Anda di halaman 1dari 8

I.

KRONOLOGI PERISTIWA
Pada awalnya, PT Panca Puji Bangun mempekerjakan 35 orang karyawan di
pabriknya di Jalan Tanjung Anom, Surabaya pada tahun 2004. Sepanjang tahun 2004-
2010, PT Panca Puji Bangun menggaji karyawannya di bawah Upah Minimum Rakyat
(UMR), dengan rincian sebagai berikuti:
1. Upah terendah dengan nominal Rp680.000,00 sebanyak 10 orang.
2. Upah tertinggi sebesar Rp1.200.000,00.
3. Selain itu, buruh mendapatkan tunjangan tidak tetap yang besarannya tidak
tetap, berupa yang hadir, uang makan, dan uang premi.
Adapun salah satu karyawan bernama Yudi Santoso mendapat upah dengan
rincian:
1. Gaji pokok Rp300.000,00.
2. Tunjangan keluarga Rp30.000,00.
3. Tunjangan rumah Rp150.000,00.
4. Tunjangan transportasi Rp6.000,00 per kedatangan.
5. Uang premi seharga Rp50.000,00.
Gaji di atas juga tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan M. Setiyo Budi.
Kala itu, UMR Kota Surabaya sebesar Rp934.500,00.
Bagoes selaku Direktur PT Panca Puji Bangun dilaporkan telah melanggar Pasal
90 ayat (1) jo Pasal 185 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Selanjutnya, dalam Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan diatur bahwa “pengaturan
pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang
ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Kemudian diatur dalam Pasal 185 diatur bahwa:
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82,
Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7),
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus
juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak
pidana kejahatan.
Kemudian, kasus ini dibawa ke pengadilan. Pada 30 Maret 2010, Jaksa menuntut
Bagoes selama 18 bulan penjara. Adapun Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menghukum
Bagoes selama 1 tahun penjara karena menggaji karyawannya di bawah UMR. Putusan

1
tersebut diperkuat dengan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya pada 13 April 2010
dan kasasi pada 8 November 2011.
Tidak terima dengan hasil putusan, Bagoes mengajukan upaya peninjauan
kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Bagoes berdalih bahwa dirinya hanyalah
karyawan di PT Panca Puji Bangun. Namun, MA menolak permohonan PK dikarenakan
sejatinya posisi Bagoes ialah direktur. Dengan demikian, direktur seharusnya mempunyai
kemampuan untuk menyatakan sistem penggajian di perusahaan telah melanggar
ketentuan pidana. Hal ini diutarakan oleh majelis hakim MA pada 5 Mei 2015.1

II. POKOK PERMASALAHAN


1. Upah karyawan PT Panca Puji Bangun jauh di bawah UMR Surabaya.
2. Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam kasus karyawan
PT Panca Puji Bangun vs Direktur PT Panca Puji Bangun.

III. ANALISIS ASPEK HUKUM PERBURUHAN DALAM KASUS


A. ASPEK PENGUPAHAN
Menurut Pasal 88 UU Ketenagakerjaan, setiap pekerja berhak/buruh
berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Konsep pengupahan demikian merupakan konsep pengupahan yang
konstitusional. Sebab, konsep pengupahan yang dimaksud sesuai dengan bunyi
UUD 1945 yang menyebutkan bahwa negara harus memberikan penghidupan
yang layak bagi setiap warga negaranya. Untuk mewujudkan perlindungan
penghidupan pekerja/buruh yang layak, pemerintah menetapkan kebijakan
pengupahan yang salah satunya mengatur kebijakan upah minimum.
Berdasarkan UU Ketenagakerjaan, penetapan upah minimum didasarkan
pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan dengan memerhatikan aspek
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Pengertian KHL diatur dalam
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005 tentang Komponen dan
Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kehidupan Hidup Layak sebagai standar
kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat
hidup layak secara fisik, nonfisik, dan sosial untuk kebutuhan satu bulan. KHL
merupakan peningkatan dari kebutuhan hidup minimum yang nilainya diperoleh
dari survei harga terhadap pangan, perumahan, pakaian, pendidikan, dan lain
sebagainya.2

1
Andi Saputra, “Upah Buruh di Bawah UMR, Direktur di Surabaya Dipenjara 1 Tahun,” Detiknews, (28
April 2017), https://news.detik.com/berita/d-3486709/upah-buruh-di-bawah-umr-direktur-di-surabaya-dipenjara-1-
tahun, diakses pada 7 Mei 2019.
2
Febrika Nurtiyas, “Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Upah Minimum Propinsi Jawa Tahun
2010-2014,” (Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, 2016), hlm. 24.

