Anda di halaman 1dari 7

Nama : T.

Natasya Nadya
NPM : 201020918054
Mata Kuliah : Hukum Lingkungan

Tugas Resume Buku Seluk Beluk Hukum Lingkungan Edisi Kedua


Oleh: Prof. Dr. Mohammad Askin, S.H.

Bab I
Pendahuluan

Hukum lingkungan dalam Bahasa Inggris disebut dengan Environmental Law.


Hukum lingkungan terdiri atas 2 (dua) unsur, yakni pengertian hukum dan pengertian
lingkungan. Dalam perkembangannya hukum lingkungan merupakan bidang ilmu
yang masih muda yang perkembangannya baru terjadi pada dawarsa akhir ini.
Hukum lingkungan pada hakekatnya adalah untuk mengatasi masalah
pencemaran dan perusakan lingkungan akibat tingkah laku manusia dengan segala
aktivitasnya yang berupa pembangunan serta teknologinya. Pencemaran dan
perusakan lingkungan terjadi dimana-mana sehingga menjadi masalah negara,
regional dan global.
Hardjasoemantri mengemukakan bahwa Hukum Tata Lingkungan merupakan
hukum yang mengatur penataan lingkungan guna mencapai keselarasan hubungan
antara manusia dan lingkungan hidup. Menurut Franson dan Lucas (1978)
menyatakan bahwa hakekat hukum lingkungan meliputi 4 (empat) kategori, yaitu
sebagai berikut:
a. Mengatur atau menetapkan tindakna yang potensial membahayakan
lingkungan;
b. Mendorong penggunaan teknologi pilihan;
c. Menetapkan informasi yang diperlukan dalam mengambil keputusan dalam
pengelolaan lingkungan;
d. Menetapkan ganti kerugian atas kerugian yang diderita oleh setiap orang.

Hukum lingkungan memiliki kedudukan strategik guna melindungi lingkungan dan


sumber daya alam dari kegiatan pembangunan yang dilakukan secara berkelanjutan.
Kaidah dasar yang melandasi tujuan pembangunan Indonesia termasuk perlindungan
lingkungan tercantum dalam alinea ke-4 (empat) pembukaan UUD 1945. Ketentuan
tersebut menegaskan kewajiban pemerintah untuk melindungi sumber daya nasional
dalam rangka memajukan kesejahteraan segenap rakyat Indonesia.
Hukum lingkungan bersifat multidisipliner. Metode kerjanya adalah metode
komprehensif-integral (utuh menyeluruh) dengan selalu menyelenggarakan
keselarasan dan keserasian. Tata pendekatannya bersifat interdisipliner dengan
mendorong agar melakukan koordinasi dan integrasi dalam menyelenggarakn
pengelolaan lingkungan hidup.
Ruang lingkup lingkungan hidup Indonesia dalam arti ekologi tidak mengalami
batas wilayah, tetapi dalam arti pengelolaan mempunyai batas yang jelas, yaitu ruang
lingkupnya menempati batas yang jelas, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang mempunyai kedaultaan atas hak atasnya.

1
Bab II
Kebijaksanaan di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (The World Commission on


Environment and Development) mencatat sejumlah masalah lingkungan yang
dipandang sebagai tantangan, yaitu sebagai berikut:
a. Kependudukan dan Sumber Daya Manusia (SDM);
b. Keamanan pangan, memberlanjutkan potensi;
c. Spesis dan ekosistem;
d. Energi, pilihan-pilihan bagi lingkungan pembangunan;
e. Industri;
f. Perkotaan.
Permasalahan lingkungan diatas maish perlu dikembangkan pembahasannya yang
meliputi masalah pengaruh internasional dan masalah politik atay kebijaksanaan.
Penduduk dunia maupun Indonesia bertambah jumlahnya dari tahun ke tahun.
Jumlah yang semakin banyak ini akan semakin mengurangi kemampuan pemerintah
untuk menyediakan layanan Pendidikan, pelayanan pangan, pelayanan kesehatan
daripada menaikkan tingkat kesejahteraan. Sumber daya yang mendukung populasi
ini untuk meningkatkan kualitas manusia dan untuk menghilangkan kemiskinan
sangat terbatas.Selain jumlah penduduk yang semakin bertambah, aspek kemiskinan
juga merupakan masalah mendasar. Dengan tingginya tingkat kemiskinan dapat
merusak kondisi lingkungan atau merusak sumber daya alam yang sudah sangat
terbatas.
Kerusakan lingkungan meliputi seluruh sector dibidang sumber daya hayati
maunpun non hayati. Di bidang kehutanan ternyata kinerja pemegang Hak
Penguasaan Hutan (HPH) yang kurang memadai serta lebih berorientasi pada
keuntungan finansial jangka pendek telah mengakibatkan penurunan kualitas hutan
(degradation) yang terjadi karena perambahan, perladangan berpindah yang tida
terkendali, pengambilan yang berlebihan, pencurian, kebakaran dan konversi hutan.

