Anda di halaman 1dari 46

ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN

INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY WORLD

TRADE ORGANIZATION PADA SENGKETA BIODIESEL ANTARA

INDONESIA DENGAN UNI EROPA

MAKALAH HUKUM EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Atas Kekayaan Intelektual

Dosen pengampu :
Surya Anom,S.H.,LL.M.

Disusun Oleh :

1. Liana Ayu Firdiana 1111190043

2. Ratu Miswa Yusifa 1111190073


3. Basri Ayata 1111190083
4. Elia Fatmawasari Sihotang 1111190163
5. Andini Puspa Lestari 1111190193
6. Syifa Aulia Paramadani 1111190323
FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2021

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya

sehingga Kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ANALISIS

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI

DISPUTE SETTLEMENT BODY WORLD TRADE ORGANIZATION PADA

SENGKETA BIODIESEL ANTARA INDONESIA DENGAN UNI EROPA.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi Nilai tugas Mata

Kuliah Hukum Ekonomi Dan Perdagangan Internasional. Selain itu, makalah ini juga

bertujuan untuk menambah wawasan kami serta memahami Mata Kuliah Hukum bagi para

pembaca dan penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen kami Surya Anom,S.H.,LL.M. yang

telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan sesuai dengan bidang studi

yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi

sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari,

makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karna itu, kritik dan saran

yang membangun akan Kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Serang, 30 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................. i

Daftar Isi ............................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .......................................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah .................................................................................................11

BAB II TINJAUAN UMUM PENYELESAIAN SENGKETA ...................................12

MENURUT HUKUM INTERNASIONAL ....................................................................12

A. Tinjauan Umum Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai ................... 12

B. Prinsip Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai .................................. 15

C. Forum Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai ................................... 18

1. Penyelesaian Sengketa Secara Diplomatik ............................................................. 18

1.1 Negosiasi .......................................................................................................... 18

1.2 Penyelidikan Fakta (Enquiry) ........................................................................... 19

1.3 Mediasi dan Jasa-jasa Baik ............................................................................... 19

1.4 Konsiliasi .......................................................................................................... 20

2. Penyelesaian Sengketa Secara Hukum ................................................................... 20

2.1 Arbitrase ........................................................................................................... 20

2.2 Pengadilan Internasional ................................................................................... 21

BAB III ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL ................ 23

MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY WORD TRADE ................................. 23

ORGANIZATION DALAM KASUS SENGKETA BIODIESEL ............................... 23

ii
ANTARA INDONESIA DENGAN UNI EROPA .......................................................... 23

A. Dispute Settlement Body WTO sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa ............ 23

Perdagangan Internasional .................................................................................... 23

1. Ketentuan WTO yang menjadi Objek Sengketa ............................................... 25

2. Subjek Sengketa WTO ..................................................................................... 26

3. Mekanisme Penyelesaian Sengketa melalui Dispute Settlement Body ............ 26

4. Kekuatan Hukum Putusan Panel ...................................................................... 29

B. Rangkaian Proses Penyelesaian Sengketa Biodiesel antara Indonesia dan .......... 30

Uni Eropa melalui Dispute Settlement Body WTO ................................................ 30

1. Tahap Konsultasi .............................................................................................. 31

2. Tahap Pembentukan Panel ................................................................................ 31

3. Kesimpulan dan Rekomendasi Panel ............................................................... 31

4. Pelaksanaan Putusan Panel oleh Uni Eropa ..................................................... 31

BAB IV PENUTUP ........................................................................................................... 32

A. Kesimpulan ............................................................................................................. 32

B. Saran ....................................................................................................................... 34

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perekonomian Indonesia sampai dengan pertengahan tahun 1980-an masih bersifat

inward-looking, yaitu strategi pembangunan yang mengedepankan pembangunan industri

domestik sebagai substitusi produk impor. Baru setelah pertengahan tahun 1980-an Indonesia

menerapkan strategi kebijakan pembangunan yang bersifat outward-looking, yaitu

pengembangan industri yang berorientasi pada sektor ekspor. Pergeseran ini terjadi sejak

kebijakan ekonomi Indonesia dalam mendorong pertumbuhan industrial terbebas dari

bayang-bayang pandangan export pessimism.1 Pandangan ini menyatakan bahwa

perdagangan internasional justru akan semakin menurunkan tingkat kesejahteraan negara-

negara berkembang yang berperan di dalamnya. Dalam hal diterapkannya kebijakan ini,

perdagangan internasional khususnya dalam sektor ekspor menjadi mesin penggerak bagi

pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam hal ini perekonomian nasional menjadi peka terhadap

laju perkembangan yang terjadi pada perekonomian global terutama terhadap gejolak yang

ditimbulkan oleh perekonomian negara mitra dagang Indonesia. 2 Perdagangan internasional

dalam iklim globalisasi ini tentunya berpotensi memimbulkan resiko terjadinya sengketa

terkait dengan perdagangan internasional antara negara-negara yang terlibat di dalamnya.

Oleh karena itu World Trade Organization (selanjutnya disebut dengan WTO) hadir sebagai

rezim internasional.

Indonesia sebagai negara dengan sistem perekonomian terbuka mengandalkan interaksi

dan transaksi yang berkaitan dengan sektor perekonomian negara lain, seperti kegiatan

1
H.S Kartadjoemena, GATT dan WTO: Sistem Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan,
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2002, hal. iv.
2
Ari Mulianta Ginting, Analisis Pengaruh Ekspor Terhadap Pertumbuha Ekonomi Indonesia, Buletin Ilmiah
Litbang Perdagangan, Vol. 11 No. 1, 2017, hal. 15.

1
perdagangan internasional berupa ekspor-impor. Perekonomian Indonesia sampai dengan

pertengahan tahun 1980-an masih bersifat inward-looking, yaitu strategi pembangunan yang

mengedepankan pembangunan industri domestik sebagai substitusi produk impor3. Baru

setelah pertengahan tahun 1980-an Indonesia menerapkan strategi kebijakan pembangunan

yang bersifat outward-looking, yaitu pengembangan industri yang berorientasi pada sektor

ekspor. Pergeseran ini terjadi sejak kebijakan ekonomi Indonesia dalam mendorong

pertumbuhan industrial.

WTO berperan sebagai forum negosiasi bagi para anggotanya untuk menyelesaikan

sengketa terkait dengan perdagangan multilateral dan untuk memfasilitasi pemberlakuan dari

hasil negosiasi tersebut. Dalam memfasilitasi penyelesaian sengketa di bidang perdagangan

internasional secara damai, 4 WTO memiliki badan khusus bernama Dispute Settlement Body

(selanjutnya disebut dengan DSB), dengan prosedur penyelesaian sengketa yang diatur di

dalam Dispute Settlement Understanding (selanjutnya disebut dengan DSU) yang dianeksasi

dalam Final Act dan ditandatangani di Marrakesh pada tahun 1994. Prosedur ini merupakan

penjabaran dari pasal utama yang menjadi acuan mekanisme penyelesaian sengketa yaitu

Pasal XXII (Konsultasi) dan Pasal XXIII (Penghilangan dan Pengurangan Keuntungan)

GATT.5 DSB memiliki wewenang antara lain untuk membentuk panel, menerima dan

mengadopsi laporan Panel dan laporan Badan Banding (Appellate Body), melaksanakan

pengawasan terhadap implementasi rekomendasi dan putusan panel, mengotorisasi

penangguhan konsesi (suspension of concessions), serta kewajiban-kewajiban lain yang

terdapat di dalam perjanjian. Dengan dibentuknya DSB, sistem penyelesaian sengketa di

bidang perdagangan internasional menunjukkan progresivitas dalam memperkuat mekanisme

penyelesaian sengketa di bidang perdagangan internasional dan dinilai memberi hasil yang

3
Dara Resmi Asbiantari, Pengaruh Ekspor Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Bandung: Jurnal
Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Vol. 5 No. 2, 2016, hal. 10.
4
Hata, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT & WTO: Aspek-aspek Hukum & Non Hukum, Bandung:
PT Refika Aditama, 2006, hal. 2.
5
Pasal 2:1 Dispute Settlement Understanding.

2
efektif dalam mengklarifikasi serta mengevaluasi pemenuhan hak dan penegakan kewajiban

negara-negara anggota.

Indonesia sebagai produsen minyak sawit mentah atau CPO (Crude Palm Oil) sebagai

bahan baku pembuatan biodiesel terbesar di dunia, menjadikan produk tersebut sebagai

komoditas utama ekspor pertanian Indonesia. Sejak dikeluarkannya kebijakan biofuel melalui

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2006 mengenai pengadaan dan penggunaan biofuel,

produksi biodiesel Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. 6 Pada tahun 2008,

Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan mandatori mengenai pencampuran biodiesel

melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No. 32 Tahun

2008, yang terakhir kali direvisi melalui PERMEN ESDM No. 12 Tahun 2015 yang

mewajibkan untuk meningkatkan campuran wajib biodiesel dari 10% menjadi sebanyak 15%

untuk keperluan di sektor transportasi dan industri, serta sebanyak 25% untuk sektor

pembangkit tenaga listrik. Hal ini dilakukan seiring dengan upaya Indonesia yang berusaha

mengurangi konsumsi dan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil serta mendorong

penggunaan dan pemanfaatan energi terbarukan.

Salah satu tujuan ekspor terbesar ke-2 Indonesia adalah Uni Eropa. Namun untuk

melindungi produsen domestiknya, Uni Eropa menerapkan hambatan akses pasar terhadap

produk biodiesel Indonesia berupa pengenaan bea masuk anti-dumping (BMAD). Dumping

diartikan sebagai sebuah praktik dagang di mana eksportir komoditi di pasaran internasional

dengan harga yang kurang dari nilai wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut di

pasar domestik, atau dari harga jual kepada negara lain pada umumnya. 7 Hal ini dilakukan

dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan dan menguasai pasar di luar negeri.