2
Kasus berakhir pada tahun 2013 dengan adanya putusan Peninjauan
Kembali (PK) yang menghukum Bagoes sehingga PP No. 78 Tahun 2015 tentang
Pengupahan belum berlaku. Namun, untuk saat ini perlu diketahui ketentuan yang
terdapat dalam PP No. 78 Tahun 2015. PP tersebut menyebutkan bahwa upah
minimum ditetapkan oleh gubernur. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
72/PUU-XIII/2015, Pemerintah mewajibkan adanya pembayaran upah minimum
sehingga ketentuan pengupahan perusahaan ditetapkan berdasarkan kesepakatan
antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha tidak
boleh lebih rendah dari ketentuan mengenai upah dalam undang-undang yang
berlaku. Dalam UU Ketenagakerjaan, bagi pengusaha yang tidak mampu
membayar upah minimum dapat dilakukan penangguhan. Penangguhan dimaksud
untuk membebaskan perusahaan melaksanakan upah minimum dalam kurun
waktu tertentu. Setelah masa penangguhan berakhir, pengusaha wajib
melaksanakan upah minimum.3
Pada intinya, larangan pemberian upah di bawah upah minimum dapat
dilihat dari berbagai aspek. Dalam aspek hukum pidana, pengupahan di bawah
upah minimum merupakan tindak pidana kejahatan sebagaimana telah dituliskan
di atas terdapat dalam Pasal 185 UU Ketenagakerjaan. Dalam aspek hukum
perdata, kesepakatan pemberian upah di bawah upah minimum bertentangan
dengan undang-undang yang mengatur standar minimum untuk hak (upah) dan
mengakibatkan kesepakatan tersebut null and void. Dalam aspek hukum
administrasi, dapat dilakukan penangguhan pembayaran upah apabila telah ada
persetujuan.4
Menurut Pasal 94 UU Ketenagakerjaan, dalam hal komponen upah terdiri
dari upah pokok dan tunjangan tetap, besaran upah minimum adalah 75% dari
total keduanya. Sementara itu, komponen upah sendiri sebenarnya dapat terdiri
dari upah tanpa tunjangan; upah pokok dan tunjangan tetap; atau upah pokok,
tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap. Pada praktiknya, sering sekali
perusahaan salah menafsirkan bahwa besaran upah pokok dan tunjangan setara
dengan upah minimum dengan melupakan tunjangan tidak tetap. Adanya salah
tafsir seperti ini menyebabkan banyaknya kasus pengusaha yang memberikan
upah dibawah upah minimum.5

3
Devanto Shasta Pratomo dan Putu Mahardika Adi Saputra, “Kebijakan Upah Minimum untuk
Perekonomian yang Berkeadilan Tinjauan UUD 1945,” Journal of Indonesian Applied Economics 5 (Oktober 2011),
hlm. 272.
4
Tri Jata Ayu Pramesti, “Bolehkah Menyepakati Upah di Bawah Upah Minimum?”,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5118a676ad68c/bolehkah-menyepakati-upah-di-bawah-upah-
minimum, diakses pada 7 Mei 2019.

