Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh, Puji syukur marilah kita


panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat dan karunia-Nya penyusun
dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini dengan baik dan dalam keadaan
sehat wal’afiat. Tujuan dari penyusunan makalah ini selain untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah, juga sebagai media untuk dapat menambah ilmu terutama pada Sub
Bab prinsip-prinsip negara hukum, bentuk dan sistem pemerintahan dalam islam.

Makalah ini kami susun dengan semaksimal dan sesempurna mungkin dan
dalam prosesnya kami sangat banyak terbantu sekali, oleh karena itu, kami selaku
penyusun sangat berterima kasih kepada :

1. Allah SWT. Karena telah dilancarkan dalam proses penyusunan makalah


ini
2. Orang tua penyusun karena telah memberikan dukungan secara moral dan
Materiil
3. Dosen Fiqh Siyasah yaitu H. Wawan Setiawan Abdillah, S.Pd.I., M.Ag
karena telah mempercayakan penyusunan makalah ini kepada kelompok
kami.
4. Pihak pihak yang menyediakan alat bantu untuk menyelesaikan makalah
ini.

Akhir kata terima kasih, kembali penyusun ucapkan kepada seluruh pihak
baik yang disebut diatas ataupun tidak kami sebutkan. Semoga makalah ini dapat
berguna di masa mendatang walaupun mungkin masih banyak kekurangan dari
penyusunan makalah ini.

Bandung, November 2019

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………… 1
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………………………………….3
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………… 3
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………………….. 3
BAB II PEMBAHASAN
1. Prinsip – pinsip Negara hukum……………………………………………. 4
2. Bentuk dan sistem Pemerintahan dalam Islam
a. Pengertian Pemerintahan…………………………………………………… 8
b. Sistem Pemerintahan dalam perspektif Islam…………………………….. 10
c. Dasar – dasar kewajiban pemerintahan Islam……………………………. 11
c. Keunggulan bentuk dan system pemerintahan Islam…………………….. 17
BAB III PENUUP
A. Kesmpulan………………………………………………………………… 20
B. Saran………………………………………………………………………. 20
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 21

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’
dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan
‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan
‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah
kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan
adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide
kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris
yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law”
yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”.
Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang.
Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris
dengan judul “The Laws”2 , jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya
telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.

Selain itu, bentuk dan sistem pemerintahan dalam islam juga pemerintahannya merujuk
kepada syariat. Konstitusinya tercermin dalam prinsip-prinsip Islam dan hukum-hukum
syariat yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan dijelaskan Sunnah Nabawy, baik mengenai
aqidah, ibadah, akhlak, mu’amalah maupun berbagai macam hubungan. Oleh karena itu
hukum yang berlaku harus selalu bersumber dan merujuk kepada hukum yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT. Kemudian pemerintahan yang dipimpin oleh seorang ulil amri
yang dipilih oleh rakyat, untuk menjalankan tugas-tugas kepemerintahan guna terciptanya
kondisi masyarakat yang sehat (moral dan fisik) serta sejahtera.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja prinsip – prinsip negara hukum ?

2. Bagaimana bentuk dan sistem pemerintahan dalam Islam ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui prinsip – prinsip negara hukum

2. Untuk mengetahui bagaimana bentuk dan sistem pemerintahan dalam Islam

3. Sebagai bahan ajar dan acuan dalam pembelajaran khususnya pada mata kuliah Fiqh
Siyasah

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Prinsip – prinsip negara hukum

Negara dalam pandangan teori klasik diartikan sebagai suatu masyarakat yang sempurna
(a perfect society). Negara pada hakikatnya adalah suatu masyarakat sempurna yang para
anggotanya mentaati aturan yang sudah berlaku. Suatu masyarakat dikatakan sempurna
jika memiliki sejumlah kelengkapan yakni internal dan eksternal. Kelengkapan secara
internal, yaitu adanya penghargaan nilai-nilai kemanusiaan di dalam kehidupan
masyarakat itu. Saling menghargai hak sesama anggotamasyarakat. Kelengkapan secara
eksternal, jika keberadaan suatu masyarakat dapat memahami dirinya sebagai bagian dari
organisasi masyarakat yang lebih luas. Dalam konteks ini pengertian negara seperti halnya
masyarakat yang memiliki kedua kelengkapan internal dan eksternal, there exists onlyone
perfect society in the natural order, namely the state (Henry J. Koren(1995:24).

Dalam perkembangannya, teori klasik tentang negara ini tampil dalam ragam
formulasinya, misalnya menurut tokoh; Socrates, Plato dan Aristoteles. Munculnya
keragam konsep teori tentang negara hanya karena perbedaan cara-cara pendekatan saja.
Pada dasarnya negara harus merepresentasikan suatu bentuk masyarakat yang sempurnya.
Teori klasik menginspirasikan lahirnya teori modern tentang negara, kemudian dikenal
istilah negara hukum. Istilah negara hukum secara terminologis terjemahan dari kata
Rechtsstaat atau Rule of law. Para ahli hukum di daratan Eropa Barat lazim menggunakan
istilah Rechtsstaat, sementara tradisi Anglo–Saxon menggunakan istilah Rule of Law. Di
Indonesia, istilah Rechtsstaat dan Rule of law biasa diterjemahkan dengan istilah “Negara
Hukum” (Winarno, 2007). Gagasan negara hukum di Indonesia yang demokratis telah
dikemukakan oleh para pendiri negara Republik Indonesia (Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo
dan kawan-kawan) sejak hampir satu abad yang lalu.

Walaupun pembicaraan pada waktu itu masih dalam konteks hubungan Indonesia (Hindia
Belanda) dengan Netherland. Misalnya melalui gagasan Indonesia (Hindia Belanda)
berparlemen, berpemerintahan sendiri, dimana hak politik rakyatnya diakui dan dihormati.
Jadi, cita-cita negara hukum yang demokratis telah lama bersemi dan berkembang dalam
pikiran dan hati para perintis kemerdekaan bangsa Indonesia. Apabila ada pendapat yang
mengatakan cita negara hukum yang demokratis pertama kali dikemukakan dalam sidang
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) adalah tidak
memiliki dasar historis dan bisa menyesatkan. Para pendiri negara waktu itu terus
memperjuangkan gagasan negara hukum. Ketika para pendiri negara bersidang dalam
BPUPKI tanggal 28 Mei –1 Juni 1945 dan tanggal 10-17 Juli 1945 gagasan dan konsep
Konstitusi Indonesia dibicarakan oleh para anggota BPUPKI. Melalui sidang-sidang
tersebut dikemukakan istilah rechsstaat (Negara Hukum) oleh Mr. Muhammad Yamin
(Abdul Hakim G Nusant ara, 2010:2). Dalam sidang–sidang tersebut muncul berbagai

4
gagasan dan konsep alternatif tentang ketatanegaraan sepert i: negara sosialis, negara
serikat dikemukakan oleh para pendiri negara.

