Anda di halaman 1dari 16

NAMA : Alvina Olivia Sitorus

NIM : 200200013
GRUP :A
MATAKULIAH : Hukum Lingkungan
SEMESTER :V
DOSEN : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS

Jawaban UAS Hukum Lingkungan

1. A. Penegakan Hukum Lingkungan bila ditinjau dari bidang Perdata


berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup adalah sebagai berikut:
Pengertian dari Penegakan Hukum itu sendiri adalah suatu proses
dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum
secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-
hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.1
Proses Penegakan Hukum Lingkungan melalui Prosedur Perdata
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat itu dapat ditempuh melalui
pengadilan atau diluar daripada pengadilan berdasarkan pilihan secara
sukarela para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa diluar
pengadilan tersebut tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup.
Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar
pengadilan, gugatan melalu pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya
tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang
bersengketa. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan diselenggarakan untuk
mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi atau
mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau
terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.

1
Andi Hamzah, Penegakkan Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 48
Pemerintah dan/atau masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa
pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan
tidak berpihak.2
a). Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan yaitu
perihal Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan dalam UUPPLH tersebut
diatur di dalam Pasal 87 yaitu sebagai berikut:
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau
lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan
tindakan tertentu.
(2) Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan
bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar
hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban
badan usaha tersebut.
(3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari
keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
(4) Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundang-
undangan.3

b). Perihal Tanggung Jawab Mutlak diatur dalam Pasal 88 UUPPLH yang
menyatakan bahwa setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau
kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah
B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan
hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu

2
Reza.C.N.C Penegakkan Hukum Lingkungan ditinjau dari Sisi Hukum Perdata dan Pidana
berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009, dikutif dari situs http://reza.cnc.blogspot.com/2011/04
dikunjungi pada tanggal 8 Januari 2023 pukul 11.41 WIB.
3
Pasal 87 UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
pembuktian unsur kesalahan.4
Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari
kewajiban membayar ganti rugi jika yang bersangkutan dapat
membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
disebabkan oleh:
- adanya bencana alam atau peperangan; atau
- adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
- adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup
Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga,
pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi.

c). Tenggat Kedaluwarsa untuk Pengajuan Gugatan


Pasal 89 UUPPLH
ayat (1) Tenggat kedaluwarsa untuk mengajukan gugatan ke pengadilan
mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan dihitung sejak diketahui adanya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
ayat (2) Ketentuan mengenai tenggat kedaluwarsa tidak berlaku terhadap
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh
usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan dan/atau mengelola B3 serta
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3.5

d). Hak Masyarakat dan Hak Organisasi Lingkungan Hidup untuk


Mengajukan Gugatan yaitu sebagai berikut:
- Hak Gugat Masyarakat pada UUPPLH diatur dalam Pasal 91
ayat (1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok

4
Pasal 88 UUPPLH
5
Pasal 89 UUPPLH
untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat
apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.
ayat (2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau
peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan
anggota kelompoknya.
ayat (3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

- Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup pada UUPPLH diatur dalam


Pasal 92
ayat (1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak
mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan
hidup.
ayat (2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan
tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau
pengeluaran riil.
ayat (3) Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila
memenuhi persyaratan:
a. berbentuk badan hukum;
b. menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut
didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya
paling singkat 2 (dua) tahun.6