5
Aloysius Uwiyono, et al. Asas-Asas Hukum Perburuhan, ed. 2, cet. 3 (Depok: Rajawali Pers, 2018), hlm.
110.

3
Merujuk pada kasus, komponen upah Yudi dan Budi selaku karyawan PT
Panca Puji Bangun terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak
tetap dalam hal ini adalah tunjangan transportasi. Namun, jumlah upah yang
diterimanya berbeda dengan UMR Kota Surabaya kala itu adalah Rp934.500,00.
Hal ini jelas bertentangan dengan asas pengupahan berkeadilan, yaitu pemberian
upah harus manusiawi. Upah yang diterima baik Yudi, maupun Budi tidak dapat
dikatakan manusiawi karena melanggar hak hidup layak keduanya. Sebagai
manusia, hak asasi manusia Yudi dan Budi telah dilanggar.6
Adapun pengusaha, dalam hal ini Bagoes selaku Direktur PT Panca Puji
Bangun, memiliki kewajiban untuk melakukan peninjauan berkala upah untuk
menyesuaikan harga kebutuhan hidup dan/atau peningkatan produktivitas kerja
dengan mempertimbangkan kemampuan perusahaan. Peninjauan berkala ini
diatur dalam Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja Bersama, atau Peraturan
Perusahaan. Nyatanya, merujuk pada kasus, Bagoes lalai dalam melakukan
kewajibannya. Hal ini dapat dilihat dari pemberian upah di bawah upah minimum.
Maka, pantas saja bila Bagoes dikenakan pidana.

B. ASPEK PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL


UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (PPHI) memperluas pengertian perselisihan hubungan industrial
sebagai “perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara
pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.” Kemudian, diatur lebih
lanjut dalam UU PPHI bahwa masing-masing perselisihan diberikan batasan dan
terbagi menjadi perselisihan hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antarserikat pekerja.
Kasus Yudi dan Budi dengan Bagoes merupakan bentuk perselisihan hak.
Perselisihan hak timbul karena keduanya mendapatkan upah di bawah upah
minimum. Sebab, pemberian upah di bawah upah minimum merupakan
pelanggaran hak dasar pekerja/buruh yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan
UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan MA dalam Putusan Nomor 86
PK/PID.SUS/2013, diketahui bahwa upah yang diterima karyawan PT Panca Puji
Bangun yang merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Provinsi Jawa
Timur hanya sebesar Rp616.000,00 per bulan. Padahal, Upah Minimum

6
Yetniwati, “Pengaturan Upah Berdasarkan Atas Prinsip Keadilan,” Mimbar Hukum 29 (Februari 2017),
hlm. 87.

4
Kabupaten/Kota (UMK) kala itu dinyatakan sebesar Rp805.000,00. Hal ini jelas
membuktikan adanya perselisihan hak sebesar Rp189.000,00.7
Melihat dari kasus dan Putusan Nomor 86 PK/PID.SUS/2013, Bagoes
selaku Direktur PT Panca Puji Bangun dijatuhi hukuman pidana akibat perbuatan
hukumnya, yaitu memberikan upah di bawah UMR Kota Surabaya. Adapun
penyelesaian perselisihan tidak diselesaikan dalam Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI), melainkan dalam PN Surabaya yang berlanjut hingga PK
dikarenakan Yudi dan Budi mengajukan tuntutan pidana penjara 1 tahun 6 bulan,
denda Rp200.000.000,00 subsidair 3 bulan kurungan.
Sejatinya setelah tuntutan pidana Yudi dan Budi dikabulkan, keduanya
juga dapat mengajukan gugatan secara perdata ke PHI mengikuti pengaturan pada
UU Ketenagakerjaan. Walaupun demikian, dikarenakan model hubungan
industrial yang berlaku di Indonesia adalah Coalitie Arbeid Verhoudingen Model,
maka semua permasalahan hubungan industrial diselesaikan secara musyawarah
untuk mufakat terlebih dahulu baru kemudian diselesaikan secara konflik.
Ketentuan ini sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) UU PPHI dan Pasal 136 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan. Secara teori, penyelesaian konflik dapat dilakukan di dalam dan
di luar pengadilan dalam bentuk konsiliasi, mediasi, dan arbitrase. Namun,
dikarenakan kasus Yudi dan Budi lebih menitikberatkan pada perselisihan hak,
bentuk penyelesaian di luar pengadilan yang dapat dilakukan hanyalah konsiliasi
dan mediasi.8
Penyelesaian perselisihan hak di luar pengadilan membawa keuntungan
tersendiri dari segi waktu, biaya, dan tenaga. Hal ini dikarenakan penyelesaian di
luar pengadilan lebih sederhana prosesnya sehingga penyelesaiannya lebih cepat
dan cenderung menghemat biaya kedua belah pihak dibandingkan penyelesaian di
pengadilan. Dalam tahapannya, sebelum melakukan voluntary arbitration, yakni
dalam hal ini mediasi atau konsiliasi, perselisihan hubungan industrial wajib
diselesaikan secara bipartit. Apabila gagal, barulah ditempuh mediasi atau
konsiliasi.9
Dalam penyelesaian mediasi, berdasarkan kesepakatan bersama pengusaha
dan pekerja atau serikat pekerja memilih seorang mediator dari nama mediator.
Dalam waktu 7 hari setelah menerima permintaan penyelesaian penyelisihan,
mediator sudah harus mempelajari dan menghimpun informasi yang diperlukan.
Pada hari kedelapan, mediator mengadakan pertemuan mediasi. Jika kedua belah
pihak mencapai kesepakatan, kesepakatan tersebut akan dituangkan dalam

