Anda di halaman 1dari 186

A.

AHSIN THOHARI

dan

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)


Jakarta, 2004
Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan oleh A. Ahsin Thohari

Editor:
Erasmus Cahyadi T.

Desain Sampul:

Layout:

Cetakan Pertama, Oktober 2004

Hak penerbitan ada pada ELSAM

Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi
manusia, selain sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di
Indonesia.

Penerbit

ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat


Jln. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510
Tlp.: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 2519
E-mail: elsam@nusa.or.id, advokasi@indosat.net.id; Web-site: www.elsam.or.id
DAFTAR ISI
Pengantar Penerbit
Pengantar Penulis
Kata Pengantar oleh Prof. Jimly Asshiddiqie
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Bagan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Gagasan Reformasi Peradilan di Indonesia


B. Beberapa Permasalahan
C. Urgensi Penelitian
D. Perspektif Teori dan Beberapa Terminologi
E. Asumsi Dasar
F. Metode Penelitian dan Bingkai Buku

BAB II
PEREKRUTAN HAKIM DAN PENEGAKAN ETIKA PROFESI HAKIM

A. Kekuasaan Kehakiman: Sebuah Tinjauan Umum


1. Pemisahan Kekuasaan (Separation of Powers)
2. Demokrasi
3. Negara Hukum (Rechtsstaat/Rule of Law)
4. Kekuasaan Kehakiman (Judicial Power)
5. Ketentuan-ketentuan Internasional dan Regional tentang Kekuasaan Kehakiman
yang Merdeka

B. Mekanisme Perekrutan Hakim dan Intervensi Kekuasaan Politik


1. Ketentuan-ketentuan Internasional tentang Perekrutan Hakim
2. Intervensi Kekuasaan Politik dalam Perekrutan Hakim Agung

C. Etika Profesi Hukum dan Penegakan Kode Etik Profesi Hukum

BAB III
SUSUNAN DAN KEDUDUKAN KOMISI YUDISIAL DI BERBAGAI NEGARA

A. Komisi Yudisial di Berbagai Negara


1. Hukum Tata Negara Perbandingan
2. Studi Perbandingan Komisi Yudisial
3. Tujuan Perbandingan Hukum Tata Negara
4. Tujuan Perbandingan Komisi Yudisial
B. Susunan dan Kedudukan Komisi Yudisial di Berbagai Negara: Afrika Selatan, Argentina,
Filipina, Prancis, dst. – Zimbabwe

C. Beberapa Kecenderungan Umum dalam Komisi Yudisial


1. Latar Belakang Pembentukan Komisi Yudisial
2. Tujuan Pembentukan Komisi Yudisial
3. Komisi Yudisial sebagai Solusi

BAB IV
PELEMBAGAAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA

A. Gagasan-gagasan Sebelum Pembentukan Komisi Yudisial di Indonesia


1. Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH)
2. Dewan Kehormatan Hakim (DKH)

B. Gagasan Komisi Yudisial di Indonesia


1. Undang-Undang PROPENAS dan Perubahan Ketiga UUD 1945
2. Kegagalan Sistem yang Ada Sebelumnya
3. Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial di Indonesia

C. Keorganisasian Komisi Yudisial di Indonesia


1. Status Kelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia
2. Keanggotaam Komisi Yudisial di Indonesia
3. Tempat Kedudukan Komisi Yudisial di Indonesia

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

BIBLIOGRAFI

A. Buku
B. Artikel
C. Majalah Ilmiah
D. Disertasi dan Data/Sumber yang Tidak Diterbitkan
E. Surat Kabar/Majalah
F. Peraturan Dasar dan Peraturan Perundang-undangan
G. Internet

INDEX
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1.
Empat Perubahan dalam Cabang
Kekuasaan Kehakiman setelah Perubahan Ketiga UUD 1945 4

Tabel 1.2.
Perbandingan Pasal-pasal Mengenai Cabang
Kekuasaan Kehakiman Sebelum dan Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945 6

Tabel 2.1.
Persesuian Antara Ketentuan Kekuasaan Kehakiman dalam
The Cairo Declaration on Human Rights in Islam dan
Universal Declaration of Human Rights 103

Tabel 2.2.
Asas-asas Moralitas Umum Profesi Hukum 135

Tabel 3.1.
Komisi Yudisial di Berbagai Negara 190

Tabel 3.2.
Keanggotaan Komisi Yudisial di Berbagai Negara 202

Tabel 3.3.
Latar Belakang Pembentukan Komisi Yudisial 210

Tabel 3.4.
Tujuan Pembentukan Komisi Yudisial 216

Tabel 3.5.
Komisi Yudisial sebagai Solusi 218

Tabel 4.1.
Tiga Perubahan Penting setelah Berlakunya
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 230

Tabel 4.2. Komisi-komisi yang Terbentuk Pasca-Orba


Sampai Tahun 2003 307

xvi
DAFTAR BAGAN

Halaman

Bagan 4.1.
Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung 247

Bagan 4.2.
Menjaga Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim 249

Bagan 4.3.
Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim 249

Bagan 4.4.
Menjaga Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim Agung 253

Bagan 4.5.
Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim Agung 253

Bagan 4.6.
Struktur Ketatanegaraan Indonesia Sebelum Perubahan UUD 1945 312

Bagan 4.7.
Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 313

xvii
Pengantar Penerbit
Mana lebih dulu: telor atau ayam? Mana lebih penting: pelaku atau struktur (dan
sistem)? Para begawan ilmu sosial sebelum Anthony Giddens biasanya terjebak pada
pilihan pada salah satu di antara keduanya. Dilengkapi dengan basis argumen yang tentu
saja “ilmiah”. Menurut Giddens, mengkritik fungsionalisme Talcott Parsons dan
strukturalisme, pilihan bukan pada salah satu di antara keduanya, juga bukan keduanya.
Melainkan pada hubungan antara keduanya. Hubungan antara keduanya ditahtakan dalam
watak dualitas, bukan dualistik (bukan dualisme). Singkat cerita, teori inilah yang
kemudian kita kenal dengan nama Teori Strukturasi.
Apa hubungannya dengan buku yang tengah Anda baca ini? Para ilmuwan hukum
kita dan di kebanyakan negara lain, ternyata tidak juga bisa membebaskan diri dari
dilema dikotomik pra-Giddens itu. Baik fungsionalisme maupun strukturalisme punya
kecenderungan menafikan peran Subjek di dalamnya. Pelaku bertindak sebagai otomaton
semata. Seolah tak ada sedikit pun ruang kreativitas bagi Subjek untuk minimal
menyadari keterpenjaraannya. Sebentuk determinisme ala Spinoza. Namun, Spinoza
sendiri pun bahkan mengakui bahwa “kesadaran” akan determinisme itu sendirilah
“kebebasan” itu. Spinoza sang determinis toh tetap menyadari adanya peluang Subjek
untuk tahu bahwa ia tahu. Dan itulah peretasan diri dari kesadaran palsu.
Buku ini tidak masuk dalam perdebatan epistemologis seperti itu. Ia hadir dengan
asumsi bahwa peran subjek memang penting dan “tidak bisa tidak” dalam sistem dan
struktur. Bahkan sistem dan struktur itu sendiri kehilangan maknanya tanpa ada pelaku
atau Subjek. Seperti kata Giddens, tidak ada “struktur” tanpa “pelaku”, demikian juga
tidak ada “tindakan” tanpa “struktur”. Buku ini mengkaji salah satu lembaga penting
(subjek institusional) yang berisikan para pelaku (subjek personal) yaitu Komisi Yudisial.
Komisi ini merupakan sebuah institusi yang sangat penting keberadaannya dalam
reformasi hukum dan penegakan keadilan di sebuah Negara. Mengapa? Karena, dengan
keyakinan akan kebenaran asumsi di atas, orang-orang yang duduk di dalamnya-lah yang
akan menentukan “aturan main” bagi terpilihnya para pendekar hukum di meja hijau di
mana keadilan dipertaruhkan pada tahap akhirnya (dari segi proses legal).
Berbicara tentang institusi penegak hukum lainnya yaitu Mahkamah Agung tanpa
Komisi Yudisial tidak bisa lari jauh dari retorika reformasi hukum yang ompong. Karena
para penentu subjek yang duduk di dalam lembaga itu tetap saja berada di bawah
pengaruh besar Negara dan kekuasaannya. Sementara, Komisi Yudisial, kendati tidak
bisa menafikan sama sekali peran kekuasaan politik Negara, ia bisa meminimalisir
kemungkinan itu. Untuk lebih jelasnya bagaimana lembaga ini bekerja, apa sumbangan
khasnya dalam reformasi hukum dan penegakan keadilan, dan bagaimana kemungkinan
penerapannya di Indonesia, kami persilahkan para pembaca terhormat untuk
menyimaknya. Selamat membaca. Lectori salutem! (ERT – Elsam)
PENGANTAR PENULIS

Saya merasa bersyukur yang sedalam-dalamnya ke hadirat Allah SWT atas selesainya karya
ini. Hanya dengan pertolongan dan petunjuk-Nya sajalah, karya ini dapat saya selesaikan.
Oleh karena itu, segala puji saya panjatkan tiada henti kepada-Nya, Yang Maha Segala-
galanya.
Berkaitan dengan topik buku ini, saya memang mempunyai ketertarikan tersendiri
dengan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman dalam struktur
ketatanegaraan, karena lembaga ini, khususnya di negara-negara yang belum mempunyai
kultur demokrasi yang mapan, selalu menjadi target intervensi kekuasaan lain di luarnya, baik
kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, maupun masyarakat sendiri. Akibatnya, kekuasaan
kehakiman tidak dapat mengimplementasikan gagasan independent and impartial judiciary
dengan sebaik-baiknya. Di Indonesia, gagasan tersebut untuk sementara masih dapat dikatakan
sebagai wishful thinking belaka, bahkan setelah enam tahun terjadinya reformasi di segala
bidang termasuk reformasi peradilan sekalipun.
Salah satu lembaga yang dianggap sebagai penopang gagasan independent and
impartial judiciary adalah Komisi Yudisial yang merupakan trend baru menjelang
pertengahan abad ke-20 di bidang kekuasaan kehakiman. Di Indonesia, Komisi Yudisial
ditetapkan secara konstitusional pada tanggal 9 November 2001 setelah Pasal 24B Perubahan
Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 mengaturnya secara eksplisit. Ditetapkannya Komisi
Yudisial – bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi – secara umum dimaksudkan untuk
memperkuat kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai salah satu
perwujudan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah
negara hukum. Dengan segala keterbatasannya, buku yang ada di tangan pembaca ini berusaha
untuk memetakan kompleksitas permasalahan seputar Komisi Yudisial, sebuah lembaga yang
masih terdengar asing di Indonesia. Materi buku ini berasal dari naskah Tesis Magister (S-2)
Program Pascasarjana Universitas Indonesia di bawah bimbingan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,
S.H.
Atas terselesaikannya karya ini, saya ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang selama ini telah ikut membantu dalam proses penyelesaian
penelitian tesis yang kemudian menjadi buku ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya saya
haturkan kepada: (1) Prof. Dr. Moh. Mahfud M.D., S.H., S.U., (2) Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, S.H., (3) Prof. Dr. Dahlan Thaib, S.H., M.Si., (4) Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H.,
(5) Safri Nugraha, S.H., LL.M., Ph.D., (6) Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H. (7) Indradi
Kusuma, S.H., (8) Drs. Munthoha, S.H., M.Ag., (9) Saifuddin, S.H., M.Hum., (10) Muh.
Kadar, S.H., M.H., (11) Novianto Murti Hantoro, S.H., M.H., (12) Mujahid A. Latief, S.H.,
M.H., (13) Imam Syaukani, S.Ag., M.H., dan (14) Abdul Razak Asri, S.H.
Kepada teman-teman seperti Bang Rizal, Mama Kesti, Ilham, Mbak Ani, Pak Made,
Oting, Fitra, Mustafa, Mbak Nadiyah, Bang Sony, Henny, Bang Sam “Jack”, Ade, Pak Akhiar,
Lina, Mbak Kiki, Mas Arief, Teh Atti, Teh Dewi, Pak Heintje, Jodi, Maryam, Anggi, Siddiq,
Pak Rambe, Mujahid, dan Babe Dailami, saya menyampaikan terima kasih atas “suasana
kekeluargaan” yang dihadirkan selama ini.
Selain itu, terima kasih juga saya sampaikan kepada Lola Fatmasari Dewi, S.H., M.H.
sebuah nama terindah yang selalu mendukung saya, memberikan pertimbangan-pertimbangan,
dan diskusi yang intensif, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.
Last but not least, saya juga wajib menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Ayahanda Umar Ali Mahsun dan Ibunda Ni’mah yang selalu memberikan bantuan
baik materiil maupun moril yang tidak terhingga, memberikan dorongan kuat agar saya segera
menyelesaikan studi, yang selalu ihlas, dan selalu mendoakan keberhasilan saya. Juga kepada
Kakanda A.M. Fikri, Adinda Rifa Muflihah, dan Adinda Ulfa Fauziyyah yang telah
memberikan dukungan baik materiil maupun moril, sehingga saya dapat menyelesaikan
perkuliahan dan penelitian dengan baik, saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya.
Saya juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) yang bersedia menerbitkan naskah penelitian tesis ini.
Buku ini tidak akan hadir dalam bentuknya seperti ini tanpa ada bantuan dari nama-nama
tersebut. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan yang setimpal. Harapan saya
adalah semoga karya ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu hukum. Karya
ini tentu banyak mengalami kekurangan-kekurangan baik secara metodologis maupun
substantif. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat saya tunggu demi
perbaikan buku ini di masa yang akan datang.

Jakarta, Agustus 2004

A. Ahsin Thohari
KATA PENGANTAR

Buku yang ditulis oleh Saudara A. Ahsin Thohari ini berasal dari tesis
S2-nya yang saya bimbing di Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. Topik penelitian yang dipilihnya tergolong sebagai topik
aktual dalam diskursus hukum tata negara Indonesia, yaitu Komisi Yudisial.
Lembaga ini baru dikenal dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia
setelah ditetapkannya Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 pada
tanggal 9 November 2001. Dengan demikian, penelitian terhadapnya memang
sangat diperlukan, khususnya dari aspek hukum tata negara.
Maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan
kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi
lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian
kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini dimaksudkan untuk
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan ke-
Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and
impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan dengan sekaligus diimbangi
oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun
dari segi etika. Untuk itu, diperlukan institusi pengawasan yang independen
terhadap para hakim itu sendiri. Karena itu, institusi pengawasan itu dibentuk di
luar struktur Mahkamah Agung, melalui mana aspirasi warga masyarakat di
luar struktur resmi dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan para hakim
agung serta dilibatkan pula dalam proses penilaian terhadap etika kerja dan
kemungkinan pemberhentian para hakim karena pelanggaran terhadap etika itu.
Pengertian independensi di sini haruslah dipahami dalam arti bebas dari
intervensi kepentingan para hakim yang kewibawaannya sendiri perlu dijaga
oleh Komisi Yudisial ini.
Dalam konteks inilah keberadaan Komisi Yudisial juga dikaitkan
dengan fungsi pengawasan yang bersifat eksternal terhadap kekuasaan
kehakiman. Keberadaan lembaga pengawas eksternal ini penting agar proses
pengawasan dapat benar-benar bertindak objektif untuk kepentingan
pengembangan sistem peradilan yang bersih, efektif dan efisien. Agar Komisi
Yudisial ini dapat benar-benar bersifat independen, maka administrasi komisi
ini sebaiknya tidak dikaitkan dengan organisasi Mahkamah Agung. Harus
diingat, orang sering salah kaprah seolah-olah “independensi” selalu harus
diartikan “berjarak terhadap pemerintah”. Padahal, dalam kaitannya dengan
fungsi Komisi Yudisial, lembaga ini harus berjarak terutama terhadap
Mahkamah Agung yang harus diawasinya, bukan terhadap lembaga lain.
Demikian pula mengenai anggaran Komisi Yudisial sebaiknya tidak

i
dimasukkan dalam satu pos anggaran Mahkamah Agung, tetapi dalam pos
anggaran Komisi Yudisial sendiri.
Sebagai lembaga baru yang belum ada presedennya, formulasi terhadap
Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia sampai saat ini
masih berada pada tahap trial and error. Oleh karena itu, saya menyambut baik
usaha Saudara A. Ahsin Thohari menerbitkan naskah tesis S-2-nya yang
diharapkan dapat memetakan beberapa persolan yang berkaitan dengan susunan
dan kedudukan Komisi Yudisial serta pelembagaannya dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia.
Demikianlah, mudah-mudahan usaha penerbitan buku ini dapat
memenuhi tujuannya. Amin.
Jakarta, Agustus 2004

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.


Guru Besar Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
dan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Gagasan Reformasi Peradilan di Indonesia

Struktur ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Pertama,1 Kedua,2 Ketiga,3 dan


Keempat4 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 berubah secara signifikan, bahkan dalam batas
tertentu sangat radikal. Perubahan ini meliputi semua cabang kekuasaan baik kekuasaan
legislatif (legislative power/pembuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (executive
power/pelaksana undang-undang) maupun kekuasaan yudikatif (judicial power/kekuasaan
kehakiman).5 Tujuan Perubahan UUD 1945 tersebut adalah menyempurnakan atau
melengkapi aturan dasar sebelumnya (UUD 1945 pra-amendemen) yang dirasakan masih jauh
dari sempurna.6

1
Perubahan Pertama ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI,
2002, hlm. 25-27. Dasar pemikiran yang melatarbelakangi dilakukannya perubahan UUD 1945 adalah (1) UUD
1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang sepenuhnya melakukan kedaulatan rakyat; (2) UUD 1945 memberikan
kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden); (3) UUD 1945 mengandung
pasal-pasal yang terlalu “luwes”, sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir); (4) UUD
1945 terlalu banyak memberikan kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan
undang-undang; dan (5) rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara belum cukup didukung
ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum,
pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia (HAM), dan otonomi daerah. Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003, hlm. 11-14.
2
Perubahan Kedua ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar..., op.
cit., hlm. 31-37.
3
Perubahan Ketiga ditetapkan pada tanggal 9 November 2001. Ibid., hlm. 41-48.
4
Perubahan Keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Ibid., hlm. 51-56.
5
Dalam bahasa Jimly Asshiddiqie, dengan empat kali perubahan tersebut, pokok-pokok pikiran yang terkandung
di dalam UUD 1945 mengalami pergeseran dan perubahan mendasar, sehingga mengubah pula corak dan format
kelembagaan serta mekanisme hubungan antara lembaga-lembaga negara yang ada. Ada organ negara yang
dihapuskan dari ketentuan UUD 1945, yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA), tetapi ada juga organ negara
yang sebelumnya tidak ada, justru diadakan menurut ketentuan UUD 1945 yang baru, seperti Mahkamah
Konstitusi (MK), sebagai organ konstitusional baru yang sederajat kedudukannya dengan Mahkamah Agung
(MA). Lihat Kata Pengantar Jimly Asshiddiqie dalam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jendral MK RI, hlm. ii.
6
Tujuan yang ingin dicapai dengan dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945 adalah menyempurnakan atau
melengkapi aturan dasar (UUD 1945) yang berkenaan dengan 7 (tujuh) hal penting, yaitu (1) tatanan negara agar
dapat lebih mantap dalam mencapai tujuan nasional; (2) jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta
memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi; (3) jaminan dan
perlindungan HAM agar sesuai dengan perkembangan paham HAM dan peradaban umat manusia yang sekaligus
merupakan syarat suatu negara hukum; (4) penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern; (5) jaminan
konstitusional; (6) penyelenggaraan negara yang sangat penting bagi eksistensi negara dan perjuangan negara
mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum; dan (7) kehidupan bernegara

1
Pada cabang kekuasaan kehakiman, terdapat empat perubahan penting. Pertama,
apabila sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945 jaminan kekuasaan kehakiman yang
merdeka hanya terdapat dalam Penjelasannya, maka setelah perubahan jaminan tersebut secara
eksplisit disebutkan dalam batang tubuh. Kedua, Mahkamah Agung dan lain-lain badan
kehakiman tidak lagi menjadi satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman (judicial power),
karena di sampingnya ada Mahkamah Konstitusi yang juga berfungsi sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman. Ketiga, adanya lembaga baru yang bersifat mandiri dalam struktur
kekuasaan kehakiman, yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keempat, adanya wewenang kekuasaan
kehakiman – dalam hal ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi – untuk melakukan pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD), memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemiliham umum (pemilu).7 Tabel 1.1 di
bawah ini akan lebih memperjelas empat perubahan yang terjadi dalam cabang kekuasaan
kehakiman setelah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945.

Tabel 1.1. Empat Perubahan dalam Cabang Kekuasaan Kehakiman setelah Perubahan
Ketiga UUD 1945

Setelah Perubahan Ketiga UUD


No. Sebelum Perubahan UUD 1945
1945
1. Jaminan kekuasaan kehakiman yang Jaminan kekuasaan kehakiman yang
merdeka hanya terdapat di dalam Penjelasan merdeka terdapat di dalam Batang Tubuh
UUD 1945. UUD 1945.

2. Mahkamah Agung dan lain-lain badan Mahkamah Agung dan lain-lain badan
kehakiman menjadi satu-satunya pelaku kehakiman tidak lagi menjadi satu-satunya
kekuasaan kehakiman (judicial power). pelaku kekuasaan kehakiman (judicial
power), karena di sampingnya ada
Mahkamah Konstitusi yang juga berfungsi
sebagai pelaku kekuasaan kehakiman.

dan berbangsa sesuai perkembangan aspirasi, kebutuhan, dan kepentigan bangsa dan negara Indonesia. Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan..., op. cit., hlm. 15-17.
7
Perubahan Ketiga UUD 1945 yang melahirkan dua lembaga baru dalam kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah
Konstitusi dan Komisi Yudisial, secara umum dimaksudkan untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai salah satu perwujudan ketentuan UUD 1945 yang menyatakan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan..., op. cit., hlm.
190-191. Keberadaan Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman mempunyai keterkaitan yang sangat
erat dengan Mahkamah Agung. Jimly Asshiddiqie, “Perspektif tentang Format Kelembagaan dan Peraturan
Republik Indonesia di Masa Depan”, Makalah disampaikan dalam Lokakarya Program Legislasi Nasional, yang
diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional bekerja sama dengan Universitas Taruma Negara, Jakarta, 29 Juli
2002, hlm. 5; Jimly Asshiddiqie, “Refleksi tentang Konsepsi dan Format Ketatanegaraan Republik Indonesia
Pascareformasi”, Makalah disampaikan dalam Pidatao Ketatanegaraan di Hadapan Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan Tokoh-tokoh Masyarakat dan LSM Se-Kabupaten Kendal, Kendal, 8 Nopember 2002, hlm.
15.

2
3. Selain Mahkamah Agung dan lain-lain badan Adanya lembaga baru yang bersifat mandiri
kehakiman tidak ada lembaga lain dalam dalam struktur kekuasaan kehakiman, yaitu
struktur kekuasaan kehakiman (judicial Komisi Yudisial yang berwenang
power). mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim.

4. UUD tidak mengatur wewenang kekuasaan Adanya wewenang kekuasaan kehakiman –


kehakiman untuk melakukan pengujian dalam hal ini dilakukan oleh Mahkamah
undang-undang terhadap Undang-Undang Konstitusi – untuk melakukan pengujian
Dasar (UUD), memutus sengketa undang-undang terhadap Undang-Undang
kewenangan lembaga negara yang Dasar (UUD), memutus sengketa
kewenangannya diberikan oleh UUD, kewenangan lembaga negara yang
memutus pembubaran partai politik, dan kewenangannya diberikan oleh UUD,
memutus perselisihan tentang hasil memutus pembubaran partai politik, dan
pemiliham umum (pemilu). memutus perselisihan tentang hasil
pemiliham umum (pemilu).

Gagasan yang terdapat dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman setelah


Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 menjadi jauh lebih kompleks daripada gagasan
Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman sebelum terjadinya perubahan terhadap Undang-
Undang Dasar 1945. Hal ini bukan saja ditunjukkan oleh membengkaknya jumlah pasal – dari
dua pasal dan dua ayat menjadi lima pasal dan delapan belas ayat – , tetapi juga ditunjukkan
oleh adanya dua lembaga baru di dalam struktur cabang kekuasaan kehakiman, yaitu
Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.8 Tabel 1.2 di bawah ini akan lebih memperjelas
perbandingan antara beberapa ketentuan yang mengatur cabang kekuasaan kehakiman
sebelum dan setelah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945.

Tabel 1.2. Perbandingan Pasal-pasal Mengenai Cabang Kekuasaan Kehakiman Sebelum


dan Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945

No. Bab IX Kekuasaan Kehakiman Bab IX Kekuasaan Kehakiman


Sebelum Perubahan UUD 1945 Setelah Perubahan Ketiga UUD
1945

8
Perubahan Ketiga UUD 1945 mencakup 8 (delapan) materi pokok, yakni (1) Bab tentang Bentuk dan
Kedaulatan; (2) Bab tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat; (3) Bab tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara;
(4) Bab tentang Dewan Perwakilan Daerah; (5) Bab tentang Pemilihan Umum; (6) Bab tentang Keuangan; (7)
Bab tentang Badan Pemeriksa Keuangan; dan (8) Bab tentang Kekuasaan Kehakiman. Arah yang dituju adalah
untuk menyempurnakan pelaksanaan kedaulatan rakyat, menyesuaikan wewenang Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR), mengatur pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, mengatur impeachment
terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden, membentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD); mengatur pemilihan
umum; meneguhkan kedudukan dan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); serta meneguhkan
kekuasaan kehakiman dengan membentuk Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia, Panduan..., op. cit., hlm. 143.

3
1. Pasal 24 ayat (1) Pasal 24 ayat (1)
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Kekuasaan kehakiman merupakan
sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain kekuasaan yang merdeka untuk
badan kehakiman menurut undang- menyelenggarakan peradilan guna
undang. menegakkan hukum dan keadilan.

2. Pasal 24 ayat (2) Pasal 24 ayat (2)


Susunan dan kekuasaan badan-badan Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
kehakiman itu diatur dengan undang- sebuah Mahkamah Agung dan badan
undang. peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.

3. Pasal 25 Pasal 24 ayat (3)


Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk Badan-badan lain yang fungsinya
diperhentikan sebagai hakim ditetapkan berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
dengan undang-undang. diatur dalam undang-undang.

4. Penjelasan Pasal 24 dan 25 Pasal 24A ayat (1)


Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan Mahkamah Agung berwenang mengadili
yang merdeka, artinya terlepas dari pada tingkat kasasi, menguji peraturan
pengaruh kekuasaan pemerintah. perundang-undangan di bawah undang-
Berhubung dengan itu, harus diadakan undang terhadap undang-undang, dan
jaminan dalam undang-undang tentang mempunyai wewenang lainnya yang
kedudukan para hakim. diberikan oleh undang-undang.

5. Pasal 24A ayat (2)


- Hakim Agung harus memiliki integritas
dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
profesional, dan berpengalaman di bidang
hukum.

6. Pasal 24A ayat (3)


Calon hakim agung diusulkan oleh
Komisi Yudisial kepada Dewan
-
Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan
persetujuan dan selanjutnya ditetapkan
sebagai hakim agung oleh Presiden.

7. Pasal 24A ayat (4)


- Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah
Agung dipilih dari dan oleh hakim agung.

8. Pasal 24A ayat (5)


Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan
hukum acara Mahkamah Agung serta

4
- badan peradilan di bawahnya diatur
dengan undang-undang.

9. Pasal 24B ayat (1)


Komisi Yudisial bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan
-
hakim agung dan mempunyai wewenang
lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim.

10. Pasal 24B ayat (2)


Anggota Komisi Yudisial harus
mempunyai pengetahuan dan pengalaman
-
di bidang hukum serta memiliki integritas
dan kepribadian yang tidak tercela.

11. Pasal 24B ayat (3)


- Anggota Komisi Yudisial diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

12. Pasal 24B ayat (4)


- Susunan, kedudukan, dan keanggotaan
Komisi Yudisial diatur dengan undang-
undang.

13. Pasal 24C ayat (1)


Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus
- sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.

14. Pasal 24C ayat (2)


Mahkamah Konstitusi wajib memberikan
putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
-
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran
oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar.

15. Pasal 24C ayat (3)


Mahkamah Konstitusi mempunyai
sembilan orang anggota hakim konstitusi

5
yang ditetapkan oleh Presiden, yang
diajukan masing-masing tiga orang oleh
-
Mahkamah Agung, tiga orang oleh
Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang
oleh Presiden.

16. Pasal 24C ayat (4)


- Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim
konstitusi.

17. Pasal 24C ayat (5)


Hakim Mahkamah Konstitusi harus
memiliki integritas dan kepribadian tidak
-
tercela, adil, negarawan yang menguasai
konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak
merangkap sebagai pejabat negara.

18. Pasal 24C ayat (6)


Pengangkatan dan pemberhentian hakim
konstitusi, hukum acara serta ketentuan
-
lainnya tentang Mahkamah Konstitusi
diatur dengan undang-undang.

19. Pasal 25
- Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk
diperhentikan sebagai hakim ditetapkan
dengan undang-undang.

Yang menjadi perhatian utama penelitian ini adalah amanat Pasal 24B Perubahan
Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 tentang pembentukan lembaga yang bernama Komisi
Yudisial9. Dalam Pasal tersebut, Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keberadaan Komisi Yudisial menjadi
penting dalam upaya pembaruan penradilan, termasuk di dalamnya menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keberadaan Komisi Yudisial ini di

9
Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 hadir karena didasari pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di
Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan dalam perjuangan
menegakkan hukum dan keadilan. Apalagi hakim agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi dalam susunan
peradilan. Sebagai negara hukum, masalah kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku seluruh hakim
merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi
paham “Indonesia adalah negara hukum”. Melalui lembaga Komisi Yudisial ini, diharapkan dapat diwujudkan
lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan
pencapaian keadilan melalui putusan hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya.
Ibid., hlm. 195.

6
masa yang akan datang diharapkan dapat menjadi salah satu mitra kerja Mahkamah Agung
untuk terus melakukan upaya-upaya dalam rangka pembaruan badan peradilan.10
Apabila dilihat dari wewenang Komisi Yudisial yang diatur dalam Pasal 24B ayat (1),
yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, maka dapat
disimpulkan bahwa selama ini ada dua persoalan mendasar yang mengakibatkan kekuasaan
kehakiman yang merdeka tidak terealisasikan dengan baik, yaitu buruknya perekrutan hakim
agung dan kurang atau tidak efektifnya lembaga yang mempunyai tugas menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat diwujudkan, salah satunya apabila
sumber daya manusia hakim agung yang mempunyai kepribadian yang tidak tercela, adil,
profesional, dan berpengalaman di bidang hukum – sebagaimana disebutkan Pasal 24A ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945 – dapat direkrut. Artinya, sistem perekrutan yang tersedia
harus menjamin terekrutnya pribadi-pribadi terbaik yang mempunyai kepribadian yang tidak
tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Oleh karena itu, sistem
perekrutan yang baik harus dibuat, yaitu sistem perekrutan yang dilakukan oleh pihak yang
netral, mempunyai kompetensi, dijalankan secara transparan, adanya pengawasan secara
efektif dalam proses perekrutan, dan adanya standar yang tepat.11 Dari sini, kemudian muncul
pertanyaan siapakah pihak yang dianggap tepat untuk melakukan perekrutan hakim,
khususnya hakim agung. Apakah perekrutan hakim, khususnya hakim agung, tidak boleh
melibatkan pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman. Apakah kekuasaan pemerintah
diperbolehkan ikut terlibat dalam proses perekrutan hakim (agung). Apabila diperbolehkan,
apakah hal ini tidak dikhawatirkan akan menjadi pintu masuk bagi kekuasaan pemerintah
untuk melakukan hegemoni dan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman.
Ketentuan-ketentuan internasional yang berkaitan dengan gagasan kekuasaan
kehakiman yang merdeka (independent judiciary) tidak melarang adanya peran pihak
eksekutif (pemerintah) dalam perekrutan hakim (agung) dengan syarat-syarat tertentu. Angka
3 huruf a International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence
mengatakan sebagai berikut:

Participation in judicial appoinments and promotions by the Executive or Legislature is not


inconsistence with judicial independence, provided that appoinments and promotions of judges

10
Lihat Kata Pengantar Bagir Manan dalam Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis dan
Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial”, naskah belum diterbitkan, Jakarta: Mahkamah Agung
Republik Indonesia, 2003, hlm. 1.
11
Dalam hal yang berkaitan dengan perekrutan hakim ini, angka 11 tentang pengangkatan hakim yang terdapat
dalam rumusan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region
mengatakan, “To enable the judiciary to achieve its objectives and perform its functions, it is essential that
judges be chosen on the basis of proven competence, integrity and independence”. Sedangkan Angka 12
mengatakan, “The mode of appoinment of judges must be such as will ensure the appoinment of persons who are
best qualified for judicial office. It must provide safeguards against improper influences being taken into account
so that only persons or competence, integrity and independence are appointed”. Law Asia Region, Beijing
Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region, as Amended at Manila, 28
August 1997.

7
are vested in a judicial body, in which members of judiciary and the legal profession form a
majority.12

Sedangkan Angka 3 Huruf b International Bar Association Code of Minimum


Standards of Judicial Independence mengatakan sebagai berikut:

Appoinments and promotions by a non-judicial body will not be considered inconsistent with
judicial independence in countries where by long historic and democratic tradition, judicial
appoinments and promotion operate satisfactorily.13

Dengan demikian, International Bar Association Code of Minimum Standadrs of


Judicial Independence tidak menganggap adanya hal yang dapat mempengaruhi kemerdekaan
kekuasaan kehakiman apabila pihak kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif ikut
berpartisipasi dalam hal pengangkatan dan promosi hakim asal saja hak untuk melakukan
pengangkatan dan promosi hakim ini terletak pada badan kehakiman (judicial body), yang
keanggotaannya terdiri dari mayoritas para hakim dan para profesional di bidang hukum.
Demikian juga, pengangkatan dan promosi hakim oleh lembaga-lembaga non-yudisial juga
tidak dianggap sebagai hal yang dapat mempengaruhi kemerdekaan kekuasaan kehakiman di
negara-negara yang telah mempunyai sejarah dan tradisi demokrasi yang panjang dan
pengangkatan dan promosi hakim yang ada telah berlangsung dengan memuaskan.
Sementara itu, Universal Declaration on the Independence of Justice menegaskan
sebagai berikut:

When the statute of a court provides that judges shall be appointed on the recommendation of a
government, such appoinment shall not be made in circumstances in which that government may
subsequently exert any influence upon the judge.14

Deklarasi Universal tentang Kemerdekaan (Kekuasaan) Kehakiman ini pada


prinsipnya tidak melarang adanya keterlibatan pihak kekuasaan pemerintah dalam proses
perekrutan hakim. Akan tetapi, hal ini harus dilakukan dengan catatan yang sangat penting,
yaitu apabila perundang-undangan tentang lembaga peradilan menetapkan bahwa para hakim
harus diangkat atas rekomendasi atau usulan dari pemerintah, maka pengangkatan ini tidak
boleh dilakukan dalam keadaan dimana pemerintah dapat menggunakan pengaruhnya untuk
mempengaruhi hakim.
Salah satu ketentuan internasional yang memberikan apresiasi terhadap kehadiran
Komisi Yudisial dalam proses perekrutan hakim adalah :Beijing Statement of Principles of the
Independence of the Judiciary in the Law Asia Region. Angka 15 ketentuan tersebut
menyatakan sebagai berikut:

12
International Bar Association, International Bar Association Code of Minimum Standars of Judicial
Independence, The Jerussalem Approved Standards as adpted in the Plenary Session of the 19th IBA Biennial
Conference held on Friday, 22nd October 1982, in New Delhi India, Angka 3 Huruf b.
13
Ibid.
14
International Judge, Universal Declaration on the Independence of Justice, unanimously adopted at the final
plenary session of the First World Conference on the Independence of Justice held at Montreal, Quebec, Canada
on June 10th 1983, Angka 1.13.

8
In some societies, the appoinment of judges, by, with the consent of, or after consultation with
Judicial Service Commission has been seen as a means of ensuring that those chosen as judges
are appropriate for the purpose. Where a Judicial Service Commission is adopted, it should
include representatives of the higher Judiciary and the independent legal profession as a means of
ensuring that judicial competence, integrity and independence are maintained.15

Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia
Region menggarisbawahi bahwa di dalam masyarakat yang mengenal Judicial Service
Commission, pengangkatan hakim-hakim oleh, dengan persetujuan, atau setelah berkonsultasi
terlebih dahulu dengan Judicial Service Commission dianggap sebagai mekanisme untuk
menjamin bahwa hakim-hakim yang terpilih adalah hakim-hakim yang pantas atau sesuai
untuk tujuan-tujuan yang akan dicapai. Selain itu, juga ditegaskan bahwa keanggotaan Komisi
Yudisial harus diisi oleh orang-orang yang mewakili hakim-hakim tertinggi dan orang-orang
yang berprofesi hukum yang independen sebagai instrumen untuk menjamin terpeliharanya
kompetensi, integritas, dan independensi kehakiman.
Sedangkan untuk masyarakat yang tidak mengenal Judicial Service Commission,
Angka 16 Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia
Region menegaskan sebagai berikut: “In the absence of a Judicial Service Commission, the
procedures for appoinment of judges should be clearly defined and formalised and
information about them should be available to the public”.16

Dengan demikian, di dalam masyarakat yang tidak mengenal lembaga Judicial Service
Commission, tata cara pengangkatan hakim-hakim harus ditentukan dan disusun dengan jelas
dan informasi tentang hal itu harus tersedia bagi masyarakat luas. Sedangkan promosi hakim-
hakim harus didasarkan pada penilaian yang objektif terhadap faktor-faktor seperti
kompetensi, integritas, independensi, dan pengalamannya. Tentang hal ini, Angka 17 Beijing
Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region
menyatakan, “Promotion of judges must be based on an objective assessment of factors such
as competence, integrity, independence and experience”.17
Beberapa ketentuan di atas, memang tidak melarang adanya peran pihak eksekutif
dalam proses perekrutan hakim-hakim yang dibutuhkan dalam suatu negara. Akan tetapi,
seluruh ketentuan internasional yang telah disebut di atas lebih merekomendasikan pemberian
kekuasaan perekrutan hakim-hakim pada lembaga independen atau pada lembaga peradilan itu
sendiri. Hal yang relatif hampir sama berlaku pula dalam hal pengawasan, pendisiplinan,
mutasi dan promosi.18
Objek utama penelitian ini adalah lembaga yang di Indonesia dikenal dengan nama
Komisi Yudisial.19 Dewasa ini diskursus tentang Komisi Yudisial di berbagai belahan dunia

15
Law Asia Region, op. cit., Angka 15.
16
Ibid., Angka 16.
17
Ibid., Angka 17.
18
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi
Peradilan (LeIP), “Position Paper: Menuju Independensi Peradilan”, Jakarta: Indonesian Center for
Environmental Law [ICEL] dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan [LeIP], 1999, hlm.
39.
19
Di Indonesia, penyebutan istilah Komisi Yudisial dimulai pada saat ditetapkannya Undang-undang Nomor 25
Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004. Republik Indonesia,
Undang-undang tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004, UU No. 25 Tahun

9
masih sangat aktual, karena Komisi Yudisial merupakan kecenderungan (trend) yang terjadi di
abad ke-20 sebagai bagian dari paket reformasi peradilan.20
Terdapat beberapa asumsi dasar yang dapat diajukan sebagai argumen utama bagi
sebab wujudnya (raison d’etre) Komisi Yudisial di dalam suatu negara hukum21 baik dalam
tradisi Rechtsstaat maupun Rule of Law, yaitu pertama, Komisi Yudisial dibentuk agar dapat
melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-
unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara
internal saja22; kedua, Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara
kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang
tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh
kekuasaan apa pun juga khususnya kekuasaan pemerintah;23 ketiga, dengan adanya Komisi
Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman (judicial power) akan semakin
tinggi dalam banyak hal, baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring hakim agung
maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman;24 keempat, terjaganya konsistensi

2000, LN No. 206 Tahun 2000. Komisi Yudisial mendapatkan pengakuan konstitusional setelah Perubahan
Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001 mengaturnya dalam Pasal
24B. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara..., op. cit., hlm. 47
dan 72.
20
Paket reformasi di bidang peradilan berkaitan dengan struktur dan administrasi lembaga peradilan. James A.
Gazell mengatakan, “Reformers have sought to change the structure and administration of state courts for most
of the twentieth century.” James A. Gazell, The Future of State Court Management, Port Washington, N.Y.:
Kennicat Press, 1978, hlm. 5-27.
21
Dalam kepustakaan hukum Indonesia, istilah negara hukum merupakan terjemahan langsung dari istilah
Rechtsstaat. Padmo Wahjono, Pembakuan Istilah Hukum, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1975,
hlm. 193; O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1970, hlm. 27.
22
Monitoring secara internal dikhawatirkan menimbulkan semangat korps (l’esprit de corps), sehingga
objektivitasnya sangat diragukan. Hal ini menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas pengembangan profesi
hukum. Menurut rekomendasi kebijakan reformasi hukum yang pernah dibuat oleh Komisi Hukum Nasional
Republik Indonesia, beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas pengembangan profesi hukum adalah
(1) tidak berjalannya sistem kontrol dan pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat; (2) organisasi
profesi tidak menyediakan sarana dan prosedur yang mudah diakses oleh masyarakat untuk menyampaikan
keluhan, sementara dewan-dewan kehormatan yang ada juga tidak tanggap menerima keluhan masyarakat; (3)
rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai substansi kode etik profesi hukum akibat buruknya sosialisasi dan
pihak profesi itu sendiri; (4) belum terbentuknya budaya dan kesadaran dari para pengemban profesi hukum itu
sendiri untuk menjaga martabat luhur dari profesinya; dan (5) tidak adanya kesadaran etis dan moral di antara
para pengemban profesi bahwa mentaati keputusan dewan kehormatan profesi merupakan salah satu faktor
penting dalam menjaga martabat profesi. Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Kebijakan Reformasi
Hukum (Suatu Rekomendasi), Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003, hlm. 164; National
Law Commission of the Republic of Indonesia, Law Reform Policies (Recommendations), Jakarta: National Law
Commission of the Republic of Indonesia, 2003, hlm. 147.
23
Kemandirian kekuasaan kehakiman akan terancam apabila kekuasaan kehakiman harus mengurus
kepentingannya (khususnya yang berkaitan dengan keuangan) sendiri tanpa ada lembaga lain yang berfungsi
sebagai mediator, karena di sini terdapat pola hubungan pertanggungjawaban dan subordinated. Dengan kondisi
ini, kekuasaan kehakiman akan tersubordinasi dan terkooptasi oleh kekuasaan lain di luarnya. Alasan ini juga
yang tampaknya menjadi salah satu landasan pemikiran pembentukan Komisi Yudisial di berbagai negara.
24
Asumsi yang dapat dikemukakan dalam poin ketiga yang menjadi sebab wujudnya Komisi Yudisial ini adalah
kekuasaan kehakiman tidak lagi disibukkan dengan tugas-tugas yang bersifat teknis non-hukum seperti
rekruitmen dan monitoring hakim agung serta pengelolaan keuangan. Kekuasaan kehakiman dapat mencurahkan
seluruh perhatiannya dengan berkonsentrasi pada penyelesaian-penyelesaian perkara hukum yang masuk,
sehingga energi kekuasaan kehakiman tidak habis hanya untuk mengurusi persoalan-persoalan teknis non-hukum,

10
putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan selalu memperoleh penilaian dan
pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi Yudisial); dan kelima, dengan
adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (judicial power)25 dapat terus
terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan hakim agung dapat diminimalisasi dengan
adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak
mempunyai kepentingan politik.
Dalam konteks Indonesia, kehadiran lembaga yang mempunyai fungsi dan tugas yang
kurang lebih sama dengan Komisi Yudisial sudah lama diperjuangkan oleh beberapa orang
yang concern terhadap dunia peradilan. Akan tetapi, perjuangan tersebut selalu menemui
kegagalan, karena iklim politik pada saat itu belum terlalu kondusif bagi ide-ide progresif
seperti itu. Dalam perkembangannya, perjuangan tersebut kemudian mulai mendapatkan titik
terang. Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi
Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai
Haluan Negara26 adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi tonggak utama yang
memungkinkan diterimanya gagasan-gagasan progresif dalam dunia peradilan. Bab IX huruf c
ketetapan MPR tersebut menyatakan perlunya segera diwujudkan pemisahan yang tegas antara
fungsi-fungsi eksekutif dan yudikatif. Akhirnya perjuangan tersebut menemui keberhasilan
ketika Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(PROPENAS) Tahun 2000-2004 mengakomodasi gagasan tersebut dengan menyebut secara
eksplisit istilah Komisi Yudisial. Setelah itu, Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang
Dasar 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001 menjadi payung konstitusional
bagi eksistensi Komisi Yudisial.
Terdapat penyebutan yang berbeda-beda di berbagai negara terhadap lembaga yang
kurang lebih sama dengan Komisi Yudisial. Di beberapa negara, istilah Komisi Yudisial
disebut secara eksplisit di dalam konstitusinya. Meskipun penyebutan lembaga tersebut
berbeda-beda di berbagai negara, tetapi lembaga-lembaga tersebut secara substantif kurang
lebih mempunyai tugas dan wewenang yang sama dengan lembaga yang di Indonesia disebut
dengan Komisi Yudisial. Perbedaan-perbedaan tersebut diakibatkan adanya perbedaan
sirkumstansi politik dan sosio-kultural masing-masing negara yang kemudian memberikan
warna yang seringkali tidak sama dan bahkan unik di negara yang bersangkutan.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa munculnya lembaga yang di Indonesia dikenal
dengan nama Komisi Yudisial merupakan fenomena ketatanegaraan di bidang kekuasaan
kehakiman (judicial power) yang relatif baru. Demikian pula di negara-negara lain, sejarah
pembentukan Komisi Yudisial belum terlalu lama. Di Eropa, negara yang pertama kali

tetapi dapat digunakan untuk kepentingan-kepentingan lain yang lebih substantif seperti mengadakan upaya-
upaya untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya dalam memutus suatu perkara.
25
Yang dimaksud dengan kemandirian kekuasaan kehakiman di sini adalah kemandirian dalam segala bentuknya.
Menurut B.J. van Heyst, kemandirian kekuasaan kehakiman dapat dibedakan dalam empat bentuk, yaitu (1)
constitutional independence, i.e., independence from executive (the separation of power); (2) personal
independence, i.e., the independence of individual members of the judiciary based on the safeguards surrounding
their tenure of office and removal from office (they are in principle appointed for life and appointed and receive a
salary fixed by law); (3) statutory independence, i.e., the statutory scope which judges have for reaching
decisions; and (4) substantive independence, the extent to which judges actually feel themeselves free to arrive at
a given decision. B.J. van Heyst, “The Netherlands”, dalam Shimon Shetreet dan Jules Deschenes, eds., Judicial
Independence: The Contemporary Debate, Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers: 1985, hlm. 240.
26
Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hasil Sidang
Istimewa Tahun 1998, Jakarta: Sekretariat MPR RI, 1998, hlm. 38.

11
membentuk Komisi Yudisial adalah Prancis pada tahun 1946. Setelah itu, Italia juga
membentuk Komisi Yudisial pada 1947, Swedia pada 1975, Irlandia pada 1998, Denmark dan
Ceko pada 1999, dan Belanda pada 2002. Dengan demikian, Komisi Yudisial belum memiliki
tradisi yang lama seperti lembaga-lembaga negara lainnya.27 Oleh karena itu, belum banyak
studi tentang Komisi Yudisial yang dilakukan oleh para ahli. Sepanjang pengetahuan peneliti,
baru terdapat satu studi yang cukup komprehensif di bidang Komisi Yudisial, yaitu studi yang
dilakukan oleh ahli hukum Belanda Wim Voermans. Pada tahun 1999, Voermans melakukan
penelitian terhadap Komisi Yudisial yang terdapat di berbagai negara Uni Eropa. Pada
mulanya, penelitian Komisi Yudisial yang dilakukan oleh Voermans merupakan permintaan
yang datang dari pemerintah Belanda yang berniat untuk membentuk Komisi Yudisial sebagai
bagian dari reformasi di bidang kekuasaan kehakiman (judicial power).
Hasil studi Voermans tersebut kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul
Council for the Judiciary in EU Countries.28 Buku ini banyak mengelaborasi beberapa temuan
yang sangat menarik dan mempunyai tingkat orisinalitas yang cukup tinggi. Terdapat beberapa
kesimpulan penting yang menarik dari penelitian Voermans. Pertama, Komisi Yudisial di
negara-negara Eropa Selatan seperti Prancis,29 Italia,30 Spanyol,31 dan Potugal32 cenderung

27
Apabila dibandingkan dengan Mahkamah Konstitusi misalnya, maka akan tampak adanya disparitas tradisi
yang cukup nyata. Mahkamah Konstitusi sudah mempunyai tradisi yang lebih panjang daripada Komisi Yudisial.
Oleh karena itu, sangat wajar studi tentang Mahkamah Konstitusi sudah cukup banyak dan memadai
dibandingkan dengan studi tentang Komisi Yudisial. Negara yang dianggap sebagai pelopor dalam pembentukan
Mahkamah Konstitusi adalah Austria pada tahun 1920. Tentang hal ini, lihat misalnya Mary Ann Glendon,
Michael Wallace Gordon, dan Christopher Osakwe, Comparative Legal Traditions: Texts, Material and Cases,
St. Paul, Minn.: West Publishing Company, 1985, hlm. 70. Sedangkan di Amerika Serikat tradisi judicial review
tidak diserahkan pada lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi, tetapi pada lembaga yang telah ada, yaitu
Mahkamah Agung. Tradisi judicial review ini dimulai oleh John Marshall dalam kasus Marbury Versus Madison
pada tahun 1803. Lihat misalnya Sylvia Snowiss, Judicial Review and the Law of the Constitution, New Haven:
Yale University Press, 1990, hlm. 45 dan seterusnya. Dengan kenyataan singkatnya tradisi Komisi Yudisial
tersebut, sangat wajar apabila studi atau sekadar wacana tentang Komisi Yudisial belum banyak dilakukan oleh
para ahli. Kondisi ini mengakibatkan referensi di bidang Komisi Yudisial masih sangat langka.
28
Wim Voermans, Council for the Judiciary in EU Countries, translated by Pena Language Services, Brussels:
TAIEX-Office of the EU Commission, 1999. Buku ini sudah hadir dalam edisi bahasa Indonesia dengan judul
Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa, diterjemahkan oleh Adi Nugroho dan M. Zaki Hussein, Jakarta:
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan-LeIP, 2002.
29
Di Prancis, Komisi Yudisial disebut dengan istilah The Conseil Superieur de la Magistrature. Lembaga ini
dibentuk sejak tahun 1946 dengan susunan Presiden sebagai Ketua; Menteri Kehakiman sebagai Wakil Ketua;
dan 12 anggota diangkat oleh Kepala Negara. Lembaga ini mempunyai wewenang mengangkat, mengawasi
kedisiplinan, dan promosi hakim. Ibid., hlm. 12.
30
Di Italia, Komisi Yudisial disebut Consiglio Superiore della Magistratura, atau dalam bahasa inggris: (The
Superior Council of the Judiciary). Lembaga ini mempunyai wewenang yang mirip dengan The Conseil
Superieur de la Magistrature di Prancis yang juga diketuai oleh Presiden. Anggota lembaga ini terdiri dari Ketua
Mahkamah Agung, Jaksa Agung, dan 12 anggota yang diangkat oleh dan dari organisasi hakim serta 10 ahli
hukum yang dipilih oleh Parlemen. Wewenang lembaga ini adalah mengangkat hakim, promosi, mutasi,
pengangkatan petugas peradilan umum, dan pendisiplinan hakim. Ibid.
31
Di Spanyol, Komisi Yudisial disebut El Consejo General del Poder Judicial, atau dalam bahasa inggris: (The
General Council of the Judicial Power). Lembaga ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua dan 20
orang anggota yang diangkat oleh Kepala Negara atas rekomendasi Parlemen untuk masa jabatan lima tahun. 12
orang dari anggota tersebut berasal dari lingkungan hakim dan 8 orang dari pengacara atau ahli hukum lainnya.
Wewenangnya adalah menyangkut pengangkatan, promosi, mutasi, dan pengawasan melalui inspeksi dan
prosedur pendisiplinan hakim. Ibid.

12
mempunyai kewenangan yang terbatas, yaitu meliputi rekruitmen, mutasi, promosi, dan
pengawasan serta pendisiplinan hakim. Sementara itu, Komisi Yudisial di negara-negara
Eropa Barat seperti Swedia,33 Irlandia,34 dan Denmark35 cenderung mempunyai kewenangan
yang cukup luas. Selain mempunyai kewenangan yang meliputi rekruitmen, mutasi, promosi,
dan pengawasan serta pendisiplinan hakim, Komisi Yudisial di negara-negara tersebut juga
mempunyai kewenangan melakukan pengawasan terhadap administrasi pengadilan, keuangan,
dan manajemen perkara. Selain itu, juga mempunyai kewenangan yang berkaitan dengan
manajemen yang berkaitan dengan infrastruktur hakim seperti perumahan dan
pendidikannya.36
Selain buku yang ditulis oleh Wim Voermanss ini, buku yang berkaitan dengan
lembaga yang bernama Komisi Yudisial masih sangat kurang. Kalaupun ada masih berupa
makalah-makalah yang disampaikan dalam berbagai kesempatan atau artikel di media massa
yang pembahasannya masih belum menggambarkan secara utuh sosok Komisi Yudisial dalam
struktur ketatanegaraan khususnya di bidang cabang kekuasaan yudikatif, sehingga masih ada
beberapa persoalan yang tersisa dan belum terelaborasi secukupnya. Kecenderungan

32
Di Portugal, Komisi Yudisial disebut Coselho Superior da Magistratura atau dalam bahasa inggris: (The
Higher Council of the Bench). Lembaga ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua dan 16 anggota
yang 2 orang di antaranya diangkat oleh Kepala Negara, 7 orang oleh Parlemen, dan 7 orang lainnya oleh dan
dari organisasi peradilan. Di Spanyol, Kejaksaan tidak memiliki wakil dalam Komisi Yudisial. Wewenangnya
adalah menyangkut promosi dan mutasi hakim. Ibid., hlm. 13.
33
Di Swedia, Komisi Yudisial disebut Dolmstolsverket yang berdiri sejak tahun 1975. Lembaga ini didirikan
sebagai sebuah badan administratif independen yang dipimpin oleh seorang direktur jendral. Wewenang eksekutif
lembaga ini terletak pada Ketua yang terdiri dari 4 (empat) orang hakim, 2 (dua) orang anggota parlemen, 1 (satu)
orang pengacara, 1 (satu) orang wakil serikat pekerja. Wewenangnya meliputi tugas-tugas administratif yang
berkaitan dengan perencanaan dan pengalokasian anggaran nasional untuk pengadilan-pengadilan dan fungsi
manajerial lain seperti memberikan dukungan kepada pengadilan dalam bidang manajemen personalia, pelatihan,
perumahan, komputerisasi (yang meliputi sistem administrasi bisnis, data base yuriprudensi, dll.), dan
bertanggung jawab atas laporan pemakaian anggaran. Selain itu, lembaga ini juga mempunyai wewenang
menyangkut promosi dan mutasi hakim. Ibid.
34
Di Irlandia, Komisi Yudisial disebut Courts Service yang berdiri sejak 16 April 1998 yang saat ini masih
bersifat sementara. Lembaga ini dipimpin oleh Ketua Pejabat Eksekutif, 9 (sembilan) orang anggota lembaga
peradilan, Jaksa Agung, 2 (dua) orang pengacara, anggota eselon administratif, dan staf pengadilan lainnya
(panitera dan staf lainnya), 1 (satu) orang jaksa, 1 (satu) orang anggota yang mewakili kepentingan para
pengguna jasa pengadilan, dan 1 (satu) orang anggota yang ditunjuk oleh perserikatan hakim dan ahli hukum.
Wewenangnya meliputi bidang administrasi dan manajemen pengadilan, termasuk pendistribusian anggaran,
pengawasan atas pengeluaran anggaran oleh pengadilan-pengadilan, pengadaan staf pendukung bagi hakim,
hubungan eksternal (termasuk informasi publik), tanggung jawab perumahan, pemeliharaan infrastruktur
pengadilan, program pelatihan, penyediaan informasi dan bertanggung jawab mengenai data yang berhubungan
dengan proses pengadilan, merumuskan laporan tahunan serta rencana kebijakan strategis dan memberi nasihat
kepada Menteri Kehakiman mengenai masalah yang berkaitan dengan lembaga peradilan. Ibid., hlm. 14.
35
Di Denmark, Komisi Yudisial disebut dengan Domstolsstyrelsen yang berdiri sejak 26 Juni 1999, dan saat ini
masih bersifat sementara. Lembaga ini dipimpin oleh seorang direktur dan sebuah kepengurusan dengan anggota
yang berjumlah lima (5) orang dari tingkatan pengadilan yang berbeda, dua (2) orang anggota dari kalangan staf
pengadilan, dua (2) orang dari departemen pendukung, satu (1) orang pengacara, dan dua (2) orang yang
mempunyai keahlian di bidang manajemen. Lembaga ini, selain membantu The Juridical Appointments Council
(suatu lembaga yang terpisah), juga mempunyai wewenang dalam bidang penganggaran, menyusun rencana
kebijakan strategis yang berkaitan dengan pengadilan, pendistribusian anggaran kepada pengadilan-pengadiloan,
memeriksa pengeluaran, menyusun laporan tahunan, dan wewenang umum lainnya dalam bidang pengelolaan
pengadilan. Ibid., hlm. 14-15.
36
Ibid., hlm. 10.

13
langkanya penelitian tentang Komisi Yudisial semakin nyata apabila diarahkan ke Indonesia.
Di Indonesia, penelitian tentang Komisi Yudisial masih sebatas berbentuk makalah yang
disampaikan di berbagai seminar dan artikel berbagai media massa. Hal ini dapat dimengerti
mengingat Komisi Yudisial merupakan fenomena ketatanegaraan di bidang kekuasaan
kehakiman yang relatif baru.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat tiga hal yang menjadi titik berat perhatian dan
karenanya menjadi masalah yang signifikan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Studi mengenai Komisi Yudisial belum banyak dilakukan oleh para ahli baik asing
maupun domestik, padahal Komisi Yudisial mempunyai peran yang sangat penting
(significant role) dalam rangka menciptakan efisiensi dan efektivitas kemandirian
kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan-kekuasaan lain di
luarnya, seperti kekuasaan eksekutif, legislatif, politik, ekonomi atau masyarakat
lainnya. Dengan adanya Komisi Yudisial, beberapa persoalan teknis kekuasaan
kehakiman yang semula sangat birokratis karena melibatkan banyak institusi
seperti Departemen Kehakiman, Parlemen, Presiden, dan Mahkamah Agung dapat
diputus mata rantainya, sehingga peluang terjadinya pengaruh-pengaruh tertentu
terhadap kemandiriannya dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi.
2. Studi yang telah dilakukan oleh Wim Voermans yang kemudian diterbitkan dengan
judul Council for the Judiciary in EU Countries lebih merupakan studi
perbandingan yang bersifat deskriptif-normatif. Oleh karena itu, studi tersebut
hanya memberikan gambaran umum mengenai Komisi Yudisial di enam negara
Uni Eropa yang diteliti, yakni Swedia, Republik Irlandia, Denmark, Prancis, Italia,
dan Ceko yang terdapat dalam hukum positif masing-masing negara. Hal ini dapat
dipahami, karena studi Voermans terutama sekali bertujuan untuk memperoleh
konsep dan gambaran Komisi Yudisial yang dianggap ideal dan kemudian
diterapkan di Belanda dengan mempelajari kelemahan dan kelebihan di enam
negara tersebut.
3. Studi yang telah dilakukan oleh Wim Voermans masih belum memberikan
gambaran umum yang komprehensif tentang trend Komisi Yudisial di dunia karena
studi perbandingannya hanya dilakukan di enam negara Uni Eropa sebagai
sampelnya. Sedikitnya negara yang diteliti ini mengakibatkan sebagian
kesimpulannya patut diverifikasi kembali secara lebih mendalam dengan
melibatkan lebih banyak negara yang diteliti. Sebagai contoh, kesimpulannya
tentang dikotomi Komisi Yudisial di negara-negara Eropa Selatan dan Eropa Utara.
Menurut Wim voermans, Komisi Yudisial di Eropa Selatan seperti Prancis, Italia,
Spanyol, dan Potugal cenderung mempunyai kewenangan yang terbatas, sedangkan
di Eropa Barat seperti Swedia, Irlandia, dan Denmark cenderung mempunyai
kewenangan yang lebih luas.37
Sehubungan dengan uraian latar belakang di atas, penelitian ini akan mengambil tema
“Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan”. Penelitian ini diharapkan mampu memetakan
kompleksitas permasalahan Komisi Yudisial dengan mempelajari alasan utama yang menjadi
penyebab munculnya Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan suatu negara, peran-
peran yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam rangka menciptakan kemandirian
kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain di luarnya, dan
37
Voermans, op. cit., hlm. 10.

14
kecenderungan-kecenderungan umum pengaturan-pengaturan di berbagai negara yang
mempunyai Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraannya, lebih khusus lagi dalam
struktur kekuasaan kehakimannya.

B. Beberapa Permasalahan

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang masalah di atas, peneliti
membuat kesimpulan bahwa studi terhadap Komisi Yudisial yang dilakukan masih sangat
langka atau sekurang-kurangnya belum terlalu banyak menjadi perhatian para ahli hukum
khususnya yang mempunyai perhatian khusus di bidang hukum tata negara. Kelangkaan ini
merupakan akibat dari setidaknya dua fakta empiris, yaitu pertama, Komisi Yudisial
merupakan fenomena ketatanegaraan yang relatif baru atau sekurang-kurangnya belum
mempunyai tradisi kemapanan (establishment), sehingga kehadirannya dalam bentuk yang
ideal masih terus berada dalam tingkat pencarian formulasi yang sebaik-baiknya; dan kedua,
banyak sekali negara yang sistem ketatanegaraannya tidak atau belum mengenal Komisi
Yudisial, karena tugas-tugasnya telah ditangani oleh lembaga-lembaga yang telah dikenal
sebelumnya seperti Departemen Kehakiman (dalam hal administrasi dan keuangan), Presiden
dengan mempertimbangkan usulan Parlemen (dalam hal pengangkatan), dan Mahkamah
Agung (dalam hal menjadi dewan kehormatan apabila terjadi tindakan indisipliner yang
dilakukan oleh hakim). Dengan merujuk pada keterangan yang telah dijelaskan di atas, peneliti
mengemukakan identifikasi masalah yang diteliti sebagai berikut:
1. Apakah alasan utama yang menjadi penyebab munculnya gagasan Komisi Yudisial
dalam struktur ketatanegaraan suatu negara?
2. Apakah peran-peran yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam rangka
menciptakan kemandirian kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh
kekuasaan lain di luarnya?
3. Bagaimanakah sebaiknya pelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia?

Dengan demikian, penelitian ini membatasi diri pada studi tentang sebab-sebab
munculnya gagasan Komisi Yudisial di berbagai negara, peran-peran yang dapat dilakukan
oleh Komisi Yudisial dalam rangka menciptakan kemandirian kekuasaan kehakiman yang
bebas dari pengaruh kekuasaan lain di luarnya, dan kecenderungan-kecenderungan umum
pengaturan-pengaturan di berbagai negara yang mempunyai lembaga yang kurang lebih
mempunyai tugas yang sama dengan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraannya.

C. Urgensi Penelitian

Beberapa permasalahan tersebut di atas menurut peneliti perlu dan mendesak diteliti
dengan maksud untuk:
1. Mengetahui alasan utama yang menjadi penyebab munculnya gagasan Komisi
Yudisial dalam struktur ketatanegaraan suatu negara;
2. Mengetahui peran-peran yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam rangka
menciptakan kemandirian kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh
kekuasaan lain di luarnya; dan

15
3. Mengetahui kecenderungan-kecenderungan umum pengaturan-pengaturan di
berbagai negara yang mempunyai Komisi Yudisial dalam struktur
ketatanegaraannya.