Perdebatan pun dalam sidang terjadi, namun karena dilandasi tekad bersama untuk
merdeka, jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi (nasionalisme) dari para pendiri
negara, menjunjung tinggi azas kepentingan bangsa, secara umum menerima konsep
negara hukum dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Semangat cita
negara hukum para pendiri negara secara formal dapatditemukan dalam setiap penyusunan
konstitusi, yaitu Konstitusi RIS 1949 danUUDS 1950. Dalam konstitusi – konstitusi
tersebut dimasukkan Pasal-pasalyang termuat dalam Deklarasi Umum HAM PBB tahun
1948. Hal itumenunjukkan bahwa ketentuan-ketentuan tentang penghormatan,
danperlindungan HAM perlu dan penting unt uk dimasukkan ke dalam konstitusinegara
(Abdul Hakim G Nusantara, 2010:2)Pengertian negara hukum selalu menggambarkan
adanyapenyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara yang didasarkan atas hukum.
Pemerintah dan unsur unsur lembaga di dalamnya dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya terikat oleh hukum yang berlaku. Menurut Mustafa Kamal (2003), dalam
negara hukum, kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum
(supremasihukum) dan bertujuan untuk menyelenggarakan ketert iban hukum. Dasar
yuridis bagi negara Indonesia sebagai negara hukum tertera pada Pasal 1 ayat (3) UUD
Negara RI 1945 (amandemen ketiga), “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” Konsep
negara hukum mengarah pada tujuan terciptanya kehidupan demokratis, dan terlindungi
hak azasi manusia, serta kesejahteraan yang berkeadilan. Menurut Winarno (2010),
konsepsi negara hukum Indonesia dapat di masukkan dalam konsep negara hukum dalam
arti material atau negara hukum dalam arti luas.

Pembuktiannya dapat kita lihat dari perumusan mengenai t ujuan bernegara sebagaimana
tertuang dalam Pembukaan UUD Negara RI 1945 Alenia IV. Bahwasannya, negara
bertugas dan bertanggungjawab tidak hanya melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia tetapi juga memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.Bukti lain yang menjadi
dasar yuridis bagi keberadaan negara hukumIndonesia dalam arti material, yaitu pada: Bab
XIV Pasal 33 dan Pasal 34UUD Negara RI 1945, bahwa negara turut aktif dan
bertanggungjawab atasperekonomian negara dan kesejahteraan rakyat.

1. Prinsip-prinsip Negara Hukum dan Demokrasi


            Terdapat korelasi yang jelas antara hukum, yang bertumpu pada konstitusi,
dengan kedaulatan rakyat, yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Korelasi ini
tampak dari kemunculan istilah demokrasi konstitusional. Dalam sistem demokrasi,
partisipasi rakyat merupakan esensi dari sistem ini. Dengan kata lain negara hukum
harus ditopang dengan sistem demokrasi, demokrasi tampa pengaturan hukum akan
kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tampa demokrasi akan kehilangan
makna.[17]
a. Prinsip-prinsip negara hukum

5
1. Asas legalitas. Pembatasan kebebasan warga negara (oleh pemberintah) harus ditentukan
dasarnya dalam undang-undang yang merupakan peraturan umum. Undang-undang secara
umum harus memebrikan jaminan (terhadap warga neraga) dari tindakan (pemberintah) yang
sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai jenis tindakan yang tidak benar. Pelaksanaan
wewenang oleh organ pemberintah harus dikembalikan dasarnya pada undang-undang
tertulis, yakni undang- undang formal
2. Perlindungan hak-hak asasi
3. Pemberintah terikat hukum
4. Monopoli paksaan pemberintah untuk menjamin penegakan hukum. Hukum harus dapat
ditegakkan, ketika hukukm tersebut dilanggar. Pemebrintah harus menjamin bahwa ditengah
masyarakat terdapat instrument yuridis penegaka hukum. Pemberintah dapat memaksa
seseorang yang melanggar hukum melalui sistem peradilan negara. Memaksankan hukum
publik secara prinsip merupakan tugas pemberintah.
5. Pengawasan oleh hakim yang merdeka. Superioritas hukum tidak dapat ditampilkan, jika
aturan-aturan hukm hanya dilaksanakan organ pemberintah. Oleh karena itu dalam setiap
negara hukum diperlukan pengawasan oleh hakim yang merdeka.

a. Prinsip-prinsip demokrasi
1. Perwakilan politik. Kekuasaan politik tertinggi dalam suatu negara dan dalam
masyarakat diputuskan oleh badan perwakilan, yang dipilih melalui pemilihan umum.
2. Pertanggungjawaban politik. Organ-organ pemerintah dalam menjalankan
fungsinya sedikit banyak tergantung secara politik yaitu kepada lembaga perwakilan.
3. Pemencaran kewenangan. Konsentrasi kekuasaan dalam masyarakat pada satu
organ pemebrintahan adalah kesewenang-wenangan. Oleh karena itu kewenangan badan-
badan publik itu harus dipencarkan pada organ-organ yang berbeda.
4. Pengawasan dan kontor. (penyelenggaraan ) pemberintahan harus dapat
dikontrol.
5. Kejujuran dan keterbukaan pemeberintah untuk umum.
6. Rakyat diberi kemungkinan untuk mengajukan keberatan.
Berikutnya dengan rumusan yang hampir sama, H.D.van Wijk/Willem Konijnenbelt
menyebutkan prinsip-prinsip rechtsstaat dan prinsip-prinsip demokrasi sebagai berikut:
Pemberintahan berdasarkan undang-undang; pemberintah hanya memiliki kewenangan yang
secara tegas diberikan oleh UUD atau UU lainnya.
1. Hak-hak asasi; terdapat hak-hak manusia yang sangat fundamental yang harus
dihormati oleh pemberintah.