6
Rafika Sari, Rencana Kebijakan Crude Palm Oil Supporting Fund, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan
Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI: Info Singkat Ekonomi dan Kebijakan Publik, 2015, hal. 13.
7
AF. Elly Erawati dan J.S Badudu, Kamus Hukum Ekonomi Inggris – Indonesia, sebagaimana dikutip Yulianto
Syahyu, Hukum Antidumping di Indonesia: Analisis dan Panduan Praktis, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, hal.
32.

3
Sejak tahun 2003, Uni Eropa telah menjadi konsumen biodiesel. Dikeluarkannya

Transport Biofuels Directive pada 2003 yang bertujuan untuk mempromosikan penggunaan

biofuel atau bahan bakar terbarukan lainnya dalam menggantikan penggunaan bahan bakar

fosil untuk keperluan transportasi telah menciptakan suatu instrumen legislatif di negara-

negara anggota Uni Eropa serta memicu peningkatan pesat dalam produksi dan penggunaan

biofuel. Pengurangan ketergantungan atas bahan bakar minyak yang berasal dari fosil

sekaligus usaha pengurangan emisi gas rumah kaca dan mengatasi masalah iklim dan

lingkungan juga dilakukan melalui European Union Renewable Energy Directive. 8 Kebijakan

ini mengharuskan sebanyak 20% dari total konsumsi energi dan 10% konsumsi energi di

sektor transportasi berasal dari sumber daya terbarukan pada tahun 2020. Konsumsi minyak

sawit (CPO) sebagai bahan bakar energi alternatif di Uni Eropa menempati posisi kedua

setelah minyak nabati dari rapeseed. Namun konsumsi rapeseed dan minyak nabati lain di

Uni Eropa mengalami hambatan akibat pemanfaatan yang juga tinggi pada sektor pangan

yang dapat mengancam ketersediaan pangan di Uni Eropa. Untuk itulah CPO sebagai bahan

baku biodiesel lebih diminati karena harganya yang kompetitif jika dibandingkan dengan

bahan baku nabati lain seperti kedelai.

Dalam kurun waktu 2011-2016 rata-rata ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa berkisar

antara 60% per tahun. 68 Berdasarkan Official Journal of the European Union 2018, total

ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa pada 2009 sebesar 157 ribu ton, lalu mencapai

puncaknya pada 2011 dengan total ekspor mencapai 3.730.00 per metrik ton dengan nilai

ekspor sebesar USD 1,4 miliar. 9 Hal ini menjadikan komoditas minyak kelapa sawit sebagai

tulang punggung sektor ekspor non-migas yang menjadi kunci perekonomian dan penghasil

devisa penting bagi Indonesia. Namun aktivitas ekspor Indonesia ke Uni Eropa menghadapi

8
Official Journal of the European Union, Directive 2003/30/EC on the promotion of the use of biofuels or other
renewable fuels for transport.
9
Gapki, Analisis Ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa: Faktor Apa yang Mendorong Trend Positif?,
https://gapki.id/news/4268/analisis-ekspor-cpo-indonesia-ke-uni-eropa-faktor-apa-yang-mendorong-trend-
positif, 2018, diakses pada 29 Oktober 2021.

4
hambatan perdagangan. Uni Eropa melakukan tuduhan dumping terhadap produk biodiesel

Indonesia, yaitu situasi di mana suatu barang, dalam hal ini biodiesel dijual di pasar Uni

Eropa dengan harga lebih rendah dari harga normal. Guna memproteksi produsen

domestiknya dari tindakan dumping yang berpotensi memberi kerugian, Uni Eropa

menerapkan hambatan perdagangan berupa pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD).

Pada 29 Agustus 2012 Komisi Uni Eropa (European Commision) menginisiasi

investigasi mengenai tindakan anti-dumping terhadap produk biodiesel Indonesia dan

Argentina melalui the publication of the notice of initiation of the investigation dalam Jurnal

Uni Eropa (European Union's Official Journal). Menurut Anti-Dumping Agreement, praktik

dumping terjadi apabila harga ekspor (export price) atas suatu barang atau komoditas lebih

rendah nilainya dari harga normal barang (normal value) tersebut. Dalam menentukan apakah

telah terjadi praktik dumping, maka harga normal atas suatu komoditas harus ditentukan.

Dalam menentukan harga normal produk CPO Indonesia, Komisi Uni Eropa mendasarkan

pada biaya aktual yang dibayarkan oleh produsen biodiesel Indonesia.10 Selanjutnya Komisi

Uni Eropa menyimpulkan bahwa kebijakan pajak ekspor Indonesia membatasi ekspor CPO di

mana hal ini berdampak pada naiknya jumlah pasokan domestik. Naiknya jumlah pasokan

domestik memicu adanya penurunan harga domestik untuk produsen lokal. Dengan demikian,

Komisi Uni Eropa menemukan bahwa harga CPO di pasar domestik lebih rendah dari harga

di pasar internasional.

Dalam hal ini perekonomian nasional menjadi peka terhadap laju perkembangan yang

terjadi pada perekonomian global terutama terhadap gejolak yang ditimbulkan oleh

perekonomian negara mitra dagang Indonesia. Perdagangan internasional dalam iklim

globalisasi ini tentunya berpotensi memimbulkan resiko terjadinya sengketa terkait dengan

10
Carolyn Fischer dan Timothy Meyer, Baptists and Bootleggers in the Biodiesel Trade: EU-Biodiesel
(Indonesia), European University Institute, 2019, hal. 7.

5
perdagangan internasional antara negara-negara yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu

World Trade Organization (selanjutnya disebut dengan WTO) hadir sebagai rezim

internasional yang secara khusus menjadi wadah untuk mendorong liberalisasi iklim

perdagangan internasional yang tertib, adil dan bertujuan untuk menciptkan kondisi yang

bersifat timbal-balik. Kegiatan perdagangan antar-negara ini dilakukan dengan hanya dibatasi

oleh tatanan peraturan perdagangan yang bersifat multilateral, yang telah disepakati bersama

oleh negara-negara peserta (contracting parties).

GATT melalui Pasal IV memberikan negara-negara peserta wewenang untuk menerapkan

pungutan anti-dumping (anti-dumping duty) kepada negara yang telah melakukan praktik

dumping atas komoditi ekspornya. Anti-dumping duty hadir dalam memberikan proteksi

kepada industri domestik dari dampak merugikan dari praktik diskriminasi harga secara

internasional yang tidak adil.11 Namun, anti-dumping duty hanya bisa diberlakukan apabila

telah dibuktikan bahwa dampak dari praktik dumping tersebut mengancam maupun telah

menimbulkan kerugian material terhadap pasar dan industri domestik. 12 Penerapan BMAD

oleh Uni Eropa yang didasari atas tuduhan dumping ini telah melemahkan kinerja ekspor

biodiesel Indonesia ke Uni Eropa. Produk biodiesel Indonesia dikenakan bea masuk anti-

dumping sebesar 76,94-178,85 Euro per ton-nya, dengan margin dumping sebesar 8,8% -

23,3%. Hal ini mengakibatkan nilai ekspor biodiesel Indonesia mengalami penurunan tajam

sebesar 72,34% atau turun dari $635 juta pada 2013 menjadi hanya $9 juta pada 2017.13

Untuk itu, berdasarkan atas praktik dumping yang dituduhkan oleh Uni Eropa terhadap

produk biodiesel, Indonesia berusaha mencari keadilan atas permasalahan ini dengan

mengajukan sengketa biodiesel ke WTO. Indonesia memohon untuk diselesaikan melalui

11
Soheyb Salah Kahlessenane, Anti-Dumping Regulations and Policies: Some Insights from Algeria, Athens
Journal of Law Vol. 5 Issue I, hal. 49.
12
Lihat Pasal VI paragraf 6(a) General Agreement on Tariffs and Trade 1994.
13
PT Perkebunan Nusantara V, Kalah di WTO, Tarif Anti Dumping Biodiesel Eropa Ditunda, dalam
http://www.bumn.go.id/ptpn5/berita/1-Kalah-Di-WTO-Tarif-Anti-Dumping-Biodiesel-Eropa-Ditunda, diakses
pada 30 Oktober 2021.

6
tahap konsultasi ke DSB sebagai langkah pertama dari prosedur penyelesaian sengketa WTO

pada 10 Juni 2014. Indonesia menilai kebijakan anti-dumping yang diambil oleh Uni Eropa

mencerminkan ketidakadilan dan inkonsistensi dengan Anti-Dumping Agreement

(Agreement on Implementation of Article VI of the GATT 1994). Dalam Pasal 1 Anti-

Dumping Agreement disebutkan bahwa kebijakan anti-dumping hanya dapat diterapkan

dalam keadaan tertentu yang diatur dalam Pasal VI GATT dan sesuai dengan investigasi yang

dilakukan berdasarkan ketentuan perjanjian ini.

Konsultasi diadakan pada 23 Juli 2014 namun gagal dalam mencapai kesepakatan untuk

menyelelesaikan sengketa ini. Akhirnya setelah melalui serangkaian proses penyelesaian

sengketa di DSB, pada 26 Oktober 2017 Indonesia memenangkan sengketa biodiesel yang

ditandai dengan terbitnya final report panel pada 26 Oktober 2017 dan dilegalisasi melalui

Report of the Panel DS480, dengan enam dari tujuh keberatan yang dilayangkan Indonesia

terhadap tuduhan dumping Uni Eropa diakomodir oleh WTO.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis terdorong untuk meneliti

dan mengkaji lebih lanjut mengenai mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan

internasional melalui Dispute Settlement Body World Trade Organization, khususnya pada

sengketa biodiesel yang melibatkan Indonesia.