Sehubungan dengan 3 (tiga) hal urgen tersebut, setiap usaha-usaha yang terdapat di
dalam penelitian ini selalu diarahkan untuk mengetahui:
1. Alasan utama yang menjadi penyebab munculnya gagasan Komisi Yudisial dalam
struktur ketatanegaraan suatu negara;
2. Peran-peran yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam rangka menciptakan
kemandirian kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain di
luarnya; dan
3. Kecenderungan-kecenderungan umum pengaturan-pengaturan di berbagai negara
yang mempunyai Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraannya.

Keenam maksud dan tujuan tersebut di atas sangat penting dan mendesak untuk diteliti
mengingat Komisi Yudisial merupakan lembaga baru yang belum ada presedennya dalam
struktur ketatanegaraan Indonesia, sehingga proses trial and error tidak dapat dihindarkan lagi
dalam pelaksanaannya. Penelitian ini diharapkan mampu memetakan kompleksitas
permasalahan Komisi Yudisial dengan mempelajari alasan utama yang menjadi penyebab
munculnya Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan suatu negara, peran-peran yang
dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam rangka menciptakan kemandirian kekuasaan
kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain di luarnya, dan kecenderungan-
kecenderungan umum pengaturan-pengaturan di berbagai negara yang mempunyai Komisi
Yudisial dalam struktur ketatanegaraannya.38

D. Perspektif Teori dan Beberapa Terminologi

1. Perspektif Teori

a. Reformasi di Bidang Hukum dan Peradilan

Sebelum membicarakan reformasi di bidang hukum dan peradilan, peneliti terlebih


dahulu akan memaparkan sedikit latar belakang sebelum munculnya gagasan tersebut. Dalam
khazanah politik Indonesia, ada sebuah era yang disebut dengan era reformasi. Era reformasi
ini dipergunakan untuk merujuk pada masa pasca-berhentinya Jendral (Purn.) Soeharto
sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) pada tanggal 21 Mei 1998. Berhentinya Soeharto
antara lain karena protes yang bertubi-tubi dan terus-menerus dari rakyat pada umumnya dan
para mahasiswa pada khususnya, di tengah-tengah merosotnya keadaan sosial dan ekonomi.39

38
Proses trail and error semakin tampak nyata apabila melihat Rancangan Undang-Undang tentang Komisi
Yudisial, khususnya versi Dewan Perwakilan Rakyat yang dapat dikatakan dibuat secara sederhana, sehingga
justru mengecilkan arti keberadaan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Lihat Dewan
Perwakilan Rakyat, “Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial”, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, 2002.
39
Tentang hal ini, lihat misalnya Donald K. Emmerson, ed., Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi,
Masyarakat, Transisi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, bekerja sama dengan The Asia Fondation, 2001,
hlm. xi.

16
Kemudian, Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik sebagai Presiden untuk menggantikan
Soeharto.
Selanjutnya, era ini kemudian ditandai dengan pembentukan Kabinet Reformasi
Pembangunan. Akan tetapi, Kabinet Reformasi Pembangunan ini tidak berlangsung lama,
karena tiga belas bulan kemudian, diselenggarakanlah Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 1999
yang dianggap sebagai salah satu pemilu yang paling demokratis selain Pemilu Tahun 1955.40
Setelah satu setengah tahun berkuasa, Presiden B.J. Habibie harus meletakkan jabatannya,
karena pertanggungjawabannya ditolak oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam
Sidang Umumnya pada tanggal 19 Oktober 1999.41
MPR kemudian mengangkat Abdurrahman Wahid yang menggantikan B.J. Habibie
sebagai Presiden RI42 dan Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden RI.43 Hal ini
terjadi setelah diadakan penyempurnaan terhadap Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1973
tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia44 menjadi
Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/1999 tentang Tatacara Pencalonan dan Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden Republik Indonesia.45
Menjelang tahun 1998, kata “reformasi” tiba-tiba menjadi hangat dibicarakan.
“Reformasi ekonomi”, “reformasi struktural”, dan “reformasi politik” menjadi bahan diskursus
berbagai kalangan, baik kalangan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), kampus,
hingga rakyat jelata. Pada intinya, semua pihak mendambakan reformasi yang segera agar
dapat keluar dari himpitan krisis ekonomi pada saat itu.46
Seiring dengan gagasan reformasi total, gagasan tentang perlunya “reformasi hukum”
juga tidak kalah serunya. Pelaksanaan reformasi hukum47 telah mendapatkan landasan yang
cukup kuat, karena peraturan perundang-undangan yang mengaturnya adalah Ketetapan MPR,
yaitu Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun

40
Uraian tentang era reformasi ini lebih lanjut dapat diperiksa dalam Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam
Transisi Politik di Indonesia, Cet. I, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2003, hlm. 57-60.
41
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/1999 tentang Pertanggungjawaban Presiden
Republik Indonesia Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Hasil Sidang Umum MPR RI
Tahun 1999, Jakarta: Sekretariat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 1999, hlm. 45-50.
42
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik
Indonesia dalam Ibid., hlm. 97-101.
43
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VIII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Wakil Presiden
Republik Indonesia dalam Ibid., hlm. 103-107.
44
Departemen Penerangan Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Tahun 1973, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978, hlm. 47-54.
45
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik
Indonesia Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999, op. cit., hlm. 89-96.
46
Satya Arinanto, “Reformasi Hukum, Demokrasi, dan Hak-hak Asasi Manusia”, Hukum dan Pembangunan,
Nomor 1-3, Tahun XXVIII, Januari-Juni 1998, hlm. 124-125.
47
Menurut Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, bentuk-bentuk reformasi hukum dikelompokkan
menjadi 7 (tujuh), yaitu (1) kajian dan forum ilmiah; (2) perancangan peraturan; (3) implementasi peraturan; (4)
pelatihan hukum (5) advokasi dan kesadaran masyarakat; (6) lembaga hukum; dan (7) penyusunan rencana.
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Peta Reformasi Hukum di Indonesia 1999-2001: Transisi di Bawah
Bayang-bayang Negara, Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2002, hlm. 35.

17
1999-200448 yang dapat dikatakan lebih maju daripada Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) 199349 dan GBHN 1998.50
Reformasi hukum dalam pengertian legal policy secara komprehensif memiliki tolok
ukur 10 (sepuluh) butir arahan GBHN sebagimana disebutkan di dalam Ketetapan MPR
Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004. Kesepuluh
butir arahan tersebut adalah:
1) Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya
kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya
negara hukum.
2) Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui
dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-
undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk
ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi.
3) Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum,
keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia.
4) Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang berkaitan dengan hak
asasi manusia sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk
undang-undang.
5) Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum,
termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk menumbuhkan
kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan
prasarana hukum, pendidikan serta pengawasan yang efektif.
6) Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa
dan pihak mana pun.
7) Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan
perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan
kepentingan nasional.
8) Menyelenggarkan proses peradilan secara tepat, mudah, murah, dan terbuka, serta
bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan
dan kebenaran.
9) Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan perlindungan,
penghormatan, dan penegakan hak asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan.
10) Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak
asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas.

Beberapa aspek yang ditekankan dalam GBHN Tahun 1999-2004 tersebut antara lain,
sebagaimana disebutkan dalam Angka 5, berkaitan dengan peningkatan integritas moral dan
keprofesionalan aparat penegak hukum, untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan

48
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik
Indonesia Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999, op. cit., hlm. 64.
49
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan MPR RI Beserta Susunan
Kabinet Pembangunan VI, Semarang: Aneka Ilmu, 1993, hlm. 11-133.
50
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Tahun 1998, op. cit., hlm. 137-142.

18
meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan serta
pengawasan yang efektif. Sedangkan Angka 6 menunjukkan adanya tekad untuk mewujudkan
lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak mana pun.
Selain itu, Angka 8 menunjukkan adanya tekad untuk menyelenggarkan proses peradilan
secara tepat, mudah, murah, dan terbuka, serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan
tetap menunjang tinggi asas keadilan dan kebenaran.
Munculnya tiga ketentuan tersebut dalam sepuluh butir arahan GBHN Tahun 1999-
2004 menunjukkan tiga hal, yaitu pertama, integritas moral dan keprofesionalan aparat
penegak hukum selama ini belum sesuai dengan yang diharapkan; kedua, lembaga peradilan
yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak mana pun belum sepenuhnya
terwujud; dan ketiga, proses peradilan secara tepat, mudah, murah, dan terbuka, serta bebas
korupsi, kolusi, dan nepotisme belum terselenggara.
Dalam konteks inilah kehadiran Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman
Indonesia dapat memerankan fungsi-fungsi yang berkaitan dengan pengusulan terhadap calon-
calaon hakim (agung) yang mempunyai integritas moral dan keprofesionalan, ikut serta dalam
proses-proses menuju peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak
mana pun, dan berperan dalam mewujudkan gagasan proses peradilan secara tepat, mudah,
murah, dan terbuka, serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme

b. Perekrutan Hakim Agung

Di berbagai negara, perekrutan hakim agung akan selalu mengundang kekuasaan


politik untuk ikut serta di dalamnya. Kekuasaan eksekutif – dalam hal ini Presiden – dan
kekuasaan legislatif – dalam hal ini DPR – selalu berlomba-lomba untuk ikut terlibat di dalam
perekrutan hakim agung agar dapat mendudukkan orang-orang yang dikehendaki sebagai
hakim agung yang dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingan politiknya di kemudian
hari.51
Besarnya pengaruh kekuasaan politik ini dibuktikan dengan adanya keterkaitan antara
kalkulasi politik dari Presiden yang berkuasa dengan penominasian hakim agung. Christopher
E. Smith mengatakan, “All Supreme Court Nominations are determined by the presiden’s
political calculations”.52
Hal tersebut tidak terlepas dari kenyataan bahwa hakim agung mempunyai peran yang
sangat besar dalam hal memutuskan perkara-perkara besar yang dihadapinya. Oleh karena itu,
seorang hakim agung harus mempunyai beberapa kriteria yang tidak mudah untuk dipenuhi.
Kriteria-kriteria ideal secara umum misalnya harus memiliki kemampuan di bidang hukum,
pengalaman yang memadai, memiliki integritas, moral dan karakter yang baik, dan seterusnya.
Hakim yang memiliki kriteria-kriteria ini tidak akan hadir dalam suatu sistem perekrutan yang

51
Menurut Christopher E. Smith, “Nominations for the high court normally generate the greatest political
interest and impact of any judicial nomination”. Lebih lanjut Smith mengatakan, “Presidents have specific
political purposes in mind when they nominate an individual to become a Supreme Court justice. Generally,
presidents seek to nominate someone whose political ideology and policy preferences comport with theirs.
Christopher E. Smith, Critical Judicial Nominations and Political Change, Westport, Connecticut: Praeger, 1989,
hlm. 12.
52
Ibid., hlm. 46.

19
buruk. Tidak salah apabila dikatakan bahwa good judges are not born but made. Hal ini bisa
dicapai apabila sistem rekruitmen, seleksi, dan pelatihan hakim tersedia secara memadai.53
Untuk mencapai kondisi ideal tersebut di atas, proses rekruitmen hakim agung harus
sedapat mungkin dijauhkan dari kepentingan-kepentingan politik, sehingga penilain
terhadapnya dapat relatif lebih objektif. Kehadiran Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan
kehakiman dapat menjadi instrumen untuk menjauhkan proses rekruitmen hakim agung dari
kepentingan-kepentingan politik yang seringkali distorsif dan mengabaikan prinsip-prinsip
meritokrasi (meritocracy). Oleh karena itu, F. Andrew Hanssen mengatakan bahwa sistem
perekrutan dan promosi seorang hakim dapat menjadi tolok ukur seberapa jauh sebenarnya
kekuasaan kehakiman yang merdeka itu dimplementasikan dalam suatu negara, karena secara
teknis sistem perekrutan dan promosi hakim dapat membuka ruang terciptanya intervensi
kekuasaan politik di dalamnya.54
Dalam konteks proses perekrutan hakim agung di Indonesia, khususnya sebelum
gerakan reformasi, dapat dilihat betapa besarnya peran Presiden. Sesuai dengan ketentuan
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,55
wewenang untuk mengangkat seorang hakim agung ada pada Presiden selaku Kepala Negara
dari daftar nama yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Daftar nama calon
tersebut diajukan oleh DPR kepada Presiden selaku Kepala Negara setelah DPR mendengar
pendapat Mahkamah Agung dan Pemerintah (Pasal 8 ayat [2]).
Pada masa Orde Baru56 proses perekrutan hakim agung biasanya diawali dengan
diadakannya forum antara MA dan Pemerintah yang dikenal dengan sebutan Forum
Mahkamah Agung-Departemen Kehakiman (Mahdep) yang merupakan forum konsultasi
antara MA dan Departemen untuk – salah satunya – membicarakan daftar para kandidat hakim
agung yang akan diajukan oleh MA dan Pemerintah ke DPR. Biasanya MA mempunyai
inisiatif untuk memberikan proposal nama-nama kandidat hakim agung terlebih dahulu kepada
Departemen Kehakiman.57
Sebelum sampai pada proses mengajukan proposal nama-nama kandidat hakim agung,
Ketua MA biasanya melakukan konsultasi dengan Pimpinan MA lainnya yang meliputi Wakil
Ketua MA, dan beberapa orang Ketua Muda MA.58 Meskipun demikian, dalam praktiknya
Ketua MA seringkali memegang kontrol yang sangat dominan dalam menentukan nama-nama

53
Odette Buitendam, “Good Judges are Not Born but Made: Recruiment, Selection and the Training of Judges in
the Netherlands”, dalam Marco Fabri and Philip M. Langbroek, eds., The Challenge of Change for Judicial
System, Netherlands: IOS Press, 2000, hlm. 211.
54
F. Andrew Hanssen, “The Effect of Judicial Institutions on Uncertainty and the Rate of Litihation: the Election
Versus Appoinment of States Judges”, The Journal of Legal Studies, Vol. XXVIII, January 1999, hlm. 211.
55
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Agung, UU No. 14 Tahun 1985, LN No. 73 Tahun
1985, TLN No. 3316.
56
Pada umumnya diterima kesepakatan bahwa awal kelahiran Orde Baru adalah pada saat diterimanya Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Soekarno oleh Soeharto. BP-7 Pusat, Bahan Penataran P4, UUD 1945,
GBHN, Jakarta: BP-7 Pusat, 1990. Orde Baru secara resmi didefinisikan sebagai tatanan kehidupan negara dan
bangsa yang diletakkan kembali pelaksanaan kemurnian Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Joeniarto,
Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Cet. III, Jakarta: Bumi Aksara, 1990, hlm. 149. Lebih jauh tentang
istilah ini, lihat misalnya Herbert Feith dan Lance Castle, eds., Pemikiran Politik Indonesia, Jakarta: LP3ES,
1988, hlm. xvii-xviii; Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, Cet. I, Jakarta: LP3ES, 1998, hlm. 200-
2001.
57
Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hlm. 9.
58
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

20
calon yang dimasukkan dalam proposal. Daftar nama-nama dari MA ini kemudian
dipresentasikan dalam Mahdep yang kemudian diserahkan ke DPR dan diangkat oleh Presiden
sebagai hakim agung.59 Proses ini tidak jauh berbeda setelah bergulirnya era reformasi selain
adanya uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) yang dilakukan oleh DPR terhadap
para calon hakim agung. Kelemahan-kelemahan yang ada dalam proses rekruitmen hakim
agung tersebut diasumsikan dapat dieliminasi dengan kehadiran lembaga yang disebut dengan
Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman.

c. Etika Profesi Hukum

Istilah etika dalam Bahasa Indonesia diambil dari ethos (bentuk tunggal) Bahasa
Yunani yang berarti tempat tinggal, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat; watak,
perasaan, sikap, cara berpikir. Bentuk jamaknya ta etha yang berarti adat istiadat.60 Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk
dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).61 Sedangkan Black’s Law Dictionary
mengartikan ethics sebagai berikut:

Of or relating to moral action, conduct, motive or character; as, ethical emotion; also, treating of
moral feeling, duties or conduct; containing precepts of morality; moral. Professionally right or
befitting; conforming to professional standards of conduct.62

Sedangkan definisi profesi secara singkat adalah sebuah sebutan untuk jabatan
pekerjaan, di mana orang yang menyandangnya dianggap mempunyai keahlian khusus yang
diperoleh melalui training dan pengalaman kerja.63 Terminologi profesi paralel dengan
profesionalitas yang dicirikan dengan tiga karakter penting. Pertama, keterkaitan profesi
tersebut dengan disiplin ilmu yang dipelajarinya dan karenanya bersifat khusus. Kedua,
mempunyai kemampuan merealisasikan teori-teori ilmunya dalam ranah praktis dengan baik.
Ketiga, mempunyai banyak pengalaman kerja.64 Sedangkan Black’s Law Dictionary
mengartikan profession sebagai berikut: “A vocation or occupation requiring special, usually
advanced, education, knowledge, and skill; e.g. law or medical professions. Also refer to
whole body of such profession”.65

Profesi secara umum juga dapat diartikan sebagai pekerjaan yang berwujud karya
pelayanan yang dijalankan dengan penguasaan dan penerapan pengetahuan di bidang

59
Uraian lengkap tentang hal ini lihat misalnya Sebastian Pompe, “The Indonesian Supreme Court: Fifty Years of
Judicial Development”, disertasi doktor, Leiden: Van Vollenhoven Institute for Law and Administration in Non-
Western Countries, 1996, hlm. 287-313; Daniel S. Lev, “Judicial Institutions and Legal Culture in Indonesia,
dalam Claire Holt, ed., Culture Politic in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1972.
60
K. Bertens, Etika, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997, hlm. 4.
61
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I, Ed. III, Jakarta: Balai Pustaka,
2001, hlm. 309.
62
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary: Definitions of the Terms and Phrases of American and
English Jurisprudence, Ancient and Modern, St. Paul, Minn.: West Group, 1991, hlm. 384.
63
E. Soemaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-norma bagi Penegak Hukum, Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1995, hlm. 32.
64
Ibid., hlm. 33-34.
65
Black, op. cit., hlm. 841.

21
keilmuan tertentu, yang pengembangannya dihayati sebagai suatu panggilan hidup, dan
pelaksanaannya terikat pada nilai-nilai etika tertentu yang dilandasi semangat pengabdian
terhadap sesama manusia, demi kepentingan umum, serta berakar pada penghormatan dan
upaya untuk menjunjung tinggi martabat manusia.66
Dengan demikian, etika profesi adalah sikap etis sebagai bagian integral dari sikap
hidup dalam menjalani kehidupan sebagai pengemban profesi. Hanya pengemban profesi
sendiri yang dapat atau paling mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban
profesi memenuhi tuntutan etika profesinya atau tidak.67 Sejalan dengan pengertian ini, profesi
hukum dapat dipahami sebagai profesi yang, melalui penguasaan dan penerapan disiplin ilmu
hukum di dalam masyarakat, diemban orang untuk menyelenggarakan dan menegakkan
ketertiban yang berkeadilan di dalam masyarakat itu.68

d. Kode Etik Profesi Hakim

Norma hukum bukan merupakan institusi sosial (social institution) segala-galanya,


karena ternyata di samping norma hukum masih diperlukan norma yang lain, yaitu norma
etika-moral dan bahkan norma agama untuk keperluan mengatur, mengendalikan, dan
mendorong dinamika kehidupan bersama umat manusia.69 Sebagai warga negara, setiap orang
diatur dan terikat pada code of law (kode hukum negara), tetapi pada saat yang sama sebagai
warga atau anggota organisasi, perilaku organisasinya diikat oleh Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga atau Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga yang berlaku di
lingkungan organisasi tertentu. Hal inilah yang disebut dengan code of conduct atau lebih tepat
lagi code of organizational conduct.70
Demikian juga dengan profesi hakim yang memerlukan code of conduct yang
mempunyai kekuatan mengikat bagi para anggotanya. Kode etik bagi para hakim diperlukan,
karena kode etik merupakan kumpulan asas atau nilai moral71 atau norma dan asas yang
diterima oleh kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku.72 Kode etik dianggap penting
bagi profesi hukum, karena profesi hukum merupakan suatu masyarakat moral (moral
community) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama.73 Kode etik adalah sebuah kompas
yang menunjuk arah moral bagi profesional hukum dan sekaligus juga menjamin mutu moral
profesi hukum di mata masyarakat. Dengan demikian kode etik profesi hukum merupakan

66
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, “Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi”, Jakarta: Komisi
Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003, hlm. 1.
67
Bernard Arif Sidharta, “Etika dan Kode Etik Profesi Hukum”, Majalah Ilmu Hukum dan Pengetahuan
Masyarakat, Padjadjaran, Jilid V No. 3-4, 1974, sebagaimana dikutip oleh Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi
Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 8.
68
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, “Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi”, op. cit.
69
Jimly Asshiddiqie, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945”,
Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm
32.
70
Ibid., hlm. 33.
71
E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum: Sebuah Pendekatan Sosio-Religius, Cet. I, Jakarta: Penerbit Storia Grafika,
2001, hlm. 12.
72
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, op. cit., hlm. 578.
73
Paul F. Camenish, Grounding Professional Ethics in a Pluralistic Society, New York: Haven Publication, 1983,
hlm. 48.

22
pengaturan diri (self regulation) bagi profesional hukum dengan tujuan untuk mencegah
terjadinya perilaku tidak etis.74
Profesi hakim harus mempunyai kode etik agar nilai-nilai yang terdapat di dalam
peraturan perundang-undangan terinternalisasi pada diri seorang hakim. Nilai-nilai tersebut
mencakup beberapa hal sebagai berikut:

1. Hakim dalam menjalankan tugasnya harus bebas, tetapi harus menjunjung tinggi
keadilan.
2. Hakim harus menjunjung tinggi nilai-nilai keterbukaan dan menemukan hukum
melalui metode interpretasi.
3. Hakim harus selalu mempertanggungjawabkan sikap dan tindakannya baik secara
vertikal (kepada Tuhan Yang Maha Esa) maupun secara horisontal (masyarakat).
4. Hakim harus bersedia menerima keberatan yang diajukan oleh pihak yang diadili
apabila meragukan objektivitas hakim tersebut.75

Kode etik tersebut harus benar-benar ditegakkan, karena arti penting penegakan kode
etik adalah kontrol terhadap pelaksanaan nilai-nilai yang dimuat di dalam kode etik tersebut,
sekaligus menindak setiap perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Tujuan dari
penegakan ini adalah untuk membuat nilai-nilai luhur yang telah dipandang tepat bagi profesi
tersebut, benar-benar dipatuhi dan diterapkan. Penegakan kode etik profesi ini merupakan
salah satu cara untuk melestarikan nilai-nilai luhur profesi hukum tersebut, sehingga profesi
mulia ini dalam pelaksanaannya tidak akan mengalami degradasi moral dan bahkan apabila
diperlukan memperoleh peningkatan kualitas kemuliaan dari profesi tersebut. Hal inilah yang
menyebabkan kode etik profesi ini senantiasa harus dievaluasi dan mengalami perubahan dari
waktu ke waktu.76 Harus ada proses kontekstualisasi kode etik dengan dinamika sosio-kultural
yang kemudian melahirkan tata nilai.

2. Beberapa Terminologi

Untuk mendapatkan kesatuan pemahaman terhadap objek penelitian ini, peneliti perlu
menjelaskan terlebih dahulu beberapa istilah yang sangat mungkin dipersepsi secara berbeda,
sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kesamaan
pemahaman terhadap beberapa pengertian terminologi yang terkandung dalam istilah-istilah
atau frase-frase; Komisi Yudisial, Pelembagaan Komisi Yudisial, dan Sistem Ketatanegaraan
Indonesia.

a. Komisi Yudisial

Komisi Yudisial adalah lembaga yang baru dikenal setelah Perubahan Ketiga Undang-
Undang Dasar 1945 dan termasuk ke dalam struktur kekuasaan kehakiman yang bersifat
mandiri. Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, dan

74
Kanter, op. cit., hlm. 114.
75
Disarikan dari Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, “Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi”, op. cit.,
hlm. 38.
76
Soemaryono, op. cit., hlm. 147.

23
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim. Setiap anggota Komisi Yudisial harus mempunyai
pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi
Yudisial diatur dengan undang-undang.77
Maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman di
Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat
dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian
hakim. Semua ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan serta keluhuran
martabat dan perilaku hakim.78

b. Susunan dan Kedudukan Komisi Yudisial

Susunan Komisi Yudisial adalah struktur organisasi Komisi Yudisial yang telah
tersusun yang menyangkut sidang paripurna, ketua/wakil ketua, sub-sub komisi, sekretariat
jendral, biro-biro dan bagian-bagian.79 Dalam hal ini juga menyangkut fungsi, tugas,
kewajiban dan wewenang Komisi Yudisial.
Kedudukan Komisi Yudisial adalah kedudukannya dalam struktur ketatanegaraan dan
juga tempat kedudukan Komisi Yudisial.80 Dalam konteks ini yang menjadi pertanyaan adalah
apakah Komisi Yudisial termasuk dalam kekuasaan kehakiman atau tidak dan apakah Komisi
Yudisial termasuk ke dalam alat-alat perlengkapan negara dalam struktur ketatanegaraan atau
tidak.

c. Pelembagaan Komisi Yudisial

Pelembagaan Komisi Yudisial adalah perbuatan melembagakan atau


81
mengorganisasikan Komisi Yudisial yang menyangkut susunan dan kedudukannya dan
menyangkut sidang paripurna, ketua/wakil ketua, sub-sub komisi, sekretariat jendral, biro-biro
dan bagian-bagian. Selain itu, juga menyangkut fungsi, tugas, kewajiban dan wewenang
Komisi Yudisial.

d. Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Van Vollenhoven adalah seorang pakar hukum yang telah memberikan definisi hukum
tata negara secara komprehensif. Menurutnya, hukum tata negara adalah rangkaian peraturan-
peraturan hukum, yang mendirikan badan-badan sebagai alat (orgaan) suatu negara dengan

77
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, op. cit., hlm. 47 dan 72.
78
Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta: Pusat Studi Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hlm. 42.
79
Pengertian ini diadaptasi dari pengertian kata “susunan” dalam Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, op.cit.,
hlm. 1112.
80
Pengertian ini diadaptasi dari pengertian kata “kedudukan” dalam Ibid., hlm. 278.
81
Pengertian ini diadaptasi dari pengertian kata “lembaga”, “melembagakan”, dan “pelembagaan” dalam Ibid.,
hlm. 653-654.

24
memberikan wewenang-wewenang kepada badan-badan itu, dan yang membagi-bagi
pekerjaan pemerintah kepada banyak alat-alat negara, baik yang tinggi maupun yang rendah
kedudukannya.82 Sedangkan sistem ketatanegaraan adalah perangkat unsur ketatanegaraan
Indonesia yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas83 yang
mencakup beberapa hal sebagai berikut:

1. Pembentukan jabatan-jabatan dan susunannya.


2. Penunjukan para pejabat.
3. Kewajiban-kewajiban, tugas-tugas yang terikat pada jabatan.
4. Wibawa, wewenang hukum, yang terikat pada jabatan.
5. Lingkungan daerah dan personil, atas mana tugas dan wewenang jabatan itu
meliputinya.
6. Hubungan wewenang dari jabatan-jabatan antara satu sama lain.
7. Peralihan jabatan.
8. Hubungan antara jabatan dan pejabat.84

Menurut T. Koopmans, yang termasuk ke dalam hukum tata negara adalah ajaran-
ajaran yang berkenaan dengan beberapa hal sebagai berikut:

1. Kekuatan hukum mengikatnya peraturan perundang-undangan.


2. Pembagian tugas di antara lembaga-lembaga negara.
3. Perlindungan terhadap hak-hak individu.85

Sumber hukum materiil tata negara adalah sumber yang menentukan isi kaidah hukum
tata negara yang mencakup dua hal, yaitu pertama, dasar dan pandangan hidup bernegara; dan
kedua, kekuatan-kekuatan politik yang berpengaruh pada saat merumuskan kaidah-kaidah
hukum tata negara. Sedangkan sumber hukum formil tata negara adalah pertama, hukum
perundang-undangan ketatanegaraan; kedua, hukum adat ketatanegaraan; ketiga, hukum
kebiasaan ketatanegaraan atau konvensi ketatanegaraan; keempat, yurisprudensi
ketatanegaraan; kelima, hukum perjanjian internasional ketatanegaraan; dan keenam, doktrin
ketatanegaraan.86

3. Asumsi Dasar

82
Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia, Cet. VI, Jakarta: Penerbit Dian Rakyat,
1989, hlm. 8.
83
Pengertian ini diadaptasi dari pengertian kata “sistem” dalam Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, op.cit., hlm.
1076.
84
J.H.A. Logemann, Het Staatsrecht van Indonesie, Het Formele System, Bandung: Uitg. van Hoeve
s‘Gravehage, 1952, hlm. 101 sebagaimana dikutip Widodo Ekatjajana dan Totok Sudaryanto, Sumber Hukum
Tata Negara Formal di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 5-6.
85
Sri Soemantri Martosoewignjo, “Hukum Tata Negara Mempunyai Warna Nasional, Makalah disampaikan pada
peringatan Dies Natalis Ke-43 Fakultas Hukum Universitas Andalas pada tanggal 30 Agustus 1994, hal. 4
sebagaimana dikutip Ibid., hlm. 7.
86
Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, Bandung: CV Armico, 1987, hlm. 14-15.

25
Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945 yang ditetapkan pada 9 November 2001 dikenal
lembaga yang disebut Komisi Yudisial. Formulasi yang tepat terhadap fungsi, tugas, dan
wewenangnya sangat diperlukan supaya benar-benar menjadi solusi terhadap buruknya kinerja
kekuasaan kehakiman yang terjadi selama ini. Formulasi fungsi, tugas, dan wewenang Komisi
Yudisial yang tepat menjadi sangat penting, karena jika tidak hanya akan mengulangi
kesalahan-kesalahan sebelumnya, sehingga gagasan kekuasaan kehakiman yang bebas dari
campur tangan kekuasaan lain di luarnya dan tidak memihak (independent and impartial
judiciary) hanya menjadi angan-angan kosong belaka.
Penelitian ini dilakukan berdasarkan asumsi dasar bahwa ada lima sebab wujud (raison
d’etre) dibentuknya Komisi Yudisial di dalam suatu negara hukum baik dalam tradisi
Rechtsstaat maupun Rule of Law, yaitu pertama, dibentuknya Komisi Yudisial adalah agar
monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman dapat dilakukan dengan cara
melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya
monitoring secara internal saja; kedua, Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau
penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman
(judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan
kehakiman dari pengaruh kekuasaan apa pun juga khususnya kekuasaan pemerintah; ketiga,
dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman
(judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal baik yang menyangkut rekruitmen dan
monitoring hakim agung serta pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman; keempat,
terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan selalu memperoleh
penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus; dan kelima, dengan adanya
Komisi Yudisial, politisasi terhadap perekrutan hakim agung dapat diminimalisasi, karena
Komisi Yudisial bukan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan
politik.

4. Metode Penelitian dan Bingkai Buku

Peneliti akan mengkaji pokok permasalahan – sesuai dengan ruang lingkup dan
identifikasi masalah sebagaimana yang telah disebutkan di atas – melalui pendekatan yuridis-
normatif.87 Selain itu, peneliti juga akan melengkapinya dengan yuridis-historis dan yuridis-
komparatif berdasarkan ruang lingkup dan identifikasi masalah yang ada. Hal ini dimaksudkan
agar penelitian ini sejauh mungkin dapat mengetahui sosok Komisi Yudisial dalam spektrum
yang seluas-luasnya dengan cara menggali informasi tentangnya dari berbagai sudut pandang.
Untuk mengkaji pokok permasalahan dalam penelitian ini, peneliti mempergunakan
metode penelitian hukum normatif,88 dan metode penelitian hukum empiris89 sekaligus. Akan

87
Dalam penelitian hukum normatif ini, yang diteliti adalah bahan pustaka atau data sekunder yang mencakup
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian
Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986, hlm. 10.
88
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder belaka. Penelitian hukum normatif ini mencakup: (1) penelitian terhadap asas-asas hukum; (2)
penelitian terhadap sistematik hukum; (3) penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal; (4)
perbandingan hukum; dan (5) sejarah hukum. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif:
Suatu Tinjauan Singkat, Edisi 1, Cet. V, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001, hlm. 13-14. Lihat juga
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di dalam Penelitian Hukum,
Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979, hlm. 15.

26
tetapi, peneliti akan lebih menitikberatkan pada penelitian hukum normatif, sedangkan
penelitian hukum empiris berfungsi sebagai informasi pendukung. Dengan menyesuaikan diri
pada ruang lingkup dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, pendekatan yang
bersifat yuridis-normatif tersebut akan dilakukan dengan mempergunakan bahan hukum
primer,90 bahan hukum sekunder,91 dan bahan hukum tersier.92 Sementara itu, penelitian
empiris dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data melalui wawancara
dan melakukan berbagai diskusi dengan pihak-pihak yang peneliti anggap memiliki
kompetensi dan pengetahuan yang mendalam di bidang hukum tata negara, khususnya yang
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.
Dalam penelitian ini, peneliti akan mempergunakan jenis data yang meliputi data
sekunder dan data primer yang berkaitan dengan hukum tata negara, khususnya di bidang
kekuasaan kehakiman. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama
melalui penelitian lapangan. Sedangkan data sekunder antara lain mencakup dokumen-
dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan
lain-lain.93
Data yang berkaitan dengan pokok permasalahan, ruang lingkup, dan identifikasi
masalah – sebagaimana yang telah disebutkan di atas – yang telah diperoleh akan disajikan
dengan pendekatan deskriptif-analitis dan preskriptif-analitis. Peneliti akan menguraikan
materi penelitian dengan sistematika sebagai berikut:
a. Bab I Pendahuluan akan menguraikan latar belakang penelitian yang menyangkut gagasan
reformasi peradilan di Indonesia, beberapa permasalahan, urgensi penelitian, perspektif
teori dan beberapa terminologi, asumsi dasar, metode penelitian dan bingkai buku.
b. Bab II Perekrutan Hakim dan Penegakan Etika Profesi Hakim akan menguraikan beberapa
aspek tinjauan umum kekuasaan kehakiman, seperti pemisahan kekuasaan (separation of
powers), demokrasi (democracy), negara hukum (rechtsstaat/rule of law), dan kekuasaan
kehakiman (judicial power), dan ketentuan-ketentuan internasional tentang kekuasaan
kehakiman, yang dilanjutkan dengan mekanisme perekrutan hakim agung dan intervensi
kekuasaan politik, etika profesi hukum dan penegakan kode etik profesi hakim.
c. Bab III Susunan dan Kedudukan Komisi Yudisial di Berbagai Negara akan menguraikan
hukum tata negara perbandingan, studi perbandingan Komisi Yudisial, tujuan
89
Penelitian hukum empiris adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti data-data primer, yaitu
data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat. Penelitian hukum empiris ini disebut juga dengan penelitian
hukum sosiologis. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian..., op. cit., hlm. 12 dan 14.
90
Bahan hukum primer adalah bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir ataupun
pengertian baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan (ide). Bahan ini mencakup: (a)
buku; (b) kertas kerja konferensi, lokakarya, seminar, simposium, dan seterusnya; (c) laporan penelitian; (d)
laporan teknis; (e) majalah; (f) disertasi atau tesis; dan (g) paten. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,
Penelitian..., op. cit., hlm. 29.
91
Bahan hukum sekunder adalah bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer, yang antara lain
mencakup: (a) abstrak; (b) indeks; (c) bibliografi; (d) penerbitan pemerintah; dan (e) bahan acuan lainnya. Ibid.
92
Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, pada dasarnya mencakup: (1) bahan-bahan yang
memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang telah dikenal dengan nama
bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum. Contohnya adalah abstrak perundang-undangan,
bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum, dan
seterusnya; dan (2) bahan-bahan primer, sekunder dan penunjang (tersier) di luar bidang hukum, misalnya, yang
berasal dari bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik, filsafat dan lain sebagainya, yang oleh para peneliti hukum
dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data penelitiannya. Ibid., hlm. 33.
93
Soerjono Soekanto, op. cit., hlm. 12.

27
perbandingan hukum tata negara, tujuan perbandingan Komisi Yudisial, susunan dan
kedudukan Komisi Yudisial di 197 (seratus sembilan puluh tujuh) negara anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan beberapa kecenderungan umum latar belakang,
tujuan pembentukan Komisi Yudisial, dan keberadaan Komisi Yudisial sebagai solusi
terhadap buruknya sistem peradilan.
d. Bab IV Pelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia akan menguraikan aspek-aspek
keindonesiaan Komisi Yudisial, seperti gagasan-gagasan sebelum pembentukan Komisi
Yudisial di Indonesia, gagasan Komisi Yudisial di Indonesia, keorganisasian Komisi
Yudisial di Indonesia, dan sumber daya manusia Komisi Yudisial di Indonesia.
e. Bab V Penutup akan menyimpulkan hasil-hasil penelitian yang telah dituangkan dalam
bab-bab sebelumnya dan mengajukan saran sebagai implikasi teoretis maupun praktis
penelitian ini.

28
BAB II
PEREKRUTAN HAKIM DAN
PENEGAKAN ETIKA PROFESI HAKIM

A. Kekuasaan Kehakiman: Sebuah Tinjauan Umum

Sebelum membicarakan perekrutan hakim dan penegakan etika profesi hakim lebih lanjut,
peneliti terlebih dahulu akan membicarakan beberapa hal yang mempunyai kaitan erat dengan
keduanya, yaitu gagasan pemisahan kekuasaan (separation of power), gagasan demokrasi
(democracy), gagasan negara hukum (baik dalam pengertian rechtsstaat maupun rule of law),
dan gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka (independent judiciary).1 Keempat gagasan
tersebut baik secara langsung maupun tidak kangsung, akan selalu berpengaruh terhadap
perekrutan hakim dan penegakan etika profesi hakim. Baik dan buruknya perekrutan hakim
dan penegakan etika profesi hakim dalam suatu negara tidak jarang ditentukan oleh baik dan
buruknya implementasi gagasan pemisahan kekuasaan, demokrasi, negara hukum, dan
kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak yang diterapkan dalam suatu negara.
Gagasan-gagasan tersebut di atas mempunyai kaitan yang sangat erat satu sama lain,
sehingga peneliti menganggap penting untuk mengetengahkan gagasan-gagasan tersebut
sebelum membahas perekrutan hakim dan penegakan etika profesi hakim.

1. Pemisahan Kekuasaan (Separation of Powers)

Pada mulanya teori pemisahan kekuasaan2 ini diintrodusir oleh John Locke (1632-
1704). Menurutnya, kemungkinan munculnya negara dengan konfigurasi politik totaliter3 bisa
1
Kekuasaan negara mempunyai keterkaitan erat dengan dengan sistem demokrasi, negara hukum dan kemudian
gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Uraian tentang hal ini lihat Jimly Asshiddiqie, “Perimbangan
Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif dalam Rangka Perubahan UUD 1945”, dalam A. Muhammad Asrun, ed., 70
Tahun Ismail Suny, Bergelut dengan Ilmu Berkiprah dalam Politik, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000, hlm.
79. Satya Arinanto bahkan mengatakan bahwa adanya sistem peradilan yang bebas ini sekaligus menunjukkan
bahwa dalam tataran teoretis maupun praktis terdapat jalinan yang erat antara hukum dan demokrasi. Satya
Arinanto, Hukum dan Demokrasi, Cet. I, Jakarta: Ind-Hill-Co., 1991, hlm. v. Demokrasi itu sendiri dilandaskan
pada adanya kepercayaan bahwa akal, kebijaksanaan, dan karakter dari sebagian besar masyarakat akan
membawa pada keadaan yang lebih baik dan lebih memuaskan. Satya Arinanto, “Mempersoalkan Kebebasan
Pers”, dalam Denny J.A., Jonminofri, dan Rahardjo, (eds.), Menegakkan Demokrasi: Pandangan Sejumlah Tokoh
dan Kaum Muda Mengenai Demokrasi di Indonesia, Jakarta: Kelompok Studi Indonesia bekerja sama dengan
The Asia Foundation, 1989, hlm. 92.
2
Sir Ivor Jennings membedakan pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam arti material dan formal.
Pemisahan kekuasaan dalam arti material ialah pemisahan kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu
dipertahankan dengan tegas dalam fungsi tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan
adanya pemisahan kekuasaan itu pada tiga badan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan yang
dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah apabila pembagian kekuasaan itu tidak
dipertahankan dengan tegas. Sir Ivor Jennings, The Law and the Constitution, 4th edition, London: The English
Language Book Society, 1976, hlm. 22. Robert M. McIver mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti
material disebut dengan pemisahan kekuasaan (separation of powers), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam
arti formal disebut dengan pembagian kekuasaan (division of powers). Robert M. McIver, The Modern State,
Oxford: Oxford University Press, 1950, hlm. 364. Berkaitan dengan kekuasaan ini, Ossip K. Flechtheim
mengatakan, “Social power is the sum total of all those capacities, relationship and process by which compliance
of others is secured... for ends determined by the power holder”. Ossip K. Flechtheim, Fundamentals of Political

1
dihindari dengan membatasi kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara
mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Menurut Locke, hal ini
dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan
legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif
(federative power).4
Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat undang-undang dan peraturan-
peraturan hukum fundamental lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang
melaksanakan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan
legislatif. Sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan masalah
hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga dan aliansi
antarnegara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing. Ketiga cabang kekuasaan tersebut
harus terpisah satu sama lain baik yang berkenaan dengan tugas maupun fungsinya dan
mengenai alat perlengkapan yang menyelenggarakannya.5 Dengan demikian, tiga kekuasaan
tersebut tidak boleh diserahkan kepada orang atau badan yang sama untuk mencegah
konsentrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.6 Dengan adanya
kekuasaan yang telah terbatasi, pemegang kekuasaan tidak dapat dengan mudah
menyalahgunakan kekuasaannya, karena ada mekanisme kontrol yang harus dilaluinya.
Pembatasan tersebut juga dimaksudkan agar hak-hak asasi warga negara lebih terjamin.7

Science, New York: Ronald Press Co., 1952, hlm. 16. Sedangkan menurut Robert M. McIver, “Social power is
the capacity to control the behaviour of others either directly by fiat or indirectly by the manipulation of
available means”. Robert M. McIver, The Web of Government, New York: The MacMillan Company, 1961, hlm.
22. Dalam perspektif yang agak berbeda, Miriam Budiardjo mengatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan
seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian
rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai
kekuasaan itu. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. XVII, Jakarta:Gramedia, 1996, hlm. 35.
3
Dalam konsep negara modern, totaliter ini merupakan kebalikan dari demokrasi. Sidney Hook, “Democracy”
[Demokrasi: Sebuah Tinjauam Umum], dalam Denny J.A., Jonminofri, Rahardjo, eds., Menegakkan Demokrasi:
Pandangan Sejumlah Tokoh dan Kaum Muda Mengenai Demokrasi di Indonesia, Jakarta: Kelompok Studi
Indonesia bekerja sama dengan The Asia Foundation, 1989, hlm. 33; Gwendolen M. Carter dan John H. Herz,
“Demokrasi dan Totaliterisme: Dua Ujung dalam Spektrum Politik”, dalam Miriam Budiardjo, Masalah
Kenegaraan, Cet. III, Jakarta: Gramedia, 1980, hlm. 88.
4
John Locke, Two Treatises of Government, New Edition, London: Everyman, 1993, hlm. 188.
5
Ibid.
6
Abad ke-20 merupakan awal terjadinya kecenderungan semakin leluasanya kekuasaan eksekutif. Penyebabnya
adalah (1) gelombang dekolonisasi dan terbentuknya negara-negara baru dengan tahap-tahap konsolidasi awal
yang memerlukan pemusatan kekuatan di tangan pemerintah; (2) munculnya era perang dingin yang membelah
dunia ke dalam dua blok; Barat dan Timur, yang diikuti persaingan perebutan pengaruh antarblok; (3) timbulnya
fenomena perang antarnegara yang memacu peningkatan anggaran militer di berbagai negara; (4) semakin
kompleksnya lingkup tugas-tugas pemerintahan seiring dengan perkembangan jaman; dan (5) munculnya
ketidakpuasan umum terhadap praktik multipartai yang dianggap sebagai biang keladi instabilitas internal di
berbagai negara. Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah
Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta: UI-Press, 1996, hlm. 106-116; Jimly Asshiddiqie, “Undang-
Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan”, Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar Tetap Madya pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal 13 Juni 1998,
hlm. 10.
7
Tentang pernyataan ini lihat misalnya C.F. Strong, Modern Political Constitution, London: Sidwick & Jackson,
1973, hlm. 245-247.

2
Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Montesquieu yang membagi kekuasaan ke
dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.8
Kekuasaan yudikatif sangat ditekankan oleh Montesquieu, karena pada titik inilah letak
kemerdekaan individu dan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia. Montesquieu sangat
menekankan kebebasan kekuasaan yudikatif, karena ingin memberikan perlindungan terhadap
hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja. 9
Uraian di atas memperlihatkan bahwa Montesquieu menaruh perhatian yang sangat
besar terhadap kemedekaan kekuasaan yudikatif. Argumentasi yang dikemukakan pemikiran
ini adalah bahwa kekuasaan yudikatif yang merdeka, secara maksimal dapat melindungi hak-
hak warga negara dari kekuasaan yang despotis. Menurut C.F. Strong, kekuasaan legislatif,
eksekutif dan yudikatif inilah yang secara teknis disebut dengan istilah Government
(Pemerintah) yang merupakan alat-alat perlengkapan negara.10
Dalam doktrin Trias Politica, baik dalam pengertian pemisahan kekuasaan maupun
pembagian kekuasaan, prinsip yang harus dipegang adalah kekuasaan yudikatif dalam negara
hukum harus bebas dari campur tangan badan eksekutif.11 Hal ini dimaksudkan agar
kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara sewajarnya demi penegakan hukum dan keadilan
serta menjamin hak-hak asasi manusia.12 Melalui asas kebebasan kekuasaan yudikatif
diharapkan keputusan yang tidak memihak dan semata-mata berpedoman pada norma-norma
hukum dan keadilan serta hati nurani hakim dapat diwujudkan.13 Dengan demikian, kekuasaan
yudikatif atau kekuasaan kehakiman mempunyai peran yang sangat penting, karena
memegang kekuasaan untuk menangani dan menyelesaiakan konflik yang terjadi dalam
kehidupan suatu negara dalam segala derivasinya.

2. Demokrasi

8
Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, maka tidak ada saling campur tangan di antara ketiga cabang
kekuasaan tersebut. Oleh karena itu, dalam ajaran Trias Politica terdapat suasana checks and balances. Dahlan
Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Edisi II, Cet. I, Yogyakarta: Liberty, 1993,
hlm. 19.
9
Montesquieu, Membatasi Kekuasaan: Telaah Mengenai Jiwa Undang-undang [The Spirit of the Laws], Jakarta:
Gramedia, 1993, hlm. 44-55. Kenyataan bahwa Montequieu berprofesi sebagai hakim ikut mempengaruhi cara
berpikirnya yang sangat mementingkan kekuasaan yudikatif. Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Cet.
IV, Jakarta: Aksara Baru, 1985, hlm.2.
10
Menurut Strong, “In order to make and enforce laws the state must have a supreme authority. This is called the
Government. Government is the state’s machinery: without it the state could not exist, for government is, in last
analysis, organised force. Government is, therefore, ‘that organisation in which is vested... the right to exercise
sovereign powers”. Strong, op. cit., hlm. 6.
11
Budiardjo, op. cit., hlm. 227.
12
Tentang pemisahan kekuasaan ke dalam tiga cabang ini, khususnya yang berkenaan dengan independensi
kekuasaan yudikatif di Eropa, Pasquale Pasquino mengatakan, “In Europe, one of the central functions of the
separation of the judiciary from the legislative and executive powers has always been to limit or prevent the
arbitrary axercise of judicial power by the monarch who was already endowed with the two other powers”.
Pasquale Pasquino, “One and Three: Separation of Powers and the Independence of the Judiciary in the Italian
Constitution”, dalam John Ferejohn, Jack N. Rakove, dan Jonathan Riley, eds., Constitutional Culture and
Democratic Rule, Cambridge: Cambridge University Press, 2001, hlm. 210.
13
Budiardjo, op. cit.

3
Demokrasi14 merupakan gagasan yang dinamis (dynamic concept) dan tidak bermula
dari ruang yang hampa.15 Demokrasi juga merupakan istilah yang ambiguous.16 Pengertiannya
tidak bersifat monolitik, sebab negara-negara yang mengklaim diri sebagai negara demokrasi
tidak mempunyai bentuk aplikasinya yang seragam. Apa yang dianggap sebagai demokratis di
negara-negara tertentu belum tentu dianggap demokratis di negara lain dan begitu pula
sebaliknya. Negara17 dengan corak totaliter dan negara dengan corak liberal, misalnya,
mempunyai perbedaan-perbedaan yang signifikan dalam mengimplementasikan nilai-nilai
demokrasi. Konsep demokrasi seringkali mengalami manipulasi dan distorsi,18 khususnya di
negara-negara totaliter, sehingga pemaksaan, penyiksaan, dan pelanggaran terhadap hak-hak
asasi manusia dianggap sebagai “dosa kecil” saja tanpa mengurangi tingkat
kedemokratisannya, karena ditujukan untuk menyelamatkan rakyat secara keseluruhan.19
Dengan demikian, sekali lagi, meskipun asas demokrasi secara substantif telah disepakati,20
tetapi tidak ada konsep tunggal yang bersifat monolitik pada tingkat implementasinya.21
Meskipun tidak ada konsep tunggal, tetapi demokrasi mempunyai elemen-elemen
fundamental yang dapat digunakan sebagai parameter untuk mengukur dan menentukan
14
Demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) dan archein (memerintah). Demokrasi adalah pemerintahan rakyat,
Harun Alrasid, Prof. Mr. Djokosutono: Ilmu Negara, Cet. II, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, hlm. 33; Max Boli
Sabon, Ilmu Negara, Cet. I, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992, hlm. 167. Ada juga yang berpendapat
bahwa demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) dan cratein (memerintah). Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta:
Liberty, 1986, hlm. 203; Sri Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara, Cet. I, Bandung: Alumni, 1992,
hlm. 10; Sri Soemantri M., Tentang Lembaga-lembaga Negara, Cet. VII, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1993,
hlm. 1. Ada juga yang mengatakan demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) dan cratos (kekuasaan). Wirjono
Prodjodikoro, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, Cet. II, Bandung - Jakarta: PT Eresco, hlm. 22-23.
15
David Beetham, “Democracy: Key Principles, Institutions and Problems” dalam Democracy: its Principles and
Achievement, Geneva: Inter-Parliamentary Union, 1998, hlm. 21.
16
Budiardjo, op. cit., hlm. 50. Asas demokrasi yang hampir sepenuhnya disepakati sebagai modal terbaik bagi
dasar penyelenggaraan negara ternyata memberikan implikasi yang berbeda. Hal ini bisa dilihat dari munculnya
revolusi borjuis (di Prancis dan Inggris) dan revolusi petani (di Rusia dan China). Moh. Mahfud M.D., Demokrasi
dan Konstitusi di Indonesia: Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, ed. I, cet. I,
Yogyakarta: Liberty, 1993, hlm. 18. Asas demokrasi adalah sistem pemerintahan negara yang dipegang oleh
rakyat atau setidak-tidaknya rakyat diikutsertakan dalam pembicaraan masalah pemerintahan negara. Abdul Bari
Azed, Hukum Tata Negara Indonesia (Kumpulan Tulisan), Cet. I, Jakarta: Ind-Hill-Co, 1991, hlm. 3.
17
Negara merupakan organisasi yang terdiri atas jabatan-jabatan yang tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan satu
sama lain untuk mewujudkan tujuan negara. Jabatan yang satu terikat dengan jabatan yang lain. Oleh karena itu,
negara adalah ikatan jabatan-jabatan. Harun Alrasid, Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
1999, hlm. 6.
18
Afan Gaffar, “Politik, Demokrasi, dan Faham Integralistik”, dalam Bagir Manan, ed., Kedaulatan Rakyat, Hak-
hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996, hlm. 236.
19
Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, Cet. I, Jakarta: LP3ES, 1998, hlm. 16.
20
Menurut Giovanni Sartori, sejak Perang Dunia II, demokrasi semakin diterima sebagai simbol peradaban dunia.
Giovanni Sartori, “Democracy”, dalam Davis L. Shills, ed., The International Encyclopedia of the Social Science,
vol. iv, New York: The Free Press, 1972, hlm. 117.
21
Berkaitan dengan hal ini, telah banyak terbit buku yang menjadikan demokrasi dan implementasinya sebagai
diskursus utamanya dengan berbagai varian titik berat pembahasannya. Misalnya, Robert A. Dahl, Democracy
and Its Critics, New Haven: Yale University Press, 1989; Benjamin R. Barber, Strong Democracy: Participatory
Politics for a New Age, Los Angeles: University of California Press, 1984; Samuel P. Huntington, The Third
Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, Norman: University of Oklahoma Press, 1991; Henry W.
Ehrmann, ed., Democacy in a Changing Society, New York: Frederick A. Praeger Publisher, 1964; Robert D.
Behn, Rethinking Democratic Accountability, Washington, D.C.: Brooking Institution Press, 2001; Douglas
Greenberg, et. al., ed., Constitutionalism & Democracy: Transition in the Contemporary World, New
York/Oxford: Oxford University Press, 1993, dll.

4
tingkat implementasi nilai-nilai demokrasi dalam suatu negara, sehingga dapat menilai dan
menentukan apakah sistem yang dibangun di dalam suatu negara dapat dikatakan domakratis
atau tidak. Sedikitnya ada lima hal yang harus ada dalam negara yang menganut sistem
demokrasi, yaitu pertama, pemerintahan yang bertanggung jawab; kedua, dewan perwakilan
rakyat yang mewakili golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat dan
yang dipilih melalui pemilu yang bebas dan rahasia; ketiga, terdapat lebih dari satu partai
politik yang terus menerus mengadakan hubungan dengan masyarakat; keempat, terdapat pers
dan media massa yang bebas menyatakan pendapat; dan kelima, terdapat sistem peradilan
yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan mempertahankan keadilan.22
Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberikan pengertian bahwa pada tingkat
terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang berkaitan dengan
kehidupannya23 termasuk dalam menilai kebijakan negara yang sangat berpengaruh terhadap
kehidupan rakyat.24 Berkaitan dengan hal ini, Henry B. Mayo mengatakan bahwa sistem
politik yang demokratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan
atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam
pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan
diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan berpolitik.25
Yang ingin ditekankan dalam penelitian ini adalah bahwa kekuasaan kehakiman yang
merdeka (independent judiciary) yang bertujuan untuk menjamin hak-hak asasi dan
mempertahankan keadilan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam
demokrasi.26 Dengan demikian, apabila kekuasaan kehakiman dalam suatu negara telah

22
Budiardjo, Dasar-dasar..., op. cit., hal. 63-64. Dalam rumusan lain, Kongres Amerika Serikat pada tahun 1989
membuat suatu kriteria yang bisa dijadikan sebagai parameter untuk menilai apakah suatu negara demokratis atau
tidak, yaitu (1) didirikannya sistem politik yang sepenuhnya demokratis dan representatif berdasarkan pemiliham
umum yang bebas dan adil; (2) diakuinya secara efektif kebebasan-kebebasan fundamental dan kemerdekaan-
kemerdekaan pribadi termasuk kebebasan berbicara, beragama, dan berkumpul; (3) dihilangkannya peraturan
perundang-undangan yang menghalangi berfungsinya pers yang bebas dan terbentuknya partai-partai politik; (4)
diciptakannya suatu badan kehakiman yang bebas; dan (5) didirikannya kekuatan-kekuatan militer, kemanan, dan
kepolisian yang tidak memihak. Lihat Kata Pengantar A. Rahman Zainuddin dalam Robert A. Dahl, Demokrasi
dan Para Pengritiknya [Democracy and its Critics], diterjemahkan A. Rahman Zainuddin, Edisi I, Cet. I, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1992, hlm. xxv.
23
Menurut Jimly Asshiddiqie, demokrasi yang mengharuskan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi di tangan
rakyat dapat mencakup bidang politik atau bidang ekonomi. Apabila kekuasaan itu berkenaan dengan bidang
politik, maka sistem kekuasaan rakyat itu disebut demokrasi politik. Begitu juga apabila menyangkut bidang
ekonomi, maka disebut demokrasi ekonomi. Dengan demikian, istilah demokrasi di sini, yakni demokrasi politik
dan demokrasi ekonomi, harus dipahami sebagai konsep mengenai kedaulatan rakyat yang meliputi aspek politik
dan ekonomi. Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994, hlm. 25.
24
Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, Cet. I, Jakarta: Rajawali, 1983, hlm. 207.
25
Selengkapnya Henry B. Mayo mengatakan, “A democratic political system is one which public policies are
made on a majority basis, by representative subject to effective popular control at periodic elections which are
conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom”. Henry B. Mayo, An
Introduction to Democratic Theory, Oxford: Oxford University Press, 1960, hlm. 70.
26
Tentang hubungan antara kekuasaan kehakiman yang merdeka dan demokrasi ini, dikatakan bahwa
“...independence judiciary is a fundamental requirement for democracy. Within this understanding is the notion
that judicial independence must first exist in relation to the executive and in relation to the parties. It must also
involve independence in relation to the legislative power, as well as in relation to political, economic, or social
pressure groups”. R. St. J. Macdonald, F. Matscher, dan H. Petzold, The European System for the Protection of
Human Rights, The Hague: Kluwer Academic Publishers, 1993, hlm. 397.

5
terkooptasi oleh kekuasaan lain di luarnya atau telah memihak, maka dapat dipastikan negara
tersebut tidak demokratis.

3. Negara Hukum (Rechtsstaat/Rule of Law)

Negara Hukum27 merupakan gagasan modern yang multi-perspektif dan selalu aktual.
Istilah Negara Hukum merupakan terjemahan langsung dari istilah Rechtsstaat.28 Dalam
memberikan pengertian mengenai gagasan Negara Hukum ini,29 setiap orang dapat
memberikan bobot penilaian yang berlebihan baik terhadap kata “negara” maupun kata
“hukum”.30 Setidaknya terdapat dua tradisi besar gagasan Negara Hukum di dunia, yaitu
Negara Hukum dalam tradisi Eropa Kontinental yang disebut Rechtsstaat dan Negara Hukum
dalam tradisi Anglo Saxon yang disebut dengan Rule of Law.31
Salah satu ahli yang sering dirujuk ketika membicarakan topik Negara Hukum
(Rechtsstaat) dalam tradisi Eropa Kontinental adalah Friedrich Julius Stahl. Pandangannya
tentang Rechtsstaat merupakan perbaikan dari pandangan Immanuel Kant.32 Unsur-unsur yang
harus ada pada negara hukum dalam pengertian Rechtsstaat33 adalah pertama, pengakuan hak-
hak asasi manusia (grondrechten); kedua, pemisahan kekuasaan (scheiding van machten);
ketiga, pemerintahan berdasar atas undang-undang (wetmatigheid van het bestuur); dan

27
Padmo Wahjono dengan mengutip pernyataan Oemar Seno Adji dalam Indonesia Negara Hukum
menyimpulkan bahwa penerapan prinsip-prinsip umum negara yang berdasar atas hukum terletak pada dua hal,
yaitu (1) teori Rechtsstaat yang dicirikan dengan adanya pengakuan hak-hak asasi manusia, adanya Trias Politica,
adanya pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dan adanya peradilan administratif; dan (2) teori Rule of
Law yang dicirikan dengan adanya konstitusi yang bersumber pada hak-hak asasi manusia, adanya persamaan
menurut hukum bagi semua orang dan adanya prinsip bahwa hukum mengatasi segala-galanya. Padmo Wahjono,
“Indonesia ialah Negara yang Berdasarkan atas Hukum”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal 17 Nopember 1979.
28
Lihat catatan kaki nomor 21.
29
Baik konsep Rule of Law maupun Rechtsstaat selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga
pengertian keduanya pada masa kini mempunyai beberapa perbedaan-perbedaan dengan pengertian keduanya
pada masa lalu. Tentang hal ini lihat misalnya Jimly Asshiddiqie, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata
Negara, Cet. I, Jakarta: Ind Hill-Co., 1997, hlm. 4.
30
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga, 1985, hlm. 11.
31
Menurut Wolfgang Friedmann, gagasan Negara Hukum tidak selalu identik dengan Rule of Law. Sedangkan
istilah Rechtsstaat mengandung pengertian adanya pembatasan kekuasaan negara oleh hukum. Wolfgang
Friedmann, Legal Theory, London: Steven & Son Limited, 1960, hlm. 456. Menurut Moh. Kusnardi dan
Harmaily Ibrahim, di Inggris sebutan untuk istilah Negara Hukum adalah Rule of Law, sedangkan di Amerika
Serikat Government of Law, But Not of Man. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1976, hlm. 8.
32
Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ind-Hill Co, 1989, hlm. 30.
33
Gagasan mengenai Rechtsstaat ini berkembang dalam suasana liberalisme dan kapitalisme yang sedang tumbuh
pesat di Eropa pada sekitar abad ke-18 yang dipelopori oleh Immanuel Kant yang mengidealkan paham laissez
faire laissez aller dan gagasan negara jaga malam (nachwachtersstaat). Dalam gagasan ini setiap warga negara
dibiarkan menyelenggarakan sendiri usaha-usaha untuk kemakmurannya. Negara tidak perlu ikut campur dalam
urusan-urusan yang dapat ditangani sendiri oleh masyarakat. Negara cukup berfungsi sebagai penjaga pada
malam hari yang melindungi seluruh rakyat agar tetap merasa aman dan hidup tenteram. Jimly Asshiddiqie,
Agenda Pembangunan Hukum Nasioanal di Abad Globalisasi, Cet. I, Jakarta: Balai Pustaka, 1998, hlm. 90.
Tentang wawasan-wawasan yang terkandung di dalam Rechtsstaat, lihat A. Hamid S. Attamimi, “Peranan
Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Mengenai
Analisis Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”, Disertasi
doktor, Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990, hlm. 139.

6
keempat, peradilan administrasi (administratieve rechtspraak).34 Sedangkan unsur-unsur yang
harus terdapat pada negara hukum dalam pengetian Rule of Law35 adalah pertama, supremasi
hukum (supremacy of law); kedua, persamaan di depan hukum (equality before the law);
ketiga, konstitusi yang berdasarkan atas hak-hak asasi manusia (constitution based on human
rights).36
Syarat-syarat dasar bagi pemerintahan yang demokratis di bawah konsep Rule of Law
adalah pertama, perlindungan konstitusional; kedua, kekuasaan kehakiman yang bebas dan
tidak memihak;37 ketiga, pemilihan umum yang bebas; keempat, kebebasan menyatakan
pendapat; kelima, kebebasan berserikat dan beroposisi; dan keenam, pendidikan
kewarganegaraan.38 Sekali lagi ingin ditekankan di sini bahwa kekuasaan kehakiman yang
bebas menjadi pilar yang sangat penting baik dalam Negara Hukum tradisi Rechtsstaat
maupun dalam tradisi Rule of Law. Dengan kata lain, keberadaan kekuasaan kehakiman yang
bebas dan tidak memihak menjadi syarat yang penting bagi kedua tradisi negara hukum
tersebut.
Sementara itu, Franz Magnis Suseno menyebut empat syarat dalam gagasan Negara
Hukum yang saling berhubungan satu sama lain, yaitu pertama, adanya asas legalitas yang
berarti pemerintah bertindak semata-mata atas dasar hukum yang berlaku; kedua, adanya
kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dalam fungsinya untuk
menegakkan hukum dan keadilan; ketiga, adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak

34
Lihat misalnya dalam Robert Mohl, Two Concepts of the Rule of Law, Indianapolis: Liberty Fund Inc., 1973,
hlm. 22. Pada titik ini, biasanya negara hukum dikaitkan dengan paham konstitusionalisme yang mengidealkan
hukum sebagai alat yang membatasi kekuasaan dan pertanggungjawaban politik pemerintah kepada yang
diperintah. C.H. McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, Ithaca, New York: Cornell University Press,
1974, hlm. 146. Sebagai pendalaman gagasan konstitusionalisme di Indonesia, lihat misalnya Adnan Buyung
Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959
[The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: A Sosio-Legal Study of the Indonesian Konstituante
1956-1959], diterjemahkan oleh Sylvia Tiwon, Cet. II, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2001; J.C.T. Simorangkir,
Penetapan UUD Dilihat dari Segi Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1984; Moch.
Tolchah Mansoer, Pembahasan Beberapa Aspek Kekuasaan-kekuasaan Eksekutif dan Legislatif di Indonesia,
Cet. II, Jakarta: Pradnya Paramita, 1977; Daniel S. Lev, The Transition to Guided Democracy: Indonesian
Politics, 1957-1959, Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1966.
35
Menurur Richard H. Fallon, Jr., sebenarnya tidak ada pengertian yang pasti tentang Rule of Law . Richard H.
Fallon, Jr., “The Rule of Law as a Concept in Constitutional Discourse”, dalam Columbia Law Review, Volume
97, No. 1, 1997, hlm. 1-2.
36
A.V. Dicey, An Introduction to Study of the Law of the Constitution, 10th edition, London: English Language
Book Society and MacMillan, 1971, hlm. 223-224. Untuk pendalaman perbandingan konsep Rechtsstaat, Rule of
law, dan Negara Hukum Indonesia dapat dibaca dalam Azhary, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis
Normatif tentang Unsur-unsurnya, Jakarta: UI-Press, 1995. Untuk perbandingannya dengan negara hukum dalam
Islam, lihat Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum
Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
37
Menurut A.W. Bradley, pengadilan mempunyai peran penting dalam tradisi Rule of Law, karena penafsiran-
penafsirannya terhadap peraturan perundang-undangan akan sangat menentukan bagi keputusan-keputusan yang
akan diambil dalam suatu negara. A.W. Bradley, “The Sovereignty of Parliament – Form or Substance?”, dalam
Jeffrey Jowell dan Dawn Oliver, eds., The Changing Constitution, 4th edition, Oxford: Oxford University Press,
2000, hlm. 34.
38
South-East Asian and Pacific Conference of Jurist, Bangkok, February 15-19, 1965, The Dynamic Aspects of
the Rule of Law in the Modern Age, Bangkok: International Commission of Jurist, 1965, hlm. 39-45.

