Anda di halaman 1dari 47

UJIAN AKHIR SEMESTER

PENYELESAIAN SENGKETA

“MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP”

Nama : Sri Mulyati


NIM : 202100070011
Dosen : Dr.Kristianto P.H. Silalahi,S.H.,M.H.

Magister Ilmu Hukum


Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Jakarta
2021
A. Pendahuluan

Lingkungan hayati Indonesia yang dikaruniakan oleh Yang Maha Esa pada Bangsa dan rakyat
Indonesia, ialah rahmat yg wajib dikembangkan dan dilestarikan kemampuannya agar bisa
sebagai sumber dan penunjang hayati bagi Bangsa serta warga Indonesia serta makhluk lainnya,
demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri. 2 hal yang paling essensial pada
kaitannya menggunakan masalah pengelolaan lingkungan hayati, ialah timbulnya pencemaran
dan perusakan lingkungan hayati. persoalan lingkungan hidup dewasa ini muncul karena
kecerobohan insan dalam pengelolaan lingkungan hayati. dilema aturan lingkungan dalam
periode beberapa dasa warsa akhir-akhir ini menduduki daerah perhatian serta sumber
pengkajian yang tidak ada habis-habisnya, baik ditingkat regional, nasional maupun
internasional, sebab dapat dikatakan menjadi kekuatan yang mendesak buat mengatur kehidupan
umat insan pada kaitannya menggunakan kebutuhan sumber daya alam, menggunakan permanen
menjaga kelanjutan dan kelestarian itu sendiri1.

Secara yuridis formal kebijaksanaan awam wacana lingkungan hayati pada Indonesia sudah di
tuangkan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan utama Lingkungan hidup,
yang sejak tanggal 19 September 1997 sudah diundangkan sebelum digantikan dengan Undang-
Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup. di perkembanganny
akemudian lahirlah Undang-Undang nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan hidup (“UUPPLH”). yg ialah ketentuan payung terhadap seluruh
bentuk peraturan-peraturan mengenai duduk perkara di bidang lingkungan hidup.

Banyak prinsip ataupun azas yang terkandung dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan
hidup tersebut, sangat baik buat tujuan perlindungan terhadap lingkungan hidup bersama segenap
isinya. namun demikian untuk penerapannya masih perlu di tindak lanjuti menggunakan aneka
macam peraturan pelaksana supaya bisa beroperasi sebagaimana yang diharapkan.

Pengertian pencemaran serta perusakan lingkungan hidup pada Pasal 1 angka 14 dan angka 16
UUPPLH menjelaskan pencemaran lingkungan hayati artinya masuknya atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, tenaga serta atau komponen lain ke dalam lingkungan hayati oleh aktivitas
manusia sebagai akibatnya melampaui baku mutu lingkungan hidup yg telah ditetapkan,

1
Nurd’a dan Sudharsono, Aspek Hukum, SatyaWacana, 1991, Semarang, hlm. 7.
sedangkan perusakan lingkungan hidup artinya tindakan orang yg mengakibatkan perubahan
langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia serta atau hayatinya lingkungan hayati
sehingga melampaui kriteria standar kerusakan lingkungan hidup. Pembangunan selalu
menyebabkan perubahan terhadap lingkungan. Sebagian asal perubahan tadi ditimbulkan tingkat
pertambahan penduduk yg cukup akbar dan ketersediaan sumber daya yg terbatas, sang karena
itu pendayagunaan sumber daya alam menjadi semakin tinggi sesuai tingginya tingkat
kebutuhan, hal ini cenderung menye babkan aktivitas pembangunan selalu mengalami perubahan
yang bukan skala kecil lagi, baik menyangkut luas aktivitas maupun intensitasnya. dengan
kenyataan mirip ini bisa dikatakan pertarungan lingkungan yg terjadi lebih poly muncul karena
dampak sampingan berasal suatu pembangunan2.

dalam hukum negara Indonesia sendiri, duduk perkara sengketa lingkungan hayati dapat
diselesaikan menggunakan beragam cara. Dimulai berasal penyelesaian melalui jalur peradilan
maupun diluar jalur peradilan, mulai dari pelanggaran secara Pidana sampai dengan bentuk-
bentuk pelanggaran yang dilakukan secara Perdata. beragam cara ini menyampaikan kesempatan
serta pilihan pada masyarakat negara buat menentukan proses hukum terkait menggunakan
banyak sekali bentuk aktivitas pencemaran dan pengrusakan lingkungan.

Dilema pencemaran dan pengerusakan lingkungan hidup ini sesungguhnya artinya persoalan
yang dialami oleh hampir seluruh negara-negara di global, baik yang disebabkan oleh alam
maupun karena ulah tidak bertanggung jawab insan diyakini bisa merusak jalannya proses
ekologi yang berujung di hancurnya rantai ekosistem dimuka bumi ini. syarat ini ditimbulkan
sebab pada kenyataannya masih aneka macam ditemukan berbagai pencemaran serta
pengrusakan Lingkungan hidup, termasuk yang terjadi pada negara kita ini. buat menuntaskan
konflik-perseteruan terhadap pihak yg telah melakukan pencemaran dan pengrusakan
lingkungan hayati tersebut dilakukan melalui jalur hukum sinkron menggunakan peraturan
perundang-undangan yang ada serta berlaku pada negara Indonesia.

UUPPLH telah mengatur tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup, salah satunya adalah
penyelesaian sengketa lingkungan hidup pada luar pengadilan. tetapi dengan berbagai perkara
lingkungan hayati yang selalu terjadi pada tengah-tengah rakyat baik itu bentrok dengan
perusahan yg terdapat di sekeliling warga pula dapat terjadi diantara mereka, sebagai akibatnya
2
Abdurrahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung, 1998, hlm. 15.
setiap person ingin mempertahankan hak serta tuntutannya. Maka bisa dilakukan menggunakan
termin penyelesaian konkurensi melalui mediasi pada Pengadilan yang mana apabila mediasi
mencapai perdamaian maka akan dibuatkan pada akta Perdamaian, sedangkan jika para pihak
tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan kedalam akta perdamaian, konvensi
perdamaian wajib membuat klausul pencabutan gugatan dan atau klausula yg menyatakan
perkara sudah terselesaikan.

Selain mediasi pada Pengadilan dapat juga dilakukan mediasi di luar Pengadilan yang ialah galat
satu penyelesaian sengketa alternative yang kerap digunakan sang rakyat. tetapi penggunaan
mediasi pada penyelesaian sengketa lingkungan masih sangat jarang mencapai konvensi
Perdamaian serta umumnya dilanjutkan melalui upaya hukum pada pengadilan buat memperoleh
penyelesaian.

B. Rumusan Masalah

sesuai uraian yang sudah disampaikan pada atas maka Rumusan Masalah yang akan dibahas
yaitu menjadi berikut :

1. Bagaimana upaya penyelesaian sengketa pada konflik lingkungan hidup ?

2. Bagaimana pelaksanaan upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan khususnya melalui


mediasi dalam konflik lingkungan hidup ?

3. Bagaimana peran Kementerian Lingkungan Hidup dalam melakukan penyelesaian sengketa di


luar Pengadilan ?

C.Pembahasan

1. Penyelesaian sengketa dalam Lingkungan hidup

a. Penyelesaian sengketa Lingkungan Melalui Pengadilan

pada UUPLH, pengaturan penyelesaian konkurensi lingkungan terdapat di Pasal 84-93. dari
Pasal 84 ayat (1) UUPPLH: Penyelesaian konkurensi lingkungan hidup bisa ditempuh melalui
pengadilan atau pada luar pengadilan.
Penyelesaian sengketa lingkungan melalui sarana aturan pengadilan dilakukan dengan
mengajukan somasi lingkungan berdasarkan Pasal 87 ayat (1) UUPPLH jo Pasal 1365 BW ihwal
ganti kerugian akibat perbuatan melanggar aturan (onrechtmatigedaad). Atas dasar ketentuan ini,
masih sulit bagi korban buat berhasil dalam somasi lingkungan, sehingga kemungkinan kalah
masalah besar sekali. Kesulitan primer yang dihadapi korban pencemaran sebagai penggugat
ialah :

1)Pertanda unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 1365 BW, terutama unsur kesalahan (schuld)
dan unsur hubungan kausal3. Pasal 1365 BW mengandung asas tanggung gugat sesuai
kesalahan (schuld aansprakelijkheid), yg bisa dipersamakan dengan “Liability based on fault”
pada sistem hukum Anglo-Amerika. pembuktian unsur korelasi kausal antara perbuatan
pencemaran dengan kerugian penderitaan tidak mudah. Sangat sulit bagi penderita untuk
mengambarkan serta mengambarkan pencemaran lingkungan secara ilmiah, sehingga tidaklah
pada tempatnya.

2) dilema beban pembuktian (bewijslast atau burde of proof) yang berdasarkan Pasal 1865
BW/Pasal 163 HIR Pasal 283 R.Bg. adalah kewajiban penggugat. Padahal, dalam kasus
pencemaran lingkungan, korban di umumnya umum soal hukum dan acapkali berada pada
posisi ekonomi lemah, bahkan sudah berada pada keadaan sekarat (seperti dalam tragedi
Ajinomoto pada Mojokerto) benar-benar berat serta terasa tidak adil mewajibkan penderita yg
memerlukan ganti kerugian buat pertanda kebenaran gugatannya4.

Menyadari kelemahan tersebut, aturan Lingkungan Keperdataan (privaatrechtelijk miliuerecht)


mengenal asaa tanggunggugat mutlak (strict liability - risico aansprakelijkheid) yg dianut pula
oleh Pasal 88 UUPPLH. Tanggunggugat mutlak timbul seketika pada pada saat terjadinya
perbuatan, tanpa mempersoalkan kesalahan tergugat.

Asas strict liability lazimnya hanya hanya diimplementasikan di types of situation eksklusif
(kasuistik). termasuk types of situation bagi berlakunya strict liability merupakan extrahazardous
activities yg dari Pasal 88 UUPPLH mencakup setiap orang yg tindakannya, usahanya, serta/atau
3
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press
Surabaya, 1996, hlm. 246.

4
Ibid.,
kegiatannya menggunakan B3, membuat dan /atau mengelola limbah B3, dan /atau yg
menyebabkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas
kerugian yg terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. berukuran ancaman berfokus tentu
sangat saintifik dan membutuhkan pengaturan hukum yg cermat demi terjaminnya kepastian
hukum. Sebelum berlakunya UUPPLH, asas strict liability sudah jua diterapkan secara selektif
sang Pasal 21 UUPLH.

Tujuan penerapan asas tanggunggugat absolut merupakan: buat memenuhi rasa keadilan;
mensejalankan menggunakan kompleksitas perkembangan teknologi, sumber daya alam serta
lingkungan; dan mendorong badan perjuangan yang berisiko tinggi buat menginternalisasikan
biaya sosial yang bisa muncul akibat kegiatannya 5. aturan Lingkungan Keperdataan tidak saja
mengenal konkurensi lingkungan antara individu, tetapi jua atas nama grup masyarakat
menggunakan kepentingan yang sama melalui somasi kelompok – group action – actio popularis.

di Amerika perkumpulan class action diterapkan terhadap pencemaran lingkungan tak hanya
menyangkut hak milik atau kerugian, namun pula kepentingan lingkungan yg baik dan sehat
bagi masyarakat warga . group action, krusial dalam perkara pencemaran (perusakan) lingkungan
yang menyangkut kerugian terhadap a mass of people yg awam dalam ilmu. seorang atau
beberapa orang anggota grup dapat menggugat atau digugat sebagai pihak yg mendapat kuasa
atas nama semua, dengan kondisi6:

1) The class is so numerous that Joinder of all members is impracticable.

2) There are guestions of law or fact common to the class.

3) The claims or defenses of the representative parties are typical of the claims or defenaes
of the group.

4) The representative parties will fairly and adeguately protect the interest of the group.

5
Mas Achmad Santosa, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan (Class Actions), ICEL, Jakarta, 1997, hlm. 12.

6
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press,
Surabaya, 1996, hlm. 296-297.
Pasal 90 UUPPLH memberikan pengaturan gugatan perwakilan yg menjadi simbol kemajuan
UUPPLH serta ialah pengakuan pertama atas group action dalam peraturan perundang-undanga
nasional pada Indonesia7. Pengakuan class action sang UUPLH jelas membutuhkan penyesuaian
yuridis aturan program Perdata yang berlaku. group action jangan ditumbukkan dengan ius
standi lembaga swadaya warga (LSM) atau Organisasi Lingkungan hidup (OLH) sebutan
UUPLH. Pasal 90,91, dan 92 UUPPLH menyampaikan pengaturan mengenai hak menggugat –
ius standi - standing to sue atau sah standing OLH.

perkara lingkungan memang memiliki sifat spesifik, yaitu adanya kepentingan ekologis.
Ancaman yg menimpa kelestarian satwa langka atau hutan slindung, contohnya, akibat ulah
insan memerlukan “kuasa” buat berperkara demi kepentingan ekologis serta publik. Gajah,
harimau, pohon-pohon, benda cagar budaya tidak dapat maju menggugat di pengadilan.
Menghadapi situasi mirip inilah peranan OLH yg secara konkret berkecimpung dibidang
lingkungan sangat krusial terhadap gugatan perlindungan8.

Bertumpu pada ketentuan Pasal 92 UUPPLH, OLH yang bisa mengajukan somasi buat
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan wajib memenuhi persyaratan: berbadan hukum dan
bertujuan melestarikan fungsi lingkungan. Lebih asal itu, mengingat bagian terbesar berasal
aturan Lingkungan artinya aturan Administrasi, maka perlu diketahui bahwa penyelesaian
sengketa lingkungan dapat jua berupa gugatan oleh setiap orang ke Pengadilan tata usaha Negara
(PTUN) pasal 93 UUPPLH sebab kepentingannya (atas lingkungan hidup yg baik dan sehat)
dirugikan sang suatu Keputusan rapikan usaha Negara KTUN – “ijin” di bidang lingkungan
berdasarkan Undang-undang angka lima Tahun 1986 ihwal Peradilan rapikan perjuangan Negara
(UU PERATUN).

somasi ke PTUN berisi tuntutan supaya KTUN (biar ) dinyatakan batal atau tidak legal,
sehingga putusan (hakim PTUN) segera menghentikan pencemaran lingkungan akibat izin
lingkungan yg tidak cermat9.

7
Mas Achmad Santosa, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan (Class Actions)…Loc.Cit., hlm. 27.

8
Siti Sundari Rangkuti, HetBiginsel “De Vervuiler Betaalt”, Rijksuniversiteit Te Leiden, Faculteit Der
Rechtsgeleerheid, 1978, hlm. 297.

