201020918054
UNIVERSITAS NASIONAL
SEKOLAH PASCASARJANA
JAKARTA
TAHUN 2022
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
Bab IV Penutup
A. Kesimpulan ………………………………………..………………………………... 9
B. Saran ………………………………………………………………………………... 9
i
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Setiap Negara memiliki karakteristik yang berbeda, baik sumber daya
alam, iklim, geografi, demografi, struktur ekonomi dan struktur sosial.
Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan komoditas yang dihasilkan,
komposisi biaya yang diperlukan, kualitas dan kuantitas produk. secara
langsung atau tidak langsung membutuhkan pelaksanaan pertukaran barang
dan atau jasa antara satu negara dengan negara lainnya. Maka dari itu antara
negara-negara yang terdapat di dunia perlu terjalin suatu hubungan
perdagangan untuk memenuhi kebutuhan tiap-tiap negara tersebut.1
Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat
mencakup banyak jenisnya, dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari barter,
jual beli barang atau komoditi (produk-produk pertanian, perkebunan, dan
sejenisnya), hingga hubungan atau transaksi dagang yang kompleks.
Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade
Organization (selanjutnya disebut WTO), Indonesia terikat untuk mematuhi
ketentuan-ketentuan perdagangan internasional yang disepakati dalam
perundingan General Agreement on Tariff of Trade (GATT WTO), yaitu melalui
ratifikasi terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Agreement on Establishing the World Trade Organization.
WTO sendiri adalah organisasi perdagangan internasional yang
mengatur perdagangan antar negara di dunia. Organisasi WTO memiliki
kedudukan yang independen dan terlepas dari badan khusus PBB.
Pembentukan WTO berawal dari perundingan Putaran Uruguay pada tahun
1986-1994. Dalam perundingan ini, disepakati bahwa peran dan fungsi GATT
digantikan oleh sebuah organisasi yang bernama World Trade Organization
(WTO). WTO secara resmi mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 1995.
Pada awal terbentuk, WTO memiliki 154 negara anggota. Pada tahun 2020,
1
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Transaksi Bisnis Internasional (Ekspor Impor dan Imbal Beli),
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 1.
1
anggota WTO berkembang hingga berjumlah 164 negara di seluruh dunia.
Indonesia telah masuk dalam keanggotaan WTO sejak 24 Februari 1950.
Selama bergabung dengan WTO, Indonesia mendapat beberapa keuntungan
seperti perlindungan dari kecurangan perdagangan, dumping dan deskriminasi
kebijakan. Namun di sisi lain, banyak perusahaan asing multinasional yang
menguasai sektor-sektor perdagangan strategis, seperti air, pangan, busana
dan sebagainya . Hal tersebut menjadi ancaman bagi eksistensi perusahaan-
perusahaan dalam negeri Indonesia sendiri.
Sistem penyelesaian sengketa WTO sendiri telah digunakan secara
intensif oleh negara yang memiliki kekuasaan ekonomi paling besar yaitu
amerika serikat dan uni eropa. Anggota-anggota yang tergolong negara
berkembang, juga menggunakan sistem penyelesaian sengketa WTO ini baik
dalam hal harus berhadapan dengan negara yang memiliki kekuatan ekonomi
terbesar, juga berhadapan dengan negara berkembang lainnya.2
Komoditas strategis nasional Indonesia saat ini terus diterjang badai
persoalan. Di luar konteks masih buruknya tata kelola industri ini dari aspek
lingkungan dan sosial, serangan masif yang dilakukan oleh negara kompetitor
untuk menekan daya saing minyak sawit Indonesia harus dilawan. Termasuk
melawan hambatan dagang yang getol dilakukan oleh Uni Eropa (UE).
Benua Biru ini memang memiliki sejarah panjang menghambat
akselerasi perdagangan minyak sawit, terutama dari Indonesia. Bertubi-tubi
cara dilakukan, mulai dari isu kesehatan, lingkungan, hak asasi manusia
(HAM), perubahan iklim, hingga pekerja anak.
