Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Atas Kekayaan Intelektual
Dosen pengampu :
Surya Anom,S.H.,LL.M.
Disusun Oleh :
2021
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi Nilai tugas Mata
Kuliah Hukum Ekonomi Dan Perdagangan Internasional. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan kami serta memahami Mata Kuliah Hukum bagi para
Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen kami Surya Anom,S.H.,LL.M. yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan sesuai dengan bidang studi
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari,
makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karna itu, kritik dan saran
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
ANTARA INDONESIA DENGAN UNI EROPA .......................................................... 23
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 32
B. Saran ....................................................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
domestik sebagai substitusi produk impor. Baru setelah pertengahan tahun 1980-an Indonesia
pengembangan industri yang berorientasi pada sektor ekspor. Pergeseran ini terjadi sejak
negara berkembang yang berperan di dalamnya. Dalam hal diterapkannya kebijakan ini,
perdagangan internasional khususnya dalam sektor ekspor menjadi mesin penggerak bagi
pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam hal ini perekonomian nasional menjadi peka terhadap
laju perkembangan yang terjadi pada perekonomian global terutama terhadap gejolak yang
dalam iklim globalisasi ini tentunya berpotensi memimbulkan resiko terjadinya sengketa
Oleh karena itu World Trade Organization (selanjutnya disebut dengan WTO) hadir sebagai
rezim internasional.
dan transaksi yang berkaitan dengan sektor perekonomian negara lain, seperti kegiatan
1
H.S Kartadjoemena, GATT dan WTO: Sistem Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan,
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2002, hal. iv.
2
Ari Mulianta Ginting, Analisis Pengaruh Ekspor Terhadap Pertumbuha Ekonomi Indonesia, Buletin Ilmiah
Litbang Perdagangan, Vol. 11 No. 1, 2017, hal. 15.
1
perdagangan internasional berupa ekspor-impor. Perekonomian Indonesia sampai dengan
pertengahan tahun 1980-an masih bersifat inward-looking, yaitu strategi pembangunan yang
yang bersifat outward-looking, yaitu pengembangan industri yang berorientasi pada sektor
ekspor. Pergeseran ini terjadi sejak kebijakan ekonomi Indonesia dalam mendorong
pertumbuhan industrial.
WTO berperan sebagai forum negosiasi bagi para anggotanya untuk menyelesaikan
sengketa terkait dengan perdagangan multilateral dan untuk memfasilitasi pemberlakuan dari
internasional secara damai, 4 WTO memiliki badan khusus bernama Dispute Settlement Body
(selanjutnya disebut dengan DSB), dengan prosedur penyelesaian sengketa yang diatur di
dalam Dispute Settlement Understanding (selanjutnya disebut dengan DSU) yang dianeksasi
dalam Final Act dan ditandatangani di Marrakesh pada tahun 1994. Prosedur ini merupakan
penjabaran dari pasal utama yang menjadi acuan mekanisme penyelesaian sengketa yaitu
Pasal XXII (Konsultasi) dan Pasal XXIII (Penghilangan dan Pengurangan Keuntungan)
GATT.5 DSB memiliki wewenang antara lain untuk membentuk panel, menerima dan
mengadopsi laporan Panel dan laporan Badan Banding (Appellate Body), melaksanakan
penyelesaian sengketa di bidang perdagangan internasional dan dinilai memberi hasil yang
3
Dara Resmi Asbiantari, Pengaruh Ekspor Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Bandung: Jurnal
Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Vol. 5 No. 2, 2016, hal. 10.
4
Hata, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT & WTO: Aspek-aspek Hukum & Non Hukum, Bandung:
PT Refika Aditama, 2006, hal. 2.
5
Pasal 2:1 Dispute Settlement Understanding.
2
efektif dalam mengklarifikasi serta mengevaluasi pemenuhan hak dan penegakan kewajiban
negara-negara anggota.
Indonesia sebagai produsen minyak sawit mentah atau CPO (Crude Palm Oil) sebagai
bahan baku pembuatan biodiesel terbesar di dunia, menjadikan produk tersebut sebagai
komoditas utama ekspor pertanian Indonesia. Sejak dikeluarkannya kebijakan biofuel melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2006 mengenai pengadaan dan penggunaan biofuel,
produksi biodiesel Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. 6 Pada tahun 2008,
melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No. 32 Tahun
2008, yang terakhir kali direvisi melalui PERMEN ESDM No. 12 Tahun 2015 yang
mewajibkan untuk meningkatkan campuran wajib biodiesel dari 10% menjadi sebanyak 15%
untuk keperluan di sektor transportasi dan industri, serta sebanyak 25% untuk sektor
pembangkit tenaga listrik. Hal ini dilakukan seiring dengan upaya Indonesia yang berusaha
mengurangi konsumsi dan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil serta mendorong
Salah satu tujuan ekspor terbesar ke-2 Indonesia adalah Uni Eropa. Namun untuk
melindungi produsen domestiknya, Uni Eropa menerapkan hambatan akses pasar terhadap
produk biodiesel Indonesia berupa pengenaan bea masuk anti-dumping (BMAD). Dumping
diartikan sebagai sebuah praktik dagang di mana eksportir komoditi di pasaran internasional
dengan harga yang kurang dari nilai wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut di
pasar domestik, atau dari harga jual kepada negara lain pada umumnya. 7 Hal ini dilakukan
dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan dan menguasai pasar di luar negeri.
6
Rafika Sari, Rencana Kebijakan Crude Palm Oil Supporting Fund, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan
Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI: Info Singkat Ekonomi dan Kebijakan Publik, 2015, hal. 13.
7
AF. Elly Erawati dan J.S Badudu, Kamus Hukum Ekonomi Inggris – Indonesia, sebagaimana dikutip Yulianto
Syahyu, Hukum Antidumping di Indonesia: Analisis dan Panduan Praktis, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, hal.
32.