2
Bab III
Hukum Lingkungan Kelautan

Kerusakan sumber daya pantai pada hakekatnya adalah akibat dari


pembangunan yang dilakukan dalam upaya memenuhi kebutuhan umat manusia.
Gangguan atau ancaman terhadap sumber daya hayati laut dan pantai terdiri dari
beberapa kategori. Secara garis besar gejala kerusakan lingkungan yang mengancam
sumber daya pantai dan lautan di Indonesia meliputi:
a. Pencemaran;
b. Gangguan habitat;
c. Overexploitation;

Aspek hukum nasional Hukum Lingkungan, yaitu sebagai berikut:


a. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH);
b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perikanan (UU Perikanan);
c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya;
d. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi
Mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nation Convention on
Biological Diversity);
e. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan;
f. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung.

Aspek hukum internasional Hukum Lingkungan adalah sebagai berikut:


a. Konvensi Hukum Laut PBB 1982;
b. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE);
c. Konvensi Rio de Janeiro.

3
Bab IV
Aspek Administratif Hukum Lingkungan

Analisis mengenai Dampak Lingkungan disingkat AMDAL di Indonesia


merupakan salah satu sarana penting dalam kebiajaksanaan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Secara umum, tujuan AMDAL adalah menjaga dan
meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta mengurangi kerusakan atau
pencemaran lingkungan atau dampak negative lainnya. AMDAL adalah kajian
mengenai dampak besar dan penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan
pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha atau kegiatan.
Fungsi AMDAL pada hakekatnya adalah masukan yang diperlukan dalma
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan. AMDAL
maupun UKL-UPL merupakan persyarakatan izin lingkungan untuk melakukan usaha
atau kegiatan tertentu.
Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL meliputi aspek fisik-kimia, ekologi,
sosial-ekonomi, sosial-budaya dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi
kelayakan suatu rencana usaha atau kegiatan.
AMDAL sebagai kajian terhadap dampak besar dan penting terhadap lingkungan
hidup dibuat pada tahap perencanaan. Hal ini dimaksudkan agar pemrakarsa dapat
mengikuti kegiatan yang harus dilakukan sesuai rekomendasi AMDAL. Selain itu,
AMDAL akan bermanfaat untuk menghindari kerugian yang lebih besar bagi
pemrakarsa bilamana rencana kegiatan yang hendak dilakukan tidak memenuhi
persyaratan lingkungan. Kegunaan AMDAL sendiri adalah sebagai berikut:
a. Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah;
b. Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan
hidup;
c. Memberi masukan untuk penyusunan desain rinci teknis rencana usaha atau
kegiatan;
d. Memberi masukan untuk penyusunan rencana dan pemantauan lingkungan
hidup;
e. Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu
rencana usaha atau kegiatan.

4
Bab V
Aspek Keperdataan Hukum Lingkungan

Hukum perdata memiliki fungsi penting dalam memelihara keserasian atau


perlindungan lingkungan. Fungsi hukum perdata dalam hubungannya dengan
masalah lingkungan menurut H. Bocken, yaitu sebagai berikut:
a. Melalui hukum perdata dapat dipaksakan ketaatan pada norma-norma
hukum lingkungan, baik yang bersifat hukum privat maupun yang
bersifat hukum publik;
b. Hukum perdata dapat memberikan penentuan norma-norma dalam
masalah lingkungan hidup;
c. Hukum perdata memberikan kemungkinan untuk mengajukan gugatan
ganti rugi atas pencemaran lingkungan terhadap pihak yang
menyebabkan timbulnya pencemaran tersebut yang biasanya dilakukan
melalui gugatan perbuatan melawan hukum.