6
2. Pembagian kekuasaan; kewenangan pemberintah tidak boleh dipusatkan pada satu
lembaga, tetapi harus dibagi-bagi pada organ-organ yang berbeda agar saling mengawasi
yang dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan.
3. Pengawasan lembaga kehakiman; pelaksanaan kekuasaan pemberintah harus dapat
dinilai aspek hukumnya oleh hakim yang merdeka.
a. Prinsip-prinsip demokrasi
1. Keputusan-keputusan penting, yaitu undang-undang, diambil bersama-sama dengan
perwakilan rakyat yang dipilih berdasarkan pemilihan umum yang bebas dan rahasia
2. Hasil dari pemilihan umum diarahkan untuk mengisi dewan perwakilan rakyat dan untuk
pengisian pejabat-pejabat pemberintah
3. Keterbukaan pemberintah
4. Siapapun yang memiliki kepentingan yang (dilanggar) oleh tindakan penguasa, (harus)
diberi kesempatan untuk membela kepentingannya.
5. Setiap keputusan harus melindungi berbagai kepentingan minoritas, dan harus seminimal
mungkin menghindari ketidak benaran dan kekeliruan.

2. Prinsip negara hukum dalam kehidupan sebagai warga negara

Prinsip Negara Hukum yang berkembang pada abad 19 cenderungmengarah pada konsep
negara hukum formal, yaitu pengertian negara hukumdalam arti sempit. Dalam Prinsip ini
negara hukum diposisikan ke dalamruang gerak dan peran yang kecil atau sempit. Seperti
dalam uraian terdahulunegara hukum dikonsepsikan sebagai sistem penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahan negara yang didasarkan atas hukum. Pemerintah dan unsur - unsur
lembaganya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya terikat oleh hukum yang berlaku.
Peran pemerintah sangat kecil dan pasif. Dalam dekade abad 20 konsep negara hukum
mengarah pada pengembangan negara hukum dalam arti material. Arah tujuannya
memperluas peran pemerintah terkait dengan tuntutan dan dinamika perkembangan jaman.
Prinsip Negara Hukum material yang dikembangkan di abad ini sedikitnya memiliki
sejumlah ciri yang melekat pada negara hukum atau Rechtsstaat, yaitu sebagai berikut :

 HAM terjamin oleh undang-undang.


 Supremasi hukum.
 Pembagian kekuasaan ( Trias Politika) demi kepastian hukum.
 Kesamaan kedudukan di depan hukum.
 Peradilan administrasi dalam perselisihan.
 Kebebasan menyatakan pendapat, bersikap dan berorganisasi.
 Pemilihan umum yang bebas.
 Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.

7
B. Bentuk dan Sistem Pemerintahan dalam Islam

1. Pengertian pemerintahan

Gunakaya. W. & Surayin, (1987:76) menjelaskan, Pimpinan Negara tertinggi terletak dalam
tangan suatu badan Negara yang pada umumnya disebut pemerintah. Kata pemerintah
mempunyai bermacam-macam arti, tetapi secara umum yang dimaksud pemerintah ialah
suatu badan atau gabungan badan Negara yang tertinggi yang berkuasa memerintah sesuatu
daerah. Senada dengan itu, Yudana, & Gunakaya (1987:28) menambahkan Pemerintah dalam
arti luas adalah Segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam

menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara itu sendiri. Jadi tidak
diartikan sebagai pemerintah yang hanya menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga
meliputi tugas-tugas lainnya termasuk legeslatif dan yudikatif.

2. Bentuk Dan Sisitem Pemerintahan Perspektif Islam

Pada zaman dahulu bentuk pemerintahan dibedakan menurut jumlah orang yang memegang
kekuasaan pemerintah. Atas dasar ini bentuk pemeritahan itu dapat di bagi menjadi 3, yaitu
Monarkhi, Oligarkhi, dan Demokrasi. Pembagian bentuk pemerintahan menjadi monarkhi,
oligarkhi,dan demokrasi seperti tersebut diatas sekarang sudah tidak dipakai lagi. Bentuk
pemerintahan yang dipakai sekarang ialah yang didasarkan atas cara menunjuk kepala
Negara. Pembagian ini pertama kali dikemukakan oleh seorang sarjana Perancis bernama
Duguit. Atas dasar ini bentuk pemerintahan dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Monarkhi.

Arti Monarkhi itu sekarang sama dengan kerajaan. Suatu Negara disebut monarkhi apabila
Negara itu dikepalai oleh seorang raja yang menjadi kepala Negara karena hak waris. Kalau
seorang raja meninggal, maka jabatan kepala Negara diwariskan kepada keturunannya atau
keluarga raja yang telah meninggal itu.

Monarkhi dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:

a. MonarkhiAbsolut atau kerajaan mutlak raja mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas.

b. Monarkhi Konstitusional

Kekuasaan raja tidak lagi mutlak (absolute), tetapi sudah dibatasi dengan konstitusi. Pada
bentuk pemerintahan ini sudah ada Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi kekuasaannya masih
belum luas, hanya sekedar mengawasi tindakan raja saja.

c. Monarkhi parlementer

Pada bentuk pemerintahan monarkhi parlementer ini kekuasaan DPR sudah besar. Titik berat
kekuasaan tertinggi tidak lagi ditagan raja, melainkan terletak ditanga parlemen. Dari uraian
diatas kelihatan bahwa raja tidak lagi memegang pemeritahan secara nyata, melainkan para

8
menterilah yang bertanggung jawabatas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-
sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri.

b. Republik.

Arti Republik menurut pengertian sekarang ialah suatu Negara yang kepala negaranya
bukanlah seorang raja, melainkan lazimnya seorang presiden, yang menjadi kepala Negara
tidak karena hak waris turun-temurun, melainkan ia menjadi kepalanegara karena dipilih,
baik dipilih secara langsung oleh rakyat yang berhak, maupun dipilih oleh suatu badan yang
dikuasakan untuk itu.[2]

Jadi perbedaan antara kerajaan (monarkjhi) dengan republic terletak pada bagaimana cara
menetapkan kepala negaranya. Kalau cara menetapkan kepala negaranya karena hak warisan
turun temurun, maka Negara itu adalah kerajaan, tetapi kalau penetapan kepala negaranya
dengan jalan dipilih, maka Negara itu adalah suatu republik

Seperti pada bentuk monarkhirepublik dibagi menjadi tiga:

1.Republik Absolut.

2.Republik Konstitusional.

3.Republik parlementer.

Apa yang berlaku pada macam-macam monarkhi seperti diatas, berlaku juga untuk
macam-macam republic ini.Suatu republic absolute biasanya disebut juga dictator, dan kepala
negaranya yang memegang kekuasaan absolute disebut dictator. Dalam Negara dictator ini
seperti juga dalam monarkhi absolute, mudah sekali timbulnya tindakan sewenang-wenang.