3
Sejak tahun 2003, Uni Eropa telah menjadi konsumen biodiesel. Dikeluarkannya
Transport Biofuels Directive pada 2003 yang bertujuan untuk mempromosikan penggunaan
biofuel atau bahan bakar terbarukan lainnya dalam menggantikan penggunaan bahan bakar
fosil untuk keperluan transportasi telah menciptakan suatu instrumen legislatif di negara-
negara anggota Uni Eropa serta memicu peningkatan pesat dalam produksi dan penggunaan
biofuel. Pengurangan ketergantungan atas bahan bakar minyak yang berasal dari fosil
sekaligus usaha pengurangan emisi gas rumah kaca dan mengatasi masalah iklim dan
lingkungan juga dilakukan melalui European Union Renewable Energy Directive. 8 Kebijakan
ini mengharuskan sebanyak 20% dari total konsumsi energi dan 10% konsumsi energi di
sektor transportasi berasal dari sumber daya terbarukan pada tahun 2020. Konsumsi minyak
sawit (CPO) sebagai bahan bakar energi alternatif di Uni Eropa menempati posisi kedua
setelah minyak nabati dari rapeseed. Namun konsumsi rapeseed dan minyak nabati lain di
Uni Eropa mengalami hambatan akibat pemanfaatan yang juga tinggi pada sektor pangan
yang dapat mengancam ketersediaan pangan di Uni Eropa. Untuk itulah CPO sebagai bahan
baku biodiesel lebih diminati karena harganya yang kompetitif jika dibandingkan dengan
Dalam kurun waktu 2011-2016 rata-rata ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa berkisar
antara 60% per tahun. 68 Berdasarkan Official Journal of the European Union 2018, total
ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa pada 2009 sebesar 157 ribu ton, lalu mencapai
puncaknya pada 2011 dengan total ekspor mencapai 3.730.00 per metrik ton dengan nilai
ekspor sebesar USD 1,4 miliar. 9 Hal ini menjadikan komoditas minyak kelapa sawit sebagai
tulang punggung sektor ekspor non-migas yang menjadi kunci perekonomian dan penghasil
devisa penting bagi Indonesia. Namun aktivitas ekspor Indonesia ke Uni Eropa menghadapi
8
Official Journal of the European Union, Directive 2003/30/EC on the promotion of the use of biofuels or other
renewable fuels for transport.
9
Gapki, Analisis Ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa: Faktor Apa yang Mendorong Trend Positif?,
https://gapki.id/news/4268/analisis-ekspor-cpo-indonesia-ke-uni-eropa-faktor-apa-yang-mendorong-trend-
positif, 2018, diakses pada 29 Oktober 2021.
4
hambatan perdagangan. Uni Eropa melakukan tuduhan dumping terhadap produk biodiesel
Indonesia, yaitu situasi di mana suatu barang, dalam hal ini biodiesel dijual di pasar Uni
Eropa dengan harga lebih rendah dari harga normal. Guna memproteksi produsen
domestiknya dari tindakan dumping yang berpotensi memberi kerugian, Uni Eropa
Argentina melalui the publication of the notice of initiation of the investigation dalam Jurnal
Uni Eropa (European Union's Official Journal). Menurut Anti-Dumping Agreement, praktik
dumping terjadi apabila harga ekspor (export price) atas suatu barang atau komoditas lebih
rendah nilainya dari harga normal barang (normal value) tersebut. Dalam menentukan apakah
telah terjadi praktik dumping, maka harga normal atas suatu komoditas harus ditentukan.
Dalam menentukan harga normal produk CPO Indonesia, Komisi Uni Eropa mendasarkan
pada biaya aktual yang dibayarkan oleh produsen biodiesel Indonesia.10 Selanjutnya Komisi
Uni Eropa menyimpulkan bahwa kebijakan pajak ekspor Indonesia membatasi ekspor CPO di
mana hal ini berdampak pada naiknya jumlah pasokan domestik. Naiknya jumlah pasokan
domestik memicu adanya penurunan harga domestik untuk produsen lokal. Dengan demikian,
Komisi Uni Eropa menemukan bahwa harga CPO di pasar domestik lebih rendah dari harga
di pasar internasional.
Dalam hal ini perekonomian nasional menjadi peka terhadap laju perkembangan yang
terjadi pada perekonomian global terutama terhadap gejolak yang ditimbulkan oleh
globalisasi ini tentunya berpotensi memimbulkan resiko terjadinya sengketa terkait dengan
10
Carolyn Fischer dan Timothy Meyer, Baptists and Bootleggers in the Biodiesel Trade: EU-Biodiesel
(Indonesia), European University Institute, 2019, hal. 7.
5
perdagangan internasional antara negara-negara yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu
World Trade Organization (selanjutnya disebut dengan WTO) hadir sebagai rezim
internasional yang secara khusus menjadi wadah untuk mendorong liberalisasi iklim
perdagangan internasional yang tertib, adil dan bertujuan untuk menciptkan kondisi yang
bersifat timbal-balik. Kegiatan perdagangan antar-negara ini dilakukan dengan hanya dibatasi
oleh tatanan peraturan perdagangan yang bersifat multilateral, yang telah disepakati bersama
pungutan anti-dumping (anti-dumping duty) kepada negara yang telah melakukan praktik
dumping atas komoditi ekspornya. Anti-dumping duty hadir dalam memberikan proteksi
kepada industri domestik dari dampak merugikan dari praktik diskriminasi harga secara
internasional yang tidak adil.11 Namun, anti-dumping duty hanya bisa diberlakukan apabila
telah dibuktikan bahwa dampak dari praktik dumping tersebut mengancam maupun telah
menimbulkan kerugian material terhadap pasar dan industri domestik. 12 Penerapan BMAD
oleh Uni Eropa yang didasari atas tuduhan dumping ini telah melemahkan kinerja ekspor
biodiesel Indonesia ke Uni Eropa. Produk biodiesel Indonesia dikenakan bea masuk anti-
dumping sebesar 76,94-178,85 Euro per ton-nya, dengan margin dumping sebesar 8,8% -
23,3%. Hal ini mengakibatkan nilai ekspor biodiesel Indonesia mengalami penurunan tajam
sebesar 72,34% atau turun dari $635 juta pada 2013 menjadi hanya $9 juta pada 2017.13
Untuk itu, berdasarkan atas praktik dumping yang dituduhkan oleh Uni Eropa terhadap
produk biodiesel, Indonesia berusaha mencari keadilan atas permasalahan ini dengan
11
Soheyb Salah Kahlessenane, Anti-Dumping Regulations and Policies: Some Insights from Algeria, Athens
Journal of Law Vol. 5 Issue I, hal. 49.
12
Lihat Pasal VI paragraf 6(a) General Agreement on Tariffs and Trade 1994.
13
PT Perkebunan Nusantara V, Kalah di WTO, Tarif Anti Dumping Biodiesel Eropa Ditunda, dalam
http://www.bumn.go.id/ptpn5/berita/1-Kalah-Di-WTO-Tarif-Anti-Dumping-Biodiesel-Eropa-Ditunda, diakses
pada 30 Oktober 2021.