Pihak atau subjek yang bersengketa dalam perkara lingkungan dapat disimak
ketentuan Pasal 1 angka 25 UUPPLH yang berbunyi:
“Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang
timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan
hidup”.
Dengan demikian, para pihak dalam sengketa lingkungan ini terdiri atas pelaku dan
korban pencemaran dan/atau perusakan lingkungan serta objek sengketa adalah
akibat hukum berupa terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Sistem
pertanggungjawaban (liability) secara perdata timbul sebagai legal obligation yang
meliputi:
a. Legal liability timbul karena hukum bukan karena keinginan bebas para pihak;
b. Constractual liability, yakni kontrak yang dibuat oleh para pihak sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang, kepentingan umum dan kesusilaan.
UUPPLH menganut prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan dan
tanggunggugat secara mutlak.

5
Bab VI
Aspek Kepidanaan Hukum Lingkungan

Aspek hukum pidana dalam hukum lingkungan merupakan ketentuan khusus


(lex specialis) terhadap ketentuan hukm pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai ketentuan pidana yang bersifat umum.
Delik materiil adalah delik yang menjadi syarat dipidananya pembuat ialah
terwujudnya akibat yang dirumuskan dalam pasal Undang-Undang yang
bersangkutan. Delik materiil dalam UUPPLH tercantum dalam Pasal 98, Pasal 99 dan
Pasal 112, yaitu sebagai berikut:
a. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup (Pasal 98 UUPPLH);
b. Pejabat yang tidak melakukan pengawasan (Pasal 112 UUPPLH).

Delik formal atau delik yang dirumuskan secara formal adalah delik yang dianggap
telah selesai dengan dilakukannya perbuatan sesuai dengan lukisan atau redaksi
Undang-Undang. Delik formal menurut UUPPLH adalah sebagai berikut:
a. Pelanggaran baku mutu (Pasal 100);
b. Pelepasan produk rekayasa genetic (Pasal 101);
c. Pengelolaan limbah B3 (Pasal 102);
d. Menghasilkan limbah B3 (Pasal 103);
e. Orang yang menghasilkan limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup
tanpa izin (Pasal 104);
f. Orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Pasal 105);
g. Orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (Pasal 106);
h. Orang yang memasukkan limbah B3 yang dilarang ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 107);
i. Orang yang melakukan pembakaran lahan (Pasal 108);
j. Orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan
(Pasal 109);
k. Orang yang menyusul AMDAL tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun
AMDAL (Pasal 110);

6
Bab VII
Penegakan Hukum Lingkungan

Penyelesaian kasus lingkungan diluar Pengadilan sering pula disebut


Alternative Dispute Resolution (ADR) yang juga telah dikembangkan diberbagai
negara seperti Amerika, Jepang, Singapura dan negara-negara lainnya.
ADR seringkali diartikan sebagai alternative to litigation atau alternative to
adjudication yang dari istilah ini tentu memiliki konsekuensi tertentu. Dari istilah
tersebut ADR sebagai alternatif penyelesaian kasus lingkungan dapat meliputi
mekanisme penyelesaian sengketa secara musyawarah para pihak yang bersifat
konsensual seperti halnya mediasi, konsiliasi dan negosiasi. Dasar hukum dan
kelembagaan ADR adalah sebagai berikut:
A. Hukum adat;
B. Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman;
C. UUPPLH;

Berikut dibawah ini adalah bagan struktur penyelesaian kasus lingkungan menurut
UUPPLH.

Penyelesaian
melalui
Pengadilan

Perundingan
UUPPLH dilakukan oleh Para
Pihak atau Kuasanya

Penyelesaian Tidak Berwenang


Mengambil Keputusan
diluar Pengadilan
(Mediator)

Perundingan
dilakukan oleh [ihak
Ketiga Netral

Berwenang
Mengambil
Keputusan (Arbiter)

Anda mungkin juga menyukai