Pada zaman dahulu arti republic hampir sama denga demokrasi. Kata republic berasal dari res
publika artinya urusan umum atau urusan rakyat. Tiap-tiap Negara republic pemerintahannya
pasti demokratis, tetapi sebaliknya tiap-tiap Negara monarkhi, pemerintahannya pasti tidak
demokratis.

c. Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan adalah merupakan gabungan dari dua istilah yaitu system dan
pemerintahan.Sistem adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai
hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional terhadap
keseluruhannya, sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-
bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi
keseluruhannya.[3]

Pemerintah dalam arti luas adalah Segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam
menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara itu sendiri. Jadi tidak
diartikan sebagai pemerintah yang hanya menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga
meliputi tugas-tugas lainnya termasuk legeslatif dan yudikatif.

9
Jadi dengan demikian membicarakan system pemerintahan adalah membicarakan bagaimana
pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga Negara yang menjalankan
kekuasaan-kekuasaan negeri itu, dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.

Sistem pemerintahan itu ada dua yaitu:

a. Sistem pemerintahan presidensial.

Sistem pemerintahan presidensial adalah Presiden menjadi kepala eksekutif mengangkat serta
memberhentikan para menteri, dan para menteri ini bertanggung jawab kepada presiden.

b. Sistem pemerintahan parlementer.

Sistem pemerintahan parlementer adalah kekuasaan pemerintahan (eksekutif) tidak lagi


dipegang oleh presiden tetapi dipegang oleh perdana menteri. Demikian juga para menterinya
tidak lagi bertanggung jawab kepada presiden, melainkan para menteri sebagai anggauta
cabinet harus bertangung jawab kepada perdana menteri.

d. Sistem Pemerntahan dalam Islam

1. Al Khilafah.

A. Defenisi Sistem Pemerintahan Islam(Khilafah)

Khilafah berasal dari bahasa arab yaitu( ‫ )خالفة‬yang artinya pemimpin atau datang
kemudian. Khilafah menurut bahasa artinya adalah pengganti, Duta, kepemimpinan atau
wakil. Dan kata Khilafah ini bersinonim dengan kata Imamah atau Imarah yang artinya
pemerintahan atau kepemimpinan.

Khilafah menurut istilah yaitu struktur pemerintahan yang pelaksanaannya diatur


berdasarkan syariat islam. Secara ringkas, Syech Taqiyyuddin An Nabhani mendefinisikan
Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk
menegakkan hukum-hukum Syariah Islam dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru
dunia (Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam). Menurut Syekh Abdul Majid
Al-Khalidi, Khilafah didefinisikan sebagai kepemimpinan umum bagi kaum muslimin secara
keseluruhan didunia untuk menegakkan hukum-hukum syara serta mengemban dakwah Islam
keseluruh dunia (Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam). Sedangkan Menurut Syekh Abdul
Qodir Hasan Baraja Khilafah adalah wadah bagi kehidupan bersama seluruh kaum muslimin
dimuka bumi untuk melaksanakan ajaran Islam dengan seorang Imam/Kholifah/Amirul
mukminin sebagai pemimpin. Maka dapat disimpulkan bahwa Khilafah adalah sebuah sistem
pemerintahan bagi seluruh kaum muslimin yang diddalamnya diterapkan hukum islam
sebagai aturan mutlak. Dalam pengertian syariah, Khilafah digunakan untuk menyebut orang
yang menggantikan Nabi SAW dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyah)
[1] . Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian, dalam perkembangan
selanjutnya, istilah Khilafah digunakan untuk menyebut Negara Islam itu sendiri.[2]

10
B. Dasar-Dasar Kewajiban Pemerintahan Islam

1. Dalil Al-Qur’an

Banyak dalil yang menunjukkan kewajiban menegakkan syariah. Di antaranya dalil tentang
wajibnya mentaati Allah, Rasul-Nya dan pemimpin/Ulil Amri (QS. An-Nisaa: 59). Ayat ini
mengharuskan adanya pemimpin yang menerapkan aturan Allah dan Rasul-Nya. Pada Qur’an
surat Al-Maidah ayat 44, 45, 47, 48, dan 49 secara tegas mengandung perintah menerapkan
syariah.

Lalu mengapa kewajiban berhukum syariah ini diartikan menegakkan negara berdasarkan
syariah? Hal ini didasarkan oleh kaidah fiqh:

ِ ‫َما الَ يَتِ ُّم ْال َوا ِجبُ اِالَّ بِ ِه فَه َُو َو‬
ٌ‫اجب‬

“Suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi
wajib.”

Kaidah ini disampaikan oleh Imam Al-Ghazali. Dan perlu diketahui bahwa setiap kaidah fiqh
disusun oleh ulama ushul berdasarkan penelitiannya terhadap nash-nash Qur’an dan Sunnah.

Sebagaimana diketahui bahwa kewajiban menghukumi segala hal dengan syariat Islam tidak
akan sempurna kecuali dengan adanya negara dan penguasa yang bertindak sebagai
pelaksana (munaffidz), maka atas dasar kaidah ini, mewujudkan negara dan penguasa yang
menerapkan syariat Islam itu menjadi wajib.

2. Dalil Hadits

Rasulullah SAW bersabda: “Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang
nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah
dan jumlahnya akan banyak.” Para Sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada
kami?” Nabi menjawab,’”Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja.
Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang
menjadi kewajiban mereka.” (HR. Muslim)

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa para pemimpin umat Islam sepeninggal Nabi SAW
disebut sebagai khalifah. Memang ini sifatnya khabar bukan perintah. Namun, sebuah hadits
ahad tidak mungkin dijadikan dasar aqidah, dan oleh karenanya menjadi dasar amal.
Maknanya, hadits ini mengharuskan kita beramal untuk mewujudkan khilafah.

3. Ijma Shahabat

Ijma (kesepakatan) shahabat adalah tafsir terbaik atas Qur’an dan Sunnah. Para shahabat
adalah rujukan pertama sekaligus standar kebenaran tatkala kita ingin memahami Qur’an dan
Sunnah. Fakta menunjukkan bahwa para shahabat sibuk memilih khalifah bahkan hingga
menunda pemakaman Rasulullah SAW.

11
Kosensus para shahabat dan tabi’in tentang wajibnya imamah/Khilafah. Hal ini bisa
dibuktikan dengan bergegasnya para shahabat untuk membaiat Abu Bakar di Saqifah Bani
Sa’adah sebagai Amirul Mukminin.[3]

Abu Bakar ra dibaiat sebagai khalifah, dengan sebutan yang memang “khalifah” lalu
disepakati oleh para shahabat. Kesepakatan (ijma) mereka menjadi dalil bahwa khilafah itu
wajib dan bahwa bentuk pemerintahan Islam adalah khilafah.