6
tahap konsultasi ke DSB sebagai langkah pertama dari prosedur penyelesaian sengketa WTO
pada 10 Juni 2014. Indonesia menilai kebijakan anti-dumping yang diambil oleh Uni Eropa
dalam keadaan tertentu yang diatur dalam Pasal VI GATT dan sesuai dengan investigasi yang
Konsultasi diadakan pada 23 Juli 2014 namun gagal dalam mencapai kesepakatan untuk
sengketa di DSB, pada 26 Oktober 2017 Indonesia memenangkan sengketa biodiesel yang
ditandai dengan terbitnya final report panel pada 26 Oktober 2017 dan dilegalisasi melalui
Report of the Panel DS480, dengan enam dari tujuh keberatan yang dilayangkan Indonesia
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis terdorong untuk meneliti
internasional melalui Dispute Settlement Body World Trade Organization, khususnya pada
Permasalahan ini menjadi agenda utama pada Tokyo Round yang akhirnya meghasilkan
masing-masing bidang. Agenda perbaikan dan pembaharuan norma GATT baik dalam aspek
sengketa, berlanjut hingga putaran terakhir yaitu Uruguay Round yang menjadi cikal-bakal
lahirnya WTO.
Ketentuan-ketentuan yang ada di dalam WTO menjadi panduan bagi pelaku bisnis
internasional yang mencakup atas aturan materil dan aturan prosedural. Salah satu aturan
7
perdagangan internasional dalam kerangka WTO yang disepakati bersama oleh negara-
Pendirian WTO sebagai organisasi penerus merupakan hasil kesepakatan bersama dari
negara-negara anggota General Agreement on Tariffs and Trade (selanjutnya disebut dengan
WTO pada tanggal 1 Januari 1995 tidak terlepas dari adanya masalah yang mengancam
kelancaran dan ketertiban iklim perdagangan internasional karena tidak patuhnya (non-
GATT. Hal ini antara lain disebabkan oleh kurang efektifnya mekanisme penyelesaian
sengketa di tubuh GATT, di mana pada umumnya penyelesaian sengketa dilakukan melalui
damai, WTO memiliki badan khusus bernama Dispute Settlement Body (selanjutnya disebut
dengan DSB), dengan prosedur penyelesaian sengketa yang diatur di dalam Dispute
Settlement Understanding (selanjutnya disebut dengan DSU) yang dianeksasi dalam Final
Act dan ditandatangani di Marrakesh pada tahun 1994. Prosedur ini merupakan penjabaran
dari pasal utama yang menjadi acuan mekanisme penyelesaian sengketa yaitu Pasal XXII
(Konsultasi) dan Pasal XXIII (Penghilangan dan Pengurangan Keuntungan) GATT. DSB
memiliki wewenang antara lain untuk membentuk panel, menerima dan mengadopsi laporan
Panel dan laporan Badan Banding (Appellate Body), melaksanakan pengawasan terhadap
perjanjian.15
14
4 Hata, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT & WTO: Aspek-aspek Hukum & Non Hukum ,
Bandung: PT Refika Aditama, 2006, hal. 2.
15
Pasal 2:1 Dispute Settlement Understanding. Universitas
8
Perkembangan dalam produksi dan konsumsi biodiesel di Indonesia juga tidak terlepas
dari adanya kebijakan pemerintah yang memberlakukan subsidi untuk biodiesel dan produk
turunannya melalui CPO Supporting fund. Dana program ini berasal dari pungutan ekspor
atas CPO dan produk turunannya sebesar 50 USD per ton yang masuk ke pasar ekspor. 16Hal
ini meningkatkan produksi biodiesel di Indonesia dan tentunya meningkatkan kinerja ekspor
yang sangat pesat. Untuk itu produk turunan minyak sawit merupakan salah satu komoditas
Salah satu tujuan ekspor terbesar ke-2 Indonesia adalah Uni Eropa. Namun untuk melindungi
produsen domestiknya, Uni Eropa menerapkan hambatan akses pasar terhadap produk
biodiesel Indonesia berupa pengenaan bea masuk anti-dumping (BMAD). Dumping diartikan
sebagai sebuah praktik dagang di mana eksportir komoditi di pasaran internasional dengan
harga yang kurang dari nilai wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut di pasar
domestik, atau dari harga jual kepada negara lain pada umumnya. Hal ini dilakukan dengan
Penerapan BMAD oleh Uni Eropa yang didasari atas tuduhan dumping ini telah
melemahkan kinerja ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa. Produk biodiesel Indonesia
dikenakan bea masuk anti-dumping sebesar 76,94-178,85 Euro per ton-nya, dengan margin
dumping sebesar 8,8% - 23,3%. Hal ini mengakibatkan nilai ekspor biodiesel Indonesia
mengalami penurunan tajam sebesar 72,34% atau turun dari $635 juta pada 2013 menjadi
16
7 Rafika Sari, Rencana Kebijakan Crude Palm Oil Supporting Fund, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan
Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI: Info Singkat Ekonomi dan Kebijakan Publik, 2015, hal. 13.
17
8 AF. Elly Erawati dan J.S Badudu, Kamus Hukum Ekonomi Inggris – Indonesia, sebagaimana dikutip Yulianto
Syahyu, Hukum Antidumping di Indonesia: Analisis dan Panduan Praktis, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, hal.
32.
18
PT Perkebunan Nusantara V, Kalah di WTO, Tarif Anti Dumping Biodiesel Eropa Ditunda, dalam
http://www.bumn.go.id/ptpn5/berita/1-Kalah-Di-WTO-Tarif-Anti-Dumping-Biodiesel-Eropa-Ditunda, diakses
pada 15 Februari 2020.
