Disusun guna memenuhi Tugas Terstruktur 2 dan Ujian Akhir Semester mata
kuliah Hukum Lingkungan
Disusun oleh:
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2023
PENDAHULUAN
1 Safaat, R., dkk. (2022). Hak Warga Negara dan Kewajiban Negara dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumber
Daya Alam. Intelegensi Media. Malang. Hal. 267.
2 Harjono. (2008). Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa Pemikiran Hukum Dr. Harjono, S.H., M.C.L.
Wakil Ketua MK. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Jakarta. Hal.
176.
3 Ibid.
Sudikno Mertokusumo menyatakan ada dua jenis tuntutan hak yakni;
1. Tuntutan hak yang mengandung sengketa disebut gugatan, dimana sekurang-
kurangnya ada dua pihak. Gugatan termasuk dalam kategori peradilan
contentieus (contentieus jurisdictie) atau peradilan yang sesungguhnya.
2. Tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa disebut permohonan, dimana
hanya terdapat satu pihak saja. Permohonan termasuk dalam kategori
peradilan volunteer atau peradilan yang tidak sesungguhnya.
Sehingga menurut doktrin tersebut, maka tuntutan hak dari penggugat dalam
konteks gugatan atas kerusakan lingkungan hidup adalah tuntutan hak yang
mengandung sengketa.
Makalah ini akan membahas secara singkat terkait legal standing dalam gugatan atas
hak lingkungan hidup. Tujuannya adalah untuk mencari tahu dan menganalisis hak dan
kewajiban masyarakat Indonesia dalam turut menjaga stabilitas lingkungan hidup
menurut konstitusi.
2.1. Pihak yang Dapat Mengajukan Gugatan Atas Hak Lingkungan Hidup
Syarat subjek hak gugat atas lingkungan hidup di Indonesia dijelaskan secara umum
dalam UUD NRI Tahun 1945 dan dibahas secara spesifik dalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup atau disingkat UUPLH. Di dalam
UUD NRI Tahun 1945 telah diberikan hak gugat kepada masyarakat secara umum atas
persoalan lingkungan hidup, tepatnya pada Pasal 28H ayat (1) yang berbunyi; “Setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan Kesehatan”.
Sementara menurut Pasal 38 ayat (1) UUPLH, organisasi lingkungan hidup memiliki hak
gugat dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Sehingga, berdasarkan dua dasar hukum maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat
Indonesia baik secara individu/perseorangan maupun sebagai badan hukum, memiliki
hak untuk menggugat atas permasalahan lingkungan hidup yang merugikan kelestarian
dan stabilitas lingkungan hidup. Namun apabila dilakukan analisis dengan metode
interpretasi secara perdata, maka dapat ditentukan subjek sengketa lingkungan yakni
“para pihak yang berselisih”.4
Pasal 37 UUPLH kemudian memberikan pengaturan gugatan perwakilan yang
menjadi simbol “kemajuan” UUPLH dan merupakan pengakuan pertama atas class
action dalam peraturan perundang-undangan nasional di Indonesia. Class action
berbeda dengan lus standi lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau Organisasi
Lingkungan Hidup (OLH) yang disebutkan dalam UUPLH. Pasal 38 UUPLH memberi
pengaturan mengenai hak menggugat/ius standi/standing to sue atau legal standing
Organisasi Lingkungan Hidup.5
Pasal 37 ayat (1) UUPLH sendiri menyatakan bahwa masyarakat yang dirugikan atas
adanya pencemaran lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan perwakilan ke
pengadilan. Dalam penjelasannya, Pasal 37 ayat (1) memaknai gugatan perwakilan
sebagai gugatan yang diajukan oleh sekelompok kecil masyarakat untuk mewakili
masyarakat secara luas yang juga dirugikan atas permasalahan, dasar hukum, atau
tuntutan yang sama terhadap pencemaran lingkungan hidup.