Ijma shahabat tidak mungkin diganggu gugat. Rasulullah SAW menjamin bahwa mereka
generasi terbaik. Mereka adalah manusia terbaik dengan pemahaman yang terbaik atas apa
yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian mencaci maki
para shahabatku! Janganlah kalian mencaci maki para shahabatku! Demi Dzat yang jiwaku di
tangan-Nya, seandainya seseorang menginfakkan emas sebesar gunung Uhud maka ia tidak
akan dapat menandingi satu mud atau setengahnya dari apa yang telah diinfakkan para
shahabatku.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad)

Dari Imran bin Husain ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik umatku adalah
orang-orang yang hidup pada zamanku (para shahabat) kemudian orang-orang yang datang
setelah mereka (tabi’in) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka (tabi’ut tabi’in).
(HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ahmad dan lainnya

2. Hak Mengangkat Dan Memecat Khalifah.

Telah sepakat ulama’bahwa memilih kholifah adalah farhlu kifayah atas Ahlul Halli wal Aqdi
kalangan ummat, hanya mereka berlainan faham dalam mengartikan kata Ahlul Halli wal
Aqdi siapakah, bagaimanakah sifatnya dan apakah mereka semua ikut memilih atau cukup
dengan sebagian dari mereka saja? Yang lebih hak diantara pendapat-pendapat itu adalah:

Yang dimaksud dengan Ahlul Halli wal Aqdi adalah para ulama’ cerdik pandai dan
pemimpin-pemimpin yang mempunyai kedudukan dalam masyarakat dipercaya oleh seluruh
rakyat, sehingga buah pilihan mereka nanti akan ditaati serta ditunduki oleh seluruh rakyat.
Berarti dengan pemilihan itu kedaulatan akan didukung oleh seluruh ummat. Kata Ramli
dalam Rasjid Sulaiman (1954:465) karena dengan mereka pekerjaan jadi teratur dan umat
bisa tenteram. Sesungguhnya kalau kita selidiki lebih jauh pemilihan kholifah yang empat
(Kholifaur Rosyidin) memang begitu, sehingga Umar diangap salah ketika beliau memilih
Abu Bakar (Kholifah pertama) sebelum cukup permusyawaratan selurauh Ahlul Halli wal
Aqdi.

Dalam beberapa riwayat diterangkan bahwa Abu Bakar sewaktu beliau mencalonkan Umar
bin Khotthob untuk menjadi Kholifah penganti beliau, belaiau sungguh banyak
bermusyawaroh dengan sahabat-sahabat terkemuka, mereka semua tidak ada yang mencela
Umar selain dari tabiatnya yang keras, walaupun mereka mengetahui bahwa Umar keras
dalam kebenaran. Jawab Abu Bakar kepada mereka, apabila ia diserahi pimpinan ia tentu
akan ramah dan lemah pada tempatnya walaupun ia akan tetap keras apabila perlu. Begitulah

12
seharusnya cara dan jalannya pemilihan Khulafaur Rasyidin yang hendaknya patut menjadi
contoh dan teladan bagi kita.

Selanjutnya Mumtaz Ahmad (1993:64) memberi komentar bahwa menanggapi situasi sosial
politik pada zamannya, Umar, sebelum meninggalnya, membentuk badan pemilih yang
bertugas memilih calon dan memerintahkan mereka untuk memilih salah seorang dari mereka
sebagai pengantinya. Badan pemilih tersebut terdiri dari Ali, Utsman, Abdur Rahman, Sa’ad,
Zubair, dan Talhah. Umar juga menunjuk Abdullah, anaknya, untuk memberikan suara yang
bersifat memutuskan kalau terdapat jumlah suara yang sama.[5]

Meskipun demikian, Umar tidak menunjuk Abdullah sebagai gantinya. Dewan tersebut,
melalui proses eliminasi, memberikan wewenang kepada Abdur Rahman untuk
merekomendasikan apakah Ali atau Utsman yang akan mengantikan Umar. Menurut riwayat,
Abdur Rahman bermusyawarah dengan sebanyak mungkin orang dimadinah, termasuk
wanita, pelajar, dan orang-orang yang berasal dari luar atau yang kebetulan berada di
Madinah sebagai musafir. Kebanyakan dari mereka mendukung Utsman, bahkan Abdur
Rahman mewawancarai Ali dan Utsman mengenai bagaimana mereka akan memerintah
Negara apabila menjadi pemimpin.

Akhirnya Abdur Rahman mendukung Utsman, dan Utsman pun terpilih menjadi calon
tunggal. Kemudian masyarakatmuslim lainnya memberikan sumpah setia kepadanya.

Setelah pembunuhan terhadap Utsman, rakyat Madinah berkumpul di rumah Ali, dan
meminta Ali untuk menjadi pengganti. Abbas, paman nabi, mendukungnya sebagai calon
tungal. Ali menolak untuk menerima bay’ah pribadi, dan menegaskan apabila masyarakat
muslim berkeinginan membay’atnya sebagai kholifah, maka harus dilakukan secara terbuka
di masjid Nabi. Permintaan Ali itu pun kemudian dilaksanakan.[6]

Akhirnya Rasjid S, (1954:466) memberikan kesimpulan, jadi menurut riwayat yang sah
hendaklah pemilihan itu dengan sepakat mereka (Ahlul Halli wal Aqdi), atau sedikitnya
dengan sepakat mereka yang lebih terkemuka dari kalangan ahli pengetahuan.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa yang berhak mengangkat kholifah-kholifah ialah rakyat
maka yang berhak memperhentikan juga rakyat. Rozi mengatakan dalam Rasjid S,
(1954:469) “pimpinan umum itu hak rakyat, maka rakyat berhak memperhantikan kholifah
jika dipandang perlu”. Apakah maksud Rozi dengan katanya “pemimpin”?

Hal ini menjadi pertanyaan. Kalau pimpinan itu hak rakyat siapakah yang dipimpin?
Pertanyaan ni dijawab oleh Sa’ad, maksud razi dengan rakyat ialah Ahlul Halli wal Aqdi.

Artinya:

Orang-orang yang mengikut perintah Tuhan, mengerjakan sembahyang, urusan mereka


dilakukan dengan permusyawaratan diantara sesama mereka, dan mereka belanjakan
sebahagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka. QS.Asy Syura : 38

13
3. Hak Berpolitik.

Dari nash-nash autentik, terdapat suatu ayat dasar dalam Al Qur’an yang menunjukkan
adanya perbedaan dalam hak berpolitik.(QS. An-Nisa:59). Kita ketahui bahwa ayat ini hanya
ditujukan kepada kaum muslimin dengan firman-Nya “Wahai orang-orang yang beriman”
Jadi kekuasaan yang ada setelah Muhammad adalah terbatas kepada para penguasa dari kaum
muslimin (Yang beriman).