Universitas
9
Untuk itu, berdasarkan atas praktik dumping yang dituduhkan oleh Uni Eropa terhadap
produk biodiesel, Indonesia berusaha mencari keadilan atas permasalahan ini dengan
tahap konsultasi ke DSB sebagai langkah pertama dari prosedur penyelesaian sengketa WTO
pada 10 Juni 2014. Indonesia menilai kebijakan anti-dumping yang diambil oleh Uni Eropa
keadaan tertentu yang diatur dalam Pasal VI GATT dan sesuai dengan investigasi yang
B. Rumusan Masalah
10
BAB II
INTERNASIONAL
11
Mahkamah Internasional Permanen mendefinisikan sengketa sebagai sebuah
perselisihan terkait persoalan hukum atau fakta, terkait pertentangan atas pandangan hukum
atau kepentingan antara dua orang19. Pada dasarnya sebuah sengketa dikatakan sebagai
sengketa internasional apabila sengketa tersebut didasarkan dan diajukan berdasarkan hukum
internasional.20
Dalam hukum internasional publik dikenal dua jenis sengketa internasional, yaitu
sengketa hukum (legal or judicial disputes) dan sengketa politik (political or nonjusticiable
disputes). Namun pada prinsipnya, belum ada kesepakatan universal terkait perbedaan dari
dua istilah tersebut. Bisa atau tidaknya suatu sengketa diajukan dan diselesaikan melalui
pengadilan internasional kerap menjadi tolok ukur suatu sengketa diklasifikasikan sebagai
sengketa hukum atau tidak. Pandangan ini dinilai sulit diterima karena sengketa internasioal
secara teoritis pada dasarnya selalu dapat diselesaikan oleh pengadilan internasional yang
akan berpegang pada prinsip kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono) dalam memutus
Banyak sengketa yang dapat diajukan ke Mahkamah Internasional, namun pihak yang
Sehingga, apabila pihak atau negara yang bersengketa tidak mengajukan sengketanya,
19
Permanent Court of International Justice, The Mavrommatis Palestine Concessions, Collection of
Judgements, Leyden A.W. Sijthoff’s Publishing Company, 1924, hal. 11.
20
Anne Peters, International Dispute Settlement: A Network of Cooperational Duties, European Journal of
International Law Vol. 14 No.1, 2003, hal. 3.
21
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2014, hal. 3.
12
Secara umum, dalam menyelesaikan sengketa internasional dapat digolongkan dalam
1. Cara penyelesaian sengketa secara damai, yaitu di mana para pihak terlibat telah
2. Cara penyelesaian sengketa secara paksa atau dengan jalan kekerasan dan
perang
Piagam PBB dalam Pasal 2 ayat (3) mengharuskan setiap sengketa internasional
untuk diselesaikan secara damai. Perintah untuk menempuh penyelesaian sengketa secara
damai juga terdapat dalam Pasal 2 ayat (4) yang berbunyi :23
“All members shall refrain in their international relations from the threat and the use of force
against the terriorial intergrity and political independence of any state, or in any other
Pasal ini menyatakan bahwa negara dalam hubungan internasional harus menahan
diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan
politik setiap negara, atau dengan cara lain yang bertentangan dengan Tujuan PBB.
Instrumen pertama mengenai penyelesaian sengketa secara damai adalah the Convention on
the Pacific Settlement of International Dispute tahun 1899, yang lahir dari Konferensi
Perdamaian Den Haag (the Hague Peace Conference) 1899 dan direvisi dengan Konferensi
Perdamaian Den Haag kedua pada 1907. Konferensi ini memberikan sumbangan penting
Berdasarkan konvensi yang dihasilkan oleh Konferensi Den Haag negara-negara anggota
22
J.G Starke, Introduction to International Law, 10th edition, London: Butterworths, 1989, hal. 485
23
Piagam PBB 1945.
13
berupaya untuk menggunakan segala upaya guna menyelesaikan sengketa internasional
secara damai.
seperti :24
1. The Convention for the Pacific Covenant of the League of Nations tahun 1919;
4. The General Act for the Pacific Settlement of International Disputes tahun
1928;
with the Charter of the United Nations pada 24 Oktober 1970; dan
15 November 1982.
kepada negara anggota untuk menyelesaikan sengketa secara damai, melainkan hanya
secara damai yang ditetapkan kepada seluruh anggota PBB bukan berarti mengikat secara
mutlak. Hal ini disebabkan karena negara sebagai subjek hukum internasional dengan
24
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Op.Cit., hal. 9
14
kedaulatan penuh tetap meiliki kewenangan mutlak untuk menentukan metode penyelesaian
sengketanya sendiri dengan tetap tunduk pada kesepakatan negara lain yang bersangkutan.25
Prinsip penyelesaian sengketa secara damai telah ditegaskan kembali di dalam beberapa
Resolusi Majelis Umum PBB, termasuk diantaranya adalah General Assembly Declaration
States in accordance with the Charter of the United Nations (Deklarasi MU-PBB mengenai
di antara Negara-negara sesuai dengan Piagam PBB) dan Manila Declaration on the
internasional. Prinsip ini terdapat dalam Bagian I ayat 1 Deklarasi Manila yang mewajibkan
semua negara untuk bertindak dengan itikad baik yang sesuai dengan tujuan dan prinsip dari
Piagam PBB guna menghindari sengketa antara negara-negara yang bersangkutan, yang
international relations)
penyelesaian sengketa internasional selain disebutkan dalam Pasal 2 Piagam PBB, juga
25
Ibid., hal. 11.
15
terdapat dalam paragraf keempat pembukaan Deklarasi Manila dan dalam ayat 13 yang
diperbolehkan sebagai cara penyelesaian sengketa atau karena adanya kegagalan prosedur
Prinsip ini memberikan kebebasan kepada pihak yang bersengketa untuk menentukan
dan memilih sendiri metode atau mekanisme penyelesaian sengketanya. Prinsip ini termuat di
dalam Pasal 33 Piagam PBB serta Bagian I ayat 3 dan 10 Deklarasi Manila. Ayat 3 Deklarasi
dan sesuai dengan prinsip kebebasan memilih cara penyelesaian sengketa sesuai dengan
kewajiban yang terdapat dalam Piagam PBB serta dengan prinsip keadilan dan hukum
internasional.
Prinsip ini memberikan kebebasan kepada pihak yang bersengketa untuk menentukan
sendiri pilihan hukum yang akan menjadi dasar dalam menyelesaikan sengketa oleh badan
peradilan (arbitrase). Kebebasan untuk menentukan hukum mana yang akan diterapkan ini
termasuk pula kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono) sesuai
Prinsip ini pada awalnya lahir dari prinsip hukum kebiasaan internasional. Menurut
sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional suatu negara harus terlebih dahulu
26
United Nations, Handbook on the Peaceful Settlement of Disputes between States, New York: United
Nations Publications, 1992, hal. 4
27
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Op.Cit., hal. 197.
16
ditempuh sebelum mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional. Prinsip ini juga
terdapat dalam paragraf kesepeluh pembukaan Deklarasi Manila. Deklarasi Manila ini juga
internasional.