7
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor 86 PK/PID.SUS/2013.
8
Uwiyono, Asas-Asas Hukum Perburuhan, hlm. 136-140.
9
Ujang Charda, “Model Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam Hubungan Ketenagakerjaan
Setelah Lahirnya Undang-Undang 2 Tahun 2004,” Wawasan Yuridika 1 (Maret 2017), hlm. 14.

5
persetujuan bersama. Jika tidak, dalam waktu paling lama 10 hari setelah sidang
mediasi pertama, mediator memberikan surat anjuran tertulis. Dalam waktu 10
hari setelahnya, para pihak harus sudah menyampaikan pendapatnya secara
tertulis. Jika para pihak menolak anjuran tertulis, diajukan gugatan ke PHI.
Berdasarkan tahapan di atas, proses mediasi diselesaikan paling lama dalam 40
hari kerja.10
Sementara itu, dalam hal tidak terwujudnya kesepakatan dalam konsiliasi,
anjuran tertulis diberikan konsiliator paling lama dalam waktu 14 hari setelah
sidang pertama. Adapun para pihak paling lama memberikan tanggapan dalam
waktu 14 hari setelah mendapat anjuran tertulis. Secara keseluruhan, konsiliator
paling lama menyelesaikan konsiliasi dalam waktu 40 hari. Dalam konsiliasi,
pemerintah membayar konsiliator serta biaya perjalanan saksi dan ahli.11
Dalam hal mediasi atau konsiliasi gagal, gugatan diajukan ke PHI. dalam
waktu paling lama 7 hari setelah menerima permohonan penyelesaian
perselisihan, Ketua Pengadilan Negeri (KPN) menetapkan majelis hakim yang
terdiri dari seorang hakim sebagai ketua majelis, seorang hakim ad-hoc yang
mewakili unsur serikat pekerja dan seorang lainnya mewakili unsur asosiasi
pengusaha. Penyelesaian harus diselesaikan paling lama dalam waktu 50 hari
kerja sejak sidang pertama. Putusan PHI memiliki kekuatan hukum tetap apabila
dalam waktu 14 hari kerja setelah mendengar langsung atau menerima
pemberitahuan mengenai putusan, tidak ada pihak yang mengajukan upaya kasasi
ke MA.12

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


A. KESIMPULAN
Pemberian upah di bawah UMR Surabaya yang dilakukan Bagoes selaku
direktur PT Panca Puji Bangun kepada karyawannya yang di antaranya adalah
Yudi dan Budi merupakan perbuatan pelanggaran hak buruh/pekerja. Sejatinya,
upah merupakan hak dasar buruh/pekerja yang harus dibayarkan untuk
mewujudkan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Hal ini diatur dalam UU
Ketenagakerjaan dan UUD 1945. Namun, perbuatan Bagoes justru berlawanan
dengan ketentuan hukum nasional terkait perburuhan dan pengupahan.
Pemberian upah di bawah upah minimum dapat dilihat dari berbagai
ketentuan hukum. Menurut hukum pidana, pengusaha yang memberikan upah di
bawah upah minimum dikenakan pidana berdasarkan Pasal 185 UU
Ketenagakerjaan. Menurut hukum perdata, perjanjian pemberian upah di bawah

