan. Harian Kompas, Rabu, 28 Januari 2004 Sie/Bdm, Peradilan Satu Atap Mulai 30 Maret 2004, Harian Kompas, 8 Desember 2003.

341 Son, RUU Komisi Yudisial Sudah Mendesak, Harian Kompas, 23 Maret 2004. Thohari, A. Ahsin. Dari Law Enforcement ke Justice Enforcement, Harian Kompas. Rabu, 3 Juli 2002. ________. Demokrasi Sekaligus Nomokrasi. Harian Kompas, Edisi Jumat, 7 November 2003. ________. Komisi Yudisial dalam Ketatanegaraan Indonesia, Majalah Pakar, Volume II, No. 6, Juni 2003. ________. Membaca Perubahan Ekstrem DPR: Dari Rubber Stamp ke Superbody, Harian Kompas. Edisi Jumat, 25 Juli 2003. ________. Membangun Komisi Yudisial, Harian Kompas, Jumat, 23 Januari 2004. ________. Membayangkan Living Constitution, Harian Kompas, Edisi Kamis, 1 Agustus 2002. Tra. Kewenangan Komisi Yudisial Dikhawatirkan Tumpang Tindih, Harian Kompas, 31 Agustus 2002. Vin. Keberadaan Komisi Yudisial Semakin Mendesak, Harian Kompas, 6 Januari 2004. Vin/Bdm. MA Bentuk Panitia Pemilihan Wakil Ketua MA, Harian Kompas 23 Juni 2002. F. Peraturan Dasar dan Peraturan Perundang-Undangan Basic Principles on the Independence of the Judiciary. Adopted by the Seventh United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders held at Milan from 26 August to 6 September 1985 and endorsed by General Assembly resolutions 40/32 of 29 November 1985 and 40/146 of 13 December 1985. Departemen Penerangan Republik Indonesia. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1973. Jakarta: Pradnya Paramita, 1978. International Bar Association. International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence. The Jerussalem Approved Standards of the 19th IBA Biennial Conference held on Friday, 22nd October 1982, in New Delhi, India.

342 International Judge. Universal Declaration on the Independence of Justice. Unanimously adopted at the final plenary session of the First World Conference on the Independence of Justice held at Montreal (Quebec, Canada) on June 10th, 1983. Law Asia Region. Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region. As Amended at Manila, 28 August 1997. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jendral MK RI. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Himpunan Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960 S/D 1998. Jakarta: Sekretariat MPR RI, 1999. ________. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hasil Sidang Istimewa Tahun 1998. Jakarta: Sekretariat MPR RI, 1998. ________. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999. Jakarta: Sekretariat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 1999. ________. Ketetapan-ketetapan MPR RI Beserta Pembangunan VI. Semarang: Aneka Ilmu, 1993. Susunan Kabinet

________. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2002. Office of the President of Republic of South Africa. Judicial Service Commission Act. No. 1235 13 July 1994 No. 9 of 1994. Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights Genewa. Human Rights: A Copilation of International Instruments, Volume II: Regional Instruments. New York: United Nations, 1997. Organization of the Islamic Conference. The Cairo Declaration on Human Rights in Islam. The Nineteenth Islamic Conference of Foreign Ministers, Adopted and Issued at the Nineteenth Islamic Conference of Foreign Ministers in Cairo on 5 August 1990. Republik Indonesia. Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 Tahun 1981, LN No.76 Tahun 1981, TLN No. 3209.