B Perbedaan gugatan keperdataan di bidang lingkungan hidup dengan


gugatan keperdataan di bidang lainnya yaitu sebagai berikut:
6
Pasal 91 dan 92 UUPPLH
1. Gugatan Perdata Dalam Undang Undang No 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang berwenang mengenai suatu tuntutan terhadap
pihak lainnya dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh
pengadilan serta kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut.
Gugatan lingkungan hidup diatur dalam Undang-Undang no.32 tahun
2019 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(selanjutnya disingkat dengan UUPLH). Gugatan Perdata merupakan
salah satu cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui
pengadilan (Pasal 84 ayat (1)) Sengketa lingkungan hidup adalah
adalah sengketa perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul
dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada
lingkungan Hidup (Pasal 1 angka 25 UUPPLH). Gugatan melalui
pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa
di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah
satu atau para pihak yang bersengketa (Pasal 84 ayat (3)).
Ada berbagai macam gugatan perdata dalam penyelesaian lingkungan
hidup antara lain: gugatan biasa, gugatan class action, gugatan
organisasi lingkungan, dan gugatan pemerintah. Jika dilihat macam-
macam gugatan tersebut dapat kita ketahui subyek yang dapat
melakukan gugatan tersebut, yaiu antara lain individu/ Badan Usaha,
Perwakilan masyarakat, Organisasi Lingkungan Hidup dan
Pemerintah. Dasar pertanggung jawaban gugatan tersebut dibagi
menjadi dua yaitu perbuatan Melawan Hukum (PMH Pasal 1365 KUH
Perdata yaitu diebut tanggung gugat tersebut dapat di dasarkan
kesalahan) dan strict liability (tanggung jawab mutlak atau tanggung
gugat tanpa kesalahan). Ketentuan tanggung gugat tersebut dapat
diketemukan pada Pasal 87 (1) yaitu mengatur bahwa setiap
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan
melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan
hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan
tertentu (tanggung gugat berdasar kesalahan). Ada yang menarik dari
bentuk ganti kerugian dalam hukum lingkungan ini, yang dimana
dalam Pasal 87 ayat (3) UUUPPLH, antrara lain ditegaskan bahwa
“Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap
setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
Bahkan dalam ayat (4) telah ditetapkan besarnya uang paksa itu.
Dengan demikian, ganti rugi merupakan kewajiban yang harus
dipenuhi, dan jika tidak dipenuhi akan diambil tindakan tegas
berdasarkan keputusan pengadilan. Sedangkan strict liability diatur
dalam Pasal 88 yaitu mengatur bahwa setiap orang yang tindakannya,
usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan
dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman
serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas
kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan
(tanggung gugat tanpa kesalahan).7
2. Sedangkan gugatan keperdataan dalam bidang lainnya contohnya saya
ambil yaitu pada bidang kehutanan misalnya
Gugatan Perdata di bidang kehutanan merupakan bagian dari
penyelesaian sengketa kehutanan yaitu penyelesaian sengketa melalui
pengadilan (diatur dalam Pasal 76) Penyelesaian sengketa kehutanan
melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh putusan
mengenai:

7
Prim Haryadi, “Pengembangan Lingkungan Hidup Melalui Penegakan Hukum Perdata”, Jurnal
Konstitusi, Vol. 14, Nomor 1, Maret 2017.
a) pengembalian suatu hak,
b) besarnya ganti rugi, dan atau
c) tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah
dalam sengketa.
d) Selain putusan untuk melakukan tindakan tertentu pengadilan
dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas keterlambatan
pelakanaan tindakan tertentu tersebut setiap hari.
Adapun jenis gugatan dapat dilakukan menggunakan gugatan
biasa, gugatan class action, gugatan atas nama lngkungan hidup.
Pengugatnya antara lain Masyarakat, instansi pemerintah atau
instansi pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang
kehutanan, serta organisasi bidang kehutanan. Masyarakat punya
hak melakukakan gugatan class action, Hak mengajukan gugatan
tersebut terbatas pada tuntutan terhadap pengelolaan hutan yang
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(Pasal 71) Jika diketahui bahwa masyarakat menderita akibat
pencemaran dan atau kerusakan hutan sedemikian rupa sehingga
mempengaruhi kehidupan masyarakat, maka instansi pemerintah
atau instansi pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang
kehutanan dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat (Pasal
72).
Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan,
organisasi bidang kehutanan berhak mengajukan gugatan
perwakilan untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan (Pasal 73
ayat 1). Organisasi bidang kehutanan yang berhak mengajukan
gugatan harus memenuhi persyaratan:
a) Berbentuk badan hukum;
b) Organisasi tersebut dalam anggaran dasarnya dengan tegas
menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan
pelestarian fungsi hutan; dan
c) Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.8

C. Tanggapan atau pandangan saya terkait penegakan hukum


perdata lingkungan dengan keluarnya uu cipta kerja adalah sebagai
berikut:
Dalam UU Ciptaker, terdapat sekitar 4 (empat) isu terkait
ketentuan Amdal yang diubah:
Pertama, mengenai kegunaan Amdal. Dalam UU Ciptaker, Amdal
yang dibuat oleh pemrakarsa yang bersertifikat (penyusun Amdal)
dijadikan sebagai dasar uji kelayakan lingkungan dalam
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Uji kelayakan
lingkungan dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk oleh lembaga
uji kelayakan lingkungan hidup pemerintah pusat. Tim tersebut
terdiri atas usur pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan ahli
bersertifikat. Ouput dari uji kelayakan tersebut berupa
rekomendasi mengenai kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan.
Berdasarkan rekomendasi tersebut, Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah menetapkan keputusan tentang kelayakan
lingkungan, dan penetapan kelayakan lingkungan tersebut
digunakan sebagai persyaratan penerbitan perizinan berusaha. Hal
ini berbeda dengan ketentuan yang sebelumnya diatur dalam UU
PPLH, yakni: Amdal merupakan dasar penetapan keputusan
kelayakan lingkungan penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Namun, sebelum Amdal dijadikan dasar penetapan, dokumen
Amdal sebagaimana diatur dalam UU PPLH terlebih dahulu dinilai