Wilayah Negara
Prinsip ini terdapat dalam Bagian I ayat 4 Deklarasi Manila. Deklarasi Manila melalui
ayat ini mengharuskan negara-negara sebagai pihhak yang bersengketa untuk terus mematuhi
kedaulatan, kemerdekaan dan integritas teritorial negara serta prinsip dan aturan dalam
Office of Legal Affairs PBB juga memuat beberapa prinsip lain yang bersifat
tambahan, yaitu: (1) prinsip larangan intervensi terhadap masalah dalam maupun luar negeri
negara yang bersangkutan; (2) prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri; (3) prinsip
persamaan kedaulatan negara; (4) prinsip kemerdekaan dan hukum internasional yang
merupakan manifestasi lebih lanjut atas prinsip hukum internasional mengenai kedaulatan,
ke dalam dua cara yaitu: (1) penyelesaian sengketa di luar pengadilan secara diplomatik
konsiliasi; dan (2) penyelesaian sengketa secara hukum melalui pengadilan atau arbitrase
(adjudicational-legal means). Perbedaan ini didasarkan pada sifat final dan mengikatnya
proses serta hasil keputusan sengketa. Cara penyelesaian secara diplomatik berupaya untuk
17
menyesuaikan kepentingan pihak yang bersengketa dan hasil dari keputusannya tidak
menerapkan hukum internasional yang menghasilkan keputusan yang mengikat (legal and
binding) di mana hasil keputusan tersebut tidak dapat dihindari oleh satu pihak.28
1.1 Negosiasi
sederhana dan salah satu yang tertua dan paling banyak digunakan. 29 Negosiasi merupakan
perundingan yang diadakan langsung secara bilateral antara pihak-pihak yang bersengketa
tanpa memerlukan intervensi dari pihak ketiga dalam menyelesaikan sengketa untuk
mencapai hasil yang menguntungkan. Hasil yang menguntungkan ini dapat berupa hasil yang
menguntungkan bagi seluruh pihak yang terlibat, atau hanya satu atau beberapa pihak saja.
Hal ini bertujuan untuk menyelesaikan maksud atau tujuan yang bertentangan, untuk
mendapatkan keuntungan bagi pihak baik secara individual maupun kolektif, atau untuk
mencapai hasil yang dapat memenuhi berbagai kepentingan dari para pihak.30
mendirikan sebuah komisi atau badan yang bersifat internasional. Pencarian fakta dilakukan
adanya pelanggaran atas suatu perjanjian atau kewajiban serta untuk menyarankan tindakan
apa yang seharusnya dilakukan dan diambil oleh para pihak yang bersengketa 31. Menurut
28
Anne Peters, Op.Cit., hal. 4
29
Gheorghe PINTEALĂ, The Peaceful Settlement of International Disputes, Quaestus Multidisciplinary Research
Journal, hal 97.
30
Abdualla Mohamed dan Miomir Todorovic, Op.Cit., hal. 12
31
Rama Mani dan Richard Ponzio, Peaceful Settlement of Disputes and Conflict Prevention, Oxford Handbook
on the United Nations, Edisi ke-2, 2017, hal. 5
18
Pasal 35 The Hauge Convention for the Pacific Settlement of International Dsiputes 1907,
laporan dan rekomendasi komisi pencarian fakta hanya bersifat terbatas pada pernyataan
fakta-fakta yang dianggap sebagai bagian penting dari sebab timbulnya sengketa dan bukan
merupakan suatu keputusan yang mengikat. Para pihak tetap diberi kebebasan untuk
Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai
mediator. Pihak ketiga yang dilibatkan dalam proses mediasi bersifat independen dan netral,
yang ikut serta secara aktif dalam proses perundingan antara pihak yang bersengketa.
Mediator tidak memiliki kekuatan hukum untuk memaksa para pihak untuk menerima usulan
yang diberikan, melainkan bergantung pada sikap persuasif mediator dalam membantu para
pihak untuk mencapai kesepakatan. Usulan atau rekomendasi yang dihasilkanpun tidak
bersifat mengikat. Mediator dapat berupa individu, negara atau sekumpulan negara, maupun
Mediator juga dapat mengajukan usulan untuk membantu pihak yang bersengketa
mengidentifikasi solusi yang dapat diterima bersama (good offices). Good offices atau jasa-
jasa baik dapat ditawarkan oleh mediator langsung, salah satu atau kedua belah pihak yang
bersengketa32.
1.4 Konsiliasi
mediasi. Kedua metode ini melibatkan pihak ketiga dalam menyelesaikan suatu sengketa
secara damai. Konsiliasi dapat diartikan sebagai suatu proses penyelesaian sengketa di mana
para pihak yang bersengketa merujuk ke suatu komisi atau badan khusus yang bertugas untuk
32
ibid
19
menjelaskan fakta-fakta yang dianggap sebagai bagian dari timbulnya sengketa dan
menyarankan usul atas penyelesaian sengketa kepada pihak pihak terkait. Komisi konsiliasi
dapat berupa badan yang permanen maupun didirikan oleh para pihak dengan sifatnya yang
dalam The Hague Convention for the Pacific Settlement of International Dispute. Komisi ini
hanya dapat dibentuk apabila terdapat persetujuan bersama dari para pihak yang bersengketa.
Usulan yang dihasilkan oleh badan konsiliasi juga bersifat tidak mengikat dan diterima atau
2.1 Arbitrase
sengketa kepada para arbitrator yang dipilih secara bebas dan berdasarkan kesepakatan para
pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dalam penyelesaian melalui arbitrase dapat berupa
individu, arbitrase terlembaga maupun arbitrase yang bersifat sementara (ad hoc). Menurut
Pasal 37 The Hague Convention for the Pacific Settlement of International Dispute arbitrase
bertujuan untuk menyelesaikan sengketa internasional melalui hakim yang dipilih oleh pihak
yang bersengketa dan atas dasar ketentuan-ketentuan hukum internasional, di mana para
pihak harus melaksanakan putusan arbitrase dengan itikad baik. Prosedur penyelesaian
sengketa melalui arbitrase menghasilkan keputusan (award) yang bersifat final dan mengikat
(final and binding). Dalam penyelesaian sengketa melalui GATT (sebelum diubah menjadi
Sebelum sengketa diserahkan kepada arbitrase, para pihak harus membuat suatu akta
20
Penyerahan sengketa kepada arbitrase dapat pula melalui pembuatan suatu klausul arbitase
Arbitrase dianggap sebagai metode penyelesaian sengketa yang paling efektif, adil
dan fleksibel. Karena arbitrase memberikan pilihan kepada para pihak untuk menunjuk
sendiri arbitratornya, menunjuk tempat kedudukan arbitrase dan menentukan prosedur serta
hukum mana yang akan diterapkan. Selain itu, proses arbitrase juga dapat dilangsungkan
secara tertutup34.