343 ________. Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman. UU No. 4 tahun 2004, LN No. 8 tahun 2004, TLN No. 4358. ________. Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. UU No. 14 tahun 1970, LN No. 74 Tahun 1970, TLN No. 2951. ________. Undang-Undang tentang Mahkamah Agung. UU No. 14 Tahun 1985, LN No. 73 Tahun 1985, TLN No. 3316. ________. Undang-undang tentang Peradilan Agama. UU No. 7 Tahun 1989, LN No. 49, Tahun 1989, TLN No. 3400. ________. Undang-undang tentang Peradilan Militer. UU No. 31 Tahun 1997, LN No. 84 Tahun 1997. ________. Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 5 Tahun 1986, LN No. 77 Tahun 1986, TLN No. 3344. ________. Undang-undang tentang Peradilan Umum. UU No. 2 Tahun 1986, LN No. 20 Tahun 1986, TLN No. 3327. ________. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. UU No. 35 tahun 1999, LN No. 147 tahun 1999, TLN No. 3879. ________. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1985 tentang Mahkamah Agung. UU No. 5 Tahun 2004, LN No. 9 Tahun 2004, TLN No. 4359. ________. Undang-undang tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004. UU No. 25 Tahun 2000, LN No. 206 Tahun 2000. Parliamentary Counels Office, New South Wales. Judicial Officers Act 1986, No 100. Secretariat of World Conference on Human Rights. Vienna Declaration and Programme of Action. World Conference on Human Rights on 25 June 1993, in Vienna, Austria. The Constitution of Argentina, all amendments up to 22 Aug 1994. The Constitution of Bulgaria, all amendments up to 12 July 1991. The Constitution of Cameroon, Law No. 96-06 of 18 January 1996 to amend the Constitution of 2 June 1972.

344 The Constitution of Congo, adopted on: 15 March 1992. The Constitution of Croatia, Official Gazette No. 28/2001. The Constitution of Ethiopia, Adopted: 8 Dec 1994. The Constitution of Fiji, Adopted on: 23 September 1988 Last Amendment on: 25 July 1997 Effective since: 28 July 1998. The Constitution of Ghana, date of gazette notification: 15th May 1992. The Constitution of Guyana, adopted on: 23rd February, 1970. The Constitution of The Republic of The Gambia, 1997 (Amendment) Bill, 2000. The Constitution of Italia, the translation of the later amendments by Bernard E. DeLury, Jr., published in 1994. The Constitution of Kazakhstan The Constitution of Kenya, 1992. The Constitution of Lesotho, dated 25th March, 1993.] The Constitution of Macedonia, adopted on: 17 Nov 1991, effective since: 20 Nov 1991, amended on: 6 Jan 1992. The Constitution of Malawi, passed in Parliament this sixteenth day of May, one thousand, nine hundred and ninety-four. The Constitution of Malaysia. The Constitution of Marshall Islands, the effective date of this Constitution shall be May 1, 1979. The Constitution of Namibia, shall take effect on the Feb 1990. The Constitution of Nepal, shall take effect on the 9 Nov 1990. The Constitution of Nigeria, 1999. The Constitution of Papua New Guinea, 1975. The Constitution of France, amended on: 26 July 1995. The Constitution of Philippines, shall take effect on the February 2, 1987. The Constitution of Samoa. The Constitution of Sierra Leone, 1991.

345 The Constitution of Slovenia, Adopted on: 23 Dec 1991, amendment: 14 July 1997, introducing Paragraph 2 into Article 68, amendment: 25 July 2000, introducing Paragraph 5 into Article 80. The Constitution of Solomon Islands, 1996. The Constitution of Spain, shall take effect on the and 29 Dec 1978 consolidated up to the amendment of 27 Aug 1992. The Constitution of Sri Lanka, dated: August 03, 2000. The Constitution of Saint Christopher and Nevis, made 22nd June 1983. The Constitution of South Africa, amended on 11 Oct 1996 in foce since: 7 Feb 1997. The Constitution of Saint Lucia. The Constitution of Saint Vincent, made 26th July 1979 Coming into Operation 27th Oct. 1979. The Constitution of Thailand, adopted in 1997. The Constitution of the Democratic Republic of East Timor, adopted in 22nd of March 2002. The Constitution of the Trinidad and Tobago, assented to 23rd September, 1980. The Constitution of Tunisia. The Constitution of Vanuatu, adopted in 1983. The Constitution of Venezuela, adopted in January, 16, 1961. The Constitution of Zambia, 1991. The Constitution of Zimbabwe, 1993. Universal Declaration of Human Rights. Adopted and proclaimed by General Assembly resolution 217 A (III) of 10 December 1948. United Nations. International Covenant on Civil and Political Rights. New York: The Secretary-General of the United Nations, 1976. G. Internet American Bar Assossiation. An Independence Judiciary, <http:// www.abanet.org/govaffairs/judiciary/rhistory.html>. Diakses tang-gal 29 Maret 2003.