Atas dasar peraturan perundang-undangan tersebut, maka pihak yang memiliki legal
standing dalam perihal gugatan terkait hak lingkungan hidup adalah orang, baik
4Sawitri, H. W., & Bintoro, R. W. (2010). Sengketa Lingkungan dan Penyelesaiannya. Jurnal Dinamika Hukum, 10(2),
163-174.
5
Ibid.
perseorangan atau secara berkelompok yang dirugikan secara langsung oleh
pencemaran lingkungan dan organisasi lingkungan hidup yang berkepentingan untuk
menjaga kelestarian lingkungan.
Terkait dengan penggunaan hak gugat LSM, kasus sengketa antara WALHI vs PT
Lapindo telah memberikan pemahaman tentang hak atau kedudukan hukum
organisasi lingkungan. Berdasarkan Putusan No.284/Pdt.G/2007/PN.Jak.Sel terkait
perkara WALHI vs PT Lapindo, dapat diketahui bagaimana keberadaan hak gugat itu
diuraikan. Penggugat adalah sebuah organisasi yang berbentuk yayasan bernama
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), yang didirikan sejak tanggal 15
Oktober 1980. Berdasarkan Pasal 2 Ayat 2 yang ada pada anggaran dasarnya, tujuan
pendirian penggugat adalah untuk mewujudkan transformasi sosial menuju tatanan
6
Machmud, S. (2012). Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia: Penegakan Berdasarkan
Hukum Administrasi, Hukum Perdata, dan Hukum Pidana Menurut Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009. Graha Ilmu. Jakarta. Hal. 201.
yang demokratis untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pengelolaan lingkungan
hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat, keadilan dan keberlanjutan sistem
kehidupan. Sehingga terpampang jelas jika tujuan pendirian penggugat adalah untuk
upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup.
Kepentingan hukum dan legal standing WALHI dalam mengajukan gugatan bagi
kepentingan penyelamatan lingkungan hidup telah diakui dalam praktek pengadilan
dan menjadi yurisprudensi, antara lain;
a. Putusan Perkara Inti Indorayon Utama (IIU) pada tahun 1989, dalam perkara
Nomor: 820/Pdt.G/1988/PN.JKT.PST di mana Majelis Hakim mengakui hak
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) untuk mewakili kepentingan
umum/publik dalam hal ini kepentingan lingkungan hidup. Putusan ini kemudian
diadopsi dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup yang baru, yaitu Undang-
Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup;
b. Putusan Sela Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor:
75/G.TUN/2003/PTUN.JKT. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) juga
diakui haknya untuk mewakili kepentingan umum/publik sebagai TERGUGAT
INTERVENSI II dalam rangka membela kepentingan lingkungan hidup;
c. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 060/PUU-II/2004 tentang
Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan;
d. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-II/2005 tentang
Pengujian Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 tentang Perubahan
UndangUndang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap Undang-
Undang Dasar 1945.
PENUTUP
3. Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa;
1. Atas dasar Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 38 ayat (1) UUPLH, maka pihak yang
memiliki legal standing dalam perihal gugatan terkait hak lingkungan hidup
adalah orang, baik perseorangan atau secara berkelompok yang dirugikan
secara langsung oleh pencemaran lingkungan dan organisasi lingkungan
hidup yang berkepentingan untuk menjaga kelestarian lingkungan.
2. Penerapan penggunaan legal standing telah ditunjukkan oleh WALHI dalam
Putusan No.284/Pdt.G/2007/PN.Jak.Sel terkait perkara WALHI vs PT Lapindo.
DAFTAR PUSTAKA
Harjono. (2008). Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa Pemikiran Hukum Dr. Harjono, S.H.,
M.C.L. Wakil Ketua MK. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Jakarta. Hal. 176.
Safaat, R., dkk. (2022). Hak Warga Negara dan Kewajiban Negara dalam Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam. Intelegensi Media. Malang. Hal. 267.
Sawitri, H. W., & Bintoro, R. W. (2010). Sengketa Lingkungan dan Penyelesaiannya. Jurnal
Dinamika Hukum. Hal. 163-174.