9
Siti Sundari Rangkuti, Reformasi Bidang Hukum Lingkungan, Suara Pembaruan, Jakarta, 26 Maret 1999, hlm. 30.
b. Penyelesaian konkurensi Lingkungan alternatif

Respons atas ketidakpuasan (dissatisfaction) penyelesaian sengketa lingkungan melalui proses


litigasi yang konfrontatif serta zwaarwichtig – (njelimet) adalah extrajudicial settlement of
disputes atau populer diklaim alternativedispute resolution (ADR), yaitu penyelesaian
permasalahan lingkungan secara komprehensif di luar pengadilan. ADR ialah pengertian
konseptual yg mengaksentuasikan prosedur penyelesaian konkurensi lingkungan melalui:
negotiation, conciliation, mediation, fact finding, serta arbitration.

terdapat jua bentuk-bentuk kombinasi yang pada kepustakaan dinamakan hybrid misalnya
mediasi dengan arbitrasi10. Penyelesaian konkurensi lingkungan alternatif ini berdasarkan
UUPPLH dinamakan penyelesaian ssengketa lingkungan hayati di luar pengadilan. berdasarkan
Pasal 85 UUPPLH, penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan diselenggarakan buat
mencapai konvensi tentang bentuk serta besarnya ganti rugi dan /atau tindakan tertentu guna
menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya akibat negatif terhadap lingkungan.

dalam penyelesaian konkurensi lingkungan hayati pada luar pengadilan bisa digunakan jasa
perantara serta/atau arbiter buat membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.
Penggunaan jasa pihak ketiga netral dalam penyelesaian konkurensi lingkungan sebatas yg
dikehendaki para pihak dan tergantung di kebutuhan perkara perkasus. di negara-negara maju,
ternyata mengutamakan wahana hukum mediasi menjadi upaya penyelesaian. sengketa
lingkungan yg efektif11.

Hal ini lumrah, mengingat, mediasi memiliki keunggulan-keunggulan komperatif jika


dibandingkan menggunakan penyelesaian sengketa secara arbitrasi dan litigasi. Apakah pada
Indonesia mediasi akan menjadi wahana penyelesaian konkurensi lingkungan yg efektif dan
efisien dibandingkan dengan arbitrasi juga litigasi. Penyelesaian konkurensi lingkungan hayati
pada luar pengadilan artinya pilihan para pihak dan bersifat sukarela. Para pihak juga bebas buat
menentukan forum penyedia jasa yg membantu penyelesaian sengketa lingkungan hidup. forum

10
Stephen B. Golberg et al., Dispute Resolution: Negosiation, Mediation, and Other Processes, Little, Brown and
Company, Boston-Toronto-London, 1992, hlm. 30.
11
Siti Sundari Rangkuti, Inovasi Hukum Lingkungan Dari Ius Constitutum ke Ius Constituendum…Loc. Cit., hlm.
275
penyedia jasa menyediakan pelayanan jasa penyelesaian konkurensi lingkungan hidup dengan
memakai bantuan arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya.

bila para pihak telah menentukan upaya penyelesaian sengketa lingkungan hayati pada luar
pengadilan, somasi melalui pengadilan hanya bisa ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan
tak berhasil secara tertulis sang keliru satu atau para pihak yg bersengketa atau keliru satu atau
para pihak yang bersengketa menarik diri berasal perundingan . berdasarkan Pasal 84 UUPPLH,
Penyelesaian konkurensi lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yg bersengketa.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hayati
sebagaimana diatur dalam UUPPLH. bila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan
hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya
tersebut dinyatakan tidak berhasil sang salah satu atau para pihak yg bersengketa.

Penyelesaian konkurensi lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan buat mencapai


konvensi tentang bentuk dan besarnya ganti rugi serta/atau tentang tindakan eksklusif guna
mengklaim tidak akan terjadinya atau terulangnya akibat negatif terhadap lingkungan hidup.
pada penyelesaian konkurensi lingkungan hidup pada luar pengadilan bisa digunakan jasa pihak
ketiga.

dalam rangka menyelesaikan sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, maka


mekanismenya memakai cara lain Penyelesaian konkurensi sebagaimana diatur dalam Undang
Undang angka 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif Penyelesaian sengketa. cara lain
Penyelesaian sengketa adalah forum penyelesaian konkurensi atau beda pendapat melalui
mekanisme yg disepakati para pihak, yakni penyelesaian pada luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian pakar. prosedur penyelesaian konkurensi
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Konkurensi atau beda pendapat perdata bisa diselesaikan oleh para pihak melalui cara
lain penyelesaian sengketa yg berdasarkan pada itikad baik menggunakan mengesampingkan
penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.

2) Penyelesaian konkurensi atau beda pendapat melalui cara lain penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud pada atas diselesaikan dalam rendezvous pribadi sang para pihak pada
waktu paling usang 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan
tertulis.

3) pada hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud pada atas tak dapat
diselesaikan, maka atas konvensi tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan
melalui bantuan seseorang atau lebih penasehat pakar juga melalui seseorang perantara.

4) bila para pihak tadi pada waktu paling lama 14 (empat belas) hari menggunakan donasi
seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata
sepakat, atau perantara tak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak bisa
menghubungi sebuah forum arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian konkurensi buat
mengarah seseorang perantara.

5) sehabis penunjukan mediator sang lembaga arbitrase atau forum alternatif penyelesaian
sengketa, pada waktu paling usang 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah bisa dimulai.

6) usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui perantara menggunakan


memegang teguh kerahasiaan, dalam ketika paling usang 30 (tiga puluh) hari wajib tercapai
konvensi dalam bentuk tertulis yang ditandatangani sang seluruh pihak yang terkait.

7) kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis artinya final dan
mengikat para pihak buat dilaksanakan menggunakan itikad baik dan harus didaftarkan pada
Pengadilan Negeri pada saat paling usang 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.

8) konvensi penyelesaian sengketa atau beda pendapat wajib terselesaikan dilaksanakan


dalam saat paling lama 30 (3 puluh) hari semenjak pendaftaran .

9) bila usaha perdamaian tersebut tidak dapat dicapai, maka para pihak sesuai konvensi
secara tertulis dapat mengajukan perjuangan solusinya melalui forum arbitrase atau arbitrase ad
hoc.

c. Penyelesaian sengketa Lingkungan hayati di luar Pengadilan

Penyelesaian konkurensi di Luar Pengadilan: (extrajudicial settlement of dispute – alternative


dispute resolution, ADR) Pasal 85 UUPPLH, menyebutkan Penyelesaian sengketa LH di luar
pengadilan, diselenggarakan buat mencapai konvensi bentuk serta besarnya ganti rugi, dan /atau
tindakan eksklusif, guna mengklaim tidak akan terjadinya atau terulangnya akibat negatif
terhadap lingkungan hayati.

Melalui konsep ini bisa dipandang bahwa UUPLH memiliki pandangan bahwa penegakan
aturan12. lingkungan tak hanya dapat dilakukan melalui jalur pengadilan namun dapat dilakukan
melalui aneka macam macam jalur dengan aneka macam sanksinya, mirip sanksi administrasi,
sanksi perdata, serta sanksi pidana. Hal ke 2 merupakan, jalan yg ditempuh pada penyelesaian
konkurensi lingkungan diserahkan di “kesukarelaan” para pihak yg bersengketa. Kesukarelaan
yang dimaksud disini merupakan sukarela yg dilandasi “kesepakatan ” bersama para pihak yg
bersengketa. Sukarela atau voluntary artinya prasyarat yang menjadi ciri fundamental APS (cara
lain Penyelesaian konkurensi). dengan perkataan lain pasal ini mengemukakan bahwa UUPLH
membuka selebar-lebarnya jalan buat menyelesaikan sengketa lingkungan melalui jalur pada luar
pengadilan yakni dengan menggunakan APS.

1) konkurensi Lingkungan hidup :

a) Pencemar atau Perusak dengan Korban Pencemaran/Perusakan Obyek sengketa

b) Pencemaran Perusakan Aktual

c) Pencemaran Perusakan Potensial

dua) Prinsip-prinsip penyelesaian sengketa Lingkungan hidup

a) Para pihak secara suka rela bersedia serta berkeinginan menyelesaikan sengketa secara
bermusyawarah.

b) Pihak ke tiga yg bertindak menjadi fasilitator/ perantara/arbiter disetujui sang para pihak
dan wajib netral

12
Keith Hawkins mengemukakan, bahwa penegakan hukum dapat dilihat dari dua sistem atau strategi, yang disebut
compliance dengan conciliatory style sebagai karakteristiknya dan sanctioning dengan penal style sebagai
karakteristiknya. Terkait dengan hal ini Block menyatakan, bahwa conciliatory style itu remedial, suatu metode
social repair and maintenance, assistance of people in trouble, berkaitan dengan what is necessary to ameliorate a
bad situation. Sedangkan penal style, prohibits with punishment, sifatnya adalah accusatory, hasilnya binary, yaitu:
all or nothing, punishment or nothing Lihat : K. Hawkins, Creating Cases in a Regulatory Agency, Urban Life, Vol.
12, No. 4, 1984, hlm. 3-4. Dan sesungguhnya penegakan hukum adalah kewajiban dari seluruh masyarakat dan
untuk ini pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak. Lihat : Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum
Tata Lingkungan, Ed. VII, Cet. Ke-17, Gajah Mada University, Yogyakarta, 1991, hlm. 399.
c) Masing-masing pihak tidak bertahan pada posisinya.

d) Para pihak tidak memiliki kecurigaan yang hiperbola

e) Persyaratan atau bentuk tuntutan harus rasional

3) Kapan Penyelesaian konkurensi Lingkungan hidup

a) Hakim memberikan perintah buat mengadakan perundingan atau mediasi

b) warga mengajukan tuntutan ganti kerugian atau tindakan tertentu

c) Pemerintah menjatuhkan sanksi administrasi berupa tindakan penyelamatan,


penanggulangan, memulihan dan tindakan tertentu lainnya.

d) Penanggung jawab aktivitas keberatan atas ganti rugi atau tindakan eksklusif yang wajib
dilakukan.

e) Para pihak putusan bulat untuk menuntaskan sendiri

4) Penyelesaian konkurensi Lingkungan hayati :

dapat ditempuh melalui pengadilan atau pada luar pengadilan sesuai pilihan secara sukarela para
pihak yg bersengketa (Pasal 84 ayat (1) UUPPLH).Tujuan : melindungi hak keperdataan para
pihak yg bersengketa dengan cara cepat dan efisien. Sasarannya :

a) Pencemaran serta kerusakan lingkungan dapat dihentikan

b) Ganti kerugian dapat diberikan

c) Penanggung jawab perjuangan/kegiatan menaati peraturan perundangan pada bidang LH

d) Pemulihan lingkungan bisa dilaksanakan

dua. aplikasi Mediasi menjadi alternatif Penyelesaian konkurensi Lingkungan hayati Diluar
Pengadilan

aktivitas mediasi menjadi alternatif penyelesaiaan konkurensi lingkungan hayati yg dilakukan


perusahaan ataupun para masyarakat di setiap wilayah jua bisa dilakukan diluar pengadilan.
sinkron didalam Pasal 85 ayat (1) UUPPLH menyebutkan penyelesaian sengketa lingkungan
hidup diluar pengadilan dilakukan buat mencapai konvensi mengenai:

a. Bentuk serta besarnya ganti rugi;

b. Tindakan pemulihan dampak pencemaran serta/atau perusakan;

c. Tindakan tertentu buat menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan /atau
perusakan;

d. Tindakan buat mencegah timbulnya akibat negatif terhadap lingkungan hidup.

menggunakan adanya penerangan pasal-pasal tadi ialah peluang bagi para pihak yg bersengketa
buat melakukan konvensi perdamaian terhadap sengketa yg sudah terjadi dengan melakukan
mediasi diluar pengadilan tanpa perlu mengajukan gugatan kepengadilan.

di pelaksanan mediasi para pihak yg bersengketa dibutuhkan bisa buat terlebih dahulu setuju
mengenai jalur penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagai akibatnya para pihak yang ingin
nantinya menentukan menggunakan jalur mediasi, bisa diperlukan buat memilih mediator yang
akan ditunjuk para pihak yg bersengketa, pada hal ini konkurensi lingkungan hidup. sesudah para
pihak putusan bulat buat mengarah mediator sebagai pihak ketiga pada menyelesaikan
konkurensi tadi, mediator dibutuhkan bisa mrngumpulkan informasi, mengundang para pihak
yang bersengketa, menyiapkan kawasan negosiasi, dan lain-lain.

Mediasi ialah cara penyelesaian sengketa melalui proses negosiasi untuk memperoleh konvensi
para pihak menggunakan dibantu sang mediator. Mediasi adalah penyelesaian konflik
menggunakan melibatkan pihak ketiga yang netral menjadi mediator yg tidak mempunyai
kewenangan merogoh keputusan yang membantu pihak-pihak yg bersengketa mencapai
penyelesaian (solusi) yg diterima oleh ke 2 belah pihak. Mediasi adalah suatu proses dimana
pihak netral yg telah disepakati oleh pihakpihak yg bersengketa, bertindak menjadi seseorang
fasilitator bagi kepentingan perundingan mereka serta memebantu mereka mencapai solusi yang
saling mengguntungkan13.