Permasalahan ini menjadi agenda utama pada Tokyo Round yang akhirnya meghasilkan

sejumlah perjanjian-perjanjian internasional dengan mekanisme penyelesaian sengketa pada

masing-masing bidang. Agenda perbaikan dan pembaharuan norma GATT baik dalam aspek

substantif maupun prosedural, seperti salah satunya mengenai mekanisme penyelesaian

sengketa, berlanjut hingga putaran terakhir yaitu Uruguay Round yang menjadi cikal-bakal

lahirnya WTO.

Ketentuan-ketentuan yang ada di dalam WTO menjadi panduan bagi pelaku bisnis

internasional yang mencakup atas aturan materil dan aturan prosedural. Salah satu aturan

7
perdagangan internasional dalam kerangka WTO yang disepakati bersama oleh negara-

negara peserta adalah peraturan prosedural mengenai mekanisme penyelesaian sengketa

terkait perdagangan internasional.

Pendirian WTO sebagai organisasi penerus merupakan hasil kesepakatan bersama dari

negara-negara anggota General Agreement on Tariffs and Trade (selanjutnya disebut dengan

GATT) yang sebelumnya hanya merupakan sseperangkat perjanjian kontraktual. Pendirian

WTO pada tanggal 1 Januari 1995 tidak terlepas dari adanya masalah yang mengancam

kelancaran dan ketertiban iklim perdagangan internasional karena tidak patuhnya (non-

compliance) negara-negara anggota dalam mengimplementasikan ketentuan-ketentuan

GATT. Hal ini antara lain disebabkan oleh kurang efektifnya mekanisme penyelesaian

sengketa di tubuh GATT, di mana pada umumnya penyelesaian sengketa dilakukan melalui

proses konsultasi antara pihak-pihak yang bersengketa. 14

Dalam memfasilitasi penyelesaian sengketa di bidang perdagangan internasional secara

damai, WTO memiliki badan khusus bernama Dispute Settlement Body (selanjutnya disebut

dengan DSB), dengan prosedur penyelesaian sengketa yang diatur di dalam Dispute

Settlement Understanding (selanjutnya disebut dengan DSU) yang dianeksasi dalam Final

Act dan ditandatangani di Marrakesh pada tahun 1994. Prosedur ini merupakan penjabaran

dari pasal utama yang menjadi acuan mekanisme penyelesaian sengketa yaitu Pasal XXII

(Konsultasi) dan Pasal XXIII (Penghilangan dan Pengurangan Keuntungan) GATT. DSB

memiliki wewenang antara lain untuk membentuk panel, menerima dan mengadopsi laporan

Panel dan laporan Badan Banding (Appellate Body), melaksanakan pengawasan terhadap

implementasi rekomendasi dan putusan panel, mengotorisasi penangguhan konsesi

(suspension of concessions), serta kewajiban-kewajiban lain yang terdapat di dalam

perjanjian.15
14
4 Hata, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT & WTO: Aspek-aspek Hukum & Non Hukum ,
Bandung: PT Refika Aditama, 2006, hal. 2.
15
Pasal 2:1 Dispute Settlement Understanding. Universitas

8
Perkembangan dalam produksi dan konsumsi biodiesel di Indonesia juga tidak terlepas

dari adanya kebijakan pemerintah yang memberlakukan subsidi untuk biodiesel dan produk

turunannya melalui CPO Supporting fund. Dana program ini berasal dari pungutan ekspor

atas CPO dan produk turunannya sebesar 50 USD per ton yang masuk ke pasar ekspor. 16Hal

ini meningkatkan produksi biodiesel di Indonesia dan tentunya meningkatkan kinerja ekspor

yang sangat pesat. Untuk itu produk turunan minyak sawit merupakan salah satu komoditas

terpenting di Indonesia sebagai penghasil devisa yang menggerakkan perekonomian negara.

Salah satu tujuan ekspor terbesar ke-2 Indonesia adalah Uni Eropa. Namun untuk melindungi

produsen domestiknya, Uni Eropa menerapkan hambatan akses pasar terhadap produk

biodiesel Indonesia berupa pengenaan bea masuk anti-dumping (BMAD). Dumping diartikan

sebagai sebuah praktik dagang di mana eksportir komoditi di pasaran internasional dengan

harga yang kurang dari nilai wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut di pasar

domestik, atau dari harga jual kepada negara lain pada umumnya. Hal ini dilakukan dengan

tujuan untuk memperoleh keuntungan dan menguasai pasar di luar negeri.17

Penerapan BMAD oleh Uni Eropa yang didasari atas tuduhan dumping ini telah

melemahkan kinerja ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa. Produk biodiesel Indonesia

dikenakan bea masuk anti-dumping sebesar 76,94-178,85 Euro per ton-nya, dengan margin

dumping sebesar 8,8% - 23,3%. Hal ini mengakibatkan nilai ekspor biodiesel Indonesia

mengalami penurunan tajam sebesar 72,34% atau turun dari $635 juta pada 2013 menjadi

hanya $9 juta pada 2017.18

16
7 Rafika Sari, Rencana Kebijakan Crude Palm Oil Supporting Fund, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan
Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI: Info Singkat Ekonomi dan Kebijakan Publik, 2015, hal. 13.
17
8 AF. Elly Erawati dan J.S Badudu, Kamus Hukum Ekonomi Inggris – Indonesia, sebagaimana dikutip Yulianto
Syahyu, Hukum Antidumping di Indonesia: Analisis dan Panduan Praktis, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, hal.
32.
18
PT Perkebunan Nusantara V, Kalah di WTO, Tarif Anti Dumping Biodiesel Eropa Ditunda, dalam
http://www.bumn.go.id/ptpn5/berita/1-Kalah-Di-WTO-Tarif-Anti-Dumping-Biodiesel-Eropa-Ditunda, diakses
pada 15 Februari 2020.
Universitas

9
Untuk itu, berdasarkan atas praktik dumping yang dituduhkan oleh Uni Eropa terhadap

produk biodiesel, Indonesia berusaha mencari keadilan atas permasalahan ini dengan

mengajukan sengketa biodiesel ke WTO. Indonesia memohon untuk diselesaikan melalui

tahap konsultasi ke DSB sebagai langkah pertama dari prosedur penyelesaian sengketa WTO

pada 10 Juni 2014. Indonesia menilai kebijakan anti-dumping yang diambil oleh Uni Eropa

mencerminkan ketidakadilan dan inkonsistensi dengan Anti-Dumping Agreement (Agreement

on Implementation of Article VI of the GATT 1994). Dalam Pasal 1 Anti-Dumping

Agreement disebutkan bahwa kebijakan anti-dumping hanya dapat diterapkan dalam

keadaan tertentu yang diatur dalam Pasal VI GATT dan sesuai dengan investigasi yang

dilakukan berdasarkan ketentuan perjanjian ini.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah penyelesaian sengketa internasional secara damai?

2. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa biodiesel antara Indonesia dengan Uni

Eropa melalui Dispute Settlement Body World Trade Organization?

10
BAB II

TINJAUAN UMUM PENYELESAIAN SENGKETA MENURUT HUKUM

INTERNASIONAL

A. Tinjauan Umum Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai

11
Mahkamah Internasional Permanen mendefinisikan sengketa sebagai sebuah

perselisihan terkait persoalan hukum atau fakta, terkait pertentangan atas pandangan hukum

atau kepentingan antara dua orang19. Pada dasarnya sebuah sengketa dikatakan sebagai

sengketa internasional apabila sengketa tersebut didasarkan dan diajukan berdasarkan hukum

internasional.20

Dalam hukum internasional publik dikenal dua jenis sengketa internasional, yaitu

sengketa hukum (legal or judicial disputes) dan sengketa politik (political or nonjusticiable

disputes). Namun pada prinsipnya, belum ada kesepakatan universal terkait perbedaan dari

dua istilah tersebut. Bisa atau tidaknya suatu sengketa diajukan dan diselesaikan melalui

pengadilan internasional kerap menjadi tolok ukur suatu sengketa diklasifikasikan sebagai

sengketa hukum atau tidak. Pandangan ini dinilai sulit diterima karena sengketa internasioal

secara teoritis pada dasarnya selalu dapat diselesaikan oleh pengadilan internasional yang

akan berpegang pada prinsip kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono) dalam memutus

dan menyelesaikan sengketa.21

Banyak sengketa yang dapat diajukan ke Mahkamah Internasional, namun pihak yang

bersengketa enggan untuk mengajukannya. Pasal 36 Statuta Mahkamah Internasional

menjelaskan bahwa mahkamah memiliki kewenangan terbatas. Kewenangan dalam

mengadili dan menyelesaikan sengketa internasional tersebut bergantung pada kehendak

negara yang bersengketa untuk menyerahkan sengketanya ke Mahkamah Internasional.

Sehingga, apabila pihak atau negara yang bersengketa tidak mengajukan sengketanya,

Mahkamah Internasional menjadi tidak memiliki kewenangan.

19
Permanent Court of International Justice, The Mavrommatis Palestine Concessions, Collection of
Judgements, Leyden A.W. Sijthoff’s Publishing Company, 1924, hal. 11.
20
Anne Peters, International Dispute Settlement: A Network of Cooperational Duties, European Journal of
International Law Vol. 14 No.1, 2003, hal. 3.
21
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2014, hal. 3.

12
Secara umum, dalam menyelesaikan sengketa internasional dapat digolongkan dalam

dua metode yaitu :22

1. Cara penyelesaian sengketa secara damai, yaitu di mana para pihak terlibat telah

menyepakati untuk menemukan suatu penyelesaian yang bersahabat; dan

2. Cara penyelesaian sengketa secara paksa atau dengan jalan kekerasan dan

perang

Piagam PBB dalam Pasal 2 ayat (3) mengharuskan setiap sengketa internasional

untuk diselesaikan secara damai. Perintah untuk menempuh penyelesaian sengketa secara

damai juga terdapat dalam Pasal 2 ayat (4) yang berbunyi :23

“All members shall refrain in their international relations from the threat and the use of force

against the terriorial intergrity and political independence of any state, or in any other

manner inconsistent with the Purposes of the United Nations.”