Internasional (International Court of Justice), the International Teribunal for the Law of the
Sea (pengadilan internasional untuk hukum laut), the European Court of Justice, the
European Court of Human Rights, the Inter-American Court of Human Rights dan
International Criminal Court (ICC), serta lembaga peradilan ad hoc seperti United Nations
merupakan lembaga peradilan yang paling penting sekaligus menjadi organ peradilan utama
dari PBB. Para hakim Mahkamah Internasional ditunjuk langsung oleh PBB, bukan oleh para
pihak yang bersengketa. Selain itu para pihak yang bersengketa tidak memiliki kewenangan
untuk menentukan aturan hukum yang akan diterapkan dalam proses peradilan, melainkan
berdasarkan pada aturan dan prinsip yang terdapat dalam Pasal 38 Piagam PBB. Yurisdiksi
Mahkamah Internasional pun mencakup seluruh perselisihan yang terjadi antara negara-
negara.
33
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Op.Cit., hal. 208.
34
Abdualla Mohamed dan Miomir Todorovic, Op.Cit., hal. 15
21
Seperti yang tertuang dalam Pasal 36 Statuta Mahkamah Internasional, mahkamah
Dalam hal sengketa dagang internasional, para pihak dapat pula menyerahkan sengketanya ke
lembaga peradilan khusus dalam kerangka WTO. Namun WTO hanya dapat menangani
BAB III
Sebagai suatu organisasi yang juga berperan sebagai forum penyelesaian sengketa
WTO tentu merupakan bagian sentral dalam menjamin keamanan serta kepastian aktivitas
22
perdagangan multilateral. Dispute Settlement Body(DSB) menjadi satu-satunya lembaga
peyelesaian sengketa di bawah WTO yang berfungsi dalam menjalankan peraturan serta
yang timbul karena adanya penyelewengan hak dan kewajiban perdagangan sesuai dengan
ketentuan WTO. DSB merupakan pilar sentral dalam arena perdagangan multilateral, yang
juga merupakan bentuk kontribusi WTO dalam menjaga kestabilan ekonomi global.
menguatkan solusi positif atas sengketa yang timbul. Dengan adanya DSB, penyelesaian
sengketa dalam WTO telah berkembang menjadi mekanisme adjudikasi, dan dalam
sistem terstruktur yang komprehensif, termasuk di dalamnya prosedur yang bersifat formal
yang harus dipenuhi serta kewajiban pelaksanaan atas tiap keputusan yang diambil.
Sistem penyelesaian sengketa WTO melalui DSB ini merupakan perkembangan dari
bawah GATT. Penyelesaian sengketa yang ditawarkan oleh GATT yang tidak terdapat
unifikasi prosedur, melainkan berdasarkan pada aturan-aturan yang terpisah dalam beberapa
pasal, (seperti halnya Pasal XXII dan XXIII yang mengatur mengenai prosedur penyelesaian
sengketa melalui konsiliasi dan penyelesaian sengketa yang bersifat umum, serta
penyelesaian sengketa yang bersifat khusus yang diatur di dalam berbagai perjanjian yang
merupakan hasil dari Putaran Tokyo 1979) menyebabkan digunakannya forum shopping oleh
para pihak guna menemukan forum penyelesaian sengketa yang sesuai dengan keinginan
pihak yang bersangkutan. Sedangkan WTO memberikan suatu sistem penyelesaian sengketa
35
Sutiarnoto, Hukum Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional, Medan: USU Press, 2016, Hal 43
23
Dalam kerangka GATT, seluruh negara anggota GATT berperan dalam keberlangsungan
sengketa ke tingkat yang lebih tinggi. Sehingga, negara yang terlibat dalam sengketa
otomatisitas (automaticity), yang berarti bahwa proses penyelesaian sengketa akan berlanjut
anggota WTO dimuat dalam Understandig on Rules and Procedures Governing the
Settlement of Disputes, yang selanjutnya disebut dengan DSU. DSU merupakan bagian dari
General Council.
Dengan demikian, seluruh anggota yang tergabung dalam WTO memiliki hak yang setara
perdagangan yang timbul antara negara-negara anggota WTO harus diselesaikan melalui
lembaga ini dan para anggota tidak diperkenankan untuk mengambil keputusan secara
unilateral yang berpotensi menimbulkan masalah baru baik secara bilateral maupun
multilateral. Peraturan dan mekanisme dalam DSU berlaku untuk seluruh sengketa yang
diajukan kepada DSB sesuai dengan peraturan serta mekanisme penyelesaian sengketa yang
Tugas utama dari lembaga penyelesaian sengketa DSB ini dapat dilhat dalam Pasal 3 DSU,
yaitu:
36
Ibid
24
1. Mengklarifikasi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam berbagai perjanjian di
mengurangi hak dan kewajiban yang telah diatur di dalam ketentuan WTO.
3. DSB menjamin solusi yang positif dan dapat diterima oleh pihak-pihak yang
WTO.
ketentuan-ketentuan yang ada dalam covered agreement, yaitu perjanjian yang terdiri
dari multilateral agreement dan plurilateral agreement, dan tindakan retaliasi sebagai
Lahirnya WTO yang menggantikan GATT membawa perubahan penting, salah satunya
adalah WTO yang mengambil alih GATT dan menjadikannya salah satu lampiran aturan
WTO. GATT berperan sebagai alah satu instrumen yang menjadi landasan dalam pengaturan
tata cara perdagangan internasional di bawah WTO. Di dalam GATT, terdapat beberapa
ketentuan yang seringkali menjadi objek sengketa sebagai akibat dari pelanggaran-
pelanggaran yang dilakukan negara anggota dalam melaksanakan kebijakan luar negerinya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, WTO memiliki peran ajudikasi untuk konsultasi
dan mengadili permasalahan antara negara anggota terkait peraturan dalam persetujuan di
37
lingkup WTO. Dalam WTO, yang dapat menjadi pihak atau berpartisipasi dalam forum
37
Pasal 2 DSU.