13
http://www.fmladr.com/services.html.available, diakses tanggal 29 Nov 2021
kiprah pada saat perundingan perantara nantinya buat dapat memimpin diskusi negosiasi,
memelihara atau menjaga aturanaturan perundingan , mendorong para pihak untuk
menyampaikan problem-problem serta kepentingan secara terbuka, mendorong para pihak agar
menyadari bahwa sengketa bukan perseteruan yang wajib dimenangkan tetapi diselesaikan,
mendengar,mencatat, mengajukan pertanyaan serta membantu para pihak buat mencapai titik
temu.

di tahapan pramediasi seorang mediator harus bisa melakukan hal-hal sebagai berikut yaitu:

a. Menjalin korelasi menggunakan menggunakan para pihak yang bersengketa

b. menentukan seni manajemen buat membimbing proses mediasi

c. Mengumpulkan dan menganalisa isu lata belakang duduk perkara

d. Menyusun rencana mediasi

e. membentuk agama serta kerjasama diantara para pihak

selesainya itu tahapan mediasi yg seharusnya perlu buat dilakukan dalam menyelesaikan perkara
pada luar Pengadilan, bisa dilakukan menjadi berikut:

a. Memulai sesi mediasi

b. Merumuskan problem serta menyusun rencana

c. menyampaikan kepentingan tersembunyi para pihak

d. Membangkitkan pilihan-pilihan penyelesaian konkurensi

e. Menganalisa pilihan-pilihan penyelesaian konkurensi

f. Proses tawar-menawar akhir

g. Mencapai konvensi formal

supaya dapat melaksanakan tugasnya menggunakan baik, seorang perantara wajib memahami
kunci apa saja ayng wajib beliau perankan pada suatu proses mediasi. Penerapan konsep mediasi
akan membawa akibat yang maksimal bila seluruh pihak memiliki komitmen yg sama, niat yg
sama dan saling tahu draf-draf yg disodorkan sang seluruh pihak, termasuk mengutamakan
positif thingking terhadap solusi yang ditawarkan para pihak sebagai kawan runding. kesamaan
ini perlu dibangun agar sejak awal semua pihak tidak terjebak sang egoisme semu dan saling
merasa paling benar semua pihak harus memiliki tekat buat sepakat mengakhiri perselisian dan
mencari solusi Bila yang saling mengguntungkan semua pihak, agar seluruh pihak terikat dan
bisa melaksanakan akibat mediasi. Maka materi perdamaian wajib dituangkan pada bentuk
goresan pena yg transparan, sederhana, riil dan memiliki dasar aturan yg kentara. dampak
perdamaian yg dihasilkan melalui mediasi sangat membantu menyelesaikan konflik dengan lebih
singkat, simpel serta memupuk rasa persaudaraan, apalagi proses penyelesaian kasus dengan
mediasi dapat melalui by pass yg sangat menguntungkan semua pihak.

dengan bekal aneka macam kemampuan tersebut mediator dihapkan bisa melaksanakan
kiprahnya buat menganilisis dan mendiaknosis suatu sengketa eksklusif serta kemudian
mendesain serta mnegendalikan proses interpensi lain menggunakan tujuan menuntun para pihak
buat mencapai suatu mupakat yang sehat. peran penting yang harus dilakukan perantara dalam
suatu mediasi diantaranya artinya melakukan diaknosa perseteruan, mengidentifikasikan masalah
dan kepentingankepentingan kritis, menyususn rencana, memperlancarkan dan mengendalikan
komunikasi, mengajak para pihak dalam proses keterampilan tawawar menawar, membantu para
pihak mengumpulkan gosip krusial, menyelesaikan duduk perkara dan membentuk pilihan-
pilihan dan mendiagnosa konkurensi buat memudahkan penyelesaian dilema14.

Merekonsiliasi serta memperbaiki hubungan antara para pihak sangat diharapkan demi
terciptanya pulang kehidupan yg serasi, hening dan saling pengertian. Mediasi akan terlaksanan
secara menyakinkan Bila dilaksanakan secara langsung dan misteri. Kerahasiaan akan
membantu mediator untuk membantu agama dan membuatkan laporan konstruktif dengan
pihak-pihak. Kerahasian akan pula memuat aman bagi pihakpihak buat member info juga akan
membangun syarat aman dimana pihak-pihak dapat mengemukakan kebutuhan serta kepentingan
tanpa kekawatiran akan dirugikan. sang karenanya kerahasiaan artinya kondisi penting yang
wajib tetap dijaga pada mediasi.

14
Garry Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, terjemahan Nagor Simanjuntak, Proyek Ellips, Jakarta, 1999,
hlm. 253.
Peluang penerapan mediasi menjadi alternatif penyelesaian konkurensi di Pengadilan pula diatur
dalam pasal 130 HIR/154 RBG, dimana di persidangan pertama hakim harus mendamaikan para
pihak yang bersengketa. namun dalam peraktek belum daya pakai secara optimal. Hakim-hakim
dipengadilan masih bersifat pasif dan upaya menuju kearah penyelesaian sengketa secara
perdamaian diserahkan sepenuhnya kepada inisaitif para pihak yg bersengketa.

Mediasi merupakan galat satu proses penyelesaian konkurensi yg lebih cepat dan murah dan
bisa menyampaikan akses yang lebih besar pada pihak yang menemukan penyelesaian yang
memuaskan dan memenuhi rasa keadilan serta pengintegrasian mediasi pada proses beacara
pada Pengadilan dapat sebagai keliru satu intstrumen efektif mengatasi dilema penumpukan
perkara di Pengadilan dan memperkuat serta memaksimalkan fungsi lembaga Pengadilan
dimasyarakat. konkurensi disamping proses Pengadilan dan bersifat memutus (ajudikatif) sang
karena upaya perdamaian yang tercantum didalam 130 HIR/154 RBG yang selama ini dilakukan
oleh hakim ditingkat pertama cara positif, perlu diubah menjadi bersifat aktif. Dimana buat
mencapai akibat yg optimal Mahkamah Agung RI merasa perilaku aktif hakim perlu dilengkapi
dengan pengetahuan, kemampuan serta keterampilan yg relatif.

Selanjutnya bahwa upaya perdamaian dapat ditempuh dengan tahap-tahap, pertama, upaya
penyempurnaan petitum gugatan sinkron dengan posita gugatan seperti diatur dalam pasal 132
HIR/156RBG, buat mencegah putusan yg non eksicutable. ke 2, mengupayakan para pihak
memilih penyelesaian konkurensi melalui upaya perdamaian/dading.

Mediasi merupakan galat satu upaya penyelesaian sengketa dimana para pihak yg berselisih atau
bersengketa memiliki putusan bulat buat menghadirkan pihak ketiga yg independen guna
bertindak sebagai mediator (penengah). Dewasa ini mediasi dipergunakan sang Pengadilan
sebagai proses penyelesaian sengketa. Bentuk penyelesaian konkurensi dengan mediasi yg kini
diperaktekkan integrasi menggunakan proses Peradilan. Penyelesaian konkurensi menggunakan
cara mediasi yg dewasa ini diperaktekkan pada Pengadilan mempunyai kekasan, yaitu dilakukan
ketika perkara sudah didaftarkan pada Pengadilan (connektif to the court).

Landasan yuridisnya dimulai di tahun 2002 serta terus mengalami perbaikan baik pada proses
maupun menggunakan pelaksanaannya menggunakan Peraturan Makamah Agung RI angka 2
Tahun 2003, Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 Tahun 2008 perihal mekanisme mediasi di
pengadilan, hingga pada Peraturan Mahkamah Agung angka 1 Tahun 2016 ihwal Mediasi.
Bagi para pihak yg berperkara mediasi bertujuan buat (a) tercapainya penyelesaian konkurensi
yang membuat keputusan yang bisa diterima sang semua pihak sehingga para pihak tidak
menempuh upaya banding serta kasasi, (b) penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah,
(c) korelasi baik para pihak yang bersengketa tetap bisa dijaga, dan (d) lebih tinggi tingkat
kemungkinan buat melaksanakan konvensi. Sedangkan bagi pengadilan, tujuan mediasi ialah (a)
mengurangi stagnasi serta penumpukan masalah (cour cogestion) dipengadilan, dan (b)
memperlancar jalur keadilan (acces to justice) pada warga .

menggunakan demikian diharapkan para pihak yg sudah bisa menuntaskan perundingan


menggunakan jalur mediasi diluar pengadilan untuk melakukan gugatan kepengadilan menjadi
pengukuhan perkara mereka kedalam putusan hakim yg nantinya dimasukkan kedalam akta
kesepakatan (akta van dading) guna tidak dapat lagi untuk dieksekusi nantinya jika para pihak
yg mungkin mungkir dari kesepakatan perdamaian yg telah dirundingkan dengan dibantu oleh
perantara, serta mediator berhak nantinya buat melakukan pengukuhan konvensi perdamaian tadi
kepengadilan

3. Penyelesaian konkurensi Lingkungan hayati dengan Melalui Mediasi Diluar Pengadilan

Sistem penyelesaiaan sengketa mencakup sarana pemilihan hak melalui pengadilan juga upaya
penjajagan perdamaian di luar pengadilan. sebab keliru satu perbedaan yang amat mencolok
antara Undang-Undang nomor 4 Tahun 1982 ihwal Ketentuan-Ketentuan utama. Pengelolaan
Lingkungan hidup menggunakan Undang-Undang angka 23 Tahun 1997 wacana tentang
Pengelolaan Lingkungan hidup jo Undang-Undang nomor 32 Tahun 2009 wacana perlindungan
serta Pengelolaan Lingkungan hidup, ialah wewenang berdasarkan hukum buat mengatur tentang
pengembangan penyelesaian konkurensi lingkungan di luar forum pengadilan secara kooperatif.
Pencantuman rumusan hukum bagi penyelesaian konkurensi lingkungan pada UUPPLH
mengandung konsekuen diperlukannya panduan rinci yg bisa membantu aparat pengendalian
akibat lingkungan hayati di daerah yg diperlukan dapat mendorong aplikasi ketentuan-ketentuan
tadi pada penyelesaian masalah-masalah lingkungan di setiap daerahnya15.

15
Jacqueline M. Nolan Haley, Alternatif Dispute Resolution In A Nutshell, West Publishing Co, St. Paul Minnesota,
1992, hlm. 54-55
UUPPLH sudah mengamanahkan bahwa setiap individu mempunyai hak atas ingkungan hidup
yg baik dan sehat serta berkewajiban memelihara lingkungan hidup serta mencegah dan
mengurangi kerusakan dan pencemarannya, pula mempunyai hak dan kewajiban buat berperan
dan pada pengelolaan lingkungan hayati. Setiap orang yang ingin menjalankan suatu bidang
usaha wajib memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hayati yang harmonis serta
seimbang buat menjunjung pembangunan yang berkelanjutan yg berwawasan lingkungan.

Penyelesaian sengketa lingkungan hayati juga dapat dilakukan melalui pengadilan atau diluar
pengadilan dalam hal ini dapat dijelaskan didalam UUPPLH pada Bab XIII bagian kesatu yang
ada didalam Pasal 84 ayat 1, dua, dan 3 UUPPLH yang menyatakan:

“Pasal 84 UUPPLH:

(1) Penyelesaian konkurensi lingkungan hayati bisa ditempuh melalui pengadilan.

(2) Pilihan penyelesaian konkurensi lingkungan hayati dilakukan secara sukarela oleh para
pihak yg bersengketa.

(3) gugatan melalui pengadilan hanya bisa ditempuh bila upaya penyelesaian konkurensi
diluar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil sang satu atau para pihak yg
bersengketa.”

sesuai yang diamanatkan dalam pasal tersebut dapat di interpretasikan bahwa penyelesaian
sengketa lingkungan hidup bisa dilakukan menggunakan melalui jalur mediasi di lingkungan
pengadilan dan di luar lingkungan pengadilan yang sudah bisa disepakati para pihak yang
bersengketa.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka sudah sewajarnya buat segera difikirkan adanya suatu
sistem pengelolaan pengaduan dan penyelesaiaan konkurensi lingkungan secara kooperatif
melalui mekanisme bottom up menggunakan mempungsikan runglingkup tugas serta fungsi yang
sesuai denghan permasalahan yg dimaksud. Hal ini sudah barang tentu ialah galat satu langkah
positif dalam rangka menaikkan efektivitas upaya penegakan aturan lingkungan.
Didalam upaya mengatasi perseteruan lingkungan pemerintah telah mulai menekankan
pentingnya penatan serta penegakan hukum menjadi sarana pengendalian pencemaran serta
kerusakan lingkungan hukum dalam konteks pengelolaaan lingkungan paling tidak dapat
berfungsi sebagai sarana pencegahan dan kerusakan lingkungan, diantarnya hukum yg mengatur
tentang kewajiban melakukan studi amal bagi kegiatan yg berdampak penting terhadap
lingkungan, serta hukum yang mengatur perihal perijinan yg dikaitkan dengan pengendalian
pencemaran. Disamping itu, aturan menjadi saran pemuliahan hak-hak yag terlanggar hal ini
terkait drengan peraturan perundang-undangan yg mengatur mengenai konpensasi atau ganti rugi
dan pemulihan lingkungan. aturan sebagai sarana penangkal atau pembuat jera pelaku
pencemaran serta pelaku-pelaku potensial lainnya. agar aturan dapat berfungsi sebagai sarana
penangkal maka banyak sekali cara bisa ditempuh, misalnya penerapan ancaman hukuman
pidana penjara yg tinggi bagi pencemar lingkungan. aturan bisa pula berfungsi buat memperkuat
posisi warga menggunakan cara memberikan hak-hak hukum, yaitu hak atas lingkungan hayati
yang sehat serta baik, hak berperan dan atau hak untuk menerima gosip ihwal kondisi
lingkungannya16.

menjadi galat satu bentuk pertarungan maka sengketa memisahkan pihak yg terlibat menurut
kepentingan yang tidak selaras. solusinya memerlukan kondisi yang bisa memaksa pihak-pihak
yang terlibat peduli dan berbut sesuatu buat penyelesaiaan konkurensi yang tidak sama
dibandingkan jika ke 2 belah pihak mempunyai kepedulian yg sama. perkara yang pertama akan
mendorong cara penyelesaiaannya melalui pengadilan, sedangkan cara yang kedua akan
membawa para pelaku untuk menentukan jalan negosiasi. Pihak-pihak yang terlibat Dallam
proses penyelesaian konkurensi melihat adanya faktor peluang buat menyelesaikan problem
menggunakan baik terutama karena terdapat unsur tawar-menawar serta harapan keberhasilan
yang langgeng. Sedangkan aspek yg tidak ada peluang yg menyangkut proses perhitungan bahwa
dilema mereka tak mungkin bisa diselesaikan menggunakan cara lain (contohnya pengadilan)
kecuali negosiasi sebab mereka merasa akan menghadapi masalah yang lebih rumit serta
berkepanjangan dilain pihak penyelesaian duduk perkara melalui pengadilan dapat didorong oleh
beberapa hal17:

16
P. Joko Subagyo, Hukum Lingkungan Masalah Dan Penanggulangannya, Cet ke-2, PT Rineka Cipta, Jakarta,
1992, hlm. 89.
17
Jur. Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Cet ke-1, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 83.
a. seorang membawa perkaranya kepengadilan bila dia menghadapi jalan buntu. bisa pula
terjadi bahwa upaya memejah hijaukan suatu perkara merupakan strategi atau cara yg digunakan
sang penuntut buat memperkuat posisisnya pada proses tawar-menawar sebagai akibatnya dapat
memaksa tertuduh berbuat sesuatu buat menuntaskan masalhnya dimeja negosiasi. ialah,
penuntutan pada pengadilan hanya digunakan sebagai alalt buat memaksa tertuduh buat
berunding. Hal tadi terjadi antara pelaku konkurensi yang kekuatannya tak seimbang.

b. Meja hijau dipilih sebab tingkat pelanggaran dievaluasi oleh penuntut telah melampaui
batas toleransi.

c. Cara tersebut ditempuh hanya sebab faktor norma, yaitu praktik-praktik yg lajim
dilakukan warga apbila menghadapi suatu masalah. namun proses tadi akan ditentukan sang
aspek makro, yaitu hal-hal lain yang tidak sinkron diluar jangkauan para pelaku yang
bersengketa, misalnya kepentingan publik mirip keamanan. bisa jua sengketa yg dievaluasi
berkaitan dengan kepentingan warga luas, perekonomian serta politik, penyelesaiannya akan di
pengaruhi oleh pihak-pihak lain yg berkepentingan, terutama berupa dorongan supaya tak
menempuh cara penyelesaian sengketa yang dapat merugikan kepentingan umum .