7
asasi manusia; dan keempat, adanya pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi atau hukum
dasar.39

4. Kekuasaan Kehakiman (Judicial Power)

Sebagaimana telah disebutkan di atas, kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan


salah satu pilar bagi negara yang berlandaskan sistem demokrasi dan negara hukum.40
Kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak tidak hanya diartikan bebas dari
pengaruh kekuasaan eksekutif, tetapi juga bebas dari gangguan dalam melaksanakan
tugasnya.41 Sebagaimana telah disinggung di atas, kekuasaan kehakiman merupakan instrumen

39
Franz Magnis-Suseno memberikan catatan khusus berkaitan dengan ciri adanya kebebasan dan kemandirian
kekuasaan kehakiman. Menurutnya, dengan adanya asas kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman dari
cabang kekuasaan negara lainnya, maka diharapkan badan yudikataif dapat melakukan kontrol segi hukum
terhadap kekuasaan negara di samping untuk mencegah dan mengurangi kecenderungan penyalahgunaan
wewenang atau kekuasaan. Tidak adanya kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dari pengaruh kekuasaan
pemerintah (eksekutif), akan membuka peluang pada penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian hak-hak asasi
manusia oleh penguasa, karena kekuasaan kehakiman yang secara konstitusional memiliki wewenang untuk
menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan pemerintah sulit menjalankan fungsinya tersebut. Franz Magnis-
Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, 1993, hlm. 298-301.
Sementara itu, menurut Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, ciri-ciri negara hukum ada tiga, yaitu (1)
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; (2) peradilan yang bebas; (3) legalitas dalam arti
hukum dalam segala bentuknya. Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut
Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Cet. VI, Jakarta: Gramedia, 1989, hlm. 27; lihat juga Dahlan Thaib,
Pancasila Yuridis Ketatanegaraan, Edisi Revisi, Cet. I, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 1994, hlm. 87.
40
Tentang hal ini lihat misalnya Ismail Suny, Mencari Keadilan: Sebuah Otobiografi, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1982, hlm. 262. P. N. Bhagwati mengatakan, “There are a few institutions which are vital to the maintenance of
democracy and the rule of law. They constitute the life breath of the democratic way of life and the supremacy of
law. Drain away this life breath, and democracy will perish, the rule of law will end.... The judiciary is one such
institution on which rests the noble edifice of democracy and the rule of law. It is to the judiciary that is entrusted
the task of keeping every organ of the State within the limits of power conferred upon it by the Constitution and
the laws and, thereby, making the rule of law meaningful and effective. Most countries have a written constitution
which provides the structure allocating and regulating power relations amongst the different organs of the State.
The Constitution confers power on the various organs of the State and also lays down the limits within which
such power may be exercised”. P. N. Bhagwati, “Independence of the Judiciary in a Democracy”,
<http://www.ahrchk.net/hrsolid/mainfile.php/1997vol07no02/275/>, di-akses 29 Maret 2003.
41
E.C.S. Wade dan G. Godfrey Philips, Constitutional Law: An Outline of the Law and Practice of the
Constitution, Including Central and Local Government, the Citizen and the State and Administrative Law, 7th
edition, London: Longmans, 1965, hlm. 255. Menurut Sir Anthony Mason, “Common to all the forms of judicial
function is independent, impartial and neutral adjudication, though there is a question as to the possibility of
achieving completely neutral adjudication. Independent and impartial adjudication denies the notion that the
judge will bring to bear a view which represents that of a particular section of the community.” Sir Anthony
Mason, “The Appointment and Removal of Judges”, <http://www.jc.nsw.gov.au/fb/fbmason.htm>, diakses
tanggal 24 Maret 2003. Sementara itu, Stephen G. Breyer mempunyai pendapat yang menarik berkaitan dengan
kemandirian kekuasaan kehakiman di Amerika Serikat. Menurutnya, “In the United States, judicial independence
has developed into a set of institutions that assure that judges decide according to law, rather than according to
their own whims or to the will of others, including other branches of the government. The five components of
judicial independence are: the constitutional protections that judges in the United States have; the independent
administration of the judiciary by the judiciary; judicial disciplinary authority over the misconduct of judges; the
manner in which conflicts of interest are addressed; and the assurance of effective judicial decisions”. Stephen
G. Breyer, “Judicial Independence in the US”, <http://usinfo. state.gov/journals/itdhr/1296/ijde/breyer.htm>,
diakses tanggal 29 Maret 2003. Untuk pendalaman tentang judicial independence di Amerika Serikat ini, lihat

8
penting untuk menjamin hak-hak asasi dan mempertahankan keadilan42 yang merupakan salah
satu unsur yang sangat penting dalam demokrasi. Pernyataan berikut ini dapat mendukung
proposisi tersebut. Dikatakan bahwa:

... independence judiciary is a fundamental requirement for democracy. Within this understanding
is the notion that judicial independence must first exist in relation to the executive and in relation
to the parties. It must also involve independence in relation to the legislative power, as well as in
relation to political, economic, or social pressure groups. 43

Dengan demikian, apabila kekuasaan kehakiman dalam suatu negara telah terkooptasi
oleh kekuasaan lain di luarnya atau telah memihak pada pihak-pihak tertentu, maka dapat
dipastikan negara tersebut tidak demokratis.44 Dalam konteks ini, harus dibedakan antara apa
yang disebut dengan kemerdekaan kekuasaan kehakiman (judicial independence) dengan
ketidakberpihakan para hakim (impartiality of judges).45 Kemerdekaan kekuasaan kehakiman
merujuk pada kemerdekaannya dari campur tangan pemegang kekuasaan lain dalam
persoalan-persoalan kehakiman. Sedangkan ketidakberpihakan para hakim berkaitan dengan
kemampuan seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara tanpa adanya keberpihakan
terhadap perseorangan dan melawan orang lain. Berkaitan dengan hal ini, Adel Omar Sherif
mengatakan sebagai berikut:

The court first made clear the distinction between judicial independence and the impartiality of
judges. Judicial independence, the Court state, refers to freedom from interference in judicial
affairs by other powers, whereas judicial impartiality pertains to the judge’s own ability to
adjudicate a case without any personal bias against any of the parties.46

Oleh karena itu, lembaga peradilan yang independen dipahami sebagai tidak adanya pengaruh
yang datang dari pihak ketiga atau lembaga lain di luar kekuasaan kehakiman dalam proses

American Bar Assossiation, “An Independence Judiciary”, <http://www.abanet.org/


govaffairs/judiciary/rhistory.html>, diakses 29 Maret 2003.
42
Berkaitan dengan hal ini, Padmo Wahjono mengatakan bahwa gagasan kekuasaan kehakiman yang bebas dan
merdeka dimaksudkan agar kekuasaan kehakiman dapat berfungsi seadil-adilnya. Padmo Wahjono, Indonesia
Negara Berdasarkan atas Hukum, Cet. II, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, hlm. 76.
43
R. St. J. Macdonald, F. Matscher, and H. Petzold, The European System for the Protection of Human Rights,
The Hague: Kluwer Academic Publishers, 1993, hlm. 397.
44
Demokrasi dan hukum tidak dipahami sebagai dua entitas yang contradictio in terminis. Keduanya bisa berada
dalam suasana hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) tanpa salah satunya lebih diunggulkan
daripada yang lain, karena semuanya penting dalam kerangka gagasan negara modern. A. Ahsin Thohari,
“Demokrasi Sekaligus Nomokrasi”, Harian Kompas, Edisi Jumat, 7 November 2003, hlm. 4.
45
Hans Kelsen menyebut ini dengan istilah independence of judges. Lebih jauh dikatakan, “The judges are, for
instance, ordinarily ‘independent’, that is, they are subject only to the laws and not to the orders (instructions) of
superior judicial or administrative organs”. Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York: Russel
& Russel, 1973, hlm. 275.
46
Adel Omar Sherif, “Separation of Powers and Judicial Independence in Constitutional Democracies: The
Egyptian and American Experiencies”, dalam Eugene Cotran and Adel Omar Sherif, eds., Democracy, The Rule
of Law and Islam, CIMEL Book Series V. 6, London-The Hague-Boston: Kluwer Law International, 1999, hlm.
29-30.

9
peradilan dimana putusan hakim lahir hanya atas dasar korelasi fakta-fakta yang muncul
dalam persidangan dan keterkaitannya dengan hukum yang berlaku.47
Ketidakberpihakan (impartiality) kekuasaan kehakiman tidak hanya ketiadaan bias
atau kecurigaan tertentu terhadap hakim saja, melainkan juga berlaku bagi hal-hal yang
berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan lain seperti pandangan politik dan agama yang
dianut oleh hakim.48 Oleh karena itu, berkaitan dengan hal ini, J.A.G. Griffith mengatakan:

Impartiality means not merely absence of personal bias or prejudice in the judge, but also the
exclusion of relevant considerations, such as his political or religious views. Individual litigants
expect to be heard fairly and fully and to receive justice. Essentially, this view rests on an
assumption of judicial neutrality.49

Kekuasaan kehakiman memang bukan merupakan entitas yang hampa dari


kepentingan-kepentingan politik, karena energi politik bahkan memiliki potensi dan
kecenderungan yang sangat besar untuk melakukan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman.
Boleh dikatakan bahwa politik mempunyai derajat determinasi yang tinggi terhadap
independensi kekuasaan kehakiman.50 Oleh karena itu, setiap keinginan untuk melakukan
reformasi51 agar kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak dapat direalisasikan

47
A.V. Cristopher M. Larkins, “Judicial Independence and Democratization: a Theoretical and Conceptual
Analysis”, dalam The American Comparative Law, Volume XLIV, No. 4, Fall, 1996, hlm. 605.
48
Persoalan yang dihadapi dalam kemerdekaan dan kebebasan hakim bukan sekedar manjamin kemerdekaan dan
kebebasan pada saat menjalankan fungsi yudisiil tertentu (kasuistik). Inti persoalan adalah menghindari pengaruh
kekuasaan tersebut secara umum yang akan melindungi hakim pada setiap saat menjalankan fungsi yudisiilnya.
Hal ini menyangkut sistem kekuasaan kehakiman secara keseluruhan. Khusus mengenai kemerdekaan dan
kebebasan hakim menyangkut sejak seseorang diangkat sampai pemberhentiannya sebagai hakim. Bagir Manan
dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Nagara Indonesia, Cet. I, Bandung: Alumni, 1997, hlm.
79.
49
J.A.G. Griffith, The Politics of the Judiciary, 4th edition, London: The Fontanta Press, 1991, hlm. 269. Dengan
demikian, kesamaan pandangan politik atau agama seorang hakim dengan pihak yang berperkara tidak boleh
menjadikan hakim untuk berpihak. Hakim harus tetap independen dalam menjatuhkan putusannya dan tidak
boleh dilandasi oleh kesamaan pandangan politik atau agama.
50
Konfigurasi politik mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap kekuasaan kehakiman. Oleh karena
itu, model konfigurasi politik tertentu secara otomatis akan melahirkan karakter kekuasaan kehakiman yang
tertentu pula. Apabila dalam suatu negara diterapkan konfigurasi politik yang demokratis, maka karakter
kekuasaan kehakiman yang dihasilkan adalah independen atau otonom. Akan tetapi, apabila dalam suatu negara
diterapkan konfigurasi politik yang otoriter atau totaliter, maka kekuasaan kehakiman tidak otonom atau tidak
bebas. Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman, Cet. I, Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat-ELSAM, 1997, hlm. 313-314. Oleh karena itu, “Independence of the judiciary is a
permanent topic... but as a political issue with a murky content. This vagueness creates the impression that the
real objective is not to outline a solid framework for an independent judiciary, but to be content with making it a
rhetorical issue and to intervence in the judicial process”. Cengiz Ilhan, “Independence of the Judiciary”,
<http://www.tusiad. org/yayin/private/autumn97/html/ilhan.html>, diakses tanggal 29 Maret 2003.
51
Reformasi di bidang kekuasaan kehakiman akan selalu berhadapan dengan persoalan-persoalan politik yang
sangat pelik. Pengalaman reformasi peradilan di negara-negara Amerika Latin seperti Peru, Kolombia, Costa
Rica, dan El Salvador selalu tidak mudah. Untuk pendalaman tentang reformasi kekuasaan kehakiman di negara-
negara Amerika Latin ini lihat Linn Ann Hammergren, The Politics of Justice and Justice Reform in Latin
America: The Peruvian Case in Comparative Perspective, New York: Westview Press, 1998. Lihat juga Linn
Ann Hammergren, “The Judicial Career in Latin America: an Overview of Theory and Experience”,
<http://www1.worldbank.org/publicsector/ legal/Jcareer.doc>, diakses tanggal 26 Maret 2003.

10
selalu akan berhadapan dengan kepentingan-kepentingan politik yang seringkali
menghadangnya.52
Oleh karena itu, kekuasaan kehakiman sangat dianjurkan untuk menghindari hal-hal
yang sangat terkait dengan kepentingan politik.53
Kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak hanya akan dapat terwujud
apabila hanya tunduk pada aturan-aturan hukum yang berlaku dan penegakannya. Apabila
kekuasaan kehakiman tidak menjaga jarak yang tepat dengan lembaga-lembaga politik54 yang
ada dalam sebuah negara, maka akan kehilangan legitimasinya dan kehadirannya dalam suatu
negara menjadi tidak bermakna.55 Satu hal yang patut dicatat di sini adalah bahwa adanya
jaminan kemandirian kekuasaan kehakiman akan membuat para hakim merasa lebih nyaman
dalam melaksanakan tugas-tugasnya.56
Kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak ini mempunyai sedikitnya lima
segi, yaitu pengangkatan terhadap pejabat lembaga peradilan yang tidak bersifat politik, masa
jabatan dan gaji yang terjamin, tidak ada intenvensi dari kekuasaan eksekutif dan legislatif
terhadap proses peradilan dan pengadilan, dan adanya otonomi secara administratif, dan

52
Tentang kaitan yang erat antara kekuasaan kehakiman dan politik ini lihat misalnya Henry R. Glick, “The
Politics of State Court Reform”, dalam Philip L. DuBois, ed., The Politics of Judicial Reform, Lexington, Mass.:
Lexington Books, 1982, hlm. 17-33. Lihat juga Christine M. Durham, “The Judicial Branch in State Government:
Parables of Law, Politics, and Power”, dalam New York University Law Review, vol. 76, Number 6, December
2001, hlm. 1601 dan seterusnya.
53
Sir Anthony Mason mengatakan, “Judiciary should avoid involving themselves in issues located directly within
the policy making function of executive government. This protocol is based on the philosophy that insulation from
controversy requires that yourself do not invite it.” Sir Anthony Mason, "Judicial Independence and the
Separation of Powers – Some Problems Old and New", dalam University of New South Wales Law Journal, Vol.
13, No. 2, 1990, hlm. 181. Lihat juga Helen Cunningham, “The Role of the Judiciary in a Modern Democracy”,
paper presented at Judicial Conference of Australia Symposium, New South Wales, 8-9 November 1997 atau
lihat Helen Cunningham, “The Role of the Judiciary in a Modern Democracy”, <http://www.jca.asn.au/cunning-
ham. html>, diakses tanggal 24 Maret 2003.
54
Hal ini mengingat bahwa hukum, termasuk penegak hukumnya, merupakan produk politik yang sangat lemah
yang seringkali digunakan sebagai kendaraan politik oleh pihak-pihak tertentu. Tentang hal ini, Cristopher E.
Smith mengatakan, “Law is malleable product of politics, and its malleability is one vehicle for the infusion of
political interests into the functions of the judicial branch”. Cristopher E. Smith, Courts, Politics, and the
Judicial Process, Chicago: Nelson-Hall Publisher Inc., 1993, hlm. 10. Dengan demikian, pengaruh kekuatan
politik akan dapat menentukan sistem hukum dalam suatu negara. Sistem hukum di sini mencakup tiga hal (the
three elements of legal system), sebagaimana disebutkan oleh Lawrance M. Frieman, yaitu struktur hukum (legal
structure), substansi hukum (legal substance), dan kultur hukum (legal culture). Lawrance M. Friedman,
American Law: an Introduction, New York: W.W. Norton, 1998, hlm. 19-22. Untuk pendalaman mengenai
sistem hukum (legal system) ini, lihat misalnya Josep Raz, The Concept of Legal System: an Introduction to the
Theory of Legal System, Oxford: Oxford University Press, 1978. Sementara itu, untuk pendalaman tentang tradisi
besar sistem hukum yang ada di dunia, lihat misalnya Rene David dan John E.C. Brierly, Major Legal System in
the World Today, Third Edition, London: Steven & Sons, 1985.
55
Berkaitan dengan hal ini, Joel Grossman and Richard Wells mengatakan, “[T]he legitimacy of courts rest in
their fidelity to the law and its enforcement.... If courts do not preserve their distinctiveness from other political
bodies, if they cease being “courts”, than their claim to legitimacy – and their power – will erode.” Joel
Grossman and Richard Wells, Constitutional Law and Judicial Policy Making, 3rd edition, New York: Longman,
1988, hlm. 11.
56
Oleh karena itu, kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan gagasan yang sangat penting. Tentang hal ini,
Daryl Williams mengatakan, “The ‘rule of law’ and ‘indepence of judiciary’ are terms with which lawyers feel
comfortable.” Daryl Williams, “Independence of the Judiciary – Some Federal Government Initiatives”,
<http://www.jc.nsw.gov.au/fb/ fbwillam.htm>, diakses tanggal 24 Maret 2003.

11
anggaran belanja.57 Kelima hal tersebut menjadi semacam tonggak yang dapat dijadikan
parameter kemerdekaan kekuasaan kehakiman.58

5. Ketentuan-ketentuan Internasional dan Regional tentang Kekuasaan Kehakiman


yang Merdeka (Independent Judiciary)

Keberadaan gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka (independent judiciary)


telah dijustifikasi oleh ketentuan-ketentuan baik dalam scope yang bersifat internasional
maupun regional. Tidak bisa dibantah lagi bahwa gagasan kekuasaan kehakiman yang
merdeka merupakan gagasan yang telah diakui secara global dan universal sebagai bagian dari
Hak Asasi Manusia (HAM). Pengingkaran terhadap gagasan kekuasaan kehakiman yang
merdeka sama saja dengan pengingkaran terhadap nilai-nilai HAM yang telah diakui secara
universal. Pengakuan terhadap pentingnya gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka
tersebut bahkan dapat ditemukan sejak generasi HAM yang pertama.
Menurut ahli hukum Perancis Karel Vasak, HAM dibagi ke dalam tiga generasi.59
Generasi pertama adalah HAM yang tergolong dalam hak-hak sipil dan politik, khususnya
yang berasal dari teori-teori kaum reformis yang dikemukakan pada awal abad ke-17 dan ke-
18 yang berkaitan dengan revolusi-revolusi yang terjadi di Inggris, Amerika, dan Prancis.
Generasi kedua adalah HAM yang tergolong dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang
berakar pada tradisi sosialis yang merupakan respon terhadap pelanggaran-pelanggaran dan
penyelewengan dari perkembangan kapitalis. Contohnya adalah Pasal 22-27 Universal
Declaration of Human Rights tentang hak keamanan sosial, hak untuk bekerja, hak untuk
memperoleh standar hidup yang memadai, hak pendidikan, dan hak kehidupan budaya.60
Generasi ketiga adalah hak-hak solidaritas yang merupakan rekonseptualisasi dari kedua
generasi HAM sebelumnya. Contohnya adalah Pasal 28 Universal Declaration of Human
Rights yang meliputi enam hak, yaitu pertama, the right to political, economic, social, and
cultural self-determination; kedua, the right to economic and social-development; ketiga, the
right to participate in and benefit from “the common heritage of human kind”; keempat, the

57
Menurut P.H. Lane, “The constitutional aspects of judicial ‘independence’ refers to an independence in at least
five ways – in non-political appoinments to a court, in a guaranteed tenure and salary for the judges, in executive
and legislative non-interference with court proceedings or office holders, in budgetary and administrative
authonomy”. P.H. Lane, “Constitutional Aspects of Judicial Independence”, dalam Helen Cunningham, ed.,
Fragile Bastion Judicial Independence in the Nineties and Beyond, Sidney: Judicial Commission of New South
Wales, 1999, hlm. 4. Dalam bahasa Yash Vyas, “...judicial independence encompasses not only independence
from other branches of government, but also from political and private pressures and influences”. Yash Vyas,
“The Independence of the Judiciary: A Third World Perspective”, <http://wbln0018.world
bank.org/Network/PREM/PREMDocLib.nsf/b9d50320baa37e8f852566c60075b51b/0a13406b1bc4384a8525689
0006fb1b3?OpenDocument>, diakses tanggal 29 Maret 2003.
58
Peradilan yang mandiri merupakan salah satu sendi tegaknya paham negara berdasarkan konstitusi
(constitutionalism) yang menghendaki agar kekuasaan negara dibatasi. Hanya peradilan yang mandiri yang dapat
menegakkan aturan dan keadailan dalam rangka mengendalikan tindakan negara atau pemerintah yang
melampaui wewenang atau tidak sesuai dengan tertib hukum yang berlaku. Tim Pakar Hukum Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia: Catatan dan Gagasan
Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, Jakarta: Sekretariat Jendral Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI,
2002, hlm. 13.
59
Burns H. Weston, “Human Rights” dalam Richard Pierre Claude dan Burns H. Weston, eds., Human Rights in
the World Community, Issues and Action, Philadephia: University of Pennsylvania, 1992, hlm. 18.
60
Ibid., hlm. 19.

12
right to peace; kelima, the right to a healthy and balanced environment; dan keenam, the right
to humanitarian disaster relief.61
Sementara itu, Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa pengertian konseptual HAM
dalam sejarah instrumen hukum internasional telah melampaui empat generasi perkembangan.
Generasi pertama adalah pemikiran mengenai konsepsi HAM yang sejak lama berkembang di
Eropa setelah era Enlightenment telah meningkat menjadi dokumen-dokumen hukum
internasional. Generasi kedua adalah konsepsi HAM mencakup pula upaya menjamin
pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Generasi
ketiga adalah konsepsi HAM yang mencakup pengertian hak atas pembangunan (right to
development). Generasi keempat adalah adanya pemikiran bahwa persoalan HAM tidak cukup
hanya dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, tetapi mencakup
pula hubungan-hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal.62

a. Ketentuan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dalam Universal Declaration of


Human Rights

Salah satu ketentuan hukum internasional yang sangat fundamental dan mempunyai
pengaruh global adalah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 10 Universal Declaration of
Human Rights (Deklarasi Umum tentang Hak-hak Asasi Manusia) yang disetujui dan
diproklamasikan dengan Resolusi Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 217
A (III) pada 10 Desember 1948 (Adopted and Proclaimed by General Assembly Resolution
217 A (III) of 10 December 1948). Pasal tersebut menyebutkan sebagai berikut:

Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial
tribunal, in the determination of his rights and obligations and of any criminal charge against
63
him.

Pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa setiap orang dalam persamaan penuh untuk
keadilan dan pengawasan publik diberikan hak atas peradilan yang merdeka dan tidak
memihak, dalam menentukan ha-hak dan kewajiban-kewajibannya, dan setiap tuntutan pidana
terhadapnya. Keberadaan peradilan yang merdeka dan tidak memihak (independent and
impartial tribunal) dalam suatu negara sangat penting sebagai salah satu hak asasi manusia
61
Ibid., hlm. 19-20.
62
Jimly Asshiddiqie, “Dimensi Konseptual dan Prosedural Pemajuan Hak Asasi Manusia Dewasa Ini (Pengertian
ke Arah Pengertian Hak Asasi Manusia Generasi Keempat)”, Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas
tentang Perkembangan Pemikiran Mengenai Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan oleh Institute for
Democracy and Human Rights, The Habibie Center, Jakarta, April 2000, hlm. 8. Lebih jauh lagi, Asshiddiqie
menegaskan bahwa ketiga generasi konsepsi hak asasi manusia tersebut pada pokoknya mempunyai karakteristik
yang sama, yaitu dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, antara rakyat dengan
pemerintahan dalam suatu negara. Setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia mulai dari generasi pertama
sampai ketiga selalu melibatkan peran pemerintah yang biasa dikategorikan sebagai “crime by government” yang
termasuk ke dalam pengertian “political crime” (kejahatan politik) sebagai lawan dari pengertian “crime against
government” (kejahatan terhadap kekuasaan resmi). Oleh karena itu, yang selalu dijadikan sasaran perjuangan
hak asasi manusia adalah kekuasaan represif negara terhadap rakyatnya. Akan tetapi, dalam perkembangan
zaman sekarang dan di masa-masa yang akan datang, dimensi-dimensi hak asasi manusia itu akan berubah
menjadi semakin kompleks sifatnya.
63
Universal Declaration of Human Rights, adopted and proclaimed by General Assembly resolution 217 A (III)
of 10 December 1948.

13
yang diakui secara universal dan diproklamasikan melalui instrumen hukum internasional.
Dengan dimasukkannya gagasan peradilan yang merdeka dan tidak memihak ke dalam Pasal
10 Universal Declaration of Human Rights membuktikan bahwa hak tersebut, sesuai dengan
pembagian HAM Karel Vasak, tergolong sebagai generasi pertama, yaitu yang tergolong
dalam hak-hak sipil dan politik.64

b. Ketentuan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dalam International Covenant on


Civil and Political Rights

Selain Pasal 10 Universal Declaration of Human Rights, ketentuan internasional


lainnya adalah International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR - Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) yang disetujui oleh Majelis Umum PBB pada
tahun 1976. Di dalam Pasal 14 ICCPR disebutkan sebagai berikut:

All persons shall be equal before the courts and tribunals. In the determination of any criminal
charge against him, or of his rights and obligations in a suit at law, everyone shall be entitled to a
fair and public hearing by a competent, independent and impartial tribunal established by law.
The press and the public may be excluded from all or part of a trial for reasons of morals, public
order (order public) or national security in a democratic society, or when the interest of the
private lives of the parties so requires, or to the extent strictly necessary in the opinion of the
court in special circumstances where publicity would prejudice the interests of justice; but any
judgement rendered in a criminal case or in a suit at law shall be made public except where the
interest of juvenile persons otherwise requires or the proceedings concern matrimonial disputes
65
or the guardianship of children.

Pasal 14 ICCPR tersebut menyatakan bahwa setiap orang adalah sama di depan hukum
dan pengadilan. Dalam penentuan setiap tuntutan pidana terhadapnya atau setiap hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya dalam gugatan hukum, setiap orang demi keadilan dan pengawasan
publik diberikan hak atas peradilan yang berwenang, merdeka, dan tidak memihak yang
ditetapkan dengan hukum. Pers dan masyarakat dilarang memasuki seluruh atau sebagian
pemeriksaan pengadilan dengan alasan moral, ketertiban masyarakat atau keamanan nasional
dalam masyarakat demokratis, atau apabila kepentingan kehidupan pribadi dari beberapa pihak
sangat membutuhkannya, atau untuk kebutuhan yang sangat luas menurut pendapat pengadilan
dalam keadaan di mana pemberitaan akan merugikan kepentingan peradilan; di sisi lain setiap
putusan yang telah dibuat dalam tindak pidana atau dalam gugatan hukum harus dibuat untuk
umum kecuali dalam hal kepentingan anak-anak yang dipersyaratkan sebaliknya, atau laporan-
laporan yang berkaitan dengan sengketa perkawinan atau perwalian terhadap anak.
Dengan dimasukkannya gagasan peradilan yang merdeka dan tidak memihak ke dalam
Pasal 14 International Covenant on Civil and Political Rights membuktikan bahwa hak
tersebut, sesuai dengan pembagian HAM Karel Vasak, tergolong sebagai generasi pertama,

64
Weston, loc. cit. HAM yang tergolong dalam hak-hak sipil dan politik ini contohnya adalah Pasal 2-21
Universal Declaration of Human Rights. Lihat juga Gudmundur Alfredson dan Asbjørn Eide, eds., The Universal
Declaration of Human Rights: A common Standard of Achievement, The Hague: Martinus Nijhoff Publishers,
1999, hlm. 75-451.
65
United Nations, International Covenant on Civil and Political Rights, New York: The Secretary-General of the
United Nations, 1976.

14
yaitu yang tergolong dalam hak-hak sipil dan politik.66 Keberadaannya semakin memantapkan
perlunya gagasan peradilan yang merdeka dan tidak memihak sebagai bagian dari HAM
generasi pertama.

c. Ketentuan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dalam Basic Principles on the


Independence of the Judiciary

Selain Pasal 10 Universal Declaration of Human Rights, dan Pasal 14 International


Covenant on Civil and Political Rights tersebut di atas, Basic Principles on the Independence
of the Judiciary (Prinsip-prinsip Dasar tentang Kemerdekaan Kehakiman) juga memberikan
beberapa ketentuan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Prinsip-prinsip ini disetujui oleh
Kongres Persatuan Bangsa-Bangsa Ketujuh tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan
terhadap Penjahat (Adopted by the Seventh United Nations Congress on the Prevention of
Crime and the Treatment of Offenders) yang diadakan di Milan, Italia pada tanggal 26 Agustus
1985 sampai dengan 6 September 1985 dan telah disahkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB
Nomor 40/32 pada tanggal 29 November 1985 dan Nomor 40/146 pada tanggal 13 Desember
1985.
Berbeda dengan Universal Declaration of Human Rights dan International Covenant
on Civil and Political Rights yang tidak terlalu panjang lebar membahas tentang gagasan
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak, Basic Principles on the
Independence of the Judiciary secara panjang lebar membahas aspek-aspek gagasan
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak secara komprehensif.67
Ketentuan-ketentuan yang ada dalam Basic Principles on the Independence of the
Judiciary dirumuskan untuk membantu negara-negara di dunia mengaplikasikan gagasan
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak.68 Khusus mengenai kemerdekaan
kekuasaan kehakiman ada 9 (sembilan) Pasal yang diatur dalam Basic Principles on the
Independence of the Judiciary.
Pasal 1 menyatakan bahwa kemerdekaan kekuasaan kehakiman harus dijamin oleh
negara yang ditetapkan di dalam konstitusi atau undang-undang negara. Tugas penghormatan
dan pengamatan terhadap kemerdekaan kehakiman merupakan tugas pemerintah dan lembaga-
lembaga lainnya.
Pasal 2 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman harus memutuskan suatu perkara
dengan tanpa sikap memihak, berdasarkan fakta-fakta sesuai dengan peraturan perundang-

66
Ibid.
67
Konsideran kedua Basic Principles on the Independence of the Judiciary menyatakan, “Whereas the Universal
Declaration of Human Rights enshrines in particular the principles of equality before the law, of the presumption
of innocence and of the right to a fair and public hearing by a competent, independent and impartial tribunal
established by law”. Basic Principles on the Independence of the Judiciary, adopted by the Seventh United
Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders held at Milan from 26 August to 6
September 1985 and endorsed by General Assembly resolutions 40/32 of 29 November 1985 and 40/146 of 13
December 1985.
68
Dalam konsideran juga dinyatakan, “The following basic principles, formulated to assist Member States in their
task of securing and promoting the independence of the judiciary should be taken into account and respected by
Governments within the framework of their national legislation and practice and be brought to the attention of
judges, lawyers, members of the executive and the legislature and the public in general. The principles have been
formulated principally with professional judges in mind, but they apply equally, as appropriate, to lay judges,
where they exist”. Ibid.

15
undangan, tanpa pembatasan apa pun juga, tanpa pengaruh-pengaruh yang tidak benar, tanpa
bujukan, tanpa tekanan, tanpa ancaman atau campur tangan, baik secara langsung maupun
tidak langsung, dari bagian apa pun atau untuk alasan apa pun.
Pasal 3 meyatakan bahwa kekuasaan kehakiman harus mempunyai yurisdiksi terhadap
semua perkara yang berkaitan dengan sifat dasar pengadilan dan harus mempunyai
kewenangan untuk memutuskan apakah perkara-perkara yang diajukan untuk diputuskan
tersebut berada dalam kompetensinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4 menyatakan bahwa tidak boleh ada campur tangan terhadap proses peradilan
dalam bentuk apa pun, juga putusan-putusan pengadilan tidak boleh direvisi. Prinsip ini tidak
memasukkan judicial review atau peringanan yang dibuat oleh otoritas pembuat hukuman
yang mempunyai kompetensi yang dijatuhkan oleh pengadilan, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 5 menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk diselidiki dan diputus
oleh pengadilan biasa atau pengadilan yang menggunakan prosedur-prosedur hukum yang
telah ditetapkan. Pengadilan yang tidak menggunakan prosedur-prosedur hukum yang telah
ditetapkan sebagaimana mestinya tidak boleh dibuat untuk meninggalkan yurisdiksi
pengadilan biasa atau pengadilan lain.
Pasal 6 menyatakan bahwa prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman membutuhkan
pengadilan yang dapat menjamin bahwa proses peradilan dilaksanakan secara jujur dan hak-
hak dari para pihak dihormati.
Pasal 7 menyatakan bahwa Negara Anggota mempunyai tugas untuk menyediakan
sumber daya-sumber daya yang memadai untuk memungkinkan kekuasaan kehakiman dapat
melakukan fungsi-fungsinya secara sebagaimana mestinya.

d. Ketentuan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dalam Vienna Declaration and


Programme of Action

Ketentuan hukum internasional berikutnya adalah Vienna Declaration and Programme


of Action (Deklarasi Vienna dan Program untuk Aksi). Deklarasi ini disetujui oleh World
Conference on Human Rights yang diadakan di Vienna, Austria pada tanggal 14 sampai
dengan 25 Juni 1993. Dalam Pasal 27 Vienna Declaration and Programme of Action
dikatakan:

The administration of justice, including law enforcement and prosecutorial agencies and,
especially, an independent judiciary and legal profession in full conformity with applicable
standards contained in international human rights instruments, are essential to the full and non-
discriminatory realization of human rights and indispensable to the processes of democracy and
sustainable development. In this context, institutions concerned with the administration of justice
should be properly funded, and an increased level of both technical and financial assistance
should be provided by the international community. It is incumbent upon the United Nations to
make use of special programmes of advisory services on a priority basis for the achievement of a
strong and independent administration of justice.69

69
Secretariat of World Conference on Human Rights, Vienna Declaration and Programme of Action, World
Conference on Human Rights on 25 June 1993, in Vienna, Austria.

16
Pada dasarnya, Vienna Declaration and Programme of Action ini menekankan bahwa
administrasi pengadilan, termasuk penegakan hukum dan lembaga penuntutan, khususya
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan profesi hukum yang sepenuhnya sesuai dengan
dengan ukuran-ukuran yang dapat dilaksanakan yang terdapat dalam instrumen HAM
internasional adalah suatu hal yang mendasar untuk memenuhi dan merealisasikan HAM tanpa
diskriminasi dan sangat diperlukan dalam proses demokrasi dan pembangunan yang
berkelanjutan. Dalam konteks ini, lembaga-lembaga yang berkaitan dengan administrasi
pengadilan harus dibiayai secara memadai, serta bantuan finansial dan teknik yang meningkat
harus disediakan oleh masyarakat internasional. Hal ini merupakan kewajiban PBB untuk
membuat bergunanya program-program pelayanan laporan dalam memprioritaskan dasar
untuk mencapai administrasi pengadilan yang merdeka dan kuat.
Dengan demikian, Vienna Declaration and Programme of Action melihat persoalan
yang berkaitan dengan gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka ini tidak hanya dari sudut
pandang (perspektif) negara yang bersangkutan saja, melainkan juga melihatnya dari sisi
internasional.

e. Ketentuan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dalam Universal Declaration on the


Independence of Justice

Ketentuan internasional lain yang berkaitan dengan gagasan kekuasaan kehakiman


yang merdeka adalah Universal Declaration on the Independence of Justice (Deklarasi Umum
tentang Kemerdekaan Peradilan) yang disetujui dalam sidang paripurna terakhir First World
Conference on the Independence of Justice (Konferensi Dunia Pertama tentang Kemerdekaan
Peradilan) yang diadakan di Montreal (Quebec, Kanada) pada tanggal 10 Juni 1983.
Beberapa ketentuan tentang kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang terdapat di
dalam Universal Declaration on the Independence of Justice cukup komprehensif. Menurut
deklarasi ini, hakim yang berada di dalam suatu negara mempunyai tujuan-tujuan dan fungsi-
fungsi sebagai berikut:

1) Untuk melaksanakan hukum secara tidak memihak antara warga negara dan
warga negara, dan antara warga negara dengan negara;
2) Untuk memajukan ketaatan dan pencapaian hak-hak asasi manusia dalam batas-
batas yang semestinya dari fungsi-fungsi peradilan;
3) Untuk menjamin bahwa semua orang dapat hidup secara aman di bawah aturan
hukum (rule of law).70

Sementara itu, yang berkaitan dengan kemerdekaan kekuasaan kehakiman terdapat


berbagai ketentuan sebagai berikut:

1) Hakim harus bebas secara individual, dan tugasnya adalah memutuskan setiap
perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya secara tidak memihak (imparsial),
sesuai dengan penilaiannya terhadap fakta-fakta dan pemahamannya terhadap

70
Angka II International Judges, Universal Declaration on the Independence of Justice, unanimously adopted at
the final plenary session of the First World Conference on the Independence of Justice held at Montreal Quebec,
Canada on June 10th, 1983.

17
hukum tanpa ada beberapa pembatasan, pengaruh, bujukan, tekanan, ancaman
atau campur tangan, baik langsung maupun tidak langsung, dari bagian mana
pun atau alasan apa pun;
2) Di dalam proses pembuatan putusan, para hakim harus merdeka vis-a-vis para
kolega dan hakim atasannya. Setiap tingkatan organisasi peradilan dan setiap
perbedaan tingkatan atau pangkat tidak boleh ada campur tangan dengan hak
dari para hakim untuk menjatuhkan hukumannya secara bebas;
3) Kekuasaan kehakiman harus merdeka dari kekuasaan eksekutif dan legislatif;
dan
4) Kekuasaan kehakiman harus mempunyai yurisdiksi terhadap semua persoalan
yang mempunyai sifat dasar peradilan.71

f. Ketentuan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dalam International Bar Association


Code of Minimum Standards of Judicial Independence

International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence


(Kode Standar Minimum Asosiasi Pengacara Internasional tentang Kemerdekaan Peradilan)
ditetapkan di New Delhi, India pada tanggal 22 Oktober 1982. Di dalamnya terdapat beberapa
ketentuan penting berkaitan dengan gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Bagian
pertama kode standar minimum yang ditetapkan dalam konferensi tersebut menyatakan
sebagai berikut:

a) Individual judges should enjoy personal independence and substantive


independence;
b) Personal independence means that the terms and conditions of judicial service
are adequately secured, so as to ensure that individual judges are not subject to
executive control;
c) Substantive independence means that in the discharge of his judicial function, a
judge is subject to nothing but the law and the commands of his conscience.
d) The judiciary as a whole should enjoy autonomy and collective independence
vis-a-vis the Executive.72

g. Ketentuan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dalam The Cairo Declaration on


Human Rights in Islam

The Cairo Declaration on Human Rights in Islam (Deklarasi Kairo tentang Hak-hak
Asasi Manusia dalam Islam) ditetapkan dalam forum The Nineteenth Islamic Conference of
Foreign Ministers dalam Sesi yang bertema “Peace, Interdependence, and Development” yang
diselenggarakan di Kairo, Mesir pada tanggal 31 Juli-5 Agustus 1990 atau bertepatan dengan

71
Ibid., angka II National Judges angka 2.02-2.05.
72
International Bar Association, International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial
Independence, The Jerussalem Approved Standards of the 19th IBA Biennial Conference held on Friday, 22nd
October 1982, in New Delhi, India.

18
9-14 Muharram 1411 Hijriah yang dituangkan dalam Resolusi Nomor 49/19-P.73 Menurut
Ismail Suny, pasal-pasal dari The Cairo Declaration on Human Rights in Islam dapat
diperbandingkan dengan pasal-pasal yang terdapat di dalam Universal Declaration of Human
Rights.74 Perbandingan ini dilakukan terhadap 25 pasal yang terdapat dalam The Cairo
Declaration on Human Rights in Islam dan 30 pasal dalam Universal Declaration of Human
Rights.75
Penelitian ini mengkhususkan diri pada pasal-pasal yang berkaitan baik langsung
maupun tidak langsung dengan gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka yang terdapat
dalam The Cairo Declaration on Human Rights in Islam. Dalam Pasal 19 The Cairo
Declaration on Human Rights in Islam disebutkan sebagai berikut:

1) All individuals are equal before the law, without distinction between the ruler
and the ruled.
2) The right to resort to justice is guaranteed to everyone.
3) Liability is in essence personal.
4) There shall be no crime or punishment except as provided for in the Shari’ah.
5) A defendant is innocent until his guilt is proven in a fair trial in which he shall
be given all the guarantees of defence.76

Pasal-pasal tersebut berkaitan erat dengan prinsip-prinsip persamaan di depan hukum,


hak untuk mendapatkan keadilan, pertanggungjawaban personal, tidak ada kejahatan atau
hukuman kecuali yang telah ditetapkan Syari’ah, dan terdakwa dianggap tidak bersalah sampai
pengadilan yang fair telah membuktikannya. Pasal 19 huruf e di atas menegaskan bahwa
terdakwa dapat dikatakan bersalah apabila telah dibuktikan dalam persidangan yang jujur
(fair) yang memberikan jaminan kepada terdakwa untuk melakukan pembelaan. Pasal ini
menurut Suny mempunyai persesuaian dengan pasal 7, 10, dan 11 Universal Declaration of
Human Rights77 yang berkaitan dengan prinsip-prinsip persamaan di depan hukum, peradilan
yang fair, praduga tidak bersalah, dan asas legalitas. Khusus pasal-pasal yang berkaitan
dengan hukum dan kekuasaan kehakiman, terdapat persesuian sebagai berikut:

Tabel 2.1. Persesuian Antara Ketentuan Kekuasaan Kehakiman dalam


The Cairo Declaration on Human Rights in Islam dan
Universal Declaration of Human Rights

The Cairo Declaration on Universal Declaration of Human


Human Rights in Islam Rights

73
Lihat misalnya Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights Genewa, Human Rights: A
Compilation of International Instruments, Volume II: Regional Instruments, New York: United Nations, 1997,
hlm. 477.
74
Ismail Suny, The Organization of the Islamic Conference, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000, hlm. 119-150.
75
Ibid., hlm. 151-152.
76
Organization of the Islamic Conference. The Cairo Declaration on Human Rights in Islam. The Nineteenth
Islamic Conference of Foreign Ministers, Adopted and Issued at the Nineteenth Islamic Conference of Foreign
Ministers in Cairo on 5 August 1990
77
Ibid.

19
Article 7
All are equal before the law and are entitled
without any discrimination to equal protection
of the law. All are entitled to equal protection
against any discrimination in violation of this
Article 19 Declaration and against any incitement to such
All individuals are equal before the law, discrimination.
without distinction between the ruler and Article 10
the ruled. Everyone is entitled in full equality to a fair and
The right to resort to justice is guaranteed public hearing by an independent and impartial
to everyone. tribunal, in the determination of his rights and
Liability is in essence personal. obligations and of any criminal charge against
There shall be no crime or punishment him.
except as provided for in the Shari’ah. Article 11
A defendant is innocent until his guilt is Everyone charged with a penal offense has the
proven in a fair trial in which he shall be right to be presumed innocent until proved
given all the guarantees of defence. guilty according to law in a public trial at which
he has had all the guarantees necessary for his
defence.
No one shall be held guilty of any penal offence
on account of any act or omission which did not
constitute a penal offence, under national or
international law, at the time when it was
committed. Nor shall a heavier penalty be
imposed than the one that was applicable at the
time the penal offence was committed.

The Cairo Declaration on Human Rights in Islam memang tidak memberikan


keterangan lebih lanjut mengenai fair trial sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 (e). Akan
tetapi, hal itu sudah memberikan suatu petunjuk bahwa The Cairo Declaration on Human
Rights in Islam memberikan perhatian khusus terhadap lembaga peradilan. Meskipun The
Cairo Declaration on Human Rights in Islam merupakan instrumen HAM di Tingkat
Regional,78 tetapi mempunyai pengaruh yang sangat luas dan bersifat global mengingat
populasi umat Islam yang sangat besar di dunia. Oleh karena itu, sangat tidak lengkap kalau
penelitian ini tidak menyinggung pasal-pasal dalam The Cairo Declaration on Human Rights
in Islam yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka.

h. Ketentuan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dalam Beijing Statement of Principles


of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region

Sebagaimana The Cairo Declaration on Human Rights in Islam yang merupakan


instrumen hukum internasional di tingkat regional, demikian juga Beijing Statement of
Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region (Pernyataan Beijing
tentang Prinsip-prinsip Kemerdekaan Kehakiman dalam Wilayah Hukum Asia) yang ditujukan
untuk wilayah hukum di Asia. Pernyataan tersebut antara lain sebagai berikut:

1) The judiciary is an institution of the highest value in every society;

78
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Cet. I, Jakarta: Pusat Studi Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003, hlm. 5 dan 86.

20
2) The Universal Declaration of Human Rights (Art. 10) and The International
Covenant on Civil and Political Rights (Art. 14 [1]) proclaim that everyone
should be entitled to a fair and public hearing by a competence, independence
and impartial tribunal established by law. An independent Judiciary is
indispensable to the implementation of this rights;
3) Independence of the Judiciary requires that:

a) the judiciary shall decide matters before it in accordance with its


impartial assessment of the facts and its understanding of the law
without improper influences, direct or indirect, from any source: and
b) the Judiciary has jurisdiction, directly or by way of review, over all
justiciable nature;

4) The maintenance of the independence of the Judiciary is essential so the


attainment of its objectives and the proper performence of its functions in a free
society obeserving the Rule of Law. It is essential that such independence be
guaranteed by the State and enshrined in the Constitution or the law;
5) It is the duty of the Judiciary to respect and observe the proper objectives and
functions of the other institutions of government. It is the duty of those
institution to respect and observe the proper objectives and functions of the
Judiciary.
6) In the decision-making process, any hierarchical organisation of the Judiciary
and any difference in grade or rank shall in no way interfere with the duty of
the judge, exercising jurisdiction individually or judges acting collectively to
pronounce judgment in accordance with article 3 (a). The Judiciary, on its part,
individually and collectively, shall exercise its functions in accordance with the
Constitution and the law;
7) Judges shall uphold the integrity and independence of the Judiciary by avoiding
impropriety and the appearance of impropriety in all their activities;
8) To the extent consistent with their duties as members of the Judiciary, judges,
like other citizens, are entitled to freedom of expression, belief, association and
assembly;
9) Judges shall be free subject to any applicable law to form and join an
association of judges to represent their interests and promote their professional
training and to take such other action to protect their independence as may be
apropriate.79

Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Beijing Statement of Principles of the


Independence of Judiciary in the Law Asia Region mempunyai beberapa kesamaan dengan
ketentuan-ketetntuan kekuasaan kehakiman yang merdeka yang terdapat dalam Basic
Principles on the Independence of the Judiciary sebagaimana telah dikemukakan di atas.

79
Law Asia Region, Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region, as
amended at Manila, 28 August 1997.

21
B. Mekanisme Perekrutan Hakim dan Intervensi Kekuasaan Politik

1. Ketentuan-Ketentuan Internasional tentang Perekrutan Hakim

Berbagai ketentuan hukum internasional memberikan persyaratan-persyaratan umum


tentang perekrutan hakim. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya penciptaan standar umum
dalam membentuk kekuasaan kehakiman yang merdeka di dalam suatu negara, sehingga dapat
dikualifikasikan mana negara yang telah memenuhi syarat dalam menegakkan gagasan
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mana negara yang belum memenuhi syarat tersebut.
Dengan demikian, gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak dengan mudah
direduksi dan didistorsi oleh negara-negara tertentu dengan menggunakan paradigmanya
sendiri di dalam mengimplementasikan gagasan tersebut. Dalam konteks Indonesia, khususnya
pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan Orde Baru (1966-1998), gagasan
kekuasaan kehakiman yang merdeka pernah direduksi dan didistorsi sedemikian rupa,
sehingga secara substantif dan dalam batas tertentu apa yang disebut dengan kemerdekaan
kekuasaan kehakiman sesungguhnya tidak ada.

a. Ketentuan-ketentuan Perekrutan Hakim dalam Basic Principles on the Independence of


the Judiciary

Salah satu ketentuan hukum internasional yang menentukan persyaratan perekrutan


hakim adalah Pasal 10 Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Prinsip-prinsip
Dasar tentang Kemerdekaan Kehakiman) yang memberikan beberapa ketentuan yang
meskipun tidak terlalu komprehensif, tetapi cukup memberikan gambaran umum yang cukup
jelas mengenai persyaratan perekrutan hakim. Pasal 10 mengatakan sebagai berikut:

Persons selected for judicial office shall be individuals of integrity and ability with appropriate
training or qualifications in law. Any method of judicial selection shall safeguard against judicial
appointments for improper motives. In the selection of judges, there shall be no discrimination
against a person on the grounds of race, colour, sex, religion, political or other opinion, national
or social origin, property, birth or status, except that a requirement, that a candidate for judicial
office must be a national of the country concerned, shall not be considered discriminatory.80

Ketentuan-ketentuan di atas memberikan beberapa persyaratan penting yang


mengandung beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses perekrutan hakim, yaitu:
1) Adanya integritas, kecakapan, dan kualifikasi calon hakim;
2) Metode seleksi hakim harus memberikan perlindungan bagi pengangkatan
hakim dari motivasi-motivasi yang tidak layak.
3) Tidak boleh ada diskriminasi terhadap para calon hakim.

b. Ketentuan-ketentuan Perekrutan Hakim dalam Universal Declaration on the


Independence of Justice

80
Pasal 10 Basic Principles on the Independence of the Judiciary Basic Principles on the Independence of the
Judiciary, op. cit.

22
Universal Declaration on the Independence of Justice (Deklarasi Umum tentang
Kemerdekaan Peradilan) memberikan beberapa persyaratan perekrutan hakim sebagai berikut:

1) Candidates for judicial office shall be individuals of integrity and ability, well-
trained in the law. They shall give have equality of access to judicial office;
2) In the selection of judges, there shall be no discriminations on the grounds of
race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or
social origin, property, birth or status, subject however to citizenship
requirements;
3) The process and standards of judicial selections shall give due consideration to
ensuring a fair reflection by the judiciary of the society in all its aspects;
4) (a) There is no single proper methode of judicial selection provided it
safeguards against judicial appoinments for improper motives; (b) Participation
in judicial appoinments by the Executive or Legislature is consistent with
judicial independence, so long as appoinments of judges are made in
cosultation with members of the judiciary and the legal profession, or by a body
in which members of the judiciary and the legal profession participate;
5) Continuing education shall be available to judges.81

c. Ketentuan-ketentuan Perekrutan Hakim dalam International Bar Association Code of


Minimum Standards of Judicial Independence

International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence


(Kode Standar Minimum Asosiasi Pengacara Internasional tentang Kemerdekaan Peradilan)
memberikan ketentuan tentang perekerutan hakim sebagai berikut:

1) Participation in judicial appointments and promotions by the Executive or


Legislature is not inconsistent with judicial independence, provided that
appointments and promotions of judges are vested in a judicial body, in which
members of judiciary and the legal profession form a majority;
2) Appoinments and promotions by a non-judicial body will not be considered
inconsistent with judicial independence in countries where by long historic and
democratic tradition, judicial appointments and promotion operate
satisfactorily.82

d. Ketentuan-ketentuan Perekrutan Hakim dalam Beijing Statement of Principles of the


Independence of Judiciary in the Law Asia Region

Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia


Region (Pernyataan Beijing tentang Prinsip-prinsip Kemerdekaan Kehakiman dalam Wilayah
Hukum Asia) memberikan ketentuan tentang perekrutan hakim sebagai berikut:

81
Angka 2.11-2.14 Universal Declaration on the Independence of Justice. International Judges, op. cit.
82
Pasal 3 (a) International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence. International
Bar Association, op. cit.

23
1) To enable the judiciary to achieve its objectives and perform its function, it is
essensial that judges be chosen on the basis of proven competence, integrity
and independence;
2) The mode of appoinment of judges must be such as will ensure the appoinment
of persons who are best qualified for judicial office. It must provide safeguards
against improper influences being taken into account so that only persons of
competence, integrity and independence are appointed
3) In the selection judges there must be no discrimination against a person on the
basis of race, colour, gender, religion, political or other opinion, national or
social origin, marital status, sexual orientation, property, birth or status, except
that a requirement that a candidate for judicial office must be a national of the
country concerned shall not be considered discriminatory;
4) The structure of the legal profession, and the sources from which judges are
drown within the legal profession, differ in different societies. In some
societies, the judiciary is a career service; in other, judges are chosen from the
practicing profession. Therefore, it is accepted that in different societies,
different procedures and safeguards may be adopted to ensure the proper
appoinment of judges;
5) In some societies, the appoinment of judges, by, with the consent of, or after
consultation with Judicial Service Commission has been seen as a means of
ensuring that those chosen as judges are appropriate for the purpose. Where a
Judicial Service Commission is adopted, it should include representatives of the
higher Judiciary and the independent legal profession as a means of ensuring
that judicial competence, integrity and independence are maintained;
6) In the absence of a Judicial Service Commission, the procedures for
appoinment of judges should be clearly defined and formalised and information
about them should be available to the public;
7) Promotion of judges must be based on an objective assessment of factors such
as competence, integrity, independence and experience.83

2. Intervensi Kekuasaan Politik dalam Perekrutan Hakim Agung

a. Kekuasaan Politik dan Nominasi Hakim Agung

Sebagaimana telah disinggung di dalam Bab I, di berbagai negara, perekrutan hakim,


khususnya hakim agung, akan selalu mengundang kekuasaan politik untuk ikut serta di
dalamnya.84 Sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab I, kekuasaan eksekutif – dalam hal
ini Presiden – dan kekuasaan legislatif – dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) –
selalu berlomba-lomba untuk ikut terlibat di dalam perekrutan hakim agung agar dapat
83
Pasal 11-17 Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region. Law Asia
Region, op. cit.
84
Intervensi kekuasaan politik tersebut jauh lebih buruk pada negara-negara dengan corak otoriter. Hal ini
disebabkan karena di negara-negara otoriter, kontrol kekuasaan politik (khususnya eksekutif) terhadap kekuasaan
kehakiman sangat besar. Tentang hal ini lihat misalnya Fernando Henrique Cardozo, On the Characterization of
Authoritarian Regimes in Latin America, Cambridge: Center of Latin American Studies, University of
Cambridge, 1978, hlm. 12.

24
mendudukkan orang-orang yang dikehendaki sebagai hakim agung yang dapat
memperjuangkan kepentingan-kepentingannya di kemudian hari.85
Dari asumsi tersebut, Christopher E. Smith mengatakan, “Nominations for the high
court normally generate the greatest political interest and impact of any judicial nomination”.
Dengan demikian, di Amerika Serikat, penominasian hakim agung biasanya selalu
memunculkan kepentingan dan dampak politik yang luas.86 Hal ini dikarenakan kekuasaan
kehakiman dapat dijadikan sebagai alat politik bagi kekuasaan politik, sehingga diharapkan
dapat memperjuangkan atau membela kepentingan-kepentingan politiknya. Lebih lanjut Smith
mengatakan sebagai berikut:

Presidents have specific political purposes in mind when they nominate an individual to become
a Supreme Court justice. Generally, presidents seek to nominate someone whose political
ideology and policy preferences comport with theirs.87

Kekuasaan politik mempunyai energi yang cukup besar untuk melakukan intervensi
terhadap kekuasaan kehakiman.88 Besarnya pengaruh kekuasaan politik ini dibuktikan bahwa
setiap penominasian hakim agung akan selalu mempunyai keterkaitan dengan kalkulasi politik

85
Christopher E. Smith, Critical Judicial Nominations and Political Change, Westport, Connecticut: Praeger,
1989, hlm. 12.
86
Berkaitan dengan hal tersebut, telah terbit beberapa buku yang membahas keterkaitan politik dengan lembaga
peradilan, seperti Theodore L. Becker, Comparative Judicial Politics: The Political Functionings of Courts,
Chicago: Rand McNally & Company, 1969; Ivan Bernier dan Andree Lajoie, The Supreme Court of Canada as
an Instrument of Political Change, Toronto: University of Toronto Press, 1945; Eugene W. Hickok dan Gary L.
McDowell, Justice vs. Law, Courts and Politics in American Society, New York: The Free Press, 1972, dll.
Dalam konteks Indonesia, telah terbit buku yang mengaitkan konfigurasi politik dengan kekuasaan kehakiman,
yaitu Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman, Cet. I, Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat-ELSAM, 1997, dan disertasi A. Muhammad Asrun, “Pemerintahan Otoriter dan
Independensi Peradilan: Kajian Fenomena Keadilan Personal dalam Peradilan di Tingkat Mahkamah Agung
(1967-1998)”, Disertasi doktor dalam Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2003. Uraian mengenai keterkaitan politik dengan lembaga peradilan ini lihat
misalnya Winarno Yudho, “Ilmu Politik dan Hukum”, dalam Soerjono Soekanto dan R. Otje Salman, eds.,
Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial (Bahan Bacaan Awal), Ed. I, Cet. II, Jakarta: Rajawali, 1988, hlm. 103.
87
Ibid.
88
Di Indonesia, ahli yang banyak meneliti tentang adanya intervensi politik terhadap hukum adalah Moh. Mahfud
M.D. Beberapa penelitiannya mengungkapkan adanya fakta empiris yang lebih menujukkan bahwa politik
mempunyai derajat determinasi yang lebih tinggi daripada hukum. Beberapa karyanya yang mengupas
keterkaitan yang erat antara politik dan hukum ini adalah Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, Cet. I,
Jakarta: LP3ES, 1998 sebagaimana telah beberapa kali dikutip di atas dalam penelitian ini; Moh. Mahfud M.D.,
Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tatanegara, Yogyakarta: UII Press, 1999; Moh. Mahfud M.D., Dasar
dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 1993; Moh. Mahfud M.D., Hukum dan Pilar-
pilar Demokrasi, Jakarta: CV Gama Media, 1999; Moh. Mahfud M.D., Karakter Produk Hukum Zaman
Kolonial, Yogyakarta: UII Press, 1993; Moh. Mahfud M.D., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Jakarta:
CV Gama Media, 1999; Moh. Mahfud M.D., Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi tentang Interaksi
Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, ed. I, cet. I, Yogyakarta: Liberty, 1993; dan Moh. Mahfud M.D.,
Pergulatan Politik Hukum Zaman Kolonial, Yogyakarta: UII Press, 1999. Pada tataran lain yang lebih khusus,
politik juga ikut memberikan pengaruh terhadap perubahan tafsir atas konstitusi. Yusril Ihza Mahendra, “Politik
dan Perubahan Tafsir atas Konstitusi”, Pidato Pengukuhan pada Upacara Penerimaan Jabatan sebagai Guru Besar
Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Kampus Baru Universitas Indonesia, Depok, 25 April 1998.

25
dari seorang Presiden yang berkuasa. Christopher E. Smith mengatakan, “All Supreme Court
nominations are determined by the presiden’s political calculations”.89
Pernyataan tersebut tidak terlepas dari kenyataan bahwa hakim agung mempunyai
peran yang sangat besar dalam hal memutuskan perkara-perkara besar yang dihadapi. Oleh
karena itu, seorang hakim agung harus mempunyai beberapa kriteria yang tidak mudah untuk
dipenuhi. Kriteria-kriteria ideal secara umum misalnya harus memiliki kemampuan di bidang
hukum, pengalaman yang memadai, memliki integritas, moral dan karakter yang baik, dan
seterusnya. Hakim yang memiliki kriteria-kriteria ini tidak akan hadir dalam suatu sistem
perekrutan yang buruk. Tidak salah apabila dikatakan bahwa good judges are not born but
made. Hal ini bisa dicapai apabila sistem rekruitmen, seleksi dan pelatihan hakim tersedia
secara memadai.90
Kondisi ideal tersebut di atas bisa dicapai salah satunya apabila proses perekrutan
hakim – khususnya hakim agung – harus sedapat mungkin dijauhkan dari kepentingan-
kepentingan politik, sehingga penilaian terhadapnya relatif lebih objektif. Kehadiran Komisi
Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman dapat menjadi instrumen untuk menjauhkan
proses rekruitmen hakim agung dari kepentingan-kepentingan politik yang seringkali distorsif.
Oleh karena itu, F. Andrew Hanssen mengatakan bahwa sistem perekrutan dan promosi
seoarang hakim dapat menjadi tolok ukur seberapa jauh sebenarnya kekuasaan kehakiman
yang merdeka itu dimplementasikan dalam suatu negara, karena secara teknis sistem
perekrutan dan promosi hakim dapat membuka ruang terciptanya intervensi kekuasaan politik
ke dalamnya.91
Salah satu gagasan yang kemudian muncul dan akhirnya diterapkan di beberapa negara
adalah didirikan sebuah lembaga yang mempunyai peran signifikan dalam perekrutan hakim
(agung). Lembaga ini sifatnya non-politik, sehingga kepentingan-kepentingan politik
diharapkan tidak ikut melakukan determinsai terhadap perekrutan hakim (agung). Lembaga
yang dimaksud adalah Komisi Yudisial.
Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia
Region (Pernyataan Beijing tentang Prinsip-prinsip Kemerdekaan Kehakiman dalam Wilayah
Hukum Asia) menyatakan bahwa pengangkatan hakim (agung) yang melalui persetujuan atau
konsultasi terlebih dahulu dengan Komisi Yudisial (Judicial Service Commission) dilihat
sebagai instrumen untuk menjamin bahwa para hakim yang diangkat sesuai dengan tujuan
yang diharapkan. Apabila di dalam suatu negara tidak dikenal lembaga semacam Komisi
Yudisial, maka prosedur pengangkatan harus ditentukan secara tegas dan publik harus
mendapatkan informasi secukupnya mengenai calon-calon hakim yang dipersiapkan.92 Hal ini
89
Ibid., hlm. 46. Sebagai pendalaman terhadap hubungan antara hakim, kekuasaan kehakiman, dan politik ini,
lihat misalnya Henry J. Abraham, Justices and Presidents: A Political History of Appoinments to the Supreme
Court, 2nd Edition, New York/Oxford: Oxford University Press, 1985; Herman Schwartz, Packing the Courts:
The Conservative Campaign to Rewrite the Constitution, New York: Charles Scribner’s Sons, 1988; William
Lasser, The Limits of Judicial Power: The Supreme in American Politics, Chapel Hill & London: University of
North Carolina Press, 1988.
90
Odette Buitendam, “Good Judges are Not Born but Made: Recruiment, Selection and the Training of Judges in
the Netherlands”, dalam Marco Fabri dan Philip M. Langbroek, eds., The Challenge of Change for Judicial
System, Netherlands: IOS Press, 2000, hlm. 211.
91
F. Andrew Hanssen, “The Effect of Judicial Institutions on Uncertainty and the Rate of Litihation: the Election
Versus Appoinment of States Judges”, The Journal of Legal Studies, Vol. XXVIII, January 1999, hlm. 211.
92
Pasal 15-16 Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region. Law Asia
Region, op. cit.