25
penyelesaian sengketa WTO adalah negara dan wilayah yang tidak berdaulat penuh, identik
dengan wilayah pabean tersendiri yang dalam sistem WTO disebut sebagai negara
Ini berarti bahwa akses penyelesaian sengketa WTO melalui DSB dibatasi hanya untuk
negara anggota WTO, baik sebagai pihak yang bersengketa ataupun pihak ketiga. Sistem
penyelesaian sengketa WTO merupakan sistem penyelesaian sengketa antar pemerintah yang
sebagai berikut:
1. Konsultasi
WTO yang dituduh telah melakukan pelanggaran erhadap ketentuan WTO (complaining
state) dapat mengajukan permohonan konsultasi kepada yang melayangkan tuduhan, di mana
negara anggota terhadap siapa permohonan konsultasi tersebut diajukan harus memberikan
jawaban dalam waktu sepuluh hari sejak permohonan tersebut diterima. Konsultasi harus
dilaksanakan dalam waktu tidak lebih dari tiga puluh hari sejak diajukannya permohonan
konsultasi dan harus diselesaikan dalam jangka waktu enam puluh hari sejak permohonan
konsultasi diajukan (Pasal 4.3 dan 4.7 DSU.) Dalam keadaan mendesak terkait dengan objek
sengketa yang mudah rusak (perishable goods), maka konsultasi dilaksanakan secepat
mungkin, dalam kurun waktu tidak lebih dari sepuluh hari. Apabila dalam kurun waktu dua
puluh hari belum diterima jawaban, maka negara pemohon dapat mengajukan permohonan
pembentukan Panel. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan aspek-aspek khusus dan
26
kepentingan negara berkembang, karena produk yang dihasilkan oleh negara berkembang
Konsultasi ini bertujuan untuk memberikan pemahaman awal kepada para pihak terkait
kondisi fakual serta dasar hukum yang akan diajukan, serta guna mengupayakan penyelesaian
sengketa berhenti hanya sampai pada tahap konsultasi tanpa melanjutkan ke tahap
selanjutnya. Setiap permohonan konsultasi harus diberitahukan secara tertulis kepada DSB
2. Pembentukan Panel
gagal mencapai kesepakatan. Pembentukan Panel harus segera dilakukan pada pertemuan
DSB berikutnya setelah permohonan pembentukan Panel pertama kali diajukan oleh negara
pemohon, dan selambat-lambatnya pada sidag kedua sejak permohonan pembentukan Panel;
kecuali DSB telah memutuskan secara konsensus untuk tidak membentuk Panel.Panel
dibentuk setidaknya sembilan puluh hari sejak permohonan konsultasi diajukan. Panel terdiri
atas individu baik dari kalangan pemerintah maupun non-pemerintah yang cakap, mencakup
orang-orang yang pernah bertugas atau mengajukan pemasalahan kepada Panel. Setelah
Panel terbentuk, Panel akan terdiri dari tiga orang panelis yang diajukan oleh sekretariat
WTO. Namun apabila dalam jangka waktu sepuluh hari sejak Panel dibentuk pihak yang
bersengketa menyatakan persetujuan terhadap lima orang panelis, maka sekretariat akan
Panel bertugas memberikan penilaian yang objektif mengenai pokok sengketa yang
diajukan, fakta-fakta terkait sengketa serta penerapan dan kesesuaiannya dengan ketentuan
yang diatur dalam perjanjian-perjanjan WTO (covered agreement) terkait. Panel juga
bertugas untuk membuat suatu temuan yang akan membantu DSB dalam memutuskan
27
rekomendasi atau menerapkan aturan-aturan yang ditetapkan sesuai dengan yang diatur di
dalam covered agreement. Laporan Panel (Panel Report) harus sudah disampaikan kepada
DSB dalam kurun waktu enam bulan setelah pembentukan Panel, dan harus sudah
disirkulasikan kepada seluruh anggota WTO paling lama sembilan bulan terhitung sejak
pembentukan Panel. Setelah laporan dikeluarkan dan diedarkan, laporan panel harus sudah
diadopsi secara formal dalam jangka waktu enam puluh hari, kecuali terdapat konsensus
untuk tidak menerima dan mengadopsi laporan tersebut atau salah satu pihak secara resmi
DSB akan mendirikan suatu badan peninjau permanen yang akan mengadili banding dari
tingkat panel. Badan Banding ini terdiri dari tujuh orang yang merupakan perwakilan dari
keanggotaan WTO yang tidak terafiliasi dengan pemerintahan negara manapun.95 Setiap
sengketa akan ditangani oleh tiga anggota Badan Banding Badan Banding ini memiliki
kesimpulan yang telah dibuat oleh Panel. Laporan Panel harus diadopsi dan diterima oleh
DSB tanpa syarat oleh para pihak yang bersengketa, kecuali apabila DSB dengan konsensus
memilih untuk tidak mengadopsi laporan dalam jangka waktu tiga puluh hari untuk diedarkan
kepada anggota dan anggota akan memberikan pandangannya terhadap laporan Badan
Banding.
Baik Panel maupun Badan Banding yang menemukan bahwa terdapat suatu tindakan
yang tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam covered agreement WTO, maka
Panel maupun Badan Banding harus memberi rekomendasi kepada negara anggota yang
bersengketa untuk mengubah tindakan tersebut sehingga sesuai dengan perjanjian terkait dan
28
dapat pula memberi rekomendasi terkait cara negara-negara terkait untuk
mengimplementasikan rekomendasi yang telah dibuat oleh Panel atau Badan Banding
4. Implementasi (Implementation)
Tahapan akhir dari rangkaian mekanisme penyelesaian sengketa melalui DSB adalah
baik oleh Panel maupun Badan Banding. Pengawasan ini bertujuan untuk memastikan apakah
rekomendasi maupun putusan dari Panel atau Badan Banding yang mengharuskan negara
covered agreement WTO dilaksanakan atau tidak oleh pihak-pihak yang bersengketa.
keputusan yang dikeluarkan oleh Panel atau Badan Banding merupakan hal yang sangat
Jangka waktu tiga puluh hari diberikan kepada negara yang bersangkutan untuk
memberikan laporan kepada DSB terkait niatnya dalam melaksanakan rekomendasi atau
laporan DSB.
mengikat para pihak yang bersengketa. Sehingga yurisdiksi DSB sifatnya mengikat,
memaksa dan bukan nasihat sehingga wajib dilaksanakan oleh pihak yang terlibat dalam
sengketa.
29
Berdasarkan Pasal 3.7 DSU, ketika para pihak yang bersengketa tidak dapat solusi yang
disepakati bersama, maka target utama biasanya adalah untuk menjamin ditariknya atau
dibatalkannya tindakan terkait yang terbukti tidak sejalan dengan ketentuan di dalam
perjanjian WTO.