Cara-cara yang ditempuh buat menuntaskan konkurensi sangat ditentukan oleh sistem yang
berlaku dimasyarakat, baik norma-norma yg ada dimasyarakat ataupun hukum-aturan formal yg
berlaku. Membuatkan sistem penyelesaian sengketa lingkungan menurut Sunoto, perlu
memperhatikan paling tidak lima aspek khusus, yaitu18:

a. Ciri perkara

Pengaduan dan penyelesaian konkurensi dikaitkan dengan lingkungan hidup, maka problem
menjadi lain, terutama bila kasusnya bersekala besar dan berkaitan dengan jenis kegiatan
pembangunan eksklusif yang strategis. Hal ini adanya asumsi bahwa pengetatan supervisi
terhadap kegiatan yang menghambat lingkungan tidak menguntungkan bagi pembangunan.
Kelancaran penyelesaian sengketa lingkungan juga ditentukan oleh kesulitan-kesulitan teknis
verifikasi dilapangan, baik yg menyangkut tekhnologi serta kemampuan asal daya insan. jika
suatu kasus tidak dapat dinaikkan menjadi tingkatan konkurensi maka masalah tadi sulit buat

18
Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, Cet ke-1, PT Rineka
Cipta, 2005, Jakarta, hlm. 112-113.
diselesaikan, kecuali ada unsur tindak pidanannya beberapa perkara menunjukkan, bahwa
tuntutan tak hanya ditujukan kepada pihak yg memiliki potensi pencemaran tetapi juga instansi
pemerintah. Instansi-instansi pemerintah tersebut disebut bertanggung jawab atas kelalaiannya
membiarkan terjadinya pencemaran.

b. Kelembagaan Unsur

kelembangaan menyangkut keberadaan serta kemampuan lembaga yang berkaitan menggunakan


penyelesaiaan sengketa lingkungan. Didalamnya termasuk sistem adaministrasi dan mekanisme
kerja lembga-forum eksekutif, judikatif, serta legislatif. Kesiapan ketiga jenis forum tadi krusial
karena setiap jenis forum perlu memainkan perannya dalam sistem penyelesaian sengketa yg
akan dikembangkan. apabila kemampuan ketiga jenis forum tadi tidak dilakukan secara beserta-
sama serta saling menunjang, maka akan terjadi ketidak seimbangan pada sistem yg akan
dikembangkan. Pihak lain yang memerlukan perhatian ialah kelembagaan masyarakat, terutama
dikaitkan menggunakan upaya pemberdayaan warga serta penggunaan cara-cara penyelesiaaan
konkurensi yang dilakukan sesuai kebiasaan-kebiasaan masyarakat.

c. hukum

semenjak orang mulai mempelajari ilmu pengetahuan aturan maka sudah terdapat pembagian
aturan menjadi 2 (2) macam yaitu, hukum publik serta aturan privat/aturan sipil. ada disparitas
hukum pubilk serta aturan sipil. berdasarkan Ulpianus hukum publik ialah hukum yang
bekerjasama menggunakan kepentingan Negara romawi, sedang aturan sipil merupakan aturan
yg berhubungan dengan kepentingan orangorang, karena terdapat hal-hal yang bersifat
kepentingan awam dan hal-hal yg bersifat kepentingan perseorangan. Pengembangan aspek
hukum dibutuhkan guna mendukung upaya pengembangan sistem penyelesaian konkurensi
lingkungan. ada 3 (tiga) alasan pengembangan aspek ini, yaitu:

1) Pengelolaan lingkungan hidup serta aktivitas lain yg berkaitan dengan pelanggaran wajib
dipandang dan diselesaikan dalam kerangka penegakan hukum. sebab itu penyelesaian perkara-
kasus atau konkurensi lingkungan harus sesuai peraturan perundangan yg berlaku. karena itu,
kelengkapan peraturan perundangan yg mengatur lingkungan serta aktivitas pembangunan yg
berkaitan dengan lingkungan absolut diharapkan. Bahkan perlengkapan peraturan perundangan
tadi wajib disertai dengan kemampuan buat mengakomodasi permaslahan-permasalahan
lingkungan dimasa depan.

2) Pengembangan peraturan perundangan tadi diperlukan buat mempasilitasi para pelaku


serta pihak-pihak lain yg terkait pada mengefektifkan sistem serta tata cara penelusuran serta
penyelesaian kasus-perkara lingkungan, dengan landasan hukum dan mekanisme yg kentara.

3) Pengembangan peraturan perundingan dibidang lingkungan hidup diharapkan dapat


mempasilitasi forum-lembaga pemerintah menjalankan fungsi koordinasi baik vertikal juga
horizontal. Aspek ini krusial terutama dikaitkan dengana kewenangan wilayah dalam
mengkoordinasikan aktivitas pembanguna, mirip industri, pertambangan, kehutanan dan
pertanian.

d. Pemberdayaan rakyat

Aspek pemberdayaan warga diasumsikan bahwa konkurensi lingkungan akan selalu melibatkan
masyarakat serta senantiasa berkaitan menggunakan kepentingan orang poly. Keterlibatan warga
ini memerlukan perhatian pada pengembangan sistem penyelesaian konkurensi lingkungan yg
menyangkut 2 kepentingan yakni peningkatan pencerahan serta kepedulian rakyat dan
peningkatan kekuatan buat berperan serta.

e. Dukungan publik

keliru satuu prasaratan pengembangan sistem penyelesaian konkurensi lingkungan hayati ialah
dukungan publik, baik pada bentuk gerombolan , sosial, lembaga swadaya warga juga media
masa. dukungan publik ini tidak hanya terbatas di aspek legitimasi akan tetapi yg lebih krusial
adalah dukungan terhadap upaya-upaya penegakan aturan lingkungan. sesuai uraian tersebut,
maka bisa digambarkan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup menurut UU angka 23
Tahun 1997 jo UU angka 32 Tahun 2009 bisa ditempuh melalui pengadilan atau diluar
pengadilan, sesuai pilihan berdasarkan suka rela para piohak yang bersangkutan. Ketentuan ini
dimaksud buat melindungi hak keperdataan. bila telah dipih upaya penyelesaian sengketa
lingkungan hayati diluar pengadilan, guggatan melalui pengadilan hanya bisa ditempuh bila
upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil sang keliru satu atau para pihak yg bersengketa.
Penyelesaian diluar forum pengadilan ini tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hayati.
Ketentuan ini dimaksudkanuntuk mencegah terjadinya pututsan yg tidak selaras mengenai satu
sengketa lingkungan hayati buat menjamin kepastian aturan. Penyelesaian konkurensi
lingkungan hayati diluar pengadilan diselenggarakan buat mencapai konvensi mengenai bentuk
dan besarnya ganti rugi dan /atau tentang tindakan eksklusif guna mengklaim tidak akan
terjadinya aytau terulangnya akibat negative terhadap lingkungan hidup. Penyelesaian sengketa
lingkungan hidup melalui negosiasi diluar pengadilan dialakukan secara sukarela sang para pihak
yang berkepentingan yaitu para pihak yg mengalami kerugian serta mengakibatkan kerugian,
instansi permerintahan yang terkait denagan subjek yang disengketakan, dan dapat melibatkan
pihak yang memiliki keperdulian terhadap pengelolaan lingkungan hayati. Tindakan tertentu
disisni dimaksudkan menjadi upaya memulihkan fungsi lingkungan hayati drngan
memperhatikan nilainilai yang hayati pada warga setempat.

pada penyelesaian konkurensi linkungan hayati diluar pengadilan dapat dipergunakan jasa pihak
ketiga baik yg tidak mempunyai keweangan merogoh kepetusan juga yg memiliki wewenang
mengambil keputusan, buat membantu penyelesaian konkurensi lingkungan hayati. buat
melancarkan lancarnya negosiasi diluar pengadilan, para pihak yang berkepetingan dapat
meminta jasa pihak ketiga yang netral yg bisa berbentuk:

a) Pihak ketiga netral yang tidak memiliki wewenang merogoh keputusan. Pihak ketiga
netral ini berfungsi menjadi pihak yang memfasilitasi para pihak yg berkepentingansehingga
dapat dicapai konvensi. Pihak ketiga netral ini wajib disetujui sang para pihak yg bersengketa,
tidak memiliki korelasi famili serta/atau korelasi kerja dengan galat satu pihak yg bersengketa,
memilki ketetampililan buat melakukan negosiasi atau penegahan dan tidak mempunyai
kepentingan terhadap proses perundingan ataupun hasilnya.

b) Pihak ketiga netral yang mempunyai kewewnangan mwngambil keputusan berfungsi


sebagai arbiter serta semua putusan arbitrase ini bersifat permanen serta mengikat para pihak
yang bersengketa.

Disamping itu pemerintah/atau rakyat bisa membuat lembaga penyedia jasa pelayanan
penyelesaian lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak memihak. lembaga penyedia saja
penyelesaian sengketa lingkungan hayati ini dimaksudkan sebgai suatu forum yang mampu
memperlancar pelaksanaan mekanisme pihak penyelesaian konkurensi menggunakan
mendasarkan para priendsif yg tidak berpihakan serta profesionalisme.

pada pasal 32 UUPPLH penyelesaian konkurensi diluar pengadilan bisa diminta jasa pihak
ketiga yg netral. Pihak ketiga wajib memenuhi kondisi, yakni:

a. Disetujui oleh pihak yg bersengketa;

b. tidak mempunyai hubungan famili dan /atau korelasi kerja dengan salah satu pihak yg
bersengketa;

c. mempunyai keterampilan buat mengatur negosiasi atau menjadi penengah;

d. tidak memiliki kepentingan terhadap proses negosiasi maupun hasilnya.

Selain cara penyelesaian lingkungan (mediasi) diatas, dikenal bentuk lain mirip, Praktik dijepang
Dari tahun 1970 dalam kogai funso sorih ho yakni menggunakan berlakunya The law for
therosulition of pullition this putes berupa konsiliasi, arbitrasi, serta kuasi judicial arbitaese. pada
amerika serikat dan kanada, ternyata penyelesaian masalah lingkungan lebih mengutamakan
penggunaan environmental mediation (mediasi lingkungan) dibanding menggunakan cara
lainnya mirip konsiliasi serta arbitrasi. Pilihan ini dikaitkan menggunakan kesederhanaan pada
prosedurnya serta berkebebasan para pihak buat memilih pilihan pada negosiasi, hal apa
usahakan buat dilakukan buat mengakhiri konkurensi dengan donasi pasilitator (perantara)
menggunakan demikian ciri mediasi lingkungan ini di prinsipnya merupakan: 1). Kesukarelaaan,
2). Persetujuan, 3). serta prosesnya tidak mengikat.

Prinsip penyelesaian secara sukarela ini dimaksudkan agar para pihak tidak memaksakan
kehendaknya buat penyelesaian masalah. negosiasi dilakukan menggunakan cara kekeluargaan
serta bebas dari prasangka jelek. Persetujuan yan dicapai ialah hasil berasal negosiasi yg
dilakukan menggunakan donasi mediator yang tidak memihak.

Penyelesaian konkurensi lingkungan hidup diluar pengadilan di umumnya tumbuh dan


berkembang dinegara amerika perkumpulan dan jepang. menjadi Negara maju muncul industri
terbaru dengan penggunaan tekhnologi canggih serta banyak memeberikan dampak sosial negatif
terhadap warga disekitarnya. Perkembangan sengketa lingkungan hayati diamerika perkumpulan
ini, dilatar belakangi oleh syarat internal dalam rakyat setempat yaitu budaya pertarungan yang
inheren dalam sistem kehidupan sehari-hari. Dinegara jepang berdasarkan di latar belakang
agama. Bangsa jepang yg menganut kepercayaan shinto menggunakan memakai priensif
ekuilibrium, keserasian, keharmonisan, pada sikap hayati yg mengatur antara hubungan insan
dengan lingkungan hidupnya19.

Penyelesaian sengketa lingkungan hayati diluar pengadilan bisa dilakukan sang orang-orang
yang bersengketa secara langsung, atau juga melalui jasa pihak ketiga. Penyelesaian konkurensi
lingkungan hayati melalui pengadilan atau tidak diluar pengadilan didasarkan atas pihak sesuai
suka rela yang bersengketa. Adapun manfaat serta efektifitas penyelesaian sengketa melalui
pengadilan serta diluar pengadilan bagi pihak-pihak yg bersengketa. Maka berdasarkan Moh.
Asikin ada perbandingan karekteristik antara kedua sistem kelembagaan penyelesaian sengketa
lingkungan hayati tersebut:

a. Penyelesaian konkurensi melalui pengadilan:

1) yang dipermasalahkan hanya membahas duduk perkara masalahmasalah soal teknis


hukum normatif serta mengabaikan hal-hal yg bersifat subtantif yang menjadi utama persoalan
konkurensi lingkungan hidup.

2) pada penyelesaian konkurensi melalui pengadilan, maka akan membentuk putusan


pengadilan berupa pihak yg menang dan /atau pihak yg kalah.

3) Putusan pengadilan hanya mamapu merampungkan yg bersifat konkrit serta dapat


terbukti pada proses persidangan.

4) Putusan pengadilan pada dasarnyabersifat mengikat pada pihak-pihak yang bersengketa


serta tidak mengikat pada pihak lain buat ikut bertanggung jawab dalam penyelesaian
konkurensi.

19
Koesnadi Hardjasoemantri, Sebuah Studi Tentang Kankyo Kihon Ho (Undang-Undang Lingkungan Hidup Jepang
1993), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1996, hlm. 21.
lima) Proses penyelesaian konkurensi melalui pengadilan hanya mengaktualisasikan pada
ketentuan-ketentuan hukum program yang bersifat kaku.

6) contoh penyelesaian sengketa cendrung bersifat uniform atau seragam serta terkesan
terus-menerus serta tak bergerak maju.

7) kiprah pembela terdakwa resmi atau kuasa aturan dalam penyelesaian sengketa melalui
pengadilan cendrung mayoritas.

b. Penyelesaian konkurensi diluar pengadilan20:

1) Penyelesaian sengketa diluar pengadilan lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat


subtantif berasal pada yang bersifat teknis yuridis.

dua) Penyelesaian konkurensi diluar pengadilan benar-sahih memuaskan ke 2 belah pihak.

3) Hal-hal yang implisit atau yg terpendam dapat diselesaikan secara tuntas.

4) Memeberikan peluang atau memungkinkan pihak-pihak lain buat ikut terkena dalam
penyelesaian konkurensi tersebut.

lima) Proses penyelesaian sengketa bersifat lues serta tidak kaku atau pleksibel.

6) model penyelesaian konkurensi dilakukan sesuai asal sifat konkurensi atas dasar pilihan
secara suka rela.