26
membuktikan bahwa Komisi Yudisial mempunyai peran yang sangat penting dalam proses
perekrutan hakim, khususnya hakim agung. Kehadiran Komisi Yudisial menjadi semacam
jaminan bahwa para hakim yang diangkat sesuai dengan gagasan kekuasaan kehakiman yang
merdeka.

b. Nominasi Hakim dan Ancaman terhadap Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman

Proses perekrutan atau pencalonan (penominasian) seorang hakim – khususnya hakim


agung – di setiap negara harus sedapat mungkin menjamin tidak adanya motivasi-motivasi
tertentu yang tidak bisa dibenarkan, seperti motivasi politik.93 Oleh karena itu, terdapat
beberapa ketentuan untuk menghindari terjadinya campur tangan kekuasaan politik terhadap
perekrutan hakim yang dapat mengancam terciptanya gagasan kekuasaan kehakiman yang
merdeka.94 Pasal 10 Basic Principles on the Independence of the Judiciary Basic Principles on
the Independence of the Judiciary (Prinsip-prinsip Umum tentang Kemerdekaan Kekuasaan
Kehakiman) menegaskan, “Any method of judicial selection shall safeguard against judicial
appointments for improper motives”.95 Motivasi-motivasi yang tidak bisa dibenarkan atau
yang tidak layak ini memasukkan motivasi-motivasi yang bersifat politik. Artinya motivasi
politik tidak boleh dijadikan alasan utama untuk menominasikan sesorang menjadi kandidat
hakim, apalagi hakim agung.
Nominasi hakim yang melalui pintu kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif bisa
menjadi ancaman bagi kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, keterlibatan
kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif di dalam perekrutan hakim harus melalui
konsultasi dengan anggota badan kehakiman atau profesi hukum lainnya, atau sebuah lembaga
tertentu yang keanggotaannya terdiri dari badan kehakiman atau profesi hukum. Komisi
Yudisial termasuk ke dalam lembaga dengan kriteria tersebut. Universal Declaration on the
Independence of Justice (Deklarasi Umum tentang Kemerdekaan Peradilan) masih
memberikan ruang yang cukup bagi kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif di dalam
perekrutan hakim, tetapi dengan syarat harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan pihak atau
lembaga lain.96

93
Berkaitan dengan hal ini telah terbit beberapa buku yang di antaranya membicarakan mekanisme perekrutan
hakim, seperti Neil D. McFeeley, Appoinment of Judges: The Johnson Presidency, Austin: University of Texas
Press, 1987; Henry J. Abraham, The Judicial Process, 7th Edition, New York/Oxford: Oxford University, 1993;
Christopher E. Smith, Judicial Self-interset: Federal Judges and Court Administration, Westport,
Connecticut/London: Praeger Publisher, 1995. Sedangkan buku yang membicarakan mekanisme perekrutan
hakim konstitusi di antaranya adalah Alec Stone, The Birth of Judicial Politics in France: The Constitutional
Council in Comparative Perspective, New York/Oxford: Oxford University Press, 1992; Donald P. Kommers,
Judicial Politics in West Germany: A Study of the Federal Constitutional Court, Beverly Hills, California: SAGE
Publication, 1976; Donald P. Kommers, The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany,
Second Edition, Durham and London: Duke University Press, 1997, hlm. 21-22..
94
Keterkaitan lembaga peradilan dengan aspek-aspek politik ini kemudian menimbulkan adanya studi terhadap
lembaga peradilan dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Rosemary J. Erickson dan Rita J. Simon, The Use of
Social Science Data in Supreme Court Decisions, Urbana and Chicago: University of Illinois Press, 1998, hlm.
12-18.
95
Pasal 10 Basic Principles on the Independence of the Judiciary Basic Principles on the Independence of the
Judiciary, op. cit.
96
Angka 2.14 (b) Universal Declaration on the Independence of Justice. International Judge, op. cit.

27
International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence
(Asosiasi Kode Standar Minimum Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman Peradilan
Internasional) juga masih memberikan kemungkinan terlibatnya kekuasaan eksekutif dan
kekuasaan legislatif di dalam perekrutan hakim. Akan tetapi, kewenangan untuk melakukan
pengangkatan dan promosi terletak pada lembaga peradilan.97 Pengangkatan dan promosi
hakim dapat dilakukan oleh lembaga non-yudisial dengan syarat hal ini terjadi di negara yang
telah mempunyai tradisi demokrasi yang panjang dan pengangkatan dan promosi hakim yang
telah berlangsung sebelumnya berjalan secara memuaskan.98
Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia
Region (Pernyataan Beijing tentang Prinsip-prinsip Kemerdekaan Kehakiman dalam Wilayah
Hukum Asia) juga mengharuskan pola pengangkatan yang berlaku dapat menjamin
terekrutnya orang-orang yang memenuhi syarat sebagai hakim.99 Komisi Yudisial diharapkan
bisa menjadi lembaga yang tidak terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan politik, karena
lembaga ini diidealkan tidak mempunyai kepentingan yang bersifat politik, sehingga setiap
pilihan-pilihan pertimbangan yang diambilnya lebih berdimensi kepentingan pemajuan
lembaga peradilan. Hal yang berbeda terjadi pada kekuasaan eksekutif dan kekuasaan
legislatif yang mempunyai derajat kepentingan politik yang sangat tinggi, sehingga setiap
tindakan yang diambilnya selalu dapat dibaca sebagai bagian dari aktivitas politik yang
seringkali distorsif dan mengabaikan prinsip-prinsip meritokrasi.

C. Etika Profesi Hukum dan Penegakan Kode Etik Profesi Hukum

Sebagaimana telah disinggung di dalam Bab I, istilah etika dalam Bahasa Indonesia
diambil dari ethos (bentuk tunggal) Bahasa Yunani yang berarti tempat tinggal, padang
rumput, kandang, kebiasaan, adat; watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Bentuk jamaknya ta
etha yang berarti adat istiadat.100 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).101
Sedangkan Black’s Law Dictionary mengartikan ethics sebagai berikut:

Of or relating to moral action, conduct, motive or character; as, ethical emotion; also, treating of
moral feeling, duties or conduct; containing precepts of morality; moral. Professionally right or
befitting; conforming to professional standards of conduct.102

Sementara itu, definisi profesi secara singkat adalah sebuah sebutan untuk jabatan
pekerjaan, dimana orang yang menyandangnya dianggap mempunyai keahlian khusus yang

97
Pasal 3 (a) International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence. International
Bar Association, op. cit.
98
Ibid.
99
Pasal 11-17 Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region. Law Asia
Region, op. cit.
100
K. Bertens, Etika, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997, hlm. 4.
101
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I, Ed. III, Jakarta: Balai Pustaka,
2001, hlm. 309.
102
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary: Definitions of the Terms and Phrases of American and
English Jurisprudence, Ancient and Modern, St. Paul, Minn.: West Group, 1991, hlm. 384.

28
diperoleh melalui training dan pengalaman kerja.103 Terminologi profesi paralel dengan
profesionalitas yang dicirikan dengan tiga karakter penting. Pertama, keterkaitan profesi
tersebut dengan disiplin ilmu yang dipelajarinya dan karenanya bersifat khusus. Kedua,
mempunyai kemampuan merealisasikan teori-teori ilmunya dalam ranah praktis dengan baik.
Ketiga, mempunyai banyak pengalaman kerja.104 Sedangkan Black’s Law Dictionary
mengartikan profession sebagai berikut: A vocation or occupation requiring special, usually
advanced, education, knowledge, and skill; e.g. law or medical professions. Also refer to
whole body of such profession.105
Selain itu, profesi secara umum juga dapat diartikan sebagai pekerjaan yang berwujud
karya pelayanan yang dijalankan dengan penguasaan dan penerapan pengetahuan di bidang
keilmuan tertentu, yang pengembangannya dihayati sebagai suatu panggilan hidup, dan
pelaksanaannya terikat pada nilai-nilai etika tertentu yang dilandasi semangat pengabdian
terhadap sesama manusia, demi kepentingan umum, serta berakar pada penghormatan dan
upaya untuk menjunjung tinggi martabat manusia.106
Secara sederhana dapat diperoleh kesimpulan bahwa etika profesi adalah sikap etis
sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam menjalani kehidupan sebagai pengemban
profesi. Hanya pengemban profesi yang bersangkutan sendiri yang dapat atau paling
mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban profesi memenuhi tuntutan etika
profesinya atau tidak.107 Sejalan dengan pengertian ini, profesi hukum dapat dipahami sebagai
profesi yang, melalui penguasaan dan penerapan disiplin ilmu hukum di dalam masyarakat,
diemban orang untuk menyelenggarakan dan menegakkan ketertiban yang berkeadilan di
dalam masyarakat itu.108

1. Moralitas Profesi Hukum

a. Nilai-nilai Moralitas Umum Profesi Hukum

Menurut Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi yang dibuat oleh Komisi Hukum
Nasional Republik Indonesia (KHN RI) Tahun 2003, profesi hukum dipahami sebagi profesi
yang, melalui penguasaan dan penerapan disiplin ilmu hukum di dalam masyarakat, diemban
orang untuk menyelenggarakan dan menegakkan ketertiban yang berkeadilan di dalam
masyarakat itu. Oleh karena itu, selalu ada tuntutan agar pengembanan profesi hukum
senantiasa didasarkan pada nilai-nilai moralitas umum (common morality) sebagai berikut:

103
E. Soemaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-norma bagi Penegak Hukum, Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1995, hlm. 32.
104
Ibid., hlm. 33-34.
105
Black, op. cit., hlm. 841.
106
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, “Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi”, Jakarta: Komisi
Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003, hlm. 1. Sebagai perbandingan lihat misalnya Cristopher E. Smith,
Courts, Politics, and the Judicial Process, Chicago: Nelson-Hall Publisher Inc., 1993, hlm. 57-85.
107
Bernard Arif Sidharta, “Etika dan Kode Etik Profesi Hukum”, Majalah Ilmu Hukum dan Pengetahuan
Masyarakat, Padjadjaran, Jilid V No. 3-4, 1974, sebagaimana dikutip oleh Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi
Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 8.
108
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, op. cit.

29
1) Nilai-nilai kemanusiaan (humanity), dalam arti penghormatan pada keluhuran
martabat kemanusiaan;
2) Nilai-nilai keadilan (justice), dalam arti dorongan untuk selalu memberikan
kepada orang apa yang menjadi haknya;
3) Nilai-nilai kepatutan arau kewajaran (reasonableness), dalam arti bahwa upaya
mewujudkan keadilan dalam masyarakat selalu diwarnai oleh kesadaran untuk
selalu memperhatikan dan memperhitungkan rasionalitas situasi dan rasa
keadilan individual anggota masyarakat;
4) Nilai-nilai kejujuran (honesty), dalam arti dorongan kuat untuk selalu
memelihara kejujuran dan penghindaran diri dari perbuatan-perbuatan yang
curang;
5) Keharusan untuk memiliki kualitas keahlian dan keilmuan (professional and
knowledge credibility) yang tinggi dalam disiplin ilmu hukum pada para
pengembannya;
6) Kesadaran untuk selalu menghormati dan menjaga integritas dan kehormatan
profesinya; dan
7) Nilai-nilai pelayanan dan kepentingan publik (to serve public interest), dalam
pengertian bahwa di dalam pengembanan profesi hukum telah melekat
semangat keberpihakan pada hak-hak dan kepuasan masyarakat pencari
keadilan yang merupakan kosekuensi langsung dari dipegang teguhnya nilai-
nilai keadilan, kejujuran, dan kredibilitas profesional dan keilmuan.109

b. Standar Profesi Hukum

Dengan mengadaptasi paradigma standar profesi hukum yang telah dikembangkan di


Amerika Serikat, penelitian yang dilakukan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia
berusaha menjelaskan standar profesi hukum dengan langkah-langkah berpikir sebagai
berikut:

1) Dari nilai-nilai moralitas umum (common morality) pada hakikatnya masih


dapat dan perlu diturunkan berbagai norma dan pedoman perilaku lain yang,
walaupun masih bersifat abstrak, tetapi sudah secara khusus dapat diterima
sebagai asas moral/asas etik profesi hukum (moral/ethical axioms of the legal
profession). Asas-asas moralitas/etik profesi hukum adalah pernyataan-
pernyataan moral (moral statements) yang merupakan norma-norma aksiomatik
dalam wujud prinsip-prinsip etika yang mendasar (fundamental principles of
ethics) yang mengekspresikan secara umum standar perilaku profesional yang
dituntut dari semua dan setiap pengemban profesi hukum dalam relasinya
dengan masyarakat, dengan tata hukum, dan dengan sesama pengemban profesi
hukum. Asas-asas moral ini adalah konsep-konsep umum yang menjadi sumber
dari pedoman etik dan aturan disiplin profesi hukum.
2) Asas-asas moral/etik itu pada tingkat berikutnya harus dielaborasi lebih lanjut
menjadi seperangkat pedoman etik yang berlaku bagi pengemban profesi
hukum pada umumnya. Pedoman etik ini bersifat aspirasional dan hanya
109
Ibid., hlm. 1-2.

30
menunjuk ke arah asas-asas yang dapat dijadikan pegangan oleh setiap
pengemban profesi hukum sebagai pedoman perilaku dalam situasi-situasi
tertentu. Pedoman etik harus sekaligus menjadi tujuan dan pedoman (objective
and guidance) bagi setiap pengemban profesi hukum dalam setiap situasi yang
dihadapinya ketika menjalankan profesinya. Seperti halnya aksioma-aksioma
yang disebut pada angka 1) di atas, pedoman etik ini tampaknya bersifat
aspirasional dan penegakannya sangat tergantung pada hati nurani (conscience)
individu pengemban profesi hukum. Pedoman etik ini seharusnya dimuat di
dalam kode-kode etik sub-sub profesi hukum dan menjadi nilai umum yang
dielaborasi lebih lanjut ke dalam aturan-aturan disiplin sub profesi hukum yang
bersangkutan.
3) Pada tingkat yang lebih konkrit, pedoman-pedoman etik itu dapat dijabarkan
lebih lanjut dan lebih khusus ke dalam aturan-aturan disiplin (disciplinary
rules) yang dapat disetarakan dengan kode-kode etik sub-sub profesi hukum
yang sudah ada pada saat ini di Indonesia. Aturan disiplin memiliki sifat yang
memaksa (mandatory character) dan dimaksudkan untuk menetapkan batas-
batas perilaku minimum yang tidak dapat dilanggar oleh seorang pengemban
profesi hukum tanpa mengakibatkan adanya tindakan disipliner terhadapnya,
walaupun tidak tertutup kemungkinan bahwa terdapat beberapa aturan yang
bersifat umum untuk semua jenis profesi hukum. Pada tingkat ini, prinsip-
prinsip perilaku profesi hukum lebih banyak mewujudkan diri dalam prinsip-
prinsip berperilaku yang erat kaitannya dengan kompetensi teknis (technical
competence), suatu jenis profesi hukum tertentu dan pentaatannya sangat
berkaitan erat dengan karakteristik dari profesi itu, misalnya jaksa, hakim,
notaris, dan lain-lain.110

c. Asas-Asas Moralitas Umum Profesi Hukum

Selain nilai-nilai moralitas umum profesi hukum, Laporan Akhir Standar Disiplin
Profesi yang dibuat oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia (KHN RI) Tahun 2003
juga membuat formulasi 12 (dua belas) Asas-asas Moralitas Umum Profesi Hukum yang
cukup komprehensif.
Pertama, seorang pengemban profesi hukum berkewajiban untuk senantiasa
menjalankan profesinya dengan integritas yang tinggi dan untuk menegakkan serta
melaksanakan keadilan (the duty to uphold justice and the administration of justice).
Kedua, seorang pengemban profesi hukum akan selalu menjalankan profesinya dengan
penuh rasa pengabdian kepada masyarakat berdasarkan kejujuran, keterbukaan, kepatutan
(principle of honesty, candor, and reasonableness).
Ketiga, seorang pengemban profesi hukum berkewajiban untuk hanya menangani
persoalan-persoalan hukum di mana ia memiliki kompetensi untuk menanganinya, dan harus
melaksanakan semua dan setiap pelayanan jasa hukum yang disanggupinya untuk diberikan
demi kepentingan klien atau pihak lain (principle of competence).
Keempat, seorang pengemban profesi hukum harus senantiasa memberikan pelayanan
jasa hukum, melaksanakan keahlian hukumnya, termasuk pengakhiran pelayanan jasa
110
Ibid., hlm. 10-12.

31
hukumnya dengan penuh kehati-hatian, kerajinan, efisiensi, dan cara yang beradab, demi
tingkat kualitas pelayanan yang diyakini setara dengan apa yang umumnya diharapkan dari
seorang pengemban profesi hukum yang kompeten dalam situasi yang serupa (principle of
prudence and reasonable belief) dan senantiasa menghindarkan diri dari perilaku atau
tindakan yang tidak sesuai dengan kepantasan dan atau standar profesional (duty to avoid
professional impropriety and indecency).
Kelima, seorang pengemban profesi hukum harus melaksanakan profesinya dengan
penuh kejujuran dan keterbukaan (principle of honesty and candor), serta mendukung setiap
upaya untuk mencegah praktik hukum yang tidak sah (the duty of prevantion of unauthorized
legal practice).
Keenam, seorang pengemban profesi hukum harus memelihara dan menjaga
kepercayaan dan rahasia yang menyangkut urusan dan kepentingan yang sah dari klien
dan/atau pihak pencari keadilan lain yang mempercayakan urusan dan kepentingan kepadanya
(principle of trust and confidentiality).
Ketujuh, seorang pengemban profesi hukum harus senantiasa membuat keputusan-
keputusan profesional yang bebas demi kepentingan klien atau pencari keadilan lainnya, dan
menghindarkan diri dari timbulnya perbenturan antara kepentingan klien dengan kepentingan
pribadinya, klien lain, dan/atau pihak-pihak ketiga (principle of impartiality and avoidance of
conflict of interests).
Kedelapan, seorang pengemban profesi hukum memiliki kewajiban untuk tidak
berupaya memperoleh bisnis pelayanan jasa hukum atau pelaksanaan tugas-tugasnya dengan
cara-cara sebagai berikut:

1) yang tidak sejalan dengan kepentingan publik;


2) yang tidak sejalan dengan kewajiban untuk mempertahankan integritas dan
kehormatan profesi hukum; dan
3) menyalahgunakan atau memanfaatkan kedudukan hukum dan/atau noh-hukum
yang lemah dari seseorang.

Prinsip ini disebut dengan the duty to avoid the use of improper and unreasonable
means of business solicitation.
Kesembilan, seorang pengemban profesi hukum harus mewakili dan mengupayakan
kepentingan-kepentingan serta tujuan-tujuan yang sah dari klien atau pihak lain yang
direpresentasikannya dengan semaksimal mungkin, namun tetap dalam batasan-batasan
norma-norma hukum yang berlaku (principle of lawful partisanship).
Kesepuluh, Seorang pengemban profesi hukum harus selalu berupaya dan mendukung
setiap upaya untuk memajukan dan mengembangkan sistem hukum dan sistem peradilan (duty
of continuous effort to improve the legal system and justice system).
Kesebelas, Seorang pengemban profesi hukum, dalam melaksanakan profesinya harus
selalu ikut menghormati dan mengawasi pelaksanaan tugas pengembanan profesi hukum, baik
oleh pengemban profesi hukum yang memiliki bidang karya yang sama atau yang berbeda,
demi mempertahankan integritas dan kehormatan profesi hukum pada umumnya (principle of
mutual respect and incessant consciousness to preserve honor and integrity amongst members
of the legal profession).
Keduabelas, seorang pengemban profesi hukum berkewajiban untuk senantiasa
menghormati dan mentaati setiap keputusan dan/atau tindakan indisipliner yang dimaksudkan

32
untuk menegakkan prinsip-prinsip moral umum dan kode etik profesi yang berlaku
terhadapnya (the duty to honor and respect justified and reasonable disciplinary rulings and
decisions endorsed by the profession).
Kedua belas asas-asas Moralitas Umum Profesi Hukum tersebut dapat dilihat dalam
tabel berikut ini:

Tabel 2.2. Asas-asas Moralitas Umum Profesi Hukum111

No. Asas-asas Moralitas Umum Profesi Hukum


1. Seorang pengemban profesi hukum berkewajiban untuk senantiasa menjalankan
profesinya dengan integritas yang tinggi dan untuk menegakkan serta melaksanakan
keadilan (the duty to uphold justice and the administration of justice).
2. Seorang pengemban profesi hukum akan selalu menjalankan profesinya dengan
penuh rasa pengabdian kepada masyarakat berdasarkan kejujuran, keterbukaan,
kepatutan (principle of honesty, candor, and reasonableness).
3. Seorang pengemban profesi hukum berkewajiban untuk hanya menangani
persoalan-persoalan hukum di mana ia memiliki kompetansi untuk menanganinya,
dan harus melaksanakan semua dan setiap pelayanan jasa hukum yang
disanggupinya untuk diberikan demi kepentingan klien atau pihak lain (principle of
competence).
4. Seorang pengemban profesi hukum harus senantiasa memberikan pelayanan jasa
hukum, melaksanakan keahlian hukumnya, termasuk pengakhiran pelayanan jasa
hukumnya dengan penuh kehati-hatian, kerajinan, efisiensi, dan cara yang beradab,
demi tingkat kualitas pelayanan yang diyakini setara dengan apa yang umumnya
diharapkan dari seorang pengemban profesi hukum yang kompeten dalam situasi
yang serupa (principle of prudence and reasonable belief) dan senantiasa
menghindarkan diri dari perilaku atau tindakan yang tidak sesuai dengan kepatasan
dan atau standar profesional (duty to avoid professional impropriety and
indecency).
5. Seorang pengemban profesi hukum harus melaksanakan profesinya dengan penuh
kejujuran dan keterbukaan (principle of honesty and candor), serta mendukung
setiap upaya untuk mencegah praktik hukum yang tidak sah (the duty of prevantion
of unauthorized legal practice).
6. Seorang pengemban profesi hukum harus memelihara dan menjaga kepercayaan
dan rahasia yang menyangkut urusan dan kepentingan yang sah dari klien dan/atau
pihak pencati keadilan lainyang mempercayakan urusan dan kepentingan kepadanya
(principle of trust and confidentiality).
7. Seorang pengemban profesi hukum harus senantiasa membuat keputusan-keputusan
profesional yang bebas demi kepentingan klien atau pencari keadilan lainnya, dan
menghindarkan diri dari timbulnya perbenturan antara kepentingan klien dengan
kepentingan pribadinya, klien lain, dan/atau pihak-pihak ketiga (principle of
impartiality and avoidance of conflict of interests).

111
Ibid., hlm. 32-34.

33
8. Seorang pengemban profesi hukum memiliki kewajiban untuk tidak berupaya
memperopleh bisnis pelayanan jasa hukum atau pelaksanaan tugas-tugasnya dengan
cara-cara:
yang tidak sejalan dengan kepentingan publik;
yang tidak sejalan dengan kewajiban untuk mempertahankan integritas dan
kehormatan profesi hukum;
menyalahgunakan atau memanfaatkan kedudukan hukum dan/atau noh-hukum yang
lemah dari seseorang.
(The duty to avoid the use of improper and unreasonable means of business
solicitation).
9. Seorang pengemban profesi hukum harus mewakili dan mengupayakan
kepentingan-kepentingan serta tujuan-tujuan yang sah dari klien atau pihak lain
yang direpresentasikannya dengan semaksimal mungkin, namun tetap dalam
batasan-batasan norma-norma hukum yang berlaku (principle of lawful
partisanship).
10. Seorang pengemban profesi hukum harus selalu berupaya dan mendukung setiap
upaya untuk memajukan dan mengembangkan sistem hukum dan sistem peradilan
(duty of continuous effort to improve the legal system and justice system).
11. Seorang pengemban profesi hukum, dalam melaksanakan profesinya harus selalu
ikut menghormati dan mengawasi pelaksanaan tugas pengembanan profesi hukum,
baik oleh pengemban profesi hukum yang memiliki bidang karya yang sama atau
yang berbeda, demi mempertahankan integritas dan kehormatan profesi hukum
pada umumnya (principle of mutual respect and incessant consciousness to
preserve honor and integrity amongst members of the legal profession).
12. Seorang pengemban profesi hukum berkewajiban untuk senantiasa menghormati
dan mentaati setiap keputusan dan/atau tindakan indisipliner yang dimaksudkan
untuk menegakkan prinsip-prinsip moral umum dan kode etik profesi yang berlaku
terhadapnya (the duty to honor and respect justified and reasonable disciplinary
rulings and decisions endorsed by the profession).

Penelitian ini mengkhususkan diri pada profesi hakim, sesuai dengan topik yang
dipilih. Hakim merupakan profesi hukum yang mempunyai fungsi startegis dalam proses
penegakan hukum (law enforcement) untuk menemukan keadilan dan kebenaran suatu
perkara. Selain itu, putusan seorang hakim, sebagai sebuah yurisprudensi, menjadi salah satu
sumber hukum di mana hukum ditemukan di dalamnya.112 Hakim yang akan memutus suatu
perkara di pengadilan harus mengkombinasikan tiga hal secara simultan, yaitu kepastian
hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum. Tugas ini tentu saja tidak mudah
dilaksanakan. Unsur kepastian hukum dalam penegakan hukum merupakan perlindungan
yustisiabel terhadap tindakan seseorang terhadap orang lain, karena hukum telah dianggap
sebagai rujukan terakhir untuk mengatasi konfik yang terjadi dalam mayarakat.113
Hakim juga mempunyai fungsi untuk memeriksa, menilai, dan menetapkan nilai
perilaku manusia tertentu dan menentukan nilai yang harus berlaku dalam masyarakat dalam
suatu sistuasi konkrit.114 Lebih dari itu, putusan seorang hakim sebagai sebuah yurisprudensi
menjadi sumber hukum. Oleh karena itu, ada dua asas yang selalu melekat pada diri seorang

112
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, “Laporan Akhir Standar Pengujian Profesi Hukum”, Jakarta:
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003, hlm. 11.
113
A. Ahsin Thohari, “Dari Law Enforcement ke Justice Enforcement”, Harian Kompas, Rabu, 3 Juli 2002, hlm.
31. Lihat juga dalam <http://www.kompas.com/kompas %2Dcetak/0207/03/opini/dari31.htm>, diakses 3 Juli
2002.
114
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, “Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi”, op. cit., hlm. 2-3.

34
hakim, yaitu ius curia novit (larangan untuk menolak memeriksa perkara disebabkan aggapan
bahwa hakim tidak tahu akan hukumnya)115 dan audi et alteram partem (kedua belah pihak
harus didengar).116 Kedua asas ini selalu inheren dalam diri hakim dalam menjalankan
tugasnya.117
Menurut Pasal 1 butir 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
118
Pidana, “Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk mengadili”. Sedangkan Pasal 1 butir 9 menyatakan sebagai berikut:

Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus
perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Dengan demikian, hakim mempunyai peran yang signifikan (significant role) dalam
serangkaian proses penegakan hukum, karena semua perkara hukum bermuara pada putusan-
putusannya. Dengan fungsi sepenting ini, sebenarnya hakim juga menjadi pencipta norma-
norma yang dapat bersifat baru, karena setiap putusan-putusannya dapat dianggap sebagai
yurisprudensi yang merupakan salah satu dari sumber hukum.119 Hakim juga bertugas
mempertahankan tertib hukum (legal order) dengan cara memberikan putusan terhadap setiap
perkara yang dihadapkan kepadanya. Dengan peran dan tugas strategis ini, seorang hakim
harus merupakan pribadi-pribadi yang memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati secara
internasional sebagaimana telah disinggung di atas.

2. Penegakan Disiplin Profesi Hakim

a. Kode Etik Profesi Hakim

Sebagaimana telah disinggung di dalam Bab I, norma hukum bukan merupakan


institusi sosial (social institution) segala-galanya, karena ternyata di samping norma hukum
masih diperlukan norma yang lain, yaitu norma etika-moral dan bahkan norma agama untuk
keperluan mengatur, mengendalikan, dan mendorong dinamika kehidupan bersama umat

115
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Edisi IV, Cet. I, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hal.10 dan 104.
116
Ibid., hlm. 14, 80, dan 82.
117
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, “Laporan Akhir Standar Pengujian Profesi Hukum”, op. cit.,
hlm. 11.
118
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No.76 Tahun
1981, TLN No. 3209.
119
Sumber hukum formal adalah undang-undang; yurisprudensi; doktrin; traktat; dan kebiasaan. Lihat misalnya
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Edisi III, Cet. I, Yogyakarta: Liberty, 1991, hlm.
63-100; Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Edisi III, Cet.I, Yogyakarta: Liberty, 1993,
hlm. 9-17. Hakim setidaknya mempunyai lima tanggung jawab, yaitu (1) melakukan justisialisasi hukum, yaitu
setiap putusan hakim harus memperhitungkan kemanfaatan dan keadilan; (2) penjiwaan hukum, yaitu dalam
membuatu putusan, hakim harus tampil sebagai jiwa pembela hukum; (3) pengintegrasian hukum, yaitu putusan
yang diambil hakim harus mengintegrasikan sistem hukum yang sedang berkembang; (4) totalisasi hukum, yaitu
putusan hakim harus mampu ditempatkan dalam keseluruhan kenyataan; dan (5) personalisasi hukum, yaitu
putusan hakim harus berpijak pada kepribadian para pihak pencari keadilan. Nanda Agung Dewantara, Masalah
Kebebasan Hakim dalam Menangani suatu Perkara Pidana, Cet. I, Jakarta: Penerbit Aksara Persada Indonesia,
1987, hlm. 149-151.

35
manusia.120 Sebagai warga negara, setiap orang diatur dan terikat pada code of law (kode
hukum negara), tetapi pada saat yang sama sebagai warga atau anggota organisasi, perilaku
organisasinya diikat oleh Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga atau Pedoman Dasar
dan Pedoman Rumah Tangga yang berlaku di lingkungan organisasi tertentu. Hal inilah yang
disebut dengan code of conduct atau code of organizational conduct.121
Profesi hakim juga memerlukan code of conduct yang mempunyai kekuatan mengikat
bagi para anggotanya. Kode etik bagi para hakim diperlukan, karena kode etik merupakan
kumpulan asas atau nilai moral122 atau norma dan asas yang diterima oleh kelompok tertentu
sebagai landasan tingkah laku.123 Kode etik dianggap penting bagi profesi hukum, karena
profesi hukum merupakan suatu masyarakat moral (moral community) yang memiliki cita-cita
dan nilai-nilai bersama.124 Kode etik adalah sebuah kompas yang menunjuk arah moral bagi
profesional hukum dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi hukum di mata
masyarakat. Dengan demikian kode etik profesi hukum merupakan pengaturan diri (self
regulation) bagi profesional hukum dengan tujuan untuk mencegah terjadinya perilaku tidak
etis.125
Oleh karena itu, profesi hakim harus mempunyai kode etik agar nilai-nilai yang
terdapat di dalam peraturan perundang-undangan terinternalisasi pada diri seorang hakim.
Nilai-nilai tersebut mencakup beberapa hal sebagai berikut:

1. Hakim dalam menjalankan tugasnya harus bebas, tetapi harus menjunjung


tinggi keadilan.
2. Hakim harus menjunjung tinggi nilai-nilai keterbukaan dan menemukan hukum
melalui metode interpretasi.
3. Hakim harus selalu mempertanggungjawabkan sikap dan tindakannya baik
secara vertikal (kepada masyarakat) maupun secara horisontal (kepada Tuhan
Yang Maha Esa).
4. Hakim harus bersedia menerima keberatan yang diajukan oleh pihak yang
diadili apabila meragukan objektivitas hakim tersebut.126

Kode etik tersebut harus benar-benar ditegakkan, karena makna penegakan kode etik
adalah pengontrolan terhadap pelaksanaan nilai-nilai yang dimuat di dalam kode etik tersebut,
sekaligus melakukan tindakan terhadap setiap perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai
tersebut. Tujuan dari penegakan ini adalah untuk membuat nilai-nilai luhur yang telah

120
Jimly Asshiddiqie, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945”,
Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003,
hlm. 32.
121
Ibid., hlm. 33.
122
E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum: Sebuah Pendekatan Sosio-Religius, Cet. I, Jakarta: Penerbit Storia Grafika,
2001, hlm. 12.
123
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I, Ed. III, Jakarta: Balai Pustaka,
2001, hlm. 578.
124
Paul F. Camenish, Grounding Professional Ethics in a Pluralistic Society, New York: Haven Publication,
1983, hlm. 48.
125
Kanter, op. cit., hlm. 114.
126
Disarikan dari Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, “Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi”, op. cit.,
hlm. 38.

36
dipandang tepat bagi profesi tersebut, benar-benar dipatuhi dan diterapkan. Penegakan kode
etik profesi ini merupakan salah satu cara untuk melestarikan nilai-nilai luhur dari dalam
profesi hukum tersebut, sehingga profesi mulia ini dalam pelaksanaannya tidak akan
mengalami degradasi moral dan bahkan apabila diperlukan memperoleh peningkatan kualitas
kemuliaan dari profesi tersebut. Hal inilah yang menyebabkan kode etik profesi ini senantiasa
harus dievaluasi dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu.127

b. Penegakan Kode Etik Profesi Hakim

Pada dasarnya, pengemban profesi hukum merupakan salah satu komponen yang
sangat penting yang akan dapat menentukan baik dan buruknya pelaksanaan dan penegakan
hukum. Untuk mengoptimalkan partisipasi pengemban profesi hukum dalam menegakkan
hukum diperlukan adanya suatu sarana pemaksa yang membuat pengemban profesi hukum
melaksanakan tugasnya dengan baik. Salah satu sarana penting tersebut adalah batasan-
batasan nilai-nilai moral profesinya yang termuat di dalam kode etik profesi hukum.128
Demikian juga dengan hakim sebagai salah satu bagian dari pengemban profesi hukum.
Organisasi profesi hukum yang menaungi para pengemban profesi hukum merupakan
organisasi yang bersifat pengaturan diri (self-regulation) bagi profesional hukum dengan
tujuan untuk mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis.129 Selain pengaturan diri, menurut
Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, juga
harus ada self-governing. Artinya, organisasi profesi hukum berwenang untuk menentukan
aturan yang akan digunakan untuk mengatur tata tertib dan perilaku anggotanya dalam
menjalankan tugasnya; pada saat yang sama organisasi profesi tersebut juga harus
melaksanakan dan menegakkan standar etika profesi yang ditentukannya.130 Profesi hakim
tentu saja juga termasuk di dalamnya, sehingga profesi hakim harus mengatur tata tertib dan
perilaku anggotanya dalam menjalankan tugasnya dan pada saat yang sama organisasi profesi
tersebut juga harus melaksanakan dan menegakkan standar etika profesi yang ditentukannya.
Pengemban profesi hukum, termasuk profesi hakim, harus menjalankan tugasnya
dengan mengutamakan perlindungan terhadap kepentingan umum dan jaminan bahwa
pengemban profesi hukum akan menjalankan profesinya secara bertanggung jawab tanpa
melanggar hak-hak orang lain.131 Untuk memperoleh jaminan tersebut, organisasi profesi

127
Soemaryono, op. cit., hlm. 147.
128
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi, op. cit., hlm. 228.
129
Kode etik menjadi sarana kontrol sosial dalam pelaksanaan profesi sebagai pelayanan dan pengabdian kepada
mesyarakat. Kanter, op. cit. Kode etik juga berisi beberapa ketentuan wajib lapor tentang pelanggaran yang
dilakukan anggota profesi hukum. Bertens, op. cit., hlm. 279-283; Jenny Teichman, Etika Sosial, Yogyakarta:
Kanisius, 1998, hlm. 119-132.
130
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, “Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi”, op. cit.
131
Soemaryono, op. cit., hlm. 148. Pada tingkat selanjutnya, etika profesi adalah sikap etis sebagai bagian integral
dari sikap hidup dalam menjalani kehidupan sebagai pengemban profesi. Kepatuhan pada etika profesi
bergantung pada akhlak pengemban profesi yang bersangkutan, karena awam tidak bisa menilai. Lili Rasjidi dan
Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Cet. III, Bandung: CV Mandar Madju, 2002, hlm. 87. Nilai-nilai
etis tidak bermuatan sanksi hukum sejauh tidak dipositifkan sebagai suatu kaidah hukum yang mengikat. Akan
tetapi, apabila nilai-nilai etis tersebut telah dipositifkan (dalam pengertian menjadi suatu kaidah hukum yang
mengikat), maka pengemban profesi harus tunduk pada nilai-nilai etis tersebut dengan segala konsekuensi
hukumnya apabila melanggarnya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai etis tersebut telah menjadi hukum yang,
sebagaimana dikatakan Hans Kelsen, dipahami sebagai “suatu perintah yang bersifat memaksa” (a coercive

37
hukum, termasuk profesi hakim, memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi bagi setiap
anggotanya yang melanggar kode etik profesi.132

order). Hans Kelsen, Pure Theory of Law [Reine Rechtslehre], translated from the second German edition by
Max Knight, Berkeley: University of California Press, 1978, hlm. 33.
132
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, “Laporan Akhir Standar Disiplin Profesi”, op. cit., hlm. 229.

38
BAB III
SUSUNAN DAN KEDUDUKAN KOMISI YUDISIAL
DI BERBAGAI NEGARA

A. Komisi Yudisial di Berbagai Negara

Sebagaimana telah disebutkan dalam Bab I, penelitian ini mempergunakan metode penelitian
hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris. Akan tetapi, peneliti akan lebih
menitikberatkan penelitian ini pada penelitian hukum normatif, sedangkan penelitian hukum
empiris berfungsi sebagai informasi pendukung. Penelitian hukum normatif adalah penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.
Penelitian hukum normatif ini salah satunya dilakukan dengan cara perbandingan hukum,1
yang merupakan salah satu metode2 dari berbagai macam metode penelitian.3
Penelitian terhadap Komisi Yudisial, dengan harapan dapat memberikan sumbangan
pikiran terhadap pelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia, akan lebih tepat setelah
melakukan perbandingan dengan pelembagaan Komisi Yudisial di negara lain. Harapan ini
muncul karena telah mengetahui kelemahan dan kelebihan pelembagaan Komisi Yudisial di
negara lain. Tentu saja pelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia yang akan
direkomendasikan peneliti tidak semata-mata didasarkan atas hasil-hasil perbandingan dengan
negara lain, tetapi juga harus melihat aspek-aspek partikular struktur ketatanegaraan
Indonesia.

1. Hukum Tata Negara Perbandingan

Sekali lagi peneliti menegaskan bahwa penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang
salah satunya menggunakan metode perbandingan hukum. Penelitian hukum normatif adalah
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder
belaka. Penelitian hukum normatif ini mencakup beberapa hal sebagai berikut:
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;
b. Penelitian terhadap sistematik hukum;
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal; dan
d. Sejarah hukum.4

Perbandingan hukum dalam penelitian ini adalah perbandingan hukum tata negara.5
Menurut Van Vollenhoven hukum tata negara adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum,
1
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Edisi 1, Cet. V,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001, hlm. 13-14; Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan
Penggunaan Perpustakaan di dalam Penelitian Hukum, Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 1979, hlm. 15.
2
Soekanto dan Mamudji, Penelitian..., op. cit., hlm. 86.
3
Khusus pendalaman tentang perbandingan hukum (comparative law) ini, lihat misalnya Kondrad Zweigert dan
Hein Kötz, Introduction to Comparative Law, 3rd Revised Edition, Oxford: Clarendon Press, 1998.
4
Soekanto dan Mamudji, Penelitian Hukum..., op. cit., hlm. 13-14. Lihat juga Soekanto dan Mamudji,
Peranan..., op. cit., hlm. 15.
5
Di kalangan para ahli hukum tata negara terjadi perbedaan pendapat tentang penggunaan istilah yang berasal
dari bahasa Inggris comparative constitutional law dan bahasa Belanda vergelijkende staatsrechtswetenschap. Sri
Soemantri M. menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah “perbandingan antar hukum tata

1
yang mendirikan badan-badan sebagai alat (orgaan) suatu negara dengan memberikan
wewenang-wewenang kepada badan-badan itu, dan yang membagi-bagi pekerjaan pemerintah
kepada banyak alat-alat negara, baik yang tinggi maupun yang rendah kedudukannya.6 Hal ini
sangat berkaitan erat dengan sistem ketatanegaraan yang diartikan sebagai perangkat unsur
ketatanegaraan Indonesia yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu
totalitas7 yang mencakup beberapa hal sebagai berikut:
a. Pembentukan jabatan-jabatan dan susunannya.
b. Penunjukan para pejabat.
c. Kewajiban-kewajiban, tugas-tugas yang terikat pada jabatan.
d. Wibawa, wewenang hukum, yang terikat pada jabatan.
e. Lingkungan daerah dan personil, atas mana tugas dan wewenang jabatan itu
meliputinya.
f. Hubungan wewenang dari jabatan-jabatan antar satu sama lain.
g. Peralihan jabatan.
h. Hubungan antara jabatan dan pejabat.8

Menurut T. Koopmans, termasuk ke dalam hukum tata negara adalah ajaran-ajaran


yang berkenaan dengan beberapa hal sebagai berikut:
a. Kekuatan hukum mengikatnya peraturan perundang-undangan.
b. Pembagian tugas di antara lembaga-lembaga negara.
c. Perlindungan terhadap hak-hak individu.9

Hukum tata negara memiliki beberapa sumber yang menentukan isi kaidah hukum tata
negara yang mencakup dua hal, yaitu dasar dan pandangan hidup bernegara; dan kekuatan-
kekuatan politik yang berpengaruh pada saat merumuskan kaidah-kaidah hukum tata negara.
Sedangkan sumber hukum formil tata negara adalah pertama, hukum perundang-undangan
ketatanegaraan; kedua, hukum adat ketatanegaraan; ketiga, hukum kebiasaan ketatanegaraan
atau konvensi ketatanegaraan; keempat, yurisprudensi ketatanegaraan; kelima, hukum
perjanjian internasional ketatanegaraan; dan keenam, doktrin ketatanegaraan.10
Sistem ketatanegaraan yang dibangun di dalam negara yang satu tidak selalu sama
dengan sistem ketatanegaraan yang dibangun di negara lainnya, bahkan –dalam batas tertentu–
perbedaan tersebut sering bersifat diametral antara satu dengan lainnya. Pada titik inilah

negara”. Sri Soemantri M., Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Jakarta: PT Rajawali, 1981. Sementara itu,
Sjahran Basah menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah “hukum tata negara perbandingan”.
Sjahran Basah, Hukum Tata Negara, Bandung: Alumni, 1994.
6
Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia, Cet. VI, Jakarta: Penerbit Dian Rakyat,
1989, hlm. 8.
7
Pengertian ini diadaptasi dari pengertian kata “sistem” dalam Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Cet. I, Ed. III, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, hlm. 1076.
8
J.H.A. Logemann, Het Staatsrecht van Indonesie, Het Formele System, Bandung: Uitg. van Hoeve s‘Gravehage,
1952, hlm. 101 sebagaimana dikutip dalam Widodo Ekatjajana dan Totok Sudaryanto, Sumber Hukum Tata
Negara Formal di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 5-6.
9
Sri Soemantri Martosoewignjo, “Hukum Tata Negara Mempunyai Warna Nasional, Makalah disampaikan pada
peringatan Dies Natalis Ke-43 Fakultas Hukum Universitas Andalas pada tanggal 30 Agustus 1994, hlm. 4
sebagaimana dikutip Ibid., hlm. 7.
10
Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, Bandung: CV Armico, 1987, hlm. 14-15.

2
perbandingan hukum tata negara menjadi suatu metode penelitian yang sangat penting.11
Hukum tata negara perbandingan dapat dilakukan dengan cara membandingkan beberapa
hukum tata negara yang ada atau hanya mengadakan perbandingan antara beberapa hukum
tata negara positif saja.12
Apabila telah diterima bahwa hukum tata negara tidak hanya mencakup teknik
interpretasi teks atau rumusan, asas-asas, aturan-aturan, dan tolok ukur-tolok ukur sistem
hukum, tetapi juga penemuan model-model untuk mencegah konflik-konflik sosial, maka
metode penelitian hukum tata negara perbandingan dapat memperluas cakrawala, sehingga
dapat memberikan lebih banyak model-model penyelesaian daripada kalau hanya mempelajari
hukum tata nagara satu negara saja.13
Aspek-aspek yang dapat diperbandingkan dalam hukum tata negara meliputi beberapa
hal sebagai berikut:
a. Konstitusi baik yang tertulis maupun tidak tertulis;
b. Bentuk negara: kesatuan atau federal;
c. Lembaga-lembaga perwakilan yang mempunyai fungsi legislasi;
d. Bentuk pemerintahan: kabinet presidensial atau kabinet parlementer;
e. Kekuasaan Kehakiman;
f. Pemilihan umum;
g. Hak asasi manusia.14

Dari ketujuh aspek yang dapat diperbandingkan dalam hukum tata negara tersebut,
penelitian ini lebih mengkhususkan diri pada yang pertama, yaitu konstitusi dan yang kelima,
yaitu kekuasaan kehakiman.15 Dengan demikian, penelitian ini akan diarahkan untuk
memperbandingkan dua hal. Pertama, memperbandingkan konstitusi khususnya yang
mengatur susunan dan kedudukan Komisi Yudisial di berbagai negara. Kedua,
11
Beberapa buku yang membahas mengenai hukum tata negara perbandingan di antaranya adalah Robert O.
Neuman, European and Comparative Government, 3rd Edition, New York: McGraw Hill Book Company, Inc.,
1960; S.E. Finer, Comparative Government, Harmondsworth: Pelican Books, 1974. Sedangkan beberapa buku
yang membahas mengenai hukum tata negara perbandingan di Indonesia di antaranya adalah Moh. Nasroen, Ilmu
Perbandingan Pemerintahan, Jakarta: Penerbit Ichtiar, 1966; Sri Soemantri M., Perbandingan Antar Hukum Tata
Negara, Jakarta: PT Rajawali, 1981; Sjahran Basah, Hukum Tata Negara, Bandung: Alumni, 1994; A.S.S.
Tambunan, Hukum Tata Negara Perbandingan, Jakarta: Puporis Publishers, 2001.
12
Ibid., hlm. 1.
13
Tentang hal ini, lihat misalnya Zweigert dan Kötz, op. cit., hlm. 15 dan seterusnya.
14
Tambunan, op. cit., hlm. 6.
15
Dalam perkembangannya, kekuasaan kehakiman ini selain yang berkaitan dengan Mahkamah Agung juga
berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi. Menurut Asshiddiqie, struktur kekuasaan kehakiman di berbagai negara,
khususnya yang berkaitan dengan fungsi Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, dapat dibedakan dalam
enam model, yaitu (1) model Jerman yang memiliki Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai dua
organ yang sederajat dan terpisah; (2) model Perancis yang menyebut lembaga Mahkamah Konstitusi dengan
Dewan Konstitusi (Counseil Constitutionnel) di samping struktur Mahkamah Agung yang tersendiri; (3) model
Belgia yang menyebut lembaga ini dengan nama Constitutional Arbitrage di samping Mahkamah Agung yang
tersendiri; (4) model Venezuela yang melembagakan Mahkamah Konstitusi ke dalam struktur Mahkamah Agung;
(5) model Amerika Serikat yang tidak mempunyai Mahkamah Konstitusi, tetapi fungsinya dijalankan langsung
oleh Mahkamah Agung; dan (6) model negara-negara yang menganut sistem supremasi parlemen yang sama
sekali tidak mengenal Mahkamah Konstitusi dan juga tidak mengakui adanya fungsi judicial review atas
konstitusionalitas undang-undang. Pengantar Jimly Asshiddiqie dalam Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhri,
Mahkamah Konstitusi: Kompilasi Ketentuan Konstitusi, Undang-Undangan dan Peraturan di 78 Negara,
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, t.t., hlm. 4-5.

3
memperbandingkan kekuasaan kehakiman di berbagai negara yang di dalamnya juga
mencakup keberadaan Komisi Yudisial.
Dengan memperbandingkan dua hal tersebut, diharapkan dapat diperoleh suatu
kesimpulan yang ideal tentang prinsip-prinsip umum Komisi Yudisial, sehingga
keberadaannya yang sesuai dengan tujuan-tujuannya dapat dicapai dengan sebaik-bakinya.
Dalam konteks Indonesia, hasil perbandingan Komisi Yudisial di beberapa negara dapat
bermanfaat sebagai pembanding dalam rangka pelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia
dengan mengambil aspek-aspek positifnya dan menghindari aspek-aspek negatifnya.

2. Studi Perbandingan Komisi Yudisial

Komisi Yudisial, sebagaimana lembaga-lembaga negara lainnya, didirikan dengan


berlandaskan pada gagasan-gagasan yang seringkali berbeda antara negara yang satu dengan
negara yang lain. Di sisi lain, setelah Perubahan Ketiga UUD 1945, Indonesia diharuskan
membentuk lembaga yang bernama Komisi Yudisial. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang
terdapat di dalam Pasal 24B UUD 1945.
Rencana pembentukan lembaga ini jelas tidak boleh dilakukan secara trial and error
dengan tanpa melihat realitas pengaturan Komisi Yudisial di negara-negara lain. Pada titik
inilah penelitian perbandingan hukum tata negara di bidang Komisi Yudisial menemukan titik
urgensinya. Trial and error mungkin tidak dapat dihindarkan sama sekali dalam proses
pelembagaannya di Indonesia, tetapi harus diminimalisasi sedapat mungkin, sehingga Komisi
Yudisial yang notabene merupakan lembaga penting dalam kekuasaan kehakiman dapat hadir
dalam wujudnya yang sekurang-kurangnya mendekati ideal.

3. Tujuan Perbandingan Hukum Tata Negara

Donald P. Kommers meyakini bahwa metode perbandingan biasanya dilakukan dengan


cara mencari persamaan dan perbedaan antara dua objek atau lebih, sehingga dapat diketahui
adanya prinsip-prinsip umum yang berlaku universal sebagai hasil dari kegiatan perbandingan
antar-hukum tata negara.16 Sementara itu, Gunter Frankenberg justru sebaliknya, cenderung
bersikap skeptis mengenai kemungkinan adanya universalitas prinsip-prinsip konstitusi
sebagai hasil perbandingan tersebut, karena persepsi pembanding yang dipengaruhi oleh ruang
dan waktu sangat menentukan corak penafsiran yang dihasilkan oleh orang yang
membandingkan.17
Dua pendapat ini tampak sekali masing-masing berada dalam dua kutub ekstrem yang
berseberangan. Kommers melihat bahwa perbandingan antar hukum tata negara dapat
bermanfaat untuk menemukan adanya titik persamaan dan perbedaan dalam perbandingan
antar hukum tata negara, sehingga dari sini dapat ditarik adanya prinsip-prinsip yang berlaku
secara universal. Di sisi lain, Frankenberg justru menolak adanya kemungkinan universalitas
prinsip-prinsip perbandingan antar hukum tata negara sebagai hasil perbandingan. Pendapat

16
Donald P. Kommers, “The Value of Comparative Constitutional Law”, John Marshall Journal of Practice and
Procedure, 689, hlm. 9, 1976.
17
Gunter Frankenberg, “Critical Comparations: Rethinking Comparative Law”, Harverd Law Journal, 411, hlm.
26, 1985.

4
Frankenberg ini didasarkan pada realitas bahwa persepsi pembanding seringkali dipengaruhi
oleh ruang dan waktu yang menentukan corak penafsiran yang dihasilkan.
Untuk menengahi dua pendapat yang ekstrem ini, Jimly Asshiddiqie memperkenalkan
suatu pendapat yang sangat penting berkaitan dengan perbandingan dalam hukum tata negara.
Menurutnya, tujuan dikembangkannya studi perbandingan hukum tata negara (comparative
constitutional law) adalah bermanfaat untuk dua hal sebagai berikut:
a. Menemukan prinsip-prinsip yang berlaku umum atau prinsip-prinsip universal;
dan/atau
b. Mendalami pengertian atau pemahaman mengenai sesuatu objek dengan
menggunakan objek lain sebagai pembanding.18

Sesuatu yang hendak dicapai dalam perbandingan hukum tata negara (comparative
constitutional law) adalah penemuan prinsip-prinsip konstitusi dan konstitusionalisme yang
bersifat universal dan/atau pendalaman pemahaman atau pengertian mengenai prinsip-prinsip
konstitusi dan konstitusionalisme negara sendiri dengan menggunakan konstitusinya atau
konstitusi-konstitusi negara lain sebagai pembanding.19 Hal ini bisa dijalankan dengan terlebih
dahulu menentukan variabel-variabel yang mempengaruhi.

4. Tujuan Perbandingan Komisi Yudisial

Penelitian ini menggunakan pendapat Asshiddiqie di atas, yang menyatakan bahwa


perbandingan antar-hukum tata negara dilakukan untuk menemukan prinsip-prinsip konstitusi
dan konstitusionalisme yang bersifat universal dan/atau mendalami pemahaman atau
pengertian mengenai prinsip-prinsip konstitusi dan konstitusionalisme negara sendiri dengan
menggunakan konstitusinya atau konstitusi-konstitusi negara lain sebagai pembanding.
Sesuai pendapat Asshiddiqie, penelitian yang melakukan perbandingan Komisi
Yudisial di berbagai negara ini perlu dilakukan untuk mencapai dua hal sebagai berikut:
a. Menemukan prinsip-prinsip yang berlaku umum atau prinsip-prinsip universal
tentang pengaturan Komisi Yudisial di berbagai negara; dan/atau
b. Mendalami pengertian atau pemahaman mengenai Komisi Yudisial di Indonesia
dengan menggunakan Komisi Yudisial di negara lain sebagai pembanding.20

Di dalam melakukan perbandingan Komisi Yudisial di berbagai negara, peneliti hanya


melihat pengaturannya pada tingkat konstitusi saja, tidak pada tingkat peraturan perundang-
undangan lain di bawahnya. Meskipun banyak sekali negara yang struktur ketatanegaraannya
telah mengenal Komisi Yudisial, tetapi tidak semuanya diatur di dalam konstitusinya.
Untuk keperluan tersebut, peneliti telah menelaah seratus sembilan puluh tujuh (197)
konstitusi negara anggota PBB. Keseratus sembilan puluh tujuh negara yang dimaksud adalah
Afrika Selatan, Afganistan, Albania, Aljazair, Andorra, Angola, Antigua dan Barbuda,
Argentina, Armenia, Australia, Austria, Azerbaijan, Bahamas, Bahrain, Bangladesh,
Barbadosa, Belarusia, Belgia, Belize, Benin, Bolivia, Bosnia dan Herzegovina, Botswana,

18
Jimly Asshiddiqie, “Catatan tentang Perbandingan Hukum Tata Negara (Comparative Constitutional Law)”,
naskah tidak diterbitkan, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2002, hlm. 1.
19
Ibid.
20
Diadaptasi dari Asshiddiqie, “Catatan tentang...”, op. cit.

5
Brazil, Brunei Darussalam, Bulgaria, Burkina Faso, Burundi, Kamboja, Kamerun, Kanada,
Cape Verde, Centrafrique, Chad, Chechnya, Chili, China, Kolombia, Komores, Kongo, Kosta
Rika, Pantai Gading, Kroasia, Kuba, Cyprus, Ceko, Republik Demokratik Kongo, Denmark,
Djibouti, Dominika, Republik Dominika, Ekuador, El Salvador, Equatorial Guinea, Eritrea,
Estonia, Etiopia, Fiji, Finlandia, Gabon, Georgia, Jerman, Ghana, Yunani, Grenada,
Guatemala, Guinea Bissau, Guinea, Guyana, Haiti, Hawai, Honduras, Hong Kong, Hungaria,
Islandia, India, Indonesia, Iran, Irak, Republik Irlandia, Israel, Italia, Jamaika, Jepang,
Yordania, Kazakhstan, Kenya, Kiribati, Korea Selatan, Korea Utara, Kuwait, Kirgistan, Laos,
Latvia, Lebanon, Lesotho, Liberia, Libya, Liechtenstein, Lithuania, Luxemburg, Makao,
Makedonia, Madagaskar, Malawi, Malaysia, Maladewa, Mali, Malta, Marshall Islands,
Mauritania, Mauritius, Mesir, Mexico, Mikronesia, Monako, Mozambik, Myanmar, Namibia,
Nauru, Nepal, Belanda, Selandia Baru, Nikaragua, Niger, Nigeria, Norwegia, Oman, Pakistan,
Palau, Panama, Papua Nugini, Paraguay, Prancis, Peru, Filipina, Polandia, Portugal, Puerto
Riko, Qatar, Moldova, Republik Demokratik Kongo, Rumania, Rusia, Rwanda, Samoa, San
Marino, Sao Tome & Principe, Saudi Arabia, Senegal, Seychelles, Sierra Leone, Singapura,
Slowakia, Slovenia, Solomon Islands, Somalia, Spanyol, Sri Lanka, St. Kitts and Nevis, St.
Lucia, St. Vincent, Sudan, Suriname, Swaziland, Swedia, Swiss, Syria, Taiwan, Tajikistan,
Tanzania, Thailand, Tibet, Timor Timur, Togo, Tonga, Trinidad dan Tobago, Tunisia, Turki,
Turkmenistan, Tuvalu, Uganda, Uni Emerat Arab, United Kingdom, Ukraina, Amerika
Serikat, Uruguay, Uzbekistan, Vanuatu, Vatikan, Venezuela, Vietnam, Yaman, Serbia dan
Montenegro, Zambia, dan Zimbabwe.

B. Susunan dan Kedudukan Komisi Yudisial di Berbagai Negara

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, tidak semua negara yang mengenal Komisi
Yudisial dalam struktur ketatanegaraannya mengaturnya dalam konstitusi. Setelah meneliti
seratus sembilan puluh tujuh (197) konstitusi berbagai negara anggota PBB, ternyata ada
empat puluh tiga (43) negara yang mengatur Komisi Yudisial di dalam konstitusinya. Berikut
ini akan dijelaskan empat puluh tiga (43) negara yang konstitusinya mengatur Komisi
Yudisial.

1. Afrika Selatan

Komisi Yudisial di Afrika Selatan bernama Judicial Service Commission yang diatur di
dalam Section 174 Konstitusinya.21 Komisi ini berfungsi memberikan advis kepada Presiden
dalam pengangkatan dan pemberhentian Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua
dan Wakil Ketua Mahkamah Agung, dan hakim di semua lembaga peradilan.22 Keanggotaan
Komisi ini terdiri dari beberapa jabatan, yaitu Ketua Mahakamah Agung sebagai Ketua; Ketua
Mahakamah Konstitusi; 1 orang hakim pilihan; anggota kabinet yang bertanggung jawab
terhadap administrasi pengadilan; dua (2) orang advokat yang dinominasikan organisasinya
dan diangkat oleh presiden; dua (2) orang jaksa yang dinominasikan organisasinya dan
diangkat oleh presiden; satu (1) orang pengajar fakultas hukum yang dipilih dari universitas-

21
The Constitution of South Africa, amended on 11 Oct 1996 in foce since: 7 Feb 1997.
22
Ibid., Article 174 (3) dan (6); 177 (3).

6
universitas di Afrika Selatan; tujuh (7) orang yang dibentuk oleh National Assembly di mana
tiga (3) di antaranya harus dari partai oposisi; empat (4) orang yang mewakili provinsi; dan
empat (4) orang yang dipilih presiden setelah melalui persetujuan National Assembly.23

2. Argentina

Komisi Yudisial di Argentina bernama Council of Magistracy yang diatur di dalam


Article 114 Konstitusinya.24 Dewan ini berfungsi mengajukan calon hakim agung kepada
Senat dan diangkat oleh Presiden;25 bertanggung jawab terhadap seleksi hakim dan
administrasi kekuasaan kehakiman;26 mengembangkan pemilihan kandidat hakim tingkat
bawah melalui kompetisi publik;27 mengeluarkan usulan tiga nama kandidat hakim tingkat
bawah;28 mengurus sumber daya untuk administrasi pengadilan;29 melakukan tindakan
pendisiplinan terhadap hakim;30 memutuskan pemberhentian hakim;31 dan mengeluarkan
peraturan tentang organisasi pengadilan untuk menjamin independensi hakim dan efisiensi
administrasi pengadilan.32 Konstitusi tidak mengatur keanggotaan Dewan ini.

3. Bulgaria

Komisi Yudisial di Bulgaria bernama Supreme Judicial Council yang diatur di dalam
Article 129 (2) Konstitusinya.33 Komisi ini berfungsi mengusulkan kepada Presiden tentang
pengangkatan dan pemberhentian Ketua Mahkamah Agung Kasasi, Ketua Mahkamah Agung
Administratif, dan Jaksa Agung.34 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari dua puluh lima (25)
orang. Tiga orang duduk dalam Komisi ini secara ex officio, yaitu Ketua Mahkamah Agung
Kasasi, Ketua Mahkamah Agung Administratif, dan Jaksa Agung.35

4. Etiopia

Komisi Yudisial di Etiopia bernama State Judicial Administration Council yang diatur
di dalam Article 81 (4) Konstitusinya.36 Komisi ini berfungsi merekomendasikan kepada State
Council tentang pengangkatan Hakim Agung, Hakim Tinggi, dan Hakim Tingkat Pertama.37

23
Untuk melengkapai beberapa ketentuan yang terdapat di dalam Konstitusi Afrika Selatan, telah ditetapkan
Undang-Undang tentang Komisi Yudisial atau Judicial Service Commission Act. Office of the President of
Republic of South Africa, Judicial Service Commission Act, No. 1235 13 July 1994 No. 9 of 1994.
24
The Constitution of Argentina, all amendments up to 22 Aug 1994.
25
Ibid., Article 99 (4).
26
Ibid., Article 114 (1).
27
Ibid., Article 114 (3).
28
Ibid.
29
Ibid.
30
Ibid.
31
Ibid.
32
Ibid.
33
The Constitution of Bulgaria, all amendments up to 12 July 1991.
34
Ibid.
35
Ibid., Article 130 (1)
36
The Constitution of Ethiopia, Adopted: 8 Dec 1994.
37
Ibid., Article 81 (1-5).

7
5. Fiji

Komisi Yudisial di Fiji bernama Judicial Service Commission yang diatur di dalam
Section 131 dan 132 Konstitusinya.38 Komisi ini berfungsi merekomendasikan kepada
Presiden tentang pengangkatan Hakim Agung dan Hakim Banding.39 Keanggotaan Komisi ini
terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Ketua Public Service
Commission; dan Ketua Fiji Law Society.

6. Filipina

Komisi Yudisial di Filipina bernama Judicial and Bar Council yang diatur di dalam
Section 8 dan 9 Konstitusinya.40 Komisi ini berfungsi merekomendasikan pengangkatan para
hakim. Komisi ini dibentuk di bawah supervisi Mahkamah Agung yang keanggotaannya
terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Sekretaris Mahkamah Agung;
perwakilan dari Anggota Kongres; perwakilan organisasi pengacara; perwakilan guru besar
fakultas hukum; pensiunan Mahkamah Agung; dan perwakilan sektor privat.41

7. Gambia

Komisi Yudisial di Gambia bernama Judicial Service Commission yang diatur di


dalam Section 145 Konstitusinya.42 Akan tetapi, Konstitusi Gambia hanya menyatakan bahwa
anggota-anggota pengadilan diangkat oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan Judicial
Service Commission.43 Selain hal itu, Konstitusi tidak mengatur lebih lanjut.
8. Ghana
Komisi Yudisial di Ghana bernama The Judicial Council yang diatur di dalam Section
144 Konstitusinya.44 Komisi ini berfungsi memberikan advis kepada Presiden tentang
pengangkatan Hakim Agung, Hakim Banding, dan Hakim Tingkat Pertama.45 Selain itu, The
Judicial Council juga berfungsi mengusulkan pertimbangan tentang pemerintahan, perbaikan
administrasi dan efisiensi peradilan; menjadi forum untuk mempertimbangkan dan
mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan fungsi peradilan; dan menyelenggarakan fungsi
lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.46
Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi;
Jaksa Agung; Hakim Agung yang dicalonkan para Hakim Agung; Hakim Tinggi yang
dicalonkan oleh para Hakim Tinggi; dua (2) orang perwakilan Ghana Bar Association;
perwakilan Ketua Pengadilan regional yang dicalonkan dari para Ketua Pengadilan Negeri;

38
The Constitution of Fiji, Adopted on: 23 September 1988 Last Amendment on: 25 July 1997 Effective since: 28
July 1998.
39
Ibid., Article 132 (2).
40
The Constitution of Philippines, shall take effect on the February 2, 1987.
41
Ibid., Section 8 (1).
42
The Constitution of The Republic of The Gambia, 1997 (Amendment) Bill, 2000.
43
Ibid.
44
The Constitution of Ghana, date of gazette notification: 15th May 1992.
45
Ibid., Section 144 (1) dan (3).
46
Ibid., Section 154 (1).