346 Asshiddiqie, Jimly. Kekuasaan Kehakiman di Masa Depan <http://www. theceli.com/dokumen/jurnal/jimly/j002.shtml>. Diakses tanggal 29 Januari 2004. Bhagwati, P. N. Independence of the Judiciary in a Democracy. <http://www.ahrchk.net/hrsolid/mainfile.php/1997vol07no02/2 75/>. Diakses tanggal 29 Maret 2003. Breyer, Stephen G. Judicial Independence in the US. <http://usinfo. state.gov/journals/itdhr/1296/ijde/breyer.htm>. Diakses tanggal 29 Maret 2003. Cunningham, Helen. The Role of the Judiciary in a Modern Democracy. <http://www.jca.asn.au/cunningham. html>. Diakses tanggal 24 Maret 2003. Hammergren, Linn Ann. The Judicial Career in Latin America: an Overview of Theory and Experience. <http://www1.worldbank. org/publicsector/ legal/Jcareer.doc>. Diakses tanggal 26 Maret 2003. Ilhan, Cengiz. Independence of the Judiciary. <http://www.tusiad.org/ yayin/private/autumn97/html/ilhan.html>. Diakses tanggal 29 Maret 2003. Judicial Commission of New South Wales. Principal Function. <http://www. judcom.nsw.gov.au/>. Diakses tanggal 20 Maret 2003. Mason, Sir Anthony. The Appointment and Removal of Judges. <http://www. jc.nsw.gov. au/fb/fbmason.htm>. Diakses tanggal 24 Maret 2003. Nugroho, Eryanto. RUU tentang Mahkamah Agung, <http://www.parlemen.net/ind/packagedetails.php?view=paket&guid=6 257a66fdb6f9ae24cdbebead9831072&docprofile=paket>. Diak-ses tanggal 29 Desember 2004. Rosett, Arthur. The Judicial Career in the United States and its Influence on the Substance of American Law. <http://soi.cnr.it/~crdcs/crdcs/frames3.htm>. Diakses tanggal 26 Maret 2003. Thohari, A. Ahsin. Dari Law Enforcement ke Justice Enforcement. <http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0207/03/opini/dari31.htm> . Diakses tanggal 3 Juli 2002. ________. Membaca Perubahan Ekstrem DPR, Dari Rubber Stamp ke Superbody. <http://www.kompas.com/kompascetak/0307/25/ opini/444392. htm>. Diakses tanggal 25 Juli 2003.

347 ________. Membayangkan Living Constitution, <http://www.kompas. com/kompas%2Dcetak/0208/01/opini/memb28.htm>. Diakses tanggal 1 Agustus 2002. Vyas, Yash. The Independence of the Judiciary: A Third World Perspective.<http://wbln0018.worldbank.org/Network/PREM/PREMD ocLib.nsf/b9d50320baa37e8f852566c60075b51b/0a13406b1bc4384a85 256890006fb1b3?OpenDocument>. Diakses tanggal 29 Maret 2003. Williams, Daryl. Independence of the Judiciary Some Federal Government Initiatives. <http://www.jc.nsw.gov.au/fb/fbwillam. htm>. Diakses tanggal 24 Maret 2003.