7) Para pihak yang merampungkan sengketa dapat lebih beperan dalam penyelesaian
konkurensi.

alternatif penyelesaian konkurensi dalam kepustakaan Amerika Serika dinamakan cara lain
Dispute Resolution (ADR), sedangkan pada aturan Internasional alternatif penyelesaian
dilakukan menggunakan cara-cara: Negosition, Kontiliation, Mediation, Fact Finding,
Arbitration. Negotiation dilakukan oleh para pihak-pihak yg bersengketa dan diselesaikan secara
pribadi. Concilition, Mediation, Fact finding, Arbitration dilakukan dengan mengunakan jasa

20
Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, Cet ke-1, PT Rineka
Cipta, Jakarta, 2005, hlm. 122-123.
pihak ketiga. Conciliation menyampaikan peran kepada pihak ketiga hanya bersifat pasif dan
cendrung berperan sebagai pasilitator. contoh Mediation meberikan peran pada pihak ketiga
lebih bersifat mengarahkan kepada hal-hal subtantif yang menjadi utama duduk perkara
konkurensi tersebut. contoh fact finding merupakan penyidik independen wacana pencarian serta
pengumpulan berita serta bersifat menjadi terekomendasi dalam memecahkan persoalan
konkurensi. Conciliation, Mediation, dan Fact finding tidak mempunyai wewenang buat
merogoh keputusan secara final, sedangkan contoh Arbitation memberikan peran pada pihak
ketiga dan diberikan kewenangan buat mengambil keputusan final21.

Pihak ketiga wajib mempunyai syarat-syarat, diantarnya harus menerima persetujuan dari pihak-
pihak yg bersengketa, tidak memiliki hubungan keluarga atau korelasi kerja, serta memiliki
keterampilan serta tidak mempunyai kepentingan atau interes terhadap utama persoalan
konkurensi tersebut. peran serta sifat asal pihak ketiga di tuntut sipat kepedulian terhadap pokok
dilema lingkungan serta menjadi pihak bersipat netral. dalam undang-undang lain yaitu
UndangUndang angka 32 Tahun 2004 ihwal pemerintahan daerah, dalam pasal 43 menggunakan
kata “paksaan pemilihan hukum” dimana pencabutan hukum berdasarkan hinder ordonanti.
Penegakan aturan lingkungan melalui intrumen hukum perdata pada Undang-Undang nomor 23
Tahun 1997 diatur pada Bab VII wacana konkurensi lingkungan hidup penyelesaian sengketa
lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan
sesuai senang rela para pihak yang bersengketa.

Penyelesaian sengketa diluar pengadilan bisa diselenggarakan buat mencapai konvensi tentang
bentuk dan besarnya ganti rugi serta/atau mengenai tindakan eksklusif guna mengklaim tidak
akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. aktivitas
penyelesaian sengketa lingkungan hayati yang dilakukan para pihak seharusnya terlebih dahulu
memiliki konvensi diantara keduanya agar para pihak juga dapat melukukan mediasi diluar
pengadilan dengan meminta jasa perantara, ialah perantara berhak untuk mencari kesepakatan
perdamaian terhadap konkurensi lingkungan hayati yg telah terjadi kepada para pihak, dan
perantara tidak memiliki wewenang buat memutus perkara dan sifatnya netral tidak mempunyai
rasa nepotisme atau keperpihakan pada salah satu mereka yang bersengketa.

4. Peran Kementerian Lingkungan hidup dalam Penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan

21
Ibid, hlm. 123
Sustainable development, menjadi pinsip umum , artinya aspek kunci dari pengintegrasian, yg
memegang peranan krusial dalam perangkat lunak penguatan hukum nasional dan internasional,
khususnya buat memberikan solusi dari konkurensi aturan. sebagai prinsip umum prinsip
umum , sustainable development menjadi jembatan yang membantu menghubungkan antara “law
Alaihi Salam it is” sebagai “law Alaihi Salam ought to be”, menggunakan mengenalkan rasa
keadilan komunal serta dinamisme nya, sustainable development jua secara normatif mempunyai
kekuatan buat diterapkan pada konteks penyelesaian konkurensi22.

Suatu perselisihan yang mengakibatkan timbulnya persengketaan pada lingkungan hayati, lahir
asal suatu pencemaran atau kerusakan lingkungan sebagai akibatnya ada pihak tertentu yang
dirugikan, pihak tadi mampu pemerintah, masyarakat, maupun pihak swasta, pencemaran atau
lerusakan lingkungan inilah selanjutnya menyebabkan suatu perselisihan atau perseteruan, serta
selanjutnya terdapat pihak-pihak tertentu yang menuntut untuk dipulihkannya lingkungan mirip
semula, menuntut ganti kerugian, juga tuntutan lainnya23.

“Kerangka hukum24 belum mampu menyampaikan jawaban yg sempurna buat menyelesaikan


semua sengketa lingkungan hidup, sehingga diperlukan respon yang strategis serta efektif buat
menuntaskan dilema dan perubahan yg cepat, menjadikan kerangka hukum wajib fleksibel.
Penyelesaian konkurensi, wajib bisa menyampaikan jawaban sinkron dengan prinsip-prinsip
hukum dengan kentara serta bertanggungjawab. perundingan dan kompromi harus sebagai
prinsip utama pada merampungkan sengketa lingkungan hidup25.”

22
Christina Voight, Rule of Law For Nature, The Principle of Sustainable Development: Integration and Ecological
Integrity, United Kingdom, Cambridge University Press, 2013, hlm. 155.

23
Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana Hukum Lingkungan, Teori, Legislasi, dan Studi Kasus, USAID,
Kemitraan Partnership dan Asia Foundation, 2015, hlm. 543.

24
Hukum administrasi harus mampu mengisi ruang untuk lembaga yang pengambil keputusan, sehingga putusannya
menjadi rasional dan terhindar dari kesewenang-wenangan. hukum administrasi (lingkungan) harus mampu
menjawab ketidakpastian dalam konteks menyelesaikan sengketa. terdapat dua hal dalam suatu putusan, pertama
putusan yang mengkedepankan teori (theoretic-decision) dan putusan dalam pengertian legal, kedua adalah
perbedaan antara normatif dan positif teori dari proses pembuatan keputusan dalam ketidakpastian. Adrian
Vermeule, Rationally Arbitrary Decisions in Administrative Law, The University of Chicago Press for The
University of Chicago Law School, The Journal of Legal Studies, Vol. 44, No. S2, Developing Regulatory Policy in
the Context of Deep Uncertainty: Legal, Economic, and Natural Science Perspectives (June 2015), pp. S475-S507,
hlm. S497-S498

25
Lucia A Silecchia, Conflicts and Laudato Si’, Florida State University College of Law, Journal of Land Use &
Environmental Law , Vol. 33, No. 1 (Fall, 2017), pp. 61-86, hlm 75.
konkurensi lingkungan hidup yg diselesaikan di luar pengadilan, ialah salah satu upaya pencari
keadilan, sebab menganggap adanya kemungkinan lain selain pengadilan buat merampungkan
sengketa, hal ini dikarenakan merasa tidak puas menggunakan pengadilan, di prosesnya yang
panjang serta berbiaya tinggi, buat menuntaskan suatu perkara, kualitas kemampuan serta
putusan hakim, jua kekakuan suatu prosedur aturan pada suatu masalah 26, buat menyelesaikan
konkurensi.

Penyelesaian sengketa/perseteruan lingkungan27 merupakan metode yang dikenalkan Claimant


menjadi fungsi utama lingkungan selain metode litigasi. Penelitian Coterrell tahun 1992, pada
David Nicholson, penyelesaian sengketa diluar pengadilan, dapat dilakukan sang badan forum
yang diberikan kewenangan buat menyelesaikan perselisihan, pada hal ini lembaga yg
bertanggungjawab di lingkungan hidup artinya pendekatan yg lebih baik buat menuntaskan
sengketa dimana antara harapan para pihak yang berperkara akan melahirkan konsensus buat
menuntaskan konkurensi seperti mediasi28.

Sengketa lingkungan hidup yg diselesaikan melalui mediasi, sebagaimana pendapat Coterrell


tersebut, telah diterapkan sang Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan (KLHK waktu
peraturan ini ditetapkan masih menjadi KLH), menggunakan menerbitkan suatu peraturan yang
mengatur wacana pedoman penyelesaian suatu konkurensi lingkungan hayati. Menarik buat
diteliti berasal peraturan ini, ialah, KLH, serta para ketua daerah baik provinsi serta
kabupaten/kota bertindak selaku fasilitator dan mediator 29, pula menjadi pihak yang mewakili
negara saat terjadi kerusakan lingkungan yang menyebabkan kerugian negara30, tetapi Bila tidak

26
Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana, Hukum Lingkungan, Teori, Legislasi………….. hlm. 545-546

27
Lembaga negara dan peraturan yang mengatur tentang sengketa lingkungan memegang dua prinsip, yaitu
perlindungan dari sumber daya alam dan menjamin perijinan unytk menggunakan sumber daya alam tersebut.
Ketika pemerintah mengeluarkan ijin kepada perusahaan, maka kemungkinan akan terjadi rusaknya sumberdaya
alam, dan ini akan merusak kepercayaan publik. Abdul Haseeb Ansari, Muhamad Hassan Bin Ahmad and Sodiq
Omoola, Alternative Dispute Resolution In Environmental And Natural Resource Disputes, Indian Law Institute,
Journal of the Indian Law Institute 1, Vol. 59, JanuaryMarch 2017, pp. 26-56, hlm. 32.
28
David Nicholson, Environmental Dispute Resolution In Indonesia, Brill, 2009, hlm 7.
29
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 4 tahun 2013 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Lingkungan
Hidup, Pasal 6 ayat (1) dan (2).
30
Ibid,.
terjadi kesepakatan saat dilakukan verifikasi apakah putusan bulat atau menolak akibat
pemeriksaan, pilihan hukumnya melalui pengadilan31 serta diluar pengadilan32.

konkurensi lingkungan hidup yg diselesaikan diluar pengadilan, artinya keliru satu prioritas
utama pada planning aksi KLHK tahun 2019, sasaran yg dicanangkan buat penyelesaian
sengketa lingkungan hidup yg diselesaikan diluar pengadilan melalui kesepakatan , sebesar 20
perkara, sedangk penyelesaian gugatan sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan sebanyak
7 perkara33, tetapi pada tahun yg sama, dari rencana strategis KLHK, penegakan aturan LHK
berupa penanganan pengaduan sebesar 1.458 organisasi/forum, pengawasan biar sebesar 1.797
unit, sanksi administrasi sebesar 816 unit serta kesepakatan pada luar pengadilan sebesar 20
perkara34.

di proses menuntaskan sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan, Menteri KLHK akan
memiliki wewenang Jika konkurensi tadi memiliki dampak serta berlokasi melintasi beberapa
propinsi, sengketa lingkungan yg tak diselesaikan sang para kepala wilayah propinsi, dan
kabupaten/kota, para kepala wilayah tadi menyerahkan konkurensi lingkungan hidup pada
Menteri, serta/atau keliru satu asal para pihak yg bersengketa memohon pada Menteri KLHK.

Para pihak yg bersengketa yang memohonkan penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar
pengadilan35, berakibat pendekatan interest-based, mirip negosiasi, (arbitrase) atau mediasi,
menggunakan menggunakan pihak ketiga buat bernegosiasi, dalam hal ini Menteri KLHK36, atau
dapat jua tanpa atau dengan donasi pihak ketiga, bertujuan untuk mencapai kesepakatan secara
31
Frasa yang digunakan adalah “dan” bukan frasa “atau”, artinya amanat dari peraturan ini, bila tidak tercapai
kesepakatan maka kedua pilihan tersebut ditempuh. Menurut penulis, seharusnya pembuat peraturan ini, karena
sifatnya memberikan pilihan, sebaiknya frasa yang digunakan adalah frasa “atau”. “Atau adalah kata penghubung
untuk menandai pilihan diantara beberapa hal (pilihan)”. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Pusat Bahasa, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 98
32
Pasal 9 ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 4 tahun 2013 tentang Pedoman Penyelesaian
Sengketa Lingkungan Hidup, Pasal 14 ayat (4)
33
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Direktorat Jenderal Penegakan hukum Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Rencana Aksi Direktorat Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Tahun 2019, Bab II Rencana Aksi,
tabel Indikator Kinerja Kegiatan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup TA 2019.
34
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P.16/MENLHK/SETJEN/SET.1/8/2020 tentang
Rencana Strategis Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Tahun 2020-2024, hlm. 68
35
Sengketa untuk menyelesaikan perselisihan, berasal dari rasa keadilan para pihak yang bersengketa, ketimpangan
distribusi keadilan mengenai bahaya dan resiko ketidakseimbangan lingkungan terjadi Ketika biaya dari resiko
lingkungan, dan keuntungan dari kebijakan lingkungan, tidak merata pada setiap demografi dan spektrum geografi
(suatu negara). David Schlosberg, Defining Environmental Justice, Theories, Movements, and Nature, New York,
Oxford University Press, 2007, hlm. 56
36
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup, nomor 4 tahun 2013 tentang Pedoman Penyelesaian Sengjeta Lingkungan
Hidup, Pasal 1
sukarela diantara para pihak yang bersengketa, menggunakan outcome ditetapkan para pihak yg
bersengketa dengan menghargai cita-cita para pihak dan kemauan buat berkompromi
menuntaskan konkurensi yg mereka alami37. Adakalanya penyelesaian menggunakan cara
perundingan yg menemui jalan buntu, karna itu para pihak dapat memakai cara mediasi serta
aribtrase, perbedaan cara penyelesaian mediasi38 dan arbitrase adalah, pada cara mediasi,
perantara tidak berwenang memutus masalah sengketa para pihak, sedangkan arbitrase yang
memakai jasa arbiter bisa memutus perkara konkurensi lingkungan hidup 39, karena arbiter
diberikan wewenang buat memutus suatu perkara40.

Fenn serta Veljanovski dalam Hans Sjogren serta Goran Skogh, menawarkan model kerjasama
melalui badan administrasi yg akan mengarahkan pemenuhan atas regulasi ihwal aturan
lingkungan pada para perusahaan, hipotesis contoh cooperative-administrative agency, akan
menyampaikan dampak yg lebih baik. contoh Fenn dan Veljanovski tersebut, memiliki
kecenderungan pandang menggunakan Richard Epstein menggunakan menambahkan fokus di
meyakinkan penegakan peraturan, menurutnya penyelesaian masalah konkurensi lingkungan
dengan contoh common law, harus di tangani secara serius melalui administrative agency (badan
administrasi), yg bertugas buat meyakinkan jalannya penegakan peraturan aturan gangguan
(nuisance law). asal ke 2 pendapat tersebut, menurut penulis, model Fenn dan Veljanovski
dapat diaplikasikan dalam metode penyelesaian konkurensi lingkungan hayati diluar pengadilan,
karena badan administrasi dapat bertindak menjadi pihak yang memediasi antara para pihak yang
bersengketa untuk menemukan kesepakatan diantara para pihak tadi.