8
perwakilan pengadilan yang lebih rendah; Hakim Pengadilan Militer; Kepala Direktorat
Hukum Pelayanan Kepolisian; Editor Laporan tentang Hukum Ghana; perwakilan Asosiasi
Staf Pelayanan Kehakiman; Ketua National House of Chiefs; dan empat orang bukan lawyer
yang diangkat Presiden.47

9. Guyana

Komisi Yudisial di Guyana bernama Judicial Service Commission yang diatur di dalam
Section 128 (1) Konstitusinya.48 Komisi ini berfungsi memberikan advis kepada Presiden
tentang pengangkatan para hakim, pejabat hukum lain, dan Ketua Mahkamah Agung.49
Keanggotaan Komisi ini terdiri dari pejabat hukum sebagai Ketua Komisi; Ketua Mahkamah
Agung; Ketua Public Service Commission; dan anggota-anggota lain.50

10. Indonesia

Komisi Yudisial di Indonesia diatur dalam Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945
yang hadir karena didasari pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di Mahkamah Agung
dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan dalam perjuangan
menegakkan hukum dan keadilan. Apalagi hakim agung duduk pada tingkat peradilan
tertinggi dalam susunan peradilan. Sebagai negara hukum, masalah kehormatan dan keluhuran
martabat, serta perilaku seluruh hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung
upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham Indonesia adalah negara
hukum. Melalui lembaga Komisi Yudisial ini, diharapkan dapat diwujudkan lembaga
peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum
dan pencapaian keadilan melalui putusan hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran
martabat serta perilakunya.51
Pasal 24B ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan, “Komisi Yudisial
bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim.”52
Pasal 24B ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan, “Anggota Komisi
Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela.”53
Pasal 24B ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan, “Anggota Komisi
Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.”54

47
Ibid., Section 153.
48
The Constitution of Guyana, adopted on: 23rd February, 1970.
49
Ibid., Article 128 (1).
50
Ibid.
51
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003, hlm. 195.
52
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat
Jendral MPR RI, 2002, hlm. 47 dan 72.
53
Ibid.

9
Pasal 24B ayat (4) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan, “Susunan, kedudukan,
dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.”55

11. Italia

Komisi Yudisial di Italia bernama The Superior Council of the Judiciary yang diatur di
dalam Section 105 Konstitusinya.56 Komisi ini mempunyai hak mengangkat, memberhentikan,
memutasikan, dan mempromosikan anggota badan peradilan dan memberikan tindakan
pendisiplinan terhadapnya.57 Konstitusi Italia tidak mengatur keanggotaan Komisi ini.
12. Kazakhstan
Komisi Yudisial di Kazakhstan bernama Higher Judicial Council yang di dalam
Konstitusi hanya disebut sekali saja, yakni pada Article 44 (20).58 Konstitusi tidak mengatur
lebih lanjut.

13. Kamerun

Komisi Yudisial di Kamerun bernama Higher Judicial Council yang diatur di dalam
Section 37 (3) Konstitusinya.59 Dewan ini berfungsi mendampingi Presiden dan memberikan
opininya dalam hal pengangkatan para anggota hakim dan departemen kehakiman serta
memberikan opininya tentang para calon hakim dan mengambil tindakan pendisiplinan
terhadap aparat hukum dan pengadilan. Keanggotaannya diatur dengan undang-undang.60

14. Kongo

Komisi Yudisial Kongo bernama High Council of the Magistrate yang diatur di dalam
Article 134 dan 135 Konstitusinya.61 Dewan yang dipimpin oleh Presiden ini berfungsi
mengadakan jabatan hakim;62 menjamin kemerdekaan kekuasan kehakiman;63 dan harus
membentuk Dewan Kedisiplinan (Disciplinary Council) sebagai lembaga yang mengurusi
kareir para hakim.64 Keanggotaan dewan ini terdiri dari Ketua Mahkamah Konstitusi, anggota,
dan para hakim yang dipilih oleh Parlemen dengan syarat-syarat yang diatur dengan undang-
undang.65

54
Ibid.
55
Ibid.
56
The Constitution of Italia, the translation of the later amendments by Bernard E. DeLury, Jr., published in 1994.
57
Ibid., Article 105. Untuk pendalaman kekuasaan kehakiman di Italia, lihat misalnya Pasquale Pasquino, “One
and Three: Separation of Powers and the Independence of the Judiciary in the Italian Constitution”, dalam John
Ferejohn, Jack N. Rakove, dan Jonathan Riley, eds., Constitutional Culture and Democratic Rule, Cambridge:
Cambridge University Press, 2001, hlm. 205-222; M. Cappeletti, John Henry Merryman, dan J.M. Perillo, The
Italian System, Stanford: Stanford University Press, 1967.
58
The Constitution of Kazakhstan, Article 44 (20).
59
The Constitution of Cameroon, Law No. 96-06 of 18 January 1996 to amend the Constitution of 2 June 1972.
60
Ibid., Article 37 (3).
61
The Constitution of Congo, adopted on: 15 March 1992.
62
Ibid., Article 134.
63
Ibid., Article 135.
64
Ibid., Article 136.
65
Ibid., Article 134.

10
15. Kroasia

Komisi Yudisial di Kroasia bernama National Judicial Council yang diatur di dalam
Article 123 Konstitusinya.66 Dewan ini berfungsi mengangkat dan memberhentikan hakim dan
memutuskan segala hal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban kedisiplinannya.67
Keanggotaan Dewan ini terdiri dari sebelas (11) orang yang dipilih oleh Parlemen Kroasia dari
para hakim, advokat, dan guru besar fakultas hukum.68

16. Kenya

Komisi Yudisial di Kenya bernama Judicial Service Commission yang diatur di dalam
Article 61 (2) Konstitusinya.69 Komisi ini berfungsi memberikan advis kepada Presiden
tentang pengangkatan hakim.70 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung
sebagai Ketua Komisi; Jaksa Agung; dua (2) orang hakim yang mewakili Mahkamah Agung
dan Pengadilan Tinggi; dan Ketua Public Service Commission.71

17. Lesotho

Komisi Yudisial di Lesotho bernama Judicial Service Commission yang diatur di


dalam Article 132 Konstitusinya.72 Dewan ini berfungsi memberikan advis kepada Presiden
tentang pengangkatan hakim agung.73 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah
Agung sebagai Ketua Komisi; Jaksa Agung; Ketua Public Service Commission; dan satu (1)
orang yang diangkat Raja.74

18. Makedonia

Komisi Yudisial di Makedonia bernama The Republican Judicial Council yang diatur
di dalam Article 104 dan 105 Konstitusinya.75 Komisi ini berfungsi mengusulkan
pengangkatan dan pemberhentian para hakim; memutuskan pertanggungjawaban kedisiplinan
para hakim; memberikan penilaian kompetensi dan etika para hakim dalam menjalankan
jabatannya; dan mengusulkan dua (2) orang hakim untuk duduk dalam Mahkamah Konstitusi
Makedonia.76 Keanggotaan Dewan ini terdiri dari tujuh (7) anggota yang dipilih oleh Majelis
(The Assembly).77
66
The Constitution of Croatia, Official Gazette No. 28/2001.
67
Ibid., Article 123.
68
Ibid.
69
The Constitution of Kenya, 1992.
70
Ibid., Article 61 (2).
71
Ibid., Article 68 (1).
72
The Constitution of Lesotho, dated 25th March, 1993.
73
Ibid., Article 132.
74
Ibid., Article 132.
75
The Constitution of Macedonia, adopted on: 17 Nov 1991, effective since: 20 Nov 1991, amended on: 6 Jan
1992.
76
Ibid., Article 105.
77
Ibid., Article 104.

11
19. Malawi

Komisi Yudisial di Malawi bernama Judicial Service Commission yang diatur di dalam
Article 116 dan 118 Konstitusinya.78 Komisi ini mempunyai otoritas mencalonkan seseorang
untuk menduduki jabatan kehakiman; menjalankan kekuasaan pendisiplinan terhadap pejabat
peradilan; merekomendasikan pemberhentian seseorang dari jabatan kehakiman; dan
menjalankan kekuasaan lain yang diperlukan sesuai dengan konstitusi.79 Keanggotaan Komisi
ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Ketua Civil Service
Commission; Hakim Banding; dan praktisi hukum.80

20. Malaysia

Komisi Yudisial di Malaysia bernama Judicial and Legal Service Commission yang
diatur di dalam Article 138 Konstitusinya.81 Konstitusi Malaysia tidak mengatur secara
eksplisit kewenangan lembaga ini. Hanya dikatakan bahwa Judicial and Legal Service
Commission mempunyai yurisdiksi setiap anggota peradilan dan pelayanan hukum.82
Keanggotaan lembaga ini terdiri dari Ketua Public Service Commission sebagai ketua; Jaksa
Agung; dan satu (1) orang atau lebih anggota yang diangkat oleh Yang di-Pertuan Agong
setelah berkonsultasi dengan Ketua Mahkamah Agung.83

21. Marshall Islands

Komisi Yudisial di Marshall Islands bernama Judicial Service Commission yang diatur
di dalam Article VI Section 5 Konstitusinya.84 Komisi ini berfungsi membuat rekomendasi
tentang pengangkatan hakim atas inisiatif sendiri atau atas permintaan Kabinet;
merekomendasikan atau mengevaluasi kriteria dan kualifikasi para hakim; mengangkat atau
memberhentikan para hakim dari pengadilan rendah; dan menjalankan fungsi dan kekuasaan
lain yang diatur dengan undang-undang. Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua
Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Jaksa Agung; dan warga negara Marshall Islands.85

22. Namibia

Komisi Yudisial di Namibia bernama Judicial Service Commission yang diatur di


dalam Chapter IX Article 85 dan Chapter XX Article 139 Konstitusinya.86 Komisi ini
berfungsi merekomendasikan kepada Presiden tentang pengangkatan Ketua Mahkamah

78
The Constitution of Malawi, passed in Parliament this sixteenth day of May, one thousand, nine hundred and
ninety-four.
79
Ibid., Article 118.
80
Ibid., Article 117.
81
The Constitution of Malaysia.
82
Ibid., Article 138 (1).
83
Ibid.
84
The Constitution of Marshall Islands, the effective date of this Constitution shall be May 1, 1979.
85
Ibid., Article VI Section 5.
86
The Constitution of Namibia, shall take effect on the Feb 1990.

12
Agung, Hakim Agung, dan Hakim Pengadilan Tinggi; Ombudsman; dan Jaksa Agung.87
Selain itu, Komisi juga harus melakukan investigasi untuk menentukan apakah seorang hakim
perlu diberhentikan atau tidak.88 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah
Agung; hakim yang diangkat oleh Presiden; Jaksa Agung; dan dua (2) orang anggota dari
profesi hukum.89

23. Nepal

Komisi Yudisial di Nepal bernama Judicial Council yang diatur di dalam Article 91
Konstitusinya.90 Komisi ini berfungsi merekomendasikan dan memberikan advis kepada
Presiden tentang pengangkatan, pemindahan (mutasi), tindakan pendisiplinan, dan
pemberhentian para hakim serta hal-hal lain yang berkaitan dengan administrasi pengadilan.
Keanggotaan Dewan ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung yang secara ex officio sebagai
Ketua Dewan; Menteri Kehakiman; dua (2) orang Hakim Agung paling senior; dan satu (1)
orang juri yang dicalonkan oleh Raja.91

24. Nigeria

Komisi Yudisial di Nigeria bernama Judicial Service Commission yang diatur di dalam
Article 202 Konstitusinya.92 Akan tetapi, Konstitusi tidak mengatur secara tegas fungsi dan
keanggotaan Judicial Service Commission.

25. Papua Nugini

Komisi Yudisial di Papua Nugini bernama Judicial and Legal Services Commission
yang diatur di dalam Article 170 Konstitusinya.93 Komisi ini berfungsi mengangkat Wakil
Ketua Mahkamah Agung dan Hakim Agung (selain Ketua Mahkamah Agung);94 dan
mengangkat Ketua Hakim;95 mengangkat Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda.96 Konstitusi
tidak mengatur keanggotaan Komisi ini.

26. Prancis

Komisi Yudisial di Prancis bernama Conseil Superieur de la Magistrature yang diatur


di dalam Title VIII Article 64 Konstitusinya.97 Komisi ini berfungsi membantu Presiden
sebagai penjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman;98 mengusulkan pengangkatan Hakim
87
Ibid., Article 32.
88
Ibid., Article 84 (3).
89
Ibid., Article 85 (1).
90
The Constitution of Namibia, shall take effect on the Feb 1990.
91
Article 91 (1).
92
The Constitution of Nigeria, 1999.
93
The Constitution of Papua New Guinea, 1975.
94
Ibid., Article 170 (2).
95
Ibid., Article 171 (2).
96
Ibid., Article 171 (3).
97
The Constitution of France, amended on 26 July 1995.
98
Ibid., Article 64 (1) dan (2).

13
Agung dan pimpinan Hakim Banding;99 dan bertindak sebagai Dewan Pendisiplinan Hakim.100
Keanggotaan Dewan ini terdiri dari Presiden yang secara ex officio sebagai Ketua Dewan;
Menteri Kehakiman sebagai Wakil Ketua Dewan.101 Sedangkan anggotanya terdiri dari
sembilan (9) orang yang diangkat oleh Presiden.102

27. Saint Christopher and Nevis

Komisi Yudisial di Saint Christopher and Nevis bernama Judicial and Legal Service
Commission yang diatur secara tersebar diberbagai pasal dalam konstitusinya.103 Komisi ini
berfungsi sebagai pihak yang harus diajak konsultasi dalam pengangkatan seseorang untuk
menduduki jabatan publik di bidang kehakiman.104 Seseorang yang menduduki jabatan publik
di bidang kehakiman tidak bisa diberhentikan kecuali atas persetujuan Judicial and Legal
Service Commission.105 Konstitusi tidak mengatur keanggotaan Komisi ini.

28. Saint Lucia

Komisi Yudisial di Saint Lucia bernama Judicial and Legal Service Commission yang
hanya disebut sekali saja di dalam Konstitusinya, yaitu di dalam Article 91 (3).106 Komisi ini
berfungsi melakukan kontrol kedisiplinan terhadap pejabat publik di bidang kehakiman dan
memberhentikannya.107 Konstitusi tidak mengatur keanggotaan Komisi ini.

29. Saint Vincent

Komisi Yudisial di Saint Vincent bernama Judicial and Legal Service Commission
yang diatur di dalam beberapa pasal Konstitusinya108 Komisi ini berfungsi memberikan
konsultasi kepada Gubernur Jendral tentang pemberhentian pejabat publik di bidang
kehakiman;109 menyetujui pemberhentian pejabat publik di bidang kehakiman;110 mengangkat
orang untuk menduduki jabatan dalam Kejaksaan Agung;111 dan memberikan advis kepada
Gubernur Jendral tentang pengangkatan Jaksa Agung.112 Konstitusi tidak mengatur
keanggotaan Komisi ini.

30. Samoa

99
Ibid., Article 65 (3).
100
Ibid., Article 65 (4).
101
Ibid., Article 65 (1).
102
Ibid., Article 65 (2).
103
The Constitution of Saint Christopher and Nevis, made 22nd June 1983.
104
Ibid., Article 87 (7).
105
Ibid., Article 87 (8).
106
The Constitution of Saint Lucia.
107
Ibid., Article 91 (3).
108
The Constitution of Saint Vincent, made 26th July 1979 Coming into Operation 27th Oct. 1979.
109
Ibid., Article 78 (6).
110
Ibid., Article 78 (7).
111
Ibid., Article 80 (1).
112
Ibid., Article 81 (1).

14
Komisi Yudisial di Samoa bernama Judicial Service Commission yang diatur di dalam
Article 72 Konstitusinya.113 Komisi ini berfungsi memberikan advis kepada Kepala Negara
mengenai pengangkatan, promosi, dan mutasi pejabat pengadilan (selain Ketua Mahkamah
Agung); dan pemberhentian setiap pejabat peradilan (selain Hakim Agung).114 Keanggotaan
Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Jaksa Agung; dan satu
(1) orang yang dicalonkan oleh Menteri Kehakiman.115

31. Sierra Leone

Komisi Yudisial di Sierra Leone bernama Judicial and Legal Service Commission yang
diatur di dalam Article 140 (1) Konstitusinya.116 Komisi ini berfungsi memberikan advis
kepada Ketua Mahkamah Agung dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi administratif dan lain-
lain;117 mengangkat, mempromosikan, memutasikan, memberhentikan, dan mendisiplinkan
orang-orang yang menduduki jabatan kehakiman.118 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua
Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Hakim Banding paling senior; Jaksa Agung;
seorang praktisi hukum; Ketua Public Service Commission; dan (2) dua orang yang diangkat
oleh Presiden dengan persetujuan Parlemen.119

32. Slovenia

Komisi Yudisial di Slovenia bernama Judicial Council yang diatur di dalam Article
130 Konstitusinya.120 Komisi ini berfungsi memberikan rekomendasi kepada National
Assembly dalam pemilihan para hakim.121 Keanggotaan Dewan ini terdiri dari sebelas (11)
anggota. Lima (5) orang anggota dipilih melalui pemungutan suara National Assembly yang
dicalonkan Presiden dari kalangan praktisi hukum, guru besar fakultas hukum, dan lawyer;
enam (6) orang anggota dipilih dari kalangan hakim. Ketua Komisi dipilih oleh para
anggotanya.122

33. Solomon Islands

Komisi Yudisial di Solomon Islands bernama Judicial and Legal Service Commission
yang diatur di dalam Article 117 (1) Konstitusinya.123 Komisi ini berfungsi mengangkat,
memberhentikan, dan melakukan pendisiplinan para hakim.124 Keanggotaan Komisi ini terdiri
dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Jaksa Agung; Ketua Public Service
113
The Constitution of Samoa.
114
Ibid., Article 72 (3).
115
Ibid., Article 72 (1).
116
The Constitution of Sierra Leone, 1991.
117
Ibid., Article 140 (1) dan (2).
118
Ibid., Article 141 (1).
119
Ibid., Article 140 (1).
120
The Constitution of Slovenia, Adopted on: 23 Dec 1991, amendment: 14 July 1997, introducing Paragraph 2
into Article 68, amendment: 25 July 2000, introducing Paragraph 5 into Article 80.
121
Ibid., Article 130.
122
Ibid., Article 131.
123
The Constitution of Solomon Islands, 1996.
124
Ibid., Article 118 (1).

15
Commission, dan anggota tambahan yang diangkat Gubernur Jendral sesuai dengan advis dari
Perdana Menteri.125

34. Spanyol

Komisi Yudisial di Spanyol Islands bernama General Council of the Judicial Power
yang diatur di dalam Article 122 Konstitusinya.126 Komisi ini menentukan organ administrasi
pengadilan khususnya yang berkaitan dengan pengangkatan, promosi, inspeksi, dan
pendisiplinan.127 Keorganisasian Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai
Ketua Komisi, dan dua puluh (20) orang hakim, empat (4) orang di antaranya diusulkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat; empat (4) orang oleh Senat yang diambil dari lawyer dan ahli
hukum.128

35. Sri Lanka

Komisi Yudisial di Sri Lanka bernama Judicial Service Commission yang diatur di
dalam Article 156 (1) Konstitusinya.129 Komisi ini berfungsi mengangkat, mempromosikan,
memutasikan, memberhentikan, dan mengontrol kedisiplinan pejabat pengadilan.130
Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung; dan dua (2) orang Hakim
Agung yang diangkat oleh Presiden.

36. Thailand

Komisi Yudisial di Thailand bernama Judicial Commission of the Court of Justice


yang diatur di dalam beberapa pasal Konstitusinya131 Komisi ini berfungsi memberikan
persetujuan pengangkatan dan pemberhentian Hakim Agung sebelum diajukan kepada Raja;132
dan memberikan persetujuan tentang promosi, kenaikan gaji dan menghukum Hakim
Agung.133 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua
Komisi; dua belas (12) orang anggota dari setiap tingkatan pangadilan; dan dua (2) orang
anggota di luar hakim yang dipilih oleh Senat.

37. Timor Timur

Komisi Yudisial di Timor Timur bernama Superior Council for the Judiciary yang
diatur di dalam Section 128 Konstitusinya.134 Dewan ini berfungsi sebagai pengelola dan

125
Ibid., Article 117 (1).
126
The Constitution of Spain, shall take effect on the and 29 Dec 1978 consolidated up to the amendment of 27
Aug 1992.
127
Ibid., Article 122 (1) dan (2).
128
Ibid., Article 122 (3).
129
The Constitution of Sri Lanka, dated: August 03, 2000.
130
Ibid., Article 158 (1).
131
The Constitution of Thailand, adopted in 1997.
132
Ibid., Article 273.
133
Ibid.
134
The Constitution of the Democratic Republic of East Timor, adopted in 22nd of March 2002.

16
pendisiplinan para hakim pengadilan; dan mengangkat, memberhentikan, memutasikan, dan
mempromosikannya.135 Kenggotaan Dewan ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai
Ketua Dewan; satu (1) orang ditunjuk oleh Presiden; satu (1) orang dipilih oleh Parlemen; satu
(1) orang ditunjuk oleh Pemerintah; dan satu (1) orang dipilih oleh para hakim.136

38. Trinidad dan Tobago

Komisi Yudisial di Trinidad and Tobago bernama Judicial and Legal Service
Commission yang diatur di dalam beberapa pasal Konstitusinya.137 Komisi ini berfungsi
memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan Hakim Agung.138 Keanggotaan
Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Ketua Public Service
Commission; dan anggota-anggota lain yang diangkat.139

39. Tunisia

Komisi Yudisial di Tunisia bernama Superior Council of the Magistrature yang sedikit
disinggung dalam Article 66 dan 67 Konstitusinya.140 Dewan ini berfungsi merekomendasikan
kepada Presiden tentang pencalonan hakim;141 mengawasi hakim dalam hal pelaksanaan
pencalonan, kemajuan, pemutasian, dan kedisiplinan.142 Konstitusi menyerahkan pengaturan
lebih lanjut tentang Dewan ini pada undang-undang.
40. Vanuatu
Komisi Yudisial di Vanuatu bernama Judicial Service Commission yang disebutkan
dalam Article 47 Konstitusinya.143 Komisi ini berfungsi memberikan advis kepada Presiden
tentang pengangkatan hakim;144 dan memberikan advis kepada Presiden tentang promosi dan
mutasi anggota kehakiman.145 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Menteri yang bertanggung
jawab terhadap kehakiman; dan Ketua Public Service Commission; dan perwakilan National
Council of Chiefs.146

41. Venezuela

Komisi Yudisial di Venezuela bernama The Council on the Judiciary yang disebutkan
dalam Article 47 Konstitusinya.147 Dewan ini berfungsi mengatur penjaminan independensi,

135
Ibid., Article 128 (1).
136
Ibid., Article 128 (2).
137
The Constitution of the Trinidad and Tobago, assented to 23rd September, 1980.
138
Ibid., Article 104 (1).
139
Ibid., Article 110 (1).
140
The Constitution of Tunisia.
141
Ibid., Article 66.
142
Ibid., Article 67.
143
The Constitution of Vanuatu, adopted in 1983.
144
Ibid., Article 47 (2).
145
Ibid., Article 47 (4).
146
Ibid., Article 48 (1).
147
The Constitution of Venezuela, adopted in January, 16, 1961.

17
efisiensi, disiplin, dan kepatutan pengadilan; dan menjamin hal-hal yang berkaitan dengan
kareir seorang hakim.148 Konstitusi tidak mengatur keanggotaan Dewan ini.
42. Zambia
Komisi Yudisial di Zambia bernama Judicial Service Commission yang disebutkan
dalam Article 98 Konstitusinya.149 Komisi ini berfungsi memberikan advis kepada Presiden
tentang pengangkatan Hakim Agung; dan fungsi lain yang berkaitan dengan pelayanan publik
atau pelayanan hukum atau pengadilan.150 Konstitusi tidak mengatur keanggotaan Komisi ini.

43. Zimbabwe

Komisi Yudisial di Zimbabwe bernama Judicial Service Commission yang disebutkan


dalam Article 98 Konstitusinya.151 Komisi ini berfungsi memberikan konsultasi kepada
Presiden tentang pengangkatan Jaksa Agung,152 Deputi Jaksa Agung, 153 dan Ketua Mahkamah
Agung.154 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung; Ketua Public Service
Commission; Jaksa Agung; dan dua anggota yang diangkat.155
Empat puluh tiga (43) negara yang mengatur Komisi Yudisial di dalam konstitusinya
menyebut lembaga tersebut secara beragam, meskipun tidak jarang terjadi kesamaan antara
negara satu dengan negara lainnya. Demikian juga yang berkaitan dengan pengaturan terhadap
fungsi utama Komisi Yudisial, terdapat beberapa perbedaan fungsi antara negara satu dengan
negara lainnya, meskipun tidak jarang juga terdapat beberapa kesamaan fungsi antara negara
satu dengan negara lainnya. Hal yang sama juga berlaku untuk jumlah anggota Komisi
Yudisial di berbagai negara yang seringkali terjadi perbedaan antara satu dengan yang lain.
Hal ini dapat dipahami karena, sebagaimana ditegaskan oleh Wim Voermans, Komisi
Yudisial ditentukan oleh konteks sosial dan ketatanegaraan suatu negara dan perkembangan
kultural yang telah dilalui oleh negara tersebut.156 Oleh karena itu, Komisi Yudisial di suatu
negara merupakan produk dari pemahaman kultur ketatanegaraan negara tersebut. Selain itu,
pemahaman terhadap implementasi konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka seringkali
tidak sama antara negara satu dengan negara lainnya, sehingga konsep pengawasan terhadap
kekuasaan kehakiman –yang salah satunya dimanifestasikan melalui pembentukan Komisi
Yudisial – juga tidak sama antara negara satu dengan lainnya.157
Untuk keperluan teknis kemudahan pemahaman Komisi Yudisial di empat puluh tiga
(43) negara, peneliti akan mengetengahkan tabel yang memaparkan hal-hal yang berkaitan
dengan nama Komisi Yudisial di empat puluh tiga (43) negara, fungsi utama Komisi Yudisial

148
Ibid., Article 217.
149
The Constitution of Zambia, 1991.
150
Ibid., Article 109 (1).
151
The Constitution of Zimbabwe, 1993.
152
Ibid., Article 76 (2).
153
Ibid., Article 76 (10).
154
Ibid., Article 84 (1).
155
Ibid., Article 90.
156
Wim Voermans, Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa [Council for the Judiciary in EU Countries],
diterjemahkan oleh Adi Nugroho dan M. Zaki Hussein, Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk
Independensi Peradilan-LeIP, 2002, hlm. 133.
157
Selain hal-hal tersebut, faktor sejarah dari suatu negara juga ikut mempengaruhi perbedaan pembentukan
struktur Komisi Yudisial di berbagai negara. Ibid.

18
di empat puluh tiga (43) negara, dan jumlah anggota Komisi Yudisial di empat puluh tiga (43)
negara, sebagai berikut:
Tabel 3.1. Komisi Yudisial di Berbagai Negara

No. Negara Nama Fungsi Utama Jumlah


Anggota
1. Afrika Selatan Judicial Service Memberikan advis kepada 19 orang
Commission Presiden dalam pengangkatan
dan pemberhentian Ketua dan
Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi, Ketua dan Wakil
Ketua Mahkamah Agung, dan
hakim di semua lembaga
peradilan
2. Argentina Council of Mengajukan calon hakim Tidak diatur
Magistracy agung kepada Senat dan di dalam
diangkat oleh Presiden; Konstitusi
bertangung jawab terhadap
seleksi calon hakim dan
administrasi kekuasaan
kehakiman; mengembangkan
pemilihan kandidat hakim
tingkat bawah melalui
kompetisi publik;
mengeluarkan usulan tiga (3)
orang kandidat hakim tingkat
bawah; mengurus sumber daya
untuk administrasi pengadilan;
melakukan tindakan
pendisiplinan terhadap hakim;
memutuskan pemberhentian
hakim; dan mengeluarkan
peraturan tentang organisasi
pengadilan untuk menjamin
independensi hakim dan
efisiensi administrasi
pengadilan.
3. Bulgaria Supreme Judicial Mengusulkan kepada Presiden 25 orang
Council tentang pengangkatan dan
pemberhentian Ketua
Mahkamah Agung Kasasi,
Ketua Mahkamah Agung
Administratif, dan Jaksa
Agung.
4. Etiopia State Judicial Merekomendasikan kepada Tidak diatur
Administration State Council tentang di dalam
Council pengangkatan Hakim Agung, Konstitusi
Hakim Tinggi, dan Hakim
Tingkat Pertama
5. Fiji Judicial Service Merekomendasikan kepada Tidak diatur
Commission Presiden tentang pengangkatan di dalam
Hakim Agung dan Hakim Konstitusi
Banding.

19
6. Filipina Judicial and Bar Merekomendasikan 6 orang
Council pengangkatan para hakim.
7. Gambia Judicial Service Memberikan konsultasi kepada Tidak diatur
Commission Presiden tentang anggota- di dalam
anggota pengadilan yang akan Konstitusi
diangkat
8. Ghana Judicial Council Memberikan advis kepada 17 orang
Presiden tentang pengangkatan
Hakim Agung, Hakim
Banding, dan Hakim Tingkat
Pertama. Selain itu, juga
berfungsi mengusulkan
pertimbangan tentang
pemerintah, perbaikan
administrasi dan efisiensi
peradilan; menjadi forum untuk
mempertimbangkan dan
mendiskusikan hal-hal yang
berkaitan dengan fungsi
peradilan; dan
menyelenggarakan fungsi lain
sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
9. Guyana Judicial Service Memberikan advis kepada Tidak diatur
Commission Presiden tentang pengangkatan di dalam
para hakim, pejabat hukum Konstitusi
lain, dan Ketua Mahkamah
Agung
10. Indonesia Komisi Yudisial Mengusulkan pengang-katan Tidak diatur
hakim agung dan mempunyai di dalam
wewenang lain dalam rangka Konstitusi
menjaga dan menegak-kan
kehormatan, keluhu-ran
martabat, serta perilaku hakim.
11. Italia Superior Council Berhak mengangkat, Tidak diatur
of the Judiciary memberhentikan, di dalam
memutasikan, dan Konstitusi
mempromosikan anggota
badan peradilan dan
memberikan tindakan
pendisiplinan terhadapnya
12. Kazakhstan Higher Judicial Tidak diatur di dalam Tidak diatur
Council Konstitusi. di dalam
Konstitusi
13. Kamerun Higher Judicial Mendampingi Presiden dan Tidak diatur
Council memberikan opininya dalam di dalam
hal pengangkatan para anggota Konstitusi
hakim dan departemen
kehakiman serta memberikan
opininya tentang para calon
hakim dan mengambil tindakan
pendisiplinan terhadap aparat
hukum dan pengadilan.
14. Kongo High Council of Mengadakan jabatan hakim; Tidak diatur

20
the Magistrate menjamin kemerdekaan di dalam
kekuasan kehakiman; dan Konstitusi
harus membentuk Dewan
Kedisiplinan (Disciplinary
Council) sebagai lembaga yang
mengurusi kareir para hakim.
15. Kroasia National Judicial Mengangkat dan 11 orang
Council memberhentikan hakim dan
memutuskan segala hal yang
berkaitan dengan
pertanggungjawaban
kedisiplinannya.
16. Kenya Judicial Service Memberikan advis kepada 5 orang
Commission Presiden tentang pengangkatan
hakim
17. Lesotho Judicial Service Memberikan advis kepada 4 orang
Commission Presiden tentang pengangkatan
hakim agung.
18. Makedonia The Republican Mengusulkan pengangkatan 7 orang
Judicial Council dan pemberhentian para hakim;
memutuskan
pertanggungjawaban
kedisiplinan para hakim;
memberikan penilaian
kompetensi dan etika para
hakim dalam menjalankan
jabatannya; dan mengusulkan
dua (2) orang hakim untuk
duduk dalam Mahkamah
Konstitusi Makedonia.
19. Malawi Judicial Service Mencalonkan seseorang untuk Tidak diatur
Commission menduduki jabatan kehakiman; di dalam
menjalankan kekuasaan Konstitusi
pendisiplinan terhadap pejabat
peradilan; merekomendasikan
pemberhentian seseorang dari
jabatan kehakiman; dan
menjalankan kekuasaan lain
yang diperlukan sesuai dengan
konstitusi
20. Malaysia Judicial and Di dalam Konstitusi hanya Tidak diatur
Legal Service dikatakan bahwa Komisi di dalam
Commission mempunyai yurisdiksi setiap Konstitusi
anggota badan peradilan dan
pelayanan hukum.
21. Marshall Judicial Service Membuat rekomendasi tentang Tidak diatur
Islands Commission pengangkatan kehakiman atas di dalam
inisiatif sendiri atau atas Konstitusi
permintaan Kabinet;
merekomendasikan atau
mengevaluasi kriteria dan
kualifikasi para hakim;
mengangkat atau
memberhentikan para hakim

21
dari pengadilan rendah; dan
menjalankan fungsi dan
kekuasaan lain yang diatur
dengan undang-undang.
22. Namibia Judicial Service Membuat rekomendasi tentang 5 orang
Commission pengangkatan hakim atas
inisiatif sendiri atau atas
permintaan Kabinet;
merekomendasikan atau
mengevaluasi kriteria dan
kualifikasi para hakim;
mengangkat atau
memberhentikan para hakim
dari pengadilan rendah; dan
menjalankan fungsi dan
kekuasaan lain yang diatur
dengan undang-undang.
23. Nepal Judicial Council Merekomendasikan dan 5 orang
memberikan advis kepada
Presiden tentang pengangkatan,
pemindahan (mutasi), tindakan
pendisiplinan, dan
pemberhentian para hakim
serta hal-hal lain yang
berkaitan dengan administrasi
pengadilan.
24. Nigeria Judicial Service Tidak diatur di dalam Tidak diatur
Commission Konstitusi. di dalam
Konstitusi
25. Papua Nugini Judicial and Mengangkat Wakil Ketua Tidak diatur
Legal Services Mahkamah Agung dan Hakim di dalam
Commission Agung (selain Ketua Konstitusi
Mahkamah Agung); dan
mengangkat Ketua Hakim;
mengangkat Jaksa Agung dan
Jaksa Agung Muda.
26. Prancis Conseil Membantu Presiden sebagai 11 orang
Superieur de la penjamin kemerdekaan
Magistrature kekuasaan kehakiman;
mengusulkan pengangkatan
Hakim Agung dan pimpinan
Hakim Banding; dan bertindak
sebagai Dewan Pendisiplinan
Hakim.
27. Saint Chris- Judicial and Sebagai pihak yang harus Tidak diatur
topher and Legal Service diajak konsultasi dalam di dalam
Nevis Commission pengangkatan seseorang untuk Konstitusi
menduduki jabatan publik di
bidang kehakiman. Seseorang
yang menduduki jabatan publik
di bidang kehakiman tidak bisa
diberhentikan kecuali atas
persetujuannya.
28. Saint Lucia Judicial and Melakukan kontrol Tidak diatur

22
Legal Service kedisiplinan terhadap pejabat di dalam
Commission publik di bidang kehakiman Konstitusi
dan memberhentikannya.
29. Saint Vincent Judicial and Berkonsultasi dengan Gubernur Tidak diatur
Legal Service Jendral tentang pemberhentian di dalam
Commission pejabat publik di bidang Konstitusi
kehakiman; menyetujui
pemberhentian pejabat publik
di bidang kehakiman;
mengangkat orang untuk
menduduki jabatan dalam
Kejaksaan Agung; dan
memberikan advis kepada
Gubernur Jendral tentang
pengangkatan Jaksa Agung.
30. Samoa Judicial Service Memberikan advis kepada 3 orang
Commission Kepala Negara mengenai
pengangkatan, promosi, dan
mutasi pejabat pengadilan
(selain Ketua Mahkamah
Agung); dan pemberhentian
setiap pejabat peradilan (selain
Hakim Agung).
31. Sierra Leone Judicial and Memberikan advis kepada 7 orang
Legal Service Ketua Mahkamah Agung
Commission dalam penyelenggaraan fungsi-
fungsi administratif dan lain-
lain; mengangkat,
mempromosikan, memutasi-
kan, memberhentikan, dan
mendisiplinkan orang-orang
yang menduduki jabatan
kehakiman.
32. Slovenia Judicial Council Memberikan rekomendasi 11 orang
kepada National Assembly
dalam pemilihan para hakim.
33. Solomon Judicial and Mengangkat, memberhen- 4 orang
Islands Legal Service tikan, dan melakukan
Commission pendisiplinan para hakim.
34. Spanyol General Council Menentukan organ administrasi 22 orang
of the Judicial pengadilan khususnya yang
Power berkaitan dengan
pengangkatan, promosi,
inspeksi, dan pendisiplinan.
35. Sri Lanka Judicial Service Mengangkat, mempromosikan, 3 orang
Commission memutasikan, member-
hentikan, dan mengontrol
kedisiplinan pejabat
pengadilan.
36. Thailand Judicial Memberikan persetujuan 15 orang
Commission of pengangkatan dan
the Court of pemberhentian Hakim Agung
Justice sebelum diajukan kepada Raja;
dan memberikan persetujuan

23
tentang promosi, kenaikan gaji
dan menghukum Hakim
Agung.
37. Timor Timur Superior Council Mengelola dan mendisiplin-kan 5 orang
for the Judiciary para hakim pengadilan; dan
mengangkat, member-hentikan,
memutasikan, dan
mempromosikannya.
38. Trinidad dan Judicial and Memberikan advis kepada Tidak diatur
Tobago Legal Service Presiden tentang pengangkatan di dalam
Commission Hakim Agung. Konstitusi
39. Tunisia Superior Council Merekomendasikan kepada Tidak diatur
of the Magistra- Presiden tentang pencalonan di dalam
ture hakim; mengawasi hakim Konstitusi
dalam hal pelaksanaan
pencalonan, kemajuan,
pemutasian, dan kedisiplinan.
40. Vanuatu Judicial Service Memberikan advis kepada 3 orang
Commission Presiden tentang pengangkatan
hakim; dan memberikan advis
kepada Presiden tentang
promosi dan mutasi anggota
kehakiman.
41. Venezuela The Council on Mengatur penjaminan Tidak diatur
the Judiciary independensi, efisiensi, di dalam
disiplin, dan kepatutan Konstitusi
pengadilan; dan menjamin hal-
hal yang berkaitan dengan
karier seorang hakim.
42. Zambia Judicial Service Memberikan advis kepada Tidak diatur
Commission Presiden tentang pengangkatan di dalam
Hakim Agung; dan fungsi lain Konstitusi
yang berkaitan dengan
pelayanan publik atau
pelayanan hukum atau
pengadilan.
43. Zimbabwe Judicial Service Memberikan konsultasi kepada Tidak diatur
Commission Presiden tentang pengangkatan di dalam
Jaksa Agung, Deputi Jaksa Konstitusi
Agung, dan Ketua Mahkamah
Agung.

Setelah melihat nama, fungsi utama, dan jumlah anggota Komisi Yudisial di empat
puluh tiga (43) negara tersebut, ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil sebagai berikut:

1. Judicial Service Commission adalah nama yang paling banyak dipakai oleh negara-
negara yang mengatur Komisi Yudisial di dalam Konstitusinya, yaitu lima belas
(15) negara;158

158
Kelima belas negara tersebut adalah Afrika Selatan, Fiji, Gambia, Guyana, Kenya, Lesotho, Malawi, Marshall
Islands, Namibia, Nigeria, Samoa, Sri Lanka, Vanuatu, Zambia, dan Zimbabwe.

24
2. Komisi Yudisial adalah lembaga yang diharapkan dapat merekomendasikan nama
Ketua Mahkamah Agung terbaik – bahkan di beberapa negara juga Hakim Agung
dan hakim lain di bawahnya – tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak
terkait dengan kecakapan;
3. Komisi Yudisial adalah lembaga yang diharapkan dapat melakukan tindakan
pendisiplinan terhadap para hakim;
4. Keberadaan Komisi Yudisial terkait dengan masalah gagasan kemerdekaan
kekuasaan kehakiman di dalam suatu negara; dan
5. Keberadaan Komisi Yudisial terkait dengan masalah administrasi pengadilan,
termasuk promosi dan mutasi hakim.
Sementara itu, hal lain yang patut dicatat adalah susunan keanggotaan Komisi Yudisial
di empat puluh tiga (43) negara tersebut seringkali berbeda satu sama lain. Dalam hal
keanggotaan Komisi Yudisial ini memang kadang-kadang terjadi persamaan antara satu
negara dengan negara lainnya. Akan tetapi, perbedaan –bahkan secara diametral– juga kadang-
kadang terjadi, karena memang Komisi Yudisial seringkali ditentukan oleh konteks sosial dan
ketatanegaraan suatu negara serta perkembangan kultural yang telah dilalui oleh negara
tersebut.159 Perbedaan keanggotaan yang terjadi di berbagai negara dapat dilihat dalam tabel
sebagai berikut:

Tabel 3.2. Keanggotaan Komisi Yudisial di Berbagai Negara

No. Negara Nama Keanggotaan


1. Afrika Selatan Judicial Service Ketua Mahakamah Agung sebagai Ketua;
Commission Ketua Mahakamah Konstitusi; satu (1) orang
hakim pilihan; anggota kabinet yang
bertanggung jawab terhadap administrasi
pengadilan; dua (2) orang advokat yang
dinominasikan organisasinya dan diangkat
oleh presiden; dua (2) orang jaksa yang
dinominasikan organisasinya dan diangkat
oleh presiden; satu (1) orang pengajar fakultas
hukum yang dipilih dari universitas-
universitas di Afrika Selatan; tujuh (7) orang
yang dibentuk oleh National Assembly
dimana tiga (3) di antaranya harus dari partai
oposisi; empat (4) orang yang mewakili
provinsi; dan empat (4) orang yang dipilih
presiden setelah melalui persetujuan National
Assembly
2. Argentina Council of Tidak diatur di dalam Konstitusi.
Magistracy
3. Bulgaria Supreme Judicial Dua puluh lima (25) orang. Tiga (3) orang
Council duduk secara ex officio, yaitu Ketua
Mahkamah Agung Kasasi, Ketua Mahkamah
Agung Administratif, dan Jaksa Agung.
4. Etiopia State Judicial Tidak diatur di dalam Konstitusi.
Administration
Council

159
Voermans, op. cit.

25
5. Fiji Judicial Service Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua
Commission Komisi; Ketua Public Service Commission;
dan Ketua Fiji Law Society.
6. Filipina Judicial and Bar Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua
Council Komisi; Sekretaris Mahkamah Agung;
perwakilan dari Anggota Kongres; perwakilan
organisasi pengacara; perwakilan guru besar
hukum; pensiunan Mahkamah Agung; dan
perwakilan sektor privat
7. Gambia Judicial Service Tidak diatur di dalam Konstitusi.
Commission
8. Ghana Judicial Council Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua
Komisi; Jaksa Agung; Hakim Agung yang
dicalonkan para Hakim Agung; Hakim Tinggi
yang dicalonkan oleh para Hakim Tinggi; dua
(2) orang perwakilan Ghana Bar Association;
perwakilan Ketua Pengadilan regional yang
dicalonkan dari para Ketua Pengadilan
Negeri; perwakilan pengadilan yang lebih
rendah; Hakim Pengadilan Militer; Kepala
Direktorat Hukum Pelayanan Kepolisian;
editor Laporan tentang Hukum Ghana;
perwakilan Asosiasi Staf Pelayanan
Kehakiman; Ketua National House of Chiefs;
dan empat (4) orang bukan lawyer yang
diangkat Presiden.
9. Guyana Judicial Service Pejabat hukum sebagai Ketua Komisi; Ketua
Commission Mahkamah Agung; Ketua Public Service
Commission; dan anggota-anggota lain
10. Indonesia Komisi Yudisial Tidak diatur di dalam Konstitusi.
11. Italia Superior Council Tidak diatur di dalam Konstitusi.
of the Judiciary
12. Kazakhstan Higher Judicial Tidak diatur di dalam Konstitusi.
Council
13. Kamerun Higher Judicial Tidak diatur di dalam Konstitusi.
Council
14. Kongo High Council of Ketua Mahkamah Konstitusi, anggota, dan
the Magistrate para hakim yang dipilih oleh Parlemen dengan
syarat-syarat yang diatur dengan undang-
undang.
15. Kroasia National Judicial Sebelas (11) orang yang dipilih oleh Parlemen
Council Kroasia dari para hakim, advokat, dan guru
besar fakultas hukum.
16. Kenya Judicial Service Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua
Commission Komisi; Jaksa Agung; dua (2) orang hakim
yang mewakili Mahkamah Agung dan
Pengadilan Tinggi; dan Ketua Public Service
Commission.
17. Lesotho Judicial Service Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua
Commission Komisi; Jaksa Agung; Ketua Public Service
Commission; dan satu (1) orang yang diangkat
Raja.
18. Makedonia The Republican Tujuh (7) orang anggota yang dipilih oleh
Judicial Council Majelis (The Assembly).

26
19. Malawi Judicial Service Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua
Commission Komisi; Ketua Civil Service Commission;
Hakim Banding; dan praktisi hukum.
20. Malaysia Judicial and Ketua Public Service Commission sebagai
Legal Service ketua; Jaksa Agung; dan satu (1) orang atau
Commission lebih anggota yang diangkat oleh Yang di-
Pertuan Agong setelah berkonsultasi dengan
Ketua Mahkamah Agung.
21. Marshall Judicial Service Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua
Islands Commission Komisi; Jaksa Agung; dan warga negara
Marshall Islands.
22. Namibia Judicial Service Ketua Mahkamah Agung; hakim yang
Commission diangkat oleh Presiden; Jaksa Agung; dan dua
(2) orang anggota dari profesi hukum.
23. Nepal Judicial Council Ketua Mahkamah Agung yang secara ex
officio sebagai Ketua Dewan; Menteri
Kehakiman; dua (2) orang Hakim Agung
paling senior; dan satu (1) orang juri yang
dicalonkan oleh Raja.
24. Nigeria Judicial Service Tidak diatur di dalam Konstitusi.
Commission
25. Papua Nugini Judicial and Tidak diatur di dalam Konstitusi.
Legal Services
Commission
26. Prancis Conseil Sembilan (9) orang yang diangkat oleh
Superieur de la Presiden.
Magistrature
27. Saint Chris- Judicial and Tidak diatur di dalam Konstitusi.
topher and Legal Service
Nevis Commission
28. Saint Lucia Judicial and Tidak diatur di dalam Konstitusi.
Legal Service
Commission
29. Saint Vincent Judicial and Tidak diatur di dalam Konstitusi.
Legal Service
Commission
30. Samoa Judicial Service Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua
Commission Komisi; Jaksa Agung; dan satu (1) orang yang
dicalonkan oleh Menteri Kehakiman.
31. Sierra Leone Judicial and Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua
Legal Service Komisi; Hakim Banding paling senior; Jaksa
Commission Agung; satu (1) orang praktisi hukum; Ketua
Public Service Commission; dan dua (2) orang
yang diangkat oleh Presiden dengan
persetujuan Parlemen.
32. Slovenia Judicial Council Lima (5) orang anggota dipilih melalui
pemungutan suara National Assembly yang
dicalonkan Presiden dari kalangan praktisi
hukum, guru besar hukum, dan lawyer; enam
(6) orang anggota dipilih dari kalangan hakim.
Ketua Komisi dipilih oleh para anggotanya.

27
33. Solomon Judicial and Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua
Islands Legal Service Komisi; Jaksa Agung; Ketua Public Service
Commission Commission; anggota tambahan yang
diangkat Gubernur Jendral sesuai dengan
advis dari Perdana Menteri.
34. Spanyol General Council Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; dan
of the Judicial dua puluh (20) orang hakim, empat (4) orang
Power di antaranya diusulkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat; empat (4) oleh Senat yang
diambil dari lawyer dan ahli hukum.
35. Sri Lanka Judicial Service Ketua Mahkamah Agung; dan dua (2) orang
Commission Hakim Agung yang diangkat oleh Presiden.
36. Thailand Judicial Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua
Commission of Komisi; dua belas (12) orang anggota dari
the Court of setiap tingkatan pangadilan; dan dua (2) orang
Justice anggota di luar hakim yang dipilih oleh Senat.
37. Timor Timur Superior Council Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua
for the Judiciary Dewan; satu (1) orang ditunjuk oleh Presiden;
satu (1) orang dipilih oleh Parlemen; satu (1)
orang ditunjuk oleh Pemerintah; dan (1) satu
orang dipilih oleh para hakim.
38. Trinidad dan Judicial and Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua
Tobago Legal Service Komisi; Ketua Public Service Commission;
Commission dan anggota-anggota lain yang diangkat.
39. Tunisia Superior Council Tidak diatur di dalam Konstitusi.
of the Magistra-
ture
40. Vanuatu Judicial Service Menteri yang bertanggung jawab terhadap
Commission kehakiman; dan Ketua Public Service
Commission; dan perwakilan National
Council of Chiefs.
41. Venezuela The Council on Tidak diatur di dalam Konstitusi.
the Judiciary
42. Zambia Judicial Service Tidak diatur di dalam Konstitusi.
Commission
43. Zimbabwe Judicial Service Katua Mahkamah Agung; Ketua Public
Commission Service Commission; Jaksa Agung; dan dua
(2) orang anggota yang diangkat.

C. Beberapa Kecenderungan Umum dalam Komisi Yudisial

Setelah melihat beberapa ketentuan Komisi Yudisial di beberapa negara tersebut di


atas, peneliti akan memaparkan beberapa hal penting berkaitan dengan keberadaan Komisi
Yudisial dalam struktur ketatanegaraan suatu negara dan khususnya struktur kekuasaan
kehakimannya, seperti kecenderungan umum yang menjadi latar belakang dan tujuan
pembentukan Komisi Yudisial di berbagai negara
Beberapa kecenderungan ini diharapkan dapat mengelaborasi dengan jelas fenomena
pengaturan Komisi Yudisial, sehingga dapat bermanfaat bagi pelembagaan Komisi Yudisial
dalam struktur ketatanegaraan Indonesia dan lebih khusus dalam struktur kekuasaan
kehakiman. Dengan demikian, Komisi Yudisial yang diidealkan Pasal 24B UUD 1945 dapat

28
direalisasikan dan sedapat mungkin menghindarkan proses trial and error dalam
pelembagaanya.

1. Latar Belakang Pembentukan Komisi Yudisial

Di bebarapa negara, Komisi Yudisial muncul sebagai akibat dari salah satu atau lebih
dari lima hal sebagai berikut:
a) Lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena
monitoring hanya dilakukan secara internal saja;
b) Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah
(executive power) –dalam hal ini Departemen Kehakiman– dan kekuasaan
kehakiman (judicial power);
c) Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang
memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalan-
persoalan teknis non-hukum;
d) Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang
memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus.
e) Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik,
karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga
politik, yaitu presiden atau parlemen.

Kesimpulan tentang lima (5) latar belakang pembentukan Komisi Yudisial di berbagai
negara tersebut di atas kurang lebih dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 3.3. Latar Belakang Pembentukan Komisi Yudisial

No. Latar Belakang Solusi


1. Lemahnya monitoring secara intensif
terhadap kekuasaan kehakiman, karena
monitoring hanya dilakukan secara internal
saja.
2. Tidak adanya lembaga yang menjadi
penghubung antara kekuasaan pemerintah
(executive power) –dalam hal ini Departemen
Kehakiman– dan kekuasaan kehakiman
(judicial power).
3. Kekuasaan Kehakiman dianggap tidak
mempunyai efisiensi dan efektivitas yang
memadai dalam menjalankan tugasnya Membentuk
apabila masih disibukkan dengan persoalan- Komisi Yudisial
persoalan teknis non-hukum.
4. Tidak adanya konsistensi putusan lembaga
peradilan, karena setiap putusan kurang
memperoleh penilaian dan pengawasan yang
ketat dari sebuah lembaga khusus.

29
5. Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap
terlalu bias dengan masalah politik, karena
lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya
adalah lembaga-lembaga politik, yaitu
presiden atau parlemen.

Sekurang-kurangnya salah satu atau lebih dari lima persoalan yang berkaitan dengan
lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, tidak adanya lembaga
yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) –dalam hal ini
Departemen Kehakiman– dan kekuasaan kehakiman (judicial power), rendahnya efisiensi dan
efektivitas kekuasaan kehakiman yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih
disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis non-hukum, inkonsistensi putusan lembaga
peradilan, dan politisasi rekruitmen hakim, menjadi latar belakang yang memunculkan
gagasan pembentukan Komisi Yudisial di berbagai negara.

2. Tujuan Pembentukan Komisi Yudisial

Kehadiran Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan modern merupakan suatu


perkembangan yang sangat menarik dalam cabang kekuasaan kehakiman (judicial power).
Keberadaannya juga merupakan trend yang terjadi pada abad ke-20 dalam sejarah negara
demokrasi modern yang mengharuskan adanya lembaga peradilan yang bebas dari campur
tangan kekuasaan lain di luarnya.
Antara negara satu dengan negara lainnya tidak selalu sama dalam mengaplikasikan
gagasan pembentukan Komisi Yudisial. Fungsi, struktur organisasi, dan penamaan lembaga
tersebut tidak selalu sama antara satu dengan lainnya.160 Hal ini telah disinggung pada bab
sebelumnya. Setelah mempelajari keberadaan Komisi Yudisial di berbagai negara, dapat
disimpulkan bahwa dibentuknya Komisi Yudisial sekurang-kurangnya mempunyai salah satu
atau lebih dari empat alasan yang sangat strategis dalam rangka mewujudkan kekuasaan
kehakiman yang merdeka.
Pertama, dibentuknya Komisi Yudisial adalah agar dapat melakukan monitoring secara
intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam
spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja.161

160
Sebagaimana telah disinggung di atas, pembentukan Komisi Yudisial di berbagai negara sangat ditentukan oleh
konteks sosial dan ketatanegaraan suatu negara serta perkembangan kultural yang telah dilalui oleh negara
tersebut. Setiap sistem memiliki mekanisme keseimbangannya sendiri melalui mekanisme “check and balance”
tertentu. Situasi dan sejarah dari negara tertentu yang memberikan pengaruh terhadap nilai dan signifikansi suatu
sistem. Keseimbangan antara jaminan konstitusional untuk independensi peradilan dan kontrol publik terhadap
kekuasaan yudikatif mempunyai keterkaitan yang erat. Voerman, op. cit., hlm. 133.
161
Menurut Jimly Asshiddiqie, maksud dibentuknya Komisi Yudisial adalah agar warga masyarakat di luar
struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan
kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan serta
keluhuran martabat dan perilaku hakim. Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan
Keempat, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hlm. 42.
Sementara itu, Komisi Yudisial di New South Wales (salah satu negara bagian di Australia) mempunyai beberapa
fungsi penting dalam rangka membantu peradilan untuk mencapai konsistensi putusan, pendidikan dan pelatihan
pejabat peradilan, dan eksaminasi terhadap pengaduan masyarakat atas pejabat peradilan. Dikatakan bahwa “The
Judicial Commission, an independent statutory corporation, is part of the judicial arm of government. It was
established by the Judicial Officers Act 1986. The Commission's principal functions are to: (1) assist the courts

30
Kedua, Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara
kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang
tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh
kekuasaan apa pun juga khususnya kekuasaan pemerintah.162
Ketiga, dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan
kehakiman (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal baik yang menyangkut
rekruitmen dan monitoring hakim agung serta pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman.163
Keempat, dibentuknya Komisi Yudisial adalah untuk menjaga kualitas dan konsistensi
putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang
benar-benar independen. Di sini diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak
terjadi lagi, karena setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari
Komisi Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap kontroversial dan
mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi.164
Kelima, meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekruitmen hakim, karena
lembaga yang mengusulkan adalah lembaga hukum yang bersifat mandiri dan bebas dari
pengaruh kekuasaan lain, bukan lembaga politik lagi, sehingga diidealkan kepentingan-
kepentingan politik tidak lagi ikut menentukan rekruitmen hakim yang ada. Tujuan

to achieve consistency in sentencing; (2) organise and supervise an appropriate scheme of continuing education
and training of judicial officers; (3) examine complaints against judicial officers. The Commission may also give
advice to the Attorney General on such matters as the Commission thinks appropriate; and liaise with persons
and organisations in connection with the performance of any of its functions”. Lihat Judicial Commission of New
South Wales, “Principal Function”, <http://www.judcom.nsw.gov.au/>, diakses tanggal 20 Maret 2003. Tentang
susunan kekuasaan kehakiman di Australia, lihat Poltak Partogi Nainggolan, ed., Bunga Rampai Kajian RUU
Tahun 2002, Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jendral Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, 2002.
162
Kemandirian kekuasaan kehakiman akan terancam apabila kekuasaan kehakiman harus mengurus
kepentingannya (khususnya yang berkaitan dengan keuangan) sendiri tanpa ada lembaga lain yang berfungsi
sebagai mediator, karena di sini terdapat pola hubungan pertanggungjawaban dan subordinated. Dengan kondisi
ini, kekuasaan kehakiman akan tersubordinasi dan terkooptasi oleh kekuasaan lain di luarnya. Alasan ini juga
yang menjadi landasan pemikiran pembentukan Komisi Yudisial di Belanda yang disebut Raad van de
Rechtspraak. Lihat Kata Pengantar Rifqi Sjarief Assegaf dalam buku Voerman, op. cit., hlm. viii-ix.
163
Sebagaimana disebutkan dalam catatan kaki nomor 24, asumsi yang dapat dikemukakan dalam poin empat
yang menjadi sebab wujudnya Komisi Yudisial ini adalah agar kekuasaan kehakiman tidak lagi disibukkan
dengan tugas-tugas yang bersifat teknis non-hukum seperti rekruitmen dan monitoring hakim agung serta
pengelolaan keuangan. Kekuasaan kehakiman dapat mencurahkan seluruh perhatiannya dengan berkonsentrasi
pada penyelesaian-penyelesaian perkara hukum yang masuk, sehingga energi kekuasaan kehakiman tidak habis
hanya untuk mengurusi persoalan-persoalan teknis non-hukum, tetapi dapat digunakan untuk kepentingan-
kepentingan lain yang lebih substantif seperti mengadakan upaya-upaya untuk kepentingan peningkatan terhadap
kemampuan intelektualitasnya dalam memutus suatu perkara.
164
Kemandirian kekuasaan kehakiman di sini adalah kemandirian dalam segala bentuknya, baik yang menyangkut
independensi konstitusional, independensi personal, independensi yang dijamin dalam undang-undang, maupun
independensi substantif. Menurut B.J. van Heyst, kemandirian kekuasaan kehakiman dapat dibedakan dalam
empat bentuk, yaitu (1) constitutional independence, i.e., independence from executive (the separation of power);
(2) Personal independence, i.e., the independence of individual members of the judiciary based on the safeguards
surrounding their tenure of office and removal from office (they are in principle appointed for life and appointed
and receive a salary fixed by law); (3) statutory independence, i.e., the statutory scope which judges have for
reaching decisions; and (4) substantive independence, the extent to which judges actually feel themeselves free to
arrive at a given decision. B.J. van Heyst, “The Netherlands”, dalam Shimon Shetreet dan Jules Deschenes,
(eds.), Judicial Independence: The Contemporary Debate, Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers: 1985, hlm.
240.

31
dibentuknya Komisi Yudisial tersebut di atas secara singkat dapat dilihat dalam tabel berikut
ini:
Tabel 3.4. Tujuan Pembentukan Komisi Yudisial

No. Tujuan Pembentukan Komisi Yudisial


1. Melakukan monitoring yang intensif terhadap lembaga peradilan dengan cara
melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan
hanya monitoring secara internal saja. Monitoring secara internal dikhawatirkan
menimbulkan semangat korps (l’esprit de corps), sehingga objektivitasnya sangat
diragukan.
2. Menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen
Kehakiman. Dengan demikian, lembaga peradilan tidak perlu lagi mengurus
persoalan-persoalan teknis non-hukum, karena semuanya telah ditangani oleh
Komisi Yudisial. Sebelumnya, lembaga peradilan harus melakukan sendiri
hubungan tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya hubungan
pertanggungjawaban dari lembaga peradilan kepada Departemen Kehakiman.
Hubungan pertanggungjawaban ini menempatkan lembaga peradilan sebagai
subordinasi Departemen Kehakiman yang membahayakan independensinya.
3. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek,
karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan
aspek hukum seperti rekruitmen dan monitoring hakim serta pengelolaan keuangan
lembaga peradilan. Dengan demikian, lembaga peradilan dapat lebih berkonsentrasi
untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya yang diperlukan untuk
memutus suatu perkara.
4. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa
diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Di sini
diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap
putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi
Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap kontroversial dan
mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi.
5. Meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekruitmen hakim, karena lembaga
yang mengusulkan adalah lembaga hukum yang bersifat mandiri dan bebas dari
pengaruh kekuasaan lain, bukan lembaga politik lagi, sehingga diidealkan
kepentingan-kepentingan politik tidak lagi ikut menentukan rekrutmen hakim yang
ada.

Di beberapa negara yang mengenal lembaga Komisi Yudisial dalam struktur


ketatanegaraannya, salah satu atau lebih dari lima hal di atas dapat ditemukan, karena pada
umumnya persoalan yang dihadapi oleh berbagai lembaga peradilan di seluruh dunia berkaitan
dengan kurang atau tidak berjalannya monitoring terhadap lembaga peradilan, tidak adanya
lembaga penghubung antara kekuasaan kehakiman dan kekuasaan pemerintah, kekuasaan
kehakiman terlalu disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis non-hukum, buruknya
kualitas dan konsistensi putusan, dan perekrutan hakim selalu dipolitisasi oleh lembaga-
lembaga politik.