8
Sari, Sri Mas, “KLHK dan KY Pantau Bersama Kasus Lingkungan dan Kehutanan ” diakses tanggal 2
Maret 2019, https://ekonomi.bisnis.com/read/20180523/99/798817/klhk-dan-ky- pantau-bersama-
kasus-lingkungan-dan-kehutanan.
oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk menteri, gubernur, atau
bupati/wali kota sesuai kewenangan. Jika tidak ada rekomendasi
Amdal, maka izin lingkungan tak akan terbit.
Kedua, UU Ciptaker mengubah ketentuan Pasal 25 huruf c tentang
berkas yang harus ada dalam dokumen Amdal. Salah satu syarat
dokumen yang diubah yaitu mengenai saran masukan serta
tanggapan dari masyarakat. Dalam UU PPLH diatur bahwa
dokumen Amdal salah satunya harus memuat saran masukan serta
tanggapan masyarakat terkena dampak langsung yang relevan
teradap rencana usaha/kegiatan, sedangkan dalam UU Ciptaker,
saran masukan serta tangapan dari masyarakat (tidak harus
masyarakat yang terkena dampak langsung).
Ketiga, dalam proses penyusunan Amdal, baik UU Ciptaker
maupun UU PPLH sama-sama mengatur mengenai keterlibatan
masyarakat. Namun, ketentuan dalam UU Ciptaker mempersempit
definisi masyarakat. Masyarakat yang dimaksud dalam UU PPLH
adalah masyarakat yang terkena dampak; pemerhati lingkungan
hidup; dan/atau yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan
dalam proses Amdal, sedangkan dalam UU Ciptaker, masyarakat
yang dimaksud adalah hanya masyarakat yang terkena dampak
langsung.
Keempat, perubahan mengenai mekanisme keberatan atas Amdal.
UU PPLH menyediakan ruang bagi masyarakat yang keberatan
dengan dokumen Amdal untuk dapat mengajukan keberatan atau
upaya hukum, sedangkan dalam UU Ciptaker tidak diatur
mengenai mekanisme keberatan atas Amdal. UU Ciptaker
menghapus ketentuan mengenai mekanisme keberatan tersebut,
yaitu dengan menghapus ketentuan mengenai komisi penilai
Amdal yang dalam diatur dalam Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31
UUPPLH. Ketiadaan mekanisme keberatan ini memantik
perdebatan dimasyarakat karena mekanisme ini dianggap sangat
penting untuk memastikan kelestarian lingkungan, terutama untuk
menjaga agar dokumen Amdal tidak dibuat sembarangan atau
sekedar formalitas.
9
* Menurut saya dengan hadirnya uu cipta kerja ini maka akan
melemahkan perlindungan atau penegakan hukum perdata
lingkungan khususnya pada Posisi dan Potensi Dampak Sektor
Kehutanan dan Lingkungan dalam Pusaran Omnibus Law yang
dapat membuat:
1.Mudahnya perizinan pemanfaatan hutan kawasan
Perubahan signifikan dalam UU Cipta Kerja ini adalah mengenai
mekanisme perizinan pemanfaatan kawasan hutan yang hanya
diberlakukan pada pemanfaatan hutan kayu, sedangkan untuk
pemanfaatan bukan kayu serta jasa lingkungan hanya berupa
formalitas untuk memenuhi standar umum. Didalam UU No.
41/1999 tentang Kehutanan, seluruh jenis perizinan permanfaatan
kawasan hutan tercantum secara lengkap dimana terdiri dari 8 poin
jenis perizinan terbagi menurut fungsi dan peruntukan
hutan. Sedangkan dalam UU Cipta Kerja, mekanisme perizinan
disederhanakan menjadi hanya ada satu jenis yaitu berupa
perizinan berusaha. [1]Imbas dengan adanya UU ini adalah
pencabutan pasal 27-29 pada UU No. di kawasan
hutan. Kemudahan pengajuan perizinan tanpa pertimbangan aspek
ekologis sangat riskan terhadap dampak lingkungan yang akan
ditimbulkan kedepannya.