37
David Nicholson, Environmental Dispute …………..hlm. 4.
38
Para pihak bersengketa yang memilih menyelesaikan sengketa diluar pengadilan, dengan forum penyelesaian
sengketa dengan cara Mediasi, Arbitrase, atau Negosiasi. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup, nomor 4 tahun 2013
tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Pasal 16 ayat (1). Pada tulisan yang dibuat David
Nicholson tentang Environmental dispute in Indonesia, tidak mencantumkan metode arbitrase dalam penyelesaian
sengketa lingkungan hidup.
39
Bila negosiasi dan mediasi berhasil, maka para pihak yang bersengketa lingkungan hidup, mendaftarkan
kesepakatan para pihak tersebut ke Pengadilan Negeri yang berwenang, caranya dengan melampirkan kesepakatan
yang telah dihasilkan dari proses negosiasi dan mediasi, untuk selanjutnnya dibuatkan akta perdamaian para pihak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 4 tahun 2013, tentang
Pedoman Penyelesaian Perselisihan Sengketa Lingkungan Hidup, Pasal 21
40
Muzakkir Abubakar, Hak Mengajukan Gugatan dalam Sengketa Lingkungan Hidup, Kanun Jurnal Ilmu Hukum 1,
Vol 21, April 2019, pp.93-108, hlm. 96-97
Sebagaimana konsep yg ditawarkan oleh Goldberg tentang mediasi, badan administrasi tadi
wajib bersifat netral41 dan tidak memaksakan kepada para pihak yg bersengketa, pula konsep
John Merrills, badan administrasi tersebut harus secara aktif menunjukkan proposal terbaik
penyelesaian konkurensi diantara para pihak dengan menjembatani serta menafsirkan impian asal
masing-masing pihak yang bersengketa, serta sesuai dengan konsep Kovach, badan administrasi
tersebut wajib menghasilkan “mutually agreeable resolution”42. Resolusi terbaik yg ditawarkan
badan administrasi tadi, tentunya harus melalui perundingan yang baik, dan dengan konsep
Bruce Patton, perundingan yg “back-and-forth communication” membuahkan badan
administrasi spesifik menuntaskan sengketa lingkungan hidup, menjadi krusial buat
direalisasikan43.

Pilihan hukum lainnya, selain negosiasi dan mediasi artinya para pihak dapat melakukan upaya
penyelesaian konkurensi melalui arbitrase44, pilihan hukum penyelesaian sengketa lingkungan
hayati melalui arbitrase diatur di Peraturan Menteri nomor 4 Tahun 2013 wacana panduan
Penyelesaian sengketa Lingkungan hayati, pasal 16 ayat (1) alfabet (c). Melalui aribitrase,
sengketa diselesaikan melalui jasa arbiter dan Bila para pihak telah putusan bulat, maka akan
dituangkan pada perjanjian arbitrase bahwa dalam kontrak tadi para pihak sudah menyetujui
selesainya konkurensi lingkungan hayati. kiprah KLHK di penyelesaian melalui arbitrase
lingkungan hayati menjadi pemantau pada pelaksanaan tentang penyelesaian konkurensi45.

41
Kasus antara McKenzie Construction v(s). ST. Croix Storage Corp (1997), tentang penjualan kayu yang rusak,
McKenzie membeli kayu tersebut dari ST.Croix Storage, namun kayu yang dibelinya rusak. ST.Croix menunjuk
Rohn & Cusick sebagai konsultan hukum, sengketa tersebut kemudian diproses pengadilan, namun pengadilan
memerintahkan untuk mediasi dan menunjuk pengacara Lisa Morehead sebagai mediator, Mediasi ternyata tidak
sukses, karena menurut pembela Rahn & Cusick, penunjukan mediator oleh pengadilan tanpa kesepakatan para
pihak, mengandung “conflict of interest” dalam pelanggaran dari aturan kebijakan kode etik mediator dan
pengacara. Goldberg et al, Dispute Resolution, Negotiation, Mediation, Arbitration and Other Processes, Sixth
Edition, New York, Wolter Kluwer law & Business, 2012, page Association of the BAR of The City of New York,
Opinion Number 80-23. Hlm. 377- 378
42
Hans Sjogren dan Goran Skogh, New Persepctive on Economic Crime, USA, Edward Elgar Publishing Limited,
2004, hlm. 68.
43
Richard A. Epstein, From Common Law to Environmental Protection How the Modern Environmental Movement
Has Lost Its Way, The University of Chicago Press, Supreme Court Economic Review, Vol. 23 (2015), pp. 141-167,
hlm. 143
44
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase tiap-tiap negara berbeda tergantung pada hukum yang mengatur pada
negara tersebut, sebagai contoh, pada hukum Perancis, komisi jurnalis arbitrase adalah badan yang hanya
mempunyai kompetensi untuk menyelesaikan sengketa yang berhubungan pada kontrak pekerjaan yang melibatkan
professional jurnalis, diluar profesi jurnalis merupakan jurisdiksi pengadilan buruh. Leonardo V.P. de Oliveira, Sara
Hourani, Ed Access to justice in Arbitration: Concept, Context and Practice, ISBN 9789403506913, Kluwer Law
International, 2020, hlm 40
45
Peraturan Menteri nomor 4 thaun 2013 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, pasal 23 ayat
(1) dan 2
Lahirnya konvensi para pihak menggunakan pilihan hukum penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, melalui beberapa tahapan, diawali dari pengaduan, atau akibat supervisi, selanjutnya
data tersebut di telaah, berasal akibat telaah tersebut Jika ada tanda pencemaran dan /atau
kerusakan lingkungan hayati, maka dilanjutkan menggunakan memverifikasi serta penjelasan
akibat verifikasi, Jika akibat verifikasi tadi ditemukan indikasi kerugian negara maka langkah
selanjutnya dilakukan perhitungan kerugian negara lingkungan hidup.

Menteri KLH atau para kepala wilayah yg memilih penyelesaian konkurensi lingkungan hidup
melalui pengadilan akan berperan sebagai fasilitator kepada para pihak yang sedang
bersengketa46. Pendekatan penyelesaian sengketa lingkungan hayati yg menggunakan
pengadilan, terjadi waktu terjadinya penolakan atau ketidak sepakatan atas yang akan terjadi
klarifikasi di laporan pembuktian yg didesain untuk menindaklanjuti konkurensi lingkungan
hidup47. Begitu jua halnya, Jika para pihak yg bernegosiasi serta mediasi tidak tercapai
kesepakatan diantara mereka, maka salah satu pihak yang merasa dirugikan atas yang akan
terjadi tersebut, dapat mengajukan masalah tadi melalui gugatan ke pengadilan48.

5.Masalah Mediasi Penyelesaian konkurensi Lingkunan Melalui Mediasi

a. Riwayat masalah

Daya dukung lingkungan hayati merupakan hal krusial yg kita perlukan buat bisa
mempertahankan kehidupan pada bumi ini. waktu fungsi berasal lingkungan itu sendiri telah
menurun dampak adanya pencemaran atau perusakan, artinya daya dukung terhadap kehidupan
pun mengalami penurunan, dan kualitas kehidupan insan secara otomatis pula mengalami
penurunan. Demikian halnya yang dirasakan sang rakyat desa Giri Asih serta Cangkorah di
kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat. Sungai yg semula sebagai sumber pencarian,

46
Ibid, Pasal 14
47
Saat melakukan negosiasi hukum secara konstan para pihak yang terlibat dan konflik, teori mengkonstruksikan
para pihak akan menggunakan kekuatan Ketika mereka mengartikulasikan kemampuan, dan Teknik mereka dalam
bernegosiasi. Amy Cohen, On Compromise, Negotiation, and Loss, American Society for Political and Legal
Philosophy, Nomos, Vol. 59, (2018), pp. 100-149, hlm 103.
48
Salah satu penyebab ketidaksepakatan adalah netralitas mediator saat mediasi, oleh karena itu, Sebagian besar
peneliti setuju menyarankan saat mediasi menyediakan kesempatan kepada partisipan untuk mendengar dan peran
partisipatif dalam proses mediasi. Michael L. Moffitt and Robert C. Bordone, The Handbook of Dispute Resolution,
United States, Jossey-Bass A Wiley Imprint, 2005, hlm 311
kawasan rekreasi yg memberi kesejukan bagi masyarakat, air yg dimanfaatkan buat kegiatan
sehari-hari rakyat desa, mulai asal mencuci beras hingga memelihara ikan, sekarang seluruh itu
hanya tinggal kenangan, sebab air sungai yang biasa mereka rasakan tersebut sekarang sudah
tercemar sang limbah industri. Sektor perikanan apung warga di lebih kurang sungai pun
terancam. Ikan tewas serta penghasilan nelayan pun terhenti, sebagai akibatnya poly warga yang
berprofesi menjadi nelayan jaring apung beralih profesi sebagai buruh bangunan atau tani.

Melihat kerusakan yg terjadi di lingkungan mereka, masyarakat yang diwakili oleh Jejaring
Keswadayaan masyarakat Menjaga Mutu Air Sungai (JKM3AS) tidak tinggal diam, mereka
melakukan perjuangan-perjuangan buat memperbaiki lingkungan mereka yg sudah terkotori.
salah satunya ialah dengan menempuh jalur mediasi menggunakan pihak industri, hal ini
dilakukan menggunakan donasi Badan Pengendalian Lingkungan hidup wilayah propinsi Jawa
Barat.

b. gambaran umum

Desa Giriasih serta Cangkorah adalah dua desa yang dilalui sang aliran sungai Cipeusing. Sungai
tadi sehari-hari menjadi sentra aktivitas warga yg tinggal pada kedua desa, mulai berasal
melakukan kegiatan rumah tangga seharihari sampai di kawasan mereka mencari penghasilan
melalui profesi nelayan jaring apung. Air sungai Cipeusing ialah keliru satu bentuk nyata asal
daya dukung lingkungan terhadap kehidupan masyarakat sekitarnya. warga bisa dengan simpel
serta leluasa menikmati fungsi lingkungan yg terdapat.

pada lepas 15 februari 1985 pintu terowongan pengelak bendung Saguling ditutup, dan air mulai
mengairi tempat seluas lima.832 h. Ini merupakan awal berfungsinya waduk Saguling buat
pembangkit energi listrik serta pula dimanfaatkan buat keperluan irigrasi. Waduk Saguling
terletak pada Kabupaten Bandung Barat, daerah ini ialah waduk terbesar pada Indonesia. Waduk
Saguling ini memanfaatkan pengairan asal sungai Citarum, yang juga ialah sungai terbesar di
Jawa Barat. Waduk ini dimanfaatkan menjadi pemasok listrik buat wilayah Jawa-Bali yg
dikelola sang Indonesia Power, dan irigasi buat wilayah sekitarnya, selain itu waduk ini pula
dijadikan tempat wisata. Lokasi ini mempunyai lokasi yg relatif luas.semenjak dibangunnya
waduk ini, kurang lebih tahun 1991, mulailah bermunculan industri-industri terutama yang
berkiprah di bidang tekstil pada sepanjang DAS (daerah sirkulasi Sungai) Cipeusing serta
beberapa sungai lainnya. Industri-industri ini mengalami perkembangan terus menerus. Melalui
keberadaannya industri-industri ini jua menjadi suatu potensi yang baik pada penyedia lapangan
pekerjaan bagi sebagian masyarakat desa. Selain itu di awal didirikannya industri-industri ini,
antara masyarakat dan pihak industri telah mengadakan sebuah konvensi bahwa pihak industri
akan membangun atau mengadakan instalasi penyedia air higienis kepada rakyat. eksistensi
pihak industri ini pada awalnya memang menguntungkan bagi pengembangan kehidupan
masyarakat desa setempat.

Lambat laun dampak keberadaan pihak industri yang tadinya dirasakan positif berubah menjadi
sebaliknya. Lingkungan yg sebelumnya menyampaikan dukungan akbar bagi kehidupan rakyat
desa mulai terganggu fungsinya. Air sungai yg dahulu dapat dipergunakan buat mendukung
kegiatan atau aktivitas sehari-hari rakyat serta mata pencarian kini sudah tidak lagi dapat
digunakan, sebab rona air telah berubah menjadi lebih pekat serta berbau, bahkan kerap kali
menimbulkan penyakit bagi rakyat sekitar seperti seperti pusing, mual, serta gatalgatal.
masyarakat yg bermatapencarian sebagai seseorang nelayan pun harus mencari profesi lain buat
bisa tetap bertahan hidup. Realisasi asal konvensi pada awal buat membangun instalasi penyedia
air bersih memang sudah dilaksanakan, tetapi pada perjalanannya ternyata distribusi air bersih ke
tiap-tiap tempat tinggal tangga tak berjalan dengan baik, warga wajib menunggu giliran
selama 2 (2) hari sekali buat memperoleh air higienis. Lengkaplah sudah penderitaan yg dialami
rakyat setempat, dari syarat yg terdapat bisa disimpulkan bahwa eksistensi pihak industri waktu
ini telah tidak lagi mendukung pengembangan hidup warga / rakyat desa setempat.

berdasarkan koordinator Jejaring Keswadayaan masyarakat Menjaga Mutu Air Sungai


(JKM3AS) Rosadi, setidaknya terdapat enam sungai, yaitu Citarum, Citujunjung, Cipeusing,
Curug Orok, Cihaur, serta Angkrong, di Kabupaten Bandung Barat, yg mengalami kerusakan
karena limbah pabrik asal industri tekstil. Hal itu terjadi karena pengolahan IPAL pada masing-
masing industri belum aporisma bahkan ada beberapa industri yang tidak melakukan pengelolaan
limbah sama sekali. Industri-industri jenis yg terakhir ini biasanya membuang limbah sisa
produksinya melalui “saluran siluman” pada malam hari langsung ke dalam sungai. Akibatnya,
lebih kurang 20 desa menjadi korban pencemaran, baik udara juga air, itu semua merupakan
akibat berasal aktivitas kurang lebih 50 perusahaan industri.
rakyat yg diwakili oleh Jejaring Keswadayaan warga Menjaga Mutu Air Sungai (JKM3AS)
menyadari syarat lingkungan yg sudah mengalami pencemaran dan kerusakan sedemikian rupa,
yg menyebabkan turunnya daya dukung lingkungan terhadap penduduk setempat. Berangkat
berasal hal tersebut JKM3AS melaporkan syarat yg terdapat pada Dinas Lingkungan hidup
Kabupaten Bandung Barat. sehabis mengajukan laporan tadi, JKM3AS menunggu buat
diadakannya tindak lanjut berasal pihak dinas lingkungan hayati setempat atas kondisi yang
terdapat, tetapi sehabis menunggu beberapa bulan ternyata tindak lanjut tersebut tidak kunjung
tampak. rakyat (JKM3AS) akhirnya melakukan upaya sendiri dengan jalan melakukan
“verifikasi” terhadap air sungai Cipeusing. pembuktian yang dilakukan sang rakyat hanya
sebatas “memeha-menyuhu”, inilah kata yang dipergunakan sang JKM3AS waktu mereka secara
teratur selama beberapa minggu berturut-turut mengukur suhu dan pH (taraf keasaman) berasal
air sungai Cipeusing. “Memeha-menyuhu” ini mereka lakukan pada tiap-tiap tempat atau saluran
pembuangan limbah berasal beberapa perusahaan industri. Selanjutnya akibat asal “pembuktian”
yg dilakukan JKM3AS ini diolah ke dalam bentuk laporan data.