3. Komisi Yudisial sebagai Solusi

Penelitian ini ingin menegaskan bahwa keberadaan Komisi Yudisial di dalam struktur
kekuasaan kehakiman suatu negara adalah untuk keluar dari latar belakang permasalahan
kurang atau tidak berjalannya monitoring terhadap lembaga peradilan, tidak adanya lembaga

32
penghubung antara kekuasaan kehakiman dan kekuasaan pemerintah, kekuasaan kehakiman
terlalu disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis non-hukum, buruknya kualitas dan
konsistensi putusan, dan perekrutan hakim selalu dipolitisasi oleh lembaga-lembaga politik.
Kehadiran Komisi Yudisial diidealkan akan mampu mengatasi persoalan-persoalan tersebut
dengan cara melakukan monitoring secara intensif terhadap lembaga peradilan, menjadi
perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen Kehakiman, meningkatkan
efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek (karena tidak lagi disibukkan
dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan aspek hukum), menjaga kualitas dan
konsistensi putusan lembaga peradilan, dan meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap
rekrutmen hakim. Tabel di bawah ini akan lebih memperjelas pernyataan tersebut:

Tabel 3.5. Komisi Yudisial sebagai Solusi

No. Latar Belakang Tujuan Solusi


1. Lemahnya monitoring secara Melakukan monitoring Membentuk Komisi
intensif terhadap kekuasaan secara intensif terhadap Yudisial
kehakiman, karena lembaga peradilan dengan
monitoring hanya dilakukan melibatkan unsur-unsur
secara internal saja. masyarakat dalam spek-trum
yang seluas-luasnya dan
bukan hanya monitoring
secara internal saja. Monito-
ring secara internal
dikhawatirkan menim-
bulkan semangat korps
(esprit de corps), sehingga
objektivitasnya diragukan.
2. Tidak adanya lembaga yang Menjadi perantara Membentuk Komisi
menjadi penghu-bung antara (mediator) antara lem-baga Yudisial
kekuasaan pemerintah peradilan dengan
(executive power) –dalam hal Departemen Kehaki-man.
ini Departemen Kehaki- Dengan demikian, lembaga
man– dan kekuasaan peradilan tidak perlu lagi
kehakiman (judicial po-wer). mengurus persoalan-
persoalan tek-nis non-
hukum, karena semuanya
telah dita-ngani oleh Komisi
Yu-disial. Sebelumnya,
lembaga peradilan harus
melakukan sendiri hu-
bungan tersebut, sehingga
hal ini mengakibatkan
adanya hubungan
pertanggungjawaban dari
lembaga peradilan kepada
Departemen Kehakiman.
Hubungan
pertanggungjawaban ini
menempatkan lembaga
peradilan sebagai
subordinasi Departemen
Kehakiman yang

33
membahayakan
independensinya.
3. Kekuasaan Kehakiman Meningkatkan efisiensi dan Membentuk Komisi
dianggap tidak mempu-nyai efektivitas lembaga peradilan Yudisial
efisiensi dan efektivitas yang dalam banyak aspek, karena
mema-dai dalam tidak lagi disibukkan dengan
menjalankan tugasnya hal-hal yang tidak berkaitan
apabila masih disibukkan langsung dengan aspek
dengan per-soalan-persoalan hukum seperti rekruit-men
teknis non-hukum. dan monitoring hakim serta
pengelolaan keuangan
lembaga pera-dilan. Dengan
demikian, lembaga peradilan
dapat lebih berkonsentrasi
un-tuk meningkatkan ke-
mampuan intelektu-alitasnya
yang diper-lukan untuk
memutus suatu perkara.
4. Buruknya kualitas dan tidak Menjaga kualitas dan Membentuk Komisi
adanya konsis-tensi putusan konsistensi putusan lembaga Yudisial
lembaga peradilan, karena peradilan, ka-rena senantiasa
setiap putusan kurang diawasi secara intensif oleh
mempe-roleh penilaian dan lembaga yang benar-benar
pengawasan yang ketat dari independen. Di sini
sebuah lembaga khusus. diharapkan inkon-sistensi
putusan lem-baga peradilan
tidak terjadi lagi, karena
setiap putusan akan
memperoleh penilaian dan
pengawasan yang ketat dari
Komisi Yudisial. Dengan
demikian, putusan-putusan
yang kontroversial dan
mencederai rasa keadilan
masyarakat dapat
diminimalisasi kalau bukan
dieliminasi.
5. Pola rekruitmen hakim Meminimalisasi terja-dinya Membentuk Komisi
selama ini dianggap terlalu politisasi terhadap Yudisial
bias dengan masalah politik, rekruitmen hakim, ka-rena
karena lembaga yang me- lembaga yang me-ngusulkan
ngusulkan dan mere-krutnya adalah lem-baga hukum
adalah lem-baga-lembaga yang ber-sifat mandiri dan
politik, yaitu presiden atau bebas dari pengaruh kekua-
parlemen. saan lain, bukan lem-baga
politik lagi, sehingga
diidealkan ke-pentingan-
kepentingan politik tidak lagi
ikut menentukan rekruitmen
hakim yang ada.

34
Lima latar belakang dan tujuan yang ingin dicapai dengan membentuk Komisi Yudisial
tidak selalu sama antara negara satu dengan negara lainnya.165 Akan tetapi, lima hal di atas
sekurang-kurangnya dapat memberikan suatu kecenderungan umum pembentukan Komisi
Yudisial di berbagai negara. Artinya, pembentukan lembaga Komisi Yudisial di berbagai
negara tidak akan lepas dari lima latar belakang dan lima tujuan tersebut. Satu benang merah
yang dapat ditarik dari semua hal yang telah disebutkan di atas adalah kehadiran Komisi
Yudisial di berbagai negara dimaksudkan untuk memajukan kemerdekaan kekuasaan
kehakiman. Untuk dapat menjalankan tugasnya tersebut, keberadaan Komisi Yudisial harus
dinaungi oleh suatu payung hukum yang kuat, sehingga dapat menjadi lembaga yang
berwibawa. Oleh karena itu, pengaturan terhadapnya di dalam sebuah konstitusi suatu negara
sangat penting bagi keberadaannya dalam struktur ketatanegaraan suatu negara.
Komisi Yudisial juga merupakan salah satu instrumen penting yang dapat menjamin
bahwa sistem rekrutmen hakim dapat menjamin terekrutnya para hakim yang sesuai dengan
tujuan. Oleh karena itu, sangat tepat kalau Pasal 15 Beijing Statement of Principles of the
Independence of Judiciary in the Law Asia Region menyatakan:

In some societies, the appoinment of judges, by, with the consent of, or after consultation with
Judicial Service Commission has been seen as a means of ensuring that those chosen as judges
are appropriate for the purpose.166

165
Menurut Voermans, Komisi Yudisial merupakan produk perkembangan budaya dari suatu sistem hukum yang
berakar pada perkembangan historis, kultural, dan sosial dari negara-negara tertentu. Oleh karena itu, stiap
Komisi Yudisial bersifat unik dan tidak bisa dilihat di luar konteks negaranya. Voermans, op. cit., hlm. 133.
166
Pasal 15 Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region, as amended
at Manila, 28 August 1997. Law Asia Region, Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in
the Law Asia Region, as amended at Manila, 28 August 1997.

35
BAB IV
PELEMBAGAAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA

A. Gagasan-Gagasan sebelum Pembentukan Komisi Yudisial di Indonesia

Kekuasaan kehakiman bukan suatu lembaga yang dapat menuntaskan segala persoalan yang
menyangkut kekuasaan kehakiman. Beberapa aspek yang sering menjadi persoalan di dalam
kekuasaan kehakiman adalah menyangkut pengangkatan, promosi, mutasi, pemberhentian, dan
tindakan atau hukuman terhadap hakim. Beberapa aspek tersebut sering tidak terkelola dengan
baik, sehingga mempunyai pengaruh yang besar terhadap kinerja kekuasaan kehakiman secara
keseluruahan.1 Persoalan semakin menjadi pelik apabila aspek-aspek tersebut menyangkut
hakim agung. Hal ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa jabatan hakim agung adalah jabatan
yang sangat strategis, sehingga beberapa kepentingan sering ingin memanfaatkannya. Persolan
ini telah dikemukakan pada Bab II.
Perekrutan hakim, khususnya hakim agung, akan selalu mengundang pemegang
kekuasaan politik ikut serta di dalamnya.2 Kekuasaan eksekutif – dalam hal ini Presiden – dan
kekuasaan legislatif – dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) – selalu berlomba-
lomba untuk ikut terlibat di dalam perekrutan hakim agung agar dapat mendudukkan orang-
orang yang dikehendaki sebagai hakim agung yang dapat memperjuangkan kepentingan-
kepentingannya di kemudian hari.3 Oleh karena itu, untuk menghindarkan kekuasaan
kehakiman dari beberapa persoalan tersebut, berbagai lembaga pernah mewacanakannya
kepada publik di Indonesia.

1. Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH)

Perlunya suatu lembaga khusus yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman sesungguhnya bukan merupakan gagasan yang benar-benar baru di
Indonesia. Pada tahun 1968, ketika dilaksanakan pembahasan Rancangan Undang-Undang

1
Padahal, menurut Transparency International (TI), lembaga peradilan menjadi salah satu dari 21 (dua puluh
satu) bidang yang menjadi indikator penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Selengkapnya,
kedua puluh satu bidang tersebut adalah (1) Legislature, (2) Executive, (3) Judiciary, (4) Ombudsman, (5) Anti-
corruption Agencies, (6) Public Service, (7) Local Government, (8) Media, (9) Civil Society, (10) Private Sector,
(11) International Agencies, (12) Elections, (13) Administrative Law, (14) Public Service Ethnics, (15) Conflict
of Interests, (16) Public Procurement, (17) Good Financial Managements, (18) Acces to Information, (19)
Citizens Voice, (20) Competition Policy, dan (21) Fighting Corruption. Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia
dalam Transisi Politik di Indonesia, Cet. I, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2003, hlm. 273-274.
2
Intensitas intervensi kekuasaan politik terhadap kekuasaan kehakiman tersebut jauh lebih buruk di dalam negara-
negara otoriter. Tentang hal ini, lihat misalnya Fernando Henrique Cardozo, On the Characterization of
Authoritarian Regimes in Latin America, Cambridge: Center of Latin American Studies, University of
Cambridge, 1978, hlm. 12.
3
Christopher E. Smith, Critical Judicial Nominations and Political Change, Westport, Connecticut: Praeger,
1989, hlm. 12.

1
(RUU) tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sempat diusulkan
pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH).4
Majelis ini mempunyai fungsi untuk memberikan pertimbangan dan mengambil
keputusan terakhir mengenai saran-saran atau usul-usul yang berkaitan dengan pengangkatan,
promosi, mutasi, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan hakim, yang diajukan
baik oleh Mahkamah Agung maupun Departemen Kehakiman.5
Akan tetapi, gagasan tersebut tidak menjadi kenyataan, karena setelah disahkan
menjadi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman,6 rumusan MPPH tidak muncul dalam satu pasal pun.

2. Dewan Kehormatan Hakim (DKH)

Gagasan untuk membentuk lembaga khusus yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu


yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tidak pernah padam. Gagasan kembali muncul
dan kali ini memperoleh akomodasi yang cukup dan memberikan harapan ketika Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman disahkan.7 Dalam Penjelasan
Umum Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 dinyatakan sebagai berikut:

Untuk meningkatkan check and balance terhadap lembaga peradilan antara lain perlu diusahakan
agar putusan-putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka dan transparan oleh masyarakat
dan dibentuk Dewan Kehormatan Hakim yang berwenang mengawasi perilaku hakim,
memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi dan mutasi hakim serta menyusun kode
etik (code of conduct) bagi para hakim.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 berisi beberapa ketentuan yang sangat


progresif apabila dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada
sebelumnya. Undang-undang ini sebenarnya merupakan bagian dari kesadaran bahwa

4
Abdul Rahman Saleh, “Status, Komposisi, Jumlah serta Beberapa Masalah Komisi Yudisial Indonesia di Bidang
SDM”, Makalah disampaikan dalam Workshop Penyusunan Policy Paper dan Draft Rancangan Undang-Undang
tentang Komisi Yudisial, di Hotel Borobudur, Jakarta, 28 Agustus 2002, hlm. 2; Lembaga Kajian dan Advokasi
untuk Independensi Peradilan (LeIP), “Draft I Policy Paper dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi
Yudisial”, Makalah tidak diterbitkan, Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan-LeIP,
hlm. 1.
5
Ibid.
6
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 14
tahun 1970, LN No.74 tahun 1970, TLN No. 2951. Undang-Undang ini telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 35 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 35 tahun
1999, LN No. 147 tahun 1999, TLN No. 3879. Lima tahun kemudian, Undang-undang ini juga diubah, karena
dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi peradilan. Salah satu ketentuan penting adalah
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 34 yang berisi tiga ketentuan, yaitu (1) Ketentuan mengenai syarat dan tata
cara pengangkatan hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dengan undang-undang; (2)
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim diatur dalam undang-undang;
(3) Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan
dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang
Kekuasaan Kehakiman, UU No. 4 tahun 2004, LN No. 8 tahun 2004, TLN No. 4358.
7
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, op. cit.

2
persoalan pembinaan lembaga peradilan yang selama ini dilakukan oleh eksekutif dianggap
memberi peluang bagi kekuasaan (eksekutif) melakukan intervensi ke dalam proses peradilan
serta berkembangnya kolusi dan praktik-praktik negatif dalam proses peradilan.8
Kata kunci yang sangat penting dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut
adalah perintah bahwa untuk meningkatkan check and balance terhadap lembaga peradilan
antara lain perlu diusahakan agar putusan-putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka
dan transparan oleh masyarakat dan dibentuk Dewan Kehormatan Hakim yang berwenang
mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi dan
mutasi hakim serta menyusun kode etik (code of conduct) bagi para hakim.9 Dengan demikian,
kesadaran tentang pentingnya transparansi dan Dewan Kehormatan Hakim sudah mulai
terbentuk yang kemudian diikuti dengan menuangkannya ke dalam sebuah undang-undang.
Beberapa perubahan yang terjadi saat berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun
1999 yang merubah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 meliputi beberapa hal sebagai
berikut:
a. Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari badan-badan peradilan yang
semula berada di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan menjadi
berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung;
b. Pengalihan kewenangan dari Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri
Kehakiman kepada Ketua Mahkamah Agung dalam menentukan badan peradilan
yang berwenang memeriksa perkara koneksitas;
c. Penambahan ketentuan mengenai:

1) Penugasan jangka waktu yang berkaitan dengan pelaksanaan pengalihan


organisasi, administrasi, dan finansial dari badan-badan peradilan yang
dilakukan secara bertahap dan dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun, namun
untuk Peradilan Agama tidak ditentukan waktunya;
2) Penegasan mengenai peraturan perundang-undangan yang masih tetap berlaku
sebagai akibat perubahan Pasal 11 dan Pasal 22 .

Pernyataan tentang perubahan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 yang


menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 seperti disebut di atas, dapat diperjelas
dengan tabel sebagai berikut:

Tabel 4.1. Tiga Perubahan Penting setelah Berlakunya


Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999

No. UU No. 14 Tahun 1970 UU No. 35 Tahun 1999

8
Penjelasan Umum UU No. 35 Tahun 1999. Uraian mengenai intervensi kekuasaan eksekutif di Indonesia ini
lihat misalnya Daniel S. Lev, Hukum dan Politik Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan, diterjemahkan oleh
Nirwono dan AE Priyono,Jakarta: LP3ES, 1990, hlm. 391-411; A. Muhammad Asrun, “Analisis Legal-Historis
terhadap Pembelengguan Kekuasaan Kehakiman di Masa Pemerintahan Soeharto”, dalam A. Muhammad Asrun
dan Hendra Nurtjahjo, 70 Tahun Prof. Dr. Harun Alrasid: Integritas, Konsistensi Seorang Sarjana Hukum,
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2000, hlm. 244-252; Suadi Tasrif, Menegakkan
Rule of Law di Bawah Orde Baru, Jakarta: Peradin, 1971.
9
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, op. cit.

3
1. Organisasi, administrasi, dan finansial Organisasi, administrasi, dan finansial
dari badan-badan peradilan di bawah dari badan-badan peradilan berada di
masing-masing departemen yang bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
bersangkutan.
2. Kewenangan dalam menen-tukan Kewenangan dalam menen-tukan badan
badan peradilan yang berwenang peradilan yang berwenang memeriksa
memeriksa perkara koneksitas ada perkara koneksitas ada pada Ketua
pada Menteri Pertahanan dan Mahkamah Agung.
Keamanan dan Menteri Kehakiman.
3. Ada dua penugasan baru:
a. Penugasan jangka waktu yang
berkaitan dengan pelaksanaan
pengalihan organisasi,
administrasi, dan finansial dari
badan-badan peradilan yang
dilakukan secara bertahap dan
dalam waktu paling lama 5 (lima)
tahun, namun untuk Peradilan
Agama tidak ditentukan waktunya;
dan
b. Penegasan mengenai peraturan
perundang-undangan yang masih
tetap berlaku sebagai akibat
perubahan Pasal 11 dan Pasal 22.

Dengan demikian, setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 yang


mengubah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, pendulum kekuasaan kehakiman berubah
secara radikal. Kalau semula Mahkamah Agung tidak mempunyai kekuasaan yang signifikan
sejauh menyangkut organisasi, administrasi, dan finansial dari badan-badan peradilan karena
menjadi kewenangan departemen, maka setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun
1999 kewenangan ini justru berpindah kepada Mahkamah Agung.
Pada tahap selanjutnya, ternyata gagasan ini menimbulkan kekhawatiran baru, yaitu
terjadinya monopoli kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung,10 karena kewenangannya
bertambah besar dengan mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan organisasi, administrasi,
dan finansial dari badan-badan peradilan. Padahal, selama ini Mahkamah Agung sudah
disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis seperti perekrutan hakim, mutasi dan promosi
serta pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan, pengawasan dan lain-lain.11

10
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit. Padahal, sebagaimana disebutkan
di dalam pertimbangan pertama UU Nomor 35 Tahun 1999, semangat yang dibawa ketika undang-undang ini
dibentuk adalah adanya pemisahan yang tegas antarfungsi-fungsi dari eksekutif. Republik Indonesia, Undang-
Undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, op. cit.
11
Pasal 32 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan, (1) Mahkamah
Agung melakukakan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan
dalam menjalankan kekuasaan kehakiman; (2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para
hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya; (3) Mahkamah Agung berwenang untuk
meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan;
(4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, tegoran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada
pengadilan di semua lingkungan peradilan; dan (5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksudkan
dalam ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Agung, UU No. 14 tahun 1985, LN No.73

4
Selain itu, yang juga merupakan semacam pintu awal bagi terbukanya gagasan
dibentuknya Komisi Yudisial di Indonesia adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka
Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Kebijakan
reformasi pembangunan di bidang hukum meliputi dua hal sebagai berikut:12
a. Penanggulangan krisis di bidang hukum bertujuan untuk tegak dan terlaksananya
hukum dengan sasaran terwujudnya ketertiban, ketenangan, dan ketentraman
masyarakat. Agenda yang harus dijalankan adalah:
1) Pemisahan secara tegas fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum, agar
dapat dicapai proporsionalitas, profesionalitas, dan integritas yang utuh.
2) Meningkatkan dukungan perangkat, sarana, dan prasarana hukum yang lebih
menjamin kelancaran dan kelangsungan berperannya hukum sebagai pengatur
kehidupan nasional.
3) Memantapkan penghormatan dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia
melalui penegakan hukum dan peningkatan kesadaran hukum bagi seluruh
masyarakat.
4) Membentuk Undang-undang Keselamatan dan Keamanan Negara sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Subversi yang akan dicabut.

b. Pelaksanaan reformasi di bidang hukum dilaksanakan adalah untuk mendukung


penanggulangan krisis di bidang hukum. Agenda yang harus dijalankan adalah:
1) Pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi yudikataif dan eksekutif.
2) Mewujudkan sistem hukum nasional melalui program legislasi nasional secara
terpadu.
3) Menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
4) Terbentuknya sikap dan perilaku anggota masyarakat termasuk para
penyelenggara negara yang menghormati dan menjunjung tinggi hukum yang
berlaku.13

tahun 1985, TLN No. 3327. Semua hal tersebut merupakan tugas yang sangat berat dan selama ini ada
kecenderungan Mahkamah Agung kewalahan dalam menangani persoalan-persoalan di atas. Logikanya kinerja
Mahkamah Agung akan semakin buruk apabila dibebani dengan tugas-tugas tambahan yang berkaitan dengan
persoalan organisasi, administrasi, dan finansial dari badan-badan peradilan.
12
Secara umum, kebijakan reformasi pembangunan di bidang hukum yang ditawarkan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 ini mengalami kemajuam apabila dibandingkan dengan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang meliputi
materi hukum, aparatur hukum, sarana dan prasarana hukum, budaya hukum, dan hak asasi manusia. Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Himpunan Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960 S/D 1998,
Jakarta: Sekretariat MPR RI, 1999, hlm. 1243-1247. Kemajuan tersebut sangat berkaitan erat dengan gelombang
reformasi di segala bidang yang membuat pemerintahan otoritarian Presiden Soeharto dipaksa jatuh.
13
Di bidang hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 ini menyatakan bahwa
selama tiga puluh tahun pemerintahan Orde Baru, pembangunan hukum, khusunya yang menyangkut peraturan
perundang-undangan organik tentang pembatasan kekuasaan Presiden belum memadai. Kondisi ini memberi
peluang terjadinya praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme serta memuncak pada penyimpangan berupa
penafsiran yang hanya sesuai dengan selera penguasa. Telah terjadi penyalahgunaan wewenang, pelecehan
hukum, pengabaian rasa keadilan, kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Pembinaan
lembaga peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses

5
B. Gagasan Komisi Yudisial di Indonesia

1. Undang-Undang PROPENAS dan Perubahan Ketiga UUD 1945

Setelah gagasan pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) dan


Dewan Kehormatan Hakim (DKH), disusul sebuah wacana baru yang kemudian dikenal
dengan sebutan Komisi Yudisial, suatu istilah yang sebelumnya tidak dikenal.14 Penyebutan
istilah Komisi Yudisial secara eksplisit dimulai pada saat ditetapkannya Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-
2004.15 Program pemberdayaan lembaga peradilan dan penegak hukum lainnya menjadi
perhatian undang-undang ini. Kegiatan pokok16 yang dilakukan antara lain pertama,
meningkatkan pengawasan dalam proses peradilan secara transparan untuk memudahkan
partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan terhadap sistem
manajemen dan administrasi peradilan17 secara terpadu; kedua, menyusun sistem rekriutmen
dan promosi yang lebih ketat dan pengawasan terhadap proses rekruitmen dan promosi dengan
memegang asas kompetensi, transparansi dan partisipasi baik bagi hakim maupun bagi aparat
penegak hukum lainnya; ketiga, meningkatkan kesejahteraan hakim dan aparat penegak
hukum lainnya seperti jaksa, polisi dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) melalui
peningkatan gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya sampai pada tingkat pemenuhan kebutuhan

peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktek-praktek negatif dalam proses peradilan. Penegakan hukum
belum memberi rasa keadilan dan kepastian hukum pada kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah atau pihak
yang kuat dengan rakyat, sehingga menempatkan rakyat pada posisi yang lemah. Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hasil
Sidang Istimewa Tahun 1998, Jakarta: Sekretariat MPR RI, 1998, hlm. 38; Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia, Himpunan Ketetapan..., op. cit., hlm. 1320.
14
Setelah terjadi penyatuatapan kekuasaan kehakiman kepada Mahkamah Agung, Komisi Yudisial semakin
mendesak dibentuk untuk menghindari terjadinya tirani yudikatif. Tentang hal ini lihat misalnya Vin,
“Keberadaan Komisi Yudisial Semakin Mendesak”, Harian Kompas, 6 Januari 2004, hlm. 7; Bur, “Komisi
Yudisial Perlu Masuk dalam Revisi RUU MA”, Harian Kompas, 1 Mei 2002, hlm. 7; Bdm, “MA Bisa Jadi Tirani
Yudikatif”, Harian Kompas, 5 Januari 2004, hlm. 7; Bdm, “Pengangkatan 18 Hakim Agung Baru Tak Akan
Banyak Membawa Perubahan Berarti”, Harian Kompas, 17 Juni 2003, hlm. 7; Sie/Bdm, “Peradilan Satu Atap
Mulai 30 Maret 2004”, Harian Kompas, 8 Desember 2003, hlm. 7; Vin/Bdm, “MA Bentuk Panitia Pemilihan
Wakil Ketua MA”, Harian Kompas, 23 Juni 2002, hlm. 7; Bdm, “Perlu Tim Ad Hoc untuk Jaring Calon Hakim
Agung”, Harian Kompas, 4 Mei 2002, hlm. 7; Bdm, “RUU Bidang Hukum Harus Satu Paket”, Harian Kompas,
15 Februari 2003, hlm. 7; Son, “RUU Komisi Yudisial Sudah Mendesak”, Harian Kompas, 23 Maret 2004, hlm.
7.
15
Republik Indonesia, Undang-undang tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-
2004, UU No. 25 Tahun 2000, LN No. 206 Tahun 2000.
16
Kegiatan pokok yang berkaitan dengan pemberdayaan lembaga peradilan dan penegak hukum lainnya
seluruhnya ada 24 macam.
17
Berkaitan dengan masalah administrasi peradilan yang berpotensi mengancam independensinya ini, Arthur
Rosett mengatakan, “Court administration by professional managers plays a paradoxical role, for court
management is a part of the solution to the difficulties facing judges. At the same time, administration creates
new problems for an autonomous judiciary. Without improved administration, it is doubtful that courts can cope
with a growing and increasingly complex case load. But when management concerns dominate the judiciary,
individual judges are gradually reduced from independent community leaders to civil servant technicians.”
Arthur Rosett, “The Judicial Career in the United States and its Influence on the Substance of American Law”,
<http://soi.cnr.it/~crd-cs/crdcs/ frames3.htm>, diakses tanggal 26 Maret 2003.

6
hidup yang disesuaikan dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawab kerja yang diemban;
dan keempat, membentuk Komisi Yudisial atau Dewan Kehormatan Hakim untuk melakukan
fungsi pengawasan.18 Komisi Yudisial atau Dewan Kehormatan Hakim bersifat independen
dan susunan keanggotaannya dipilih dari orang-orang yang memiliki integritas yang teruji.
Setelah melihat latar belakang tersebut, dapat disimpulkan bahwa munculnya Komisi
Yudisial barangkat dari beberapa keinginan sebagai berikut:
a. Meningkatkan pengawasan proses peradilan secara transparan;
b. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan
sistem manajemen dan administrasi peradilan secara terpadu;
c. Menyusun sistem rekruitmen dan promosi yang lebih ketat;
d. Mengembangkan pengawasan terhadap proses rekruitmen dan promosi;
e. Meningkatkan kesejahteraan hakim melalui peningkatan gaji dan tunjangan-
tunjangan lainnya; dan
f. Membentuk Komisi Yudisial atau Dewan Kehormatan Hakim untuk melakukan
fungsi pengawasan.19 Komisi Yudisial atau Dewan Kehormatan Hakim bersifat
independen dengan keanggotaan yang dipilih dari orang-orang yang memiliki
integritas yang teruji.
Dengan demikian, Komisi Yudisial di Indonesia dipola sebagai lembaga yang
mempunyai fungsi pengawasan, bertindak sebagai dewan kehormatan hakim, dan bersifat
independen.
Setelah itu, rumusan Komisi Yudisial secara eksplisit muncul dalam rumusan Pasal
24B Perubahan Ketiga UUD 1945.20 Sampai saat penelitian ini sedang dilakukan, undang-
undang yang mengaturnya belum ditetapkan. Munculnya Komisi Yudisial di Indonesia
merupakan fenomena ketatanegaraan yang baru, sehingga membutuhkan kehati-hatian dalam
membuat cetak biru (blueprint) terhadapnya agar tujuan pembentukannya dapat tercapai
dengan baik sesuai dengan amanat Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945.
Pasal 24B ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 menegaskan, “Komisi Yudisial
bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta

18
Sebelum ada Komisi Yudisial, tugas melakukan pengawasan (controlerende functie) dilakukan oleh Mahkamah
Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (4) UU No. 14/ 1970. Selengkapnya tentang pengawasan ini lihat
misalnya Soedirjo, Mahkamah Agung: Uraian Singkat tentang Kedudukan, Susunan, dan Kekuasaannya Menurut
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Edisi I, Cet. I, Jakarta: Media Sarana Press, 1986, hlm. 45-52.
19
Sebelum ada Komisi Yudisial, tugas melakukan pengawasan (controlerende functie) dilakukan oleh Mahkamah
Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (4) UU Nomor 14 Tahun 1970. Selengkapnya tentang fungsi
pengawasan Mahkamah Agung ini lihat misalnya Soedirjo, Mahkamah Agung: Uraian Singkat tentang
Kedudukan, Susunan, dan Kekuasaannya Menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Edisi I, Cet. I,
Jakarta: Media Sarana Press, 1986, hlm. 45-52.
20
Pasal ini berisi empat ayat, yaitu (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim; (2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan
pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; (3) Anggota Komisi
Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; (4) Susunan,
kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang. Republik Indonesia, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2002), hlm. 47
dan 72.

7
perilaku hakim”. Sedangkan ayat (4) menyatakan, “Susunan, kedudukan, dan keanggotaan
Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang”.
Peraturan perundang-undangan (baik pada tingkat Undang-Undang maupun Peraturan
Pemerintah) yang berkaitan dengan keberadaan Komisi Yudisial perlu secara tegas mengatur
fungsi, tugas, dan wewenangnya.21 Peraturan perundang-undangan tersebut harus menegaskan
beberapa hal penting, yakni pertama, dalam rangka apa Komisi Yudisial dibentuk (fungsi);
kedua, hal-hal apa yang wajib dilakukan oleh Komisi Yudisial (tugas) untuk dapat mencapai
fungsi yang diharapkan; dan ketiga, hak-hak apa saja yang harus dimiliki oleh Komisi
Yudisial untuk dapat menunaikan tugasnya dengan baik (wewenang). Pengaturan yang tegas
terhadap fungsi, tugas, dan wewenang Komisi Yudisial perlu dirumuskan secara eksplisit,
sehingga tidak akan terjadi overlapping dengan lembaga lain.22 Fungsi, tugas, dan wewenang23
Komisi Yudisial yang diformulasikan secara tepat akan memberikan kontribusi yang besar
terhadap peran Komisi Yudisial. Oleh karena itu, sekali lagi perlu ditegaskan bahwa
Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial harus dibuat secara teliti dan hati-hati.

2. Kegagalan Sistem yang Ada Sebelumnya

Salah satu hal yang mendorong timbulnya pemikiran mengenai pentingnya


pembentukan Komisi Yudisial adalah kegagalan sistem yang ada sebelumnya untuk
menciptakan sistem peradilan yang lebih baik.24 Sebagaimana diketahui, untuk memperbaiki
kondisi peradilan, dipilihlah cara mengalihkan kewenangan pembinaan aspek administrasi,
keuangan, dan organisasi dari Departemen Kehakiman (dan HAM) kepada MA. Cara ini
dianggap tidak akan mampu menyelesaikan persoalan tersebut, bahkan pada tingkat tertentu
bisa berakibat buruk.25 Ada beberapa hal yang mendukung kesimpulan tersebut, yaitu:
a. Penyatuan atap dengan tanpa mengubah sistem rekruitmen, mutasi, promosi, dan
pengawasan hakim berpotensi untuk melahirkan monopoli kekuasaan kehakiman
oleh Mahkamah Agung;
b. Mahkamah Agung tidak akan mampu menjalankan tugas barunya itu dan hanya
mengulang kelemahan yang selama ini dilakukan oleh Departemen Kehakiman
(dan HAM). Hal ini didasari pada pertimbangan bahwa selama ini Mahkamah
Agung dianggap tidak mampu menjalankan tugas dan wewenangnya, seperti
rekruitmen hakim, mutasi, promosi termasuk pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua
Pengadilan; dan

21
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 6.
22
Ibid.
23
Tentang wewenang Komisi Yudisial ini lihat Lies Sugondo, “Pokok-pokok Pikiran tentang Struktur Organisasi
Komisi Yudisial”, makalah disampaikan pada Workshop Penyusunan Policy Paper dan Draft Rancangan
Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, di Hotel Borobudur, Jakarta, 28 Agustus 2002, hlm. 3.
24
Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi
Yudisial”, naskah belum diterbitkan, Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2003, hlm. 6; Lembaga
Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 7.
25
Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi
Yudisial”, op. cit., hlm. 6.; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 7.

8
c. Mahkamah Agung mempunyai permasalahan organisasional yang sampai sekarang
belum dapat diperbaiki, misalnya kelemahan manajemen organisasi dan perkara,
integritas personal dan lain-lain.26

Kekhawatiran di atas dilandasi oleh kenyataan bahwa pada masa yang lalu Mahkamah
Agung tidak pernah menggunakan ukuran-ukuran yang objektif dalam menentukan mutasi dan
promosi hakim.27 Demikian juga dengan pengawasan terhadap hakim,28 Mahkamah Agung
tidak dapat melakukannya secara efektif. Kemampuan manajemen sumber daya manusia,
keuangan dan manajemen perkara masih mempunyai beberapa kelemahan. Selain beberapa
permasalahan di atas, kualitas dan integritas personal di Mahkamah Agung masih diragukan.29
Dengan demikian, adanya kekhawatiran bahwa penyatuan atap akan mengakibatkan
terjadinya monopoli kekuasaan kehakiman mempunyai pijakan argumentasi yang tidak lemah.
Padahal, tujuan utama penyatuan atap sebenarnya adalah untuk membuat lembaga peradilan
menjadi lebih independen dari campur tangan politik. Artinya, hipotesis yang muncul di sini
adalah penyatuan atap akan menjadikan pengadilan lebih independen, karena tidak lagi
berkaitan dengan kekuasaan eksekutif.30 Pemikiran ini muncul karena ternyata dalam
perkembangannya pengadilan selalu mendapatkan intervensi dari departemennya masing-
masing, sehingga mengancam kemandiriannya.31

26
Ibid.; Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang
Komisi Yudisial”, op. cit.
27
Dalam hal ini Mahkamah Agung hanya memiliki kewenangan yang terbatas dalam hal mutasi dan promosi
hakim. Hal ini bisa dilihat dalam rumusan-rumusan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; Undang-undang Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama; dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
28
Di dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 terdapat ketentuan yang berkaitan dengan
pengawasan. Yaitu: ayat (1), Ketua Pengadilan mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku
Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Jurusita di daerah hukumnya; (2) Selain tugas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Ketua Pengadilan Tinggi di daerah hukumnya melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan di
tingkat Pengadilan Negeri dan menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan sekasama dan sewajarnya; (3)
Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimasud dalam ayat (1) dan ayat (2), Ketua Pengadilan dapat
memberikan petunjuk, teguran, dan peringatan yang dipandang perlu; dan (4) Pengawasan tersebut dalam ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3), tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim memeriksa dan memutus perkara. Republik
Indonesia, Undang-undang tentang Peradilan Umum, UU No. 2 Tahun 1986, LN No. 20 Tahun 1986, TLN No.
3327.
29
Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi
Yudisial”, op. cit.; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit.
30
Pasal yang dianggap sebagai penyebab dari kegagalan sistem peradilan di masa lalu adalah Pasal 11 Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, (1)
Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat (1) organisatoris, administratif fan finansial ada di
bawah kekuasaan masing-masing Departemen bersangkutan; (2) Mahkamah Agung mempunyai organisasi,
administrasi dan keuangan tersendiri. Ayat (2) ini diberi penjelasan, “Hal demikian berarti bahwa organisasi,
administrasi dan keuangan tersebut terpisah dari administrasi dan keuangan Departemental. Walaupun demikian,
penentuan organisasi, administrasi dan keuangan Sekreteriat Mahkamah Agung itu dilakukan oleh Pemerintah
dengan bahan-bahan yang disampaikan”. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, op. cit.
31
Untuk pendalaman tentang hal ini lihat misalnya Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan
Kehakiman, Cet. I, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat-ELSAM, 1997; J.C.T. Simorangkir dan B.
Mang Reng Say, Tentang dan Sekitar Undang-Undang Dasar 1945, Cet. XI, Jakarta: Hastama, 1987.

9
Pada tahun 1966, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) sering menentang kebijakan yang
dibuat oleh Ketua Mahkamah Agung Soejadi yang dianggap membiarkan kepentingan politik
melakukan intervensi terhadap lembaga peradilan.32 Penentangan ini33 kemudian
menyebabkan para pimpinan IKAHI mengalami pemutasian dari Jakarta ke daerah. Pimpinan
IKAHI yang dimutasi adalah Asikin Kusumaatmadja, Sri Widyowati, dan Busthanul Arifin.
Pada waktu itu Soejadi meminta Menteri Kehakiman Seno Adji agar usulan mutasi ketiga
hakim tersebut disetujui. Dengan beberapa alasan, Seno Adji menolak permintaan tersebut. Ini
dianggap sebagai kasus pertama penolakan Departemen Kehakiman terhadap permintaan
Mahkamah Agung.34 Dalam hal ini, ternyata dualisme kekuasaan kehakiman menyelamatkan
independensi peradilan.35
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kewenangan mutasi atau promosi hakim
yang tidak ditopang oleh sistem yang baik berpotensi untuk disalahgunakan. Oleh karena itu,
Komisi Yudisial yang akan dibentuk di Indonesia harus belajar dari sejarah tersebut.
Fungsi Komisi Yudisial yang akan dibentuk di Indonesia harus mempertimbangkan
aspek-aspek kesiapan sistem yang baik terlebih dahulu, sehingga keberadaannya tidak hanya
mengulang kegagalan yang pernah terjadi pada masa lalu. Dengan latar belakang seperti itu,
Tim Kerja Terpadu mengenai Pengkajian Pelaksanaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam
Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara (Tim
Kerja Terpadu) mengusulkan agar Dewan Kehormatan Hakim36 harus mempunyai fungsi
pengawasan terhadap perilaku hakim, memberikan rekomendasi yang mengikat mengenai
rekruitmen, promosi dan mutasi hakim serta menyusun code of conduct bagi hakim.
Akan tetapi, setelah ditetapkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, dengan sendirinya
istilah resmi yang dipakai adalah Komisi Yudisial yang menurut Pasal 24B mempunyai dua
fungsi, yaitu pertama, mengusulkan pengangkatan hakim agung; dan kedua, kewenangan lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku
hakim.37 Hadirnya Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 ini seperti membatalkan gagasan

32
Untuk pendalaman tentang intervensi kekuasaan pemerintah terhadap independensi lembaga peradilan di
Indonesia ini, lihat Daniel S. Lev, “Judicial Institutions and Legal Culture ini Indonesia”, dalam Claire Holt,
(ed.), Culture Politic in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1972, hal 266-280; Todung Mulya Lubis, In
Search of Human Rights: Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order 1966-1990, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1993, hlm. 97.
33
Momen bersejarah yang dianggap sebagai bagian penting bagi perjuangan penegakan kekuasaan kehakiman
yang merdeka adalah Musyawarah Nasional IKAHI Kelima di Yogyakarta pada 18-20 Oktober 1968. Luhut
Pangaribuan dan Paul S. Baut, (ed.), Loekman Wiradinata, Keindependenan Kekuasaan Kehakiman, Jakarta:
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989, hlm. 70.
34
Sebastian Pompe, “The Indonesian Supreme Court: Fifty Years of Judicial Development”, disertasi doktor
Leiden: Van Vollenhoven Institute for Law and Administration in Non-Western Countries, 1996, hlm. 65-66.
35
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 8.
36
Istilah yang digunakan bukan Komisi Yudisial, tetapi Dewan Kehormatan Hakim. Tim Kerja Terpadu mengenai
Pengkajian Pelaksanaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor X/MPR/1998, hlm. 3.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, istilah Komisi Yudisial muncul pertama kali dalam UU PROPENAS.
37
Dengan rumusan ini, terlihat kewenangan Komisi Yudisial agak minimalis apabila dibandingkan dengan
usulan-usulan yang muncul dalam persidangan. Salah satu fraksi, misalnya, mengusulkan agar Komisi Yudisial
yang akan dibentuk harus mempunyai wewenang tidak saja terlibat dalam rekruitmen hakim agung, melainkan
juga hakim dalam setiap tingkatan, termasuk merekomendasikan pengangkatan hakim konstitusi. Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Buku Kedua Jilid 3 A Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI Ke-36

10
tentang Dewan Kehormatan Hakim yang telah ada sebelumnya dan memantapkan gagasan
yang semula terdapat dalam Undang-Undang PROPENAS.38
Gagasan yang dapat ditangkap dari Pasal 24B adalah Komisi Yudisial dibentuk dengan
kewenangan untuk (1) mengusulkan pengangkatan hakim agung (Bagan 4.1.); dan (2)
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Oleh karena
itu, untuk mengemban dua amanat tersebut, Komisi Yudisial harus bersifat mandiri atau
independen dari pengaruh-pengaruh di luarnya khususnya kekuasaan kehakiman.39

Bagan 4.1. Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung

Komisi Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung


Yudisial

Sementara itu, khusus yang berkaitan dengan kewenangan yang kedua, yaitu menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, terdapat dua persolan
yang sangat krusial sebagai berikut:
a. apabila kata “hakim” ditafsirkan secara generik, maka berarti mencakup seluruh
hakim di semua jenis dan tingkatan peradilan, yaitu Hakim Agung, hakim pada
badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung, dan Hakim Konstitusi;40 dan
b. apabila melihat konteks pembahasan yang memunculkan pasal tersebut, maka
tampaknya yang dimaksud adalah Hakim Agung saja dan tidak memasukkan
Hakim Konstitusi, Hakim Pengadilan Tinggi, dan Hakim Pengadilan Negeri.41

s/d Ke-39 Tanggal 26 September s/d 22 Oktober 2001 Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001, Jakarta:
Sekretariat Jendral MPR RI, 2001.
38
Menurut catatan Mahkamah Agung, munculnya gagasan Komisi Yudisial ini sebenarnya tidak disertai dengan
diskusi yang mendalam. Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-
Undang tentang Komisi Yudisial”, op. cit., hlm. 7; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan
(LeIP), op. cit., hlm. 9.
39
Disarikan dari hasil wawancara peneliti dengan Jimly Asshiddiqie di Sekretariat Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Selasa, 8 April 2003.
40
Penafsiran kata “hakim” secara generik tersebut tampaknya dipakai dalam rumusan Rancangan Undang-
Undang tentang Komisi Yudisial yang telah mendapatkan persetujuan bersama antara Pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat. Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (5) RUU tersebut menyatakan, “Hakim adalah Hakim
Agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.” Hal ini dipertegas dengan ketentuan Pasal 1 ayat (6) RUU tersebut yang menyatakan,
“Lingkungan peradilan adalah badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam lingkungan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara, serta pengadilan khusus
yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.”
41
Munculnya ketentuan Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 didasari pemikiran bahwa hakim agung yang
duduk di Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan dalam perjuangan
penegakan hukum dan keadilan. Apalagi hakim agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi (puncak) dalam
susunan peradilan di Indonesia. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam
Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan
Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal
MPR RI, 2003, hlm. 195.

11
Apabila penafsiran pertama yang dipakai, maka akan menimbulkan konsekuensi yang
sangat besar, yakni tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim mencakup seluruh hakim, yaitu Hakim Agung, hakim pada badan peradilan di
semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, dan Hakim Konstitusi.
Hal ini dapat dilihat dalam bagan sebagai berikut:

Bagan 4.2. Menjaga Kehormatan, Keluhuran Martabat,


dan Perilaku Hakim

Kehormatan

Hakim:
1. Hakim Agung

Komisi Keluhuran 2. Hakim pada badan


Menjaga peradilan di semua
Yudisial Martabat
lingkungan
peradilan yang
berada di bawah
Mahkamah Agung
Perilaku 3. Hakim Konstitusi

Bagan 4.3. Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat,


dan Perilaku Hakim

Kehormatan

Hakim:
4. Hakim Agung
5. Hakim pada
Komisi Menegakka
Keluhuran badan peradilan di
Yudisial n Martabat semua lingkungan
peradilan yang
berada di bawah
Mahkamah
Agung
Perilaku
6. Hakim Konstitusi

12
Dengan demikian, menurut penafsiran yang pertama, sepanjang berkaitan dengan
fungsi mengusulkan pengangkatan hakim, hanya hakim agung saja yang dapat diusulkan oleh
Komisi Yudisial. Sedangkan pengusulan pengangkatan hakim pada badan peradilan di semua
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, dan Hakim Konstitusi tidak
menjadi kewenangan Komisi Yudisial. Hal ini karena rumusan Pasal 24A ayat (3) Perubahan
Ketiga UUD 1945 secara eksplisit menyatakan: “Calon hakim agung diusulkan Komisi
Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya
ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”.42
Akan tetapi, menurut penafsiran yang pertama, yang berkaitan dengan tugas menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, tugas yang diemban
Komisi Yudisial cukup luas.43 Hal ini karena kata “hakim” yang disebut dalam Pasal 24B ayat
(1) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 mencakup semua jenis dan tingkatan
hakim, yaitu Hakim Agung, hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung, dan Hakim Konstitusi. Pada titik ini, terdapat persoalan
krusial yang patut dikemukakan, yaitu Komisi Yudisial harus mempunyai cabang-cabang di
daerah untuk menjalankan tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim.44
Perdebatan seru sempat terjadi dalam sidang Panitia Ad Hoc I (PAH I) Badan Pekerja
Majelis Permusyawaratan Rakyat (BP MPR) saat membahas pasal tersebut. Sempat muncul
usulan agar Komisi Yudisial tidak hanya terlibat dalam rekruitmen hakim agung saja, tetapi
juga rekruitmen hakim pada setiap jenis dan tingkatan pengadilan serta merekomendasikan
pengangkatan hakim konstitusi. Selain itu, juga sempat muncul usulan agar Komisi Yudisial
juga diberikan peranan dalam rekruitmen jabatan-jabatan penting dan juga mempunyai peran
dalam mutasi dan promosi hakim.45 Akan tetapi, usulan ini kemudian kandas. Secara umum,
kedua fungsi Komisi Yudisial yang diatur di dalam Pasal 24B UUD 1945 tersebut relatif lebih
42
Ketentuan ini dimaksudkan agar rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kewenangan untuk
menentukan siapa-siapa yang tepat menjadi hakim agung sesuai aspirasi dan kepentingan rakyat untuk
memperoleh kepastian dan keadilan. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam
Memasyarakatkan..., op. cit., hlm. 194.
43
Khusus mengenai pengawasan dari Komisi Yudisial ini, Ketua Muda Urusan Pengawasan Mahkamah Agung
Marianna Sutadi mengkhawatirkan terjadinya terjadinya overlapping antara Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial. Marianna Sutadi, “Fungsi, Tugas, dan Wewenang Komisi Yudisial dalam Bidang Pengawasan”,
(Makalah disampaikan pada Workshop Penyusunan Policy Paper dan Draft Rancangan Undang-Undang tentang
Komisi Yudisial, di Hotel Borobudur, Jakarta, 28 Agustus 2002), hlm. 3-4. Lihat juga Tra, “Kewenangan Komisi
Yudisial Dikhawatirkan Tumpang Tindih”, Harian Kompas, 31 Agustus 2002, hlm. 7.
44
Pasal 3 ayat (1) dan (2) Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial Versi Dewan Pewakilan Rakyat
mengatakan (1) Komisi Yudisial berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya
meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2) Apabila dipandang perlu dapat dibentuk
Perwakilan Komisi Yudisial di daerah. Dewan Pewakilan Rakyat, “Rancangan Undang-Undang tentang Komisi
Yudisial Versi Dewan Pewakilan Rakyat”, Jakarta, 6 November 2002. Lihat juga Pasal 4 ayat (2) Rancangan
Undang-Undang tentang Komisi Yudisial Versi LeIP. Keberadaan Perwakilan Komisi Yudisial di daerah ini
sangat penting mengingat luasnya wilayah Indonesia dan besarnya jumlah hakim yang harus diawasi serta
pentingnya peran daerah dalam rangka proses pemilihan hakim agung. Lembaga Kajian dan Advokasi untuk
Independensi Peradilan (LeIP) dan Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Ringkasan Eksekutif Draft II Policy
Paper dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial”, Jakarta, tt.
45
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Buku Kedua Jilid 3 A... op. cit.; Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Buku Kedua Jilid 8 A Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan
Pekerja MPR RI Ke-36 s/d Ke-39 Tanggal 26 September s/d 22 Oktober 2001 Masa Sidang Tahunan MPR RI
Tahun 2001, Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2001, hlm. 8.

13
sempit apabila dibandingkan dengan gagasan yang dikembangkan oleh Tim Kerja Terpadu
Mengenai Pangkajian Pelaksanaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor
X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan
dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara dan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 1999.46
Akan tetapi, apabila kata “hakim” yang terdapat dalam Pasal 24B ayat (1) tersebut
diartikan sesuai dengan konteks pembahasannya, maka yang dimaksud adalah hanya Hakim
Agung, dan bukan hakim yang lain. Hal ini terkait dengan kewenangan pertama Komisi
Yudisial, yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung saja, bukan hakim lain. Oleh karena
itu, sebagai logika hukumnya, sangat wajar apabila Komisi Yudisial berwenang menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim agung saja, karena
memang lembaga ini berwenang mengusulkan pengangkatan hakim hanya untuk Hakim
Agung saja, bukan hakim yang lain. Dua bagan di bawah ini akan memperjelas pernyataan
tersebut:

Bagan 4.4. Menjaga Kehormatan, Keluhuran Martabat,


dan Perilaku Hakim Agung

Kehormatan

Komisi Keluhuran
Menjaga Hakim Agung
Yudisial Martabat

3.
Perilaku

Bagan 4.5. Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat,


dan Perilaku Hakim Agung

Kehormatan

Komisi Menegakkan
Keluhuran Hakim Agung
Yudisial Martabat

Perilaku

46
Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi
Yudisial”, op. cit., hlm. 8; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 9.

14
Berdasarkan pembahasan di dalam sidang Tim Kerja Terpadu, ada beberapa tugas lain
yang bisa dikategorikan sebagai bagian dari menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim yang dapat disimpulkan dalam empat hal sebagai berikut:
a. Tugas memperjuangkan peningkatan kesejahteraan hakim;
b. Tugas merekomendasikan penghargaan, gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan
lain kepada hakim;
c. Memberikan pelayanan informasi mengenai perilaku hakim yang diperkenankan
atau tidak berdasarkan undang-undang;
d. Memberikan masukan dan pertimbangan kepada Mahkamah Agung dan lembaga
negara lainnya dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim.47
Yang bisa menjadi contoh dari tugas pelayanan informasi mengenai perilaku hakim di
atas adalah menyebarluaskan peraturan perundang-undangan mengenai perilaku hakim yang
diperkenankan atau menyediakan pelayanan informasi (hotline service) bagi pihak yang ingin
mengetahui lebih jauh apakah suatu tindakan tertentu dapat dikategorikan sebagai tindakan
yang dapat atau boleh dilakukan hakim atau tidak.48 Sedangkan contoh memberikan masukan
dan pertimbangan kepada Mahkamah Agung dan lembaga negara lainnya adalah masukan atau
pertimbangan untuk mengubah mekanisme kerja internalnya yang dianggap membuka peluang
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.49

3. Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial di Indonesia

Membicarakan tugas Komisi Yudisial di Indonesia sudah pasti harus merujuk pada
ketentuan Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945. Apalagi sampai saat ini Rancangan
Undang-Undang tentang Komisi Yudisial belum ditetapkan sebagai undang-undang. Oleh
karena itu, konstitusi menjadi rujukan utama dalam melihat Komisi Yudisial di Indonesia.
Pasal 24B berisi empat ayat, yaitu (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; (2)
Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum
serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; (3) Anggota Komisi Yudisial
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; (4)
Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang. Dari
keempat ketentuan tersebut, ada dua (2) hal yang berkaitan dengan tugas Komisi Yudisial,
yaitu: mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga
dan menegakkan keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

a. Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung

Hakim adalah aktor utama penegakan hukum (law enforcement) di pengadilan yang
mempunyai peran lebih apabila dibandingkan dengan jaksa, pengacara, dan panitera. Pada saat

47
Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi
Yudisial”, op. cit., hlm. 8
48
Ibid.
49
Ibid.

15
ditegakkan, hukum mulai memasuki wilayah das sein (yang senyatanya) dan meninggalkan
wilayah das sollen (yang seharusnya). Hukum tidak lagi sekedar barisan pasal-pasal mati yang
terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan, tetapi sudah “dihidupkan” oleh living
interpretator yang bernama hakim.50
Hakim yang akan memutus suatu perkara di pengadilan harus mengkombinasikan tiga
hal secara simultan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum. Tugas
ini tentu saja tidak mudah dilaksanakan. Unsur kepastian hukum dalam penegakan hukum
merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan seseorang terhadap orang lain, karena
hukum telah dianggap sebagai rujukan terakhir untuk mengatasi konfik yang terjadi dalam
mayarakat.51
Unsur kemanfaatan hukum dalam penegakan hukum bermakna filosofis yang sangat
mendalam, yaitu karena hukum ditujukan untuk manusia, maka harus memberikan
kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi manusia. Kemanfaatan ini terutama berbentuk
terlindunginya kepentingan satu pihak dari perampasan yang dilakukan oleh pihak lain.
Sedangkan unsur keadilan dalam penegakan hukum merupakan sesuatu yang seharusnya
paling genuine dan hakiki dari hukum itu sendiri. Aliran etis dalam hukum berpendapat bahwa
hukum dibuat dengan tujuan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.52
Hakim yang ideal seperti digambarkan di atas tentu saja tidak akan lahir dari sistem
yang buruk,53 tetapi lahir dari sebuah sistem yang memadai bagi terciptanya kondisi ideal
tersebut. Odette Buitendam meyakini bahwa hakim yang baik itu tidak dilahirkan, tetapi
diciptakan melalui suatu sistem rekruitmen, seleksi, dan pelatihan yang baik.54 Rekruitmen55
dan seleksi yang baik dapat dimanifestasikan dengan mengedepankan prinsip-prinsip
transparansi, partisipasi, akuntabilitas, the right man on the right place, objektivitas, dan
sebagainya.56 Baik dalam tradisi common law system maupun dalam tradisi civil law system,
masalah perekrutan hakim ini menjadi persoalan yang selalu mengemuka.57
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung58
memberikan kewenangan untuk memilih hakim agung kepada Presiden berdasarkan daftar

50
A. Ahsin Thohari, “Dari Law Enforcement..., loc. cit.. Lihat juga. A. Ahsin Thohari, “Dari Law Enforcement ke
Justice Enforcement”, <http://www.kompas. com/kompas%2Dcetak/0207/03/opini/dari31. htm>, diakses 3 Juli
2002.
51
Ibid.
52
Ibid.
53
Odette Buitendam, “Good Judges are Not Born But Made: Recruitment, Selection and the Training of Judges in
the Netherlands” dalam Marco Fabri dan Philip M. Langbroek, (ed.), The Challenge of Change for Judicial
Systems, Netherlands: IOS Press, 2000, hlm. 211.
54
Ibid.
55
Berkaitan dengan hal ini, Mahkamah Agung telah membuat kertas kerja yang berjudul “Kertas Kerja
Pembaruan Sistem Pembinaan SDM Hakim”, naskah belum diterbitkan, Jakarta: Mahakamah Agung Republik
Indonesia, 2003.
56
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 11.
57
Tentang sisi positif dan negatif dari kedua sistem hukum tersebut dalam perekrutan hakim, lihat misalnya John
Henry Merryman, The Civil Law Traditions: An Introduction to the Legal System of Western Europe and Latin
America, Second Edition, Chicago: Stanford University Press, 1996, hlm. 35 dan seterusnya.
58
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung ini telah diubah. Rancangan Undang-
Undang tentang Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung telah
mendapat persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah pada tanggal 18 Desember
2003. Perubahan tersebut meliputi Pasal 7 ayat (1) dan (2) yang mengatur persyaratan hakim agung; Pasal 8 yang
mengatur pengangkatan hakim agung, Ketua Mahkamah Agung, dan Wakil Ketua Mahkamah Agung; Pasal 11

16
nama yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam mengusulkan nama calon
kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat wajib mendengarkan pendapat Mahkamah Agung
dan Pemerintah.59 Akan tetapi, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tersebut dianggap memiliki beberapa kelemahan prisipil.
Kelemahan ini mencakup tiga hal sebagai berikut:
1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat terdiri dari barbagai macam latar belakang
keilmuan. Padahal, materi tanya-jawab dalam proses tersebut berkaitan erat dengan
materi hukum, sehingga beberapa pertanyaan yang diajukan seringkali kurang tepat
sasaran dan memiliki kualitas yang rendah;
2) Tugas pokok anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menyangkut fungsi legislasi,
anggaran, dan pengawasan sudah dirasakan cukup berat. Oleh karena itu, apabila
Dewan Perwakilan Rakyat dibebani tugas lagi untuk menyeleksi hakim agung,
maka hal ini dapat menyebabkan rendahnya kualitas seleksi yang dilakukan;
3) Dewan Perwakilan Rakyat adalah lembaga politik, bukan lembaga hukum,
sehingga proses persidangan yang berlangsung tidak terlepas dari kepentingan
politik. Meskipun hal ini wajar, tetapi sebaiknya proses pemilihan atas dasar
pertimbangan politik dilakukan setelah ada proses screening terhadap integritas dan
kualitas calon hakim agung yang dilakukan oleh lembaga non-politik.60

1) Mekanisme Perekrutan Hakim Agung pada Masa Orde Baru

Pada masa Orde Baru,61 proses rekruitmen hakim agung diawali dengan diadakannya
forum yang melibatkan Mahkamah Agung dan Pemerintah yang biasanya dikenal dengan
sebutan Forum Mahkamah Agung-Departemen (MahDep). MahDep merupakan forum yang
digunakan sebagai ajang konsultasi antara Mahkamah Agung dan Departemen dalam
membicarakan daftar kandidat hakim agung yang akan diajukan oleh Mahkamah Agung dan

yang mengatur pemberhentian hakim agung; Pasal 26 yang mengatur tugas dan tanggung jawab, susunan
organisasi dan tata kerja serta administrasi dan finansial Mahkamah Agung; Pasal 30 yang mengatur wewenang
Mahkamah Agung membatalkan putusan atau penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan; penyisipan
Pasal 79A yang mengatur pengecualian perkara yang diperbolehkan kasasi atau peninjauan kembali; dan
penyisipan Pasal 80A yang mengatur bahwa sebelum Komisi Yudisial terbentuk, pencalonan hakim agung
dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
59
Selengkapnya Pasal 8 menyatakan (1) Hakim Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara dari daftar
nama calon yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat; (2) Daftar nama calon sebagaimana dimaksudkan
dalam ayat (1) diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden selaku Kepala Negara setelah Dewan
Perwakilan Rakyat mendengar pendapat Mahkamah Agung dan Pemerintah; (3) Ketua dan Wakil Ketua
Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara di antara Hakim Agung yang diusulkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat; (4) Ketua Muda Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara di
antara Hakim Agung yang diusulkan oleh oleh Ketua Mahkamah Agung; dan (5) Untuk mengisi lowongan
jabatan Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung, diusulkan masing-masing 2
(dua) orang calon.
60
Disarikan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang
tentang Komisi Yudisial”, op. cit., hlm. 10-11; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan
(LeIP), op. cit., hlm. 13.
61
Tentang istilah ini, lihat catatan kaki nomor 56.

17
Pemerintah ke Dewan Peerwakilan Rakyat. Biasanya, Mahkamah Agung berinisiatif
memberikan proposal nama-nama ke Departemen terlebih dahulu.62
Ketua Mahkamah Agung biasanya melakukan konsultasi dengan pimpinan Mahkamah
Agung sebelum mengajukan proposal nama ke Departemen. Meskipun demikian, Sebastian
Pompe mencatat bahwa dalam praktiknya Ketua Mahkamah Agung seringkali memegang
kontrol yang dominan dalam menentukan nama-nama calon yang dimasukkan dalam
proposal.63
Selanjutnya, nama-nama calon dipresentasikan dalam MahDep. Pada saat presentasi,
biasanya Departemen mengusulkan beberapa perubahan, misalnya dengan memasukkan nama-
nama dari militer maupun kejaksaan. Setelah usulan nama-nama kandidat hakim agung
dibahas, kemudian nama-nama tersebut diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat yang
kemudian diangkat sebagai hakim agung oleh Presiden.64
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran MahDep dalam rekruitmen hakim
agung jauh lebih signifikan apabila dibandingkan dengan peran Dewan Perwakilan Rakyat.
Hal ini terkait dengan lemahnya posisi Dewan Perwakilan Rakyat dibandingkan dengan
kekuasaan pemerintah (eksekutif).65
Menurut catatan Mahkamah Agung, proses rekruitmen hakim agung selama Orde Baru
menunjukkan adanya sejumlah kelemahan terutama pada aspek mekanisme pemilihan serta
penentuan kriteria. Kelemahan-kelemahan tersebut meliputi empat hal sebagai berikut:

62
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit.; Mahkamah Agung Republik
Indonesia, “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial”, op. cit., hlm. 9.
63
Pompe, op. cit., hlm. 308.
64
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit.
65
Pada masa Orde Baru, Dewan Perwakilan rakyat hanya menjadi stempel karet (rubber stamp) dari kekuasaan
pemerintah. Akan tetapi, setelah era reformasi, Dewan Perwakilan Rakyat menjelma menjadi lembaga yang
sangat kuat (superbody). Ada tiga pintu yang menjadi akses utama DPR untuk menancapkan hegemoninya di era
reformasi. Pertama, fungsi legislasi DPR sering digunakan sebagai instrumen untuk memproduksi undang-
undang yang mengukuhkan supremasi DPR dan bukan dilandasi kebutuhan rasional, sehingga DPR menjelma
menjadi superbody. Persetujuan DPR atas Rancangan Undang-Undang (RUU) Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, DPD, dan DPRD adalah bukti bahwa DPR telah memanfaatkan fungsi legislasinya untuk memperkuat
kedudukannya. Padahal, RUU ini berisi ketentuan-ketentuan kontroversial seperti kewenangan recalling anggota
DPR oleh partai politik, adanya lembaga sandera (gijzeling), dan hak subpoena (kewenangan memanggil suatu
pihak dan memeriksa) yang dimiliki DPR. Kedua, DPR sering membuat undang-undang yang dilatarbelakangi
kepentingan politik sesaat yang berjangka pendek tanpa memikirkan akibat serius yang mungkin ditimbulkannya
di masa depan. Undang-undang seringkali hanya dijadikan sebagai alat perjuangan politik dari partai politik dan
bukan sebagai kristalisasi dari nilai-nilai yang dikehendaki publik. Hilangnya pasal yang melarang seorang
terdakwa mencalonkan diri dari Undang-Undang Pemilihan Langsung Presiden dan Wakil Presiden menunjukkan
adanya kepentingan politik sesaat yang berjangka pendek dengan mengabaikan aspek-aspek substantif yang jauh
lebih penting. Ketiga, ini sebagai akibat dari yang pertama dan kedua, DPR menjadi lembaga yang liar dan tidak
dapat dikendalikan, sehingga dapat melakukan apa pun tanpa perlu melakukan konfirmasi memadai kepada
publik. DPR dapat menciptakan undang-undang apa saja tanpa perlu lagi mendengar aspirasi publik. Undang-
undang yang amat kontroversial pun akan dapat lolos bila deal politik beberapa partai politik telah
menyepakatinya. Hal ini tidak terlepas dari sistem perwakilan kita yang cenderung menempatkan seorang
anggota DPR sebagai representasi dari partai politiknya. Kepentingan partai politik adalah primer, sedangkan
kepentingan publik adalah sekunder. A. Ahsin Thohari, “Membaca Perubahan Ekstrem DPR, Dari ‘Rubber
Stamp’ ke ‘Superbody’”, Harian Kompas, Edisi Jumat, 25 Juli 2003, hlm. 4. Lihat juga A. Ahsin Thohari,
“Membaca Perubahan Ekstrem DPR, Dari ‘Rubber Stamp’ ke ‘Superbody’”,
<http://www.kompas.com/kompascetak /0307/25/opini/444392.htm>, diakses tanggal 25 Juli 2003.

18
a) Hakim agung yang berhasil dipilih umumnya didasarkan pada kualitas yang tidak
jelas;
b) Adanya indikasi praktek dropping nama dengan cara hakim agung biasanya akan
memberikan usulan nama kepada Ketua Mahkamah Agung dengan harapan Ketua
Mahkamah Agung akan memberikan perhatian kepada kandidat dan memasukkan
namanya dalam daftar;
c) Adanya indikasi jaringan, pertemanan, hubungan keluarga, dan sebagainya yang
mengakibatkan pemilihan dilakukan tidak secara objektif. Beberapa hakim ada
yang memiliki hubungan satu sama lain, misalnya memiliki latar belakang sosial
atau keluarga yang sama. Hubungan seperti ini seringkali mempengaruhi proses
penentuan daftar nama yang disusun Ketua Mahkamah Agung; dan
d) Adanya indikasi praktik-praktik suap dengan cara memberikan hadiah atau
membayar sejumlah uang yang dilakukan oleh seseorang yang ingin dicalonkan.66

2) Mekanisme Perekrutan Hakim Agung pada Masa Reformasi

Konfigurasi proses rekruitmen hakim agung di atas segera berubah setelah era
reformasi67 yang ditandai dengan keadaan di mana Dewan Perwakilan Rakyat tampil sebagai
lembaga yang sangat kuat (powerful). Apabila pada masa Orde Baru kekuasaan pemerintah
begitu kuat dan Dewan Perwakilan Rakyat lemah, maka setelah era reformasi keadaan menjadi
sebaliknya, kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi lebih kuat daripada kekuasaan
pemerintah.
Perubahan peta politik tersebut berdampak pula terhadap mekanisme perekrutan hakim
agung dan pimpinan Mahkamah Agung. Dewan Perwakilan Rakyat pada masa reformasi ini
praktis mengambil alih peran Pemerintah dan Mahkamah Agung dalam proses rekruitmen
hakim agung. Setelah era reformasi, proses pencalonan bakal calon hakim agung yang dikenal
dengan fit and proper test jauh lebih demokratis, partisipatif, obyektif, dan transparan daripada
era Orde Baru.68
Pada era reformasi ini masyarakat dapat mengajukan nama bakal calon, melaporkan
informasi tentang bakal calon atau bahkan mengajukan pertanyaan kepada bakal calon melalui
anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat menjaring pandangan publik
tentang bakal calon melalui pembuatan iklan layanan masyarakat di media cetak berskala
nasional.69
Proses rekruitmen juga lebih objektif, karena terdapat tim yang dibentuk untuk
menyusun aturan main dalam proses seleksi, dibuatnya persyaratan yang harus dipenuhi bakal

66
Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi
Yudisial”, op. cit., hlm. 8; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 12.
67
Era reformasi merujuk pada masa setelah berhentinya kekuasaan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998.
Tentang istilah ini lihat Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Cet. I, Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003, hlm. 57-60. Buku ini diangkat dari
disertasi Satya Arinanto yang berjudul “Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik: Upaya Pencarian Konsepsi
Keadilan Transisional di Indonesia dalam Era Reformasi”, Disertasi untuk Memperolah Gelar Doktor dalam Ilmu
Hukum pada Universitas Indonesia, 2003.
68
Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi
Yudisial”, op. cit., hlm. 10; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 12.
69
Ibid.