Pasal ini menyatakan bahwa negara dalam hubungan internasional harus menahan

diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan

politik setiap negara, atau dengan cara lain yang bertentangan dengan Tujuan PBB.

Masyarakat internasional telah membuat berbagai instrument internasional dengan

maksud untuk mengatur cara-cara penyelesaian sengketa internasional secara damai.

Instrumen pertama mengenai penyelesaian sengketa secara damai adalah the Convention on

the Pacific Settlement of International Dispute tahun 1899, yang lahir dari Konferensi

Perdamaian Den Haag (the Hague Peace Conference) 1899 dan direvisi dengan Konferensi

Perdamaian Den Haag kedua pada 1907. Konferensi ini memberikan sumbangan penting

berupa instrument hukum terkait penyelesaian sengketa internasional secara damai.

Berdasarkan konvensi yang dihasilkan oleh Konferensi Den Haag negara-negara anggota
22
J.G Starke, Introduction to International Law, 10th edition, London: Butterworths, 1989, hal. 485
23
Piagam PBB 1945.

13
berupaya untuk menggunakan segala upaya guna menyelesaikan sengketa internasional

secara damai.

Lahirnya Convention on the Pacific Settlement of International Dispute kemudian

diikuti oleh disahkannya beberapa konvensi mengenai penyelesaian sengketa internasional,

seperti :24

1. The Convention for the Pacific Covenant of the League of Nations tahun 1919;

2. The Statue of the Permanent Court of international Justice (Statuta Mahkamah

Internasional Permanent) tahun 1921;

3. The General Treaty for the Renunciation of War tahun 1928;

4. The General Act for the Pacific Settlement of International Disputes tahun

1928;

5. Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional tahun 1945;

6. Deklarasi Bandung (Bandung Declaration) tahun 1955;

7. The Declaration of the United Nations on Principles of International Law

concerning Friendly Relations and Co-operation among States in Accordance

with the Charter of the United Nations pada 24 Oktober 1970; dan

8. The Manila Declaration on Peaceful Settlement of Disputes between States pada

15 November 1982.

Namun konvensi-konvensi tersebut tetap tidak memberikan suatu kewajiban mutlak

kepada negara anggota untuk menyelesaikan sengketa secara damai, melainkan hanya

bersifat rekomendatif. Kewajiban minimum untuk menyelesaikan sengketa internasional

secara damai yang ditetapkan kepada seluruh anggota PBB bukan berarti mengikat secara

mutlak. Hal ini disebabkan karena negara sebagai subjek hukum internasional dengan

24
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Op.Cit., hal. 9

14
kedaulatan penuh tetap meiliki kewenangan mutlak untuk menentukan metode penyelesaian

sengketanya sendiri dengan tetap tunduk pada kesepakatan negara lain yang bersangkutan.25

B. Prinsip Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai

Prinsip penyelesaian sengketa secara damai telah ditegaskan kembali di dalam beberapa

Resolusi Majelis Umum PBB, termasuk diantaranya adalah General Assembly Declaration

on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation among

States in accordance with the Charter of the United Nations (Deklarasi MU-PBB mengenai

Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Hubungan-hubungan Bersahabat dan Kerjasama

di antara Negara-negara sesuai dengan Piagam PBB) dan Manila Declaration on the

Peaceful Settlement of International Disputes (Deklarasi Manila mengenai Penyelesaian

Sengketa Internasional Secara Damai).

Prinsip-prisip penyelesaian sengketa internasional memiliki keterkaitan dengan

prinsip hukum internasional tertentu lain. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah:

1. Prinsip Itikad Baik (Good Faith)

Prinsip Itikad baik merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian sengketa

internasional. Prinsip ini terdapat dalam Bagian I ayat 1 Deklarasi Manila yang mewajibkan

semua negara untuk bertindak dengan itikad baik yang sesuai dengan tujuan dan prinsip dari

Piagam PBB guna menghindari sengketa antara negara-negara yang bersangkutan, yang

dapat mempengaruhi hubungan persahabatan antara negara-negara tersebut.

2. Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan (Principle of non-use of force in

international relations)

Keterkaitan antara prinsip larangan penggunaan kekerasan dengan prinsip

penyelesaian sengketa internasional selain disebutkan dalam Pasal 2 Piagam PBB, juga

25
Ibid., hal. 11.

15
terdapat dalam paragraf keempat pembukaan Deklarasi Manila dan dalam ayat 13 yang

menjelaskan bahwa penggunaan kekerasan atau ancaman penggunaan kekerasan dapat

diperbolehkan sebagai cara penyelesaian sengketa atau karena adanya kegagalan prosedur

penyelesaian sengketa secara damai.26

3. Prinsip Kebebasan Memilih Metode Penyelesaian Sengketa

Prinsip ini memberikan kebebasan kepada pihak yang bersengketa untuk menentukan

dan memilih sendiri metode atau mekanisme penyelesaian sengketanya. Prinsip ini termuat di

dalam Pasal 33 Piagam PBB serta Bagian I ayat 3 dan 10 Deklarasi Manila. Ayat 3 Deklarasi

Manila. sengketa internasional harus diselesaikan berdasarkan kesetaraan kedaulatan negara

dan sesuai dengan prinsip kebebasan memilih cara penyelesaian sengketa sesuai dengan

kewajiban yang terdapat dalam Piagam PBB serta dengan prinsip keadilan dan hukum

internasional.

4. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum

Prinsip ini memberikan kebebasan kepada pihak yang bersengketa untuk menentukan

sendiri pilihan hukum yang akan menjadi dasar dalam menyelesaikan sengketa oleh badan

peradilan (arbitrase). Kebebasan untuk menentukan hukum mana yang akan diterapkan ini

termasuk pula kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono) sesuai

dengan yang tertera pada Pasal 38 ayat 2 Statuta Mahkamah Internasional.27

5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies

Prinsip ini pada awalnya lahir dari prinsip hukum kebiasaan internasional. Menurut

prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa prosedur penyelesaian

sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional suatu negara harus terlebih dahulu

26
United Nations, Handbook on the Peaceful Settlement of Disputes between States, New York: United
Nations Publications, 1992, hal. 4
27
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Op.Cit., hal. 197.

16
ditempuh sebelum mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional. Prinsip ini juga

terdapat dalam paragraf kesepeluh pembukaan Deklarasi Manila. Deklarasi Manila ini juga

menghendaki penerapan hukum nasional terkait langkah-langkah penyelesaian sengketa

internasional.

6. Prinsip Hukum Internasional Mengenai Kedaulatan, Kemerdakaan dan Integritas

Wilayah Negara

Prinsip ini terdapat dalam Bagian I ayat 4 Deklarasi Manila. Deklarasi Manila melalui

ayat ini mengharuskan negara-negara sebagai pihhak yang bersengketa untuk terus mematuhi

dan melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam hukum internasional terkait

kedaulatan, kemerdekaan dan integritas teritorial negara serta prinsip dan aturan dalam

berhubungan dengan negara lain.

Office of Legal Affairs PBB juga memuat beberapa prinsip lain yang bersifat

tambahan, yaitu: (1) prinsip larangan intervensi terhadap masalah dalam maupun luar negeri

negara yang bersangkutan; (2) prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri; (3) prinsip

persamaan kedaulatan negara; (4) prinsip kemerdekaan dan hukum internasional yang

merupakan manifestasi lebih lanjut atas prinsip hukum internasional mengenai kedaulatan,

kemerdekaan dan integritas wilayah negara

C. Forum Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai

Penyelesaian sengketa secara damai menurut Pasal 33 Piagam PBB diklasifikasikan

ke dalam dua cara yaitu: (1) penyelesaian sengketa di luar pengadilan secara diplomatik

(diplomatic-political means) berupa negosiasi, penyelidikan fakta (enquiry), mediasi dan

konsiliasi; dan (2) penyelesaian sengketa secara hukum melalui pengadilan atau arbitrase

(adjudicational-legal means). Perbedaan ini didasarkan pada sifat final dan mengikatnya

proses serta hasil keputusan sengketa. Cara penyelesaian secara diplomatik berupaya untuk

17
menyesuaikan kepentingan pihak yang bersengketa dan hasil dari keputusannya tidak

mengikat. Sedangkan penyelesaian secara hukum melalui pengadilan atau arbitrase

menerapkan hukum internasional yang menghasilkan keputusan yang mengikat (legal and

binding) di mana hasil keputusan tersebut tidak dapat dihindari oleh satu pihak.28

1. Penyelesaian Sengketa Secara Diplomatik

1.1 Negosiasi

Negosiasi merupakan metode penyelesaian sengketa secara diplomatic yang

sederhana dan salah satu yang tertua dan paling banyak digunakan. 29 Negosiasi merupakan

perundingan yang diadakan langsung secara bilateral antara pihak-pihak yang bersengketa

tanpa memerlukan intervensi dari pihak ketiga dalam menyelesaikan sengketa untuk

mencapai hasil yang menguntungkan. Hasil yang menguntungkan ini dapat berupa hasil yang

menguntungkan bagi seluruh pihak yang terlibat, atau hanya satu atau beberapa pihak saja.