Selain gugatan ke WTO, perusahaan biodiesel Indonesia juga
mengajukan gugatan ke Pengadilan Umum Uni Eropa (General Court of the
EU). Putusan pengadilan memenangkan gugatan perusahaan biodiesel asal
Indonesia sehingga UE tidak berhak lagi memperlakukan tarif BMAD terhadap
perusahaan yang mengugat tersebut.
Maka dari itu, saya tertarik untuk menulis makalah berjudul
“PENYELESAIAN SENGETA DAGANG MINYAK SAWIT INDONESIA
DENGAN UNI EROPA”.
2
Maslihita Nur Hidayati , Analisis Tentang Sistem Penyelesaian Sengketa WTO Suatu Tinjauan
Yuridis Formal, Jurnal Lex Jurnalica Volume 11 Nomor 2 (Agustus 2014), hal.160.
2
B. Rumusan Masalah
Bagaimana peran WTO dalam menyelesaikan sengketa dagang minyak sawit
antara Indonesia dan UE ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sengketa dagag minyak sawit antara Indonesia dengan
Uni Eropa;
2. Mengetahui peran WTO dalam menyelesaikan sengketa ini.
3
Bab II
2. Kerangka Konseptual
Bagian ini akan dibahas tentang konsep-konsep hukum, sebagai
pendukung teori untuk menjelaskan masalah-masalah yang berhubungan
dengan judul tugas ini. Konsep-konsep tersebut meliputi:
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pengesahan
Perjanjian Perdagangan Internasional, yang dimaksud Perjanjian
Perdagangan Internasioal adalah “Perjanjian dalam bentuk dan nama
tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis
serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik untuk
meningkatkan akses pasar serta dalam rangka melindungi dan
mengamankan kepentingan nasional”.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan, yang dimaksud dengan Kerja Sama Perdagangan
Internasional adalah “Kegiatan Pemerintah untuk memperjuangkan dan
mengamankan kepentingan nasional melalui hubungan Perdagangan
dengan Negara lain damn/atau Lembaga atau Organisasi Internasional”.
4
Bab III
Pembahasan
5
4. Menyediakan arena untuk bargaining bagi negara-negara dalam
menyelesaikan suatu masalah. Misalkan European Council of Ministers dan
beberapa forum bersama tingkat menteri lainnya;
5. Membentuk rezim internasional. Misalkan rezim perdagangan internasional,
rezim moneter Eropa, dan lain-lain.
6
Pada penghujung 2019, mereka telah secara sepihak menetapkan tarif bea
masuk sebesar 8%-18% terhadap biodiesel dari Indonesia untuk periode lima tahun
dengan alasan perusahaan biodiesel asal Indonesia menerima subsidi secara
berlebihan dari pemerintah. Hal ini merupakan bagian skenario panjang UE untuk
menekan biodiesel dari Indonesia. Sebelumnya, pada tahun 2018 lalu, Parlemen UE
telah mengeluarkan resolusi pelarangan penggunaan biodiesel secara bertahap
sebagai sumber energi terbarukan di Benua Biru tersebut. Itu semua dituangkannya
dalam Renewable Energy Directive (RED) II. Mereka juga memasukkan minyak sawit
sebagai komoditas pertanian yang dinilai berisiko tinggi, melakukan alih fungsi lahan
dan hutan (indirect land use change/ILUC), sehingga tidak layak untuk dikonsumsi.
Dari rentetan sejarah tersebut di atas, perlakuan UE terhadap minyak sawit Indonesia
sudah sangat keterlaluan dan tidak boleh lagi ditoleransi. Sebagai mitra dagang
strategis, yang terikat dalam Indonesia-EFTA Comprehensive Economic Partnership
Agreement (IE-CEPA), seharusnya mereka menerapkan prinsip perdagangan yang
bermartabat. Karena, sangat jelas, cara ini merupakan bentuk diskriminasi dalam
perdagangan. Faktanya, komoditas lain seperti rappeseed dan bunga matahari, yang
notabene mereka produksi sendiri, tidak pernah diatur prinsip-prinsip
keberlanjutannya. Begitu juga minyak kedelai dari Amerika Serikat (AS) tidak masuk
ke dalam ILUC karena mereka ditekan oleh Presiden AS Donald Trump.