sesudah melakukan pengamatan selama beberapa ketika, JKM3AS jua mengirimkan gugatan
pada beberapa perusahaan industri. Isi somasi tersebut adalah mengingatkan pihak industri buat
melakukan pengelolaan limbah dengan baik atau dengan segera memperbaiki proses pengelolaan
limbah yg mereka miliki serta buat menghentikan pembuangan limbah yang belum dikelola
terlebih dulu, sebab semuanya itu bisa mengakibatkan air sungai tercemar. Sejalan menggunakan
pemberian somasi kepada pihak industri, JKM3AS kembali mengajukan pengaduan kepada
Dinas Lingkungan hidup setempat menggunakan melaporkan akibat-akibat temuan yang mereka
peroleh melalui “memehamenyuhu”. Walaupun perjuangan yang mereka lakukan permanen tak
mendapatkan respon yang baik dari Dinas Lingkungan hidup Kabupaten Bandung Barat, namun
setidaknya mereka meminta JKM3AS untuk menghasilkan pengaduan tertulis yang
ditandatangani oleh ketua Desa tempat dimana pencemaran itu terjadi.

selesainya membuat laporan tertulis dan diserahkan kepada Dinas LH Kabupaten Bandung
Barat, Dinas LH eksklusif mendatangi pihak industri buat melakukan perundingan , proses tadi
dilakukan tanpa terlebih dulu melakukan verifikasi terhadap laporan yang diajukan sang rakyat
setempat, serta tanpa mengikutsertakan masyarakat yg mengajukan laporan. Proses perundingan
dengan pihak industri ini pun dilakukan tanpa sepengetahuan rakyat (JKM3AS). selesainya
rendezvous antara Dinas Lingkungan hidup Kabupaten Bandung Barat dan pihak industri, warga
yg tidak mencicipi adanya perubahan sikap berasal pihak industri kembali mendatangi pihak
industri serta menyampaikan gugatan. Tindakan yg dilakukan sang masyarakat ini ditanggapi
oleh pihak industri dengan sebuah informasi yang mengejutkan, yakni pihak industri berkata
bahwa kasus pencemaran yang rakyat laporkan telah dinyatakan terselesaikan oleh Dinas LH
Kabupaten Bandung Barat.

masyarakat merasa terkejut serta tidak puas dengan tindak lanjut yang dilakukan oleh Dinas LH
Kabupaten, mereka merasa belum ada solusi yang nyata berasal yang akan terjadi rendezvous
tersebut dan mereka juga tidak dilibatkan pada proses negosiasi yg dilakukan oleh Dinas LH
Kabupaten menggunakan pihak industri. sesudah itupun warga tidak memperoleh liputan atau
konfirmasi tentang hasil akhir asal pengaduan yang mereka ajukan, sebagai akibatnya seolah-
olah nasib mereka dikatung-katungkan pada pihak yang belum tentu mengerti apa yg mereka
alami serta perjuangkan saat lingkungan mereka mengalami kerusakan.

Ketidakpuasan serta kekecewaan yang dirasakan oleh warga atas usaha mereka melaporkan
kerusakan dan pencemaran lingkungan yang terdapat tidak membentuk mereka berdiam diri.
Mereka berusaha mencari solusi lain menggunakan jalan melaporkan masalah tersebut kepada
dinas lingkungan hayati tingkat propinsi, yakni pada Badan Pengendalian Lingkungan hidup
wilayah propinsi Jawa Barat (BPLHD Jabar). setelah JKM3AS melaporkan perihal pencemaran
serta perusakan sungai Cipeusing, seminggu sesudahnya pihak BPLHD Jabar melakukan
verifikasi ke lapangan pada desa Giriasih yg diduga sudah terjadi pencemaran serta perusakan
lingkungan di dalamnya. pada proses pembuktian ini BPLHD Jawa Barat mengajak dan Dinas
Lingkungan hidup kabupaten Bandung Barat. sehabis memperoleh hasil pembuktian yang di
dalamnnya dinyatakan bahwa diduga telah terjadi pencemaran dan perusakan lingkungan
terhadap air sungai Cipeusing, pihak BPLHD Jabar melakukan pemanggilan kepada para pihak
buat melakukan fasilitasi guna menemukan jalan keluar atau solusi dari konkurensi tadi. Selang
waktu antara pembuktian serta pemanggilan para pihak yg bersengketa (pihak industri serta
warga / JKM3AS) buat masuk pada tahap fasilitasi merupakan sekitar 2 (dua) minggu. Proses
fasilitasi dilakukan sang warga terhadap sembilan (9) perusahaan/ industri, sebagai akibatnya
dilakukan secara bertahap.

c. Analisis perkara
Proses fasilitasi yang berlangsung pada hari Kamis, tiga April 2008 yg bertempat di kantor
BPLHD Jabar. Terminologi fasilitasi yg dipergunakan di sini memiliki pemahaman yang sama
menggunakan mediasi. Mediasi diadakan antara pihak masyarakat yg diwakili oleh JKM3AS
menggunakan 3 (3) usaha industri, yaitu PT. Central Texindo (CT), PT. Central Mulya
Citanitindo (CMC), dan PT. Sinar Makin Mulya 2 (SMM dua). Ketiga perjuangan industri ini
membuang limbah buangan sisa produksinya ke sungai Cipeusing.

Penyelesaian konkurensi melalui mediasi antara masyarakat yang diwakili oleh pihak JKM3AS
dengan pihak industri ini ialah pilihan penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan.
BPLHD Jabar bertindak sebagai mediator. di hari serta kawasan yg sudah ditentukan sesuai
menggunakan surat panggilan yang diberikan oleh BPLHD Jabar kepada para pihak sebelumya,
warga dan pihak industri serta perwakilan berasal Dinas Lingkungan hidup Kabupaten Bandung
Barat pun berkumpul pada kantor BPLHD Jabar yg bertempat pada jalan Naripan, kota Bandung.
Mediasi dimulai kurang lebih pukul 10.00 WIB. Para pihak yang hadir di proses mediasi ialah:

warga yg berdomisili di desa Giriasih, diwakili sang lebih kurang 6 orang (JKM3AS, tokoh
warga desa, warga )

1) Pihak industri:

- PT. Central Texindo.

- PT. Central Mulya Citanitindo.

- PT. Sinar Makin Mulya.

2) Dinas Lingkungan hayati kabupaten Bandung Barat, diwakili oleh bapak Agus Hartawan
selaku kepala kantor dinas lingkungan hayati kabupaten serta bapak Ahmad Sanusi pegawai
dinas lingkungan hidup wilayah kabupaten Bandung Barat.

3) perantara yg dari berasal BPLHD Jabar terdiri atas dua (3) orang, yaitu mediator primer
yg diperankan sang ibu Erlina serta dua (dua) orang co-perantara yakni bapak Udan Kusdana
selaku ketua subbidang fasilitasi konkurensi lingkungan serta penyidik pegawai negeri sipil
lingkungan hayati pada BPLHD propinsi Jawa Barat (PPNS).
dalam proses mediasi rancangan kesepakatan sudah lebih dulu dibuat sang pihak BPLHD
propinsi Jabar. Rancangan konvensi dirancang per perkara, yg pertama merupakan rancangan
kesepakatan antara masyarakat desa menggunakan CT, kedua antara warga desa menggunakan
CMC, serta yg terakhir antara warga desa menggunakan SMM 2. Mediasi dimulai menggunakan
pihak BPLHD propinsi memberikan rancanganrancangan konvensi tadi pada setiap orang yang
hadir di ruangan tadi.

sehabis rancangan kesepakatan dibagikan mediasi dimulai pertama kali menggunakan


membahas rancangan kesepakatan antara rakyat desa menggunakan CT. Pembahasan dilakukan
pasal per pasal. bila ada hal-hal yang tidak disetujui oleh para pihak maka mereka bebas
mengemukakan pendapatnya. perantara dalam proses ini terlebih dulu akan membacakan suara
pasalnya lalu para pihak akan memberi tanggapan apakah mereka setuju atau tidak setuju
menggunakan isi rancangan tersebut.

Ketentuan awam berisikan definisi asal kata-kata yang berlaku pada lingkup lingkungan hayati
dan kata-istilah yg akan dipergunakan dalam kesepakatan nantinya, mirip pencemaran
lingkungan hayati, perusakan lingkungan hidup, sengketa lingkungan hidup, pemerintah
propinsi, para pihak, serta lain sebagainya. kemudian pada bagian temuan lapangan dan tuntutan
rakyat dituangkan secara awam kondisi yg terjadi di lapangan, terutama syarat pengelolaan
limbah residu produksi pada tiap-tiap perusahaan (industri) serta tuntutan warga terkait
menggunakan kondisi yg ada di perusahaan itu. Bagian ketiga yakni yang akan terjadi
kesepakatan , dalam bagian ini BPLHD mencocokkan antara syarat atau hasil temuan mereka di
lapangan dengan kondisi yg seharusnya terjadi (yang sesuai menggunakan ketentuan Undang-
Undang Lingkungan yang berlaku) serta di gabungkan dengan tuntutan rakyat lalu di atas
namakan menjadi tuntutan rakyat dalam rancangan kesepakatan . Bagian terakhir atau ketentuan
epilog mengemukakan bahwa jika ada hal-hal lain yang belum dibicarakan dalam kesepakatan
tadi maka akan dibicarakan secara musyawarah serta sebagai bagian asal konvensi itu jua, serta
konvensi yg sudah dibuat berlaku sejak tanggal ditetapkannya, yaitu lepas ketika proses mediasi
itu berlangsung.

Pembahasan rancangan konvensi terus berlanjut ke perusahaanperusahaan berikutnya. Proses


mediasi antara rakyat desa dengan pihak CMC dan SMM dua selanjutnya berlangsung tidak
jauh berbeda dengan proses pembahasanpembahasan pada antara warga desa menggunakan
pihak CT. pada pembahasan rancangan konvensi para pihak tak terlalu banyak memberikan
masukan atau mengajukan usulan perubahan terhadap rancangan yang sudah disediakan sang
pihak BPLHD. bila ada ketidaksetujuan hal tersebut hanya terkait menggunakan terminologi
yang diminta untuk lebih diperhalus (terkhusus untuk pihak industri supaya tidak merugikan
reputasi mereka di lalu hari) serta jangka saat pada merealisasikan yang akan terjadi kesepakatan
yang terdapat. Pihak industri lebih cenderung meminta jangka saat yg sedikit lebih panjang
dibandingkan menggunakan tuntutan yang diajukan, karena dari mereka ini terkait menggunakan
kapasitas mereka pada menjalankan hasil kesepakatan bersamaan dengan proses produksi yang
harus permanen berjalan.

di bagian awal kronologis perkara ini disebutkan jua ada pihak Dinas Lingkungan hayati
kabupaten Bandung Barat yg turut serta dalam proses mediasi. Pihak Dinas LH dalam proses
mediasi ini lebih berfungsi pada menjabarkan hasil-hasil temuan yang mereka peroleh di tahap
pembuktian yg dilakukan beserta menggunakan pihak BPLHD Jawa Barat. namun selama
berjalannya proses mediasi Dinas LH sempat melakukan tekanan-tekanan kepada salah satu
pihak industri. pada waktu itu perantara BPLHD propinsi Jawa Barat tak berusaha buat
menetralkan suasana pada antara 2 belah pihak.

pada proses mediasi pihak masyarakatpun turut aktif dalam mengemukakan tuntutan mereka
terhadap kondisi lingkungan tempat mereka tinggal yg telah terganggu fungsinya sang aktifitas
pihak industri. pada proses mediasi ini warga desa sama sekali tidak meminta ganti rugi berupa
uang, mereka hanya menuntut dilakukannya tindakan tertentu berupa pembenahan sistem atau
instalasi pengolahan air limbah (IPAL) asal pihak industri, sehingga air limbah residu proses
produksi yg dibuang ke sungai Cipeusing tidak mengakibatkan pencemaran atau perusakan
lingkungan. masyarakat juga menuntut agar pihak industri beserta-sama dengan pihak
masyarakat melakukan penghijauan pada kurang lebih daerah pabrik guna melestarikan
lingkungan lebih kurang mereka demi kenyamanan beserta.

di bagian akhir mediasi di mana pembahasan terhadap semua rancangan kesepakatan telah
selesai, mediator meminta perwakilan asal para pihak untuk menandatangani rancangan
kesepakatan tersebut. semua pihak yg menandatangani ditempatkan menjadi saksi-saksi pada
rancangan kesepakatan . Sedangkan para pihak yang seharusnya menandatangani konvensi tadi
ialah ketua Desa Giriasih, Direktur Perusahaan yang terkait, serta kepala BPLHD propinsi Jawa
Barat. Ketiga komponen yg pertanda tangannya diharapkan pada kesepakatan ini semuanya tak
hadir pada proses mediasi yg diselenggarakan.

Proses fasilitasi yg berlangsung antara warga desa serta tiga (3) perjuangan industri mirip yg
telah dijelaskan sebelumnya merupakan sebuah proses mediasi, sebab jika mengacu di unsur-
unsur yang terdapat pada suatu mediasi, yaitu:

1) Sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan .

dua) Adanya pihak ketiga yg bersifat netral yang diklaim menjadi mediator (penengah) terlibat
dan diterima sang para pihak yg bersengketa pada dalam perundingan itu.

3) perantara tadi bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari
penyelesaian atas problem-persoalan konkurensi.