Hal ini bertujuan untuk menyelesaikan maksud atau tujuan yang bertentangan, untuk

mendapatkan keuntungan bagi pihak baik secara individual maupun kolektif, atau untuk

mencapai hasil yang dapat memenuhi berbagai kepentingan dari para pihak.30

1.2 Penyelidikan Fakta (Enquiry)

Metode pencarian fakta ini memfasilitasi penyelesaian sengketa dengan cara

mendirikan sebuah komisi atau badan yang bersifat internasional. Pencarian fakta dilakukan

untuk menetapkan informasi dasar mengenai sengketa, untuk memastikan kemungkinan

adanya pelanggaran atas suatu perjanjian atau kewajiban serta untuk menyarankan tindakan

apa yang seharusnya dilakukan dan diambil oleh para pihak yang bersengketa 31. Menurut

28
Anne Peters, Op.Cit., hal. 4
29
Gheorghe PINTEALĂ, The Peaceful Settlement of International Disputes, Quaestus Multidisciplinary Research
Journal, hal 97.
30
Abdualla Mohamed dan Miomir Todorovic, Op.Cit., hal. 12
31
Rama Mani dan Richard Ponzio, Peaceful Settlement of Disputes and Conflict Prevention, Oxford Handbook
on the United Nations, Edisi ke-2, 2017, hal. 5

18
Pasal 35 The Hauge Convention for the Pacific Settlement of International Dsiputes 1907,

laporan dan rekomendasi komisi pencarian fakta hanya bersifat terbatas pada pernyataan

fakta-fakta yang dianggap sebagai bagian penting dari sebab timbulnya sengketa dan bukan

merupakan suatu keputusan yang mengikat. Para pihak tetap diberi kebebasan untuk

menetukan sikap dan tindakan atas pernyataan fakta-fakta tersebut.

1.3 Mediasi dan Jasa-jasa Baik

Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai

mediator. Pihak ketiga yang dilibatkan dalam proses mediasi bersifat independen dan netral,

yang ikut serta secara aktif dalam proses perundingan antara pihak yang bersengketa.

Mediator tidak memiliki kekuatan hukum untuk memaksa para pihak untuk menerima usulan

yang diberikan, melainkan bergantung pada sikap persuasif mediator dalam membantu para

pihak untuk mencapai kesepakatan. Usulan atau rekomendasi yang dihasilkanpun tidak

bersifat mengikat. Mediator dapat berupa individu, negara atau sekumpulan negara, maupun

organisasi internasional atau regional.

Mediator juga dapat mengajukan usulan untuk membantu pihak yang bersengketa

mengidentifikasi solusi yang dapat diterima bersama (good offices). Good offices atau jasa-

jasa baik dapat ditawarkan oleh mediator langsung, salah satu atau kedua belah pihak yang

bersengketa32.

1.4 Konsiliasi

Konsiliasi merupakan metode penyelesaian sengketa yang memiliki kesamaan dengan

mediasi. Kedua metode ini melibatkan pihak ketiga dalam menyelesaikan suatu sengketa

secara damai. Konsiliasi dapat diartikan sebagai suatu proses penyelesaian sengketa di mana

para pihak yang bersengketa merujuk ke suatu komisi atau badan khusus yang bertugas untuk

32
ibid

19
menjelaskan fakta-fakta yang dianggap sebagai bagian dari timbulnya sengketa dan

menyarankan usul atas penyelesaian sengketa kepada pihak pihak terkait. Komisi konsiliasi

dapat berupa badan yang permanen maupun didirikan oleh para pihak dengan sifatnya yang

sementara (ad hoc).

Pengaturan mengenai mekanisme dan aturan pembentukan komisi konsiliasi termuat

dalam The Hague Convention for the Pacific Settlement of International Dispute. Komisi ini

hanya dapat dibentuk apabila terdapat persetujuan bersama dari para pihak yang bersengketa.

Usulan yang dihasilkan oleh badan konsiliasi juga bersifat tidak mengikat dan diterima atau

tidaknya usulan tersebut sepenuhnya bergantung pada para pihak.

2. Penyelesaian Sengketa Secara Hukum

2.1 Arbitrase

Arbitrase merupakan metode penyelesaian sengketa di mana para pihak mengajukan

sengketa kepada para arbitrator yang dipilih secara bebas dan berdasarkan kesepakatan para

pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dalam penyelesaian melalui arbitrase dapat berupa

individu, arbitrase terlembaga maupun arbitrase yang bersifat sementara (ad hoc). Menurut

Pasal 37 The Hague Convention for the Pacific Settlement of International Dispute arbitrase

bertujuan untuk menyelesaikan sengketa internasional melalui hakim yang dipilih oleh pihak

yang bersengketa dan atas dasar ketentuan-ketentuan hukum internasional, di mana para

pihak harus melaksanakan putusan arbitrase dengan itikad baik. Prosedur penyelesaian

sengketa melalui arbitrase menghasilkan keputusan (award) yang bersifat final dan mengikat

(final and binding). Dalam penyelesaian sengketa melalui GATT (sebelum diubah menjadi

WTO) digunakan istilah Panel, alih-alih arbitase.

Sebelum sengketa diserahkan kepada arbitrase, para pihak harus membuat suatu akta

kesepakatan penyerahan sengketa yang telah lahir (compromise/submission clause).

20
Penyerahan sengketa kepada arbitrase dapat pula melalui pembuatan suatu klausul arbitase

(arbitration clause) dalam suatu perjanjian, sebelum lahirnya suatu sengketa.33

Arbitrase dianggap sebagai metode penyelesaian sengketa yang paling efektif, adil

dan fleksibel. Karena arbitrase memberikan pilihan kepada para pihak untuk menunjuk

sendiri arbitratornya, menunjuk tempat kedudukan arbitrase dan menentukan prosedur serta

hukum mana yang akan diterapkan. Selain itu, proses arbitrase juga dapat dilangsungkan

secara tertutup34.

2.2 Pengadilan Internasional

Lembaga peradilan interasional mencakup pengadilan permanen seperti Mahkamah

Internasional (International Court of Justice), the International Teribunal for the Law of the

Sea (pengadilan internasional untuk hukum laut), the European Court of Justice, the

European Court of Human Rights, the Inter-American Court of Human Rights dan

International Criminal Court (ICC), serta lembaga peradilan ad hoc seperti United Nations

Tribunal di Libya 62 dan lembaga peradilan khusus dalam kerangka GATT/WTO.

Penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan internasional biasanya ditempuh

apabila penyelesaian sengketa dengan metode lain gagal. Mahkamah Internasional

merupakan lembaga peradilan yang paling penting sekaligus menjadi organ peradilan utama

dari PBB. Para hakim Mahkamah Internasional ditunjuk langsung oleh PBB, bukan oleh para

pihak yang bersengketa. Selain itu para pihak yang bersengketa tidak memiliki kewenangan

untuk menentukan aturan hukum yang akan diterapkan dalam proses peradilan, melainkan

berdasarkan pada aturan dan prinsip yang terdapat dalam Pasal 38 Piagam PBB. Yurisdiksi

Mahkamah Internasional pun mencakup seluruh perselisihan yang terjadi antara negara-

negara.

33
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Op.Cit., hal. 208.
34
Abdualla Mohamed dan Miomir Todorovic, Op.Cit., hal. 15

21
Seperti yang tertuang dalam Pasal 36 Statuta Mahkamah Internasional, mahkamah

memiliki wewenang terbatas di mana kewenangan mengadili bergantung pada kehendak

negara yang bersengketa untuk menyerahkan sengketanya ke Mahkamah Internasional.

Dalam hal sengketa dagang internasional, para pihak dapat pula menyerahkan sengketanya ke

lembaga peradilan khusus dalam kerangka WTO. Namun WTO hanya dapat menangani

sengketa yang timbul antara negara-negara yang menjadi anggota WTO.

BAB III

ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE

SETTLEMENT BODY WORD TRADE ORGANIZATION DALAM KASUS

SENGKETA BIODIESEL ANTARA INDONESIA DENGAN UNI EROPA

A. Analisis Disputte Settlement Body WTO Sebagai : Lembaga Penyelesaian

Sengketa Perdagangan Internasional.

Sebagai suatu organisasi yang juga berperan sebagai forum penyelesaian sengketa

berlandaskan hukum bagi negara-negara anggotanya, mekanisme penyelesaian sengketa

WTO tentu merupakan bagian sentral dalam menjamin keamanan serta kepastian aktivitas

22
perdagangan multilateral. Dispute Settlement Body(DSB) menjadi satu-satunya lembaga

peyelesaian sengketa di bawah WTO yang berfungsi dalam menjalankan peraturan serta

mekanisme mengenai konsultasi dan penyelesaian sengketa antara negara-negara anggota

yang timbul karena adanya penyelewengan hak dan kewajiban perdagangan sesuai dengan

ketentuan WTO. DSB merupakan pilar sentral dalam arena perdagangan multilateral, yang

juga merupakan bentuk kontribusi WTO dalam menjaga kestabilan ekonomi global.

Mekanisme penyelesaian sengketa dagang WTO melalui DSB bertujuan untuk

menguatkan solusi positif atas sengketa yang timbul. Dengan adanya DSB, penyelesaian

sengketa dalam WTO telah berkembang menjadi mekanisme adjudikasi, dan dalam

perkembangannya telah mewujudkan sistem penyelesaian sengketa berdasarkan atas suatu

sistem terstruktur yang komprehensif, termasuk di dalamnya prosedur yang bersifat formal

yang harus dipenuhi serta kewajiban pelaksanaan atas tiap keputusan yang diambil.

Sistem penyelesaian sengketa WTO melalui DSB ini merupakan perkembangan dari

mekanisme penyelesaian sengketa yang kurang efektif berdasarkan sistem sebelumnya di

bawah GATT. Penyelesaian sengketa yang ditawarkan oleh GATT yang tidak terdapat

unifikasi prosedur, melainkan berdasarkan pada aturan-aturan yang terpisah dalam beberapa

pasal, (seperti halnya Pasal XXII dan XXIII yang mengatur mengenai prosedur penyelesaian

sengketa melalui konsiliasi dan penyelesaian sengketa yang bersifat umum, serta

penyelesaian sengketa yang bersifat khusus yang diatur di dalam berbagai perjanjian yang

merupakan hasil dari Putaran Tokyo 1979) menyebabkan digunakannya forum shopping oleh

para pihak guna menemukan forum penyelesaian sengketa yang sesuai dengan keinginan

pihak yang bersangkutan. Sedangkan WTO memberikan suatu sistem penyelesaian sengketa

yang terangkum dalam satu kesatuan yang diatur di dalam DSU35.