Sehubungan dengan hal tersebut Maudoodi dalam Ramadan Said, (1970:127) memberi
tambahan, Kita katakan bahwa warga non muslim berhak untuk mengeluarkan suara atau
menjadi anggauta lembaga parlemen. Adalah benar bahwa system parlementer adalah
lembaga modern yang dianggap sebagai pancaran dari prinsip dasar Agama Islam. Kita dapat
melihat dalam konstitusi yang dicetuskan dalam Negara kota Madinah beberapa kalimat yang
berbunyi, “Harus selalu ada saling bermusyawarah dan menasehati (antar warga muslim dan
warga Yahudi)”; dan “harus ada tanggung jawab bersama untuk pertahana dan orang yahudi
harus membentuk biaya peperangan bersama kaum muslimi.

Kita juga telah mengutip pernyataan Rasulullah bahwa hak dan kewajiban bagi kaum
muslimin dan warga non muslim adalah sama dan saling berkaitan. Kenyataan tersebut secara
terus terang membuktikan bahwa warga non muslim berhak untuk memberikan suara atau
menjadi angauta dalam lembaga parlemen. Di segi lain, parlemen mempunyai kekuasaan
legislative yang harus tunduk kepada nash-nash Hukum Islam yang tidak diyakini oleh warga
non muslim.

Masalah ini dapat dipecahkan dengan membuat konstitusi bahwa ultra vires (adalah diluar
kekuasaan) parlemen atau kekuasaan legeslatif untuk membuat hukum yang bertentangan
dengan Qur’an dan Sunnah.

4. Hukum Ketatanegaraan Islam.

Sejalan dengan pemahaman seperti diatas, maka suatu pemerintahan yang didirikan oleh
masyarakat muslim juga harus mengindahkan dasar-dasar yang telah diberikan leh Islam.
Tidak setiap bentuk pemerintahan ditoleransi oleh syari’ah. Sampai sekarang, pendapat
Syekh Ali Abdur Roziq yang dikemukakan dalam bukunya Al Islam wa USHUL Al Hukum
pada 1925, yang mengatakan bahwa pemerintahan menurut Islam boleh mengambil bentuk
apa saja, tidak pernah diterima oleh umat.

Secara ganjil Raziq mengatakan bahwa Rasul SAW. hanya bertugas mendakwahkan Agama,
dan tidak ada kaitan apapun dengan urusan kenegaraan. Karena itu menurutnya, Islam dapat
saja menerima otokrasi atau demokrasi, monarkhi atau republic, kediktatoran atau
pemerintahan konstitusional, dan tidak mempedulikan ahakikat suatu Negara itu demokratis,
sosialis atau bolshevis.[7]

Tentu saja argument Raziq sangat lemah dan tidak dapat dipertahankan, karena pemerintahan
yang didirikan dengan bimbingan Islam (Syari’ah Islamiyah) mempunyai tujuan ganda yang
tipikal, yaitu menjamin tegaknya keyakinan (ad-din) dan menjamin terpenuhinya kepentingan

14
rakyat. Namun kedua uuan ini bukanlah tuuan akhir, melainka merupakan tujuan antara untuk
mencapai kebahagiaan (falah) di akhirat

Dalam pandangan Islam, komitmen suatu pemerintahan untuk mencapai tujuan ganda seperti
dikemukakan diatas akan menentukan apakah pemerintaha itu memiliki legitimasi atau tidak.
Selama suatu pemerintahan tetap setia pada tujuan gandanya, yaitu pemantapan keyakinan
dan pemenuhan kepentingan rakyat, maka pemerintahan secara hukum Islam memenuhi
“syarat permulaan” (syarth ibtida’) dan “syarat pelestarian(syarth baqa’). Sebaliknya, bila
suatu pemerintahan tidak lagi setia pada tujuannya, dan melangar syarat-syarat itu, maka
secara hukum (ipso jure) pemerintahan itu dengan sendirinya berakhir, kehilangan legitimasi,
dan rakyat tidak lagi mendukungnya. (Rais Amin, 1987:53).

5. Nilai-nilai politik yang harus ditegakkan.

Bila kita mempelajari Al Qur’an dan Sunnah kita dapat memahami adanya nilai-nilai politik
atau prinsip-prinsip konstitusional yang harus ditegakkan dan dijadikan pilar-pilar
pengelolaan suatu pemerintahan (Negara), yaitu syura, keadilan, kebebasan atau
kemerdekaan, persamaan, dan tanggung jawaban penguasa dihadapan rakyat.

Para ulama’ berpendapat bahwa setiap penguasa diwajibkan melaksanakan syura dengan
ummat, dalam semua hal yang berkenaan denngan urusan umum. Umat punya hak penuh
untuk menuntut penguasa agar mengadakan syura. Keadilan merupakan nilai terpenting
dalam hukum Islam. Barangkali tidak ada system hukum sebelum Islam yang menempatkan
keadila sebagai titik sentral dalam seluruh bangunan hukumnya. Al Qur’an dan Sunah
memberikan isyarat sangat tegas bahwa keadilan adalah suatu konsep yang utuh. Kebebasan
atau kemerdekaan merupakan nilai yang juga amat diperhatikan oleh syari’ah.

Para sarjana hukum konstitusional modern pada umumnya berpendapat bahwa kebebasan itu
memiliki beberapa cabang, al; kebebasan berfikir dan beragama, kebebasan mimbar, hak
untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan secara bebas, kebebasan pribadi yang
mencakup hak untuk hidup, merdeka dan aman, hak untuk berpindah tempat (freedom of
movement) dan sebagainya. Persamaan (ekualitas) juga harus menjadi prinsip konstitusional
yang diutamakan.

Manusia harus berdiri sama didepan hukum (ekuality before the law), tanpa diskriminasi
berdasarkan ras, asal-usul, bahasa, keyakinan, pangkat, atau latar belakang sosial ekonomi.
Akhirnya, penguasa harus selalu dapat mempertanggung jawabkan kebijakan yang diambil
dihadapan rakyatnya.

Kelima nilai politik atau prinsip konstitusional diatas harus dijadikan pedoman dalam
membangun suatu Negara yang islami. Syariat tidak berbicara mendetail mengenai aspek-
aspek kelembagaan, tekhnik dan prosedur pengelolaan suatu Negara, agar kita secara cerdas
dan kreatif dapat merumuskan keperluan-keperluan kita sesuai dengan perkembangan zaman.