Indeks Isi
A Anglo Saxon 48 B BPK 213 C code of condut 33, 93, 171 code of law 32, 93 comparative constitutional 103 D Demokrasi Terpimpin 70 Departemen Kehakiman 19 DKH 159, 165 DPA 212 DPD 212 DPR 29, 158 E Enlightenment 54 Eropa Kontinental 48, 49 etika profesi hakim 41 Etika Profesi Hukum 31, 41, 80 lihat: kode etik profesi hakim F fit and proper test 183, 191 G GBHN 25 grondrechten 49 H hak-hak asasi ~ manusia 48 ~ warga negara 45 lihat: grondrechten hakim agung 2, 10, 170 rekruitmen, perekrutan 29, 43, 179 Hakim Konstitusi 172 Hakim Pengadilan Negeri 172 Hakim Pengadilan Tinggi 172 hukum adat 25 hukum agama 25 hukum dasar 50 I ICCPR 56 IKAHI 170 K Kabinet Reformasi Pembangunan 24 kekuasaan 41 lihat: pemisahan kekuasaan penyalahgunaan kekuasaan kekuasaan eksekutif 1, 28 kekuasaan federatif 44 kekuasaan kehakiman 1, 4, 40, 50, 145, 147, 195, 208, 217 ~ yang merdeka, yang bebas 2, 10, 29, 43, 48, 50 ~ yang independen 53, 55, 60 ketidakberpihakan ~ 50, 51 kekuasaan legislatif 1 kekuasaan negara 44 kekuasaan pemerintah 11, 12, 145, 195, 217 kekuasaan politik 28, 70, 75 kekuasaan yudikatif 1 Kepala Negara 29, kepentingan politik 52 KHN 82, 209 KK (Lihat Komisi Konstitusi) KKN 209 KKPU 209 KKR 209 kode etik 33, 93 kode etik profesi hakim 32, 41, 93, 95 Komisi Yudisial 2, 4, 9, 12, 19, 35 Komnas Anak 209 Komnas HAM 209 Komnas Perempuan 209 KON 209 konstitusionalisme 104 KPI 209 KPKPN 209

KPTKP 209 KPU 209 L law enforcement 91, 178 legal order 92 M Mahdep 30, 181 Mahkamah Agung, (MA) 2, 170, 212 Mahkamah Konstitusi 2, 4, 208 MPPH 158, 165 MPR 24 N negara hukum 15, 25, 41, 48 O Orde Baru 30, 70 P Parlemen 19 partisipasi masyarakat 187 pemisahan kekuasaan 41, 44, 49 pendisiplinan hakim 197 penegakan hukum 91 lihat: law enforcement penyalahgunaan kekuasaan 177 politik, kalkulasi politik 28

PPNS 165 Presiden 19 profesi hakim 91, 93 profesi hukum 83, 84 PROPENAS 16, 165 R Rechtsstaat 15, 38, 48 reformasi ekonomi 24 reformasi hukum 25 reformasi peradilan 14, 40 reformasi politik 25 reformasi struktural 25 reformasi total 25 Rule of Law 15, 38, 48 S supremasi hukum 49 Syariah 65 T Trias Politica 46 U UUD 1945 2, 38 Y yudisial, non-yudisial 12

Indeks Nama
A Adji, Seno 170 Afrika Selatan 106 Argentina 107 Arifin, Busthanul 170, Asshiddiqie, Jimly 54, 104, 208 B Beijing 68, 73 Belanda 17 Bulgaria 108 C Ceko 17 D Denmark 17, 18 E Etiopia 108 F Fiji 108 Filipina 108 Frankenberg, Gunter 102 G Gambia 109 Ghana 109 Griffith, J. A. G. 52 Guyana 110 H Habibie, B.J. 24 Hanssen, F. Andrew 29, 77 J judicial review 60 K Kairo 64 Kamerun 112 Kanada 62 Kant, Immanuel 49 Kazakhstan 112 Kenya 113 Kongo 112 Koopmans, T 37, 99 Kroasia 112 Kusumaatmadja, Asikin 170 L Lesotho 113 Locke, John 44 M Makedonia 113 Malawi 114 Malaysia 114 Marshall Islands 115 Mayo, Henry B. 48 Milan, Italia 58 Montesquieu 45 Montreal, Kanada 62