35
Sutiarnoto, Hukum Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional, Medan: USU Press, 2016, Hal 43

23
Dalam kerangka GATT, seluruh negara anggota GATT berperan dalam keberlangsungan

proses penyelesaian sengketa melalui diberikannya persetujuan untuk membawa suatu

sengketa ke tingkat yang lebih tinggi. Sehingga, negara yang terlibat dalam sengketa

memiliki kekuasaan untuk menghalangi proses penyelesaian sengketa. Sedangkan proses

penyelesaian sengketa menurut WTO berlanjut secara otomatis berdasarkan prinsip

otomatisitas (automaticity), yang berarti bahwa proses penyelesaian sengketa akan berlanjut

berdasarkan keinginan negara yang mengajukan sengketanya36

Pengaturan serta mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan antara negara-negara

anggota WTO dimuat dalam Understandig on Rules and Procedures Governing the

Settlement of Disputes, yang selanjutnya disebut dengan DSU. DSU merupakan bagian dari

General Council.

Dengan demikian, seluruh anggota yang tergabung dalam WTO memiliki hak yang setara

untuk menggunakan DSB dalam proses penyelesaian sengketa. Seluruh sengketa

perdagangan yang timbul antara negara-negara anggota WTO harus diselesaikan melalui

lembaga ini dan para anggota tidak diperkenankan untuk mengambil keputusan secara

unilateral yang berpotensi menimbulkan masalah baru baik secara bilateral maupun

multilateral. Peraturan dan mekanisme dalam DSU berlaku untuk seluruh sengketa yang

diajukan kepada DSB sesuai dengan peraturan serta mekanisme penyelesaian sengketa yang

tertuang dalam WTO Agreement beserta beberapa Annex-nya, seperti Annex 1 A, B, C;

Annex 2, serta Annex 4.

Tugas utama dari lembaga penyelesaian sengketa DSB ini dapat dilhat dalam Pasal 3 DSU,

yaitu:

36
Ibid

24
1. Mengklarifikasi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam berbagai perjanjian di

bawah WTO melalui interpretasi berdasarkan hukum kebiasaan internasional publik

(customary international law).

2. Keputusan hasil penyelesaian sengketa tidak diperkenankan menambah atau

mengurangi hak dan kewajiban yang telah diatur di dalam ketentuan WTO.

3. DSB menjamin solusi yang positif dan dapat diterima oleh pihak-pihak yang

bersengketa serta konsisten dengan isi dari perjanjian-perjanjian terkait di bawah

WTO.

4. Memastikan penarikan tindakan negara pelanggar yang tidak sejalan dengan

ketentuan-ketentuan yang ada dalam covered agreement, yaitu perjanjian yang terdiri

dari multilateral agreement dan plurilateral agreement, dan tindakan retaliasi sebagai

upaya terakhir dalam penyelesaian sengketa.

1. Ketentuan WTO yang menjadi Objek Sengketa

Lahirnya WTO yang menggantikan GATT membawa perubahan penting, salah satunya

adalah WTO yang mengambil alih GATT dan menjadikannya salah satu lampiran aturan

WTO. GATT berperan sebagai alah satu instrumen yang menjadi landasan dalam pengaturan

tata cara perdagangan internasional di bawah WTO. Di dalam GATT, terdapat beberapa

ketentuan yang seringkali menjadi objek sengketa sebagai akibat dari pelanggaran-

pelanggaran yang dilakukan negara anggota dalam melaksanakan kebijakan luar negerinya.

2. Subjek Sengketa WTO

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, WTO memiliki peran ajudikasi untuk konsultasi

dan mengadili permasalahan antara negara anggota terkait peraturan dalam persetujuan di
37
lingkup WTO. Dalam WTO, yang dapat menjadi pihak atau berpartisipasi dalam forum
37
Pasal 2 DSU.

25
penyelesaian sengketa WTO adalah negara dan wilayah yang tidak berdaulat penuh, identik

dengan wilayah pabean tersendiri yang dalam sistem WTO disebut sebagai negara

(country/countries) yang merupakan negara-negara anggota WTO (members).

Ini berarti bahwa akses penyelesaian sengketa WTO melalui DSB dibatasi hanya untuk

negara anggota WTO, baik sebagai pihak yang bersengketa ataupun pihak ketiga. Sistem

penyelesaian sengketa WTO merupakan sistem penyelesaian sengketa antar pemerintah yang

berdaulat untuk sengketa terkait hak-hak dan kewajiban-kewajiban anggota WTO.

3. Mekanisme Penyelesaian Sengketa melalui Dispute Settlement Body

Mekanisme penyelesaian sengketa melalui DSB dilakukan dengan tahapan-tahapan

sebagai berikut:

1. Konsultasi

Konsultasi merupakan tahap pertama penyelesaian sengketa WTO. Negara anggota

WTO yang dituduh telah melakukan pelanggaran erhadap ketentuan WTO (complaining

state) dapat mengajukan permohonan konsultasi kepada yang melayangkan tuduhan, di mana

negara anggota terhadap siapa permohonan konsultasi tersebut diajukan harus memberikan

jawaban dalam waktu sepuluh hari sejak permohonan tersebut diterima. Konsultasi harus

dilaksanakan dalam waktu tidak lebih dari tiga puluh hari sejak diajukannya permohonan

konsultasi dan harus diselesaikan dalam jangka waktu enam puluh hari sejak permohonan

konsultasi diajukan (Pasal 4.3 dan 4.7 DSU.) Dalam keadaan mendesak terkait dengan objek

sengketa yang mudah rusak (perishable goods), maka konsultasi dilaksanakan secepat

mungkin, dalam kurun waktu tidak lebih dari sepuluh hari. Apabila dalam kurun waktu dua

puluh hari belum diterima jawaban, maka negara pemohon dapat mengajukan permohonan

pembentukan Panel. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan aspek-aspek khusus dan

26
kepentingan negara berkembang, karena produk yang dihasilkan oleh negara berkembang

umumnya termasuk ke dalam katergori perishable goods.

Konsultasi ini bertujuan untuk memberikan pemahaman awal kepada para pihak terkait

kondisi fakual serta dasar hukum yang akan diajukan, serta guna mengupayakan penyelesaian

sengketa berhenti hanya sampai pada tahap konsultasi tanpa melanjutkan ke tahap

selanjutnya. Setiap permohonan konsultasi harus diberitahukan secara tertulis kepada DSB

dengan menjelaskan alasan diajukannya permohonan.

2. Pembentukan Panel

Pembentukan Panel dilakukan apabila prosedur penyelesaian sengketa melalui konsultasi

gagal mencapai kesepakatan. Pembentukan Panel harus segera dilakukan pada pertemuan

DSB berikutnya setelah permohonan pembentukan Panel pertama kali diajukan oleh negara

pemohon, dan selambat-lambatnya pada sidag kedua sejak permohonan pembentukan Panel;

kecuali DSB telah memutuskan secara konsensus untuk tidak membentuk Panel.Panel

dibentuk setidaknya sembilan puluh hari sejak permohonan konsultasi diajukan. Panel terdiri

atas individu baik dari kalangan pemerintah maupun non-pemerintah yang cakap, mencakup

orang-orang yang pernah bertugas atau mengajukan pemasalahan kepada Panel. Setelah

Panel terbentuk, Panel akan terdiri dari tiga orang panelis yang diajukan oleh sekretariat

WTO. Namun apabila dalam jangka waktu sepuluh hari sejak Panel dibentuk pihak yang

bersengketa menyatakan persetujuan terhadap lima orang panelis, maka sekretariat akan

mengusulkan pencalonan panelis kepada pihak yang bersengketa.

Panel bertugas memberikan penilaian yang objektif mengenai pokok sengketa yang

diajukan, fakta-fakta terkait sengketa serta penerapan dan kesesuaiannya dengan ketentuan

yang diatur dalam perjanjian-perjanjan WTO (covered agreement) terkait. Panel juga

bertugas untuk membuat suatu temuan yang akan membantu DSB dalam memutuskan

27
rekomendasi atau menerapkan aturan-aturan yang ditetapkan sesuai dengan yang diatur di

dalam covered agreement. Laporan Panel (Panel Report) harus sudah disampaikan kepada

DSB dalam kurun waktu enam bulan setelah pembentukan Panel, dan harus sudah

disirkulasikan kepada seluruh anggota WTO paling lama sembilan bulan terhitung sejak

pembentukan Panel. Setelah laporan dikeluarkan dan diedarkan, laporan panel harus sudah

diadopsi secara formal dalam jangka waktu enam puluh hari, kecuali terdapat konsensus

untuk tidak menerima dan mengadopsi laporan tersebut atau salah satu pihak secara resmi

memberitahukan DSB untuk naik banding.

3. Badan Banding (Appellate Body)

DSB akan mendirikan suatu badan peninjau permanen yang akan mengadili banding dari

tingkat panel. Badan Banding ini terdiri dari tujuh orang yang merupakan perwakilan dari

keanggotaan WTO yang tidak terafiliasi dengan pemerintahan negara manapun.95 Setiap

sengketa akan ditangani oleh tiga anggota Badan Banding Badan Banding ini memiliki

kewenangan untuk menegakkan, mengubah atau membalikkan penemuan hukum dan

kesimpulan yang telah dibuat oleh Panel. Laporan Panel harus diadopsi dan diterima oleh

DSB tanpa syarat oleh para pihak yang bersengketa, kecuali apabila DSB dengan konsensus

memilih untuk tidak mengadopsi laporan dalam jangka waktu tiga puluh hari untuk diedarkan

kepada anggota dan anggota akan memberikan pandangannya terhadap laporan Badan

Banding.