15
C. Sistem Pemerintahan Khilafah

Sistem pemerintahan islam(khilafah) berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang


dikenal diseluruh dunia, baik dari segi asas yang mendasarinya maupun dari segi-segi lainya.
Hal ini karena:

1. Pemerintahan Islam Bukan Monarchi(Kerajaan)

Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk monarchi. Bahkan, Islam tidak mengakui sistem
monarchi(kerajaan), maupun yang sejenis dengan sistem monarchi. Hal ini karena dalam
sistem kerajaan, Seorang anak (putra mahkota) menjadi raja karena pemawiransi.[4] Dimana
singgasana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya, seperti
kalau mereka mewariskan harta warisan.

Sedangkan sistem pemerintahan Islam tidak mengenal sistem waris. Namun, pemerintahan
akan dipegang oleh orang yang dibai'at oleh umat dengan penuh ridla dan bebas memilih.

Sistem monarchi telah memberikan hak tertentu serta hak-hak istimewa khusus untuk raja
saja, yang tidak akan bisa dimiliki oleh yang lain, Dimana raja bebas mengendalikan negeri
dan rakyatnya dengan sesuka hatinya. Islam telah menentukan cara mengambil pemerintahan
yaitu dengan bai'at dari umat kepada khalifah atau imam, dengan penuh ridla dan bebas
memilih.

2. Pemerintahan Islam Bukan Imperium(Kekaisaran)

Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem kekaisaran, bahkan sistem kekaisaran jauh
sekali dari ajaran Islam. Sebab wilayah yang diperintah dengan sistem Islam --sekalipun ras
dan sukunya berbeda serta sentralisasi pada pemerintah pusat, dalam masalah pemerintahan--
tidak sama dengan wilayah yang diperintah dengan sistem kekaisaran. Bahkan, berbeda jauh
dengan sistem kekaisaran, sebab sistem ini tidak menganggap sama antara ras satu dengan
yang lain dalam hal pemberlakuan hukum di dalam wilayah kekaisaran. Dimana sistem ini
telah memberikan keistimewaan dalam bidang pemerintahan, keuangan dan ekonomi di
wilayah pusat.

Sedangkan Metode Islam dalam memerintah adalah menyamakan seluruh orang yang ada di
seluruh wilayah negara islam.[5]. Islam juga telah menolak ikatan-ikatan kesukuan (ras).
Bahkan, Islam memberikan semua hak-hak rakyat dan kewajiban mereka kepada orang non
Islam yang memiliki kewarganegaraan. Dimana mereka memperoleh hak dan kewajiban
sebagaimana yang menjadi hak dan kewajiban umat Islam.

3. Pemerintahan Islam Bukan Federasi

Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem federasi, yang wilayah-wilayahnya negaranya
terpisah satu sama lain dengan kemerdekaan sendiri, dan hanya dipersatukan dalam msalah
pemerintahan hukum Umum. Tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan.[6]

16
4. Pemerintahan Islam Bukan Republik

Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem republik. Dimana sistem republik berdiri di
atas pilar sistem demokrasi, yang kedaulatannya jelas di tangan rakyat. Rakyatlah yang
memiliki hak untuk memerintah serta membuat aturan, termasuk rakyatlah yang kemudian
memiliki hak untuk menentukan seseorang untuk menjadi penguasa, dan sekaligus hak untuk
memecatnya. Rakyat juga berhak membuat aturan berupa undang-undang dasar serta
perundang-undangan, termasuk berhak menghapus, mengganti serta merubahnya. Jadi dalam
Demokrasi ditangan manusia kewenangan hukum itu dibuat.

Sementara sistem pemerintahan Islam berdiri di atas pilar akidah Islam, serta hukum-hukum
syara'. Dimana kedaulatannya di tangan syara', bukan di tangan umat.Allah SWT berfirman:
“Menetapkan Hukum itu hanyalah Haknya Allah SWT” (TQS Yusuf : 40).[7] Dalam hal ini,
baik umat maupun khalifah tidak berhak membuat aturan sendiri. Karena yang berhak
membuat aturan adalah Allah SWT. semata. Sedangkan khalifah hanya memiliki hak untuk
mengadopsi hukum-hukum untuk dijadikan sebagai undang-undang dasar serta perundang-
undangan dari kitabullah dan sunah Rasul-Nya.

D. Keunggulan Sistem Pemerintahan Islam

Sistem ini menjadi sistem yang unggul karena bersumber dari Allah Swt. ,Zat Yang
Mahaagung. Di antara keunggulan sistem politik Islam adalah:

a) Istiqamah.

Sistem politik Islam memiliki karakter istiqamah; artinya bersifat langgeng, kontinu, dan
lestari di jalannya yang lurus. Dalam sistem demokrasi, misalnya, sistem politik bergantung
pada kehendak manusia. Perubahan nilai dan inkonsistensi pun terjadi. Hal yang sama bisa
berlaku untuk orang lain, tetapi tidak untuk negara tertentu. Misalnya, Iran tidak boleh
memiliki nuklir, tetapi AS dan Israel tidak mengapa; setiap negara tidak boleh mencampuri
urusan negara lain, kecuali AS dan sekutunya yang dapat menerapkan pre emptive. Sistem
seperti ini tidaklah istiqamah. Betapa tidak; semuanya bergantung pada kehendak dan tolok
ukur manusia yang senantiasa berubah-ubah, bahkan dapat saling bertolak belakang.
Sekarang benar, nanti salah; atau sekarang terpuji lain waktu tercela.

Dalam konteks kenegaraan, sistem politik Islam dibangun di atas landasan yang istiqamah,
yakni:

(a) kedaulatan ada di tangan syariah;

(b) kekuasaan ada di tangan rakyat;

(c) wajib hanya memiliki satu kepemimpinan dunia; dan

(d) hanya khalifah yang berhak melegalisasi perundang-undangan dengan bersumber dari
Islam berdasarkan ijtihad.

17
b) Mewujudkan ketenteraman secara kontinu.

Setiap warga negara harus terjamin ketenteramannya. Tanpa ketenteraman, kehidupan tak
akan nyaman. Ketenteraman merupakan syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi
keberlangsungan kehidupan masyarakat. Islam sangat memperhatikan hal ini. Salah satu
ajaran penting Islam adalah mewujudkan keamanan di tengah-tengah masyarakat. Sejarah
menunjukkan bagaimana saat Islam diterapkan, warga negaranya, baik Muslim maupun non-
Muslim, hidup dalam keamanan.

Pertama:

Sistem politik Islam mengaitkan aspek keamanan dengan aspek ruhiah. Rasul berkali-kali
menegaskan bahwa di antara ciri Muslim yang baik adalah Muslim yang tetangganya selamat
dari lisan dan tangannya. Penjagaan keamanan dikaitkan dengan pahala dan siksa. Akibatnya,
muncullah dorongan takwa dalam diri individu untuk senantiasa mewujudkan keamanan,
baik bagi diri, masyarakat, maupun negara. Kekuatan internal inilah yang mengokohkan
terwujudnya keamanan.