1. Tahap Konsultasi
Sebelum sengketa ini diajukan kepada WTO, pihak Indonesia dan Uni Eropa telah
tindakan Uni Eropa yang menerapkan Bea Masuk Anti Dumping kepada produk impor
biodiesel asal Indonesia yang ditetapkan melalui Commission Regulation No. 490/2013
berdasarkan hasil investigasi atas produk impor biodiesel dari Indonesia dan Argentina
dianggap tidak konsisten dengan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam perjanjian WTO
terkait.
prosedur konsultasi. Pada 30 Juni 2015 Indonesia memohon pembentukan panel sesuai
dengan Pasal 6 DSU dengan mengajukan written submission request for the establishment of
a panel. Panel dibentuk sesuai dengan permohonan Indonesia pada pertemuan tertanggal 31
Agustus 2015. Panel mengadakan pertemuan pertama (first substantive meeting) dengan para
30
Panel mempertimbangkan seluruh argumen yang diberikan baik oleh Indonesia, Uni
Eropa maupun pihak ketiga yang terlibat dalam proses Panel. Serangkaian proses panel yang
berlangsung antara para pihak terkait, serta berdasarkan pada temuan panel menghasilkan
sebuah kuputusan dan rekomendasi yang diterbitkan melalui final report tertanggal 26
Oktober 2017. Final report kemudian dilegalisasi dengan European Union - Anti-Dumping
berisi Panel yang menerima 6 dari 11 gugatan yang berhasil dibuktikan oleh Indonesia terkait
Indonesia dan Uni Eropa sepakat untuk menetapkan jangka waktu bagi Uni Eropa untuk
mengimplementasikan rekomendasi Panel selama delapan bulan, yang akan berakhir pada 28
Oktober 2018. Sehubungan dengan pelaksanaan implementasi rekomendasi Panel, maka Uni
Eropa kembali melanjutkan investigasi terhadap produk biodiesel dari Indonesia terkait
kegagalannya dalam memperhitungkan harga bahan baku sebagaimana yang terdapat dalam
catatan produsen Indonesia, melalui publikasi Official Journal of the European Union tanggal
28 May 2018.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
diklasifikasikan ke dalam dua cara yaitu: (1) penyelesaian sengketa di luar pengadilan
31
fakta (enquiry), mediasi dan konsiliasi; dan (2) penyelesaian sengketa secara hukum
2. Latar belakang sengketa biodiesel antara Indonesia dengan Uni Eropa diawali dengan
investigasi Komisi Uni Eropa yang menunjukkan adanya praktik dumping yang
dilakukan Indonesia. Hal tersebut berdasarkan pada rendahnya harga minyak kelapa
sawit (CPO) sebagai bahan baku biodiesel di pasar domestik akibat adanya perbedaan
sistem pajak ekspor Indonesia yang mengakibatkan harga biodiesel yang lebih rendah
di pasar domestik (less than fair value) dibandingkan dengan harga di pasar
internasional yang tersedia bagi produsen biodiesel Uni Eropa. Praktik dumping tidak
adanya dampak negatif dan potensi dampak negatif terhadap arus kas, persediaan,
atau investasi di negara tersebut. Uni Eropa menunjukkan bahwa praktik dumping
tersebut menyebabkan kerugian bagi produsen biodiesel domestik Uni Eropa sehingga
Uni Eropa mengambil kebijakan penerapan BMAD sesuai degan Pasal VI ayat 2
ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa pada kurun 2013-2016 turun sebesar
32
42,84%, menyebabkan turunnya nilai ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa dari
suatu sistem terstruktur dengan prosedur yang bersifat formal yang menghasilkan
kewajiban dan konsekuensi hukum yang mengikat para pihak yang bersengketa.
Indonesia memanfaatkan peran WTO sebagai forum negosiasi dalam skala global
harga normal, biaya produksi, batas keuntungan, harga ekspor, penurunan harga yang
signifikan pada produk biodiesel di Uni Eropa yang menjadi indikator adanya praktik
dumping serta keliru dalam mentukan margin dumping. Adapun ketentuan yang
dilanggar yaitu Pasal 2.2, Pasal 2.2.1.1, Pasal 2.2.2(iii), Pasal 2.3, Pasal 3.1, Pasal 3.2,
dan Pasal 9.3 Anti-Dumping Agreement serta Pasal VI:1(b)(ii) dan Pasal VI:2 GATT
1994. Berdasarkan hal ini, Uni Eropa melalui Implementing Regulation 2018/1570
putusan panel dengan menghapus BMAD yang dikenakan terhadap produk biodiesel
B. Saran
33
bersangkutan, namun memilih untuk menggunakan metodemetode penyelesaian
merupakan cara yang bijak guna menjaga dan memelihara perdamaian dan keamanan
internasional serta menciptakan hubungan antarbangsa yang serasi yang sesuai dengan
sosialisasi masif terhadap kesepakatan dan aturan di dalam WTO demi menghindari
sebagai suatu bentuk tindakan proteksi untuk melindungi produk dan pasar
domestiknya.
tahapan dalam proses penyelesaian sengketa menurut DSB yang lebih singkat dalam
rangka mencapai suatu sistem penyelesaian sengketa yang efektif, mengingat proses
penyelesaian sengketa ini berlangsung selama kurang lebih empat tahun terhitung
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Persada. 2006.
34
---------------. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: Sinar
Grafika. 2014.
Bain, Gofar. Uruguay Round dan Sistem Perdagangan Masa Depan. Jakarta:
Djambatan. 2001.
2007.
(UI-Press). 2002.
Mamudji, Sri dkk. Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit
35
Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2005.
Mauna, Boer. Hukum Internasional (Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam era
Butterworths. 1989.
36
Methods: A Guidebook and Resource. John Wiley & Sons. 2015.
Jurnal
Azizah, Nur. Analisis Ekspor Crude Palm Oil 9CPO) Indonesia di Uni Eropa
Fischer, Carolyn dan Timothy Meyer. Baptists and Bootleggers in the Biodiesel
37
Intervening Variables. International organization, 36(2). 2017.
Mani, Rama dan Richard Ponzio. Peaceful Settlement of Disputes and Conflict
Sari, Rafika. Rencana Kebijakan Crude Palm Oil Supporting Fund. Pusat
Konvensi Internasional
38
Agreement on Implementation of Article VI of the General Agreement on Tariffs and
Trade 1994.
Kasus-Kasus
Kamus
39
Lain-Lain
http://ditjenppi.kemendag.go.id/index.php/multilateral/tentang-wto/sekilas-
Gapki. Analisis Ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa: Faktor Apa yang
ekspor-cpo-indonesia-ke-uni-eropa-faktor-apa-yang-mendorong-trend-
https://gapki.id/news/3971/perkembangan-mutakhir-industri-minyak-sawit-
490/2013.
Official Journal of the European Union, Council Implementing Regulation (EU) No.
definitively
40
the provisional duty imposed on imports of biodiesel originating in Argentina
and Indonesia.
the use of energy from renewable sources and amending and subsequently
Februari 2020.
41