Tahun : 2010
Latar Belakang
Lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi dan hak konstitusional bagi
setiap warga negara dituangkan secara jelas pada pernyataan UUD RI 1945. Hal ini
menyebabkan negara dan para pemaku kepentingan terkait memiliki kewajiban untuk melakukan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pembangunan berkelanjutan agar dapat
tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi seluruh makhluk di dalamnya.
Akan tetapi, akibat dari perilaku manusia seperti eksploitasi, pembuangan limbah serta
kegiatan industri yang berujung pada pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup semakin
parah menyebabkan turunnya kualitas lingkungan hidup dan mengancam keberlangsungan
kehidupan manusia dan makhluk hidup di dalamnya. Hal ini dibuktikan dengan rusaknya 72%
hutan asli di Indonesia serta fenomena lain seperti banjir, tanah longsor, lumpur lapindo dan
kebakaran hutan. Dari fenomena tersebut, muncullah sengketa lingkungan hidup, dimana
masyarakat yang menjadi korban dan peduli lingkungan menuntut penegakan hukum lingkungan
sebagai upaya penuntutuan hak-hak mereka.
Pemerintah kemudian mengganti UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup dengan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPLH), sebagai upaya sistematis dan terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan
mencegah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Untuk pencemaran dan kerusakan
yang sudah terjadi, dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen
dan konsisten. Dalam UUPLH, penegakan hukum lingkungan dilakukan dengan ketentuan
hukum administrasi, hukum pidana maupun perdata, serta meliputi juga penyelesaian sengketa
lingkungan hidup di dalam atau luar pengadilan. Pada tulisan kali ini akan fokus terhadap
penyelesaian sengketa lingkungan secara perdata di dalam pengadilan.
PEMBAHASAN