N Namibia 115 Nepal 115 New Delhi, India 64 Nigeria 116 P Papua Nugini 116 Portugal 18 Prancis 17, 18, 116 Q Quebec, Kanada 62

I India 64 Indonesia 110 Irlandia 17, 18, Italia 17, 18, 58, 111

S Saint Chirstopher and Nevis 117 Saint Lucia 117 Saint Vincent 117 Samoa 118 Seokarnoputri, Megawati 24 Sherif, Adel Omar 51 Sierra Leone 118 Slovenia 119 Smith, Christopher E. 28, 75, 76 Soeharto 24 Soejadi 170 Solomon Islands 119 Spanyol 18, 119 Sri Lanka 120 Stahl, Friedrich Julius 49 Strong, C. F. 45 Suny, Ismail 65 Swedia 17, 18 T Thailand 120

Timor Timur 120 Trinidad dan Tobago 121 Tunisia 121 U Eropa, Uni Eropa 19 V Vanuatu 121 Vasak, Karel 53, 56 Venezuela 122 Voermans, Wim 17, 18, 123 Vollenhoven, Cornelis van 36, 98 W Wahid, Abdurrahman 24 Widyowati, Sri 170 Z Zambia 122 Zimbabwe 122

Tentang Penulis

A. AHSIN THOHARI lahir di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah pada tanggal 4 Agustus 1973. Meraih gelar Sarjana Hukum (S-1) dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta pada tahun 1999. Selanjutnya, pada awal tahun 2004 meraih gelar Magister Hukum (S-2) dari Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Aktif menulis artikel di koran, majalah, jurnal ilmiah, laporan penelitian, dan makalah untuk berbagai seminar yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum dan hak asasi manusia (HAM). Berbagai macam penelitian yang telah diikutinya banyak mengkaji masalahmasalah yang berhubungan dengan cetak biru reformasi peradilan di Indonesia, perbandingan reformasi peradilan di berbagai negara, anotasi putusan-putusan peradilan yang kontroversial, penegakan hukum dalam masa transisi politik menuju demokrasi, paradigma penyelesaian pelanggaran HAM (berat), formulasi keadilan transisional (transitional justice), aspek-aspek hukum Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), aspek-aspek hukum Rekening 502, penerapan sita jaminan (conservatoir beslag) oleh peradilan, dan lain-lain. Selain itu, juga aktif sebagai peneliti di berbagai lembaga penelitian yang concern terhadap masalah-masalah hukum dan HAM. Pada tahun 2002, bersama-sama dengan Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H. dan A. Ulfie, S.H. mendirikan lembaga non-pemerintah (NGO) yang diberi nama Judicial Watch of Indonesia (JWI) sebagai bagian dari gerakan civil society yang bergerak di bidang penelitian, pemantauan peradilan, dan advokasi.

Back Cover Text Maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan dengan sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun dari segi etika. Buku ini tidak masuk dalam perdebatan epistemologis soal mana lebih penting: pelaku atau struktur, tindakan atau struktur. Ia hadir dengan asumsi bahwa peran subjek memang penting dan tidak bisa tidak dalam sistem dan struktur. Bahkan sistem dan struktur itu sendiri kehilangan maknanya tanpa ada pelaku atau Subjek. Seperti kata Giddens, tidak ada struktur tanpa pelaku, demikian juga tidak ada tindakan tanpa struktur. Buku ini mengkaji salah satu lembaga penting (subjek institusional) yang berisikan para pelaku (subjek personal) yaitu Komisi Yudisial. Komisi ini merupakan sebuah institusi yang sangat penting keberadaannya dalam reformasi hukum dan penegakan keadilan di sebuah Negara.

Anda mungkin juga menyukai