9
Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup adalah keputusan yang menyatakan kelayakan lingkungan
hidup dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal (Penjelasan
Pasal 22 angka 3 UU Ciptaker)
2. Pemanfaatan kawasan hutan lindung semakin tak
terproteksi
Prinsip dasar simulasi pemanfaatan yang ada di hutan lindung
bertujuan untuk menjamin hutan lindung tetap mempertahankan
fungsi pohonnya yaitu sebagai kawasan hutan yang memiliki
fungsi utama sebagai sistem penyangga kehidupan seperti
mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,
mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah (UU
No.41/1999). Rencana penerapan UU Cipta Kerja ini sangat
mengancam pola pemanfaatan yang ada di hutan lindung. Jenis
pemanfaatan hutan lindung yang semula hanya berupa jasa
lingkungan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK)
sesuai dengan mandat UU No. 41/1999 menjadi dapat
dimanfaatkan lebih beragam karena ditambahkannya klausa
pemanfaatan kawasan hutan. [2]Seperti halnya pemanfaatan panas
bumi tanpa perlu izin tetapi hanya berupa pemenuhan NSPK
(Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) serta penggunaan melalui
persetujuan pinjam pakai tersebut telah dipindahkan
kewenangannya ke Pemerintah Pusat. [3] , [4] Konsekuensi dengan
adanya UU Cipta Kerja ini, eksistensi kawasan hutan lindung
sangat riskan dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan yang
cenderung eksploitatif, seperti misalnya alih fungsi ke
pertambangan, perkebunan, dll. Hal ini jelas dapat menyebabkan
hilang dan rusaknya hutan lindung yang bernilai sebagai
penyangga kehidupan secara permanen. Terlebih lagi, peran
Pemerintah Pusat semakin tersentral, sehingga dengan mekanisme
sentralistik ini dapat menimbulkan ketimpangan manfaat yang
diterima antara pusat dan daerah.
3. Hilangnya AMDAL sebagai pintu gerbang terakhir
pemulihan lingkungan
Perubahan poin mendasar pada UU No. 32 tahun 2009 diantaranya
dicabutnya terminologi “izin lingkungan” berimplikasi pada
perubahannya posisi AMDAL dalam proses perizinan dimana
AMDAL bukan lagi sebagai hal yang wajib untuk memutuskan
kelayakan izin usaha akan tetapi hanya menjadi pertimbangan
saja. [5] Ironisnya lagi, AMDAL wajib hanya diberlakukan pada
kriteria usaha yang proses dan kegiatannya berdampak penting
terhadap lingkungan hidup, sosial, ekonomi dan
budaya. [6] Konsekuensinya, semakin maraknya izin penahanan
usaha yang tidak perlu melakukan wajib AMDAL menimbulkan
dampak lingkungan yang semakin tak terkendali. Dari hal ini
pemerintah terlihat sama sekali tidak mengindahkan pertimbangan
lingkungan dalam kegiatan pembangunan.
.Semakin mudahnya perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan
Rancangan UU Cipta Kerja ini memberikan keleluasaan kepada
pemerintah dalam hal memutuskan perubahan peruntukan kawasan
hutan. [7] Dalam UU No. 41/1999 mekanisme perubahan
peruntukan dan fungsi kawasan hutan harus melalui persetujuan
DPR. Akan tetapi dalam UU Cipta Kerja ini, hanya pemerintah
saja yang memutuskan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan
dan tidak perlu sampai ke pintu DPR kecuali pada kebijakan-
kebijakan yang mendukung Proyek Strategis Nasional. [8]Hal ini
berimbas pada hilangnya fungsi pengawasan dari masyarakat
dalam pelaksanaan pembangunan hutan dengan menyampaikan
aspirasinya melalui DPR terutama terkait rencana peruntukan
hutan dan pemanfaatan hasil hutan. Hal ini dapat dikhawatirkan
akan semakin banyaknya konversi kawasan hutan yang mengambil
alih fungsi kawasannya lagi yang dilakukan oleh oknum-oknum
yang menguasai tanpa pengawasan dan sepengetahuan masyarakat.
4. Hak, Kewajiban dan Larangan yang ada di dalam UUPPLH adalah sebagai
berikut:
- Hak di dalam UUPPLH itu diatur dalam pasal 65 UU No. 32 tahun 2009
ayat (1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
sebagai bagian dari hak asasi manusia.
ayat (2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup,
akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
ayat (3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap
rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan
dampak terhadap lingkungan hidup.
ayat (4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
ayat (5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup.
ayat (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan sebagaimana
yang dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
- Kewajiban dalam UUPPLH diatur di dalam pasal 67 dan pasal 68 uu no. 32
tahun 2009 yaitu sebagai berikut:
Pasal 67 uu no. 32 tahun 2009 menyatakan bahwa setiap orang berkewajiban
memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Pasal 68 uu no. 32 tahun 2009 menyatakan bahwa setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:
a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup.

- Larangan dalam UUPPLH hanya diatur di dalam pasal 69 saja di ayat 1 dan
2 nya yaitu sebagai berikut:
Ayat (1) Setiap orang dilarang:
a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup;
b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
e. membuang limbah ke media lingkungan hidup;
f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;
g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;
h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal;
dan/atau
j. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi,
merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.

Ayat (2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf h
memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-
masing.

Anda mungkin juga menyukai