19
calon apabila berkeinginan mengikuti proses seleksi atau meluangkan waktu di luar waktu
kerja normal untuk melakukan fit and proper test dan sebagainya. Proses rekruitmen semakin
terlihat serius dengan digunakannya tiga kriteria sebagai parameter untuk menilai kelayakan
bakal calon, yakni integritas, pemahaman hukum serta visi dan misi selain penilaian aspek
formal sebagaimana diatur dalam undang-undang. Meskipun demikian, proses rekrutmen di
era reformasi ini juga mengalami dua kelemahan utama, yaitu pertama, siapa yang melakukan
proses seleksi; dan kedua, bagaimana proses seleksi itu dilakukan.70
Peraturan perundang-undangan yang tersedia tidak memberikan ketentuan yang jelas
mengenai bagaimana proses seleksi hakim agung seharusnya dilakukan. Hal ini menjadi
persoalan yang sangat serius, karena dapat menimbulkan perbedaan penafsiran terhadap
bagaimana seharusnya seleksi dilakukan. Fit and proper test yang dilakukan mengandung
beberapa kelemahan, yaitu:
a) Masih tertutupnya beberapa proses dan informasi yang seharusnya terbuka.
Misalnya tahap klarifikasi awal terhadap segi administratif dan integritas bakal
calon dilakukan secara tertutup dan publik tidak dapat mengetahui apa yang
menjadi parameter seorang calon dapat lulus atau tidak lulus;71
b) Tidak atau kurang maksimalnya partisipasi publik dalam proses perekrutan.
Laporan dari masyarakat yang telah diterima tidak atau kurang ditelusuri lebih jauh
oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
c) Minimnya metode pengukuran yang objektif untuk menilai calon. Meskipun
Dewan Perwakilan Rakyat telah membuat klasifikasi untuk menilai kelayakan
bakal calon, tetapi sama sekali tidak memadai;72
d) Seringkali calon yang dipilih mempunyai keahlian yang tidak sesuai dengan
kebutuhan di Mahkamah Agung;73
e) Pengusulan untuk perekrutan hakim agung dapat dikatakan lambat;74
f) Dalam proses fit and proper test, anggoata DPR kurang memberikan penghargaan
sepatutnya kepada bakal calon.75

Setelah mempertimbangkan berbagai macam kelemahan yang terdapat dalam pola


rekruitmen selama ini, rumusan Pasal 24B hadir pada saat yang tepat untuk memperbaikinya.76
70
Ibid.; Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang
Komisi Yudisial”, op. cit.
71
Selain itu, penilaian DPR terhadap bakal calon juga dilakukan secara tertutup, sehingga masyarakat tidak
mengetahui barapa banyak anggota DPR yang memberi nilai tinggi atau rendah terhadap aspek integritas,
pemahaman hukum atau visi dan misi bakal calon. Hal ini mengakibatkan anggota DPR memilih berdasarkan
selera pribadi. Ibid.; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 13-14.
72
DPR memang telah membuat klasifikasi untuk menilai kelayakan bakal calon yang meliputi integritas,
pemahaman hukum serta visi dan misi. Ibid., hlm. 14; Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis
dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial”, op. cit., hlm. 11.
73
Ibid., hlm. 12; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 15.
74
Ibid., hlm. 11-12; Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang
tentang Komisi Yudisial”, op. cit., hlm. 12.
75
Ibid.; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit.
76
Meskipun demikian, proses perubahan terhadap UUD 1945 dalam batas tertentu mempunyai beberapa
kelemahan yang meliputi aspek yuridis, sosiologis, dan filosofis. A. Ahsin Thohari, “Membayangkan ‘Living
Constitution’”, Harian Kompas, Edisi Kamis, 1 Agustus 2002, hlm. 28. Lihat juga A. Ahsin Thohari,
“Membayangkan ‘Living Constitution’”, <http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0208/01/opini/ memb28.
htm>, diakses tanggal 1 Agustus 2002.

20
Pemberian wewenang tersebut kepada lembaga khusus yang bersifat mandiri serta
beranggotakan orang-orang yang mempunyai kompetensi di bidang hukum diharapkan dapat
menutupi kelemahan Pemerintah, Mahkamah Agung, dan Dewan Perwakilan Rakyat selama
ini. Pada intinya, kehadiran Komisi Yudisial harus menjadi solusi.

3) Mekanisme Perekrutan Hakim Agung oleh Komisi Yudisial

Gagasan Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 dapat dianggap sebagai suatu pilihan
yang tepat apabila melihat beberapa kelemahan perekrutan hakim agung sebagaimana telah
dipaparkan di atas.77 Di dalam Pasal 24A ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 dikatakan
sebagai berikut: “Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan
Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh
Presiden”.
Sementara itu, di dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
disebutkan sebagai berikut:78

77
Masalah perekrutan hakim ini juga menjadi perhatian sebuah penelitian yang diadakan oleh Bank Dunia.
Menurut penelitian tersebut, perlu diadakan reformasi kebijaksanaan jangka pendek dengan merekomendasikan
(1) peninjauan seleksi dan perekrutan hakim dan personalia pengadilan; (2) pengawasan yang lebih baik atas
penerapan yudisial di semua lingkaran peradilan dan pengawasan yang lebih baik atas sumber daya manusia
peradilan; (3) suatu tinjauan atas prosedur untuk memilih/merekrut hakim dan prosedur evaluasi untuk promosi
dan mutasi; dan (4) penyempurnaan dalam pemilihan para sarjana hukum yang akan menduduki jabatan resmi di
bidang hukum: hakim, jaksa penuntut umum, penasehat hukum, pengacara, dan konsultan hukum, dan dalam hal
pemilihan lulusan pendidikan notariat untuk menjadi notaris. Firoz Gaffar dan Ifdhal Kasim, ed., Reformasi
Hukum di Indonesia: Hasil Studi Perkembangan Hukum – Proyek Bank Dunia [Diagnostic Assessment of Legal
Development in Indonesia], diterjemahkan oleh Niar Reksodiputro dan Imam Pambagyo, Jakarta:
CYBERconsult, 1999, hlm. 135.
78
Sebagaimana telah disebutkan di atas, Undang-Undang ini telah mendapat persetujuan bersama antara Dewan
Perwakilan Rakyat dalam Rapat Paripurna 18 Desember 2003. Undang-Undang ini lahir dari Rancangan Undang-
Undang (RUU) usul inisiatif dari anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam surat pengantarnya
kepada pimpinan dewan (surat tertanggal 27 Juni 2002) para pengusul menyampaikan bahwa pokok pikiran yang
menjadi dasar pengajuan RUU ini ialah: (1) Bahwa untuk melakukan pembenahan pada badan peradilan perlu
adanya kebijakan untuk penyatu-atapan lembaga peradilan secara organisatoris, administratif dan finansial berada
dibawah Mahkamah Agung; (2) Bahwa pembenahan lembaga peradilan perlu dilakukan dengan peningkatan
integritas moral dan profesionalitas para hakim khususnya para hakim agung agar memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum; (3) Bahwa untuk
mendapatkan para hakim agung yang berintegritas moral yang tinggi, perlu pembaharuan mekanisme pengajuan
pemilihan, pengajuan calon dan pengawasan hakim yang melibatkan Komisi Yudisial sebagai lembaga yang
independen; (4) Bahwa untuk mengurangi tunggakan perkara di Mahkamah Agung perlu diadakan pembatasan
dalam hal pengajuan Kasasi atau Peninjauan Kembali berdasarkan syarat-syarat tertentu. Pembahasan RUU ini
dilakukan dalam satu paket pembahasan lima RUU oleh satu Panitia Khusus di bawah Badan Legislasi DPR.
Paket lima RUU ini biasa disebut dengan istilah paket RUU Integrated Justice System, yaitu RUU Tentang
Perubahan Atas UU No 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, RUU Tentang Perubahan Atas No 14 Tahun
1985 Tentang Mahkamah Agung, RUU Tentang Perubahan Atas No 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, dan RUU Tentang Perubahan Atas UU No 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Secara
umum, RUU Mahkamah Agung ini memuat enam materi pokok, mulai dari pembenahan sumber daya manusia,
hingga soal pembatasan kasasi. Materi perubahan yang diusulkan adalah (1) Syarat untuk menjadi hakim agung,
khususnya dari hakim karier dipersamakan dengan non-karier, walaupun dengan tambahan syarat khusus yaitu
sudah menjadi hakim tingkat banding; (2) Umur pensiun menjadi 70 (tujuh puluh) tahun dengan tetap
mempertimbangkan kesehatan jasmani dan rohani; (3) Adanya penetapan jangka waktu untuk setiap proses

21
(1) Hakim agung diangkat oleh Presiden dari nama calon yang diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat.
(2) Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih Dewan Perwakilan
Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.
(3) Pemilihan calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling
lama 14 (empat belas) hari sidang sejak nama calon diterima Dewan Perwakilan
Rakyat.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung dan
diangkat oleh Presiden.
(5) Ketua Muda Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden di antara hakim agung yang
diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung.
(6) Keputusan Presiden mengenai pengangkatan Hakim Agung, Ketua dan Wakil Ketua,
dan Ketua Muda Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (4), dan
ayat (5) ditetapkan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
pengajuan calon diterima Presiden.79

pencalonan, pengangkatan, dan pemberhentian hakim agung; (4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung
dipilih dari dan oleh hakim agung; (5) Adanya pembatasan perkara-perkara yang dapat diajukan Kasasi atau
Peninjauan Kembali. Perkara-perkara yang tidak memenuhi syarat formal dapat langsung dinyatakan tidak dapat
diterima oleh pengadilan tingkat pertama dan tidak perlu dikirim berkasnya kepada Mahkamah Agung. Eryanto
Nugroho, “RUU tentang Mahkamah Agung”,
<http://www.parlemen.net/ind/packagedetails.php?view=paket&guid=6257a66fdb6f9ae24cdbebead9831072&do
cprofile=paket>, diakses tanggal 29 Desember 2004. Lihat Dewan Perwakilan Rakyat, Rancangan Undang
Undang Tentang Perubahan Atas Undang Undang No. 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002; Dewan Perwakilan Rakyat, “Rancangan Undang-
Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman”, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002; Dewan Perwakilan Rakyat,
“Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung”, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002; Dewan Perwakilan Rakyat, “Rancangan
Undang Undang tentang Perubahan atas Undang Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara”, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002; Dewan Perwakilan Rakyat, “Rancangan
Undang Undang tentang Perubahan atas Undang Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum”, Jakarta:
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002.
79
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1985 tentang
Mahkamah Agung, UU No. 5 Tahun 2004, LN No. 9 Tahun 2004, TLN No. 4359. Bandingkan dengan ketentuan
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebelum perubahan yang
menentukan: (1) Hakim Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara dari daftar nama calon yang
diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat; (2) Daftar nama calon sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1)
diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden selaku Kepala Negara setelah Dewan Perwakilan
Rakyat mendengar pendapat Mahkamah Agung dan Pemerintah; (3) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung
diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara di antara Hakim Agung yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat; (4) Ketua Muda Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara di antara Hakim Agung
yang diusulkan oleh oleh Ketua Mahkamah Agung; dan (5) Untuk mengisi lowongan jabatan Ketua, Wakil
Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung, diusulkan masing-masing 2 (dua) orang calon.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Agung, UU No. 14 Tahun 1985, LN No. 73 Tahun
1985, TLN No. 3316.

22
Ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 24A ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945
menyiratkan bahwa Komisi Yudisial telah mengambil alih fungsi-fungsi yang selama ini
diperankan oleh MA, Pemerintah, dan DPR sebagaimana diatur di dalam Pasal 8 Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Sedangkan DPR menggantikan
peran Presiden sebagai pihak yang kepadanya diajukan calon hakim agung. Sementara itu,
Presiden hanya sebagai pihak yang mengangkat hakim agung dalam kedudukannya sebagai
Kepala Negara.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, untuk menjalankan
wewenang mengusulkan hakim agung, Komisi Yudisial harus diberi tiga tugas sebagai
berikut:
a) Menjaring nama-nama bakal calon hakim agung;
b) Melakukan proses seleksi bakal calon hakim agung; dan
c) Memberikan usulan nama calon hakim agung kepada DPR.80
Dalam rangka menjalankan tiga tugas tersebut di atas, Komisi Yudisial harus diberikan
seperangkat kewajiban dan wewenang yang berkaitan dengan mengundang partisipasi
masyarakat, menjaring nama bakal calon hakim agung, publikasi nama bakal calon hakim
agung, dan klarifikasi track record bakal calon hakim agung.

a) Mengundang Partisipasi Masyarakat

Dalam proses perkrutan hakim agung, partisipasi masyarakat harus mendapat perhatian
secara serius.81 Dalam rangka menjalankan kewajiban mengundang partisipasi masyarakat
dalam proses perekrutan hakim agung ini, Komisi Yudisial harus mengumumkan kepada
masyarakat luas secara resmi tentang perekrutan hakim yang akan dilaksanakan dan meminta
masyarakat untuk memberikan masukan nama bakal calon. Pengumunan tersebut juga harus
menjelaskan jumlah hakim agung yang akan direkrut serta keahlian bakan calon hakim agung
sesuai dengan kebutuhan yang ada.82
Meskipun demikian, adanya calon yang terlalu banyak harus dihindarkan agar
efektifitas dan efisiensi perekrutan hakim agung tetap terjaga. Menurut Mahkamah Agung,
untuk menghindarkan terjadinya pembengkakan bakal calon hakim agung harus dibuat
pembatasan-pembatasan dengan cara, misalnya, Komisi Yudisial hanya mempunyai kewajiban
untuk memproses lebih lanjut usulan dari masyarakat yang disertai data pribadi pengusul
secara jelas dan alasan-alasan pengusulannya.83

80
Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi
Yudisial”, op. cit., hlm. 13.
81
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, misalnya, partisipasi masyarakat dalam proses seleksi hakim federal
dilakukan secara intens dan memiliki dampak positif dalam proses rekruitmen. Peran ini misalnya dilakukan oleh
American Bar Association. Tentang hal ini lihat misalnya Henry J. Abraham, Justices and Presidents: A Political
History of Appoinments to the Supreme Court, 2nd Edition, New York/Oxford: Oxford University Press, 1985,
hlm. 25-30; Joel B. Grossman, Lawyer and Judge: The Politics of Judicial Selection, New York: John Wiley &
Sons, 1965, hlm. 87-92; Larry C. Berkson dan Susan B. Carbon, The United States Circuit Judge Nominating
Commission: Its Membes, Procedures, and Candidates, Chicago: American Judicature Society, 1980, hlm. 49.
82
Keahlian ini mencakup hukum pidana, hukum perdata, hukum tata usaha negara, dan lain-lain. Mahkamah
Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial”, op.
cit., hlm. 14.
83
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi
Yudisial, op. cit., hlm. 14; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 17.

23
b) Menjaring Nama Bakal Calon Hakim Agung

Komisi Yudisial harus secara proaktif menjaring nama bakal calon hakim agung sesuai
dengan pemantauan yang telah dilakukan sebelumnya dari berbagai kalangan baik dari
kalangan hakim, pengacara, akademisi, aktivis lembaga non-pemerintah, dan lain-lain.84
Dalam proses penjaringan nama bakal calon hakim agung, Komisi Yudisial juga harus
meminta kesediaan bakal calon yang telah dijaring tersebut agar memenuhi persyaratan
administratif sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 7 Undang-Undang tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.85 Syarat-syarat untuk
dapat menjadi hakim agung yang ditentukan dalam undang-undang tersebut sebagai berikut:
(1) Warga negara Indonesia;
(2) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
(3) Berijazah Sarjana Hukum atau Sarjana lain dan mempunyai pengalaman dalam
bidang profesi hukum dan/atau akademisi, atau Hakim Tinggi yang berpengalaman
sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun sejak diangkat menjadi Hakim tingkat
pertama;
(4) Berumur serendah-rendahnya 45 (empat puluh lima) tahun;
(5) Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan
hukuman 5 (lima) tahun penjara, kecuali jika dipidana dengan alasan pertentangan
politik dan ideologi.86

Syarat-syarat dasar tersebut di atas dapat dikatakan kurang lengkap. Oleh karena itu,
Mahkamah Agung mengusulkan adanya beberapa persyaratan administratif lain yang perlu
diatur di dalam Undang-Undang tentang Komisi Yudisial yang meliputi beberapa hal sebagai
berikut:
(1) Daftar seluruh harta kekayaan bakal calon dan dan keluarga inti serta penjelasan
mengenai pemasukan bakal calon dan keluarga intinya;
(2) Riwayat hidup, termasuk riwayat pekerjaan, pendidikan dan pengalaman
organisasi;
(3) Paper atau tulisan dengan topik tertentu;

84
Ibid., hlm. 17; Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang
tentang Komisi Yudisial”, op. cit.
85
Uraian mengenai hal ini lihat Nugroho, op. cit.
86
Bandingkan dengan syarat-syarat yang ditentukan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung sebelum perubahan, yaitu (1) Warga negara Indonesia; (2) Bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa; (3) Setia kepada Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan ideologi
nasional, kepada Proklamasi 17 Agustus 1945, Undang-Undang Dasar 1945 serta kepada revolusi kemerdekaan
bangsa Indonesia untuk mengemban amanat penderitaan rakyat; (4) Bukan bekas anggota organisasi terlarang
Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan seorang yang terlibat langsung ataupun tak
langsung dalam “Gerakan Kontra Revolusi G30S/PKI” atau organisasi terlarang lainnya; (5) Berijazah sarjana
hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; (6) Berumur serendah-rendahnya 50 (lima
puluh) tahun; dan (7) Berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (tahun) sebagai Ketua Pengadilan Tingkat Banding
atau 10 (sepuluh) tahun sebagai Hakim Tingkat Banding. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang
Mahkamah Agung, op. cit.

24
(4) Beberapa pembelaan atau tuntutan atau karya ilmiah atau hasil kerja intelektual lain
yang dibuat bakal calon, bagi bakal calon yang berasal dari advokat, jaksa, dan
akdemisi atau profesi hukum lainnya; dan
(5) Hal-hal lain yang dianggap perlu.87

c) Publikasi Nama Bakal Calon Hakim Agung

Komisi Yudisial harus melakukan seleksi terhadap pemenuhan persyaratan


administrasi yang diberikan oleh bakal calon hakim agung, misalnya kesediaan bakal calon
untuk mengikuti rangkaian proses rekruitmen, kelengkapan data-data yang disyaratkan, dan
lain-lain. Setelah seleksi administratif dilakukan, Komisi Yudisial harus mempublikasaikan
nama-nama bakal calon hakim agung yang lolos seleksi tersebut kepada masyarakat luas untuk
mendapatkan penilaian dan tanggapan. Hal ini merupakan suatu tahapan penting, karena
penilaian masyarakat yang biasanya berbentuk pandangan, laporan, atau pengaduan atas
kualitas, integritas, dan kepribadian bakal calon dapat menjadi bahan awal untuk melakukan
klarifikasi terhadap calon.88

d) Klarifikasi Track Record Bakal Calon Hakim Agung

Setelah beberapa proses di atas telah dilakukan, Komisi Yudisial kemudian melakukan
proses klarifikasi terhadap integritas dan kualitas bakal calon hakim agung melalui berbagai
metode. Untuk mengetahui integritas bakal calon, Komisi Yudisial harus melakukakan
klarifikasi integritas bakal calon kepada pihak-pihak yang mengenalnya. Sedangkan yang
berkaitan dengan harta kekayaan, Komisi Yudisial harus melakukan klarifikasi kepada bakal
calon dan keluarga intinya yang disesuaikan dengan sumber pendapatan yang dimiliki bakal
calon dan keluarganya. Dalam melakukan klarifikasi tersebut, Komisi Yudisial dapat
membandingkannya dengan data perpajakan, perbankan, pertanahan, dan lain-lain.89
Khusus yang berkaitan dengan kualitas bakal calon, Komisi Yudisial harus mengkaji
hasil pemikiran bakal calon baik yang berupa putusan-putusan yang pernah dihasilkan (apabila
bakal calon seorang hakim), tuntutan yang pernah dilakukan (apabila bakal calon seorang
jaksa), pembelaan yang pernah dilakukan (apabila bakal calon seorang advokat) atau karya-
karya ilmiah yang telah dihasilkan (apabila bakal calon seorang akademisi). Selain itu, Komisi
Yudisial juga harus mengkaji tulisan yang dibuat oleh bakal calon dengan topik tertentu yang
diminta oleh Komisi Yudisial. Selain itu, Komisi Yudisial juga harus melakukan uji
konsistensi pemikiran, visi dan misi, dan pandangan bakal calon. Komisi Yudisial harus
melacak beberapa pemikiran yang pernah dikemukakan oleh para bakal calon dengan teliti.90
Berbagai pengaduan dan laporan dari masyarakat harus diklarifikasi oleh Komisi
Yudisial. Oleh karena itu, Komisi Yudisial perlu diberikan wewenang untuk meminta bantuan
87
Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi
Yudisial”, op. cit., hlm. 14; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 18.
88
Ibid., hlm. 18-19; Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang
tentang Komisi Yudisial”, op. cit., hlm. 15.
89
Ibid.; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 19.
90
Ibid., hlm. 19-20; Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang
tentang Komisi Yudisial”, op. cit.

25
dan memanggil atau meminta informasi dari pihak-pihak yang dianggap memiliki informasi
tentang bakal calon.91

e) Melakukan Fit and Proper Test Secara Terbuka

Tahapan selanjutnya, Komisi Yudisial harus melakukan uji kepatutan dan kelayakan
(fit and proper test) secara terbuka. Tahapan ini berupa proses tanya-jawab antara Komisi
Yudisial dan bakal calon terhadap aspek-aspek integritas dan kualitas bakal calon hakim
agung berdasarkan laporan masyarakat yang telah diklarifikasi atau temuan dari Komisi
Yudisial sendiri. Komisi Yudisial menguji kualitas para bakal calon dengan mengajukan
beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan putusan, tuntutan, pembelaan, karya ilmiah dan
persoalan-persoalan hukum.92

f) Memberikan Penilaian Terhadap Bakal Calon Hakim Agung Secara Terbuka dan
Mengajukannya kepada DPR

Berdasarkan klarifikasi dan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) yang telah
dilakukan, semua anggota Komisi Yudisial secara individual memberikan penilaian terhadap
masing-masing bakal calon dengan mencantumkan alasan-alasannya yang dilakukan secara
terbuka sebagai bagian dari implementasi asas transparansi dan akuntabilitas publik dan
menghindarkan penilaian yang bersifat subjektif. Penilaian individual tersebut kemudian
dibahas dan disepakati dalam rapat pleno Komisi Yudisial. Setelah itu, Komisi Yudisial
mengusulkan nama bakal calon yang lulus dalam proses rekruitmen kepada DPR.93
Dalam hasil penelitiannya, Mahkamah Agung mengusulkan agar jumlah bakal calon
yang diajukan oleh Komisi Yudisial kepada DPR minimal 2 (dua) kali dari jumlah yang
dibutuhkan. Misalnya jumlah hakim agung yang harus dipilih oleh DPR 3 (tiga) orang, maka
Komisi Yudisial paling kurang harus mengajukan 6 (enam) nama bakal calon. Penyusunan
daftar nama bakal calon hakim agung ini berdasarkan peringkat (ranking).94 Selain itu, yang
harus digarisbawahi adalah nama-nama bakal calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi
Yudisial ini bersifat mengikat. Artinya, DPR tidak punya pilihan lain selain harus memilih dari
nama-nama bakal calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. Kemungkinan penolakan DPR
terhadap nama-nama sangat dimungkinkan, karena Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945
menggunkan istilah “mengusulkan pengangkatan hakim agung”. Istilah “mengusulkan” ini
dipahami sebagai dapat diterima atau tidak. Akan tetapi, seyogyanya Pasal 24B tersebut
diartikan bahwa DPR tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus menentukan pilihannya dari
nama-nama bakal calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.
Tahap selanjutnya DPR memilih hakim agung dari nama-nama yang diusulkan oleh
Komisi Yudisial. Proses pemilihan ini harus dilakukan secara terbuka siapa memilih siapa
untuk memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas publik serta meniadakan pertimbangan-
pertimbangan yang bersifat politik. Hasil pembahasan ini kemudian disepakati oleh sidang
91
Ibid., hlm. 15-16; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit.
92
Ibid., hlm. 20-21; Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang
tentang Komisi Yudisial”, op. cit., hlm. 16.
93
Ibid.; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit.
94
Ibid.; Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang
Komisi Yudisial”, op. cit.

26
pleno DPR. Setelah itu, daftar nama-nama bakal calon diserahkan kepada Presiden untuk
dimintakan pengangkatan. Presiden wajib mengangkat seluruh calon hakim agung yang
diajukan oleh DPR untuk menjadi hakim agung.95

b. Menjaga dan Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat, serta Perilaku Hakim

Selain mempunyai wewenang dalam rekruitmen hakim agung, Pasal 24B Perubahan
Ketiga UUD 1945 juga memberikan wewenang kepada Komisi Yudisial untuk menjaga
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Ada sebagian kalangan yang
menafsirkan bahwa pasal ini juga memberikan wewenang kepada Komisi Yudisial untuk
melakukan promosi dan mutasi hakim,96 pendidikan dan pelatihan hakim,97 dan manajemen
keuangan hakim98 sebagaimana dipraktikkan di beberapa negara. Selain itu, juga berkembang
pemikiran bahwa fungsi utama Komisi Yudisial adalah menyusun code of conduct bagi profesi
hakim.99 Ini berarti bahwa sebenarnya masih belum ada kata sepakat dalam melihat wewenang
yang dapat diperankan oleh Komisi Yudisial. Meskipun demikian, penafsiran yang paling
dekat adalah Komisi Yudisial mempunyai fungsi yang sangat penting dalam hal pengawasan
kepada hakim, yang di beberapa negara, fungsi ini tidak dianggap penting, karena praktik
peradilannya sudah dianggap memenuhi standar, sehingga hakim yang terpilih memang benar-
benar memenuhi persyaratan.100 Dalam konteks ini, Komisi Yudisial hadir sebagai lembaga
yang melakukan rekruitmen dengan cara menjaring orang-orang terbaik untuk menjadi hakim.
Melihat kondisi peradilan Indonesia yang masih carut marut oleh budaya korupsi atau
yang dikenal dengan judicial corruption, sudah sewajarnya apabila Komisi Yudisialnya
mempunyai kewenangan yang ekstensif, sehingga hanya orang yang terbaik saja yang dapat
menjadi hakim dan proses pengawasan juga dapat dilaksanakan sengan sebaik-baiknya untuk
menuju kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari campur tangan kekuasaan lain di
luarnya.
Dengan kewenangan pengawasan yang dimiliki Komisi Yudisial, maka akan ada
beberapa hal positif yang dapat diraih sebagaimana telah dikemukakan dalam bab-bab
terdahulu, yaitu:
95
Ibid.; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm. 21-22.
96
Untuk keperluan fungsi melakukan promosi dan mutasi hakim ini, Mahkamah Agung telah membuat kertas
kerja yang berjudul “Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pembinaan SDM Hakim”, naskah belum diterbitkan,
Jakarta: Mahakamah Agung Republik Indonesia, 2003.
97
Untuk keperluan fungsi pendidikan dan pelatihan hakim ini, Mahkamah Agung telah membuat kertas kerja
yang berjudul “Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pendidikan dan Pelatihan Hakim”, naskah belum diterbitkan,
Jakarta: Mahakamah Agung Republik Indonesia, 2003.
98
Untuk keperluan fungsi manajemen keuangan hakim ini, Mahkamah Agung telah membuat kertas kerja yang
berjudul “Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pengelolaan Keuangan Pengadilan”, naskah belum diterbitkan, Jakarta:
Mahakamah Agung Republik Indonesia, 2003.
99
Di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dikatakan, “Untuk meningkatkan check
and balance terhadap lembaga peradilan antara lain perlu diusahakan agar putusan-putusan pengadilan dapat
diketahui secara terbuka dan transparan oleh masyarakat dan dibentuk Dewan Kehormatan Hakim yang
berwenang mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi dan mutasi serta
menyusun kode etik (code of conduct) bagi para hakim. Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, op. cit.
100
Ibid.

27
1) Adanya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, dan monitoring
ini tidak dilakukan secara internal saja untuk menjaga objektivitasnya.
2) Adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah
(executive power) – dalam hal ini Departemen Kehakiman (dan HAM) – dan
kekuasaan kehakiman (judicial power);
3) Adanya efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya
apabila tidak disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis non-hukum;
4) Adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan akan dinilai
dan diawasi secara ketat oleh sebuah lembaga khusus; dan
5) Pola rekrutmen hakim tidak bias dengan masalah politik, karena lembaga yang
mengusulkan dan merekrutnya bukan lembaga politik.101

Dengan demikian, kewenangan pengawasan terhadap para hakim oleh Komisi Yudisial
dirancang untuk memperoleh beberapa aspek yang sangat penting,102 yakni pertama,
monitoring secara intensif terhadap lembaga peradilan dapat dilakukan dengan cara
melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya
monitoring secara internal saja. Monitoring secara internal dikhawatirkan menimbulkan
semangat korps (esprit de corps), sehingga objektivitasnya sangat diragukan; kedua, adanya
perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen Kehakiman. Dengan
demikian, lembaga peradilan tidak perlu lagi mengurus persoalan-persoalan teknis non-
hukum, karena semuanya telah ditangani oleh Komisi Yudisial. Sebelumnya, lembaga
peradilan harus melakukan sendiri hubungan tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya
hubungan pertanggungjawaban dari lembaga peradilan kepada Departemen Kehakiman.
Hubungan pertanggungjawaban ini menempatkan lembaga peradilan sebagai subordinasi
Departemen Kehakiman yang membahayakan independensinya; ketiga, meningkatnya
efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek, karena tidak lagi disibukkan
dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan aspek hukum seperti rekruitmen dan
monitoring hakim serta pengelolaan keuangan lembaga peradilan. Dengan demikian, lembaga
peradilan dapat lebih berkonsentrasi untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya yang
diperlukan untuk memutus suatu perkara; keempat, terjaganya kualitas dan konsistensi putusan
lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar
independen. Di sini diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi,103

101
A. Ahsin Thohari, “Komisi Yudisial dalam Ketatanegaraan Indonesia”, Majalah Pakar, Volume II, No. 6, Juni
2003, hlm. 42-43.
102
Hal-hal positif tersebut sekaligus menjustifikasi bahwa munculnya gagasan pembentukan Komisi Yudisial
dalam struktur kekuasaan kehakiman merupakan bagian dari paket reformasi peradilan yang mengharuskan
perombakan struktur dan administrasi lembaga peradilan yang selama ini dianggap tidak maksimal. Urgensi
pembentukan Komisi Yudisial semakin nyata dalam negara yang baru lepas dari rezim otiritarian dan sedang
menapaki era demokrasi seperti Indonesia, karena kekuasaan kehakimannya belum menunjukkan kinerja yang
maksimal. Kehadiran Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman telah diterima sebagai gagasan yang
tepat untuk menangani sebagian problem-problemnya. Karena itu, keberadaan Komisi Yudisial di banyak negara
diatur dalam konstitusinya. Ini membuktikan, keberadaan Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman
dinilai mempunyai makna strategis. A. Ahsin Thohari, “Membangun Komisi Yudisial”, Harian Kompas, Edisi
Jumat, 23 Januari 2004, hlm. 4.
103
Hal ini juga menjadi latar belakang dibentuknya Komisi Yudisial (Judicial Servive Commission) di New South
of Wales, salah satu negara bagian Australia. Pembentukan Judicial Servive Commission dilatarbelakangi adanya
tuduhan bahwa seorang hakim bersikap terlalu lunak dalam menjatuhkan putusan atas sejumlah terdakwa yang

28
karena setiap putusan akan dinilai dan diawasi dengan ketat oleh Komisi. Dengan demikian,
putusan-putusan yang dianggap kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat
diminimalisasi kalau bukan dieliminasi; dan kelima, menjauhkan pola rekruitmen hakim dari
bias politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya bukan lembaga politik.
Dengan demikian, politisasi terhadap pencalonan hakim agung dapat diminimalisasi, kalau
bukan dieliminasi.104
Pada tahap selanjutnya, apabila fungsi pengawasan hakim dari Komisi Yudisial
berjalan dengan baik, maka akan diperoleh beberapa capaian positif seperti beberapa hal
sebagai berikut:
1) Meningkatnya pengawasan proses peradilan secara transparan;
2) Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan
terhadap sistem manajemen dan administrasi peradilan secara terpadu;
3) Tersusunnya sistem rekruitmen dan promosi yang lebih ketat;
4) Berkembangnya pengawasan terhadap proses rekruitmen dan promosi; dan
5) Meningkatnya kesejahteraan hakim melalui peningkatan gaji dan tunjangan-
tunjangan lainnya.

Oleh karena itu, proses pelembagaan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan
Indonesia harus dilakukan secermat mungkin agar kehadirannya benar-benar menjadi jalan
keluar bagi buruknya sistem peradilan Indonesia yang telah berlangsung cukup lama.
Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial yang sampai saat ini belum ditetapkan
sebagai undang-undang harus dibuat sebaik dan seideal mungkin. Komisi Yudisial yang ideal
akan menjadi jalan keluar terbaik bagi terciptanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
bebas dari pengaruh kekuasaan lain di luarnya.

diwakili oleh pengacara tertentu. Tuduhuan tersebut mengungkapkan adanya ketidakadilan dalam penjatuhan
putusan. Selanjutnya, bocornya sebuah laporan yang berkaitan dengan administrasi peradilan semakin
meresahkan masyarakat. Laporan ini kemudian dikenal dengan The Vinson Report. Di samping berkaitan erat
dengan tuduhan terhadap pejabat kehakiman tersebut, laporan yang kemudian dikenal dengan The Vinson Report
juga merekomendasikan beberapa hal, yaitu (1) pembentukan sebuah sistem informasi peradilan yang seimbang;
(2) pembentukan sebuah dewan putusan untuk mengawasi praktek-praktek penghukuman dan pengembangan
panduan penghukuman meskipun sifatnya tidak mengikat khususnya atas putusan dan pemidanaan yang sering
terjadi; (3) pembentukan sebuah dewan etik yang mengatur dan menjalankan audit sistematis terhadap
pelaksanaan peradailan pidana; dan (4) pengembangan metode pengumpulan dan penyebaran statistik peradilan.
Ernest Schmatt, “Implementation of Judicial Commission in New South Wales as a Comparative Perspective for
the Establishment of Judicial Commission in Indonesia”, Makalah disampikan dalam Seminar Sehari Komisi
Yudisial, diselenggarakan kerja sama antara Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI dengan
Australian Legal Resources International, Jakarta, 24 Juli 2002, hlm. 1-2. Oleh karena itu, Komisi Yudisial di
New South of Wales mempunyai fungsi sebagai pemberi bantuan kepada pengadilan-pengadilan untuk menjaga
konsistensi putusan, mengkoordinir pelaksanaan pendidikan dan latihan bagi para hakim, menerima dan
memproses pengaduan atau laporan tentang perbuatan pejabat pengadilan, dan memberikan masukan-masukan
kepada Jaksa Agung. Ernest Schmatt, “The Role and Functions of the Judicial Commission in New South
Wales”, Makalah disampikan dalam Judicial Commission Workshop, Jakarta, 20 Maret 2001, hlm. 1. Oleh karena
itu, dalam Judicial Officers Act 1986 No 100 Article 8 Sentencing disebutkan, “(1) The Commission may, for the
purpose of assisting courts to achieve consistency in imposing sentences: (a) monitor or assist in monitoring
sentences imposed by courts, and (b) disseminate information and reports on sentences imposed by courts; (2)
Nothing in this section limits any discretion that a court has in determining a sentence; (3) In this section,
sentence includes any order or decision of a court consequent on a conviction for an offence or a finding of guilt
in respect of an offence”. Parliamentary Counel’s Office, New South Wales, Judicial Officers Act 1986 No. 100.
104
Thohari, “Komisi Yudisial...”, loc. cit.; Thohari, “Membangun...”, loc. cit.

29
1) Pengawasan dan Pendisiplinan Hakim

Dalam hukum positif Indonesia, ada dua lembaga yang memiliki kewenangan untuk
melakukan fungsi pengawasan terhadap hakim. Pertama, Menteri yang terkait dengan hakim
tersebut, yaitu Menteri Kehakiman (dan HAM),105 Menteri Pertahanan,106 dan Menteri
Agama.107 Beberapa undang-undang yang mengaturnya menyatakan bahwa pembinaan
organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan dilakukan oleh menteri terkait atau
Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk Pengadilan Militer.
Kedua, Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung memegang kewenangan tertinggi di bidang pengawasan atas peradilan dan
tingkah laku hakim dalam menjalankan tugas di seluruh tingkatan peradilan. Aspek yang
diawasi oleh Mahkamah Agung biasa disebut sebagai aspek teknis yudisial. Dalam melakukan
kewenangannya, Mahkamah Agung dapat melakukan tindakan-tindakan seperti meminta
keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan, memberi petunjuk,
teguran atau peringatan yang dianggap perlu, dan lain-lain.108

105
Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
op. cit.; Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Republik Indonesia,
Undang-undang tentang Peradilan Umum, op. cit. ; Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Republik Indonesia, Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, UU No. 5 Tahun 1986, LN No. 77 Tahun 1986, TLN No. 3344. Rancangan Undang-Undang tentang
perubahan terhadap Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; Undang-
undang tentang Peradilan Umum; Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Undang-Undang
tentang Kejaksaan; dan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung telah dipersiapkan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat.
106
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Republik Indonesia, Undang-
undang tentang Peradilan Militer, UU No. 31 Tahun 1997, LN No. 84 Tahun 1997.
107
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Republik Indonesia, Undang-undang tentang
Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989, LN No. 49, Tahun 1989, TLN No. 3400.
108
Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman menyatakan, “Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan yang
lain, menurut ketentuan yang ditetapkan dengan undang-undang”. Pasal ini diberi penjelasan bahwa “Pengawasan
tertinggi terhadap pengadilan dalam semua lingkungan peradilan ditetapkan dalam undang-undang tersendiri.
Ratio untuk menentukan ini adalah aspek-aspek khusus dari masing-masing lingkungan peradilan baik dalam
bidang persoalan maupun dalam bidang mengenai orang-orangnya, baik dalam hukum materiil maupun formil
yang diterapkannya. Kesemuanya itu perlu mendapatkan perhatian dari masing-masing undang-undang yang
berlaku”. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, op.
cit. Sedangkan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan: (1)
Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan
peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman; (2) Mahakamah Agung mengawasi tingkah laku dan
perbuatan para Hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya; (3) Mahkamah Agung
berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua
Lingkungan Peradilan; (4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, tegoran, atau peringatan yang
dipandang perlu kepada Pengadilan di semua lingkungan Peradilan; dan (5) Pengawasan dan kewenangan
sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Agung, op. cit.

30
Menurut catatan Mahkamah Agung, sistem pengawasan terhadap hakim dan hakim
agung serta aparat pengadilan lainnya yang dijalankan oleh Mahkamah Agung pada masa lalu
memiliki sejumlah kelemahan sebagai berikut:
a) Kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Kesimpulan ini diambil dari tidak
adanya mekanisme yang memberikan hak bagi pelapor untuk mengetahui progress
report dari laporan yang dimasukkan. Selain itu, akses masyarakat terhadap proses
serta hasil pengawasan juga sulit dilakukan. Kenyataan ini jelas bertentangan
dengan beberapa ketentuan internasional;
b) Adanya semangat korps yang menyebabkan pengawasan yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung tidak efektif. Keengganan korps hakim untuk mengangkat
kasus-kasus yang melibatkan anggotanya secara tidak langsung telah menyuburkan
praktik-praktik tidak baik di peradilan.109
c) Kurang lengkapnya metode pengawasan dan tidak dijalankannya metode
pengawasan yang ada secara efektif;
d) Lemahnya sumber daya manusia (SDM). Penentuan seseorang menjadi pengawas
tidak diatur dalam mekanisme yang jelas. Di dalam Mahkamah Agung, seluruh
Ketua Muda dan Hakim Agung secara ex officio menjadi pengawas. Selain itu,
pengawas hanya bekerja paruh waktu saja, karena tugas utamanya adalah memutus
perkara;
e) Pengawasan yang berjalan selama ini kurang melibatkan partisipasi masyarakat.
Meskipun sebenarnya Mahkamah Agung memiliki sarana untuk merangsang
partisipasi masyarakat, tetapi, Mahakamah Agung belum mengoptimalkan sarana
tersebut, misalnya keberadaan Kotak Pos 1992 yang tidak disosialisasikan dengan
baik; dan
f) Rumitnya birokrasi yang harus dilalui untuk melaporkan atau mengadukan perilaku
hakim yang menyimpang. Setiap surat pengaduan dari masyarakat harus melalui
Bagian Tata Usaha Mahakamah Agung yang kemudian diteruskan kepada pihak
terkait. Selain itu, tidak ada sistem prioritas dalam menangani surat pengaduan
masyarakat.110

Semenjak tahun 2001, sempat mengemuka beberapa pemikiran dan langkah yang
diambil Mahkamah Agung untuk melakukan pembenahan terhadap sistem pengawasan.
Beberapa pemikiran tersebut meliputi beberapa hal sebagai berikut:
a) Dibentuknya organ baru, yaitu Ketua Muda MA RI Urusan Pengawasan dan
Pembinaan (TUADA WASBIN) untuk menggantikan organ pengawasan yang
lama.
b) Memperbaiki sistem pengawasan, misalnya dengan mengedepankan prinsip
transparansi, lebih memperhatikan hak-hak pelapor, memberitahukan kepada
pelapor secepatnya atas hasil pemeriksaan dan pemberian batas waktu pemeriksaan
(tiga bulan), perbaikan metode pengawasan, menerapkan sistem reward and
109
Sinyalemen ini pernah disebutkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Lihat Badan Pemeriksa Keuangan dan
Pembangunan, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan dan
Pembangunan, 1999.
110
Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi
Yudisial”, op. cit., hlm. 21-22; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), op. cit., hlm.
26-27.

31
punishment, pemberian kesempatan kepada kalangan non-hakim untuk duduk di
lembaga pengawas internal, dan lain-lain;
c) Pembentukan Tim Ad Hoc yang melibatkan pihak luar untuk memeriksa kasus-
kasus tertentu yang kontroversial; dan
d) Penerapan aturan yang lebih ketat bagi hakim agung, hakim, dan pegawai
Mahkamah Agung dalam menerima tamu yang terkait dengan perkara kecuali
urusan administratif.111

Terdapat kelemahan fundamental pada masa lalu berkaitan dengan pendisiplinan


hakim yang meliputi:
a) Adanya dugaan membela semangat korps, karena komposi Majelis Kehormatan
Hakim dan Majelis Kehormatan Hakim Agung hanya terdiri dari kalangan hakim
saja;
b) Kurang lengkapnya hukum acara mengenai proses pemeriksaan dalam Majelis
Kehormatan Hakim dan Majelis Kehormatan Hakim Agung, sehingga
menimbulkan ketidakjelasan pada tingkat implementasinya;
c) Kurangnya transparansi dan akuntabilitas publik hasil-hasil yang diperoleh Majelis
Kehormatan Hakim dan Majelis Kehormatan Hakim Agung.112

2) Fungsi, Tugas, Wewenang, dan Kewajiban Komisi Yudisial dalam Rancangan


Undang-Undang tentang Komisi Yudisial

Setelah melihat beberapa kelemahan pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman yang


terjadi selama ini, Komisi Yudisial diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan
tersebut.113 Untuk melaksanakan tugas-tugasnya, Komisi Yudisial diberikan seperangkat
kewajiban dan wewenang. Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial versi
Mahkamah Agung membedakan beberapa istilah, seperti Fungsi, Tugas, Kewajiban, dan
Wewenang Komisi Yudisial. Empat istilah tersebut akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini.114

a) Fungsi Komisi Yudisial


111
Ibid., hlm. 27-28; Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang
tentang Komisi Yudisial, op. cit., hlm. 22-23. Selain itu, tidak ada kewajiban bagi Majelis Kehormatan Hakim dan
Majelis Kehormatan Hakim Agung untuk mempublikasikan hasil pemeriksaannya. Hal ini bertentangan dengan
beberapa ketentuan internasional sebagaiman telah dikemukakan dalam Bab II.
112
Ibid.
113
Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas para hakim agung, perlu diatur
adanya dua jenis pengawasan, yaitu pengawasan internal yang dilakukan oleh Badan Pengawas pada Mahkamah
Agung. Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas ini bersifat internal dan berfungsi sebagai pengawas
terhadap pelaksanaan tugas-tugas peradilan di semua tingkatan dan di seluruh wilayah hukum peradilan Republik
Indonesia. Sedangkan pengawasan yang bersifat eksternal dilakukan oleh sebuah komisi independen yang
dinamakan Komisi Yudisial. Keberadaan lembaga pengawas eksternal ini penting agar proses pengawasan benar-
benar objektif untuk kepentingan pengembangan sistem peradilan yang bersih, efektif dan efisien. Agar Komisi
Yudisial ini dapat benar-benar bersifat independen, maka administrasi komisi ini sebaiknya tidak dikaitkan
dengan organisasi Mahkamah Agung, tetapi sebaiknya dengan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian
pula mengenai anggaran Komisi Yudisial sebaiknya tidak dimasukkan dalam satu pos anggaran Mahkamah
Agung, tetapi dalam pos anggaran Dewan Perwakilan Rakyat. Jimly Asshiddiqie, “Kekuasaan Kehakiman di
Masa Depan” <http://www.theceli.com/ dokumen/jurnal/jimly/j002.shtml>, diakses pada 29 Januari 2004.
114
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis..., op. cit., hlm. 71.

32
Pasal 5 Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung
menyebutkan bahwa Komisi Yudisial mempunyai dua fungsi utama, yaitu (1) mengusulkan
pengangkatan hakim agung; dan (2) menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim. Ketentuan ini tampaknya langsung diadopsi dari ketentuan Pasal 24B
Perubahan Ketiga UUD 1945 tanpa memerinci lagi istilah “wewenang lain” yang terdapat di
dalamnya.115

b) Tugas Komisi Yudisial

Pasal 6 ayat (1) Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial versi Mahkamah
Agung menyebutkan bahwa Komisi Yudisial dalam rangka menjalankan fungsi mengusulkan
pengangkatan hakim agung mempunyai tugas sebagai berikut:
(1) Menjaring usulan nama-nama bakal calon hakim agung yang berasal dari
Mahkamah Agung, masyarakat, dan Komisi;
(2) Melakukan proses seleksi terhadap nama-nama bakal calon hakim agung yang
diusulkan; dan
(3) Menetapkan dan mengusulkan nama-nama bakal calon hakim agung yang telah
lolos seleksi kepada Dewan Perwakilan Rakyat.116

Sementara itu, dalam rangka menjalankan fungsi menjaga, menegakkan kehormatan,


keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas sebagai berikut:
(1) Melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim di dalam dan di luar kedinasan
dan merekomendasikan atau menjatuhkan sanksi terhadap hakim yang melakukan
pelanggaran berdasarkan Undang-Undang ini;
(2) Memberikan rekomendasai kepada instansi yang berwenang berkaitan dengan
peningkatan kesejahteraan hakim serta pemberian penghargaan, gelar, tanda jasa
dan tanda kehormatan kepada hakim;
(3) Memberikan pelayanan informasi mengenai aturan perilaku hakim berdasarkan
peraturan perundang-undangan; dan
(4) Memberikan masukan dan pertimbangan kepada MA serta lembaga negara
lainnya dalam rangka menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim.117

c) Kewajiban Komisi Yudisial

Pasal 8 ayat (1) Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial versi Mahkamah
Agung menyatakan bahwa dalam rangka menjalankan tugas menjaring usulan nama-nama
bakal calon hakim agung yang berasal dari Mahkamah Agung, masyarakat, dan Komisi
Yudisial sebagimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, Komisi Yudisial berkewajiban
untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut:
(1) Mengundang partisipasi masyarakat dan meminta Mahkamah Agung untuk
mengusulkan bakal calon hakim agung;

115
Ibid.
116
Ibid.
117
Ibid., Pasal 7.

33
(2) Meminta kesediaan bakal calon untuk memenuhi persyaratan administratif yang
ditentukan;
(3) Menseleksi pemenuhan persyaratan administratif bakal calon dan
mempublikasikan nama-nama bakal calon yang telah memenuhi syarat
administratif tersebut kepada masyarakat.118

Kewajiban tersebut dilakukan dengan cara mengumumkan perihal seleksi hakim agung
melalui media massa berskala nasional, disertai dengan jumlah dan spesifikasi keahlian calon
hakim agung yang dibutuhkan sesuai dengan sistem kamar (Pasal 8 ayat [2]).119
Dalam rangka menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf b, Komisi Yudisial juga mempunyai kewajiban untuk: (1) melakukan klarifikasi
terhadap integritas dan kualitas bakal calon berdasarkan persyaratan yang diajukan bakal
calon, informasi yang dimiliki Komisi Yudisial sendiri, serta laporan masyarakat dalam waktu
yang memadai; dan (2) Menyelenggarakan uji kelayakan dan kepatutan secara terbuka
terhadap bakal calon dalam waktu yang memadai (Pasal 9).120
Dalam rangka menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf c, Komisi Yudisial berkewajiban untuk memberikan penilaian secara terbuka terhadap
masing-masing calon hakim agung dengan disertai alasan yang jelas (Pasal 10).121
Komisi Yudisial juga wajib untuk: (1) Melakukan pengamatan secara rutin terhadap
perilaku hakim; (2) Mengundang, menerima, dan memproses laporan masyarakat; (3)
Menginformasikan perkembangan laporan kepada pelapor; (4) Menjamin kerahasiaan identitas
pelapor berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (5) Menindaklanjuti segala
temuan atau informasi yang berkaitan dengan pelanggaran perilaku hakim dengan pencarian
fakta; dan (6) Mengadakan pemeriksaan terhadap hakim yang diduga melakukan pelanggaran
(Pasal 11 ayat [1]).122
Pengamatan dilakukan oleh Komisi Yudisial melalui kunjungan ke pengadilan,
pengamatan pemberitaan dan laporan periodik pengadilan serta meminta informasi dari
pengguna jasa pengadilan (Pasal 11 ayat [2]). Komisi Yudisial berkewajiban menyediakan
sarana dan prasarana pendukung dalam menerima laporan dari masyarakat (Pasal 11 ayat [3]).
Laporan masyarakat harus disertai dengan alasan dan identitas pelapor yang mengusulkan
secara jelas (Pasal 11 ayat [4]).123

d) Wewenang Komisi Yudisial

Pasal 12 Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung


menyatakan bahwa Komisi Yudisial berwenang menseleksi usulan nama-nama bakal calon
hakim agung dari masyarakat berdasarkan persyaratan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 8
ayat (4). Sedangkan Pasal 13 menyatakan sebagai berikut:
Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b,
Komisi berwenang untuk:
118
Ibid.
119
Ibid.
120
Ibid.
121
Ibid.
122
Ibid.
123
Ibid.

34
(1) Meminta kesediaan bakal calon untuk menyerahkan persyaratan administrasi sebagai
berikut:
(a) Daftar seluruh harta kekayaan bakal calon dan keluarga inti serta penjelasan
mengenai sumber pemasukan bakal calon dan keluarga intinya;
(b) Riwayat hidup, termasuk riwayat pekerjaan, pendidikan dan pengalaman organisasi;
(c) Salinan putusan bakal calon yang berasal dari hakim setidaknya 5 (lima) putusan
yang terakhir diputus;
(d) Seluruh pembelaan atau tuntutan atau karya ilmiah atau hasil kerja intelektual lain
yang dibuat bakal calon selama dua (2) tahun terkhir, yaitu bagi bakal calon yang
berasal dari advokat, jaksa, dan akademisi atau profesi di bidang hukum lainnya;
(e) Paper atau tulisan dengan topik tertentu;
(f) Hal-hal lain yang dianggap perlu selama tidak bertentangan dengan undang-undang.
(2) Memanggil dan meminta keterangan kepada pihak lain untuk mendapatkan informasi
mengenai bakal calon;
(3) Memeriksa dan mengklarifikasi kekayaan bakal calon dihubungkan dengan sumber-
sumber pendapatan, data perpajakan, data perbankan, data Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara (KPKPN), data pertanahan, dan data-data lain yang dianggap
perlu;
(4) Mengkaji hasil kerja dan pemikiran bakal calon;
(5) Memanggil bakal calon yang bersangkutan untuk mengklarifikasi integritas bakal calon;
(6) Mengajukan pertanyaan pada tahap uji kelayakan dan kepatutan mengenai integritas,
kualitas, dan pandangan bakal calon terhadap isu-isu hukum dan keadilan tertentu dengan
tetap menghargai harkat dan mertabat bakal calon.124

Sedangkan Pasal 14 menyatakan bahwa dalam rangka menjalankan tugas melakukan


pengawasan terhadap perilaku hakim, Komisi Yudisial berwenang untuk melakukan beberapa
hal sebagai berikut:
(1) Memanggil dan meminta keterangan dari pelapor;
(2) Menilai kelayakan suatu laporan dari masyarakat;
(3) Memanggil dan meminta keterangan dari pihak-pihak yang dianggap memiliki
informasi yang mendukung upaya pencarian fakta;
(4) Melakukan tindakan penjebakan ;
(5) Meminta data laporan periodik pengadilan;
(6) Membuka catatan persidangan;
(7) Menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertutup dan terbuka beserta alasannya;
(8) Mengusulkan penjatuhan sanksi sedang dan berat kepada pejabat yang berwenang
beserta alasannya.125

C. Keorganisasian Komisi Yudisial di Indonesia

1. Status Kelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia

124
Ibid.
125
Ibid.

35
Persoalan status kelembagaan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan
Indonesia sampai saat penelitian ini dilakukan belum sepenuhnya jelas. Pasal 24B Perubahan
Ketiga UUD 1945 hanya menyatakan bahwa Komisi Yudisial “bersifat mandiri”. Hal ini tidak
memberikan pengertian yang berarti pada status kelembagaannya. Oleh karena itu, sebaiknya
Undang-Undang Komisi Yudisial di masa yang akan datang memberikan kejelasan terhadap
status kelembagaan Komisi Yudisial. Akan tetapi, tampaknya Rancangan Undang-Undang
(RUU) Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung tidak memberikan kejelasan status
kelembagaan Komisi Yudisial.126
Struktur ketatanegaraan Indonesia setelah terjadi perubahan terhadap UUD 1945
berubah secara radikal apabila dibandingkan dengan sebelum perubahan.127 Oleh karea itu,
sebelum membahas status kelembagaan Komisi Yudisial lebih lanjut, peneliti terlebih dahulu
akan membahas struktur kekuasaan kehakiman Indonesia setelah perubahan terhadap UUD
1945 yang sampai empat kali.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, Bab IX UUD 1945 tentang Kekuasaan
Kehakiman setelah Perubahan Ketiga berubah secara mendasar. Ada empat perubahan penting
dalam struktur kekuasaan kehakiman di Indonesia setelah Perubahan Ketiga UUD 1945.
Pertama, apabila sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945 jaminan kekuasaan
kehakiman yang merdeka hanya terdapat dalam Penjelasannya, maka setelah perubahan
jaminan tersebut secara eksplisit disebutkan dalam batang tubuh. Kedua, Mahkamah Agung
dan lain-lain badan kehakiman tidak lagi menjadi satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman
(judicial power), karena di sampingnya ada Mahkamah Konstitusi yang juga berfungsi sebagai
pelaku kekuasaan kehakiman. Ketiga, adanya lembaga baru yang bersifat mandiri dalam
struktur kekuasaan kehakiman, yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan
pengangkatan128 hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keempat, adanya
wewenang kekuasaan kehakiman – dalam hal ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi –
untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD), memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemiliham umum (pemilu).
Menurut Jimly Asshiddiqie, Komisi Yudisial memang tidak menjalankan fungsi
kekuasaan kehakiman, tetapi keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan kehakiman.
Keberadaannya terkait dengan jabatan hakim yang merupakan jabatan kehormatan yang harus

126
Sejauh yang berkaitan dengan status kelembagaan Komisi Yudisial, tampaknya Rancangan Undang-Undang
tentang Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung tidak memberikan ketantuan yang komprehensif. Pasal 3 hanya
menyatakan, “Komisi adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam menjalankan tugasnya bebas dari
campur tangan kekuasaan lainnya”. Menurut peneliti, ketentuan ini kurang memberikan penjelasan terhadap
status kelembagaan Komisi Yudisial. Oleh karena itu, sebaiknya pasal ini memberi ketentuan yang tegas bahwa
Komisi Yudisial merupakan lembaga tinggi negara setingkat Presiden. Penegasan ini dapat berfungsi sebagai
penafsiran atas Pasal 24B UUD 1945 yang tidak membuat rumusan komprehensif tentang status kelembagaan
Komisi Yudisial.
127
Setelah disahkannya Perubahan Keempat UUD 1945 pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Tahun 2002, agenda reformasi konstitusi Indonesia untuk kurun waktu sekarang ini dipandang telah tuntas.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan..., op. cit., hlm. 74.
128
Pengangkatan hakim agung oleh lembaga non-politik, yaitu Komisi Yudisial, sejalan dengan pernyataan K.
Marks, “Ideally, appoinment should be by politically neutral bodies who consider the training and suitability of
candidates for judicial office....” K. Marks, “Judicial Independence”, dalam Australian Law Journal, Vol. 68, No.
94, hlm. 173.

36
dijaga dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang bersifat mandiri yang bernama
Komisi Yudisial.129
Dewasa ini terjadi suatu perkembangan yang menarik dalam ketatanegaran modern,
yaitu munculnya lembaga-lembaga negara mandiri (state auxiliaries institutions) dalam
struktur ketatanegaraannya. Lembaga-lembaga ini biasanya namanya diawali dengan kata
“komisi”. Dalam konteks Indonesia, ada beberapa lembaga yang diawali dengan nama komisi
selain Komisi Yudisial (KY), yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan), Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN),130
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi
Ombudsman Nasional (KON), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), Komisi Kepolisian Nasional (KKN), Komisi
Konstitusi (KK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (Komnas Anak).131 Akan tetapi, peraturan-perundang-undangan tidak mengatur
lebih lanjut status kelembagaan komisi-komisi tersebut dalam struktur ketatanegaraan.
Selanjutnya peneliti akan mengkaji status kelembagaan Komisi Yudisial dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia. Untuk memperoleh kejelasan status kelembagaan Komisi Yudisial
ada baiknya mengikuti alur pemikiran Jimly Asshiddiqie mengenai struktur hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia setelah terjadinya perubahan terhadap UUD 1945. Menurut
Asshiddiqie, struktur hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia setelah terjadinya
perubahan terhadap UUD 1945 dibagi sebagai berikut:
a. Peraturan Perundang-undangan yang Bersifat Umum:
1) Undang-Undang Dasar dan Perubahan Undang-Undang Dasar.
2) Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang serta peraturan
lain yang setingkat Undang-Undang, yaitu Ketetapan MPR dan MPRS yang bersifat
mengatur (regels).
3) Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.
4) Peraturan Menteri atau Pejabat Setingkat Menteri.
5) Peraturan Daerah Provinsi.
6) Peraturan Gubernur.
7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
8) Peraturan Bupati/Walikota.
b. Peraturan Perundang-undangan yang Bersifat Khusus:
1) Peraturan Lembaga-lembaga Negara (Lembaga Tinggi Negara) Setingkat Presiden:
a) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat.
b) Peraturan Dewan Perwakilan Daerah.
c) Peraturan Mahkamah Konstitusi.
d) Peraturan Mahkamah Agung.

129
Jimly Asshiddiqie, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945”,
Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003,
hlm. 32.
130
Dalam perkembangannya, karena satu dan lain hal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
(KPKPN) ini dilikuidasi seiring dengan kemunculan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK).
131
Tentang hal ini lihat K02/Bdm, “Eksistensi Komisi di tengah Lemahnya Kepemimpinan”, Harian Kompas,
Rabu, 28 Januari 2004.

37
e) Peraturan Komisi Yudisial.
f) Peraturan Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan.
2) Peraturan Lembaga Pemerintahan yang Bersifat Khusus (Independen):
a) Peraturan Bank Indonesia.
b) Peraturan Kejaksaan Agung.
c) Peraturan Tentara Nasional Indonesia.
d) Peraturan Kepolisian Republik Indonesia.
3) Peraturan Lembaga Khusus yang Bersifat Independen.
1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
2) Peraturan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
3) Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
4) Dll.132

Dengan keterangan di atas, menjadi jelas bahwa Komisi Yudisial termasuk ke dalam
lembaga tinggi negara setingkat Presiden dan bukan lembaga pemerintahan yang bersifat
khusus atau lembaga khusus yang bersifat independen yang dalam istilah lain disebut lembaga
negara mandiri (state auxiliary institution). Dengan demikian, status kelembagaan Komisi
Yudisial adalah sebagai lembaga tinggi negara yang setingkat dengan Presiden. Komisi
Yudisial tidak sama dengan, misalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan komisi-komisi lainnya, karena
dua alasan sebagai berikut:
a. Berbeda dengan komisi-komisi yang lain, kewenangan Komisi Yudisial diberikan
langsung oleh UUD 1945, yaitu Pasal 24B;133 dan
b. Berbeda dengan komisi-komisi yang lain, Komisi Yudisial secara tegas dan tanpa
keraguan merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman, karena pengaturannya ada
dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman yang terdapat dalam UUD 1945.134

132
Ibid.; Jimly Asshiddiqie, “Perspektif tentang Format Kelembagaan dan Peraturan Republik Indonesia di Masa
Depan”, Makalah disampaikan dalam Lokakarya Program Legislasi Nasional, diselenggarakan oleh Komisi
Hukum Nasional bekerja sama dengan Universitas Taruma Negara, Jakarta, 29 Juli, 2002, hlm. 6-7. Struktur
hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang dikemukakan Asshiddiqie ini tampak lebih logis,
komprehensif, dan teratur apabila dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Ketetapan MPR Nomor
XX/MPRS/1966 yang diperbaiki dengan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan. Uraian mengenai peraturan perundang-undangan di Indonesia sebelum
adanya perubahan terhadap UUD 1945 dapat dibaca dalam Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Peraturan
Perundang-undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: CV Armico, 1987; Bagir Manan,
Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, disunting oleh Mashudi dan Kuntana Magnar, Cet. I,
Bandung: CV Mandar Maju, 1995, hlm. 17-41; Rusminah, “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”,
dalam Padmo Wahjono, ed., Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984,
hlm. 143-154.
133
Komisi pemilihan umum juga mempunyai kewenangan yang diberikan langsung oleh UUD 1945, yaitu Pasal
22E ayat (5), tetapi komisi pemilihan umum yang dimaksud dalam pasal tersebut bukan sebuah nama permanen.
Buktinya penulisannya tidak dengan huruf kapital, yang menunjukkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan
oleh suatu komisi pemilihan umum apa pun nama lembaganya.
134
Selain Komisi Yudisial, semua lembaga yang diawali dengan kata komisi belum jelas status kelembagaannya,
karena peraturan perundang-undangan memang tidak memberikan keterangan mengenai hal ini. Oleh karena itu,
ada pendapat yang mengatakan bahwa komisi-komisi tersebut berada dalam ranah kekuasaan yang semi eksekutif
sekaligus semi legislatif. Akan tetapi, komisi-komisi yang dibentuk dengan sebuah Keputusan Presiden

38
Oleh karena itu, setelah terjadi perubahan UUD 1945 struktur ketatanegaraan
Indonesia berubah secara signifikan, karena ada lembaga-lembaga baru, seperti Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY), tetapi ada
juga lembaga yang dibubarkan yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Sebelum terjadi
perubahan terhadap UUD 1945 struktur ketatanegaraan Indonesia biasanya digambarkan
dalam bagan sebagai berikut:

Bagan 4.6. Struktur Ketatanegaraan Indonesia


Sebelum Perubahan UUD 1945135

MPR

BPK DPR Presiden DPA MA

Keterangan: MPR (Majeleis Permusyawaratan Rakyat), BPK (Badan Pemeriksa Keuangan),


DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPA (Dewan Pertimbangan Agung), MA
(Mahkamah Agung).