Baik Panel maupun Badan Banding yang menemukan bahwa terdapat suatu tindakan

yang tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam covered agreement WTO, maka

Panel maupun Badan Banding harus memberi rekomendasi kepada negara anggota yang

bersengketa untuk mengubah tindakan tersebut sehingga sesuai dengan perjanjian terkait dan

28
dapat pula memberi rekomendasi terkait cara negara-negara terkait untuk

mengimplementasikan rekomendasi yang telah dibuat oleh Panel atau Badan Banding

4. Implementasi (Implementation)

Tahapan akhir dari rangkaian mekanisme penyelesaian sengketa melalui DSB adalah

pengawasan terhadap implementasi rekomendasi maupun putusan-putusan yang telah diambil

baik oleh Panel maupun Badan Banding. Pengawasan ini bertujuan untuk memastikan apakah

rekomendasi maupun putusan dari Panel atau Badan Banding yang mengharuskan negara

pelanggar untuk menyesuaikan tindakannya dengan kewajiban-kewajiban yang diatur oleh

covered agreement WTO dilaksanakan atau tidak oleh pihak-pihak yang bersengketa.

Ketaatan dan kepatuhan negara pelanggar dalam melaksanakan rekomendasi maupun

keputusan yang dikeluarkan oleh Panel atau Badan Banding merupakan hal yang sangat

penting dilakukan guna menjamin penyelesaian sengketa yang efektif.

Jangka waktu tiga puluh hari diberikan kepada negara yang bersangkutan untuk

memberikan laporan kepada DSB terkait niatnya dalam melaksanakan rekomendasi atau

laporan DSB.

4.Kekuatan Hukum Putusan Panel

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, penyelesaian sengketa oleh DSB WTO

merupakan penyelesaian sengketa secara yudisial (adjudicatory) seperti halnya peradilan

internasional pada umumnya. Prosedur dan putusan lembaga penyelesaian sengketa

internasional yang bersifat yudisial (pengadilan internasional) pada umumnya bersifat

mengikat para pihak yang bersengketa. Sehingga yurisdiksi DSB sifatnya mengikat,

memaksa dan bukan nasihat sehingga wajib dilaksanakan oleh pihak yang terlibat dalam

sengketa.

29
Berdasarkan Pasal 3.7 DSU, ketika para pihak yang bersengketa tidak dapat solusi yang

disepakati bersama, maka target utama biasanya adalah untuk menjamin ditariknya atau

dibatalkannya tindakan terkait yang terbukti tidak sejalan dengan ketentuan di dalam

perjanjian WTO.

B. Rangkaian Proses Penyelesaian Sengketa Biodiesel antara Indonesia dan Uni

Eropa melalui Dispute Settlement Body WTO

1. Tahap Konsultasi

Sebelum sengketa ini diajukan kepada WTO, pihak Indonesia dan Uni Eropa telah

melaksanakan konsultasi bilateral. Namun konsultasi bilateral tidak membuahkan

kesepakatan yang diinginkan oleh kedua belah pihak.

Prosedur konsultasi di WTO diselenggarakan pada 23 Juli 2014. Indonesia menilai

tindakan Uni Eropa yang menerapkan Bea Masuk Anti Dumping kepada produk impor

biodiesel asal Indonesia yang ditetapkan melalui Commission Regulation No. 490/2013

berdasarkan hasil investigasi atas produk impor biodiesel dari Indonesia dan Argentina

dianggap tidak konsisten dengan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam perjanjian WTO

terkait.

2. Tahap Pembentukan Panel

Proses penyelesaian sengketa dilanjutkan pada pembentukan Panel karena gagalnya

prosedur konsultasi. Pada 30 Juni 2015 Indonesia memohon pembentukan panel sesuai

dengan Pasal 6 DSU dengan mengajukan written submission request for the establishment of

a panel. Panel dibentuk sesuai dengan permohonan Indonesia pada pertemuan tertanggal 31

Agustus 2015. Panel mengadakan pertemuan pertama (first substantive meeting) dengan para

pihak pada tanggal 29 dan 30 Maret 2017.

3. Kesimpulan dan Rekomendasi Panel

30
Panel mempertimbangkan seluruh argumen yang diberikan baik oleh Indonesia, Uni

Eropa maupun pihak ketiga yang terlibat dalam proses Panel. Serangkaian proses panel yang

berlangsung antara para pihak terkait, serta berdasarkan pada temuan panel menghasilkan

sebuah kuputusan dan rekomendasi yang diterbitkan melalui final report tertanggal 26

Oktober 2017. Final report kemudian dilegalisasi dengan European Union - Anti-Dumping

Measures on Biodiesel from Indonesia (WT/DS480) pada 28 Februari 2018. Kesimpulan

berisi Panel yang menerima 6 dari 11 gugatan yang berhasil dibuktikan oleh Indonesia terkait

tindakan Uni Eropa yang inkonsisten dengan ketentuan perjanjian WTO.

4. Pelaksanaan Putusan Panel oleh Uni Eropa

Indonesia dan Uni Eropa sepakat untuk menetapkan jangka waktu bagi Uni Eropa untuk

mengimplementasikan rekomendasi Panel selama delapan bulan, yang akan berakhir pada 28

Oktober 2018. Sehubungan dengan pelaksanaan implementasi rekomendasi Panel, maka Uni

Eropa kembali melanjutkan investigasi terhadap produk biodiesel dari Indonesia terkait

kegagalannya dalam memperhitungkan harga bahan baku sebagaimana yang terdapat dalam

catatan produsen Indonesia, melalui publikasi Official Journal of the European Union tanggal

28 May 2018.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Penyelesaian sengketa internasional secara damai menurut Pasal 33 PBB

diklasifikasikan ke dalam dua cara yaitu: (1) penyelesaian sengketa di luar pengadilan

secara diplomatik (diplomatic-political means) berupa forum negosiasi, penyelidikan

31
fakta (enquiry), mediasi dan konsiliasi; dan (2) penyelesaian sengketa secara hukum

melalui lembaga peradilan internasional atau arbitrase (adjudicational-legal means).

Dispute Settlement Body WTO termasuk ke dalam lembaga peradilan khusus di

bawah kerangka GATT/WTO yang berwenang menyelesaikan sengketa perdagangan

internasional antara negara-negara yang menjadi anggotanya.

2. Latar belakang sengketa biodiesel antara Indonesia dengan Uni Eropa diawali dengan

pengenaan BMAD terhadap biodiesel Indonesia. Keputusan tersebut merupakan hasil

investigasi Komisi Uni Eropa yang menunjukkan adanya praktik dumping yang

dilakukan Indonesia. Hal tersebut berdasarkan pada rendahnya harga minyak kelapa

sawit (CPO) sebagai bahan baku biodiesel di pasar domestik akibat adanya perbedaan

sistem pajak ekspor Indonesia yang mengakibatkan harga biodiesel yang lebih rendah

di pasar domestik (less than fair value) dibandingkan dengan harga di pasar

internasional yang tersedia bagi produsen biodiesel Uni Eropa. Praktik dumping tidak

sepenuhnya dilarang oleh GATT/WTO,kecuali menimbulkan kerugian materil atau

menimbulkan hambatan bagi pembangunan industri dalam negeri yang ditandai

dengan penurunan serta potensi penurunan penjualan, keuntungan, output, pangsa

pasar, produktivitas, tingkat pengembalian investasi, pemanfaatan kapasitas produksi,

adanya dampak negatif dan potensi dampak negatif terhadap arus kas, persediaan,

lapangan kerja, upah, pertumbuhan, serta kemampuan untuk meningkatkan modal

atau investasi di negara tersebut. Uni Eropa menunjukkan bahwa praktik dumping

tersebut menyebabkan kerugian bagi produsen biodiesel domestik Uni Eropa sehingga

Uni Eropa mengambil kebijakan penerapan BMAD sesuai degan Pasal VI ayat 2

GATT, dengan margin dumping berkisar antara 8,8%-23,3%. Akibatnya, kinerja

ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa pada kurun 2013-2016 turun sebesar

32
42,84%, menyebabkan turunnya nilai ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa dari

$635 juta pada 2013 menjadi $150 juta pada 2016.

3. Mekanisme penyelesaian sengketa biodiesel antara Indonesia dengan Uni Eropa

melalui DSB WTO dilakukan dengan mekanisme yudisial (adjudicatory) dengan

suatu sistem terstruktur dengan prosedur yang bersifat formal yang menghasilkan

kewajiban dan konsekuensi hukum yang mengikat para pihak yang bersengketa.

Indonesia memanfaatkan peran WTO sebagai forum negosiasi dalam skala global

melalui serangkaian proses penyelesaian sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan di

dalam DSU, dimulai dengan konsultasi hingga pembentukan panel yang

menghasilkan putusan dan rekomendasi panel. Tindakan Uni Eropa dalam

menetapkan BMAD pada produk biodiesel Indonesia terbukti melanggar ketentuan-

ketentuan di GATT maupun di Anti-Dumping Agreement, dengan keliru menetapkan

harga normal, biaya produksi, batas keuntungan, harga ekspor, penurunan harga yang

signifikan pada produk biodiesel di Uni Eropa yang menjadi indikator adanya praktik

dumping serta keliru dalam mentukan margin dumping. Adapun ketentuan yang

dilanggar yaitu Pasal 2.2, Pasal 2.2.1.1, Pasal 2.2.2(iii), Pasal 2.3, Pasal 3.1, Pasal 3.2,

dan Pasal 9.3 Anti-Dumping Agreement serta Pasal VI:1(b)(ii) dan Pasal VI:2 GATT

1994. Berdasarkan hal ini, Uni Eropa melalui Implementing Regulation 2018/1570

tentang pembatalan Implementing Regulation EU No. 1194/2013 melaksanakan

putusan panel dengan menghapus BMAD yang dikenakan terhadap produk biodiesel

Indonesia karena Indonesia tidak terbukti melakukan dumping.