10
Uwiyono, Asas-Asas Hukum Perburuhan, hlm. 136-140.
11
Charda, “Model Penyelesaian Perselisihan,” hlm. 15.
12
Ibid.

6
upah minimum ialah perjanjian yang batal demi hukum. Menurut hukum
administrasi, pengusaha dapat melakukan penangguhan pembayaran upah jika
dana perusahaan tidak mencukupi untuk membayar upah sesuai upah minimum.
Penyelesaian perselisihan hak dalam pengupahan di atas diselesaikan
secara pidana oleh para pihak. Perselisihan berlangsung dari tingkatan PN
Surabaya hingga PK yang pada akhirnya memutus bahwa Bagoes benar-benar
bersalah dan dijatuhi hukuman pidana. Namun, sebenarnya apabila pihak Yudi
dan Budi ingin mengajukan gugatan baru secara perdata terkait masalah
pengupahan, hal ini dapat dilakukan ke PHI.

B. SARAN
Sebaiknya pihak pengusaha tidak hanya mencari keuntungan semata dan
lebih memerhatikan standar UMR yang berlaku di wilayah usahanya. Merupakan
suatu kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan upah setidak-tidaknya sesuai
standar minimum. Pengaturan upah antara pengusaha dan buruh/pekerja harus
memerhatikan aspek KHL dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam
UU Ketenagakerjaan dan UUD 1945.
Sementara itu, dalam hal penyelesaian perselisihan, seyogianya pihak
Yudi dan Budi mengajukan gugatan baru secara perdata ke PHI. Dikarenakan
kedua pihak tersebut telah dirugikan selama bertahun-tahun sehingga ganti rugi
akan menolong kondisi kehidupan Yudi dan Budi. Sebab, walaupun putusan
pidana juga memberikan keadilan, namun Yudi dan Budi tidak mendapatkan ganti
kerugian yang ia alami selama ini. Namun, perlu diingat bahwa sebelum
menggugat ke PHI, musyawarah bipartit dan penyelesaian di luar pengadilan
dilakukan terlebih dahulu.

7
DAFTAR PUSTAKA

Charda, Ujang. “Model Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam Hubungan Ketenagakerjaan Setelah
Lahirnya Undang-Undang 2 Tahun 2004.” Wawasan Yuridika 1 (Maret 2017). Hlm. 14 – 15.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan Nomor 86 PK/PID.SUS/2013.

Nurtiyas, Febrika. “Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Upah Minimum Propinsi Jawa Tahun 2010-2014.”
(Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, 2016). Hlm. 24.

Pramesti, Tri Jata Ayu. “Bolehkah Menyepakati Upah di Bawah Upah Minimum?”
Https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5118a676ad68c/bolehkah-menyepakati-upah-di-
bawah-upah-minimum. Diakses pada 7 Mei 2019.

Pratomo, Devanto Shasta dan Putu Mahardika Adi Saputra. “Kebijakan Upah Minimum untuk Perekonomian yang
Berkeadilan Tinjauan UUD 1945.” Journal of Indonesian Applied Economics 5 (Oktober 2011). Hlm. 272.

Saputra, Andi. “Upah Buruh di Bawah UMR, Direktur di Surabaya Dipenjara 1 Tahun.” Detiknews, (28 April 2017),
https://news.detik.com/berita/d-3486709/upah-buruh-di-bawah-umr-direktur-di-surabaya-dipenjara-1-
tahun. Diakses pada 7 Mei 2019.

Uwiyono, Aloysius et al. Asas-Asas Hukum Perburuhan. Ed. 2. Cet. 3 (Depok: Rajawali Pers, 2018). Hlm. 110 –
140.

Yetniwati. “Pengaturan Upah Berdasarkan Atas Prinsip Keadilan.” Mimbar Hukum 29 (Februari 2017). Hlm. 87.

Anda mungkin juga menyukai