Bagan di atas menunjukkan bahwa struktur ketatanegaraan Indonesia menurut UUD


1945 (sebelum perubahan) terdiri dari beberapa fungsi, yaitu pertama, legislatif yang
dijalankan oleh DPR dan Presiden; kedua, eksekutif yang dijalankan oleh Presiden; ketiga,
yudikatif yang dijalankan oleh MA; keempat, inspektif yang dijalankan oleh MA; dan kelima,
konsultataif yang dijalankan oleh DPA. Bagan di atas juga menunjukkan adanya hubungan
kekuasaan dan hubungan tata kerja antara Mejelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai
lembaga tertinggi negara (supreme body) dengan lembaga tinggi negara yang terdiri dari
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan
Pertimbangan Agung (DPA), dan Mahkamah Agung (MA) di satu pihak; dan hubungan antar-
lima lembaga-lembaga tinggi negara.136
Setelah terjadi perubahan terhadap UUD 1945, struktur ketatanegaraan Indonesia
berubah secara radikal. Secara lengkap struktur ketatanegaraan Indonesia setelah terjadi
perubahan UUD 1945 dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:

sebenarnya lebih dekat untuk dikatakan sebagai bagian dari ranah kekuasaan eksekutif meskipun barangkali
mempunyai tugas-tugas yang bersifat legislatif juga.
135
Lihat misalnya Sri Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara, Cet. I, Bandung: Alumni, 1992, hlm.
94.
136
Ibid.

39
Bagan 4.7. Struktur Ketatanegaraan Indonesia
Setelah Perubahan UUD 1945

UUD 1945

BPK DPR MPR DPD Presiden MK MA KY

Wakil Presiden

Keterangan: BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), MPR
(Majelis Permusyawaratan Rakyat), DPD (Dewan Perwakilan Daerah), MK
(Mahkamah Konstitusi), MA (Mahkamah Agung), dan KY (Komisi Yudisial).

Setelah terjadi perubahan UUD 1945, terdapat tiga lembaga baru yang sebelumnya tidak
dikenal, yaitu Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.137
Sementara itu, Dewan Pertimbangan Agung yang sebelum perubahan UUD 1945 termasuk
lembaga tinggi negara, kini setelah perubahan UUD 1945 eksistensinya dihilangkan sama
sekali dari struktur ketatanegaraan Indonesia.138

2. Keanggotaan Komisi Yudisial di Indonesia

Pasal 15 (ayat) Rancangan Undang-Undang tentang Komis Yudisial versi Mahkamah


Agung menyatakan bahwa Komisi Yudisial terdiri dari seorang Ketua merangkap anggota,

137
Menurut Jimly Asshiddiqie, dibentuknya Komisi Yudisial ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan
keluhuran martabat, kewibawaan dan kehormatan hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan
berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan dapat
diwujudkan sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun
dari segi etika. Untuk itu, diperlukan institusi pengawasan yang independen terhadap para hakim itu sendiri.
Karena itu, institusi pengawasan itu dibentuk di luar struktur Mahkamah Agung, melalui mana aspirasi warga
masyarakat di luar struktur resmi dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan para hakim agung serta dilibatkan
pula dalam proses penilaian terhadap etika kerja dan kemungkinan pemberhentian para hakim karena pelanggaran
terhadap etika itu. Karena itu, pengertian independensi di sini haruslah dipahami dalam arti bebas dari intervensi
kepentingan para hakim yang kewibawaannya sendiri perlu dijaga oleh Komisi Yudisial ini. Jimly Asshiddiqie,
Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Cet. II, Jakarta: Yarsif Watampone, 2003, hlm. 54-
55.
138
Sebelum perubahan UUD 1945 dilakukan, wacana mengenai penghapusan Dewan Pertimbangan Agung ini
pernah dikemukakan oleh Harun Alrasid. Menurutnya, berdasarkan praktik ketatanegaraan Indonesia sejak tahun
1945 sampai tahun 1949, dapat ditarik kesimpulan bahwa Dewan Pertimbangan Agung merupakan lembaga
negara yang tidak diperlukan. Munculnya Dewan Pertimbangan Agung sejak 1959 disebabkan berlakunya UUD
baru, yaitu UUD 1945, yang tidak berdasarkan kondisi tahun 1959, tetapi berdasarkan kondisi lima belas (15)
tahun sebelumnya. Lihat misalnya Harun Alrasid, Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR,
Revisi Cet. I, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesian [UI-Press], 2003, hlm. 44.

40
seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 5 (lima) orang anggota. Sedangkan ayat (2)
menyatakan Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh anggota yang kemudian ditetapkan
oleh Presiden.
Dengan demikian, anggota Komisi Yudisial menurut Rancangan Undang-Undang
tentang Komisi Yudisial tersebut terdiri dari 7 orang anggota. Jumlah ini tergolong kecil
apabila dibandingkan dengan negara-negara yang telah disebut dalam Bab III. Tidak jelas
mengapa angka ini yang menjadi pilihan dari perancang Rancangan Undang-Undang tentang
Komisi Yudisial tersebut. Padahal, kalau melihat di beberapa negara Uni Eropa, jumlah
anggota Komisi Yudisial berkisar antara 8 (delapan) anggota sampai 24 (dua lupuh empat)
anggota. Swedia tercatat sebagai negara yang jumlah anggota Komisi Yudisialnya paling
sedikit, yaitu 8 (delapan) anggota. Sementara itu, Italia merupakan negara yang tercatat
sebagai negara yang anggota Komisi Yudisialnya terbanyak, yaitu 24 (dua puluh empat)
anggota.139
Menurut peneliti, sebaiknya jumlah anggota Komisi Yudisial di Indonesia tidak jauh
berbeda dengan negara-negara yang telah disebut di atas, karena telah mempunyai pengalaman
dan sejarah yang lebih panjang daripada Indonesia. Tentu saja dalam hal ini harus
mempertimbangkan aspek-aspek partikular sesuai dengan kebutuhan yang sedang dihadapi
Indonesia.

3. Tempat Kedudukan Komisi Yudisial di Indonesia

Pasal 3 Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung


menyatakan bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam
menjalankan tugasnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Menurut peneliti,
ketentuan ini kurang memberikan penjelasan terhadap status kelembagaan Komisi Yudisial.
Oleh karena itu, sebaiknya pasal ini memberi ketentuan yang tegas bahwa Komisi Yudisial
merupakan lembaga tinggi negara setingkat Presiden sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Sementara itu, Pasal 3 ayat (2) Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial
versi Mahkamah Agung menyatakan bahwa Komisi Yudisial berkedudukan di Ibukota Negara
Republik Indonesia140 dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsinya di
daerah, Komisi Yudisial dibantu oleh perwakilan Komisi Daerah.
Menurut peneliti, tidak ada yang perlu dikritisi dari ketentuan ini, karena idealnya
memang Komisi Yudisial harus mempunyai perwakilan di daerah mengingat wewenangnya
139
Lihat Wim Voermans, Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa [Council for the Judiciary in EU
Countries], diterjemahkan oleh Adi Nugroho dan M. Zaki Hussein, Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk
Independensi Peradilan-LeIP, 2002, hlm. 11-15.
140
Menurut Jimly Asshiddiqie, Komisi Yudisial sebaiknya berkedudukan hanya di Jakarta, dan keanggotaannya
ditentukan hanya berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri atas 3 orang mantan hakim agung, 2 orang advokat, 2
orang tokoh masyarakat/tokoh agama, dan 2 orang akademisi. Akan tetapi, melihat lingkup wewenangnya,
ditambah kompleksitas permasalahan yang dihadapi serta luasnya wilayah Indonesia yang memerlukan
pengawasan oleh Komisi ini, perlu dipertimbangkan bahwa Komisi Yudisial ini tidak hanya dibentuk di Jakarta
untuk mengawasi para Hakim Agung, tetapi juga dibentuk di daerah-daerah tempat kedudukan Pengadilan
Tinggi, sehingga Komisi Yudisial ini benar-benar dapat difungsikan sebagai lembaga pengawas eksternal yang
efektif terhadap tugas-tugas peradilan di semua tingkatan. Seperti halnya di tingkat pusat, di daerah-daerah
keberadaan Komisi Yudisial ini juga dikaitkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Jimly Asshiddiqie,
“Kekuasaan Kehakiman...”, loc. cit.

41
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim, mencakup hakim di semua jenis dan tingkatan peradilan. Oleh karena itu, sangat tidak
mungkin kalau Komisi Yudisial tidak mempunyai perwakilan di daerah. Apalagi menurut
catatan Mahakamah Agung, jumlah hakim kurang lebih 6000 (enam ribu) orang.141

141
Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi
Yudisial”, loc. cit., hlm. 33.

42
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan identifikasi masalah dan analisis yang telah dikemukakan, peneliti mengambil
kesimpulan sebagai berikut:

1. Alasan-alasan utama sebagai penyebab munculnya gagasan Komisi Yudisial di


berbagai negara adalah:
a. Lemahnya monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena
monitoring hanya dilakukan secara internal saja;
b. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah
(executive power) – dalam hal ini Departemen Kehakiman – dan kekuasaan
kehakiman (judicial power);
c. Kekuasaan Kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas
yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan
persoalan-persoalan teknis non-hukum;
d. Rendahnya kualitas dan tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan,
karena tidak diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar
independen.; dan
e. Pola rekruitmen hakim yang dilakukan terlalu bias dengan masalah politik,
karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga
politik, yaitu presiden atau parlemen.

2. Peran-peran yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial di berbagai negara dalam
rangka menciptakan kemandirian kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh
kekuasaan lain di luarnya adalah:
a. Melakukan monitoring yang intensif terhadap lembaga peradilan dengan
melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan
bukan hanya monitoring secara internal saja, sebab dikhawatirkan
menimbulkan semangat korps (esprit de corps), sehingga objektivitasnya
diragukan;
b. Menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen
Kehakiman. Dengan demikian, lembaga peradilan tidak perlu lagi mengurus
persoalan-persoalan teknis non-hukum, karena semuanya telah ditangani oleh
Komisi Yudisial. Sebelumnya, lembaga peradilan harus melakukan sendiri
hubungan tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya hubungan
pertanggungjawaban dari lembaga peradilan kepada Departemen Kehakiman.
Hubungan pertanggungjawaban ini menempatkan lembaga peradilan sebagai
subordinasi Departemen Kehakiman yang membahayakan independensinya;
c. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek,
karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung
dengan aspek hukum seperti rekruitmen dan monitoring hakim serta
pengelolaan keuangan lembaga peradilan. Dengan demikian, lembaga peradilan

1
dapat lebih berkonsentrasi untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya
yang diperlukan untuk memutus suatu perkara;
d. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa
diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Di sini
diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena
setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari
Komisi Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap
kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi
kalau bukan dieliminasi; dan
e. Meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekruitmen hakim, karena
lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga hukum, bukan
lembaga politik lagi.

3. Pelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia – dengan mengadopsi aspek-aspek


positif pengaturan Komisi Yudisial di negara lain yang telah disesuaikan dengan
kondisi di Inonesia – harus mempertimbangkan dan mengakomodasikan dua hal
sebagai berikut:
a. Lima alasan utama (sebagaimana telah disebut dalam kesimpulan angka 1)
yang menjadi penyebab munculnya gagasan Komisi Yudisial di berbagai
negara; dan
b. Lima peran (sebagaimana telah disebut dalam kesimpulan angka 2) yang dapat
dilakukan oleh Komisi Yudisial di berbagai negara.

B. Saran

Sebagai lembaga baru yang hadir di Indonesia di tengah-tengah keterpurukan lembaga


peradilan dan krisis kepercayaan masyarakat terhadapnya, Komisi Yudisial mengemban tugas
yang tidak mudah untuk memenuhi amanat konstitusi. Komisi Yudisial harus memperhatikan
dan menyelesaikan beberapa persoalan krusial yang dihadapi lembaga peradilan di Indonesia,
yaitu lemahnya monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman, tidak adanya
lembaga yang berfungsi sebagai penghubung antara kekuasaan pemerintah dan kekuasaan
kehakiman, tidak adanya efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman, rendahnya kualitas
dan adanya inkonsistensi putusan lembaga peradilan, dan politisasi perekrutan hakim (agung).

2
324

BIBLIOGRAFI

A. Buku
Abraham, Henry J. Justices and Presidents: A Political History of Appoinments
to the Supreme Court. 2nd Edition, New York/Oxford: Oxford
University Press, 1985.
________. The Judicial Process. 7th Edition, New York/Oxford: Oxford
University, 1993.
Adji, Oemar Seno. Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta: Erlangga, 1985.
Alfredson, Gudmundur dan Asbjørn Eide, eds. The Universal Declaration of
Human Rights: A common Standard of Achievement. The Hague:
Martinus Nijhoff Publishers, 1999.
Alrasid, Harun. Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR.
Revisi Cet. I, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesian [UI-Press], 2003.
________. Pengisian Jabatan Presiden. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999.
________. Prof. Mr. Djokosutono: Ilmu Negara. Cet. II, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985.
Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Cet. I,
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2003.
________. Hukum dan Demokrasi. Cet. I, Jakarta: Ind-Hill-Co., 1991.
________. “Mempersoalkan Kebebasan Pers”, dalam Denny J.A., Jonminofri,
dan Rahardjo, (eds.), Menegakkan Demokrasi: Pandangan Sejumlah
Tokoh dan Kaum Muda Mengenai Demokrasi di Indonesia. Jakarta:
Kelompok Studi Indonesia bekerja sama dengan The Asia Foundation,
1989.
Asrun, A. Muhammad. “Analisis Legal-Historis terhadap Pembelengguan
Kekuasaan Kehakiman di Masa Pemerintahan Soeharto”, dalam A.
Muhammad Asrun dan Hendra Nurtjahjo, 70 Tahun Prof. Dr. Harun
Alrasid: Integritas, Konsistensi Seorang Sarjana Hukum. Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2000.
Asshiddiqie, Jimly. Agenda Pembangunan Hukum Nasioanal di Abad
Globalisasi. Cet. I, Jakarta: Balai Pustaka, 1998.
325

________. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya


di Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994.
________. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat.
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2002.
________. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat. Cet.
II, Jakarta: Yarsif Watampone, 2003.
________. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah:
Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. Jakarta: UI-Press,
1996.
________. “Perimbangan Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif dalam Rangka
Perubahan UUD 1945”, dalam A. Muhammad Asrun, ed., 70 Tahun
Ismail Suny, Bergelut dengan Ilmu Berkiprah dalam Politik. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2000.
________. Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara. Cet. I, Jakarta:
Ind Hill-Co., 1997.
Azed, Abdul Bari. Hukum Tata Negara Indonesia (Kumpulan Tulisan). Cet. I,
Jakarta: Ind-Hill-Co, 1991.
Azhary. Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-
unsurnya. Jakarta: UI-Press, 1995.
Azhary, Muhammad Tahir. Negara Hukum: Studi tentang Prinsip-prinsipnya
Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara
Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan. Strategi Pemberantasan
Korupsi Nasional. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan dan
Pembangunan, 1999.
Barber, Benjamin R. Strong Democracy: Participatory Politics for a New Age.
Los Angeles: University of California Press, 1984.
Basah, Sjahran. Hukum Tata Negara. Bandung: Alumni, 1994.
Becker, Theodore L. Comparative Judicial Politics: The Political Functionings
of Courts. Chicago: Rand McNally & Company, 1969.
Beetham, David. “Democracy: Key Principles, Institutions and Problems”,
dalam Democracy: Its Principles and Achievement. Geneva: Inter-
Parliamentary Union, 1998.
326

Behn, Robert D. Rethinking Democratic Accountability. Washington, D.C.:


Brooking Institution Press, 2001.
Berkson, Larry C., dan Susan B. Carbon. The United States Circuit Judge
Nominating Commission: Its Membes, Procedures, and Candidates.
Chicago: American Judicature Society, 1980.
Bernier, Ivan dan Andree Lajoie. The Supreme Court of Canada as an
Instrument of Political Change. Toronto: University of Toronto Press,
1945.
Bertens, K. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997.
Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary: Definitions of the Terms and
Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern.
St. Paul, Minn.: West Group, 1991.
BP-7 Pusat. Bahan Penataran P4, UUD 1945, GBHN. Jakarta: BP-7 Pusat,
1990.
Buitendam, Odette. “Good Judges are Not Born but Made: Recruiment,
Selection and the Training of Judges in the Netherlands”, dalam Marco
Fabri and Philip M. Langbroek, eds., The Challenge of Change for
Judicial System. Netherlands: IOS Press, 2000.
Bradley, A.W. “The Sovereignty of Parliament – Form or Substance?”, dalam
Jeffrey Jowell dan Dawn Oliver, eds., The Changing Constitution. 4th
edition, Oxford: Oxford University Press, 2000.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cet. XVII, Jakarta:Gramedia,
1996.
Camenish, Paul F. Grounding Professional Ethics in a Pluralistic Society. New
York: Haven Publication, 1983.
Cappeletti, M., John Henry Merryman, dan J.M. Perillo. The Italian System.
Stanford: Stanford University Press, 1967.
Cardozo, Fernando Henrique. On the Characterization of Authoritarian
Regimes in Latin America. Cambridge: Center of Latin American
Studies, University of Cambridge, 1978.
Carter, Gwendolen M., dan John H. Herz. “Demokrasi dan Totaliterisme: Dua
Ujung dalam Spektrum Politik”, dalam Miriam Budiardjo, Masalah
Kenegaraan. Cet. III, Jakarta: Gramedia, 1980.
327

Dahl, Robert A. Demokrasi dan Para Pengritiknya [Democracy and its Critics].
Diterjemahkan A. Rahman Zainuddin, Edisi I, Cet. I, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1992.
David, Rene dan John E.C. Brierly. Major Legal System in the World Today.
Third Edition, London: Steven & Sons, 1985.
Dewantara, Nanda Agung. Masalah Kebebasan Hakim dalam Menangani suatu
Perkara Pidana. Cet. I, Jakarta: Penerbit Aksara Persada Indonesia,
1987.
Dicey, A.V. An Introduction to Study of the Law of the Constitution. 10th
edition, London: English Language Book Society and MacMillan, 1971.
Ehrmann, Henry W., ed. Democacy in a Changing Society. New York:
Frederick A. Praeger Publisher, 1964.
Ekatjajana, Widodo dan Totok Sudaryanto. Sumber Hukum Tata Negara
Formal di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001.
Emmerson, Donald K., ed.. Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi,
Masyarakat, Transisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerja
sama dengan The Asia Fondation, 2001.
Erickson, Rosemary J., dan Rita J. Simon. The Use of Social Science Data in
Supreme Court Decisions. Urbana and Chicago: University of Illinois
Press, 1998.
Feith, Herbert dan Lance Castle, ed. Pemikiran Politik Indonesia. Jakarta:
LP3ES, 1988.
Finer, S.E. Comparative Government. Harmondsworth: Pelican Books, 1974.
Flechtheim, Ossip K. Fundamentals of Political Science. New York: Ronald
Press Co., 1952.
Friedman, Lawrance M. American Law: an Introduction. New York: W.W.
Norton, 1998.
Friedmann, Wolfgang. Legal Theory. London: Steven & Son Limited, 1960.
Gaffar, Afan. “Politik, Demokrasi, dan Faham Integralistik”, dalam Bagir
Manan, ed., Kedaulatan Rakyat, Hak-hak Asasi Manusia dan Negara
Hukum. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.
Gaffar, Firoz dan Ifdhal Kasim, ed. Reformasi Hukum di Indonesia: Hasil Studi
Perkembangan Hukum – Proyek Bank Dunia [Diagnostic Assessment of
Legal Development in Indonesia]. Diterjemahkan oleh Niar
Reksodiputro dan Imam Pambagyo. Jakarta: CYBERconsult, 1999.
328

Gazell, A. The Future of State Court Management. Port Washington, N.Y.:


Kennicat Press, 1978.
Glendon, Mary Ann, Michael Wallace Gordon, dan Christopher Osakwe.
Comparative Legal Traditions: Texts, Material and Cases. St. Paul,
Minn.: West Publishing Company, 1985.
Glick, Henry R. “The Politics of State Court Reform”, dalam Philip L. DuBois,
ed., The Politics of Judicial Reform. Lexington, Mass.: Lexington
Books, 1982, hal. 17-33.
Greenberg, Douglas, et. al., ed. Constitutionalism & Democracy: Transition in
the Contemporary World. New York/Oxford: Oxford University Press,
1993.
Griffith, J.A.G. The Politics of the Judiciary. 4th edition, London: The Fontanta
Press, 1991.
Grossman, Joel B. Lawyer and Judge: The Politics of Judicial Selection. New
York: John Wiley & Sons, 1965.
Grossman, Joel B., and Richard Wells. Constitutional Law and Judicial Policy
Making. 3rd edition, New York: Longman, 1988.
Hadisoeprapto, Hartono. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Edisi III, Cet.I,
Yogyakarta: Liberty, 1993.
Hammergren, Linn Ann. The Politics of Justice and Justice Reform in Latin
America: The Peruvian Case in Comparative Perspective. New York:
Westview Press, 1998.
Harman, Benny K. Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman. Cet. I,
Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat-ELSAM, 1997.
Heyst, B.J. van. “The Netherlands”, dalam Shimon Shetreet dan Jules
Deschenes, eds.. Judicial Independence: The Contemporary Debate.
Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers: 1985.
Hickok, Eugene W. dan Gary L. McDowell. Justice vs. Law, Courts and
Politics in American Society. New York: The Free Press, 1972.
Hook, Sidney. “Democracy” [Demokrasi: Sebuah Tinjauam Umum], dalam
Denny J.A., Jonminofri, Rahardjo, eds., Menegakkan Demokrasi:
Pandangan Sejumlah Tokoh dan Kaum Muda Mengenai Demokrasi di
Indonesia. Jakarta: Kelompok Studi Indonesia bekerja sama dengan The
Asia Foundation, 1989.
329

Huntington, Samuel P. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth


Century. Norman: University of Oklahoma Press, 1991.
Jennings, Sir Ivor. The Law and the Constitution. 4th edition, London: The
English Language Book Society, 1976.
Joeniarto. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Cet. III, Jakarta: Bumi
Aksara, 1990.
Kanter, E.Y. Etika Profesi Hukum: Sebuah Pendekatan Sosio-Religius. Cet. I,
Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2001.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. New York: Russel & Russel,
1973.
________. Pure Theory of Law [Reine Rechtslehre]. Translated from the
second German edition by Max Knight, Berkeley: University of
California Press, 1978.
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia. Kebijakan Reformasi Hukum
(Suatu Rekomendasi). Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik
Indonesia, 2003.
________. Peta Reformasi Hukum di Indonesia 1999-2001: Transisi di Bawah
Bayang-bayang Negara. Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik
Indonesia, 2002.
Kommers, Donald P. Judicial Politics in West Germany: A Study of the Federal
Constitutional Court. Beverly Hills, California: SAGE Publication,
1976.
________. The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of
Germany. Second Edition, Durham and London: Duke University Press,
1997.
Kusnardi, Moh., dan Bintan R. Saragih. Susunan Pembagian Kekuasaan
Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945. Cet. VI, Jakarta:
Gramedia, 1989.
Kusnardi, Moh., dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 1976.
Lane, P.H. “Constitutional Aspects of Judicial Independence”, dalam Helen
Cunningham, ed., Fragile Bastion Judicial Independence in the Nineties
and Beyond. Sidney: Judicial Commission of New South Wales, 1999.
330

Lasser, William. The Limits of Judicial Power: The Supreme in American


Politics. Chapel Hill & London: University of North Carolina Press,
1988.
Lev, Daniel S., Hukum dan Politik Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan,
diterjemahkan oleh Nirwono dan AE Priyono, Jakarta: LP3ES, 1990.
________. “Judicial Institutions and Legal Culture in Indonesia”, dalam Claire
Holt, ed.. Culture Politic in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press,
1972.
________. The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957-
1959. Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1966.
Locke, John. Two Treatises of Government. New Edition, London: Everyman,
1993.
Lubis, Suhrawardi K. Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Lubis, Todung Mulya. In Search of Human Rights: Legal-Political Dilemmas of
Indonesia’s New Order 1966-1990. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1993.
Macdonald, R. St. J., F. Matscher, and H. Petzold. The European System for the
Protection of Human Rights. The Hague: Kluwer Academic Publishers,
1993.
Mahfud M.D., Moh. Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tatanegara.
Yogyakarta: UII Press, 1999.
________. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: UII
Press, 1993.
________. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi tentang Interaksi
Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Ed. I, cet. I, Yogyakarta:
Liberty, 1993.
________. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. Jakarta: CV Gama Media, 1999.
________. Karakter Produk Hukum Zaman Kolonial. Yogyakarta: UII Press,
1993.
________. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Jakarta: CV Gama
Media, 1999.
________. Pergulatan Politik Hukum Zaman Kolonial. Yogyakarta: UII Press,
1999.
________. Politik Hukum di Indonesia. Cet. I, Jakarta: LP3ES, 1998.
331

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Buku Kedua Jilid 3 A


Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI Ke-36 s/d Ke-
39 Tanggal 26 September s/d 22 Oktober 2001 Masa Sidang Tahunan
MPR RI Tahun 2001. Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2001.
________. Buku Kedua Jilid 8 A Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan
Pekerja MPR RI Ke-36 s/d Ke-39 Tanggal 26 September s/d 22 Oktober
2001 Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001. Jakarta: Sekretariat
Jendral MPR RI, 2001.
________. Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003.
Manan, Bagir. Konvensi Ketatanegaraan. Bandung: CV Armico, 1987.
________. Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara.
Disunting oleh Mashudi dan Kuntana Magnar, Cet. I, Bandung: CV
Mandar Maju, 1995.
Manan, Bagir, dan Kuntana Magnar. Beberapa Masalah Hukum Tata Nagara
Indonesia. Cet. I, Bandung: Alumni, 1997.
________. Peraturan Perundang-undangan dalam Pembinaan Hukum
Nasional. Bandung: CV Armico, 1987.
Mansoer, Moch. Tolchah. Pembahasan Beberapa Aspek Kekuasaan-kekuasaan
Eksekutif dan Legislatif di Indonesia. Cet. II, Jakarta: Pradnya Paramita,
1977.
Mayo, Henry B. An Introduction to Democratic Theory. Oxford: Oxford
University Press, 1960.
McFeeley, Neil D. Appoinment of Judges: The Johnson Presidency. Austin:
University of Texas Press, 1987.
McIlwain, C.H. Constitutionalism: Ancient and Modern. Ithaca, New York:
Cornell University Press, 1974.
McIver, Robert M. The Modern State. Oxford: Oxford University Press, 1950.
________. The Web of Government. New York: The MacMillan Company,
1961.
Merryman, John Henry. The Civil Law Traditions: An Introduction to the Legal
System of Western Europe and Latin America. Second Edition, Chicago:
Stanford University Press, 1996.
332

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata. Edisi IV, Cet. I, Yogyakarta:


Liberty, 1993.
________. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Edisi III, Cet. I, Yogyakarta:
Liberty, 1991.
Mohl, Robert. Two Concepts of the Rule of Law. Indianapolis: Liberty Fund
Inc., 1973.
Montesquieu. Membatasi Kekuasaan: Telaah Mengenai Jiwa Undang-undang
[The Spirit of the Laws]. Jakarta: Gramedia, 1993.
Nainggolan, Poltak Partogi, ed. Bunga Rampai Kajian RUU Tahun 2002.
Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretariat
Jendral Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002.
Nasroen, Moh. Ilmu Perbandingan Pemerintahan. Jakarta: Penerbit Ichtiar,
1966.
Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia:
Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 [The Aspiration for
Constitutional Government in Indonesia: A Sosio-Legal Study of the
Indonesian Konstituante 1956-1959]. Diterjemahkan oleh Sylvia Tiwon,
Cet. II, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2001.
National Law Commission of the Republic of Indonesia. Law Reform Policies
(Recommendations). Jakarta: National Law Commission of the Republic
of Indonesia, 2003.
Neuman, Robert O. European and Comparative Government. 3rd Edition, New
York: McGraw Hill Book Company, Inc., 1960.
Noer, Deliar. Pengantar ke Pemikiran Politik. Cet. I, Jakarta: Rajawali, 1983.
Notohamidjojo, O. Makna Negara Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Kristen,
1970.
Pangaribuan, Luhut dan Paul S. Baut, (ed.). Loekman Wiradinata,
Keindependenan Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia, 1989.
Pasquino, Pasquale. “One and Three: Separation of Powers and the
Independence of the Judiciary in the Italian Constitution”, dalam John
Ferejohn, Jack N. Rakove, dan Jonathan Riley, eds., Constitutional
Culture and Democratic Rule. Cambridge: Cambridge University Press,
2001.
333

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Ilmu Negara dan Politik. Cet. II, Bandung -
Jakarta: PT Eresco.
________. Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia. Cet. VI, Jakarta:
Penerbit Dian Rakyat, 1989.
Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi. Pengantar Filsafat Hukum. Cet. III,
Bandung: CV Mandar Madju, 2002.
Raz, Josep. The Concept of Legal System: an Introduction to the Theory of
Legal System. Oxford: Oxford University Press, 1978.
Rusminah. “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”, dalam Padmo
Wahjono, ed., Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini. Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1984.
Sabon, Max Boli. Ilmu Negara. Cet. I, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
1992.
Sartori, Giovanni. “Democracy”, dalam Davis L. Shills, ed., The International
Encyclopedia of the Social Science. Vol. iv, New York: The Free Press,
1972.
Schwartz, Herman. Packing the Courts: The Conservative Campaign to Rewrite
the Constitution. New York: Charles Scribner’s Sons, 1988.
Sherif, Adel Omar. “Separation of Powers and Judicial Independence in
Constitutional Democracies: The Egyptian and American Experiencies”,
dalam Eugene Cotran and Adel Omar Sherif, eds., Democracy, The Rule
of Law and Islam. CIMEL Book Series No. 6, London-The Hague-
Boston: Kluwer Law International, 1999.
Simorangkir, J.C.T. Penetapan UUD Dilihat dari Segi Ilmu Hukum Tata
Negara Indonesia. Jakarta: Gunung Agung, 1984.
Simorangkir, J.C.T. dan B. Mang Reng Say. Tentang dan Sekitar Undang-
Undang Dasar 1945. Cet. XI, Jakarta: Hastama, 1987.
Smith, Cristopher E. Courts, Politics, and the Judicial Process. Chicago:
Nelson-Hall Publisher Inc., 1993.
________. Critical Judicial Nominations and Political Change. Westport,
Connecticut: Praeger, 1989.
________. Judicial Self-interset: Federal Judges and Court Administration.
Westport, Connecticut/London: Praeger Publisher, 1995.
Snowiss, Sylvia. Judicial Review and the Law of the Constitution. New Haven:
Yale University Press, 1990.
334

Soedirjo. Mahkamah Agung: Uraian Singkat tentang Kedudukan, Susunan, dan


Kekuasaannya Menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985. Edisi I,
Cet. I, Jakarta: Media Sarana Press, 1986.
Soehino. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 1986.
Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1982.
Soekanto, Soejono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat. Edisi 1, Cet. V, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2001.
________. Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di dalam Penelitian
Hukum. Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 1979
Soemantri M., Sri. Bunga Rampai Hukum Tata Negara. Cet. I, Bandung:
Alumni, 1992.
________. Perbandingan Antar Hukum Tata Negara. Jakarta: PT Rajawali,
1981.
________. Tentang Lembaga-lembaga Negara. Cet. VII, Bandung: Citra
Aditya Bhakti, 1993.
Soemaryono, E. Etika Profesi Hukum, Norma-norma bagi Penegak Hukum.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995.
South-East Asian and Pacific Conference of Jurist. The Dynamic Aspects of the
Rule of Law in the Modern Age. Bangkok: International Commission of
Jurist, 1965.
Strong, C.F. Modern Political Constitution. London: Sidwick & Jackson, 1973.
Stone, Alec. The Birth of Judicial Politics in France: The Constitutional
Council in Comparative Perspective. New York/Oxford: Oxford
University Press, 1992.
Suny, Ismail. Mencari Keadilan: Sebuah Otobiografi. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1982.
________. Pembagian Kekuasaan Negara. Cet. IV, Jakarta: Aksara Baru, 1985.
________. The Organization of the Islamic Conference. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2000.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern. Jakarta: Gramedia, 1993.
335

Tambunan, A.S.S. Hukum Tata Negara Perbandingan. Jakarta: Puporis


Publishers, 2001.
Tasrif, Suadi. Menegakkan Rule of Law di Bawah Orde Baru. Jakarta: Peradin,
1971.
Teichman, Jenny. Etika Sosial. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Thaib, Dahlan. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945.
Edisi II, Cet. I, Yogyakarta: Liberty, 1993.
________. Pancasila Yuridis Ketatanegaraan. Edisi Revisi, Cet. I, Yogyakarta:
UPP AMP YKPN, 1994.
Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI.
Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia: Catatan dan Gagasan
Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra. Jakarta: Sekretariat Jendral
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2002.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. I,
Ed. III, Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Voermans, Wim. Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa.
Diterjemahkan oleh Adi Nugroho dan M. Zaki Hussein, Jakarta:
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan-LeIP,
2002.
Wade, E.C.S., dan G. Godfrey Philips. Constitutional Law: An Outline of the
Law and Practice of the Constitution, Including Central and Local
Government, the Citizen and the State and Administrative Law. 7th
edition, London: Longmans, 1965.
Wahjono, Padmo. Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum. Cet. II, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1986.
________. Pembakuan Istilah Hukum. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 1975.
________. Pembangunan Hukum di Indonesia. Jakarta: Ind-Hill Co, 1989.
Weston, Burns H. “Human Rights” dalam Richard Pierre Claude dan Burns H.
Weston, eds., Human Rights in the World Community, Issues and
Action. Philadephia: University of Pennsylvania, 1992.
Yudho, Winarno. “Ilmu Politik dan Hukum”, dalam Soerjono Soekanto dan R.
Otje Salman, eds., Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial (Bahan Bacaan
Awal), Ed. I, Cet. II, Jakarta: Rajawali, 1988.
336

Zweigert, Kondrad dan Hein Kötz. Introduction to Comparative Law. 3rd


Revised Edition, Oxford: Clarendon Press, 1998.

B. Artikel
Asshiddiqie, Jimly. “Dimensi Konseptual dan Prosedural Pemajuan Hak Asasi
Manusia Dewasa Ini (Pengertian ke Arah Pengertian Hak Asasi
Manusia Generasi Keempat)”. Makalah disampaikan dalam Diskusi
Terbatas tentang Perkembangan Pemikiran Mengenai Hak Asasi
Manusia yang diselenggarakan oleh Institute for Democracy and Human
Rights, The Habibie Center, Jakarta, April 2000.
________. “Perspektif tentang Format Kelembagaan dan Peraturan Republik
Indonesia di Masa Depan”. Makalah disampaikan dalam Lokakarya
Program Legislasi Nasional, yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum
Nasional bekerja sama dengan Universitas Taruma Negara, Jakarta, 29
Juli 2002.
________. “Refleksi tentang Konsepsi dan Format Ketatanegaraan Republik
Indonesia Pascareformasi”. Makalah disampaikan dalam Pidatao
Ketatanegaraan di Hadapan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dan Tokoh-tokoh Masyarakat dan LSM Se-Kabupaten Kendal, Kendal,
8 Nopember 2002.
________. “Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat
UUD Tahun 1945”. Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan
Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar,
14-18 Juli 2003.
Cunningham, Helen. “The Role of the Judiciary in a Modern Democracy”.
Paper presented at Judicial Conference of Australia Symposium, New
South Wales, 8-9 November 1997.
Saleh, Abdul Rahman. “Status, Komposisi, Jumlah serta Beberapa Masalah
Komisi Yudisial Indonesia di Bidang SDM”. Makalah disampaikan
pada Workshop Penyusunan Policy Paper dan Draft Rancangan
Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, di Hotel Borobudur, Jakarta,
28 Agustus 2002.
Schmatt, Ernest. “Implementation of Judicial Commission in New South Wales
as a Comparative Perspective for the Establishment of Judicial
Commission in Indonesia”. Makalah disampikan dalam Seminar Sehari
Komisi Yudisial, diselenggarakan kerja sama antara Puslitbang Hukum
337

dan Peradilan Mahkamah Agung RI dengan Australian Legal Resources


International, Jakarta, 24 Juli 2002.
________. “The Role and Functions of the Judicial Commission in New South
Wales”. Makalah disampikan dalam Judicial Commission Workshop,
Jakarta, 20 Maret 2001.
Sugondo, Lies. “Pokok-pokok Pikiran tentang Struktur Organisasi Komisi
Yudisial”. Makalah disampaikan pada Workshop Penyusunan Policy
Paper dan Draft Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial,
di Hotel Borobudur, Jakarta, 28 Agustus 2002.
Sutadi, Marianna. “Fungsi, Tugas, dan Wewenang Komisi Yudisial dalam
Bidang Pengawasan”. Makalah disampaikan pada Workshop
Penyusunan Policy Paper dan Draft Rancangan Undang-Undang tentang
Komisi Yudisial, di Hotel Borobudur, Jakarta, 28 Agustus 2002.

C. Majalah Ilmiah
Arinanto, Satya. “Reformasi Hukum, Demokrasi, dan Hak-hak Asasi Manusia”,
Hukum dan Pembangunan. Nomor 1-3, Tahun XXVIII, Januari-Juni
1998.
Durham, Christine M. “The Judicial Branch in State Government: Parables of
Law, Politics, and Power”, dalam New York University Law Review,
vol. 76, Number 6, December 2001.
Fallon, Jr., Richard H. “The Rule of Law as a Concept in Constitutional
Discourse”, dalam Columbia Law Review. Volume 97, No. 1, 1997.
Frankenberg, Gunter. “Critical Comparations: Rethinking Comparative Law”,
Harverd Law Journal. 411, 1985.
Hanssen, F. Andrew. “The Effect of Judicial Institutions on Uncertainty and the
Rate of Litihation: the Election Versus Appoinment of States Judges”,
The Journal of Legal Studies. Vol. XXVIII, January 1999.
Kommers, Donald P. “The Value of Comparative Constitutional Law”. John
Marshall Journal of Practice and Procedure, 689, 1976.
Larkins, A.V. Cristopher M. “Judicial Independence and Democratization: a
Theoretical and Conceptual Analysis”, dalam The American
Comparative Law. Volume XLIV, No. 4, Fall, 1996.
Marks, K. “Judicial Independence”, dalam Australian Law Journal. Vol. 68,
No. 94
338

Mason, Sir Anthony. "Judicial Independence and the Separation of Powers —


Some Problems Old and New", dalam University of New South Wales
Law Journal. Vol. 13, No. 2, 1990.

D. Disertasi dan Data/Sumber yang Tidak Diterbitkan


Satya Arinanto. “Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik: Upaya Pencarian
Konsepsi Keadilan Transisional di Indonesia dalam Era Reformasi”.
(Disertasi untuk Memperolah Gelar Doktor dalam Ilmu Hukum pada
Universitas Indonesia, 2003.
Asrun, A. Muhammad. “Pemerintahan Otoriter dan Independensi Peradilan:
Kajian Fenomena Keadilan Personal dalam Peradilan di Tingkat
Mahkamah Agung (1967-1998)”. Disertasi doktor dalam Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2003.
Asshiddiqie, Jimly. “Catatan tentang Perbandingan Hukum Tata Negara
(Comparative Constitutional Law)”. Naskah tidak diterbitkan, Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2002.
________. “Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan
Realitas Masa Depan”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Madya pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada
tanggal 13 Juni 1998.
Asshiddiqie, Jimly, dan Mustafa Fakhri. “Mahkamah Konstitusi: Kompilasi
Ketentuan Konstitusi, Undang-Undangan dan Peraturan di 78 Negara”.
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, t.t.
Attamimi, A. Hamid S. “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Mengenai
Analisis Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun
Waktu Pelita I-Pelita IV”. Disertasi doktor dalam Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 1990.
Dewan Perwakilan Rakyat. Rancangan Undang Undang Tentang Perubahan
Atas Undang Undang No. 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
2002.
________. “Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial”. Jakarta:
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002.
339

________. “Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas


Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman”. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, 2002.
________. “Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung”. Jakarta:
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002.
________. “Rancangan Undang Undang tentang Perubahan atas Undang
Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara”.
Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002.
________. “Rancangan Undang Undang tentang Perubahan atas Undang
Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum”. Jakarta: Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002.
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia. “Laporan Akhir Standar Disiplin
Profesi”. Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003.
________. “Laporan Akhir Standar Pengujian Profesi Hukum”. Jakarta: Komisi
Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003.
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan Lembaga Kajian dan
Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). “Position Paper:
Menuju Independensi Peradilan”. Jakarta: Indonesian Center for
Environmental Law [ICEL] dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk
Independensi Peradilan [LeIP], 1999.
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). “Draft I
Policy Paper dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial”.
Makalah tidak diterbitkan, Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi
untuk Independensi Peradilan-LeIP, t.t.
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) dan
Mahkamah Agung Republik Indonesia. “Ringkasan Eksekutif Draft II
Policy Paper dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial”.
Jakarta, tt.
Mahendra, Yusril Ihza. “Politik dan Perubahan Tafsir atas Konstitusi”. Pidato
Pengukuhan pada Upacara Penerimaan Jabatan sebagai Guru Besar
Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Kampus Baru
Universitas Indonesia, Depok, 25 April 1998.
340

Mahkamah Agung Republik Indonesia. “Kertas Kerja Pembaruan Sistem


Pendidikan dan Pelatihan Hakim”. Naskah belum diterbitkan, Jakarta:
Mahakamah Agung Republik Indonesia, 2003.
________. “Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pembinaan SDM Hakim”. Naskah
belum diterbitkan, Jakarta: Mahakamah Agung Republik Indonesia,
2003.
________. “Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pengelolaan Keuangan
Pengadilan”. Naskah belum diterbitkan, Jakarta: Mahakamah Agung
Republik Indonesia, 2003.
________. “Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi
Yudisial”. Naskah belum diterbitkan, Jakarta: Mahkamah Agung
Republik Indonesia. 2003.
Pompe, Sebastian. “The Indonesian Supreme Court: Fifty Years of Judicial
Development”. Disertasi doktor, Leiden: Van Vollenhoven Institute for
Law and Administration in Non-Western Countries, 1996.
Wahjono, Padmo. “Indonesia ialah Negara yang Berdasarkan atas Hukum”.
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal 17 Nopember 1979.

E. Surat Kabar/Majalah
Bdm. “MA Bisa Jadi Tirani Yudikatif”, Harian Kompas, 5 Januari 2004.
________. “Pengangkatan 18 Hakim Agung Baru Tak Akan Banyak Membawa
Perubahan Berarti”, Harian Kompas, 17 Juni 2003.
________. “Perlu Tim Ad Hoc untuk Jaring Calon Hakim Agung”, Harian
Kompas, 4 Mei 2002.
________. “RUU Bidang Hukum Harus Satu Paket”, Harian Kompas, 15
Februari 2003.
Bur. “Komisi Yudisial Perlu Masuk dalam Revisi RUU MA”, Harian Kompas,
1 Mei 2002.
K02/Bdm. “Eksistensi Komisi di tengah Lemahnya Kepemimpinan”. Harian
Kompas, Rabu, 28 Januari 2004
Sie/Bdm, “Peradilan Satu Atap Mulai 30 Maret 2004”, Harian Kompas, 8
Desember 2003.
341

Son, “RUU Komisi Yudisial Sudah Mendesak”, Harian Kompas, 23 Maret


2004.
Thohari, A. Ahsin. “Dari Law Enforcement ke Justice Enforcement”, Harian
Kompas. Rabu, 3 Juli 2002.
________. “Demokrasi Sekaligus Nomokrasi”. Harian Kompas, Edisi Jumat, 7
November 2003.
________. “Komisi Yudisial dalam Ketatanegaraan Indonesia”, Majalah Pakar,
Volume II, No. 6, Juni 2003.
________. “Membaca Perubahan Ekstrem DPR: Dari ‘Rubber Stamp’ ke
‘Superbody’”, Harian Kompas. Edisi Jumat, 25 Juli 2003.
________. “Membangun Komisi Yudisial”, Harian Kompas, Jumat, 23 Januari
2004.
________. “Membayangkan ‘Living Constitution’”, Harian Kompas, Edisi
Kamis, 1 Agustus 2002.
Tra. “Kewenangan Komisi Yudisial Dikhawatirkan Tumpang Tindih”, Harian
Kompas, 31 Agustus 2002.
Vin. “Keberadaan Komisi Yudisial Semakin Mendesak”, Harian Kompas, 6
Januari 2004.
Vin/Bdm. “MA Bentuk Panitia Pemilihan Wakil Ketua MA”, Harian Kompas
23 Juni 2002.

F. Peraturan Dasar dan Peraturan Perundang-Undangan


Basic Principles on the Independence of the Judiciary. Adopted by the Seventh
United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment
of Offenders held at Milan from 26 August to 6 September 1985 and
endorsed by General Assembly resolutions 40/32 of 29 November 1985
and 40/146 of 13 December 1985.
Departemen Penerangan Republik Indonesia. Ketetapan-ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1973. Jakarta:
Pradnya Paramita, 1978.
International Bar Association. International Bar Association Code of Minimum
Standards of Judicial Independence. The Jerussalem Approved
Standards of the 19th IBA Biennial Conference held on Friday, 22nd
October 1982, in New Delhi, India.
342

International Judge. Universal Declaration on the Independence of Justice.


Unanimously adopted at the final plenary session of the First World
Conference on the Independence of Justice held at Montreal (Quebec,
Canada) on June 10th, 1983.
Law Asia Region. Beijing Statement of Principles of the Independence of the
Judiciary in the Law Asia Region. As Amended at Manila, 28 August
1997.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Jakarta: Sekretariat Jendral MK RI.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Himpunan Ketetapan
MPRS dan MPR Tahun 1960 S/D 1998. Jakarta: Sekretariat MPR RI,
1999.
________. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Hasil Sidang Istimewa Tahun 1998. Jakarta: Sekretariat MPR
RI, 1998.
________. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia
Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999. Jakarta: Sekretariat Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 1999.
________. Ketetapan-ketetapan MPR RI Beserta Susunan Kabinet
Pembangunan VI. Semarang: Aneka Ilmu, 1993.
________. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2002.
Office of the President of Republic of South Africa. Judicial Service
Commission Act. No. 1235 13 July 1994 No. 9 of 1994.
Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights Genewa.
Human Rights: A Copilation of International Instruments, Volume II:
Regional Instruments. New York: United Nations, 1997.
Organization of the Islamic Conference. The Cairo Declaration on Human
Rights in Islam. The Nineteenth Islamic Conference of Foreign
Ministers, Adopted and Issued at the Nineteenth Islamic Conference of
Foreign Ministers in Cairo on 5 August 1990.
Republik Indonesia. Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana. UU No. 8
Tahun 1981, LN No.76 Tahun 1981, TLN No. 3209.
343

________. Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman. UU No. 4 tahun


2004, LN No. 8 tahun 2004, TLN No. 4358.
________. Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. UU No. 14 tahun 1970, LN No. 74 Tahun 1970, TLN No.
2951.
________. Undang-Undang tentang Mahkamah Agung. UU No. 14 Tahun
1985, LN No. 73 Tahun 1985, TLN No. 3316.
________. Undang-undang tentang Peradilan Agama. UU No. 7 Tahun 1989,
LN No. 49, Tahun 1989, TLN No. 3400.
________. Undang-undang tentang Peradilan Militer. UU No. 31 Tahun 1997,
LN No. 84 Tahun 1997.
________. Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 5
Tahun 1986, LN No. 77 Tahun 1986, TLN No. 3344.
________. Undang-undang tentang Peradilan Umum. UU No. 2 Tahun 1986,
LN No. 20 Tahun 1986, TLN No. 3327.
________. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. UU No. 35 tahun 1999, LN No. 147 tahun 1999, TLN No.
3879.
________. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
1985 tentang Mahkamah Agung. UU No. 5 Tahun 2004, LN No. 9
Tahun 2004, TLN No. 4359.
________. Undang-undang tentang Program Pembangunan Nasional
(PROPENAS) Tahun 2000-2004. UU No. 25 Tahun 2000, LN No. 206
Tahun 2000.
Parliamentary Counel’s Office, New South Wales. Judicial Officers Act 1986,
No 100.
Secretariat of World Conference on Human Rights. Vienna Declaration and
Programme of Action. World Conference on Human Rights on 25 June
1993, in Vienna, Austria.
The Constitution of Argentina, all amendments up to 22 Aug 1994.
The Constitution of Bulgaria, all amendments up to 12 July 1991.
The Constitution of Cameroon, Law No. 96-06 of 18 January 1996 to amend
the Constitution of 2 June 1972.
344

The Constitution of Congo, adopted on: 15 March 1992.


The Constitution of Croatia, Official Gazette No. 28/2001.
The Constitution of Ethiopia, Adopted: 8 Dec 1994.
The Constitution of Fiji, Adopted on: 23 September 1988 Last Amendment on:
25 July 1997 Effective since: 28 July 1998.
The Constitution of Ghana, date of gazette notification: 15th May 1992.
The Constitution of Guyana, adopted on: 23rd February, 1970.
The Constitution of The Republic of The Gambia, 1997 (Amendment) Bill,
2000.
The Constitution of Italia, the translation of the later amendments by Bernard E.
DeLury, Jr., published in 1994.
The Constitution of Kazakhstan
The Constitution of Kenya, 1992.
The Constitution of Lesotho, dated 25th March, 1993.]
The Constitution of Macedonia, adopted on: 17 Nov 1991, effective since: 20
Nov 1991, amended on: 6 Jan 1992.
The Constitution of Malawi, passed in Parliament this sixteenth day of May,
one thousand, nine hundred and ninety-four.
The Constitution of Malaysia.
The Constitution of Marshall Islands, the effective date of this Constitution
shall be May 1, 1979.
The Constitution of Namibia, shall take effect on the Feb 1990.
The Constitution of Nepal, shall take effect on the 9 Nov 1990.
The Constitution of Nigeria, 1999.
The Constitution of Papua New Guinea, 1975.
The Constitution of France, amended on: 26 July 1995.
The Constitution of Philippines, shall take effect on the February 2, 1987.
The Constitution of Samoa.
The Constitution of Sierra Leone, 1991.
345

The Constitution of Slovenia, Adopted on: 23 Dec 1991, amendment: 14 July


1997, introducing Paragraph 2 into Article 68, amendment: 25 July
2000, introducing Paragraph 5 into Article 80.
The Constitution of Solomon Islands, 1996.
The Constitution of Spain, shall take effect on the and 29 Dec 1978
consolidated up to the amendment of 27 Aug 1992.
The Constitution of Sri Lanka, dated: August 03, 2000.
The Constitution of Saint Christopher and Nevis, made 22nd June 1983.
The Constitution of South Africa, amended on 11 Oct 1996 in foce since: 7 Feb
1997.
The Constitution of Saint Lucia.
The Constitution of Saint Vincent, made 26th July 1979 Coming into Operation
27th Oct. 1979.
The Constitution of Thailand, adopted in 1997.
The Constitution of the Democratic Republic of East Timor, adopted in 22nd of
March 2002.
The Constitution of the Trinidad and Tobago, assented to 23rd September, 1980.
The Constitution of Tunisia.
The Constitution of Vanuatu, adopted in 1983.
The Constitution of Venezuela, adopted in January, 16, 1961.
The Constitution of Zambia, 1991.
The Constitution of Zimbabwe, 1993.
Universal Declaration of Human Rights. Adopted and proclaimed by General
Assembly resolution 217 A (III) of 10 December 1948.
United Nations. International Covenant on Civil and Political Rights. New
York: The Secretary-General of the United Nations, 1976.

G. Internet
American Bar Assossiation. “An Independence Judiciary”, <http://
www.abanet.org/govaffairs/judiciary/rhistory.html>. Diakses tang-gal
29 Maret 2003.
346

Asshiddiqie, Jimly. “Kekuasaan Kehakiman di Masa Depan” <http://www.


theceli.com/dokumen/jurnal/jimly/j002.shtml>. Diakses tanggal 29
Januari 2004.
Bhagwati, P. N. “Independence of the Judiciary in a Democracy”.
<http://www.ahrchk.net/hrsolid/mainfile.php/1997vol07no02/2 75/>.
Diakses tanggal 29 Maret 2003.
Breyer, Stephen G. “Judicial Independence in the US”. <http://usinfo.
state.gov/journals/itdhr/1296/ijde/breyer.htm>. Diakses tanggal 29
Maret 2003.
Cunningham, Helen. “The Role of the Judiciary in a Modern Democracy”.
<http://www.jca.asn.au/cunningham. html>. Diakses tanggal 24 Maret
2003.
Hammergren, Linn Ann. “The Judicial Career in Latin America: an Overview
of Theory and Experience”. <http://www1.worldbank. org/publicsector/
legal/Jcareer.doc>. Diakses tanggal 26 Maret 2003.
Ilhan, Cengiz. “Independence of the Judiciary”. <http://www.tusiad.org/
yayin/private/autumn97/html/ilhan.html>. Diakses tanggal 29 Maret
2003.
Judicial Commission of New South Wales. “Principal Function”. <http://www.
judcom.nsw.gov.au/>. Diakses tanggal 20 Maret 2003.
Mason, Sir Anthony. “The Appointment and Removal of Judges”. <http://www.
jc.nsw.gov. au/fb/fbmason.htm>. Diakses tanggal 24 Maret 2003.
Nugroho, Eryanto. “RUU tentang Mahkamah Agung”,
<http://www.parlemen.net/ind/packagedetails.php?view=paket&guid=6
257a66fdb6f9ae24cdbebead9831072&docprofile=paket>. Diak-ses
tanggal 29 Desember 2004.
Rosett, Arthur. “The Judicial Career in the United States and its Influence on
the Substance of American Law”. <http://soi.cnr.it/~crd-
cs/crdcs/frames3.htm>. Diakses tanggal 26 Maret 2003.
Thohari, A. Ahsin. “Dari Law Enforcement ke Justice Enforcement”.
<http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0207/03/opini/dari31.htm>
. Diakses tanggal 3 Juli 2002.
________. “Membaca Perubahan Ekstrem DPR, Dari ‘Rubber Stamp’ ke
‘Superbody’”. <http://www.kompas.com/kompascetak/0307/25/
opini/444392. htm>. Diakses tanggal 25 Juli 2003.
347

________. “Membayangkan ‘Living Constitution’”, <http://www.kompas.


com/kompas%2Dcetak/0208/01/opini/memb28.htm>. Diakses tanggal 1
Agustus 2002.
Vyas, Yash. “The Independence of the Judiciary: A Third World
Perspective”.<http://wbln0018.worldbank.org/Network/PREM/PREMD
ocLib.nsf/b9d50320baa37e8f852566c60075b51b/0a13406b1bc4384a85
256890006fb1b3?OpenDocument>. Diakses tanggal 29 Maret 2003.
Williams, Daryl. “Independence of the Judiciary – Some Federal Government
Initiatives”. <http://www.jc.nsw.gov.au/fb/fbwillam. htm>. Diakses
tanggal 24 Maret 2003.
Indeks Isi
hukum adat 25
A hukum agama 25
Anglo Saxon 48 hukum dasar 50

B I
BPK 213 ICCPR 56
IKAHI 170
C
code of condut 33, 93, 171 K
code of law 32, 93 Kabinet Reformasi Pembangunan 24
comparative constitutional 103 kekuasaan 41
lihat: pemisahan kekuasaan
D penyalahgunaan
Demokrasi Terpimpin 70 kekuasaan
Departemen Kehakiman 19 kekuasaan eksekutif 1, 28
DKH 159, 165 kekuasaan federatif 44
DPA 212 kekuasaan kehakiman 1, 4, 40, 50, 145,
DPD 212 147, 195, 208, 217
DPR 29, 158 ~ yang merdeka, yang bebas 2,
10, 29, 43, 48, 50
E ~ yang independen 53, 55, 60
Enlightenment 54 ketidakberpihakan ~ 50, 51
Eropa Kontinental 48, 49 kekuasaan legislatif 1
etika profesi hakim 41 kekuasaan negara 44
Etika Profesi Hukum 31, 41, 80 kekuasaan pemerintah 11, 12, 145, 195,
lihat: kode etik profesi hakim 217
kekuasaan politik 28, 70, 75
F kekuasaan yudikatif 1
fit and proper test 183, 191 Kepala Negara 29,
kepentingan politik 52
G KHN 82, 209
GBHN 25 KK (Lihat Komisi Konstitusi)
grondrechten 49 KKN 209
KKPU 209
H KKR 209
hak-hak asasi kode etik 33, 93
~ manusia 48 kode etik profesi hakim 32, 41, 93, 95
~ warga negara 45 Komisi Yudisial 2, 4, 9, 12, 19, 35
lihat: grondrechten Komnas Anak 209
hakim agung 2, 10, 170 Komnas HAM 209
rekruitmen, perekrutan 29, 43, Komnas Perempuan 209
179 KON 209
Hakim Konstitusi 172 konstitusionalisme 104
Hakim Pengadilan Negeri 172 KPI 209
Hakim Pengadilan Tinggi 172 KPKPN 209
KPTKP 209 PPNS 165
KPU 209 Presiden 19
profesi hakim 91, 93
L profesi hukum 83, 84
law enforcement 91, 178 PROPENAS 16, 165
legal order 92
R
M Rechtsstaat 15, 38, 48
Mahdep 30, 181 reformasi ekonomi 24
Mahkamah Agung, (MA) 2, 170, 212 reformasi hukum 25
Mahkamah Konstitusi 2, 4, 208 reformasi peradilan 14, 40
MPPH 158, 165 reformasi politik 25
MPR 24 reformasi struktural 25
reformasi total 25
N Rule of Law 15, 38, 48
negara hukum 15, 25, 41, 48
S
O supremasi hukum 49
Orde Baru 30, 70 Syari’ah 65

P T
Parlemen 19 Trias Politica 46
partisipasi masyarakat 187
pemisahan kekuasaan 41, 44, 49 U
pendisiplinan hakim 197 UUD 1945 2, 38
penegakan hukum 91
lihat: law enforcement Y
penyalahgunaan kekuasaan 177 yudisial, non-yudisial 12
politik, kalkulasi politik 28
Indeks Nama

A J
Adji, Seno 170 judicial review 60
Afrika Selatan 106
Argentina 107 K
Arifin, Busthanul 170, Kairo 64
Asshiddiqie, Jimly 54, 104, 208 Kamerun 112
Kanada 62
B Kant, Immanuel 49
Beijing 68, 73 Kazakhstan 112
Belanda 17 Kenya 113
Bulgaria 108 Kongo 112
Koopmans, T 37, 99
C Kroasia 112
Ceko 17 Kusumaatmadja, Asikin 170

D L
Denmark 17, 18 Lesotho 113
Locke, John 44
E
Etiopia 108 M
Makedonia 113
F Malawi 114
Fiji 108 Malaysia 114
Filipina 108 Marshall Islands 115
Frankenberg, Gunter 102 Mayo, Henry B. 48
Milan, Italia 58
G Montesquieu 45
Gambia 109 Montreal, Kanada 62
Ghana 109
Griffith, J. A. G. 52
Guyana 110 N
Namibia 115
H Nepal 115
Habibie, B.J. 24 New Delhi, India 64
Hanssen, F. Andrew 29, 77 Nigeria 116

P
I Papua Nugini 116
India 64 Portugal 18
Indonesia 110 Prancis 17, 18, 116
Irlandia 17, 18,
Italia 17, 18, 58, 111 Q
Quebec, Kanada 62
Timor Timur 120
S Trinidad dan Tobago 121
Saint Chirstopher and Nevis 117 Tunisia 121
Saint Lucia 117
Saint Vincent 117 U
Samoa 118 Eropa, Uni Eropa 19
Seokarnoputri, Megawati 24
Sherif, Adel Omar 51 V
Sierra Leone 118 Vanuatu 121
Slovenia 119 Vasak, Karel 53, 56
Smith, Christopher E. 28, 75, 76 Venezuela 122
Soeharto 24 Voermans, Wim 17, 18, 123
Soejadi 170 Vollenhoven, Cornelis van 36, 98
Solomon Islands 119
Spanyol 18, 119 W
Sri Lanka 120 Wahid, Abdurrahman 24
Stahl, Friedrich Julius 49 Widyowati, Sri 170
Strong, C. F. 45
Suny, Ismail 65 Z
Swedia 17, 18 Zambia 122
Zimbabwe 122
T
Thailand 120
Tentang Penulis

A. AHSIN THOHARI lahir di Kabupaten Grobogan,


Jawa Tengah pada tanggal 4 Agustus 1973. Meraih gelar
Sarjana Hukum (S-1) dari Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta pada tahun 1999.
Selanjutnya, pada awal tahun 2004 meraih gelar
Magister Hukum (S-2) dari Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Aktif
menulis artikel di koran, majalah, jurnal ilmiah, laporan
penelitian, dan makalah untuk berbagai seminar yang
berkaitan dengan masalah-masalah hukum dan hak asasi manusia (HAM).
Berbagai macam penelitian yang telah diikutinya banyak mengkaji masalah-
masalah yang berhubungan dengan cetak biru reformasi peradilan di Indonesia,
perbandingan reformasi peradilan di berbagai negara, anotasi putusan-putusan
peradilan yang kontroversial, penegakan hukum dalam masa transisi politik
menuju demokrasi, paradigma penyelesaian pelanggaran HAM (berat),
formulasi keadilan transisional (transitional justice), aspek-aspek hukum
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), aspek-aspek hukum Rekening 502,
penerapan sita jaminan (conservatoir beslag) oleh peradilan, dan lain-lain.
Selain itu, juga aktif sebagai peneliti di berbagai lembaga penelitian yang
concern terhadap masalah-masalah hukum dan HAM. Pada tahun 2002,
bersama-sama dengan Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H. dan A. Ulfie, S.H.
mendirikan lembaga non-pemerintah (NGO) yang diberi nama Judicial Watch
of Indonesia (JWI) sebagai bagian dari gerakan civil society yang bergerak di
bidang penelitian, pemantauan peradilan, dan advokasi.
Back Cover Text

Maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia


adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan
dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim.
Semua ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan
berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran
martabatnya itu kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent
and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan dengan sekaligus diimbangi oleh
prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun dari segi etika.

Buku ini tidak masuk dalam perdebatan epistemologis soal mana lebih penting: pelaku
atau struktur, tindakan atau struktur. Ia hadir dengan asumsi bahwa peran subjek memang
penting dan “tidak bisa tidak” dalam sistem dan struktur. Bahkan sistem dan struktur itu
sendiri kehilangan maknanya tanpa ada pelaku atau Subjek. Seperti kata Giddens, tidak
ada “struktur” tanpa “pelaku”, demikian juga tidak ada “tindakan” tanpa “struktur”. Buku
ini mengkaji salah satu lembaga penting (subjek institusional) yang berisikan para pelaku
(subjek personal) yaitu Komisi Yudisial. Komisi ini merupakan sebuah institusi yang
sangat penting keberadaannya dalam reformasi hukum dan penegakan keadilan di sebuah
Negara.

Anda mungkin juga menyukai