Selain itu, di luar dari litigasi, kita bisa menempuh langkah non-litigasi. Salah
satunya dengan melakukan retailisasi, yaitu menghambat balik produk-produk impor
dari UE. Misalnya, menguranggi impor wine, keju, susu, dan gandum dari UE atau
mengenakan tarif bea masuk terhadap beberapa produk impor dari UE dengan alasan
yang tidak melanggar ketentuan WTO. Hal-hal seperti ini sangat lumrah terjadi dalam
sengketa dagang internasional untuk menekan pihak lawan. Meski demikian, langkah
cerdas dalam menghadapi sengketa dagang ini adalah menguatkan daya saing
7
industri minyak sawit di dalam negeri. Kita harus mengakui, di dalam negeri tata kelola
industri minyak sawit ini masih banyak masalah. Ada dua isu krusial yang harus
segera dibenahi para pemangku kepentingan sektor ini, yaitu soal deforestasi dan
ketimpangan penguasaan lahan.
Isu deforestasi telah menekan daya saing dan nilai tawar industri minyak sawit
di pasar global. Faktanya, masih ada sekitar 3,4 juta hektare (ha) perkebunan sawit di
Indonesia yang berada dalam kawasan hutan. Dari jumlah tersebut, sekitar 80% lahan
yang terbakar pada tahun 2015 lalu telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit
(BNPB, 2019). Hal ini jadi pembenaran dan menunjukan bahwa masih banyak
persoalan dalam tata kelola lahan perkebunan sawit di Indonesia.
8
Bab IV
Penutup
A. Kesimpulan
Pada tahun 2019, UE secara sepihak menetapkan tarif bea masuk
sebesar 8-18% terhadap biodiesel dari Indonesia untuk periode lima tahun
dengan alas an perusahaan biodiesel asal Indonesia menerima subsidi secara
berlebihan dari pemerintah dan memasukkan minyak sawit sebagai komoditas
pertanian yang beresiko tinggi. Setelah itu, muncul isu deforestasi yang telah
menekan daya saing dan nilai tawar industri minyak sawit di pasar global. Dari
jumlah tersebut, sekitar 80% lahan yang terbakar pada tahun 2015 lalu telah
beralih fungsi menjadi perkebunan sawit (BNPB, 2019). Hal ini jadi
pembenaran dan menunjukan bahwa masih banyak persoalan dalam tata
kelola lahan perkebunan sawit di Indonesia.
Selain masalah lingkungan, masalah sosial juga jadi sorotan, yakni
ketimpangan penguasaan lahan oleh perusahaan perkebunan telah
menyebabkan sempitnya ruang hidup bagi masyarakat di sekitar perkebunan,
terutama masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari hutan dan
lahan. Ekspansi yang tanpa kendali oleh korporasi sawit skala besar telah
memicu menimbulkan konflik sosial dan konflik lahan. Hal ini yang juga sering
jadi bahan sorotan UE. Mereka menyebut diskriminasi masih marak terjadi di
perkebunan sawit.
B. Saran
Pemerintah agar fokus dalam memperbaiki tata Kelola industry sawit
dan bukan menutup mata atau mengabaikan hal ini. Persoalan terkait
deforestasi harus segera diselesaikan secepatnya dan tidak bisa ditawar lagi.
Misalkan, seperti melewati proses penegakan hukum atau lewat penyelesaian
lain seperti land use amnesty. Maka dari itu, apabila hal tersebut sudah
ditegakkan akan dapat membuat Indonesia siap menghadapi hambatan
dagang yang dilakukan negara lain kedepannya.
9
Daftar Pustaka
10