Kedua:

Mengharuskan masyarakat untuk menjaga keamanan dan bersikap keras kepada perusak
keamanan. Setiap kemungkaran yang ada, termasuk gangguan tehadap keamanan,
diperintahkan untuk dihilangkan oleh siapapun yang melihatnya; baik dengan kekuatan, lisan,
ataupun dengan hati melalui sikap penolakan.

Ketiga:

Makna kebahagiaan yang khas. Allah Swt. telah menetapkan makna kebahagiaan adalah
tercapainya ridha Allah. Berbagai limpahan materi hanyalah kepedihan jika jauh dari ridha
Allah. Untuk apa memiliki kekuasaan jika digunakan untuk menjauhkan diri dan masyarakat
dari ridha Allah. Walhasil, mafhûm kebahagiaan demikian mendorong setiap orang untuk
mengejar ridha Allah dengan menaati-Nya. Salah satunya adalah memberikan keamanan bagi
orang lain.

Keempat:

Menutup pintu kriminal. Salah satu pintu datangnya gangguan keamanan adalah tindak
kriminal. Dalam konteks ini, Islam mencegahnya dengan jitu. Allah Swt. melarang tindak
kriminal dengan motif apapun, termasuk untuk kepentingan politik. Sistem politik Islam tidak
mengenal paham machiavelis (menghalalkan segala cara). Siapapun diharamkan mencuri,
merampok, membunuh, merampok harta negara, korupsi, mengintimidasi rakyat, dll. Islam
juga mengharamkan zina dan perkosaan. Tidak ada cerita dalam Islam yang mentoleransi
menggunakan perempuan sebagai umpan dan modal dalam transaksi ekonomi maupun
bargaining politik.

18
c) Menciptakan hubungan ideologis penguasa dengan rakyat.

Hubungan penguasa dengan rakyat dalam sistem politik Islam adalah hubungan ideologis.
Kedua belah pihak saling berakad dalam baiat untuk menerapkan syariat Islam. Penguasa
bertanggung jawab dalam penegakkannya. Sebaliknya, rakyat membantu penguasa sekuat
tenaga, taat kepadanya, selama tidak menyimpang dari Islam. Berdasarkan hubungan
ideologis inilah penguasa akan melakukan pengurusan (ri’âyah) terhadap umatnya melalui:
(a) penerapan sistem Islam secara baik: (b) selalu memperhatikan kemajuan masyarakat di
segala bidang; dan (c) melindungi rakyat dari ancaman. Nabi saw. bersabda (yang artinya):
Sesungguhnya seorang imam (pemimpin) itu merupakan pelindung. Dia bersama
pengikutnya memerangi orang kafir dan orang zalim serta memberi perlindungan kepada
orang-orang Islam (HR al-Bukhari).

d) Mendorong kemajuan terus-menerus dalam pemikiran, sains teknologi, dan


kesejahteraan hidup.

Sejarah telah membuktikan hal ini. Kemajuan sains, teknologi, dan pemikiran merupakan
keniscayaan dalam Islam karena:

a. Islam mendorong umat untuk terus berpikir,

b. Allah telah menundukkan alam untuk manusia agar diambil manfaatnya.

c. Islam mendorong inovasi dan penemuan.

Bukan hanya itu, kemajuan ekonomi pun akan tercapai karena:

a) Ada konsep kepemilikan dan pengelolaannya secara jelas;

b) kewajiban ri’âyah mengharuskan adanya perhatian secara terus menerus atas urusan dan
kemajuan;

c) perlindungan terhadap milik pribadi dan pemanfaatannya dalam batas syariat; dan

d) adanya pengumpulan harta untuk kaum miskin dan lemah.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Prinsip – prinsip Negara hukum

Dapat disimpulkan bahwa agar negara tersebut dapat dikatakan sebagai negara hukum dan
demokrasi, maka dalam penyelenggaran negara atau konstitusi negara dan pemberintahannya
setidak-tidaknya terdapat prisnip-prinsip sebagai berikut :

 Supremasi hukum. (Supremacy ofLaw)


 Persamaan dalam hukum. (Equality before the Law)
 Asas legalitas. (Due Process of Law)
 Pembatasan Kekuasaan.
 Organ-organ Penunjang yang Independen.
 Peradilan bebas dan tidak memihak.
 Peradilan Tata Usaha Negara.
 Mahkamah Konstitusi. (Constitutional Court)
 Perlindungan Hak Asasi Manusia
 Bersifat Demokratis (Democratishe Rechtsstaat)

2. Bentuk dan system Pemerintahan dalam Islam

Berdasarkan keterangan di atas, dapat di simpulkan bahwa sitem pemerintahan dalam islam
disebut dengan Khilafah, dimana khilafah adalah sistem pemerintahan umum pagi kaum
muslim disunia yang didalamnya diterapkan syariat islam secara menyeluruh. Khalifah
berbeda dengan segala bentuk pemerintahan yang ada di Dunia baik itu sistem pemerintahan
Republik(demokrasi), monarki(Kerajaan), Imperium(kekaisaran) maupun Federasi. yang
mana dari sekian sistem pemerintahan tersebut islam pernah meraih kejayaan.

Dari sedikit pembahasan di atas tentang sistem pemerintahan Islam atau yang di sebut dengan
Khilafah merupakan suatu susunan pemerinahan yang diatur menurut ajaran agama Islam.
Sistem pemerintahan Islam merupakan suatu perintah dari Allah swt. Maka jelaslah
hukumnya adalah wajib yang dikuatkan dengan dalil al-Quran dan al-Hadits dan Ijma’. Maka
haruslah kita mengusahakan agar tegaknya kembali sistem khilafah ini agar seluruh syariat
islam dapat diterapkan.

B. Saran

Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan, masih
banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya, materi dan penyusunannya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan masukan yang dapat
membangun penulisan makalah ini.

20
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. 1980. Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam. Kuwait :
Darul Buhuts Al-Ilmiyah.

An-nabani, Taqiyuddin. 2002. Ad-Daulah Al-Islamiyah(Daulah Islam). Beuret: Dar al-Umah.

P. Sibua, 2010, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-asas Umum
Pemberintahan Yang Baik, Penerbit Erlangga, Jakarta

https://fhukum.unpatti.ac.id/htn-han/564-prinsip-prinsip-negara-hukum-dan-demokrasi

http://ceritaangga1996.blogspot.com/2017/10/bab-i-pendahuluan-a.html

21

Anda mungkin juga menyukai