4) perantara tidak memiliki kewenangan menghasilkan keputusan-keputusan selama proses


negosiasi berlangsung.

lima) mempunyai tujuan untuk mencapai atau membentuk kesepakatan yang dapat diterima
pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa

4) kendala Penyelesaian konkurensi Lingkungan pada Luar Pengadilan

pada pada Pasal 85 UUPPLH, penyelesaian sengketa lingkungan dapat dilakukan melalui jasa
perantara dan atau arbiter. sementara di pada Pasal 86 dijelaskan bahwa penyedia jasa bisa
dibuat sang warga yg difasilitasi oleh pemerintah yg bersifat bebas dan tidak memihak, baik
oleh pemerintah serta/atau masyarakat. galat satu contoh media yg berkembang dalam
penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan merupakan melalui media Alternative
Disputes Resolution yang mencakup proses ligitasi, perundingan , mediasi, konsolidasi,
pencarian warta, serta arbitrase.

menjadi perkembangan hukum lingkungan dipergunakan “Asas Strict Liability” serta “Asas
verifikasi Terbalik” dalam penegakan aturan lingkungan dimana pelaku pencemaran/perusakan
lingkungan bertanggung jawab terhadap perbuatannya seketika pada ketika terjadinya
pencemaran/ perusakan lingkungan tanpa wajib dibuktikan terlebih dahulu adanya unsur
“kesalahan”. Selain itu beban pembuktian diletakkan pada pelaku pencemaran/perusakan
lingkungan (tergugat), dia harus menerangkan bahwa beliau tak dapat dipersalahkan atas
kerugian yang terjadi. Kesalahan diklaim terdapat kecuali tergugat bisa menerangkan sebaliknya.

pada dalam penegakan aturan lingkungan terutama dalam upaya mengajukan ganti kerugian
terhadap pencemaran lingkungan masih ditemukan beberapa hambatan yg relatif merusak,
diantaranya :

a. Walaupun sudah poly peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah dalam


pengelolaan lingkungan hidup tapi dalam pelaksanaannya masih poly mengalami hambatan-
kendala buat mencapai prinsip-prinsip penyelesaian sengketa, terutama menyangkut nominal dan
bentuk ganti rugi. dari sekian poly peraturan, belum terlihat secara jelas kriteria, istiadat
perhitungan ganti rugi secara komprehensif serta aspiratif, buat menghindari silang
pendapat/perbedaan pandangan para pihak, maka diperlukan kajian ilmiah serta teknologi dan
pendapat para pakar, buat meyakinkan para pihak ihwal keadaan sebenarnya, sebagai akibatnya
para pihak dapat memahami dan tidak bertahan pada posisinya, tidak terdapat rasa curiga serta
mengajukan tuntutan yg rasional buat musyawarah agar bisa istilah sepakat.

b. Sulitnya penegakan hukum administrasi pada rangka pengelolaan lingkungan, jika


dihadapkan menggunakan keputusan administratif berupa pencabutan biar usaha yg akan
berdampak secara sosiologis irit, dapa menimbulkan friksi asal masyarakat/lembaga Swadaya
rakyat (LSM) buat mengajukan perkara pencemaran serta perusakan ke sidang pengadilan.Hal yg
paling sulit buat membawa masalah-masalah lingkungan ke pengadilan artinya duduk perkara
verifikasi dan kesaksian. verifikasi dimaksudkan untuk menunjukan secara yuridis ihwal sudah
terjadinya tindak pidana lingkungan, sebagaimana diatur dalam pasal 183 sampai dengan pasal
189 KUHAP. pada verifikasi tindak pidana lingkungan, dipergunakan pendekatan masalah
lingkungan yg bersifat komprehensif, buat itu dituntut kemampuan untuk menterjemahkan berita
menurut ilmu pengetahuan (science evidence) sebagai liputan hukum (sah evidence). sebab itu
verifikasi tindak pidana lingkungan, didominasi oleh kabar pakar serta hasil analisis laboratoris,
yang harus didukung oleh alat bukti lain. perseteruan akan muncul bila Hakim mewaspadai yang
akan terjadi analisis laboratoris atas sampel dari unsur lingkungan yang tercemar, menggunakan
demikian maka hakim akan memerintahkan penelitian ulang yang kemungkinan hasilnya akan
bisa tidak sinkron. disparitas tersebut bisa terjadi, antara lain sebab : Faktor alam, sungai yg
ternoda lalu tertimpa air hujan dapat menyebabkan pertambahan debit air tersebut menetralizir
zatzat pollutan, setidak-tidaknya menurunkan tingkat intensitasnya, sehingga hasilnya sungai tadi
tak ternoda lagi namun hanya terkontaminasi dan masih pada batas-batas yang bisa ditoleransi.
perbedaan wahana seperti laboratorium, juga bisa mengeluarkan hasil yang tidak selaras.
diharapkan suatu kebijakan tentang pembakuan atau baku yang memiliki nilai juridis pada
penetapan mengenai tatacara atau teknik-teknik pengambilan sampel, penunjukan laboratorium
dan lain-lain.

c. Masih belum optimalnya kiprah Badan Lingkungan hidup menjadi institusi pengendalian
dampak lingkungan, karena kiprah tadi secara hukum masih melekat di instansi-instansi sektoral
sebab belum adanya kewenangan secara penuh untuk melakukan pengawasan dan
memerintahkan buat melaksanakan audit lingkungan bila diduga suatu aktivitas atau perjuangan
melakukan defleksi pada pengelolaan lingkungan.

d. di dalam musyawarah penyelesaian sengketa yg menjadi hambatan adalah disparitas


pandangan antara pencemar dan penuntut, dimana pihak pencemar berpandangan sesuai hukum
serta prosedur ad interim rakyat atau penuntut mengenyampingkan hal tadi, melainkan sesuai
kehendak dan kebiasaan di pada warga sebagai akibatnya nilai tuntutan serta kesanggupan
sangat jauh perbedaannya.

D. Penutup

1. Kesimpulan

berdasarkan uraian yg sudah disampaikan di atas maka bisa ditarik kesimpulan yaitu sebagai
berikut :

a. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup pula dapat dilakukan melalui pengadilan atau
diluar pengadilan dalam hal ini bisa dijelaskan didalam UndangUndang nomor 32 Tahun 2009
ihwal proteksi serta Pengelolaan Lingkungan hidup pada Bab XIII bagian kesatu yg terdapat
didalam pasal 84 ayat (1,dua,3) yg menyatakan: ayat (1) “penyelesaian konkurensi lingkungan
hidup dapat ditempuh melalui pengadilan. di ayat (dua) “pilihan penyelesaian sengketa
lingkungan hidup dilakukan secara sukarela sang para pihak yg bersengketa. pada ayat (tiga)
”gugatan melalui pengadilan hanya bisa ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa diluar
pengadilan yg dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh satu atau para pihak yang bersebngketa”.
sinkron yang diamanatkan pada pasal tadi bisa pada interpretasikan bahwa penyelesaian sengketa
lingkungan hidup bisa dilakukan dengan melalui jalur mediasi di lingkungan pengadilan serta
pada luar lingkungan pengadilan yg sudah dapat disepakati para pihak yg bersengketa.

b. Bagi para pihak yg berperkara mediasi bertujuan buat (a) tercapainya penyelesaian
konkurensi yang membuat keputusan yg dapat diterima sang semua pihak sehingga para pihak
tidak menempuh upaya banding dan kasasi, (b) penyelesaian perkara lebih cepat serta biaya
murah, (c) hubungan baik para pihak yang bersengketa tetap dapat dijaga, serta (d) lebih tinggi
taraf kemungkinan buat melaksanakan kesepakatan . Sedangkan bagi pengadilan, tujuan mediasi
merupakan (a) mengurangi stagnasi serta penumpukan perkara (cour cogestion) dipengadilan,
serta (b) memperlancar jalur keadilan (acces to justice) di masyarakat. menggunakan demikian
diharapkan para pihak yang sudah bisa menyelesaikan perundingan menggunakan jalur mediasi
diluar pengadilan buat melakukan somasi kepengadilan sebagai pengukuhan kasus mereka
kedalam putusan hakim yang nantinya dimasukkan kedalam akta kesepakatan (akta van dading)
guna tidak bisa lagi buat dieksekusi nantinya bila para pihak yg mungkin mungkir dari
kesepakatan perdamaian yang telah dirundingkan menggunakan dibantu oleh mediator, dan
perantara berhak nantinya untuk melakukan pengukuhan kesepakatan perdamaian tersebut
kepengadilan.

c. Kementerian Lingkungan hidup memiliki kiprah dalam menuntaskan konkurensi di luar


pengadilan melalui mediasi. Pilihan hukum penyelesaian konkurensi lingkungan hidup diluar
Pengadilan diatur dalam Peraturan Menteri nomor 4 tahun 2013 tentang pedoman Penyelesaian
sengketa Lingkungan hayati, yang mana penyelesaian sengketa pada luar Pengadilan sesuai
kepada konvensi para pihak. Menteri KLH atau para kepala wilayah yg menentukan
penyelesaian sengketalingkungan hidup melalui pengadilan akan berperan menjadi fasilitator
kepada para pihakyang sedang bersengketa.

Saran

Peranan mediasi untuk merampungkan konkurensi lingkungan hidup dirasakan lebih baik karena
lebih mengoptimalkan upaya preventif. Upaya preventif diperlukan tak hanya buat memperbaiki
lingkungan hidup yg sudah rusak atau terkotori, melainkan pula merumuskan hal-hal apa saja yg
wajib dilakukan buat mencegah terjadinya pencemaran maupun perusakan lingkungan di
kemudian hari.

Hendaknya para pihak yang menentukan mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa
lingkungan hidup lebih memerhatikan faktor-faktor yg dapat Mengganggu proses mediasi itu
sendiri. sehingga nantinya mediasi menjadi lebih efektif pada hal menuntaskan sengketa
lingkungan hidup. namun demikian, penyelesaian sengketa di luar pengadilan diharapkan
sosialisasi serta konvensi para pihak serta perlu dikuatkan, sebagai akibatnya penyelesaian
konkurensi lingkungan hidup bisa berjalan menggunakan cepat serta tidak semata-mata buat
memberikan kompensasi namun pula buat pemugaran lingkungan hidup yg rusak.

Daftar Pustaka

Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup.


Undang-Undang No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Peraturan Makamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentnag Prosedur Mediasi Di Pengadilan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 4 tahun 2013 tentang Pedoman Penyelesaian
Sengketa Lingkungan Hidup
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor
P.16/MENLHK/SETJEN/SET.1/8/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian
Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Tahun 2020-2024.
Abdurrahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung, 1998.
Brian Baxter, A Theory of Ecological Justice, London and New York, Routledge Taylor &
Francis Group, 2005.
Christina Voight, Rule of Law For Nature, The Principle of Sustainable Development:
Integration and Ecological Integrity, United Kingdom, Cambridge University Press, 2013.
David Nicholson, Environmental Dispute Resolution In Indonesia, Brill, 2009.
David Schlosberg, Defining Environmental Justice, Theories, Movements, and Nature, New
York, Oxford University Press, 2007.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama, 2008
Ditjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, PSLH di luar Pengadilan, materi sosialisasi, 2019.
Garry Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, terjemahan Nagor Simanjuntak, Proyek
Ellips, Jakarta, 1999.
Goldberg et al, Dispute Resolution, Negotiation, Mediation, Arbitration and Other Processes,
Sixth Edition, New York, Wolter Kluwer law & Business, 2012, page Association of the
BAR of The City of New York.
Hans Sjogren dan Goran Skogh, New Persepctive on Economic Crime, USA, Edward Elgar
Publishing Limited, 2004.
Jacqueline M. Nolan Haley, Alternatif Dispute Resolution In A Nutshell, West Publishing Co,
St. Paul Minnesota, 1992.
Jur. Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Cet ke-1, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Ed. VII, Cet. Ke-17, Gajah Mada
University, Yogyakarta, 1991.
Koesnadi Hardjasoemantri, Sebuah Studi Tentang Kankyo Kihon Ho (Undang-Undang
Lingkungan Hidup Jepang 1993), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1996.
Leonardo V.P. de Oliveira, Sara Hourani, Ed Access to justice in Arbitration: Concept, Context
and Practice, ISBN 9789403506913, Kluwer Law International, 2020.
Mas Achmad Santosa, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan (Class Actions), ICEL,
Jakarta, 1997.
Michael L. Moffitt and Robert C. Bordone, The Handbook of Dispute Resolution, United States,
Jossey-Bass A Wiley Imprint, 2005.
Nurd’a dan Sudharsono, Aspek Hukum, SatyaWacana, 1991, Semarang.
P. Joko Subagyo, Hukum Lingkungan Masalah Dan Penanggulangannya, Cet ke-2, PT Rineka
Cipta, Jakarta, 1992.
Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, Cet
ke-1, PT Rineka Cipta, 2005, Jakarta.
Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, Cet
ke-1, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2005.
Siti Sundari Rangkuti, HetBiginsel “De Vervuiler Betaalt”, Rijksuniversiteit Te Leiden, Faculteit
Der Rechtsgeleerheid, 1978.
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga
University Press Surabaya, 1996.
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga
University Press, Surabaya, 1996.
Siti Sundari Rangkuti, Inovasi Hukum Lingkungan Dari Ius Constitutum ke Ius Constituendum,
Airlangga University Press, Surabaya, 1991.
Stephen B. Golberg et al., Dispute Resolution: Negosiation, Mediation, and Other Processes,
Little, Brown and Company, Boston-Toronto-London, 1992.
Abdul Haseeb Ansari, Muhamad Hassan Bin Ahmad and Sodiq Omoola, Alternative Dispute
Resolution In Environmental And Natural Resource Disputes, Indian Law Institute, Journal
of the Indian Law Institute 1, Vol. 59, January-March 2017.
Adrian Vermeule, Rationally Arbitrary Decisions in Administrative Law, The University of
Chicago Press for The University of Chicago Law School, The Journal of Legal Studies,
Vol. 44, No. S2, Developing Regulatory Policy in the Context of Deep Uncertainty: Legal,
Economic, and Natural Science Perspectives (June 2015).
Amy Cohen, On Compromise, Negotiation, and Loss, American Society for Political and Legal
Philosophy, Nomos, Vol. 59, (2018).
JG Mowatt, Alternative dispute resolution: some points to ponder, Institute of Foreign and
Comparative Law, The Comparative and International Law Journal of Southern Africa 1,
Vol. 25, March 1992.
K. Hawkins, Creating Cases in a Regulatory Agency, Urban Life, Vol. 12, No. 4, 1984.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Direktorat Jenderal Penegakan hukum
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rencana Aksi Direktorat Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup Tahun 2019, Bab II Rencana Aksi, tabel Indikator Kinerja Kegiatan
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup TA 2019.
Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana Hukum Lingkungan, Teori, Legislasi, dan Studi Kasus,
USAID, Kemitraan Partnership dan Asia Foundation, 2015
Lucia A Silecchia, Conflicts and Laudato Si’, Florida State University College of Law, Journal
of Land Use & Environmental Law , Vol. 33, No. 1 (Fall, 2017).
Muzakkir Abubakar, Hak Mengajukan Gugatan dalam Sengketa Lingkungan Hidup, Kanun
Jurnal Ilmu Hukum 1, Vol 21, April 2019.
Richard A. Epstein, From Common Law to Environmental Protection How the Modern
Environmental Movement Has Lost Its Way, The University of Chicago Press, Supreme
Court Economic Review, Vol. 23 (2015).
Siti Sundari Rangkuti, Reformasi Bidang Hukum Lingkungan, Suara Pembaruan, Jakarta, 26
Maret 1999.
http://www.fmladr.com/services.html.available, diakses tanggal 29 Nov 2021

Anda mungkin juga menyukai