B. Saran

1. Negara-negara yang terlibat dalam sengketa internasional diberikan kebebasan dalam

menempuh penyelesaian sengketa berdasarkan kesepakatan pihakpihak yang

33
bersangkutan, namun memilih untuk menggunakan metodemetode penyelesaian

sengketa secara damai serta menyelesaikan sengketa internasional sedini mungkin

merupakan cara yang bijak guna menjaga dan memelihara perdamaian dan keamanan

internasional serta menciptakan hubungan antarbangsa yang serasi yang sesuai dengan

tujuan hukum internasional.

2. Aparatur negara di bawah kementerian perdagangan, terutama orotitas investigasi

anti-dumping hendaknya meningkatkan pengetahuan dan kesadaran melalui

sosialisasi masif terhadap kesepakatan dan aturan di dalam WTO demi menghindari

diambilnya tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ketentuan WTO, salah

satunya adalah dengan menyalahgunakan ketentuan Bea Masuk Anti-Dumping

sebagai suatu bentuk tindakan proteksi untuk melindungi produk dan pasar

domestiknya.

3. Diharapkan adanya penyempurnaan aturan terkait periode waktu masingmasing

tahapan dalam proses penyelesaian sengketa menurut DSB yang lebih singkat dalam

rangka mencapai suatu sistem penyelesaian sengketa yang efektif, mengingat proses

penyelesaian sengketa ini berlangsung selama kurang lebih empat tahun terhitung

sejak Indonesia mengajukan permohonan konsultasi hingga pelaksanan

rekomendasi Panel oleh Uni Eropa.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adolf, Huala. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada. 2006.

34
---------------. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: Sinar

Grafika. 2014.

Bain, Gofar. Uruguay Round dan Sistem Perdagangan Masa Depan. Jakarta:

Djambatan. 2001.

Barutu, Christhophorus. Ketentuan Antidumping Subsidi dan Tindakan

Pengamanan (Safegueard) dalam GATT dan WTO. PT Citra Aditya Bakti.

2007.

Bowett, DW. Hukum Organisasi Internasional, Jakarta: Sinar Grafika. 1995.

Erawaty, A. F., & Badudu, J. S. Kamus Hukum Ekonomi Inggris-Indonesia.

Komponen Pengembangan Hukum Ekonomi Proyek Elips. 1996.

Hata. Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT & WTO: Aspek-aspek

Hukum & Non Hukum. Bandung: PT Refika Aditama. 2006.

Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif dan

Kuantitatif. Jakarta: Erlangga. 2009.

Kartadjoemena, H.S. GATT dan WTO: Sistem Forum dan Lembaga

Internasional di Bidang Perdagangan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia

(UI-Press). 2002.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti. 2004.

Mamudji, Sri dkk. Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit

35
Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2005.

Mauna, Boer. Hukum Internasional (Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam era

Dinamika Global. Bandung: PT. Alumni. 2005.

Rinaldy, Eddie, Denny Ikhlas, dan Ardha Utama. Perdagangan Internasional:

Konsep & Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara. 2018.

Setianingsih, Sri. Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia (UI-Press). 2006.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. 2005.

----------------------- dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan

Singkat). Jakarta: Rajawali Pers. 2001.

Starke. J.G. Introduction to International Law, 10th edition. London:

Butterworths. 1989.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: Alfabeta. 2009.

Sutiarnoto. Hukum Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional. Medan:

USU Press. 2016.

Syahmin. Hukum Dagang Internasional: dalam Kerangka Studi Analitis.

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007.

Syahyu, Yulianto. Hukum Antidumping di Indonesia: Analisis dan Panduan

Praktis. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2004.

Taylor, S. J., Bogdan, R., & DeVault, M. Introduction to Qualitative Research

36
Methods: A Guidebook and Resource. John Wiley & Sons. 2015.

United Nations. Handbook on the Peaceful Settlement of Disputes between

States. New York: United Nations Publications. 1992.

Jurnal

Asbiantari, D. R., Hutagaol, M. P., dan Asmara, A. Pengaruh Ekspor Terhadap

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan

Pembangunan, 5(2). 2016.

Azahari, Delima. Sawit Indonesia yang Berkelanjutan, Tantangan dan Kebijakan

yang Diperlukan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Azizah, Nur. Analisis Ekspor Crude Palm Oil 9CPO) Indonesia di Uni Eropa

Tahun 2000-2011. Economics Development Analysis Journal. 2015.

Fischer, Carolyn dan Timothy Meyer. Baptists and Bootleggers in the Biodiesel

Trade: EU-Biodiesel (Indonesia). European University Institute. 2019.

Galbreath, David. International Regimes and Organizations. Issues in

International Relations. UK: Routledge. 2008.

Ginting, Ari Mulianta. Analisis Pengaruh Ekspor Terhadap Pertumbuha Ekonomi

Indonesia. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, 11(1). 2017.

Kahlessenane, Soheyb Salah. Anti-Dumping Regulations and Policies: Some

Insights from Algeria. Athens Journal of Law, 5(I).

Krasner, Stephen. Structural Causes and Regime Consequences: Regimes as

37
Intervening Variables. International organization, 36(2). 2017.

Mani, Rama dan Richard Ponzio. Peaceful Settlement of Disputes and Conflict

Prevention. Oxford Handbook on the United Nations, Edisi ke-2. 2017.

Mohamed, Abdualla dan Miomir Todorovic. Peaceful Settlement of Disputes.

Global Journal of Commerce & Management Perspective. 2017.

Nikiema, Suzy H. The Most-Favoured-Nation Clause in Investment Treaties,

IISD Best Practices series. 2017.

Peters, Anne. International Dispute Settlement: A Network of Cooperational

Duties. European Journal of International Law, 14(1). 2003.

PINTEALĂ, Gheorghe PINTEALĂ. The Peaceful Settlement of International

Disputes. Quaestus Multidisciplinary Research Journal.

Sari, Rafika. Rencana Kebijakan Crude Palm Oil Supporting Fund. Pusat

Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI:

Info Singkat Ekonomi dan Kebijakan Publik. 2015.

Sawit, Husein. Perubahan Perdagangan Pangan Global dan Putaran Doha

WTO: Implikasi Buat Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian, 6(3). 2008.

Taylor, S. J., Bogdan, R., & DeVault, M. Introduction to Qualitative Research

Methods: A Guidebook and Resource. John Wiley & Sons. 2015.

Konvensi Internasional

Agreement Establishing the World Trade Organization 1994.

38
Agreement on Implementation of Article VI of the General Agreement on Tariffs and

Trade 1994.

Charter of the United Nations 1945.

Convention on the Pacific Settlement of International Dispute 1899.

General Agreement on Tariffs and Trade 1994.

General Assembly Declaration on Principles of International Law concerning

Friendly Relations and Cooperation among States in accordance with the

Charter of the United Nations.

Manila Declaration on the Peaceful Settlement of International Disputes 1982.

Statute of the International Court of Justice 1945.

The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights.

Understanding on Rules And Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU).

Kasus-Kasus

Report of the Panel WTO, European Union-Antidumping Measures on Biodiesel

from Indonesia, WT/DS480/R.

WTO Report of the Panel, European Union-Antidumping Measures on Biodiesel

from Argentina, WT/DS473/R.

Kamus

Erawaty, A. F., & Badudu, J. S. Kamus Hukum Ekonomi Inggris-Indonesia.

Komponen Pengembangan Hukum Ekonomi Proyek Elips. 1996.

39
Lain-Lain

Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional, Kementerian

Perdagangan RI. Sekilas WTO. Diambil dari

http://ditjenppi.kemendag.go.id/index.php/multilateral/tentang-wto/sekilas-

wto. Diakses pada 18 Mei 2020. 2018.

Gapki. Analisis Ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa: Faktor Apa yang

Mendorong Trend Positif?. Diambil dari https://gapki.id/news/4268/analisis-

ekspor-cpo-indonesia-ke-uni-eropa-faktor-apa-yang-mendorong-trend-

positif. Diakses pada 12 Maret 2020. 2018.

Gapki. Perkembangan Mutakhir Industri Minyak Sawit Indonesia. Diambil dari

https://gapki.id/news/3971/perkembangan-mutakhir-industri-minyak-sawit-

indonesia. Diakses pada 19 Maret 2020.

International Court of Justice, Interpretation of Peace Treaties with Bulgaria,

Hungary and Romania, Reports of Judgements, Advisory Opinions and

Orders of March 30th, 1950.

Official Journal of the European Union, Commission Regulation (EU) No.

490/2013.

Official Journal of the European Union, Council Implementing Regulation (EU) No.

1194/2013 imposing a definitive anti-dumping duty and collecting

definitively

40
the provisional duty imposed on imports of biodiesel originating in Argentina

and Indonesia.

Official Journal of the European Union, Directive 2003/30/EC on the promotion of

the use of biofuels or other renewable fuels for transport.

Official Journal of the European Union, Directive 2009/28/EC on the promotion of

the use of energy from renewable sources and amending and subsequently

repealing Directives 2001/77/EC and 2003/30/EC.

Permanent Court of International Justice, The Mavrommatis Palestine Concessions,

Collection of Judgements, Leyden A.W. Sijthoff’s Publishing Company, 1924.

PT Perkebunan Nusantara V. Kalah di WTO, Tarif Anti Dumping Biodiesel Eropa

Ditunda. Di ambil dari http://www.bumn.go.id/ptpn5/berita/1-Kalah-Di-

WTO-Tarif-Anti-Dumping-Biodiesel-Eropa-Ditunda. Diakses pada 15

Februari 2020.

41

Anda mungkin juga menyukai